JURNAL PENCARIAN INFORMASI DAN PARTISIPASI POLITIK (Hubungan Sumber Informasi Tentang Pilkada Serentak 2015 dan Jenis Kelamin dengan Partisipasi Politik Di Kalangan Mahasiswa FISIP Universitas Sebelas Maret Surakarta Angkatan 2014 dan 2015) Oleh: Danny Adam Kurniawan D0211023 PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2017 PENCARIAN INFORMASI DAN PARTISIPASI POLITIK (Hubungan Sumber Informasi Tentang Pilkada Serentak 2015 dan Jenis Kelamin dengan Partisipasi Politik Di Kalangan Mahasiswa FISIP Universitas Sebelas Maret Surakarta Angkatan 2014 dan 2015) Danny Adam Kurniawan Pawito Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta Abstract Direct elections simultaneously a way of direct local elections held simultaneously throughout Indonesia. Voters to be able to determine the selection of Regional Head requires resources, whether male or female. Students as part of the community is important for political participation in the elections simultaneously. This study aims to examine: (1) the relationship of resources in the selection of candidates for regional head election simultaneously with the political participation of students of the University of Social Forces March Surakarta, 2014 and 2015. (2) the relationship between gender and political participation of students of the University of Social Forces March Surakarta 2014 and 2015. This type of research used in this research is quantitative research. The population in this study were all students FISIP UNS and the number of samples are 180 students. The sampling technique used is the technique the estimated parameters. The research instrument used in this study was a questionnaire. Data analysis using product moment correlation and t-test. The conclusion of this study are: (1) there is a relationship between resources in the selection of candidates for regional head election at a time to the political participation of students FISIP UNS. (2) there is no relationship of sex with student political participation FISIP UNS. Keywords: Political Participation, resources, gender. 1 2 Pendahuluan Indonesia merupakan salah satu negara demokrasi di dunia. Dengan konsep demokrasi tersebut maka kedaulatan negara berada ditangan rakyat. Dengan demikian rakyat berhak untuk berpartisipasi dalam rangka untuk membentuk pemerintahan, baik yang bersifat eksekutif, maupun legislatif, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah sebagai bentuk pengejawantahan kedaulatan rakyat tersebut. Pembentukan pemerintahan ini mengacu pada proses penyelenggaraan pemilihan umum (Pemilu) baik pemilu legislatif, pemilu presiden, maupun pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang rutin diselenggarakan setiap lima tahun sekali sebagai agenda wajib demokrasi Indonesia. Menurut Sukemi yang dikutip oleh Bambang Mudjiyanto 1 dari pangalaman menyelenggarakan pemilu sejak Orde Baru, gejala ke arah tidak menggunakan hak pilih (golput) mengalami kenaikan. Hal ini terbukti dari data tingkat partisipasi warganegara dalam pemilihan umum dan yang golput sejak pemilihan umum tahun 1971 sampai dengan 2004 nampak bahwa jumlah partisipasi politik tertinggi selama pemilu sejak era Orde Baru terjadi pada tahun 1971, yaitu mencapai 94 %, sedangkan yang golput 6 %. Hal ini dapat dimengerti karena pemilu 1971 merupakan pemilu pertama era Orde Baru sehingga masyarakat memiliki antusias yang sangat tinggi karena mereka berharap akan terjadi perubahan yang sangat signifikan dalam berbagai aspek kehidupan. Kondisi ini ternyata mengalami perubahan pada pemilu 1977, karena tingkat partisipasi menurun menjadi 90,6 % dan berarti yang golput meningkat menjadi 9,4 %. Nampaknya ada kekecewaan dari sebagian masyarakat karena mereka tidak merasakan ada perubahan sehingga mereka memilih untuk tidak berpartisipasi dalam pemilu. Proses berjalannya Pilkada banyak ditemukan masalah yang berdampak pada kepemimpinan disuatu daerah. Mulai dari tingginya mahar politik yang 1 Bambang Mudjiyanto, “Literasi Internet dan Partisipasi Politik Masyarakat Pemilih Dalam Aktifitas Pemanfaatan Media Baru (Survey Masyarakat Pemilih Pilkada, Kasus Masyarakat Kota Bengkulu)”. Jurnal Studi Komunikasi dan Media, Vol. 16 No. 12 (2012) hlm. 3 3 dibebankan kepada calon untuk mendapatkan surat rekomendasi dari partai politik, maraknya money politic yang menurut pakar hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Yusril Ihza Mahendra, yakni mempengaruhi massa pemilu dengan imbalan materi. Yusril mengatakan, sebagaimana yang dikutip oleh Indra Ismawan (1999) kalau kasus money politic bisa di buktikan, pelakunya dapat dijerat dengan pasal tindak pidana biasa, yakni penyuapan, besarnya biaya penyelenggaraan pilkada, dan permasalahan lain yang kondisinya sangat mengkhawatirkan2. Bentuk partisipasi masyarakat pada kegiatan politik oleh Woshinsky digamarkan seperti layang-layang terbalik3. Dibagian atas adalah kelompok elit minoritas yang berpengaruh terhadap keputusan politik dan memiliki kemampuan mengerahkan massa untuk gerakan politik. Kategori kelompok ini disebut influentials (tokoh yang berpengaruh) yang jumlahnya diperkirakan hanya sekitar 1-3%. Kelompok dibawahnya disebut participants yaitu mereka yang secara aktif dalam kegiatan politik yang jumlahnya sekitar 10-20%. Kelompok dibawahnya lagi disebut citizens atau mereka terlibat dalam kegiatan politik hanya pada saat tertentu saja. Jumlah mereka diperkirakan sebesar 40-70%, jadi lebih besar dibandingkan dengan dua kategori kelompok yang telah disebutkan. Kemudian kelompok yang berada pada lapisan paling bawah disebut apathetics yaitu mereka tidak tertarik pada pelbagai kegiatan politik dan jumlahnya sekitar 20-40%. Masyarakat pada umumnya menganggap bahwa politik adalah kotor, dunia politik sarat manipulasi dan hanya mementingkan kekuasaan, karena itu sebaiknya dihindari dan merasa tidak ada gunanya ikut berpartisipasi di dalamnya. Dengan kondisi tersebut, mahasiswa dewasa ini terdapat pada kelompok terakhir yang dikenal apatis. 2 Ismawan Indra. Money Politics Pengaruh Uang Dalam Pemilu. (Yogyakarta, Media Presindo, 1999) hlm. ….. 3 Sunyoto Usman, “Arah Gerakan Mahasiswa: Gerakan Moral atau Gerakan Politik?”, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol.3 No.2 (November, 1999) hlm. 147 4 Rumusan Masalah Bertolak pada latar belakang permasalahan yang dikemukakan, maka masalah pada penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: Sejauhmana hubungan antara sumber informasi tentang pilkada serentak 2015 dan jenis kelamin dengan partisipasi politik di kalangan mahasiswa FISIP Universitas Sebelas Maret Surakarta Angkatan 2014 dan 2015? Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menguji hubungan antara sumber informasi dalam pemilihan calon kepala daerah pilkada serentak dengan partisipasi politik mahasiswa FISIP UNS Angkatan 2014 dan 2015. 2. Menguji hubungan antara jenis kelamin dengan partisipasi politik mahasiswa FISIP Universitas Sebelas Maret Surakarta Angkatan 2014 dan 2015. Telaah Pustaka 1. Komunikasi Politik Komunikasi politik adalah sebuah studi yang interdisiplinari yang dibangun atas berbagai macam ilmu, terutama dalam hubungannya antara proses komunikasi dan proses politik. Ia merupakan wilayah pertarungan dan dimeriahkan oleh persaingan teori, pendekatan, agenda dan konsep dalam membangun jati diri.4 Komunikasi politik adalah komunikasi yang melibatkan pesan-pesan politik dan aktor-aktor politik, atau berkaitan dengan kekuasaan, pemerintahan dan kebijakan pemerintah. Komunikasi politik dipahami sebagai komunikasi anatar “yang memerintah” dan “yang diperintah”5 4 Hafied Cangara, Komunikasi Politik : Konsep, Teori, dan Strategi (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2009) hlm. 16. 5 Michael Rush & Philip Althoff, Pengantar Sosiologi Politik, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 24 5 2. Partisipasi Politik Pengertian partisipasi sangat luas dan para pakar mengartikan partisipasi dengan berbagai definisi. Penjelasan partisipasi mengacu kepada partisipasi yang dilakukan oleh masyarakat, maka menurut Samuel6 merupakan kesediaan untuk membantu berhasilnya setiap program sesuai kemampuan setiap orang tanpa berarti mengorbankan kepentingan diri sendiri. Jens Grossklags, dkk7 mengartikan partisipasi sebagai suatu dorongan mental dan emosional yang menggerakkan mereka untuk bersama-sama mencapai tujuan dan bersama-sama bertanggung jawab. Secara sederhana partisipasi merupakan peran serta masyarakat terhadap sebuah atau berbagai kegiatan dalam kehidupannya yang sifatnya sosial (memasyarakat). Partisipasi politik yang dikemukakan Miriam Budiarjo menjelaskan sebagai kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, yakni dengan cara memilih pimpinan Negara dan secara langsung atau tidak langsung, memengaruhi kebijakan pemerintah (public policy)8. 3. Perilaku Pencarian informasi Perilaku secara sederhana dapat diartikan suatu perbuatan yang dilakukan oleh individu. Salah satu yang mendasari suatu perilaku menurut Newcomb, Turner dan Carter adalah sikap. Adapun Suyanto mengemukakan bahwa sikap terdiri dari tiga komponen, yaitu emosi, informasi dan perilaku. Komponen perilaku sendiri terdiri dari motivasi, cara berpikir, cara bertindak, dan cara berinteraksi9. Menurut Wilson perilaku penemuan informasi (Information Seeking Behaviour) merupakan upaya menemukan informasi dengan tujuan tertentu 6 7 8 9 Samuel Huntington dan Joan Nelson, “Partisipasi politik di Negara berkembang”, (Jakarta, Rineka Cipta, 2004), hlm. 17 Jens Grossklags, Lora Appel, dan Frank Bridges, “Young adults and online political participation: Search strategies and the role of social media American Political Science Association” http://www.mysociety.org/projects/no10-petitions-website/2014 Miriam Budiarjo, “Partisipasi dan Partai Politik (Sebuah Bunga Rampai)”, (Jakarta:Yayasan Obor Indonesia, 1998), hlm.183 Pawit M.Yusuf dan Priyo Subekti. Teori Penelusuran Informasi (Information Retrieval). Jakarta: Kencana. 2010. 6 sebagai akibat dari adanya kebutuhan untuk memenuhi tujuan tertentu. Dalam upaya ini seseorang bisa saja berinteraksi dengan sistem informasi manual (koran, sebuah perpustakaan) atau sistem informasi yang berbasis komputer10. Perilaku pencarian informasi adalah kegiatan seseorang yang dilakukan untuk mendapatkan informasi. Manusia akan menunjukkan perilaku pencarian informasi untuk memenuhi kebutuhannya. Perilaku pencarian informasi dimulai ketika seseorang merasa bahwa pengetahuan yang dimilikinya saat itu kurang dari pengetahuan yang dibutuhkannya. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut seseorang mencari informasi dengan menggunakan berbagai sumber informasi.11 4. Jenis kelamin Jenis kelamin adalah suatu konsep analisis yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari sudut nonbiologis, yaitu dari aspek sosial, budaya, maupun psikologis. Pengaruh dari perbedaan jenis kelamin terhadap penilaian etis dapat dikatakan sangat kompleks dan tidak pasti. Beberapa penelitian sebelumnya menunjukan bahwa tidak terdapat perbedaan antara perempuan maupun laki-laki dalam menyikapi perilaku etis maupun skandal etis yang terjadi di dalam profesi akuntansi.12 Penelitian menunjukkan bahwa seorang perempuan akan lebih peduli terhadap perilaku etis dan pelanggarannya dibandingkan dengan seorang lakilaki. Mahasiswa akuntansi yang berjenis kelamin perempuan akan memiliki ethical reasoning yang lebih tinggi dibandingkan dengan siswa laki-laki. Terdapat dua pendekatan yang biasa digunakan untuk memberikan pendapat mengenai pengaruh gender terhadap perilaku etis maupun persepsi individu terhadap perilaku tidak etis, yaitu pendekatan struktural dan pendekatan sosialisasi. Pendekatan struktural, menyatakan bahwa perbedaan antara laki- 10 11 12 TD Wilson. “Human Information Behaviour “. Informing Science. 3(2). (2000) hlm. 49-56 G.J Leckie; K.E. Pettigrew dan C. Sylvain. “Modelling the information seeking of professional: a general model derived from research on engineers, health care professionals and lawyers”. Library quarterly, 66 (2) (2006) hlm. 161-163 Mohammad Zamroni. Perempuan Dalam Kajian Komunikasi Politik dan Gender. Jurnal Dakwah, Vol. XIV, No. 1 (2013).hlm. 106. 7 laki dan perempuan disebabkan oleh sosialisasi awal terhadap pekerjaan dan kebutuhan-kebutuhan peran lainnya. Sosialisasi awal dipengaruhi oleh reward dan insentif yang diberikan kepada individu di dalam suatu profesi. Karena sifat dan pekerjaan yang sedang dijalani membentuk perilaku melalui sistem reward dan insentif, maka laki-laki dan perempuan akan merespon dan mengembangkan nilai etis dan moral secara sama dilingkungan pekerjaan yang sama. Dengan kata lain, pendekatan struktural memprediksi bahwa baik laki-laki maupun perempuan di dalam profesi tersebut akan memiliki perilaku etis yang sama.13 5. Pemilih Pemula Menurut hukum dalam aturan penyelenggaraan pemilu yang tercantum dalam UU No 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum (Bab IV tentang Hak Memilih pada Pasal 19) di sebutkan bahwa warga negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara telah genap berumur 17 (tujuh belas ) tahun atau lebih atau sudah pernah kawin mempunyai hak memilih (ayat 1). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD pada pasal 1 ayat 22 disebutkan, pemilih adalah warga negara Indonesia yang telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin. Kemudian pada pasal 19 ayat 1 dan 2, menerangkan bahwa pemilih yang mempunyai hak memilih adalah warga Negara Indonesia yang didaftar oleh penyelenggara pemilu dalam daftar pemilih dan pada hari pemungutan suara telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin. Para pemilih pemula adalah warga negara Indonesia yang didaftar oleh penyelenggara pemilu dalam daftar pemilih dan baru mulai mengikuti pemilu (memberikan suara) pertama kali sejak pemilu yang diselenggarakan di Indonesia dengan rentang usia 17-21 tahun. Layaknya sebagai pemilih pemula, mereka tidak memiliki pengalaman voting pada pemilu sebelumnya, 13 Joni Lavenduski dan Azza Karam. Perempuan di Parlemen: Membuat Suatu Perubahan, Perempuan di parlemen: Bukan Sekedar Jumlah, Bukan Sekedar Hiasan. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Diterjemahkan oleh Arya Wisesa dan Widjanarko dari Women in Parliament: Beyond Number. IDEA. 1998. hlm. 124. 8 namun ketiadaan pengalaman bukan berarti mencerminkan keterbatasan menyalurkan aspirasi politik. Sehingga pemilih pemula perlu memiliki wawasan dan pengetahuan dalam bidang politik agar para pemilih pemula jangan sampai tidak ikut berpartisipasi dalam pemilu (golput). Metodologi Jenis penelitian yaitu kuantitatif menekankan analisisnya pada data-data numerikal (angka) yang diolah dengan menggunakan metode statistika. Metode kuantitatif adalah suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu subjek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran, maupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Secara harfiah metode kuantitatif adalah metode penelitian untuk membuat gambaran mengenai situasi atau kejadian, sehingga metode ini berkehendak untuk mengadakan dasar data yang berupa angka semata.14 Populasi adalah keseluruhan dari penelitian yang menjadi pusat perhatian dan menjadi sumber data penelitian. Pada penelitian ini populasinya adalah Seluruh mahasiswa FISIP Universitas Sebelas Maret Surakarta angkatan 2014 dan 2015. Jumlah mahasiswa Fisip angkatan tahun 2014 yaitu 804 orang dan tahun 2015 berjumlah 713 orang, jadi jumlah populasi dalam penelitian ini 1517 mahasiswa. Hair, dkk menjelaskan bahwa ukuran sampel minimum adalah sebanyak 5 observasi untuk setiap estimated parameter dan maksimal adalah 10 observasi dari setiap estimated parameter. Dalam penelitian ini, jumlah pertanyaan dalam kuesioner penelitian sebanyak 28; sehingga jumlah sampel adalah 5 kali jumlah pertanyaan atau sebanyak 5 x 24 = 120. Adapun jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 180 orang sudah melebihi batas sampel 120. Data dalam penelitian ini menggunakan angket. Angket yang akan digunakan bertujuan untuk mengungkap pengaruh terpaan media massa budaya harajuku terhadap perilaku imitasi pada remaja. Kuesioner atau angket adalah 14 Suharsimi Arikunto. 2010. Metode Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rhineka Cipta. hlm.88. 9 sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari khalayak berupa laporan tentang pribadinya atau hal-hal yang diketahui.15 Sajian dan Analisis Data 1. Hasil Uji Hipotesis Hasil uji hipotesis pertama dengan korelasi product moment diperoleh hasil sebesar Rhitung 0,698 > Rtabel = 0,148 dan pada level of significance 0,05 diperoleh sig = 0,000 < 0,05 artinya pencarian informasi berpengaruh terhadap partisipasi politik, model penelitian ini sudah sesuai dengan hipotesis. Uji hipotesis kedua dengan uji t-test diperoleh hasil ada perbedaan antara jenis kelamin dengan partisipasi politik, dengan hasil signifikan 0,089 (p = 0,000 < 0,05). Artinya tidak ada hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan partisipasi politik 2. Pembahasan a. Sumber informasi dalam pemilihan calon kepala daerah pilkada serentak berhubungan dengan partisipasi politik mahasiswa FISIP UNS Hasil uji hipotesis menunjukkan bahwa sumber informasi berpengaruh terhadap partisipasi politik, dengan hasil rhitung 0,698 > Rtabel = 0,148 dan pada level of significance 0,05 diperoleh sig = 0,008 < 0,05. Sumber informasi mengenai pemilihan Pilkada serentak penting bagi masyarakat untuk dapat mengetahui orang-orang yang akan dipilih sebagai pimpinan daerah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sumber informasi merupakan salah satu kebutuhan. Pencarian informasi erat kaitannya dengan kebutuhan akan informasi. Seseorang yang membutuhkan informasi memerlukan waktu untuk berpikir apa yang ia butuhkan, mengingat apa yang yang dibutuhkan, selanjutnya memutuskan 15 Suharsimi Arikunto. Op.Cit. hlm.98. 10 apa yang dibutuhkan. Pencarian informasi merupakan kegiatan yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia untuk memenuhi kebutuhan informasinya, termasuk mahasiswa. Perilaku penemuan informasi (information seeking behavior) merupakan upaya menemukan informasi dengan tujuan tertentu sebagai akibat dari adanya kebutuhan untuk memenuhi tujuan tertentu. Dalam upaya ini, seseorang bisa saja berinteraksi dengan sistem informasi hastawi (suratkabar, sebuah perpustakaan) atau berbasis-komputer. Menurut Wilson16 perilaku penemuan informasi (Information Seeking Behaviour) merupakan upaya menemukan informasi dengan tujuan tertentu sebagai akibat dari adanya kebutuhan untuk memenuhi tujuan tertentu. Dalam upaya ini seseorang bisa saja berinteraksi dengan sistem informasi manual (koran, sebuah perpustakaan) atau sistem informasi yang berbasis komputer. Berdasarkan hasil penelitian sebagian besar mahasiswa dalam mencari sumber informasi berasal dari internet sebanyak 131 responden yang menjawab dengan nada positif, atau sebesar 72.8%. Internet pada saat ini sudah menjadi suatu kebutuhan utama bagi setiap kalangan masyarakat, dimulai dari kalangan dunia akademik, pekerja, baik yang tua ataupun yang muda, laki-laki dan perempuan, semuanya menggunakan internet. Penggunaan internet dapat menunjang dalam mencari informasi yang dibutuhkan oleh mahasiswa. Mahasiswa yang membutuhkan informasi yang cepat dan up to date dan didukung sarana-prasarana yang memadai seperti saat ini misalnya seperti gadget yang beredar dipasaran maka tidaklah sulit untuk mendapatkan informasi yang diinginkan. Perilaku pencarian informasi khusunya di dunia maya adalah konsep yang menarik untuk bidang kajian Ilmu informasi dan Perpustakaan dikarenakan akan ditemukan keunikankeunikan yang berbeda. Hal ini terjadi karena interner bergerak dengan 16 TD Wilson. “Human Information Behaviour “. Informing Science. 3(2). (2000) hlm. 49-56 11 dinamis dan perubahannya yang selalu memberikan ketertarikan tersendiri.17 b. Jenis kelamin dalam pemilihan calon kepala daerah pilkada serentak berhubungan dengan partisipasi politik mahasiswa FISIP UNS Hasil penelitian ada perbedaan antara jenis kelamin dengan partisipasi politik, dengan hasil signifikan 0,000 (p = 0,000 < 0,05). Artinya ada hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan partisipasi politik. Tidak adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam partisipasi berpengaruh terhadap keterwakilan perempuan dalam politik, terutama di lembaga perwakilan rakyat sendiri, bukannya tanpa alasan yang mendasar. Ada beberapa hal yang membuat pemenuhan kuota 30% bagi keterwakilan perempuan dalam politik penting. Beberapa di antaranya adalah tanggung jawab dan kepekaan akan isu-isu kebijakan publik, terutama yang terkait dengan perempuan dan anak, serta lingkungan, moral yang baik, kemampuan perempuan melakukan pekerjaan multitasking dan mengelola waktu, serta yang tidak kalah penting adalah keterbiasaan dan kenyataan bahwa perempuan juga telah menjalankan tugas sebagai pemimpin dalam kelompok-kelompok sosial dan dalam kegiatan kemasyarakatan, seperti di posyandu, kelompok pemberdayaan perempuan, komite sekolah, dan kelompok pengajian. Bila dicermati lebih jauh, keterlibatan perempuan dalam politik formal di Indonesia mulai memperoleh ruang sejak dikeluarkannya UU No.12 tahun 2003 tentang Pemilu, yang menyebutkan pentingnya aksi affirmasi (affirmative action) bagi partisipasi politik perempuan dengan menempatkan jumlah 30% dari seluruh calon partai pada parlemen, baik di tingkat nasional maupun lokal. Keterwakilan perempuan secara Nasional mengalami kenaikan dari pemilihan umum 1999 sebesar 9%. Diawali dengan keputusan Negara 17 Ahmad Rizal Ilmi, Op.Cit. 12 mengenai perpolitikan diNegeri ini, tepatnya pada tanggal 4 Januari 2008 dengan di undang-undangkannya Lembaran Negara No.2 tahun 2008 yang mengatur tentang keterwakilan perempuan didalam partai politik, berbagai hal diatur didalam undang-undang ini. Pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang Pemilu yang memperkuat keterlibatan perempuan dalam politik formal yaitu: UU Pemilu No.10 tahun 2008 pada pasal 8 ayat (1) butir (d) menyatakan bahwa partai politik dapat menjadi peserta pemilu setelah memenuhi persyaratan dan menyertakan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat. Selain itu, Pasal 53 UU Pemilu Legislatif tersebut juga menyatakan daftar bakal calon juga memuat paling sedikit 30% keterwakilan perempuan. Lebih jauh, Pasal 66 ayat 2 UU Nomor 10/2008 juga menyebutkan KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota mengumumkan persentase keterwakilan perempuan dalam daftar calon tetap parpol pada media massa cetak harian dan elektronik nasional. Sementara di Pasal 2 ayat 3 UU Parpol disebutkan bahwa pendirian dan pembentukan parpol menyertakan 30% keterwakilan perempuan. Lebih jauh, di Pasal 20 tentang kepengurusan parpol disebutkan juga tentang penyusunannya yang memperhatikan keterwakilan perempuan paling rendah 30%. Ketetapan kuota 30% sendiri sudah diterapkan pertama kali pada Pemilu 2004 seiring dengan perjuangan dan tuntutan dari para aktivis perempuan. Hasilnya adalah 62 perempuan saat itu terpilih dari 550 anggota DPR RI (11,3%). Sementara itu, dalam Pemilu 1999, pemilu pertama di era reformasi, hanya ada 45 perempuan dari 500 anggota DPR yang terpilih (9%). Dengan demikian, meskipun telah ada peraturan perundangan yang memandatkan kuota 30% dalam parlemen, itu tidak serta-merta menjamin peningkatan keterwakilan perempuan dalam politik. Selain itu, dalam kenyataannya pun, pemenuhan kuota tersebut bukanlah suatu hal yang mudah. Meskipun ketentuan yang ada sifatnya mensyaratkan, itu hanya 13 disertai sanksi moral dan bukan sanksi yang tegas yang dapat mendesak pemenuhan kuota itu. Para perempuan yang berada di parpol dan dinominasikan sebagai caleg oleh partainya menyebutkan hambatan yang mereka rasakan antara lain adalah kriteria sangat maskulin yang diterapkan, tidak ada kriteria yang memasukkan kerja khas perempuan yang artinya kekuasaan dominan ada di tangan laki-laki yang lebih di utamakan untuk menjadi anggota legislatif, dimana perempuan biasanya hanya di jadikan sebagai pelengkap persyaratan dan sekedar memenuhi Undang-Undang (Sistem kuota), jarang sekali sebuah parpol benar-benar mengusung perempuan dengan menempatkan perempuan pada nomor urut satu peserta pencalegkan dan yang paling banyak dikemukakan adalah politik uang, yaitu besarnya sumbangan uang yang diberikan kepada partai, sementara partai tidak transparan menyebut berapa sumbangan yang diharapkan dari seorang caleg. Kesimpulan Berdasarkan hasil pembahasan dapat diperoleh kesimpulan, sebagai berikut: 1. Ada hubungan antara sumber informasi dalam pemilihan calon kepala daerah pilkada serentak terhadap partisipasi politik mahasiswa FISIP UNS. 2. Tidak ada perbedaan antara laki-laki dengan perempuan dalam partisipasi politik mahasiswa FISIP UNS atau tidak ada hubungan antara laki-laki dengan perempuan dalam partisipasi politik mahasiswa FISIP UNS. Saran 1. Bagi Mahasiswa Bagi mahasiswa untuk memberikan perhatian besar untuk menjadi subyek partisipasi publik. Potensi besar akan tenaga, intelektualitas, dan waktu menjadi peluang besar untuk lebih memerankan mahasiswa pada proses perubahan di masyarakat. 14 2. Bagi Masyarakat a. Sebaiknya masyarakat meningkatkan koordinasi yang baik dengan anak agar komunikasi berjalan lancar yang dapat menimbulkan partisipasi anak sebagai pemilih pemula. Seperti memberikan brosur atau leaflet tentang pentingnya berpartisipasi politik. b. Sebaiknya masyarakat mengikuti penyuluhan atau mencari informasi lebih dalam lagi tentang Pemilu, sehingga dapat mengkomunikasikan kepada anak sebagai pemilih pemula mengenai pentingnya partisipasi pemilu legislatif dalam kehidupan bernegara. Seperti mengikuti workshop yang diadakan partai politik. c. Sebaiknya masyarakat mengajak anak sebagai pemilih pemula, untuk mengikuti sosialisasi Pemilu legislatif seperti kegiatan jalan santai maupun kerja bakti yang diadakan oleh KPU, agar anak sebagai pemilih pemula bisa merasakan dan mengetahui secara langsung informasi tentang pemilu. 3. Bagi Peneliti Selanjutnya Penelitian selanjutnya diharapkan dapat mengkaji variabel dependen selain partisipasi politik yang tentunya sesuai dengan kajian variabel bebas dan sesuai dengan teori yang ada. Selain itu, diharapkan dapat dilakukan kajian sejenis. Penelitian juga dapat dilakukan terhadap media sosial selain Twitter yang memiliki karakteristik berbeda dan memiliki pengguna potensial karena perkembangan penggunaan media sosial selalu berubah seiring kebutuhan dan keinginan penggunanya Daftar Pustaka Hafied Cangara, (2009), Komunikasi Politik : Konsep, Teori, dan Strategi, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada. Ismawan Indra, (1999), Money Politics Pengaruh Uang dalam Pemilu, Yogyakarta, Media Presindo. Michael Rush & Philip Althoff, (1997), Pengantar Sosiologi Politik, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada. Miriam Budiarjo, (1998), Partisipasi dan Partai Politik (Sebuah Bunga Rampai), Jakarta, Yayasan Obor Indonesia. 15 Pawit M.Yusuf dan Priyo Subekti, (2010), Teori Penelusuran Informasi (Information Retrieval), Jakarta, Kencana. Samuel Huntington dan Joan Nelson, 2004, Partisipasi Politik Di Negara Berkembang, Jakarta, Rineka Cipta Suharsimi Arikunto, (2010), Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta, Rineka Cipta. Bambang Mudjiyanto, (2012), “Literasi Internet dan Partisipasi Politik Masyarakat Pemilih Dalam Aktifitas Pemanfaatan Media Baru (Survey Masyarakat Pemilih Pilkada, Kasus Masyarakat Kota Bengkulu)”, Jurnal Studi Komunikasi dan Media, Vol. 16 No. 1 2. Jens Grossklags, Lora Appel, dan Frank Bridges, (2014), “Young adults and online political participation: Search strategies and the role of social media”, American Political Science Association. http://www.mysociety.org/projects/no10-petitions-website/ Leckie, G.J.; Pettigrew, K.E. dan Sylvain, C., (2006), “Modelling the information seeking of professional: a general model derived from research on engineers, health care professionals and lawyers”. Library quarterly, 66(2) hlm. 161-163. Sunyoto Usman, (1995), “Arah Gerakan Mahasiswa: Gerakan Moral atau Gerakan Politik?”, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol.3 No.2. hlm. 147 Wilson, TD., (2000), “Human Information Behavior”, Special Issue On Information Research, Vol 2, No 3, hlm. 1-2