TAREKAT KHALWATIYAH M. Ali Sibram Malisi* Abstract: Shortly, Khalwatiyah mystic (Tasawuf) is publicated in Banten with Sheikh Yusuf al-Maqassari, on Sultan Agung Tirtayasa period. Mystic in Khalwatiyah’s few is regret or repentance towards his sin, tawajjuh with sincere to willingly his good, release soul from self emfluence, to seek in mind and feeling, to cleaan self for meaness and be morality’s noble. The main doctrine of Khalwatiyah’s mystic is revolve or be range from effort human to taqarrub to Allah with doing good deed or regular practice or good work and exercise. Be very simple in it’s applicating, to bring range which deepest under to high level or more completely through seven waves, are: level, desire of be angrily, mulhamah, muthmainnah, radiyah, mardiyah dan nafsu kamilah. Keywords: Khalwatiyah Tareqat, Tasawuf, Sheikh Yusuf al-Maqassari. Pendahuluan Umumnya, nama sebuah tarekat diambil dari nama sang pendiri tarekat yang bersangkutan, seperti Qadiriyah dari Sheikh Abd al-Qadir al-Jailani atau Naqshabandiyah dari Bahau al-Din Naqshaband. Tapi tarekat Khalwatiyah justru diambil dari kata “Khalwat”, yang artinya menyendiri untuk merenung. Cabang Tarekat Khalwatiyah didirikan oleh Zahir al-Din. (w. 1397 M.) di Khurasan.1 Di samping itu, terdapat keterangan lain menyatakan bahwa nama tarekat ini berasal dari nama seorang guru Sheikh Umar, yakni Muhammad Ibn Nur al-Barisi yang mendapat julukan al-Khalwati lantaran ia sering menjalani pengasingan diri.2 Secara “Nasabiah”, Tarekat Khalwatiyah merupakan cabang dari tarekat al-Zahidiyah, cabang dari al-Abhariyah, dan cabang dari Al-Suhrawardiyah3, yang didirikan oleh Sheikh Shihab al-din Abi Hafs Umar al-Suhrawardi al-Baghdadi4 (539-632 H) dan Umar Suhrawardi (w. 1234 M) yang tiap kali menamakan dirinya golongan Siddiqiyah, karena mereka menganggap dirinya berasal dari keturunan khalifah Abu Bakar. Dalam perjalanannya, perkembangan Tarekat Khalwatiyah yang pesat adalah di Turki, sehingga cabangnya sangat banyak. Seperti di Anatolia Jarrahiyah, Ighitbashiyah, Usysyaqiyah, Niyaziyah, Sunbuliyah, Syamsiyah, Gulsaniyah dan Syujaiyah.5 Arena aktifitas Tarekat Khalwatiyah masih tetap di Turki, yang pada abad ke 11 H/17 M. menjadi unsur penting bahkan dalam kehidupan politik kekaisaran Uthmani. Puncak pertumbuhan spiritual di Kekaisaran Uthmani adalah selama masa kekuasaan Sulaiman Agung dan Sultan Salim I. Lebih jauh tarekat ini terus berkembang di Turki dan propinsi-propinsi kekaisaran Utsmani Dosen Tetap Pada STAIN Palangka Raya diperbantukan pada Universitas Palangka Raya telah menyelesaikan Program 1 Doktoral Islamic Studies SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Menyelesaikan program Doktoral tahun 2012. Kini selain dosen STAIN Palangka Raya dengan bidang keahlian Pemikiran dan Pendidikan Islam. E-mail: 1 Tim Dosen IAIN Sumatera Utara, Pengantar Ilmu Tasawuf (Palembang: IAIN Sumatera Utara, t.t), 81-82. 2 Huston Smith, Ensiklopedi Islam (ringkas) (Jakarta: PT. RadjaGrafindo Persada, 1996), 211. 3 Cabang-cabang tarekat Suhrawardiyah adalah Jalaliyah, Zainiyah, Safawiyah Rawshaniyah dan Khalwatiyah sendiri. Aboebakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tarekat: Uraian Tentang Mistik (Jakarta: CV. Ramadhani, 1986), 337. 4 Seorang tokoh sufi terbesar di Baghdad, pengarang kitab “Awarif al-Ma’arif”, sebuah karangan yang mengagumkan dan sangat menarik perhatian Imam al-Ghazali, sehingga seluruh kitab itu dimuat pada akhir karya “Ihya Ulum al-Din” yang oleh tarekat Suhrawardiyah serta cabang-cabangnya dijadikan pokok pegangan dalam suluknya. Lihat: Aboebakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tarekat, 338. 5 Aboebakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tarekat, 338. 66 Tasamuh, Volume 4 Nomor 1, Juni 2012 : 65-72 hingga abad ini. Tarekat ini kuat di Albania sampai Revolusi Kebudayaan pada tahun 1967 dan aktif di Yoguslavia hingga sekarang ini. Ia juga harus bertahan hidup di Mesir, Suriah, Lebanon, dan Palestina.6 Salah satu tarekat yang masih eksis di Turki adalah Tarekat Khalwatiyah-Jarrahiyah didirikan oleh Pir Nur al-Din al-Jarrahi dilahirkan pada 1089 H/1678 M. melalui ayahnya, Sayyid ‘Abd Allah Ibn Muhammad Husain al-Din, dia adalah keturunan Imam al-Husain dan, melalui jalur ibunya, dia adalah keturunan ‘Ubaid Ibn Jarrah, salah seorang dari sepuluh sahabat yang menurut hadith, diberitahu akan masuk surga. Kemudian Tarekat Khalwatiyah berkembang juga secara luas di Mesir dan di antara cabang-cabangnya adalah Dhaifiyah, Hafnawiyah, Saba’iyah, Sawiyah-Dardiyah. Pada abad ke-13 H/19 M. Tarekat Khalwatiyah Bakriyah dibawa oleh Musthafa al-Bakri (lengkapnya Mushtafa bin Kamal al-Din bin Ali al-Bakr al-Shiddiqi), seorang penyair sufi asal Damaskus, Syiria. Ia mengambil tarekat tersebut dari gurunya yang bernama Sheikh Abd al-Latif ibn Sheikh Husam al-Din al-Halabi. Karena pesatnya perkembangan tarekat ini di Mesir, tak heran jika Mushtafa alBakri dianggap sebagai pemikir Khalwatiyah oleh para pengikutnya. Karena selain aktif menyebarkan ajaran Khalwatiyah ia juga banyak melahirkan karya sastra sufistik. Di antara karyanya yang paling terkenal adalah Tasliyat al-Ahzan (Pelipur Duka). Al-Bakri menyatakan, secara genealogis, ayahnya masih memiliki nasab sampai kepada Khalifah Abu Bakar r.a sedangkan dari sisi ibunya, nasabnya sampai cucu Rasul Allah SAW, al-Husein. Juga pada abad ke-12 H/18 M., cabang-cabang lain dari Tarekat Khalwatiyah, seperti Kamaliah, menyebar di wilayah Timur Arab lain, seperti Palestina. Di satu sisi, Tarekat Sammaniyah-Khalwatiyah menyebar ke Afrika Hitam dan di sisi lain, melalui Makkah menuju Asia Tenggara. Suriah juga adalah salah satu arena penting aktifitas Khalwatiyah, dan cabang-cabang lain dari tarekat itu seperti Jamaliyah dan Bakhsyiyah sudah aktif di wilayah itu hingga zaman modern.7 Adapun pegangan dari Tarekat Khalwatiyah, menurut keterangan Aboebakar Atjeh, adalah “Al-Futuhat al-Rabbaniyah” yang diperuntukkan bagi murid-murid Tarekat Khalwatiyah yakni sebuah kitab kecil yang dicetak dan diterbitkan di Mesir, karangan Sheikh Hasan Abd al-Raziq al-athwabi (w. 1941). Riwayat Sheikh Yusuf Al-Maqassari 1036 H/1626 M. Letak kerajaan Goa-Tallo di Semenanjung barat daya pulau Sulawesi sangatlah strategis dari sudut perdagangan rempah-rempah, yang terkenal sebagai pelaut yang telah mengarungi lautan Nusantara dan berlayar ke berbagai daerah dan kerajaan seperti Sumbawa, Timor, Bengkulu, Aceh, Perak, Johor, Malaka, Palembang, Banjarmasin dan Manila.8 Jaringan perdagangan tersebut ikut membantu tersebarnya agama Islam sampai ke kerajaan Goa-Tallo dan kerajaan Goa-Tallo akhirnya menerima Islam pada hari Jum’at 9 Jumadil Awwal 1014 H atau 22 September 1605 M.9 Kerajaan ini merupakan dua kerajaan kembar hasil pembagian dari kerajaan Makassar kepada dua putranya yang tua menjadi raja Goa dan sang adik menjadi raja Tallo, pada pertengahan abad 16.10 Peran kedua kerajaan ini sangat besar sekali dalam menyebarkan agama Islam dan mengislamkan kerajaan-kerajaan kecil yang ada di sekitarnya baik secara damai maupun dengan peperangan, sehingga dalam kurun waktu 20 tahun seluruh semenanjung Sulawesi Selatan telah masuk agama Islam. Dalam situasi inilah lahir seorang putra Makasar di Kerajaan Goa yang dikenal dengan sebutan “Tuanta Salamaka”, artinya “junjungan kita yang membawa keselamatan”. Zarrinhub, Justiju dar Tashawwuf-i Iran, Bab 14. Chittick, the sufi Path of Knowledge (Albania: State University of New York Press, 1989), 372-373. 8 Mattulada, Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar dalam Sejarah (Jakarta: Bhakti Baru Berita Utama, 1982), 9. 9 J. Noorduyn, Islamisasi Makassar (Jakarta: Bhraga, 1972), 27. 6 7 1 0 Raja Goa disebut juga raja Makassar atau Sultan Makassar atau Sultan Alauddin. Kemudian Raja Tallo bernama Karaeng Katangka atau Matoaya yang kemudian disebut dengan Sultan Awaluddin, dan keduanya memeluk agama Islam pada abad ke-17, selanjutnya seluruh rakyat dari dua kerajaan itu memeluk agama Islam. M. Ali Sibram Malisi, Tarekat Khalwatiyah 67 Sheikh Muhammad Yusuf Abu al-Mahasin Hadiya Allah Taj al-Khalwati al-Maqassari juga dikenal penduduk Makassar sebagai Tuanta Salamaka dilahirkan pada tahun 1036/1626.11 Dan hampir semua sumber mengatakan bahwa ayahnya adalah dari kalangan rakyat biasa, tetapi terkenal sebagai orang suci yang banyak mempunyai keramat.12 Ibunya dari keturunan bangsawan, ia putri Gallarang Monconglo’e, teman akrab Raja Goa Sultan Alauddin. Riwayat Sheikh Yusuf secara singkat sudah pernah dibahas dalam forum diskusi di perpustakaan Universitas Hasanuddin pada tahun 1975. Tentang asal-usul Sheikh Yusuf, yang diketahui sebenarnya bersifat legenda yang tidak dapat dipastikan kebenarannya. Namun demikian sudah banyak buku-buku yang membahas tentang Sheikh Yusuf, terutama diangkat secara khusus melalui penelitian akademik oleh Nabilah Lubis dengan judul Disertasi “Sheikh Yusuf al-Taj al-Makassari, Menyingkap Intisari segala Rahasia.” Sheikh Yusuf semasa kecilnya belajar mengaji kepada guru kerajaan Daeng ri Tasammang, setelah menamatkan bacaan Qur’an Yusuf belajar bahasa Arab (Nahwu, Sharf, Mantiq) dan ilmu fiqh, tetapi konon Yusuf lebih tertarik kepada ilmu Tasawuf. Konon Yusuf menjadi murid dua Sheikh terkenal di Makasar pada waktu itu, ialah Sayyid Ba’alwi ibn Abd Allah al-Allamah al-Thahir seorang asal Arab yang mempunyai pondok di Bontoala, dan Jalal al-Din al-Aydid seorang Aceh yang datang dari Kutai dan mendirikan pengajian di Cikoang.13 Kemudian Yusuf belajar ke Mekkah, tetapi ia tidak langsung menuju ke Mekkah melainkan ia mampir dulu di Banten bersahabat dengan putra Mahkota yang kelak menjadi Sultan Banten dengan gelar Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1692). Dan di sana ia juga belajar dengan Sultan Abdul Fatah (Sultan Ageng Tirtayasa). Setelah beberapa lama di Banten, Sheikh Yusuf melanjutkan perjalanannya mencari ilmu; kali ini ke Aceh untuk belajar kepada Sheikh Yusuf Nur al-Din al-Raniri. Kemungkinan menurut beberapa sumber Sheikh Yusuf menemui al-Raniri al-Randir. Al-Raniri bahkan disebut menginisiasi Sheikh Yusuf ke dalam Tarekat al-Qadiriyah.14 Kelihatannya jelas, al-Raniri yang memperkenalkan Sheikh Yusuf kepada salah seorang gurunya yang terkenal, Sayyid Abu hafs Umar ibn Abd Allah Ba Shaiban, yang menetap di Bijapur, India. Sheikh Yusuf kemudian belajar dengan Ba Shaiban untuk beberapa waktu, sebelum melanjutkan perjalanannya ke Yaman. Di sini, ia belajar dengan dua orang Sheikh Naqshabandiyah. Ia selanjutnya menuju Makkah dan Madinah, mulanya hanya untuk menunaikan ibadah haji. Namun kemudian, ia memutuskan bermukim beberapa waktu dan belajar dengan ulama Haramayn, termasuk dengan Ibrahim al-Kurani. Ibrahim kemudian menginisiasinya ke dalam Tarekat Shattariyah.15 Selama belajar di Madinah, Sheikh Yusuf bertemu dan sama-sama belajar dengan Abd. Rauf setelah beberapa tahun di Haramayn.16 Sheikh Yusuf memperoleh Ijazah Tarekat Khalwatiyah di Negeri Sham (Suriah) dari Abu Barakat Ayyub ibn Ahmad al-Khalwati al-Quraisy, Imam Masjid Sheikh al-Akbar Muhy al-Din ibn Arabi. Ulama inilah yang memberi gelar Sheikh Yusuf Taj al-Khalwati Hadiyatullah.17 1 1 Christian Pelras, “Religion, Tradition and Dynamics of Islamization in South Sulawesi” Arcjipel, 29 (1985), 123-5; Matulada, Islam di Sulawesi Selatan (Jakarta: LEKNAS/LIPI, 1976). 1 A.H. Massiara, Syekh Yusuf Tuanta Salamaka dari Goa (Jakarta: Yayasan Lakipadada, 1983), 5. 2 Abu Hamid, Syekh Yusuf Seorang Ulama, Sufi dan Pejuang (Jakarta: Yayasan Obor, 1994), 86-87. 1 3 14 al-Din al-Raniri dipertanyakan oleh para sejarawan. Karena ketika Yusuf berjalan ke tanah suci Nur al-Din al-Raniri sudah pulang ke India, dan tidak ada bukti bahwa dia kemudian kembali ke Aceh. Namun pertemuan itu bukan di Aceh tapi di Gujarat India. Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII (Bandung: Mizan, 1994), 169. Atau mungkin juga yang dimaksud oleh Yusuf sebagai gurunya bukan Nur al-Din al-Raniri melainkan pamannya bernama Muhammad Jilani ibn Hasan ibn Muhammad Hamid al-Raniri yang datang ke Aceh pada tahun 1580. Martin Van Bruinessen, The Tariqa Khalwatiyya in South Celebes, in H.A. Poeze & P Schoorrl (eds) terj. Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia (Bandung; Mizan, 1991), 288. 1 G.W.J. Drewes, “Indonesia: Misticysm and Activism”, dalam Gustava E. Von Grunebaum (ed.), Unity and Diversity in Muslim 5 Civilization (Chicago, University of Chicago Press, 1955), 291. 1 Mattulada, Islam di Sulawesi, 37-8. 6 Ensiklopedi Islam 3 (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), 33. 1 7 A.A. Rizvi, A History of Sufism, Vol. II (New Delhi, Munshiram Manoharial, 1983), 336. Tetapi pertemuan Yusuf dengan Nur 68 Tasamuh, Volume 4 Nomor 1, Juni 2012 : 65-72 Dari penjelasan di atas, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa sejumlah tarekat yang pernah dipelajari al-Maqassari adalah: 1. Tarekat Qadiriyah dengan Sheikh Nur al-Din al-Raniri; 2. Tarekat Naqshabandiyah dengan Sheikh Abu Abd Allah Abd al-Baqi Billah; 3. Tarekat Shattariyah dengan Sheikh Ibrahim al-Kurani di Madinah; 4. Tarekat Khalwatiyah dengan Sheikh Abd al-Barakat Ayyub ibn Ahmad ibn Ayyub al-Khalwati al-Quraisy di Damshiq, beliau adalah seorang imam Masjid Muhy Ibn ‘Arabi. Semua tarekat di atas bersambung kepada Nabi SAW. dalam silsilahnya, Sheikh Yusuf di sini sementara dapat dilacak pada silsilah tarekat Naqshabandiyah (sebab terdapat pada tulisan tangan beliau langsung) yakni: Sheikh Muh. Baqi Billah al-Lahore (India)-Sheikh Maulana Khaujani alAmkani-Sheikh Darwis Muh-Sheikh Muh. Zahid-Sheikh Muh. Ubaid Allah Ahrari al-SamarkandiSheikh Ya’qub al-Jarkhi al-Khashari-Sheikh Muh. Akauddin al-Athari-Sheikh Bahauddin al-Naqshaband. Sheikh Yusuf kembali ke Makassar pada tahun 1078 H/1667 M. Dan segera melancarkan pembaruannya, karena mendapat perlawanan kaum bangsawan ia kemudian menetap di Banten, di sinilah ia menikah dengan Puteri Sultan Agung Tirtayasa (1026-1104/1651-1692). Berkat kedalaman ilmunya, Sheikh Yusuf mendapat penghargaan dan diberi julukan oleh Belanda de invloedrijkste hogepriester yang artinya Pendeta tinggi paling berpengaruh Kesultanan Banten.18 Sultan Agung Tirtayasa kemudian mengangkatnya sebagai Mufti Kesultanan, juga sebagai raja muda. Dalam kedudukan terakhir, Sheikh Yusuf pada tahun 1086/1675 ditugaskan mengunjungi berbagai negara Islam di Timur Tengah, seperti Hijaz, Syiria dan Turki untuk mempererat hubungan mereka dengan Kesultanan Banten. Karena terus menerus melakukan perlawanan terhadap Belanda ia pun kemudian dibuang oleh Belanda ke Srilangka, lalu ke Afrika Selatan. Di sini ia wafat pada tahun 1111/1699. Tahun 1117/1705 sisa-sisa jasadnya dibawa kembali ke Makassar atas desakan Sultan abd al-Jalil dari Goa kepada Belanda. Makamnya terdapat di Lakiung dekat Goa Sulawesi Selatan dan kuburannya setiap jam mendapat kunjungan dari mana-mana, pada pintu gedung yang melindungi kuburan itu terdapat catatan Sheikh Yusuf Tuangku Salamaka, lahir 1626, pergi haji 1644, diasingkan dari Banten ke Ceylon 1683, dipindahkan dari Ceylon ke Afrika Selatan 1694 dan meninggal di Captown 23 Mei 1699 dan dimakamkan di Lakiung 23 Mei 1703.19 Adapun karya dari Sheikh Yusuf yang terkenal menurut salah satu sumber adalah: Al-Tuhfah al-Shaillaniyyah, Al-Hab al-Warid, Tuhfah al-Labib, Safinah al-Najah, Zubdat al-Asrar, dan Tuhfah al-Rabbaniyah.20 Ajaran Tarekat Khalwatiyah dan Perkembangannya di Indonesia Batasan tasawuf dalam pandangan Khalwatiyah adalah penyesalan atas dosanya, tawajjuh dengan ikhlas kepada kerelaan Tuhannya, melepaskan jiwa dari pengaruh diri, mencari haq dengan akal dan perasaan. Membersihkan diri dari kekejian dan berakhlaq mulia. Selanjutnya pondasi amal tarekat ini adalah Yaqdah atau kesadaran, taubah atau minta ampun, muhasabah atau memperhitungkan untung rugi, inabah atau berhasrat kembali kepada Tuhan, tafakkur atau selalu menggunakan pikiran, tazakkur atau selalu menyebut Tuhan, I’tisham atau selalu berpegang kepada pimpinan Allah, firar atau selalu lari dari kejahatan dan keduniaan yang tidak berfaedah, riyadhah atau selalu melatih diri dalam amal, dan sima’ atau selalu mengunakan pendengaran dalam mengikuti perintah-perintah agama. Menurut Aboebakar Atjeh, yang mengutip dari Sa’id ‘Aidrus al-Habasyi, dengan kitabnya: “Uqud al-La’al fi Asanid al-Rijal” (Kairo, 1961), yang dipinjam dari Sayyid Salim ibn Jindan (Jakarta). 1 8 1 9 Azyumardi Azra, Renaissance Islam Asia Tenggara (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1999), 132. Tim Dosen Sumatera Utara, Pengantar Ilmu, 288. Lihat: Raja Mohd Affandi, Tokoh-Tokoh Melayu yang Agung dalam Sejarah (Kuala Lumpur: Dewan Pustaka dan Bahasa, 2 0 1984), 101-4. M. Ali Sibram Malisi, Tarekat Khalwatiyah 69 Kitab itu berisi tentang Dardir yang tertarik kepada Tarekat Khalwatiyah dan menerimanya dari al-Hafnawi al-Shafi’i, begitu juga Ali al-Wina’i.21 Kesederhanaan pelaksanaannya adalah membawa jiwa dari tingkat yang rendah kepada tingkat yang sempurna melalui tujuh gelombang yang disebut martabat tujuh dari jiwa tersebut. 1. Manusia yang berada dalam nafsu Ammarah bersifat jahil, kikir, loba, takabbur, pemarah, gemar kepada kejahatan, dipengaruhi shahwat; dan mempunyai sifat-sifat buruk yang lain. Manusia dalam keadaan ini hanya dapat melepaskan dirinya daripada sifat-sifat yang buruk itu ialah dengan memperbanyak zikir dan mengurangi makan dan minum. 2. Manusia yang berada dalam nafsu lawwamah, banyak kegemaran dalam mujahadah dan pelaksanaan shari’at, ia banyak berbuat amal saleh, tetapi masih bercampur aduk dengan sifat ujub, takabbur dan riya. Melepaskan diri dari pada ria hanya dapat dilakukan dengan fana dalam ikhlas, dengan shuhud, bahwa penggerak dan penyempurna rasa ialah Allah. Melepaskan diri daripada dua sifat yang pertama dapat dilakukan dengan mujahadah dan melakukan enam perkara, yaitu mengurangi makan, mengurangi tidur, mengurangi bicara, sering berpisah diri dari manusia, tetap dalam zikir dan dalam pikiran yang sempurna. 3. Manusia yang berada dalam nafsu al-Mulhamah, biasanya kuat mujahadah dan melakukan tajrid dan oleh karena itu menemui isyarat-isyarat tauhid, tetapi ia belum dapat sepenuhnya melepaskan diri daripada hukum-hukum manusia. Oleh karena itu, manusia ini harus membiasakan badan dan jiwanya, menenggelamkan batinnya ke dalam hakikat iman, dan menenggelamkan lahirnya ke dalam kesibukan shari’at Islam. 4. Manusia yang berada dalam keadaan Nafsu al-Muthmainnah, tidak dapat lagi meninggalkan hukum taklifi agama barang sejari. Berakhlaq dengan akhlaq Rasul Allah dan tidak tenteram jika tidak menurut sabda Nabi dan petunjuknya, sehingga ia menyenangkan hati orang yang memandang dan mendengar ucapannya. 5. Manusia yang mempunyai nafsu al-Radiyah ialah manusia yang dalam keadaan fana kedua, sudah terlepas dari sifat-sifat manusia biasa. Dengan tidak dipaksakan halnya dalam baqa. Tanda-tandanya ia tidak bergantung pada manusia, tetapi bergantung hanya pada Allah semata. 6. Manusia dalam nafsu al-Mardiyah, yaitu manusia yang dapat mencampurkan kecintaan khaliq dan khalaq. 7. Manusia yang tertinggi berada dalam keadaan nafsu al-Kamilah, yaitu manusia yang dalam pekerjaan ibadatnya turut seluruh badannya, lidahnya, hatinya dan anggota-anggotanya yang lain. Manusia yang demikian banyak melakukan istigfar, tawadhu’.22 Masing-masing manusia berada dalam satu maqam, ia tidak dapat melihat keadaan dalam maqam di atasnya, sampai ke maqam yang ketujuh. Diketahui bahwa, pancaran rabbani tidak bisa dibangkitkan dengan asma, tetapi ia adalah nur yang dikaruniai Tuhan bagi siapa yang ia suka. Di tengah-tengah asma atau sesudahnya. Seorang salik dalam maqam yang pertama, oleh Sheikhnya ditalqinkan asma, jika ia terus menerus melakukan bacaan, amalan, tinggi rendahnya suara, sambil duduk atau berdiri, Tuhan menyalakan dengan berkah asma itu dalam bathinnya, suatu nyala pelita malakut, maka ia melihat dengan mata hatinya segala yang buruk di sekitarnya, lalu berlari memasuki ikhlas. Tiap-tiap bertambah zikirnya, bertambah cepat berlari mencapai keikhlasan itu, dengan demikian pada akhirnya ia mendapat jazbah rahmaniyah, yang dapat membawanya kepada derajat kamal dan menguatkan jiwanya, dalam memikul amanah dan menghadapi tajalliyat. Yang demikian itu, dalam Tarekat Khalwatiyah, disebut Khasiyah ism pertama. Aboebakar Atjeh, Pengantar Ilmu, 341. 2 Aboebakar Atjeh, Pengantar Ilmu, 341. 2 1 2 70 Tasamuh, Volume 4 Nomor 1, Juni 2012 : 65-72 Khasiyah ism kedua, salik yang bimbang itu keluar dari kegelapan maksiat kepada cahaya ketaatan yang sangat terang. Sedang Khasiyah ism ketiga, lahirlah huwiyah mutlak, hakikat imaniyah, ma’rifat qudaiyah rabbaniyah dalam hati salik yang bimbang itu. Khasiyah yang keempat dan kelima menyusul dalam keadaan zikir, zikir itu dilakukan dalam keadaan menghadap kiblat, duduk di atas dua lutut atau berdiri, kosong dari keinginan, mendengar apa yang diucapkan, bersih lahir dan bathin, terus menerus dalam wudhu, berpegang teguh pada shari’at dan tarekat, dan meminta kelebihan daripada Tuhan dengan tidak mengenal henti. Bila semuanya dikerjakan salik akan sampai kepada maqam yang keenam, yang dicapai dengan mujahadah dan riyadah. Adapun mencapai Khasiyah maqam yang ketujuh memang tidak mungkin dengan usaha, tetapi dengan jazbah dari Allah SWT. Maqam ini dinamakan maqam haq al-yaqin, maqam tauhid atau wihdat al-wujud. Selanjutnya mengenai konsep fana, tarekat ini membagi kepada tiga yakni fana fi al-af’al, fana fi al-sifat dan fana fi al-zat.23 Talqin dalam tarekat ini sama dengan apa yang terjadi pada tarekat Naqshabandiyah. Secara singkat, Tarekat Khalwatiyah mula-mula tersiar di Banten oleh Sheikh Yusuf al-Maqassari, pada zaman pemerintahan Sultan Agung Tirtayasa. Dalam kontak hubungan pemerintahan Banten dengan luar negeri. Dalam pendudukan Banten oleh Belanda, beliau menjadi pejuang yang gigih menentang penjajah. Akan tetapi ia tertangkap dan dibawa ke Ceylon, kemudian dipindah ke kota Capstad (Captown) Afrika Selatan dan meninggal di sana sebagai pahlawan agama dan tanah air, pada tahun 1699 M.24 Sebenarnya berdasar keterangan yang termaktub dalam Ensiklopedi Indonesia 3, Tarekat Khalwatiyah yang masuk ke Indonesia masuk dengan memiliki dua cabang yakni: Khalwatiyah Yusuf dan Khalwatiyah Samman. Kedua cabang Tarekat Khalwatiyah ini bersumber dari satu silsilah yang bercabang sesudah Sheikh Mulana Affandi Umar al-Khalwati. Dua murid Umar al-Khalwati adalah Yahya al-Sharwani yang menurunkan Tarekat Khalwatiyah Yusuf dan Muhammad Amir Umm alKhalwati yang menurunkan Tarekat Khalwatiyah Sammaniyah. Zikir Tarekat Khalwatiyah Zikir merupakan jalan utama bagi salik melakukan riyadah kerohanian untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT. Zikir kepada Allah SWT. bagi penganut tarekat Khalwatiyah termasuk perkara yang hukumnya wajib ‘ain, hal ini didasarkan pada firman Allah dalam QS. Al-Ahzab: 41. Dengan demikian pengertian zikir bagi tarekat Khalwatiyah adalah mengingat Allah SWT. Dengan menyebut lafaz-lafaz zikir seperti kalimat tauhid, la ilaha illallah, lafaz jalalah, Allah Allah dan lafaz huwa-huwa. Dalam Tarekat Khalwatiyah dikenal adanya sebuah amalan yang disebut Asma as-Sab’ah (tujuh nama) yaitu tujuh macam zikir atau tujuh tingkatan jiwa yang harus dibaca oleh setiap salik. Di samping itu, Sayyid Ali al-Wina’i membagi martabat asma (zikir) dalam tujuh tingkat tersebut yakni: Pertama; Lafaz la ilaha illallah sebagai perbandingan untuk nafsu ammarah. Jiwa ini dianggap jiwa yang paling kotor dan selalu menyuruh pemiliknya untuk melakukan perbuatan dosa dan maksiat atau buruk. Hal ini didasarkan pada QS. Yusuf: 53: “sesungguhnya jiwa itu selalu menyuruh kepada kejahatan”. Kedua; Lafaz Allah, untuk nafsu Lawwamah (jiwa yang menegur), jiwa ini dianggap sebagai jiwa yang sudah bersih dan selalu menyuruh kebaikan-kebaikan kepada pemiliknya dan menegurnya bila ada keinginan untuk melakukan perbuatan buruk. Didasarkan pada QS. AlQiyamah: 2: “dan aku tidak bersumpah dengan jiwa yang menegur”. Ketiga; Lafaz Huwa, untuk nafsu al-Mulhamah (jiwa yang terilhami) yakni dianggap terbersih dan telah terilhami oleh Allah SWT, sehingga bisa memilih mana yang baik dan mana yang buruk. Aboebakar Atjeh, Pengantar Ilmu, 344. 2 Aboebakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tarekat, 410. 2 3 4 M. Ali Sibram Malisi, Tarekat Khalwatiyah 71 Didasarkan pada QS. Al-Syam: 7 dan 8: “Demi jiwa yang menyempurnakannya Allah mengilhami jiwa tersebut kejahatan dan ketaqwaannya”. Keempat; Lafaz Haq untuk nafsu al-Mutmainnah (jiwa yang tenang), jiwa ini dianggap bersih juga tenang dalam menghadapi problem hidup maupun goncangan jiwa lainnya didasarkan pada QS. Al-Fajr: 27: “Wahai jiwa yang tenang”. Kelima; Lafaz Hay untuk nafsu al-Radiyah (jiwa yang ridha), jiwa semakin bersih, tenang dan ridha terhadap apa yang menimpa miliknya, karena semua berasal dari pemberian Allah. Didasarkan pada QS. Al-Fajr: 28: Wahai Jiwa yang tenang”. Keenam; Lafaz Qayyum untuk nafsu Mardiyah (jiwa yang diridhai), selain jiwa itu sudah bersih, tenang, ridha juga mendapat ridha dari Allah SWT. Dasar ayatnya sama dengan dasar tingkat jiwa yang kelima. Dan ketujuh; Lafaz Qahhar untuk nafsu Kamilah (jiwa yang sempurna) dan inilah jiwa terakhir atau puncak jiwa yang paling sempurna dan akan terus mengalami kesempurnaan selama hidup dari pemiliknya. Secara eksplisit tidak disebutkan dalam al-Qur’an. Penutup Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan, yakni Tasawuf dalam pandangan Khalwatiyah adalah penyesalam terhadap dosanya, tawajjuh dengan ikhlas kepada kerelaan Tuhannya, melepaskan jiwa dari pengaruh diri, mencari haq dengan akal dan perasaan. Membersihkan diri dari kekejian dan berakhlaq mulia. Pokok-pokok ajaran Tarekat Khalwatiyah berkisar pada usaha manusia untuk taqarrub kepada Allah dengan melakukan amalan dan latihan. Sir dan suluknya sangat sederhana dalam pelaksanaannya, untuk membawa jiwa yang paling bawah ke tingkat yang lebih sempurna melalui tujuh gelombang (tingkat: nafsu ammarah, nafsu mulhamah, nafsu muthmainnah, nafsu radiyah, nafsu mardiyah dan nafsu kamilah. DAFTAR PUSTAKA Affandi, Raja Mohd., Tokoh-tokoh Melayu yang Agung dalam Sejarah. Kuala Lumpur: Dewan Pustaka dan Bahasa, 1984. Atjeh, Aboebakar, Pengantar Ilmu Tarekat: Uraian Tentang Mistik. Jakarta: CV. Ramadhani, 1986. Azra, Azyumardi, Renaissance Islam Asia Tenggara.Bandung:Remaja Rosda Karya, 1999. --------, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Bandung: Mizan, 1994. Bruinessen, Martin Van, The Tariqa Khalwatiyya in South Celebes, in H.A. Poeze & P Schoorrl (eds) terj. Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia. Bandung; Mizan, 1991. Chittick, The Sufi Path of Knowledge. Albania: State University of New York Press, 1989. Drewes, G.W.J., “Indonesia: Misticysm and Activism”, dalam Gustava E. Von Grunebaum (ed.), Unity and Diversity in Muslim Civilization. Chicago, University of Chicago Press, 1955. Ensiklopedi Islam 3. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994. Hamid, Abu, Syekh Yusuf Seorang Ulama, Sufi dan Pejuang. Jakarta: Yayasan Obor, 1994. Massiara, A.H., Syekh Yusuf Tuanta Salamaka dari Goa. Jakarta: Yayasan Lakipadada, 1983. 72 Tasamuh, Volume 4 Nomor 1, Juni 2012 : 65-72 Mattulada, Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar dalam Sejarah. Jakarta: Bhakti Baru Berita Utama, 1982. Matulada, Islam di Sulawesi Selatan. Jakarta: LEKNAS/LIPI, 1976. Noorduyn, J., Islamisasi Makassar. Jakarta: Bhraga, 1972. Pelras, Christian, “Religion, Tradition and Dynamics of Islamization in South Sulawesi” Arcjipel, 29. 1985. Rizvi, A.A., A History of Sufism, Vol. II. New Delhi, Munshiram Manoharial, 1983. Smith, Huston, Ensiklopedi Islam (ringkas). Jakarta: PT. RadjaGrafindo Persada, 1996. Tim Dosen IAIN Sumatera Utara, Pengantar Ilmu Tasawuf. Palembang: IAIN Sumatera Utara, t.t.