3 - eLisa UGM

advertisement
(3)
KEBUDAYAAN ARAB :
KEHIDUPAN TAREKAT SYÂDZILIYYAH
1. Pendahuluan
Sufisme menjadi fenomena umum pada abad ke-13 M dan puncaknya adalah
karya Ibnu Araby (wafat 1240 M) yang dengannya bermunculan tarekat-tarekat.
Tidak hanya sampai di sini, berkembangnya tarekat telah memaksa gerakan politik
dan pemerintah melakukan penyesuaian kebijakan umum, baik di Barat maupun di
Timur. Hal ini karena gerakan sufisme mampu menggelorakan semangat
komunitasnya secara menyeluruh. Di dunia Islam bagian barat, setelah berakhirnya
pemerintahan al-Muhandisûn, banyak peraturan baru yang dibuat dan pada saat
inilah Tarekat Syâdziliyah untuk pertama kalinya lahir di Tunisia. Pada Abad
Pertengahan, kekuasaan Ayyubiyah di dunia Timur mengalami perpecahan dan
digantikan dinasti Mamlûk. Dinasti Mamlûk mampu membendung gerakan ke barat
pasukan Mongol dan menjadikan Kairo sebagai pusat pemerintahan karena Baghdad
telah dikuasai Mongol. Ini terjadi pada tahun 1259 M, beberapa bulan sebelum
wafatnya pendiri Tarekat Syâdziliyah, Imam Abu Hasan al-Syâdzily.
Tarekat Syâdziliyah selanjutnya berkembang pesat di Kairo dan kawasan
Timur Tengah lainnya pada masa Mamlûk. Akan tetapi, asal Tarekat Syâdziliyah
adalah dari negeri Maghrib (Spanyol, Maroko, Tunisia dan sebagian kecil Libya).
Sebagian tokoh yang memberikan pengaruhnya atas pendiri Tarekat ini adalah Abu
Madyan Syu’aib al-Maghriby (wafat 1197 M), Ibnu ‘Araby (wafat 1240 M), AbdusSalâm Ibnu Masyish (wafat 1228 M), Ibnu Sab’în (wafat 1271 M), dan as-Syustary
(wafat 1270 M) (www.sunnirazfi.2005).
Peranan negeri Maghrib dalam kehidupan spiritual Islam dimulai pada abad
ke-13 M dan tetap menjadi pertanyaan yang belum terjawab, tetapi munculnya
Syâdziliyah sedikit membuka tabir misteri tersebut. Praktisnya, semua gerakan
sufisme Islam muncul di Timur, tetapi Syâdziliyah adalah satu-satunya yang muncul
dari kawasan Barat dunia Islam dan terus mengembangkan sayapnya ke Timur
hingga saat ini.
Dalam sejarah Islam, dikenal beragam tipe sufi yang salah satunya adalah
Normative Sufism. Tipe ini dicirikan dengan kebiasaan sang sufi yang unik,
penyendiri, anti kesenangan dunia, dan terkadang berperilaku ‘melawan’ syariah.
Contoh paling nyata dari tipe ini adalah al-Hallaj (wafat 922 M). sementara, apa yang
mencoba dibangun oleh imam as-Syâdziliy adalah cara menjalani praktik sufisme
dengan tetap berperilaku sebagaimana orang kebanyakan. Gerakan Tarekatnya
memberikan pengaruh yang luar biasa dalam dunia Islam dan sejarah Islam.
2. Abu Hasan as-Syâdzily sebagai Peletak Dasar Tarekat Syadziliyyah
Imam Abu Hasan as-Syâdzily lahir di Ghumarah, dekat Ceuta, di Maroko
Utara, pada tahun 1197 M. Ini adalah tahun ketika al-Muhandisun berada pada akhir
masa kejayaannya. Dia adalah keturunan Syarif Hassan. As-Syâdzily adalah
penganut Mâliky yang haus ilmu. Tekun belajar dan ketika masih kecil dia sudah
sering terlibat perdebatan soal hukum dengan para ulama ternama saat itu. Dia
bertemu suatu saat di Jabal ‘Alam, dekat Tetuan dengan Abdus-Salâm Ibnu Masyish
(wafat 1228 M) yang memberikan pengaruh luar biasa kepadanya. Imam as-Syâdzily
dikenal sebagai ‘Kutub Barat’ dunia sufi sebagaimana Abdul-Qâdir al-Jaylâny (wafat
1166 M) dikenal sebagai ‘Kutub Timur’nya sufi. As-Syâdzily hanya sebentar tinggal
dengan gurunya kemudian berangkat ke Syâdzilah, di Tunisia atas perintah gurunya.
Dari sinilah kemudian nama aslinya Abu Hasan diberi tambahan as-Syâdzily. Setelah
latihan spiritual yang melelahkan di Jabal Zaghwan, dia diamanatkan melalui mimpi
oleh gurunya untuk mengajar sufisme (www.sunnirazfi.2005).
Dia mengawali praktik gerakan sufistiknya di Tunisia pada tahun 1228 M. Ini
adalah tahun ketika Abu Zakariyya menjadi gubernur baru dan dia mengunjungi
Imam as-Syâdzily di kota itu. Tarekat Syâdziliyah sukses dan mendapat banyak
pengikut termasuk dari keluarga sultan. Pada tahun 1244 M, Imam as-Syâdzily,
berdasarkan perintah dalam mimpinya, berangkat ditemani para muridnya menuju
Alexandria. Di kota ini ia tinggal dan menjalankan tarekatnya di salah satu menara
yang diberikan kepadanya oleh Sultan Ayyubiyah. Di negeri ini, Mesir, ia mendapat
sukses besar. Tarekatnya banyak diikuti oleh para pejabat tinggi kerajaan, bahkan
43
ulama besar seperti Izzud-Dîn Ibnu Abdis--Salâm (wafat 1262 M), juga ulama
Syafi’i tradisional al-Munzhiry (wafat 1258 M), tokoh-tokoh sufi, dan orang
kebanyakan dari beragam tingkatan di masyarakat. Pada tahun 1248 M, dia
mengalami kebutaan, dan di negeri ini pula ia ikut ambil bagian, dengan caranya
sendiri, dalam perang al-Manhurah di Mesir. Perang melawan serangan ke-7 pasukan
Kristen yang dipimpin oleh Santo Louis dari Prancis. Beberapa bulan sebelum asSyâdzily berangkat ke Mekkah untuk menunaikan hajinya yang terakhir, Baghdad
jatuh ke tangan Mongol. Dalam perjalanan hajinya, dia ditemani banyak muridnya,
tetapi ia jatuh sakit di bagian timur gurun Mesir, di sebuah tempat bernama
Hamaitirah, di tempat itu Imam as-Syadzily wafat pada tahun 1253 M
(www.sunnirazfi.2005).
As-Syâdzily tidak pernah menulis satu buku pun atau pun risalah tentang
sufisme, tetapi dia menulis hizb-hizb (doa-doa khusus). Di antara beberapa nama hizb
terkenal yang pernah dia tulis adalah Hizbul-Bahri dan Hizbul-Anwâr. Menurut
pengakuannya, hizb-hizb itu didapat melalui mimpi dan diajarkan langsung oleh
baginda Nabi Muhammad saw.
3. Ajaran Abu Hasan as-Syâdzily
Tarekat yang didirikan oleh Imam as-Syâdzily didasarkan pada ajaran
metafisik dan spiritual dari doktrin Islam tentang tauhid. Tujuan dari apa yang
dipraktikkannya adalah ma’rifatullah. Dua pilar utama dari ajarannya adalah tauhid
dan dzikrullah. Yang pertama lebih terkait dengan soal doktrin, sementara yang
kedua lebih ke arah metodologi dalam pencapaian ma’rifat.
Sebelum Imam as-Syâdzily wafat pada 1258 M, dia telah menunjuk Abul
‘Abbas al-Mursyiy sebagai penggantinya. Orang kedua dalam tarekat ini lahir di
Murcia, Spanyol pada tahun 1220 M. Di kota yang sama ini juga dilahirkan Ibnu
‘Araby dan Ibnu Sab’în. Kira-kira pada usia 24 tahun, al-Mursyiy pergi menunaikan
ibadah haji dengan keluarganya ke Mekkah, tetapi kapalnya karam di perairan
Aljazair. Semua yang bersamanya tewas, tetapi hanya dia dan saudaranya yang
selamat dengan berenang ke pantai. Setelah tinggal beberapa waktu di Afrika Utara,
mereka bertemu Imam as-Syâdzily dan akhirnya bergabung dalam tarekatnya.
Sebagaimana Imam as-Syâdzily, al-Mursyiy juga tidak menulis risalah tentang
44
sufisme, tetapi dia menulis hizb-hizb. Salah satu murid al-Mursyiy yang paling
dikenal dalam dunia Islam adalah al-Bûshîry yang menulis Kasidah Burdah. Masih
banyak lagi murid ternama al-Mursyiy yang meskipun kurang terkenal dalam dunia
Islam, tetapi mereka memainkan peran penting sufisme di Timur Tengah. Di
antaranya adalah Syekh Yaqut al-‘Arsyiy (wafat 1332 M). Dia adalah guru keturunan
Abyssina di Alexandria yang pernah dikunjungi oleh Ibnu Batutah pada tahun 1325
M. Tokoh lain adalah Syaykh Najmud-Dîn al-Isfahâny (wafat 1321 M); yang
terakhir adalah Syaykh Ibnu ‘Atha`illah (wafat 1309 M) yang merupakan mata rantai
ketiga yang namanya sering disebut dalam aturan hizb Tarekat Syâdziliyyah.
Sejak kecil asy-Syâdzily telah menunjukkan sifat-sifat saleh dan sufi; ia
memakai baju yang diberikan oleh kedua orang gurunya yang bernama Abû Abdillâh
Harâzim dan Abdullâh Abdus-Salâm bin Masyisy. Kedua gurunya ini menganut
tarekat Khalifah Abu Bakar dan Khalifah Âli bin Abi Thâlib. Pada waktu masih usia
belia, asy-Syâdzily pergi dari tempat kelahirannya ke Tunisia untuk menuntut ilmu.
Setelah tinggal di kota itu beberapa tahun, ia berangkat menuju negara-negara Islam
di Timur untuk belajar kepada para mursyid, yaitu ke Arab Saudi untuk menunaikan
ibadah haji dan ke Irak (Atjeh, 1984:276-277) untuk memperdalam ilmu-ilmu agama
Islam. Ay-Syâdzily menunaikan ibadah haji setiap tahun, dan pada tahun terakhir
menunaikan ibadah hajinya, ia memberikan nasihat kepada murid-muridnya seakanakan mengetahui bahwa ia akan meninggal dunia. Sesampai di Hamerastira, ia
mandi kemudian mengerjakan salat dua rakaat, dan di dalam sujudnya yang terakhir
ia wafat (al-Fathani, 1985:100).
Di samping memperdalam ilmu tasawuf dan mengamalkannya dalam
kehidupan sehari-hari, asy-Syâdzily sebenarnya juga seorang ahli ilmu syariat yang
didapatkankannya dari guru-gurunya, yaitu Ibnul-Châjib, ’Izzud-Dîn ibnu AbdisSalâm, Ibnu Daqîq al-’Îd, ash-Shalâch, dan Ibnu ’Ushfûr (al-Fathani, 1985:100).
Jadi, asy-Syâdzily, sebagai seorang sufi dan ulama, memiliki pengetahuan yang
lengkap, yaitu syariat dan tasawuf, yang kemudian diamalkannya dalam bentuk
tarekat, yang bernama Tarekat Syâdziliyyah.
Walaupun Tarekat Syâdziliyyah mengambil jalan sufisme, tetapi sebuah fakta
yang tidak terbantahkan adalah bahwa tarekat ini bermadzhab Mâliky dalam bidang
hukum. Hal ini sangat wajar karena Tunisia, sebagai negeri kelahiran tarekat ini dan
45
negeri-negeri di wilayah Maghrib lainnya menganut Mâliky. Begitupun Alexandria
atau Iskandariah di Mesir sebagai ibukota kedua tarekat ini pada saat itu juga
menganut madzhab Mâliky (www.sunnirazfi.2005).
4. Warisan Karya Tarekat Syâdziliyyah
Meskipun Mâliky adalah madzhab yang dominan dalam perkembangan awal
Tarekat Syâdziliyyah, tetapi praktek sufisme mereka tidak terikat atas suatu madzhab
tertentu. Hal ini dapat dilihat pada karya salah satu tokoh mereka, Syaykh Ibnu
‘Athaillah dan beberapa tokoh yang lain. Di antaranya adalah Khatmul-Walâyah
karya al-Hakim at-Tirmidzy dan Mawâqif karya an-Nâfiry. Juga yang tidak kalah
pentingnya adalah karya komentar atas Quttul-Qulûb karya Abû Thâlib al-Makky
dan Ihya ‘Ulumid-Dîn karya Imâm al-Ghazâly.
Sebagaimana yang telah disebutkan bahwa Tarekat Syâdziliyyah mengalami
pergerakan dari barat (Afrika Utara) menuju timur (Timur Tengah). Hal ini
dikarenakan para guru tarekat ini mengikuti jejak para pendahulunya, seperti Syaykh
Imam as-Syâdzily yang hijrah dari Tunisia ke Alexandria dan akhirnya menetap di
kota itu. Alasan lainnya adalah faktor alami bahwa umat Islam yang ada di barat
(Afrika) pelan tapi pasti akan bergerak ke timur menuju Mekkah sebagai pusat Islam.
Dengan pergerakan ini, baik langsung maupun tidak langsung, turut memainkan
penyebaran tarekat ini ke dunia Islam bagian timur.
Sebuah tarekat yang besar seperti Syâdziliyyah ibaratnya adalah pohon yang
bila semakin besar akan memiliki banyak cabang dan ranting. Yang terjadi pada
Syâdziliyyah juga demikian. Kebesaran tarekat ini telah memunculkan cabangcabang tarekat baru, di antaranya adalah Tarekat Wafâ’iyyah, didirikan oleh
Syamsuddin Muhammad Ibnu Ahmad Wafa’ (wafat 1359 M) di Mesir. Wafaiyyah
banyak tersebar di kawasan Timur Tengah di luar wilayah Mesir. Tarekat baru ini
mengembangkan pakaiannya sendiri yang khas. Beberapa cabang yang lain adalah
Tarekat
Hanafiyyah,
Jazûliyyah,
Nashîriyyah,
‘Isâwiyyah,
Tihâmiyyah,
Darqâwiyyah, dan Zarûqiyyah (www.sunnirazfi.2005).
46
5. Islam dan Tarekat di Dunia Arab
Setelah kemunduran yang dialami Utsmâny di Turki, Safawy di Persia, dan
Mughal di India, praktis dunia Islam secara keseluruhan mengalami kemunduran,
baik dalam bidang budaya dan seni maupun dalam bidang intelektual dan militer
setelah pada abad-abad sebelumnya dengan secara besar-besaran menciptakan hasilhasil budaya dan peradaban. Kini perkembangan budaya dan peradaban beralih ke
tangan Eropa yang berlatang belakang Kristen. Kekuatan penyebaran budaya dan
peradaban Eropa yang materialistis sangat didukung oleh kekuatan militer mereka
dengan gerakan kolonialnya atas dunia Islam.
Salah satu dunia Islam yang tetap kukuh dengan tradisi spiritual keislaman
mereka adalah negeri-negeri di kawasan Maghrib, walaupun pada saat itu Prancis
telah menancapkan kolonialisasinya di Tunisia dan Aljazair. Sejak Perancis pertama
kali datang ke Maghrib justru banyak tarekat yang lahir. Hal ini membuktikan bahwa
walaupun di dunia Islam yang lain lagi mengalami kemunduran, baik bidang budaya
maupun spiritual, tetapi apa yang terjadi di Maghrib justru sebaliknya. Ketika
revolusi Prancis terjadi di Eropa Barat dan justru menghancurkan pandangan Kristen
sendiri, di Maghrib tarekat malah tumbuh subur mengikuti jejak yang ditinggalkan
oleh Imam as-Syâdzily. Di antara nama tarekat ini adalah Darqâwiyyah, Buzidiyyah,
Kattâniyah, Haraqiyyah, dan Madaniyyah. Dengan demikian, ketika dunia Islam
yang lain sedang menghadapi kesulitan besar, maka yang terjadi di Maghrib justru
mengalami reformasi spiritual (www.sunnirazfi.2005).
Di antara cabang Tarekat Syâdziliyyah yang pernah muncul, Tarekat
‘Alawiyyah adalah satu yang paling penting dan sangat berpengaruh terhadap
perkembangan reformasi spiritual dalam dunia Islam. Tarekat ini didirikan oleh
Syaykh berdarah Aljazair, Syaykh Ahmad al-‘Alawy, wafat pada tahun 1934. Pada
saat kemunculan tarekat ini, sang Syaykh dianggap sebagai mujaddid (pembaharu)
pada saat itu. Hal ini sebagaimana yang disabadakan oleh Nabi bahwa pada setiap
seratus tahun akan muncul seorang mujaddid baru. Syaykh berkebangsaan Aljazair
ini, yang dikenal luas sebagai wali, adalah ahli metafisika, ulama, dan penyair yang
menekankan ajarannya pada ‘kesatuan transenden’. Ajarannya menarik banyak orang
dari penjuru dunia Islam. Ratusan ribu orang yang menjadi muridnya telah tersebar
luas di seluruh wilayah Islam. Tarekat ini dengan ajarannya telah banyak
47
memberikan pengaruh atas pandangan dunia dan akhirnya mengubah budaya dan
cara hidup serta lingkungan dimana tarekat ini berada.
Syâdziliyyah dalam cakupan yang luas, termasuk tarekat cabang yang
menginduk padanya, telah memainkan peran penting tidak hanya dalam
perkembangan intelektual dunia Islam, tetapi juga dalam perkembangan intelektual
dunia Barat. Tercatat dua nama intelektual Barat yang terpengaruh dengan ide
Syâdziliyyah, yaitu pemikir Prancis, Rene Genon yang di dunia Islam lebih dikenal
sebagai Syaykh Abdul Wahid Yahya. Karya Rene Genon sangat mempengaruhi para
pemikir Barat yang lain. Satu lagi yaitu, Frithjof Schuon. Pemikir Barat yang satu ini
sangat dekat Syaykh ‘Alawy. Karya-karya Schuon juga sangat mempengaruhi alam
pikir para pemikir Barat lainnya (www.sunnirazfi.2005).
Dengan demikian, apa yang terjadi dalam reformasi spiritual maupun
intelektual, baik di dunia Islam maupun di dunia Barat tidak akan pernah terjadi
tanpa ide-ide yang ditinggalkan Imam as-Syâdzily dengan tarekat dan muridmuridnya.
6. Inti Ajaran Tarekat Syâdziliyyah
Berbicara tentang tarekat tidak bisa dilepaskan dari tasawuf, dan pembicaraan tentang tasawuf tidak bisa terlepas dari konsep syariat, tarekat, dan hakikat.
Syariat berpusat pada penyembahan kepada Allah swt.; tarekat adalah jalan menuju
Allah melalui ilmu dan amal, sedangkan hakikat adalah hasil dari kegiatan bersyariat
dan bertarekat (Bujayrimy, 1995:8).
Ada delapan syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang akan menjalankan
tarekat (i) qashdush-shahih (mempunyai tujuan yang benar), maksudnya dalam
menjalankan ibadah kepada Allah swt. tidak boleh berniat memperoleh pangkat dan
pujian orang lain, (ii) shidqusy-syarîf (kejujuran yang tegas), maksudnya murid harus
memandang gurunya sebagai orang yang memiliki keistimewaan, yang akan
membawanya ke hadapan Ilahi, (iii) adabul-murdhiyyah (tatakrama yang diridai),
maksudnya orang harus menjalankan tatakrama kehidupan yang dibenarkan oleh
ajaran agama Islam, seperti sikap kasih sayang kepada orang yang lebih rendah,
menghormati orang yang lebih tinggi, jujur, adil, dan lurus terhadap diri sendiri,
tidak memberi pertolongan kepada orang lain hanya untuk kepentingan diri sendiri,
48
(iv) aqwâluz-zakiyyah (ucapan yang bersih), maksudnya tingkah laku dan ucapan
harus sesuai dengan Sunnah Nabi, (v) hifdhul-hurmah (menjaga kehormatan),
maksudnya murid harus menghormati gurunya dalam keadaan hadir atau tidak hadir,
hidup atau sudah wafat, menghormati sesama saudara muslim, dan tabah atas sikap
bermusuhan orang lain, (vi) husnul-khidmah (mempertinggi mutu pelayanan),
maksudnya berkhidmat kepada sesama muslim dan kepada Allah swt. dengan
menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya, (vii) raf’ulhimmah (mempertinggi tekad hati), maksudnya orang harus menjaga tekad hati untuk
mencapai ma’rifat khusus tentang Allah swt, (viii) nufûdzul-’azhîmah (kelestarian
tekad dan tujuan), maksudnya orang harus memelihara tekad dan tujuan hidupnya
untuk mencapai ma’rifat Allah swt. (Madjid, 2004 dalam http://media.isnet.org/islam/Paramadina).
Tarekat Syâdziliyyah adalah tarekat yang menggabungkan ilmu dan amal,
mengamalkan ichwâl dan maqâm, ilhâm dan maqâl, yang dapat
mengantarkan
murid-muridnya kepapa jazbun, mujâhadah, hidâyah, asrâr, dan karâmah (Atjeh,
1984:278). Ajaran pokok Tarekat Syâdziliyyah adalah (i) manusia harus
meninggalkan
semua perbuatan maksiat, (ii) memelihara segala ibadat yang
diwajibkan, (iii) melakukan ibadat-ibadat (salat) sunat semampunya, (iv) zikir
kepada Allah sebanyak mungkin, sekurang-kurangnya seribu kali dalam seharisemalam, (v) membaca istighfâr sebanyak seratus kali, (vi) selawat kepada Nabi saw
sekurang-kurangnya seratus kali dalam sehari-semalam (al-Chasani, 2005:6). Khusus
dalam hal tatacara zikir, Tarekat Syâdziliyyah meringkaskan zikir sebanyak 22
macam. Lima sebelum mengucapkan zikir, 12 dalam mengucapkan zikir, dan 3
sesudah mengucapkan zikir. Adapun yang harus dilakukan sebelum zikir adalah
taubat, mandi, berwudu, diam, tenang, mengkhayalkan syaykh dalam zikirnya,
berpegang kepada syaykh sampai kepada Nabi. Hal yang harus dilakukan ketika
sedang zikir adalah duduk, meletakkan kedua belah tangan ke atas dua paha,
memperbaiki pakaian, berada dalam tempat yang gelap, memejamkan kedua belah
mata, mengingat syaykh, sidiq dalam zikir, ikhlas, hudhûr, dan melenyapkan semua
yang ada di dalam hati, kecuali hanya Allah swt. Adapun hal yang harus dilakukan
setelah zikir adalah khusyu dan hudhûr, menggocangkan badan, dan meminum air
karena dapat melenyapkan kepanasan nûr (Atjeh, 1984:278-279).
49
Di samping itu, Tarekat Syâdziliyyah juga menganut lima prinsip ajaran
Tarekat secara umum, yaitu (i) takwa kepada Allah swt.secara lahir dan batin, (ii)
mengikuti Sunnah Nabi., baik dalam ucapan maupun tindakan, (iii) berpaling dari
makhluk (berkosentrasi kepada Allah swt.) ketika mereka datang dan pergi, (iv)
ridhâ kepada Allah swt., baik sedikit maupun banyak, dan (v) kembali kepada Allah
swt, baik dalam suka maupun duka. Perwujudan takwa melalui sikap wara’ dan
istiqâmah, perwujudan mengikuti Sunnah Nabi melalui budi pekerti yang baik,
perwujudan berpaling dari makhluk melalui sabar dan tawakal. Adapun perwujudan
ridhâ kepada Allah swt melalui qanâ’ah dan pasrah total, dan perwujudan sikap
kembali kepada Allah swt melalui pujian dan rasa syukur dalam keadaan suka, dan
mengembalikan kepada-Nya ketika mendapatkan bencana (www.sufisnews.com.2005).
Berdasarkan uraian di atas tampak bahwa Tarekat Syâdziliyyah, dalam
konteks ini, dipandang sebagai lembaga kesufian yang menghimpun para murid
untuk melaksanakan delapan syarat menjadi sufi, yang intinya adalah seorang murrid
harus mendekatkan diri kepada Allah swt dan beribadah kepada-Nya dengan penuh
ikhlas, ridha, dan pasrah. Sebagai pendiri Tarekat Syâdziliyyah, asy-Syâdzily
dipandang sebagai seorang sufi yang besar pengaruhnya dalam menyebarkan sikap
hidup yang penuh ibadah dan taqarub kepada Allah swt.
7. Pengaruh Tarekat Syadziliyyah dalam Sastra Arab
Ajaran Tarekat Syâdziliyyah dapat dilihat pada karya sastra Arab masa
lampau, antara lain pada teks Kasidah Burdah ciptaan al-Bûshîry. Di dalam
kandungan teksnya tergambar pandangan al-Bûshîry tentang ajaran kebaikan di
antaranya kesederhanaan, keuletan, ketangguhan, keberanian, dan kepahlawanan.
Hal ini didasarkan pada satu asumsi bahwa pandangan dan pemikiran al-Bûshîry
tersebut banyak dipengaruhi oleh pandangan tasawuf Abu Chasan asy-Syâdzily.
Ajaran tarekat inilah yang mempengaruhi pemikiran al-Bûshîry sehingga puisi-puisi
yang diciptanya banyak menggambarkan ajaran Tarekat Syâdziliyyah. Artinya, teks
Kasidah Burdah, sebagai karya sastra Arab banyak diilhami oleh pemikiran sufistik
asy-Syâdzily. Jadi, asy-Syâdzily mempunyai peranan besar dalam memberi corak
50
kesastraan pada Kasidah Burdah yang dicipta oleh al-Bûshîry pada abad ke-13
Masehi. Kasidah Burdah inilah yang menjadi pelopor lahirnya karya sastra Arab
yang bernuansa selawat Nabi.
Ajaran-ajaran Tarekat Syâdziliyyah seperti qashdush-shahih, shidqusy-syarîf,
adabul-murdhiyyah, aqwâluz-zakiyyah, hifdhul-hurmah,
husnul-khidmah, raf’ul-
himmah , dan nufûdzul-’azhîmah tampak muncul dalam teks Kasidah Burdah. Hal ini
membuktikan bahwa al-Bûshîry sangat hormat kepada guru-guru sufinya, terutama
asy-Syâdzilt dan al-Mursyiy, sehingga ajaran-ajaran tarekatnya dimunculkan dalam
bait-bait kasidahnya yang indah, yang terkenal dengan nama Kasidah Burdah.
8. Catatan Akhir Tulisan
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut.
a. Tarekat Syâdziliyah berkembang pesat di Mesir dan kawasan Timur Tengah
lainnya pada masa Mamlûk, walaupun asal tarekat ini dari negeri Maghrib
(Spanyol, Maroko, Tunisia dan sebagian kecil Libya). Sebagian tokoh yang
memberikan pengaruhnya atas pendiri Tarekat ini adalah Abu Madyan
Syu’aib al-Maghriby, Ibnu ‘Araby, Abdus-Salâm Ibnu Masyish, Ibnu Sab’în,
dan as-Syustary.
b. Tarekat Syâdziliyah berhasil mendapat banyak pengikut termasuk dari
keluarga Sultan Ayyubiyah. Di Mesir, tarekat ini banyak diikuti oleh para
pejabat tinggi kerajaan, bahkan ulama besar seperti Izzud-Dîn Ibnu Abdis-Salâm, juga ulama Syafi’i tradisional al-Munzhiry, tokoh-tokoh sufi, dan
orang kebanyakan dari beragam tingkatan di masyarakat.
c. Tarekat Syâdziliyyah menganut madzhab Mâliky, tetapi praktek sufisme
tarekat ini tidak terikat atas madzhab Mâliky saja. Hal ini dapat dilihat pada
karya salah satu tokoh mereka, Syaykh Ibnu ‘Athaillah dan beberapa tokoh
yang lain. Di antaranya adalah Khatmul-Walâyah karya al-Hakim atTirmidzy dan Mawâqif karya an-Nâfiry. Juga yang tidak kalah pentingnya
adalah karya komentar atas Quttul-Qulûb karya Abû Thâlib al-Makky dan
Ihya ‘Ulumid-Dîn karya Imâm al-Ghazâly.
d. Kemunculan Kasidah Burdah dalam sejarah sufisme Arab tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan al-Bûshîry, sebagai murid Abu Hasan asy-
51
Syâdzily, dalam dunia tasawuf yang melembaga dalam bentuk tarekat.
Tarekat yang digeluti oleh al-Bûshîry adalah Tarekat Syâdzliyyah yang saat
itu dominan dalam kehidupan masyarakat Mesir.
e. Ajaran Tarekat Syâdzliyyah cukup berpengaruh terhadap sikap dan cara
pandang al-Bûshîry dalam menyusun bait-bait Kasidah Burdah, yang berisi
puji-pujian kepada Nabi. Di Mesir, sampai abad ke-21 ini, Tarekat
Syâdzliyyah masih hidup bahkan diamalkan oleh para pengikut setianya. Di
samping mereka membaca wiridan khas tarekatnya, juga dibaca teks Kasidah
Burdah, sebagai teks sastra yang mengandung ajaran-ajaran agama Islam,
untuk berdzikir secara rutin dalam kehidupan sehari-hari.
52
Download