Data Kalibrasi hara K - Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo

advertisement
JURNAL AGROTEKNOS Nopember 2011
Vol. 1 No. 3. Hal 119-126
ISSN: 2087-7706
PERKEMBANGAN TANAH DARI LAPUKAN BATUAN ULTRABASA PADA
DUA TOPOSEKUEN DI SULAWESI TENGGARA
Soil Genesis of Ultramafic Rocks Weathered on Two Toposequence in
Sulawesi Tenggara
SYAMSU ALAM1*), BAMBANG HENDRO SUNARMINTO2), dan SYAMSUL ARIFIN SIRADZ2)
1) Jurusan
2)
Agroteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo, Andounuhu Kendari.
Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian UGM, Jl. Flora, Bulaksumur, Yogyakarta 55281
ABSTRACT
The study of soil development of weathering ultramafic rocks have been performed on
several toposequence in Sulawesi Tenggara in Puriala Subdistrict of Konawe District and in
Lasusua Subdistrict of Kolaka District from December 2010 until Juni 2011. The results
showed that soils developed from ultramafic rocks weathering low rainfall (torric) in
Puriala have a more coarse texture (LS, SL, L, SiL, CL, C), impervious container which was
more shallow (20-90 cm), land of color tend to be brown (7.5 YR), pH 6.8 to 7.6, C-organic
0.57 to 0.93%, CEC 26.20 to 69.61 cmol(+)kg-1, the number of base 11.90 to 15.86 cmol(+)kg1, Fe-d 3.79 to 16.12%, Al-d 0.14 to 1.65%, smectite clay minerals, sand mineral feldspar
hematite compared soils developed from ultramafic rocks weathering high rainfall (udic) in
Lasusua color tends to be more red (2.5 YR), with a finer texture (SiCL, C) and impervious
container deeper (70 -> 150 cm), pH 6.1 to 7.0, C-organic 1.20 to 1.86%, CEC 11.29 to 31.60
cmol(+)kg-1, the number of bases 2.72 to 13.33 cmol(+)kg-1, Fe-d 21.62 to 27.04%, Al-d 0.87
to 3.58%, gutit smectite clay minerals, sand mineral feldspar-magnetite-hematite. Soil
weathering from ultramafic rocks with high rainfall experienced base cations leaching was
higher mainly characterized by high mobility of cations with CEC and a lower base amount,
and the accumulation of low mobility of cations is characterized by high Fe-d and Al-d. Level
of soil development began from P2 (Entisol), P1 (Vertisol), L2 (Inceptisol), P3 (Inceptisol),
L1 (Alfisol) and the last L3 (Oxisol) the most advanced of soil is on the middle slope, the next
is soil on summit, and the last is soil on toeslopes.
Keywords: Key words: soil development, toposequence, climate, ultramafic
2
PENDAHULUAN
Batuan induk yang berbeda mempunyai
komposisi mineral yang berbeda dan penting
dalam proses pembentukan tanah (Foth, 1991;
Tan, 1992; Sutanto, 2005). Kecepatan
pelepasan unsur hara dari batu sangat
tergantung pada intensitas faktor-faktor yang
mempengaruhi pelapukan, misalnya: suhu,
curah hujan dan kelembaban (Tan, 1992;
Kusdarto, 2006). Batuan ultrabasa umumnya
didominasi oleh mineral olivin dan serpentin
Alamat korenpondensi:
081341512265
E-mail: [email protected]
*)
yang termasuk mineral mudah melapuk.
Kelompok batuan ini memiliki SiO2 yang
rendah dan secara nisbi kaya akan Fe, Ca, dan
Mg yang dapat dijadikan sebagai bahan
pembenah tanah untuk tanah-tanah marginal.
Sulawesi Tenggara termasuk salah satu
daerah yang memiliki sebaran formasi geologi
kompleks ultrabasa yang cukup luas (325.556
ha) dengan iklim, relief, dan penggunaan lahan
yang beragam.
Intensitas pelapukan selain dipengaruhi
oleh iklim dan batuan induk juga dipengaruhi
oleh keragaman topografi (Jenny, 1941).
Peranan topografi dapat mempercepat atau
memperlambat intensitas pelapukan (van
Breemen dan Buurman, 1980; Schaetzl dan
Anderson, 2005). Peranan topografi terhadap
120
ALAM ET AL.
intensitas
pelapukan
dan
tingkat
perkembangan tanah ditunjukkan dengan
keragaman
karakteristik
tanah
yang
dihasilkan pada setiap profil tanah yang
terbentuk pada keragaman topografi mulai
dari lereng atas sampai lereng bawah.
Sebaran jenis tanah yang terbentuk dapat
berbeda meskipun berasal dari bahan induk
(termasuk umur) yang sama karena adanya
pengaruh faktor iklim dan relief yang berbeda.
Deretan tanah-tanah yang pembentukannya
dikuasai oleh faktor pembentuk tanah yang
sejenis
kecuali
timbulan,
dinamakan
toposequence
(Notohadiprawiro
dan
Suparnowo, 1978).
Perkembangan tanah dapat disidik
berdasarkan sifat-sifat morfologi, fisika, kimia
dan mineralogi tanahnya yakni dengan
membandingkan sifat horizon dalam satu
profil secara vertikal maupun antar profil
secara
horizontal.
Gerrad
(1981)
mengungkapkan bahwa perkembangan tanah
dicirikan oleh terjadinya diferensiasi horison
sebagai wakil proses pedogenik baik fisika,
kimia, maupun biologi yang oleh reaksi dalam
profil
tanah
terjadi
penambahan,
penghilangan, alih tempat, serta alih rupa
senyawa mineral dan bahan organik dalam
tubuh tanah.
Menurut Buurman (1980), nisbah diantara
debu halus dengan fraksi yang lebih halus
(lempung) dapat digunakan juga dalam
penilaian perkembangan tanah (intensitas
pelapukan). Hal tersebut didasarkan pada
asumsi bahwa semakin lanjut pelapukan maka
akan semakin banyak fraksi debu yang
terlapuk menjadi fraksi yang lebih halus,
sehingga nisbah debu/lempung akan semakin
rendah seiring dengan tingkat perkembangan
tanah.
Rachim (2007) mengungkapkan bahwa
nisbah mineral mudah lapuk dan resisten juga
dapat dijadikan indikator derajat pelapukan.
Nisbah mineral mudah lapuk/resisten
semakin rendah seiring tingkat perkembangan
tanah atau nisbah kuarsa/feldspar makin
besar menunjukkan tingkat perkembangan
tanah makin lanjut. Maas (1997) juga
mengungkapkan bahwa komposisi mineralogi
dapat
menjadi
parameter
tingkat
perkembangan tanah. Tanah muda didominasi
mineral primer, tanah dengan pematangan
awal tipe lempung 2:1, pematangan akhir tipe
lempung 1:1, dan tanah tua dominasi oksida).
J. AGROTEKNOS
Beberapa parameter lain untuk menilai
perkembangan tanah yaitu nisbah Si/Al dan
Fe oksida dimana antara Si dengan Al dan Fe
oksida mempunyai tingkat pelapukan yang
berbeda. Sesuai dengan prinsip pelapukan
batuan (Birkeland, 1974; Schaetzl dan
Anderson, 2005), bahwa oksida Fe dan Al
merupakan senyawa yang cukup tahan
terhadap pelapukan. Sementara itu, senyawa
lainnya mudah hilang dari tempat asalnya,
termasuk silika. Oleh karena itu, nisbah oksida
dari Si terhadap Fe dan atau Al digunakan
sebagai Indeks Pelapukan. Semakin rendah
nisbah SiO2/Al2O3, Al2O3/Fe2O3, dan nisbah
SiO2/(Al2O3+Fe2O3) menunjukkan tingkat
perkembangan tanah yang semakin lanjut.
Mehra dan Jackson (1960) dalam Pai et al.
(2007) juga menyatakan bahwa nisbah Feo/Fe-d atau Fe-d dan Al-d semakin rendah
menunjukkan tingkat perkembangan tanah
semakin lanjut.
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan
tingkat perkembangan tanah dari lapukan
batuan ultrabasa pada dua toposekuen
berbeda di Sulawesi Tenggara.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan
Desember 2010 hingga Juni 2011. Penelitian
lapangan dilakukan pada dua lokasi yang
berbeda yaitu Kecamatan Puriala Kabupaten
Konawe dan Kecamatan Lasusua Kabupaten
Kolaka Utara Propinsi Sulawesi Tenggara.
Penelitian laboratorium dilakukan di beberapa
laboratorium, yaitu analisis sifat fisika dan
kimia tanah dilakukan di Laboratorium Tanah
UGM dan Laboratorium Tanah Unhalu,
sedangkan analisis mineral dan batuan
dilakukan di Laboratorium Teknik Geologi
UGM dan Laboratorium Geokimia Pusat
Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi
Yogyakarta.
Penelitian ini dilakukan di Propinsi
Sulawesi Tenggara sebagai salah satu daerah
yang memiliki sebaran batuan ultrabasa yang
cukup luas, dari duabelas kabupaten/kota
yang ada, enam kabupaten diantaranya
terdapat formasi geologi kompleks ultrabasa
yaitu : Kabupaten Kolaka, Kolaka Utara,
Konawe, Konawe Utara, Konawe Selatan, dan
Kabupaten Bombana. Lokasi penelitian ini
ditetapkan pada dua kabupaten yaitu
Kabupaten Kolaka Utara dan Kabupaten
Vol. 1 No.3, 2011
Perkembangan Tanah dari Lapukan Batuan Ultrabasa
Konawe berdasarkan beberapa pertimbangan
diantaranya kondisi iklim serta penggunaan
lahan. Selanjutnya dalam setiap kabupaten
ditetapkan satu kecamatan sebagai lokasi
penelitian yang memiliki landscape yang
berkembang di atas batuan ultrabasa.
Kecamatan Puriala (Kabupaten Konawe)
memiliki curah hujan rata-rata 800 mm tahun1 dengan komoditi utama lada. Kecamatan
Lasusua (Kabupaten Kolaka Utara) memiliki
curah hujan rata-rata 1.800 mm tahun-1
dengan komoditi utama kakao dan cengkeh.
Jumlah profil pada setiap landscape
ditentukan dengan menggunakan konsep
katena (toposekuen) yaitu dengan membuat
profil pewakil berdasarkan posisi di lereng
(lereng atas, tengah dan lereng bawah) (Lee et
al., 2003; Pai et al., 2007; Garnier et al., 2009;
Graham and O’Geen, 2010), sehingga dalam
penelitian ini karakterisasi difokuskan pada
enam profil pewakil.
Analisis laboratorium untuk karakteristik
fisika dan kimia tanah dilakukan pada setiap
lapisan/horison mengikuti metode analisis
Balai Penelitian Tanah (2009), sedangkan
untuk karakteristik mineralogi tanah (fraksi
lempung dan fraksi pasir) hanya dilakukan
pada satu lapisan yaitu horison B dengan
kadar lempung paling tinggi untuk masingmasing profil (Lee et al., 2003; Muggler et al.,
2007). Khusus untuk analisis dengan larutan
selektif dilakukan pada tiga lapisan/ horison
utama (horison A, B dan C) (Irmak et al., 2007;
He et al., 2008).
Data hasil analisis tanah yang diperoleh
dari lapangan dan laboratorium kemudian
diolah berdasarkan perhitungan rata-rata
imbang untuk membandingkan sifat-sifat
tanah antar horison dan antar profil, serta
pembandingan secara deskripsi komparatif
baik atas dasar toposekuen ataupun
klimosekuen.
Tingkat perkembangan tanah dievaluasi
selain berdasarkan differensiasi horison
(Gerrad, 1981), juga didasarkan atas
perhitungan intensitas pelapukan (nisbah
debu/lempung) (Buurman, 1980), derajat
pelapukan (nisbah mineral mudah lapuk dan
resisten) (Rachim, 2007), indeks pelapukan
(nisbah oksida dari Si terhadap Fe dan atau Al)
(Birkeland, 1974; Schaetzl dan Anderson,
2005). Selain itu pendapat Mehra dan Jackson
(1960) dalam Pai et al. (2007) juga dapat
digunakan yaitu bahwa nisbah Fe-o/Fe-d atau
121
Fe-d dan Al-d semakin rendah menunjukkan
tingkat perkembangan tanah semakin lanjut.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penilaian terhadap tingkat perkembangan
tanah dapat ditentukan berdasarkan beberapa
pendekatan, diantaranya pertama melalui
kenampakan morfologi tanah dalam hal ini
melalui identifikasi diferensiasi horison yang
terbentuk.
Kedua
melalui
pendekatan
karakteristik fisika tanah dalam hal ini
ditentukan
berdasarkan
nisbah
debu/lempung dalam tanah untuk menilai
intensitas pelapukan, khususnya pada tanahtanah yang berkembang dari bahan induk
yang sama. Ketiga tingkat perkembangan
tanah dapat pula diukur berdasarkan
karakteristik mineral fraksi pasir yaitu
berdasarkan
nisbah
mineral
mudah
lapuk/resisten atau nisbah kuarsa/feldspar
dalam tanah untuk menilai derajat pelapukan.
Keempat berdasarkan nisbah bentuk-bentuk
Al dan Fe dalam tanah diantaranya Fe-o/Fe-d,
Fe-d dan Al-d yang digunakan untuk menilai
indeks pelapukan atau biasa pula disebut
sebagai leaching factor.
Diferensiasi Horison.
Diferensiasi
horison memberikan gambaran tentang
banyaknya horison yang terbentuk pada suatu
penampang vertikal tubuh tanah. Banyaknya
horison yang terbentuk dapat dijadikan dasar
dalam menilai tingkat perkembangan tanah.
Horison yang terbentuk semakin banyak dan
semakin tebal maka tanah tersebut telah
mengalami perkembangan lanjut, karena
terjadi pelapukan secara intensif.
Hasil identifikasi morfologi tanah pada
lokasi penelitian profil P1 (horison A, Assc,
Crss), dan profil P2 (A, AC, Crss) memiliki
ketebalan solum yang tipis dengan susunan
horison yang terbentuk sedikit dan belum
ditemukan adanya horison B serta masih
langsung ditemukan horison bahan induk
tanah. Hal ini mengindikasikan bahwa tanah
pada profil ini belum memiliki tingkat
pelapukan yang lanjut dan termasuk tanahtanah yang baru berkembang (Gerrad, 1981).
Profil P3 (horison IAp, IB, IIAcb, IIBwb) dan
profil L2 (horison A, B, BC) memiliki ketebalan
solum sedang, susunan horison yang lebih
lengkap dengan kehadiran horison B,
meskipun masih ditemukan horison bahan
induk tanah profil ini termasuk tingkat
122
ALAM ET AL.
J. AGROTEKNOS
pelapukan yang sedang berkembang. Profil L1
dan L3 menunjukkan tingkat perkembangan
tanah yang lebih lanjut bila dibandingkan
dengan profil lainnya, sebab selain jumlah
horison yang lebih banyak, juga ketebalan dan
jeluk tanah juga cukup tebal/dalam serta tidak
dijumpai lapisan/horison bahan induk tanah.
Menurut Hardjowigeno (1993) bahwa seiring
dengan
tingkat
perkembangan
tanah
meningkatnya proses pelapukan yang berjalan
lanjut sehingga terjadi perubahan yang nyata
pada horison.
Intensitas
pelapukan
(nisbah
debu/
lempung). Tingkat pelapukan tanah dapat
diukur dari hasil nisbah debu/lempung,
khususnya
pada
tanah-tanah
yang
berkembang dari bahan induk yang sama.
Semakin
tinggi
presentase
nisbah
debu/lempung
menunjukkan
intensitas
pelapukan yang kurang intensif sebaliknya
jika nilai nisbah debu/lempung tinggi
menggambarkan intensitas pelapukan yang
cukup intensif (Jackson, 1968). Rasio Si/C
semakin rendah seiring tingkat perkembangan
tanah.
Tabel 1. menunjukkan bahwa profil P1 dan
P2 mempunyai nisbah debu/lempung yang
cukup tinggi (2,2 dan 1,4), hal ini
mengindikasikan bahwa intensitas pelapukan
pada tanah ini berlangsung sangat lambat
karena masih dirajai oleh fraksi debu. Pada
profil L1 dan L3 mempunyai nisbah
debu/lempung yang rendah (0,4 dan 0,5), hal
ini mengindikasikan bahwa tanah ini telah
mengalami pelapukan intensif sehingga
termasuk tingkat pelapukan lanjut yang dirajai
oleh fraksi lempung (Buurman, 1980).
Tabel 1. Perbandingan tingkat perkembangan tanah berdasarkan susunan morfologi horison dan rasio
debu (Si)/lempung (C) pada dua toposekuen di Sulawesi Tenggara
Toposekuen di Puriala
Profil
Horison
P1
A, Assc, Crss
P2
A, AC, Crss
P3
IAp, IB, IIAcb, IIBwb
Si/C
2,2
1,4
0,9
Menurut Jackson (1968) bahwa nilai nisbah
debu/lempung sekitar 0,2% maka tanah
tersebut telah berkembang lanjut. Sedangkan
profil P3 dan L2 memiliki nisbah
debu/lempung yang relatif sedang (0,9 dan
1,1), hal ini mengindikasikan bahwa intensitas
pelapukan belum cukup intensif, sehingga
tingkat perkembangan tanahnya tidak dapat
berkembang lanjut. Profil P3 selain memiliki
muka air tanah yang dangkal juga karena
termasuk tanah tertimbun yang menampung
hasil erosi dari lereng atasnya, sedangkan
profil L2 lebih disebabkan karena erosi yang
besar akibat lereng yang curam dan curah
hujan yang tinggi.
Derajat pelapukan (Nisbah mineral
mudah lapuk/resisten).
Nisbah ini
memberikan gambaran bahwa semakin
rendah nilai nisbah mineral mudah
lapuk/resisten maka tingkat perkembangan
tanahnya semakin berkembang. Tabel 2.
menunjukkan bahwa nilai nisbah mineral
mudah lapuk/resisten pada profil P3, L1, L2,
dan L3 memiliki nilai yang rendah hal ini
mengindikasikan bahwa pada profil ini
memiliki derajat pelapukan yang lebih lanjut.
Toposekuen di Lasusua
Profil
Horison
L1
O, A, Bt1, Bt2, Bt3, Bt4
L2
A, B, BC
L3
A, Bo1, Bo2, Bo3
Si/C
0,5
1,1
0,4
Profil P1 dan P2 memiliki nilai nisbah yang
lebih tinggi dibandingkan dengan profil
lainnya, hal ini mengindikasikan bahwa
derajat pelapukan belum intesif, karena pada
tubuh tanah tersebut masih didominasi oleh
partikel yang mudah lapuk. Menurut Rachim
(2007), nisbah mineral mudah lapuk dan
resisten dapat dijadikan sebagai indikator
derajat pelapukan, semakin rendah derajat
pelapukan maka semakin lanjut tingkat
perkembangan tanahnya.
Nisbah
kuarsa/feldspar
memberikan
gambaran tentang perkembangan tanah,
semakin tinggi nilai nisbah kuarsa/feldspar
maka tanah tersebut memiliki perkembangan
lanjut. Tanah yang didominasi oleh kuarsa
merupakan tanah yang telah berkembang
lanjut, karena sifat kuarsa yang inert yang
sukar melapuk. Pada tanah yang didominasi
oleh feldspar merupakan tanah yang
mengalami tingkat pelapukan yang sedang
berkembang. Hasil pengamatan pada semua
profil
menunjukkan
nilai
nisbah
kuarsa/feldspar yang relatif bervariasi, hal ini
lebih disebabkan oleh pendekatan metode
pengambilan sampel yang berbeda setiap
Vol. 1 No.3, 2011
Perkembangan Tanah dari Lapukan Batuan Ultrabasa
profil, sehingga kurang menggambarkan
kesesuaian tingkat perkembangan tanah
dengan nisbah kuarsa/feldspar yang ada.
123
Menurut
Rachim
(2007)
nisbah
kuarsa/feldspar yang besar menunjukkan
tingkat perkembangan tanah lanjut.
Tabel 2. Perbandingan tingkat perkembangan tanah berdasarkan rasio mineral mudah lapuk/resisten
dan rasio kuarsa/feldspar pada dua toposekuen di Sulawesi Tenggara
Profil/
Komposisi mineral fraksi pasir (%)
Rasio Mineral
Lapisan
M
O
Ho
He
Q
F
Lithic
Q/F
ML/TL
Horison
(a,c)
(b,c)
(b,c)
(a,c)
(a,d)
(b,d)
P1 II Assc
0,8
8,3
4,1
4,1
35,5
45,5
1,7
0,78
1,43
P2 II AC
6,3
3,3
2,1
2,9
27,2
54,0
4,2
0,50
1,63
P3 IV Bwb
14,3
0
3,6
44,6
12,5
6,3
18,7
1,98
0,14
L1 VI Bt4
38,4
0
10,2
11,3
1,7
27,7
10,7
0,06
0,74
L2 II B
20,0
0
0
16,4
29,3
33,8
0,5
0,87
0,51
L3 IV Bo3
12,0
0
1,3
42,9
18,0
10,8
15,0
1,67
0,17
Keterangan : M:Magnetit, O:Olivin, Ho:Hornblenda, He:Hematit, Q:Kuarsa, F:Feldspar
( ) Golongan mineral a: Tahan Lapuk (TL), b: Mudah Lapuk (ML), c: Berat, d: Ringan
Tipe Mineral Lempung. Tipe mineral
lempung (clay=liat) pada lokasi penelitian
didominasi oleh smektit pada profil P1, P2, P3,
dan L2 mineral ini merupakan mineral
lempung tipe 2:1 yang memiliki sifat kembang
kerut. Tanah yang didominasi oleh mineral
tipe 2:1 termasuk tanah yang memiliki tingkat
perkembangan tahap awal (Jackson, 1968).
Profil L1 dan L3 didominasi oleh mineral
lempung gutit, mineral ini merupakan
kelompok oksida-hidroksida besi. Tanah yang
memiliki mineral lempung gutit merupakan
tanah yang telah mengalami perkembangan
lanjut.
Tabel 3. Perbandingan tingkat perkembangan tanah berdasarkan tipe mineral lempung, mineral fraksi
pasir mudah lapuk serta KPK lempung pada dua toposekuen di Sulawesi Tenggara
Profil/
lapisan
horison
P1 II Assc
Mineral Fraksi Pasir
Mineral Fraksi Lempung
Dominan
Pengiring
Dominan
Pengiring
Feldspar
Smektit
Kaolinit-Smektit, Gutit
P2 II AC
Feldspar
Smektit
Kaolinit-Smektit, Gutit
136,65
P3 IV
IIBwb
L1 VI Bt4
Hematit
Smektit
41,68
Gutit
Kaolinit-Smektit,
Kaolinit, Gutit
-
L2 II B
L3 IV Bo3
Feldspar
Hematit
Kuarsa, Olivin,
Hornblenda, Hematit,
Magnetit
Kuarsa, Magnetit, Olivin,
Hematit, Hornblenda
Magnetit, Kuarsa,
Feldspar, Hornblenda
Feldspar, Hematit,
Hornblenda, Kuarsa
Kuarsa, Magnetit, Hematit
Kuarsa, Magnetit,
Feldspar, Hornblenda
KPK
Lempung
cmol(+)kg-1
123,90
Smektit
Gutit
Kaolinit, Gibsit
Gibsit, Kaolinit
38,38
15,85
Magnetit
Kapasitas pertukaran kation (KPK) tanah
penting untuk menduga proses pembentukan
tanah yang terjadi. Uehara dan Gilman (1980),
bahwa KPK ditentukan oleh intensitas muatan
dan luas permukaan partikel tanah. KPK tanah
dipengaruhi oleh jenis mineral lempung,
tekstur (kadar lempung) dan kadar bahan
organik. Tabel 3. menunjukkan bahwa profil
P1 dan P2 memiliki nilai KPK >25 cmol(+)kg-1,
hal ini menunjukkan bahwa tanah pada profil
ini memiliki perkembangan tahap awal, bila
13,37
dibandingkan dengan profil L1 dan L3 sudah
dalam tahap perkembangan lanjut. Makin
tinggi kadar lempung (clay) maka nilai KPK
makin tinggi. Menurut Jackson (1968) fraksi
lempung (clay) mempunyai KPK <25
cmol(+)kg-1
menggambarkan
tingkat
pelapukan lanjut.
Indeks pelapukan (Nisbah bentukbentuk Al dan Fe). Larutan dithionit-sitrat
mengekstrak besi, aluminium dan mangan
bebas, yaitu dalam bentuk hidrus-oksida.
124
ALAM ET AL.
Larutan asam oksalat dapat melarutkan
senyawa besi, aluminium dan silika yang aktif,
yaitu senyawa-senyawa dalam bentuk amorf.
Larutan natrium pirofosfat dapat melarutkan
senyawa besi dan aluminium yang terikat
dengan bahan organik. Larutan natrium
pirofosfat secara selektif mengekstrak besi
dan aluminium yang membentuk senyawa
kompleks dengan bahan organik tanah.
Nisbah Fe-o/Fe-d merupakan petunjuk
untuk mengetahui intensitas pelindian
(leaching factor). Intensitas pelindian semakin
kuat apabila nisbah Fe-o/Fe-d semakin
rendah. Tabel 4. menunjukkan bahwa hasil
perhitungan nisbah Fe-o/Fe-d untuk profil P1
dan P2 memiliki nilai >0,1 hal ini
menunjukkan bahwa tanah pada profil ini
memiliki pelindian masih relatif rendah jika
dibandingkan dengan profil P3, L1, L2, dan L3
yang memiliki nisbah Fe-o/Fe-d <0,1 yang
menunjukkan intensitas pelindian yang cukup
intensif sekaligus menjadi indikator di lokasi
J. AGROTEKNOS
penelitian Lasusua sudah termasuk intensitas
pelapukan
tinggi.
Faktor
pencucian
menggambarkan intensitas pelindian, tanah
yang didominasi besi merupakan tanah yang
telah mengalami perkembangan lanjut.
Kadar Fe-d dan Al-d memiliki nilai tinggi
menunjukkan bahwa tanah pada lokasi profil
ini telah terjadi pengkristalan, hal ini
memberikan
gambaran
tentang
perkembangan tanah di lokasi ini sudah lanjut.
Horison yang mengalami proses pedogenesis
lanjut mineralnya mengalami evolusi menjadi
fase kristalin (Mikuta et al., 2002). Proses
pedogenesis melindi berbagai unsur, dimulai
dari yang paling lincah yaitu Na, Ca, K, Mg, Si,
Ti, Fe dan Al, sehingga secara umum tanah
yang telah berkembang lanjut akan mengalami
peningkatan/pemekatan secara relatif kadar
unsur Al dan Fe (Buol et al., 1980). Tanah yang
mengalami pelapukan lanjut mempunyai
kandungan oksida besi yang relatif tinggi
(Schwertmann, 1993 dalam Devnita, 2009).
Tabel 4. Perbandingan tingkat perkembangan tanah berdasarkan rasio Fe dan Al dalam tanah serta
dalam batuan pada dua toposekuen di Sulawesi Tenggara
Rasio tanah
Rasio total tanah/batuan
Fe-o/Fe-d
Fe-d/Fe-t
Fe-t/Fe-b
Al-t/Al-b
P1
0,13
0,74
0,85
0,17
P2
0,15
0,73
1,08
0,14
P3
0,06
0,85
3,11
1,08
L1
0,03
0,94
5,28
1,43
L2
0,04
0,90
4,52
0,72
L3
0,01
0,91
5,56
2,54
Keterangan : Fe-o= Fe oksalat, Fe-d= Fe dithionit, Fe-t= Fe tanah total, Fe-b= Fe batuan, Al-t= Al tanah
total, Al-b= Al batuan
Profil
Curah hujan yang lebih tinggi cenderung
mengarahkan terjadinya pelapukan yang lebih
intensif pada posisi sekuen lereng yang sama.
Hal ini dibuktikan oleh perbedaan Fe-d, rasio
Fe-d/Fe-t, dan komposisi mineral lempung
yang terbentuk. Pada curah hujan yang lebih
rendah di daerah Puriala lereng atas (P1) Fe-d
3,57-4,17%, lereng tengah (P2) Fe-d 3,905,69%, lereng bawah (P3) Fe-d 14,03-16,91%,
dan didominasi oleh mineral lempung smektit.
Tanah yang terbentuk pada curah hujan yang
lebih tinggi di daerah Lasusua lereng atas (L1)
Fe-d 23,74-35,87%, lereng tengah (L2) Fe-d
20,84-22,73%, lereng bawah (L3) Fe-d 16,8030,13%, dan didominasi oleh mineral lempung
gutit.
Keragaman
kelerengan
menghasilkan
karakteristik tanah yang berbeda meskipun
berkembang pada bahan induk dan iklim yang
sama. Karakteristik tanah yang terbentuk
pada lereng bawah diantaranya mempunyai
kandungan kation basa yang lebih rendah dan
terjadi akumulasi Fe dan atau Al. Intensitas
pelapukan yang tinggi pada lereng bawah
sekaligus mengarahkan terbentuknya tubuh
tanah dengan tingkat perkembangan yang
lebih lanjut yang ditunjukkan dengan
diferensiasi horison yang lebih lengkap
dengan jeluk yang lebih tebal, nilai nisbah
debu/lempung yang lebih rendah, ΔpH yang
cenderung lebih besar atau positif, nilai nisbah
mineral
mudah
lapuk/resisten
yang
cenderung
lebih
rendah,
nisbah
kuarsa/feldspar yang cenderung lebih tinggi,
serta kandungan mineral mudah lapuk
cenderung berkurang.
Vol. 1 No.3, 2011
Perkembangan Tanah dari Lapukan Batuan Ultrabasa
Daerah penelitian Puriala menunjukkan
bahwa pengaruh faktor bahan induk terhadap
pembentukan
tanah
lebih
dominan
dibandingkan pengaruh faktor lain. Tanah
yang baru berkembang menampakkan
karakteristik yang masih mewarisi bahan
induknya,
terutama
dari
komposisi
mineralogi.
Daerah penelitian Lasusua menunjukkan
bahwa pengaruh faktor iklim terhadap
pembentukan
tanah
lebih
dominan
dibandingkan pengaruh faktor lain. Tanah
yang memasuki tingkat perkembangan lanjut
menampakkan karakteristik tanah dan
komposisi mineralogi yang berbeda dengan
bahan induknya.
Hasil deskripsi keenam profil juga
menunjukkan bahwa meskipun tanah berasal
dari bahan induk yang sama (umur awal
pembentukan sama) namun menghasilkan
tanah dengan tingkat perkembangan berbeda
baik karena perbedaan topografi (toposekuen)
pada iklim yang sama maupun karena
perbedaan iklim (klimosekuen) pada topografi
yang sama.
Urutan tingkat perkembangan tanah
berdasarkan timbulan/relief berturut-turut
mulai dari lereng tengah < lereng atas < lereng
bawah menunjukkan tingkat perkembangan
tanah yang makin berkembang lanjut. Hal ini
berlaku baik pedon daerah penelitian Puriala
P2 < P1 < P3 maupun pedon daerah penelitian
Lasusua L2 < L1 < L3. Tingkat perkembangan
tanah
berdasarkan
perbedaan
iklim
menunjukan bahwa pedon yang terbentuk
pada daerah yang curah hujannya lebih tinggi
dari pada evapotranspirasinya di Lasusua
cenderung lebih berkembang dibandingkan
dengan pedon yang berkembang pada daerah
yang curah hujannya lebih rendah dari pada
evapotranspirasinya di Puriala pada posisi
lereng yang sama.
Hasil penelitian ini senada dengan temuan
beberapa
peneliti
sebelumnya
yang
mengungkapkan bahwa hasil pelapukan
batuan induk ultrabasa dapat terjadi dua
proses utama. Proses pertama dapat berupa
penyingkiran atau pelindian Si dan Mg serta
terjadi konsentrasi Fe. Proses ini terjadi dalam
kondisi basah (iklim basah) dan pada profil
tanah berdrainase baik serta dapat terbentuk
tanah Feralitik, dalam hal ini sesuai dengan
hasil yang diperoleh pada lokasi Lasusua.
Proses kedua dapat berupa rekombinasi Si
125
dan Mg membentuk lempung smektit tipe 2:1.
Proses ini terutama terjadi pada kaki lereng
dan dalam kondisi kering (iklim kering) serta
dapat terbentuk tanah Inceptisol atau Vertisol,
dalam hal ini sesuai dengan hasil yang
diperoleh pada lokasi Puriala.
SIMPULAN
1. Urutan tingkat perkembangan tanah dari
yang baru mulai berkembang P2 (Entisol),
P1 (Vertisol), L2 (Inceptisol), P3
(Inceptisol), L1 (Alfisol) dan terakhir L3
(Oxisol) yang paling lanjut.
2. Tanah di Lasusua yang curah hujannya
lebih tinggi daripada evapotranspirasinya
cenderung lebih berkembang dari pada
tanah di Puriala yang curah hujannya lebih
rendah dari pada evapotranspirasinya.
3. Terdapat
hubungan
tingkat
perkembangan tanah dengan posisi di
lereng berdasarkan toposekuen dari yang
baru mulai berkembang pada lereng
tengah, selanjutnya lereng atas dan
terakhir lereng bawah yang paling
berkembang lanjut.
DAFTAR PUSTAKA
Birkeland, P.W. 1974. Pedology, Waethering
and Geomorphological Research. Oxford
University Press. New York. 285p.
Buol, S.W., F.D. Hole, and R.J. Mc Cracken.
1980. Soil Genesis and Classification. Iowa
State Universty Press. Ames Iowa. 360p.
Buurman, P. 1980. Red Soil in Indonesia, a
State of Knowledge. Center for Agricultural
Publishing
and
Documentation.
Wageningen.
Devnita, R. 2009. Karakteristik Mineralogi,
Muatan Permukaan dan Ameliorasi Andisol
di Jawa Barat. Disertasi. Program
Pascasarjana
Universitas
Padjajaran.
Bandung.
Foth, H.D. 1991. Dasar-dasar Ilmu Tanah Edisi
Ketujuh. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta. 782p.
Garnier, J., C. Quantin, E. Guimarães, V.K. Garg,
E.S. Martins, and T. Becquer. 2009.
Understanding the Genesis of Ultramafic
Soils and Catena Dynamics in Niquelândia,
Brazil. Geoderma 151:204–214.
Graham, R.C. and A.T. O'Geen. 2010. Soil
Mineralogy
Trends
in
California
Landscapes. Geoderma 154:418–437.
126
ALAM ET AL.
Gerrard, A.J. 1981. Soil and Landforms an
Integration
of
Geomorphology
and
Pedology. Department of Geography,
University of Birmingham. George Allen
and Unwin. London.
Hardjowigeno, S. 1993. Klasifikasi Tanah dan
Pedogenesis. Akapress. Jakarta. 274p.
He, H., D.C. Li, B. Velde, Y.F. Yang, C.M. Huang,
Z.T. Gong, and G.L. Zhang. 2008. Clay
Minerals in a Soil Chronosequence Derived
from Basalt on Hainan Island, China and its
Implication for Pedogenesis. Geoderma
148:206–212.
Irmak, S., A.K. Surucu and I.H. Aydogdu. 2007.
Effect of Different Parent Material on the
Mineral Characteristics of Soil in the Arid
Region of Turkey. Pakistan Journal of
Biological Sciences 10:528-536.
Jackson, M.L. 1968. Wheatering of Primary and
Secondary Minerals in Soils Trans. 9th
International Congres Soil Science.
Jenny, H. 1941. Factors of Soil Formation. A
System of Quantitative Pedology. McGrawHill Book Company, Inc. New York. 281p.
Kusdarto. 2006. Potensi Agromineral di
Indonesia Salah Satu Alternatif Pengganti
Pupuk Buatan. Subdit Mineral Non Logam,
Direktorat Inventarisasi Sumber Daya
Mineral, Direktorat Jenderal Geologi dan
Sumber Daya Mineral, Departemen Energi
dan Sumber Daya Mineral. Jakarta.
Lee, B.D., S. K. Sears, R. C. Graham, C. Amrhein,
and H. Vali. 2003. Secondary Mineral
Genesis from Chlorite and Serpentine in an
Ultramafic Soil Toposequence. Soil Sci. Soc.
Am. J. 67:1309–1317.
J. AGROTEKNOS
Maas, A. 1997. Tanah dan Lingkungan.
Program Matrikulasi. Fakultas Pertanian
Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. 50p.
Muggler, C.C., P. Buurman, and Jan D.J. van
Doesburg. 2007. Weathering Trends and
Parent
Material
Characteristics
of
Polygenetic Oxisol from Minas Gerais,
Brazil: I. Mineralogi. Geoderma 138:39-48.
Notohadiprawiro, R.M.T. dan S.H. Suparnowo.
1978. Asas-asas Pedologi (Pedogenesis).
Departemen Ilmu Tanah Faperta UGM.
Yogyakarta. 139p.
Pai, C.-W., M.-K. Wang, and C.-Y. Chiu. 2007.
Clay Mineralogical Characterization of a
Toposequence of Perhumid Subalpine
Forest Soils in Northeastern Taiwan.
Geoderma 138:177–184.
Rachim, D. A. 2007. Dasar-dasar Genesis
Tanah. Departemen Ilmu Tanah dan
Sumberdaya Lahan Faperta IPB. Bogor.
364p.
Sunarminto, B.H. 2000. Genesis Oxisol dan
Ultisol di Atas Batuan Dunit (Ultrabasis) di
Daerah Malili, Sulawesi Selatan. Jurnal Ilmu
Tanah dan Lingkungan. 2(1):43-52.
Sutanto, R. 2005. Dasar-dasar Ilmu Tanah.
Kanisius. Yogyakarta. 208p.
Tan, K.H. 1992. Dasar-dasar Kimia Tanah.
Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
295p.
Uehara, G. and G. Gillman. 1981. The
Mineralogy, Chemistry, and Physics of
Tropical Soils With Variabel Charge Clays.
Westview Press/Boulder. Colorado. 170p.
van Breemen, N. dan P. Buurman. 2003. Soil
Formation. Second Edition. Kluwer
Academic Publishers. New York, Boston,
Dordrecht, London, Moscow. 404p.
Download