Andhika N A24104026x

advertisement
PENILAIAN TINGKAT PELAPUKAN, PERKEMBANGAN,
DAN KLASIFIKASI TANAH PADA FORMASI GEOLOGI
KARANGSAMBUNG DAN KOMPLEK MELANGE LOK ULO
DI KARANGSAMBUNG, KEBUMEN, JAWA TENGAH
Oleh:
ANDHIKA NUGRAHENI
A24104026
PROGRAM STUDI ILMU TANAH
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
SUMMARY
ANDHIKA NUGRAHENI. Evaluation of Weathering Stage, Soil Development,
and Soil Classification at Karangsambung Formation and Melange Lok Ulo
complex in Karangsambung, Kebumen, Central Java. Supervised by HIDAYAT
WIRANEGARA and ISKANDAR.
Geographically Indonesia is a country that is influenced by Hindia
Australia, Eurasia, and Pacific plates interaction. One of the evidence of
interaction can be seen in Karangsambung, Kebumen, Jawa Tengah. According to
Sukendar Asikin (1974), stratigraphy of Karangsambung is Melange Lok Ulo
complex, Totogan-Karangsambung formation, Waturondo formation, and
Panosogan formation. This research was aimed to study the relation between
geologic formation/soil parent material as one of land component with weathering
stage, soil development and its soil classification by Soil Taxonomy System.
The research was done with soil morphology description of six soil profiles
that located in Karangsambung formation (P1 developed on diabas and P6
develop on Shale) and Melange Lok Ulo complex (P2 developed on phylite, P3
developed on chert, P4 developed on marble, and P5 developed on basalt).
Besides that, soil sampling, laboratory analysis, evaluation of weathering stage by
mineralogical, chemical, and physical methods, and soil classification by Soil
Taxonomy were also conducted.
Based on the evaluation of weathering stage from mineralogical, chemical,
and physical methods, it was obtained that the physical and chemical estimation
method is relative analogously, whereas mineralogical method is not. The order of
weathering stage sequencly is P4>P1>P5>P3>P2>P6. These soil profiles are
categorized as developed profiles. The order of soil development stage was
determined by horizon completeness and effective depth of soil. The soil
development sequence is P4>P1>P3>P2>P6>P5. Using Soil Taxonomy (USDA,
2006), the soil formed at Karangsambung formation is classified as Typic
Dystrudepts, whereas the soil formed at Melange Lok Ulo Complex as Fluventic
Dystrudepts and Typic Dystrudepts. Based on this soil classification system,
geologic formation has indirect correlation with soil’s name family category,
likewise with weathering stage and soil development.
RINGKASAN
ANDHIKA NUGRAHENI. Penilaian Tingkat Pelapukan, Perkembangan, dan
Klasifikasi Tanah pada Formasi Geologi Karangsambung dan Komplek Melange
Lok Ulo di Karangsambung, Kebumen, Jawa Tengah. Di bawah bimbingan
HIDAYAT WIRANEGARA dan ISKANDAR.
Secara geografis Indonesia merupakan negara yang dipengaruhi oleh hasil
interaksi lempeng Hindia Australia, Eurasia dan lempeng Pasifik. Salah satu bukti
pertemuan lempeng tersebut dapat dilihat di daerah Karangsambung, Kebumen,
Jawa Tengah. Menurut Sukendar Asikin (1974) stratigrafi daerah Karangsambung
meliputi Komplek Melange Lok Ulo, Formasi Totogan-Karangsambung, Formasi
Waturondo, dan Formasi Panosogan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
hubungan antara formasi geologi/bahan induk sebagai salah satu komponen lahan
dengan tingkat pelapukan dan perkembangan tanah serta klasifikasinya menurut
Sistem Taksonomi Tanah.
Penelitian dilakukan dengan pendiskripsian morfologi enam profil tanah
yang terletak pada formasi Karangsambung (P1 di atas batuan diabas dan P6 di
atas batuan batu lempung) dan Komplek Melange Lok Ulo (P2 di atas batuan filit,
P3 di atas batuan rijang, P4 di atas batuan marmer dan P5 di atas batuan basalt).
Selanjutnya dilakukan pengambilan sampel tanah, analisis laboratorium, penilaian
tingkat pelapukan tanah secara mineralogi, secara fisik dan secara kimia, serta
pengklasifikasian tanah berdasarkan Soil Taxonomy.
Berdasarkan penilaian tingkat pelapukan dari segi mineralogi, kimia dan
fisika diperoleh hasil bahwa penilaian dari segi mineralogi dan kimia relatif
sejalan, sedangkan penilaian dari segi fisik tidak sejalan dengan kedua penilaian
yang lain. Adapun urutan tingkat pelapukannya adalah sebagai berikut:
P4>P1>P5>P3>P2>P6. Profil-profil ini termasuk profil yang telah berkembang.
Urutan tingkat perkembangan profil dilihat dari kelengkapan horison dan
kedalaman efektif tanah adalah sebagai berikut: P4>P1>P3>P2>P6>P5.
Berdasarkan Soil Taxonomy USDA sampai tingkat subgroup pada formasi geologi
Karangsambung ditemukan jenis tanah Typic Dystrudepts, sedangkan pada
Komplek Melange Lok Ulo ditemukan dua jenis tanah yaitu Fluventic
Dystrudepts dan Typic Dystrudepts. Berdasarkan sistem klasifikasi ini, maka
formasi geologi tidak berhubungan langsung dengan nama jenis tanahnya sampai
tingkat famili, begitu pula dengan tingkat pelapukan, dan tingkat
perkembangannya.
PENILAIAN TINGKAT PELAPUKAN, PERKEMBANGAN, DAN
KLASIFIKASI TANAH PADA FORMASI GEOLOGI
KARANGSAMBUNG DAN KOMPLEK MELANGE LOK ULO
DI KARANGSAMBUNG, KEBUMEN, JAWA TENGAH
Skripsi
sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian pada
Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor
Oleh:
ANDHIKA NUGRAHENI
A24104026
PROGRAM STUDI ILMU TANAH
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Skripsi
: Penilaian Tingkat Pelapukan, Perkembangan, dan
Klasifikasi
Tanah
pada
Formasi
Geologi
Karangsambung dan Komplek Melange Lok Ulo di
Karangsambung, Kebumen, Jawa Tengah
Nama Mahasiswa
: Andhika Nugraheni
Nomor Pokok
: A24104026
Menyetujui,
Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
Ir. Hidayat Wiranegara
Dr. Ir. Iskandar
NIP. 130 536 666
NIP. 131 664 406
Mengetahui,
Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr.
NIP. 131 124 019
Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Sukoharjo, 5 Januari 1987 dari pasangan Bapak H.
Sukamto dan Ibu Hj. Sugiyanti. Penulis merupakan anak kedua dari tiga
bersaudara.
Penulis memulai pendidikan di SD Negeri 1 Jatingarang, Weru, Sukoharjo
dan lulus pada tahun 1998. Penulis kemudian melanjutkan ke SLTP Negeri II
Weru dan lulus tahun 2001. Pada tahun 2004, penulis lulus dari SMU Negeri 1
Tawangsari dan pada tahun yang sama penulis diterima di Jurusan Tanah,
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI. Selama menjadi
mahasiswa, penulis pernah menjadi Sekretaris Himpunan Mahasiswa Ilmu Tanah
(HMIT) periode 2006/2007, asisten mata kuliah Morfologi dan Klasifikasi Tanah
semester 5 tahun ajaran 2006/2007 serta asisten Kartografi dan Sistem Informasi
Geografis semester 8 tahun 2007/2008. Selain itu penulis juga pernah ikut
berperan sebagai peserta Soil Judging Contest dalam Kongres Nasional IX
Himpunan Ilmu Tanah Indonesia di Yogyakarta pada bulan Desember 2007.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah penulis panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang
telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan skripsi ini. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada:
1. Ir. Hidayat Wiranegara selaku pembimbing akademik dan pembimbing
kesatu dalam penulisan skripsi yang telah banyak memberikan masukan.
2. Dr. Ir. Iskandar selaku pembimbing kedua penulisan skripsi yang telah
banyak memberikan masukan.
3. Dr. Ir. Darmawan, M.Sc selaku dosen penguji yang telah banyak
memberikan masukan.
4. Kepala Balai Informasi dan Konservasi Kebumian Karangsambung - LIPI,
Kebumen yang telah menyediakan fasilitas selama pengambilan sampel
tanah.
5. Bapak Sodik, bapak Arif dan bapak Saefudin yang telah banyak membantu
dalam pencarian lokasi pengambilan sampel tanah, pencarian literatur serta
pengambilan data pendukung di Karangsambung, Kebumen.
6. Ayahanda, Ibunda, mas Agus Nugroho, Agustina Dwi Adianti dan
keluarga Om Sriyanto di Bekasi yang telah banyak memberikan nasehat
dan dukungan.
7. Andhi dan Ratna selaku teman se-tim penelitian. Terima kasih atas
dukungan dan kerjasamanya.
8. Bu Oktori, Bu Yani, dan Pak Mantri yang telah banyak membantu selama
penulis berada di laboratorium.
Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan semua pihak
yang membutuhkan.
Bogor, Februari 2009
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR .......................................................................
i
DAFTAR ISI ......................................................................................
ii
DAFTAR TABEL ..............................................................................
iv
DAFTAR GAMBAR .........................................................................
v
BAB I. PENDAHULUAN ................................................................
1
1.1 Latar Belakang ....................................................................
1
1.2 Tujuan .................................................................................
2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA.....................................................
3
2.1 Pengertian Tanah ................................................................
3
2.2 Pelapukan Tanah .................................................................
3
2.3 Proses Pembentukan Tanah ................................................
5
2.4 Perkembangan Tanah..........................................................
6
2.5 Klasifikasi Tanah ................................................................
8
BAB III. BAHAN DAN METODE .................................................
10
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian .............................................
10
3.2 Bahan dan Alat ...................................................................
10
3.3 Metode Penelitian ...............................................................
10
3.4 Penilaian Tingkat Pelapukan ..............................................
11
3.4.1 Penilaian Tingkat Pelapukan Secara Mineralogi ......
11
3.4.2 Penilaian Tingkat Pelapukan Secara Fisik ...............
11
3.4.2 Penilaian Tingkat Pelapukan Secara Kimia..............
12
3.5 Klasifikasi Tanah ................................................................
12
BAB IV. KEADAAN LOKASI PENELITIAN .............................
13
4.1 Lokasi Penelitian ................................................................
13
4.2 Topografi ............................................................................
13
4.3 Geologi ...............................................................................
13
4.4 Vegetasi dan Penggunaan Lahan ........................................
14
4.5 Iklim ....................................................................................
14
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN ..........................................
17
5.1 Penilaian Tingkat Pelapukan ..............................................
17
5.2 Penilaian Tingkat Perkembangan Tanah ............................
18
5.3 Klasifikasi Tanah ................................................................
19
5.3.1 Profil P1, P5, dan P6.................................................
19
5.3.2 Profil P2, P3, dan P4.................................................
20
5.4 Kaitan Antara Tingkat Pelapukan, Tingkat Perkembangan,
dan Hasil Klasifikasi Tanah dengan Formasi Geologi
21
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN.........................................
24
6.1 Kesimpulan .........................................................................
24
6.2 Saran ...................................................................................
25
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................
26
LAMPIRAN ......................................................................................
27
DAFTAR TABEL
No
Halaman
Teks
1.
Lokasi Daerah Penelitian ..............................................................
13
2.
Sifat-Sifat yang Menentukan Tingkat Pelapukan .........................
17
3.
Hubungan antara Formasi Geologi dengan Nama Tanah .............
22
Lampiran
1.
Hasil Deskripsi Sifat Morfologi Profil P1 ....................................
28
2.
Hasil Deskripsi Sifat Morfologi Profil P2 ....................................
28
3.
Hasil Deskripsi Sifat Morfologi Profil P3 ....................................
29
4.
Hasil Deskripsi Sifat Morfologi Profil P4 ....................................
30
5.
Hasil Deskripsi Sifat Morfologi Profil P5 ....................................
31
6.
Hasil Deskripsi Sifat Morfologi Profil P6 ....................................
31
7.
Data Curah Hujan Daerah Karangsambung, Kebumen, Jawa Tengah
Tahun 2002-2007 ..........................................................................
32
8.
Sifat Fisika Profil Tanah di Lokasi Penelitian ..............................
33
9.
Sifat Kimia Profil Tanah di Lokasi Penelitian ..............................
34
10. Hasil Analisis Mineral Fraksi Pasir Total dari Profil Tanah di Lokasi
Penelitian.......................................................................................
35
DAFTAR GAMBAR
No
Halaman
Teks
1. Peta Geologi Daerah Penelitian .......................................................
16
Lampiran
1. Penampang Profil Tanah di Lokasi Penelitian ................................
36
2. Penampang Profil Tanah di Lokasi Penelitian ................................
37
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang dipengaruhi oleh hasil interaksi lempeng
Hindia Australia, Eurasia dan lempeng Pasifik, sehingga Indonesia sangat kaya
akan gunung berapi, jalur mineralisasi, serta berbagai bentuk fenomena fisik alam.
Akibat adanya pertemuan lempeng-lempeng tersebut, Indonesia merupakan salah
satu negara paling labil di dunia. Salah satu bukti pertemuan lempeng Samudra
Hindia Australia dengan lempeng Benua Eurasia dapat dilihat di daerah
Karangsambung, Kebumen, Jawa Tengah. Berbagai jenis batuan tua (batuan beku,
sedimen dan metamorf) hasil tumbukan lempeng-lempeng tersebut dapat
ditemukan di daerah Karangsambung.
Menurut Sukendar Asikin (1974) dalam buku panduan geowisata
Karangsambung, stratigrafi daerah Karangsambung meliputi Komplek Melange
Lok Ulo, Formasi Totogan-Karangsambung, Formasi Waturondo, dan Formasi
Panosogan. Salah satu komplek yang unik di daerah Karangsambung adalah
Komplek Melange Lok Ulo, karena di daerah tersebut batuan pra tersier dan
tersier awal tercampur aduk secara tektonik, sehingga di daerah tersebut dapat
ditemukan batuan beku, sedimen, dan batuan metamorf yang letaknya berdekatan.
Suatu formasi geologi selalu menjelaskan waktu atau umur dan jenis batuan
atau bahan induk. Meskipun demikian, tanah yang terbentuk di atas suatu formasi
geologi belum tentu berasal dari batuan atau bahan induk yang terdapat pada
formasi geologi tersebut. Hal ini dijelaskan oleh adanya proses geologi yang
relatif baru, seperti terjadinya penutupan formasi geologi tersebut oleh bahanbahan yang lebih muda. Akibatnya memungkinkan dijumpai tanah yang
mempunyai susunan mineral berbeda dengan susunan mineral yang terdapat
dalam formasi geologi di bawahnya.
Batuan sebagai bahan dasar pembentukan tanah mengalami pelapukan baik
pelapukan fisik, kimia maupun biologis yang akan menghasilkan bahan induk
tanah. Bahan induk tanah ini akan mengalami pelapukan lagi menjadi tanah.
Batuan yang menjadi bahan induk tanah memiliki karakteristik yang khas yang
membedakan batuan yang satu dengan batuan yang lainnya. Perbedaan
karakteristik batuan akan menyebabkan jenis-jenis tanah dengan daya dukung
yang berbeda-beda terhadap tanaman. Berdasarkan proses pembentukannya
batuan dapat dibedakan menjadi tiga jenis yaitu batuan beku, batuan sedimen dan
batuan metamorf. Ketiga kelompok batuan ini di permukaan bumi akan
berinteraksi dengan faktor-faktor lingkungan yang lain misalnya iklim dan
organisme, sehingga mengalami perubahan bentuk melalui pelapukan. Dengan
proses pelapukan maka permukaan batuan yang keras menjadi hancur dan
berubah menjadi tanah.
Proses perkembangan tanah akan menghasilkan horison-horison genetik
pada tubuh tanah yang bersangkutan. Pada tanah-tanah yang telah berkembang
akan ditemukan horison-horison A, B, C sedangkan tanah yang belum
berkembang kemungkinan akan ditemukan horison A dan C saja. Pembentukan
tanah dipengaruhi oleh lima faktor yaitu bahan induk, iklim, topografi, organisme
dan waktu. Lima faktor pembentuk tanah dalam prosesnya saling berpengaruh
melalui berbagai reaksi dan taraf intensitasnya, yang akhirnya membentuk tanah
tertentu. Pada genesis tanah salah satu faktor dapat mempunyai peranan yang
lebih menonjol. Tanah-tanah yang telah terbentuk dapat diklasifikasikan. Sistem
pengklasifikasian tanah yang dipakai di Indonesia ada tiga yaitu sistem PPT, FAO
UNESCO, dan Sistem Taksonomi Tanah. Namun dalam penelitian ini sistem
pengkalsifikasian tanahnya lebih ditekankan pada sistem Taksonomi Tanah
karena sistem ini bersifat kuantitatif dan universal.
1.2
Tujuan penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara formasi
geologi/bahan induk tanah sebagai salah satu komponen lahan dengan tingkat
pelapukan dan perkembangan tanah serta klasifikasinya menurut Sistem
Taksonomi Tanah (2006).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Pengertian Tanah
Tanah merupakan suatu benda alam yang tersusun dari padatan (bahan
mineral dan bahan organik), cairan dan gas, yang menempati permukaan daratan,
menempati ruang, dan dicirikan oleh salah satu atau kedua berikut: horisonhorison, atau lapisan-lapisan. Horison atau lapisan ini dapat dibedakan dari bahan
asalnya sebagai suatu hasil dari proses penambahan, kehilangan, pemindahan, dan
transformasi energi dan materi, atau berkemampuan mendukung tanaman berakar
di dalam suatu lingkungan alami (Soil Survey Staff, 2006). Sedangkan menurut
Jenny (1941 dalam Soepardi, 1983), tanah merupakan fungsi dari iklim,
organisme, bahan induk, topografi dan waktu.
2.2
Pelapukan Tanah
Pelapukan merupakan suatu proses perubahan batuan/mineral secara fisik
dan kimia. Batuan yang melapuk akan menghasilkan tanah. Proses pelapukan
tersebut merupakan disintegrasi dan dekomposisi dari batuan secara fisik dan
kimia, yang disebabkan oleh kandungan mineral yang tidak berada pada kondisi
yang
seimbang
di
bawah
pengaruh
suhu,
tekanan,
dan
kelembaban
atmosfer/litosfer (Buol, Hole and Mc Cracken, 1973).
Menurut Tan (1993) pelapukan adalah disintegrasi dan alterasi batuan dan
mineral oleh proses fisik dan kimia. Pelapukan fisik disebabkan oleh tekanan fisik
pada batuan dan mineral. Hal ini menyebabkan batuan mengalami disintegrasi
menjadi material yang berukuran lebih kecil, tanpa mengalami perubahan
komposisi kimia. Pelapukan kimia disebabkan oleh reaksi kimia dan hasil
pelapukan mengalami perubahan kimia.
Menurut Rachim dan Suwardi (1999), pelapukan tanah adalah perubahan
kimia dan fisik batuan dan mineral atau bahan organik segar di atau dekat
permukaan bumi atau proses perubahan batuan dan mineral atau bahan organik
kepada bentuk-bentuk yang lebih stabil di bawah variasi kelembaban, temperatur,
dan aktivitas biologi di permukaan bumi.
Mineral adalah bahan alam homogen dari senyawa anorganik asli,
mempunyai susunan kimia tetap dan susunan molekul tertentu dalam bentuk
geometrik. Dipandang dari sudut ilmu tanah, mineral penyusun batuan dapat
dibagi atas tiga golongan: (1) mineral primer, (2) mineral sekunder, dan (3)
mineral aksesori yang terdapat pada hampir semua batuan dan jumlahnya sedikit
(Darmawijaya,1990). Mineral primer adalah mineral yang langsung terbentuk dari
pengkristalan senyawa-senyawa dalam magma akibat penurunan suhu. Sedangkan
mineral sekunder adalah mineral berukuran halus (2µm), terbentuk pada waktu
proses pembentukan tanah, merupakan hasil pelapukan kimiawi dari mineral
primer ataupun hasil pembentukan baru dalam proses pembentukan tanah
sehingga mempunyai susunan kimia dan struktur yang berbeda dengan mineral
yang dilapuk (Agus, Fahmuddin, et al; 2004). Goldich (1938 dalam Buol, et al;
1973) mengemukakan deret stabilitas mineral terhadap pelapukan sebagai berikut:
Olivin
Ca-Feldspar
Piroksen
Na-Feldspar
Amphibol
K-Feldspar
Biotit
Muskovit
Kuarsa
Berdasarkan deret stabilitas mineral tersebut dapat dibedakan mineral yang
mudah lapuk dan sukar lapuk. Mineral mudah lapuk yaitu mineral yang mudah
melepaskan unsur-unsur penyusunnya karena proses pelapukan. Yang tergolong
dalam mineral mudah lapuk yaitu olivin, gelas volkan, hiperstin, augit, dan
plagioklas. Sedangkan mineral tahan lapuk (resisten) yaitu kelompok mineral
yang tahan terhadap pelapukan fisik maupun kimia. Yang tergolong dalam
mineral resisten adalah kuarsa, ilmenit, rutil, dan zirkon (Agus, Fahmuddin, et al;
2004). Makin besar jumlah ikatan Si-O dengan rangkaian jumlah tetrahedra silika
yang semakin besar melalui penggunaan bersama atom oksigen, makin besar pula
ketahanannya terhadap pelapukan (Tan, 1991).
2.3
Proses Pembentukan Tanah
Batuan yang berada di perut bumi, secara geologis merupakan cikal bakal
bahan induk yang sangat menentukan proses pembentukan tanah dan bentang
alam (landscape) yang juga dipengaruhi oleh beberapa faktor lain, yakni: iklim,
organisme, proses geomorfik yang dominan dan waktu. Dengan demikian logis
apabila pada masing-masing formasi geologi akan menghasilkan jenis tanah dan
tipe bentukan lahan yang berbeda-beda pula tergantung intensitas faktor yang
dominan dalam proses genesisnya. Selanjutnya dengan kondisi jenis tanah dan
bentuk lahan yang berbeda ini, akan menghasilkan tutupan vegetasi alami yang
berbeda pula, sehingga bentuk ekosistemnya pun akan beragam karakteristik dan
keunikannya.
Suatu formasi geologi selalu menjelaskan waktu atau umur dan jenis batuan
atau bahan induk. Meskipun demikian, tanah yang terbentuk di atas suatu formasi
geologi belum tentu berasal dari batuan atau bahan induk yang terdapat pada
formasi geologi tersebut. Hal ini dijelaskan oleh adanya proses geologi yang
relatif baru, seperti terjadinya penutupan formasi geologi tersebut oleh bahanbahan yang lebih muda. Akibatnya memungkinkan dijumpai tanah yang
mempunyai susunan mineral berbeda dengan susunan mineral yang terdapat
dalam formasi geologi di bawahnya.
Proses pembentukan tanah merupakan suatu masalah biologi dan kimia
yang rumit dan biasanya sulit untuk digambarkan dengan reaksi tunggal. Reaksireaksi dapat terjadi secara serempak atau dapat terlibat sederetan reaksi yang
berlangsung berurutan. Simonson (1959) menyatakan bahwa pedon tanah
terbentuk oleh usaha gabungan dari penambahan bahan-bahan anorganik dan
organik ke permukaan tanah, transformasi senyawa-senyawa di dalam tanah, dan
pemindahan komponen-komponen di tanah tersebut (Tan, 1991).
2.4
Perkembangan Tanah
Proses perkembangan tanah akan menghasilkan horison-horison genetik
pada tubuh tanah yang bersangkutan. Pada tanah-tanah yang telah berkembang
akan ditemukan horison-horison A, B, C sedangkan tanah yang belum
berkembang kemungkinan akan ditemukan horison A dan C saja.
Menurut Hardjowigeno (2003), proses perkembangan tanah ada empat
tahap, yaitu:
1. Tanah muda
Pada tingkat ini proses pembentukan tanah terutama berupa proses
pelapukan bahan organik dan bahan mineral, pencampuran bahan
organik dan bahan mineral di permukaaan tanah, serta pembentukan
struktur tanah karena pengaruh bahan organik (sebagai perekat).
Hasilnya adalah pembentukkan horison A dari horison C. Sifat tanah
masih didominasi oleh sifat-sifat bahan induknya. Termasuk tanah muda
adalah tanah Entisol.
2. Tanah dewasa
Dengan proses lebih lanjut, maka tanah-tanah muda dapat diubah
menjadi tanah dewasa yaitu dengan proses pembentukkan horison B.
Horison B terbentuk akibat penimbunan liat (iluviasi) dari lapisan atas
ke lapisan bawah. Pada tingkat ini tanah mempunyai kemampuan
berproduksi tinggi, karena unsur hara di dalam tanah cukup tersedia
sebagai hasil dari pelapukan mineral, sedang pencucian unsur hara
belum lanjut. Jenis tanah yang termasuk dalam tingkat ini antara lain
Inceptisol, Andisol, Mollisol, Vertisol.
3. Tanah tua
Dengan meningkatnya umur, maka proses pembentukan profil tanah
berjalan lebih lanjut sehingga terjadi perubahan lebih nyata pada horison
A dan B serta terbentuklah horison-horison A, E, EB, BE, Bt (Bs), BC,
atau A, AB, BA, Bo, BC, dsb. Tanah menjadi sangat masam, sangat
lapuk, dan kandungan bahan organik lebih rendah dari tanah dewasa.
Akumulasi liat atau seskuioksida di horison B sangat nyata sehingga
membentuk horison argilik (Bt) atau horison spodik (Bs). Apabila tidak
ada pencucian liat atau seskuioksida, maka horison E tidak terbentuk
sedangkan di horison B tidak terjadi penimbunan liat atau seskuioksida.
Walaupun demikian, proses pelapukan berjalan lanjut, sehingga mineral
mudah lapuk tinggal sedikit dan terbentuklah banyak oksida-oksida besi
dan aluminium. Horison ini disebut horison oksik (Bo). Jenis-jenis tanah
yang menurut perkembangan horisonnya disebut tanah tua adalah
Ultisol, Spodosol, dan Oksisol.
Suatu tanah dikatakan memiliki horison argilik jika tanah tersebut
memiliki karakteristik sebagai berikut adanya selaput tipis liat
menyelimuti dinding pori, adanya liat terorientasi menghubungkan
butir-butir pasir, apabila sebagian horison eluvial memilki fraksi halus
dengan kandungan liat total kurang dari 15%, maka horison argilik harus
mengandung minimal 3% liat lebih banyak, apabila sebagian horison
eluvial memilki fraksi halus dengan kandungan liat total kurang dari 1540%, maka horison argilik harus mengandung minimal 1.2 kali liat lebih
banyak dibandingkan horison eluvial, apabila sebagian horison eluvial
memilki fraksi halus dengan kandungan liat total 40% atau lebih, maka
horison argilik harus mengandung minimal 8% liat lebih banyak. Suatu
tanah dikatakan memiliki horison spodik maka horison tersebut harus
memiliki bahan spodik 85% atau lebih di dalam suatu lapisan setebal 2.5
cm atau lebih. Bahan spodik adalah bahan tanah mineral yang tidak
memiliki semua siat-sifat horizon argilik atau kandik, di dominasi oleh
bahan amorf aktif yang bersifat iluvial, dan tersusun dari bahan organik
dan aluminium, dengan atau tanpa senyawa besi. Sedangkan tanah
dikatakan memiliki horison oksik jika memiliki ketebalan 30 cm atau
lebih dan KTK sebesar 16 cmol(+) per kg liat atau kurang (dengan
ekstraksi NH4OAc, pH 7) (Soil Survey Staff, 2006).
Berbagai kondisi yang menghambat perkembangan profil tanah:
1. Curah hujan rendah (pelapukan rendah, material terlarut yang tercuci
sedikit).
2. Kelembaban relatif rendah (pertumbuhan mikroorganisme seperti alga,
fungi, lichenes rendah).
3. Bahan induk mengandung kuarsa yang tinggi dengan kandungan debu
dan liat yang rendah (pelapukan lambat, gerakan koloid rendah).
4. Kandungan liat tinggi (aerasi jelek, pergerakan air lambat).
5. Bahan induk resisten misal quarsite (pelapukan lambat).
6. Kelerengan tinggi (erosi menyebabkan hilangnya lapisan top soil,
pengambilan air tanah rendah)
7. Suhu dingin (semua aktivitas pelapukan dan mikroba lambat).
8. Akumulasi material secara konstan (material baru menyebabkan
perkembangan tanah menjadi baru).
(Anonim, 2008)
2.4
Klasifikasi Tanah
Menurut Sopher dan Baird (1978 dalam Rachim, 2001), klasifikasi tanah
adalah penggolongan tanah secara sistematik ke dalam kelas-kelas atas dasar sifatsifatnya. Sistem pengklasifikasian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sistem Taksonomi Tanah. Sistem ini merupakan suatu sistem klasifikasi tanah
yang bersifat universal. Hampir semua negara di dunia menggunakan sistem ini
untuk mengklasifikasikan tanah, meskipun ada sistem lain seperti FAO UNESCO.
Indonesia sendiri memiliki sistem klasifikasi tanah tersendiri yaitu Sistem Pusat
Penelitian Tanah (1983) yang masih dipakai hingga sekarang. Sistem Taksonomi
Tanah dapat diterima semua pihak karena dalam pengklasifikasian tanah
berdasarkan pada sifat tanah yang ditemukan di lapangan yang dapat diukur
secara kuantitatif yang berhubungan dengan genesis tanah yang membentuk
morfologi tanah tersebut, sehingga sistem ini bersifat terbuka untuk tanah-tanah
baru yang berbeda dengan tanah-tanah yang ditemukan sebelumnya.
Pengkelasan tanah didasarkan pada sifat-sifat tanah dan faktor lingkungan
yang cukup berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman. Dalam hal ini,
pengkelasan tanah ditentukan oleh ada tidaknya dan jenis horison penciri
klasifikasi, serta sifat penciri klasifikasi yang dimiliki oleh masing-masing tanah.
Horison penciri klasifikasi mencakup epipedon dan horison bawah penciri,
sedangkan sifat penciri klasifikasi meliputi sifat-sifat penting hasil pedogenesis
dan yang mempengaruhi proses pedogenesis.
Berdasarkan aturan dalam Taksonomi Tanah nama tanah sudah dapat
menunjukkan sifatnya yang pokok, serta dimana kedudukannya secara kategori.
Kategori itu sendiri dapat dibagi menjadi kategori tinggi (order, suborder, great
group, dan subgroup) dan kategori rendah (family dan series). Kategori tinggi
dicirikan oleh sifat-sifat yang lebih umum, baik sebaran maupun pengaruhnya
terhadap proses genesis atau pertumbuhan tanaman. Sementara itu, kategori
rendah lebih ditentukan oleh sifat-sifat yang berkaitan dengan pertumbuhan
tanaman (Soil Survey Staff, 2006).
BAB III
BAHAN DAN METODE
3.1
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan dalam 2 tahap yaitu penelitian lapang di
Laboratorium Alam Geologi Karangsambung (LIPI Karangsambung) dan analisis
tanah di laboratorium Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan IPB.
Penelitian lapang dan pengambilan sampel tanah dilaksanakan selama satu
minggu mulai tanggal 13-19 Februari 2008, sedangkan penelitian di laboratorium
dilaksanakan mulai tanggal 25 Februari-17 Desember 2008.
3.2
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah contoh tanah utuh,
contoh tanah terganggu dan bahan-bahan untuk analisis sifat fisik, kimia tanah
dan mineralogi.
Alat-alat yang digunakan antara lain : (1) pengamatan lapang dan
pengambilan contoh tanah: sekop, pisau lapang, munsel, meteran, abneylevel,
GPS, ring sample, cutter, plastik, karet, alumunium foil, HCl, dan H2O2, (2) alatalat analisis sifat fisik, kimia tanah dan mikroskop polarisasi, dan (3) alat-alat
tulis: buku, pensil, bolpoin, spidol, kertas label, penggaris dan penghapus.
3.3
Metode Penelitian
Penelitian lapang dilakukan pada profil-profil tanah yang berkembang dari
batuan beku, sedimen, dan metamorfik. Pada masing-masing jenis batuan diamati
2 profil tanah, kemudian dilakukan deskripsi pada profil-profil tanah tersebut.
Profil P1 dibuat di atas tanah yang berkembang dari batuan diabas (batuan beku),
profil P2 di atas batuan filit (batuan metamorf), profil P3 di atas batuan rijang
(batuan sedimen), profil P4 di atas batuan marmer (batuan metamorf), profil P5 di
atas batuan basalt (batuan beku), dan profil P6 di atas batuan batu lempung
(batuan sedimen).
Parameter morfologi yang diamati adalah horisonisasi, warna, struktur,
tekstur, konsistensi, perakaran, dan faktor lingkungan seperti fisiografi,
kemiringan lereng, vegetasi, serta iklim. Contoh tanah dari setiap lapisan pada
masing-masing profil tanah diambil sebanyak 2 kg untuk dianalisis laboratorium,
sedangkan untuk analisis sifat fisik (bobot isi dan kadar air) contoh tanah diambil
dengan menggunakan ring sample pada kedalaman 0-30 cm dan 30-60 cm,
pengambilan contoh tanah ini dilakukan secara duplo.
Analisis fisik tanah meliputi tekstur tanah (metode pipet), bobot isi dan
kadar air. Analisis kimia meliputi pH H2O (1:1) dan KCl (1:1), C-organik (metode
Walkey & Black, P-tersedia (metode Bray 1), N-total (metode Kjeldhal), Al-dd,
KTK dengan NH4OAc pH 7 dan analisis basa-basa dengan NH4OAc pH 7. Selain
analisis sifat fisik dan kimia juga dilakukan analisis mineral fraksi pasir
menggunakan metode garis. Analisis fraksi pasir ini digunakan untuk mengetahui
peluang ditemukannya mineral mudah lapuk dan mineral sukar lapuk (resisten)
dalam 100 butir mineral pasir. Analisis ini dilakukan dengan menggunakan
mikroskop polarisasi.
3.4
Penilaian Tingkat Pelapukan
3.4.1 Penilaian Tingkat Pelapukan Secara Mineralogi
Penilaian tingkat pelapukan secara mineralogi ditentukan berdasarkan
jumlah mineral tahan lapuk dan mudah lapuk yang terkandung di dalam tanah.
Semakin banyak jumlah mineral mudah lapuk, maka tingkat pelapukan tanah
tersebut semakin lanjut. Tanah-tanah yang relatif tua memiliki kandungan mineral
tahan lapuk yang tinggi.
3.4.2 Penilaian Tingkat Pelapukan Secara Fisik
Penilaian tingkat pelapukan secra fisik ditentukan berdasarkan nisbah antara
debu dengan liat yang terdapat dalam tanah. Semakin rendah nilai nisbah debu
dengan liat dalam tanah tersebut, maka tingkat pelapukan tanah semakin lanjut.
Bahan induk yang melapuk akan berubah ukurannya, yaitu akan semakin halus
ukurannya dengan meningkatnya tingkat pelapukan.
3.4.3 Penilaian Tingkat Pelapukan Secara Kimia
Tanah-tanah yang sudah mengalami pelapukan lanjut umumnya didominasi
oleh mineral-mineral sekunder berukuran liat, seperti oksida-oksida besi dan
aluminium. Mineral-mineral tersebut memiliki KTK yang rendah.
3.5
Klasifikasi Tanah
Pengklasifikasian dan penamaan tanah dilakukan pada setiap profil tanah
berdasarkan pengamatan lapang dan hasil analisis sifat kimia di laboratorium.
Sistem pengklasifikasian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sistem
Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 2006).
BAB IV
KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1
Lokasi penelitian
Penelitian ini dilakukan pada 6 profil pewakil di daerah Kebumen, Jawa
Tengah. Adapun lokasi pembuatan profil dan koordinat geografisnya dapat dilihat
pada Tabel 1.
Tabel 1. Lokasi Daerah Penelitian
Profil
Lokasi
Koordinat Geografis
P1
Desa Karangsambung,
Kecamatan Karangsambung
109o40’11.8” BT
07o32’28.9” LS
P2
Desa Wonotirto,
Kecamatan Karanggayam
109o39’57.5” BT
07o32’29.2” LS
P3
Desa Wonotirto,
Kecamatan Karanggayam
109o39’56.6” BT
07o32’28.7” LS
P4
Desa Totogan,
Kecamatan Karangsambung
109o40’31.2” BT
07o31’27.9” LS
P5
Desa Wonotirto,
Kecamatan Karanggayam
109o40’04.1” BT
07o32’00.7” LS
P6
Desa Karangsambung,
Kecamatan Karangsambung
109o40’17.1” BT
07o32’32.9” LS
4.2
Topografi
Daerah penelitian merupakan daerah pertemuan antara lempeng Samudera
Hindia Australia dengan Lempeng Benua Eurasia. Daerah penelitian didominasi
oleh topografi berbukit dan bergunung.
4.3
Geologi
Berdasarkan informasi dari peta geologi lembar Kebumen, Jawa skala
1:100.000 daerah Karangsambung terdiri dari empat formasi geologi, yaitu
Komplek Melange Lok Ulo, Formasi Karangsambung-Totogan, Formasi
Waturondo, dan Formasi Panosogan (Asikin, Handoyo, Busono & Gafoer, 1992).
Komplek Melange Lok Ulo merupakan satuan batuan bancuh dari berbagai
macam batuan sedimen, batuan beku, dan batuan metamorf. Umur Komplek
Melange berkisar antara kapur akhir hingga Paleosen. Formasi KarangsambungTotogan tersusun oleh kelompok batuan sedimen yang tercampur aduk karena
proses pelongsoran gaya berat. Bongkah-bongkah batuan sedimen berukuran
centimeter hingga ratusan meter tersebar secara acak dalam masa dasar lempung
hitam bersisik. Umur Formasi Karangsambung ini sekitar Eosen Oligosen.
Formasi Waturanda tersusun oleh breksi vulkanik serta batu pasir dalam
perulangan pelapisan yang tebal. Formasi ini diendapkan sebagai endapan turbidit,
berumur Miosen awal. Formasi Panosogan terletak selaras di atas Formasi
Waturanda, tersusun oleh perlapisan tipis hingga sedang berupa batu pasir, batu
lempung, kalkarenit, napal tufaan dan tufa. Bagian bawah Formasi Panosogan
dicirikan oleh perlapisan batu pasir-batu lempung, kearah atas komponen
karbonatnya semakin tinggi. Daerah penelitian ini terletak pada formasi
Karangsambung (Profil P1 dan P6) dan Komplek Melange Lok Ulo (Profil P2, P3,
P4, dan P5) (Gambar 1).
4.4
Vegetasi dan Penggunaan lahan
Vegetasi yang ditemukan pada profil P1 yaitu albasia, pisang, jati, dan
kelapa. Pada profil P2 dan P3 ditemukan pisang, jati, kelapa. Selain tanaman
tersebut pada profil P2 juga ditemukan bambu. Pada profil P4 ditemukan bambu,
jati, pisang, talas. Sedangkan pada profil P5 ditemukan pinus dan pada profil P6
ditemukan pisang, albasia, rambutan, nangka, dan jati. Selain vegetasi-vegetasi
tersebut juga ditemukan vegetasi khusus yaitu Melastoma sp yang ditemukan pada
profil P3, P5, dan P6.
4.5
Iklim
Faktor iklim yang berpengaruh besar pada pembentukan tanah di daerah
tropik adalah suhu dan curah hujan. Berdasarkan data iklim di Balai Pengelolaan
Air enam tahun terakhir (2002-2007), curah hujan rata-rata per bulan 244.43 mm,
dengan jumlah rata-rata hujan tiap bulannya 7.6 hari hujan dimana curah hujan
tertinggi terjadi pada bulan Desember (648.5 mm/tahun) dan curah hujan terendah
terjadi pada bulan Juli-September (21.5 mm/tahun). Dari data yang dicatat di
stasiun pengamatan Sempor diketahui suhu rata-rata 26.74oC.
Gambar 1. Peta Geologi Daerah Penelitian
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1
Penilaian Tingkat Pelapukan Tanah
Penilaian tingkat pelapukan tanah ini ditinjau dari segi mineralogi, fisik dan
kimia. Adapun sifat-sifat yang menentukan tingkat pelapukan profil-profil tanah ini
(profil P1 berkembang dari batuan diabas, P2 batuan filit, P3 batuan rijang, P4 batuan
marmer, P5 batuan basalt, dan P6 batuan batu lempung) dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Sifat-Sifat yang Menentukan Tingkat Pelapukan
Metode
Mineralogi
Kimia
Sifat Tanah
Jumlah Mineral
Mudah Lapuk
Jumlah Mineral
Sukar Lapuk
KTK (me/100g)
P1
P2
Profil
P3
P4
39
63
55
37
50
65
61
37
45
63
50
35
P5
P6
29.97 28.13 38.60 13.16 16.15 28.10
Fisik
Nisbah Debu/Liat 1.97 1.38 1.81 0.67
Keterangan: Nilai dihitung atas hasil rata-rata beberapa horison
0.96
2.59
Penilaian tingkat pelapukan tanah secara mineralogi didasarkan kepada prinsip
bahwa semakin banyak mineral sukar lapuk dijumpai dalam tanah, menunjukkan bahwa
tanah tersebut telah mengalami pelapukan lanjut. Adapun mineral yang mudah lapuk
antara lain bahan lapukan, gelas volkan, augit, apatit, hiperstin, diopsida, dan andesine,
sedangkan mineral yang sukar lapuk antara lain: kuarsa keruh, kuarsa jernih, magnetit,
gibsit, dan konkresi besi. Urutan tingkat pelapukan tanah di lokasi penelitian dari segi
mineralogi adalah sebagai berikut: P4>P1>P5>P3>P2>P6. Penilaian tingkat pelapukan
tanah secara kimia dapat dilihat dari segi kapasitas tukar kation (KTK). Urutan tingkat
pelapukan tanahnya adalah sebagai berikut: P4>P5>P6>P2>P1>P3. Semakin rendah
nilai KTK tanah maka tingkat pelapukannya semakin lanjut. Hal ini dikarenakan tanahtanah yang telah mengalami pelapukan lanjut, umumnya didominasi oleh mineral-
mineral sekunder berukuran liat, seperti oksida-oksida besi dan alumunium. Penilaian
tingkat pelapukan tanah secara fisik dilihat dari nisbah debu/liat menunjukkan bahwa
tingkat pelapukan tanah memiliki urutan P4>P5>P2>P3>P1>P6. Semakin kecil nisbah
debu/liat berarti semakin lanjut tingkat pelapukan tanah tersebut. Bahan induk tanah
akan berubah ukurannya menjadi semakin halus dengan meningkatnya tingkat
pelapukan.
Penilaian dari segi fisik dan kimia relatif sejalan, sedangkan penilaian dari segi
mineralogi tidak sejalan dengan kedua penilaian yang lain. Hal ini bisa disebabkan oleh
adanya satu proses yang lebih menghambat atau mendorong proses pelapukan, misalnya
proses pencucian. Proses pencucian ini mengakibatkan sifat fisik dan kimia tanah
berubah. Urutan tingkat pelapukan dari segi mineralogi relatif lebih bersifat stabil dan
langgeng. Hal ini berkaitan dengan definisi pelapukan itu sendiri, yaitu transformasi
mineral-mineral dalam batuan menjadi bentuk yang lebih stabil di bawah kondisi suhu,
tekanan, dan kelembaban permukaan bumi (Rachim dan Suwardi, 1999). Berdasarkan
hasil penilaian ini dapat diketahui bahwa profil P4 yang berada di atas batuan marmer
merupakan profil yang telah mengalami pelapukan lanjut, sedangkan profil P6 yang
berada di atas batuan batu lempung merupakan profil yang tingkat pelapukannya paling
muda. Hal ini disebabkan pada profil P6 memiliki jumlah mineral mudah lapuk paling
banyak, sedangkan P4 memiliki jumlah mineral mudah lapuk paling sedikit dan mineral
sukar lapuknya banyak.
5.2
Penilaian Tingkat Perkembangan Tanah
Proses perkembangan tanah akan menghasilkan horison-horison genetik pada
tubuh tanah yang bersangkutan. Pada tanah-tanah yang telah berkembang akan
ditemukan horison-horison A, B, C, sedangkan tanah yang belum berkembang
kemungkinan akan ditemukan horison A dan C saja.
Dilihat dari kelengkapan horison genetik, profil-profil tanah yang diteliti
termasuk tanah yang telah berkembang karena keenamnya telah memiliki membentuk
horison A, B, dan C. Untuk membedakan tingkat perkembangan pada profil-profil
tersebut digunakan sifat lain untuk menentukan tingkat perkembangan tanah seperti
ketebalan atau kedalaman efektif. Semakin dalam kedalaman efektif/solum, maka tanah
tersebut semakin berkembang. Berdasarkan hasil deskripsi profil, profil P1 memiliki
kedalaman efektif 107 cm, P3 100 cm, P4 120 cm dan belum ditemukan bahan induk.
Pada profil P1 dan P3 sudah ditemukan horison peralihan dengan bahan induk (horison
BC). Sedangkan profil P2 126.5 cm, P5 121 cm, dan P6 123 cm sudah ditemukan bahan
induk. Oleh karena itu urutan tingkat perkembangan profil tanah jika dilihat dari tebal
kedalaman efektif adalah sebagai berikut: P4>P1>P3>P2>P6>P5. Profil P4 yang berada
di atas batuan induk marmer telah mengalami perkembangan tanah paling lanjut,
sedangkan profil P5 yang berada di atas batuan basalt, tingkat perkembangan tanahnya
paling muda. Hal ini disebabkan karena pada profil P4 selain belum ditemukan bahan
induk, pada profil ini juga belum ditemukan adanya horison peralihan. Horison C pada
profil ini letaknya masih lebih dalam lagi dari kedalaman penampang profil yang dibuat.
Hal ini menunjukkan bahwa profil P4 tingkat perkembangan tanahnya paling lanjut,
sedangkan untuk profil P5 memiliki kedalaman efektif yang lebih dangkal dibandingkan
profil lainnya dan sudah ditemukan adanya horison C. Hal ini menunjukkan bahwa
profil tersebut perkembangan tanahnya masih muda.
5.3
Klasifikasi Tanah
5.3.1 Profil P1, P5, dan P6
Berdasarkan Keys to Soil Taxonomy (Soil Survey Staff, 2006) diketahui bahwa
profil-profil tanah ini memiliki epipedon okrik karena memiliki value warna atau kroma
yang terlalu tinggi dan tidak memenuhi definisi dari tujuh epipedon yang lainnya.
Disamping itu profil tanah ini juga memiliki horison penciri kambik yang merupakan
horison alterasi yang ketebalannya 15 cm atau lebih, mempunyai tekstur pasir sangat
halus, pasir sangat halus berlempung, atau yang lebih halus, dan menunjukkan gejalagejala bukti adanya alterasi dalam bentuk mempunyai struktur tanah atau tidak memiliki
struktur batuan pada lebih dari setengah volume tanah dan mempunyai kandungan liat
lebih tinggi dibandingkan horison yang terletak di bawahnya. Dengan ciri-ciri tersebut
maka tanah ini dimasukkan ke dalam ordo Inceptisol.
Berdasarkan data curah hujan, daerah Karangsambung termasuk dalam regim
kelembaban udik yaitu suatu regim kelembaban tanah dimana penampang kontrol
kelembaban tanah tidak kering di sebarang bagiannya, selama 90 hari kumulatif dalam
tahun-tahun normal, sehingga pada tingkat subordo termasuk dalam Udepts.
Kejenuhan basa tanah ini tidak lebih dari 60% dan tidak memiliki sifat lain dari
subordo, sehingga dimasukkan dalam great group Dystrudepts. Tidak terdapatnya sifat
lain selain sifat inti dari great group, sehingga tanah pada profil P1, P5, dan P6
dimasukkan ke dalam subgroup Typic Dystrudepts.
Pada profil P1 dan P5, dalam fraksi yang berdiameter kurang dari 75 mm, terdapat
15% atau lebih partikel-partikel berukuran 0.1 sampai 75 mm dan fraksi tanah halusnya,
mengandung liat 18-35%, sedangkan pada profil P6 fraksi yang berdiameter kurang dari
75 mm terdapat kurang dari 15% partikel-partikel berdiameter 0.1 sampai 75 mm.
Regim suhu profil-profil tanah tersebut dimasukkan ke dalam regim suhu
isohipertermik, aktivitas pertukaran kation profil P1 dan P6 lebih besar dari 0.60,
sedangkan pada profil P5 antara 0.40-0.60. Oleh sebab itu profil P1 dimasukkan ke
dalam famili Typic Dystrudepts, berlempung halus, isohipertermik, superaktif. Profil P5
dimasukkan ke dalam famili Typic Dystrudepts, berlempung halus, isohipertermik, aktif
dan profil P6 dimasukkan ke dalam famili Typic Dystrudepts, berdebu halus,
isohipertermik, superaktif.
5.3.2 Profil P2, P3, dan P4
Berdasarkan Keys to Soil Taxonomy (Soil Survey Staff, 2006) menunjukkan
profil-profil tanah P2, P3, dan P4 memiliki epipedon okrik karena memiliki value warna
atau kroma yang terlalu tinggi dan tidak memenuhi definisi dari tujuh epipedon yang
lainnya. Disamping itu juga profil-profil tanah ini memiliki horison penciri kambik yang
merupakan horison alterasi yang ketebalannya 15 cm atau lebih, mempunyai tekstur
pasir sangat halus, pasir sangat halus berlempung, atau yang lebih halus, dan
menunjukkan gejala-gejala bukti adanya alterasi dalam bentuk mempunyai struktur
tanah atau tidak memiliki struktur batuan pada lebih dari setengah volume tanah dan
mempunyai kandungan liat lebih tinggi dibandingkan horison yang terletak di
bawahnya. Dengan ciri-ciri tersebut maka tanah ini dimasukkan ke dalam ordo
Inceptisol.
Berdasarkan data curah hujan, daerah Karangsambung termasuk dalam regim
kelembaban udik yaitu suatu regim kelembaban tanah dimana penampang kontrol
kelembaban tanah tidak kering di sebarang bagiannya, selama 90 hari kumulatif dalam
tahun-tahun normal, sehingga pada tingkat subordo termasuk dalam Udepts.
Kejenuhan basa tanah ini tidak lebih dari 60% dan tidak memiliki sifat lain dari
subordo, sehingga dimasukkan dalam great group Dystrudepts. Adanya penurunan
kadar karbon organik secara tidak teratur di antara kedalaman 25 cm dan 125 cm di
bawah permukaan tanah mineral, maka subgroupnya dimasukkan ke dalam Fluventic
Dystrudepts.
Pada profil P3 dan P4, dalam fraksi yang berdiameter kurang dari 75 mm, terdapat
15% atau lebih partikel-partikel berukuran 0.1 sampai 75 mm dan fraksi tanah halusnya,
mengandung liat 18-35%, sedangkan pada profil P2 fraksi yang berdiameter kurang dari
75 mm terdapat kurang dari 15% partikel-partikel berdiameter 0.1 sampai 75 mm.
Regim suhu profil-profil tanah tersebut dimasukkan ke dalam regim suhu
isohipertermik, aktivitas pertukaran kation profil P2 dan P3 lebih besar dari 0.60,
sedangkan pada profil P4 0.24-0.40. Oleh sebab itu profil P2 dimasukkan ke dalam
famili Fluventic Dystrudepts, berdebu halus, isohipertermik, superaktif. Profil P3
dimasukkan ke dalam famili Fluventic Dystrudepts, berlempung halus, isohipertermik,
superaktif. dan profil P4 dimasukkan ke dalam famili Fluventic Dystrudepts,
berlempung halus, isohipertermik, semiaktif.
5.4
Kaitan Antara Tingkat Pelapukan, Tingkat Perkembangan, dan Hasil
Klasifikasi Tanah dengan Formasi Geologi
Suatu formasi geologi selalu menjelaskan waktu atau umur dan jenis batuan atau
bahan induk. Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui bahwa dalam satu formasi geologi
menghasilkan jenis tanah yang sama yaitu Inceptisol. Namun, jika dilihat sampai tingkat
famili, nama tanah dalam satu formasi geologi belum tentu menghasilkan nama tanah
yang sama karena tanah tidak hanya dibentuk oleh proses geologi saja, tetapi tanah
merupakan fungsi dari topografi, bahan induk, organisme, iklim, dan waktu. Faktor
tersebut saling berinteraksi satu sama lainnya. Tanah yang terletak dalam formasi
geologi yang sama belum tentu memiliki tingkat pelapukan yang sama. Hal ini
disebabkan karena tanah-tanah tersebut dapat saja berasal dari bahan induk yang
berbeda. Profil-profil tanah yang diteliti menunjukkan adanya proses vulkanisasi. Proses
ini ditunjukkan oleh adanya mineral mudah lapuk (gelas volkan) pada fraksi pasirnya.
Berdasarkan sistem klasifikasi tanah ini, maka formasi geologi tidak berhubungan
langsung dengan jenis tanahnya sampai tingkat famili, begitu pula dengan tingkat
pelapukan, dan tingkat perkembangan tanahnya.
Tabel 3. Hubungan antara Formasi Geologi dengan Nama Tanah
Profil
Formasi Geologi
Batuan Induk
Nama Tanah
Kedalaman
efektif
(cm)
P1
Karangsambung
Batuan beku
Typic Dystrudepts
107
P2
Melange Lok Ulo
Batuan metamorf
Fluventic Dystrudepts
126.5
P3
Melange Lok Ulo
Batuan sedimen
Fluventic Dystrudepts
100
P4
Melange Lok Ulo
Batuan metamorf
Fluventic Dystrudepts
120
P5
Melange Lok Ulo
Batuan beku
Typic Dystrudepts
121
P6
Karangsambung
Batuan sedimen
Typic Dystrudepts
123
Profil-profil tanah yang diteliti termasuk tanah dewasa karena pada profil-profil
ini telah mengalami proses perkembangan lebih lanjut dari tanah muda, yaitu terjadi
proses pembentukan horison B. Horison B terbentuk akibat penimbunan liat dari lapisan
atas ke lapisan bawah. Jenis tanah yang termasuk dalam tingkat ini antara lain
Inceptisol, Andisol, Mollisol, Vertisol, dsb.
Penilaian tingkat pelapukan pada profil-profil tanah tersebut menunjukkan
urutan P4>P1>P5>P3>P2>P6, sedangkan jika dilihat dari tingkat perkembangan tanah
urutannya adalah P4>P1>P3>P2>P6>P5. Hal ini menunjukkan bahwa penilaian tingkat
pelapukan relatif sejalan dengan perkembangan tanah. Menurut Mohr dan Van Baren
(1960), tingkat perkembangan tanah dapat diketahui dari kadar mineral resisten dan
mineral non resisten. Semakin tinggi mineral resisten dan semakin rendah mineral non
resisten, maka tanah semakin berkembang. Ini berarti tingkat perkembangan tanah
sejalan dengan tingkat pelapukannya. Perkembangan tanah juga dipengaruhi oleh
lereng, dimana tanah yang berada pada lereng bawah yang berbentuk cekung umumnya
mempunyai kedalaman solum yang dalam. Sedikit perbedaan antara tingkat pelapukan
dan perkembangan tanah pada profil-profil ini diduga akibat pengaruh lereng. Pada
profil P3 yang berada di atas batuan rijang, tingkat perkembangan profilnya lebih
berkembang daripada profil P5 yang berada di atas batuan basalt karena profil P3
terletak pada lereng bawah sehingga terjadi penimbunan dari bahan di atasnya,
akibatnya kedalaman efektif/solum tanah lebih dalam. Pada profil P5 (berada di atas
batuan basalt) dan P6 (berada di atas batuan batu lempung) terletak pada lereng yang
curam, dan berbentuk cembung menyebabkan aliran air ke bawah menjadi dipercepat,
sehingga air yang masuk ke dalam solum tanah sedikit, akibatnya proses pencucian liat
sedikit. Disamping itu dengan adanya lereng yang sangat curam ini juga menyebabkan
adanya erosi sehingga lapisan atas tanah hilang, kedalaman efektif/solum tanah menjadi
dangkal.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1
Kesimpulan
1. Penilaian tingkat pelapukan tanah di lokasi penelitian ditinjau dari segi mineralogi
menunjukkan urutan P4>P1>P5>P3>P2>P6, penilaian tingkat pelapukan dari segi
kimia adalah P4>P5>P6>P2>P1>P3. Penilaian tingkat pelapukan dari segi fisik
adalah P4>P5>P2>P3>P1>P6. Penilaian tingkat pelapukan tanah dari segi fisik
dan kimia relatif sejalan, sedangkan penilaian dari segi mineralogi tidak sejalan
dengan kedua penilaian yang lain. Urutan tingkat pelapukan dari segi mineralogi
relatif lebih stabil dan langgeng. Oleh karena itu urutan tingkat pelapukan dari
segi mineralogi lah yang dipakai dalam menentukan tingkat pelapukan profilprofil tanah di lokasi penelitian. Profil P4 yang berada di atas batuan marmer
memiliki tingkat pelapukan paling lanjut, sedangkan profil P6 yang berada di atas
batuan batu lempung, tingkat pelapukannya paling muda.
2. Tingkat perkembangan tanah daerah penelitian dilihat dari kelengkapan horison
genetik dan ketebalan solumnya memiliki urutan P4>P1>P3>P2>P6>P5. Profil P4
yang berada di atas batuan marmer telah mengalami perkembangan paling lanjut,
sedangkan profil P5 yang berada di atas batuan basalt, tingkat perkembangannya
masih muda.
3. Untuk daerah penelitian formasi geologi tidak berhubungan langsung dengan jenis
tanah. Hal ini disebabkan karena adanya proses vulkanisasi yang lebih baru di atas
batuan induknya. Proses vulkanisasi ini ditunjukkan oleh adanya mineral mudah
lapuk (gelas volkan) pada fraksi pasirnya.
4. Formasi geologi juga tidak berhubungan langsung dengan tingkat pelapukan dan
perkembangan tanah. Hal ini dikarenakan profil-profil tanah tersebut diambil pada
hamparan lahan yang berbeda. Adanya perbedaan topografi (faktor lereng) dapat
menyebabkan proses pedogenesis yang berbeda.
6.2
Saran
Untuk menilai hubungan antara formasi geologi dengan tingkat pelapukan, tingkat
perkembangan, dan klasifikasi tanah maka faktor-faktor lain selain bahan induk di
lokasi penelitian harus homogen.
DAFTAR PUSTAKA
Agus, Fahmuddin, Abdurachman Adimihardja, Sarwono Hardjowigeno, Achmad
Mudzakir Fagi, dan Wiwik Hartatik. 2004. Tanah Sawah. Diakses dari
http://balittanah.litbang.deptan.go.id pada tanggal 6 Januari 2009 jam 10.39 WIB.
Anonim. 2009. Pembentukan Tanah. Diakses dari http://elisa.ugm.ac.id pada tanggal 7
Januari jam 09.23 WIB.
Asikin S, A. Handoyo, H. Busono & S. Gafoer. 1992. Geologi Lembar Kebumen, Jawa.
Departemen Pertambangan dan Energi, Direktorat Jendral Geologi dan
Sumberdaya Mineral, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi. Indonesia.
Boul, S.W, F.D. Hole and R.J. Mc Cracken. 1973. Soil Genesis and Clasification. Iowa
State University Press.
Darmawijaya, M.I. 1990. Klasifikasi Tanah. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Goeswono, Soepardi. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Departemen Ilmu-Ilmu Tanah. Bogor.
Hardjowigeno, S. 1993. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. Akademika Pressindo.
Jakarta.
Kim, H. Tan. 1991. Dasar-Dasar Kimia Tanah. Gajah Mada University Press.
Yogyakarta.
Kim, H. Tan. 1993. Principles of Soil Chemistry. Second Edition. Marcel Dekker, Inc.
New York.
Mohr, E.C. I & Van Baren. 1960. Tropical Soil. Chapter VI. Mineral Assosiation in
Soil. Bruxelles.
Rachim, D.A. dan Suwardi. 1999. Morfologi dan Klasifikasi Tanah. Jurusan tanah,
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Soil Survey Staff. 2006. Keys to Soil Taxonomy.10th Edition. United States Departement
of Agriculture.
LAMPIRAN
Tabel Lampiran 1. Hasil Deskripsi Sifat Morfologi Profil P1
Lokasi
: Karangsambung, Kebumen
Batuan induk
: Diabas (batuan beku dalam)
Fisiografi
: Berbukit, intrusi, elevasi 95 m dml
Topografi
: Berbukit
Regim temperatur
: Isohipertermik
Regim kelembaban
: Udik
Kelas drainase
: Baik
Vegetasi
: Albasia, pisang, jati, kelapa
Sifat-sifat morfologi tanah
Kedalaman
(cm)
0-18
Simbol
Uraian
A1
Coklat (7.5 YR 4/4), lempung berliat, struktur gumpal membulat,
halus, lemah, gembur (lembab), lekat dan plastis (basah), akar halus
cukup banyak, akar sedang cukup banyak, batas berombak, jelas.
Coklat (7,5 YR 4/4), lempung, struktur gumpal membulat, halus,
lemah, gembur (lembab), lekat dan plastis (basah), akar halus cukup
banyak, akar sedang cukup banyak, batas berombak, baur.
Kuning kemerahan (7,5 YR 6/6), lempung berliat, struktur gumpal
bersudut, halus, sedang, teguh (lembab), lekat dan plastis (basah),
akar halus sedikit, akar sedang sedikit, batas rata, baur.
Kuning kemerahan (7.5 YR 6/8), lempung berliat, struktur gumpal
bersudut, sedang, sedang , teguh (lembab), lekat dan plastis (basah),
akar halus sedikit, akar sedang sedikit, batas berombak, jelas.
Kuning kemerahan (7.5 YR 6/8), lempung liat berpasir, struktur
gumpal bersudut, sedang, sedang, teguh (lembab), lekat dan plastis
(basah), batas berombak.
18-44
A2
44-62
AB
62-88
B
88-107
BC
Tabel Lampiran 2. Hasil Deskripsi Sifat Morfologi Profil P2
Lokasi
: Wonotirto, Karanggayam, Kebumen
Batuan induk
: Filit (batuan metamorf)
Fisiografi
: Tektonik (daerah kontak antara rijang dan filit), elevasi 92
m dml
Topografi
: Berbukit
Regim temperatur
: Isohipertermik
Regim kelembaban
: Udik
Kelas drainase
: Baik
Vegetasi
: Bambu, pisang, jati, kelapa
Sifat-sifat morfologi tanah
Kedalaman
(cm)
0-12
Simbol
Uraian
A
Coklat kekuningan (10 YR 5/8), lempung liat berdebu, struktur
gumpal membulat, halus, lemah, gembur (lembab), agak lekat dan
agak plastis (basah), akar halus sedikit, batas rata, baur.
Kuning kecoklatan (10 YR 6/8), liat berdebu, struktur gumpal
membulat, sedang, lemah, teguh (lembab), lekat dan agak plastis
(basah), batas rata, baur.
Merah kekuningan (5 YR 5/6), liat berdebu, struktur gumpal bersudut,
sedang, sedang, teguh (lembab), lekat dan plastis (basah), batas rata,
baur.
Merah kekuningan (5 YR 5/6), liat berdebu, struktur gumpal bersudut,
halus, sedang , teguh (lembab), lekat dan plastis (basah), batas rata,
jelas.
Kuning (10 YR 7/6), lempung liat berdebu, struktur gumpal bersudut,
halus, sedang, teguh (lembab), lekat dan plastis (basah), batas rata,
jelas.
Kuning kemerahan terang (2,5 YR 6/4), lempung, struktur granular,
gembur (lembab), batas rata.
12-36
B1
36-57
B2.1
57-84
B2.2
84-101
BC
101-126.5
C
Tabel Lampiran 3. Hasil Deskripsi Sifat Morfologi Profil P3
Lokasi
: Wonotirto, Karanggayam, Kebumen
Batuan induk
: Rijang (batuan sedimen)
Fisiografi
: Tektonik (daerah kontak antara rijang dan filit), elevasi 97
m dml
Topografi
: Berbukit
Regim temperatur
: Isohipertermik
Regim kelembaban
: Udik
Kelas drainase
: Baik
Vegetasi
: Jati, pisang, kelapa
Vegetasi khusus
: Melastoma sp
Sifat-sifat morfologi tanah
Kedalaman
(cm)
0-22
Simbol
Uraian
A1
Coklat kuat (7,5 YR 5/6), lempung, struktur gumpal membulat,
sedang, lemah, gembur (lembab), agak lekat dan agak plastis (basah),
akar halus sedikit, batas rata, baur.
Coklat (7,5 YR 5/4), lempung berliat, struktur gumpal membulat,
sedang, lemah, gembur (lembab), lekat dan agak plastis (basah), batas
rata, jelas.
Kuning (10 YR 7/6), lempung, struktur gumpal membulat, sangat
halus, lemah, gembur (lembab), agak lekat dan agak plastis (basah),
batas rata, jelas.
Coklat (7,5 YR 4/4), lempung, struktur gumpal bersudut, halus,
sedang , teguh (lembab), agak lekat dan agak plastis (basah), batas
rata, jelas.
Coklat (7,5 YR 4/4), lempung berdebu, struktur gumpal bersudut,
halus, sedang, teguh (lembab), agak lekat dan agak plastis (basah),
batas rata.
22-50
A2
50-72
AB
72-84
B
84-100
BC
Tabel Lampiran 4. Hasil deskripsi Sifat Morfologi Profil P4
Lokasi
: Totogan , Karangsambung, Kebumen
Batuan induk
: Marmer (batuan metamorf)
Fisiografi
: Tektonik, elevasi 183 m dml
Topografi
: Berbukit
Regim temperatur
: Isohipertermik
Regim kelembaban
: Udik
Kelas drainase
: Baik
Vegetasi
: Bambu, jati, pisang, talas
Sifat-sifat morfologi tanah
Kedalaman
(cm)
0-24
Simbol
Uraian
A1
24-51
AB
51-72
B1.1
72-108
B1.2
108-120
B2
Coklat gelap (7,5 YR 3/4), liat, struktur gumpal membulat, halus,
lemah, gembur (lembab), agak lekat dan agak plastis (basah), akar
halus sedikit, batas rata, baur.
Coklat gelap (7,5 YR 3/4), liat, struktur gumpal membulat, sedang,
lemah, teguh (lembab), agak lekat dan agak plastis (basah), akar halus
sedikit, batas rata, jelas.
Coklat kuat (7,5 YR 5/6), liat, struktur gumpal bersudut, halus,
sedang, teguh (lembab), lekat dan plastis (basah), batas rata, baur.
Coklat kuat (7,5 YR 5/6), liat, struktur gumpal bersudut, halus,
sedang, teguh (lembab), lekat dan plastis (basah), batas rata, baur.
Coklat (7,5 YR 5/4), liat, struktur gumpal bersudut, halus, sedang,
teguh (lembab), lekat dan plastis (basah), batas rata.
Tabel Lampiran 5. Hasil Deskripsi Sifat Morfologi Profil P5
Lokasi
: Wonotirto, Karanggayam, Kebumen
Batuan induk
: Basalt (batuan beku)
Fisiografi
: Tektonik, elevasi 99 m dml
Topografi
: Berbukit
Regim temperature
: Isohipertermik
Regim kelembaban
: Udik
Kelas drainase
: Baik
Vegetasi
: Pinus
Vegetasi khusus
: Melastoma sp
Sifat-sifat morfologi tanah
Kedalaman
(cm)
0-27
Simbol
Uraian
A
Kuning kemerahan (7,5 YR 5/8), liat, struktur gumpal membulat,
halus, lemah, gembur (lembab), lekat dan plastis (basah), akar halus
sedikit, batas berombak, baur.
Merah terang (2,5 YR 7/8), lempung liat berdebu, struktur gumpal
bersudut, halus, sedang, teguh (lembab), lekat dan plastis (basah),
akar halus sedikit, batas berombak, jelas.
Coklat kemerahan (5 YR 5/3), lempung liat berdebu, struktur gumpal
bersudut, halus, sedang, teguh (lembab), lekat dan plastis (basah),
akar halus sedikit, batas berombak, jelas.
Kuning kemerahan (5 YR 7/6), lempung berliat, struktur granular,
gembur (lembab), tidak lekat dan tidak plastis (basah), batas
berombak, jelas.
Merah terang (2,5 YR 7/6), lempung berliat, struktur granular,
gembur (lembab), tidak lekat dan tidak plastis (basah), batas
berombak.
27-54
AB
54-69
B
69-100
C1
100-121
C2
Tabel Lampiran 6. Hasil Deskripsi Morfologi Profil P6
Lokasi
: Karangsambung, Karangsambung, Kebumen
Batuan induk
: Batu lempung bersisik (batuan sedimen)
Fisiografi
: Tektonik, elevasi 86 m dml
Topografi
: Berbukit
Regim temperatur
: Isohipertermik
Regim kelembaban
: Udik
Kelas drainase
: Baik
Vegetasi
: Pisang, albasia, rambutan, nangka, jati
Vegetasi khusus
: Melastoma sp
Sifat-sifat morfologi tanah
Kedalaman
(cm)
0-20
Simbol
Uraian
A
Coklat (7,5 YR 5/4), lempung liat berdebu, struktur gumpal
membulat, sedang, lemah, gembur (lembab), sangat lekat dan sangat
plastis (basah), akar halus banyak, batas berombak, baur.
Coklat kuat (7,5 YR 5/6), liat berdebu, struktur gumpal membulat,
sedang, lemah, gembur (lembab), sangat lekat dan sangat plastis
(basah), akar halus sedang, batas berombak, baur.
Kuning kecoklatan (10 YR 5/4), lempung liat berdebu, struktur
gumpal membulat, sedang, lemah, teguh (lembab), sangat lekat dan
plastis (basah), akar halus sedikit, batas berombak, jelas.
Coklat merah terang (2,5 YR 6/3), liat, struktur granular, gembur
(lembab), batas rata.
20-39
B
39-57
BC
57-123
C
Tabel Lampiran 7. Data Curah Hujan Daerah Karangsambung, Kebumen
Tahun 2002-2007
Bulan
2002
2003
2004
2005
2006
2007
Januari
89
433
689
315
404
222
Februari
199
713
190
521
460
446
Maret
329
771
586
331
202
354
April
358
141
90
175
460
502
Mei
112
126
153
0
75
215
Juni
20
4
49
118
0
64
Juli
3
0
145
93
0
0
Agustus
0
0
0
41
0
0
September
0
0
3
102
0
0
Oktober
0
274
54
259
16
178
November
789
396
767
295
69
308
Desember
758
792
732
621
456
532
Tabel Lampiran 8. Sifat Fisika Profil Tanah di Lokasi penelitian
Profil
P1
P2
P3
P4
P5
P6
Tekstur (%)
Kedalaman
Tekstur
Struktur
Konsistensi
BI (g/cm3)
Warna Tanah
(cm)
Tanah
Tanah
Tanah
Liat
Debu
Pasir
A1
0-18
26.79
31.20
42.02
CL
1.18
sb
Gembur
7.5 YR 4/4
A2
18-44
21.56
33.46
44.98
L
sb
Gembur
7.5 YR 4/4
AB
44-62
28.05
43.67
28.28
CL
ab
Teguh
7.5 YR 6/6
B
62-88
26.84
45.93
27.23
CL
ab
Teguh
7.5 YR 6/8
BC
88-107
23.37
28.34
48.29
SCL
ab
Teguh
7.5 YR 6/8
A
0-12
29.03
52.26
18.71
SiCL
1.23
sb
Gembur
10 YR 5/8
B1
12-36
43.12
45.93
10.95
SiC
sb
Teguh
10 YR 6/8
B2.1
36-57
40.94
48.72
10.34
SiC
ab
Teguh
5 YR 5/6
B2.2
57-84
45.16
48.16
6.67
SiC
ab
Teguh
5 YR 5/6
BC
84-101
31.78
53.60
14.62
SiCL
ab
Teguh
10 YR 7/6
C
101-126.5
16.22
43.90
39.89
L
g
Gembur
2.5 YR 6/4
A1
0-22
24.67
45.38
29.95
L
1.01
sb
Gembur
7.5 YR 5/6
A2
22-50
33.35
35.06
31.59
CL
sb
Gembur
7,5 YR 5/4
AB
50-72
17.34
45.39
37.27
L
sb
Gembur
10 YR 7/6
B
72-84
20.79
47.25
31.97
L
ab
Teguh
7.5 YR 4/4
BC
84-100
21.60
55.33
23.07
SiL
ab
Teguh
7.5 YR 4/4
A
0-24
51.84
27.27
20.90
C
1.07
sb
Gembur
7.5 YR 3/4
AB
24-51
52.12
26.70
21.19
C
sb
Teguh
7.5 YR 3/4
B1.1
51-72
46.22
36.62
17.16
C
ab
Teguh
7.5 YR 5/6
B1.2
72-108
45.41
35.59
19.00
C
ab
Teguh
7.5 YR 5/6
B2
108-120
43.93
36.54
19.53
C
ab
Teguh
7.5 YR 5/4
A
0-27
44.95
36.50
18.55
C
1.13
sb
Gembur
7.5 YR 5/8
AB
27-54
32.22
50.34
17.45
SiCL
ab
Teguh
2.5 YR 7/8
B
54-69
39.36
44.87
15.87
SiCL
ab
Teguh
5 YR 5/3
C1
69-100
34.12
22.96
42.92
CL
g
Gembur
5 YR 7/6
C2
100-121
33.49
25.40
41.11
CL
g
Gembur
2.5 YR 7/6
A
0-20
38.19
50.55
11.27
SiCL
1.05
sb
Gembur
7.5 YR 5/4
B
20-39
41.10
47.37
11.53
SiC
sb
Gembur
7.5 YR 5/6
BC
39-57
29.90
59.98
10.52
SiCL
sb
Teguh
10 YR 5/4
C
57-123
18.10
77.28
4.62
C
g
Gembur
2.5 YR 6/3
Keterangan: C-liat, L-lempung, CL-lempung berliat, SiC-lempung berdebu, SiL-lempung berdebu, SiCL-lempung liat berdebu, SCL-lempung liat
berpasir, Sb-gumpal membulat, ab-gumpal bersudut, g-granular
Horison
Tabel Lampiran 9. Sifat Kimia Profil Tanah di Lokasi Penelitian
Profil
P1
P2
P3
P4
P5
P6
Kedalaman
(cm)
pH
H2O
pH
KCl
C-org
(%)
BO
(%)
Al-dd
(me/100g)
N-total
(%)
P-tersedia
(ppm)
Ca
(me/100g)
Mg
(me/100g)
K
(me/100g)
Na
(me/100g)
KTK
(me/100g)
KB
(%)
0-18
18-44
44-62
62-88
88-107
0-12
12-36
36-57
57-84
84-101
101-126.5
5.46
5.77
5.55
5.53
5.82
4.61
4.72
4.90
5.45
5.68
5.70
3.67
3.91
3.73
3.76
3.74
3.38
3.55
3.77
4.47
4.37
3.90
1.01
0.70
0.50
0.20
0.20
1.88
2.09
1.26
0.94
1.15
1.26
1.75
1.23
0.88
0.35
0.35
3.28
3.64
2.19
1.64
2.00
2.19
0.33
0.24
0.19
0.14
0.19
3.65
1.38
0.69
0.10
0.10
0.34
0.07
0.06
0.04
0.04
0.02
0.10
0.09
0.11
0.07
0.07
0.06
2.50
2.34
2.11
2.18
2.26
4.41
2.17
2.07
2.08
2.08
5.03
1.75
1.70
0.18
2.10
21.17
0.11
0.55
1.64
0.96
1.64
0.96
7.63
8.18
10.54
7.89
6.14
8.87
6.61
7.75
13.69
8.90
6.16
0.14
0.44
0.34
0.25
0.27
0.33
0.46
0.20
0.46
0.25
0.26
0.24
0.30
0.37
0.33
0.32
0.18
0.24
0.18
0.33
0.34
0.30
30.66
30.91
39.24
43.89
33.43
30.32
29.02
33.47
29.01
36.89
38.99
31.94
34.36
29.26
24.19
83.64
31.43
27.18
29.31
53.38
30.27
19.76
0-22
22-50
50-72
72-84
84-100
0-24
24-51
51-72
72-108
108-120
0-27
27-54
54-69
69-100
100-121
0-20
20-39
39-57
57-123
5.19
5.41
5.34
5.45
5.32
5.78
5.72
5.72
5.51
5.46
4.61
4.66
4.53
4.84
4.80
5.07
5.26
5.47
5.97
3.73
3.67
3.52
3.46
3.47
4.75
4.72
4.71
4.47
4.42
3.37
3.38
3.38
3.56
3.47
3.58
3.94
4.05
4.22
1.14
0.52
0.62
0.31
1.35
2.13
1.52
2.13
1.73
1.22
0.70
0.50
0.40
0.40
0.40
1.15
0.73
0.73
0.10
1.99
0.90
1.08
0.54
2.35
3.71
2.65
3.71
3.01
2.12
1.22
0.87
0.70
0.35
0.35
2.01
1.28
1.28
0.18
0.88
0.78
0.78
0.93
0.88
0.05
Tr
0.05
0.14
0.14
4.79
5.17
3.71
1.79
2.40
0.74
0.10
0.15
0.15
0.07
0.06
0.06
0.04
0.04
0.15
0.14
0.11
0.12
0.11
0.09
0.07
0.08
0.04
0.02
0.08
0.07
0.07
0.02
3.54
2.82
2.25
2.66
2.98
3.24
2.79
2.56
2.57
3.06
9.92
2.96
3.27
4.60
3.25
3.02
2.26
2.22
35.66
0.54
1.22
1.22
0.41
11.40
0.78
0.70
0.53
0.62
0.49
0.85
0.87
0.70
0.50
0.61
26.34
2.74
3.43
4.25
11.54
15.16
16.51
17.42
21.04
1.28
1.02
0.95
1.46
1.51
6.37
7.24
5.72
3.57
4.63
14.86
6.63
9.15
17.15
0.41
0.30
0.21
0.42
0.07
0.31
0.70
0.37
0.25
0.09
0.48
0.34
0.49
0.13
0.34
0.73
0.02
0.14
0.57
0.28
0.27
0.24
0.55
0.44
0.22
0.35
0.26
0.49
0.14
0.26
0.28
0.27
0.18
0.24
0.48
0.30
0.30
0.46
40.76
42.06
39.19
47.12
45.29
17.19
17.45
17.19
18.72
17.19
27.42
28.17
22.90
14.38
18.14
44.62
46.31
46.05
55.00
31.45
40.43
46.56
40.03
72.99
15.12
15.91
10.32
13.58
13.00
29.12
31.16
31.50
30.57
32.21
93.20
21.00
28.36
40.94
Apatit*
Hyperstane*
Diopsida*
Amfibol
Magnetit
Gibsit
Mineral Liat*
Andesin*
Konkresi
Besi
Kapur
P6
Augit*
P5
Ortoklas
P4
Plagioklas*
P3
Gelas
Volkan*
P2
Bahan
Lapukan*
P1
Kedalaman
(cm)
Kuarsa
Jernih
Profil
Kuarsa
Keruh
Tabel Lampiran 10. Hasil Analisis Mineral Fraksi Pasir Total dari Profil Tanah di Lokasi Penelitian
0-18
18-44
44-62
62-88
88-107
0-12
12-36
36-57
57-84
84-101
101-126.5
0-22
22-50
50-72
72-84
84-100
0-24
24-51
51-72
72-108
108-120
0-27
27-54
54-69
69-100
100-121
0-20
20-39
39-57
57-123
35
40
33
44
30
29
16
16
16
2
5
16
11
4
12
13
18
23
18
30
18
21
49
22
26
18
18
27
22
8
5
6
8
8
1
1
8
2
11
7
1
Sd
Sd
4
Sd
3
1
9
6
11
7
2
6
14
6
4
9
7
9
2
9
10
22
19
31
40
45
42
40
71
91
36
51
68
46
56
7
9
23
5
21
45
29
41
57
64
22
21
33
74
Sd
Sd
Sd
Sd
1
Sd
Sd
Sd
1
Sd
Sd
1
-
1
3
3
6
7
3
1
2
1
1
2
18
13
12
11
19
-
1
sd
5
1
Sd
Sd
1
-
15
10
4
9
12
3
5
3
4
1
sd
sd
sd
sd
sd
-
5
5
2
2
4
Sd
1
2
1
2
Sd
Sd
Sd
Sd
1
Sd
1
5
1
3
6
1
4
6
1
-
1
-
1
3
Sd
4
6
7
3
1
4
1
5
1
Sd
2
6
12
10
5
7
3
Sd
Sd
1
Sd
2
4
4
2
17
11
13
7
11
11
13
19
17
7
1
9
10
4
20
8
27
12
9
17
10
2
1
Sd
Sd
1
11
12
12
3
1
1
2
2
3
2
2
3
2
2
Sd
6
3
9
5
6
15
2
1
6
9
15
5
7
6
2
Sd
5
12
11
13
2
8
10
11
6
1
4
Sd
Sd
2
Sd
1
2
2
2
3
1
-
2
1
5
1
3
3
Sd
6
1
6
26
25
12
11
9
2
2
2
2
2
16
3
5
2
5
Sd
Sd
1
3
1
-
1
Sd
1
2
8
8
4
14
8
2
1
1
15
10
5
1
Lampiran Gambar 1. Penampang Profil Tanah di Lokasi Penelitian
Profil P1
(Di atas batuan diabas)
Profil P2
(Di atas batuan filit)
Profil P3
(Di atas batuan rijang)
Lampiran Gambar 2. Penampang Profil Tanah di Lokasi Penelitian
Profil P4
(Di atas batuan marmer)
Profil P5
(Di atas batuan basalt)
Profil P6
(Di atas batuan batu lempung)
Download