Tidak berjudul - jurnal online fh unila

advertisement
1
ANALISIS YURIDIS PENANGGULANGAN MAFIA PERADILAN
DALAM PERADILAN PERKARA PIDANA
Oleh :
Irhamy Tauhid1
Dr. Maroni, S.H., M.H.2
Maya Safira, S.H., M.H.3
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui penyebab terjadinya mafia
peradilan dalam peradilan perkara pidana, bagaimanakah upaya penanggulangan
dan faktor-faktor yang menghambat upaya mafia peradilan dalam peradilan
perkara pidana. Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan yuridis
normatif dan yuridis empiris. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan
diketahui bahwa penyebab terjadinya Mafia Peradilan dalam peradilan perkara
pidana antara lain adalah Kekuasaan penyidikan, Kekuasaan penuntutan,
Kekuasaan mengadili. Upaya penanggulangan Mafia Peradilan dalam peradilan
perkara pidana dilakukan dengan menciptakan birokrasi yang membentengi
timbulnya Mafia Peradilan, mengembangkan substansi penegak hukum yang
bermoral dan menggagas budaya hukum, dan membangun partisipasi masyarakat
dalam membrantas Mafia Peradilan. Faktor-faktor yang menghambat upaya
penanggulangan Mafia Peradilan dalam peradilan perkara pidana dipengaruhi oleh
tiga faktor yaitu faktor substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum.
Kata Kunci: Penanggulangan, Mafia Peradilan, Perkara Pidana
ABSTRACT
The purpose of this study is to determine the cause of mob justice in criminal
justice, how is the response and the factors that hinder efforts to mob justice in
criminal justice. The approach used is a matter of normative juridical approach
and empirical jurisdiction. Based on the results of research and discussion in mind
that the cause of the Judicial Mafia in criminal justice include the powers of
investigation, prosecution kekusaan, Power prosecute. Judicial Mafia prevention
efforts in criminal justice is done by creating an entrenched bureaucracy onset of
Judicial Mafia, develop the moral substance of law enforcement and initiated the
legal culture, and build community participation in membrantas Judicial Mafia.
Factors that hinder efforts to combat Mafia Justice in criminal justice is influenced
by three factors, namely factors substantive law, legal structure and legal culture.
Keywords: Prevention, Judicial Mafia, Criminal Case
1
Mahasiswa bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Staf Pengajar Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.
3
Staf Pengajar Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung
2
2
I. PENDAHULUAN
Mafia peradilan menurut kamus
besar bahasa Indonesia adalah
kelompok advokad yang menguasai
proses peradilan sehingga mereka
dapat
membebaskan
terdakwa
apabila terdakwa dapat menyediakan
uang sesuai dengan yang diminta
mereka.4 Mafia peradilan eksis
karena adanya supply and demand.
Rusaknya
mental
sebagian
masyarakat dan aparat memunculkan
potensi
lahirnya
para
mafia
peradilan. Mereka yang berurusan
dengan hukum mempercayai bahwa
hukum bisa diatur. Mereka yang
berurusan dengan polisi pastilah
ingin dinilai tidak bersalah sejak
awal. Begitu juga ketika telah
diproses oleh jaksa, pastilah berusaha
agar dikenakan pasal dengan tuntutan
yang seringan-ringannya. Contohnya,
kasus Gayus Tambunan; jaksa
dicurigai oleh satgas pemberantasan
mafia hukum telah terlibat dalam
konspirasi perekayasaan kasus yaitu
kasus korupsi direkayasa menjadi
kasus penggelapan, akibatnya Gayus
Tambunan oleh pengadilan negeri
hanya di putus hukuman 1 tahun,
itupun dengan masa percobaan. Serta
pada kasus Gayus terdapat indikasi
bahwa hakim Asnun telah terjerat
pada lingkaran mafia peradilan.
Praktek transaksi kasus ini juga
nampak pada tertangkap basah hakim
Ibrahim pada pengadilan tinggi tata
usaha negara saat menerima uang
suap dari seorang pengacara.5
4
Ismantoro Dwi Yuwono, 2010,
Kisah Para Markus (Makelar Kasus), Media
Pressindo, Jakarta. 2010, hlm. 27
5
http//: radarlampung, edisi 31
Maret 2010
Suatu hukum yang dibuat secara baik
dan memihak kepada rakyat akan
menjadi tidak berarti apa-apa apabila
tidak didukung oleh mentalitas para
penegak hukum tersebut. Sehingga
muncul suatu sindiran bersifat
sarkasme dalam dunia hukum
“berikan aku hakim yang baik, jaksa
yang baik, polisi yang baik dengan
undang-undang yang kurang baik
sekalipun, hasil yang akan aku capai
pasti akan lebih baik dari hukum
yang terbaik yang pernah ada di
negeri ini”.6
Sementara pada saat yang bersamaan
perilaku aparat dalam melaksanakan
tugas, dibatasi oleh kode etik profesi
masing-masing.
Etika
profesi
memberikan pedoman atau tuntunan
tingkah
laku
manusia
dalam
melaksanakan
suatu
profesi,
mengatur bagaimana seharusnya
melaksanakan profesi yang baik dan
tidak melakukan profesi sekehendak
hati serta pertanggung-jawabannya
terhadap
pelaksanaan
profesi
tersebut. Etika profesi dalam
menciptakan
atau
merealisasi
pelaksanaan profesi yang baik
mensyaratkan pemegang profesi
memiliki latar belakang pendidikan
yang memadai untuk memperoleh
ketrampilan atau keahlian yang
bersangkutan dengan profesinya.
Adapun perumusan masalah yang
akan dibahas dalam penelitian ini
adalah :
a. Apakah penyebab terjadinya
mafia peradilan dalam peradilan
perkara pidana?
b. Bagaimanakah
upaya
penanggulangan mafia peradilan
dalam peradilan perkara pidana?
6
Ibid
3
c. Apakah
faktor-faktor
yang
menghambat
upaya
penanggulangan mafia peradilan
dalam peradilan perkara pidana?
Pendekatan masalah yang digunakan
adalah pendekatan yuridis normatif
dan yuridis empiris. Pengumpulan
data dengan wawancara, studi
pustaka, dan studi dokumen. Data
yang sudah dikumpulkan kemudian
diolah dan disajikan dalam bentuk
uraian, lalu dintreprestasikan untuk
dilakukan pembahasan dan dianalisis
secara kualitatif, kemudian untuk
selanjutkan ditarik suatu kesimpulan.
II. HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
A. Penyebab Terjadinya Mafia
Peradilan Dalam Peradilan
Perkara Pidana
Sistem Peradilan Pidana dapat dilihat
dari sudut pendekatan normatif yang
memandang keempat aparatur yaitu
kepolisian, kejaksaan, pengadilan,
dan lembaga pemasyarakatan sebagai
institusi
pelaksana
peraturan
perundang-undangan yang berlaku
sehingga keempat aparatur tersebut
merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari sistem penegakan
hukum semata-mata, pendekatan
manajemen atau administratif yang
memandang
keempat
aparatur
penegak hukum sebagai suatu
organisasi manajemen yang memiliki
mekanisme kerja, baik hubungan
yang bersifat horisontal maupun
yang bersifat vertikal sesuai dengan
struktur organisasi yang berlaku
dalam organisasi tersebut.7
7
Romli Atmasasmita, Sistem
Peradilan Pidana, Binacipta, Bandung.
1996, hlm. 16-18.
1. Kekuasaan Penyidikan
a. Proses Penyidikan Pada Status
Terperiksa (Saksi)
Pada tahapan ini biasanya mafia
peradilan menawarkan pasal-pasal
yang dapat meringankan terperiksa.
Apabila pihak terperiksa tidak
merespon atau tidak mengindahkan
tawaran mafia peradilan, maka
proses akan berjalan dengan penuh
intimidasi dan tentunya akan
mengahadapi proses penyidikan yang
menakutkan.
Bahkan
mafia
peradilan juga menggunakan modus
menjanjikan dapat merekayasa kasus
dengan menawarkan pasal-pasal
ringan dalam menjerat kasus pidana
yang telah dilakukan oleh terperiksa.
Para mafia peradilan mampu
menawarkan kepada terperiksa untuk
menghilangkan barang bukti, agar
kasus pidana yang dihadapinya bisa
lemah dalam pembuktian pada
sidang pengadilan kelak, sehingga
pada saatnya terperiksa akan lolos
dari jeratan hukum. Ini merupakan
bentuk
rekayasa
kasus
yang
dilakukan oleh aparat penegak
hukum yang tentu tidak dapat di
biarkan terus menerus terjadi. Sejak
puluhan tahun yang lalu peristiwa
rekayasa kasus pidana berkali-kali
terjadi, bahkan menimpa dikalangan
masyarakat dan telah menjadi
sorotan public serta menuai kecaman
dalam masyarakat, namun praktek
semacam itu hingga kini masih saja
terus terjadi.
Tindakan para mafia peradilan ini
sangat merusak moral dan mental
para penyidik, mafia peradilan
dengan gigih memengaruhi proses
penyidikan untuk menyimpang dari
ketentuan aturan yang ada demi
kepentingan terperiksa. Praktek
mafia peradilan ini sangatlah rapi
misalnya komunikasi rahasia antara
4
Gayus dengan penyidik yang hanya
bisa diketahui masing-masing pelaku
atau dengan teknologi penyadapan
yang terencana sehingga kejahatan
mafia peradilan sulit di bongkar
karena sulitnya barang bukti yang
ada, jejak praktek mafia peradilan
dapat dengan mudah dihilangkan.
Mafia peradilan hampir selalu ada
pada kasus tindak pidana tetapi
keberadaannya
sulit
untuk
dibuktikan, seperti itulah mafia
peradilan yang ada pada setiap
tahapan proses hukum. Mafia
peradilan sulit di bongkar karena
tidak meninggalkan bukti dan jejak
tindak pidana.
b. Proses penyidikan pada status
tersangka
Setelah
penyidik
melakukan
serangkaian
tindakan
dalam
mengungkap tindak pidana dengan
didukung alat bukti yang cukup
maka penyidik ditingkat kepolisian
ini dapat meningkatkan status
terperiksa (saksi) menjadi tersangka.
Pada posisi ini mafia peradilan
berusaha sekuat tenaga untuk melobi
pada penyidik agar tersangka tidak di
tahan. Penyidik dapat menahan atau
tidak menahan tersangka, ini sudah
sesuai ketentuan aturan yang ada
yaitu diatur dalam Pasal 20 ayat (1)
KUHAP. Atas dasar ketentuan
tersebut
penyidik
dapat
menyalahgunakan kewenangan untuk
menahan atau tidak menahan
tersangka, karena hal itu merupakan
kewenangan mutlak pada penyidik.
Oleh karena itu mafia peradilan
dengan
segala
cara
untuk
mempengaruhi oknum penyidik agar
tersangka tidak ditahan. Betapa besar
kekuasaan mafia peradilan dalam
merekayasa kasus sangatlah besar,
sehingga aparat hukum tidak dapat
berbuat banyak untuk menuruti
segala keinginan mafia peradilan.
2. Kekusaan Penuntutan
Praktek mafia peradilan sulit
dibongkar,
dan
hanya
dapat
terbongkar jika terjadi pada situasi
yang luar biasa. Muhammad Amin
mencontohkan antara lain: 8
a. Terbongkarnya praktek markus
Artha Litha Suryani (Ayin)
berawal dari tertangkap basah
jaksa Urip Tri Gunawan oleh
petugas KPK ketika menerima
suap dari Ayin melalui cara
penyadapan telepon oleh petugas
KPK.
b. Terungkapnya praktek markus
Anggodo
karena
adanya
penyadapan oleh petugas KPK
dan pernah di perdengarkan
secara umum didepan sidang
Mahkamah Konstitusi.
Maka dapat diketahui bahwa praktek
mafia peradilan hanya
dapat
dibongkar pada situasi yang istimewa
dan luar biasa, kejadian itu sangatlah
langka, jadi kalau bukan kedua
peristiwa besar tersebut praktek
mafia peradilan sulit di bongkar.
Praktek mafia peradilan yang
demikian sering terjadi, dimulai dari
kejaksaan ditingkat Kejari, Kejati
maupun Kejagung. Jadi praktek
mafia peradilan selalu ada di tingkat
penyidikan. Peran utama pada mafia
peradilan adalah perekayasaan kasus,
dan keberadaan mafia peradilan ini
sangat membahayakan aparat hukum
dalam penegakan hukum.
8
Hasil wawncara Penulis di
Kejaksaan Negeri Bandar Lampung,
Muhammad Amin S.H., M.H., 6 Maret
2013.
5
3. Kekuasaan Mengadili Dan
Menjatuhkan Putusan/Pidana.
Dampak negatif bagi hakim yang
memutus tidak adil memang tidak
dapat diketahui karena itu adalah
rahasia Tuhan. Berlainan dengan
undang-undang yang mengancam
dengan sanksi keras, ancaman sanksi
itu dapat diketahui melalui rumusan
undang-undang. Tetapi manusia
tidak menyadari bahwa sanksi Tuhan
lebih keras lagi dan pasti tetapi tidak
dapat diketahui seketika, yang
namanya hukuman pembalasan.
Suatu ketika manusia mendapat
penyakit yang sulit bahkan tidak
dapat disembuhkan, tetapi tidak
disadari karena dia pernah berlaku
tidak adil.
Hakim yang kukuh pendirian tidak
akan pernah goyah pada rayuan
mafia peradilan, karena hakim
berpedoman pada Pasal 4 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 35 Tahun
1999 tentang Ketentuan-ketentuan
pokok Kekuasaan Kehakiman yang
berbunyi: ”Segala campur tangan
dalam peradilan dari pihak pihak lain
di luar kekuasaan kehakiman
dilarang, kecuali dalam hal-hal yang
tersebut
dalam
undang-undang
dasar”. Seorang hakim sebelum
melaksanakan jabatan sebagai hakim
telah disumpah sebagaimana diatur
dalam Pasal 29 Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Ketentuan
pokok
Kekuasaan
Kehakiman.
B. Upaya Penanggulangan Mafia
Peradilan Dalam Peradilan
Perkara Pidana
Upaya penanggulangan kejahatan
secara garis besar dapat dibagi 2
(dua), yaitu lewat jalur ”penal”
(hukum pidana) dan lewat jalur
”non-penal” (bukan/diluar hukum
pidana).9 Dari pendapat tersebut,
bahwa kebijakan kriminal secara
garis besar dapat dikelompokkan
menjadi dua, yaitu:
1. Upaya Penanggulangan Mafia
Peradilan
Dengan
Sarana
Penal.
Memperhatikan
kembali
pemberantasan
mafia
peradilan
dengan membangun aparat hukum
yang tidak menghambat kepada uang
di
zaman
sekarang
ibarat
menggantang
angin.
Tentunya
diperlukan
orang-orang
yang
berpikiran progresif dan bertindak
responsif. Di sisi lain tentunya
mempunyai moral dan mental
sebagai
pembaharu
paradigma
berhukum. Tapi bila kita bicara
pembaharu, di zaman ini orang-orang
yang sering memberontak terhadap
status quo akhirnya akan menyerah
pada suatu sistem juga, karena kalau
tidak dibungkam oleh pemerintah,
pasti akan dibatasi ruang geraknya
untuk berkritik.
a. Menciptakan birokrasi yang
membentengi timbulnya mafia
peradilan
Dalam kehidupan berdemokrasi
pentingnya mencapai suatu pola pikir
demokratis
sangat
penting.
Menganggap bahwa kedaulatan dan
kekuasaan tertinggi sepenuhnya
berada ditangan rakyat, maka
selayaknya pula apa yang menjadi
tugas aparatur Negara selalu
mengarah
kepada
perwujudan
kepentingan rakyat. Prinsip yang
demokratis
hendaknya
menjadi
wacana para penguasa Negara untuk
9
Barda Nawawi Arief, Beberapa
Aspek
Kebijakan
Penegakan
dan
Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya
Bhakti, Bandung. hlm 42
6
konsen kepada hal yang berhubungan
dalam keseimbangan antara apa yang
dinginkan masyarakat menjadi suatu
tujuan pula dari pemerintah.
Hendaknya
ada
suatu
pola
pemerintahan
yang
sering
didengungkan oleh para pakar
hukum administrasi Negara, yaitu
suatu pola pemerintahan yang baik
atau good governance. Akan tetapi
melihat para pejabat pemerintah yang
selalu
bersikap
meminggirkan
kepentingan rakyat demi mencapai
suatu keinginan pribadi, good
governance
kemudian
menjadi
wacana sederhana. Maka ide yang
muncul
adalah,
suatu
pola
pemerintahan yang diisi oleh orangorang yang memang memiliki
integritas dan moral. Maka pada saat
sekarang
pola
pemerintahan
diarahkan kepada clean governance.
Yaitu penghapusan suatu rezim yang
kotor, dan kemudian diisi oleh orangorang yang terbaik, yang tidak saja
terbaik dalam segi keilmuannya
namun hal-hal yang menyangkut
perilaku, sikap dan etika moral.
b. Mengembangkan
substansi
penegak hukum yang bermoral
dan menggagas budaya hukum.
Penegakan
hukum
merupakan
masalah, yang baik secara ‘in
abstracto’ maupun secara ‘in
concreto’, merupakan masalah yang
aktual ahir-akhir ini mendapat
sorotan yang tajam oleh masyarakat.
Kasus yang menyeret Jaksa Agung
Urip Tri Gunawan keadalam kasus
suap
yang
berkaitan
dengan
penyelesaian kasus BLBI, menjadi
genderang
kedua
setelah
tertangkapnya salah satu anggota
Komisi Yudisial pada waktu yang
lalu. Tersandungnya Urip Tri
Gunawan apakah karena secara
konkret hukum tak berdaya apapun
melawan mafia peradilan atau
jabatan sebagai penegak hukum
menjadi
kausa
halal
untuk
melakukan mafia peradilan.
Kualitas penegak hukum yang
diinginkan oleh masyarakat sekarang
bukan saja penegak hukum yang
berkualitas dalam menerapkan pasalpasal peraturan perundang-undangan,
tetapi pengembangan yang lebih
substansial diarahkan kepada upaya
peningkatan penegak hukum yang
berdedikasi terhadap ilmunya dan
bersikap jujur, terbuka dan berani.
Berani dalam artian, sanggup
melawan mafia peradilan walaupun
menghadapi
konsekuensi
yang
berbahaya seperti kematian dan harus
hidup miskin. Dan juga berani untuk
bersikap kontroversial terhadap sikap
yang dianggap oleh penegak hukum
bejat sebagai hal yang wajar. Orang
yang berani bersikap kontroversial
seperti ini pernah dicontohkan oleh
Alm. Baharuddin Lopa yang dengan
berani menyerat Soeharto ke
pengadilan
hanya
dengan
mengandalkan
beberapa
berkas
bukti.
2. Upaya Penanggulangan Mafia
Peradilan Dengan Sarana NonPenal.
Keinginan mahasiswa yang begitu
besar tentu menyandarkan sikap
pemerintah untuk jujur dan berani
dalam memberantas mafia peradilan
termasuk memberangus penegak
hukum yang bermental korup.
Mahasiswa dalam posisi seperti ini
dapat dianggap sebagai pengawas
dan pengkritik untuk membentengi
kewenangan yang tak pantas dari
pemerintah. Posisi mahasiswa yang
sudah terbentuk sesuai kodrat
seharusnya terus dipertegas dimana
mahasiswa
bukanlah
manusia-
7
manusia penikmat sistem korup yang
terbentuk, namun manusia yang akan
membentuk struktur atau sistem baru
yang akan melawan terhadap pola
birokrasi yang tak tepat dipakai pada
zaman ini lagi. Jika pemerintah
sendiri tidak kritis terhadap sistem
birokrasinya sendiri, bagaimana pula
dengan keadaan mahasiswa yang
selalu dibungkam untuk suatu sikap
kritisnya.
Jika melihat lebih jelas kedalam pola
birokrasi pemerintahan dan lingkup
peradilan.
Maka
kita
harus
menganalisa gejala sosial yang
muncul
dalam
sosio-kultural
masyarakat Indonesia. Sosio kultural
yang bercorak feodal masih tampak
dalam
sistem
kelembagaan
pemerintah. Asas yang berpedoman
pada hirarkis jabatan atau jabatan
bertingkat
menyebabkan
mafia
peradilan tampak sebagai benang
kusut yang terlebih dahulu harus
diurai.
Fenomena
hirarkis
kelembagaan yang demikian tentu
menyebabkan sulitnya memberantas
kosupsi
di
lembaga-lembaga
pemerintah
apalagi
didalam
lingkungan lembaga peradilan yang
memiliki struktur jabatan yang rumit
untuk diselidiki kejahatan mafia
peradilannya. Penegak hukum yang
jujur tentu saja sangat sulit
ditemukan di lembaga peradilan yang
sudah korup.
Buruknya sistem dan struktur
birokrasi pemerintah dan badan
peradilan. Sistem hukum dan budaya
hukum
yang
masih
bersifat
sentralistik. Ketiga, integritas dan
moral aparat penegak hukum. Sistem
dan manajemen birokrasi pemerintah
yang masih menggunakan pola lama
yang
berparas
feodalistik
menyebabkan berkembangnya lahan
mafia peradilan yang begitu luas.
Sistem hukum pun tak kalah lebih
buruknya yang tidak kondusif dan
memiliki kekuatan yang tidak besar,
hingga akhirnya mafia peradilan
malah menjadi aliran darah dalam
hukum itu sendiri. Maka penegakan
hukum secara jujur dan berani
menajdi
syarat
utama
bagi
pemberantasan mafia peradilan.
Melihat konteks mafia peradilan,
peran serta masyarakat memang
sangat dibutuhkan. Peran serta
masyarakat di titik beratkan kepada
suatu pengamatan apakah suatu
proses tersebut telah sesuai standar,
dan apakah hasil proses tersebut
telah memenuhi suatu standar mutu
yang telah ditetapkan dalam suatu
sistem oleh suatu institusi atau
lembaga. Pemantauan tersebut bisa
dalam kontrol proses persidangan
maupun sebelum proses persidangan
(yaitu
pada
saat
dilakukan
pemeriksaan di tingkat kepolisian
dan kejaksaan). Pemantauan sejak
awal tersebut dapat memberikan
suatu informasi yang lebih lengkap
dan menyeluruh atas dugaan adanya
penyimpangan yang terencana dan
terstruktur secara sistematis yang
dapat menjadi suatu supporting
information
dalam
proses
eksaminasi.
C. Faktor-faktor
Penghambat
Upaya Penanggulangan Mafia
Peradilan Dalam Peradilan
Perkara Pidana
Secara umum faktor-faktor yang
mempengaruhi penegakan hukum
meliputi faktor hukum itu sendiri,
faktor penegak hukum, faktor sarana
prasarana, faktor masyarakat, dan
faktor budaya masyarakat. Selain itu,
efektifitas
penegakan
hukum
8
senantiasa dipengaruhi oleh hal-hal
seperti :
1. Infrastruktur
Pendukung
Sarana Dan Prasarananya
Legal structure atau struktur hukum
meliputi para penegak hukum.
Penegak
hukum
yang
baik
merupakan kunci dari penegakan
hukum yang baik. Menurut Erna
Dewi
baikpun
hukum
dan
masyarakatnya, jika penegak hukum
brengsek maka penegakan hukum
pun
akan
kacau.
Bagaimana
menjelaskan prilaku tidak jujur dari
para penegak hukum sudah cukup
banyak
yang
dilihat
dan
dipertontonkan
dalam
praktek
penegakan hukum di Indonesia.
KUHAP menegaskan bahwa proses
penegakan hukum pada umumnya
adalah domain subjektif dari para
penegak hukum, polisi, jaksa dan
hakim. Salah atau tidaknya seseorang
sepenuhnya adalah penilaian mereka.
Meskipun sejuta orang Indonesia
menganggap
seseorang
tidak
bersalah, polisi, jaksa dan hakim lah
yang akhirnya menetapkan apakah
orang tersebut bersalah atau tidak.
Lebih celaka lagi, jika penegakan
hukum
dilakukan
atas
dasar
kepentingan tertentu yang lazim
disebut publik sebagai politisasi
dalam penegakan hukum.10
Timbulnya anggapan di tengah
publik bahwa ada kemungkinan
proses penegakan hukum terhadap
orang-orang tertentu didasarkan atas
pesanan pihak tertentu pula apakah
karena alasan politik maupun alasan
lain seperti dalam kasus Prita. Publik
menilai ada kepentingan RS Omni
Internasional
dalam
penegakan
10
Hasil wawncara Penulis di
Fakultas Hukum Universitas Lampung, Erna
Dewi S.H., M.H., 11 Maret 2013.
hukum atas kasus Prita. Yang lebih
mengkhawatirkan lagi adalah adanya
kemungkinan ketiga, penegakan
hukum didasarkan atas motivasi
pribadi untuk “menembak” orang
tertentu. Itulah yang publik lihat
dalam kasus Bibit dan Chandra
sehingga mengundang simpati public
yang luar biasa kepada Bibit dan
Chandra.
2. Profesionalisme
Aparat
Penegak Hukum
Asas hukum pidana di Indonesia
adalah asas legalitas atau asas
nullum delictum nulla poena sine
praevia lege poenali yang berarti
setiap perbuatan tidak dapat dipidana
sebelum perbuatan tersebut diatur
atau telah ada dalam peraturan atau
perundang-undangan yang berlaku
terlebih dahulu. Di dalam hukum
pidana, tidak dikenal istilah damai.
Semua perkara yang masuk harus
diselesaikan secara hukum dengan
cara dimasukkan ke pengadilan
melalui
sarana
penyidikan,
penuntutan sampai ke pengadilan.
Sekali perkara masuk, maka tidak
ada peluang perkara dihentikan
kecuali oleh alasan yuridis dan
faktual dimana tidak cukup alasan
untuk diteruskan. Itulah yang tampak
dalam kasus Bibit-Chandra. Tetapi
tidak demikian dengan kasus-kasus
“ringan” pencurian kakao, semangka
dan arus listrik di apartemen. Semua
fakta hukum membuktikan bahwa
telah terjadi suatu tindak pidana yang
karenanya tidak ada alasan untuk
menghentikan proses terlepas dari
berapa kecil nilai ekonomis barang
yang dicuri.
Substansi hukum berupa materi
peraturan
perundang-undangan
seharusnya digali dari nilai-nilai
yang hidup di tengah masyarakat
9
sehingga jika ditetapkan sebagai
undang-undang tidak akan ada
pertentangan antara hukum yang
berlaku dengan nilai-nilai yang
hidup. Struktur hukum dibangun oleh
masyarakat
berdasarkan
suatu
karakter budaya hukum masyarakat
yang seharusnya mendukung kinerja
struktur hukum, dan budaya hukum
akan sejalan dengan substansi dan
struktur hukum.
(menyandarkan kepada undangundang) atau asas freirechtbewegung
(bebas dalam memutus tanpa terikat
undang-undang).
Kondisi
ini
bukannya tidak disadari oleh bangsa
ini, bahkan sangat disadari sehingga
dirasakan sangat perlu untuk
memperbaharui
hukum,
namun
hingga kini sistem hukum nasional
yang dicita-citakan itu belum juga
terwujud.
3. Budaya Hukum Masyarakat
Menurut
Erna
Dewi
dalam
masyarakat adat, penyelesaian suatu
kasus pidana misalnya pencurian
dilakukan
dengan
mekanisme
musyawarah dimana pihak pelaku
membayar ganti rugi kepada korban,
begitu juga dalam kasus yang
menyebabkan matinya orang. Pihak
korban berdamai dengan pihak
pelaku dengan kewajiban pelaku
menyantuni keluarga korban. Lebihlebih lagi dalam perkara perdata
dimana dalam sistem hokum positif
pun lembaga damai (arbitrase) bukan
saja
diperkenalkan
tetapi
dipraktekkan.
Praktek-praktek
budaya hukum semacam itulah yang
misalnya dilakukan oleh masyarakat
jika ada anggota keluarganya
ditabrak oleh kendaraan. Termasuk
dalam semua jenis tindak pidana,
masyarakat cenderung berusaha
menyelesaikan secara damai di luar
pengadilan, padahal hukum pidana
tidak mengenal adanya perdamaian
dalam penyelesaian suatu perkara
tanpa ada kecualinya.11
III. PENUTUP
Perundang-undangan saat inipun
mendua dalam mengatur bagaiman
seharusnya hakim bersikap apakah
berpegang teguh pada asas legisme
11
Hasil wawancara Penulis di
Fakultas Hukum Universitas Lampung, Erna
Dewi S.H., M.H., 11 Maret 2013.
Berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan diketahui bahwa :
1. Penyebab
terjadinya
Mafia
Peradilan
dalam
peradilan
perkara pidana antara lain adalah
Kekuasaan penyidikan, Kekusaan
penuntutan,
Kekuasaan
mengadili. Pada tahap penyidikan
Mafia peradilan menggunakan
modus
menjanjikan
kepada
tersangka bahwa ia dapat
merekayasa
kasus
dengan
menawarkan pasal-pasal ringan
dalam menjerat kasus pidana
yang telah dilakukan oleh
terperiksa.
Pada
tahap
penuntutan, didalam proses ini
modus operandi Mafia Peradilan
adalah berkonspirasi dengan
oknum jaksa untuk tidak
menuntut
pasal-pasal
yang
memberatkan, tidak menuntut
hukuman maksimal. Pada tahap
peradilan Mafia Peradilan melobi
hakim dengan cara mengajak
oknum hakim tersebut ke tempat
yang telah disepakati guna
membahas nasib terdakwa yang
sedang diproses dipengadilan,
karena putusan hakim merupakan
tahap terakhir dalam proses
peradilan.
2. Upaya penanggulangan Mafia
Peradilan
dalam
peradilan
10
perkara pidana dilakukan dengan
menciptakan birokrasi
yang
membentengi timbulnya Mafia
Peradilan,
mengembangkan
substansi penegak hukum yang
bermoral dan menggagas budaya
hukum,
dan
membangun
partisipasi masyarakat dalam
memberantas Mafia Peradilan.
3. Faktor-faktor yang menghambat
upaya penanggulangan Mafia
Peradilan
dalam
peradilan
perkara pidana dipengaruhi oleh
tiga faktor yaitu faktor substansi
hukum, struktur hukum dan
budaya
hukum.
Perbedaan
persepsi antara sesama penegak
hukum
dapat
menimbulkan
kekacauan
dalam
upaya
mencapai tujuan dari sistem
peradilan
pidana
yang
disebabkan persaingan antara
sesama penegak hukum.
Soekanto, Soerjono, 2010, Pengantar
Penelitian
Hukum,
Universitas
Indonesia,
Jakarta.
Perlu dilakukan berbagai upaya
untuk mendorong lahirnya agen
perubahan di lembaga penegak
hukum dan peradilan, yakni dengan
memastikan orang-orang di posisposis kunci adalah mereka yang
memiliki integritas tinggi, memiliki
komitmen serta kemampuan untuk
mendorong perubahan.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2002 tentang Kepolisian
DAFTAR PUSTAKA
Atmasasmita, Romli, 1996, Sistem
Peradilan Pidana, Binacipta,
Bandung.
Arief,
Barda Nawawi, 2006,
Beberapa Aspek Kebijakan
Penegakan
dan
Pengembangan
Hukum
Pidana, Citra Aditya Bhakti,
Bandung.
----------. 2005, Faktor-faktor yang
Mempengaruhi
Penegakan
Hukum,
Raja
Grafindo
Persada, Jakarta.
Yuwono, Ismantoro Dwi, 2010,
Kisah Para Markus (Makelar
Kasus), Media Pressindo,
Jakarta.
Kitab
Undang-Undang
Pidana (KUHP)
Hukum
Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP).
Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2004 tentang Kejaksaan.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman
Peraturan Pemerintah Nomor 27
Tahun
1983
tentang
pelaksanaan KUHAP
Download