konsep pendidikan humanis dalam perspektif hadits jurusan

advertisement
KONSEP PENDIDIKAN HUMANIS DALAM
PERSPEKTIF HADITS
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK)
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)
Oleh
SUCI NURPRATIWI
NIM: 109011000240
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1435 H/2014 M
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI
KONSEP PENDIDIKAN IIUMANIS DALAM
PERSPEKTIF TIADITS
Diajukan KepadaFakultas IImu Tarbiyah dan Keguruan (FITK)
Sebagai Syarat untuk MemPeroleh
Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)
Oleh:
SUCI NTIRPRATIWI
MM:
109011000240
1
Di bawah bimbingan
DT. JEJEN MUSFAH.
MA
NrP. 19770602 200501 1 004
JURUSAN PENDTDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SYARTF HIDAYATULLAH
JAKARTA
r43s IJ12013 M
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah
Nama
Suci Nurpratiwi
NIM
10901 1000240
ini:
Program Studi Pendidikan Agama Islam
Jurusan
Pendidikan Agama Islam
Fakultas
Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Dengan ini menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini rnerupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan *empercle{1elar Sarjana Strata Satu (S-1)
di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan kbtentuan yang berlaku di
UIN Syarif Hidayatullah lakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti karya ini bukan karya asli saya atau merupakan hasil
jiptakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerirna sanksi yang berlaku
di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 12 Desemb er 2013
Suci Nurpratiwi
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI
Skripsi berjudul Konsep Pendidikan Humanis dalam Perspektif lladits
disusun oleh Suci Nurpratiwi,
NIM.
109011000240, Jurusan Pendidikan Agama
Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta. Telah melalui bimbingan dan dinyatakan sah sebagai karya
ilmiah yang berhak untuk diujikan pada sidang munaqasah sesuai ketentuan yang
ditetapkan oleh fakultas.
Jakarta, 12 Desernber 2013
Yang mengesahkan,
Dosen Pembimbing
Dr. Jeien Musfah. MA
NIP. 19770602 200s01 1 004
ilI
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul: 'oKonsep Pendidikan Humanis dalam Perspektif Hadits"
disusun oleh Suci Nurpratiwi, NIM: 109011000240, diajukan kepada Fakultas
Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan telah
dinyatakan lulus dalam Ujian Munaqasah pada tanggal l7 Ianuari 2014 di
hadapan dewan penguji. Karena itu, penulis berhak memperoleh Gelar Sarjana 51
(S.Pd.D dalam bidang Pendidikan Agama Islam.
Jakarta,17 Januan2014
Panitia Ujian Munaqasah
Ketua Panitia (Ketua JurusarVProgram
Bahrissalim. M.Ag
NIP. 19680307 t99803
r 002
Studi)
Tanda Tangan
Tanggal
_
Sekretaris (Sekretaris JurusanlProdi)
Drs. Sapiudin Shidiq. M.Ae
NrP. 19670328200003 1 001
Penguji
I
Drs. Rusdi Jamil. MA
NIP. 19621231 t99503 1 005
Penguji
II
?,/, -
Drs. Masan AF, M.Pd
NrP. 19510716 198103 1 005
*ot
y
Mengetahui,
Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
UIN Syarif Hidayatullah lakarta
Dra. Nurlenafi.ifa'i. MA" Ph.D
NrP. 19591020 198603 2 001
IV
/b"C
ABSTRAK
Suci Nurpratiwi, NIM: 109011000240, Konsep Pendidikan Humanis dalam
Perspektif Hadits
Manusia di pandang sebagai makhluk Tuhan yang memiliki fitrah-fitrah
tertentu yang harus dikembangkan secara optimal. Pendidikan yang
memanusiakan adalah pendidikan yang mampu mengembangkan pribadi
seseorang dengan semua aspeknya. Rasulullah saw telah mengingatkan kepada
umat Islam dengan haditsnya bahwa pendidikan harus dilakukan dengan berdasar
atas nilai-nilai kemanusiaan. Dalam pendidikan yang mengutamakan nilai-nilai
kemanusiaan, pendidik merupakan tokoh sentral terhadap berkembangnya
kemampuan dan potensi anak didik. Penggunaan metode pembelajaran yang
humanis dalam memberikan pengajaran termasuk salah satu hal yang perlu
diperhatikan.
Metode yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah metode
dokumentasi dengan jenis penelitian kualitatif. Penganalisaan data lebih
difokuskan pada penelitian kepustakaan (library research), yakni dengan
membaca, menelaah dan mengkaji buku-buku dan sumber tulisan yang erat
kaitannya dengan masalah yang dibahas, yaitu berpedoman dari kitab hadits
shahih Bukhari sebagai referensi primer dan buku-buku lain yang mendukung
sebagai referensi sekunder. Pendekatan kualitatif penulis gunakan untuk
menganalisis sudut pandang hadits terhadap konsep pendidikan yang humanis.
Teknik analisis dalam penelitian ini adalah teknik content analysis. Adapun dalam
pembahasannya penulis menggunakan metode deskriptif karena data yang
dikumpulkan berupa kata-kata dan bukan angka-angka.
Hasil penelitian ini adalah mengenai konsep pendidikan yang humanis
terhadap pendidik dan metode pembelajaran dalam sudut pandang hadits. Seorang
pendidik yang humanis harus dapat mengetahui dan memahami kondisi psikologis
siswa, menunjukkan kasih sayang dan kepeduliannya, juga tegas terhadap siswa
tanpa harus marah. Sedangkan metode pembelajaran yang humanis merupakan
cara guru memberikan kebebasan kepada siswa dalam berpikir dan bertindak
sesuai dengan prinsip-prinsip kemanusiaan. Metode belajar humanis diantaranya
yaitu metode simulasi, eksperimen, diskusi, gradual, pemberian reward, kontrak
belajar, dan tanya jawab. Dalam metode pembelajaran yang humanis guru harus
mengoptimalkan seluruh kemampuan siswa agar dapat berpikir kritis dan
mengembangkan kemampuannya dalam keterampilan dan sikap.
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pencerahan akan
pentingnya humanisme dalam pendidikan, yaitu mengedepankan pendekatan
humanis dalam pengembangan potensi peserta didik. Maka akan tercipta suasana
belajar mengajar yang kondusif, penuh kasih sayang, membebaskan dan
demokratis. Sehingga dapat terwujudnya tujuan pendidikan yaitu memanusiakan
manusia.
v
ABSTRACT
Suci Nurpratiwi, NIM: 109011000240, The Concept of Humanistic Education
in Hadits Perspective
Human seen as God creature who have fitrah which have to be developed
optimally. Humanistic education is the education which is able to develop
individual personality with those all aspects. Rasulullah saw has reminded
Muslim by His hadits that education should be done according to the human
values. In education which considers human values as priority, educator is
central prominent towards the development of students’ ability and students’
potency. The use of humanistic learning method in teaching is one of important
things which should be considered.
The method used by the writer was documentation method which is
qualitative design. The data analysis was focused on the library research, which
was done by reading, investigating, and analyzing many books and written
sources which is related to the problem in this research. It was oriented from
Bukhari shahih holy books as a primer reference and the other books which
support as secondary reference. The writer used a qualitative approach to analyze
hadits perspective towards the concept of humanistic education. The technique of
analysis in this research was content analysis. Besides, the writer used descriptive
method in the discussion because the data which were collected was in the form of
word, not the number.
The result of this research is about the concept of humanistic education
towards the teacher and the learning method in hadits perspective. A humanistic
teacher should be able to know and to comprehend the students’ psychological
condition, to show his/her caring to the students, and also should be firm to the
students without showing the anger. While the humanistic learning method is
teacher’s way to give the freedom to the students to think and to act based on the
humanistic principles. The humanistic learning method can be simulation method,
experiment method, discussion method, gradual method, giving reward method,
learning contract method, and question and answer method. In this humanistic
learning method, teacher should optimize all the students’ ability in order to
encourage students to think critically and develop their ability and their attitude.
Based on this research result, the writer hopes that this research can
enlighten people about the importance of humanism in education, which takes
humanism as a primer approach in developing the students’ potency. Therefore, it
will create the conducive, affectionate, free and democratic teaching and learning
situation. Thus, it will build the education goal which is humanized the human.
vi
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmannirrahiim,
Alhamdulillahirabbil‘alamiin, segala puji kehadirat Allah swt yang awal
dan yang akhir, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan segala macam
petunjuk serta kemudahan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini.
Shalawat dan salam tercurah limpah kepada junjungan alam Nabi besar
Muhammad saw yang telah menjadi uswah hasanah dalam segala segi kehidupan,
semoga kita mendapatkan syafaatnya di yaumul qiyamah, amiin.
Dengan penuh rasa syukur skripsi yang berjudul “Konsep Pendidikan
Humanis dalam Perspektif Hadits” ini akhirnya dapat terselesaikan. Skripsi yang
memuat sudut pandang hadits dalam memandang konsep pendidikan yang ideal
dan humanis ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan, dorongan, dan doa dari
banyak pihak. Maka seyogyanya penulis haturkan ucapan terima kasih yang
mendalam kepada seluruh pihak yang telah membantu, mendukung, dan
mendoakan penulis dalam perjalanan menempuh tugas akhir ini. Terkhusus
penulis ucapkan terima kasih kepada:
1.
Ibu Nurlena, MA, Ph.D., selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2.
Bapak Bahrissalim, M.Ag dan Bapak Drs. Sapiuddin Shidiq, M.Ag., selaku
Ketua Jurusan dan Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3.
Dr. Jejen Musfah, MA, selaku Dosen Pembimbing skripsi, yang selalu
meluangkan waktu dan tiada henti memberikan semangat, arahan, bimbingan
dan dorongan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.
4.
Dr. Mohammad Dahlan, M. Hum, Dosen Penasehat Akademik. Serta Bapak
dan Ibu Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif
vii
Hidayatullah yang telah mengarahkan, mendidik, membimbing, dan
memberikan ilmu yang sangat bermanfaat untuk penulis.
5.
Orang tua tercinta (Ahmad Sanusi dan Siti Umayah), adik-adik (Rizqi Ilham
& Ahmad Fauzan Aziz) beserta seluruh keluarga yang telah memberikan
motivasi, dorongan, cinta kasih dan doa yang tulus tanpa batas.
6.
Kawan-kawan seperjuangan PAI kelas F 2009, yang selalu menyemangati
penulis selama belajar di kampus ini. Arya, Paul, Manda, Anggie, Aas, Dije,
Say, Wiwi, Dini, Ulva, Ihya, Yopi, Adnan, Mamet, Karen, Pardi, Malih,
Anwar. Semoga sukses kawan, perjalanan kita masih panjang.
7.
Kawan-kawan seperjuangan HMI Komtar, Aan, Oman, Anggi, Afaf, Neneng,
Nda, Didin, Fuad, Haffas, Abduh, Fathur, Linda, Nety, Anang, Anike, Izah,
yang telah sepenuh hati mensupport dan mendoakan penulis.
8.
Kakanda, Ayunda, serta adinda-adinda HMI Komtar. Terkhusus Kanda Asep
Eka Mulyanuddin, terima kasih untuk bimbingan dan arahan yang diberikan
kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
9.
Keluarga kost, Asti, Ka Ingga, Yuli, Ricka, Ichi, Lisfa, Lala, Atik dengan
tanpa rasa bosan selalu ada untuk penulis dalam suka maupun duka.
10. Ahmad Ivan Farhan, untuk luangan waktu, bantuan, dan support kepada
penulis dalam menulis skripsi ini. Semoga selalu diberi kemudahan dalam
meraih masa depan.
11. Dan kepada semua pihak yang telah membantu serta memberikan dukungan
kepada penulis baik secara moril maupun materiil, penulis ucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya.
Akhirnya, penulis hanya dapat berdoa semoga amal kebaikan mereka
diterima oleh Allah swt serta mendapat imbalan yang semestinya. Penulis
berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan bagi
penulis khususnya. Amin ya robbal alamien..
Jakarta, 12 Desember 2013
Suci Nurpratiwi
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI..............................................................
i
LEMBAR PERNYATAAN .............................................................................
ii
LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING.....................................
iii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ................................
iv
ABSTRAK .......................................................................................................
v
ABSTRACT .....................................................................................................
vi
KATA PENGANTAR .....................................................................................
vii
DAFTAR ISI ....................................................................................................
ix
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................
1
B. Identifikasi Masalah ..................................................................
9
C. Pembatasan Masalah..................................................................
9
D. Perumusan Masalah ...................................................................
9
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..................................................
9
BAB II LANDASAN TEORI
A. Pendidikan Humanis ..................................................................
10
1. Pengertian Humanis .............................................................
10
2. Teori Belajar Humanistik ....................................................
12
3. Sejarah Konsep Pendidikan Humanis..................................
13
4. Pengertian Pendidikan Humanis..........................................
15
5. Komponen Pendidikan Humanis .........................................
18
6. Pendidikan Humanis dalam Pandangan Beberapa Tokoh ...
29
B. Hadits .........................................................................................
33
1. Pengertian Hadits .................................................................
33
2. Kedudukan dan Fungsi Hadits .............................................
35
3. Biografi Imam Al-Bukhari ..................................................
38
4. Kitab Shahih Bukhari ..........................................................
40
C. Hasil Penelitian yang Relevan ....................................................
42
ix
BAB III METODE PENELITIAN
A. Waktu Penelitian........................................................................
44
B. Jenis Penelitian ..........................................................................
44
C. Sumber Data ..............................................................................
45
D. Metode Pengumpulan Data .......................................................
46
E. Teknik Analisis Data .................................................................
46
F. Pedoman Penulisan ....................................................................
48
BAB IV ANALISIS HADITS TENTANG PENDIDIK DAN METODE
PENGAJARAN YANG HUMANIS
A. Pendidik yang Humanis .............................................................
49
1. Mendidik Tidak Setiap Waktu Agar Murid Tidak Bosan....
49
2. Memberi Pengajaran Sesuai Tingkatan Psikologis Peserta
BAB V
Didik ....................................................................................
53
3. Tidak Menghukum Ketika Siswa Melakukan Kesalahan ....
56
4. Sikap yang Murni Apa Adanya ...........................................
59
B. Metode Pengajaran yang Humanis ............................................
62
1. Metode Simulasi ..................................................................
62
2. Metode Eksperimen .............................................................
66
3. Metode Tukar Informasi (Diskusi) ......................................
69
4. Metode Gradual dan Menyenangkan ...................................
72
5. Metode Pemberian Pujian (Reward)....................................
76
6. Metode Kontrak Belajar ......................................................
79
7. Metode Tanya Jawab ...........................................................
82
PENUTUP
A. Kesimpulan ...............................................................................
85
B. Implikasi ....................................................................................
86
C. Saran .........................................................................................
86
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................
92
x
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan salah satu kunci yang sangat esensial dalam
kehidupan manusia. Dalam konteks dan ruang lingkup kehidupan suatu bangsa,
pendidikan memiliki peranan yang sangat penting dan strategis untuk menjamin
kelangsungan dan perkembangan kehidupan bangsa tersebut. Karena dari dan
dengan pendidikan lah seluruh aspek kehidupan manusia dapat tercerahkan.
Pendidikan harus dapat menyiapkan warga negara untuk menghadapi masa
depannya. Yang kemudian tertanam beribu-ribu harapan kemajuan dan
kesejahteraan hidup bagi setiap anak manusia. Dengan demikian tidak salah
apabila banyak orang berpendapat bahwa cerah tidaknya masa depan suatu negara
sangat ditentukan oleh pendidikannya saat ini.
Pendidikan merupakan lokomotif yang penting dalam menggerakkan
kehidupan manusia. Baik buruknya sumber daya manusia tergantung dari
pendidikan yang diperolehnya. Maka proses pendidikan harus jelas dan terarah.
Menurut H.A.R Tilaar, “proses pendidikan merupakan suatu proses yang
bertujuan. Meskipun tujuannya bukan merupakan tujuan yang tertutup (eksklusif)
tetapi tujuan yang secara terus-menerus harus terarah kepada pemerdekaan
manusia.”1
Idealnya pendidikan mampu menghasilkan pribadi-pribadi yang lebih
manusiawi, berdaya guna dan mempunyai pengaruh di dalam masyarakatnya, juga
dapat bertanggung jawab atas hidupnya sendiri dan orang lain, yang tentunya
dilengkapi dengan watak yang luhur dan berkeahlian. Meminjam pernyataan
Immanuel Kant,2 yang mengatakan bahwa “manusia hanya dapat menjadi
manusia karena pendidikan”, dapatlah dipahami bahwa jika manusia itu tidak di
didik, maka ia tidak akan dapat menjadi manusia dalam arti yang sebenarnya.
1
H.A.R. Tilaar, Manifesto Pendidikan Nasional, Tinjauan dari Perspektif Postmodernisme
dan Studi Kultural, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2005), h. 119.
2
Eko Susilo, Dasar-dasar Pendidikan, (Semarang: Effhar, 1990), hal. 19.
1
2
Pendidikan
adalah
usaha
sadar
mengembangkan
manusia
menuju
kedewasaan, baik kedewasaan intelektual, sosial, maupun kedewasaan moral.
Oleh karena itu, maka proses pendidikan bukan hanya mengembangkan
intelektual saja, akan tetapi mencakup seluruh potensi yang dimiliki anak didik.
Dengan demikian, pendidikan pada dasarnya memberikan pengalaman belajar
untuk dapat mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki siswa, melalui proses
interaksi baik antara siswa dengan siswa, siswa dengan guru, atau siswa dengan
lingkungan.3
Pemaksimalan seluruh potensi tersebut harus pula ditunjang oleh kemampuan
guru, sarana prasarana, dan kurikulum pendidikan yang memadai. Begitu
bagusnya konsep-konsep dan undang-undang yang mengatur pendidikan,
bagaimana pendidikan mencapai sasaran yang ideal. Namun pada prakteknya, hal
tersebut seakan sia-sia dan menjadi konsep belaka.
Menurut data yang dilansir situs Okezone.com News & Entertainment,
“Indonesia semakin hari kualitasnya makin rendah. Kualitas pendidikan Indonesia
menempati peringkat 10 dari 14 negara di negara-negara berkembang di Asia
Pacific dan berada pada level 14 dari 14 negara untuk kualitas pendidiknya.”4
Banyaknya problematika yang terjadi mengesankan seakan negara tidak
serius dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Gagalnya pendidikan untuk
menanamkan nilai humanisme terlihat dengan menempatkan Indonesia termasuk
ke dalam negara yang korup, banyak sekolah-sekolah yang khusus bagi para
pemodal, orang kaya dan miskin tidak mendapatkannya, sekolah seolah menjadi
pemicu marjinalisasi terhadap mereka yang tidak bisa mengenyam pendidikan
yang layak. Hal ini semakin menutup nilai humanis dalam pendidikan. Masih
maraknya budaya tawuran dan kenakalan remaja, banyaknya sarana prasarana dan
gedung sekolah yang tidak layak pakai menggambarkan kacaunya wajah
pendidikan Indonesia.
3
Wina Sanjaya, Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2008), h. 178.
4
Okezone.com News & Entertainment, Kualitas Guru Rendah, Penyakit Utama Pendidikan
Indonesia, 2013, (http://kampus.okezone.com/read/2013/01/02/373/740458/kualitas-guru-rendahpenyakit-utama-pendidikan-indonesia).
3
Berdasarkan data Kemendiknas, secara nasional saat ini Indonesia memiliki
899.016 ruang kelas SD, namun sebanyak 293.098 (32,6%) dalam kondisi rusak.
Sementara pada tingkat SMP, saat ini Indonesia memiliki 298.268 ruang kelas
namun ruang kelas dalam kondisi rusak mencapai 125.320 (42%). Bila dilihat dari
daerahnya, kelas rusak terbanyak di Jawa Barat sebanyak 23.415, disusul Jawa
Tengah 22.062, Jawa Timur 17.972, Nusa Tenggara Timur 7.652, Banten 4.696,
Sulawesi Selatan 3.819, Sulawesi Tenggara 2.776, Sulawesi Tengah 1.186,
Lampung 911, Sulawesi Barat 898, dan Papua Barat 576.5 Ini menunjukkan tidak
adanya perhatian pemerintah terhadap pendidikan. Sarana dan infrastruktur
pendidikan masih di bawah standar kelayakan.
Diperparah lagi dengan mahalnya biaya pendidikan mulai dari tingkat dasar
sampai perguruan tinggi. Hal ini menjadi masalah yang paling utama dalam
pendidikan yang ada di Indonesia. Mahalnya pembiayaan pendidikan yang harus
ditanggung oleh orang tua siswa menyebabkan banyaknya anak-anak yang putus
sekolah di kalangan masyarakat Indonesia yang kurang mampu.
Di samping sarana infrastruktur dan mahalnya biaya mengenyam pendidikan,
pelaksanaan kurikulum yang sentralistik membuat potret pendidikan semakin
buram dan tidak humanis. Muatan kurikulum dan mata pelajaran yang padat
terhadap siswa membuat siswa tidak dapat merasakan belajar sesuai yang ia
inginkan. Mereka seakan dipaksa untuk mengikuti mata pelajaran yang banyak
tanpa dapat mengembangkan kreativitasnya yang lain. Pendidikan lebih
mengedepankan perkembangan kognitif saja.
Terbukti dengan adanya sistem Ujian Nasional (UN). Berhasil tidaknya
pendidikan hanya diukur dengan standar yang hanya melihat satu aspek
perkembangan saja, tidak memaksimalkan seluruh potensi peserta didik. Sistem
seperti ini dapat mengkerdilkan peserta didik sebagai pribadi manusia dan sekolah
sebagai lembaga pendidikan menjadi satu aspek saja yaitu kecerdasan yang diukur
oleh Ujian Nasional.
5
Positivego,
Masalah
Pendidikan
di
Indonesia
dan
Solusinya,
(http://positivego.blogspot. com/2012/11/masalah-pendidikan-di-indonesia.html).
2012,
4
Padahal sebagaimana diketahui, tujuan pendidikan yang telah dirumuskan
dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional pasal 3 disebutkan bahwa:
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab.6
Esensi dari Undang-undang tersebut sangat jelas, yaitu agar dapat terbinanya
seluruh potensi peserta didik maka pendidikan harus mencakup keseluruhan aspek
individu, yaitu aspek intelektual, keterampilan dan moral. Sehingga pendidikan
dapat memanusiakan manusia secara utuh.
Lemahnya kemampuan para guru dalam menggali potensi anak menjadi salah
satu pemicu rendahnya kualitas pendidikan. Guru sebagaimana yang kita ketahui
merupakan penentu utama berhasil tidaknya tujuan pendidikan yang telah
dirumuskan. Para pendidik seringkali memaksakan kehendaknya tanpa pernah
memperhatikan kebutuhan, minat dan bakat yang dimiliki siswanya. Ini
berimplikasi terhadap rendahnya pencapaian siswa. Padahal pendidikan
seharusnya memperhatikan kebutuhan anak bukan malah memaksakan sesuatu
yang membuat anak kurang nyaman dalam menuntut ilmu.
Pada dasarnya, proses pembelajaran berkaitan erat dengan empat
unsur, yaitu pendidik (guru), peserta didi k (murid), materi pelajaran
dan sistem pengajaran. 7 Dalam mencapai tujuan pendidikan yang
diinginkan, pendidik dan peserta didik merupakan dua unsur yang
saling memiliki ketergantungan. Peserta didik dalam pendidikan
merupakan subyek sekaligus obyek. Proses pembelajaran harus
mengedepankan kepentingan pese rta didik untuk keberlangsungan
perkembangan potensi yang dimilikinya. Maka dengan begitu,
pendidik adalah orang yang paling bertanggung jawab terhadap
6
Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta:
Depdiknas RI), cet. I, hal. 8.
7
Najib Khalid al-Amir, “Min Asalib al-Rasul saw Fi al-Tarbiyyah” dalam Abuddin Nata, dan
Fauzan (eds), Pendidikan dalam Perspektif Hadits, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), h. 247.
5
perkembangan anak didik. Pendidik berfungsi sebagai fasilitator dan penunjuk
jalan ke arah penggalian potensi peserta didik tersebut.
Dalam pendidikan yang mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan, pendidik
merupakan tokoh sentral terhadap berkembangnya kemampuan dan potensi anak
didik. Pendidik bukan hanya sekedar mentransfer ilmu dan informasi belaka,
namun lebih dari pada itu. Guru dikatakan sukses dalam mengajar apabila ia
mampu menanam kedisiplinan terhadap siswa, namun siswa tetap bergembira
dalam belajar. Apabila guru mengeluh terhadap siswa yang tidak berminat belajar,
hal itu dapat terjadi dikarenakan siswa tidak berminat melakukan apa yang
dikehendaki oleh guru. Kalau saja guru tersebut lalu mengadakan aktivitasaktivitas yang lain yang lebih menyenangkan bagi siswa, bisa saja mereka akan
berubah sikap dan reaksinya.
Selain itu, sebaik apapun tujuan pendidikan, jika tidak didukung oleh metode
pembelajaran yang tepat, tujuan tersebut sangat sulit untuk dapat tercapai dengan
baik. Sebuah metode akan mempengaruhi sampai tidaknya suatu informasi secara
lengkap atau tidak. Bahkan sering disebutkan cara atau metode kadang lebih
penting dari pada materi itu sendiri. Oleh sebab itu pemilihan metode
pembelajaran harus dilakukan secara cermat, disesuaikan dengan berbagai faktor
terkait, sehingga hasil pendidikan dapat memuaskan.8
Keadaan yang terjadi saat ini, banyak guru yang masih menggunakan metodemetode pembelajaran konvensional dan tidak bervariasi, penanaman pengetahuan
yang tidak sampai pada konsep atau pengertian dan nilai, dan suasana kelas yang
aktif-negatif, dimana siswa lebih aktif mencatat dan mendengarkan dari pada aktif
berbicara. Penggunaan metode tersebut secara terus menerus akan menghilangkan
kreativitas berpikir siswa dan menghilangkan hak dan kebebasan siswa untuk
belajar sesuai yang diinginkannya.
Oleh karena itu pendidikan haruslah benar-benar membantu peserta didik
untuk
8
menumbuhkembangkan
aspek-aspek
dirinya.
Perlu
dikembangkan
Anwar Qomari, Pendidikan Sebagai Karakter Budaya Bangsa, (Jakarta: UHAMKA Press,
2003), h. 42.
6
pendidikan yang tidak hanya menekankan aspek ingatan, hafalan, memorizing
(berbasis materi) saja, namun sampai pada aspek penalaran dan kemampuan
menggunakan keterampilan secara baik serta sifat berpikir yang aktif-positif.
Pendidikan yang humanis melihat peserta didik dalam konteksnya sebagai
manusia yang memiliki keunikan masing-masing. Anak didik seharusnya di
tempatkan sebagai sosok pribadi yang pada hakekatnya seorang manusia dengan
segala kekurangan dan kelebihannya. Di sinilah letak nilai dari sebuah pendidikan
humanis, dengan menempatkan anak didik sebagai pribadi yang utuh. Utuh
sebagai insan manusia yang butuh pendampingan dan pendidikan dalam sebuah
dinamika hubungan antar manusia.
Begitulah pendidikan humanis memandang pendidik dan peserta didik, lebih
menekankan kepada nilai kemanusiaan. Namun menurut Sulaeman, pendidikan
belum mampu mencapai titik idealnya yakni memanusiakan manusia, yang terjadi
justru sebaliknya yakni menambah rendah derajat dan martabat manusia. Makna
pendidikan yang belum terealisasikan ini menurutnya terkait dengan situasi sosiohistoris dan kondisi lingkungan yang melingkupinya. Seperti halnya penjajahan
yang dilakukan Barat (kaum kolonialisme) terhadap bangsa Indonesia selama
berabad-abad ternyata membawa dampak yang sangat serius terhadap pola pikir
dunia pendidikan, sehingga amat berpengaruh juga terhadap proses pendidikan
yang berlangsung. Salah satu dampak yang paling buruk dari kolonialisme yang
telah melanda negara-negara jajahan khususnya negara Islam adalah dengan
munculnya sebuah masyarakat kelas “elit” yang lebih tepat disebut sebagai “anakanak yang tertipu.” Produk dari sistem pendidikan (Barat) yang “mengagumkan”
ini didesain untuk membentuk sebuah kelas yang tercerabut dari tradisi budaya
dan moralnya.9
Sehingga para elit yang terbaratkan, yang tercerabut dari akar budayanya
melihat Barat dengan rasa kagum yang teramat besar seakan-akan Barat
adalah segala-galanya. Akibatnya, banyak para ahli diantaranya ahli-ahli
9
Sulaeman Ibrahim, Pendidikan Sebagai Imperialisme dalam Merombak Pola Pikir
Intelektualisme Muslim, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h. 81.
7
pendidikan ataupun pendidik lebih berkiblat kepada budaya dan para tokoh
pendidikan Barat. Padahal sebenarnya dalam Islam pun nilai-nilai kemanusiaan
sangat dianjurkan, bahkan diharuskan. Hal ini tercermin dari banyaknya ayat-ayat
al-Quran dan hadits-hadits Nabi yang sarat akan nilai-nilai tersebut.
Keberadaan hadits Nabi sebagai penjelas dan penguat hukum-hukum dalam
al-Qur’an sekaligus sebagai pedoman bagi kemaslahatan hidup manusia dalam
semua aspeknya banyak memerintahkan mengenai hal-hal hablum minannaas,
yaitu segala sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan sosial bermasyarakat.
Hal ini disebabkan, meskipun secara umum bagian terbesar dari syari’ah Islam
telah terkandung dalam al-Qur’an, namun muatan hukum yang terkandung belum
mengatur berbagai dimensi aktivitas kehidupan ummat secara terperinci dan
analitis.
Hadits merupakan sumber pokok ajaran Islam kedua setelah al-Quran. Fungsi
hadits sebagai penjelas al-Quran menempatkan hadits pada posisi yang sangat
sentral dalam Islam. Sebenarnya, antara al-Quran dan hadits tidak dapat
dipisahkan. Munculnya hadits yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad saw
pada hakikatnya merupakan suatu perwujudan dari wahyu al-Quran. Oleh karena
itu, secara ontologis kedua sumber ini tidak bisa dipisahkan.
Hadits Nabi yang jumlahnya ribuan bahkan ratusan ribu mengandung aneka
nilai yang cukup kaya. Itu semua merupakan sumber inspirasi yang tidak akan
pernah habis untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Banyak sekali perintah
Nabi dalam haditsnya yang menganjurkan dalam memberikan pengajaran
haruslah selalu memperhatikan nilai-nilai asasi manusia.
Nabi Muhammad saw adalah seorang pendidik yang sangat profesional.
Nilai-nilai pendidikan yang ada dalam diri Nabi Muhammad saw menunjukkan
bahwa beliau telah berhasil menjadi guru yang profesional. Beliau mampu
berkomunikasi dengan setiap orang sesuai dengan kadar kesanggupan orang
tersebut.10 Dalam haditsnya beliau menyatakan:
10
Abuddin Nata dan Fauzan (eds), Pendidikan dalam Perspektif Hadits, (Ciputat: UIN
Jakarta Press, 2005), cet. I, h. 28.
8
Kami para Nabi diperintahkan untuk menempatkan manusia sesuai dengan
kedudukan mereka dan berbicara terhadap mereka sesuai dengan tingkat
pemikiran mereka. (H.R. Abu Dawud).
Berdasarkan hadits tersebut dapatlah dipahami bahwa Rasulullah saw telah
mengingatkan kepada umat Islam bahwa mendidik harus dilakukan dengan
berdasar atas nilai-nilai kemanusiaan. Kesemua contoh yang telah ditunjukkan
Nabi Muhammad saw dalam haditsnya merupakan acuan dan sumber yang dapat
digunakan umat Islam dalam seluruh aktivitas kehidupan.
Banyaknya pendidik yang tidak meneladani cara-cara mendidik sebagaimana
yang dicontohkan oleh Rasulullah namun lebih kepada pemikiran pendidikan dari
Barat, membuat penasaran penulis untuk mengungkap konsep pendidikan bukan
hanya dari pemikiran para tokoh Barat saja, tetapi juga dari perspektif al-Quran
dan hadits. Karena bagaimanapun, jauh-jauh hari sebelumnya kedua sumber
ajaran Islam ini telah memberikan pelajaran kepada kita akan pentingnya nilainilai humanisme.
Maka berangkat dari latar belakang tersebut, penulis tergerak untuk
mengetahui nilai-nilai pendidikan humanis seperti apa yang diajarkan Islam
melalui ayat-ayat al-Quran dan hadits-hadits Nabi. Selain itu penulis juga ingin
membuktikan bahwa kajian mengenai pendidikan humanis bukan hanya lebih
banyak dibahas oleh para pemikir Barat saja.
Terkait dengan penelitian ini, penulis hanya berusaha untuk meneliti
pendidikan humanis seperti apa yang diajarkan Islam yang terdapat dalam hadits
saja. Sehingga penulis mencoba meneliti bagaimanakah konsep pendidik dan
metode pembelajaran yang humanis menurut sudut pandang hadits. Maka
kemudian penulis tergerak untuk menyusun sebuah tulisan yang semoga dapat
menjadi suatu bahan acuan bagi penulis maupun seluruh pelaku pendidikan pada
umumnya dengan judul “Konsep Pendidikan Humanis dalam Perspektif Hadits”.
9
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis mengidentifikasi
masalah-masalah adalah sebagai berikut:
1. Lemahnya kemampuan para pendidik dalam menggali potensi siswa
2. Kurikulum
dan materi pelajaran
yang terlalu
padat
dan lebih
mengutamakan aspek kognitif, kurang memperhatikan aspek keterampilan
dan afektif siswa
3. Penerapan metode pembelajaran yang masih konvensional dan tidak
bervariasi
4. Mahalnya pembiayaan pendidikan yang harus di tanggung oleh orang tua
siswa menyebabkan banyaknya anak putus sekolah
5. Belum memadainya kualitas infrastuktur pendidikan
6. Minimnya kajian tentang pendidikan humanis yang dilakukan oleh
pendidik terhadap al-Quran maupun hadits.
C. Pembatasan Masalah
Agar penelitian ini memiliki arah yang jelas dan tepat dalam
pembahasannya, maka perlu adanya pembatasan masalah terkait masalahmasalah yang akan diteliti secara lebih mendalam. Dalam hal ini penulis
hanya berusaha mengetahui konsep pendidik dan metode pembelajaran yang
humanis dalam perspektif hadits.
D. Perumusan Masalah
Berdasar dari penjabaran pembatasan masalah di atas, maka penulis
merumuskan masalah yang diteliti adalah: “Bagaimana konsep pendidik dan
metode pembelajaran yang humanis dalam perspektif hadits?”.
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui konsep pendidikan humanis sebagai pendidikan yang
memanusiakan manusia dalam perspektif hadits
2. Untuk mengetahui hubungan pendidik dan peserta didik yang humanis
dalam perspektif hadits
10
3. Untuk mengetahui metode pembelajaran yang humanis dalam perspektif
hadits
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi:
1.
Penulis, hasil penelitian ini merupakan modal awal dalam mengetahui
konsep pendidik dan peserta didik yang humanis dalam perspektif hadits
dan menjadi acuan penulis dalam melaksanakan pendidikan yang ideal.
2.
Jurusan Pendidikan Agama Islam FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
untuk dijadikan salah satu bahan pertimbangan dan rujukan dalam
mengetahui perspektif hadits terhadap suatu konsep pendidikan yang
humanis.
3.
Mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam FITK UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta untuk dijadikan salah satu acuan dalam pembenahan
konsep pendidikan yang semestinya.
4.
Dunia pendidikan secara umum dalam menambah khazanah ilmu
kependidikan khususnya tentang pendidikan humanis dalam perspektif
hadits.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pendidikan Humanis
1. Pengertian Humanis
Istilah “humanisme” adalah temuan dari abad ke-19. Dalam bahasa
Jerman Humanismus pertama kali diciptakan pada tahun 1808, untuk merujuk
pada suatu bentuk pendidikan yang memberikan tempat utama bagi karyakarya klasik Yunani dan Latin. Dalam bahasa Inggris “humanism” mulai
muncul agak kemudian. Pemunculan yang pertama dicatat berasal dari tulisan
Samuel Coleridge Taylor, di mana kata humanism dipergunakan untuk
menunjukkan suatu posisi Kristologis, yaitu kepercayaan bahwa Yesus Kristus
adalah murni manusia. Kata tersebut pertama kali dipakai dalam konteks
kebudayaan pada tahun 1832.1
Dilihat dari segi kebahasaan, humanisme berasal dari kata Latin humanus
dan mempunyai akar kata homo yang berarti manusia. Humanus berarti sifat
manusiawi atau sesuai dengan kodrat manusia.2 Semula humanisme
merupakan sebuah gerakan yang memposisikan harkat, martabat, dan nilainilai kemanusiaan. Sebagai aliran pemikiran kritis yang berasal dari gerakan
yang menjunjung tinggi manusia, humanisme menekankan harkat, peranan
dan tanggung jawab manusia. Humanisme sendiri, selalu diatributkan kepada
sebuah corak pandangan filsafat yang menempatkan manusia dalam
kedudukan tempat yang khusus serta menjadikannya ukuran segala sesuatu.
Dari sisi sejarah, awalnya humanisme merupakan aliran sastra, budaya,
pemikiran, dan pendidikan, kemudian mengalami perkembangan dan mulai
menampakkan nuansa politiknya. Dengan kata lain, disadari atau tidak,
humanisme telah menjalar ke semua aspek kemasyarakatan tersebut, seperti
komunisme, utilitarianisme, spiritualisme, individualisme, eksistensialisme,
liberalisme, hingga protestanismenya Martin Luther King (Kristen Protestan).3
1
Alister E. Mcgrath, Sejarah Pemikiran Reformasi, diterjemahkan oleh Liem Sien Kie,
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), h. 53.
2
A. Mangunhadjana, Isme-isme dari A sampai Z, (Yogyakarta: Kanisius, 1997), h. 93.
3
Mahmud Rajabi, Horison Manusia, (Jakarta: al-Huda, 2006), h. 31.
10
11
Wiel Veugelers menyatakan, “Humanism is an open worldview that
stresses personal autonomy and humanity.” Tantangan bagi pemikiran yang
humanis dan prakteknya adalah dalam hubungan antara otonomi dan humaniti.
Otonomi bukanlah sesuatu yang membatasi seseorang, tetapi merupakan jalan
atau cara seseorang agar dapat berhubungan dengan orang lain. Humaniti
adalah keadaan dimana setiap seseorang mempunyai kebebasan untuk
mengembangkan segala potensi yang ada pada dirinya. Lebih lanjut ia
mengungkapkan, ”Humanity is the condition that gives people the possibility
of developing human capabilitites: of being a reflective and dialogical person,
of getting the sources to live a good life, of living together ruled by moral
values, of helping others to live a good life too.”4
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah humanis berasal dari kata
human dengan segala bentuk derivasinya, yang kesemuanya memiliki arti
yang berbeda antara satu dengan yang lain.
Kata “human” memiliki arti: (1). bersifat manusiawi, (2).
berperikemanusiaan (baik budi, luhur budi, dan sebagainya). Kata
“humanis” memiliki arti: (1). orang yang mendambakan dan
memperjuangkan terwujudnya pergaulan hidup yang lebih baik,
berdasarkan asas perikemanusiaan; pengabdi kepentingan sesama umat
manusia, dan (2). penganut paham yang menganggap manusia sebagai
objek terpenting. Kata “humanisme” (humanism: Inggris) memiliki arti:
(1). aliran yang bertujuan menghidupkan rasa perikemanusiaan dan
mencita-citakan pergaulan hidup yang lebih baik, (2). paham yang
menganggap manusia sebagai objek studi terpenting, dan (3). aliran
zaman Renaissance yang menjadikan sastra klasik sebagai dasar seluruh
peradaban manusia. (4). kemanusiaan. Kata “humanistik” memiliki arti:
pertumbuhan rasa kemanusiaan atau bersifat kemanusiaan. Adapun kata
“humanisasi”, yang merupakan kata jadian, memiliki arti: pertumbuhan
rasa perikemanusiaan; pemanusiaan.5
Dengan demikian humanis berarti segala sesuatu yang menyangkut
hubungan kemanusiaan, hak-hak yang manusiawi, dan sebagainya. Rasa
kemanusiaan yang tinggi merupakan nilai penting yang terkandung dalam
prinsip-prinsip dasar humanis.
4
Wiel Veugelers (ed), Education and Humanism, (Netherland: Sense Publishers, 2011), h. 1.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 512.
5
12
2. Teori Belajar Humanistik
Teori-teori belajar sejauh ini telah menekankan peranan lingkungan dan
faktor-faktor kognitif dalam proses belajar mengajar. Dalam proses
pembelajaran, para ahli membagi beberapa teori dalam memahaminya, karena
dengan teori-teori tersebut para ahli dapat mengklasifikasi aktivitas
pembelajaran, diantara teori belajar yang dikenal adalah teori belajar
humanistik.
Teori humanistik secara jelas menunjukkan bahwa belajar dipengaruhi
oleh bagaimana siswa-siswa berpikir dan bertindak, dan dipengaruhi dan
diarahkan oleh arti pribadi dan perasaan-perasaan yang mereka ambil dari
pengalaman belajar mereka. Menurut teori humanistik, belajar merupakan
proses yang dimulai dan ditujukan untuk kepentingan memanusiakan manusia.
Dimana memanusiakan manusia berarti mempunyai tujuan untuk mencapai
aktualisasi diri, pemahaman diri, serta realisasi diri orang yang belajar secara
optimal. Sehingga dapat dikatakan belajar berhubungan erat dengan
kematangan otak dan mental anak didik.6
Oleh karena itu, pendekatan ini lebih menekankan pada bagaimana
seorang anak dapat melakukan hal-hal yang positif. Kemampuan positif inilah
yang disebut sebagai potensi manusia, dan para pendidik yang beraliran
humanisme biasanya memfokuskan pengajarannya pada pembangunan
kemampuan yang positif. Kemampuan positif tersebut erat kaitannya dengan
pengembangan emosi positif yang terdapat dalam domain afektif.
Menurut Sri Esti dalam bukunya, Psikologi Pendidikan:
Ahli-ahli teori humanistik menunjukkan bahwa tingkah laku individu
pada mulanya ditentukan oleh bagaimana mereka merasakan dirinya
sendiri dan dunia sekitarnya. Di samping itu, individu bukanlah satusatunya hasil dari lingkungan mereka seperti yang dikatakan oleh teori
ahli tingkah laku, melainkan langsung dari dalam (internal), bebas
memilih, dimotivasi oleh keinginan untuk aktualisasi diri (self
actualization) atau memenuhi potensi keunikan mereka sebagai
manusia.7
6
Zakiah Daradjat, Kepribadian Guru, (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), cet. IV, h. 15.
Sri Esti Wuryani Djiwandono, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana
Indonesia, 2006), h. 181.
7
13
Dikatakan oleh Moh. Amin, “pendidikan modern harus mengandung
humanistic aspect of learning. Oleh karena itu sudah saatnya bahwa
humanistic teaching and learning harus dikembangkan di lembaga pendidikan
di Indonesia.”8 Dengan demikian, jelaslah bahwa teori pendidikan humanistik
berorientasi pada perkembangan seluruh potensi manusia secara utuh agar
dapat tercapainya aktualisasi diri dengan sebenar-benarnya.
3. Sejarah Konsep Pendidikan Humanis
Pendidikan humanis memiliki dasar filosofis yang berbeda. Teori filsafat
pragmatisme, progresivisme, dan eksistensialisme merupakan peletak dasar
munculnya teori pendidikan humanistik pada tahun 1970. Ketiga teori filsafat
ini memiliki karakteristik masing-masing dalam menyoroti pendidikan.
Ide
utama
pragmatisme
dalam
pendidikan
adalah
memelihara
keberlangsungan pengetahuan dengan aktifitas yang dengan sengaja
mengubah lingkungan. Pragmatisme memandang pendidikan (sekolah)
seharusnya merupakan kehidupan dan lingkungan belajar yang demokratis
yang menjadikan semua orang berpartisipasi dalam proses pembuatan
keputusan sesuai realitas masyarakat. Pengaruh pemikiran ini sangat dirasakan
dan bahkan menjadi faktor utama munculnya teori/pemikiran humanisme dan
progresivisme.
Inti pragmatisme dalam pendidikan adalah sebagai berikut:
a. Peserta didik (siswa) adalah subyek yang memiliki pengalaman
b. Guru bukan orang yang tahu kebutuhan siswa untuk masa depannya
c. Materi/kurikulum harus sesuai kebutuhan siswa yang menekankan proses
dari pada materi
d. Metode pembelajaran harus memberikan kebebasan kepada siswa untuk
mencari pengalaman belajar yang berguna
e. Kebijakan pendidikan mengikuti arus perubahan sosial
Adapun ide progresivismenya yang sangat dipengaruhi oleh pragmatisme
itu sangat menekankan adanya kebebasan aktualisasi diri bagi peserta didik
8
Moh. Amin, dkk., Humanistic Education, (Bandung: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Dirjen Pendidikan Tinggi, 1979), h. 8.
14
supaya kreatif. Paham ini menekankan terpenuhinya kebutuhan dan
kepentingan anak. Anak harus aktif membangun pengalaman kehidupan.
Belajar tidak hanya dari buku dan guru, tetapi juga dari pengalaman
kehidupan. Dasar orientasi teori progresivisme adalah perhatiannya terhadap
anak sebagai peserta didik dalam pendidikan.
Sebagai sebuah teori pendidikan, progresivisme menekankan kebebasan
aktualisasi diri supaya kreatif sehingga menuntut lingkungan belajar yang
demokratis dalam menentukan kebijakannya. Kalangan progresivis berjuang
untuk mewujudkan pendidikan yang lebih bermakna bagi kelompok sosial.
Progresivisme pendidikan ini menjadi teori dominan dalam pendidikan
Amerika dari dekade 1920-an hingga 1950-an. Di antara alasan hilangnya
eksistensi teori ini adalah karena ide atau gagasan dan program pendidikan
progresif telah diadopsi oleh teori lain yang mengembangkannya. Ide
progresivisme tersebut selanjutnya diperbarui dalam pendidikan humanistik.
Pengaruh
eksistensialisme
terakhir
yang
munculnya
pilar
pendidikan
utamanya
adalah
humanistik
adalah
individualisme.
Teori
eksistensialisme lebih menekankan keunikan anak secara individual dari pada
progresivisme yang cenderung memahami anak dalam unit sosial. Anak
sebagai individu yang unik. Pandangan tentang keunikan individu ini
mengantarkan kalangan humanis untuk menekankan pendidikan sebagai upaya
pencarian makna personal dalam eksistensi manusia. Pendidikan berfungsi
untuk membantu kedirian individu supaya menjadi manusia bebas dan
bertanggung jawab dalam memilih. Kebebasan manusia merupakan tekanan
para eksistensialis. Dengan kebebasan tersebut peserta didik akan dapat
mengaktualisasikan potensinya secara maksimal.
Kaum eksistensialis memandang sistem pendidikan yang ada itu dinilai
membahayakan karena tidak mengembangkan individualitas dan kreatifitas
anak. Sistem pendidikan tersebut hanya mengantarkan mereka bersikap
konsumeristik, menjadi penggerak mesin produksi, dan birokrat modern.
Kondisi ini mematikan sifat-sifat kemanusiaan. Bagi kaum eksistensialis,
perhatian utama pendidikan adalah membantu kedirian peserta didik untuk
15
sampai pada realisasi yang lebih utuh sebagai individu yang memiliki
kebebasan, bertanggung jawab, dan memiliki hak memilih. Aliran ini
memberikan semangat dan sikap yang bisa diterapkan dalam kegiatan
pendidikan.
Pemikiran pendidikan ini mengantarkan pandangan bahwa anak adalah
individu yang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi sehingga muncul keinginan
belajar. Apabila lingkungan baik (kondusif untuk belajar), maka anak akan
terdorong untuk belajar sendiri. Karena itu, pendidikan harus menciptakan
iklim atau kondisi yang kondusif untuk belajar. Ketidakmauan anak untuk
belajar disebabkan oleh kesalahan lingkungan yang kurang mendukung untuk
berperan aktif. Konsep ini menjadi penopang terbentuknya pemikiran
pendidikan
humanistik.
Hal
ini
sesuai
dengan
pandangan
bahwa
eksistensialisme adalah suatu humanisme.9
Pemikiran filosofis dari eksistensialisme dan pragmatisme yang didukung
dengan pengembangan dan pembaruan pemikiran teori progresivisme
menghasilkan pemikiran baru berupa pendidikan humanistik. Ide kedua
filsafat dan teori pendidikan tersebut berpusat pada nilai-nilai kemanusiaan.
Nilai kemanusiaan dalam pragmatisme terletak pada otoritas masyarakat,
sedangkan dalam eksistensialisme berada dalam peran individu. Karena itu
filsafat pragmatisme dan eksistensialisme merupakan sumber inspirasi
munculnya pendidikan humanistik.
4. Pengertian Pendidikan Humanis
Dalam perspektif definitif, pendidikan tidak pernah disepakati para pakar
dalam formulasinya, sebab warna dari pemikiran sudah barang tentu
dipengaruhi oleh pandangan hidup dan nilai-nilai budaya yang dianut para
pakar tersebut. Namun dengan segala perbedaan pandangan yang mereka
kemukakan, dalam satu hal mereka sama-sama setuju bahwa pendidikan
9
Zainal Arifin Tandjung, Sejarah Singkat Filsafat Modern: dari Descartes sampai
Wittgenstein, (Jakarta: Pantja Simpati, 1984), h. 321.
16
bertujuan untuk memberi bekal moral, intelektual dan keterampilan kepada
anak manusia agar mereka siap menghadapi masa depannya dengan penuh
percaya diri.10
Dalam hal ini Zamroni menjelaskan bahwa:
Pendidikan dalam arti luas merupakan proses yang berkaitan dengan
upaya mengembangkan diri seseorang pada tiga aspek kehidupan, yakni
pandangan hidup, sikap hidup, dan keterampilan hidup. Pendidikan
berperan menyiapkan generasi muda untuk menjalankan kehidupan dan
memenuhi tujuan hidupnya secara lebih efektif dan efisien. Pendidikan
membimbing dan membentuk diri manusia menuju masa depan yang
gemilang.11
Pendidikan sebagaimana yang dijelaskan oleh Ahmad Tafsir berarti
“pengembangan pribadi dengan semua aspeknya, dengan penjelasan bahwa
pengembangan pribadi ialah yang mencakup pendidikan oleh diri sendiri
maupun oleh lingkungan, dan pendidikan oleh guru dan orang lain. Adapun
yang dimaksud semua aspek tersebut yaitu mencakup jasmani, akal dan
hati.”12
Dalam istilah atau nama pendidikan humanistik, kata humanistik pada
hakikatnya adalah kata sifat yang merupakan sebuah pendekatan dalam
pendidikan. Pendidikan humanistik sebagai sebuah teori pendidikan
dimaksudkan sebagai pendidikan yang menjadikan humanisme sebagai
pendekatan.13 Pendekatan humanisme yaitu pendekatan yang berfokus pada
potensi manusia untuk mencari dan menemukan kemampuan yang mereka
punya dan mengembangkan kemampuan tersebut. Dalam paradigma humanis,
manusia di pandang sebagai makhluk Tuhan yang memiliki fitrah-fitrah
tertentu yang harus dikembangkan secara optimal. Dan fitrah manusia ini
hanya
bisa
dikembangkan
melalui
pendidikan
yang
benar-benar
memanusiakan manusia (pendidikan humanis).
10
Ali Muhdi, Ideologi dan Paradigma Pendidikan Nasional dalam Buku Konfigurasi Politik
Pendidikan Nasional, (Yogyakarta: Pustaka Fahioma, 2007), h. 18.
11
Zamroni, Pendidikan untuk Demokrasi: Tantangan Menuju Civil Society, (Yogyakarta:
Bigraf, 2001), h. 24.
12
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Rosdakarya, 2005), h.
26.
13
Abdul Munir Mulkhan, Nalar Spiritual Pendidikan: Solusi Problem Filosofis Pendidikan
Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), h. 95.
17
Konsep
utama
dari
pemikiran
pendidikan
humanistik
menurut
Mangunwijaya adalah “menghormati harkat dan martabat manusia. Hal
mendasar dalam pendidikan humanistik adalah keinginan untuk mewujudkan
lingkungan belajar yang menjadikan peserta didik terbebas dari kompetisi
yang hebat, kedisiplinan yang tinggi, dan takut gagal.”14
Pendidikan humanis memandang bahwa peserta didik adalah manusia
yang mempunyai potensi dan karakteristik yang berbeda-beda. Karena itu
dalam pandangan ini peserta didik ditempatkan sebagai subyek sekaligus
obyek pembelajaran, sementara guru diposisikan sebagai fasilitator dan mitra
dialog peserta didik. Pendekatan pembelajaran humanis memandang manusia
sebagai subyek yang bebas merdeka untuk menentukan arah hidupnya.
Bagi Muchlis R. Luddin, terdapat beberapa prinsip dasar yang penting
diperhatikan di dalam penyelenggaraan pendidikan bagi seorang individu
manusia. Salah satu dari prinsip dasar tersebut adalah bahwa setiap individu
dilahirkan dan „ditakdirkan‟ mempunyai „atribut permanen‟. Setiap orang
memiliki kekhasannya masing-masing secara individual. Dalam dunia
pendidikan, bentuk khas dari „atribut permanen‟ individu itu bisa tampil dalam
intelegensi seorang individu, dalam sikap individu dan dalam „prestasi setiap
individu‟. Prinsip dasar semacam ini memberi pemahaman bahwa dasar
pembelajaran anak atau individu tidak lagi dapat dilaksanakan dengan pola
yang seragam. Apalagi jika dalam penyelenggaraan pendidikan yang
menggunakan asumsi „pukul rata‟.15
Pendidikan humanis bukan berarti mengesampingkan perkembangan
kognitif
atau
intelektual.
Pendidikan
humanis
memandang
bahwa
perkembangan kognitif atau intelektual sama pentingnya dengan afektif siswa
yang harus dikembangkan yang merupakan aspek terpenting dalam
pendidikan.16
14
160.
15
Y.B. Mangunwijaya, Mencari Visi Dasar Pendidikan, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), h.
Muchlis R. Luddin, Negara, Pendidikan Humanis dan Globalisasi, (Jakarta: PT. Karya
Mandiri Pers, 2008), h. 48.
16
Carl Rogers, Summary, Carl Rogers and Humanistic Education, 1977, h. 42.
18
Jelaslah bahwa pendidikan humanis berorientasi pada pengembangan
manusia, menekankan nilai-nilai manusiawi, dan nilai-nilai kultural dalam
pendidikan. Sasaran pokok pendidikan humanis adalah membentuk anggota
keluarga, masyarakat, dan warga negara baik, yang memiliki jiwa demokratis,
bertanggung jawab, memiliki harga diri, kreatif, rasional, objektif, tidak
berprasangka, mawas diri terhadap perubahan dan pembaharuan serta mampu
memanfaatkan waktu senggang secara efektif.
5. Komponen Pendidikan Humanis
a. Guru
Kata pendidik (guru) secara fungsional menunjukkan kepada
seseorang yang melakukan kegiatan dalam memberikan pengetahuan,
keterampilan, pendidikan, pengalaman, dan sebagainya. Istilah pendidik
sering diwakili oleh istilah guru yang berarti orang yang bekerja dalam
bidang pendidikan dan pengajaran yang ikut bertanggung jawab dalam
membantu anak-anak mencapai kedewasaan masing-masing.17
Menurut H.C Witherington “tugas utama seorang guru bukanlah
menerangkan hal-hal yang terdapat dalam buku-buku, tetapi mendorong,
memberikan inspirasi, memberikan motif-motif dan membimbing muridmurid dalam usaha mereka mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan.”18
Laura Zucca menyebutkan, “Teachers become key participants in the
learning process”.19 Sehingga jelaslah dipahami bahwa tugas para
pendidik tidaklah mudah, bahkan sangat kompleks. Guru bukan hanya
sekedar mentransfer ilmu dan informasi belaka, namun lebih dari pada itu.
Guru dikatakan sukses dalam mengajar apabila ia mampu menanam
kedisiplinan terhadap anak namun anak tetap bergembira dalam belajar.
17
Abuddin Nata dan Fauzan (eds), Pendidikan dalam Perspektif Hadits, (Ciputat: UIN
Jakarta Press, 2005), cet. I, h. 207.
18
H.C. Witherington, Psikologi Pendidikan, Terj. dari Educational Psychology oleh M.
Buchori, (Jakarta: Aksara Baru, 1978), h. 77.
19
Laura Zucca-Scott, Know Thyself: The Importance of Humanism in Education,
International Education, 2010, h. 34.
19
Peran guru dalam pembelajaran humanistik adalah menjadi fasilitator
bagi para siswa, guru memberikan motivasi, kesadaran mengenai makna
belajar dalam kehidupan siswa. Guru memfasilitasi pengalaman belajar
kepada siswa dan mendampingi siswa untuk memperoleh tujuan
pembelajaran.
Dari
perspektif
humanistik,
pendidik
seharusnya
memperhatikan pendidikan lebih responsif terhadap kebutuhan kasih
sayang (affective) siswa. Kebutuhan afektif adalah kebutuhan yang
berhubungan dengan emosi, perasaan, nilai, sikap, predisposisi, dan
moral.20
Menurut Hamacheek dalam buku Psikologi Belajar karya Abu
Ahmadi dan Widodo Supriyono, “guru-guru yang efektif tampaknya
adalah guru-guru yang manusiawi. Mereka mempunyai rasa humor, adil,
menarik, lebih demokratis daripada autokratik, dan mereka mampu
berhubungan dengan mudah dan wajar dengan para siswa, baik secara
perorangan ataupun secara kelompok.”21
Guru-guru yang percaya bahwa setiap siswa itu mempunyai
kemampuan untuk belajar akan mempunyai perilaku yang lebih positif
terhadap siswa-siswa mereka. Menurut Combs dan kawan-kawan, ciri-ciri
guru yang baik ialah sebagai berikut:
1) Guru yang mempunyai anggapan bahwa orang lain itu
mempunyai kemampuan untuk memecahkan masalah mereka
sendiri dengan baik.
2) Guru yang melihat bahwa orang lain mempunyai sifat ramah dan
bersahabat dan bersifat ingin berkembang.
3) Guru yang cenderung melihat orang lain sebagai orang yang
sepatutnya dihargai.
4) Guru yang melihat orang-orang dan perilaku mereka pada
dasarnya berkembang dari dalam; jadi bukan merupakan produk
yang dari peristiwa-peristiwa eksternal yang dibentuk dan yang
digerakkan. Dia melihat orang-orang mempunyai kreativitas dan
dinamika; jadi bukan orang yang pasif atau lamban.
5) Guru yang menganggap orang lain itu pada dasarnya dipercaya
dan dapat diandalkan dalam pengertian dia akan berperilaku
menurut aturan-aturan yang ada.
20
21
Sri Esti Wuryani Djiwandono, loc.cit, h. 181.
Abu Ahmadi dan Widodo Supriyono, Psikologi Belajar, (Jakarta: Rineka Cipta, 2013), h. 237.
20
6) Guru yang melihat orang lain itu dapat memenuhi dan
meningkatkan dirinya, bukan menghalangi, apalagi mengancam.22
Guru yang humanis bukanlah guru yang pemarah atau keras, guru
yang pemarah akan menyebabkan anak didik takut. Ketakutan itu dapat
bertumbuh atau berkembang menjadi benci. Karena takut itu menimbulkan
derita atau ketegangan dalam hati anak. Jika ia sering menderita oleh
seorang guru, maka guru tersebut akan dijauhinya agar dapat menghindari
derita yang mungkin terjadi. Apabila anak didik benci kepada guru, maka
ia tidak akan berhasil mendapat bimbingan dan pendidikan dari guru
tersebut, selanjutnya ia akan menjadi bodoh walaupun kecerdasannya
tinggi.23
Peranan guru dalam pendidikan humanis adalah secara terus menerus
melakukan segala sesuatu untuk membantu siswa membangun self concept
mereka. Ini berarti bahwa guru melibatkan siswa di dalam proses belajar
sehingga mereka memiliki pengalaman-pengalaman sukses, merasa
diterima, disukai, dihormati, dikagumi, dan sebagainya. Ini berarti bahwa
guru harus memperlakukan setiap orang sebagai individu dengan
kebutuhan-kebutuhannya yang tertentu pula.24
Guru tidak boleh memaksakan kehendaknya kepada siswa. Guru-guru
harus sebagai narasumber, tetapi tidak bersikap otoriter yang memaksakan
jawaban yang benar. Anak-anak harus bebas untuk membentuk pengertian
mereka sendiri.
Sehingga menurut Zakiah Daradjat, “guru yang sukses adalah guru
yang memilih bagi anak didiknya pekerjaan yang sesuai dengan
kemampuan tubuh dan mentalnya. Dalam proses mengajar, guru harus
memperhatikan keadaan murid, tingkat pertumbuhan dan perbedaan
perorangan yang terdapat di antara mereka.”25 Maka hal ini berimplikasi
bahwa guru harus dapat memahami dan mengetahui perkembangan
psikologis anak.
22
Ibid., h. 238.
Zakiah Daradjat, op.cit, h. 11.
24
Moh. Amin, dkk., op.cit, h. 9.
25
Zakiah Daradjat, loc.cit, h. 15.
23
21
b. Siswa
Dalam bahasa Indonesia, makna siswa, murid, pelajar, dan peserta
didik merupakan sinonim. Semuanya bermakna anak yang sedang berguru
(belajar, bersekolah), anak yang sedang memperoleh pendidikan dasar dari
suatu lembaga pendidikan. Dapat dikatakan juga bahwa anak didik
merupakan semua orang yang belajar, baik pada lembaga pendidikan
secara formal maupun lembaga pendidikan non formal.26 Peserta didik
ditempatkan sebagai pusat (central) dalam aktifitas belajar. Peserta didik
menjadi pelaku dalam memaknai pengalaman belajarnya sendiri. Dengan
demikian, mereka diharapkan mampu menemukan potensinya dan
mengembangkan potensi tersebut secara maksimal. Peserta didik bebas
berekspresi cara-cara belajarnya sendiri. Mereka menjadi aktif dan tidak
sekedar menerima informasi yang disampaikan oleh guru.
Tujuan pengajaran harus mempunyai arti penting bagi siswa. Tidak
cukup jelasnya tujuan hanya dalam otak siswa, atau siswa mengetahui
keberhasilannya dalam mencapai tujuan tersebut, akan tetapi hendaknya
tujuan itu dirasakannya penting. Hal itu tidak akan tercapai, kecuali jika
tujuan tersebut dihubungkan dengan kehidupan, lingkungan, dan
keperluan siswa. Semakin dekat tujuan itu kepada keperluan dan
kehidupannya, akan semakin besar dorongan siswa untuk mencapainya.
Agar tujuan tersebut penting bagi siswa, hendaknya mereka yang
menentukannya sendiri dengan memikirkannya.27
Di samping itu, siswa juga harus mempunyai substantial hand dalam
mengarahkan diri mereka, memilih apa yang akan dipelajari, sampai tahap
mana ia akan belajar, kapan dan bagaimana ia akan belajar. Hal tersebut
dimaksudkan agar siswa memiliki self directed, self-motivated, dan bukan
sebagai penerima informasi pasif.
c. Metode Pembelajaran
Dari segi bahasa, metode berasal dari dua kata, yaitu kata “metha”
yang berarti melalui dan kata “hodos” yang berarti jalan, dengan demikian
26
27
Abuddin Nata dan Fauzan (eds), op.cit, h. 248-249.
Zakiah Daradjat, op.cit, h. 18.
22
metode berarti jalan atau cara yang harus dilalui untuk mencapai tujuan
tertentu. Jalan mencapai tujuan ini bermakna ditempatkan pada posisi
sebagai cara untuk menemukan, menguji dan menyusun data yang
diperlukan bagi pengembangan ilmu atau tersistematisasikannya. Dengan
pengertian tersebut berarti metode lebih memperlihatkan sebagai alat
untuk mengolah dan mengemban suatu gagasan.28
Zakiah Daradjat menjelaskan, ”metode mengajar adalah sistem
penggunaan teknik-teknik di dalam interaksi dan komunikasi antara guru
dan murid dalam pelaksanaan program belajar-mengajar sebagai proses
pendidikan.”29
Metode
menggambarkan
pembelajaran
prosedur
bersifat
bagaimana
prosedural,
mencapai
artinya
tujuan-tujuan
pembelajaran. Oleh karena itu, tepat bila dikatakan bahwa setiap metode
pembelajaran mencakup kegiatan-kegiatan sebagai bagian atau komponen
dari metode itu.
Adapun prinsip-prinsip dalam memilih metode mengajar menurut
Engkoswara yaitu:
1) Asas maju berkelanjutan (continuous progress) yang artinya
memberi kemungkinan kepada murid untuk mempelajari sesuatu
sesuai dengan kemampuannya.
2) Penekanan pada belajar sendiri, artinya anak-anak diberi
kesempatan untuk mempelajari dan mencari sendiri bahan
pelajaran lebih banyak lagi dari pada yang diberikan oleh guru.
3) Bekerja secara tim, dimana anak-anak dapat mengerjakan sesuatu
pekerjaan yang memungkinkan anak bekerja sama.
4) Multidisipliner, yaitu memungkinkan anak-anak untuk mempelajari
sesuatu meninjau dari berbagai sudut.
5) Fleksibel, yaitu dapat dilakukan menurut keperluan dan keadaan.30
Pendekatan humanisme menekankan pentingnya emosi atau perasaan,
komunikasi terbuka, dan nilai-nilai yang dimiliki oleh setiap siswa. Untuk
itu, metode pembelajaran humanistik mengarah pada upaya untuk
mengasah nilai-nilai kemanusiaan siswa. Sehingga para pendidik
28
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), cet. I, h.
29
Zakiah Daradjat, op.cit, h. 41.
Engkoswara, Dasar-dasar Metodologi Pengajaran, (Jakarta: Bina Aksara, 1988), h. 46.
91.
30
23
diharapkan dalam pembelajaran lebih menekankan nilai-nilai kerjasama,
saling membantu, dan menguntungkan, kejujuran dan kreativitas untuk
diaplikasikan dalam proses pembelajaran sehingga menghasilkan suatu
proses pembelajaran yang diharapkan sesuai dengan tujuan dan hasil
belajar yang dicapai siswa.
Kesesuaian
antara
materi
pelajaran
dan
metode
pengajaran
merupakan faktor penting dalam keterbukaan dan kesediaan anak untuk
belajar. Penggunaan kata-kata sukar dan samar dalam mengajar anak didik
membaca dan menulis, atau menggunakan metode yang gersang dalam
mengajar, akan memalingkan anak dari
materi pelajaran, serta
menimbulkan kebosanan dalam diri mereka.31
Menyusun materi pengajaran, kegiatan belajar, atau situasi belajar,
jangan memandang kepada guru dari seginya sendiri, akan tetapi harus
dipandang kepadanya dari segi murid yang ditujukan kepadanya proses
belajar. Dengan demikian pengajaran akan mempunyai bekas yang kekal
dalam diri anak didik.
Agar dapat para guru mencapai hal tersebut, perlu memperhatikan
prinsip-prinsip berikut ini:
1) Tujuan harus jelas dalam pikiran anak didik
2) Materi pengajaran harus mempunyai arti bagi anak didik
3) Menyusun materi pengajaran, dan berbagai kegiatan pengajaran dalam
bentuk satuan pelajaran dan sekitar masalah-masalah yang sesuai
dengan anak-anak didik.
4) Pembagian kegiatan dan materi pengajaran secara baik
5) Pengikutsertaan anak didik dalam membuat langkah-langkah dan
merangsang sebanyak mungkin kegiatan mereka.32
Dalam pada itu, metode-metode pembelajaran yang humanis antara
lain adalah sebagai berikut:
31
32
Zakiah Daradjat, loc.cit, h. 18.
Ibid, h. 28.
24
1) Guru menyediakan/memberikan sumber
Salah satu strategi mengajar yang disarankan Rogers adalah
memberi siswa dengan berbagai macam sumber yang dapat
mendukung dan membimbing pengalaman belajar mereka. Sumbersumber tersebut dapat meliputi materi pengajaran yang biasa, seperti
buku, bimbingan referensi, dan alat-alat bantuan listrik (misalnya
kalkulator, komputer). Sumber dapat juga meliputi orang, seperti
anggota masyarakat yang mempunyai satu bidang minat atau ahli yang
bersedia mengungkapkan pengalaman-pengalamannya kepada siswa.
Guru-guru dapat juga sebagai sumber dengan pengetahuan dan
pengalaman keterampilan yang tersedia untuk siswa jika diperlukan.33
2) Simulasi
Simulasi berasal dari kata “simulate” yang memiliki arti pura-pura
atau berbuat seolah-olah. Dan juga “simulation” yang berarti tiruan
atau perbuatan yang hanya berpura-pura saja.
Simulasi sebagai jenis pengalaman belajar merupakan miniatur
atau model yang mewakili situasi nyata. Penekanan dalam metode
simulasi adalah pada kemampuan siswa untuk berimitasi sesuai dengan
objek yang diperankan. Pada titik finalnya diharapkan siswa mampu
untuk mendapatkan kecakapan bersikap dan bertindak sesuai dengan
situasi sebenarnya.
Dalam simulasi apa yang didemonstrasikan harus memiliki pesan
moral yang sesuai dengan tingkatan cara berfikir siswa, sehingga
pemahaman mereka terhadap kejadian yang diperagakan tidak
terhalang oleh apresiasi dan imajinasi mereka. Penekanan dalam
simulasi
(pendemonstrasian)
pelakunya.
34
harus
disesuaikan
dengan
para
Pembinaan kemampuan bekerja sama, komunikasi, dan interaksi
merupakan bagian dari keterampilan yang akan dihasilkan melalui
pembelajaran simulasi. Metode ini menuntut lebih banyak aktivitas
33
Carl Rogers, op. cit, h. 27.
Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Pers,
2002), h. 183.
34
25
siswa. Siswa terlibat dan merasa bahwa mereka belajar tentang situasi
kehidupan nyata. Tanggung jawab untuk pelaksanaan simulasi di
tangan para siswa setelah guru memperkenalkan itu. Metode ini dapat
digunakan
dalam
pembelajaran
berbasis
kontekstual,
bahan
pembelajaran dapat diangkat dari kehidupan sosial, nilai-nilai sosial,
maupun masalah-masalah sosial.
3) Menggunakan kontrak belajar
Learning
contracts
(kontrak
belajar)
merupakan
metode
pembelajaran individual untuk mengembangkan tanggung jawab
siswa. Kontrak belajar ialah metode yang menjadikan aturan sebagai
suatu kontrak dalam belajar yang diciptakan sendiri atas dasar
kesepakatan. Tentunya antara pihak pendidik dan pihak yang dididik.
Siswa dilibatkan langsung ketika proses pembuatan kontrak belajar.
Metode ini memungkinkan percepatan individu sehingga siswa
dapat belajar pada tingkat di mana mereka bisa menguasai suatu
materi. Kontrak belajar dapat didesain sedemikian rupa sehingga siswa
dapat belajar dengan materi atau bahan yang mengandung konsep dan
pengetahuan
yang
cocok
dengan
kecakapan
mereka
dan
pengalamannya. Metode ini memfokuskan pada individu, namun
demikian kontrak belajar juga memberikan keuntungan bagi siswa
untuk bekerja pada kelompok kecil.
Ketika siswa menggunakan kontrak belajar, guru terlebih dulu
menjelaskan tujuan belajar yang harus dicapai oleh siswa. Saat siswa
sudah terbiasa dengan metode ini, guru dapat memilih untuk
melibatkan mereka pada penyusunan tujuan belajar.
Memusatkan pekerjaan anak didik pada mendengar saja, adalah
perbuatan yang tidak akan membawa hasil. Guru harus mengetahui
bahwa perbuatannya mengikutsertakan anak-anak didik dalam
perencanaan dan pelaksanaan, sebenarnya melatih mereka untuk
mendapatkan keterampilan yangdiperlukan dalam hidup, di samping
membiasakan mereka aktif dalam tindakan-tindakannya, bukan pasif.35
35
Zakiah Daradjat, op.cit, h. 33.
26
Metode kontrak belajar dapat sangat memotivasi siswa, yaitu
membuat siswa menjadi makin mandiri, belajar menggunakan sumber
atau referensi untuk kepentingan mereka, bangga akan kemampuannya
untuk mengajar diri mereka sendiri dan berbagi pembelajaran baru
dengan yang lainnya.
4) Pembelajaran Inkuiri
Pembelajaran inkuiri adalah rangkaian kegiatan pembelajaran yang
menekankan pada proses berpikir secara kritis dan analitis untuk
mencari dan menemukan sendiri jawaban yang sudah pasti dari suatu
masalah yang dipertanyakan.36
Metode inkuiri merupakan metode pembelajaran yang sifatnya
partisipatif,
mengedepankan
proses
pengalaman.
Guru
dalam
pembelajaran inkuiri menimbulkan masalah dan berfungsi sebagai
sumber daya bagi siswa dalam solusi mereka dari masalah. Siswa
dengan demikian berfungsi sebagai ilmuwan.
Metode inkuiri memberikan keuntungan bagi siswa untuk
mengalami
dan
menjalani
proses
di
mana
mereka
dapat
mengumpulkan informasi terkait lingkungan sekitar mereka. Hal
tersebut memerlukan tingkat interaksi yang cukup tinggi antara siswa,
guru, ketersediaan bahan, dan lingkungan belajar.
Dalam pembelajaran inkuiri siswa akan terlibat aktif pada proses
pembelajaran di mana mereka dapat:
a) bertindak berdasarkan rasa ingin tahu dan ketertarikan
b) mengembangkan pertanyaan-pertanyaan
c) memikirkan berbagai cara melalui kontroversi dan permasalahanpermasalahan
d) melihat masalah secara analitik
e) menemukan persepsi mereka dan apa yang mereka ingin segera
ketahui
f) mengembangkan, mengklarifikasi, dan menguji hipotesis
36
Wina Sanjaya, Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2008),h. 191.
27
g) menarik kesimpulan dan menggeneralisasikan pemecahan masalah
yang memungkinkan.
Bertanya merupakan pokok pembelajaran inkuiri. Siswa harus
mengajukan pertanyaan yang relevan dan mengembangkan cara untuk
mencari jawaban dan menggeneralisasikan penjelasan. Menurut Sri
Esti, ia mengutip pendapat Rogers, bahwa pembelajaran inkuiri yaitu
pembelajaran dimana siswa mencari jawaban terhadap pertanyaan yang
riil, membuat penemuan autonomous (bebas), dan menjadi pencetus
dalam belajar atas inisiatifnya sendiri.37 Penekanannya yaitu pada
proses berpikir sebagaimana penerapannya terhadap interaksi siswa
dengan isu-isu, data, topik, konsep, bahan, dan masalah. Pada metode
ini, diupayakan agar siswa berpikir divergen. Kemampuan berpikir
tersebut diperlukan untuk melakukan elaborasi pada pertanyaanpertanyaan yang diberikan kepada siswa.
Metode pendidikan yang konvensional membuat anak-anak kurang
otonom, kurang terbuka, dan kurang empiris. Metode inkuiri membuat
siswa berpikir independen dan terbuka, serta baru, pemahaman yang
lebih dalam, dan lebih kekal.
5) Pembagian Kelompok
Metode pembelajaran dengan pembagian kelompok merupakan
salah satu metode yang efektif. Dalam metode ini, para siswa bekerja
secara kelompok dan mengurangi peran guru yang terkadang terlalu
dominan dalam mengajar. Siswa dibagi dalam beberapa kelompok
sesuai dengan jumlah siswa yang ada dikelas, dengan cara ini
diharapkan siswa dapat menjadi lebih kreatif dan aktif. Metode
pembelajaran ini melibatkan dua orang peserta atau lebih untuk
berinteraksi saling bertukar pendapat atau memecahkan masalah
sehingga didapatkan kesepakatan diantara mereka.
Pembelajaran menggunakan metode ini merupakan pembelajaran
yang bersifat interaktif. Metode pembelajaran dengan pembagian
37
Sri Esti Wuryani Djiwandono, op.cit, h. 187.
28
kelompok dapat meningkatkan siswa dalam pemahaman konsep dan
keterampilan
memecahkan
masalah
dan
meningkatkan
rasa
kebersamaan diantara siswa. Metode ini sangat efektif untuk menolong
siswa mencari jawaban atas pertanyaan pertanyaan yang tidak
diketahuinya.38
Metode ini menuntut para siswa untuk memiliki kemampuan yang
baik dalam berkomunikasi maupun dalam keterampilan proses
kelompok. Karena dalam proses pembelajaran, penting bagi siswa
untuk belajar bekerja sama, saling membantu, dan menerima sudutsudut pandang yang berbeda.
6) Reinforcement (Imbalan dan Hukuman)
Masalah imbalan dan hukuman berhubungan dengan cara
menimbulkan minat anak didik terhadap proses belajar. Banyak guru
yang menggunakan hadiah atau hukuman sebagai cara untuk
mendorong anak didik untuk belajar. Alasan mereka dalam hal itu
adalah bahwa anak memerlukan rasa harga diri dan keberhasilan untuk
melanjutkan kemajuannya. Hendaknya guru mengetahui bahwa
keberhasilan anak didik dalam proses belajar itu sendiri, merupakan
imbalan, karena anak didik merasa lega dan puas terhadap dirinya, hal
itu akan membawa kepada kemajuan yang berkelanjutan.39
Jelaslah bahwa metode-metode belajar yang humanis tersebut gaya
mengajarnya didasarkan pada hubungan-hubungan interpersonal yang
ramah dan terbuka antara guru dengan para siswanya. Dengan metode
pembelajaran yang humanis ini membuat para siswa terbuka kepada guru
dalam belajar, siswa dapat mempercayai guru dan siswa akan dengan
senang meminta nasehat-nasehat kepada gurunya tanpa rasa takut dan
enggan.
38
Nina Herlina, Metode Pembelajaran Kelompok, 2013, (http://herlinanina22.blogspot.com
/2013/02/metode-pembelajaran-kelompok.html).
39
Zakiah Daradjat, op.cit, h. 24.
29
6. Pendidikan Humanis dalam Pandangan Beberapa Tokoh
a. Arthur W. Combs
Teori belajar Arthur W. Combs dikenal dengan meaning (makna atau
arti). Menurutnya, belajar terjadi bila mempunyai arti bagi individu, guru
tidak bisa memaksakan materi yang tidak disukai atau tidak relevan
dengan kehidupan siswa. Sehingga siswa belajar sesuai dengan apa yang
diinginkan tanpa adanya paksaan sedikit pun. Anak yang tidak bisa
matematika atau sejarah bukan karena bodoh tetapi karena mereka enggan
dan terpaksa dan merasa sebenarnya tidak ada alasan penting mereka harus
mempelajarinya. Perilaku buruk itu sesungguhnya tak lain hanyalah dari
ketidakmauan seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak akan
memberikan kepuasan baginya.40
Combs berpendapat bahwa seorang guru harus lebih memahami
perilaku siswa dengan mencoba memahami dunia persepsi siswa tersebut
sehingga apabila ingin merubah perilakunya, guru harus berusaha merubah
keyakinan atau pandangan siswa yang ada. Banyak guru membuat
kesalahan dengan berasumsi bahwa siswa mau belajar apabila materi
pelajarannya disusun dan disajikan sebagaimana mestinya. Padahal arti
tidaklah menyatu pada materi pelajaran itu. Sehingga yang penting ialah
bagaimana membawa diri siswa untuk memperoleh arti bagi pribadinya
dari
materi
pelajaran
tersebut
dan
menghubungkannya
dengan
kehidupannya.
Menurut Combs, dalam prakteknya teori humanistik cenderung
mengarahkan siswa untuk berpikir induktif, mementingkan pengalaman,
serta membutuhkan keterlibatan siswa secara aktif dalam proses belajar.
Pembelajaran berdasarkan teori humanistik cocok untuk diterapkan pada
materi-materi pembelajaran yang bersifat pembentukan kepribadian, hati
nurani, perubahan sikap, dan analisis terhadap fenomena sosial. Indikator
dari keberhasilan aplikasi ini adalah siswa merasa senang bergairah,
40
Dadang, Teori Belajar Humanisme Arthur W. Combs Meaning; Makalah Ilmu Pendidikan
dan Perpustakaan, 2011, 2013, (http://makalahilmupendidikandanperpustakaan.blogspot.com/
2011/07/teori-belajar-humanisme-arthur-w-combs.html).
30
berinisiatif dalam belajar dan terjadi perubahan pola pikir, perilaku dan
sikap atas kemauan sendiri.
b. Carl Rogers
Rogers adalah seorang psikolog humanis yang menekankan perlunya
sikap saling menghargai dan tanpa prasangka dalam membantu individu
mengatasi
masalah-masalah
terpenting
dalam
proses
kehidupannya.
pembelajaran
Menurut
adalah
Rogers
yang
pentingnya
guru
memperhatikan prinsip pendidikan dan pembelajaran. Tujuan pendidikan
adalah dan haruslah dapat membuat siswa berkembang terhadap seluruh
kemampuan yang dimilikinya. Karena dengan kemampuan itulah siswa
dapat hidup dan bertahan dalam kehidupannya—dalam dunia yang cepat
berubah, yang ditandai dengan ketegangan antara ras, bangsa dan
kelompok lain. Orang yang benar-benar berguna adalah orang yang dapat
dengan mudah beradaptasi dan memahami bagaimana caranya memahami
segala sesuatu.41
Menurut Rogers yang terpenting dalam proses pembelajaran adalah
pentingnya guru memperhatikan prinsip pendidikan dan pembelajaran.
Dari bukunya Freedom To Learn, ia menunjukkan sejumlah prinsipprinsip dasar humanistik yang penting diantaranya ialah :
1) Manusia itu mempunyai kemampuan belajar secara alami.
2) Belajar yang signifikan terjadi apabila materi pelajaran dirasakan
murid mempunyai relevansi dengan maksud-maksud sendiri.
3) Belajar yang menyangkut perubahan di dalam persepsi mengenai
dirinya sendiri diangap mengancam dan cenderung untuk ditolaknya.
4) Tugas-tugas belajar yang mengancam diri ialah lebih mudah dirasakan
dan diasimilasikan apabila ancaman-ancaman dari luar itu semakin
kecil.
5) Apabila ancaman terhadap diri siswa rendah, pengalaman dapat
diperoleh dengan berbagai cara yang berbeda-beda dan terjadilah
proses belajar.
41
Carl Rogers, op. cit, h. 44.
31
6) Belajar yang bermakna diperoleh siswa dengan melakukannya.
7) Belajar diperlancar bilamana siswa dilibatkan dalam proses belajar
dan ikut bertanggungjawab terhadap proses belajar itu.
8) Belajar inisiatif sendiri yang melibatkan pribadi siswa seutuhnya, baik
perasaan maupun intelek, merupakan cara yang dapat memberikan
hasil yang mendalam dan lestari.
9) Kepercayaan terhadap diri sendiri, kemerdekaan, kreativitas, lebih
mudah dicapai terutama jika siswa dibiasakan untuk mawas diri dan
mengkritik dirinya sendiri dan penilaian dari orang lain merupakan
cara kedua yang penting.
10) Belajar yang paling berguna secara sosial di dalam dunia modern ini
adalah belajar mengenai proses belajar, suatu keterbukaan yang terus
menerus terhadap pengalaman dan penyatuannya ke dalam diri sendiri
mengenai proses perubahan itu.
c. Abdul Munir Mulkhan
Konsep pendidikan humanis Abdul Munir Mulkhan mencakup tiga
pembahasan, yaitu hakikat manusia, hakikat pendidikan humanis, dan
ranah pendidikan humanis. Dalam pandangan Mulkhan, manusia
merupakan makhluk yang unik, keunikan manusia terletak di dalam
kemampuannya memproduksi kebudayaan. Hakikat pendidikan humanis
dimaknai sebagai proses peneguhan keunikan manusia, proses akumulasi
pengalaman dan proses penyadaran, karenanya praktik pendidikan harus
didasari konsep kebermaknaan manusia secara unik. Ranah pendidikan
humanis menurut Mulkhan mencakup aspek kebijakan dan strategi
pendidikan, otonomi pendidikan, peran dan orientasi pendidikan, fungsi
sekolah dan lingkungan, tugas dan tanggung jawab pendidik, dan metode
pembelajaran garden learning dan natural learning.
d. Ki Hajar Dewantara
Ki Hajar Dewantara melihat manusia lebih pada sisi kehidupan
psikologisnya. Menurutnya manusia memiliki daya jiwa yaitu cipta, rasa
dan karsa. Pengembangan manusia seutuhnya menuntut pengembangan
32
semua
daya
secara
seimbang.
Pengembangan
yang
terlalu
menitikberatkan pada satu daya saja akan menghasilkan ketidakutuhan
perkembangan sebagai manusia. Beliau mengatakan bahwa pendidikan
yang menekankan pada aspek intelektual belaka hanya akan menjauhkan
peserta didik dari masyarakatnya. Dari titik pandang sosio-antropologis,
kekhasan manusia yang membedakannya dengan makhluk lain adalah
bahwa manusia itu berbudaya, sedangkan makhluk lainnya tidak
berbudaya. Maka salah satu cara yang efektif untuk menjadikan manusia
lebih manusiawi adalah dengan mengembangkan kebudayaannya.
Ki Hajar Dewantara membedakan antara sistem pengajaran dan
pendidikan. Mendidik dalam arti yang sesungguhnya adalah proses
memanusiakan manusia (humanisasi), yakni pengangkatan manusia ke
taraf insani. Pendidikan adalah segala pemeliharaan lahir dan batin
terhadap anak-anak untuk dapat memajukan kehidupan lahir atau jasmani
dan batin atau rohani. Di dalam mendidik ada pembelajaran yang
merupakan komunikasi eksistensi manusiawi yang otentik kepada
manusia, untuk dimiliki, dilanjutkan dan disempurnakan. Ajaran
kepemimpinan Ki Hajar Dewantara yang sangat popular di kalangan
masyarakat adalah Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso,
Tut Wuri Handayani.
e. Abraham Maslow
Maslow membagi kebutuhan-kebutuhan (needs) manusia menjadi
tujuh hierarki. Bila seseorang telah dapat memenuhi kebutuhan pertama,
seperti kebutuhan fisiologis, barulah ia dapat menginginkan kebutuhan
yang terletak di atasnya. Satu konsep yang diperkenalkan Maslow adalah
perbedaan antara deficiency needs dan growth needs. Deficiency needs
(rasa aman, cinta dan harga diri) adalah menyangkut fisik dan psikis.
Kebutuhan ini harus dipuaskan, tetapi sekali dipuaskan, motivasi
seseorang untuk kebutuhan ini hilang. Sebaliknya, growth needs seperti
kebutuhan untuk ingin tahu dan mengerti, kebutuhan untuk keindahan dan
kebutuhan aktualisasi diri tidak pernah dipuaskan seluruhnya.42
42
Sri Esti Wuryani Djiwandono, op. cit, h. 345.
33
Self actualization menurut istilah Maslow ialah pemenuhan dirinya
sendiri dan realisasi dari potensi pribadi. Aktualisasi diri (self
actualization) didefinisikan sebagai keinginan untuk menjadi apapun yang
ingin dia lakukan. Maslow menempatkan self actualization paling atas dari
hierarki kebutuhan manusia.
Hierarki kebutuhan manusia menurut Maslow ini mempunyai
implikasi yang penting yang harus diperhatikan oleh guru pada waktu ia
mengajar anak-anak. Di sekolah, deficiency needs yang paling penting
adalah kebutuhan siswa untuk dicintai dan dihargai. Jika siswa merasa
tidak dicintai dan dihargai dan dianggap tidak mampu, mereka tidak
mempunyai motivasi kuat untuk mencapai tujuan growth needs, seperti
ingin mencari pengetahuan lebih lanjut untuk dirinya sendiri, atau kreatif
dan terbuka untuk ide-ide baru dari orang lain. Seorang guru yang dapat
membuat siswa merasa senang, merasa diterima, dihargai sebagai individu
dan dicintai, mungkin akan membuat mereka ingin belajar dan kreatif
terhadap ide-ide baru.43
B. Hadits
1. Pengertian Hadits
Secara etimologi hadits adalah kata benda (isim) dari kata al-Tahdits yang
diartikan al-Ikhbar, yakni pemberitaan, kemudian menjadi termin nama suatu
perkataan, perbuatan, dan persetujuan yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad saw. Pemberitaan yang merupakan makna dari kata hadits sudah
dikenal orang Arab sejak Jahiliyah yaitu untuk menunjuk “hari-hari yang
popular” dengan nama al-Ahadits.44 Demikian juga kata Hadits juga berasal
dari akar kata:
Yang memiliki beberapa makna, diantaranya:
43
Ibid., h. 348.
Majid Khon, dkk., Ulumul Hadits, (Jakarta: Pusat Studi Wanita UIN Syarif Hidayatullah,
2005), h. 2.
44
34
a. Al-Jadid (baru), antonim dari kata al-Qodim, yakni terdahulu. Barangkali
makna etimologi ini mempunyai konteks teologis, bahwa segala kalam
selain kalam Allah bersifat Hadits (baru), sedangkan kalam Allah bersifat
Qadim (terdahulu).
b. Al-Qarib (dekat) atau dalam waktu dekat belum lama misalnya:
(baru masuk Islam).
c. Al-Khabar (berita), oleh karena itu ungkapan pemberitaan hadits selalu
menggunakan ungkapan
(memberitakan kepada kami,
mengabarkan kepada kami, dan menceritakan kepada kami).
Dari segi terminologi, hadits menurut muhadditsin adalah:
“Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi baik berupa perkataan atau
perbuatan atau persetujuan dan atau sifat.”45
Berdasarkan definisi tersebut, dapat dikatakan bahwa hadits merupakan
sumber berita yang diperoleh dan datang dari Nabi Muhammad saw dalam
segala bentuk baik berupa perkataan, perbuatan, sikap persetujuan, dan sifatsifatnya baik sifat fisik (khalqiyah) dan sifat perangai (khuluqiyah), baik
berkaitan dengan hukum atau tidak. Hadits merupakan jalan atau cara yang
pernah dicontohkan Nabi Muhammad saw dalam perjalanan kehidupannya
melaksanakan dakwah Islam. Contoh yang diberikan beliau dapat dibagi
kepada tiga bagian.
a. Hadits Qauli (perkataan), misalnya sabda Nabi di berbagai tempat dan
penjelasan Nabi tentang hukum-hukum Islam, seperti sabda beliau:
“Sesungguhnya sahnya amal tergantung niat…” (H.R. Bukhari dan
Muslim).
b. Hadits Fi‟li (perbuatan), yaitu perbuatan Nabi yang diriwayatkan oleh para
sahabat seperti wudhu, shalat, dan ibadah Nabi saw.
45
Ibid, h. 3.
35
c. Hadits Taqriri (persetujuan), yaitu perbuatan atau perkataan para sahabat
yang disetujui Nabi baik beliau diam ketika mengetahuinya (tanda setuju)
atau menggaris bawahinya.
d. Hadits Washfi (sifat), sifat Nabi adakalanya sifat fisik (khalqiyah) dan sifat
perangai (khuluqiyah).
Ulama al-Syafi‟iyah memasukkan bagian dari Sunnah apa yang dicitacitakan Rasul saw (sunnah hammiyah) sekalipun baru rencana dan belum
dilakukannya, karena beliau tidak merencanakan sesuatu kecuali yang benar
dan dicintai dalam agama, dituntut dalam syari‟at Islam, dan beliau diutus
untuk menjelaskan syariat Islam. Seperti cita-cita beliau berpuasa tanggal 8
Dzulhijjah.
Kesemua contoh yang telah ditunjukkan Nabi merupakan acuan dan
sumber yang dapat digunakan umat Islam dalam seluruh aktifitas
kehidupannya. Hal ini disebabkan, meskipun secara umum bagian terbesar
dari syari‟ah Islam telah terkandung dalam Al-Qur‟an, namun muatan hukum
yang terkandung belum mengatur berbagai dimensi aktivitas kehidupan
ummat secara terperinci dan analitis.
Untuk itu diperlukan keberadaan hadits Nabi sebagai penjelas dan
penguat hukum-hukum dalam Al-Qur‟an sekaligus sebagai pedoman bagi
kemaslahatan hidup manusia dalam semua aspeknya. Dari sini dapat dilihat
bagaimana posisi dan fungsi hadits Nabi sebagai sumber pendidikan Islam
yang utama setelah Al-Qur‟an.46
2. Kedudukan dan Fungsi Hadits
a. Kedudukan Hadits
Dalam Islam, hadits mendapatkan peranan yang terpenting kedua setelah
Al-Quran. Kedudukannya sendiri, sebagaimana dijelaskan oleh Dr. H. Abdul
Majid Khon dalam bukunya Ulumul Hadits, adalah sebagai sumber hukum
Islam.47 Dan hal ini merupakan hasil konsensus para ulama. Dari segi urutan
46
Samsul Nizar, Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2001), h. 97-98
47
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, (Jakarta: Amzah, 2008), cet. I, h. 22.
36
tingkatan dasar Islam ini hadits menjadi dasar hukum Islam (Tasyri‟iyyah)
kedua setelah al-Quran.
Uraian-uraian di bawah ini merupakan paparan tentang kedudukan
hadits sebagai sumber hukum Islam dengan melihat beberapa dalil,48
diantaranya yaitu:
1) Dalil al-Quran dalam surat Ali „Imran ayat: 179
              
             
         
“Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman
dalam keadaan kamu sekarang ini, sehingga dia menyisihkan yang
buruk (munafik) dari yang baik (mukmin). Dan Allah sekali-kali tidak
akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang ghaib, akan tetapi
Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara rasul-rasul-Nya.
Karena itu berimanlah kepada Allah dan rasul-rasul-Nya; dan jika
kamu beriman dan bertakwa, maka bagimu pahala yang besar.”49
Melalui ayat ini Allah memberikan gambaran adanya pemisahan antara
orang-orang yang munafik dan orang-orang yang beriman. Oleh karena itu,
adanya tuntutan khusus bagi orang mukmin untuk taat dan patuh kepada Allah
dan Rasul-Nya.50
2) Dalil Hadits
Sabda Rasul :
“Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian yang kalian tidak akan
tersesat selagi berpegang teguh pada keduanya, yaitu berupa kitab
Allah dan Sunnah Rasul-Nya.”
48
Munzier Suparta, Ilmu Hadits, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), h. 49.
Ibid, h. 50.
50
Ibid, ….
51
Imam Malik, Muwattha, Bab an-Nahyu „anil Qauly bil Qadari, (Jakarta: Pustaka Azzam,
2010), juz 5, no. 3338, h. 1323.
49
37
b. Fungsi Hadits
Adapun hadits berfungsi sebagai berikut:
1) Memberi bayan (penjelasan)
Penjelas terhadap al-Quran. Untuk menjelaskan makna kandungan alQuran yang sangat dalam dan global atau lil al-Bayan (menjelaskan)
sebagaimana tertuang dalam surat an-Nahl ayat 44:
          
 
“Dan kami turunkan kepadamu al-Quran agar kamu menerangkan
pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan
supaya mereka memikirkan.”
2) Takhsis (pengecualian)
Sunnah memberikan pengecualian terhadap yang „am dalam Al-Quran.
Seperti pada firman Allah yang artinya, “Diajarkan kepadamu bahwa
warisan anak laki-laki dua kali bagian anak perempuan”. Ayat
tersebut memberikan „am. Artinya dalam keadaan bagaimanapun
bagian warisan tersebut satu berbanding dua. Kemudian, terdapat
pengecualian, sunnah yang men-takhsis (mengecualikannya), kecuali
ahli waris yang membunuh terwaris, atau berbeda agama.
3) Taqyid (pembatasan)
Sunnah memberikan pembatasan terhadap kemutlakan pesan al-Quran.
Kata „tangan‟ dalam ayat “Pencuri laki-laki dan perempuan hendaklah
kamu potong tangan mereka” adalah mutlak. Yang disebut tangan
adalah sejak dari jari-jari sampai dengan pangkal lengan. Kemudian
terdapat sunnah yang membatasi potong tangan itu pada pergelangan,
bukan pada siku atau pangkal lengan.
4) Menguatkan
Apa yang terkandung dalam sunnah menguatkan kandungan al-Quran.
Seperti sunnah-sunnah yang isinya mewajibkan shalat, haji, puasa,
zakat, menguatkan kandungan al-Quran dalam maksud yang sama.
38
5) Menetapkan hukum baru
Di dalam sunnah terdapat ketentuan agama yang tidak diatur dalam alQuran. Artinya, Nabi diberikan legitimasi oleh Allah untuk mengambil
kebijakan, ada yang berupa penjelasan terhadap kandungan al-Quran
dan dalam hal-hal tertentu Nabi membuat ketetapan khusus sebagai
wujud penjelasan hal yang tidak tertuang eksplisit dalam al-Quran.
3. Biografi Imam Al-Bukhari
Nama lengkap Imam Al-Bukhari adalah Abu Abdillah Muhammad Ibn
Ismail Ibn Ibrahim Ibn al-Mughirah Ibn Bardizbah al-Ja‟fi al-Bukhari.
Dilahirkan hari Jum‟at 13 Syawal 194 H/810 M di kota Bukhara. Ayah Imam
Bukhari bernama Ismail bin Ibrahim yang mempunyai nama panggilan Abul
Hasan. Ismail bin Ibrahim adalah salah seorang ulama besar dalam bidang
hadits.52
Pada usianya yang masih relatif muda Bukhari sudah mampu menghafal
tulisan beberapa ulama hadits yang ada di negerinya. Masih pada usia relatif
muda pula ia pergi ke Mekkah bersama ibu dan saudaranya untuk melakukan
ibadah haji pada tahun 210 H. Selanjutnya tinggal di Madinah dan menulis
kitab sejarah yang terkenal Tarikh al-Kabir, di samping makam Nabi
Muhammad saw.
Al-Bukhari tergolong orang yang memiliki sifat penyabar dan memiliki
kecerdasan yang jarang dimiliki oleh orang lain. Kecerdasan dan ketekunan
dalam mempelajari hadits-hadits itulah kemudian ia diberi gelar Amir alMukminin fi al-Hadits, suatu gelar kehormatan yang diberikan kepadanya dari
ulama-ulama hadits pada zamannya. Di samping sifat penyabar dan
kecerdasan itu, ia juga terkenal mempunyai sifat wara‟ dalam menghadapi
kehidupan, dan ahli ibadah.
Imam Bukhari belajar hadits selama enam tahun di Hijaz dan
mengembara ke Baghdad sebanyak delapan kali. Al-Dzahabi menyatakan
bahwa pertama kali Bukhari memperoleh periwayatan hadits dari luar
negerinya sendiri pada tahun 215 Hijriyah setelah mengadakan lawatannya
52
h. 467.
Syaikh Ahmad Farid, 60 Biografi Ulama Salaf, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008), cet. 3,
39
yang dimulai sejak tahun 210 Hijriyah ke berbagai wilayah negeri, kemudian
ia memulai pengembaraannya ke berbagai negeri untuk mendapatkan
periwayatan
hadits
dari
beberapa
tokoh
periwayat
setempat
yang
dikunjunginya.53
Al-Bukhari menghafal 100.000 hadits shahih, dan 200.000 hadits yang
tidak shahih, suatu kemampuan menghafal yang jarang ada tandingannya.54
Banyak ulama hadits yang merasa penasaran dengan kelebihan al-Bukhari ini.
Ketika Imam Bukhari di Baghdad, beliau pernah mendapat ujian dari para
ulama hadits. Ujian tersebut dilakukan oleh para ulama Baghdad untuk
mengetahui kemampuan Imam Bukhari dalam bidang hadits. Pengujian
terhadap kepiawaian Imam Bukhari dalam bidang hadits juga dilakukan oleh
ulama hadits setelah Imam Bukhari wafat, yaitu dengan meneliti shahih
Bukhari, baik terhadap sanad maupun matannya. Dari sekian banyak
penelitian tentang shahih Bukhari, disimpulkan bahwa hadits dalam shahih
Bukhari mayoritas berkualitas shahih.
Guru dan murid Imam Bukhari dalam bidang hadits mencapai ratusan
orang. Dari hasil penelitian, guru Imam Bukhari dalam bidang hadits sebanyak
289 orang. Informasi itu diperoleh dari jumlah guru yang riwayatnya terdapat
dalam shahih Bukhari. Di antara para guru itu adalah Maky ibn Ibrahim,
Abdullah ibn Usman al-Marwazy, Abdullah ibn Musa al-„Abbasy, Abu
„Ashim al-Syaibani dan Muhammad ibn Abdullah al-Anshari.55
Murid beliau dalam bidang hadits banyak sekali sehingga ada yang
mengatakan murid Imam Bukhari sebanyak 90.000 orang. Di antara muridnya
yang dapat disebutkan adalah Muslim al-Hajjaj, al-Turmuzi, Ibnu Khuzaimah,
Ibnu Abu Dawud, dan Muhammad ibn Yusuf al-Fiyabi. Menurut Nuruddin Itr,
penulis kutub al-sittah adalah murid Imam Bukhari kecuali al-Nasa‟i.56
Namun, pendapat tersebut dibantah oleh Muhammad Muhammad Abu
53
Badri Khaeruman, Otentisitas Hadis, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), cet.I, h. 195.
Ibid., h. 194.
55
Munzier Suparta, op.cit, h. 239.
56
Nur al-Din „Itr, Manhaj al-Naqd Fi „Ulum al-Hadits, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1994), h. 25
dalam Majid Khon, dkk., Ulumul Hadits, (Jakarta: Pusat Studi Wanita UIN Syarif Hidayatullah,
2005), h. 243.
54
40
Syuhbah, menurutnya al-Nasa‟i juga termasuk murid Imam Bukhari.57 Dilihat
dari segi tahun lahir dan wafat mereka dan tempat rihlah-nya, maka lebih
diterima pendapat terakhir.
Menurut Abdul Majid Khon, “beliau meninggal dunia pada tanggal 1
Syawal 256 H/31 Agustus 870 M pada hari jumat malam sabtu malam Hari
Raya Idul Fitri dalam usia 62 tahun kurang 13 hari di desa Khartank kota
Samarkhand.”58
4. Kitab Shahih Bukhari
Salah satu karya besar yang monumental dalam kitab hadits yang ditulis
oleh Muhammad bin Isma‟il bin Ibrahim bin al-Mughirah al-Bukhari adalah
kitab Jami‟ al-Shahih. Al-Jami‟ al-Musnad ash-Shahih al-Mukhtasar min
Umuri Rasulillah Shallallahu „Alaihi wa Sallam wa Sunanihi wa Ayyamihi
atau yang lebih dikenal dengan sebutan Shahih al-Bukhari ini, merupakan
kitab hadits yang telah disusun oleh al-Bukhari dalam kurun waktu 16 tahun.
Shahih Bukhari, adalah permulaan kitab yang disusun dalam bidang
hadits saja. Hadits-hadits kitab al-Bukhari sebagaimana yang dikatakan oleh
Ibnu Hajar di dalam Muqaddimah Fath al-Bari sebanyak 7.397 buah hadits
dengan berulang-ulang, selain dari yang mu‟allaq, yang mutabi‟, dan mauquf,
dan tanpa berulang-ulang dari matan-matan yang maushul sebanyak 2.602
hadits.59
Latar belakang penulisan kitab Shahih-nya berawal dari pernyataan
gurunya Ishaq Ibn Rahawaih kepada murid-muridnya, yang menginginkan
untuk mengumpulkan hadits-hadits Nabi yang shahih dalam satu kitab secara
khusus, karena pada waktu itu hadits shahih, hadits hasan maupun hadits dhaif
masih bercampur dalam satu kitab. Selain itu penulisan kitab shahih Bukhari
tersebut di latar belakangi oleh mimpi Imam Bukhari. Ia bermimpi berjumpa
dengan Nabi Muhammad saw seolah-olah ia berada di depan beliau sambil
57
Muhammad Muhammad Abu Syubhah, op.cit., h, 243.
Abdul Majid Khon, op.cit, h. 259.
59
Ibnu Ahmad „Alimi, Tokoh dan Ulama Hadis, (Sidoaro: Mashun, 2008), h. 186.
58
41
menjaga beliau dari gangguan. Mimpi itulah yang kemudian menjadikan
Imam Bukhari memantapkan hati menulis kitab terkenal tersebut.60
Dalam memasukkan hadits ke dalam kitabnya, al-Bukhari sangat hatihati. Ia tidak akan memasukkan satu hadits pun ke dalam kitab itu sebelum ia
shalat istikharah dua rakaat dan setelah itu ia betul-betul yakin bahwa hadits
itu sahih.
Abdul Majid Khon, dalam Ulumul Hadits memaparkan keistimewaan
kitab al-Bukhari yang diungkapkan oleh para ulama, diantaranya:
a. At-Tirmidzi berkata:
“Aku tidak melihat dalam ilmu „ilal (cacat yang tersembunyi dalam
hadits) dan para tokoh hadits seorang yang lebih mengetahui dari alBukhari.”
b. Ibn Khuzaimah berkata:
“Aku tidak melihat di bawah kolong langit seorang yang lebih
mengetahui hadits Rasulullah saw dan yang lebih hafal daripada
Muhammad ibn Ismail al-Bukhari.”
c. Al-Hafizh adz-Dzahabi berkata:
“Dia adalah kitab Islam yang paling agung setelah kitab Allah swt.”61
Setelah selesai menulis kitab shahihnya, al-Bukhari memperlihatkannya
kepada Ahmad Ibn Hanbal, Ibn Ma‟in, Ibn al-Madini, dan lain-lain dari
kalangan ulama-ulama hadits. Mereka semuanya menilai bahwa hadits-hadits
yang terdapat di dalamnya kualitasnya tidak diragukan, kecuali 4 buah hadits
saja dari sekian banyak hadits itu yang memerlukan peninjauan ulang untuk
dikatakan sebagai hadits shahih.62
60
Ibid., h. 181.
Abdul Majid Khon, loc.cit, h. 259.
62
Badri Khaeruman, op.cit., h. 199.
61
42
Mengenai kitab al-Jami‟ al-shahih ini beberapa tokoh memberikan
kritiknya antara lain terhadap para perawi (rijal) al-Bukhari yang didha‟ifkan
oleh tidak kurang 80 ulama. Tetapi kebanyakan dari mereka adalah guru-guru
dan murid-murid al-Bukhari sendiri yang bertemu dan berbicara dengan
mereka. Hal ini menunjukkan bahwa kritik ini sesungguhnya telah dijawab
oleh
al-Bukhari
dengan
menunjukkan
argumentasi
yang kuat,
dan
kenyataannya kitab ini telah disepakati jumhur ulama sebagai kitab lebih
shahih setelah al-Quran.
Para ulama telah memperhatikan kitab al-Bukhari sehingga syarh-nya
sampai 82 buah kitab. Yang terkenal diantaranya; al-Tankih ditulis oleh
Badruddin al-Zarkasyi (794 H), Umdat al-Qari‟ ditulis oleh al-Aini al-Hanafi
(855), al-Tausyih ditulis oleh Jalal al-Din al-Suyuthi (911 H), dan Fath al-Bari
ditulis oleh Ibnu Hajar (852 H). Kitab terakhir ini yang paling lengkap dan
terkenal.63
C. Hasil Penelitian yang Relevan
Beberapa tulisan terkait penelitian ini antara lain sebagai berikut:
1. Skripsi berjudul Kedudukan Peserta Didik dalam Perspektif Hadits
(Shahih Bukhari) ditulis oleh Ahmad Zubair, jurusan Pendidikan Agama
Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Tahun 2012. Skripsi ini
menjelaskan kedudukan peserta didik sebagaimana dijelaskan dalam
hadits-hadits Rasulullah saw begitu mulia, dan hal itu hanya dapat
diperoleh oleh peserta didik yang kompeten dan professional. Kedudukan
peserta didik dalam hadits yaitu sebagai penerang ummat, sebagai
pengemban amanah, pemberi harapan yang sempurna, dan penentu hari
kiamat. Diantara sifat-sifat peserta didik dalam hadits yaitu faqih, menjaga
ilmu serta disiplin waktu.
2. Skripsi yang ditulis oleh Ika Nursyifa dengan judul Kompetensi Pedagogik
Guru dalam Perspektif Hadits (Shahih Muslim) jurusan Pendidikan Agama
Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Tahun 2012. Dijelaskan
63
Ibid, h. 199.
43
dalam skripsi ini bahwa seorang guru harus memiliki kompetensi
pedagogik yang berupa kompetensi mengidentifikasi bahan ajar,
kompetensi menentukan strategi dan metode pembelajaran, kompetensi
memotivasi
peserta
didik,
dan
kompetensi
melakukan
evaluasi
pembelajaran.
3. Skripsi berjudul Konsep Pendidikan Humanistik dan Pengembangannya
dalam Proses Pendidikan Islam oleh Mushlihin, jurusan Pendidikan
Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Tahun 2004. Proses
pendidikan humanistik dalam Islam adalah suatu proses memanusiakan
manusia yang sejalan dengan citra dan hakikatnya sebagai makhluk Tuhan
yang penuh potensi, tertinggi, mulia, independen, sadar, menyadari diri,
kreatif, dan bermoral.
Cara mengembangkan konsep pendidikan
humanistik dalam proses pendidikan Islam adalah dengan menerapkan
nilai-nilai/prinsip-prinsip pendidikan humanistik dalam proses pendidikan
Islam.
4. Tesis berjudul Konsep Pendidikan Humanis dalam Perspektif al-Quran
oleh M. Mukhlis Fahruddin (PPs UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008).
Dijelaskan bahwa Islam sebagai agama kemanusiaan yang berjiwa tauhid,
memandang pendidikan humanis sebagai bentuk upaya mengangkat
derajat manusia kembali ke fitrahnya, sebagai makhluk yang mulia dan
bermartabat, mempunyai potensi fitrah yang cenderung pada kebenaran,
bebas, merdeka dan sadar akan eksistensinya. Konsepsi tauhid
sesungguhnya adalah konsepsi tentang prinsip-prinsip atau nilai-nilai luhur
yang menjaga kehidupan manusia, sehingga terbentuk pribadi-pribadi
yang berakhlak mulia, mempunyai sikap komitmen pada kebenaran, cinta
dan kasih sayang sesama, yang termanifestasikan dalam hidup sehari-hari,
terlebih di dalam proses pendidikan.
Pembicaraan mengenai humanisme seringkali dilakukan oleh para
pakar pendidikan. Namun dari paparan di atas, belum ada tulisan atau karya
ilmiah yang membahas secara spesifik mengenai pendidikan humanisme
dalam perspektif hadits, maka dari itu, penulis tertarik untuk mengetahui
konsep pendidikan humanis menurut perspektif hadits.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian adalah proses yang digunakan untuk mengumpulkan dan
menganalisis informasi guna meningkatkan pemahaman pada suatu topik.
Penelitian menjadi penting karena beberapa alasan, diantaranya penelitian dapat
menambah pengetahuan, yaitu penelitian berguna untuk memberikan kontribusi
pada informasi yang ada mengenai suatu permasalahan. Penelitian juga
meningkatkan praktik, karena penelitian memberikan ide-ide baru sebagai bahan
pertimbangan
saat
menginformasikan
menjalankan
perdebatan
pekerjaan.
kebijakan,
Terakhir,
karena
penelitian
penelitian
dapat
memberikan
percakapan mengenai isu-isu penting ketika pembuat kebijakan melakukan
perdebatan pada suatu topik kebijakan.
Pada bab ini akan dijelaskan secara rinci mengenai metode penelitian yang
digunakan dalam skripsi ini, metode penelitian tersebut adalah meliputi waktu
penelitian, jenis penelitian, sumber data, metode pengumpulan data, teknik
analisis data, dan teknik penulisan yang akan diuraikan sebagai berikut:
A. Waktu Penelitian
Penelitian yang berjudul “Konsep Pendidikan Humanis dalam Perspektif
Hadits” ini dilaksanakan dalam waktu beberapa bulan, dengan pengaturan waktu
sebagai berikut: bulan Agustus 2013 sampai bulan September 2013 digunakan
untuk pengumpulan data mengenai sumber-sumber tertulis yang diperoleh dari
textbook yang ada di perpustakaan, serta sumber lain yang mendukung penelitian,
terutama yang berkaitan dengan hadits-hadits tentang pendidik dan metode
pembelajaran yang humanis dari berbagai sumber sebagai sumber primer. Bulan
Oktober 2013 sampai November 2013 analisis seluruh data yang telah terkumpul.
B. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang menekankan analisis
proses dari proses berpikir secara induktif yang berkaitan dengan dinamika
hubungan antar fenomena yang diamati, dan senantiasa menggunakan logika
44
45
ilmiah.1 Penelitian kualitatif mengutamakan makna. Makna yang diungkap
berkisar pada persepsi orang mengenai suatu peristiwa. Penelitian kualitatif
dimaksud sebagai jenis penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh
melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya. Penelitian kualitatif
dilakukan dalam situasi yang wajar (natural setting). Alat pengumpul data atau
instrumen penelitian dalam metode kualitatif adalah penulis sendiri. Jadi penulis
merupakan key instrument.
Karena skripsi ini mengkaji sumber data dari materi atau literatur yang
relevan dengan judul skripsi yang terdapat dalam sumber-sumber pustaka, maka
skripsi ini secara khusus bertujuan mengumpulkan data atau informasi dengan
bantuan bermacam-macam material yang terdapat di ruang perpustakaan, baik itu
berupa buku, majalah ataupun surat kabar yang ada kaitannya dengan skripsi ini
dengan cara menelaah dan menganalisa sumber-sumber tersebut dan mencatat
hasilnya untuk kemudian dikualifikasikan menurut kerangka yang sudah
ditentukan.
C. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif
kebanyakan diperoleh dari sumber manusia (human resources), melalui observasi
dan wawancara. Akan tetapi ada juga sumber bukan manusia (non human
resources) diantaranya dokumen, foto, dan bahan statistik.2 Sumber data dalam
skripsi ini adalah dokumen atau literatur yang berupa karya ilmiah baik buku,
makalah, artikel, dan lain-lain yang relevan dengan pembahasan permasalahan.
Sumber data tersebut dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu sumber primer
dan sumber sekunder.
1. Sumber Primer
Sumber data primer adalah sumber data utama dari berbagai referensi atau
sumber-sumber yang memberikan data langsung dari tangan pertama.3
Adapun yang menjadi sumber data primer dalam penelitian ini adalah kitab
hadits Shahih Bukhari, buku pendidikan humanis, dan buku hadits tarbawi.
1
Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Bumi Aksara, 2013), cet. I, h. 80.
Ibid, h. 179.
3
Saefudin Azwar, Metode Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h. 89.
2
46
2. Sumber Sekunder
Sumber data sekunder adalah sumber data yang diperoleh dari sumbersumber lain yang masih berkaitan dengan masalah penelitian dan memberi
interpretasi terhadap sumber primer.4 Adapun data sekunder dalam penelitian
ini adalah buku-buku pendidikan, artikel-artikel, majalah dan sebagainya yang
relevan dengan pembahasan skripsi ini.
D. Metode Pengumpulan Data
Metode yang penulis gunakan dalam pengumpulan data adalah metode
dokumentasi. Yang dimaksud dengan metode dokumentasi yaitu mencari data
mengenai hal-hal atau variabel berupa buku-buku, jurnal, surat kabar, majalah,
dan lain sebagainya yang representatif, relevan dan mendukung terhadap objek
kajian sehingga diperoleh jawaban yang dapat dipertanggungjawabkan dari
permasalahan yang telah dirumuskan. Dokumen yang telah diperoleh kemudian
dianalisis (diurai), dibandingkan dan dipadukan (sintesis) membentuk satu hasil
kajian yang sistematis, padu dan utuh.
E. Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan bagian yang sangat penting dalam penelitian karena
dari analisis ini akan diperoleh temuan, baik temuan substantif maupun formal.
Pada hakikatnya, analisis data adalah sebuah kegiatan untuk mengatur,
mengurutkan, mengelompokkan, memberi kode/tanda, dan mengategorikannya
sehingga diperoleh suatu temuan berdasarkan fokus atau masalah yang ingin
dijawab.
Sesuai dengan jenis serta sifat data yang diperoleh dalam penelitian ini, maka
teknik analisis data yang digunakan adalah content analysis atau analisis isi yang
lebih mengarah kepada kajian pustaka. Di samping itu, dengan cara ini dapat
dibandingkan antara satu buku dengan buku yang lain dalam bidang yang sama,
baik berdasarkan perbedaan waktu, penulisannya maupun mengenai standar
kualitas buku-buku tersebut dalam mencapai sasarannya sebagai bahan yang
disajikan kepada masyarakat atau kelompok masyarakat tertentu.
4
Ibid, h. 91.
47
Kajian isi (content analysis document) menurut Weber dalam buku Metode
Penelitian Kualitatif karya Imam Gunawan adalah “metodologi penelitian yang
memanfaatkan seperangkat prosedur untuk menarik kesimpulan yang sahih dari
sebuah buku atau dokumen.”5
Teknik analisis data yang penulis lakukan dalam penelitian ini yaitu dengan
langkah-langkah sebagai berikut:
1. Pengumpulan data, yakni membuat catatan data yang dikumpulkan melalui
studi dokumentasi yang dilakukan terhadap buku-buku mengenai pendidikan
humanis dan kitab Shahih Bukhari.
2. Reduksi data, yaitu merangkum, menyeleksi, memfokuskan pada hal-hal
penting, dan mencari tema dan polanya, sehingga dengan direduksinya data
tersebut dapat memudahkan dalam melakukan pengumpulan data. Dalam
proses reduksi data ini, penulis mengumpulkan data atau hadits yang terdapat
dalam kitab hadits shahih Bukhari, buku pendidikan humanis dan hadits
tarbawi. Setelah itu penulis membaca dan memilah-milah hadits yang
dipandang perlu dan cocok dan terkait dengan pendidik dan metode
pembelajaran yang dinilai humanis.
3. Penyajian data. Setelah membaca dan memilah-milah hadits, langkah
selanjutnya yang penulis lakukan adalah mengolah data-data dan hadits-hadits
tersebut untuk kemudian disajikan secara sistematis. Bentuk penyajian data
yaitu dengan teks naratif dan deskriptif, dengan langkah-langkah sebagai
berikut:
a. Menerjemahkan hadits-hadits ke dalam Bahasa Indonesia
b. Mengulas isi hadits melalui sudut pandang sejarah, kemunculan hadits
dengan realita kehidupan masa kini, dan tentunya dikaitkan dengan
perspektif pendidikan modern.
Seluruh data yang terkumpul dianalisis dengan tetap mempertahankan
keaslian teks yang memaknainya. Yang menjadi fokus utama dalam
penelitian skripsi ini adalah pembentukan teori dalam kajian ini, sedapat
mungkin oleh penulis akan didasarkan kepada data yang ditemukan dari
hadits-hadits tersebut.
5
Imam Gunawan, op. cit., h. 181.
48
4. Penarikan kesimpulan. Setelah data yang terkumpul di reduksi dan selanjutnya
disajikan, maka langkah yang terakhir dalam menganalisis data penelitian ini
adalah penarikan kesimpulan atau verifikasi. Dari data yang diperoleh penulis
mencoba untuk mengambil kesimpulan, dan kesimpulan tersebut mula-mula
masih sangat kabur dan perlu dikaji ulang. Akan tetapi, dengan bertambahnya
data melalui verifikasi, maka kemudian penulis memperoleh kesimpulan yang
jelas.
F. Pedoman Penulisan
Secara teknis, penelitian ini disandarkan pada Pedoman Penulisan Skripsi
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2013.
BAB IV
ANALISIS HADITS TENTANG PENDIDIK DAN METODE
PEMBELAJARAN YANG HUMANIS
A. Pendidik yang Humanis
1. Mendidik Tidak Setiap Waktu Agar Murid Tidak Bosan
a. Hadits dan Terjemahannya
1
―Muhammad ibn Yusuf menceritakan kepada kami, ia berkata,
mengabarkan kepada kami Sufyan dari A‘masy dari Abi Wail dari Ibnu
Mas‘ud, bahwa Nabi saw selalu memilih waktu yang tepat bagi kami
untuk memberikan nasihat, karena beliau takut kami akan merasa
bosan.‖2
b. Pemahaman Hadits
Dalam hadits tersebut, Rasulullah selalu memperhatikan aspek
waktu dalam memberikan nasihat kepada para sahabatnya. Rasulullah
saw menetapkan jadwal hari-hari tertentu untuk belajar mengaji dan
memberikan peringatan. Dalam hal ini Al-Bukhari membuat judul di
dalam Shahih-nya: Bab Nabi saw membuat sela-sela dalam ceramah
dan ilmu para sahabat agar mereka tidak lari.
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata di dalam Fathul Bari, “pelajaran
yang dapat diambil dari hadits tersebut adalah anjuran meninggalkan
rutinitas beraktivitas secara sungguh-sungguh, demi menghindari
bosan walaupun rutinitas itu ditekankan.”3
Dari hadits Nabi tersebut terkandung pengertian bahwa dalam
memberikan pengajaran, seorang guru harus mengetahui keadaan1
Imam Abu Abdillah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim Ibn al-Mughirah Ibn Bardizbah alJa‟fi al-Bukhari, Shahih Bukhari, (Daar al-Fikr), juz. I, no. 11, h. 27.
2
Imam Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Baari Syarah: Shahih Al Bukhari, Terj.
dari Fathul Baari Syarah Shahih Al Bukhari oleh Ghazirah Abdi Ummah, (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2002), h. 307.
3
Imam Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani, op.cit, h. 308.
49
50
keadaan yang baik untuk belajar dan tidak memaksakan siswa dalam
proses belajar. Dalam belajar, tidak baik dilaksanakan secara terus
menerus karena dikhawatirkan siswa akan merasa bosan. Melakukan
hal yang sama secara terus menerus bisa menimbulkan kejenuhan dan
menurunkan semangat belajar. Siswa yang bosan cenderung akan
mengganggu proses belajar. Apabila siswa telah merasa bosan, maka ia
akan malas dan enggan untuk belajar kembali.
Meskipun ketekunan atau kontinuitas sangat diharapkan dalam
belajar, akan tetapi hal itu dapat dilakukan dengan beberapa cara,
misalnya belajar boleh dilaksanakan setiap hari dengan syarat tidak
membebani, atau tidak dilakukan setiap hari dengan tujuan siswa
penuh semangat pada hari yang lain. Belajar harus dapat disesuaikan
dengan kondisi masing-masing individu.
Menurut Ngalim Purwanto, “belajar yang terus menerus dalam
jangka waktu yang lama tanpa istirahat tidak efisien dan tidak efektif.
Oleh karena itu, untuk belajar yang produktif diperlukan adanya
pembagian waktu belajar.”4
Guru sebagai penentu keberhasilan proses belajar mengajar di
dalam kelas, harus selalu peka terhadap kebutuhan dan keinginan
siswa. Apabila siswa ketika belajar mulai terlihat merasa bosan, maka
guru harus segera mencari cara agar siswa tidak lagi merasa bosan.
Fadilah Suralaga mengemukakan,
Seorang siswa yang mengalami kejenuhan dalam belajar merasa
seakan-akan pengetahuan dan kecakapan yang diperoleh dari
belajar tidak ada kemajuan. Siswa yang sedang dalam kejenuhan
sistem akalnya tak dapat bekerja sebagaimana yang diharapkan
dalam proses item-item informasi atau pengalaman baru, sehingga
kemajuan belajarnya seakan-akan “jalan di tempat”. Kejenuhan
belajar dapat melanda seorang siswa yang kehilangan motivasi
dan konsolidasi salah satu tingkat kemampuan tertentu sebelum
sampai pada tingkat kemampuan berikutnya. 5
4
Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1997), h. 114.
Fadilah Suralaga, dkk., Psikologi Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Ciputat: UIN Jakarta
Press, 2005), h. 133.
5
51
Selain karena hilangnya motivasi dan konsolidasi, kejenuhan
belajar dapat terjadi karena siswa merasa bosan dan letih. Penyebab
kejenuhan yang paling umum adalah keletihan yang menyebabkan
timbulnya perasaan bosan.
Selain pada pembagian waktu belajar, fokus kedua dalam hadits
ini agar siswa tidak merasa bosan adalah pada pembelajaran yang
dilakukan di dalam kelas. Guru hendaknya memperhatikan seluruh
aspek yang digunakan dalam proses belajar mengajar. Penggunaan
cara atau metode yang “itu-itu‖ saja akan membuat siswa cepat merasa
jenuh dan bosan. Hal ini akan berdampak pada pencapaian hasil belajar
siswa yang rendah karena siswa akan merasa malas dalam belajar.
Teori Maslow dalam hal ini, jika deficiency needs siswa tidak
terpenuhi, maka mereka enggan untuk memenuhi growth needs. Jika
siswa telah merasa bosan, maka siswa akan tidak mau belajar lagi dan
tidak ada keinginan untuk memenuhi keingintahuannya terhadap
materi pelajaran selanjutnya. Maka rasa bosan dalam belajar akan
berimplikasi tidak baik terhadap perkembangan siswa. Ketika
deficiency needs tersebut tidak terpenuhi, mereka tidak mempunyai
motivasi yang kuat untuk mencapai tujuan growth needs yaitu
mempelajari materi selanjutnya.
Teori Maslow menawarkan implikasi-implikasi tertentu untuk
mencapai kebutuhan tingkat yang lebih tinggi. Seorang siswa yang
sukses dalam menguasai pengetahuan tertentu, mungkin akan
bertambah motivasinya dan bahkan berusaha mencapai tujuan yang
lebih tinggi. Sehingga hal tersebut sangat baik dalam meningkatkan
belajar.6
Hadits ini sesuai dengan konsep pendidik yang humanis, bahwa
dalam
memenuhi
pendidikan
yang
humanis,
guru
harus
mempertimbangkan waktu-waktu yang tepat dalam belajar agar siswa
6
Atkinson and Reynor, “Personality, Motivation, and Achievement” dalam Sri Esti Wuryani
Djiwandono, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2006), h. 349.
52
tidak merasa bosan. Pengajaran yang humanis adalah pengajaran yang
memberikan siswa kebebasan dan keterbukaan sehingga mereka
merasa senang dan tidak merasa bosan dalam belajar.
Berikut hal-hal yang harus diperhatikan guru agar siswa tidak
bosan dalam belajar, antara lain:
1) Pemilihan metode yang tepat. Sebagai pendidik, guru harus
menggunakan metode yang tepat dalam proses pembelajaran.
Metode-metode yang diterapkan hendaknya selalu bervariasi pada
setiap pertemuan. Variasi metode pembelajaran akan membuat
siswa tetap konsentrasi dan termotivasi dalam belajar, selain itu juga
dapat membuat siswa menjadi lebih aktif, sehingga proses belajarmengajar tidak membosankan bagi siswa.
2) Pemilihan media yang tepat. Belajar menggunakan media akan
sangat membantu guru dalam mencapai tujuan pembelajaran, di
samping itu siswa pun akan merasa senang apabila belajar
menggunakan media belajar. Pemilihan media yang tepat sangatlah
berpengaruh terhadap kelangsungan proses belajar mengajar.
Karena tujuan dari penggunaan media adalah agar siswa dapat
menyerap pelajaran yang diajarkan secara aktual tanpa merasa jenuh
di samping mereka juga dapat ikut bereksperimen.
3) Mengadakan simulasi-simulasi. Hal ini diperlukan di tengah-tengah
proses belajar mengajar.
4) Melakukan kegiatan belajar mengajar di luar kelas. Pembelajaran di
luar kelas memberikan banyak hal-hal dan pengetahuan baru bagi
siswa. Pembelajaran ini dapat dilakukan misalnya di laboratorium,
museum, dan tempat-tempat belajar lain yang berhubungan dengan
materi yang diajarkan. Hal tersebut akan memberikan suasana dan
semangat yang berbeda kepada siswa, mereka pun akan semakin
termotivasi untuk belajar sehingga mereka tidak merasa jenuh dan
bosan.
5) Pendekatan terhadap siswa. Pendekatan terhadap siswa bertujuan
agar siswa merasa dirinya ada dan dihargai oleh guru sebagai
53
manusia yang butuh pengayoman. Hal ini dapat dilakukan dengan
cara guru peduli terhadap siswa, memberi masukan ketika mereka
mengerjakan tugas, mendukung terhadap minat mereka dan
sebagainya. Dengan begitu, para siswa akan menunjukkan minat
dan motivasi pada para guru yang memiliki perhatian dan mereka
akan merasa senang dalam belajar.
Begitulah Rasulullah mengajarkan pengetahuan kepada manusia,
ia berpesan agar dalam mendidik harus selalu memperhatikan aspek
kemanusiaan. Ada keadaan-keadaaan tertentu yang harus diperhatikan
oleh pendidik dalam memberikan pengajaran atau materi pengajaran
kepada peserta didik. Tujuannya agar hati para peserta didik tetap
terbuka menerima apa yang akan disampaikan oleh pendidik. Mereka
mau dan selalu termotivasi dan semangat dalam belajar.
2. Memberi Pengajaran Sesuai Tingkatan Psikologis Peserta Didik
a. Hadits dan Terjemahannya
7
―Ali radhiallahu ‗anhu telah berkata: ―Berbicaralah kepada suatu
kaum sesuai dengan kemampuan mereka. Adakah kalian suka jika
seseorang akan berbuat dusta kepada Allah dan Rasul-Nya
(dikarenakan kurangnya pemahaman dari mereka)?‖. Ubaidullah bin
Musa menceritakan kepada kami dari Ma‘ruf bin Kharrabudz, dari Abu
Thufail dan dari Ali tentang hal itu.”8
b. Pemahaman Hadits
Maka ucapan beliau (berbicaralah kepada suatu kaum sesuai
dengan kemampuan mereka) adalah semacam penegasan untuk
mengajarkan ilmu kepada orang lain sesuai kemampuannya, tidak
berlebih atau tidak berkurang. Rasulullah saw mengungkapkan apabila
7
Imam Abu Abdillah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim Ibn al-Mughirah Ibn Bardizbah alJa‟fi al-Bukhari, op.cit, juz. I, no. 49, h. 44.
8
Imam Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani, op.cit, h. 432.
54
memberikan ilmu kepada orang dengan tidak sesuai dengan
kemampuannya, dikhawatirkan mereka tidak dapat memahaminya
dengan baik dan mereka akan salah dalam memahami ajaran Islam.
Jika berbicara dengan orang lain Rasulullah saw selalu melihat
kesesuaiannya dengan tingkat kecerdasan, disamping menggunakan
bahasa (dialek) yang mudah dipahami. Beliau berbicara dengan setiap
orang yang datang dari berbagai kabilah dengan logat dan dialeknya
masing-masing. Bila perlu, beliau mengulang pembicaraan hingga tiga
kali untuk memperjelas dan lebih memantapkan.
Dari hadits Rasulullah tersebut dapat kita lihat betapa Rasulullah
begitu memperhatikan kondisi psikologis dan tingkat pemahaman
murid dalam memberi pengajaran. Menurut Sri Esti, “dalam dunia
pendidikan, satu hal yang penting bagi guru dalam hubungannya
dengan anak ialah mengetahui hakikat perkembangan anak sehingga
mereka akan mengerti bagaimana anak dan remaja tumbuh dan
berkembang dalam hal kognitif, sosial, dan moral.”9
Sardiman menyatakan, “proses belajar mengajar sebagai inti dari
kegiatan belajar mengajar merupakan proses interaksi dua unsur
manusiawi, yakni guru sebagai pihak yang mengajar dan siswa sebagai
pihak yang belajar. Dalam situasi ini, siswa menjadi subjek
pokoknya.”10 Hal ini bermakna, bahwa interaksi yang sengaja
diciptakan berfokus pada kebutuhan dan kemampuan belajar siswa.
Hal ini sejalan dengan pendapat Moh. Amin dalam bukunya
Humanistic Education. Menurut Moh. Amin, “peranan guru dalam
pendidikan humanis adalah secara terus menerus melakukan segala
sesuatu untuk membantu siswa membangun self concept mereka. Ini
berarti bahwa guru harus memperlakukan setiap orang sebagai individu
dengan kebutuhan-kebutuhannya yang tertentu pula.”11
9
Sri Esti Wuryani Djiwandono, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: PT. Gramedia Widia Sarana
Indonesia, 2006), h. 70.
10
Sardiman A.M, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 14.
11
Moh. Amin, dkk., op.cit, h. 9.
55
Di samping itu, Zakiah Daradjat menegaskan:
Seorang guru yang berpengalaman, tidak berusaha mendorong
muridnya untuk mempelajari sesuatu di luar kemampuannya. Dan
ia tidak akan memompakan ke otaknya pengetahuan yang tidak
sesuai dengan kematangannya atau tidak sejalan dengan
pengalamannya yang lalu. Dalam proses mengajar, guru harus
memperhatikan keadaan murid, tingkat pertumbuhan dan
perbedaan perorangan yang terdapat di antara mereka.12
Belajar hendaknya selalu mempertimbangkan kesesuaian antara
materi dengan kemampuan siswa. Yaitu materi pelajaran yang sesuai
dengan usia siswa. Salah satu usaha yang dapat dilakukan dalam dunia
pendidikan adalah tidak membebani siswa dengan muatan kurikulum
yang padat, sehingga siswa tidak tertekan dengan banyaknya materi
pelajaran yang harus mereka pahami tanpa mereka tahu alasan
mengapa mereka harus mempelajarinya.
E. Mulyasa mengemukakan beberapa hal yang perlu diperhatikan
dalam mengorganisasikan materi pembelajaran diantaranya adalah
sebagai berikut:
1) Materi pembelajaran hendaknya disesuaikan dengan tingkat
perkembangan peserta didik, baik perkembangan pengetahuan
dan cara berfikir maupun perkembangan sosial dan
emosionalnya. Pelaksanaan pembelajaran perlu diatur
sedemikian rupa agar tidak membosankan dan memberatkan
peserta didik.
2) Materi pembelajaran hendaknya dikembangkan dengan
memperhatikan kedekatan dengan peserta didik, baik secara
fisik maupun psikis.
3) Materi pembelajaran harus dipilih yang bermakna dan
bermanfaat bagi peserta didik dalam kehidupan sehari-hari.13
Selain itu perlu pula memperhatikan perbedaan umur. Anak-anak
tidak bisa diberi materi untuk remaja, dan remaja pun tidak bisa diberi
materi untuk dewasa. Itulah hal-hal yang selalu diperhatikan oleh para
12
Zakiah Daradjat, Kepribadian Guru, (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), cet. IV, h. 15.
E. Mulyasa, Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2009), h. 155-156.
13
56
ahli pendidikan dalam menentukan materi ajar pada proses
pembelajaran yang akan dilakukannya.14
Belajar berhubungan erat dengan kematangan otak dan mental
anak didik. Guru yang sukses adalah guru yang memilih bagi anak
didiknya pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan tubuh dan
mentalnya.
Demikianlah
hadits
ini
memerintahkan
untuk
memperhatikan aspek-aspek humanis dalam mendidik, yaitu dengan
memperhatikan tingkatan psikologis siswa dalam belajar. Kematangan
mental dan otak anak merupakan hal penting yang perlu diperhatikan
oleh pendidik dalam pengaruhnya dalam belajar, dalam mendukung
siswa mencapai tujuan-tujuan pembelajaran.
3. Tidak Menghukum Ketika Siswa Melakukan Kesalahan
a. Hadits dan Terjemahannya
15
―Menceritakan kepada kami Ismail ibnu Abu Uwais, ia berkata, Malik
menyampaikan kepadaku dari Ibnu Syihab dari Ubaidullah bin
Abdillah bin Utbah dari Abdullah bin Abbas, ia berkata: ―Aku
menemui orang yang datang dengan naik keledai, dan ketika itu aku
mulai dewasa dan Rasulullah saw [sedang berdiri] melakukan shalat
[bersama orang-orang] di Mina [pada waktu haji wada‘] tanpa
dinding. Kemudian aku lewat di muka shaf. Dan aku melepaskan
keledai itu untuk makan dan minum, lalu aku masuk ke dalam shaf.
(Dalam riwayat lain: Kemudian aku ikut berbaris bersama orangorang di belakang Rasulullah saw), dan tidak ada [seorangpun] yang
mengingkari hal itu atasku‖.16
14
Firdaus, Metode Pengajaran Rasulullah, (Surabaya: Prenada, 1998), h. 35.
Imam Abu Abdillah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim Ibn al-Mughirah Ibn Bardizbah alJa‟fi al-Bukhari, op.cit, juz I, no. 18, h. 29.
16
Imam Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani, op.cit, h. 327.
15
57
b. Pemahaman Hadits
Hadis ini menunjukkan keagungan perangai Rasulullah saw,
dengan memiliki sikap lemah lembut dan mengasihi orang yang belum
mengetahui tata cara salat. Dalam beberapa hadits shahih, tersebut
bahwa melalui shaf itu dilarang keras. Tetapi Ibnu Abbas tidak ditegur
oleh Nabi saw ketika dia melalui shaf, padahal di hadapan shaf itu
tidak ada batas atau dinding dan sebagainya. Nabi saw melakukannya
karena waktu itu Ibnu Abbas masih anak-anak.
Ibnu Abbas menarik kesimpulan dari hadits ini bahwa
dibolehkan untuk tidak menegur (mengingkari) karena tidak adanya
penghalang. Tapi bukan berarti larangan untuk mengingkari atau
menegur itu disebabkan mereka sedang melakukan shalat, karena
hadits ini secara mutlak menafikan adanya teguran baik sedang shalat
maupun setelah shalat. Lagi pula teguran tersebut bisa dilakukan
dengan menggunakan isyarat.
Dalam hadits tersebut Rasulullah memberikan contoh kepada kita
untuk tidak marah terhadap anak yang berbuat kesalahan. Begitupun
dalam mengajar mereka. Dalam lingkungan pendidikan, seringkali
guru memarahi siswa karena mereka tidak sesuai dengan apa yang
diinginkan guru.
Banyak guru yang menganggap muridnya nakal, sulit diatur,
tidak mau mendengar ucapan guru, dan lain-lain. Hingga akhirnya
terbentuk stereotype negatif terhadap murid. Padahal sebenarnya siswa
melakukan yang dia lakukan bukan atas dasar tanpa alasan, mereka
melakukannya semata karena rasa ingin tahunya yang besar. Terlebih
bagi anak usia kanak-kanak dan remaja.
Sri Esti menyatakan, “masa anak-anak dan remaja merupakan
masa dimana anak senang melakukan eksperimen-eksperimen baru.”17
Dorongan untuk mengetahui sesuatu sangat tinggi. Memberikan
hukuman terhadap hal atau tindakan salah dari siswa boleh saja, tetapi
17
Sri Esti Wuryani Djiwandono, op.cit., h. 102.
58
tidak asal menghukum. Menghukum merupakan jalan terakhir yang
ditempuh guru apabila siswa benar-benar tidak bisa mendengar ucapan
guru dan selalu mengulangi kesalahan-kesalahannya. Walaupun begitu,
sebaik mungkin,
hendaknya
guru
menasihati mereka
dengan
menggunakan bahasa yang halus. Apabila guru marah dan menghukum
siswa yang bermasalah tanpa memberi perhatian dan solusi tepat, justru
akan menambah beban bagi siswa.
Guru yang pemarah, akan menyebabkan anak didik takut dan
malas untuk mengikuti pelajaran. Ketika anak didik tersalah,
adakalanya guru harus memberi hukuman, namun hukuman tersebut
adalah hukuman yang mendidik. Karena terjatuhnya murid kepada
kesalahan adalah hal yang selalu diperkirakan, selama ia masih belajar
dan selama nilai-nilainya masih belum terbentuk. Sedangkan kesalahan
adalah kesempatan yang paling penting bagi guru untuk menolong
anak didik agar bertumbuh dan belajar, sebab manusia belajar dari
kesalahannya. Jadi guru harus membimbing dan memperbaiki, bukan
menghukum.18
Guru yang humanis harus tetap memberikan pengarahan dan
bimbingan serta kasihnya. Dengan demikian, guru benar-benar bisa
berperan menjadi orang tua di sekolah bagi para siswanya. Ia tidak lagi
menjadi sosok yang terlihat galak dan menakutkan. Ia justru akan
menjadi sahabat bagi anak didiknya. Hal inilah yang selalu dilakukan
oleh Nabi Muhammad saw dalam mendidik.
Tindakan Rasulullah yang diam dan tidak menegur perbuatan
Ibnu Abbas juga karena beliau menganggap Ibnu Abbas masih anak
kecil, belum dalam usia baligh. Sehingga ia masih belum bisa
membedakan hal yang benar dan salah. Begitupun siswa di sekolah.
Usia sekolah yaitu usia kanak-kanak sampai remaja adalah usia anak
yang belum dapat membedakan yang benar dan yang salah. Mereka
masih dalam tahap pencarian jati diri. Maka sudah sewajarnya apabila
18
Zakiah Daradjat, op.cit, h. 25.
59
anak sering melakukan eksplorasi dan eksperimen-eksperimen
terhadap hal-hal baru yang belum ia pahami. Di sinilah tugas guru
sebagai pembimbing, yaitu mengarahkan anak tetap pada hal-hal yang
positif. Mendukungnya dalam mencari hal-hal yang baru bagi mereka.
Bukan justru memarahinya.
Sesuai dengan yang dikemukakan Zakiah Daradjat dalam
bukunya Kepribadian Guru,
Sebagai pembimbing guru hanya mengarahkan ke dalam
terciptanya kepribadian siswa yang lebih baik. Guru harus
mengetahui betul, bahwa hukuman terhadap murid tidak
selamanya diikuti oleh perbaikan dan dorongan baginya untuk
maju, bahkan boleh jadi hukuman berakibat sebaliknya, maka si
anak menjadi kehilangan kepercayaan kepada diri, atau lari dari
situasi belajar, atau membenci sekolah seluruhnya. Oleh karena
itu, guru harus menghindari hukuman, kecuali jika terpaksa dan
dalam batas peraturan pendidikan, serta atas dasar prinsip-prinsip
pendidikan.19
Dengan demikian, hadits ini sesuai dengan prinsip tersebut, yaitu
menanamkan nilai pendidikan yang bersifat manusiawi. Rasulullah
memerintahkan agar pendidik berperilaku sebagaimana Rasulullah
saw. dalam mendidik, tidak marah terhadap anak didik yang
melakukan kesalahan, karena berbuat salah masih dalam batas-batas
kemanusiaan.
4.
Sikap yang Apa Adanya
a. Hadits dan Terjemahannya
20
19
Ibid, h. 25.
Imam Abu Abdillah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim Ibn al-Mughirah Ibn Bardizbah alJa‟fi al-Bukhari, op.cit, juz I, no. 13, h. 27.
20
60
―Sa‘id ibn ‗Ufair menceritakan kepada kami, ia berkata, Ibnu Wahab
menceritakan kepada kami dari Yunus dari Ibnu Syihab, ia berkata,
Humaid bin Abdurrahman r.a berkata, ―Saya mendengar Muawiyah
berkhutbah, ―Saya mendengar Rasulullah saw bersabda, ―Jika Allah
menghendaki kebaikan kepada seseorang, maka Dia akan
menjadikannya sebagai ahli agama. Saya hanya membagi-bagikan,
sedangkan yang memberi adalah Allah. Sebagian dari umat ini akan
tetap berpegang teguh pada agama Allah, tidak ada yang dapat
mempengaruhinya sampai hari kiamat nanti.‖21
b. Pemahaman Hadits
Al-Bukhari pada hadits ini berpendapat bahwa hadits ini berkaitan
dengan ilmu, karena hadits tersebut menjelaskan bahwa orang yang
mendalami agama Allah akan selalu mendapatkan kebaikan, dan hal ini
tidak hanya dapat dicapai oleh manusia dengan usaha saja, tetapi dapat
dicapai juga oleh orang yang hatinya telah dibukakan oleh Allah, dan
orang semacam itu akan tetap ada sampai hari kiamat nanti.22
Namun secara implisit dalam hadits tersebut terlihat bahwa
Rasulullah juga sangat mengedepankan kejujuran dan sikap rendah hati.
Beliau tidak pernah berlebih-lebihan. Tersebut dalam perkataannya,
“Saya hanya membagi-bagikan, sedangkan yang memberi adalah
Allah.‖ Tidak karena beliau menjadi Rasul Allah lalu beliau merasa
lebih mengetahui dan lebih mempunyai kemampuan lebih. Beliau selalu
apa adanya, tidak semata-mata karena beliau adalah seorang Rasul lalu
beliau melebih-lebihkan sesuatu yang tidak pada sebenarnya. Bahwa
segala sesuatu adalah hakikat milik Allah swt.
Dalam pembelajaran, proses belajar penuh arti akan dapat tercapai
jika guru atau fasilitator bersikap tulus, jujur, murni, dan bukan hanya
bermain peran untuk mengikuti tuntutan dari sistem. Dalam hal ini
Rogers mengatakan, hubungan guru dengan siswa adalah pertemuan
pribadi langsung, guru adalah orang yang apa adanya. Dia tidak merasa
satu hal dan mengatakan sesuatu yang lain, ia tidak menyembunyikan
21
22
Imam Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani, op.cit, h. 311.
Ibid, h. 312.
61
perasaannya, baik positif atau negatif. Namun dalam mengekspresikan
perasaannya guru harus menerima siswa sebagaimana adanya, sebagai
diri mereka sendiri, tanpa menyalahkan atau berpikir negatif terhadap
siswa.23
Sikap apa adanya tidak semata-mata menjadi alasan pembolehan
untuk menghakimi orang lain atau siswa, untuk memproyeksikan
perasaan seseorang pada orang lain, ataupun untuk membenarkan
kemarahannya terhadap siswa.
Menjadi pendidik yang apa adanya memang tidak mudah, dan
harus perlahan-lahan. Lebih lanjut Rogers mengatakan, “for first of all,
one must be close to one‘s feelings, capable of being aware of them.
Then one must be willing to take the risk of sharing them as they are,
inside, not disguising them as judgments, or attributing them to other
people.‖24
Dalam bukunya Quantum Teaching, Bobbi De Porter, et.al
menggunakan istilah Open The Front Door (OTFD) untuk guru dalam
mengkomunikasikan isi pikiran kepada murid. Berikut adalah
tahapannya:
1) Observation (nyatakan hasil observasi)
Pertama katakan apa yang terjadi dengan cara yang obyektif,
teramati, dan lugas, agar kedua pihak memulai pada titik yang
sama. Dengan pernyataan fakta, bukan penilaian atau
kesimpulan.
2) Thought (nyatakan pemikiran)
Selanjutnya, nyatakan pikiran atau pendapat menggunakan
pernyataan ”saya”.
3) Feeling (nyatakan perasaan)
Ceritakan perasaan kita, juga dalam bentuk ”saya”.
4) Desire (nyatakan apa yang kita inginkan)
Nyatakan tujuan, atau hasil yang kita inginkan. 25
Cara lain untuk bersikap „apa adanya‟ adalah dengan mengakui
kesalahan yang dilakukan. Bagaimana pun juga, guru adalah manusia
23
Carl Rogers, Summary, Carl Rogers and Humanistic Education, 1977, h. 22.
Ibid, h. 22.
25
Bobbi DePorter, et.al, Quantum Teaching, (Bandung: Kaifa, 2000), h. 201.
24
62
biasa yang tidak luput dari salah. Cara guru mengakui kesalahan bisa
menjadi proses pembelajaran tersendiri bagi murid-murid. Berikut
adalah langkah-langkahnya:
a) Acknowledge (akui)
b) Apologize (meminta maaf)
c) Make it right (selesaikan)
d) Recommit (berjanji lagi)
Tidak adanya ruang dialogis antara guru dan siswa, seolah-olah
guru adalah yang paling benar adalah sikap yang tidak humanis.
Implikasi dari sikap guru yang otoriter seperti itu akan berimbas pada
pembentukan kepribadian anak didik yang tidak baik. Mereka akan
beranggapan bahwa guru adalah sosok yang sangat menakutkan, guru
bukan orang yang tepat untuk berbagi (sharing). Praktik pendidikan
seperti ini kurang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk
mengembangkan potensinya. Sehingga hanya akan melahirkan generasi
yang pintar secara kognitif, tidak cerdas mengembangkan diri dan
kreativitasnya.
Dengan demikian, hadits ini mengajarkan untuk menjadi
seseorang yang apa adanya. Hal tersebut sesuai dengan prinsip humanis
dalam pendidikan, yaitu ”realness is the facilitator of learning”.
B. Metode Pengajaran yang Humanis
1. Metode Simulasi
a. Hadits dan Terjemahannya
63
26
―Menyampaikan kepada kami Muhammad ibn Muşanna, katanya hadis
dari Abdul Wahhab katanya Ayyub dari Abi Qilabah katanya hadis dari
Malik. Kami mendatangi Rasulullah saw dan kami pemuda yang
sebaya. Kami tinggal bersama beliau selama dua puluh hari dan
malam. Rasulullah saw adalah seorang yang penyayang dan memiliki
sifat lembut. Ketika beliau menduga kami ingin pulang dan rindu pada
keluarga, beliau menanyakan tentang orang-orang yang kami
tinggalkan dan kami memberitahukannya. Beliau bersabda; kembalilah
bersama keluargamu dan tinggallah bersama mereka, ajarilah mereka
dan suruhlah mereka. Beliau menyebutkan hal-hal yang saya hapal dan
yang saya tidak hapal. Dan salatlah sebagaimana kalian melihat aku
salat. Dan apabila telah datang waktu shalat, maka adzanlah salah
satu diantara kalian dan berimamlah pada yang paling besar diantara
kalian.‖27
b. Pemahaman Hadits
Hadits ini berkenaan dengan kesungguhan para sahabat yang
datang dari Bashrah untuk belajar ilmu dari Rasulullah saw. Setelah 20
hari mereka menimba ilmu dari Rasulullah, Nabi melihat gelagat dan
indikator para sahabat kiranya sudah merindukan keluarga mereka
yang ditinggalkan selama mereka menuntut ilmu. Nabi lalu
mempersilahkan mereka untuk pulang karena dipandang cukuplah
masa belajar yang relatif itu karena mereka telah menguasai materi
yang diberikan. Nabi lalu berpesan kepada mereka, salah satu diantara
pesan tersebut yaitu agar tidak meninggalkan shalat yang telah
dicontohkan Nabi kepada mereka.28
Pemberian contoh shalat dengan gerakan-gerakan yang dilakukan
Rasulullah tersebut merupakan metode simulasi yang dilakukan
Rasulullah saw dalam mengajarkan dan mendidik para sahabat.
Rasulullah memang merupakan sosok pendidik yang sangat ideal.
Metode simulasi yang diterapkan Rasulullah saw banyak terlihat
26
Imam Abu Abdillah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim Ibn al-Mughirah Ibn Bardizbah alJa‟fi al-Bukhari, op.cit, juz 3, no. 595, h. 7.
27
Imam Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani, op.cit, h. .
28
Abdul Majid Khon, Hadis Tarbawi, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2012), h. 273.
64
terutama dalam menjelaskan masalah ibadah, seperti ibadah salat, cara
berwudhu, dan manasik haji. Dengan demikian pemahaman para
sahabat menjadi lebih mantap.
Dalam dunia pendidikan, simulasi diartikan yaitu ketika guru
memberikan contoh kepada murid, lalu murid secara aktif ikut
memeragakannya. Menurut Udin Syaefudin, “simulasi adalah sebuah
model yang berisi seperangkat variabel yang menampilkan ciri utama
dari sistem kehidupan yang sebenarnya. Simulasi memungkinkan
keputusan-keputusan yang menentukan bagaimana ciri-ciri utama itu
bisa dimodifikasi secara nyata.”29
Metode simulasi dapat memberikan pengalaman belajar secara
langsung kepada siswa. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Sri
Esti dalam bukunya Psikologi Pendidikan, “bahwa peran guru dalam
pembelajaran humanistik adalah menjadi fasilitator bagi para siswa,
guru memfasilitasi pengalaman belajar kepada siswa dan mendampingi
siswa untuk memperoleh tujuan pembelajaran.”30 Metode ini menuntut
lebih banyak aktivitas siswa. Dengan simulasi, siswa akan dapat
berpikir sendiri dan memecahkan masalahnya sendiri karena mereka
telah dapat berpikir secara terbuka dan mandiri.
Hal ini merupakan konsep pendidikan yang humanis yang
diajarkan oleh Rasul. Seperti yang telah diketahui, bahwa metode
simulasi memberikan keuntungan dalam pembelajaran yaitu dapat
membuat murid secara aktif mengikuti apa yang telah dicontohkan
oleh guru. Mereka tidak hanya sebagai pelaku pasif. Guru memberikan
contoh agar siswa dapat melihat, mendengar, ataupun merasakan
secara langsung materi yang harus diterima siswa, dengan begitu siswa
dapat terlibat pula secara langsung. Metode simulasi ini sangat
berpengaruh terhadap pencapaian hasil belajar dan tujuan pembelajaran
terhadap siswa, karena siswa akan merasa mudah dalam memahami
29
Udin Syaefudin dan Abin Syamsuddin, Perencanaan Pendidikan Pendekatan
Komprehensif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005), h. 129.
30
Sri Esti Wuryani Djiwandono, op.cit, h. 181.
65
materi karena telah di praktekkan langsung oleh guru. Aktivitas
simulasi dapat membuat siswa merasa senang sehingga siswa secara
wajar terdorong untuk berpartisipasi.31
Sri
Anitah
mengemukakan
beberapa
keuntungan
yang
didapatkan dari metode simulasi yang dilakukan dalam pembelajaran
yaitu sebagai berikut:
1) Siswa dapat melakukan interaksi sosial dan komunikasi
dalam kelompoknya
2) Aktivitas siswa cukup tinggi dalam pembelajaran sehingga
terlibat langsung dalam pembelajaran
3) Dapat membiasakan siswa untuk memahami permasalahan
sosial (merupakan implementasi pembelajaran yang berbasis
kontekstual)
4) Dapat membina hubungan personal yang positif
5) Dapat membangkitkan imajinasi
6) Membina hubungan komunikatif dan bekerja sama dalam
kelompok.32
Metode simulasi dapat dijadikan bekal bagi siswa dalam
menghadapi situasi yang sebenarnya kelak, baik dalam kehidupan
keluarga, masyarakat, maupun menghadapi dunia kerja. Carl Rogers
menyatakan, “students become involved and feel that they learn about
real-life situations.‖33
Pembelajaran
yang
mengedepankan
pengalaman
belajar
merupakan pembelajaran yang humanis. Sebagaimana pendapat
Combs, bahwa arti penting dari belajar adalah bagaimana membawa
diri siswa untuk memperoleh arti bagi pribadinya dari materi pelajaran
tersebut dan menghubungkannya dengan kehidupannya.
Sehingga hadits ini sangat mengedepankan humanisme. Metode
simulasi merupakan metode yang dicontohkan Rasulullah dalam
memberi pengajaran kepada para sahabat. Metode ini memberikan
pengalaman secara langsung agar dapat dihubungkan dengan
31
Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Pers,
2002), h. 185.
32
Sri Anitah, dkk., Strategi Pembelajaran di SD, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2007), h. 24.
33
Carl Rogers, op.cit, h. 28.
66
kehidupan.
Keteladanan menjadi hal yang perlu dimiliki oleh guru terkait
dengan metode ini. Hamd mengatakan bahwa “pendidik itu besar di
mata anak didiknya, apa yang dilihat dari gurunya akan ditirunya,
karena anak didik akan meniru dan meneladani apa yang dilihat dari
gurunya, maka wajiblah guru memberikan teladan yang baik.”34
Mendidik dengan contoh (keteladanan) adalah satu metode
pembelajaran yang dianggap besar pengaruhnya. Segala yang
dicontohkan oleh Rasulullah saw. dalam kehidupannya, merupakan
cerminan kandungan al-Quran secara utuh.
2. Metode Eksperimen
a. Hadits dan Terjemahannya
35
―Adam menyampaikan kepada kami, dia berkata, Syu‘bah
menceritakan kepada kami, bahwa Hakam menceritakan kepada kami
dari Dzar dari Sa‘id bin Abdurrahman bin Abra dari ayahnya, dia
berkata seorang laki-laki datang kepada Umar ibn Khattab, maka
katanya saya sedang janabat dan tidak menemukan air, kata Ammar
ibn Yasir kepada Umar ibn Khattab, tidakkah anda ingat ketika saya
dan anda dalam sebuah perjalanan, ketika itu anda belum salat,
sedangkan saya berguling-guling di tanah, kemudian saya salat. Saya
menceritakannya kepada Rasul saw. kemudian Rasulullah saw.
bersabda: ‖Sebenarnya anda cukup begini‖. Rasul memukulkan kedua
34
Muhammad Hamd Ibrahim, Maal Muallimiin, terj. Ahmad Syaikhu, (Jakarta: Darul Haq,
2002), h. 27.
35
Imam Abu Abdillah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim Ibn al-Mughirah Ibn Bardizbah alJa‟fi al-Bukhari, op.cit, juz I, no. 4, h. 92.
67
telapak tangannya ke tanah dan meniupnya kemudian mengusapkan
keduanya pada wajah.‖36
b. Pemahaman Hadits
Hadits ini berkenaan ketika sahabat Rasulullah saw melakukan
upaya atau percobaan pensucian diri dengan berguling di tanah ketika
mereka tidak menemukan air untuk mandi janabat. Pada akhirnya
Rasulullah
saw
memperbaiki
eksperimen
mereka
dengan
mencontohkan tata cara bersuci menggunakan debu, yaitu Rasulullah
memukulkan kedua telapak tangannya ke tanah dan meniupnya
kemudian mengusapkan keduanya pada wajah.
Hal ini menunjukkan bahwa para sahabat sejak dahulu juga telah
mengenal metode eksperimen, dan Rasulullah saw membetulkan
eksperimen mereka dengan cara demonstrasi.
Dalam metode eksperimen, seorang guru dapat mengembangkan
keterlibatan fisik, mental, dan emosional siswa. Siswa mendapat
kesempatan untuk melatih keterampilan proses agar memperoleh hasil
belajar yang maksimal. Hal ini sangat besar pengaruhnya terhadap
siswa karena pengalaman yang dialami secara langsung dapat tertanam
dalam ingatannya. Keterlibatan fisik dan mental serta emosional siswa
diharapkan dapat diperkenalkan pada suatu cara atau kondisi
pembelajaran yang dapat menumbuhkan rasa percaya diri dan juga
perilaku yang inovatif dan kreatif.
Seperti yang dinyatakan Carl Rogers, tujuan pendidikan adalah
dan haruslah dapat membuat siswa berkembang terhadap seluruh
kemampuan yang dimilikinya. Karena dengan kemampuan itulah siswa
dapat hidup dan survive dalam kehidupannya. Dalam bukunya,
Freedom to Learn, Rogers menyatakan bahwa “belajar yang bemakna
diperoleh siswa dengan melakukannya. Belajar diperlancar bilamana
siswa dilibatkan dalam proses belajar dan ikut bertanggung jawab
terhadap proses belajar itu.”37
Pembelajaran dengan metode eksperimen melatih dan mengajar
36
37
Imam Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani, op.cit, h. 576.
Carl Rogers, op.cit., h. 44.
68
siswa untuk belajar secara aktif dengan mengikuti tahap-tahap
pembelajarannya. Dengan demikian, siswa akan menemukan sendiri
konsep sesuai dengan hasil yang diperoleh selama pembelajaran.
Pentingnya
menggunakan
metode
eksperimen
dalam
pembelajaran yaitu karena dengan eksperimen akan membuat peserta
didik mengetahui sesuatu hal yang mereka belum ketahui.
Kelebihan metode eksperimen antara lain sebagai berikut:
1) Metode ini dapat membuat anak didik lebih percaya atas
kebenaran atau kesimpulan berdasarkan percobaannya sendiri
dari pada hanya menerima kata guru atau buku.
2) Anak didik dapat mengembangkan sikap untuk mengadakan
studi eksplorasi (menjelajahi) tentang ilmu dan teknologi.
3) Dengan metode ini akan terbina manusia yang dapat membawa
terobosan-terobosan baru dengan penemuan sebagai hasil
percobaan yang diharapkan dapat bermanfaat bagi
kesejahteraan hidup manusia.
4) Anak didik memperoleh pengalaman dan keterampilan dalam
melakukan eksperimen
5) Siswa terlibat aktif mengumpulkan fakta dan informasi yang
diperlukan untuk percobaan.
6) Dapat menggunakan dan melaksanakan prosedur metode
ilmiah dan berfikir ilmiah
7) Dapat memperkaya pengalaman dan berpikir siswa dengan
hal-hal yang bersifat objektif, realitas dan menghilangkan
verbalisme.38
Dengan metode ini anak didik diharapkan sepenuhnya terlibat
merencanakan eksperimen, melakukan eksperimen, menemukan fakta,
mengumpulkan data, dan memecahkan masalah yang dihadapinya
secara nyata.
Pengajaran yang berhasil adalah pengajaran dimana anak-anak
didik aktif di dalamnya. Ini tidak terjadi, kecuali jika mereka diberi
kesempatan untuk mencoba sendiri dan mendapat pengalaman secara
pribadi.
Maka dapat disimpulkan bahwa hadits ini sesuai dengan konsep
38
Saiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif, (Jakarta : PT
Rineka Cipta, 2000), h. 50.
69
pendidikan yang humanis. Metode eksperimen bertujuan agar
terlaksananya
pembelajaran
dengan
melibatkan
seluruh
aspek
perkembangan peserta didik, memberikan kebebasan kepada peserta
didik agar dapat mengembangkan seluruh kemampuan pikiran dan
inderanya dalam belajar.
3. Metode Tukar Informasi (Diskusi)
a. Hadits dan Terjemahannya
39
―Menceritakan kepada kami Abu Yaman, telah mengabarkan kepada
kami Syu‘aib dari Zuhri, berkata Abu Abdillah, dan berkata Ibnu
Wahab, mengabarkan kepada kami Yunus dari Ibnu Syihab dari
Ubaidillah bin Abdillah bin Abi Tsaur dari Abdillah bin Abbas dari
Umar, ia berkata, ―Saya dan tetangga saya dari golongan Anshar di
daerah Bani Umayyah bin Zaid —salah satu desa di Madinah— saling
bergantian mendatangi Rasulullah saw, dimana dia datang pada suatu
hari dan aku datang kepada beliau pada hari yang lain. Jika aku
mendatangi beliau, maka aku minta khabar tentang wahyu yang turun
pada hari itu dan lainnya, begitu juga bila dia yang mendatangi
Rasulullah. Kemudian pada hari gilirannya (mendatangi Rasulullah)
dia mengetuk pintu rumahku dengan keras dan berkata, ‗Apakah ada
dia?‘ Aku terkejut dan keluar menemuinya, lalu ia berkata, ‗Telah
terjadi peristiwa besar…‘ Umar berkata, Kemudian aku mendatangi
Hafshah, ternyata dia menangis. Maka aku bertanya apakah Rasulullah
39
Imam Abu Abdillah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim Ibn al-Mughirah Ibn Bardizbah alJa‟fi al-Bukhari, op.cit, juz I, no. 27, h. 33.
70
menceraikanmu? Hafshah menjawab, ‗Saya tidak tahu‘ Lalu aku
(Umar) mendatangi Rasulullah dan berkata –sedangkan aku berdiri-,
‗Apakah engkau menceraikan istri-istrimu?‘ Beliau berkata, ‗Tidak‘
Maka aku mengatakan ‗Allah Maha Besar‘.‖40
b. Pemahaman Hadits
Perkataan Umar, “Aku bersama tetanggaku saling bertukar apa
yang diturunkan kepada Rasulullah,‖ mengisyaratkan bahwa mereka
selalu melakukan tukar menukar informasi dan saling mengajari
mengenai wahyu yang diberikan Allah kepada Rasul. Tetangga yang
dimaksud adalah Utban bin Malik Ibnu Al-Qasthalani.41
Hadits ini menganjurkan kepada manusia untuk menuntut ilmu,
juga anjuran untuk menanyakan sesuatu yang terlewatkan karena
ketidakhadirannya pada saat itu.
Tukar informasi antara dua orang atau lebih untuk menyelesaikan
suatu persoalan dapat dikatakan sebuah diskusi. Kata diskusi berasal
dari bahasa Latin yaitu “discussus” yang berarti “to examine”,
“investigate” (memeriksa, menyelidik). Secara umum diskusi adalah
suatu proses yang melibatkan dua orang atau lebih individu yang
berintegrasi secara verbal dan saling berhadapan muka mengenai
tujuan atau sasaran yang sudah tertentu melalui tukar menukar
informasi, mempertahankan pendapat, atau pemecahan masalah.
Metode ini sering digunakan Rasulullah saw bersama para sahabat
terutama untuk mencari kata sepakat.
Rasulullah saw adalah orang yang paling banyak berdiskusi,
meskipun pada dasarnya beliau memiliki wewenang untuk membuat
keputusan sendiri. Tetapi, sebagai bentuk rasa keguruan yang terdapat
padanya, beliau tidak merasa bosan bahkan sering mengadakan diskusi
dengan para sahabat, apabila ada persoalan bersama.
Metode diskusi dalam belajar mengajar merupakan salah satu
40
41
Imam Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani, op.cit, h. 356.
Ibid, h. 357.
71
metode yang sangat baik bila diterapkan dalam lingkungan sekolah
karena dengan metode ini murid-murid dibimbing untuk menghayati
tata cara kehidupan di kelas yang demokratis. Diskusi adalah suatu
percakapan ilmiah oleh beberapa orang yang tergabung dalam satu
kelompok untuk saling bertukar pendapat tentang sesuatu masalah atau
bersama-sama mencari pemecahan mendapatkan kebenaran atas suatu
masalah.42
Engkoswara mengemukakan beberapa tujuan guru menggunakan
metode diskusi diantaranya:
1) Memupuk anak untuk berani mengeluarkan pendapat tentang
sesuatu persoalan secara bebas.
2) Supaya anak berpikir sendiri, tidak hanya menerima pelajaran
dari guru.
3) Memupuk perasaan toleran, memberi kesempatan dan
menghargai pendapat orang lain.
4) Melatih anak-anak untuk menggunakan pengetahuan yang
telah diperolehnya.43
Hadits ini menunjukkan penerapan metode diskusi dalam proses
belajar. Dan mengenai itu Rogers mengatakan,
There are many kinds of groups experiences being advocated and
practiced, but the basic encounter groups is an unstructured
experience in which facilitation helps the groups express itself
and the members to interact in such a way as to achieve a
meaningful, mutually helpful experience.44
Jelaslah metode diskusi merupakan salah satu metode pengajaran
yang mengutamakan nilai-nilai humanis terhadap siswa. Diantara aspek
humanis yang terdapat dalam metode diskusi antara lain sebagai
berikut:
1) Metode diskusi melibatkan semua siswa secara langsung dalam
proses belajar mengajar.
2) Setiap siswa dapat menguji tingkat pengetahuan dan bahan
42
Suryosubroto, Proses Belajar Mengajar di Sekolah, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), h. 167.
Engkoswara, Dasar-dasar Metodologi Pengajaran, (Jakarta: Bina Aksara, 1988), h. 50.
44
Carl Rogers, op.cit, h. 28.
43
72
pelajarannya masing-masing.
3) Metode diskusi dapat menumbuhkan dan mengembangkan cara
berpikir dan sikap ilmiah siswa.
4) Dengan mengajukan dan mempertahankan pendapatnya dalam
diskusi, diharapkan para siswa dapat memperoleh kepercayaan
akan kemampuan diri sendiri.
5) Metode diskusi dapat menunjang usaha-usaha pengembangan
sikap sosial dan sikap demokratis para siswa.
Dengan demikian metode ini memberi siswa tanggung jawab
untuk mempelajari materi pelajaran dan menjabarkan isinya dalam
sebuah kelompok tanpa campur tangan guru.45 Metode ini pun dapat
memberi pesan moral kepada siswa yaitu agar siswa memiliki sikap
tenggang rasa dan rasa saling membantu dengan temannya.
4. Metode Pembelajaran Gradual dan Menyenangkan
a. Hadits dan Terjemahannya
46
―Muhammad ibnu Basyar menyampaikan kepada kami, ia berkata,
menceritakan kepada kami Yahya bin Sa‘id, katanya telah
menceritakan kepada kami Syu‘bah, ia berkata Abu Tayyah
mengatakan kepadaku dari Anas bin Malik bahwasanya Nabi saw telah
bersabda: Mudahkanlah dan janganlah mempersulit, gembirakanlah
(dalam riwayat lain: jadikanlah tenang) dan janganlah kalian menakutnakuti.‖47
b. Pemahaman Hadits
Anas adalah sahabat Rasulullah saw. Ibnu Hajar al-Asqalani
mengomentari
hadits
tersebut
dengan
mengatakan
pentingnya
memberikan kemudahan bagi pelajar yang memiliki kesungguhan
45
Melvin L. Silberman, Active Learning, (Bandung: Nuansa, 2012), cet. VII, h. 166.
Imam Abu Abdillah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim Ibn al-Mughirah Ibn Bardizbah alJa‟fi al-Bukhari, loc.cit, juz I, no. 11, h. 27.
47
Imam Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani, op.cit, h. 308.
46
73
dalam belajar, dalam arti mengajarkan ilmu pengetahuan harus
mempertimbangkan
kemampuan
si
pelajar.
Sebagai
pendidik,
Rasulullah saw tidak pernah mempersulit, dengan harapan para sahabat
memiliki motivasi yang kuat untuk tetap meningkatkan aktivitas
belajar. Rasulullah mengingatkan bahwa memberikan kemudahan
kepada orang lain harus selalu dilakukan dalam setiap situasi dan
kondisi.48
Adapun hadits ini menyiratkan bahwa dalam mengajarkan suatu
ilmu harus menggunakan metode bertahap, karena segala sesuatu jika
diawali dengan kemudahan, maka akan dapat memikat hati dan
menambah rasa cinta. Berbeda halnya jika pengajaran itu dimulai
dengan kesulitan.
Dalam pendidikan, metode yang dimaksud adalah metode yang
gradual, yaitu memberikan pelajaran dengan berangsur-angsur, tidak
sekaligus, bertahap agar lebih bisa diterima oleh peserta didik.
Memberikan pelajaran dengan cara berangsur-angsur, sedikit demi
sedikit,
dan
menyenangkan
adalah
metode
pengajaran
Nabi
Muhammad saw termasuk memberikan sekian alternatif (tidak
monoton, kaku) terhadap suatu persoalan sehingga orang yang
berkepentingan dengan itu mendapatkan apa yang cocok dengan
kemampuannya, terpecahkan problem yang dihadapinya dengan
menerima keterangan dari Nabi Muhammad saw secara lapang dada
dan rasa puas, tidak malah menjemukan.
Dari hadits Nabi tersebut terkandung pengertian bahwa dalam
memberikan pengajaran, guru harus memiliki tahapan-tahapan.
Tahapan-tahapan tersebut ada yang berhubungan dengan materi dan
metode.
Dalam tahapan mengenai materi, hendaknya materi pembelajaran
disusun dengan prinsip sebagai berikut:
1) Bertolak dari hal-hal yang kongkret menuju hal-hal yang
48
Ibid, h. 309.
74
2)
3)
4)
5)
abstrak
Dikembangkan dari yang diketahui ke yang belum diketahui
Dimulai dari hal-hal yang dekat ke hal-hal yang jauh
Dikembangkan dari pengalaman lama ke pengalaman baru
Disusun dari hal-hal yang sederhana menuju hal-hal rumit dan
kompleks.49
Adapun tahapan yang berhubungan dengan metode dan bentuk
berarti bahwa seorang guru hendaknya memulai dari yang tampak
sebelum yang tersembunyi, dari yang sederhana sebelum yang pelik,
dari yang ringan sebelum yang berat, dan dari yang praktis sebelum
teoritis.
Pengajaran manusia dimulai dari ilmu yang ringan sebelum yang
berat. Maksud ilmu yang ringan adalah yang masalahnya bisa tampak,
sedangkan maksud ilmu yang berat adalah yang mendetail. Pengajaran
dari bagian-bagiannya sebelum secara keseluruhan. Yang penting
seorang guru tidak memulai mengajar murid-muridnya dengan
pelajaran yang sulit dan permasalahan yang rumit. Tetapi seharusnya
memulai dari yang paling mudah, sebab sesuatu itu jika permulaannya
mudah akan mendorong seseorang untuk mendalaminya lebih jauh.
Apabila hal-hal yang sifatnya mudah telah terpenuhi, maka
menurut teori kebutuhan Maslow, siswa akan mau untuk memenuhi
kebutuhan yang selanjutnya, yang bersifat lebih tinggi. Maka itulah
pentingnya bagi guru dalam mengajarkan materi secara bertahap
kepada siswa, yaitu agar siswa mau untuk terus belajar sehingga dapat
tercapainya tujuan pembelajaran yang diharapkan.
Abuddin Nata dalam buku Pendidikan dalam Perspektif Hadits
mengemukakan bahwa “dalam mentransfer ilmu, seorang guru
hendaknya memulai dari hal-hal yang mudah kemudian secara
bertahap kepada yang sukar.”50 Sejalan dengan hal tersebut Zakiah
Daradjat menegaskan, “penggunaan kata-kata sukar dan samar dalam
49
E. Mulyasa, loc.cit., h. 155.
Abuddin Nata dan Fauzan (eds), Pendidikan dalam Perspektif Hadits, (Ciputat: UIN
Jakarta Press, 2005), cet. I, h. 218.
50
75
mengajar anak didik membaca dan menulis, atau menggunakan metode
yang gersang dalam mengajar, akan memalingkan anak dari materi
pelajaran, serta menimbulkan kebosanan dalam diri mereka.”51
Selain
metode
bertahap
atau
gradual,
hadits
ini
juga
memerintahkan bahwa mengajar harus menyenangkan bagi siswa.
Pembelajaran menyenangkan menjadi perhatian yang cukup menarik
karena dalam proses pembelajaran sejatinya harus diusahakan
seoptimal mungkin dan memang diyakini bahwa suasana yang
menyenangkan dalam proses pembelajaran membantu penguatan
pengalaman belajar peserta didik, kesan yang mendalam serta tertanam
secara kuat dalam memori peserta didik (long term memory).
Metode mengajar menyenangkan merupakan metode pemberian
materi pelajaran dengan cara membuat peserta didik bergembira dalam
belajar. Menyediakan kondisi yang terbaik untuk belajar, yaitu
menciptakan sebuah iklim atau atmosfer yang menyenangkan di setiap
ruang kelas. Adanya variasi, kejutan, imajinasi, dan tantangan
sangatlah penting dalam menciptakan iklim ini.
Dave Meier sebagaimana dikutip oleh Indrawati dan Wawan
mengungkapkan suasana gembira dalam pembelajaran menyenangkan
bukan berarti suasana ribut, hura-hura, dan kemeriahan yang dangkal.
Ciri-ciri suasana belajar yang menyenangkan diantaranya:
1) Rileks
2) Bebas dari tekanan
3) Aman
4) Menarik
5) Bangkitnya minat belajar
6) Adanya keterlibatan penuh dari siswa
7) Perhatian siswa tercurah
8) Lingkungan belajar yang menarik
9) Siswa bersemangat
10) Konsentrasi tinggi 52
Dengan begitu hadits ini mengajarkan untuk menerapkan metode
51
Zakiah Daradjat, op.cit, h. 28.
Indrawati dan Wawan Setiawan, Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan
Untuk Guru SD, (Jakarta: PPPTK IPA, 2009), h. 16.
52
76
pengajaran bertahap atau gradual dan metode pembelajaran yang
menyenangkan. Kedua metode ini begitu mengutamakan sisi
kemanusiaan anak. Metode gradual sangat memperhatikan tahapan
perkembangan psikologis anak dan metode yang menyenangkan
membuat anak tetap bergembira dalam menerima materi pelajaran.
Dengan demikian, metode ini harus diterapkan dalam pengajaran
sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Nabi Muhammad saw
dalam hadits tersebut.
Hadits ini jelas sesuai dengan konsep pendidikan yang humanis
karena memerintahkan penggunaan metode gradual dan menyenangkan
dalam pengajaran merupakan salah satu hal yang memperhatikan
aspek-aspek kemanusiaan siswa.
5. Metode Pemberian Pujian (Reward)
a. Hadits dan Terjemahannya
53
―Menyampaikan kepada kami Abdul Aziz bin Abdillah, beliau berkata,
Sulaiman menyampaikan kepadanya dari Umar ibnu Abi Umar dari
Sa‘id ibn Abi Sa‘id al-Makbari dari Abu Hurairah, ia berkata: ―Ya
Rasulullah, siapakah yang paling berbahagia dengan syafa‘at
(pertolongan) anda di hari kiamat?‖ Rasulullah saw bersabda: Saya
kira, hai Abu Hurairah, belum ada orang yang bertanya kepadaku
tentang perkara ini sebelumnya, mungkin barangkali karena saya lihat
engkau sangat antusias untuk mendapatkan hadits. Orang yang paling
beruntung mendapatkan pertolonganku di hari kiamat adalah orang
yang mengucapkan Laa Ilaha Illallah, benar-benar ikhlas dari hati
53
Imam Abu Abdillah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim Ibn al-Mughirah Ibn Bardizbah alJa‟fi al-Bukhari, op.cit, juz I, no. 33, h. 35.
77
sanubari dan seluruh jiwanya.‖54
b. Pemahaman Hadits
Abu Hurairah adalah sahabat Rasul saw. Hadits ini menjadi dalil
bahwa sunnah hukumnya memberikan kegembiraan kepada anak didik
sebelum
pembelajaran
dimulai.
Sebagaimana
Rasulullah
saw.
mendahulukan sabdanya ‟saya telah menyangka (saya kira)‟, selain itu
„karena saya telah melihat engkau sangat antusias untuk mendapatkan
hadits‟. Oleh sebab itu perlu memberikan suasana kegembiraan dalam
mengajar.
Nabi Muhammad saw adalah insan kamil yang dijadikan sebagai
suri teladan bagi umat manusia. Dalam pelaksanaan tugas kenabian,
menyeru ke jalan Allah swt, Nabi Muhammad saw menggunakan cara
yang baik dan bijaksana, sekalipun dengan orang kafir, bukan dengan
jalan kekerasan.
Melalui hadits ini Rasulullah saw menjelaskan bahwa dalam
mengajar ada beberapa cara yang dapat digunakan dalam merangsang
minat siswa dalam belajar yang merupakan motivasi atau dorongan
ekstrinsik, diantaranya adalah pemberian pujian (reward). Rasulullah
memberikan pujian kepada Abu Hurairah karena Abu Hurairah sangat
antusias dalam mendapatkan hadits dari Rasulullah.
Dalam pendidikan, pemberian pujian merupakan reward atau
penghargaan atas perilaku baik yang dilakukan anak. Reward sebagai
bagian
dari
metode
pembelajaran digunakan
sebagai
bentuk
reinforcement (dorongan) dalam proses pembelajaran. Penguatan
dalam bentuk pemberian penghargaan dan pujian merupakan salah
satu keterampilan mengajar yang harus dimiliki oleh seorang guru
sehingga dapat memberikan suatu dorongan kepada anak didik dalam
mengikuti pelajaran. Guru menggunakan pujian untuk menumbuhkan
rasa siswa tentang harga diri, otonomi, kemandirian, prestasi dan minat
54
Imam Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani, op.cit, h. 372.
78
untuk belajar.
Secara umum, bentuk reward terdiri dari dua, yaitu berupa materi
dan
non
materi.
Bentuk
materi
berupa
benda-benda
yang
menyenangkan dan berguna bagi anak, misalnya pemberian pensil,
buku tulis, pemberian gambar bintang, beasiswa dan lain-lain.
Sedangkan penghargaan berbentuk non materi berupa kata-kata yang
menggembirakan (pujian), ucapan selamat atas prestasi, pemberian
tepuk tangan, guru mengangguk-ngangguk tanda senang dan
membenarkan suatu jawaban yang diberikan oleh anak didik.55
Menurut Oemar Hamalik, “tujuan pemberian penghargaan dalam
belajar adalah bahwa setelah seseorang menerima penghargaan karena
telah melakukan kegiatan belajar dengan baik, ia akan terus melakukan
kegiatan belajarnya secara mandiri di luar kelas atau sekolah.”56
Islam mengajarkan bahwa barang siapa yang beramal baik, maka
Allah swt akan membalas dengan setimpal. Tetapi bagi yang tidak
melakukan perintah-Nya akan diberikan peringatan dan siksaan.
Menurut Sri Esti, “dari perspektif humanistik, pendidik seharusnya
memperhatikan pendidikan lebih responsif terhadap kebutuhan kasih
sayang (affective) siswa.”57 Imbalan dapat menumbuhkan minat anak
didik dalam belajar. Titik permulaan dalam mengajar yang berhasil
bagi guru adalah membangkitkan minat anak didik karena rangsangan
tersebut membawa kepada senangnya anak didik terhadap pelajaran,
dan meningkatkan semangat mereka.
Maka pemberian reward merupakan suatu bentuk penghargaan
atas prestasi yang telah diraih seseorang atau bentuk motivasi terhadap
apa yang telah diperbuatnya. Reward diberikan guru kepada anak
sebagai pendorong, penyemangat dan motivasi sehingga akan
membentuk rasa percaya diri pada mereka.
Namun satu hal yang perlu diingat oleh guru, dalam memberikan
55
Ngalim Purwanto, op.cit., h. 183.
Oemar Hamalik, Psikologi Belajar dan Mengajar, (Bandung: PT Sinar Baru Algesindo,
2000), h. 184.
57
Sri Esti Wuryani Djiwandono, loc.cit, h. 181.
56
79
pujian
juga
harus
dengan
kehati-hatian.
Dalam
pelaksanaan
proses belajar mengajar guru harus menyadari pemberian celaan atau
pujian yang berlebihan atau terus menerus akan berpengaruh buruk
pada perkembangan jiwa anak.
Jelaslah metode pemberian pujian (reward) merupakan suatu
bentuk metode pengajaran yang humanis. Walaupun terkesan
sederhana tetapi bisa menjadi motivasi tersendiri bagi anak, di samping
mereka akan lebih giat dalam belajar juga dapat menumbuhkan
persaingan yang sehat antar siswa untuk meningkatkan prestasi.
Dengan minat yang tinggi maka siswa akan siap mengikuti pelajaran
dengan senang hati, penuh perhatian dan lebih terarah beraktivitas
dalam proses belajar.
6.
Metode Kontrak Belajar
a. Hadits dan Terjemahannya
58
―Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Muhammad, ia
berkata, telah menceritakan kepada kami Sufyan, beliau berkata, telah
menceritakan kepada kami Amru. Ia berkata, Sa‘id bin Jubair
mengabarkan kepadaku. Ia berkata, Saya mengatakan kepada Ibnu
Abbas, … Khidhir berkata, ―Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan
sanggup sabar bersamaku. Wahai Musa, sesungguhnya aku diberi ilmu
yang Allah ajarkan kepadaku dan tidak diketahui olehmu, dan engkau
diberi pengetahuan dari Allah yang tidak aku ketahui.‖ Musa berkata,
―Insya Allah kamu akan mendapatkan aku sebagai orang yang sabar
dan aku tidak akan menentangmu dalam suatu urusan apapun …‖.59
b. Pemahaman Hadits
58
Imam Abu Abdillah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim Ibn al-Mughirah Ibn Bardizbah alJa‟fi al-Bukhari, op.cit, juz I, no. 44, h. 41.
59
Imam Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani, op.cit, h. 417.
80
Hadits ini berkenaan dengan diperintahkannya Nabi Musa a.s
oleh Allah swt untuk menemui Nabi Khidhir a.s karena kelalaian Nabi
Musa a.s dalam menjawab pertanyaan seseorang dari bani Israil. Ia
menjawab pertanyaan tersebut tanpa mengembalikannya kepada Allah,
maka Allah swt menegur Musa. Lalu diperintahkanlah Nabi Musa a.s
untuk menemui Nabi Khidhir a.s.
Dalam pertemuannya dengan Nabi Khidhir itu, terdapat beberapa
dialog diantaranya perkataan Khidhir ketika pertama kali bertemu
dengan Musa, “Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup
sabar bersamaku.” Lalu Musa berkata kepada Khidhir, “Insya Allah
kamu akan mendapatkan aku sebagai orang yang sabar dan aku tidak
akan menentangmu dalam suatu urusan apapun.” Dialog antara Nabi
Musa dan Nabi Khidhir tersebut menggambarkan adanya suatu
perjanjian di antara mereka. Nabi Musa ingin diajarkan beberapa ilmu
oleh Nabi Khidhir. Kemudian Nabi Khidhir a.s meminta Musa untuk
bersabar apabila ia ingin tetap bersamanya. Musa pun lalu menyetujui
hal tersebut.
Dalam penggalan hadits tersebut terdapat penggunaan metode
pengajaran yang dilakukan Nabi Khidhir a.s terhadap Nabi Musa a.s,
yaitu metode kontrak belajar.
“Belajar yang timbul dari keinginan sendiri acapkali lebih
mendalam dan lebih permanen ketimbang belajar yang diarahkan oleh
guru. Namun demikian, guru harus memastikan bahwa kesetujuan
terhadap apa dan bagaimana sesuatu akan dipelajari haruslah jelas.”60
Salah satu cara untuk mewujudkan hal ini adalah dengan kontrak
belajar.
Metode Learning Contract atau kontrak belajar adalah metode
yang dikembangkan guru untuk mengidentifikasi berbagai kebutuhan
siswa dalam pembelajaran dan aktivitas-aktivitas yang hendak
dikerjakan siswa untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Learning
60
Melvin L. Silberman, op.cit, h. 207.
81
Contract dapat meningkatkan prestasi belajar siswa, memberikan cara
belajar baru bagi siswa, meningkatkan keaktifan siswa dalam belajar,
serta mengetahui karakteristik belajar siswa.
Metode pembelajaran Learning Contract merupakan metode
pembelajaran yang humanis. Rogers mengatakan, “class discussion can
become freer—students aren‘t worried about the effects on their grades
of disagreeing with the instructor.‖61 Dengan metode ini, siswa menjadi
lebih bebas dalam kelas, karena segala sesuatu yang terjadi di kelas
telah disepakati oleh siswa dan guru sebelum pembelajaran di mulai.
Metode ini mengarahkan siswa untuk belajar mandiri, tetapi peran
guru juga sangat penting dalam membantu siswa menemukan cara
belajarnya. Penyusunan kontrak belajar yang efektif harus melibatkan
andil siswa dalam proses implementasinya.
Hendaknya guru menyadari bahwa metode apapun digunakan
untuk menyusun materi pengajarannya, tidak akan berhasil dengan baik
apabila anak didik tidak berperan serta dalam merencanakan dan dalam
kegiatan pengajaran yang berhubungan dengan materi tersebut.
Dengan begitu, penggunaan kontrak belajar membuat siswa
mengetahui dan memahami tujuan belajar yang akan mereka capai,
karena mereka telah merencanakannya sendiri. Hal ini juga dapat
mempermudah guru dalam pencapaian tujuan belajar yang telah
direncanakan.
Sehingga
metode
ini
termasuk metode
yang dianjurkan
penggunaannya menurut hadits. Yaitu perlunya terjalin kerjasama yang
baik antara guru dengan siswa selama proses pembelajaran ke depan.
Sebagaimana Zakiah Daradjat telah menjelaskan bahwa dalam
menyusun materi pengajaran, kegiatan belajar, atau situasi belajar,
jangan memandang kepada guru dari seginya sendiri, akan tetapi harus
dipandang kepadanya dari segi murid yang ditujukan kepadanya proses
belajar. Dengan demikian pengajaran akan mempunyai bekas yang
61
Carl Rogers, op.cit., h. 27.
82
kekal dalam diri anak didik. Salah satu cara yang dapat digunakan
adalah dengan pengikut-sertaan anak didik dalam membuat langkahlangkah dan merangsang sebanyak mungkin kegiatan mereka.62
7.
Metode Tanya Jawab
a. Hadits dan Terjemahannya
63
‖Ismail menyampaikan kepada kami, beliau berkata, menyampaikan
kepadaku Malik dari Abdullah bin Dinar dari Abdullah bin Umar
bahwasanya Rasulullah saw bersabda, sesungguhnya di antara pohonpohon ada pohon yang tidak jatuh daunnya, pohon tersebut seperti
orang muslim, beritahu aku pohon apakah itu?‖ Orang-orang
menyangka pohon tersebut adalah pohon belukar, sedangkan aku
menduga pohon tersebut adalah pohon kurma. Abdullah berkata, ―Ya
Rasulullah, beritahu kami pohon apakah itu?‖ Maka Rasulullah
menjawab, ―Pohon kurma‖.‖64
b. Pemahaman Hadits
Imam Bukhari meriwayatkan dalam kitab Ath‘imah dari jalur
A‟masyi dikatakan, telah menceritakan kepadaku Mujahid dari Ibnu
Umar dan berkata, “Ketika kami sedang bersama Rasulullah saw
datanglah
seseorang
membawa
kurma.”
Kemudian
Rasulullah
bersabda, “Sesungguhnya kurma adalah pohon yang kuberkahi
sebagaimana orang muslim kuberkahi.” Keberkahan kurma terdapat
pada setiap bagiannya, mulai dari muncul buahnya hingga dikeringkan
dan dapat dimakan.65
62
Zakiah Daradjat, loc.cit, h. 28.
Imam Abu Abdillah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim Ibn al-Mughirah Ibn Bardizbah alJa‟fi al-Bukhari, op.cit, juz I, no. 50, h. 44.
64
Imam Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani, op.cit, h. 271.
65
Ibid, h. 272.
63
83
Dalam hadits ini
Abu Awanah dalam kitab shahihnya
menerangkan dari jalur Mujahid dari Ibnu Umar tentang perkataan Ibnu
Umar “Aku menduga pohon tersebut adalah kurma yang dibawa oleh
beliau.‖ Dalam redaksi tersebut terdapat petunjuk, bahwa ketika
memberi pertanyaan harus melihat kepada faktor-faktor yang ada di
sekelilingnya ketika pertanyaan tersebut dilontarkan. Kemudian
hendaknya pertanyaan yang ditanyakan tidak terlalu umum, supaya
tidak membingungkan bagi yang akan menjawab.
Terlihat dalam hadits tersebut Rasulullah saw menerapkan metode
tanya jawab dalam menyampaikan pengajaran. Metode tanya jawab
sering dilakukan oleh Rasul saw dalam mendidik akhlak para sahabat.
Pelajaran yang dapat diambil dari hadits ini yaitu seorang pengajar
dapat menguji kemampuan muridnya dengan apa yang tersembunyi dan
memberitahukannya jika mereka tidak mengetahui hal tersebut.
“Dalam mengajar, metode bertanya merupakan teknik penyajian
pelajaran dalam bentuk pertanyaan yang harus dijawab, terutama dari
guru kepada siswa dan dapat pula dari siswa kepada guru.”66 Metode ini
dapat diklasifikasikan sebagai metode tradisional atau konvensional.
Dialog yang terbangun dari tanya jawab akan memberi
kesempatan kepada peserta didik untuk bertanya tentang sesuatu yang
tidak mereka pahami. Pada dasarnya metode tanya jawab adalah tindak
lanjut dari penyajian ceramah yang disampaikan pendidik. Dalam hal
penggunaan metode ini, Rasulullah saw menanyakan kepada para
sahabat tentang penguasaan terhadap suatu masalah.
Dalam proses tanya jawab terdapat pola hubungan interaksi multi
arah. Dalam memberikan pertanyaan, guru yang demokratis tidak akan
menjawabnya sendiri, tetapi akan melemparkan pertanyaan dari siswa
kepada siswa atau kelompok lainnya. Selain itu, ia pun tidak akan
menjelaskan sampai tuntas tentang apa jawaban dari pertanyaan yang
66
Saiful Bahri Djamarah, op.cit, h. 107.
84
diajukannya. Dari pertanyaan ini akan muncul beberapa orang yang akan
berinteraksi di dalam pertanyaan tersebut. Dalam penggunaan metode
mengajar di dalam kelas, tidak hanya guru saja yang senantiasa berbicara
seperti halnya metode ceramah, melainkan mencakup pertanyaan
pertanyaan dan penyumbang ide-ide dari pihak siswa.
Dengan metode tanya jawab, pertanyaan yang diajukan mengumpan
siswa berpikir kritis pada pokok bahasan yang sedang dipelajari. Eksistensi
peran guru dalam upaya membelajarkan siswa dituntut multi peran
sehingga menciptakan kondisi belajar mengajar yang efektif. Dengan
metode ini, apabila guru selalu mengapresiasi setiap pertanyaan maupun
jawaban siswa, akan menciptakan daya dorong dan rasa senang bagi siswa
dalam belajar. Mereka akan merasa bahwa jawabannya dihargai oleh guru.
Dengan demikian, guru dan semua siswa belajar dengan perasaan
senang (joyful learning), bukan dengan perasaan takut ditunjuk oleh
gurunya untuk menjawab pertanyaan. Oleh karena itu, penggunaan metode
tanya jawab akan lebih efektif jika diikuti dengan metode lain, misalnya
penugasan atau latihan, atau demonstrasi.
Para tokoh teori pendidikan humanis tidak banyak membahas
tentang penggunaan metode ini. Dengan begitu penulis menyimpulkan
bahwa penggunaan metode ini dibolehkan saja asal tidak berlebihan
dalam penggunaannya. Metode tanya jawab dapat dikatakan humanis,
karena metode ini dapat menarik dan memusatkan perhatian siswa,
sekalipun ketika itu siswa sedang ribut, yang mengantuk kembali tegar
dan hilang kantuknya. Merangsang siswa untuk melatih dan
mengembangkan daya pikir, termasuk daya ingatan. Mengembangkan
keberanian
dan
keterampilan
siswa
dalam
menjawab
dan
mengemukakan pendapat.
Pembahasan mengenai metode tanya jawab pada hadits ini
merupakan metode yang baik untuk diterapkan dalam lingkungan
pembelajaran.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pendidikan humanis menekankan pentingnya memahami setiap individu
sebagai seorang manusia sesuai fitrahnya. Banyaknya hadits yang
membahas pentingnya menerapkan konsep humanis dalam memberikan
pengajaran merupakan sebuah bukti bahwa kajian mengenai konsep
pendidikan ini telah lama diajarkan oleh Rasulullah saw.
2. Pendidik yang humanis adalah pendidik yang memperlakukan anak
didiknya sesuai dengan potensi mereka, tanpa memaksa, dan menekan
siswa menjadi seseorang yang bukan dirinya. Setiap siswa memiliki
potensi masing-masing, berbeda antara satu dan lainnya. Dalam hadits,
seorang pendidik yang humanis haruslah dapat memberi pengajaran sesuai
tingkatan psikologis siswa, menghindari pemberian pengajaran setiap
waktu karena dikhawatirkan siswa akan merasa bosan, tegas terhadap
siswa tanpa harus marah, dan sikap yang apa adanya. Pendidik harus
mampu memunculkan rasa kasih sayang, mampu memberi motivasi, dan
menumbuhkan suasana belajar dialogis di dalam kelas.
3. Metode humanis merupakan cara guru memberikan kebebasan kepada
siswa dalam berpikir dan bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip
kemanusiaan. Dalam metode belajar yang humanis, guru harus
mengoptimalkan seluruh potensi siswa agar dapat berpikir kritis dan
mengembangkan kemampuannya dalam keterampilan dan sikap. Dalam
hadits,
metode
pembelajaran
yang
humanis
harus
selalu
mempertimbangkan aspek psikologis siswa. Metode-metode pembelajaran
humanis dalam hadits antara lain metode simulasi, metode eksperimen,
metode tukar informasi, metode yang menyenangkan, metode pemberian
reward, metode kontrak beajar dan metode tanya jawab.
85
86
B. Implikasi
Implikasi dari penelitian ini adalah:
1. Perkataan maupun perbuatan Nabi yang terkandung di dalam hadits dapat
dijadikan sumber rujukan bagi para pendidik dalam melakukan pengajaran
yang baik dalam pendidikan Islam.
2. Berbagai pelatihan mengenai peningkatan kompetensi pendidik harus
senantiasa dilakukan untuk mengembangkan kemampuan pendidik dalam
mengajar siswa dengan metode-metode yang humanis.
C. Saran
1. Bagi pendidik, harus mampu memahami potensi dan psikologis siswa
demi tercapainya kegiatan belajar mengajar yang kondusif dan efektif.
Siswa yang malas, nakal, dan lambat dalam belajar hendaknya diberikan
pendekatan yang intensif dan personal oleh guru. Dengan begitu mereka
akan terbuka dan merasa termotivasi untuk belajar.
2. Dalam mengajar hendaknya pendidik tidak selalu menggunakan metode
pengajaran yang sifatnya satu arah. Penggunaan metode pengajaran multi
arah akan memudahkan siswa dalam memahami materi pelajaran,
sehingga mereka merasa senang dan tidak bosan dalam belajar.
3. Bagi lembaga pendidikan, agar menerapkan sistem pengajaran yang
mengutamakan
prinsip-prinsip
humanisme.
Lembaga
pendidikan
hendaknya menyiapkan guru yang kompeten dan mampu mengajar siswa
dengan metode-metode belajar yang humanis.
DAFTAR PUSTAKA
Alimi, Ibnu Ahmad. Tokoh dan Ulama Hadis. Sidoaro: Mashun, 2008.
Ahmadi, Abu. dan Widodo Supriyono. Psikologi Belajar. Jakarta: Rineka Cipta,
2013.
Amin, Moh. dkk. Humanistic Education. Bandung: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Dirjen Pendidikan Tinggi, 1979.
Anitah, Sri. dkk. Strategi Pembelajaran di SD. Jakarta: Universitas Terbuka,
2007.
Arief, Armai. Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat
Pers, 2002.
Asqalani, Al Imam Al Hafizh Ibnu Hajar. Fathul Baari Syarah: Shahih Al
Bukhari. Jakarta: Pustaka Azzam, 2002.
Azwar, Saefudin. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.
Bukhari, Imam Abu Abdillah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim Ibn al-Mughirah
Ibn Bardizbah al-Ja’fi. Shahih Bukhari. Daar al-Fikr.
Dadang. Teori Belajar Humanisme Arthur W. Combs Meaning; Makalah Ilmu
Pendidikan dan Perpustakaan. 2013. (Error! Hyperlink reference not valid.).
Daradjat, Zakiah. Kepribadian Guru. Jakarta: Bulan Bintang, 2005.
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008.
DePorter, Bobbi. Quantum Teaching. Bandung: Kaifa, 2000.
Djamarah, Saiful Bahri. Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif. Jakarta :
PT. Rineka Cipta, 2000.
Djiwandono, Sri Esti Wuryani. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT. Gramedia
Widiasarana Indonesia, 2006.
Engkoswara. Dasar-dasar Metodologi Pengajaran. Jakarta: Bina Aksara, 1988.
Farid, Syaikh Ahmad. 60 Biografi Ulama Salaf. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2008.
Firdaus. Metode Pengajaran Rasulullah. Surabaya: Prenada, 1998.
87
88
Gunawan, Imam. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Bumi Aksara, 2013.
Hadi, Sutrisno. Metodologi Research. Yogyakarta: Andi Yogyakarta, 2000.
Hamalik, Oemar. Psikologi Belajar dan Mengajar. Bandung: PT Sinar Baru
Algesindo, 2000.
Herlina,
Nina.
Metode
Pembelajaran
Kelompok.
2013.
(http://herlinanina22.blogspot.com/2013/02/metode-pembelajarankelompok.html).
Ibrahim, Muhammad Hamd. Maal Muallimiin, terj. Ahmad Syaikhu. Jakarta:
Darul Haq, 2002.
Ibrahim, Sulaeman. Pendidikan Sebagai Imperialisme dalam Merombak Pola
Pikir Intelektualisme Muslim. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
Indrawati., dan Wawan Setiawan. Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan
Menyenangkan Untuk Guru SD. Jakarta: PPPTK IPA, 2009.
Khaeruman, Badri. Otentisitas Hadis. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004.
Khon, Abdul Majid. Ulumul Hadits. Jakarta: Amzah, 2008.
_________. Ulumul Hadits. Jakarta: Pusat Studi Wanita UIN Syarif Hidayatullah,
2005.
Luddin, Muchlis R. Negara, Pendidikan Humanis dan Globalisasi. Jakarta: PT.
Karya Mandiri Pers, 2008.
Malik, Imam. Muwattha, Bab an-Nahyu ‘anil Qauly bil Qadari. Jakarta: Pustaka
Azzam, 2010.
Mangunhadjana, A. Isme-isme dari A sampai Z. Yogyakarta: Kanisius, 1997.
Mangunwijaya, Y.B. Mencari Visi Dasar Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius,
2001.
Mcgrath, Alister E. Sejarah Pemikiran Reformasi. Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2006.
Muhdi, Ali. Ideologi dan Paradigma Pendidikan Nasional Dalam Buku
Konfigurasi Politik Pendidikan Nasional. Yogyakarta: Pustaka Fahioma,
2007.
Mulkhan, Abdul Munir. Nalar Spiritual Pendidikan: Solusi Problem Filosofis
Pendidikan Islam. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002.
Mulyasa, E. Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru. Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2009.
89
Nata, Abuddin. dan Fauzan (eds). Pendidikan dalam Perspektif Hadits. Ciputat:
UIN Jakarta Press, 2005.
__________. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Nizar, Samsul. Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2001.
Okezone.com News & Entertainment. Kualitas Guru Rendah, Penyakit Utama
Pendidikan Indonesia. 2013. (http://kampus.okezone.com/read/2013/01
/02/373/740458/kualitas-guru-rendah-penyakit-utama-pendidikanindonesia).
Positivego. Masalah Pendidikan di Indonesia dan Solusinya.
(http://positivego.blogspot.com/2012/11/masalah-pendidikan-diindonesia.html).
2012.
Purwanto, Ngalim. Psikologi Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya,
1997.
Qomari, Anwar. Pendidikan Sebagai Karakter Budaya Bangsa. Jakarta:
UHAMKA Press, 2003.
Rajabi, Mahmud. Horison Manusia. Jakarta: al-Huda, 2006.
Rogers, Carl. Carl Rogers and Humanistic Education. 1977.
Sanjaya, Wina. Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2008.
Sardiman, A.M. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Rajawali Pers,
2010.
Silberman, Melvin L. Active Learning. Bandung: Nuansa, 2012.
Suparta, Munzier. Ilmu Hadits. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006.
Suralaga, Fadilah. dkk. Psikologi Pendidikan dalam Perspektif Islam. Ciputat:
UIN Jakarta Press, 2005.
Suryabrata, Sumadi. Metode Penelitian. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1998.
Suryosubroto. Proses Belajar Mengajar di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta, 2009.
Susilo, Eko. Dasar-dasar Pendidikan. Semarang: Effhar, 1990.
Syaefudin, Udin. dan Abin Syamsuddin. Perencanaan Pendidikan Pendekatan
Komprehensif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005.
90
Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: Rosdakarya,
2005.
Tandjung, Zainal Arifin. Sejarah Singkat Filsafat Modern: dari Descartes sampai
Wittgenstein. Jakarta: Pantja Simpati, 1984.
Tilaar, H.A.R. Manifesto Pendidikan Nasional, Tinjauan dari Perspektif
Postmodernisme dan Studi Kultural. Jakarta: Penerbit Buku Kompas,
2005.
Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Jakarta: Depdiknas RI, 2003.
Veugelers, Wiel (ed). Education and Humanism. Netherland: Sense Publishers,
2011.
Witherington, H.C. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Aksara Baru, 1978.
Zamroni. Pendidikan untuk Demokrasi: Tantangan Menuju Civil Society.
Yogyakarta: Bigraf, 2001.
Zucca-Scott, Laura. International Education. 2010.
UJI REFERENSI
Seluruh referensi yang digunakan dalam penulisan skripsi yang berjudul
*Konsep
pendidikan Humanis Dalam Perspektif Hadits" yang disusun oleh Suci Nurpratiwi
NIM
109011000240 Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas
dan Keguruan
IIIN
Ilmu Tarbiyah
Syarif Hidayatullah lakarta, telah diuji kebenarannya oleh
pembimbing skripsi padatatggal 12 Desember 2013.
J
=Dosen Pembimbing SkriPsi
Dr. Jejen Musfah. MA
NrP. 19770602 200501 1 004
akart4 1 2 Desemb er 20
13
UJI REFERE,NSI
Judul Buku
Nama Pengarang
Halaman
No.
I
A. Mangunhadlana
Isme-isme dari
A
sampai
93
7.
2.
a
J.
Abdul Maiid Khon
Abdul Munir Mulkhan
)) )\q
Ulumul Hadits
Nalar
Spiritual
Pendidikan: Solusi
Problem Filosofis
Pendidikan Islam
Psikologi Belajar
4.
Abu Ahmadi dan Widodo
5.
Suorivono
Abuddin Nata dan Fauzan
(eds)
Perspektif Hadits
Pendidikan
7.
Abuddin Nata
Ahmad Tafsir
8.
Al
Imam A1 Hafizh Ibnu
Hajar Al Asqalani
Filsafat Pendidikan Islam
Ilmu Pendidikan dalam
Persoektif Islam
Fathul Baari Syarah:
Shahih Al Bukhari
lp
V
28,207,
2r8,247,
248
6.
V
95
237,238
dalam
Paraf
9t
26
272,308,
309,312,
b-
\,c
r
!V
357
9.
Ali Muhdi
Ideologi dan Paradigma
18
Pendidikan
Nasional
dalam Buku Konfigurasi
Politik
tr
Pendidikan
Nasional
10.
Alister E. Mcgrath
11
Anwar Qomari
t2.
Armai Arief
13.
Badri Khaeruman
Sejarah
Pemikiran
Reformasi, diterjemahkan
oleh Liem Sien Kie
53
Pendidikan
42
Sebagai
Karakter Budaya Bangsa
Pengantar Ilmu dan
Metodologi Pendidikan
Islam
Otentisitas Hadis
lt*
183,185
b194,195,
199
14.
15.
t6.
Bobbi DePorter, et.al
Carl Rogers
Dadang
Ouantum Teachins
Carl
Rogers
and
Humanistic Education
Teori Belajar Humanisme
Combs
Arthur W.
Meaning; Makalah Ilmu
t-
201
22,27,28,
42,44
V-
tr
F-
L
Pendidikan
dan
Perpustakaan.20ll
17.
Departemen Pendidikan
18.
Nasional
E. Mulyasa
24.
Eko Susilo
Engkoswara
2t.
Fadhilah Suralaga, dkk
19.
22.
Firdaus
H.A.R. Tilaar
24.
H.C. Witherington
Kamus Besar
Bahasa
Indonesia Pusat Bahasa
Standar Kompetensi dan
Sertifikasi Guru
Dasar-dasar Pendidikan
Dasar-dasar Metodologi
Pengaiaran
Pendidikan
dalam Perspektif Islam
Metode Pengajaran
Rasulullah
Manifesto Pendidikan
Nasional, Tinjauan dari
Perspektif
\stmodernisme dan
Sthdi Kultural
Psikologi Pendidikan,
Terj. dari Educational
Psikologi
Psychology
25.
26.
Ibnu Ahmad
'Alimi
Imam Abu Abdillah
Muhammad Ibn Ismail
oleh
27.
Buchori
Tokoh dan Ulama Hadis
Shahih Bukhari
28.
29.
30.
31.
32.
J5.
34.
Imam Malik
Laura Zucca-Scott
Muhammad
36.
37.
Ibrahim
Munzier Suparta
Nealim Purwanto
Nina Herlina
38.
Penelitian
Hamd
I
55,
ts6
t9
46,50
\[
li-
b35
l}-
tt9
v
77
V
181, 186
le.
27,29,33,
35,41,44,
q)
It
80,179,
r81
Muwattha
t323
Humanism in Education,
International Education
Horison Manusia
Ulumul Hadits
Active Learning
Humanistic Education
Negara, Pendidikan
Humanis dan Globalisasi
Maal Muallimiin, terj.
Ahmad Syaikhu
Ilmu Hadits
Psikoloei Pendidikan
Pembelaiaran
Metode
L
133
Kualitatif
The Importance of
Mahmud Raiabi
Majid Khon,.dkk
Melvin L. Silberman
Moh. Amin, dkk
Muchlis R. Luddin
35.
Metode
F
M.
Ibn Ibrahim Ibn
alMughirah Ibn Bardizbah
al-Ja'fr al-Bukhari
lmam Gunawan
412
p
w
34
it
31
V
2,242,243
l,-
166,207
u
8,9
b
48
27
h,
L
49.50.239
183
t0-
t
Kelompok
39.
Administrasi
Oemar Hamalik
dan
44,45
Supervisi Pengembangan
Kurikulum
40.
Psikologi Belajar
Oemar Hamalik
dan
\P
184
ti-
Mensaiar
41.
Okezone.com News & Kualitas Guru Rendah,
42.
Positivego
43.
44.
Saefudin Azwar
Saiful Bahri Djamarah
45.
Utama
Pendidikan Indonesia
Masalah Pendidikan di
Indonesia dan Solusinya
Metode Penelitian
Guru dan Anak Didik
Samsul Nizar
46.
47.
Sri Anitah, dkk
48.
Sri
Esti
p
Penyakit
Entertainment
Wuryani
dalam Interaksi Edukatif
Pengantar Dasar-dasar
Pemikiran Pendidikan
Islam
Interaksi dan Motivasi
Belaiar Mensaiar
Shategi Pembelajaran di
SD
Psikologi Pendidikan
Djiwandono
t'
89.91
50, ta7
t
F
97-98
t
t4
24
tl-
P
70,84, L02,
187,181,
345,348,
u.
349
49.
50.
Sumadi Suryabrata
Suryosubroto
51.
52.
53.
Sutrisno Hadi
Syaikh Ahmad Farid
Udin Syaefudin dan Abin
Syamsuddin
54.
Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2003
56.
W el Veuselers (ed)
Wina Sanjaya
57.
Y.B. Mangunwijaya
58.
Zainal Arifin Tandjung
55.
59.
ZakiahDaradiat
RI
Metode Penelitian
Proses Belajar Mengajar
di Sekolah
Metodolosi Research
60 Biosrafi Ulama Salaf
Perencanaan Pendidikan
Pendekatan Komprehensif
Undang-undang
RI
8
t67
46.47
467
129
l'-
L
L
tt
I
8
Nomor 20 Tahun 2003
Tentang
Sistem
Pendidikan Nasional
Education and Humanism
Perencanaan dan Desain
Sistem Pembelaiaran
Mencari
Dasar
Pendidikan
Sejarah Singkat Filsafat
Modern: dui Descartes
sampai Wittsenstein
Kepribadian Guru
Visi
lL
I
178, lgl
160
'tr
u-
I
32t
L
11.15.17.
tF
60.
Zarr:-r.oni
Pendidikan
untuk
Tantangan
Menuiu Civil Societv
Demokrasi:
Dosen Pembimbing
Dr. Jeien Musfah. MA
NrP. 19770602 200s01 1 004
18,19,24,
25-28.33
24
u
Download