Bom Itu Ditujukan kepada Siapa... Hari Minggu (2/10) yang panas Denpasar terasa lengang. Jalanan relatif sepi. Toko dan usaha jasa lainnya, walaupun buka, tampak sepi pengunjung. Biasanya di hari Minggu pusat perbelanjaan itu dipadati pengunjung. Itulah sekilas potret Kota Denpasar dan sekitarnya sehari setelah tiga bom meledak di Kuta dan Jimbaran. Situasi sepi yang memicu kekhawatiran. Hari ini sepi luar biasa. Tak ada wisatawan berbelanja, tutur Made Gunawan pemilik usaha Sagu Bali Handicraft di Jalan Raya Kerobokan, Denpasar. Jejeran art shop di kawasan Kerobokan dan sekitarnya juga tampak sepi. Wisatawan asing hanya sedikit di kawasan Seminyak, Legian, dan Kuta—lokasi favorit mereka. ”Mungkin mereka di hotel sambil menunggu perkembangan,” kata Made lagi. Reaksi juga datang dari tokoh masyarakat Gianyar, Cok Gede Suryawan, yang mengaku langsung lemas dan terharu. Saya langsung membayangkan Bali kembali terpukul, tutur Cok, Ketua DPD Partai Golkar Bali. Perekonomian Bali yang bergantung pada pariwisata terguncang saat peledakan bom di Bali 12 Oktober 2002. Namun, kondisi saat ini, menurut Sekretaris Umum Federasi Serikat Pekerja Mandiri Odie Hudiyanto—yang banyak berkomunikasi dengan karyawan perhotelan di Bali—tingkat hunian hotel Agustus-Oktober 2005 mencapai 95 persen. Bahkan beberapa hotel di kawasan Nusa Dua over- booked. Tokoh masyarakat Kelurahan Tonja, Kota Denpasar, I Nyoman Subadi Kamajaya menyatakan kesedihannya karena bom itu dia perkirakan akan kembali menghancurkan perekonomian Bali yang mulai membaik. Bahkan, Kelian Dinas Banjar Tegeh Sari itu mensinyalir peristiwa ini adalah upaya mengganggu persiapan umat Hindu Bali yang menyongsong Hari Raya Galungan, Rabu pekan ini. Galungan merupakan hari raya di mana umat Hindu Bali merayakan kemenangan dharma (kebaikan) dari a-dharma (keburukan) di dunia. Harapan saya, orang Bali tidak sampai terpancing. Kita harus menahan diri menghadapi Hari Raya Galungan, tuturnya. Ketua Badan Pimpinan Daerah Bali Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (BPDB PHRI) Tjok Oka Artha Ardhana keberatan dengan penilaian itu. Memang betul bom ini menyakiti orang Bali, tetapi orang tahu korban bom ini menyerang semua suku, tidak saja orang Bali, juga orang Jakarta, orang Jawa, dan turis asing. Bom ini menyerang Indonesia. Teroris ini menyerang turis, kata Tjok Oka yang terlibat dalam evakuasi dan pertolongan korban bom tersebut. Untuk menenteramkan turis dan wisatawan mancanegara, Asosiasi Pramuwisata Indonesia langsung menyebar anggota, untuk meminta maaf dan hasilnya: tidak langsung terjadi eksodus. Kini yang menjadi pertanyaan adalah soal keamanan pariwisata. Guru Besar Ergonomi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar, Prof Adnyana Manuaba mengungkapkan, setiap kali orang Bali menyatakan Bali aman, turis selalu bertanya balik, Buktinya mana? Setelah bom tahun 2002 Pemprov (Pemerintah Provinsi Red) Bali dan dunia wisata berkomitmen membangun sistem pemantauan di tiga pintu masuk Bali, tetapi hingga kini tak pernah direalisasikan. Itulah sebenarnya jawabannya. Sis- tem pemantauan itu, kata Adnyana. Jadilah Kuta menjadi magnet wisata dan ikon Bali yang menghasilkan Rp 225 miliar setahun pajak hotel dan restoran (PHR) bagi Pemerintah Kabupaten Badung—PHRI Pemprov Bali, Rp 350 miliar setahun. Teroris boleh jadi menggunakan bahasa tanda dengan menyerang ikon tersebut dan menyerang di saat yang tepat ketika masyarakat Indonesia masih panik akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) 18 jam sebelum bom meledak. Skala atau jumlah korban rupanya memang bukan lagi tujuan utama dan tidak penting lagi, ketika kepanikan dan ketidakpercayaan dalam kondisi mudah digoyahkan. Lalu pertanyaannya, Bom ini ditujukan kepada siapa? (FRANS SARONG/Brigitta Isworo/DODY WISNU PRIBADI)