Etos Kerja Dalam Islam (DOC)

advertisement
I. Pendahuluan
Etos kerja dalam arti luas menyangkut akan akhlak dalam pekerjaan. Untuk bisa
menimbang bagaimana akhlak seseorang dalam bekerja sangat tergantung dari cara
melihat arti kerja dalam kehidupan, cara bekerja dan hakikat bekerja. Dalam Islam,
iman banyak dikaitkan dengan amal. Dengan kata lain, kerja yang merupakan bagian
dari amal tak lepas dari kaitan iman seseorang.
Idealnya, semakin tinggi iman itu maka semangat kerjanya juga tidak
rendah. Ungkapan iman sendiri berkaitan tidak hanya dengan hal-hal spiritual tetapi
juga program aksi.
Artikel ini sendiri akan melihat pertama, kerja sebagai manifestasi program
mewujudkan tujuan hidup di muka bumi yakni mencari Ridha Allah dengan
mewujudkan diri sebagai khalifah di muka bumi. Kedua, karakteristik pekerjaan di
masa datang yang diperlukan umat Islam.
1
II. Manifestasi Mencari Ridha Allah
Sebenarnya umat Islam termasuk beruntung karena semua pedoman dan panduan
sudah
terkodifikasi.
Kini
tinggal
bagaiman
menterjemahkan
dan
mengapresiasikannya dalam kegiatan harian, mingguan dan bulanan. Jika kita
pandang dari sudut bahwa tujuan hidup itu mencari Ridha Allah SWT maka apapun
yang dikerjakannya, apakah di rumah, di kantor, di ruang kelas, di perpustakaan, di
ruang penelitian ataupun dalam kegiatan kemasyarakatan, takkan lepas dari kerangka
tersebut.
Artinya, setiap pekerjaan yang kita lakukan, dilaksanakan dengan sadar dalam
kerangka pencapaian Ridha Allah. Cara melihat seperti ini akan memberi dampak,
misalnya, dalam kesungguhan menghadapi pekerjaan. Jika seseorang sudah meyakini
bahwa Allah SWT sebagai tujuan akhir hidupnya maka apa yang dilakukannya di
dunia tak dijalankan dengan sembarangan. Ia akan mencari kesempurnaan dalam
mendekati kepada Al Haq. Ia akan mengoptimalkan seluruh kapasitas dan
kemampuan inderawi yang berada pada dirinya dalam rangka mengaktualisasikan
tujuan kehidupannya. Ini bisa berarti bahwa dalam bekerja ia akan sungguh-sungguh
karena bagi dirinya bekerja tak lain adalah ibadah, pengabdian kepada Yang Maha
Suci. Lebih seksama lagi, ia akan bekerja – dalam bahasa populernya – secara
profesional.
Apa sebenarnya profesional itu ? Dalam khasanah Islam mungkin bisa dikaitkan
dengan padanan kata ihsan. Setiap manusia, seperti diungkapkan Al Qur’an,
diperintahkan untuk berbuat ihsan agar dicintai Allah. Kata Ihsan sendiri merupakan
salah satu pilar disamping kata Iman dan Islam. Dalam pengertian yang sederhana,
ihsan berarti kita beribadah kepada Allah seolah-olah Ia melihat kita. Jikalau kita
memang tidak bisa melihat-Nya, tetapi pada kenyataannya Allah menyaksikan setiap
perbuatan dan desir kalbu kita. Ihsan adalah perbuatan baik dalam pengertian sebaik
mungkin atau secara optimal. Hal itu tercermin dalam Hadis Riwayat Muslim yang
menuturkan sabda Rasulullah SAW : Sesungguhnya Allah mewajibkan ihsan atas
segala sesuatu. Karena itu jika kamu membunuh, maka berihsanlah dalam
membunuh itu dan jika kamu menyembelih, maka berihsanlan dalam menyembelih itu
dan hendaknya seseorang menajamkan pisaunya dan menenangkan binatang
sembelihannya itu.
Menurut Nurcholis Madjid, dari konteks hadis itu dapat disimpulkan bahwa ihsan
berarti optimalisasi hasil kerja dengan jalan melakukan pekerjaan itu sebaik mungkin,
bahkan sesempurna mungkin. “Penajaman pisau untuk menyembelih” itu merupakan
isyarat efisiensi dan daya guna yang setinggi-tingginya. Allah sendiri mewajibkan
ihsan atas segala sesuatu seperti tercermin dalam Al Qur’an. Yang membuat baik,
sebaik-baiknya segala sesuatu yang diciptakan-Nya. (32:7). Selanjutnya Allah juga
2
menyatakan telah melakukan ihsan kepada manusia, kemudian agar manusia pun
melakukan ihsan. Dan carilah apa yang dianugerahkan kepadamu (kebahagiaan)
negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan kebahagiaan dunia, dan berbuat
ihsanlah kepada orang lain sebagaimana Allah telah berbuat ihsan kepadamu , dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (28:77).
Dari keterangan hadis dan uraian Al Qur’an jelaslah bahwa setiap Muslim harus
menjadi seorang pekerja yang profesional. Dengan demikian ia melaksanakan salah
satu perintah Allah untuk berbuat ihsan dan juga mensyukuri karunia Allah berupa
kekuatan akal dan fisiknya yang diberikan sebagai bekal dalam bekerja. Mengabaikan
potensi akal dan fisik ini atau tidak “menajamkannya” bisa bermakna tidak
mensyukuri nikmat dan karunia Ilahi Rabbi.
3
III. Karakteristik pekerjaan mendatang
Berbagai trend telah memperlihatkan bahwa bentuk pekerjaan mendatang tak hanya
mengandalkan fisik tetapi juga otak. Al Qur’an dalam berbagai ayat sudah mengajak
manusia untuk berpikir, membandingkan dan menggunakan akal dalam menghayati
kehidupan dan mengarungi samudera kehidupan. Peter Drucker, salah seorang pakar
manajemen, tahun 1960-an sudah memperingatkan akan datangnya “Knowledge
Society”.
Dalam masyarakat jenis ini banyak bentuk kegiatan ekonomi dan pekerjaan dilakukan
berdasarkan kepadatan pengetahuan. Ia memberi contoh mengetik. Dulua dengan
memencet tuts orang bisa membuat kalimat, tetapi sekarang dengan adanya komputer
sebelum memencet tuts harus dimiliki serangkaian pengetahuan cara bekerja
perangkat lunaknya.
Pakar manajemen lainnya seperti Charles Handy, Michael Hammer atau Gary Hamel
ataupun futurolog seperti John Naisbit dan Alvin Tovler sudah meramalkan jauh-jauh
hari akan datangnya jenis pekerjaan otak ini. Dalam ungkapan Handy, aset sebuah
organisasi tidak lagi terletak pada properti atau benda-benda fisik lainnya tetapi pada
sumber daya manusia. Dan inti dari sumber daya manusia itupun adalah otaknya.
Sebenarnya kalau kita cermat, Al Quran sudah mengisyaratkan akan lahirnya
masyarakat pengetahuan itu dengan ungkapan di ayat pertama, Iqra. Hanya tinggal
manifestasi saja bagaimana Iqra itu menjadi jalan kehidupan umat Islam, bukan
sebagai jargon yang yang dilafalkan.Membumikan istilah Iqra itulah merupakan
tantangan umat Islam sehingga tidak ketinggalan dalam budaya masyarakat
pengetahuan.
Mengutip istilah Deputi PM Anwar Ibrahim, umat Islam itu harus mampu
menyumbangkan bagi peradaban yang hidup di dunia, sejajar dengan peradaban
lainnya. Dengan demikian etos kerja harus merupakan bagian dari tradisi umat Islam,
bukan tradisi masyarakat lain.
4
IV. Kualitas etik kerja
Al-Qur’an menanamkan kesadaran bahwa dengan bekerja berarti kita merealisasikan
fungsi kehambaan kita kepada Allah, dan menempuh jalan menuju ridha-Nya,
mengangkat harga diri, meningkatkan taraf hidup, dan memberi manfaat kepada
sesama, bahkan kepada makhluk lain. Dengan tertanamnya kesadaran ini, seorang
muslim atau muslimah akan berusaha mengisi setiap ruang dan waktunya hanya
dengan aktivitas yang berguna. Semboyangnya adalah “tiada waktu tanpa kerja, tiada
waktu tanpa amal.’ Adapun agar nilai ibadahnya tidak luntur, maka perangkat
kualitas etik kerja yang Islami harus diperhatikan.
Berikut ini adalah kualitas etik kerja yang terpenting untuk dihayati.
a. Ash-Shalah (Baik dan Bermanfaat)
Islam hanya memerintahkan atau menganjurkan pekerjaan yang baik dan
bermanfaat bagi kemanusiaan, agar setiap pekerjaan mampu memberi nilai
tambah dan mengangkat derajat manusia baik secara individu maupun
kelompok. “Dan masing-masing orang memperoleh derajat-derajat
(seimbang) dengan apa yang dikerjakannya.” (al-An’am: 132)
Ini adalah pesan iman yang membawa manusia kepada orientasi nilai dan
kualitas. Al Qur’an menggandengkan iman dengan amal soleh sebanyak 77
kali. Pekerjaan yang standar adalah pekerjaan yang bermanfaat bagi individu
dan masyarakat, secara material dan moral-spiritual. Tolok ukurnya adalah
pesan syariah yang semata-mata merupakan rahmat bagi manusia. Jika tidak
diketahui adanya pesan khusus dari agama, maka seseorang harus
memperhatikan pengakuan umum bahwa sesuatu itu bermanfaat, dan
berkonsultasi kepada orang yang lebih tahu. Jika hal ini pun tidak dilakukan,
minimal kembali kepada pertimbangan akal sehat yang didukung secara
nurani yang sejuk, lebih-lebih jika dilakukan melalui media shalat meminta
petunjuk (istikharah). Dengan prosedur ini, seorang muslim tidak perlu
bingung atau ragu dalam memilih suatu pekerjaan.
b. Al-Itqan (Kemantapan atau perfectness)
Kualitas kerja yang itqan atau perfect merupakan sifat pekerjaan Tuhan
(baca: Rabbani), kemudian menjadi kualitas pekerjaan yang islami (anNaml: 88). Rahmat Allah telah dijanjikan bagi setiap orang yang bekerja
secara itqan, yakni mencapai standar ideal secara teknis. Untuk itu,
5
diperlukan dukungan pengetahuan dan skill yang optimal. Dalam konteks
ini, Islam mewajibkan umatnya agar terus menambah atau mengembangkan
ilmunya dan tetap berlatih. Suatu keterampilan yang sudah dimiliki dapat
saja hilang, akibat meninggalkan latihan, padahal manfaatnya besar untuk
masyarakat. Karena itu, melepas atau menterlantarkan ketrampilan tersebut
termasuk perbuatan dosa. Konsep itqan memberikan penilaian lebih terhadap
hasil pekerjaan yang sedikit atau terbatas, tetapi berkualitas, daripada output
yang banyak, tetapi kurang bermutu (al-Baqarah: 263).
c. Al-Ihsan (Melakukan yang Terbaik atau Lebih Baik Lagi)
Kualitas ihsan mempunyai dua makna dan memberikan dua pesan, yaitu
sebagai berikut.
Pertama, ihsan berarti ‘yang terbaik’ dari yang dapat dilakukan. Dengan
makna pertama ini, maka pengertian ihsan sama dengan ‘itqan’. Pesan yang
dikandungnya ialah agar setiap muslim mempunyai komitmen terhadap
dirinya untuk berbuat yang terbaik dalam segala hal yang ia kerjakan.
Kedua, ihsan mempunyai makna ‘lebih baik’ dari prestasi atau kualitas
pekerjaan sebelumnya. Makna ini memberi pesan peningkatan yang terusmenerus, seiring dengan bertambahnya pengetahuan, pengalaman, waktu,
dan sumber daya lainnya. Adalah suatu kerugian jika prestasi kerja hari ini
menurun dari hari kemarin, sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadits
Nabi saw. Keharusan berbuat yang lebih baik juga berlaku ketika seorang
muslim membalas jasa atau kebaikan orang lain. Bahkan, idealnya ia tetap
berbuat yang lebih baik, hatta ketika membalas keburukan orang lain
(Fusshilat :34, dan an Naml: 125)
Semangat kerja yang ihsan ini akan dimiliki manakala seseorang bekerja
dengan semangat ibadah, dan dengan kesadaran bahwa dirinya sedang
dilihat oleh Allah SWT.
d. Al-Mujahadah (Kerja Keras dan Optimal)
Dalam banyak ayatnya, Al-Qur’an meletakkan kulaitas mujahadah dalam
bekerja pada konteks manfaatnya, yaitu untuk kebaikan manusia sendiri, dan
agar nilai guna dari hasil kerjanya semakin bertambah. (Ali Imran: 142, alMaidah: 35, al-Hajj: 77, al-Furqan: 25, dan al-Ankabut: 69).
6
Mujahadah dalam maknanya yang luas seperti yang didefinisikan oleh
Ulama adalah ”istifragh ma fil wus’i”, yakni mengerahkan segenap daya dan
kemampuan yang ada dalam merealisasikan setiap pekerjaan yang baik.
Dapat juga diartikan sebagai mobilisasi serta optimalisasi sumber daya.
Sebab, sesungguhnya Allah SWT telah menyediakan fasilitas segala sumber
daya yang diperlukan melalui hukum ‘taskhir’, yakni menundukkan seluruh
isi langit dan bumi untuk manusia (Ibrahim: 32-33). Tinggal peran manusia
sendiri dalam memobilisasi serta mendaya gunakannya secara optimal,
dalam rangka melaksanakan apa yang Allah ridhai.
Bermujahadah atau bekerja dengan semangat jihad (ruhul jihad) menjadi
kewajiban setiap muslim dalam rangka tawakkal sebelum menyerahkan
(tafwidh) hasil akhirnya pada keputusan Allah (Ali Imran: 159, Hud: 133).
e. Tanafus dan Ta’awun (Berkompetisi dan Tolong-menolong)
Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya menyerukan persaingan dalam kualitas
amal solih. Pesan persaingan ini kita dapati dalam beberapa ungkapan
Qur’ani yang bersifat “amar” atau perintah. Ada perintah “fastabiqul
khairat” (maka, berlomba-lombalah kamu sekalian dalam kebaikan) (alBaqarah: 108). Begitu pula perintah “wasari’u ilaa magfirain min Rabbikum
wajannah” `bersegeralah lamu sekalian menuju ampunan Rabbmu dan
surga` Jalannya adalah melalui kekuatan infaq, pengendalian emosi,
pemberian maaf, berbuat kebajikan, dan bersegera bertaubat kepada Allah
(Ali Imran 133-135). Kita dapati pula dalam ungkapan “tanafus” untuk
menjadi hamba yang gemar berbuat kebajikan, sehingga berhak
mendapatkan surga, tempat segala kenikmatan (al-Muthaffifin: 22-26).
Dinyatakan pula dalam konteks persaingan dan ketaqwaan, sebab yang
paling mulia dalam pandangan Allah adalah insan yang paling taqwa (al
Hujurat: 13). Semua ini menyuratkan dan menyiratkan etos persaingan
dalam kualitas kerja.
Oleh karena dasar semangat dalam kompetisi islami adalah ketaatan kepada
Allah dan ibadah serta amal shalih, maka wajah persaingan itu tidaklah
seram; saling mengalahkan atau mengorbankan. Akan tetapi, untuk saling
membantu (ta’awun). Dengan demikian, obyek kompetisi dan kooperasi
tidak berbeda, yaitu kebaikan dalam garis horizontal dan ketaqwaan dalam
garis vertikal (al-Maidah: 3), sehingga orang yang lebih banyak membantu
7
dimungkinkan amalnya lebih banyak serta lebih baik, dan karenanya, ia
mengungguli score kebajikan yang diraih saudaranya.
f. Mencermati Nilai Waktu
Keuntungan atau pun kerugian manusia banyak ditentukan oleh sikapnya
terhadap waktu. Sikap imani adalah sikap yang menghargai waktu sebagai
karunia Ilahi yang wajib disyukuri. Hal ini dilakukan dengan cara
mengisinya dengan amal solih, sekaligus waktu itu pun merupakan amanat
yang tidak boleh disia-siakan. Sebaliknya, sikap ingkar adalah cenderung
mengutuk waktu dan menyia-nyiakannya. Waktu adalah sumpah Allah
dalam beberapa ayat kitab suci-Nya yang mengaitkannya dengan nasib baik
atau buruk yang akan menimpa manusia, akibat tingkah lakunya sendiri.
Semua macam pekerjaan ubudiyah (ibadah vertikal) telah ditentukan
waktunya dan disesuaikan dengan kesibukan dalam hidup ini. Kemudian,
terpulang kepada manusia itu sendiri: apakah mau melaksanakannya atau
tidak.
Mengutip al-Qardhawi dalam bukunya “Qimatul waqti fil Islam”: waktu
adalah hidup itu sendiri, maka jangan sekali-kali engkau sia-siakan, sedetik
pun dari waktumu untuk hal-hal yang tidak berfaidah. Setiap orang akan
mempertanggung jawabkan usianya yang tidak lain adalah rangkaian dari
waktu. Sikap negatif terhadap waktu niscaya membawa kerugian, seperti
gemar menangguhkan atau mengukur waktu, yang berarti menghilangkan
kesempatan. Namun, kemudian ia mengkambing hitamkan waktu saat ia
merugi, sehingga tidak punya kesempatan untuk memperbaiki kekeliruan.
Jika kita melihat mengenai kaitan waktu dan prestasi kerja, maka ada
baiknya dikutip petikan surat Khalifah Umar bin Khatthab kepada Gubernur
Abu Musa al-Asy’ari ra, sebagaimana dituturkan oleh Abu Ubaid, ”Amma
ba’du. Ketahuilah, sesungguhnya kekuatan itu terletak pada prestasi kerja.
Oleh karena itu, janganlah engkau tangguhkan pekerjaan hari ini hingga
esok, karena pekerjaanmu akan menumpuk, sehingga kamu tidak tahu lagi
mana yang harus dikerjakan, dan akhirnya semua terbengkalai.” (Kitab alAmwal, 10)
8
V. Meneladani Etos Kerja Rasulullah SAW
Rasulullah SAW menjadikan kerja sebagai aktualisasi keimanan dan ketakwaan.
Rasul bekerja bukan untuk menumpuk kekayaan duniawi. Beliau bekerja untuk
meraih keridaan Allah SWT. Suatu hari Rasulullah SAW berjumpa dengan Sa'ad bin
Mu'adz Al-Anshari. Ketika itu Rasul melihat tangan Sa'ad melepuh, kulitnya gosong
kehitam-hitaman seperti terpanggang matahari. "Kenapa tanganmu?," tanya Rasul
kepada Sa'ad. "Wahai Rasulullah," jawab Sa'ad, "Tanganku seperti ini karena aku
mengolah tanah dengan cangkul itu untuk mencari nafkah keluarga yang menjadi
tanggunganku". Seketika itu beliau mengambil tangan
Sa'ad dan menciumnya seraya berkata, "Inilah tangan yang tidak akan pernah
disentuh api neraka".
Dalam kisah lain disebutkan bahwa ada seseorang yang berjalan melalui tempat
Rasulullah SAW. Orang tersebut sedang bekerja dengan sangat giat dan tangkas. Para
sahabat kemudian bertanya, "Wahai Rasulullah, andaikata bekerja semacam orang itu
dapat digolongkan jihad fi sabilillah, maka alangkah baiknya." Mendengar itu Rasul
pun menjawab, "Kalau ia bekerja untuk menghidupi anak-anaknya yang masih kecil,
itu adalah fi sabilillah; kalau ia bekerja untuk menghidupi kedua orangtuanya yang
sudah lanjut usia, itu adalah fi sabilillah;
kalau ia bekerja untuk kepentingan dirinya sendiri agar tidak meminta-minta, itu juga
fi sabilillah." (HR Ath-Thabrani).
Bekerja adalah manifestasi amal saleh. Bila kerja itu amal saleh, maka kerja adalah
ibadah. Dan bila kerja itu ibadah, maka kehidupan manusia tidak bisa dilepaskan dari
kerja. Bukankah Allah SWT menciptakan manusia untuk beribadah kepada-Nya?
Tidak berlebihan bila keberadaan seorang manusia ditentukan oleh aktivitas kerjanya.
Allah SWT berfirman:
, "Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib manusia sebelum mereka
mengubah apa yang ada pada
dirinya. (QS Ar-Ra'd [13]: 11). Dalam ayat lain diungkapkan pula:
“dan bahwasannya seorang manusia tidak akan memperoleh selain apa yang telah
diusahakannya”. (QS Al-Najm [53]: 39).
Kisah di awal menggambarkan betapa besarnya penghargaan Rasulullah SAW
terhadap kerja. Kerja apapun itu selama tidak menyimpang dari aturan yang
ditetapkan agama. Demikian besarnya penghargaan beliau, sampaisampai dalam
kisah pertama, manusia teragung ini "rela" mencium tangan Sa'ad bin Mu'adz AlAnshari yang melepuh lagi gosong. Rasulullah SAW, dalam dua kisah tersebut,
memberikan motivasi pada umatnya bahwa
bekerja adalah perbuatan mulia dan termasuk bagian dari jihad.
9
Rasulullah SAW adalah sosok yang selalu berbuat sebelum beliau memerintahkan
para sahabat untuk melakukannya. Hal ini sesuai dengan tugas beliau sebagai
ushwatun hasanah; teladan yang baik bagi seluruh manusia. Maka saat kita berbicara
tentang etos kerja islami, maka beliaulah orang yang paling pantas menjadi rujukan.
Dan berbicara tentang etos kerja Rasulullah SAW sama artinya dengan berbicara
bagaimana beliau menjalankan peran-peran dalam hidupnya. Ada lima peran penting
yang diemban Rasulullah SAW, yaitu :
Pertama, sebagai rasul. Peran ini beliau jalani selama 23 tahun. Dalam kurun waktu
tersebut beliau harus berdakwah menyebarkan Islam; menerima, menghapal,
menyampaikan, dan menjelaskan tak kurang dari 6666 ayat Alquran; menjadi guru
(pembimbing) bagi para sahabat; dan menjadi hakim yang memutuskan berbagai
pelik permasalahan umat-dari mulai pembunuhan sampai perceraian.
Kedua, sebagai kepala negara dan pemimpin sebuah masyarakat heterogen. Tatkala
memegang posisi ini Rasulullah SAW harus menerima kunjungan diplomatik
"negara-negara sahabat". Rasul pun harus menata dan menciptakan sistem hukum
yang mampu menyatukan kaum Muslimin, Nasrani, dan Yahudi, mengatur
perekonomian, dan setumpuk masalah lainnya.
Ketiga, sebagai panglima perang. Selama hidup tak kurang dari 28 kali Rasul
memimpin pertempuran melawan kafir Quraisy. Sebagai panglima perang beliau
harus mengorganisasi lebih dari 53 pasukan kaveleri bersenjata. Harus memikirkan
strategi perang, persedian logistik, keamanan, transportasi, kesehatan, dan lainnya.
Keempat, sebagai kepala rumahtangga. Dalam posisi ini Rasul harus mendidik,
membahagiakan, dan memenuhi tanggung jawab-lahir batin-terhadap para istri
beliau, tujuh anak, dan beberapa orang cucu. Beliau dikenal sebagai sosok yang
sangat perhatian terhadap keluarganya. Di tengah kesibukannya Rasul pun masih
sempat bercanda dan menjahit sendiri bajunya.
Kelima, sebagai seorang pebisnis. Sejak usia 12 tahun pamannya Abu Thalib sudah
mengajaknya melakukan perjalanan bisnis ke Syam, negeri yang saat ini meliputi
Syria, Jordan, dan Lebanon. Dari usia 17 hingga sekitar20 tahun adalah masa tersulit
dalam perjalanan bisnis Rasul karena beliau harus mandiri dan bersaing dengan
pemain pemain senior dalam perdagangan regional. Usia 20 hingga 25 tahun
merupakan titik keemasan entrepreneurship Rasulullah SAW terbukti dengan
"terpikatnya" konglomerat Mekah, Khadijah binti Khuwailid, yang kemudian
melamarnya menjadi suami. Afzalurrahman dalam bukunya, Muhammad Sebagai
Seorang Pedagang (2000: 5-12), mencatat bahwa Rasul pun sering terlibat dalam
perjalanan bisnis ke berbagai negeri
10
seperti Yaman, Oman, dan Bahrain. Dan beliau mulai mengurangi kegiatan
bisnisnya ketika mencapai usia 37 tahun. Adalah kenyataan bila Rasulullah SAW
mampu menjalankan kelima perannya tersebut dengan sempurna, bahkan
menjadi yang terbaik. Tak heran bila para ilmuwan, baik itu yang Muslim
maupun non-Muslim, menempatkan beliau sebagai orang yang paling
berpengaruh, paling pemberani, paling bijaksana, paling bermoral, dan sejumlah
paling lainnya.
Apa rahasia kesuksesan karier dan pekerjaan Rasulullah SAW?
Pertama, Rasul selalu bekerja dengan cara terbaik, profesional, dan tidak asalasalan. Beliau bersabda,
"Sesungguhnya Allah menginginkan jika salah seorang darimu bekerja, maka
hendaklah meningkatkan kualitasnya".
Kedua, dalam bekerja Rasul melakukannya dengan manajemen yang baik,
perencanaan yang jelas, pentahapan aksi, dan adanya penetapan skala prioritas.
Ketiga, Rasul tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan sekecil apapun.
"Barangsiapa yang dibukakan pintu kebaikan, hendaknya dia mampu
memanfaatkannya, karena ia tidak tahu kapan ditutupkan kepadanya," demikian
beliau bersabda.
Keempat, dalam bekerja Rasul selalu memperhitungkan masa depan. Beliau adalah
sosok yang visioner, sehingga segala aktivitasnya benar-benar terarah dan
terfokus.
Kelima, Rasul tidak pernah menangguhkan pekerjaan. Beliau bekerja secara tuntas
dan berkualitas.
Keenam, Rasul bekerja secara berjamaah dengan mempersiapkan (membentuk) tim
yang solid yang percaya pada cita-cita bersama.
Ketujuh, Rasul adalah pribadi yang sangat menghargai waktu. Tidak berlalu
sedetik pun waktu, kecuali menjadi nilai tambah bagi diri dan umatnya. Dan
yang terakhir, Rasulullah SAW menjadikan kerja sebagai aktualisasi keimanan
dan ketakwaan. Rasul bekerja bukan untuk menumpuk kekayaan duniawi. Beliau
bekerja untuk meraih keridhaan Allah SWT. Inilah kunci terpenting.
Semoga Allah SWT memberikan kemampuan kepada kita untuk meneladani etos
kerja Rasulullah SAW.
11
Kesimpulan
Seruan akan etos kerja dalam Islam sebenarnya sudah banyak diungkapkan brebagai
ayat Al Quran atau diuraikan hadis. Kini saatnya menyadari makna al ihsan itu
sehingga dari kesadaran yang berdasarkan pengetahuan itu akan lahir sebuah budaya
yang melihat pekerjaan sebagai manifestasi pengabdian kepada Allah SWT.
12
Daftar Pustaka











Al Quran dan Terjemahnya
Gibson, Rowan, Rethinking the Future. London, Nicholas Brealy Publishing,
1997.
Ibrahim, Anwar, The Asian Renaissance.Singapore, Times BookInternational,
1996.
Iqbal, Sheikh Mohd, Misi Islam.Jakarta, Penerbit Gunung Jati, 1982.
Madjid, Nurcholis, Islam: Doktrin dan Peradaban.Jakarta, YayasanWakaf
Paramadina, 1999
Akhlak Nabi Muhammad SAW (Keluhuran dan kemuliaannya), Ahmad
Muhammad Al-Hufy
Konsep Kerja dalam Islam, Dr. Asyraf Hj Ab Rahman
Ar-Royyan-3465, Meneladani Etos Kerja Rasulullah SAW, Agus Rasidi
http://pustaka.wordpress.com/2007/01/06/48/
http://www.scalamedia.net/artikel/sekitar-kita/429-etos-kerja-dalamislam.html
http://beranda.blogsome.com
13
Download