Tradisi Ritual Ijtima dan Solidaritas Sosial di Kalangan Jama`ah

advertisement
EXECUTIVE SUMMARY
Tradisi Ritual Ijtima dan Solidaritas Sosial di Kalangan Jama’ah
Thariqat Tijaniyah
(Studi Kasus Pada Jamaah Thariqat Tijaniyah Di Samarang, Kabupaten Garut)
Pendahuluan
LATAR BELAKANG MASALAH
Mendeskripsikan tarekat ibarat mendeskripsikan rembulan yang tersembuyi di
balik awan. Kita tahu rembulan itu ada dan sinarnya terpancar di bagian-bagian langit yang
tak tertutup awan, tetapi kita tidak tahu persis bentuk sempurnanya dari bulan yang
tersembunyi itu. Mungkin bulat purnama, mungkin juga kurang bulat karena purnama telah
lewat ditelan ritme sejarah peredarannya yang konstan yang mendorong dan menghentikan
putaran sumbu sejarah keberadaannya (eksistensialitas).
Pernyataan di atas menggambarkan dua pengharapan Pertama, seseorang diharapkan
dapat menggambarkan kesempurnaan bentuk bulatnya pengetahuannya dalam membedah
wajah manisnya tarekat. kedua, keterbatasan seseorang dalam menemukan kebulatan
pengetahuannya dalam membedah wajah kecutnya tarekat .1
Sebagaimana telah diketahui, bahwa gerakan tarekat disamping dikenal sebagai
gerakan purifikasi ajaran Islam juga -tidak kalah pentingnya- merupakan gerakan yang
memiliki kontribusi cukup besar terhadap perubahan sosial, politik, ekonomi dan budaya.2 .
Ada kecenderungan bahwa gerakan Tarekat akan lebih terasa manakala masyarakat sudah
sampai pada titik ambang batas. Hal ini dapat dibuktikan dengan penentangan mereka--pada
masa-masa Islam klasik-- terhadap khalifah dan elite sosial –politik lainnya yang sudah
dianggap terjebak terlalu dalam pada pergumulan kehidupan kemewahan dunia yang
berlebihan dan keberagaamaan berada pada wilayah yang sangat legal-formal (eksoterik), 3
dalam istilah lain, Sayyed Husen Nashr,4 mengemukakan bahwa kecenderungan spritualitas
1 Disinilah pergumulan jarak psikologis seseorang yang tidak bisa diukur secara akurat antara ukuran objektivitas dan
subyektifitas terhadap pernyataan objektifikasinya mengenai fenomena yang terentang di hadapannya begitu banyak menampakkan tandatanda yang merefresentasikan di luar jati dirinya sendiri apalagi sesorang tidak memiliki pengalaman yang pernah dirasakan sebelumnya.
2 Sayyed Husen Nashr, Menjelajah Dunia Modern, Bimbingan Untuk Kaum Muda Muslim, (Bandung : Mizan 1994), hlm 74-78
3 Sayyed Husen Nashr, Nestapa Manusia Modern, ( Pustaka : Bandung, 1993). hlm.10.
4 Sayyed Husen Nashr, Ibid,hlm.10.
seseorang (hidup dengan kesufian) akan tumbuh ketika manusia sudah keluar dari jari-jari
eksistensi yang sebenarnya.
Patricia Aburdene dalam
Mega Trend 2000,
mengilustrasikan
bahwa ada
kecenderungan cukup jelas pada manusia modern yang tidak lagi mendapatkan kepuasan
hidup yang diliputi oleh kehampaan ideologi materialisme. Sehingga dimana-mana tumbuh
minat masyarakat Barat untuk menoleh pada kekayaan spritualitas Timur. Kecenderungan
inilah yang kemudian dikategorikan sebagai “spiritual age”, yang sangat populer dengan
semboyannya: "Spiritualiity, Yes! Organized Religion, No!". Secara eksoterik, semboyan ini
mendikotomikan secara diametral akan adanya kecenderungan baru pada dunia mistikspiritual di satu sisi, dengan serta merta menolak agama formal yang cenderung miskin akan
nilai-nilai spiritualitas pada sisi lain. Adanya kecenderungan baru dalam wacana
keberagamaan mutakhir ini, diperkuat ketika seorang Teolog Harvard, Harvey Cox. (1977)
menulis buku Turning East: The promise and Peril of the New Orientalism. 5 Meminjam
istilah yang digunakan Cox, turning to the East, berarti “menoleh ke Timur”. Ini adalah satu
indikasi kuat akan tingginya perhatian pada spiritualitas Timur, atau dalam istilah lain;
“Kembali kepada Tauhidullah”, juga dapat dikatagorikan sebagai kembali kepada pengakuan
awal yaitu adanya Zat yang menjadi sumber Kebenaran paling utama dari segala sumber
kebenaran.6
Gerakan spiritual age yang pada awalnya adalah merupakan kesadaran esoterisme
secara indivudu, pada gilirannya menjadi gerakan massal. Sampai-sampai pada titik tertentu
terspesialisasi pada bidang-bidang ilmu pengetahuan.
Untuk kasus masyarakat Islam Indonesia dapat dicatat di sini, bahwa akhir-akhir ini
sering diadakan zikir bersama secara nasional. Zikir yang berarti mengingat sang Pencipta
bisa dilakukan oleh setiap orang secara individual di mana saja, tetapi ketika kegiatan
teersebut terorganisir—akhir-akhir ini sering dilaksanakan diberbagai daerah—menjadi
fenomena sosiologis yang tidak bisa dilepaskan dari pra kondisi dan kondisi yang melingkari
kegiatan itu, juga menjadi gejala gerakan keagamaan yang sangat berkaitan dengan gerakan
Tarekat.
5
Harvey Cox, Turning East: The promise and Peril of the New Orientalism, ( London : Harvard Publissing, 1977). hlm 102
Mengacu pada teori kebenaran dalam ilmu pengetahuan, kebenaran ilmiah itu terdiri dari: Kebenaran Koherensi, Kebenaran
Korespondensi dan Kebenaran Fungsional. Semua ini mengacu pada kemampuan indera dalam menangkap realitas. Indera yang sifatnya
material tidak memiliki kemampuan menangkap sisi spiritualitas yang mengendap dibalik realitas.
6
2
Gaya hidup sufi yang menyebar hampir ke seluruh lapisan masyarakat dalam struktur
sosial Islam pada ketika itu, pada gilirannya melahirkan gerakan-gerakan yang bersekala
massif. Sehingga gerakan kaum sufi ini dijadikan salah satu faktor penting dalam percepatan
penyebaran Islam ke Indonesia. Ada pendapat-- sudah menjadi teori-- bahwa percepatan laju
islamisai disebabkan tidak saja bersamaan dengan situasi gerakan internasional kaum sufi,
tetapi banyaknya kesamaan-kesamaan ajaran hidup sufi dengan tradisi yang dilahirkan dari
agama yang lebih dulu tumbuh di Indonesia. Ajaran hidup yang mengarah pada pengutamaan
kesederhanaan, memperbanyak meditasi dan pengendalian hawa nafsu duniawi menjadi ciri
pokok ajarannya. Pola-pola hidup semacam itu sudah menjadi budaya masyarakat Indonesia
sebelum datangnya Islam. Dengan demikian kedatangan Islam bukan mereduksi apa yang
sudah ada melainkan menjadi energi tambahan dan seolah-olah mendapat legitimasi baru dari
tradisi di luar sistem norma dan nilai-nilai yang mereka anut sebelumnya.
Dalam catatan studi yang dilakukan Martin van Bruinessen, 7 penyebaran ajaran
tarekat ke Indonesia tidak lepas dari jaringan hubungan antara ulama di Nusantara di satu
pihak dan ulama Timur Tengah di pihak lain, jaringan yang terbentuk secara sistematis ini
diperteguh dengan semakin intensifnya masyarakat Islam Indonesia menjalankan ibadah haji.
Makkah dan Madina, dua kota suci umat Islam menjadi pusat studi agama Islam paling
diminati oleh orang-orang dari Nusantara—selanjutnya penulis memakai Indonesia--, bahkan
pada masa sekitar abad 16, ada perkampungan yang dinamakan kampung Jawah,--dalam istilah
arab qoryah Jawiah-- sebuah sebutan yang dinisbahkan pada asal-usul komunitas tersebut yang
kebanyakan datang dari pulau Jawa. Lebih lanjut Martin, mengatakan bahwa jumlah orang
jawa yang naik haji pada abad tersebut jauh melampaui jumlah jama’ah yang datang dari
negara-negara lain. Faktor utama yang menyebabkan jumlah jama’ah haji begitu besar—
masih mengikuti analisis Martin—karena adanya perubahan drastis dalam paham kosmologis
orang Jawa, juga karena dibukanya terusan Suez yang memperpendek perjalanan pelayaran
dari Asia Tenggara ke Asia Barat.
Sebelum Islam masuk ke Indonesia pusat/arah orientasi kosmologis orang jawa
adalah ke India namun setelah datangnya Islam beralih ke Timur Tengah. Ka’bah, bangunan
7
Martin van Bruinessen, Op-cit. hlm.
3
suci di kota Makkah dapat menggantikan posisi tempat-tempat suci yang ada di India
maupun yang ada di Nusantara (Jawa). 8
Perubahan orientasi paham kosmologis ini pada gilirannya menumbuhkan minat dan
motivasi yang cukup besar pada orang-orang Islam Jawa untuk tidak saja mencari legitimasi
kepenganutan mereka terhadap agama baru; yaitu Islam, melainkan juga untuk mencari ilmu
pengetahuan agama dari pusat dimana agama itu tumbuh. Tujuannya adalah untuk
memperoleh keabsahan ilmu pengetahuan agama baru itu secara sempurna dan sekaligus
untuk memperoleh otoritas dalam melakukan proses transmisi pengetahuannya kepada
murid-murid yang datang belajar dan memperdalam berbagai cabang ilmu pengetahuan Islam
kepadanya.
Jaringan ulama dan hubungan antara sang guru dan murid dari berbagai wilayah Asia
Tenggara, pada gilirannya membuat mata rantai sampai ke tanah kelahiran mereka masingmasing. Setelah mereka dinyatakan cukup memiliki pengetahuan,—biasanya-- sang guru
memerintahkan mereka untuk kembali ke tanah air untuk melakukan kegiatan pembelajaran.
Kegiatan pembelajaran seringkali dilakukan di masjid-masjid atau surau-surau, dari sinilah
muncul pondok-pondok pesantren. Di lembaga pendidikan pesantren—sebuah lembaga
paling tua di Indonesia—Kiai menduduki posisi paling sentral. Masyarakat yang datang tidak
saja untuk memperoleh pembelajaran yang diberikan secara rutin, tetapi juga persoalanpersoalan sosial lainnya pun dipecahkan di lembaga tersebut.
Kyai berada pada posisi elite dalam struktur sosial, santri menjadi kelompok
menengah sedangkan jama’ah adalah komunitas penyangga dua strutur di atas. Struktur yang
terbentuk secara alamiah ini dengan sendirinya melahirkan dua pola mobilitas sosial dan
solidaritas sosial antara lapisan-lapisan struktur tersebut. Jaringan struktural yang tidak rigid
tidak saja menjadi pembeda dengan struktur sosial pada masyarakat yang dipengaruhi oleh
ajaran Hindu-Budha yang terdiri dari tiga satuan sosial: Brahmana, Waisa dan Sudra, yang
sangat rigid tetapi juga menjadi model sosial alternatif. Hal ini dapat dibuktikan dengan tiga
jenis hubunngan geneologis yang terdapat di dunia pesantren; geneologis intelektual,
geneologis spiritual dan geneologis personal.
Masyarakat yang merupakan lapisan penyangga dua struktur bisa saja melakukan
mobiltas vertikal manakala persyaratan-persyaratan teologis,--ekonomis—bukan utama-- dan
sosiologis terpenuhi. Tidak jarang seorang santri yang datang dari masyarakat biasa tetapi dia
8
Martin van Bruinessen, Op-cit. hlm.
4
dianggap memiliki kelebihan intelektual dapat diangkat badal (pengganti) pada kegiatan kyai
dan ada juga yang diambil sebagai menantu kyai. Hubungan perkawinan semacam ini tidak
saja santri yang dapat melakukan perpindahan status termasuk juga keluarganya.
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa kyai, pesantren dan Tarekat serta
masyarakat tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Pesantren di sini bukan semata-mata sebagai
lembaga pendidikan formal, melainkan juga dapat dikatagorikan sebagai lembaga
kemasyarakatan, dalam arti memiliki pranata-pranata sendiri yang memiliki hubungan
fungsional dengan masyarakat dan hubungan tata nilai dengan kultur masyarakat khususnya
yang berada dalam lingkungan pengaruhnya.9
Hubungan struktural fungsioal semacam ini dapat dikatakan sebagai hasil dari polapola interaksi antara sistem pengetahuan yang diambil dari agama, budaya setempat dan
tradisi-tradisi yang sudah secara turun temurun dilestarikan. Dari sinilah kemudian bisa
dipahami bagaimana sesungguhnya Tarekat
Ada beberapa kondisi: sosiolgis, politis, ekonomis dan teologis yang menjadi
penyebab utama tumbuh dan berkembangnya ajaran tasawuf berikut berbagai organisasi
Tarekatnya baik di wilayah dunia Islam pada umumnya maupun di Indonesia. Tasawuf
bukanlah agama baru, sebuah aliran atau golongan agama. Merangkai kehidupan di dunia ini
dengan mengikuti tasawuf dapat dikatakan sebagai pra-kondisi psikologis seseorang yang
ingin menemukan kepuasan dalam menjalankan ketaatan syariat Islam yang jauh lebih dalam
dibanding masyarakat kebanyakan. Tujuan mereka adalah memurnikan dan memberi jiwa
kepada Islam dari dalam.10
Proses islamisasi Indonesia terjadi pada saat tasawuf dan Tarekat —dalam pengertian
organisasi sufistik-- menjadi corak pemikiran dominan di dunia Islam. Umumnya, sejarawan
Islam Indonesia mengemukakan bahwa meskipun Islam telah datang ke Indonesia sejak abad
ke 8 M., namun baru sejak abad ke 13 M. mulai berkembang kelompok-kelompok
masyarakat Islam di beberapa wilayah terutama pusat-pusat perdagangan di pantai utara
Jawa. Proses ini pun bersamaan dengan periode perkembangan organisasi-organisasi Tarekat
di negara dimana Islam itu lahir; Yaman, Persia, Mesir dan Arab Saudi itu sendiri.11
Hal ini merupakan penyebab utama perkembangan ajaran tasawuf dengan berbagai
organisasi Tarekatnya di Indonesia. Dengan demikian, keberhasilan penyebaran Islam di
9Dawam
Rahardjo, Dunia Pesantren dalam Peta Pembaharuan, (Jakarta : LP3ES, 1974), hlm.25
Cyprian Rice, O.P. The Persian Sufis, (London : George Allen And Unwin Ltd, 1964), hlm.9
11 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta: LP3ES, 1985), hlm. 140
10
5
Indonesia dipengaruhi oleh aktivitas para pemimpin Tarekat . Dalam pengertian ini, Islam di
Indonesia adalah Islam versi sufisme. 12 Dalam perkembangan dakwah Islam selanjutnya
tasawuf dan Tarekat memiliki pengaruh besar dalam berbagai bidang kehidupan; sosial,
budaya,politik dan pendidikan sebagaimana tergambar dalam dinamika dunia Pesantren dan
tradisi-tradisi keagamaan yang terefleksikan dalam aktivitas terstruktur dan sebaliknya.13
Tradisi Pesantren pada umumnya bercirikan sufistik, ini berkaitan dengan fakta
banyak kyai yang berafiliasi kepada Tarekat. Mereka mengajarkan kepada santri dan
pengikutnya amalan-amalan sufistik. 14 Kondisi semacam ini mempermudah tumbuh dan
berkembangnya organisasi-organisasi Tarekat yang berkembang di dunia Islam. Demikian
pula halnya di Indonesia, berbagai Tarekat tumbuh dan berkembang serta tersebar di
berbagai daerah.
15
Di Indonesia terdapat sekitar 41 ajaran Tarekat
16
. Realitas ini
menunjukkan bahwa Tarekat yang berkembang di dunia Islam banyak jumlahnya. Dalam
Mizan al-Kubra, umpamanya, dikatakan bahwa jumlah tarekat dalam syariat Nabi Muhammad
terdapat 360 jenis.17
Kondisi ini dimungkinkan karena tarekat pada intinya adalah salah satu cara
mendekatkan diri kepada Allah SWT., sekaligus merupakan amalan keutamaan (fadâ’il ala’mâl) dengan tujuan memperoleh rahmat Allah. Di antara Tarekat -Tarekat yang
berkembang di Indonesia yang merupakan cabang dari gerakan sufi internasional adalah
Tarekat Qadariyah yang didirikan oleh Syeikh Abd. Al- Qadir al-Jailani (470 -561 H,),
Tarekat
Naqsabandiyah yang didirkan oleh Baha’ Naqsaband al-Bukhari (717-791 H,),
Tarekat Syaziliyah yang didirkan oleh Abu Haan al-Syazili yang berasal dai Syazilah, Tunisia,
(w.686 H,), Tarekat Rifa’iyah yang didirikan oleh Syekh Ahmad al-Rifa’I (w. 578 H,), Tarekat
Suhrowardiyah yang didirkan oleh Abu Najib al-Suhrawardi (490 - 565 H,), dan Tarekat
12 Karel A. Stenbrink, Beberapa Aspek Islam di Indonesia abad ke 19, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1984), hlm. 173
13 Lihat Zamakhsyari Dhofier, “Pesantren dan Thoriqot” dalam Jurnal Dialog: Sufisme di
Depatemen Agama RI, Maret 1978), hlm. 9 - 22
Indonesia, ( Jakarta: Balitbang Agama
14 Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning: Pesantren dan Tarikat, (Bandung: Mizan,
1995), hlm. 20,
15 Ada dua bentuk tarikat yang berkembang di Indonesia: Tarikat lokal, yakni ajaran tarikat yang didasarkan pada amalanamalan guru tertentu seperti tarikat Wahidiyah di Jawa Timur, dan tarikat yang merupakan cabang dari gerakan sufi internasional seperti
tarikat Qadariyah dan Naqsabandiyah. Lihat Martin Van Bruinessen, Tarikat Naqsabandiyah di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1992) hlm. 16.
16 Abu Bakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tarikat, (Solo: Ramadani, 1992) hlm. 303. Lihat
Fu’ad Suaidi, Hakikat Tarikat Naqsabandiyah, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1993). hlm. 12.
17 Al-Sya’rani, Mizan al-Kubrâ, (Mesir : Dâr al-Ma’rifah, 1343 H.), Juz I, hlm. 30.
6
Tijaniyahyah didirikan oleh Syeikh Abu Abbas Ahmad bin Muhammad bin Mukhtar atTiajani.18
Dalam perspektif Al-Quran, unsur utama agama adalah keyakinan, ritus dan sosial
atau dalam istilah ilmu-ilmu keislaman; Iman, Islam Ihsan. Dengan demikian, sebagaimana
keyakinan-keyakinan lainnya, keyakinan agama seringkali diikuti oleh ritus-ritus tersendiri.
Tradisi tersebut tidak saja tumbuh akibat proses dialektika antara ajaran agama dan
pemeluknya melainkan juga sering terjadi tradisi itu secara sadar diadopsi dari seseorang yang
pertama kali membawa sistem ajaran tersebut.
Oleh karena itu sudah menjadi pengetahuan umum bahwa kesemua aliran Tarekat
yang dianggap merupakan implikasi dari gerakan sufi internasional, memiliki tradisi-tradisinya
sendiri yang garis perbedaanya sangat tipis sekali. Hal ini dapat dibuktikan pada satuan-satuan
sosial Islam yang memiliki kemiripan dalam pengembangan Islam di satu sisi dan
pemeliharaan kohesi sosial primordial di sisi lain yang juga melahirkan tradisi.
Salah satu diantara tradisi sufisme adalah tradisi Ijtima’ Tijaniayah. Sebuah tradisi
sufisme yang memiliki peran cukup besar di Indonesia dalam proses pembentukan dan
internalisasi ajaran-ajaran dasar keislaman. Tradisi seperti ini banyak didapatkan di berbagai
daerah untuk kasus di Aceh —Snouck Hourgrounje menyebutnya rateban—, bagi masyarakat
Jakarta dan Bekasi, Kerawang bahkan sampai Subang menyebutnya ratiban, jika dilihat dari
asal usul pembentukannya, regulasi waktu pembacaannya, substansi rangkaian do’a-doa,
satuan sosial pengikut, dan tujuan pembacaannya, adalah salah satu jenis tradisi yang
dilahirkan dari faham sufi transendental, bukan tradisi sufi union mistisisme.19
Di samping itu tradisi Ijtima’ di kalangan Tarekat Tijaniyah adalah satu gerakan
purifikasi dari tradisi yang dilahirkan oleh aliran-aliran Tarekat yang berkembang di pelbagai
wilayah Islam. Keragaman tradisi sufisma dalam Islam adalah merupakan akibat dari adanya
persentuhan budaya, Islam di satu sisi dan budaya lokal pada sisi lainnya. Pertemuan dua
sistem budaya tersebut pada gilirannya melahirkan budaya hibrid.
Secara sistemis, Ijtima’ di kalangan Tarekat Tijaniyah merupakan subsistem dari
sistem sufisme yang lebih luas. Pada saat yang sama, ia merupakan sistem yang menjadi satu
kesatuan dari berbagai komponen pembentuknya. Dalam pengertian yang terakhir, Ijtima’
18
Abu Bakar Atjeh, Op-cit, hlm. 374
Simuh, mengatakan tasawuf yang berkembang dan dianut oleh banyak umat Islam di Jawa adalah jenis mistik yang bukan
union mistisisme, melainkan sufisme transendental. Lihat Simuh, Sufisme Jawa Tranformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa, (Yogyakarta : Yayasan
Bentang Budaya) 1995
19
7
melahirkan implikasi-implikasi sosiologis, psykologis; seperti tumbuhnya nilai-nilai solidaritas
di kalangan Tarekat Tijaniyah terdapat solidaritas sosial di kalangan penganutnya.
A.
Tinjauan Teori
Fenomena tarekat bukan persoalan yang baru bagi kalangan akademisi. Sejumlah riset
telah dan mungkin sedang dilakukan terhadap fenomena tersebut. Banyak perspektif dan
konklusi telah dihasilkan dari fenomena ini baik oleh peneliti Barat maupun Timur. Diantara
literature populer tentang diskursus tasawuf dan tarekat misalnya Harun Nasution Mistisisme
Dalam Islam, (Jakarta : UI Press 1993), Abu Bakar Atjeh Pengantar Ilmu Tarekat Uraian Tentang
Mistik, (Jakarta : 1986), Martin van Brunessen Tarekat Qadariyah wan Naqsabandiyah di
Indonesia, ( Bandung: Mizan, 1996) dan Kitab Kuning: Pesantren dan Tarikat, (Bandung: Mizan,
1995), Cyprian Rice.P.O, J. S. Trimingham Persian Sufis, (London: George Allen & Unmin
Ltd 1964), Simuh, Sufisme Jawa Tranformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa, (Yogyakarta: Yayasan
Bentang Budaya, 1995) Zamakhsyari Dhofier, “Pesantren dan Thoriqot” dalam Jurnal Dialog:
Sufisme di
Indonesia, ( Jakarta: Balitbang Agama Depatemen Agama RI, Maret 1978), A.J.
Arbery, Sufisme, (London : George Allen & Unmin Ltd.1963) dan Al-Munim al-Hafani, AlMausu’ah Ash-Shufiyah, (Kairo : Dar Ar-Rasyad, 1992).
Sementara riset dan penulisan ilmiah terhadap Tarekat Tijaniyah pernah dilakukan
antara lain oleh Moeslim Abdurrahman, “Tijaniyah: Tarekat yang Dipersoalkan”. Dalam jurnal
Pesantren: no. 4/vol. V/1988, (Jakarta : P3M, 1988), Martin Van Bruinessen, Syaikh Ahmad
Tijani Sebagai Tokoh Kebangkitan Islam dan Tarekat Tijaniyah Sebagai Penyiar Agama, Makalah
Seminar ‘Id al-Khatmi ke-114, (Cirebon : t.pn., 1987), Dep. Agama RI: Balai penelitian
kerohanian/keagamaan, Semarang, Tarekat Tijaniyah di Jawa Barat dan Jawa Tengah, laporan
penelitian, (Semarang : Balai Penelitian Aliran Kerohanian/Keagamaan Depag, 1991), No.
PV 01, 05,
Kemudian A. Fathullah Fauzan, Sayyidul Auliya; Biografi Syekh Ahmad Al-Tijani dan
Thariqat Al-Tijaniyah, (Pasuruan : t.pn. 1985.), KH.
Badri Masduqi, “Keabsahan Tarekat
Tijaniyah di Tengah-tengah Tarekat Mu’tabarah Lainnya”, Makalah Seminar Tarekat Tijaniyah,
(Cirebon : t.p., 1987), Qulyubi, KH. Thabibuddin al-, al-Tarekat al-Tijaniyah, (Tasikmalaya :
Matba’at Thayibiyah, tt., ) Usep Dede Rustandi, Corak Pemikiran Kalam KH. Badruzzaman’,
Tesis Pasca Sarjana. (Jakarta : IAIN Syarif Hidayatullah, 1991), Bahrun Abu Bakar, “Tarekat
8
Tijaniyah Suatau Pertanyaan”, (Jakarta : Andamerta Pustaka, 1986), Umu Salamah, “Tradisi
Tarekat dan dampak Konsistensi Aktualisasinya Terhadap Perilaku Sosial Penganut Tarekat : Studi
Kasus Tarekat Tijaniyah di Kab. Garut dalam Persfektif Perubahan Sosial, Disertasi Pasca Sarjana,
(Bandung : Universitas Padjajaran 1998), dan Ikyan Badruzzaman, Syekh Ahmad al-Tijani
dan Tarekat Tijaniyah di Indonesia, 2007.
Diantara sejumlah penulisan di atas, riset yang mengambil tema Tradisi Ijtima dan
Solidaritas Sosial Di Kalangan Jamaah Tarekat Tijaniyah memfokuskan pada persoalan solidaritas
sosial yang terebentuk dikalangan jamaah Tarekat Tijaniyah. Berbeda dengan riset-riset yang
terdahulu yang umumnya mengangkat persoalan Tarekat sebagai ritual, sejarah dan
pemikiran (wacana), sementara riset ini melihat aspek sosiologis dari salah satu ritual dalam
Tarekat Tijaniyah yaitu tradisi Ijtima terhadap pembentukan solidaritas sosial diantara sesama
jamaah Tarekat Tijaniyah.
Terdapat berbagai perspektif yang bisa digunakan untuk menggambarkan prilaku
keagamaan dan menjelaskan berbagai aspek prilaku keagamaan tersebut. Adalah menarik
sekali tesis M. Chotib Quzwin20, dan Martin Van Bruinessen21, sekedar menyebut contoh,
yang menelusuri jejak-jejak sejarah pertumbuhan, perkembangan dan tersebarnya Tarekat di
Indonesia. Pada umumnya studi-studi mengenai penyebaran Tarekat selalu dihubungkan
dengan beberapa tokoh pendiri Tarekat. Quzwin, misalnya, menghubungkan perkembangan
Tarekat Sammaniyah dengan diri Abdus Samad al-Palimbani. Orang ini adalah murid as
Samman yang setia dan jenius. Terbukti karya tulisnya yang terdiri dari delapan kitab yang
sebagian besar menyangkut ajaran-ajaran as-Samman. Empat buah kitab karyanya ditulis
dalam bahasa Melayu dan empat buah lagi ditulis dalam bahasa Arab. Dengan mengambil
titik tolak dari karya al-Palimbani dalam bahasa Melayu inilah yang mendorong Quzwin,
penulis disertasi “Tasawuf Abdus-Samad al-Palimbani” berkesimpulan bahwa al-Palimbani lah
orang yang pertama sekali memperkenalkan Tarekat Sammaniyah di Indonesia. Berbeda
dengan Chotib, Bruinessen berkesimpulan bahwa Tarekat hampir menyebar ke seluruh
Indonesia dibarengi dengan aliran-aliran yang menjadi pilihan para pembawa-pembawanya
yang diperoleh dari guru masing-masing di Timur Tengah.
Sebagaimana diketahui, Timur Tengah pada masa-masa awal Islam merupakan titik
sentral pandangan kosmologis paling utama bagi masyarakat Islam Indonesia, hal ini tidak
20
21
M. Chotib Quzwin, Tasawuf Abdus Shomad al Palimbangi, (Bulan Bintang: Jakarta) 1986, hal. 13.
Martin Van Bruinessen, Perkembangan Tarekat Qodariyah wan Naqsabandiyah di Indonesia (Mizan: Bandung, 1992), halm 198.
9
saja disebabkan adanya dua tempat suci tetapi yang lebih penting adalah pusat ilmu
pengatahuan keislaman. Terbukti dengan banyaknya orang-orang Jawa yang bermukim di
sana. Sedangkan
orientasi kosmologis pada masa jayanya ajaran agama Hindu-Buda di
Indonesia, India menjadi satu-satunya pusat orientasi kosmologis masyarakat Indoensia. Tapi
kemudian, setelah Islam merambah wilayah Asia Tenggara termasuk wilayah Indonesia,
selanjutnya disebut Indonesia, telah menimbulkan transformasi orientasi kosmologis pada
masyarakat Indoensia, Islam telah menggantikan kedudukan sistem teologi, sosial, budaya,
dan sistem nilai Hindu-Budha yang eksis lebih awal yang diwujudkan dalam bentuk negaranegara besar tradisonal; Majapahit dan Sriwijaya22.
Adapun aliran Tarekat yang masuk ke Indoensia tidak hanya satu dari sekian aliran
yang ada. Tarekat -Tarekat
lainnya seperti Syattariah, Syazilyah, Qadariyah, Rifaiyah,
Idrisiyah dan Tijaniyah pun tumbuh dengan suburnya 23 . Aliran-aliran Tarekat
ini
berkembang pada wilayah-wilayah tertentu, tetapi sekalipun demikian batasan pengaruh tidak
menjadi sangat mutlak, aliran yang berkembang di Sulawesi, misalnya bisa juga tumbuh di
Jawa. Batasan wilayah pengaruh yang relatif merepleksikan bahwa di dalam dunia
tasawuf/Tarekat tidak memiliki konsep batas geografis yang ketat, (geograpy absolute border)
yang ada hanya batas wilayah budaya (cultural border).
Berbeda dengan Martin, Abu Bakar Atjeh dalam bukunya, Pengantar Ilmu Tarekat,
lebih menekankan pada perkembangan munculnya aliran-aliran tasawuf di dunia Islam,
seperti Persia, Madinah, Makkah dan Mesir. Penelusuran tersebut setidak-tidaknya
diharapkan dapat memberikan gambaran untuk menelusuri pertalian antara sufisme di
Indonesia dengan sufisme di negara-negara asalnya. Perspektif seperti ini jika dilihat dari
pandangan ilmu sejarah kritis dianggap sebagai upaya mencari legitimasi historis terhadap
identitas masyarakat yang sedang berada dalam tahap tertentu.
Selain itu, Departeman Agama juga telah menerbitkan jurnal Dialog yang memuat
beberapa studi kasus mengenai terekat. Hasil-hasil penelitian yang dipublikasikannya menitik
beratkan pada bentuk-bentuk kelembagaan dari varian-varian Tarekat yang masih eksis dan
jelas sandaran tradisinya, melalui mursyidnya.
22
Uka Tjandrasasmita, Sejarah Nasional Indonesia, jilid III, (Jakarta : DEKDIKBUD, 1997), hal. 13.
23
Martin van Bruinessen, Op. Cit. hal. 16.
10
Sedangkan C. Snouck Hurgronje 24 , dalam karangan monumentalnya, “Aceh Rakyat
dan Adat Istiadatnya” juga mengungkapkan bahwa tradisi Tarekat
di Aceh tidak bisa
dipisahkan dengan tradsisi Tarekat di Jawa. Kegiatan Tarekat pada abad 18 digambarkannya
sudah begitu marak di kalangangan masyarakat Aceh. Bentuk-bentuk yang sangat menonjol
adalah tradisi rateb (ratiban)25. Dan Tarekat yang paling populer pada masa tersebut adalah
Syattariyah yang sandaran mursyidnya adalah tokoh sufi yang datang dari Timur Tengah;
yaitu Qusyaisy. Tetapi kemudian kata tersebut mendapat perubahan ucapan menjadi Qusyai.
Penyebutan mata rantai guru Tarekat dapat diketahui manakala uapacara pembacaan itu akan
segera dimulai. Diawali dengan membaca surat al-Fatihah—hadlarat sebagai wasilah-- yang
diperuntukkan kepada pendiri-pendiri sistem Tarekat tersebut, dengan diawali pembacaan
al-Fatihah kepada Allah dan Nabi Muhammad, karena Nabi Muhammad merupakan peletak
dasar ajaran dan amalan taswuf.
Jalan sufi mencapai tahap perkembangan baru pada al- Gazali dengan peranan yang
tidak dapat dilepaskan dari padanya yaitu, ketika tasawuf memasuki metode praktis dan
mengorganisasikan diri dalam bentuk Tarekat .
Oleh karena itu sekarang ini timbul anggapan bahwa ahli Tarekat adalah kaum
mutashowifin yaitu ahli sufi yang mengamalkan ajaran-ajaran tasawuf, tetapi seorang
mutashowif bukan berarti mesti seorang ahli Tarekat . Imam Ghazali, misalnya, dianggap
bukan seorang ahli tarekat tetapi mengamalkan ajaran-ajaran tasawuf.
Pelaksanaan Ijtima’ adalah merupakan salah satu amalan kelompok Tarekat yang
dalam pelaksanaannya bertujuan untuk melatih diri, mengolah rasa (qalb atau hati) yang
menurut pandangan para sufi sudah terkontaminasi oleh kehidupan yang bersifat materialduniawi. Qalb yang pada awalnya adalah fitrah tetapi kemudian setelah mengikuti garis
evolusi jasmaniyah akan terpengaruh oleh gerak evolusi jasmaniyah itu sendiri. Ijtima’ adalah
salah satu cara untuk mengasah kepekaan rasa keilahiyan, ia didawamkan oleh setiap orang
anggota Tarekat Tijaniyah pada setiap habis melaksanakan shalat lima waktu.
Tapi kemudian pada masyarakat Garut dan sekitarnya pelaksanaan Ijtima’ ini
menjadi sangat simbolis,
dan begitu kolosal, pembacaan tersebut bukan lagi menjadi
kebiasaan individu baik di rumah maupun di masjid, tetapi telah menjadi jembatan
24
C. Snouck Hurgronje, Aceh Rakyat dan Adat Istiadatnya
Di kalangan Alawiyyin yang mengembangkan Tarekat di wilayah-wilayah dimana kaum Alawiyyin tinggal baik di negara Arab
maupun di Asia Tenggara, khususnya Indonesia, menyusun berbagai jenis buku kecil yangh isinya berisi do’a-do’a. Ada yang dinamakan
ratib al-Athos, ratib al-Haddad dan yang lainnya. Penisbatan jenis ratib ini menggambarkan seorang pengarangnya dari clan mana nasab
mereka.
25
11
masyarakat yang akan menghadapi satu kegiatan yang dianggapnya memiliki makna sosial.
Tentu saja banyak faktor yang melatar belakangi proses pelembagaan upacara pelaksanaan
Ijtima’ tersebut. Dapat disimpulkan bahwa hubungan benang merah antara tasawuf, Tarekat
serta upacara pelaksanaan ijtima’ telah mempengaruhi pola-pola perilaku sosial keagamaan
masyarakat Garut dan sekitarnya yang tercermin dalam bentuk-bentuk solidaritas sosial
diantara jama’ah, mungkin rasa syu’ubiyah begitu sangat kentara seperti apa yang dikatakan
oleh Ibn Khaldun seorang pemikir muslim klasik.
Salah satu dari para ahli di atas hanya Abu Bakar Atjeh yang menyebut bahwa adanya
aliran Tarekat Tijaniyahyah di Indonesia. Secara eksplisit ia menyebut adanya aliran tersebut
dengan penelusuran pertalian antara tradisi ritual Ijtima’ pada masyarakat yang menjadi
pengikut setia dari aliran tersebut yang dikembangkan oleh koloni-koloni Arab dari
keturunan tertentu yang datang secara berangsur-angsur ke Indonesia melalui jalur laut dan
darat dibarengi dengan tradisi merantau di kalangan masyarakat Arab.
Yang paling menonjol adalah kelompok Alawiyin yang datang ke Nusantara yang
pada gilirannya membentuk koloni-koloni sendiri. Sekalipun mereka terdiri dari berbagai
marga tetapi setelah sampai di Indonesia, tumbuh kesadaran pada masing-masing clan untuk
mencairkan ikatan komunitas menjadi ikatan sosial dengan tumbuhnya solidaritas sesama
perantau (Arabian).
C. Hasil Penelitian
Menjadi menarik, sekalipun ritual keagamaan yang dibangun atas dasar ajaran Tarekat
dan yang dikembangkan masyarakat Arab itu banyak macamnya, namun di kalangan Tarekat
Tijaniyahyah mempopulerkan beberapa tradisi salah satunya adalah tradisi ritual ijtima’, dan
inilah yang membedakan antara berbagai aliran Tarekat yang tumbuh, berkembang dan eksis
pada masyarakat.
Ada tujuh tradisi ritualistik yang sudah dilazimkan oleh setiap jama,ah tarekat
Tijaniyah dan dilakukan terus menerus dalam setiap putaran waktu dalam kehidupannya di
masyarakat. Dalam tradisi tersebut mengambil bentuk:: individual, kolektif, harian, mingguan,
bulanan, temporal (waktu tertentu), dan tahunan. Perbedaan ini karena perbedaan jangkauan
dan jumlah murid yang terlibat.
Salah satu diantara tradisi ritualitik yang paling kolosal adalah tradisi Ijtima’ Hailalah”.
Ada dua katgori kegiatan dalam tradisi ritualis Ijtima’; pertama Ijtima’ shugra dan kedua
12
Ijtima’ Kubro. Adapun yang membedakan kedua kegiatan ini adalah keterlibatan jumlah
jama’ah dan jangkauan wilayah serta jumlah mukaddam yang mengikuti acara ritus tersebut.
Sedangkan ritme waktu, rangkaian wiridnya hitungan bilangan hailalah tidak berbeda. Ijtima;
hailalah baik shygra maupun kubro dimulai habis shalat Ashar berjamaa;ah sampai shalat
magrib dan tidak ketinggalan setelah upacara tersebut diadakan makan bersama yang
hidangannya dipeorleh dati gotong royong sesuai dengan kemampuan seseorang dalam
memberikan menu yang dimilikinya. Soldiratas sosial di antara sesama jama’ah terlihat jelas
karena bagi jama’ah yang tdaiak memiliki kendaraan dan keterbatasan finansial tetap
disertakan dengan ditopang oleh jama’ah yang lebih mampu baik dalam hal keuangan dan
kendaraan.
Tradisi ritual ijtima’ hailallah di Kabupaten Garut berjalan sebagaimana acara hailallah
lokal, hanya saja keterlibatan jamaah dalam tradisi ini melibatkan jamah thariqat tijaniyah
yang ada di Kabupaten Garut. Hal lain dalam tradisi ini, sosialisasi program dan pengajian
tentang ilmu thariqat biasanya diisi oleh dua atau tiga orang muqaddam secara bergiliran.
Terkadang juga mendatangkan kiyai dari luar yang mempunyai hubungan dengan thariqat
tijaniyah. Pengajian biasa diakhiri dengan pesan dan wejangan-wejangan dari muqaddam
sekaligus langsung memimpin wirid. Pengajian dimulai sejak selesai shalat berjama’ah ashar.
Ijtima’ Hailallah biasa diadakan secara rutin, satu bulan sekali, tetapi terkadang juga diadakan
diluar jadwal rutin, sesuai kebutuhan acara-acara tertentu, seperti haul pembawa pertma
thariqat tijaniyah atau haul ulama besar tertentu, hari besar Islam, Maulid Nabi Muhammad
saw., Isra Mi’raj, halal bihalal, dan hari-hari besar lainnya.
Mengenai tempat Ijtima hailallah dilakukan antar kecamatan di Kab. Garut bahkan
antar kabupaten seperti ijtima di Masjid Agung Garut, Mesjid Besar Kodya Bandung dan
Taikmalaya. Melalui ijtima inilah thariqat tijaniyah berkembang pesat dimana sampai sekarang
ijtima,. melalui ijtima diinformasikan tentang thariqat tijaniyah dan ini menarik
masyarakat untuk ingin tahu dan selanjutnya mengikuti amalan thariqat tijaniyah.
D. Kesimpulan
Dari deskripsi dan analisa terhadap tradisi Ijtima di kalangan jamaah Tariqat
Tijaniyah dapat disimpulkan beberapa poin berikut:
13
1.
Bahwa asal-usul pelaksanaan dan perkembangan tradisi Ijtima berkaitan dengan
niat dan keinginan salah seorang keturunan KH. Badruzzaman untuk menyebarkan dan
memperbaharui Tarekat Tijaniyah dikalangan masyarakat yang lebih luas. Tradisi ini
memungkinkan masyarakat menerima informasi dan melaksanakan ajaran-ajaran tarekat
secara terbuka. Dengan terlibat dalam pelaksanaan Ijtima para jamaah semakin intens
bertemu dengan anggota lain. Dari interaksi ini tercipta hubungan persaudaraan yang kuat.
2.
Sementara faktor-faktor yang berperan dominan dalam pembentukan solidaritas
social dikalangan jamaah bersumber pada doktrin ajaran dan ritual berupa Tradisi Ijtima.
Doktrin yang dimaksud adalah ajaran yang menganjurkan pada nilai persaudaraan
sesama muslim. Pada dasarnya, nilai ini tidak hanya dijumpai dalam ajaran Tarekat Tijaniyah,
tetapi disemua madzhab agama dalam Islam. Karena hakikatnya persaudaraan seiman
merupakan salah satu inti dari ajaran Islam. Namun dengan pelaksanaan tradisi Ijtima yang
diselenggarakan dalam bentuk perhelatan pertemuan, manakiban dan pengajian yang intens,
jamaah Tijaniyah semakin kuat ikatan persaudaraannya.
Faktor berikutnya, yaitu ritual yang menopang dan memelihara kebersamaan diantara
jamaah Tijaniyah. Semakin sering berpartisipasi dalam Ijtima maka dia memiliki kesempatan
bersua dan berinteraksi dengan anggota lain. Dalam kesempatan ijtima tidak hanya
menciptakan interaksi dan silaturahmi, namun juga transaksi social, seperti pertukaran
pengetahuan, informasi bahkan pertemuan yang membawa pada hubungan kekeluargaan.
3.
Proses Tradisi Ijtima menjadi media bertemu dan berinteraksi para jamaah. Pada
situasi ini, Ijtima menjadi salah satu faktor dominant yang memelihara dan menciptakan
solidaritas dikalangan Jamaah Tijaniyah. Maka atas dasar kesimpulan tadi ajaran agama dan
ritual sangat signifikan dalam mengakselerasi terciptanya solidaritas dikalangan jamaah
Tijaniah. Doktrin dan ritual tersebut tersatukan dalam tradisi Ijtima yang diselenggarakan
Tijaniyah.
E 7. Saran
Penelitian ini hanya berposisi sebagai wahana eksplorasi fenomena dalam masyarakat
yang umum terjadi. Hanya saja karena umum dijumpai, fenomena ini sudah dianggap biasa
(given). Upaya mengungkap fenomena yang terjadi dibalik ritual. Karena itu, fenomena dan
fakta berupa akibat dari sebuah kegiatan seperti solidaritas yang timbul dari Ijtima hendaknya
14
mendapat porsi pembahasan yang lebih banyak lagi. Atas dasar itu penulis menyarankan
beberapa poin berikut:
Perlu dilakukan analisa yang lebih komprehensif dan sinambung terhadap fenomena
solidaritas sosial. Hasil dari eksplorasi ini hendaknya menjadi bagian dari pembahasan dalam
komunitas-komunitas publlik baik akademik seperti kampus maupun pengajian.
Tujuan ini hanya tercapai jika hasil dari riset seperti ini lebih mendapat publikasi, dan
disosialisasikan ke khalayak, terutama lembaga-lembaga publik yang memainkan peran
penting dalam keluarga seperti lembaga agama.
15
DAFTAR PUSTAKA
Aam Abdillah ,
Tradisi Pembacaan Ratib al-Haddad, Raja
Grafindo Persada Persada, 2002, Jakarta
Abu Bakar Atjeh,
Pengantar Ilmu Tarikat, Ramadani, 1992,
Solo.
Perlunya Manusia Beragama, terjemahan,
Pesantren "Darul Arqom", 1989, Garut.
Abu Hanifah,
-----------------------,
Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf
(Uraian tentang Mistik), Tjerdas, 1962,
Bandung.
Abdullah al Haddad,
Menuju Kesempurnaan Hidup, terjemahan,
Cet. VIII, Mizan, 1996, Bandung.
---------------------------,
Renungan tentang Umur Manusia,
terjemahan, Cet. VIII, Mizan, Bandung.
Abdurrahman al Masyhur
Syajarah Alawiyah, Jilid XIV, Rabitah
Alawiyah, Hadramaut, 1957, Yaman.
A. Hasymy,
Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam
di Indonesia (Kumpulan Prasaran pada Seminar
di Aceh), Cet., I, Al Ma’arif, 1981, Bandung.
Ahmad Mansur Suryanegara,
Menemukan Sejarah. Wacana Pergerakan
Islam di Indonesia, Cet. I, Mizan, 1995.
Ahmad Warson Munawwir,
Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia, Unit
Pengadaan Buku-buku Ilmiah Keagamaan Pondok
Pesantren “Al Munawwir” Krapyak, 1984,
Yogyakarta.
Ahmad bin Zein al Habsyi,
Wasiat dan Nasihat, terjemahan, cet. I,
Putera Riyadi, 1997, Solo.
Alwi bin Thahir al Haddad,
Sejarah Masuknya Islam di Timur Jauh,
terjemahan, cet., II, Lentera Basritama, 1985,
Jakarta.
Amatullah Amstrong,
Khazanah Istilah Sufi. Kunci Memasuki
Dunia Tasawuf, Cet., I, 1996, Mizan, Bandung.
16
Azyumardi Azra,
Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Melacak
Akar-akar Pembaruan Pemikiran Islam di
Indonesia, Cet. I, Mizan, 1994.
Bassam Tibbi
Islam Kebudayaan dan Perubahan Sosial,
Tiara Wacana, 1999, Yogyakarta.
Bryan S. Turner,
Sosiologi Islam Suatu telaah Analitis Atas
Tesa Sosiologi Weber, Rajawali Press, 1992,
Jakarta.
C. Snouck Hurgronje
Aceh Rakyat dan Adat Istiadatnya, Seri
INIS No. 28, 1997, Jakarta.
Daniel L. Pals,
Seven Theories of Religion, Dari Animisme E.B.
Tylor,
Materialisme KArl
MAx Hingga
Antropologi Budaya C. Geertz, Qalam,
2001,
Yogyakarta.
David Kaplan Albert A. Manner
Teori Budaya, Pustaka Pelajar,1999,
Yogyakarta.
Fachry Ali
Islam Ideologi Dunia dan Dominasi
Global, Mizan, 1993, Bandung.
-----------------------,
Merambah Dunia Baru Islam, Mizan,
1996, Bandung.
Fu’ad Suaidi,
Hakikat Tarikat Naqsabandiyah, Pustaka
al-Husna, 1993, Jakarta.
Frithjof Schuon
Islam dan Filsafat Perenial, Mizan,1993,
Bandung.
Fred R. Von Der Mehden,
Religion and Modernization in Southeast
Asia, Syracuse University Press, 1986.
Ilyas Ba-Yunus Farid Ahmad,
Sosiologi Islam dan MAsyarakat
Kontemporer,Mizan, 1991.
Hamid al Gadri,
Islam dan Keturunan Arab dalam
Pemberontakan Melawan Belanda, cet. I,
Mizan, 1996, Bandung.
17
Harun Nasution (Ed.),
Thoriqoh Qodiriah Naqsabandiyyah.
Sejarah,Asal-Usul, dan Perkembangannya,
IAI Latifah Mubarokiyah, 1990, Tasikmalaya.
Herman Soewardi,
Roda Berputar Dunia Bergulir, Kognisi
Baru Tentang Timbul-Tenggelamnya
Siviilisasi, Bakti Mandiri, 1999, Bandung.
Hidayat Natatmadja,
Krisis Global Ilmu Pengetahuan dan
Penyembuhannya (al-Furqan), Humanika,
1982, Bogor.
Hiroko Horikoshi,
Kyai dan Perubahan Sosial, P3M, 1987,
Jakarta.
Juhaya S. Praja,
Model Tasawuf Menurut Syaria'ah, IAI
Latifah Mubaroqiyah Press, 1995.
Tasikmalaya
Karel A. Stenbrink,
Beberapa Aspek Islam di Indonesia Abad
ke- 19, Bulan Bintang, 1984, Jakarta.
Kuntowijoyo,
Demokrasi dan Budaya Birokrasi, Cet. I,
Bentang, 1994, Yogayakarta.
Mahayudin Hj. Yahaya dan Ahmad Jelani Halimi,
Sejarah Islam, Cet II, 1984, Fajar Bakti,
Kuala Lumpur.
Majalah UMMAT,
KH. Noer Ali Singa Kerawang Bekasi, No.
5, Thn. I, 22 Januari 1996, Jakarta.
Majlis Taklim Al Aidrus,
Ratib Sayyid Ilm al Nibras, TT., Jakarta.
Mark R. Woodward,
Islam Jawa, Kesalehan Normatif Versus
Kebatinan, LKiS, 1999, Yogyakarta.
Mariasusai Dhavamony,
Fenomenologi Agama, Kanisius, 1995,
Yogyakarta.
Martin Van Bruinessen,
Kitab Kuning: Pesantren dan Tarikat,
Mizan, 1995, Bandung.
18
--------------------------------,
Tarikat Naqsabandiyah di Indonesia,
Mizan, 1992, Bandung.
Marwati Djoened Pusponegoro, Nugroho Notosusanto,
Sejarah Nasional Indonesia, Balai Pustaka,
1992, Jakarta.
Mehdi Ha'iri Yazdi
Ilmu Hududri, Prinsip-prinsip
Efistimeologi
dalam Filsafat Islam, Mizan,
1994,
Bandung.
Mojdeh Bayat dan Muhammad Ali Jamnia,
Negeri Sufi. Kisah-kisah Terbaik, Cet., I,
1997, Lentera, Jakarta.
Muhammad al Albaqir,
Pengantar tentang Kaum Alawiyin dalam
Allamah Sayyid Abdullah Haddad, Thariqah
Menuju Kebahagiaan,
terjemahan, cet. VII, Mizan, 1995, Bandung.
Muhammad Sabri
Keberagaan Yang Saling Menyapa, Perpektif
Filsafat Perenial, Ittaqa
Press,1999,
Yogyakarta.
Muhammad Abdul Jabbar Beg,
Perspektif
Bandung,
Muhammad al Albaqir,
Pengantar tentang Kaum Alawiyin dalam
Thariqah Menuju Kebahagiaan,
Allamah Sayyid Abdullah Haddad, ,
terjemahan, cet. VII, Mizan, 1995, Bandung.
Mukhtar Yahya,
Perpindahan-perpindahan Kekuasaan Di Timur
Tengah Sebelum Lahir Agama
Islam, Bulan
Bintang, 1985. Jakarta
Peradaban,
Pustaka,1986,
Mojdeh Bayat dan Muhammad Ali Jamnia,
Negeri Sufi. Kisah-kisah Terbaik, Cet., I,
1997, Lentera, Jakarta.
Nurcholis Madjid,
Kaki Langit Peradaban Islam,
Paramadina, 1997. Jakarta.
Sya’rani,
Mizan al-Kubrâ, Dâr al-Ma’rifah, 1343 H
Mesir.
19
Syaikh Ibrahim Gazurl-Ilahi
Mengungkap Misteri Sufi Besar Mansur AlHallaj: "Anal Haq", Rajawali, 1986.
Seyyed Hossein Nasr
Islam dan Nestapa Manusia Modern,
Pustaka, 1983, Bandung.
Sufisme Jawa, Transformasi Tasawuf Islam Ke
Mistik Jawa, Bentang, 1996, Yogyakarta.
Simuh,
Taufiq Abdullah, M. Rusli Karim,
Metodologi Penelitian Agama, Sebuah
Pengantar, Tiara Wacana, 1989,
Yogyakarta.
Umar bin Abdurrahman al Attas,
Panduan Ratib al Attas, Jamaah Mesjid Al
Sa’adah, 1982, Cuipayung, Bogor.
Yayasan Jamiat Kheir,
Aqidah Salaf Al Habib Abdullah bin Alwi Al
Haddad, 1994, Jakarta.
Yayasan Attaqwa
Panduan Ratib al-Haddad, Jamaah
Attaqwa, 1983, Ujung Harapan Bekasi.
Zamakhsyari Dhofier,
Tradisi Pesantren, LP3ES, 1985, Jakarta.
-----------------------------,
“Pesantren dan Thoriqot” dalam Jurnal Dialog: Sufisme di
Indonesia, Balitbang Agama Depatemen Agama RI, 1978,
Jakarta.
Mesjid
20
Download