BAB III TANGGUNG JAWAB MORAL PELESTARIAN LINGKUNGAN Masalah pemeliharaan atau pelestarian lingkungan hidup bukanlah hanya sekedar masalah sosial, seperti masalah ekonomi, masalah politik, masalah estetika, dan lain sebagainya. Jauh lebih dari itu, masalah lingkungan hidup merupakan masalah moral, sehingga menuntut suatu pertanggungjawaban moral. Kalau disebut sebagai masalah moral berarti mengandung suatu kewajiban dasar dan mengikat bagi manusia, untuk memperlakukan alam secara baik dan penuh tanggung jawag. Namun fakta menunjukkan bahwa lingkungan, yang merupakan sumber kehidupan bagi manusia, sudah diambang kepunahan. Kepunahan alam terjadi karena ulah manusia sendiri, yang dengan rakusnya melakukan tindakan eksploitasi tak terkendali terhadap alam. Alam telah diperlakukan secara sewenang-wenang demi tujuan pribadi atau kelompok, yang umumnya berjangka pendek saja, yaitu tujuan ekonomis semata. Kerusakan lingkungan hidup telah membawa banyak bencana bagi manusia diberbagai belahan dunia, dan hal itu akan berlangsung terus manakala manusia tidak segera merubah sikapnya terhadap alam. Maka untuk itu demi kelestarian alam manusia harus bisa menumbuhkan perasaan mendalam bahwa melukai alam bagaikan melukai diri kita sendiri. A. Alam diambang kepunahan Dari berbagai data yang ada dapat terlihat bahwa alam memang sedang menuju pada tahap-tahap yang semakin kritis dalam proses kepunahan. Ada banyak masalah serius yang menunjukkan dimensi global pencemaran lingkungan hidup, beberapa diantaranya dapat disebutkan dibawah ini. 1. Akumulasi bahan beracun Industri kimia telah membuang limbahnya kedalam sungai atau laut. Hal itu telah membawa akibat antara lain, ikan sudah semakin tidak layak untuk dikonsumsi karena kadar merkuri atau bahan kimia yang dibuang telah merembes kedalamnya. Pestisida yang digunakan untuk meningkatkan produksi pangan, telah masuk dalam rantai makanan manusia sampai ke air susu ibu(ASI) yang diminum oleh bayi. Beberapa herbisida seperti Silver, diketahui mengandung dioksin, yang merupakan racun kuat dan dapat mengakibatkan kanker. Fosfat dari deterjen cuci membuat alga dalam air bertambah banyak dan oksigen berkurang, sehingga memusnahkan bentuk kehidupan didalam air. Jenis plastik polstyrene, sulit hancur secara alami, sehingga akan membebani lingkungan. Adanya berita-berita tentang negara-negara industri maju yang mengekspor limbahnya yang berupa bahan beracun berbahaya ke negara-negara miskin, dengan imbalan pembayaran yang menggiurkan bagi negara-negara miskin. Risiko besar untuk lingkungan terjadi oleh penggunaan tenaga nuklir, yang tetap terbuka kemungkinan untuk terjadinya kecelakaan, dan limbah nuklir seperti plutonium yang mengandung radioaktif selama ribuan tahun dan sangat membahayakan kesehatan manusia. 2. Efek rumah kaca Energi yang menerangi Bumi datang dari Matahari. Sebagian besar energi yang membanjiri planet kita ini adalah radiasi gelombang pendek, termasuk cahaya tampak. Ketika energi ini mengenai permukaan Bumi, ia berubah dari cahaya menjadi panas dan menghangatkan Bumi. Permukaan Bumi, akan memantulkan kembali sebagian dari panas ini sebagai radiasi infra merah gelombang panjang ke angkasa luar; walaupun sebagian tetap terperangkap di atmosfer Bumi. Gas-gas tertentu di atmosfer termasuk uap air, karbondioksida, dan metana, menjadi perangkap radiasi ini. Gas-gas ini menyerap dan memantulkan kembali radiasi gelombang yang dipancarkan Bumi dan akibatnya panas tersebut akan tersimpan di permukaan Bumi. Gas-gas tersebut berfungsi sebagaimana kaca dalam rumah kaca sehingga gas-gas ini dikenal sebagai gas rumah kaca. Dengan semakin meningkatnya konsentrasi gas-gas ini di atmosfer, semakin banyak panas yang terperangkap di bawahnya. Dampak pemanasan global Para ilmuan menggunakan model komputer dari temperatur, pola presipitasi, dan sirkulasi atmosfer untuk mempelajari pemanasan global. Berdasarkan model tersebut, para ilmuan telah membuat beberapa prakiraan mengenai dampak pemanasan global terhadap cuaca, tinggi permukaan air laut, pantai, pertanian, kehidupan hewan liar dan kesehatan manusia. Cuaca Para ilmuan memperkirakan bahwa selama pemanasan global, daerah bagian Utara dari belahan Bumi Utara (Northern Hemisphere) akan memanas lebih dari daerah-daerah lain di Bumi. Akibatnya, gunung-gunung es akan mencair dan daratan akan mengecil. Akan lebih sedikit es yang terapung di perairan Utara tersebut. Daerah-daerah yang sebelumnya mengalami salju ringan, mungkin tidak akan mengalaminya lagi. Pada pegunungan di daerah subtropis, bagian yang ditutupi salju akan semakin sedikit serta akan lebih cepat mencair. Musim tanam akan lebih panjang di beberapa area. Temperatur pada musim dingin dan malam hari akan cenderung untuk meningkat.Daerah hangat akan menjadi lebih lembab karena lebih banyak air yang menguap dari lautan. Para ilmuan belum begitu yakin apakah kelembaban tersebut malah akan meningkatkan atau menurunkan pemanasan yang lebih jauh lagi. Hal ini disebabkan karena uap air merupakan gas rumah kaca, sehingga keberadaannya akan meningkatkan efek insulasi pada atmosfer. Akan tetapi, uap air yang lebih banyak juga akan membentuk awan yang lebih banyak, sehingga akan memantulkan cahaya Matahari kembali ke angkasa luar, di mana hal ini akan menurunkan proses pemanasan (lihat siklus air). Kelembaban yang tinggi akan meningkatkan curah hujan, secara rata-rata, sekitar 1 persen untuk setiap derajat Fahrenheit pemanasan. (Curah hujan di seluruh dunia telah meningkat sebesar 1 persen dalam seratus tahun terakhir ini). Badai akan menjadi lebih sering. Selain itu, air akan lebih cepat menguap dari tanah. Akibatnya beberapa daerah akan menjadi lebih kering dari sebelumnya. Angin akan bertiup lebih kencang dan mungkin dengan pola yang berbeda. Topan badai (hurricane) yang memperoleh kekuatannya dari penguapan air, akan menjadi lebih besar. Berlawanan dengan pemanasan yang terjadi, beberapa periode yang sangat dingin mungkin akan terjadi. Pola cuaca menjadi tidak terprediksi dan lebih ekstrim. Tinggi muka laut Perubahan tinggi rata-rata muka laut diukur dari daerah dengan lingkungan yang stabil secara geologi. Ketika atmosfer menghangat, lapisan permukaan lautan juga akan menghangat, sehingga volumenya akan membesar dan menaikkan tinggi permukaan laut. Pemanasan juga akan mencairkan banyak es di kutub, terutama sekitar Greenland, yang lebih memperbanyak volume air di laut. Tinggi muka laut di seluruh dunia telah meningkat 10 - 25 cm (4 - 10 inchi) selama abad ke-20, dan para ilmuan IPCC memprediksi peningkatan lebih lanjut 9 - 88 cm (4 - 35 inchi) pada abad ke-21. Perubahan tinggi muka laut akan sangat mempengaruhi kehidupan di daerah pantai. Kenaikan 100 cm (40 inchi) akan menenggelamkan 6 persen daerah Belanda, 17,5 persen daerah Bangladesh, dan banyak pulau-pulau. Erosi dari tebing, pantai, dan bukit pasir akan meningkat. Ketika tinggi lautan mencapai muara sungai, banjir akibat air pasang akan meningkat di daratan. Negara-negara kaya akan menghabiskan dana yang sangat besar untuk melindungi daerah pantainya, sedangkan negara-negara miskin mungkin hanya dapat melakukan evakuasi dari daerah pantai. Bahkan sedikit kenaikan tinggi muka laut akan sangat mempengaruhi ekosistem pantai. Kenaikan 50 cm (20 inchi) akan menenggelamkan separuh dari rawa-rawa pantai di Amerika Serikat. Rawa-rawa baru juga akan terbentuk, tetapi tidak di area perkotaan dan daerah yang sudah dibangun. Kenaikan muka laut ini akan menutupi sebagian besar dari Florida Everglades. Pertanian Orang mungkin beranggapan bahwa Bumi yang hangat akan menghasilkan lebih banyak makanan dari sebelumnya, tetapi hal ini sebenarnya tidak sama di beberapa tempat. Bagian Selatan Kanada, sebagai contoh, mungkin akan mendapat keuntungan dari lebih tingginya curah hujan dan lebih lamanya masa tanam. Di lain pihak, lahan pertanian tropis semi kering di beberapa bagian Afrika mungkin tidak dapat tumbuh. Daerah pertanian gurun yang menggunakan air irigasi dari gunung-gunung yang jauh dapat menderita jika snowpack (kumpulan salju) musim dingin, yang berfungsi sebagai reservoir alami, akan mencair sebelum puncak bulan-bulan masa tanam. Tanaman pangan dan hutan dapat mengalami serangan serangga dan penyakit yang lebih hebat. Hewan dan tumbuhan Hewan dan tumbuhan menjadi makhluk hidup yang sulit menghindar dari efek pemanasan ini karena sebagian besar lahan telah dikuasai manusia. Dalam pemanasan global, hewan cenderung untuk bermigrasi ke arah kutub atau ke atas pegunungan. Tumbuhan akan mengubah arah pertumbuhannya, mencari daerah baru karena habitat lamanya menjadi terlalu hangat. Akan tetapi, pembangunan manusia akan menghalangi perpindahan ini. Spesies-spesies yang bermigrasi ke utara atau selatan yang terhalangi oleh kota-kota atau lahan-lahan pertanian mungkin akan mati. Beberapa tipe spesies yang tidak mampu secara cepat berpindah menuju kutub mungkin juga akan musnah. Kesehatan manusia Di dunia yang hangat, para ilmuan memprediksi bahwa lebih banyak orang yang terkena penyakit atau meninggal karena stress panas. Wabah penyakit yang biasa ditemukan di daerah tropis, seperti penyakit yang diakibatkan nyamuk dan hewan pembawa penyakit lainnya, akan semakin meluas karena mereka dapat berpindah ke daerah yang sebelumnya terlalu dingin bagi mereka. Saat ini, 45 persen penduduk dunia tinggal di daerah di mana mereka dapat tergigit oleh nyamuk pembawa parasit malaria; persentase itu akan meningkat menjadi 60 persen jika temperature meningkat. Penyakit-penyakit tropis lainnya juga dapat menyebar seperti malaria, seperti demam dengue, demam kuning, dan encephalitis. Para ilmuan juga memprediksi meningkatnya insiden alergi dan penyakit pernafasan karena udara yang lebih hangat akan memperbanyak polutan, spora mold dan serbuk sari. Perdebatan tentang pemanasan global Tidak semua ilmuan setuju tentang keadaan dan akibat dari pemanasan global. Beberapa pengamat masih mempertanyakan apakah temperatur benar-benar meningkat. Yang lainnya mengakui perubahan yang telah terjadi tetapi tetap membantah bahwa masih terlalu dini untuk membuat prediksi tentang keadaan di masa depan. Kritikan seperti ini juga dapat membantah bukti-bukti yang menunjukkan kontribusi manusia terhadap pemanasan global dengan berargumen bahwa siklus alami dapat juga meningkatkan temperatur. Mereka juga menunjukkan fakta-fakta bahwa pemanasan berkelanjutan dapat menguntungkan di beberapa daerah. Para ilmuan yang mempertanyakan pemanasan global cenderung menunjukkan tiga perbedaan yang masih dipertanyakan antara prediksi model pemanasan global dengan perilaku sebenarnya yang terjadi pada iklim. Pertama, pemanasan cenderung berhenti selama tiga dekade pada pertengahan abad ke-20; bahkan ada masa pendinginan sebelum naik kembali pada tahun 1970-an. Kedua, jumlah total pemanasan selama abad ke-20 hanya separuh dari yang diprediksi oleh model. Ketiga, troposphere, lapisan atmosfer terendah, tidak memanas secepat prediksi model. Akan tetapi, pendukung adanya pemanasan global yakin dapat menjawab dua dari tiga pertanyaan tersebut. Kurangnya pemanasan pada pertengahan abad disebabkan oleh besarnya polusi udara yang menyebarkan partikulat-partikulat, terutama sulfat, ke atmosfer. Partikulat ini, juga dikenal sebagai aerosol, memantulkan sebagian sinar Matahari kembali ke angkasa luar. Pemanasan berkelanjutan akhirnya mengatasi efek ini, sebagian lagi karena adanya kontrol terhadap polusi yang menyebabkan udara menjadi lebih bersih. Keadaan pemanasan global sejak 1900 yang ternyata tidak seperti yang diprediksi disebabkan penyerapan panas secara besar oleh lautan. Para ilmuan telah lama memprediksi hal ini tetapi tidak memiliki cukup data untuk membuktikannya. Pada tahun 2000, U.S. National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) memberikan hasil analisa baru tentang temperatur air yang diukur oleh para pengamat di seluruh dunia selama 50 tahun terakhir. Hasil pengukuran tersebut memperlihatkan adanya kecenderungan pemanasan: temperatur laut dunia pada tahun 1998 lebih tinggi 0,2 derajat Celsius (0,3 derajat Fahrenheit) daripada temperatur rata-rata 50 tahun terakhir, ada sedikit perubahan tetapi cukup berarti. Pertanyaan ketiga masih membingungkan. Satelit mendeteksi lebih sedikit pemanasan di troposphere dibandingkan prediksi model. Menurut beberapa kritikus, pembacaan atmosfer tersebut benar, sedangkan pengukuran atmosfer dari permukaan Bumi tidak dapat dipercaya. Pada bulan Januari 2000, sebuah panel yang ditunjuk oleh National Academy of Sciences untuk membahas masalah ini mengakui bahwa pemanasan permukaan Bumi tidak dapat diragukan lagi. Akan tetapi, pengukuran troposphere yang lebih rendah dari prediksi model tidak dapat dijelaskan secara jelas. Pengendalian pemanasan global Konsumsi total bahan bakar fosil di dunia meningkat sebesar 1 persen per-tahun. Langkah-langkah yang dilakukan atau yang sedang diskusikan saat ini tidak ada yang dapat mencegah pemanasan global di masa depan. Tantangan yang ada saat ini adalah mengatasi efek yang timbul sambil melakukan langkah-langkah untuk mencegah semakin berubahnya iklim di masa depan. Kerusakan yang parah dapat diatasi dengan berbagai cara. Daerah pantai dapat dilindungi dengan dinding dan penghalang untuk mencegah masuknya air laut. Cara lainnya, pemerintah dapat membantu populasi di pantai untuk pindah ke daerah yang lebih tinggi. Beberapa negara, seperti Amerika Serikat, dapat menyelamatkan tumbuhan dan hewan dengan tetap menjaga koridor (jalur) habitatnya, mengosongkan tanah yang belum dibangun dari selatan ke utara. Spesies-spesies dapat secara perlahan-lahan berpindah sepanjang koridor ini untuk menuju ke habitat yang lebih dingin. Ada dua pendekatan utama untuk memperlambat semakin bertambahnya gas rumah kaca. Pertama, mencegah karbon dioksida dilepas ke atmosfer dengan menyimpan gas tersebut atau komponen karbon-nya di tempat lain. Cara ini disebut carbon sequestration (menghilangkan karbon). Kedua, mengurangi produksi gas rumah kaca. Menghilangkan karbon Cara yang paling mudah untuk menghilangkan karbondioksida di udara adalah dengan memelihara pepohonan dan menanam pohon lebih banyak lagi. Pohon, terutama yang muda dan cepat pertumbuhannya, menyerap karbondioksida yang sangat banyak, memecahnya melalui fotosintesis, dan menyimpan karbon dalam kayunya. Di seluruh dunia, tingkat perambahan hutan telah mencapai level yang mengkhawatirkan. Di banyak area, tanaman yang tumbuh kembali sedikit sekali karena tanah kehilangan kesuburannya ketika diubah untuk kegunaan yang lain, seperti untuk lahan pertanian atau pembangunan rumah tinggal. Langkah untuk mengatasi hal ini adalah dengan penghutanan kembali yang berperan dalam mengurangi semakin bertambahnya gas rumah kaca. Gas karbondioksida juga dapat dihilangkan secara langsung. Caranya dengan menyuntikkan (menginjeksikan) gas tersebut ke sumur-sumur minyak untuk mendorong agar minyak bumi keluar ke permukaan (lihat Enhanced Oil Recovery). Injeksi juga bisa dilakukan untuk mengisolasi gas ini di bawah tanah seperti dalam sumur minyak, lapisan batubara atau aquifer. Hal ini telah dilakukan di salah satu anjungan pengeboran lepas pantai Norwegia, di mana karbondioksida yang terbawa ke permukaan bersama gas alam ditangkap dan diinjeksikan kembali ke aquifer sehingga tidak dapat kembali ke permukaan. Salah satu sumber penyumbang karbondioksida adalah pembakaran bahan bakar fosil. Penggunaan bahan bakar fosil mulai meningkat pesat sejak revolusi industri pada abad ke-18. Pada saat itu, batubara menjadi sumber energi dominan untuk kemudian digantikan oleh minyak bumi pada pertengahan abad ke-19. Pada abad ke-20, energi gas mulai biasa digunakan di dunia sebagai sumber energi. Perubahan tren penggunaan bahan bakar fosil ini sebenarnya secara tidak langsung telah mengurangi jumlah karbondioksida yang dilepas ke udara, karena gas melepaskan karbondioksida lebih sedikit bila dibandingkan dengan minyak apalagi bila dibandingkan dengan batubara. Walaupun demikian, penggunaan energi terbaharui dan energi nuklir lebih mengurangi pelepasan karbondioksida ke udara. Energi nuklir, walaupun kontroversial karena alasan keselamatan dan limbahnya yang berbahaya, bahkan tidak melepas karbondioksida sama sekali. Persetujuan internasional Protokol Kyoto Kerjasama internasional diperlukan untuk mensukseskan pengurangan gas-gas rumah kaca. Di tahun 1992, pada Earth Summit di Rio de Janeiro, Brazil, 150 negara berikrar untuk menghadapi masalah gas rumah kaca dan setuju untuk menterjemahkan maksud ini dalam suatu perjanjian yang mengikat. Pada tahun 1997 di Jepang, 160 negara merumuskan persetujuan yang lebih kuat yang dikenal dengan Protokol Kyoto. Perjanjian ini, yang belum diimplementasikan, menyerukan kepada 38 negara-negara industri yang memegang persentase paling besar dalam melepaskan gas-gas rumah kaca untuk memotong emisi mereka ke tingkat 5 persen di bawah emisi tahun 1990. Pengurangan ini harus dapat dicapai paling lambat tahun 2012. Pada mulanya, Amerika Serikat mengajukan diri untuk melakukan pemotongan yang lebih ambisius, menjanjikan pengurangan emisi hingga 7 persen di bawah tingkat 1990; Uni Eropa, yang menginginkan perjanjian yang lebih keras, berkomitmen 8 persen; dan Jepang 6 persen. Sisa 122 negara lainnya, sebagian besar negara berkembang, tidak diminta untuk berkomitmen dalam pengurangan emisi gas. Banyak orang mengkritik Protokol Kyoto terlalu lemah. Bahkan jika perjanjian ini dilaksanakan segera, ia hanya akan sedikit mengurangi bertambahnya konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfer. Suatu tindakan yang keras akan diperlukan nanti, terutama karena negara-negara berkembang yang dikecualikan dari perjanjian ini akan menghasilkan separuh dari emisi gas rumah kaca pada 2035. Penentang protokol ini memiliki posisi yang sangat kuat. Penolakan terhadap perjanjian ini di Amerika Serikat terutama dikemukakan oleh industri minyak, industri batubara dan perusahaanperusahaan lainnya yang produksinya tergantung pada bahan bakar fosil. Para penentang ini mengklaim bahwa biaya ekonomi yang diperlukan untuk melaksanakan Protokol Kyoto dapat menjapai 300 milyar dollar AS, terutama disebabkan oleh biaya energi. Sebaliknya pendukung Protokol Kyoto percaya bahwa biaya yang diperlukan hanya sebesar 88 milyar dollar AS dan dapat lebih kurang lagi serta dikembalikan dalam bentuk penghematan uang setelah mengubah ke peralatan, kendaraan, dan proses industri yang lebih effisien. Pada suatu negara dengan kebijakan lingkungan yang ketat, ekonominya dapat terus tumbuh walaupun berbagai macam polusi telah dikurangi. Akan tetapi membatasi emisi karbondioksida terbukti sulit dilakukan. Sebagai contoh, Belanda, negara industrialis besar yang juga pelopor lingkungan, telah berhasil mengatasi berbagai macam polusi tetapi gagal untuk memenuhi targetnya dalam mengurangi produksi karbondioksida. Setelah tahun 1997, para perwakilan dari penandatangan Protokol Kyoto bertemu secara reguler untuk menegoisasikan isu-isu yang belum terselesaikan seperti peraturan, metode dan pinalti yang wajib diterapkan pada setiap negara untuk memperlambat emisi gas rumah kaca. Para negoisator merancang sistem di mana suatu negara yang memiliki program pembersihan yang sukses dapat mengambil keuntungan dengan menjual hak polusi yang tidak digunakan ke negara lain. Sebagai contoh, negara yang sulit meningkatkan lagi hasilnya, seperti Belanda, dapat membeli kredit polusi di pasar, yang dapat diperoleh dengan biaya yang lebih rendah. Rusia, merupakan negara yang memperoleh keuntungan bila sistem ini diterapkan. Pada tahun 1990, ekonomi Rusia sangat payah dan emisi gas rumah kacanya sangat tinggi. Karena kemudian Rusia berhasil memotong emisinya lebih dari 5 persen di bawah tingkat 1990, ia berada dalam posisi untuk menjual kredit emisi ke negara-negara industri lainnya, terutama mereka yang ada di Uni Eropa. Salah satu hal yang sangat mengkhawatirkan sekarang ini adalah naiknya suhu permukaan bumi akibat efek rumah kaca (greenhouse effect). Menurut perkiraan para ahli, setiap tahun dilemparkan lima milyar ton karbondioksida kedalam atmosfer. Seperti halnya kaca di rumah kaca, gas-gas yang disebut gas rumah kaca itu memerangkap gelombang panas, sehingga terjadilah peningkatan suhu secara global. Akibat yang tidak dapat dihindarkan dari pemanasan ini, es dan salju di kutub utara dan selatan mencair, yang menyebabkan permukaan air laut akan naik. Diperkirakan dalam tahun 2100 permukaan air laut akan naik antara 1,4 sampAI 2,2 meter. Dan kalau hal ini berlangsung terus dalam keadaan yang lebih buruk, maka akan terjadi bencana serius bagi umat manusia, seperti: kota-kota atau pemukiman yang dibangun di pinggir laut akan tergenang, seperti Jakarta Utara, dan negara-negara yang terletak di tempat-tempat rendah seperti Negeri Belanda dan Bangladesh, akan hilang dari muka bumi. 3. Perusakan lapisan ozon Bumi dikelilingi oleh lapisan ozon (O3) dalam atmosfir yang konsentrasinya paling besar berada pada ketinggian kira-kira 20-30 kilometer di atas permukaan bumi. Lapisan ozon sangat penting untuk melindungi kehidupan terhadap sinar ultraviolet matahari, dimana 80% penyinaran ultraviolet dari matahari disaring olehnya. Dari hasil pengukuran melalui satelit tampak semakin menipisnya lapisan ozon. Sejak tahun 1970-an terbentuk ”lubang” ozon di atas Antartika (kutub selatan). Tahun 1997 Ilmuwan Selandia Baru melaporkan lubang ozon itu sudah mencapai luasan 25 juta kilometer persegi, 60 persen lebih besar dari hasil pengukuran tahun 1980. Kerusakan lapisan ozon itu diakibatkan oleh beberapa sebab yang berbeda. Tapi menurut para ahli, penyebab paling berpengaruh adalah pelepasan bahan CFC (klorofluorokarbon) ke dalam udara. CFC adalah bahan kimia yang banyak dipakai dalam kaleng penyemprotan aerosol, lemari es, dan alat AC, dan juga dalam ”karet” busa. Kerusakan lapisan ozon mengakibatkan radiasi ultrviolet dari matahari bisa mencapai permukaan bumi, yang akan membawa pengaruh negatif bagi kesehatan manusia dan kehidupan pada umumnya di bumi. Beberapa masalah yang ditimbulkan oleh radiasi itu, antara lain: penyakit kanker kulit, penyakit mata katarak, penurunan sistem kekebalan tubuh, kerusakan bentuk-bentuk hidup dalam laut dan tanaman di darat. 4.Hujan asam Pada kawasan industri padat, seperti Kanada dan bagian utara Amerika Serikat, Jerman, Belanda, Swedia dan Finlandia, sejak beberapa dekade terakhir ini terjadi hujan asam (acid rain). Asam dalam emisi industri bergabung dengan air hujan dan mencemari daerah yang luas, merusak hutan dan pohon-pohon lain, mencemari air danau, merusak gedung-gedung dan sebagainya. Bagi manusia, hujan asam bisa mengakibatkan gangguan saluran pernafasan dan paru-paru. 5.Deforestasi dan penggurunan Penggunaan kayu untuk berbagai keperluan telah mendorong penebangan hutan secara tak terkendali, yang menyebabkan hutan semakin cepat berkurang. Juga untuk membuka lahan pertanian yang baru terjadi pembabatan hutan yang semakin meluas. Ini dilakukan oleh penduduk setempat yang jumlahnya semakin bertambah, maupun oleh perusahaan nasional dan internasional yang ingin membuka lahan baru untuk lahan peternakan atau perkebunan. Penebangan hutan (deforestation) secara besar-besaran mempunyai dampak penting atas lingkungan hidup, karena dengan demikian maka salah satu fungsi hutan, yakni meresap karbondioksida yang disebabkan oleh pembakaran bahan bakar fosil pada industri ataupun kendaraan bermotor, sutu penyebab penting terjadinya efek rumah kaca. Selain itu tingkatan air tanah menurun terus karena berkurangnya hutan yang berkedudukan untuk menjaga kadar air dalam tanah. 6.Punahnya keanekaan hayati. Kekayaan alam ini sebagian besar ditentukan oleh banyaknya spesies yang hidup di dalamnya. Keanekaan hayati (biodiversity) adalah jenis-jenis kehidupan (spesies) yang memiliki makna sangat penting untuk segalam aspek kehidupan manusia, seperti makanan, obat-obatan, dan sebagainya. Swalah satu akibat besar dari kerusakan lingkungan hidup adalah kepunahan spesies yang semakin bertambah setiap waktu. Dan spesies hidup yang punah sekarang akan hilang lenyap dari muka bumi untuk selamanya. Yang memiliki andil besar terhadap kemusnahan spesies hidup ini adalah penggunaan peptisida dan herbisida yang semakin intens. Menurut perkiraan para ahli, kira-kira 7 persen dari jumlah spesies di daerah non tropis kini telah punah dan di daerah tropis 1 persen. Dengan adanya penebangan yang semakin banyak di hutan tropis, maka angka kepunahan ini akan bisa cepat berubah ke arah yang lebih buruk lagi. B. Manusia sebagai Agen Perubahan 1.Manusia mempengaruhi lingkungan Sebenarnya, perubahan-perubahan alami yang merupakan proses dinamis yang dialami bumi dari semula telah terjadi dengan sendirinya. Bumi sejak semula sudah mengenal kenaikan dan penurunan muka air laut yang disebabkan oleh perubahan suhu secara global. Di berbagai tempat juga terjadi erosi, banjir, kekeringan, perubahan total di suatu kawasan, dan sebagainya. Semua peristiwa alami itu terjadi dengan sendirinya, tanpa dirasa sebagai suatu hal yang merugikan. Akan tetapi, dengan kehadiran manusia, berbagai perubahan yang terjadi di bumi tidak lagi hanya berlangsung secara proses alami. Manusia telah turut memperkaya bahkan telah berperan sebagai agen perubahan, yang menyebabkan proses alami di bumi tidak lagi berlangsung sebagaimana adanya. 2.Melestarikan keseimbangan lingkungan Bahwa terjadinya perubahan di lingkungan sebenarnya tidak menjadi masalah, asalkan perubahan yang dilakukan membawa suatu keseibangan baru yang semakin berkualitas. Pembangunan bagaimanapun juga selalu membawa perubahan, termasuk juga menganggu keseimbangan lingkunagan. Maka pembangunan sebenarnya merupakan ”gangguan” pada keseimbangan lingkungan, untuk membawanya pada keseimbangan baru yang semakin berkualitas. Oleh karena itu kita perlu hati-hati dengan kata ”melestarikan lingkungan”. Menurut kamus Poerwadarminta (1976) kata lestari berarti tetap selama-lamanya, kekal, tidak berubah seperti sediakala; melestarikan berarti membiarkan tetap tidak berubah. Dalam usaha pembangunan, kita tidak dapat melestarikan lingkungan dalam pengertian itu. Yang harus kita lestarikan bukanlah lingkungan itu sendiri atau keseimbangan lingkungan agar tetap seperti itu. Yang harus kita lestarikan adalah kemampuan lingkungan untuk mendukung pembangunan dan tingkat hidup yang lebih tinggi. C. Penyebab Terjadinya Kerusakan Alam Kalau diamati lebih dalam, maka dapat disebutkan beberapa hal penting yang dapat dianggap sebagai kondisi pemicu terjadinya berbagai kerusakan lingkungan. 1. Pola pendekatan yang merusak Kehidupan manusia yang mengageni perubahan yang berlangsung di bumi ini sebenarnya tidak harus berwujud pengrusakan bagi lingkungan, melainkan dapat juga berwujud engolahan, yang menjadikan bumi sebagai hunian yang semakin baik dan indah bagi kehidupan. Akan tetapi, manusia tidak secara konsisten memainkan peran seperti itu. Pola pendekatan manusia modern terhadap alam merupakan pendekatan teknokratis (dari kata Yunani tekne = keterampilan dan krattein = menguasai). Pendekatan ini mengedepankan penggunaan teknologi yang semakin canggih untuk menguras isi bumi dan menguasainya. Pendekatan teknokratis berangkat dari sikap yang hanya memandang alam sebagai sekadar sarana untuk memnuhi kebutuhan manusia. Alam dipandang sebagai tumpukan kekayaan dan energi, yang dapat dimanfaatkan oleh manusia seberapa dia sanggup mengalinya. Dengan kemampuan teknologi yang dia rancan semakin canggih, manusia dapat membongkar alam ini untuk mengambil apa saja yang dia perlukan, sedangkan yang tidak dia perlukan dibuang atau dibiarkan begitu saja. 2.Terkait bidang perekonomian modern Berbagai masalah lingkungan yang didorong oleh penguasaan ilmu dan teknologi sangat terkait dengan bidang perekonomian modern yang berpolakan kapitalistik, dengan tujuan utama produksi untuk perolehan laba perusahaan. Hanya perusahaan yang memperoleh laba besar yang dapat bertahan dalam persaingan yang semakin bebas dan ketat. Dalam persaingan demikian biasanya perusahaan meningkatkan labanya dengan cara menekan biaya produksi serendah mungkin. Itu jugalah yang dilakukan oleh pengusaha ketika mengeksploitasi kekayaan alam. Dengan biaya serendah mungkin – yang dicurahkan hanya untuk bisa menggali kekayaan alam – maka usaha perbaikan dan pemulihan kembali keadaan alam, menjadi terabaikan. Yang dilakukan adalah sekedar mengambil apa yang perlu, lalu sesudah itu meninggalkannya begitu saja. Kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh banjir, misalnya, sering kali disebabkan oleh penebangan hutan seperti di lereng-lereng gunung, untuk dimanfaatkan sebagai lahan pertanian atau pemukiman baru. Akibat penebangan yang dilakukan secara liar, air tidak bisa meresap ke dalam tanah, yang berubah menjadi banjir. Begitu juga dengan polusi udara yang diakibatkan oleh asap pdari berbagai pabrik raksasa dan berbagai substansi kimiawi beracun, dan segala bentuk sampah lain yang dibuang begitu saja atau dialirkan ke dalam sungai, dan dihembuskan melalui cerobongcerobong pembuangan ke dalam atmosfer. Demi biaya serendah-rendahnya maka pengolahan sampah dan berbagai limbah pabrik dan industri tidak lagi diperhatikan. 3.Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi Dengan adanya kemajuan-kemajuan yang dicapai dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, manusia bukan lagi hanya mengalami kemajuan di bidang pertanian, tetapi juga di berbagai bidang kehidupan lainnya. Dengan kemajuan yang dicapainya manusia mulai mengembangkan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam, sebagai alternatif di luar bidang pertania. Abad ke delapan belas dan sembilan belas merupakan awal terbentuknya masyarakat industri yang telah merintis suatu gerakan raksasa dalam penggunaan energi dengan penemuan cara menguraikan bahan bakar fosil seperti batu bara, minyak dan gas bumi. Dari penemuan-penemuan itu telah dihasilkan berbagai jenis produksi yang dimanfaatkan produksi yang dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan hidup dan peningkatan taraf hidup manusia. Akan tetatpi, bersamaan dengan berbagai manfaat yang diperoleh dari kemajuan tersebut, telah terjadi serangkaian krisis lingkungan hidup, mulai dari yang berskala kecil hingga yang berskala besar. Sebagai contoh, Kebocoran Pabrik Pestisida milik Union Carbide d kota Bhpal, India, dan musibah reaktor nuklir di Chernobyl, Uni Soviet. Kasus Bhopal terjadi 20 tahun silam, tepatnya pada malam hari 3 Desember 1984. Kebocoran besar terjadi pada sebuah tangki penyimpanan bahan gas di pabrik pestisida milik perusahaan Amerika Serikat, Union Carbide. Tangki yang bocor itu memuntahkan 40 ton gas beracun, yang kemudian terbang bersama angin keluar dari lokasi pabrik. Menurut catatan resmi, gas beracun yang bergerak liar itu langsung menewaskan 1.750 orang penghuni pemukiman padat di sekitar pabrik. Mereka tewas akibat menghirup gas panas yang membakar paru-paru. Sekitar 2.500 orang tewas pada hari berikutnya. Dan menurut beberapa kelompok korban, setidaknya ada 8.000-an warga yang tewas dalam beberapa hari setelah kejadian itu, serta ribuan lainnya tewas kemudian akibat berbagai penyakit yang timbul akibat racun itu. Bisa diyakini bahwa ada ribuan orang yang menderita buta dan ratusan ribu orang yang mengalami gangguan kesehatan lainnya. Yang jelas, hingga hari ini puluhan warga dikabarkan masih dalam kondisi sakit yang kronis akibat kejadian itu. Dampak dari peristiwa tersebut masih terasa hingga sekarang, sebagaimana dilaporkan oleh seorang penulis Perancis, Dominique Lapierre5, yang hadir secara langsung di India dalam rangka memperingati tragedi pabrik paling buruk di dunia itu. Dilaporkan bahwa lokasi di sekitar lokasi di sekitar tragedi Bhopal, yang menewaskan ribuan orang 20 tahun silam itu, sampai hari ini masih tercemar racun. Warga yang tinggal di daerah pemukiman padat di sekitar lokasi tragedi itu masih juga ’dihukum’, karena terpaksa minum air yang sangat beracun. Sebuah penelitian telah dilakukan atas sponsor BBC dan menemukan bahwa tingkat kontaminasi pada sampel air yang berasal dari sekitar lokasi pabrik adalah 500 kali lebih tinggi dari batas maksimum yang direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia, WHO (World Health Organization). Ledakan reaktor nuklir di Chernobyl, Ukraina (dulu masuk Uni Soviet) terjadi tanggal 26 April 1986. Ledakan yang terjadi di reaktor nomor 4 melepaskan radioaktif yang diperkirakan tiga kali lebih besar dari pemboman atom di Hiroshima. Sekitar 50 ton bahan bakar nuklir dilepaskan ke dalam atmosfer dalam bentuk uap dan partikelpartikel halus, dan 70 ton lagi dilemparkan ke sekitar kompleks dalam bentuk bongkahan. Segera sesudah kejadian itu korban berjatuhan, termasuk 300-an lebih kematian dalam operasi pembersihan. Berapa persis jumlah kematian dan gangguan kesehatan lainnya akibat bencana itu sulit diketahui. Menurut perkiraan beberapa ahli, dalam 50 tahun sesudah kecelakaan itu antara 50.000 dan 250.000 orang di bekas Uni Soviet dan seluruh Eropa akan meniggal akibat kanker dan penyakit lain yang disebabkan oleh musibah di Chernobyl. Kecelakaan Chernobyl dikelilingi oleh suasana ketertutupan yang menandai rezim komunis, sehingga angka kematian sebagai akibat dari kecelakaan tersebut tidak akan pernah diketahui. Dampak buruk dari musibah nuklir di Chernobyl dirasakan bukan saja di Ukraina dan republik-repulik Uni Soviet lain, melainkan juga di seluruh Eropa. Kira-kira 130.000 penduduk di sekitar lokasi kecelakaan harus dipindahkan secara permanen. Di sekitar lokasi, tanah tercemar oleh radiasi nuklir sehingga kesehatan penduduk terancam untuk jangka waktu lama (terutama kemungkinan mendapat penyakit kanker atau kelainan pada keturunan). Lebih kurang 400 hektar hutan pinus hancur seketika karena radiasi. Tiga sungai di kawasan itu tercemar radioaktif. Hasil bumi, daging ternak, susu sapi, dan lain-lain ikut terkontaminasi. Diketahui juga kemudian bahwa antara 1966 dan 1985 di Uni Soviet sudah terjadi 10 kecelakaan serius reaktor nuklir, tapi dampak negatif dari semuanya itu, terutama data tentang kematian, tidak boleh diumumkan. 4.Pertambahan penduduk yang semakin pesat Jumlah penduduk dunia masih terus bertambah denga laju rata-rata sekitar 1,6 persen/ tahun atau sekitar 80 juta orang/ tahun. Mereka ini semua memerlukan tambahan produksi pangan , energi, rumah, dan kebutuhan hidup lain. Ironisnya sebagian besar pertambahan penduduk terjadi di negara-negara sedang berkembang dan negara miskin, yang tidak mampu unuk mendukung kehidupan mereka sendiri. Sebagai akibatnya, terjadilah kerusakan lingkungan yang semakin parah di negara miskin itu. Di banyak negara miskin, eksploitasi sumber daya alam semaksimal mungkin dikarenakan untuk menutup utang luar negerinya, misalnya hutan. Bahkan untuk memenuhi kebutuhan daging yang murah di amerika Serikat, beribu hektar hutan tropis di amerika latin di ubah menjadi daerah peternakan tanpa memperhatikan pencagaran tanah. Maka erosi beratpun terjadi7. 5.Paham antroposentrime Hal yang juga dapat dianggap sebagai penyebab kerusakan lingkungan akibat eksploitasi tak terkendali oleh ulah manusia adalah paham manusia sendiri tentang dirinya dalam berhadapan dengan alam.Paham antroposentrisme masih dipegang manusia. Demikian juga pemikiran dan moral lingkungan hidup tetap terpusatkan pada manusia (human centered ethic). Manusia menjadi jantung perhatian dalam pembahasan tentang lingkungan hidup. Hal yang menjadi pertimbangan utama adalah peningkatan kesejahteraan dan kebahagiaan manusia di dalam alam semesta. 6.Pudarnya nilai-nilai tradisional Contoh kasus di Indonesia: Meskipun sering dikatakan bahwa masyarakat merusak linkungan, akan tetapi kesuburan sawah-sawah dan kelestarian hutan-hutan di Nusantara selama ribuan tahun pengolahan membuktikan bahwa nenek moyang kita menguasai seni menggunakan sambil memelihara. Masyarakat Dayak membakar hutan untuk membuka lahan baru, namun demikian mereka masih menggunakan cara-cara mencegah terjadinya musibah kebakaran hutan (memperhitungkan arah angin, memilih lokasi areal untuk dibakar dan sebagainya). Bencana terjadi karena nilai-nilai tradisional itu tidak terlihat pada para transmigran asal daerah lain yang membakar sebagian hutan tanpa perhitungan yang baik, sehingga kebakaran hutan tidak bisa dikuasai lagi. Pada musim kemarau panjang tahun 1982-1983 terjadi kebakaran besarbesaran di Kalimantan Timur antara oktober 1982 dan April 1983 yang menghanguskan sekitar 3,6 hektar hutan. Ini dianggap kebakaran hutan terbesar dalam sejarah umat manusia. Majalah Tempo, 19 september 1987 melukiskan kerugian materi yang ditimbulkan api selama delapan bulan itu sebagai sungguh memilukan. Kerugian total ditaksir sekitar 122 juta m3, belum terhitung kerugian akibat menyusutnya peran ekologisnya,. Ketika hujan deras turun, Juli 1984, desa-desa sepanjang sungai Mahakam tergenang. Tak ada lagi pepohonan besar yang ”menangkap” air. 7. Keterbatasan kemampuan bumi Akibat dari semua kebijakan yang berpedoman pada kemajuan tekhnologi, ekonomi, dan produktivitas adalah terganggunya keseimbangan lingkungan hidup. Daya regenaerasi alam tidak dapat berkembang sewajarnya karena tidak mampu mengimbangi laju eksploitasi yang dilakukan oleh manusia. Demikian juga daya dukung bumi mengalami kejenuhan (ecological over stress) akibat terus menerus dikuras diluar batas kewajaran. Penggunaan sumber-sumber daya alam secara tak terkendali oleh negara-negara kaya dan adikuasa, yang mengandalkan teknologi nuklir, dan kimia, telah memberikan gambaran yang negatif terhadap masa depan manusia dan lingkungan hidup. 8. Desakan tuntutan kebutuhan hidup Hal lain yang menyebabkan tindakan eksploitasi terhadap lingkungan yang tak terhindarkan adalah apabila manusia dihadapkan pada tuntutan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang utama, untuk memenuhinya manusia akan memilih cara yang lebih mudah untuk dilakukan. Tuntutan hidup telah mengharuskan, misalnya membuka lahan tanpa harus mengedepankan pertimbangan lingkungan. D. Munculnya Kesadaran Lingkungan Adanya kesadaran yang mendalam pada manusia bahwa manusia dan lingkungan berkaitan sangat erat, dan sangat bergantung pada alam. Hal ini mendorong tumbuhnya kemauan manusia untuk mengetahui lebih banyak tentang alam, hingga akhirnya memunculkan suatu disiplin ilmu yang disebut ecology, yang diartikan sebagai ilmu yang mempelajari hubungan timbakl balik antara manusia dan lingkungannyai. Beberapa peristiwa penting kesadaran dan komitmen manusia terhadap lingkungan hidup dapat disebutkan sebagai berikut ini: 1. World Environmental Movement (1972) Perhatian atas krisis lingkungan hidup tidak lagi hanya menjadi urusan masing-masing negara atau perorangan. melainkan sudah menjadi keprihatian masyarakat dunia secara bersama. Gerakan kesadaran ekologi secara internasional diprakarsai oleh PBB dengan mengadakan konferensi Gerakan Lingkungan Hidup Sedunia (World Environmental Movement) di Stocholm , Swedia pada 5-16 Juni 1972, yang kemudian setiap tahun diperingati sebagai Hari Lingkungan Hidup Seduniaii. PP juga membentuk badan khusus yang menangani masalah lingkungan hidup yaitu United Nations Environmental Programme (UNEP). Sejak saat itu, gerakan ekologi telah melibatkan berbagai negara di dunia dan juga lembaga-lembaga non-pemerintah (LSM). 2 Konferensi Rio de Janerio (1992) Konferensi Rio de Janerio (yang sering disebut juga KTT Bumi) dapat dianggap sebuah tonggak sejarah dalam penanganan masalah-masalah lingkungan. Ini adalah sebuah babak baru perjuangan manusia menghadapi masalah-masalah lingkungan dalam memasuki abad ke-21, yang dibangun berdasarkan kesadaran akan pentingnya pengaitan strategi-strategi penanganan masalah-masalah lingkungan ke dalam kebijak pengembangan ekonomi suatu negara, bahkan pengembangan ekonomi duniaiii. KTT Bumi (Earth Summit) tentang lingkungan dan Pembangunan yang dikenal dengan nama United Nations Conference of Environmental and Development (UNCED) mengambil tema ”Think globally, act locally”, yang menekankan perlunya semangat kebersamaan untuk mengatasi berbagai masalah yang ditibulkan oleh benturan mantara upaya-upaya melaksanakan pembangunan di satu pihak dan melestarikan sumber daya alam dipihak lain. Kesepakatan yang dicapai dalam KTT tersebut tertuang dalam beberapa dokumen penting, yakni: Agenda 21, Prinsip-prinsip Kehutanan, Konvensi Perubahan Iklim, dan konvensi Keanekaragaman hayati. Denagan demikian secara politis telah diletakkan dasar bagi kebijakan pembangunan yang berwawasan lingkunganiv. Dari serangkaian kesepakatan yang dicapai dalam KTT terdapat tiga masalah global paling mendesak dalam memasuki abad 21, yang menuntut penanganan bersama seacara serius, yakni: perubahan iklim akibat kecerobohan manusia, menghilangnya keragaman hayati, dan perlunya pembatasan jumlah penduduk serta perubahan pola konsumsi masyarakat modern. Efektifitas dari penanganan ketiga masalah pokok tersebut sedang dikaji terus menerus mmelalui kebijakan dan tindakan konkrit yang diambil kemudian di masing-masing negara. 3. Protokol Kyoto (1977) Protokol Kyoto, yang merupakan hasil perundingan yang berjalan selama empat tahun, dan diadopsi tahun 1997, dapat dilihat sebagai tonggak lanjutan keseriusan berbagai negara untuk menyelamatkan bumi dari kehancuran totalnya. Elemen-elemen utama protokol Kyoto adalah target kuantitatif dan waktu penurunan emisi gas serta mekanisme pencapaian target tersebut protokol kyoto merupakan dasar bagi negaranegara industri untuk mengurangi emisi gas rumah kaca gabungan mereka paling sedikit 5 persen dari tingkat emisi 1990 menjelang periode 2008-2001, diperkirakan, jika pola konsumsi, gaya hidup, dan pertambahan penduduk tidak berubah, 100 tahun yang akan datang konsentrasi CO2 akan meningkat menjadi 580 ppmv atau dua kali lipat dari zaman pra industri, akibatnya maka dalam kurun waktu 100 tahun mendatang suhu rata-rata bumi akan meningkat hingga 4,5 derajat Celcius. 4. Implementasinya di Indonesia Kesadaran ekologi di Indonesia sudah muncul pada dekade 1960-1n, mengikuti apa yang berkembang di dunia internasional dan sekaligus sebagai reaksi wajar atas pembangunan yang sedang giat dilaksanankan di dalam negeri. Kesadaran ekologi di negeri ini tidak hanya melibatkan pemerintah, melainkan juga bebagai kalangan swasta, seperti LSMLSM bahkan lembaga-lembaga keagamaan. Dari pihak pemerintah, kesadaran ekologi terutama dikembangkan oleh Departemen Kependudukan dan Lingkungan Hidup dengan memberlakukan Undang-Undang Lingkungan Hidup (UULH).Di dalam UULH itu dapat ditemukan salah satu upaya pemerintah mengatasi masalah lingkungan hidup, yaitu melali AMDAL (Analisa Mengenai Dampak Lingkungan). Ketika Indonesia meratifikasi protokol Kyoto, maka secara legal protokol ini menjadi bagian sistem hukum nasional yang harus diimplementasikan dalam berbagai kebijaksanaan dan pelaksanaannya Fredy Buntaran, OFM, Saudari Bumi Saudara Matahari, (Jogyakarta, Penerbit Kanisius, 1996). Hal. 21 Ibid, hal. 22 iii Budi Widinarko, Ekologi dan keadilan social (Jogyakarta, Penerbit Kanisius, 1998), hal. 7-8. iv Ir. Valentinus Darsono, Ms, Pengantar Ilmu Lingkungan, (Jogyakarta, Penerbit Universitas Atma Jaya, 1995), hal.2. i ii pedoman