Document

advertisement
ISSN: 2805-2754
ISLAM DAN KEBEBASAN BERFIKIR
(Telaah Pustaka)
Oleh
Daryanto*)
*)Dosen Tetap Akademi Keperawatan Mamba’ul ‘Ulum Surakarta
ABSTRAK
Tuhan menurunkan wahyu lewat Nabi, kemudian manusia dengan akalnya berusaha
memahami wahyu tersebut. Pada tataran ini, beragama berarti mencari titik temu antara wahyu
dan akal. Terkadang pertemuan tidak berjalan mulus, bahkan kadang menjadi sebuah ketegangan.
Tarik menarik antara Tuhan dan manusia, antara wahuyu da akal adalah tema penting dalam
beragama. Dalam Islam, produk dari ketegangan itu adalah tradisi yang sangat kaya. Berbagai
aliran pemikiran muncul, seperti Jabbariyah yang sangat deterministik, Qodariyah yang sangat
liberal, Ahl al-Hadist yang sangat menekankan otoritas wahyu, Mu’tazilah yang sangat
menekankan peran akal dan lainnya.
Bagi orang Islam al-Qur’an adalah wahyu Tuhan yang harus dijadikan petunjuk. Tetapi
masalahnya, al-Qur’an seringkali berbicara mengenai hal-hal yang bersifat umum. Sholat saja,
misalnya, yang menjadi tiang agama, tidak dijelaskan bagaimana gerakan-gerakan dan
bacaannya. Mengandalakan al-Qur’an saja dalam memecahkan masalah-masalah keseharian
tidaklah cukup.
Al-Qur’an dan al hadist disampaikan oleh Allah SWT.dalam bahasa arab, dan bahasa
apapun itu biasanya bersifat reduktif. Siapa yang bisa menjelaskan enaknya cendol kepada
seorang teman dengan bahasa sehingga teman yang belum pernah merasakan cendol tersebut
menangkap sepenuhnya rasa cendol yang kita rasakan. Bahasa terkadang tidak mampu
menjelaskan sepenuhya realitas keseharian kita. Bahkan, kalau untuk menjelaskan realitas
manusia saja tidak bahasa saja tidak mampu, bagaimana biasa menjelaskan realitas langit yang
sedang ditunjuk oleh al-Qur’an, yang disifati sebagai “tak pernah dilihat mata, tak pernah didengar
telinga, dan tak pernah tergetar sedikitpun dalam hati manusia.
Al-Qur’an meletakkan akal sesuai dengan fungsi dan kedudukannya, tidak seperti yang
dilakukan oleh kalangan Barat yang menempatkan akal sebagai “Tuhan” dan segala-galanya bagi
kehidupan mereka. Allah SWT.menyatakan akal manusia dalam keadaa terbatas sehingga
memerlukan perangkat lain untuk dapat memahami fenomena alam yang tidak mampu
dijangkaunya.
Dalam Islam akal mempunyai otoritas yang luas dalam arti,Islam memberikan kebebasan
kepada akal manusia untuk mengungkap fenomena alam sebagai alat menjelaskan misi
kemanusiaanya sebagai kholifah Tuhan di bumi. Allah dalam memberikan kebebasan bukannya
tanpa batas, ada garis-garis yang tidak mampu dijangkau akal manusia.
Kata Kunci: Islam, Akal dan Kebebasan berfikir
PENDAHULUAN
Dalam beragama ada dua
keniscayaan: Tuhan dan manusia. Tanpa
Tuhan tidak ada agama. Tanpa manusia
juga tidak ada agama. Tuhan dan manusia
adalah dua sisi mata uang agama.
72
Tuhan menurunkan wahyu lewat
Nabi, lalu manusia dengan akalnya
berusaha memahami wahyu tersebut.
Pada tataran ini, beragama berarti mencari
titik temu antara wahyu dengan akal.
Pertemuan tidak selalu mulus, kadangkadang berubah menjadi sebuah
JKèm-U, Vol. V, No. 15, 2013:72-78
ketegangan. Tarik menarik antara Tuhan
dan manusia, antara wahyu dan akal
adalah tema penting dalam beragama.
Dalam Islam, produk dari ketegangan itu
adalah tradisi yang sangat kaya. Berbagai
aliran pemikiran muncul: Jabbariyah yang
sangat deterministic, Qadariyah yang
sangat liberal, Ahl al-Hadits yang sangat
menekankan otoritas wahyu, Mu’tazilah
yang sangat menekankan peran akal, dan
lain-lain.
Wahyu
adalah
sumber
kebenaran. Demikian juga akal. Wahyu
menyatakan bahwa membunuh dan
berdusta itu buruk. Tetapi tanpa wahyu,
terutama menurut pandangan Mu’tazilah,
akalpun bisa menyatakan hal yang sama.
Berasal dari Tuhan, kebenaran wahyu
bersifat mutlak dan abadi. Berasal dari
manusia, kebenaran akal relative dan
kontekstual. Karena posisinya yang
demikian, kebenaran wahyu lebih unggul
dari kebenaran akal. Akal harus tunduk
pada wahyu. Tapi masalahnya, siapa
selain Tuhan yang bisa mengetahui
kebenaran wahyu yang mutlak tersebut?
Manusia dengan akalnya.
Manusia yang paling memahami
wahyu adalah Nabi. Dialah manusia
sempurna yang dekat dengan Tuhan.
Kata-kata dan perbuatan Nabi, yang
kemudian disebut hadits atau sunnah,
menjadi alat penting dalam menjelaskan
wahyu. Sumber untuk mengetahui
kebenaran Tuhanpun menjadi dua: AlQur’an dan Hadits Nabi.
Berbicara tentang kebebasan
berfikir dalam Islam sesungguhnya adalah
diskusi
tentang
hubungan,
atau
ketegangan, antara Al-Qur’an, hadits dan
akal manusia.
Reflkeksi dan Analisis
A. Hubungan al-Qur’an dan Hadits
Bagi orang Islam al-Qur’an adalah
wahyu Tuhan yang harus dijadikan
petunjuk. Tapi masalahnya, al-Qur’an
seringkali berbicara mengenai hal-hal yang
bersifat umum. Shalat saja, misalnya, yang
menjadi tiang agama, tidak dijelaskan
Islam dan Kebebasab berfikir
bagaimana
gerakan-gerakan
dan
bacaannya. Mengandalkan al-Qur’an
dalam memecahkan masalah-masalah
keseharian tidaklah cukup. Pada masa
khalifah Ali bin Abi Thalib (35-40 H / 65661 M) sekelompok muslim yang dikenal
sebagai khawarij, menolak kebijakan Ali
untuk bertahkim ( menyelesaikan
peperangan lewat arbitasi) dengan
Muawiyah. ‘Ali mengutus Ibnu Abbas untuk
berdiskusi dengan mereka dengan
harapan kembali kepada Al-Qur’an dan
sunnah serta mengakui kekhalifahan ‘Ali.
Sebelum berangkat Ali menasehati Ibnu
Abbas untuk tidak menggunakan al-Qur’an
sebagai dasar berargumen, karena alQur’an itu multi-interpretasi (dhu’ wujuh).
Apa yang Ibnu Abbas katakan dari alQur’an akan selalu dijawab khawarij yang
juga
diambil
dari
al-Qur’an.
“berargumenlah dengan sunnah,” tegas
Ali. Ali melihat bahwa menggunakan alQur’an tanpa rujukan lain tidak akan
memberikan jalan keluar. Walaupun alQur’an adalah sumber
Islam yang
pertama, tetapi dalam prakteknya sumber
rujukan yang paling produktif ada diluar alQur’an dan sunnah.
Nabi sendiri menyebut al-Qur’an
sebagai “tali yang membentang dari langit
ke bumi (habl mamdud min al-sama’ ila alard).” Sebagai tali penghubung, al-Qur’an
sangatlah penting. Tanpa al-Qur’an kita
tidak bisa berhubungan dengan dunia
langit. Tapi yang lebih penting lagi adalah
realitas yang ada di ujung tali itu. Dalam
ilmu kajian (teologi), terutama diantara
pengikut Abu Hasan al-Anshari (w.324 H/
935-6 M), tokoh penting dibalik munculnya
madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah,
realitas diujung tali itu disebut dengan
Madlul (signified), yang ditunjuk), yaitu alkalam al-haqiqi (kalam Tuhan yang
sebenarnya). Sementara al-Qur’annya
sendiri disebut dal (signifier, yang
menunjuk). Berada dalam diri Tuhan,
realitas ini sangat luas dan abadi. Para
mufassir menyadari hal ini. Mereka
mengenal tafsir dan ta’wil. Sementara tafsir
lebih menitikberatkan pada makna zahir
73
(permukaan), sementara ta’wil pada
makna batin. Juga ada makna qarib
(dekat) dan makna ba’id (jauh).
Kalau al-Qur’an oleh Nabi
disebut tali penghubung antara langit dan
bumi, maka hadits bisa disebut sebagai tali
penghubung antara Nabi dan masyarakat
Muslim. Berbeda dengan al-Qur’an,
realitas yang ditunjuk oleh hadts adalah
realitas manusia. Dibanding realitas
Tuhan, realitas manusia lebih bisa
dijangkau dan dimengerti karena manusia
manapun pada dasarnya memiliki karakter
dan kebutuhan yang sama. Tetapi masalah
lain muncul. Karena berasal dari manusia,
nilai kebenaran yang dikandung hadits
berada dibawah objektifitas al-Qur’an.
Padahal memilih objektifitas dari timbunan
subjektifitas sangatlah sulit.
Tidak mengherankan kalau para
ulama mempertanyakan kebenaran, atau
shahih tidaknya, suatu hadits. Bukhari
(w.256 H/ 870 M) dan Muslim (d.261/875)
banyak menghabiskan waktu, tenaga dan
fikiran untuk memisah-misah mana haditshadits yang benar dan yang tidak.
Hasilnya? Selama 16 tahun bukhari
berhasil mengumpulkan 600.000 hadist
dan hanya 7397 (atau 2762 tanpa
pengulangan) yang dinilai shahih.
Sementara
Muslim
berhasil
mengumpulkan sekitar 300.000 dan hanya
4.000 (atau 3.000 tanpa pengulangan) saja
yang dipilih.
Jumlah ini terlalu terbatas untuk
menjawab
persoalan-persoalan
masyarakat Muslim yang demikian
kompleks.
Belum
lagi
masalah
dekontekstualisasi Hadits. Saya berfikir
Nabi sering berbicara panjang lebar, tetapi
jarang sekali ada hadist panjang.
Nampaknya pembicaraan Nabi yang
panjang itu dipotong-potong menjadi
kalimat-kalimat pendek sehingga konteks
kalimatnya hilang. Hadits cenderung
diperlakukan sebagai suatu pernyataan
yang autonomus dan self sulfficient.
Faktor bahasa juga penting
untuk diperhatikan. al-Qur’an dan hadits
disampaikan dalam bahasa Arab dan
74
bahasa, bahasa apapun itu, sangatlah
reduktif. Siapa yang bisa menjelaskan
enaknya cendol kepada seorang teman
dengan bahasa sehingga teman yang
belum pernah merasakan cendol tersebut
mengkap sepenuhnya rasa cendol yang
kita rasakan.? Bahasa tidak mampu
menjelaskan
sepenuhnya
realitas
keseharian kita. Akan lebih sulit lagi
menjelaskan realitas yang jauh dari ruang
dan waktu kita. Bahkan, kalau untuk
menjelaskan realitas manusia saja bahasa
sudah tidak mampu, bagaimana bisa
menjelaskan realitas langit yang sedang
ditunjuk oleh al-Qur’an, yang disifati
sebagai “ tak pernah dilihat mata, tak
pernah didengar telinga, tak pernah
tergetar sedikitpun dalam hati manusia.”
Pada sisi lain, dengan latar
belakang masyarakat Nabi abad ke-7, alQur’an dan hadits mengandung kata-kata
dan benda-benda yang khas. Perlu usaha
untuk menegaskan bahwa makna katakata itu atau benda-benda itu melampaui
batas ruang dan waktu sehingga,
walaupun secara fisik pada abad ke-7,
mereka jga milik kita; bahwa kata-kata dan
benda-benda itu yang kita miliki sehingga
nilainya bisa di transfer. Memedakan
antara makna dan kata, dan memperluas
makna dan kata, nampaknya menjadi tema
besar yang harus difikirkan oleh
masyarakat muslim.
B. Hukum ketika tidak ada dalam alQur’an dan Hadits
Sifat al-Qur’an yang demikian
umum dan jumlah hadits yang terbatas
mengharuskan kita untuk mencari sumber
lain diluar keduanya. Ibnu ‘Abbas, kalau
ditanya tentang suatu masalah, pertamatama ia akan melihatnya didalam alQur’an. Jika tidak ditemukan, dia akan
merujuk ke hadits. Jika juga tidak
ditemukan, dia akan merujuk ke hadist.
Jika juga tidak ditemukan. “aku akan
menggunakan fikiranku sendiri (ajtahid
ra’yi).” Kata-kata “aku akan menggunakan
fikiranku
sendiri”
memiliki
makan
sosiokultural yang sangat kompleks. Ibnu
JKèm-U, Vol. V, No. 15, 2013:72-78
‘Abbas adalah produk masyarakat dan
zamannya. Ketika berfikir, pada hakikatnya
dia sedang membuka dirinya pada realitas
social budaya yang ada di sekitarnya.
Maka untuk memahami alqur’an, dia
menguasai syair Arab, geneologi, maghazi
(cerita peperangan yang diikuti oleh Nabi),
dan ayyam al-arab (kisah-kisah yang berisi
peperangan
dan
peristiwa-peristiwa
penting lainnya, tokoh-tokoh terkenal, dan
adat kebiasaan Arab sebelum islam yang
transmisikan secara lisan dalam bentuk
syair), empat kebudayaan yang sangat
penting bagi masyarakat Arab waktu itu.
Semangat Ibnu ‘Abbas adalah semangat
untuk membuka keluasan fikiran dan
memperkaya penafsiran agama dengan
kekayaan tradisi dan budaya local.
Sikap terbuka terhadap tradisi
local, bahkan tradisi diluar Arab sekalipun,
sesungguhnya sudah digariskan oleh
islam. Beberapa contoh sudah bisa
disebutkan disini. Pertama, sunat (khitan).
Sebelum islam sunat (khitan) sudah
menjadi tradisi Arab yang demikian kuat
sehingga jika ada orang yang tidak
melakukannya dia akan malu besar. Dalam
sebuah peperangan antara pasukan Nabi
melawan suku Thaqif,’ seorang Anshar
menemukan bahwa satu dari pasukan
Thaqif yang terbunuh tidak disunat. Dia
pun berteriak sekuat tenaga, “tuhan tau
orang-orang thaqif tidak disunat.” AlMughirah Ib.Shu’bah segera menahan
orang-orang Anshar tersebut, takut kalaukalau berita itu akan menyebar ke semua
penduduk arab. Dengan bersumpah, dia
memohon supaya orang Anshar tadi tidak
lagi mengatakan hal itu. Menurutnya,
orang yang tidak disunat itu hanyalah
seorang budak suku Thaqif yang
beragama Kristen. Dia lalu membuka
celana orang-orang Thaqif yang terbunuh
untuk menunjukkan bahwa mereka
semuanya disunat.
Kedua,
khumus,
yaitu
menyisihkan 1/5 dari rampasan perang
untuk Nabi, seperti disebutkan dalam alQur’an S.8:41. Sebelum Islam orang-orang
Arab terbiasa menyisihkan ¼ harta dari
Islam dan Kebebasab berfikir
rampasan yang didapat dan diberikan
kepada kepala sukunya, untuk meng-cover
biaya-biaya keperluan bersama. Nabi,
sebelum al-Qur’an 8:41 diturunkan, atau
sebelum khumus diwajibkan, sudah
mengambil 1/5 harta rampasan yang
didapat dari sahabat-sahabatnya.
Ketiga, potong tangan. Pada
usia 35 tahun, atau 5 tahun sebelum jadi
Nabi, Nabi beserta orang-orang Quraisy
lainnya membangun kembali Ka’bah.
Dindingnya diperkuat, ditinggikan dan
diberi atap. Salah satu alasannya adalah
karena benda-benda berharga yang
disimpan didalamnya sering dicuri orang.
Duwayk, si pencuri, akhirnya tertangkap
dan orang-orang Quraisy memotong
tanggannya.
Sunat, khumus, dan potong
tangan adalah tradisi local Arab yang
kemudian diadopsi Islam. Peran Nabi
dalam hal ini sangatlah penting. Nabi,
sebelum diangkat jadi Nabi sekalipun,
adalah seorang yang terbuka dan cerdas,
bisa berfikir melampaui batas-batas
pemikiran yang selama ini digariskan oleh
masyarakatnya. Atas dasar renungannya,
misalnya,
dia
menolak
praktek
penyembahan berhala. Karena sikap
terbukannya juga, peran kenabian bisa
diemban dengan baik. Kalau tidak, nilainilai Islam yang sering kontradiktif dengan
nilai-nilai masyarakatnya, yang hadir dalam
dirinya lewat wahyu, juga akan ditolaknya.
Bukankah dia tidak mau menerima fikirafikiran atau nilai-nilai baru ? memang tidak
mudah untuk membedakan mana peran
Nabi sebagai nabi, atau nabi sebagai
instrument Tuhan, dengan nabi sebagai
manusia
biasa.
Apakah
Nabi
mengakomodasi tradisi itu atas dasar
insiatifnya atau atas dasar perintah Tuhan
? informasi yang disampaikan al-Tabari,
bahwa Nabi mengambil khumus sebelum
wahyu tentang khumus diturunkan,
mungkin bisa dijadikan indikasi bahwa
inisiatif datangnya dari Nabi, lalu Alqur’an
menguatkannya.
Terlepas dari persoalan apakah
Nabi memutuskan dahulu lalu Al-Qur’an
75
memperkuatnya atau sebaliknya, sebagai
seorang individu ketika wahyu tidak
mengkonfirmasipun,
Nabi
memang
seorang yang berfikir terbuka. Nabi sendiri
menyatakan bahwa dirinya pernah berfikir
untuk melarang umatnya ‘menyentuh’ istriistri mereka pada masa menyusui anak.
Tetapi setelah mengetahui bahwa orangorang Romawi dan Persia tetap
menyentuh istri mereka dan tidak berakibat
negative pada anak-anak mereka. Nabi
tidak jadi mengeluarkan larangan tersebut.
Kalau saja Nabi tidak mengetahui bahwa
orang-orang
Romawi
dan
Persia
melakukannya, Nabi akan melarangnya
dan akan menjadi putusan agama atas
dasar hadits Nabi ; menyentuh istri pada
saat penyusuan. Dengan kata lain, tradisi
romawi dan Persia dijadikan acuan
pembatalan rumusan hukuman oleh Nabi.
Ada baiknya, ketika membaca haditshadits Nabi, untuk diingat (1) kemungkinan
kurangnya informasi yang dimiliki Nabi
ketika mengatakan atau melakukan
sesuatu, (2) informasi yang dimiliki
masyarakat muslim sekarang jauh lebih
banyak dari yang dimiliki generasi Nabi.
C. Batasan kebebasan berfikir
Ibnu ‘Abbas, menurut sebuah
riwayat, pernah berbagi nasehat seperti
yang disampaikan Nabi kepadanya. Nabi
memintanya untuk tidak berbicara kecuali
jika diminta dan untuk tidak tetap berbicara
jika yang memintanya adalah orang-orang
yang fikirannya sangat terbatas. Dalam hal
terakhir ini, jika pun Ibnu ‘Abbas tetap
berbicara, yang akan muncul adalah fitnah.
Karena nasehat Nabi tersebut Ibnu ‘Abbas
menyembunyikan banyak hal dan hanya
disampaikan kepada orang-orang yang
berilmu. Batas-batas fikiran, karena itu,
sangat personal dan sosiologis. Batas
fikiran dari satu orang keorang lain, atau
dari satu kelompok ke kelompok lain,
berbeda-beda. Seringkali batas seseorang,
atau suatu kelompok masyarakat, dalam
suatu waktu disuatu tempat tidak bisa
dipakai untuk membatasi orang atau
kelompok lain. Batas orang Syi’ah dan
orang Sunni berbeda-beda. Demikian juga
76
antara Mu’tazilah dengan ahl al-Hadits.
Mencari batas dalam al-Qur’an dan hadits
juga terkadang tidak menyelesaikan
masalah sebab keduanya tidak bisa
berbicara sendiri, tetapi melalui orang-orag
Islam, para musafir, fuqaha, teolog, dan
lain-lain, yang manusia dengan segala
keterbatasannya. Pada prakteknya, bisa
jadi batas yang sesungguhnya bukan ada
dalam ajaran islam itu sendiri tapi ada di
kalangan pemeluknya.
Memang hanya Tuhan yang
memiliki sifat tak terbatas. “ Sesungguhnya
Allah itu Maha Tak Terbatas dan Maha
Mengetahui (innallah wast’ alim).” Sebagai
sesuatu yang terbatas, manusia tidak
mungkin mampu menangkap dzat yang tak
terbatas. Islam, sebagai system nilai yang
terhubungkan dengan Allah, juga memiliki
keluasan makna yang tak terbatas.
Menarik untuk dilihat bahwa akar
kata’islam’ adalah ‘aslama’, bukan salima.
Sementara salima berarti selamat, aslama
berarti sedang berusaha untuk selamat,
atau seseorang yang berusaha untuk
menangkap nilai-nilai luhur yang ada di
wilayah Tuhan yang tak terbatas itu. Dan
pada hakikatnya manusia tidak akan bisa
menangkapnya. Dia akan meninggal
dalam usaha itu. Kebiasaan para ulama,
baik dahulu maupun sekarang, untuk
menggunakan kata-kata “wallahu a’lam
(Allah Maha Tahu)” sebagai penutup dari
semua penjelasan adalah bentuk
pengakuan yang sangat jujur tentang
keterbatasan mereka.
Ajaran untuk taqarrub, ilallah,
berusaha
dekat
dengan
Allah,
mengingatkan hal yang sama. Dalam
taqarrub ada pengakuan jarak abadi antara
seorang Muslim dengan Tuhannya. Tidak
ada penyatuan, yang ada hanya
pendekatan pada Tuhan. Kalau Tuhan
adalah sumber kebenaran mutlak, maka
yang akan dicapai manusia secara
maksimal hanyalah mendekati kebenaran
tersebut. Karena setiap pandangan
seorang Muslim tentang Islam selalu
relative (zann). Biasanya, dalam konteks
ini, orang membedakan antara fiqih
JKèm-U, Vol. V, No. 15, 2013:72-78
dengan syariah. Sementara syariah adalah
nilai-nilai abadi yang ada di wilayah Tuhan,
fiqih adalah pemahaman manusia tentang
syariah. Sementara syariah bersifat
mutlak, fiqih relative. Sementara syariah
tidak kontekstual, fiqih kontekstual,
tergantung pada ruang dan waktu tertentu.
Karena itu walau kita mengenal banyak
madzhab fiqh (ada Syafi’i, Maliki, Hanafi,
Hambali dan lain-lain.) Syariat Islam tetap
satu. Penerapan syariat Islam di Indonesia,
seperti yang ramai dikemukakan akhirakhir ini, sebenarnya adalah penerapan
fiqih. Menyamakan fiqih dengan syariah
sam dengan menyamakan produk manusia
dengan produk Tuhan, atau, bahkan,
menyamakan manusia dengan Tuhan
karena sama-sama mampu memproduksi
suatu yang tidak terbatas, abadi dan tidak
kontekstual.
Kemampuan manusia untuk
bertaqarrub kepada Tuhan berbeda-beda
dari satu orang ke orang lain. Ada orang
yang jauh dengan Tuhan, ada yang dekat,
tergantung usaha, ilmu, kemampuan,
lingkungan, ibadah dan seterusnya. Dalam
konteks kebebasan berfikir itu berarti
kemampuan manusia untuk berfikir
menangkap kebenaran nilai-nilai Tuhan
berbeda-beda satu sama lain. Batas-batas
kebebasan sangat dinamis. Menyamakan
batas kebebasan bagi semua orang sama
saja dengan menyamakan jarak antara
Tuhan dengan semua orang :
menyamakan seorang koruptor dengan
seorang ulama Shaleh.
Apa yang dinasihatkan Nabi
kepada Ibnu ‘Abbas sengatlah bijak. Nabi
tidak melarang Ibnu ‘Abbas untuk berfikir
sedalam-dalamnya sebatas kemampuan
dirinya. Yang dia larang adalah
menyampaikan hasil fikirannya kepada
orang-orang yang batas fikirannya sangat
dekat. Laranngan sangat kontekstual, tidak
inheren dalam proses berfikir. Kebebasan
berfikir adalah satu hal, menyampaikan
hasil fikirannya adalah hal lain. Ibnu alRumi yang berkunjung kerumah Umm alTalq, seorang sahabat perempuan,
mendapatkan langit-langit rumahnya
Islam dan Kebebasab berfikir
sangat pendek. Waktu ditanya kenapa,
Umm al-Talq, menjelaskan bahwa Umar
pernah menulis surat kepada orang-orang
yang bekerja untuknya supaya tidak
berlomba-lomba
meninggikkan
bangunannya karena, menurut Umar,
masa terburuk adalah masa dimana orangorang
sudah
berlomba-lomba
mempertinggi bangunannya.
Kesimpulan
Al-Qur’an meletakkan akal
sesuai
dengan
fungsinya
dan
kedudukannya. Tidak seperti yang
dilakukan oleh kalangan Barat yang
menempatkan akal sebagai ‘Tuhan’ dan
segala-galanya bagi kehidupan mereka.
Allah menyatakan akal dalam keadaan
terbatas sehingga ia memerlukan
perangkat lain untuk dapat memahami
fenomena alam yang tidak mampu
dijangkaunya.
Dalam Islam akal mempunyai
otoritas yang luas dalam arti Islam,
memberikan kebebasan kepeda akal
manusia untuk mengungkap fenomena
alam alat untuk menjalankan misi
kemanusiaannya sebagai kholifah (wakil)
Tuhan dibumi. Allah dalam memberikan
kebebasan bukannya tanpa batas, ada
garis-garis yang tidak mampu dijangkau
akal manusia sebagai mana firman Allah.
Allahu ‘A’lamu Bisshowaf.
DAFTAR PUSTAKA
Profetika, Jurnal Studi Islam diterbitkan oleh
Program Magister Studi Islam
Universitas
Muhammadiyah
Surakarta, Volume.5.2 Juli 2003
Putro Suadi, Mohammed Arkoun tentang,
Islam dan Modernitas, Penerbit
Paramida Jakarta,1998
Rahmad Jalaludin, Islam alternative,
Pengantar : Muhammad Imaduddin
Abdurrakhim,
Penerbit
Mizan
Bandung, 1998
77
Nasution Harun, Islam Rasional, Gagasan
dan Pemikiran, Penerbit Mizan
Bandung, 1989
Ruslinasrun, Konsep Ijtihar Al-Syaukani,
Relevansi Bagi pembaharuan Hokum
Islam di Indonesia, Penerbit Logos
Bandung, 1999
78
Maarif Syafi’I Ahmad, Membumikan Islam,
Penerbit Pustaka, 1995 Pelajar
Yogyakarta, 1995
Shimogaki Kasuo, Kiri Islam, Antara
Modernisme dan Postmodernisme,
telaah kritis Pemikiran Hasan Hanafi,
Pengantar Abdurrahman Wakhid,
diterbitkan, Lkis Yogyakarta, 2000.
JKèm-U, Vol. V, No. 15, 2013:72-78
Download