AGRIPLUS, Volume 21 Nomor : 02 Mei 2011, ISSN 0854-0128

advertisement
178
SUMBERDAYA DETRITUS DARI HUTAN MANGROVE SEBAGAI MAKANAN POTENSIAL
IKAN BELANAK (Liza subviridis) DI PANTAI UTARA KONAWE SELATAN
SULAWESI TENGGARA
Oleh: Muhammad Ramli1), Dietriech G Bengen2), Richardus F. Kaswadji2), Ridwan Affandi2)
ABTRACT
Mangrove forest as the main producer detritus in coastal waters and is a source of food for
marine organisms. Mullet is one of detritivora fish that utilize detritus as food (energi source). This study
aimed to obtain information about the contribution of mangrove as detritus producer as well as a
potential food source for mullet (Liza subviridis). To calculate the detritus, referring to the Rahana
(2005). Relative feed consumption were evaluated using Sapatura and Gophen formula (1992) referred
Sulistiono (1998). Proximate analysis is done by determining the percentage of protein, fat and
carbohydrates content (SNI 01-2891-1992) refers to the method used by Musfiroh et al. (2007). Detritus
production calculations, refer to Rahana (2005). Relative feed consumption of mullet are determined
based Sapatura Gophen (1992) in Sulistiono (1998). The content of protein, fat and carbohydrates were
analyzed (SNI 01-2891-1992) refers to the method used by Musfiroh et al (2007). Energi content of
detritus, food and body tissue is determined by the equvalensi energi of the nutritional content (Nurjana,
2010). Study result shows that detritus production, Indeks Stomach Content Index, food composition and
food quality (energy content of detritus and non detritus) of mullet are determined by vegetation
structure and environmental conditions. Detritus production of mangrove ecosystem on the northern
coast of South Konawe is 420-636 kg ha-1 year-1 or equiv to 2.016-4.706 kcal ha-1 years-1. Detritus
content in mullet stomach are 43.89% - 47.94% or equiv to 0.99 - 1:03 kcal/g while non detritus content
are 51.71% - 56-11% or equiv to 2.51-2.70 kcal g-1 dry material.
Key words: Detritus, food, mangrove, mullet
PENDAHULUAN
Penelitian tentang eksositem mangrove
sebagai daerah untuk mencari makan atau
penelitian yang menghubungkan antara
kerusakan hutan mangrove dengan hasil
tangkapan ikan dan udang telah banyak
dilakukan (Santanu dan Milan, 2001;
Sukristijono, 2004; Lugendo et al., 2006;
Lewis and Gilmore, 2007). Laegdsgaard
and Craig (2001) mengemukakan bahwa ada
tiga dugaan utama yang menyebabkan ekosistem
mangrove dijadikan sebagai habitat ikan, yakni
(1) ikan tertarik karena keragaman struktur
vegetasi mangrove, (2) jumlah predator relative
sedikit. semakin tinggi komplesitas struktur
ekosistem mangrove semakin sedikit jumlah
predatornya, dan (3) ketersediaan makanan di
ekosistem mangrove lebih banyak dibandingkan
1
ekosistem lainnya. Sehubungan dengan hal
tersebut ekosistem mangrove merupakan tempat
mencari makan (feeding ground), tempat
mengasuh dan membesarkan (nursery ground),
tempat bertelur dan memijah (spawning ground)
dan tempat berlindung yang aman bagi berbagai
juvenile dan larva ikhtiofauna serta kerang
(shellfish) dari predator (Bengen and Dutton,
2004).
Detritus dari ekosistem mangrove
adalah bahan organik yang berasal dari guguran
daun mangrove yang jatuh ke perairan
kemudian mengalami penguraian membentuk
substrat untuk pertumbuhan bakteri dan algae,
yang kemudian menjadi sumber makanan
penting yang kaya akan energi bagi organisme
pemakan suspensi dan detritus. Selain bakteri
dan jamur, organisme lain juga berkontribusi
untuk pembentukan detritus (D'Croz et al.,
) Staf Pengajar PadaAGRIPLUS,
Fakultas Perikanan
dan Ilmu
Kendari.
Volume
21 Kelautan
NomorUniversitas
: 02 MeiHaluoleo,
2011, ISSN
0854-0128
) Staf Pengajar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor (IPB), Bogor.
1
178
179
1989). Hasil pengamatan mikroskopis yang
dilakukan oleh Odum and Heald (1975) pada
daun mangrove yang membusuk, didapatkan
sebuah komunitas kompleks yang terdiri atas
jamur, bakteri, protozoa, dan mikroalga.
Salah
satu
jenis
ikan
yang
memanfaatkan detritus sebagai sumber makanan
(energi) adalah ikan belanak (Liza subviridis)
dari famili mugilidae. Ikan belanak bersifat
detritivor,
memanfaatkan
detritus
yang
dihasilkan dari hasil dekomposisi serasah
mangrove, makan dengan mengisap lapisan
sedimen bagian atas, memakan detritus dan
mikro algae. Juga mengambil butiran pasir
dalam sedimen yang berfungsi untuk
menggiling makanan di dalam lambung, karena
detritus yang berasal dari mangrove memiliki
selulosa dan lignin yang sulit dihancurkan.
Tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan
informasi tentang kontribusi mangrove sebagai
pemasok detritus sebagai sumber makanan
potensial bagi ikan belanak, Liza subviridis di
pesisir Utara
Konawe
Selatan Sulawesi
Tenggara.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan selama enam
bulan dari bulan Mei 2010 sampai dengan
Oktober 2010 berlokasi di pesisir Utara
Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara
(Gambar 1). Pengukuran dan pengambilan
sampel dilakukan dua kali setiap bulan pada
lokasi dengan struktur vegetasi yang berbeda
yaitu pada daerah muara Landipo (muara
sungai) dan daerah tanjung Tiram (non muara).
Pengambilan data vegetasi dilakukan
menggunakan metode transek berplot yaitu
dengan cara membuat plot berukuran 10x10
m2 kontinyu di sepanjang garis transek.
Struktur dan komposisi vegetasi hutan
mangrove ditentukan dengan mengikuti metode
yang dikemukakan oleh Bengen (2002).
Gambar 1. Letak lokasi penelitian Kabupaten
Konawe Selatan Sulawesi Tenggara
Serasah yang jatuh dari pohon di
tampung dengan perangkap serasah (litter
trap) sebanyak 45 buah yang di pasang secara
acak di bawah kanopi pohon pengamatan pada
ketinggian 1,5 m di atas permukaan tanah atau
tidak terendam air saat pasang.
Untuk
mendapatkan total detritus yang dihasilkan,
maka dilakukan pengukuran produksi serasah
dan laju dekomposisi, selanjutnya dihitung
jumlah rendemen detritus dari sisa hasil
dekomposisi serasah. Untuk menghitung hasil
akhir dekomposisi serasah yang menjadi
detritus, mengacu pada Rahana (2005).
Konsumsi pakan relatif ikan belanak dievaluasi
dengan menggunakan rumus perhitungan
Sapatura and Gophen (1992) yang diacu
Sulistiono (1998). Organisme dalam isi
lambung diidentifikasi menggunakan buku
Davis (1955), Yamaji (1976) dan Sachlan
(1982). Untuk melihat sumbangan detritus
sebagai makanan ikan belanak, dilakukan
analisis dengan menggunakan indeks bagian
terbesar (Index of Preponderance) (Effendie,
1979).
Analisis proksimat dilakukan dengan
menentukan persentase kandungan protein,
lemak dan karbohidrat pada detritus maupun
pada komponen isi lambung ikan (SNI 012891-1992) mengacu pada metode yang
digunakan oleh Musfiroh dkk. (2007). Nilai dari
AGRIPLUS, Volume 21 Nomor : 02 Mei 2011, ISSN 0854-0128
180
komponen tersebut, selanjutnya dikalikan
dengan nilai kesetaraan energinya (Nurjana,
2010) yaitu menggunakan sistem Atwater.
Ekivalensi energi untuk protein sebesar 5.65
kkal gram-1, karbohidrat 4.20 kkal gram-1, dan
lemak sebesar 9.40 kkal gram-1 (Sediatama,
1987).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kerapatan dan Komposisi Mangrove
Kerapatan mangrove di muara Landipo
sebesar 2.804 tegakan ha-1, dengan kerapatan
dan komposisi masing-masing jenis adalah
Rhizophora apiculata (1.260 tegakan ha-1),
Rhizophora
stylosa (530 tegakan ha-1),
Sonneratia alba (314 tegakan ha-1), Avicenia
Bruguera
marina (330 tegakan ha-1),
-1
gymnorhiza (200 tegakan ha ) dan Lumnitzera
recemosa (170 tegakan ha-1). Kerapatan
mangrove di lokasi tanjung Tiram adalah 2.300
tegakan ha-1. kerapatan dan komposisi masingmasing jenis adalah Sonneratia alba (1.120
tegakan ha-1), Rhizophora stylosa (430 tegakan
ha-1), Avicenia marina (340 tegakan ha-1),
Bruguera gymnorhiza (210 tegakan ha-1) dan
Rhizophora apiculata (200 tegakan ha-1).
Mengacu pada Keputusan Menteri
Negara Lingkungan Hidup Nomor : 201 Tahun
2004 Tentang Kriteria Baku dan Pedoman
Penentuan Kerusakan Mangrove, maka tingkat
kerapatan mangrove di muara Landipo dan
tanjung Tiram masih tergolong sangat padat.
Tingginya kerapatan vegetasi di daerah muara
Landipo, erat kaitannya dengan letaknya yang
berada pada muara yang relatif terlindung,
adanya suplai air tawar secara periodik atau tipe
dasar prairannya berlumpur sehingga sangat
mendukung pertumbuhan bakau. Sesuai dengan
pendapat Bengen (2000) bahwa hutan mangrove
merupakan komunitas vegetasi pantai tropis,
yang didominasi oleh beberapa jenis pohon
mangrove
yang
mampu tumbuh dan
berkembang di daerah pasang surut pantai
berlumpur.
Produksi Detritus
Berdasarkan hasil pengukuran laju
dekomposisi, selama kurang lebih 75 hari
didapatkan rendemen sebesar 9.50% dari total
serasah yang didekomposisi. Hasil penelitian
Rahana (2005) menunjukkan bahwa laju
dekomposisi sebesar 0.0127 g hari-1 dengan
rendemen yang dihasilkan yaitu 9.53%. Dengan
demikian, muara Landipo dengan kerapatan
mangrove 2.804 tegakan/ha, menghasilkan
serasah bahan kering sebanyak 6.7 ton ha-1
tahun-1. Dengan rendemen 9.50% dari hasil
dekomposisi maka dihasilkan detritus sebanyak
636 kg ha-1 tahun-1, setara dengan 3922 kkal ha-1
tahun-1.
Daerah tanjung Tiram dengan
kerapatan
mangrove
2.300
tegakan/ha,
menghasilkan serasah bahan kering sebanyak
4.4 ton ha-1 tahun-1, menghasilkan detritus
sebanyak 420 kg ha-1 tahun-1, setara dengan
2016 kkal ha-1 tahun-1.
Tingginya produksi detritus di muara
Landipo disebabkan kerapatan vegetasi
mangrove dan komposisi jenisnya lebih tinggi,
dengan demikian produktivitas perairan di
muara Landipo juga akan lebih tinggi karena
dinamika serasah mangrove berupa produksi
dan laju dekomposisi mempunyai arti penting
terhadap kesuburan estuaria dan perairan pantai
karena sumbangan nutriennya. Hasil penelitian
Mohammad dkk. (2008) menunjukkan bahwa
dari guguran serasah jenis Rhizophora sebanyak
1119.16 kg ha-1 tahun-1 menyumbangkan nutrien
kedalam perairan sebesar 507.35 kg N per
tahun, 21.90 kg P per tahun dan 25,121.52 kg C
per tahun.
Hutan mangrove Teluk Sepi, Lombok
dengan kerapatan vegetasi 480 pohon hektar-1
dan komposisi jenis terdiri dari Rhizophora
apiculata, R. mucronata, R. stylosa Griff,
Ceriops tagal, C. decandra, Brugueria sp.,
Sonneratia alba dan Aegiceras corniculatum
menghasilkan serasah sebesar 9,9 ton ha-1 thn-1
(Zamroni dan Rohyani, 2008). Jika rendemen
sisa hasil dekomposisi serasah adalah 9.50%,
maka produksi detritus yang dihasilkan
sebanyak 940 kg ha-1 tahun-1. Bahkan produksi
serasah sangat tinggi di kawasan sungai dan
tambak di hutan payau RPH Tritih Cilacap
sebesar 13,37 ton ha -1 tahun -1 (Affandi,
AGRIPLUS, Volume 21 Nomor : 02 Mei 2011, ISSN 0854-0128
181
1996). Jika rendemen sisa hasil dekomposisi
sersah adalah 9.50%, maka produksi detritus
yang dihasilkan sebesar 1.270 kg ha -1 tahun-1.
Karakteristik Kualitas Air
Salinitas di muara Landipo berkisar antara
23.3 – 28.0 ppt, sedangkan di tanjung Tiram
berkisar antara 30.3 – 33.0 ppt. Rendahnya
salinitas di muara sungai Landopo, lebih
dipengaruhi oleh pasokan air tawar yang teratur
dari aliran sungai yang bermuara ke perairan
tersebut. Sedang pada daerah tanjung Tiram
tidak ada pasokan air tawar yang masuk ke
perairan tersebut. Sesuai dengan pendapat
Dahuri (2002) bahwa di daerah yang terdapat
aliran sungai akan terjadi percampuran dua
atau lebih massa air yang berbeda sifatnya. Hal
inilah yang menyebabkan penurunan salinitas
air laut sebagai akibat masuknya air tawar ke
perairan.
Bila dihubungkan dengan proses
dekomposisi serasah menjadi detritus maka
daerah muara Landipo akan lebih cepat proses
dekomposisinya dibandingkan dengan daerah
bersalinitas tinggi (tanjung Tiram) karena
populasi organisme dekomposernya lebih
banyak. Nga et al. (2006) menyatakan bahwa
tingkat dekomposisi dan pelepasan bahan
organik lebih tinggi di salinitas rendah
dibandingkan dengan di air tawar (0 ppt) atau
pada salinitas tinggi (30-35ppt). Kondisi ini
juga berpengaruh terhadap kualitas detritus
(kandungan
Proteinnya
tinggi
karena
dekomposernya
lebih
banyak)
sebagai
makanan ikan belanak.
Zat hara fosfat dan nitrat di perairan
merupakan sumber bahan makanan bagi mikroorganisme laut dan salah satu indikator
kesuburan perairan. Kandungan fosfat di
perairam muara Landipo berkisar antara 0.036 –
0.050 mg l-1 dan di perairan tanjung Tiram
berkisar antara 0.029 – 0.041 mg l-1. Hasil
pengukuran kadar nitrat di daerah muara
Landipo berkisar antara 0.0028 – 0.0086 mg l-1.
Di perairan tanjung Tiram berkisar antara
0.0022 – 0.0061 mg l-1.
Besarnya nilai kandungan fosfat dan
nitrat di perairan muara Landipo berkaitan erat
dengan struktur vegetasi seperti kerapatan yang
tinggi sehingga berpengaruh terhadp produksi
serasah, didukung juga dengan letaknya di
daerah pertemuan air tawar dan air laut. Daerah
pertemuan air tawar dan air laut pada umumnya
subur karena mendapat pasokan bahan organik
dan anorganik baik dari laut maupun dari sungai
termasuk dari daerah itu sendiri mengakibatkan
kadar zat hara di daerah tersebut relatif lebih
tinggi.
Plankton merupakan salah satu
parameter biologis yang erat hubungannya
dengan kandungan zat hara. Tinggi rendahnya
kelimpahan plankton tergantung kepada
kandungan zat hara di perairan tersebut
(Nybakken, 1982).
Makanan
Berdasarkan pengamatan terhadap nilai
indeks isi lambung ikan belanak, Liza subviridis
di muara Landipo berkisar antara 5.7-7.9% dan
tanjung tiram berkisar antara 5.3-7.3%. Hasil
pemeriksaan isi lambung ikan belanak,
selanjutnya dikelompokkan kedalam 6 item
makanan yaitu detritus, foraminifera, alga,
diatom, kopepoda, dan moluska (Gambar 2).
Tingkat keaktifan makan ikan belanak
pada muara Landipo berkaitan dengan
ketersediaan detritus sebagai sumber makanan
ikan belanak, dengan kata lain mangrove muara
Landipo memberikan kontribusi yang lebih
besar sebagai pemasok makanan berupa detritus
dibandingkan daerah tanjung Tiram.
Kelompok jenis makanan yang tertinggi
adalah detritus yaitu sebesar 48.29% pada
muara landipo dan 43.89%. pada daerah tanjung
Tiram. Non detrtus (foraminifera, alga, diatom,
kopepoda, dan moluska), muara Landipo
sebesar 51.71% dan tanjung Tiram 56.11%.
Besarnya kandungan detritus dalam kelompok
makanan
mengindikasikan
eratnya
ketergantungan ikan belanak (Liza subviridis)
pada ekosistem mangrove sebagai pemasok
detritus. Prapaporn et al. (1998) menemukan
persentase tertinggi dari isi lambung Liza
subviridis yang terdapat di perairan mangrove
Thachin, Thailand adalah komponen detritus
sebesar 72 persen.
AGRIPLUS, Volume 21 Nomor : 02 Mei 2011, ISSN 0854-0128
182
Gambar 2. Komposisi makanan ikan belanak, Liza subviridis
Energi pada Otot dan Hati
Data tentang kandungan energi pada hati dan otot ikan belanak di dua lokasi disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Kandungan total energi (kk l) protein, lemak dan karbohidrat pada bagian otot dan hati ikan
belanak.
Lokasi
Muara Landipo
(kkal g-1)
Tanjung Tiram
(kkal g-1)
Protein
Otot
Lemak Karbo
Total
Protein
Hati
Lemak Karbo
168.941
14.896
1.353
185.190
138.492
107.245
1.378
247.115
149.870
15.608
2.167
167.645 124.708
106.939
1.324
232.971
Berdasarkan Tabel 1, tampak bahwa
pemasok energi baik pada otot maupun pada
organ hati adalah komponen protein. Kontribusi
lemak sebagai sumber energi pada organ hati
jauh lebih besar dibanding pada otot.
Hal ini menunjukkan bahwa hati berfungsi
sebagai tempat mendeposit energi dalam bentuk
lemak sebagai energi cadangan. Peran hati
sebagai tempat mendeposit energi cadangan
Total
sesuai dengan pendapat Brusle and Anadon
(1996).
Berdasarkan Tabel 1, juga terlihat
bahwa kandungan energi baik pada otot maupun
organ hati, di stasiun muara Landipo lebih
tinggi dari tanjung Tiram. Perbedaan ini terkait
dengan kualitas makanan (kandungan energi
detritus maupun
non detritus) yang
dikonsumsinya. Perbedaan kandungan energi
baik pada otot maupun hati antara kedua lokasi
AGRIPLUS, Volume 21 Nomor : 02 Mei 2011, ISSN 0854-0128
183
tersebut terutama disebabkan oleh perbedaan
kandungan proteinnya. Kandungan protein pada
otot dan hati di muara Landipo lebih tinggi dari
tanjung Tiram.
KESIMPUAN DN SARAN
Hasil penelitian disimpulkan bahwa:
(1) Kontribusi hutan mangrove sebagai
pemasok detritus ditentukan oleh struktur
vegetasi mangrove dan kondisi lingkungan
perairan. Kontribusi hutan mangrove di muara
Landipo sebagai pemasok detritus lebih tinggi
dari tanjung Tiram. (2) Nilai Index Stomach
Content, komposisi makanan dan mutu
makanan (kandungan energi detritus dan non
detritus) ikan belanak dipengaruhi oleh
struktur vegetasi dan kondisi lingkungan
mangrove. (3) Kualitas ikan belanak
(kandungan energi pada jaringan otot dan
hati) terkait dengan mutu makanannya
(kualitas detritus).
Untuk
mempertahankan
fungsi
ekosistem mangrove sebagai pemasok detritus
yang merupakan sumber makanan potensial
untuk ikan detritivore dan untuk menjamin
keberlanjutan perikanan pantai (perikanan
rakyat) maka vegetasi mangrove perlu
dipertahankan dengan kerapatan > 2300 pohon
ha-1 dengan komposisi jenis yang tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Affandi
Bengen
M. 1996. Produksi dan Laju
Penghancuran Serasah Mangrove di
Hutan Alami dan Binaan Cilacap,
Jawa Tengah. Tesis Pascasarjana
(Magister) Institut Teknologi Bandung
(tidak dipublikaskan).
DG.
2000.
Sinopsis
Teknik
pengambilan contoh dan analisis data
biofisik sumberdaya pesisir. Pusat
Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor.
Bengen DG. 2002. Pedoman Teknis Pengenalan
dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove.
Pusat kajian Sumberdaya Pesisir dan
Lautan.Institut Pertanian Bogor.
Bengen DG. and Dutton LM. 2004. Interaction :
mangrove, fisheries and forestry
management in Indonesia. Fishes and
Forestry.
Worldwide
Watershed
Interaction and Management. Edit by
TG. Northcote and GF. Hartman.
Blackwell Publishing company.
Brusle J and GG Anadon. 1996. The Structure
and fuction of Fish Liver. Fish
Morfology Horizon of New Research.
Edit by JS Datta Munshi and Hiram M
Dutta. AA Balkema Publisher, old post
road, Brookfield USA.
Dahuri
R. 2002.
Integrasi Kebijakan
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan
Pulau-Pulau
Kecil.
Makalah
disampaikan pada Lokakarya Nasional
Pengelolaan Ekosistem mangrove di
Jakarta, 6-7 Agustus 2002
Davis CC. 1955. The Marine and Fresh Water
Plankton. Michigan State
D’Croz L, Del Rosario and Holness. 1989.
Degradation
of
red
mangrove
(Rhizophora mangle L.) leaves in the
Bay of Panama. Rev Biol Trop 37:101–
104
Effendie
MI. 1979.
Metode
Biologi
Perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor
112 p.
Halver JE. 1988. Fish Nutrition. Academis
Press, INC. London, 798 pp.
Laegdsgaard and Craig J. 2001. Why do
juvenile
fish
utilise
mangrove
habitats? Journal of Experimental
Marine Biology and Ecology 257:
229–253.
Lewis R and. G Gilmore. 2007. Important
Considerations To Achieve Successful
Mangrove Forest Restoration With
Optimum Fish Habitat. Bulletin Of
Marine Science 80(3): 823–837.
AGRIPLUS, Volume 21 Nomor : 02 Mei 2011, ISSN 0854-0128
184
Lugendo, Nagelkerken, Van Der Velde and
Mgaya. 2006. The importance of
mangroves, mud and sand flats, and
seagrass beds as feeding areas for
juvenile fishes in Chwaka Bay,
Zanzibar: gut content and stable isotope
analyses. Journal of Fish Biology
69:1639–1661
Mohammad M, Kadarwan S, C Kusuma,
Hartrisari H dan Ario D. 2008. Laju
dekomposisi serasah mangrove dan
kontribusinya terhadap nutrient di hutan
mangrove reboisasi. Jurnal penelitian
perikanan. II(1):19-25.
Musfiroh I, Wiwiek I, Muchtaridi dan Yudhi.
2007.
Analisis - Karoten dalam
Proksimat dan Penetapan Kadar Selai
Lembaran
Terung
Belanda
(Cyphomandra betacea Sendtn. ) dengan
Metode
Spektrofotometri
Sinar
Tampak. Fakultas Farmasi Universitas
Padjadjaran
Nga, Roijackers and M Scheffer. 2006.
Effects of Decomposition and Nutrient
Release of Rhizophora apiculata
Leaves on The Mangrove-Shrimp
Systems in The Camau Province
Vietnam. International Symposium on
Southeast Asian Water Environment.
Vol. 4
Nybakken, JW. 1982. Biologi Laut: Suatu
Pendekatan Ekologis. Alih bahasa: HM
Eidman, Koesoebiono, DG Bengen, M
Hutomo dan S Sukar. PT. Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta.
Nurjana DJ. 2010. Analisis Proksimat Daun
Singkong. Departemen Ilmu Nutrisi dan
Teknologi Pakan. Fakultas Peternakan.
Institut Pertanian Bogor.
Odum WE and Heald EJ. 1975. The detritusbased food web of an estuarine
mangrove community. In: Ronin LT
(ed) Estuarine research. Academic
Press, New York, pp 265–286
Prapaporn W, S Premcharoen, S Janekitkarn
and W Maneepitaksanti. 1998. Food
items and feeding habits of the
greenback mullet, Liza subviridis
(Valenciennes, 1836), in the mangrove
areas surrounding Thachin estuary,
Changwat Samut Sakhon. Congress on
Science and Technology of Thailand,
Bangkok (Thailand), 19-21 Oct 1998. p.
438-439
Rahana AJ. 2005. Biomass litterfall and the
composition rates for the fringed
Rhizophora forest lining the bon accord
lagoon. Tobago.
Revista biology
tropical Vol. 53 Suplemen 1.
Sachlan M. 1982. Planktonologi. Fakultas
Peternakan dan Perikanan UNDIP.
Semarang.
Sediatama. 1987. Gizi.. Dian Rakyat, Jakarta.
Sukristijono. 2004. Fisheries associated with
mangrove ecosystem in Indonesia: a
view from a mangrove ecologist.
Biotropia: the Southeast Asian journal
of tropical biology Penerbit : Southeast
Asian Regional Center for Tropical
Biology Volume : NULL 23: 13-39
Sulistiono. 1998. Fishery biology of the whiting
Silago javanica and S. sihama. Tesis.
Tokyo University of Fisheries. 168 hal.
Yamadji CS. 1976. Illustration of the Marine of
Japans. Hoikusha Publishing Co. Ltd.
London
Zamroni dan Rohyani, 2008. Produksi Serasah
Hutan Mangrove di Perairan Pantai
Teluk
Sepi,
Lombok
Barat.
Biodiversitas 9(4):284-287.
AGRIPLUS, Volume 21 Nomor : 02 Mei 2011, ISSN 0854-0128
Download