MERUMUSKAN KEBERISLAMAN SECARA BARU Audith M

advertisement
MERUMUSKAN KEBERISLAMAN SECARA BARU
Audith M Turmudhi
(Dimuat pada Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi “Prisma”, No. 3, Tahun XX,
Jakarta: LP3ES, Maret 1991)
Al-Qur’an secara desisif menempatkan manusia pada posisi yang
sedemikian sentral dan terhormat dalam kancah kehidupan, yakni sebagai
“wakil” dan “partner” Allah di muka bumi atau khalifatullah fi al-ardh. Itulah
sebabnya umat Islam sudah seharusnya sadar akan tugas sejarahnya yaitu
menciptakan tatanan dan kondisi kehidupan yang terus-menerus menjadi lebih
baik bagi seluruh manusia, dan mewujudkan cita-cita Islam sebagai rahmat bagi
alam semesta. Sejarah membuktikan bahwa umat Islam selalu terpanggil untuk
tampil merespon perkembangan zaman, lebih-lebih lagi pada saat-saat yang
krusial.
Agaknya yang harus lebih disadari betul oleh umat Islam, adalah bahwa
dunia umat manusia ternyata terus-menerus mengalami perubahan, beserta
segala tantangannya. Pada masa hidup Al-Ghazali (450-550 H) misalnya,
tantangan Islam yang maujud adalah konflik internal kaum muslimin yang
sedemikian gawat, yakni antara sufisme yang sangat menekankan dimensi
dlama-ir (esoteris) dan fiqh yang sangat menekankan dimensi zhawahir
(eksoteris), juga antara sufisme dan ilmu kalam yang sangat menekankan
argumen rasional. Pada masa itu, rumusan keberislaman yang disodorkan tokoh
ini diakui berjasa besar dalam menyelesaikan konflik-konflik tersebut. Sekarang
tantangan Islam untuk sebagian besar bersifat baru sama sekali. Karena itu
Islam harus tampil dalam sosok atau kemasan yang baru pula. Penekanan pada
unsur kebaruan agaknya sangat diperlukan mengingat Islam telah mengalami
kemacetan intelektual selama sekitar seribu tahun, sementara perubahan dunia,
terutama dalam kurun waktu dua ratus tahun terakhir ini, berlangsung secara
dahsyat oleh revolusi ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sebagaimana diketahui, revolusi ilmu pengetahuan dan teknologi bukan
saja telah mengubah semua realitas fisik dan sosial, tapi juga mengubah
persepsi dan pandangan kita tentang kehidupan. Kuatnya pengaruh ilmu
pengetahuan dan teknologi dalam mengubah pandangan tentang kehidupan,
telah menjadikannya mencapai posisi ideologi. Ilmu dan teknologi, kata
Habermas, kini telah menjadi ideologi tersendiri yang mempunyai kekuatan untuk
mendikte sejarah dan mentransformasikannya untuk kepentingannya sendiri.
Islam adalah karunia dan rahmat Allah yang diperuntukkan bagi umat
manusia (dan bukan sebaliknya), untuk membimbing umat manusia sepanjang
zaman. Itu sebabnya Islam sangat berkepentingan terhadap seluruh realitas
hidup umat manusia , baik dalam realitas subjektif (kesadaran, motif-motif dan
sikap-sikap jiwa), realitas simbolis (ilmu dan seluruh konsep-konsep intelektual),
maupun dalam realitas objektif (seluruh karya atau hasil pemikiran, baik berupa
sistem-sistem sosial-ekonomi-politik-budaya yang kita bangun atau kita afirmasi,
maupun berwujud barang-barang atau benda-benda yang kita hasilkan). Karena
ketiga realitas tersebut senantiasa dalam perubahan, maka pembaruan
keberislaman adalah keharusan sejarah yang terus-menerus.
Berkaitan dengan itu, Al-Qur’an memberikan dua macam petunjuk:
pertama, petunjuk tentang nilai-nilai kebenaran yang bersifat mutlak-eternal;
kedua, petunjuk tentang bagaimana mengeksteriorisasikan nilai-nilai kebenaran
tersebut dalam konteks ruang, waktu dan peristiwa tertentu, melalui contoh
respon kongkret Qur’ani terhadap realitas sejarah. Jadi ada kebenaran yang
eternal dan ada pula kebenaran yang temporal.
Sedangkan tindakan nyata Nabi Muhammad SAW., dapat kita pandang
sebagai contoh-contoh lebih detil lagi mengenai bagaimana eksteriorisasi atau
penerjemahan nilai-nilai kebenaran eternal dalam konteks ruang dan waktu;
sekaligus sebagai contoh sebaik-baiknya setelah Al-Qur’an sendiri. Dari situ
sebenarnya umat Islam dapat merumuskan metodologi eksteriorisasi setelah
terlebih dahulu merumuskan nilai-nilai kebenaran eternal Al-Qur’an dan
memahami dengan baik struktur dan kondisi sosio-kultural masyarakat pada
masa hidup Rasulullah. Dengan metodologi tersebut, proses eksteriorisasi di
masa sekarang dan di masa mendatang akan berlangsung secara lebih
terbimbing.
Adapun hasil pemikiran para ulama, terutama karya-karya intelektual
klasik yang merupakan hasil perumusan gemilang pada periode formatif Islam,
yakni pada kurun waktu sekitar dua setengah abad setelah wafatnya Rasulullah,
harus kita pandang sebagai warisan kultural Islam yang luar biasa berharga
untuk kita dialogi, namun tidak untuk mendikte. Kita harus terus-menerus
membangkitkan intelektualisme kita sendiri, karena hidup harus kita orientasikan
ke masa kini dan ke masa depan, bukan ke masa lalu. Semangat atau nilai
kebenaran eternal Al-Qur’an harus terus-menerus kita terjemahkan di dalam
konteks zaman yang terus berkembang. Maka pembaruan, bukan saja
diperlukan karena Islam telah mengalami degenerasi pada pasca periode
formatif sebagai akibat pergaulan Islam dengan pelbagai budaya lokal dan
pelbagai faham non-Islam, tetapi juga karena maturitas umat manusia secara
keseluruhan
oleh
akumulasi
pengalaman
sejarahnya
tentunya
terus
berkembang, juga karena perkembangan kompleksitas zaman. Dan umat Islam,
sebagai umat yang meyakini kebenaran Al-Qur’an, tentulah harus selalu dapat
menegakkan suatu leading Islamic civilization, sebagaimana telah terbukti pada
masa-masa kejayaan umat Islam dahulu, bukan seperti kenyataan sekarang.
Lemahnya posisi Islam di tengah peradaban dunia saat ini pastilah akibat
kecelakaan sejarah atau pada dasarnya karena kesalahan umat Islam sendiri.
Jadi seluruh produk historical Islam, harus sungguh-sungguh kita kritisi,
karena status kebenarannya relatif. Bahkan juga terhadap apa yang kita
persepsikan sebagai nilai-nilai kebenaran mutlak-eternal itu pun tetap harus kita
buka kemungkinan kekeliruan dan kekuranglengkapannya.
Problematika Global
Dewasa ini umat manusia dihadapkan pada berbagai masalah global
mondial yang luar biasa serius. Kondisi lingkungan hidup kita sudah sedemikian
gawat mengancam keselamatan seluruh umat manusia – dengan jebolnya
lapisan ozon di atas kutub selatan, naiknya permukaan air laut, turunnya hujan
asam, memanasnya suhu udara dan mulai kacaunya iklim, dan lain-lain. Semua
itu tidak lain sebagai akibat ulah manusia sendiri, yakni oleh filsafat materialisme
dan ateisme yang menuntun pandangan masyarakat dunia, yang mendasari dan
menyemangati ilmu, teknologi, industri, praktik bisnis dan seluruh pola hubungan
eksploitatif, baik antar manusia maupun manusia dengan alam.
Peradaban kita dewasa ini digerakkan oleh jiwa dan semangat yang
penuh keserakarahan, kesombongan, egoisme, hedonisme dan ketidakpedulian
akan kebutuhan dan kesusahan sesama manusia, alam dan kehidupan di masa
depan. Disebutkan olah Erich Fromm, bahwa masyarakat moderen adalah
masyarakat yang acquisitive, yakni masyarakat yang berorientasi dan bermodus
eksistensi to have, penuh nafsu untuk memiliki lebih banyak dan lebih banyak
lagi, tak puas-puasnya. Dalam masyarakat demikian, mendemonstrasikan
kekuasaan dan kesuksesan material, merampas kesempatan dan hak-hak orang
lain, menjadi pola-pola perilaku umum. Filsafat dan sikap jiwa tersebut adalah
sumber dari pelbagai-bagai krisis: ekologi, sosial-budaya dan kemanusiaan.
Alhasil, dalam zaman yang oleh Tillich disebut sebagai the age of anxiety ini,
kebahagiaan makin jauh dari batin umat manusia. Padahal semangat yang sakit
itu menebar ke mana-mana, berpusar keras di seluruh atmosfer kehidupan, tak
terkecuali ke tengah-tengah masyarakat kita.
Dengan demikian problematika keindonesiaan saat ini, untuk sebagian
utamanya, dapat dilihat dalam perspektif problematika global umat manusia
sebagaimana diterangkan di atas. Marjinalisasi dan penggusuran masyarakat
kecil oleh kekuatan-kekuatan industrial, ketimpangan penguasaan sumbersumber ekonomi dan ketidakadilan dalam distribusi hasil-hasil pembangunan
sehingga terjadi keberlimpahan pada sekelompok anggota masyarakat di satu
pihak dan kemiskinan rakyat banyak di pihak lain, tidak terlepas dari globalisasi
semangat materialisme-individualisme. Kuatnya pemihakan kekuasaan pada
kepentingan industrial, dan lemahnya pembelaan pada kebutuhan rakyat-kecilbanyak, yakni kaum tani, pedagang kecil, buruh, kaum pencari kerja – yang
semua itu seakan-akan menjadi beyond help oleh sebab lemahnya kekuatan
sipil dalam mengontrol kebijakan-kebijakan penguasa, akibat belum cukup
dikembangkannya demokrasi politik di negeri ini – adalah buah yang wajar dari
sistem ekonomi kapitalistik yang kita terapkan. Suatu sistem kapitalistik yang
bukan
saja dalam dirinya tidak berintikan moralitas kemanusiaan dan
kebertuhanan, tetapi juga yang praktik-praktiknya belum cukup mengalami revisi
sehingga masih sarat mengidap ciri-ciri kapitalisme dekaden abad lalu. Dalam
istilah Yoshihara Kunio, kapitalisme kita adalah suatu ersatz capitalism, yaitu
bertumbuhkembangnya kaum kapitalis bukan melalui mekanisme wajar,
melainkan melalui patronase, perlindungan atau koneksi dengan kekuasaan.
Keberislaman dalam Konteks Indonesia Kini
Dengan konteks persoalan tersebut kiranya dinamika keberislaman yang
sangat menggairahkan saat ini, arus utamanya harus kita arahkan pada hal-hal
berikut:
Pertama, umat Islam harus menghadapkan kesadarannya tidak semata
kepada problem keindonesiaan saja, tetapi harus memperluas concern-nya
kepada masalah global-mondial, dan tentu saja keterkaitan antara keduanya.
Dengan begitu jawaban lokal kita pun, tetap berwawasan global. Berkaitan
dengan ini, intelektualisme Islam Indonesia harus aktif menggabungkan diri
dengan arus intelektualisme Islam Internasional.
Kedua, upaya pencerdasan kehidupan umat Islam, haruslah lebih
dipersungguh-sungguh. Umat Islam harus didorong untuk berjuang menguasai
ilmu dan teknologi, serta menerjuni segala sektor kehidupan moderen, agar
terkuasai seluruh idiomnya. Hanya dengan cara demikian umat Islam dapat
memiliki power untuk memimpin peradaban. Tetapi berbarengan dengan ini,
upaya Islamisasi dan atau penggalian ilmu-ilmu yang orisinal Islami haruslah
dilakukan. Pembahasan mengenai rumusan sistem-sistem sosial, ekonomi dan
politik yang Islami perlu dipertajam. Ini dikarenakan kita tidak hendak
mengafirmasi dan melarutkan diri dengan semua idiom-modernitas, lebih-lebih
lagi terhadap sistem sosial yang eksploitatif. Berbarengan dengan itu pula perlu
dikembangkan kritisisme atas faham dan praktik keberislaman warisan masa
lalu, dalam seluruh seginya. Dalam hal ini, kiranya pemikiran Islam kaum
mu’tazilah sangat baik diintroduksikan di tengah-tengah masyarakat kita, untuk
mendorong keberanian berpikir umat Islam. Begitulah, berpikir kritis sistematis,
harus diarahkan sekaligus kepada kedua sumber ayat-ayat Allah, yakni kepada
diri manusia dan alam semesta (ayat-ayat kauniyah) dan kepada Al-Qur’an
(ayat-ayat kauliyah) dan dengan mendialogkan keduanya. Untuk itu semua,
sungguhlah besar manfaat filsafat.
Ketiga, pelaksanaan prinsip amar ma’ruf nahi munkar mutlak diperlukan
untuk mendorong terciptanya masyarakat etis dan egaliter.
Mengingat problem-problem sosial yang menyertai pembangunan dan
perubahan sosial, maka amat penting para intelektual Islam lebih mempervokal
advokasinya atas kelompok masyarakat lemah yang terkorbankan dalam proses
pembangunan dengan memperkeras suara kritik terhadap budaya yang
mendemoralisasi masyarakat dan bertentangan dengan hati nurani rakyat, dan
dengan lebih memperkeras dorongan terhadap proses demokratisasi politik dan
ekonomi, terutama dalam politik distribusi hasil-hasil pembangunan. Jika
kepentingan masyarakat bawah dan aspirasi umat Islam dapat diartikulasikan
secara vokal oleh para intelektual muslim yang berintegritas, maka pikiran
tentang perlunya umat Islam kembali berpolitik formal atau kembali berpartai
politik (misalnya dikaitkan dengan kemungkinan telah dekatnya kedatangan
periode “pasca Orde Baru”) akan makin kehilangan relevansinya. Ini penting
mengingat pada masa sekarang ini, berpartai-politik-Islam agaknya tetap lebih
banyak menghasilkan kemudaratan daripada kemanfaatan bagi umat Islam.
Dengan tidak berpartai politik, umat Islam dapat lebih cair memasuki berbagai
kotak sosial karena Islam tidak tereduksi seakan identik dengan partai Islam, dan
dapat lebih berkonsentrasi menggarap masalah-masalah yang lebih strategis,
sehingga dapat lebih produktif untuk jangka panjang.
Keempat, perlu dikembangkan teologi Islam yang memandang pentingnya
dimensi tasawuf. Ini sangat penting, karena dua hal. Pertama, betapa
berbahayanya akal kecerdasan, ilmu dan teknologi jika dinamikanya tidak
didorong dan dibimbing oleh motif-motif rohani yang bersih. Kedua, pemikiran
keagamaan kaum fuqaha yang memperlakukan agama lebih sebagai ‘hukum’
dan pemikiran kaum modernis yang mengembangkannya menjadi semacam
‘ideologi’, ternyata sama-sama kurang memperhatikan dimensi batin atau
kedalaman, yang sesungguhnya menjadi inti keberagamaan.
---- &&&----
Download