PENERAP AN PRINSIP KEKEBALAN DAN KEISTIMEWAAN

advertisement
262
HukulIl dan Pelllbangunal1
PENERAPAN PRINSIP KEKEBALAN
DAN KEISTIMEWAAN DIPLOMATIK
(Analisis Terhadap Kasus Penangkapan dan
•
Penahanan Diplomat Asing di Indonesia)
SyahminAK
.'
Penangkapan sejumlah diplomat asing telah
menarik perhatian penulis artikel ini. Penu/is
kemudian mengulasnya dalam artikel ini dengan
menggunakan pendekatan prinsip kekebalan dan
keistimewaan diplomatik yang dikenal dalam
hukum internasional. Menurut penulis, pemberian kekebalan dan keistimewaan diplomatik dimaksudkan bukan untuk kepentingan pribadi diplomat, tetapi untuk menj amin pelaksanaan fungsi
perwakilan diplomatik secara efisien.
I. Pendahuluan
Masih segar dalam ingatan kita pada kisah pengusiran seorang
diplomat Rusia (letkol Sergei P. Egorov), beberapa tahun lalu, ramai
dibicarakan dan dimuat dalam berbagai media massa.' Ada tiga pokok
kegiatan yang diberitakan nampaknya menjadi alasan deportasi oleh
pemerintah Republik Indonesia. Ketiga pokok kegiatan itu adalah
spionase, Meneuri Dokumen Negara, dan Mencampuri urusan dalam negeri
°Makalah ini telah disajikan pada Seminar Kenaikan Pangkat di Fakultas Hukum Unsri, pada
Sellin, 17 Maret 1997 (Kampus Baru Inderalaya, Kabupaten Oki Sumatera Selatan).
lS inar Har<lpan, "Sekretaris 1 Kedubes Uni Sovyet ternyata Seorang 5pion"Minggu, 12 Agustus
1982, hal. 1, 9.
lil li - Scptclllber
Il)')y
Penerapan Prillsip Kekebalall
263
Indonesia. Dalam hubungan ini, berita yang juga menarik perhatian
adalah mengenai kisah dilepaskannya Sergei Egorov dari penahanan,
setelah yakin ia berstatus sebagai diplomat.
Dalam pengamatan penulis mengenai pelaksanaan Hukum Diplomatik di Indonesia, yang juga menarik perhatian adalah insiden Dill 12
Nopember 1991. Dalam unjuk rasa yang terjadi pada 2 Januari 1992 di
depan KBRI di Canberra, Australia, sebagai rentetan reaksi atas peristiwa Dili di atas. Atas penembakan yang tidak disengaja dan sukar
dikendalikan, sehingga menewaskan ± 50 orang pengunjuk rasa massal
yang berjumlah ± 2000 orang yang menyatakan anti integrasi. Hal itu
berbuentut sampai pada peristiwa penolakan calon Dubes Rl untuk
Australia, Letjen HBL. Mantiri'
Kasus lain yang terjadi pada 7 Pebruari 1994 mengenai tertangkapnya dua orang Staf Kedutaan Besar Amerika Serikat (Steven Joseph
Bryner dan Peter M. Knrajin III), di sebuah hotel di Jakarta, karena teriibat
dalam pengedaran dan penjualan obat-obatan teriarang, dengan barang
bukti sebanyak 160 butir ecstasy.'
Menurut surnber yang dapat dipercaya,' jelas status diplomat-tiklah
yang mengakibatkan dilepaskannya pejabat diplomatik asing tersebut.
Sehubungan dengan ketiga kasus di atas, maka tirnbul berbagai
pertanyaan dibenak kita. Pertanyaan dirnaksud dapat diidentifikasikan
sebagai berikut:
1) Apakah perihal status diplomatik itulah yang merupakan satusatunya konsideran yang dianggap tepat?
2) Bagairnana penerapan prinsip kekebalan dan kesitirnewaan
diplomatik di Indonesia?
3) Faktor apakah yang menjadi penyebab pembatalan Calon Dubes RI
untuk Australia?
Untuk menemukan jawaban atas permasalahan di atas, melalui pola
pikir induksi, penulis bermaksud menganalisisnya dari segi Ilmu Hukum
Internasional Publik, dengan mempergunakan pendekatan comparative
study dan pendekatan deskriptif analistis. Dengan demikian, para pembaca
Tempo, 7 Ma ret 1992, hal. 86.
2
~Kompasl 8 Pebruari 1994, hal. 1,9.
4Konfe rensi Pers Oeplu RI, 10 Agustus 1982 di Pejambon, Jakarta.
NOlllor
3 TahUl/ XXIX
Hukum dan Pembangunan
264
bebas rnenarik kesirnpulan yang tepat.
Adapun tujuan dan manfaat studi ini, pertama, untuk rnenernukan
jawaban atas permasalahan di atas. Kedua, untuk rnemperluas cakrawala
pengetahuan rnengenai pelaksanaan Hukurn Diplomatik "perse".
Sedangkan rnanfaatnya studi ini merupakan usaha untuk rnengurnpulkan data, pendapat para pakar Hukurn Internasional, sebagai langkah
awai. Oleh karena keterangan-keterangan tentang rnasalah tersebut di
atas belurn cukup tersedia secara lengkap, agar dapat dilakukan penelilian secara rnendalarn terhadap ruang lingkup yang lebih luas. Diharapkan hasil studi ini dapat juga dipergunakan sebagai penambah khasanah pernbendaharaan kepustakaan dalarn rnata kuliah Hukurn
Diplornatik, yang sarnpai saat ini dirasakan belurn ban yak ditulis dalarn
bahasa Indonesia.
II. Tinjauan Pustaka
1.
Status Diplomntik
Menelaah ten tang stntus diplomatik, pertama-tama yang segera rnuncui adalah persoalan kekebalan diplornatik. Akan tetapi, hendaknya
jangan dulu pengertian ini dianggap sebagai priveleges yang bersifat
absolut, --dalarn arti melekat mutlak pada pribadi sang diplornat-hanya karena ia mernpunyai status diplornatik yang diakui oleh pernerintah Indonesia. Yang tepat adalah kekebalan diplomatik itu mempunyai sifat fungsiona l. Artinya, setiap diplomat menikrnati kekebalan demi
kelancaran pelaksanaan fungsi perwakilan diplomatik negaranya secara
efisien di negara penerirna.'
Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa maksud dan tujuan
pemberian kekebalan dan keistirnewaan diplomatik itu adalah bukan
untuk keuntungan pribadi, rnelainkan untuk menjarnin pelaksanaan
fungsi perwakilan diplornatik secara efisien. Masalahnya sekarang adalah apa saja yang rnenjadi tugas atau fungsi perwakilan diplomatik itu?
Untuk menjawab pertanyaan itu, ada baiknya kita melihatnya
terlebih dahulu pada ketentuan Konvensi Wina 1961. Dalarn Pasal 3 (1)
~Mukadimmah Vienna Convention on D iplomatic Relations of Ap ri11 8, 1961 , alenia ke-4.
fuli . September 1999
Penerapan Prinsip Kekebalan
265
6
Konvensi Wina 1961 lima macam fungsi perwakilan diplomatik, yaitu:
1. Mewakili di negara pengirim di negara penerima;
2. Melindungi kepentingan negara pengirim dan kepentingan warga
negaranya di negara penerima dalam batas-batas yang diperbolehkan oleh Hukum Internasional;
3. Berunding dengan pemerintah negara penerima;
4. Meyakinkan dengan cara yang sah keadaan dan perkembangan di
negara penerima, dan melaporkannya kepada pemerintah negara
pengirun;
5. Meningkatkan hubungan persahabatan antara negara pengirim dan
negara penerima, dan mengembangkan hubungan ekonorni, sosialbudaya, dan ilmu pengetahuan.
Sehubungan dengan fungsi perwakilan diplomatik di atas, perlu
ditegaskan bahwa dalam makalah ini analisisnya difokuskan hanya
pada fungsi angka 4 dan 5 saja. Sedangkan fungsi-fungsi yang lain, telah
dibahas secara jelas dan mendalam pada buku: Hukum Diplomatik Suatu
Pengantar, Edisi ke-3, Penerbit CV. Arrnico Bandung, 1996, hal. 52-62.
Fungsi ke-4, apakah yang dimaksud dengan cara yang sah itu?
Dalam praktek, setiap diplomatik hanjs mengikuti situasi dan kondisi
dalam negeri negara penerima, dengan memperhatikan berbagai berita,
dan meneliti kebenaran be rita itu melalui pembicaraan dengan pejabat
pemerintah. Laporan hasil penemuannya itu dikirimkan kepada pemerintah negara pengirim melalui fasilitas yang diizinkan oIeh negara
penerima. Lazirnnya melalui diplomatic bag atau kantong diplomatik.
Boleh juga menggunakan jasa kurir diplomatik dan pemberitaan dalam
studi (kodel. Hanya pemasangan dan penggunaan alat komunikasi
radio atau wireless transmitter saja memerlukan izin khusus dari negara
tlpasal3 0) berbunyi: 'The Functions of a diplomatic mission consist inter alia in:
(a) representing the sending stale in the receiving Slate;
(b) protecting in the receiving State the interest of the sending State and of its I1ntionais, within the
limit permited by international law;
(c) negoitating with the Government of the receiving Sta te;
(d) ascertaining by all lawful means conditions and development in the rece iving State and
reporting there o n to the Gove rnment of the sending S tate;
(e) promoting friendly relaf'ions between the sending State and the receiving State, and developing
their economic, cultural and scientific relations.
N0JJ101" 3 7n"ull XXIX
•
Hukum dan Pembangunan
penerima.' Dengan kata lain, yang dimaksud dengan cara yang sah
disini ada lah dalam rangka melaporkan hasil pengamatan dan pembicaraan dengan para pejabat pemerintah negara penerima mengenai situasi
dan kondisi yang penting melalui fasilitas yang diizinkan oleh negara
penenma.
Selanjutnya, lungsi ke-5, yaitu penting juga diperhatikan terutama
dipandang dari segi politik internasional, karena menyangkut cita-cita
pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional. Dalam hubungan ini, kegiatan Spionase, Pencurian dokumen negara, dan mencampuri
urusan dalam negeri negara lain adalah melanggar hukum internasional.
Di samping itu, jelas merupakan tindak pidana dalam sua sana hukum
nasional.
Kembali kepada pengertian kekebalan diplomatik, masih terdapat satu
pengertian klasik dalam teori hukum internasional Publik yang berasal
dari suatu putusan pengadilan Inggeris, yaitu perkara Dickinson vs Del
Solar 1931.' Dalam perkara ini Robert Edmud Dickinson, yang bertindak
sebagai penggugat untuk meminta ganti kerugian kepada tergugat
Emilio Del Solar --Sekretaris I Kedutaan Besar Peru untuk London--,
sehubungan dengan luka yang dideritanya disebabkan oleh kelalaian
mengendarai mobil yang harus dipertanggungjawabkan Del Solar.
Alasannya ialah Del Solar dianggap tunduk pada yurisdiksi pengadilan
Inggeris, karena ada nota resmi dari Duta Besar Peru di London, bahwa
dalam kasus ini Del Solar melepaskan (waiver) kekebalan dan keistimewaan diplomatiknya.
Meskipun perkara ini bersifat perdata, namun terdapat satu pernyataan dalam keputusan pengadilan London yang dalam penafsirannya
ten tang kekebalan diplomatik, ternyata berpengaruh pada doktrin
hukum Internasional. Pernyataan pengadilan itu berbunyi:
"kelonggaran diplomatik tidakmemberikan kekebalan terhadap tanggungjawab hukum, melainkan hanya memberikan pembebasan dari
yurisdiksi pengadilan setempat" 9
1Pasal 25 jo. Pasal 27 Konvensi Willa, 1961.
MH.W . Briggs, The lAw of Nations, 2nd., New York, 1952, hal. 778.
~ H .W.
Briggs, Ibid., haL 779.
fuli - S"ptelllber 1999
Penerapan Prinsip Kekebalan
'267
Dalam hubungan ini, d iketahui ada salah seorang pakar hukum
Internasional Inggeris yang mendukung pernyataan pengadilan Inggeris d i atas, yaitu Max Sorensen, dengan mengatakan:
"... diplomats are not above the law in force in the receiving State, .....
(" ... para diplomat tidaklah berdiri di atas hukum yang berlaku di
.
negara penenma,
... ") 10
2.
Prinsip Kekebalan dan Keistimewaan Diplomatikll
Dalam hukum internasional, ketentuan tidak dapat diganggu gugat
(invioliability), atau kekebalan dan keistimewaan diplomatik dikenal
sebagai hak atas perlindungan (right to protection) bagi diplomat yang
berada di negara penerima. Dalam hal ini, ada tiga pendagat yang
menafsirkan ketentuan tidak dapat diganggu gugat tersebut, 2 yaitu:
1. ketentuan tersebut dianggap identik dengan ketentuan kekebalan
(immunity);
2. anggapan bahwa tidak dapat diganggu gugat itu berarti perlindungan terhadap diplomat atas diberlakukannya tindakan hukum,
atau paksaan oleh para penegak hukum negara penerima;
3. anggapan yang membedakan ketentuan tidak dapat diganggu
gugat itu dengan ketentuan kekebalan.
Menurut anggapan yang terakhir (angka 3), bahwa inviolability
berarti perlindungan terhadap perlakuan yang bertentangan dengan
hukum dari warganegara atau pun pejabat negara di negara penerima.
Sedangkan immunity berarti bebas dari tindakan aparat penegak hukum
dalam keadaan tertentu dapat diberlakuykan secara sah. Pendek kata,
pendapat yang ketiga itu beranggapan bahwa ketentuan tidak dapat
diganggu gugat itu menitikberatkan pada kewajiban negara penerima
untuk memberikan perlindungan dan keamanan pada para diplomat
beserta keluarganya atas perlakuan atau campur tangan secara tidak sah
(unlawful interference). Para pakar hukum internasional Anglo American
lebih cenderung mendu kung arh inviolability sebagaimana dijabarkan
WMax
Sorensen, Manual of Public InaternaliOlwll..llw, New York, 1968, hal. 397.
l1U ntuk analisis yang mendalam mengenai hal ini, baca: SumaTYO Suryokusumo, Hukum
Dip/omalik Teoy; dan Kasus, Bandung: Alumni, 1995, hal. 101-107.
l~ya hmin AK., Hukum DipJomatik Sua/u Pengalltar, cdisi ketiga, cd. ke-4, Pcncrbi l CV. Armico
Band ung, 1996, hal. 140.
NomoI" 3 7rillUJl XXI X
268
Hukum dan Pembangunan
dalam pendapat ketiga di atas."
Hal tersebut di atas perlu mendapat perhatian serius, sebab ada
perbedaan antara perlakuan yang illegal, terhadap pribadi dan martabat
diplomat, dan tindakan yang legal oleh aparat penegak hukum berdasarkan atas kewajiban tertentu bagi diplomat di negara penerima.
3.
Kewajiban Diplomat Untuk Menghormati Hukum Setempat
Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik menentukan
bahwa tanpa mengurangi kekebalan dan keistimewaan diplomatik, merupakan
kewajiban bagi orang-orang yang menikmatinya untuk menghormati
hukum dan peraturan perundang-undangan negara penerima. Mereka
juga mempunyai kewajiban untuk tidak melalukan campur tangan terhadap
urusan dalam negeri negara penerima.14 Meskipun dalam Pasal41 Konvensi
Wina 1961 ditentukan ada jaminan tanpa mengurangi kekebalan dan
keistimewaan diplomatik, akan tetapi tidak boleh melupakan ketentuanketentuan yang dimuat dalam Mukaddimah Konvensi Wina 1961, yang
dirumuskan:
"... that the purpose of such privileges and immunities is not to
benefit individuals but to ensure the efficient performance of the
functions of diplomatic mission as representing State".
C.. bahwa maksud diberikan kekebalan dan keistimewaan diplomatik
itu bukan untuk keuntungan perorangan, melainkan untuk menjamin kelancaran pelaksanaan fungsi misi diplomatik secara efisien
sebagai wakil negara pengirim).
Oleh karenanya kekebalan dan keistimewaan diplomatik itu dinikmati
tidak saja oleh Kepala Perwakilan, melainkan termasuk para stafr
perwakilan lain beserta keluarganya yang tingga bersama mereka. Jadi,
kewajiban para diplomat untuk menghormati peraturan perundangundangan negara penerima itu mempunyai arti yang utuh dan mutlak
harus dipatuhi.
DH.W. Briggs., or.riL, haL 781.
14Periksa Pasal41.
fuli - September J 999
Penerapan Prinsip Kekebalan
269
II. Pembahasan
Kasus Penangkapan dan Penahanan Diplomat Asing
Sebagai perbandingan, perlu kita melihat prakteknya di negaranegara Eropa, yang sejak pertengahan abad 17 sudah melaksanakan
diplomasi melalui misi diplomatik. Adanya penangkapan, penahanan
dan pengusiran yang dilakukan oleh aparat penegak hukum terhadap
diplomat asing yang telah terbukti melakukan tindak pidana di negara
penerima, mempunyai sejarah yang cukup tua. 0ppenheim-Lauterpaeht,
dalam bukunya: International Law, Vol. I, (1955),' menyebutkan peristiwa pengusiran duta besar asing oleh pemerintah Inggeris selama
kurun waktu 1584 - 1654. Dalam masing-masing peristiwa, diplomat
asing itu terbukti telah melakukan perbuatan makar terhadap jiwa Ratu
dan penguasa negara Inggeris lainnya. Dalam peristiwa yang terjadi
pada tahun 1654, duta besar asing telah diperintahkan untuk meninggalkan Inggeris dalam waktu 3 x 24 jam, karena pesona non grata. Selanjutnya, pada tahun 1717 -1718 terjadi lagi penangkapan dan penahanan
diplomat asing oleh aparat penegak hukum Inggeris, ka rena terbukti
melakukan tindak pidana makar seperti peristiwa tahun 1654. Sehubungan dengan tindak pidana yang dilakukan oleh diplomat asing
tersebut Oppenheim-Lauterpaecht mengingatkan:
"Jika seorang agen diplomatik melakukan pelanggaran hukum yang
mengganggu ketertiban dalam negeri negarn penerima sedemikian
rupa, sehingga perlu menempatkan diplo mat itu dalam tahanml dengan maksud meneegah agar perbuatan serupa tidak tenllang kembali, atau jika ia melakukan tindak pidana makar terhadap penguasa
l1egam penerima, dan perbuatan demikian dapat ditanggulangi hanya
dengan menempatkal1 diplomat yang bersangkutan dalam tahanan
semen tarn, maka ia dapat ditangkap, meskipun dalam waktu ymlg
layak ia harus dideportasi dari negara penerima secara aman ".
1.
Kemudian dika takan: "... penangkapal1 demi kepentingan negara
tidaklah tertutup kemungkil1annya, walaupun tidak akal1 sampai kepada
penuntutan di muka pengadilal1". 16 Lain halnya dengan kasus berupa
l~Oppenheim-Lauterpacht, Iuternalionai Law, V ol. I, Peace, ELBS, Longmann, London 1955,
hal. 791.
l"lbid. , hal. 791.
Nomor 3 Tahun XXIX
270
Hukum dan Pembangunan
kegiatan mata-mata (spionase) oleh diplomat asing, yang terjadi di
Indonesia dalam bulan Pebruari 1982 di Jakarta, Letlml Sergei P. Egorov
bersama Finenlm, dari perwakilan penerbangan Aeroflot di Jakarta,
tatkala melakukan transaksi sejumlah dokumen rahasia dari Letlml Sus
Daryanto dari Indonesia, bertempat di sebuah rumah makan di Jakarta.
Terhadap kasus ini atas dasari pertimbangan bahwa LetlmlSus Daryanto
dari Indonesia, bertempat di sebuah rumah makan di Jakarta. Terhadap
kasus ini atas dasar pertimbangan bahwa Letlml Sergei P. Egorov seorang
Atase Militer yang diperbantukan pada Kedutaan Besar Soviet di
Jakarta, maka menurut Pasal 29 Konvensi Wina 1961, ia tidak dapat
diganggu gugat, bukan saja dari penahanan atau penangkapan, tetapi
Indonesia sebagai negara penerima juga wajib melindunginya jika
terjadi serangan balik terhadap diri pribadinya maupun kehormatannya. Karena itu, pemerintah Indonesia tidak dapat melakukan penangkapan dan mengadilinya. Sebagai diplomat ia dibebaskan dari yurisdiksi pindana, perdata maupun administrasi dari pemerintah Indonesia
(Pasal 31), kecuali menyatakan pesona non grata kepada Letlml Sergei P.
Egorov, (Pasal 9). Untuk itu Deplu RI telah meminta Duta Besar Uni
Sovyet dan memberitahukan keputusan pemerintah Indonesia, agar
Letkol Egorov segera meninggalkan Indonesia. Oi lain pihak, Finenko,
Kepala Perwakilan Aeroflot di Jakarta telah dideportasi dari Indonesia.
Sedangkan Letlml Sus Daryanto ditangkap, dan kemudian diadili di
17
Jakarta atas tuduhan melakukan tindak pidana subversi.
Sementara kasus yang terjadi pada tanggal 7 Pebruari 1994, mengenai tertangkapnya dua orang anggota Staf Kedutaan Besar Amerika
Serikat di Jakarta --Steven Joseph Bryner dan Peter M. Karajin-- di sebuah
hotel di Jakarta, karena terlibat dalam pengedaran dan penjualan obatobatan teriarang, dengan barang bukti sebanyak 160 butir ekstasy.
Sehubungan dengan itu, pada hari berikutnya, Kedutaan Besar Amerika
Serikat di Jakarta telah menyampaikan sebuah nota resmi kepada Replu
RI dan mengajukan protes atas penahanan dua anggota stafnya
tersebut, dan meminta agar pemerintah Indonesia atas dasar Pasal29,
31 dan 37 Konvensi Wina 1961, segera membebaskan mereka, sebagai
anggota Staf perwakilan tidak dapat diganggu gugat, baik ditangkap
maupun dikenakan penahanan.
17Berbagai media massa Nasional, Pebruari 1992 mengulas berita tersebut di alas.
lui; - September 1999
Penerapan Prinsip Kekebalan
2.
271
Pembatalan Calon Outa Besar RI untuk Australia
Sekitar Bulan Maret 1995, pemerintah RI telah mencalonkan Letjen
HBL. Mantiri sebagai Dubes RI untuk Australia,18 dan untuk itu telah
dimintakan Persetujuan (agreement) dari pemerintah Australia. Atas
dasar permintaan ini pemerintah Australia pada tanggal31 Mei 1995
secara resmi telah memberikan persetujuannya dengan memberikan
19
agreement kepada Le~en HBL. Mantiri Persetujuan pemerintah
Australia itu telah dipertegas lagi pada tanggal29 Juni 1995 oleh PM
Australia Paul Keating di Parlemen Australia, dengan menegaskan
bahwa pemerintahnya tidak melihat situasi apapun di mana harus
menolak pencalonan HBL Mantiri.
Sebaliknya di dalam Parlemen tersebut sebagian besar anggota
yang mewakili baik golongan pemerintah maupun golongan oposisi,
telah menyatakan keberatan merea atas pencalonan Letjen Mantiri
terse but sebagai Dubes baru Indonesia di Canberra untuk menggantikan
yang lama.
Sebagaimana kita ketahui, bahwa Letjen HBL Mantiri adalah
mantan Pangdam meliputi propinsi Timor Timur, pada waktu "Peristiwa
Dili 12 Nopember 1991 " terjadi ,yang mengakibatkan sejumlah korban
meninggal dalam Pteristiwa itu.' Meskipun secara pribadi Mantiri tidak
terlibat langsung, I ia sebagai Pangdam tetap dianggap bertanggungjawab untuk wilayah Timor Timur, yang pada waktu itu oleh kelompokkelompok HAM memang dianggap bertanggung jawab terhadap
pembunuhan tersebut.
Memperhatikan aturan hukum internasional, khususnya mengenai
kewajiban pada diplomat untuk menghormati hukum nasional negara
penerima, nampak bahwa di satu pihak, kegiatan spionase dan pencurian dokumen negara jelas merupakan kejahatan menurut PasaI112-113
IHKompns, 2 April 1995, hal. 1.
lYStatement PM Paul Kea ting di depan Par,e lemen Australia, pada 29 Juni 1995: "There are no
circumstances that I cfln see where we would or should reject a nomination by the Pre.<;ident ". "It is tile right
of every govemment to choose ils own ambassaddor and propose the candidate is to he po,<;fed" . Such a
candidate is seldom rejected except in the most extraodirUlry circum.<>tanct!s".
21IKompas, 3 Juli 1995, hal. 1.
21Menurut perhitungan wartawan Kompas, diperkirakan sekitar 50-100 orang tewas, Kampas,
4 Juli 1995. hal. 1.
NomoI" 3 Tahull XXIX
Hukum dan Pembangunan
272
dan seterusnya KUHP Indonesia." Di lain pihak, bertentangan dengan
ketentuan Pasal41 (1) butir d, e, Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan
Diplomatik. Begitu pula jika kita memperhatikan praktek negaranegara, jelas kiranya bahwa dasar hukum tindakan penangkapan,
penahanan dan pengusiran yang telah dilakukan oleh pemerintah
Republik Indonesia terhadap seorang diplomat Uni Sov~et Sergei P.
Egorov di Jakarta beberapa waktu lalu dapat dibenarkan.
Meskipun demikian, dari berita-berita di surat kabar terbitan
ibukota, kita mendapat kesan yang kuat bahwa konsideran dan upaya
pemeliharaan hubungan baik antara kedua negara --Rusia dan Indonesia--, merupakan faktor penting untuk segera melepaskan agen
diplomatik asing itu dari penahanan, setelah diyakini bahwa yang
bersangkutan mempunyai status diplomatik. Menurut hukum nasional
--KUHP yang menganut prinsip extrateritorial--, menurut prinsipprinsip hukum kebiasaan dalam hubungan diplomatik, serta Konvensi
Wina 1961, maka dapatlah dipertanggung jawabkan bahwa pembebasan
dari penahanan itu baru dilakukan setelah perwakilan diplomatik asing
itu menyampaikan nota resmi kepada pemerintah RepubJik Indonesia cq.
Departemen Luar Negeri RI.
Untuk memperkuat pendapat di atas, disamping Pasal 2 KUHP
Indonesia, juga berdasarkan pada ketentuan yang tertuang dalam
Mukadimmah Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik,
merumuskan:
,.... bahwa kekebalan dan keistiml?Waan diplomatik itu bukanlah untuk
keuntungan perorangan, melainkan untuk menjamin kelancaran
pelaksanaan fungsi misi diplomatik secara efisien sebagai wakil negara
pengmm.
Dengan demikian adalah benar pendapat yang dikemukakan oleh
G.B. Castel, ..... bahwa menurut hukum internasional perwakilan diplomatik
24
mempunyai status extrateritorial, tidak perlu diragukan lagi ...
12R. Soesilo, "KUHP ser/a Komentar-komentarnya lengkap pasa/ demi pasa/ ", eel. ke-7, Politia,
Bogor. 1983, hal. 113.
1
2. Sya hmin AK., "Tinjauan Pelaksanaan Hukum Diplomatik DewasQ In; ", dalam Majalah llmiah
(FHUI) Hukum dan Pembangunan, No.6, Tahun ke-XVIJ. Edisi Desember 1987, hal. 588.
J.G. Castel, International Law, 3rd ed., Butterworth. Toronto. Canadian Legal Casebook Series,
14
1976. hal. 627.
fuli - September 1999
Penerapan Prinsip Kekebalan
273
Selanjutnya mengenai kasus kedua, --hampir sarna dengan kasus
di atas-, yaitu kasus Stroen Joseph Bryner dan Peter M. Knrajin. Kedutaan
Besar Amerika Serikat di Jakarta telah menyampaikan nota resmi
kepada pemerintah Indonesia, dan meminta agar pemerintah Indonesia,
atas dasar Pasal29, 31 dan 37 Konvensi Wina 1961 segera membebaskan
kedua orang anggota stafnya. Mereka sebagai anggota staf perwakilan
tidak dapat diganggu gugat, baik ditangkap maupun dikenakan penahanan. Disamping itu, kecuali mereka bebas dari yurisprudensi pidana,
perdata, juga bebas dari yurisdiksi administrasi pemerintah Indonesia.
Kedubes AS juga meminta agar pemerintah Indonesia menyerahkan
kedua orang tersebut untuk diadili di pengadilan rniliter di Amerika
Serikat. Kedubes juga menjarnin bahwa kedua orang stafnya itu sebagai
anggota personil rniliter, akan dikembalikan ke Markas Besar mereka,
25
agar penyelidikan dan penuntutan dapat dilakukan.
Steven J. Bryner dan Peter M. Karajin, keduanya adalah anggota
Angkatan Udara Amerika Serikat yang diperbantukan pad a Kedubes
AS di Jakarta sebagai staf administrasi dan teknis yang masing-masing
memegang paspor dinas dan diplomat. Seperti tersebut dalam Pasal37
(2) Konvensi Wina 1961, bahwa anggota staf administrasi dan teknis
dari perwakilan asing akan menikmati kekebalan dan keistirnewaan
sesuai dengan ketentuan dalam Pasal-pasaI29, 31 ayat 1 dan 2.
Atas dasar permintaan Kedutaan Besar Amerika Serikat tersebut,
pemerintah Indonesia tidak lagi meminta pemerintah Amerika Serikat
untuk menanggalkan (waiver) kekebalan dan keistimewaan mereka agar
keduanya dapat diadili di Indonesia, tetapi telah memenuhi dan menyerahkan mereka untuk diadili pada Pengadilan Amerika Serikat. Menurut berita terakhir yang disampaikan kepada Deplu RI, mereka telah
diadili di hadapan Mahkamah Militer Guam pada tanggal27 Juli 1994,
dan telah dijatuhi hukuman masing-masing 7 tahun penjara, di samping
26
mereka harus melakukan pula kerja paksa.
Kemudian mengenai peristiwa pembatalan calon Dubes RI untuk
Australia Letjen HBL. Mantiri 1995. Penolakan seseorang calon Duta
Besar di suatu negara memang sering terjadi dalam praktek hubungan
internasional. Penolakan itu dapat dinyatakan bukan saja sebelum
2.~Bagi personil militer akan diberlakukan UCMJ (Uniform Code of Military Justice).
2l.Kompas, 30 Juli 1994. hal. 1.
NomoI' 3 Tahun XXIX
Hukum dan Pembangunan
274
memperoleh persetujuan (agreement), tetapi dapat pula terjadi setelah
memperoleh persetujuan. Bahkan calon Dubes yang telah memperoleh
agreement dan telah sampai di negara dirnana ia diakreditasikan, serta
telah siap untuk menyerahkan surat-surat kepercayaannya dapat mengalami kegagalan, karena adanya peninjauan kembali "kondisi hak-hak
asasi manusia di suatu negara". Yang terakhir ini justru terjadi dalam hal
pencalonan Duta Besar Indonesia untuk Australia, yaitu Letjen HBL.
Mantiri. Walaupun agreement telah diberikan oleh Australia kepadanya, namun akhirnya ditentang oleh kalangan pariemen Australia
sehubungan dengan "peristiwa 12 Nopember 1991 di Dili", yang dinilai
merupakan pelanggaran HAM, sehingga mengakibatkan pembatalan
pencalonan tersebut oleh pemerintah Indonesia. Persoalan lain yang
dipermasalahkan adalah adanya wawancara majalah Editor di Jakarta
kepada Letjen HBL. Mantiri pada tahun 1992 yang lalu. Dalam wawan27
cara itu HBL. Mantiri mengatakan:
"... lerjadinya bentrokan anlara para pengunjuk rasa dengan Pasukan
Pengamanan yang memakan korban lebih dari 50 orang di Dili setahun sebelumnya dianggap sebagai hal yang sangat wajar".
Wawancara tersebut mengundang reaksi pro dan kontra di Australia. Dalam wawancara yang sarna, Mantiri mengatakn pula:
"... kita tidak menyesalkan apa-apa. Apa yang terjadi sudah semestinya ... mereka menentang kita, berdemonstrasi, sampai meneriakkan
yel-yel anti pemerintah. Untuk saya, ini sama dengan pemberontakan,
karena ini kita mengambil tindakan yang tegas".
Dalam hubungan itu, Menlu Australia Gareth Evans menjelaskan:
"Sebaiknya Letjen HBL. Mantiri, mengenai wawancara tersebut,
setibanya di Australia meminta maaf. Masyarakat Australia sulit
menerima pengangkatan itu".21l
Atas saran Menlu Australia itu ternyata Mantiri sendiri menolak
untuk minta maaf atas kata-katanya yang diterbitkan di Majalah Editor,
edisi Juli 1995.
21Kompas, 7
2K
Juli 1995, hal. 1.
1hid ., hal. 9.
luli . September 1999
Penerapan Prinsip Kekebalan
275
Dalam menanggapi sikap Australia itu, Menlu RI Ali Alatas mengumurnkan:
"Pemerintah Indonesia memutuskan tidak me/anjutkan pencalonan
HBL. Mantiri, dan Pos Duta Besar di Canberra untuk sementara
dikosongkan". Pemerintah tidak sudi membiarkan Mantiri dijadikan
sasaran suatu kampanye politik, berupa unjuk rasa dan lain-lain
tindakan yang dapat berupa penghinaan". 29
Berangkat dari peristiwa pencalonan Letjen HBL. Mantiri sebagai
Duta Besar RI untuk Australia tersebut di atas, baik ketentuan-ketentuan Konvensi Wina 1961 maupun prinsip-prinsip hukum kebiasaan
dalam hubungan diplomtik, dapat disirnpulkan bahwa penolakan calon
Dubes RI untuk Australia HBL. Mantiri, secara tidak langsung berkembang setelah agreement diterirnanya, jelas merupakan hal yang sangat
eksephonal. Pada hakikatnya bagi pemerintah Australia, sebagai negara
penerirna sukar untuk mempertirnbangkannya kembali persetujuan
yang telah diberikan kepada HBL. Mantiri. Pos Duta Besar RI di Canberra waktu itu terpaksa dikosongkan untuk sementara, dan Kepala
Perwakilan RI di Canberra hanya tingkat Kuasa Usaha yang berpangkat
Minister (Quta).
IV. Kesirnpulan
Bertumpu pada uraian dan analisis di atas, akhirnya dapat diraih
kesirnpulan sebagai berikut:
1. Baik dalam kasus kegiatan Spionase dan pencurian dokurnen rahasia negara yang dilakukan oleh Diplomat Uni Sovyet Letkol Sergei
P. Egorove, rnaupun kasus dua orang anggota staf kedutaan Besar
Amerika Serikat di Jakarta (Steven Joseph Bryner dan Peter M.
Karajin), Pemerintah Republik Indonesia memilih pertirnbangan
derni menjaga hubungan baik yang telah terjalin selama ini antara
kedua negara, sehingga pada diplomat asing yang terlibat penyalahgunaan tugas dan wewenangnya sebagai diplomat, diserahkan
kembali ke negara pengirirn untuk diadili sesuai dengan hukum
2')Pemyataan Menlu Indonesia Ali Alatas di depan Pers pada tanggal6 Juli 1995, di Deparlu,
Pejamboll, Jakarta.
NomOI"
3 Tahun XXIX
276
2.
3.
Hukum dan Pembangunan
nasional masing-masing negara pengirirn.
Pemerintah Republik Indonesia cukup konsisten dan konsekuen,
bahwa setiap diplomat asing yang terbukti melakukan pelanggaran
baik hukum diplomatik maupun hukum nasional, menerapkan
prinsip kekebalan dan keistirnewaan diplornatik. Meskipun sebenarnya Hukum Internasional memperkenankan pemerintah Republik Indonesia merninta kepada Duta Besar negara sahabat yang stafnya terlibat dalam kasus di atas untuk menanggalkan (waiver) kekebalan dan keistirnewaan mereka agar dapat diadili di Indonesia -menerapkan KUHP Indonesia--.
Pencalonan ealon Duta Besar RI untuk Australia Letjen HBL. Mantiri, faktor penyebabnya adalah adanya peninjauan kembali kondisi
hak-hak asasi manusia oleh sebagian besar anggota parlemen Australia. Dengan demikian dapat dikatakan secara tidak langsung berkembang setelah agreement diterirnanya, jelas merupakan hal yang
sangat eksepsional.
Daftar Pustaka
Briggs, H.W., The Law of Nations, 2nd ed., Maxwell & Company, New
York,1952.
Castel, J.G., International Law, 3rd ed., Butterworth, Toronto, Canadian
Legal Casebok Series, 1976.
Harian Umum: "Sekretaris I Kedubes Uni Sovyet di Jakarta Ternyata seorang
Spion", Sinar Harapan, Edisi Minggu, 12 Agustus 1982, hal. 1,9.
Lauterpacht, Oppenheim., International Law, Vol. 1, Peace, ELBS.,
Longmann, London, 1955.
Soesilo, R., KUHP serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal,
eel. ke-7, Poiitia, Bogar, 1983.
Sorenson, Max. Manual of Public International Law, Maxwell & Company,
New York, 1968.
fuli - September 199')
Penerapan Prinsip Kekebalan
'277
Sumaryo Suryokusumo, Hukum Diplomatik Teori dan Kasus, PT. Alumni,
Bandung, 1995.
_ _ _ _ ., Gangguan Terhadap Hnrgn Diri dan Martabat Bangsa Ditinjau
dnri Segi Hukum Internasional, (Bahan Ceramah di depan Generasi
Muda Kosgoro) di Jakarta, 25 Agustus 1995.
Syahmin AK., "Tinjnuan Pelaksnnaan Hukum Diplomntik Dewasa Ini",
dimuat dalam Majalah I1miah (FHUI) Hukum dan Pembangunan,
No.6, tahun ke-XVII, edisi Desember 1987, hal. 588-598.
____ ., Hukum Diplomntik Suatu Pengantar, edisi ketiga, Penerbit
CV. Armico Bandung, 1996.
Sumber Media Massa:
Surat Kabar: Kornpas, Pikiran Rakyat dan Sripo. Sinar Harapan.
Majalah: Editor, Tempo, Hukum dan Pembangunan
Dokumen:
Vienna Convention on Diplomatic Relntions of April 18, 1961, UN.GA.
500/TS.241 /1961.
"Dua hal memenuhi pikiranku dengan keheranan dan
ketakjuban yang semakin besar, semakin sering dan
semakin kuat aku merenungkannya: lang it berbintang di
atasku dan hukum moral di dalam diriku." (\. Kant (1724 1804, perkataannya yang kemudian di pahatkan pada
pusaranya di Konigsberg)
NO/llO,. 3 Tahull XXIX
Download