BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Global Warming Pemanasan global atau global warming adalah kejadian meningkatnya temperatur rata-rata atmosfer, laut dan daratan bumi. Temperatur rata-rata global pada permukaan Bumi telah meningkat kurang lebih 0,74 sampai 0,18 °C ( ± 1,33 sampai 0,32 °F) selama seratus tahun terakhir. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyimpulkan bahwa, "sebagian besar peningkatan temperatur rata-rata global sejak pertengahan abad ke-20 kemungkinan besar disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca akibat aktivitas manusia" melalui efek rumah kaca. Kesimpulan dasar ini telah dikemukakan oleh setidaknya 30 badan ilmiah dan akademik, termasuk semua akademi sains nasional dari negara-negara G8. Model iklim yang dijadikan acuan oleh projek IPCC menunjukkan temperatur permukaan global akan meningkat 1,1 hingga 6,4 °C (2,0 hingga 11,5 °F) antara tahun 1990 dan 2100. Adanya beberapa hasil yang berbeda diakibatkan oleh penggunaan skenario-skenario berbeda pula dari emisi gas-gas rumah kaca di masa mendatang juga akibat model-model dengan sensitivitas iklim yang berbeda pula. Walaupun sebagian besar penelitian memfokuskan diri pada periode hingga 2100, pemanasan dan kenaikan muka air laut diperkirakan akan terus berlanjut selama lebih dari seribu tahun jika tingkat emisi gas rumah kaca telah stabil. Ini mencerminkan besarnya kapasitas panas dari lautan. Meningkatnya temperatur global diperkirakan akan menyebabkan perubahan-perubahan yang lain seperti naiknya muka air laut, meningkatnya intensitas kejadian cuaca yang ekstrim, serta perubahan jumlah dan pola presipitasi. Akibat-akibat pemanasan global yang lain adalah terpengaruhnya hasil pertanian, hilangnya gletser, gunung es dan punahnya berbagai jenis hewan. Beberapa hal-hal yang masih diragukan para ilmuan adalah mengenai jumlah pemanasan yang diperkirakan akan terjadi di masa depan, dan bagaimana pemanasan serta perubahan-perubahan yang terjadi tersebut akan bervariasi dari satu daerah ke daerah yang lain. Hingga saat ini masih terjadi perdebatan politik dan publik di dunia mengenai tindakan apa yang harus dilakukan untuk mengurangi pemanasan atau berusaha untuk beradaptasi terhadap konsekwensi - konsekwensi yang ada. Sebagian besar pemerintahan negara-negara di dunia telah menandatangani dan meratifikasi Protokol Kyoto, yang mengarah pada pengurangan emisi gas-gas rumah kaca. 2.1.1 Penyebab Timbulnya Global Warming a. Efek Rumah Kaca Segala sumber energi yang terdapat di bumi berasal dari matahari. Sebagian besar energi tersebut dalam bentuk radiasi gelombang pendek, termasuk cahaya tampak. Ketika energi ini mengenai permukaan bumi, ia berubah dari cahaya menjadi panas yang menghangatkan bumi. Permukaan bumi, akan menyerap sebagian panas dan memantulkan kembali sisanya. Sebagian dari panas ini sebagai radiasi inframerah gelombang panjang ke angkasa luar. Namun sebagian panas tetap terperangkap di atmosfer bumi akibat menumpuknya jumlah gas rumah kaca antara lain uap air, karbondioksida, dan metana yang menjadi perangkap gelombang radiasi ini. Gas-gas ini menyerap dan memantulkan kembali radiasi gelombang yang dipancarkan bumi dan akibatnya panas tersebut akan tersimpan di permukaan bumi. Hal tersebut terjadi berulang-ulang dan mengakibatkan suhu rata-rata tahunan bumi terus meningkat. Gas-gas tersebut berfungsi sebagaimana kaca dalam rumah kaca. Dengan semakin meningkatnya konsentrasi gas-gas ini di atmosfer, semakin banyak panas yang terperangkap di bawahnya. Sebenarnya, efek rumah kaca ini sangat dibutuhkan oleh segala makhluk hidup yang ada di bumi, karena tanpanya, planet ini akan menjadi sangat dingin. "Global Warming,"sehingga es akan menutupi seluruh permukaan Bumi. Akan tetapi, akibat jumlah gas-gas tersebut telah berlebih di atmosfer, pemanasan global menjadi akibatnya. b. Efek Umpan Balik Efek-efek dari agen penyebab pemanasan global juga dipengaruhi oleh berbagai proses umpan balik yang dihasilkannya. Sebagai contoh adalah pada penguapan air. Pada kasus pemanasan akibat bertambahnya gas-gas 5 rumah kaca seperti CO2, pemanasan pada awalnya akan menyebabkan lebih banyaknya air yang menguap ke atmosfer. Karena uap air sendiri merupakan gas rumah kaca, pemanasan akan terus berlanjut dan menambah jumlah uap air di udara hingga tercapainya suatu kesetimbangan konsentrasi uap air. Efek rumah kaca yang dihasilkannya lebih besar bila dibandingkan oleh akibat gas CO2 sendiri. (Walaupun umpan balik ini meningkatkan kandungan air absolut di udara, kelembaban relatif udara hampir konstan atau bahkan agak menurun karena udara menjadi menghangat). Umpan balik ini hanya dapat dibalikkan secara perlahan-lahan karena CO2 memiliki usia yang panjang di atmosfer. Efek-efek umpan balik karena pengaruh awan sedang menjadi objek penelitian saat ini. Bila dilihat dari bawah, awan akan memantulkan radiasi infra merah balik ke permukaan, sehingga akan meningkatkan efek pemanasan. Sebaliknya bila dilihat dari atas, awan tersebut akan memantulkan sinar Matahari dan radiasi infra merah ke angkasa, sehingga meningkatkan efek pendinginan. Apakah efek netto-nya pemanasan atau pendinginan tergantung pada beberapa detail-detail tertentu seperti tipe dan ketinggian awan tersebut. Detail-detail ini sulit direpresentasikan dalam model iklim, antara lain karena awan sangat kecil bila dibandingkan dengan jarak antara batas-batas komputasional dalam model iklim (sekitar 125 hingga 500 km untuk model yang digunakan dalam Laporan Pandangan IPCC ke Empat). Walaupun demikian, umpan balik awan berada pada peringkat dua bila dibandingkan dengan umpan balik uap air dan dianggap positif (menambah pemanasan) dalam semua model yang digunakan dalam Laporan Pandangan IPCC ke Empat.[3] Umpan balik penting lainnya adalah hilangnya kemampuan memantulkan cahaya (albedo) oleh es. Ketika temperatur global meningkat, es yang berada di dekat kutub mencair dengan kecepatan yang terus meningkat. Bersama dengan melelehnya es tersebut, daratan atau air dibawahnya akan terbuka. Baik daratan maupun air memiliki kemampuan memantulkan cahaya lebih sedikit bila dibandingkan dengan es, dan akibatnya akan menyerap lebih banyak radiasi Matahari. Hal ini akan 6 menambah pemanasan dan menimbulkan lebih banyak lagi es yang mencair, menjadi suatu siklus yang berkelanjutan. Umpan balik positif akibat terlepasnya CO2 dan CH4 dari melunaknya tanah beku (permafrost) adalah mekanisme lainnya yang berkontribusi terhadap pemanasan. Selain itu, es yang meleleh juga akan melepas CH4 yang juga menimbulkan umpan balik positif. Kemampuan lautan untuk menyerap karbon juga akan berkurang bila ia menghangat, hal ini diakibatkan oleh menurunya tingkat nutrien pada zona mesopelagic sehingga membatasi pertumbuhan diatom daripada fitoplankton yang merupakan penyerap karbon yang rendah. c. Variasi Matahari Grafik 1.1 Variasi Matahari selama 30 tahun terakhir. Terdapat hipotesa yang menyatakan bahwa variasi dari matahari, dengan kemungkinan diperkuat oleh umpan balik dari awan, dapat memberi kontribusi dalam pemanasan saat ini. Perbedaan antara mekanisme ini dengan pemanasan akibat efek rumah kaca adalah meningkatnya aktivitas matahari akan memanaskan stratosfer sebaliknya efek rumah kaca akan mendinginkan stratosfer. Pendinginan stratosfer bagian bawah paling tidak telah diamati sejak tahun 1960, yang tidak akan terjadi bila aktivitas matahari menjadi kontributor utama pemanasan saat ini. ( Penipisan lapisan ozon juga dapat memberikan efek pendinginan tersebut tetapi penipisan tersebut terjadi mulai akhir tahun 1970 - an ). Fenomena variasi matahari dikombinasikan dengan aktivitas gunung berapi mungkin telah memberikan efek pemanasan dari masa pra-industri hingga tahun 1950, serta efek pendinginan sejak tahun 1950. 7 Ada beberapa hasil penelitian yang menyatakan bahwa kontribusi matahari mungkin telah diabaikan dalam pemanasan global. Dua ilmuwan dari Duke University mengestimasikan bahwa matahari mungkin telah berkontribusi terhadap 45-50% peningkatan temperatur rata-rata global selama periode 1900-2000, dan sekitar 25-35% antara tahun 1980 dan 2000. Stott dan rekannya mengemukakan bahwa model iklim yang dijadikan pedoman saat ini membuat estimasi berlebihan terhadap efek gas-gas rumah kaca dibandingkan dengan pengaruh matahari, mereka juga mengemukakan bahwa efek pendinginan dari debu vulkanik dan aerosol sulfat juga telah dipandang remeh. Walaupun demikian, mereka menyimpulkan bahwa bahkan dengan meningkatkan sensitivitas iklim terhadap pengaruh matahari sekalipun, sebagian besar pemanasan yang terjadi pada dekade-dekade terakhir ini disebabkan oleh gas-gas rumah kaca. Pada tahun 2006, sebuah tim ilmuan dari Amerika Serikat, Jerman dan Swiss menyatakan bahwa mereka tidak menemukan adanya peningkatan tingkat "keterangan" dari matahari pada seribu tahun terakhir ini. Siklus matahari hanya memberi peningkatan kecil sekitar 0,07% dalam tingkat "keterangannya" selama 30 tahun terakhir. Efek ini terlalu kecil untuk berkontribusi terhadap pemansan global. Sebuah penelitian oleh Lockwood dan Fröhlich menemukan bahwa tidak ada hubungan antara pemanasan global dengan variasi Matahari sejak tahun 1985, baik melalui variasi dari output Matahari maupun variasi dalam sinar kosmis. 2.2 Taman Nasional Bali Barat 2.2.1 Sejarah Kawasan dan Sejarah Organisasi TNBB Pada tanggal 24 Maret 1911 seorang biologiawan dari Jerman, Dr. Baron Stressman yang terpaksa mendarat karena kapal Ekspedisi Maluku II rusak di sekitar Singaraja selama ± 3 bulan, menemukan burung Jalak Bali sebagai spesimen penelitiannya di sekitar Desa Bubunan ± 50 Km dari Singaraja. Kemudian pada tahun 1025 dilakukan observasi intensif oleh Dr. Baron Viktor von Plesen, atas pendapat Stressman yang melihat Jalak Bali sangat langka dan berbeda dengan jenis lain dari seluruh spesimen yang dia 8 peroleh, dan diketahui penyebaran Jalak Bali hanya mulai Desa Bubunan sampai ke Gilimanuk seluas ± 320 Km2. Untuk melindungi keberadaan spesies yang sangat langka yaitu burung Jalak Bali dan Harimau Bali, berdasarkan SK Dewan Raja-Raja di Bali No.E/I/4/5/47 tanggal 13 Agustus 1947 menetapkan kawasan hutan Banyuwedang dengan luas 19.365,6 Ha sebagai Taman Pelindung Alam / Natuur Park atau sesuai dengan Ordonansi Perlindungan Alam 1941 statusnya sama dengan Suaka Margasatwa. Kawasan hutan Bali Barat dipandang memenuhi syarat untuk pengembangan hutan tanaman dibandingkan dengan bagian lain di Propinsi Bali (Menurut Brigade VIII Planologi Kehutanan Nusa Tenggara Singaraja, Tahun 1974). Sehingga sejak tahun 1947/1948 sampai dengan 1975/1976 di RPH Penginuman telah dilakukan pengembangan hutan tanaman dengan jenis Jati, Sonokeling, dan rimba campuran seluas 1.568,24 Ha. Tahun 1968/1969 sampai dengan 1975/1976 dikembangkan hutan tanaman Kayu Putih dan Sonokeling di RPH Sumberkima serta pada tahun 1956/1957 di RPH Sumberklampok telah dilakukan penanaman Sawo Kecik, Cendana, Bentawas, Sonokeling, dan Talok seluas 1.153,60 Ha. Dalam pelaksanaan penanaman ini dilakukan perabasan dan eksploitasi beberapa jenis hutan evergreen Sumberrejo dan Penginuman dan tebang pilih hutan alam Sawo Kecik di Prapat Agung. Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur KDh Tk. I Bali No. 58/Skep/EK/I.C/1977 tahun 1977 tanah Swapraja Sombang seluas 390 Ha ditambahkan ke dalam kawasan sebagai pengganti kawasan yang terpakai untuk pembangunan Propinsi Bali dan kemudian SK Menteri Pertanian No. 169/Kpts/Um/3/1978 tanggal 10 Maret 1978 menetapkan Suaka Margasatwa Bali Barat Pulau Menjangan, Pulau Burung, Pulau Kalong dan Pulau Gadung sebagai Suaka Alam Bali Barat seluas 19.558,8 Ha. Deklarasi Menteri Pertanian tentang penetapan Calon Taman Nasional Nomor 736/Mentan/X/1982 kawasan Suaka Alam Bali Barat ditambah hutan 9 lindung yang termasuk ke dalam Register Tanah Kehutanan (RTK) No. 19 dan wilayah perairan sehingga luasnya mencapai 77.000 Ha terdiri dari daratan 75.559 Ha dan wilayah perairan ± 1.500 Ha. Namun pengelolaan UPT Taman Nasional Bali Barat sesuai SK Menteri Kehutanan No. 096/Kpts-II/1984 tanggal 12 Mei 1984 secara intensif hanya seluas 19.558,8 Ha daratan termasuk hutan produksi terbatas (HPT) dengan pembagian zonasi menjadi zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan, dan zona penyangga. Adanya konflik kewenangan di dalam kawasan TNBB, dimana pengelolaan HPT seluas 3.979,91 Ha adalah kewenangan Dinas Kehutanan Provinsi Bali, sehingga berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 493/KptsII/1995 tanggal 15 September 1995 luas Taman Nasional Bali Barat hanya sebesar 19.002,89 Ha yang terdiri dari 15.587,89 Ha wilayah daratan dan 3.415 Ha wilayah perairan sampai sekarang. Penataan kawasan pengelolaan TNBB sesuai fungsi peruntukannya telah ditetapkan berdasarkan SK Dirjen Perlindungan dan Konservasi Alam No.186/Kpts/Dj-V/1999 tanggal 13 Desember 1999 tentang pembangian zonasi sebagai berikut : a. Zona Inti : merupakan zona yang mutlak dilindungi, tidak diperbolehkan adanya perubahan apapun oleh aktivitas manusia kecuali yang berhubungan dengan kepentingan penelitian dan ilmu pengetahuan , meliputi daratan seluas 7.567,85 hektar dan perairan laut seluas 455.37 hektar. b. Zona Rimba : merupakan zona penyangga dari zona inti, dapat dilakukan kegiatan seperti pada zona inti dan kegiatan wisata alam terbatas, meliputi daratan selauas 6.009,46 hektar dan perairan laut seluas 243.96 hektar. c. Zona Pemanfaatan Intensif : dapat dilakukan kegiatan seperti pada kedua zona di atas, pembangunan sarana dan prasarana pariwisata alam dan rekreasi atau penggunaan lain yang menunjang 10 fungsi konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, meliputi daratan seluas 1.645,33 hektar dan perairan laut seluas 2.745.66 hektar. d. Zona Pemanfaatan Budaya : zona ini dapat dikembangkan dan dimanfaatkan terbatas untuk kepentingan budaya atau relegi , seluas 245,26 hektar yang digunakan untuk kepentingan pembangunan sarana ibadat umat Hindu. Pada zona ini dapat dikembangkan dan dimanfaatkan terbatas untuk kepentingan budaya dan relegi. Terletak di daratan Taman Nasional Bali Barat di Pulau Menjagan, Teluk Terima, Prapat Agung, Bakungan dan Klatakan. 2.2.2 Fungsi, Arti Penting dan Potensi Kawasan Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi, yang dapat dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. Tiga sasaran pokok kegiatan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya : 1. Menjamin terpeliharanya proses ekologis yang menunjang sistem penyangga kehidupan bagi kelangsungan pembangunan kesejahteran manusia. 2. Terkendalinya cara-cara pemanfaatan sumber daya alam hayati sehingga terjamin kelestarian manfaatnya. 3. Terpeliharanya keanekaragaman sumber genetik dan tipe-tipe ekosistem sehingga mampu menunjang pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi. Taman Nasional Bali Barat mempunyai luas 19.002,89 ha. terdiri dari kawasan terestrial seluas 15.587,89 ha. dan kawasan perairan selaus 3.415 ha dan sebagai salah satu kawasan kawasan konservasi, pengelolaan Taman Nasional Bali Barat (TNBB) ditujukan untuk : 1. Perlindungan populasi Jalak Bali beserta ekosistem lainnya seperti ekosistem terumbu karang, ekosistem mangrove, ekosistem hutan pantai 11 dan ekosistem hutan daratan rendah sampai pegunungan sebagai sistem penyangga kehidupan terutama ditujukan untuk menjaga keaslian, keutuhan dan keragaman suksesi alam dalam unit-unit ekosistem yang mantap dan mampu mendukung kehidupan secara optimal. 2. Pengawetan keragaman jenis flora dan fauna serta ekosistemnya ditujukan untuk melindungi, memulihkan keaslian, mengembangkan populasi dan keragaman genetik dalam kawasan TNBB dari gangguan manusia. 3. Pemanfaatan secara lestari Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya ditujukan untuk berbagai pemanfaatan seperti: sebagai laboratorium lapangan bagi peneliti untuk pengembangan ilmu dan teknologi. sebagai tempat pendidikan untuk kepentingan meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan bagi masyarakat. obyek wisata akan pada zona khusus pemanfaatan yang dapat dibangun fasilitas pariwisata. menunjang budidaya penangkaran jenis flora dan fauna dalam rangka memenuhi kebutuhan protein, binatang kesayangan dan tumbuhan obat -obatan. Potensi TNBB meliputi berbagai jenis flora dan fauna liar, yang berstatus langka, dilindungi maupun yang keberadaannya masih melimpah, habitat dan letak geomorfologinya serta keindahan alamnya yang masih dalam keadaan utuh. Ekosistem di dalam kawasan TNBB cukup potensial dan lengkap yang meliputi perairan laut, pantai dan pesisirnya, hutan dataran rendah sampai pegunungan merupakan habitat alami bagi hidupan liar yang juga menunjukkan tingginya keanekaragaman hayati antara lain terumbu karang dan biota laut lainnya, vegetasi mangrove, hutan rawa payau, savana dan hutan musim. Flora dan fauna yang cukup beragam, sampai saat ini telah diidentifikasi 176 jenis flora meliputi pohon, semak, tumbuhan memanjat, menjalar, jenis herba, anggrek, paku-pakuan dan rerumputan. Untuk jenis fauna terdiri dari 17 jenis mamalia, 160 jenis burung (aves), berbagai jenis reptil dan ikan. 12 BAB III METODOLOGI Metode penulisan adalah suatu tatacara atau metode – metode ilmiah yang digunakan dalam penyusunan laporan, karya ilmiah, karya tulis, jurnal ilmiah dan sebagainya. Adapun metode – metode yang penulis gunakan adalah sebagai berikut : 1. Metode Pengumpulan Data 1.1 Metode Kepustakaan Metode kepustakaan adalah metode yang menggunakan buku – buku serta sumber – sumber tertulis baik di media cetak, buku dan alamat website yang berhubungan dengan permasalahan. Sehingga data – data informasi yang penulis susun dalam karya tulis ini adalah sesuai fakta – fakta yang dipaparkan sumber tertulis tersebut. 1.2 Metode Observasi Metode observasi adalah metode pengamatan lapangan yang dimaksudkan untuk memperoleh gambaran tentang kenyataan yang terjadi di lapangan ( objek penelitian ). Pengamatan ini dilakukan secara visual melalui pengamatan langsung dengan mata telanjang tanpa alat bantu. 1.3 Metode Wawancara Wawancara merupakan metode pengumpulan data dengan melakukan tanya jawab dengan informan yang berkompeten dalam permasalahan. Wawancara dapat dilakukan dengan bertatapan langsung atau melalui media komunikasi. 2. Metode Pengolahan Data 1.1 Metode Komparatif Metode Komparatif adalah metode dimana penulis membandingkan data – data yang ada baik secara kepustakaan, observasi dan wawancara untuk menarik suatu simpulan yang logis dan sesuai dengan fakta di lapangan. 13 BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Dampak Pemanasan Global Para ilmuwan menggunakan model komputer dari temperatur, pola presipitasi, dan sirkulasi atmosfer untuk mempelajari pemanasan global. Berdasarkan model tersebut, para ilmuwan telah membuat beberapa prakiraan mengenai dampak pemanasan global terhadap cuaca, tinggi permukaan air laut, pantai, pertanian, kehidupan hewan liar dan kesehatan manusia. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan sebagai berikut : 1. Perubahan Cuaca Para ilmuan memperkirakan bahwa selama pemanasan global, daerah bagian Utara dari belahan Bumi Utara (Northern Hemisphere) akan memanas lebih dari daerah-daerah lain di Bumi. Akibatnya, gunung-gunung es akan mencair dan daratan akan mengecil. Akan lebih sedikit es yang terapung di perairan Utara tersebut. Daerah-daerah yang sebelumnya mengalami salju ringan, mungkin tidak akan mengalaminya lagi. Pada pegunungan di daerah subtropis, bagian yang ditutupi salju akan semakin sedikit serta akan lebih cepat mencair. Musim tanam akan lebih panjang di beberapa area. Temperatur pada musim dingin dan malam hari akan cenderung untuk meningkat. Daerah hangat akan menjadi lebih lembab karena lebih banyak air yang menguap dari lautan. Para ilmuan belum begitu yakin apakah kelembaban tersebut malah akan meningkatkan atau menurunkan pemanasan yang lebih jauh lagi. Hal ini disebabkan karena uap air merupakan gas rumah kaca, sehingga keberadaannya akan meningkatkan efek insulasi pada atmosfer. Akan tetapi, uap air yang lebih banyak juga akan membentuk awan yang lebih banyak, sehingga akan memantulkan cahaya matahari kembali ke angkasa luar, di mana hal ini akan menurunkan proses pemanasan (lihat siklus air). Kelembaban yang tinggi akan meningkatkan curah hujan, secara rata-rata, sekitar 1 persen untuk setiap derajat Fahrenheit pemanasan. (Curah hujan di 14 seluruh dunia telah meningkat sebesar 1 persen dalam seratus tahun terakhir ini). Badai akan menjadi lebih sering. Selain itu, air akan lebih cepat menguap dari tanah. Akibatnya beberapa daerah akan menjadi lebih kering dari sebelumnya. Angin akan bertiup lebih kencang dan mungkin dengan pola yang berbeda. Topan badai (hurricane) yang memperoleh kekuatannya dari penguapan air, akan menjadi lebih besar. Berlawanan dengan pemanasan yang terjadi, beberapa periode yang sangat dingin mungkin akan terjadi. Pola cuaca menjadi tidak terprediksi dan lebih ekstrim. 2. Peningkatan Tinggi Permukaan Air Laut Grafik. 1.2 Perubahan tinggi rata-rata tinggi permukaan air laut diukur dari daerah dengan lingkungan yang stabil secara geologi. Ketika atmosfer menghangat, lapisan permukaan lautan juga akan menghangat, sehingga volumenya akan membesar dan menaikkan tinggi permukaan laut. Pemanasan juga akan mencairkan banyak es di kutub, terutama sekitar Greenland, yang lebih memperbanyak volume air di laut. Tinggi muka laut di seluruh dunia telah meningkat 10 - 25 cm (4 - 10 inchi) selama abad ke-20, dan para ilmuan IPCC memprediksi peningkatan lebih lanjut 9 - 88 cm (4 - 35 inchi) pada abad ke-21. Perubahan tinggi muka laut akan sangat mempengaruhi kehidupan di daerah pantai. Kenaikan 100 cm (40 inchi) akan menenggelamkan 6 persen daerah Belanda, 17,5 persen daerah Bangladesh, dan banyak pulau-pulau. Erosi dari tebing, pantai, dan bukit pasir akan meningkat. Ketika tinggi lautan mencapai muara sungai, banjir akibat air pasang akan meningkat di daratan. Negara-negara kaya akan menghabiskan dana yang sangat besar untuk 15 melindungi daerah pantainya, sedangkan negara-negara miskin mungkin hanya dapat melakukan evakuasi dari daerah pantai. Bahkan sedikit kenaikan tinggi muka laut akan sangat mempengaruhi ekosistem pantai. Kenaikan 50 cm (20 inchi) akan menenggelamkan separuh dari rawa-rawa pantai di Amerika Serikat. Rawa-rawa baru juga akan terbentuk, tetapi tidak di area perkotaan dan daerah yang sudah dibangun. Kenaikan muka laut ini akan menutupi sebagian besar dari Florida Everglades 3. Pengaruh Terhadap Pertanian Orang mungkin beranggapan bahwa Bumi yang hangat akan menghasilkan lebih banyak makanan dari sebelumnya, tetapi hal ini sebenarnya tidak sama di beberapa tempat. Bagian Selatan Kanada, sebagai contoh, mungkin akan mendapat keuntungan dari lebih tingginya curah hujan dan lebih lamanya masa tanam. Di lain pihak, lahan pertanian tropis semi kering di beberapa bagian Afrika mungkin tidak dapat tumbuh. Daerah pertanian gurun yang menggunakan air irigasi dari gunung-gunung yang jauh dapat menderita jika snowpack (kumpulan salju) musim dingin, yang berfungsi sebagai reservoir alami, akan mencair sebelum puncak bulan-bulan masa tanam. Tanaman pangan dan hutan dapat mengalami serangan serangga dan penyakit yang lebih hebat. 4. Pengaruh Terhadap Hewan dan Tumbuhan Hewan dan tumbuhan menjadi makhluk hidup yang sulit menghindar dari efek pemanasan ini karena sebagian besar lahan telah dikuasai manusia. Dalam pemanasan global, hewan cenderung untuk bermigrasi ke arah kutub atau ke atas pegunungan. Tumbuhan akan mengubah arah pertumbuhannya, mencari daerah baru karena habitat lamanya menjadi terlalu hangat. Akan tetapi, pembangunan manusia akan menghalangi perpindahan ini. Spesiesspesies yang bermigrasi ke utara atau selatan yang terhalangi oleh kota-kota atau lahan-lahan pertanian mungkin akan mati. Beberapa tipe spesies yang tidak mampu secara cepat berpindah menuju kutub mungkin juga akan musnah. 16 5. Pengaruh Terhadap Kesehatan Manusia Di dunia yang hangat, para ilmuan memprediksi bahwa lebih banyak orang yang terkena penyakit atau meninggal karena stress panas. Wabah penyakit yang biasa ditemukan di daerah tropis, seperti penyakit yang diakibatkan nyamuk dan hewan pembawa penyakit lainnya, akan semakin meluas karena mereka dapat berpindah ke daerah yang sebelumnya terlalu dingin bagi mereka. Saat ini, 45 persen penduduk dunia tinggal di daerah di mana mereka dapat tergigit oleh nyamuk pembawa parasit malaria; persentase itu akan meningkat menjadi 60 persen jika temperature meningkat. Penyakitpenyakit tropis lainnya juga dapat menyebar seperti malaria, seperti demam dengue, demam kuning, dan encephalitis. Para ilmuan juga memprediksi meningkatnya insiden alergi dan penyakit pernafasan karena udara yang lebih hangat akan memperbanyak polutan, spora mold dan serbuk sari. 4.2 Keterkaitan Taman Nasional Bali Barat Terhadap Laju Pemanasan Global Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa pemanasan global dipengaruhi oleh beberapa factor seperti efek rumah kaca, efek umpan balik dan variasi matahari. Namun tidak dapat dipungkiri lagi bahwa keberadaan hutan saat ini memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap laja perubahan suhu ( pemanasan global ). Hutan – hutan yang semestinya merupakan areal yang mampu menjadi kawasan hijau dan dapat menjadi sarana penyerap emisi karbon yang potencial. Pada kenyataannya saat ini hutan tidak dapat mengfungsikan dirinya sebagai habitat makhlik hidup maupun penyerap emisi karbon karena dari hari ke hari hutan – huta ndi dunia berkurang sedikit demi sedikit. Di Indonesia, laju kerusakan hutan mencapai 2,8 juta hektar per tahun dari total luas hutan yaitu seluas 120 juta hektar yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia. Dari total luas hutan tersebut, sekitar 57 sampai 60 juta hektar sudah mengalami degradasi dan kerusakan sehingga sekarang ini Indonesia hanya memiliki hutan yang dalam keadaan baik kira-kira seluas 50% dari total luas yang ada. Kondisi semacam ini apabila tidak disikapi dengan arif dan segera dilakukan upaya-upaya penyelamatan oleh pemerintah dan seluruh warga negara Indonesia 17 maka dalam jangka waktu dua dasawarsa Indonesia akan sudah tidak memiliki hutan lagi (Mangrove Information Center, 2006). Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutan mangrove terluas di dunia mencapai 25% dari total luas hutan mangrove di seluruh dunia (18 juta hektar) yaitu seluas 4.5 juta hektar atau sebanyak 3,8 % dari total luas hutan di Indonesia secara keseluruhan. Sedikitnya luas hutan mangrove ini mengakibatkan perhatian Pemerintah Indonesia terhadap hutan mangrove sangat sedikit juga, dibandingkan dengan hutan darat. Kondisi hutan mangrove juga mengalami kerusakan yang hampir sama dengan keadaan hutan-hutan lainnya di Indonesia (Mangrove Information Center, 2006). Penebangan hutan baik hutan darat maupun hutan mangrove secara berlebihan tidak hanya mengakibatkan berkurangnnya daerah resapan air, abrasi, dan bencana alam seperti erosi dan banjir tetapi juga mengakibatkan hilangnya pusat sirkulasi dan pembentukan gas karbon dioksida (CO2) dan oksigen O2 yang diperlukan manusia untuk kelangsungan hidupnya. Semua hutan di dunia tidak dapat menghindarai perusakan manusia yang bertujuan mengeksploitasi kekayaan hutan semata tidak terkecuali hutan – hutan di Indonesia dan Bali. Kita mengetahui bahwa Bali memiliki suatu Taman Nasional yaitu Taman Nasional Bali Barat yang berwujud hutan dengan berbagai tipe vegetasi dan jenis hutan seperti hutan mangrove, hutan hujan, hutan musim, hutan Madang rumput dan hutan savana-lontar dengan lahan seluas kurang lebih 19.000 hektar yang makin hari makin menyempit karena perambahan liar yang dilakukan manusia. 18 Seperti yang kita dapat amati saat ini apabila melakukan perjalanan ke Gilimanuk melalui Taman Nasional Bali Barat maka kita dapat melihat keberadaan huatan yang kini telah berubah menjadi rumah dan ladang yang dimiliki oleh saudara – saudara kita yang merupakan Ex – transmigran Timor – Timur. Mereka tidak hanya membuka areal di pinggir jalan yang terlihat Namur juga melakukan pembabatan pada areal – areal yang dilarang. Selain itu juga mereka melakukan penebangan liar dengan alasan untuk memperoleh kayu bakar. Selain itu Taman Nasional Bali Barat juga memiliki kendala – kendala lain seperti : 1. Berdasarkan klasifikasi Schmidth dan Ferguson, Taman Nasional Bali Barat mempunyai tipe D dan E dengan curah hujan yang rendah menyebabkan kawasan ini rawan terjadi kebakaran terutama pada musim kemarau. Hal inilah yang sangat kaitannya dengan seiring bertambahnya suhu muka bumi yang akan mengakibatkan Hutan Taman Nasional Bali Barat menjadi sangat rawan kebakaran. Hal ini dapat mengganggu ekosisitem yang ada. Selain itu gas – gas hasil terbakarnya hutan akan dapat memicu peningkatan suhu yang lebih tinggi ( timbal balik hutan terhadap global warming ). 2. Aksesibilitas yang begitu terbuka baik dari darat maupun lewat perairan, menyulitkan penjagaan untuk mencegah kegiatan perusakan sumber daya alam hayati yang merupakan bagian dari potensi kawasan. Hal ini berdampak pada mudahnya para penebang dan perambah hutan untuk masuk ke kawasan dan melakukan hal – hal yang ilegal. 3. Sumberdaya manusia yang terlibat dalam pengelolaan Taman Nasional Bali Barat masih perlu ditingkatkan untuk mampu disatukan visi dan misinya di dalam mendukung pola pengelolaan TNBB yang pada saat ini mulai merintis pola Co- Management. Juga diperlukan kerjasama yang sinergis antara pengelola kawasan dengan masyarakat yang tingla menempati kawasan Taman Nasional Bali Barat. 4. Pada saat ini pendekatan pengaman kawasan TNBB yang menekankan kepada kegiatan patroli kawasan dan penegakan peraturan serta pendekatan sentralistik dalam pengelolaan konservasi dan belum berbasis 19 masyarakat, menyebabkan pengelolaan kawasan konservasi ini menjadi sangat mahal dari segi finansial dan sosial 5. Terbatasnya dana untuk pengembangan dan pemeliharaan dan pengamanan potensi kawasan Sehingga pihak – pihak yang tidak bertanggung jawab mudamemasuki kawasan dan melakukan tindakan perusakan hutan. 6. Sosial ekonomi masyarakat di beberapa daerah penyangga masih relatif rendah yang ditandai dari tingkat pendidikan serta ketergantungan pada pemanfaatan sumber daya hutan yang ada, menyebabkan masih rendahnya kesadaran masyarakat terhadap nilai-nilai konservasi. Hal ini yang memicu masyarakat untuk melakukan perambahan hutan dan melakukan kegiatan – kegiatan ilegal yang dapat berakibat terhadap terganggunya ekosistem hutan di kawasan Taman Nasional Bali Barat. Kendala – kendala ini cukup sulit untuk dihadapi sehingga hutan di Taman Nasional Bali Barat dari tahun ke tahun mengalami penyusutan luas kawasan. Penyusutan hutan ini akan mengurangi kemampuan hutan untuk menyerap emisi karbon sehingga penyusutan hutan di kawasan Taman Nasional Bali Barat akan berpengaruh terhadap laju peningkatan suhu global ( terjadi kenaikan suhu bumi ). Tidak hanya itu tetapi kenaikan suhu atau pemanasan global akan memberikan suatu timbal balik yang dapat berdampak buruk bagi kawasan TNBB seperti kemungkinan terjadinya kebakaran hutan akan meningkat, terjadi kepunahan beberapa spesies hewan dan tumbuhan, dan berpengaruh secara umum terhadap ketinggian permukaan air laut di Bali. Pada intinya Taman Nasional Bali Barat tidak hanya akan menerima dampak dari pemanasan global melainkan akan menjadi pendonor meningkatnya suhu bumi apabila kondisi hutan di kawasan taman nasional kian memburuk. 4.3 Upaya – Upaya yang Dapat Dilakukan 1. Menghilangkan Emisi Karbon dengan Reboisasi dan Alternatif Lain. Cara yang paling mudah untuk menghilangkan karbondioksida di udara adalah dengan memelihara pepohonan dan menanam pohon lebih banyak lagi. Pohon, terutama yang muda dan cepat pertumbuhannya, 20 menyerap karbondioksida yang sangat banyak, memecahnya melalui fotosintesis, dan menyimpan karbon dalam kayunya. Di seluruh dunia, tingkat perambahan hutan telah mencapai level yang mengkhawatirkan. Di banyak area, tanaman yang tumbuh kembali sedikit sekali karena tanah kehilangan kesuburannya ketika diubah untuk kegunaan yang lain, seperti untuk lahan pertanian atau pembangunan rumah tinggal. Langkah untuk mengatasi hal ini adalah dengan penghutanan kembali yang berperan dalam mengurangi semakin bertambahnya gas rumah kaca. Gas karbondioksida juga dapat dihilangkan secara langsung. Caranya dengan menyuntikkan (menginjeksikan) gas tersebut ke sumursumur minyak untuk mendorong agar minyak bumi keluar ke permukaan (lihat Enhanced Oil Recovery). Injeksi juga bisa dilakukan untuk mengisolasi gas ini di bawah tanah seperti dalam sumur minyak, lapisan batubara atau aquifer. Hal ini telah dilakukan di salah satu anjungan pengeboran lepas pantai Norwegia, di mana karbondioksida yang terbawa ke permukaan bersama gas alam ditangkap dan diinjeksikan kembali ke aquifer sehingga tidak dapat kembali ke permukaan. Salah satu sumber penyumbang karbondioksida adalah pembakaran bahan bakar fosil. Penggunaan bahan bakar fosil mulai meningkat pesat sejak revolusi industri pada abad ke-18. Pada saat itu, batubara menjadi sumber energi dominan untuk kemudian digantikan oleh minyak bumi pada pertengahan abad ke-19. Pada abad ke-20, energi gas mulai biasa digunakan di dunia sebagai sumber energi. Perubahan tren penggunaan bahan bakar fosil ini sebenarnya secara tidak langsung telah mengurangi jumlah karbondioksida yang dilepas ke udara, karena gas melepaskan karbondioksida lebih sedikit bila dibandingkan dengan minyak apalagi bila dibandingkan dengan batubara. Walaupun demikian, penggunaan energi terbaharui dan energi nuklir lebih mengurangi pelepasan karbondioksida ke udara. Energi nuklir, walaupun kontroversial karena alasan keselamatan dan limbahnya yang berbahaya, bahkan tidak melepas karbondioksida sama sekali. 21 2. Adanya Kerjasama dan Kesepakatan Internasional Kerjasama internasional diperlukan untuk mensukseskan pengurangan gas-gas rumah kaca. Di tahun 1992, pada Earth Summit di Rio de Janeiro, Brazil, 150 negara berikrar untuk menghadapi masalah gas rumah kaca dan setuju untuk menterjemahkan maksud ini dalam suatu perjanjian yang mengikat. Pada tahun 1997 di Jepang, 160 negara merumuskan persetujuan yang lebih kuat yang dikenal dengan Protokol Kyoto. Perjanjian ini, yang belum diimplementasikan, menyerukan kepada 38 negara-negara industri yang memegang persentase paling besar dalam melepaskan gas-gas rumah kaca untuk memotong emisi mereka ke tingkat 5 persen di bawah emisi tahun 1990. Pengurangan ini harus dapat dicapai paling lambat tahun 2012. Pada mulanya, Amerika Serikat mengajukan diri untuk melakukan pemotongan yang lebih ambisius, menjanjikan pengurangan emisi hingga 7 persen di bawah tingkat 1990; Uni Eropa, yang menginginkan perjanjian yang lebih keras, berkomitmen 8 persen; dan Jepang 6 persen. Sisa 122 negara lainnya, sebagian besar negara berkembang, tidak diminta untuk berkomitmen dalam pengurangan emisi gas. Akan tetapi, pada tahun 2001, Presiden Amerika Serikat yang baru terpilih, George W. Bush mengumumkan bahwa perjanjian untuk pengurangan karbondioksida tersebut menelan biaya yang sangat besar. Ia juga menyangkal dengan menyatakan bahwa negara-negara berkembang tidak dibebani dengan persyaratan pengurangan karbondioksida ini. Kyoto Protokol tidak berpengaruh apa-apa bila negara-negara industri yang bertanggung jawab menyumbang 55 persen dari emisi gas rumah kaca pada tahun 1990 tidak meratifikasinya. Persyaratan itu berhasil dipenuhi ketika tahun 2004, Presiden Rusia Vladimir Putin meratifikasi perjanjian ini, memberikan jalan untuk berlakunya perjanjian ini mulai 16 Februari 2005. 22 Banyak orang mengkritik Protokol Kyoto terlalu lemah. Bahkan jika perjanjian ini dilaksanakan segera, ia hanya akan sedikit mengurangi bertambahnya konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfer. Suatu tindakan yang keras akan diperlukan nanti, terutama karena negara-negara berkembang yang dikecualikan dari perjanjian ini akan menghasilkan separuh dari emisi gas rumah kaca pada 2035. Penentang protokol ini memiliki posisi yang sangat kuat. Penolakan terhadap perjanjian ini di Amerika Serikat terutama dikemukakan oleh industri minyak, industri batubara dan perusahaan-perusahaan lainnya yang produksinya tergantung pada bahan bakar fosil. Para penentang ini mengklaim bahwa biaya ekonomi yang diperlukan untuk melaksanakan Protokol Kyoto dapat menjapai 300 milyar dollar AS, terutama disebabkan oleh biaya energi. Sebaliknya pendukung Protokol Kyoto percaya bahwa biaya yang diperlukan hanya sebesar 88 milyar dollar AS dan dapat lebih kurang lagi serta dikembalikan dalam bentuk penghematan uang setelah mengubah ke peralatan, kendaraan, dan proses industri yang lebih effisien. Pada suatu negara dengan kebijakan lingkungan yang ketat, ekonominya dapat terus tumbuh walaupun berbagai macam polusi telah dikurangi. Akan tetapi membatasi emisi karbondioksida terbukti sulit dilakukan. Sebagai contoh, Belanda, negara industrialis besar yang juga pelopor lingkungan, telah berhasil mengatasi berbagai macam polusi tetapi gagal untuk memenuhi targetnya dalam mengurangi produksi karbondioksida. Setelah tahun 1997, para perwakilan dari penandatangan Protokol Kyoto bertemu secara reguler untuk menegoisasikan isu-isu yang belum terselesaikan seperti peraturan, metode dan pinalti yang wajib diterapkan pada setiap negara untuk memperlambat emisi gas rumah kaca. Para negoisator merancang sistem di mana suatu negara yang memiliki program pembersihan yang sukses dapat mengambil keuntungan dengan menjual hak polusi yang tidak digunakan ke negara lain. Sistem ini disebut perdagangan karbon. Sebagai contoh, negara yang sulit meningkatkan lagi hasilnya, seperti Belanda, dapat membeli kredit polusi di pasar, yang dapat 23 diperoleh dengan biaya yang lebih rendah. Rusia, merupakan negara yang memperoleh keuntungan bila sistem ini diterapkan. Pada tahun 1990, ekonomi Rusia sangat payah dan emisi gas rumah kacanya sangat tinggi. Karena kemudian Rusia berhasil memotong emisinya lebih dari 5 persen di bawah tingkat 1990, ia berada dalam posisi untuk menjual kredit emisi ke negara-negara industri lainnya, terutama mereka yang ada di Uni Eropa. Saat ini di Bali tengah berlangsung Konfrensi Tingkat Tinggi PBB yang membahas mengenai Pemanasan Global dan perubahan iklim. Konfrensi ini diharapkan mampu memberikan suatu hal yang positif dan dapat menjadi jalan keluar untuk maslah pemanasan global ini. 3. Kebijakan – Kebijakan Pemerintah Menyikapi fenomena tersebut, Pemerintah Indonesia melalui Departemen Kehutanan mengeluarkan beberapa kebijakan (policy) yang diharapkan mampu menyelamatkan kekayaan alam berupa hutan tropis yang tersebar di seluruh penjuru nusantara. Salah satu kebijakannya adalah tentang upaya penyelamatan hutan mangrove yang selanjutnya pada tahun 1992 dibentuk Pusat Informasi Mangrove (Mangrove Information Center). Taman Nasional Bali Barat memiliki kawasan hutan mangrove yang cukup luas dimana hutan mangrove ini dapt dimanfaatkan untuk mengurangi dampak pemanasan global bagi Bali. Mangrove Information Center (MIC) merupakan proyek kerjasama antara Pemerintah Indonesia melalui Proyek Pengembangan Pengelolaan Hutan Mangrove Lestari dan Pemerintah Jepang melalui Lembaga Kerjasama Internasional Pemerintah Jepang melalui Japan International Corporation Agency (JICA). Proyek kerjasama ini terdiri dari beberapa tahapan. Tahap pertama dimulai pada tahun 1992 dan berakhir tahun 1997. Pada tahapan ini, Pemerintah Jepang mengirim team untuk melakukan identifikasi hal-hal apa saja yang dibutuhkan dan dilakukan. Dari hasil identifikasi ini, dibentukalan team bersama antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah 24 Jepang dan selanjutnya sepakat untuk membangun Proyek Pengelolaan Hutan Mangrove Lestari. Proyek ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengekplorasi teknik-teknik reboisasi yang bisa dilakukan untuk pemulihan (recovery) kondisi hutan mangrove yang sudah mengalami kerusakan. Teknik yang ditemukan adalah tentang bagaimana cara persemaian bibit dan penanaman mangrove. Selain itu, diterbitkan juga buku panduan penanaman mangrove. Hasil yang dicapai pada tahap ini adalah penentuan model pengelolaan hutan mangrove lestari, penerbitan beberapa buku seperti; buku panduan (guide book) persemaian bibit dan penanaman mangrove, buku-buku yang berkaitan dengan mangrove, dan reboisasi atau penanaman mangrove seluas 253 hektar di kawasan Taman Hutan Raya (TAHURA). Usaha reboisasi hutan mangrove yang telah dilakukan oleh The Mangrove Information Center memiliki arti yang sangat penting bagi masyarakat di Kawasan Taman Nasional Bali Barat karena persediaan untuk konsumsi oksigen sudah tersedia di tempat ini dan meningkatkan rasa aman dari bencana tsunami bagi masyarakat yang berdekatan dengan hutan mangrove tersebut. Selain itu, kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap pentingnya pelestarian hutan mangrove semakin meningkat. Ini dibuktikan dengan semakin banyaknya sekolah-sekolah (dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi) dan industri pariwisata dengan secara sukarela untuk ikut serta menanam pohon mangrove di beberapa tempat seperti di kawasan Taman Nasional Bali Barat, kawasan konservasi The Mangrove Information Center dan Pulau Serangan yang bibit-bibit pohon mangrovenya disediakan oleh pihak The Mangrove Information Center. Usaha lain yang dilakukan oleh The Mangrove Information Center untuk meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarakat tentang pentingnya pelestarian lingkungan adalah dengan membuka kegiatan wisata alam (ecotourism) sehingga masyarakat dapat melihat, menikmati dan berinteraksi dengan lingkungan secara langsung di kawasan hutan mangrove dan Taman Nasional Bali Barat tersebut. 25 BAB V PENUTUP 5.1 Simpulan Pemanasan global atau global warming adalah kejadian meningkatnya temperatur rata-rata atmosfer, laut dan daratan bumi. Temperatur rata-rata global pada permukaan Bumi telah meningkat kurang lebih 0,74 sampai 0,18 °C ( ± 1,33 sampai 0,32 °F) selama seratus tahun terakhir. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyimpulkan bahwa, "sebagian besar peningkatan temperatur rata-rata global sejak pertengahan abad ke-20 kemungkinan besar disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca akibat aktivitas manusia" melalui efek rumah kaca. Global warming sangat berpengaruh kepada beberapa hal, antara lain : 1. Terjadinya perubahan iklim Peningkatan suhu di bumi dapat mempengaruhi suhu dimana iklim gurun dapat menghangat dan suhu daerah tropis dapat seperti di daerah gurun. 2. Meningkatnya permukaan air laut. Ketika atmosfer menghangat, lapisan permukaan lautan juga akan menghangat, sehingga volumenya akan membesar dan menaikkan tinggi permukaan laut. Pemanasan juga akan mencairkan banyak es di kutub, terutama sekitar Greenland, yang lebih memperbanyak volume air di laut. Tinggi muka laut di seluruh dunia telah meningkat 10 - 25 cm (4 - 10 inchi). 3. Mempengaruhi pertanian, kesehatan manusia dan kehidupan makhluk lain. Makhluk di bumi akan dipaksa untuk beradaptasi lagi terhadap iklim yang berubah di lingkungannya. Hal ini dapat berakibat kepada punahnya beberapa makhluk. Penyebab meningkatnya suhu di permukaan bumi ada beberapa faktor anatar lain adalah efek rumah kaca, efek umpan balik dan variasi matahari. Selain itu diperparah lagi dengan keadaan hutan – hutan dunia yang mulai hancur karena penjarahan. Tidak hanya hutan – hutan belantara, bahkan hutan lindung dan 26 kawasan konservasi seperti Taman Nasional Bali Barat juga tidak luput dari kegiatan perusakan lingkungan. Kita bersama – sama diharuskan melakukan kegiatan penyelamatan lingkungan seperti melakukan reboisai pada lahan – lahan gundul, melakukan proteksi terhadap hutan secara maksimal dan menggunakan bahan bakar hemat energi. 5.2 Saran Adapun saran – saran yang dapat penulis ajukan adalah sebagai berikut : 1. Melakukan reboisasi pada lahan – lahan gandul dan pekarangan rumah. 2. Menjaga kelestarian hutan – hutan lindung dan taman nasional. 3. Bersama – sama memproteksi keberadaan hutan dari pembalakan liar. 4. Menggunakan bahan bakar hemat energi. 5. Membatasi kegiatan yang menghasilkan emisi karbon secara besara – basaran melalui kesepakatan internacional ( Protokol Kyoto ). 27