Komitmen Polri dalam Pemberantasan Mafia Hukum HARIAN SINDO, Thursday, 01 July 2010 Komitmen Polri dalam pemberantasan mafia hukum merupakan tekad lembaga kepolisian yang direfleksikan oleh loyalitas pimpinan dan anggotanya pada tugas dan tanggung jawab mengambil tindakan terhadap jejaring kelompok yang merusak legitimasi Polri. Bentuk nyatanya diekspresikan dalam kemampuan organisasi secara total untuk mencapai tujuan secara berkelanjutan. Mafia hukum adalah sekelompok orang yang memengaruhi pembuat undang-undang dalam merumuskan undang-undang maupun penegak hukum dan pejabat publik agar menyimpangkan kewenangan atau prosedur di luar ketentuan hukum yang berlaku untuk kepentingan sesaat dari kelompok tertentu yang dampaknya merusak kehidupan masyarakat secara luas dalam jangka panjang. Tindakannya bisa dalam bentuk menyuap,memeras, jual beli perkara, mengancam saksi, mengancam terdakwa, dan melakukan pungutan yang tidak resmi. Mereka bergerak di berbagai departemen yang mengemban tugas pelayanan publik atau pengeluaran izin tertentu. Polri vs Mafia Hukum Profesi polisi itu mulia (nobile officum) seperti profesi-profesi terhormat lainnya yang memberikan pelayanan kepada masyarakat.Polisi senantiasa diharapkan jasanya untuk melindungi rakyat dari gangguan orang-orang jahat dan memelihara ketertiban umum agar masyarakat taat hukum. Tetapi, profesi semulia itu apabila kerap kali dikotori oleh para anggotanya, lama-kelamaan akan menurunkan derajat kemuliaan dari profesi polisi (Nitibaskara, 2001). Demikian pula bagi Polri jika dengan tugas mulia memberantas mafia hukum justru dikotori oleh anggotanya berkolaborasi dengan mafia hukum. Terbongkarnya temuan PPATK atas rekening tidak wajar Rp25 miliar milik Gayus Tambunan yang dalam proses hukum melibatkan penyidik kepolisian telah menunjukkan ada anggota di lingkungan Polri yang menjalin hubungan dengan mafia hukum. Dari kasus itu, jika dikaitkan dengan temuan PPATK atas 15 rekening tidak wajar milik perwira tinggi polisi, rekening Rp95 miliar milik perwira tinggi (pati) Polri, dan dugaan korupsi masa lalu yang belum maupun yang sudah terungkap seperti pengadaan kapal patroli polisi, pembelian senjata api AK-47, pengelolaan SIM/STNK/BPKB, pembobolan BNI, pengadaan alat komunikasi jaringan komunikasielektronika (komlek) sangat dimungkinkan jaringan mafia hukum sudah cukup lama keberadaannya di lingkungan kepolisian. Dari berbagai keluhan masyarakat disinyalir bahwa mafia hukum di lingkungan Polri beroperasi di bagian reserse, intel, lalu lintas, dan samapta.Di bagian reserse,dalam transaksi antara penyidik dan tersangka atau saksi yang membutuhkan jasa penyidik. Tujuannya dalam hal mengubah pasal tuduhan, menghilangkan barang bukti, mengubah kesaksian, melakukan penangguhan penahanan, bahkan sampai mengatur SP3.Di bagian intel sebagai perantara dalam penerbitan SKCK,pembuatan izin keramaian. Di bagian lalu lintas sebagai perantara pembuatan SIM,STNK,BPKB,dan penyidikan kecelakaan lalu lintas. Di bagian samapta sebagai perantara dalam penempatan kamar tahanan, penentuan waktu besuk tahanan, bahkan keluar dari tempat penahanan. Yang aneh jika mafia hukum beroperasi di bagian pembinaan dalam hal perantara untuk pengurusan dimutasi personel dari atau ke kesatuan tertentu, untuk mendapatkan jabatan tertentu, juga untuk masuk pendidikan. Masih terdengar ada perantara dalam proses rekrutmen. Di lingkungan logistik beroperasi dalam proses tender, penentuan rekanan, penentuan harga barang,pengadaan barang, dan proses kredit ekspor. Terjadinya hubungan antara anggota Polri dan mafia hukum disebabkan oleh lemahnya integritas moral (mental) anggota/pejabat kepolisian. Selain itu, ada juga peluang (opportunity) dalam rangka pertukaran kekuasaan diskresi fungsional dengan kepentingan kelompok tertentu.Faktor peluang itu muncul karena ketidaktegasan dan tidak konsistennya aparat kepolisian dalam menerapkan berbagai aturan. Kondisi tersebut mengakibatkan munculnya celah untuk melakukan kecurangan (penyimpangan). Apalagi dalam pengawasan internal (internal oversight) belum ketat, pengawasan eksternal (external oversight) tidak ada, serta ketidaktegasan maupun lemahnya sanksi yang dijatuhkan kepada anggota yang melanggar aturan. Pemberantasan Mafia Hukum Karena jaringan mafia hukum sangat dimungkinkan sudah mengakar di Polri dan demikian pula di departemen-departemen lain, Polri (pemerintah) dapat belajar dari pengalaman kepolisian Inggris pada 1990. Sebuah tim investigasi yang dibentuk oleh Scotland Yard’s dipimpin Bent Coppers digunakan untuk mengungkap jaringan mafia yang berkolaborasi dengan anggota polisi di London Metropolitan Police. Yang menarik, unit rahasia itu adalah polisi-polisi sendiri yang disusupkan ke bagianbagian organisasi yang para anggotanya menyalahgunakan kekuasaan. Anggota-anggota unit itu bekerja secara ”ultra rahasia”. Mereka dikenal dengan sebutan Ghost Squad (pasukan hantu), bertugas mengungkap penyalahgunaan kekuasaan yang didalangi anggota polisi yang mempunyai akses pada kekuasaan dan petinggi- petinggi polisi yang mendapat jatah dari anak buahnya. Ghost Squad harus bekerja secara kooperatif justru dengan polisi kriminal untuk mendapatkan bukti nyata (menjebak). Di lain pihak, anggota Ghost Squad juga harus mampu menahan diri dari godaan polisi yang menyalahgunakan kekuasaan. Polisi itu memiliki kepercayaan tinggi bahwa mereka tidak mungkin tersentuh karena dilindungi oleh atasannya. Menghadapi hal ini, operasi Ghost Squad membuat perangkap yang bertujuan untuk menangkap basah polisi kriminal. Dalam operasi itu Ghost Squad mampu menangkap polisi kriminal dan membuat mereka mendekam di penjara. Di Indonesia, niat pemberantasan mafia hukum itu sudah dinyatakan oleh Presiden SBY,tapi hasilnya belum optimal justru cenderung ada upaya melindungi aparataparat tertentu. Karena itu, untuk mencapai hasil yang diharapkan, Polri dapat mencontoh operasi Ghost Squad seperti yang dilakukan kepolisian Inggris dengan catatan pimpinan Polri memiliki ”niat” kuat sebagaimana telah diinstruksikan oleh Presiden SBY sebagai atasannya. Namun,jika hal itu sulit dipenuhi, operasi dapat dilakukan oleh lembaga penegak hukum lain (KPK). Operasi pemberantasan mafia hukum tentu tidak hanya menindak aparat yang bekerja di lapangan saja,tetapi juga menindak pimpinannya. Selanjutnya harus dilakukan pula restrukturisasi organisasi dan pelembagaan pengawasan eksternal (external oversight) atas pelaksanaan tugas polisi sehari- hari. Mencermati penyebab timbulnya hubungan antara aparat dan mafia hukum dilandasi oleh faktor “penyalahgunaan kekuasaan” yang dimungkinkan sudah merata di setiap departemen, saat ini mafia hukum dapat diklasifikasikan sebagai extraordinary crime (persekongkolan jahat). Karena itu, untuk mengatasinya juga harus dilakukan dengan cara ekstraoperasional seperti yang dilakukan kepolisian Inggris. Di Indonesia cara tersebut pernah dilakukan oleh pak Domo dalam bentuk Operasi Tertib (Opstib). Cara itu mengkin dapat dilakukan lagi dengan modifikasi sasaran, cara bertindak, dan luas wilayah operasi.(*) Bambang Widodo Umar Staf Pengajar Kajian Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia