178 SUMBERDAYA DETRITUS DARI HUTAN MANGROVE SEBAGAI MAKANAN POTENSIAL IKAN BELANAK (Liza subviridis) DI PANTAI UTARA KONAWE SELATAN SULAWESI TENGGARA Oleh: Muhammad Ramli1), Dietriech G Bengen2), Richardus F. Kaswadji2), Ridwan Affandi2) ABTRACT Mangrove forest as the main producer detritus in coastal waters and is a source of food for marine organisms. Mullet is one of detritivora fish that utilize detritus as food (energi source). This study aimed to obtain information about the contribution of mangrove as detritus producer as well as a potential food source for mullet (Liza subviridis). To calculate the detritus, referring to the Rahana (2005). Relative feed consumption were evaluated using Sapatura and Gophen formula (1992) referred Sulistiono (1998). Proximate analysis is done by determining the percentage of protein, fat and carbohydrates content (SNI 01-2891-1992) refers to the method used by Musfiroh et al. (2007). Detritus production calculations, refer to Rahana (2005). Relative feed consumption of mullet are determined based Sapatura Gophen (1992) in Sulistiono (1998). The content of protein, fat and carbohydrates were analyzed (SNI 01-2891-1992) refers to the method used by Musfiroh et al (2007). Energi content of detritus, food and body tissue is determined by the equvalensi energi of the nutritional content (Nurjana, 2010). Study result shows that detritus production, Indeks Stomach Content Index, food composition and food quality (energy content of detritus and non detritus) of mullet are determined by vegetation structure and environmental conditions. Detritus production of mangrove ecosystem on the northern coast of South Konawe is 420-636 kg ha-1 year-1 or equiv to 2.016-4.706 kcal ha-1 years-1. Detritus content in mullet stomach are 43.89% - 47.94% or equiv to 0.99 - 1:03 kcal/g while non detritus content are 51.71% - 56-11% or equiv to 2.51-2.70 kcal g-1 dry material. Key words: Detritus, food, mangrove, mullet PENDAHULUAN Penelitian tentang eksositem mangrove sebagai daerah untuk mencari makan atau penelitian yang menghubungkan antara kerusakan hutan mangrove dengan hasil tangkapan ikan dan udang telah banyak dilakukan (Santanu dan Milan, 2001; Sukristijono, 2004; Lugendo et al., 2006; Lewis and Gilmore, 2007). Laegdsgaard and Craig (2001) mengemukakan bahwa ada tiga dugaan utama yang menyebabkan ekosistem mangrove dijadikan sebagai habitat ikan, yakni (1) ikan tertarik karena keragaman struktur vegetasi mangrove, (2) jumlah predator relative sedikit. semakin tinggi komplesitas struktur ekosistem mangrove semakin sedikit jumlah predatornya, dan (3) ketersediaan makanan di ekosistem mangrove lebih banyak dibandingkan 1 ekosistem lainnya. Sehubungan dengan hal tersebut ekosistem mangrove merupakan tempat mencari makan (feeding ground), tempat mengasuh dan membesarkan (nursery ground), tempat bertelur dan memijah (spawning ground) dan tempat berlindung yang aman bagi berbagai juvenile dan larva ikhtiofauna serta kerang (shellfish) dari predator (Bengen and Dutton, 2004). Detritus dari ekosistem mangrove adalah bahan organik yang berasal dari guguran daun mangrove yang jatuh ke perairan kemudian mengalami penguraian membentuk substrat untuk pertumbuhan bakteri dan algae, yang kemudian menjadi sumber makanan penting yang kaya akan energi bagi organisme pemakan suspensi dan detritus. Selain bakteri dan jamur, organisme lain juga berkontribusi untuk pembentukan detritus (D'Croz et al., ) Staf Pengajar PadaAGRIPLUS, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kendari. Volume 21 Kelautan NomorUniversitas : 02 MeiHaluoleo, 2011, ISSN 0854-0128 ) Staf Pengajar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor (IPB), Bogor. 1 178 179 1989). Hasil pengamatan mikroskopis yang dilakukan oleh Odum and Heald (1975) pada daun mangrove yang membusuk, didapatkan sebuah komunitas kompleks yang terdiri atas jamur, bakteri, protozoa, dan mikroalga. Salah satu jenis ikan yang memanfaatkan detritus sebagai sumber makanan (energi) adalah ikan belanak (Liza subviridis) dari famili mugilidae. Ikan belanak bersifat detritivor, memanfaatkan detritus yang dihasilkan dari hasil dekomposisi serasah mangrove, makan dengan mengisap lapisan sedimen bagian atas, memakan detritus dan mikro algae. Juga mengambil butiran pasir dalam sedimen yang berfungsi untuk menggiling makanan di dalam lambung, karena detritus yang berasal dari mangrove memiliki selulosa dan lignin yang sulit dihancurkan. Tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan informasi tentang kontribusi mangrove sebagai pemasok detritus sebagai sumber makanan potensial bagi ikan belanak, Liza subviridis di pesisir Utara Konawe Selatan Sulawesi Tenggara. METODE PENELITIAN Penelitian dilaksanakan selama enam bulan dari bulan Mei 2010 sampai dengan Oktober 2010 berlokasi di pesisir Utara Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara (Gambar 1). Pengukuran dan pengambilan sampel dilakukan dua kali setiap bulan pada lokasi dengan struktur vegetasi yang berbeda yaitu pada daerah muara Landipo (muara sungai) dan daerah tanjung Tiram (non muara). Pengambilan data vegetasi dilakukan menggunakan metode transek berplot yaitu dengan cara membuat plot berukuran 10x10 m2 kontinyu di sepanjang garis transek. Struktur dan komposisi vegetasi hutan mangrove ditentukan dengan mengikuti metode yang dikemukakan oleh Bengen (2002). Gambar 1. Letak lokasi penelitian Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara Serasah yang jatuh dari pohon di tampung dengan perangkap serasah (litter trap) sebanyak 45 buah yang di pasang secara acak di bawah kanopi pohon pengamatan pada ketinggian 1,5 m di atas permukaan tanah atau tidak terendam air saat pasang. Untuk mendapatkan total detritus yang dihasilkan, maka dilakukan pengukuran produksi serasah dan laju dekomposisi, selanjutnya dihitung jumlah rendemen detritus dari sisa hasil dekomposisi serasah. Untuk menghitung hasil akhir dekomposisi serasah yang menjadi detritus, mengacu pada Rahana (2005). Konsumsi pakan relatif ikan belanak dievaluasi dengan menggunakan rumus perhitungan Sapatura and Gophen (1992) yang diacu Sulistiono (1998). Organisme dalam isi lambung diidentifikasi menggunakan buku Davis (1955), Yamaji (1976) dan Sachlan (1982). Untuk melihat sumbangan detritus sebagai makanan ikan belanak, dilakukan analisis dengan menggunakan indeks bagian terbesar (Index of Preponderance) (Effendie, 1979). Analisis proksimat dilakukan dengan menentukan persentase kandungan protein, lemak dan karbohidrat pada detritus maupun pada komponen isi lambung ikan (SNI 012891-1992) mengacu pada metode yang digunakan oleh Musfiroh dkk. (2007). Nilai dari AGRIPLUS, Volume 21 Nomor : 02 Mei 2011, ISSN 0854-0128 180 komponen tersebut, selanjutnya dikalikan dengan nilai kesetaraan energinya (Nurjana, 2010) yaitu menggunakan sistem Atwater. Ekivalensi energi untuk protein sebesar 5.65 kkal gram-1, karbohidrat 4.20 kkal gram-1, dan lemak sebesar 9.40 kkal gram-1 (Sediatama, 1987). HASIL DAN PEMBAHASAN Kerapatan dan Komposisi Mangrove Kerapatan mangrove di muara Landipo sebesar 2.804 tegakan ha-1, dengan kerapatan dan komposisi masing-masing jenis adalah Rhizophora apiculata (1.260 tegakan ha-1), Rhizophora stylosa (530 tegakan ha-1), Sonneratia alba (314 tegakan ha-1), Avicenia Bruguera marina (330 tegakan ha-1), -1 gymnorhiza (200 tegakan ha ) dan Lumnitzera recemosa (170 tegakan ha-1). Kerapatan mangrove di lokasi tanjung Tiram adalah 2.300 tegakan ha-1. kerapatan dan komposisi masingmasing jenis adalah Sonneratia alba (1.120 tegakan ha-1), Rhizophora stylosa (430 tegakan ha-1), Avicenia marina (340 tegakan ha-1), Bruguera gymnorhiza (210 tegakan ha-1) dan Rhizophora apiculata (200 tegakan ha-1). Mengacu pada Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 201 Tahun 2004 Tentang Kriteria Baku dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove, maka tingkat kerapatan mangrove di muara Landipo dan tanjung Tiram masih tergolong sangat padat. Tingginya kerapatan vegetasi di daerah muara Landipo, erat kaitannya dengan letaknya yang berada pada muara yang relatif terlindung, adanya suplai air tawar secara periodik atau tipe dasar prairannya berlumpur sehingga sangat mendukung pertumbuhan bakau. Sesuai dengan pendapat Bengen (2000) bahwa hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang di daerah pasang surut pantai berlumpur. Produksi Detritus Berdasarkan hasil pengukuran laju dekomposisi, selama kurang lebih 75 hari didapatkan rendemen sebesar 9.50% dari total serasah yang didekomposisi. Hasil penelitian Rahana (2005) menunjukkan bahwa laju dekomposisi sebesar 0.0127 g hari-1 dengan rendemen yang dihasilkan yaitu 9.53%. Dengan demikian, muara Landipo dengan kerapatan mangrove 2.804 tegakan/ha, menghasilkan serasah bahan kering sebanyak 6.7 ton ha-1 tahun-1. Dengan rendemen 9.50% dari hasil dekomposisi maka dihasilkan detritus sebanyak 636 kg ha-1 tahun-1, setara dengan 3922 kkal ha-1 tahun-1. Daerah tanjung Tiram dengan kerapatan mangrove 2.300 tegakan/ha, menghasilkan serasah bahan kering sebanyak 4.4 ton ha-1 tahun-1, menghasilkan detritus sebanyak 420 kg ha-1 tahun-1, setara dengan 2016 kkal ha-1 tahun-1. Tingginya produksi detritus di muara Landipo disebabkan kerapatan vegetasi mangrove dan komposisi jenisnya lebih tinggi, dengan demikian produktivitas perairan di muara Landipo juga akan lebih tinggi karena dinamika serasah mangrove berupa produksi dan laju dekomposisi mempunyai arti penting terhadap kesuburan estuaria dan perairan pantai karena sumbangan nutriennya. Hasil penelitian Mohammad dkk. (2008) menunjukkan bahwa dari guguran serasah jenis Rhizophora sebanyak 1119.16 kg ha-1 tahun-1 menyumbangkan nutrien kedalam perairan sebesar 507.35 kg N per tahun, 21.90 kg P per tahun dan 25,121.52 kg C per tahun. Hutan mangrove Teluk Sepi, Lombok dengan kerapatan vegetasi 480 pohon hektar-1 dan komposisi jenis terdiri dari Rhizophora apiculata, R. mucronata, R. stylosa Griff, Ceriops tagal, C. decandra, Brugueria sp., Sonneratia alba dan Aegiceras corniculatum menghasilkan serasah sebesar 9,9 ton ha-1 thn-1 (Zamroni dan Rohyani, 2008). Jika rendemen sisa hasil dekomposisi serasah adalah 9.50%, maka produksi detritus yang dihasilkan sebanyak 940 kg ha-1 tahun-1. Bahkan produksi serasah sangat tinggi di kawasan sungai dan tambak di hutan payau RPH Tritih Cilacap sebesar 13,37 ton ha -1 tahun -1 (Affandi, AGRIPLUS, Volume 21 Nomor : 02 Mei 2011, ISSN 0854-0128 181 1996). Jika rendemen sisa hasil dekomposisi sersah adalah 9.50%, maka produksi detritus yang dihasilkan sebesar 1.270 kg ha -1 tahun-1. Karakteristik Kualitas Air Salinitas di muara Landipo berkisar antara 23.3 – 28.0 ppt, sedangkan di tanjung Tiram berkisar antara 30.3 – 33.0 ppt. Rendahnya salinitas di muara sungai Landopo, lebih dipengaruhi oleh pasokan air tawar yang teratur dari aliran sungai yang bermuara ke perairan tersebut. Sedang pada daerah tanjung Tiram tidak ada pasokan air tawar yang masuk ke perairan tersebut. Sesuai dengan pendapat Dahuri (2002) bahwa di daerah yang terdapat aliran sungai akan terjadi percampuran dua atau lebih massa air yang berbeda sifatnya. Hal inilah yang menyebabkan penurunan salinitas air laut sebagai akibat masuknya air tawar ke perairan. Bila dihubungkan dengan proses dekomposisi serasah menjadi detritus maka daerah muara Landipo akan lebih cepat proses dekomposisinya dibandingkan dengan daerah bersalinitas tinggi (tanjung Tiram) karena populasi organisme dekomposernya lebih banyak. Nga et al. (2006) menyatakan bahwa tingkat dekomposisi dan pelepasan bahan organik lebih tinggi di salinitas rendah dibandingkan dengan di air tawar (0 ppt) atau pada salinitas tinggi (30-35ppt). Kondisi ini juga berpengaruh terhadap kualitas detritus (kandungan Proteinnya tinggi karena dekomposernya lebih banyak) sebagai makanan ikan belanak. Zat hara fosfat dan nitrat di perairan merupakan sumber bahan makanan bagi mikroorganisme laut dan salah satu indikator kesuburan perairan. Kandungan fosfat di perairam muara Landipo berkisar antara 0.036 – 0.050 mg l-1 dan di perairan tanjung Tiram berkisar antara 0.029 – 0.041 mg l-1. Hasil pengukuran kadar nitrat di daerah muara Landipo berkisar antara 0.0028 – 0.0086 mg l-1. Di perairan tanjung Tiram berkisar antara 0.0022 – 0.0061 mg l-1. Besarnya nilai kandungan fosfat dan nitrat di perairan muara Landipo berkaitan erat dengan struktur vegetasi seperti kerapatan yang tinggi sehingga berpengaruh terhadp produksi serasah, didukung juga dengan letaknya di daerah pertemuan air tawar dan air laut. Daerah pertemuan air tawar dan air laut pada umumnya subur karena mendapat pasokan bahan organik dan anorganik baik dari laut maupun dari sungai termasuk dari daerah itu sendiri mengakibatkan kadar zat hara di daerah tersebut relatif lebih tinggi. Plankton merupakan salah satu parameter biologis yang erat hubungannya dengan kandungan zat hara. Tinggi rendahnya kelimpahan plankton tergantung kepada kandungan zat hara di perairan tersebut (Nybakken, 1982). Makanan Berdasarkan pengamatan terhadap nilai indeks isi lambung ikan belanak, Liza subviridis di muara Landipo berkisar antara 5.7-7.9% dan tanjung tiram berkisar antara 5.3-7.3%. Hasil pemeriksaan isi lambung ikan belanak, selanjutnya dikelompokkan kedalam 6 item makanan yaitu detritus, foraminifera, alga, diatom, kopepoda, dan moluska (Gambar 2). Tingkat keaktifan makan ikan belanak pada muara Landipo berkaitan dengan ketersediaan detritus sebagai sumber makanan ikan belanak, dengan kata lain mangrove muara Landipo memberikan kontribusi yang lebih besar sebagai pemasok makanan berupa detritus dibandingkan daerah tanjung Tiram. Kelompok jenis makanan yang tertinggi adalah detritus yaitu sebesar 48.29% pada muara landipo dan 43.89%. pada daerah tanjung Tiram. Non detrtus (foraminifera, alga, diatom, kopepoda, dan moluska), muara Landipo sebesar 51.71% dan tanjung Tiram 56.11%. Besarnya kandungan detritus dalam kelompok makanan mengindikasikan eratnya ketergantungan ikan belanak (Liza subviridis) pada ekosistem mangrove sebagai pemasok detritus. Prapaporn et al. (1998) menemukan persentase tertinggi dari isi lambung Liza subviridis yang terdapat di perairan mangrove Thachin, Thailand adalah komponen detritus sebesar 72 persen. AGRIPLUS, Volume 21 Nomor : 02 Mei 2011, ISSN 0854-0128 182 Gambar 2. Komposisi makanan ikan belanak, Liza subviridis Energi pada Otot dan Hati Data tentang kandungan energi pada hati dan otot ikan belanak di dua lokasi disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Kandungan total energi (kk l) protein, lemak dan karbohidrat pada bagian otot dan hati ikan belanak. Lokasi Muara Landipo (kkal g-1) Tanjung Tiram (kkal g-1) Protein Otot Lemak Karbo Total Protein Hati Lemak Karbo 168.941 14.896 1.353 185.190 138.492 107.245 1.378 247.115 149.870 15.608 2.167 167.645 124.708 106.939 1.324 232.971 Berdasarkan Tabel 1, tampak bahwa pemasok energi baik pada otot maupun pada organ hati adalah komponen protein. Kontribusi lemak sebagai sumber energi pada organ hati jauh lebih besar dibanding pada otot. Hal ini menunjukkan bahwa hati berfungsi sebagai tempat mendeposit energi dalam bentuk lemak sebagai energi cadangan. Peran hati sebagai tempat mendeposit energi cadangan Total sesuai dengan pendapat Brusle and Anadon (1996). Berdasarkan Tabel 1, juga terlihat bahwa kandungan energi baik pada otot maupun organ hati, di stasiun muara Landipo lebih tinggi dari tanjung Tiram. Perbedaan ini terkait dengan kualitas makanan (kandungan energi detritus maupun non detritus) yang dikonsumsinya. Perbedaan kandungan energi baik pada otot maupun hati antara kedua lokasi AGRIPLUS, Volume 21 Nomor : 02 Mei 2011, ISSN 0854-0128 183 tersebut terutama disebabkan oleh perbedaan kandungan proteinnya. Kandungan protein pada otot dan hati di muara Landipo lebih tinggi dari tanjung Tiram. KESIMPUAN DN SARAN Hasil penelitian disimpulkan bahwa: (1) Kontribusi hutan mangrove sebagai pemasok detritus ditentukan oleh struktur vegetasi mangrove dan kondisi lingkungan perairan. Kontribusi hutan mangrove di muara Landipo sebagai pemasok detritus lebih tinggi dari tanjung Tiram. (2) Nilai Index Stomach Content, komposisi makanan dan mutu makanan (kandungan energi detritus dan non detritus) ikan belanak dipengaruhi oleh struktur vegetasi dan kondisi lingkungan mangrove. (3) Kualitas ikan belanak (kandungan energi pada jaringan otot dan hati) terkait dengan mutu makanannya (kualitas detritus). Untuk mempertahankan fungsi ekosistem mangrove sebagai pemasok detritus yang merupakan sumber makanan potensial untuk ikan detritivore dan untuk menjamin keberlanjutan perikanan pantai (perikanan rakyat) maka vegetasi mangrove perlu dipertahankan dengan kerapatan > 2300 pohon ha-1 dengan komposisi jenis yang tinggi. DAFTAR PUSTAKA Affandi Bengen M. 1996. Produksi dan Laju Penghancuran Serasah Mangrove di Hutan Alami dan Binaan Cilacap, Jawa Tengah. Tesis Pascasarjana (Magister) Institut Teknologi Bandung (tidak dipublikaskan). DG. 2000. Sinopsis Teknik pengambilan contoh dan analisis data biofisik sumberdaya pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Bengen DG. 2002. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan.Institut Pertanian Bogor. Bengen DG. and Dutton LM. 2004. Interaction : mangrove, fisheries and forestry management in Indonesia. Fishes and Forestry. Worldwide Watershed Interaction and Management. Edit by TG. Northcote and GF. Hartman. Blackwell Publishing company. Brusle J and GG Anadon. 1996. The Structure and fuction of Fish Liver. Fish Morfology Horizon of New Research. Edit by JS Datta Munshi and Hiram M Dutta. AA Balkema Publisher, old post road, Brookfield USA. Dahuri R. 2002. Integrasi Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Makalah disampaikan pada Lokakarya Nasional Pengelolaan Ekosistem mangrove di Jakarta, 6-7 Agustus 2002 Davis CC. 1955. The Marine and Fresh Water Plankton. Michigan State D’Croz L, Del Rosario and Holness. 1989. Degradation of red mangrove (Rhizophora mangle L.) leaves in the Bay of Panama. Rev Biol Trop 37:101– 104 Effendie MI. 1979. Metode Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor 112 p. Halver JE. 1988. Fish Nutrition. Academis Press, INC. London, 798 pp. Laegdsgaard and Craig J. 2001. Why do juvenile fish utilise mangrove habitats? Journal of Experimental Marine Biology and Ecology 257: 229–253. Lewis R and. G Gilmore. 2007. Important Considerations To Achieve Successful Mangrove Forest Restoration With Optimum Fish Habitat. Bulletin Of Marine Science 80(3): 823–837. AGRIPLUS, Volume 21 Nomor : 02 Mei 2011, ISSN 0854-0128 184 Lugendo, Nagelkerken, Van Der Velde and Mgaya. 2006. The importance of mangroves, mud and sand flats, and seagrass beds as feeding areas for juvenile fishes in Chwaka Bay, Zanzibar: gut content and stable isotope analyses. Journal of Fish Biology 69:1639–1661 Mohammad M, Kadarwan S, C Kusuma, Hartrisari H dan Ario D. 2008. Laju dekomposisi serasah mangrove dan kontribusinya terhadap nutrient di hutan mangrove reboisasi. Jurnal penelitian perikanan. II(1):19-25. Musfiroh I, Wiwiek I, Muchtaridi dan Yudhi. 2007. Analisis - Karoten dalam Proksimat dan Penetapan Kadar Selai Lembaran Terung Belanda (Cyphomandra betacea Sendtn. ) dengan Metode Spektrofotometri Sinar Tampak. Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran Nga, Roijackers and M Scheffer. 2006. Effects of Decomposition and Nutrient Release of Rhizophora apiculata Leaves on The Mangrove-Shrimp Systems in The Camau Province Vietnam. International Symposium on Southeast Asian Water Environment. Vol. 4 Nybakken, JW. 1982. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologis. Alih bahasa: HM Eidman, Koesoebiono, DG Bengen, M Hutomo dan S Sukar. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Nurjana DJ. 2010. Analisis Proksimat Daun Singkong. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Odum WE and Heald EJ. 1975. The detritusbased food web of an estuarine mangrove community. In: Ronin LT (ed) Estuarine research. Academic Press, New York, pp 265–286 Prapaporn W, S Premcharoen, S Janekitkarn and W Maneepitaksanti. 1998. Food items and feeding habits of the greenback mullet, Liza subviridis (Valenciennes, 1836), in the mangrove areas surrounding Thachin estuary, Changwat Samut Sakhon. Congress on Science and Technology of Thailand, Bangkok (Thailand), 19-21 Oct 1998. p. 438-439 Rahana AJ. 2005. Biomass litterfall and the composition rates for the fringed Rhizophora forest lining the bon accord lagoon. Tobago. Revista biology tropical Vol. 53 Suplemen 1. Sachlan M. 1982. Planktonologi. Fakultas Peternakan dan Perikanan UNDIP. Semarang. Sediatama. 1987. Gizi.. Dian Rakyat, Jakarta. Sukristijono. 2004. Fisheries associated with mangrove ecosystem in Indonesia: a view from a mangrove ecologist. Biotropia: the Southeast Asian journal of tropical biology Penerbit : Southeast Asian Regional Center for Tropical Biology Volume : NULL 23: 13-39 Sulistiono. 1998. Fishery biology of the whiting Silago javanica and S. sihama. Tesis. Tokyo University of Fisheries. 168 hal. Yamadji CS. 1976. Illustration of the Marine of Japans. Hoikusha Publishing Co. Ltd. London Zamroni dan Rohyani, 2008. Produksi Serasah Hutan Mangrove di Perairan Pantai Teluk Sepi, Lombok Barat. Biodiversitas 9(4):284-287. AGRIPLUS, Volume 21 Nomor : 02 Mei 2011, ISSN 0854-0128