DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESI --------------------------------- LAPORAN SINGKAT RAPAT DENGAR PENDAPAT UMUM PANJA PEMBERANTASAN MAFIA HUKUM DAN PERPAJAKAN KOMISI III DPR RI DENGAN PROF. DR. GUNADI DAN SDR.SASMITO HADINAGORO, --------------------------------------------------(BIDANG HUKUM, PERUNDANG-UNDANGAN, HAM DAN KEAMANAN) Tahun Sidang Masa Persidangan Rapat ke Sifat Jenis Rapat Hari/tanggal Waktu Tempat Ketua Rapat Sekretaris Rapat Hadir Izin Acara : : : : : : : : : : : : : 2012-2013 IV Terbuka Rapat Dengar Pendapat Umum Kamis, 13 Juni 2013 Pukul 11.10 – 13.10 WIB Ruang Rapat Komisi III DPR RI. Ir. Tjatur Sapto Edy, MT / Wakil Ketua Komisi III DPR RI. Endah Sri Lestari, SH, M.Si / Kabag Set.Komisi III DPR-RI. 16 orang Anggota dari 26 orang Anggota Panja. 2 orang Anggota Panja. Membicarakan masukan-masukan penyelewengan / penerimaan pajak. terkait modus terbaru KESIMPULAN/KEPUTUSAN I. PENDAHULUAN Rapat Dengar Pendapat Umum Komisi III DPR RI dibuka pukul 11.00 WIB oleh Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Ir. Tjatur Sapto Edy, MT dengan agenda rapat sebagaimana tersebut diatas. II. POKOK-POKOK PEMBICARAAN Pertanyaan tertulis Komisi III DPR RI kepada Prof. DR. Gunadi (Mantan Direktur Penyidikan Pajak dan Mantan Wakil Ketua PPATK), sebagai berikut : 1. Terkait dengan pelaksanaan tugas pokok dan fungsi Direktorat Penyidikan Pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, agar dijelaskan terkait dengan pengalaman bapak sebagai Dirjen Penyidikan Pajak dalam mengungkap kasuskasus mafia Hukum dan Perpajakan. 2. Bagaimana bentuk koordinasi selama ini dengan aparat penegak hukum atau instansi lain seperti PPATK dan Bareskrim mabes Polri dalam pengusutan jaringan mafia hukum dan perpajakan dan pengenalan modus-modus terkait dengan penyelewengan, pengalihan, atau rekayasa pajak yang merugikan negara secara aktif. 1 3. Agar dijelaskan terkait bagaimana mekanisme penelusuran dan pemberian data kepada aparat penegak hukum terkait dengan pengungkapan oknum lain atau perusahaan-perusahaan yang patut diduga telah melakukan penyelewengan pajak yang terkait dengan oknum tertentu dan telah ditangani oleh pegawai pajak yang telah atau diduga menyalahgunakan kewenangannya. 4. Meminta penjelasan terkait dengan perkembangan dari upaya atau program pencegahan terhadap meluasnya mafia hukum dan perpajakan atau penyelewengan pajak, yang telah dicanangkan dan dijadikan target oleh Dirjen Pajak, berikut kendalanya. 5. Agar dijelaskan kasus-kasus apa saja yang pernah ditangani terkait dengan Mafia Hukum dan Perpajakan. a. Kasus-kasus apa saja yang pernah ditangani dan sampai sejauh mana penanganan kasus-kasus tersebut. b. Hambatan-hambatan yang dihadapi dalam penanganan kasus-kasus tersebut. c. Bagaimana koordinasi dengan Bareskrim Mabes Polri dalam penanganan kasus mafia hukum dan perpajakan. d. Apakah ada upaya-upaya pencegahan yang telah dilakukan untuk mencegah terjadinya kasus serupa di kemudian hari. Agar dijelaskan terkait dengan modus-modus terbaru yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan atau perseorangan dalam melakukan praktek mafia hukum dan perpajakan. Pertanyaan tertulis Komisi III DPR RI kepada Sasmito Hadinegoro (Sekjen Asosiasi Pembayar Pajak), sebagai berikut : 1. Panja Pemberantasan Mafia Hukum dan Perpajakan Komisi III DPR RI meminta penjelasan terkait dengan modus-modus terbaru yang dilakukan oleh perusahaanperusahaan atau perseorangan dalam melakukan praktek-praktek mafia hukum dan perpajakan khususnya penyelewengan penerimaan negara. 2. Berkaitan dengan banyaknya permasalahan penerimaan pajak dari sektor pertambangan dan migas yang banyak merugikan negara saat ini, agar dijelaskan mengenai upaya strategi dalam mengungkap praktek mafia hukum dan perpajakan yang ada di sektor-sektor tersebut dan sektor lain yang belum terjamah. Agar dijelaskan pula terkait dengan koordinasi antar instansi terkait serta hambatan dalam perolehan dan analisa data atau informasinya. 3. Terkait dengan penerapan prinsip good governance yang salah satunya mengedepankan akuntabilitas dan transparansi, agar dijelaskan terkait dengan sistem pengawasan internal atau pelaksanaan audit yang ideal serta strategi reformasi birokrasi terhadap pelaksanaan tugas dan upaya pengidentifikasian dari bentuk penyimpangan dari pegawai pajak, beserta penerapan peraturan dan sanksinya. 4. Panja Pemberantasan Mafia Hukum dan Perpajakan meminta penjelasan terkait dengan kasus-kasus yang menonjol dan menjadi perhatian masyarakat, apakah sudah dilaporkan ke penegak hukum dan bagaimana tindak lanjutnya? 5. Faktor-faktor apa yang menyebabkan sulitnya aparatur penegak hukum dan lembaga terkait dalam mengungkap praktek-praktek mafia hukum dan perpajakan di Indonesia yang semakin marak belakangan ini. 6. Apa langkah-langkah atau solusi yang strategis sebagai upaya pencegahan untuk menyelesaikan persoalan mafia hukum dan perpajakan ini. Beberapa hal yang disampaikan oleh Sasmito Hadinegoro, diantaranya sebagai berikut : Pada prinsipnya, modus operandi tindak pidana perpajakan yang menyangkut penyelewengan penerimaan negara sebenarnya masih mirip dan sejenis dengan yang telah terjadi pada masa-masa yang telah lalu, seperti : penggelembungan biaya-biaya operasi, penurunan omset produksi / penjualan, dividen terselubung, transfer pricing antar group, dan pembuatan faktur PPn fiktif guna membobol kas 2 negara dengan pengajuan restitusi pajak fiktif yang dilakukan dengan kolusi dengan aparat / pejabat pajak yang mencapai nilai trilyunan. Sebagai contoh, kasus pidana pajak Asian Agri, Permata Hijau Sawit dan patut diduga pada Wilmar Group. Di samping itu, yang perlu dicermati adalah setoran pajak aspal, seperti yang terjadi di Kanwil Pajak Surabaya Tahun 2010 yang merugikan 350 wajib pajak sampai dengan Rp.350 milyar. Dalam kaitannya dengan masalah kasus-kasus kejahatan pelanggaran hukum yang menyebabkann kerugian dibidang keuangan negara yang pendanaannya bersumber dari APBN, yang mana pada dasarnya berasal dari uang pajak yang disetor oleh Rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke maka sebenarnya semua kasus-kasus besar yang menjadi perhatian publik sampai dengan saat ini seperti : Skandal Pra Merger Century US 600 Juta, Century Gate Rp. 6,7 Trilyun, BLBI Gate Rp. 640 Trilyun, subsidi bunga Obligasi rekapitulasi ex BLBI tahun 2003-2013 Rp. 600 Trilyun (kurang lebih Rp. 60 Trilyun, etc. dalam kenyatannya semua kasus-kasus tersebut muaranya adalah “pembobolan” kas negara yang ujungnya tetap memanfaatkan “Uang Pajak” yang seharusnya prioritasnya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat). Harus diingat bahwa merujuk kepada UUD 1945 Pasal 23 Bab VIII tentang tata kelola APBN yang diutamakan untuk kepentingan rakyat, dan merujuk pula kepada UU Nomor 17 tahun 2003 tentang Tata Kelola Keuangan negara bahwa “ Pengeloolaan Keuangan Negara” harus dilakukan secara transparan dan akuntabel serta dalam hal ini masyarakat berhak untuk mengetahuinya maka itu ada alasan bagi para penanggung jawab pengelola uang negara yang berasal dari APBN untuk menutup-nutupi berbagai masalah yang terkait dengan pertanggung jawaban administrasi meskipun hanya “serupiah” selayaknya harus bisa diketahui masyarakat secara terbuka. Prinsip-prinsip pertanggungjawaban pengelolaan Keuangan Negara seperti itulah yang menjadi landasan hukum dalam mewujudkan Tata Kelola Pemerintahan yang baik dan bersih (Good Governance – Good Government). Dengan demikian maka dengan mengacu kepada penyelesaian pertanggung jawaban hukum yang telah terbukti dapat “memenjarakan”” Gubernur Bank Indonesia Dr. Burhanudin Abdullah dan Deputi Gubernur Bank Indonesia serta para pejabat Bank Indonesia yang tersangkut skandal Keuangan Yayasan Bank Indonesia senilai Rp. 100 Milyar pada tahun 2009. Mega Skandal Keuangan Negara/Perpajakan yang nilainya ratusan milyar sampai dengan ratusan trilyun seperti : Skandal Pajak Paulus Tumewu yang telah P21 lengkap dihentikan pelimpahannya ke meja hijau oleh Menkeu Sri Mulyani pada 16 Oktober 2006 dengan pemberian informasi palsu kepada Jaksa Agung Abdurrahman Saleh tentang adanya SKP Rp. 7,9 Milyar yang telah dilaporkan kepada ketua Mahkamah Agung terdahulu (Harifin Tumpa) maupun Ketua Mahkamah Agung saat ini Hatta Ali yang sampai dengan hari ini tidak ada tindak lanjutnya. Maraknya Mafia Pajak di lingkungan Kementerian Keuangan sampai dengan detik hari ini karena kasus pidana pajak tidak menyentuh “Big Fish”nya dan tidak pernah tersentuh hukum sebagaimana dilakukan kepada Gayus Tambunan, Dhana Widyatmika, Pargio, Bahasyim, dan Suhartanto di Kanwil Surabaya. Pada bulan April 2010 dalam Skandal SSP (Surat Setoran Pajak” aspal-asli tapi palsu”) Rp. 350 Milyar dengan tanpa menyentuh pimpinan Ditjen Pajak sampai dengan Menkeu yang selayaknya mempunyai tanggung jawab dalam “Management Responsibility” dan “Management Policy”. Dalam kaitannya dengan Century Gate yang merugikan Keuangan Negara sampai dengan Rp. 6,7 trilyun yang sumbernya sebagai modal disetor ke LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) adalah juga Uang APBN yang 70% merupakan uang pajak yang disetor oleh rakyat. 3 Menteri Keuangan “patut diduga” menyalahgunakan wewenangnya mengalokasikan anggaran untuk memberikan subsidi bunga Obligasi Rekapitulasi (OR) puluhan Trilyun dikala subsidi BBM untuk rakyat mau dibatasi. Subsidi BBM untuk rakyat yang berasal dari uang pajak sesungguhnya lebih pantas diberikan daripada untuk alokasi subsidi bunga OR yang penyajiannya di APBN pun tidak dilakukan secara transparan dan akuntabel karena uang negara tersebut dipergunakan untuk memberi subsidi kepada Perbankan seperti : BCA, Danamon, CIMB NIAGA, BII, Permata, dll yang kebanyakan sahamnya dimiliki oleh pihak asing sehingga sangat ironis rakyat Indonesia yang lebih miskin memberikan “sedekah” kepada WNA di Malaysia, Singapore, Inggris, dll Bilamana uang pajak puluhan Trilyun tersebut sampai dengan tahun 2013 ini bahkan berdasarkan data valid di Bank Indonesia akan berlanjut sampai dengan tahun 2033 dan nilainya di re-schedule sampai dengan sebesar Rp. 3000 Trilyun yang akan membebani generasi yang akan dating. Para Penegak Hukum di KPK, Kejaksaan Agung dan Mabes Polri jikalau melakukan “pembiaran” tanpa turun tangan untuk menyelesaikan secara tuntas Mega Skandal keuangan Negara yang terbesar dalam abad ini yang mungkin lebih dahsyat daripada penindasan penjajahan Belanda dan jepang selama 350 tahun di Republik Indonesia. Bahwa meskipun informasi dan data yang lengkap atas terjadinya mega skandal perpajakan / keuangan negara yang patut diduga dapat menyeret para Menteri Keuangan tahun 2003-2013 telah dilaporkan oleh Asosiasi Pembayar Pajak Indonesia dan Gerakan Hidupkan Masyarakat Sejahtera pada kenyataannya hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Faktor yang menyebabkan tindak lanjut dari semua tindakan aparat penegak hukum dalam menangani kasus-kasus yang menyangkut big fish mafia keuangan negara / perpajakan tidak pernah tuntas, dikarenakan pendekatan yang digunakan secara politis, ke depannya dalam penanganan masalah pidana pelanggaran keuangan negara dilakukan dengan mengedepankan penegakan hukum secara murni dan konsekuen sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Pajak harus diselamatkan. Reformasi perpajakan yang memakan biaya pada tahun 2006, ternyata miskin dengan keteladanan. Misalnya kasus Gayus Tambunan dimana hanya sebagai pemeriksa, masih banyak persoalan di Dirjen Pajak. Dirjen Pajak harus memberikan keteladanan. Ada potensi pajak ratusan trilyun yang tahun 2013 ini akan hangus karena UU perpajakan yang lama hanya 10 tahun. Agar dicek dan diteliti apakah dalam klausul Release & Descharge masalah pajak. Diusulkan agar Panja pemberantasan mafia hukum dan perpajakan dinaikkan ke tingkat Pansus. Perlu juga meminta kepada Dirjen Pajak untuk membuat Surat Edaran terkait road map kepada kantor pajak seluruh Indonesia. Undang-undang pajak masih efektif memungkinkan untuk diterapkan, namun Dirjen Pajak perlu melakukan daluwarsa penetapan. Beberapa hal yang disampaikan oleh Prof. DR. Gunadi, diantaranya sebagai berikut : Kegiatan penyusunan konsep pembinaan, pengendalian, dan pengawasan di bidang pemeriksaan, penyidikan, dan penagihan pajak dilakukan oleh Direktorat Pemeriksaan, Penyidikan dan Penagihan Pajak (Direktorat P4). Selain itu, karena dalam Direktorat P4 juga ada pejabat fungsional pemeriksa dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), Dit P4 juga melakukan pemeriksaan dan penyidikan . Menurut Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor: 994/KM.1/1993 ikhtisar jabatan Direktur P4 adalah mengkoordinasikan penyusunan konsep pembinaan, pengendalian dan pengawasan di bidang pemeriksaan, penyidikaan, dan penagihan pajak, serta melakukan pemeriksaan dan penyidikan terhadap Wajib Pajak Perseorangan dan Wajib Pajak Badan. Kegiatan pembinaan, pengendalian dan pengawasan dilakukan dengan cara penyusunan konsep Surat Keputusan dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak tentang Petunjuk Teknis Pemeriksaan, Penyidikan, dan Penagihan Pajak serta mengkoordinasikian pemeriksaan dan penyidikan Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan 4 yang berlaku agar sasaran pemeriksaan, penyidikan, dan penagihan dapat dicapai sesuai kebijakan yang telah ditetapkan. Dalam KMK-302/KMK.01/2004 sebagai perubahan KMK-994/KM.01/1993 tugas pokok Dit P4 adalah menyiapkan perumusan kebijakan, standarisasi dan bimbingan teknis serta evaluasi di bidang pemeriksaan, penyidikan dan penagihan pajak. Dalam melaksanakan tugas tersebut Direktorat P4 menyelenggarakan fungsi : 1. Penyiapan, perumusan, pemantauan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan teknis pemeriksaan pajak; 2. Penyiapan, perumusan, pemantauan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan teknis penyidikan pajak; 3. Penyiapan, perumusan, pemantauan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan teknis penagihan pajak; 4. Pelaksanaan urusan pemeriksaan dan penyidikan pajak 5. Pelaksanaan administrasi Direktorat. 6. Karena selain tugas pokok dan fungsi perumusan kebijakan, standarisasi, bimbingan teknis dan evaluasi hal-hal terkait pemeriksaan, penyidikan dan penagihan pajak, juga disampiri tugas pelaksanaan urusan pemeriksaan dan penyidikan pajak walau tidak banyak sesuai dengan situasi dan kondisi pada masanya juga terdapat pengalaman penanganan kasus-kasus perpajakan. Sistem penentuan utang pajak yang diikuti sejak Tahun 1984, sesuai dengan Pasal 12 UUKUP adalah sistem self assessment artinya berapa jumlah pajak yang terutang dihitung sendiri oleh pembayar pajak kemudian membayarnya atau kalau sudah mengangsur dan kena potong serta pungut memperhitungkannya dan membayar kekurangannya dan melaporkan penghitungan dan pembayaran yang telah lunas dalam SPT. Karena sebagai bentuk pertanggungjawaban pelaksanaan kewajiban maka SPT harus diisi dengan benar (penulisan, penghitungan, penerapan ketentuan dan sesuai keadaan sebenarnya), lengkap (unsur objeknya, lampirannya), dan jelas (asal-usulnya, dilengkapi dengan kelengkapannya). Secara administratif, karena penghitungan pajak terutang ada pada pembayar pajak, terjadi asymitri penguasaan informasi dan data perpajakan umumnya pada mereka. Akibatnya, terdapat beberapa upaya efisiensi/penghematan beban pajak baik yang secara hukum dibenarkan (avoidance) atau tidak dibenarkan (secara melawan hukum –evasion). Beberapa bentuk mafia perpajakan pada saat itu: (1) segaja menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Pengukuhan PKP (Pasal 39(1)(b)) (2) sengaja tidak menyampaikan SPT (...(c)), (3) sengaja menyampaikan SPT dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap (...(d)), (4) sengaja tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut (...(i)), (5) sengaja: (Pasal 39A(a)) menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya, atau (... (b)) menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai PKP. Pada saat itu, kebanyakan mafia perpajakan adalah: (1) permintaan restitusi PPN karena ekspor melalui ekspor fiktif dan faktur yang tidak sesuai dengan transaksi sebenarnya, (2) menerbitkan faktur pajak dengan NPPKP pengusaha lain, (3) mengubah SPT Masa PPN yang sudah disampaikan ke KPP (kerjasama dengan oknum Pajak – untuk mengakali konfirmasi faktur pajak), (4) jual-beli faktur pajak fiktif – ada saat itu ada 15 model faktur pajak bermasalah, (5) pengisian SPT tidak benar (penghasilan di mark down, biaya dan pengurang di mark up, agar PPh rendah misalnya oleh beberapa pedagang valas). Beberapa indikasi faktur pajak bermasalah pada saat itu: (1) perusahaan baru diukuhkan atau lama tidak aktif tiba-tiba bangun kembali dengan omset bulanan cukup besar; (2) lokasi perusahaan tidak sesuai dengan profile kegiatan berupa omset dalam SPT (rumah tinggal biasa, pos keamanan, tanah kosong, makam, bahkan tidak dikenal), (3) modal usaha relatif kecil, (4) omset, PM dan PK tidak sebanding dengan modal kerja, (5) sering pindah alamat (tiap triwulan), dan (6) data pengukuhan (kopi KTP, KK, keteraangan domisili, dsb) umumnya palsu. 5 Double accounting/reporting berupa laporan keuangan fiskal dan komersiil sudah dimanfaatkan, namun karena audited accounting report sering direkayasa, maka walaupun menunjukkan jumlah omset dan laba jauh lebih besar dari jumlah omset dan laba fiskal, namun PPNS kesulitan membuktikannya bahwa laporan tersebut yang benar. Pada saat pembukaan cabang bank di tax haven jurisdictions (Cayman Island, Virgin Island, Cocos Island, dsb) cukup marak menampung deposito kebanyakan warga Indonesia. Mau dibawa keranah penyidikan, karena berada di luar wilayah Indonesia, tidak mudah. Saat itu diatasi dengan mengharuskan memotong pajak atas bunga deposito. Selain itu, sudah mulai dioperasikan anak-anak perusahaan sebagai, SPV cukup dengan modal minimal hanya beberapa USD, di beberapa jurisidiksi suaka pajak dengan modus penjualan barang ke negara tujuan melalui SPV kemudian bangkrut sehingga tidak dapat membayar utang dan dihapuskan dengan legal opinion dari lawyer setempat. Bahwa sebagai Direktur, jalinan kerja sama dengan Bareskrim dan Korwas sangat baik dan efektif hampir semua penyidikan kita melibatkana dan meminta bantuannya. Semua PPNS mendapatkan diklat perintelegensian dan penyidikan serta pemberkasan di Pusdiklat Megamendung. Beberapa kali dilakukan operasi tangkap tangan calon TSK dengan bantuan teman2 dari Bareskrim. Bahkan ketika Bp Jenderal Dai Bahtiar menjabat Kapolri diadakan rapat tindakan penyidikan di Mabes dan kepergian ke lokasi penyidikan di luar Jawa difasilitasi alat transport dari Polri. Kerjasama dengan Kejaksaan juga cukup bagus, sebelum dilakukan penyidikan dari pemeriksaan bukti permulaan dilakukan gelar perkara dengan menghadirkan teman2 dari Polri danh Kejaksaan untuk memperoleh masukannya. Kadangkala PPNS mendapat data dan informasi perpajakan dari Bareskrim. PPATK didirikan berdasar Undang-undang No. 15 tahun 2002 tentang Tindaki Pidana Pencucian Uang yang ditandatangani pada tanggal 17 April 2002 (kemudian dijadikan hari berdirinya lembaga tersebut). Namun, PPATK baru mulai aktif sekitar tahun 2003, sejak saat itu sudah mulai ada kontak dan hubungan karena tindak pidana di bidang perpajkan menjadi salah satu predicate crime tindak pidana pencucian uang. Hubungan mulai agak intens setelah perubahan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan diubah dngan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007, karena adata transaksi keuanagan menjadi salah satu data dan informasi perpajkan yang dimaksudkan dapat diperoleh Ditjen Pajak. Bahkan sejak saat itu adalaison officer dari Ditjen Pajak untuk ke PPATK, dan hampir semua penyidikan dimintakan data transaksi keuangan dan rekening bank dari PPATK. Sejak diberlakukannya UU No. 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang memberi kewenangan kepada Direktorat Jenderal Pajak untuk melakukan penyidikan TPPU, bersama Polri, Kejaksaan, KPK, BNN, dan Bea Cukai, kerjasama antara DJP dengan PPATK dsemakin intens, apalagi 6 lembaga penyidik TPPU membentuk data interchange agar mereka saling mengetahui dan bersinergi dalam penyidikan TPPU dan predicate crimenya. Semenjak itu, PPATK mengirimkan Laporan Hasil Analisis atas transaksi mencurigakan yang diduga terkait tindak pidana di bidang perpajakan sebagai tindak pidana asalnya. Selain itu PPATK juga membantu DJP dalam mengungkap transaksi-transaksi keuangan yang terkait dengan kasus-kasus tindak pidana di bidang perpajakan yang sedang ditangani DJP. Pada saat, belum diatur mekanisme khusus terkait hal tersebut, namun jika ada oknum pegawai yang terlibat penyalahgunaan wewenang ditangani oleh bagian Organisasi dan Tata Laksana (Organta setingkat Eselon III) pada Sekretaris Direktorat Jenderal Pajak atau Inspektorat Jenderal Departemen Keuangan. Dalam Pasal 36A Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara perpajakan mengatur pengenaan sanksi sesuaai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan atas pegawai yang: (1) karena kelalaiannya atau 6 sengaj menghitung atau menetapkan pajak tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang perpajakan, (2) dalam melakukan tugasnya denganh sengaja bertindak diluar kewenangannya yang diatur dalam ketentuan perundangundangan perpajakan, dapat diadukan ke unit internal Departemen Keuangan yang berwenanag melakukan pemeriksaan dan investigasi dan terbukti melakukannya, (3) dalam melakukan tugasnya terbukti melakukan pemerasan dan pengancaman kepada Wajib Pajak untuk mrnguntungksn diri sendiri secara melawan hukum, atau (4) dengan maksud menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu , untuk membayar, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri. Namun Pasal 36A(5) juga menyatakan bahwa pegawai tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana, apabila dalam melaksanakan tugasnya didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Sejak tahun 2010 Menteri Keuangan telah menerbitkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 10/KMK.03/2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Penanganan Pengenaan Sanksi Sesuai Ketentuan Pasal 36A Undang-Undang nomor 28 Tahun 2007 tersebut. Dalam Keputusan Menteri Keuangan tersebut pada diktum Keenam mengatur bahwa:“Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan, atau unit pengawasan internal pada Direktorat Jenderal Pajak, setelah menerima laporan atau pengaduan sebagaimana dimaksud dalam Diktum Kelima, melakukan pelimpahan kasus kepada aparat penegak hukum melalui Inspektur Jenderal atas nama Menteri Keuangan, apabila berdasarkan hasil investigasi terdapat indikasi adanya perbuatan pidana.” Karena itu, mekanisme penelusuran dan pemberian data kepada aparat penegak hukum terkait dengan pengungkapan oknum lain atau perusahaan-perusahaan yang patut diduga telah melakukan penyelewengan pajak yang terkait dengan oknum tertentu dan telah ditangani oleh pegawai pajak yang telah atau diduga menyalahgunakan kewenangannya, telah cukup jelas diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan tersebut. Selain itu menurut saya, lembaga penegak hukum termasuk DJP masing-masing telah memiliki mekanisme tersendiri untuk menangani dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan pegawainya. Bahwa pencegahan terhadap meluasnya mafia hukum dan perpajakan atau penyelewengan pajak telah menjadi perhatian utama pemerintah, hal ini tampak dari diterbitkannya Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011 tentang Percepatan Penyelesaian Kasus-Kasus Hukum dan Penyimpangan Pajak. Dalam Instruksi Presiden tersebut diantaranya Presiden menginstruksikan KAPOLRI, Jaksa Agung, Menteri Hukum dan HAM serta Menteri Keuangan untuk : Mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai tugas, fungsi dan kewenangan masing-masing secara terkoordinasi dan terintegrasi dalam rangka percepatan penyelesaian kasus-kasus hukum dan penyimpangan pajak termasuk dan tidak terbatas pada kasus Gayus HP Tambunan Mempercepat proses penegakan hukum secara sinergis dengan melibatkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan dan Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum, serta lebih meningkatkan koordinasi dan kerjasama dengan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Melakukan evaluasi dan perbaikan sistem kerja dan semua aturan yang terkait, yang dinilai memliki kelemahan atau memberi peluang terjadinya penyimpangan dan/atau kejahatan.” Menindaklanjuti Instruksi Presiden tersebut Kementerian Keuangan dan Direktorat Jenderal Pajak telah melakukan beberapa langkah sebagai berikut: 1. Menindaklanjuti kasus-kasus penyimpangan pajak yang telah memenuhi bukti awal tindak pidana di bidang perpajakanke tingkat penyidikan. 2. Meningkatkan koordinasi dan sinergi dengan aparat penegak hukum lain yang dikukuhkan dalam bentuk penandatangan MOU dengan PPATK, KAPOLRI dan Jaksa Agung. Hal ini dimaksudkan untuk mempercepat proses penegakan hukum secara sinergis. 7 3. Bekerjasama dengan KPK dalam mengungkap kasus-kasus TIPIKOR yang melibatkan pegawai DJP. 4. Memperbaiki sistem kerja terutama terkait pengendalian internal dalam rangka mencegah dan melakukan deteksi dini serta memperkecil peluang penyimpangan dan atau kejahatan yang mungkin dilakukan dalam pelaksanaan tugas DJP dengan menerapkan Whistle Blowing System yang diatur dalam Peraturan Dirjen Pajak nomor PER-22/PJ/2011. Bahwa kasus-kasus yang pernah ditangani terkait Mafia hukum dan perpajakan adalah kasus-kasus yang ada di media masa yaitu, misalnya kasus Gayus Tambunan, dalam penanganan kasus tersebut yang menangani adalah pihak Mabes Polri, DJP hanya membantu penyediaan data dan informasi yang dibutuhkan penyidik dalam pengungkapan kasus tersebut. Saya tidak mengetahui secara pasti hambatan-hambatan apa yang dihadapi penyidik Polri dalam menangani kasus tersebut. Beberapa modus mafia perpajakan antara lain adalah sebagai berikut: 1. Modus yang konvensional yang sampai saat ini masih dilakukan para penyelundup pajak PPN adalah pemanfaatan faktur pajak fiktif (tidak sesuai dengan transaksi sebenarnya). 2. Treaty shopping yaitu memanfaatkan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Indonesia dengan negara mitra tertentu untuk mendapatkan manfaat penurunan tarif atau tidak dikenakan pajak/potongan pajak di Indonesia. Misalnya, pembentukan kantor pusat perusahaan di negara yang mempunyai P3B dengan Indonesia dengan tax benefit berupa tarif rendah untuk branch-profit tax, seperti yanag dilansir oleh BPK di Harian Kompas kemarin dengan membentuk Kantor Pusat PSC Migas di Inggris sehingga menghindari tarif PPh Pasal 26 sebesar 20% (sesuai dengan kontrak) dan memilih dikenakan sesuai dengan tarif P3B 10%. 3. Penyalah gunaan P3B (treaty abuse) selain treaty shopping (tidak hanya untuk branch-profit tax Migas, tapi juga banyak dilakukan dengan modus mendirikan SPV di Belanda dan memberikan pinjaman (back-to-back loan) berbunga kepada anggota grupnya karena dalam Pasal 11(4) P3B Indonesia-Belanda menyatakan bunga dari utang komersial lebih dari 2 tahun dan dari penjualan kredit atas perlengkapan komersial, industrial dan sains, bebas potongan pajaknya), modus controlled-foreign corporation (CFC), nominee atau conduit company, dan modus government controlled or guaranteed financial institutions (yang biasanya berdasar P3B bebas dari potongan PPh). 4. Transformasi penghasilan royalti karena pemakaian trade mark, atau knowhow (pengetahuan dan pengalaman berproduksi) menjadi technical services fees. Royalti kena potongan PPh Pasal 26 sekitar 10% (tarif statuter UUPPh – 20%), sedangkan untuk penyerahan jasa teknis untuk dikenakan pajak harus ada Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang baru ada jika pemberian jasa berlangsung sekitar lebih dari 90 -120 hari. Mereka memberian njasa hanya sekitar beberapa hari saja, namun pembayaran technical services setiap tiga bulan sepanjang tahun. 5. Thin capitalization membiayai perusahaan lebih banyak dengan utang (debt) ketimbang dengan modal sendiri (equity) karena cost of loan (bunga) dapat dibiayakan (tax deductible), sedangkan cost of equity capital (dividen) tidak. Modus ini dikuti dengan back-to-back loan dan paralel loan. 6. Transfer pricing (harga transfer) dengan mendirikan perusahaan grup dengan memanfaatkan jurisdiksi yang tarif pajaknya rendah (seperti Singapura – 17%; Hong Kong 16%, Makao, dan beberapa negara kepulauan sebagai Special Purpose Vehicle – SPV). Modusnya ialah barang langsung dikirim kepada pembeli sebenarnya, tetapi faktur komersial dilewatkan melalui para SPV dimaksud, sehingga total beban pajak global menjadi rendah. Dari pemberitaan mass media praktik demikian kebanyakan dilakukan misalnya oleh para eksportir produk perkebunan, hasil tambang mineral, dsb. 8 7. Fictitiuous expenses dalam grup perusahaan baik yang berinduk di manca negara maupun perusahaan WPDN, melalui biaya manajemen, jasa, service center, alokasi biaya penelitian dan biaya kantor pusat, royalti serta biaya lainnya. 8. Tax eficiency supply chain management (pengefisienan beban pajak global melalui rekayasa pengelolaan jalaur pemasok). Modus ini dilakukan dengan membentuk Head Ofice di jurisdiksi yang menawarkan tax benefits (biasanya di no/low tax haven jurisdiction) yang menangani pengadaan bahan baku, sampai distribusi produk kepada pembeli sebenarnya. Sedangan fungsi pabrikan (anak perusahaannya) dikerdilkan menjadi hanya contract manufacturing (punya bahan namun berproduksi hanya berdasar pesanan) atau toll manufacturing (ala tukang jahit), dan fungsi distributor juga dikerdilkan untuk tidak menanggung risiko sehingga alokasi laba sangat minimal, karena sebagian besar risiko usaha ditanggung Head Office dan akibatnya laba dialokasikan kesana sehingga beban pajak global rendah. Beberapa hal lainnya yang menjadi pokok-pokok pembahasan, diantaranya sebagai berikut : Dengan banyaknya kasus-kasus perpajakan sampai saat ini, terkesan tidak ada bentuk pengawasan terhadap para pejabat pemeriksa pajak, seperti Gayus Tambunan. Bahwa banyaknya kasus-kasus perpajakan, disebabkan karena ketidakpahaman para penegak hukum dan regulasi pajak yang masih kurang komprehensif sehingga meninggalkan celah-celah untuk mafia pajak. Bahwa PPH 21 dan Pasal 13 KUP perlu diperhatikan, dan meminta Dirjen Pajak untuk membuat road map bagi Kepala KUP. Agar membuat sistem pembayaran pajak yang mudah, murah, dan aman, demi menciptakan situasi kepatuhan pajak dan penerapan sanksi pajak. Perlunya pengawalan Komisi III DPR RI terhadap aparat penegak hukum terkait kasus BLBI dan kasus-kasus besar lainnya. Bahwa Asosiasi Pembayar Pajak telah menyelamatkan uang sejumlah Rp.2 miliar, dari petugas pajak. Hal-hal apa saja yang membuat KPK, Polri dan Kejaksaan Agung tidak berdaya dalam mengusut kasus perpajakan. Jalan keluar seperti apa yang seharusnya dilakukan agar kasus – kasus pajak dapat dilakukan oleh KPK, Polri dan Kejaksaan Agung. Dalam tatarna regulasi, apa yang seharusnya di lakukan oleh DPR. Bahwa regulasi yang terkait dengan perpajakan banyak disinyalir adanya peluang untuk dilakukan kecurangan-kecurangan. Terhadap hal-hal yang disampaikan oleh Sdr.Sasmito Hadinagoro kepada KPK, Komisi III DPR RI agar mengawal hal tersebut dan dipertanyakan kembali kepada KPK, sampai sejauhmana tindaklanjutnya. Apakah dimungkinkan dengan adanya aturan yang ada saat ini, system perpajakan dapat berjalan dengan baik. Bahwa perlunya manajemen responsibility dari Dirjen Pajak. Bahwa dalam penyampaian data-data dalam kasus BLBI, diduga oknum-oknum tertentu telah melakukan kebohongan publik. Bahwa adanya potensi pajak yang ratusan triliun yang tahun ini diperkirakan akan hangus, maka perlunya segera penetapan objek pajak, sebelum daluarsa tahun 2014. Bahwa patut diduga oknum-oknum di Bank Mandiri telah melakukan penyelundupan obligasi dan rekapitalisasi sebesar Rp.170 triliun yang tidak dicantumkan. Banyaknya uang pajak yang dirampok untuk membayar utang-utang pengusaha besar dan banyaknya pencetakan faktur pajak fiktif. Bahwa faktur pajak fiktif terjadi pada era Darmin Nasution dan Sri Mulyani. 9 Meminta penjelasan kepada asosiasi pembayar pajak, apakah tidak ada penyidik yang mengawasi para pegawai pajak. Dapat disampaikan bahwa banyak kasuskasus pajak yang telah dilaporkan ke KPK, namun tidak ada tindaklanjut. Panja harus memantau harmonisasi antara regulasi yang ada (KUP) dengan praktik yang ada. Agar Panja segera mengeluarkan ouput untuk perbaikan sistem perpajakan ke depannya, dan diusulkan status Panja menjadi Pansus. Dalam rangka perbaikan sistem perpajakan serta penegakan hukum dalam kasus perpajakan, Komisi III DPR RI agar mengusulkan untuk dilakukannnya revolusi hukum dan revolusi keuangan negara. Terhadap kasus-kasus pajak yang daluarsanya tahun 2014 seperti kasus yang terkait dengan BLBI, agar menjadi fokus dan perhatian Komisi III DPR RI untuk dapat segera diselesaikan oleh penegak hukum pada tahun 2013 ini. Apabila tidak diselesaikan, maka pajak-pajak tersebut menjadi hapus pada tahun 2014. Terhadap kasus-kasus perpajakan lainnya di luar kasus BLBI, Komisi III DPR RI harus tetap mengawal terhadap penyelesaian kasus tersebut yang dilakukan oleh penegakan hukum hingga penyelesaian pajaknya serta kasusnya selesai. Komisi III DPR RI agar mengeluarkan petisi serta melakukan pengawalan penuntasan kasus-kasus perpajakan kepada penegak hukum dalam rangka penyelesaian-penyelesaian kasus-kasus perpajakan yang sangat besar dan berdimensi besar. III. PENUTUP Rapat dengar pendapat umum Panja Pemberantasan Mafia Hukum dan Perpajakan Komisi III DPR RI dengan Prof. Gunadi dan Sasmito Hadinegoro tidak mengambil kesimpulan, namum Pimpinan rapat menyampaikan hal-hal sebagai berikut : 1. Panja Pemberantasan Mafia Hukum dan Perpajakan harus serius terkait dengan daluwarsa pajak dengan nilai ratusan trilyun yang akan berakhir pada tahun 2013 ini, oleh karena itu setidak-tidaknya mulai bulan depan perlu penanganan serius oleh Panja Pemberantasan Mafia Hukum dan Perpajakan terhadap persoalan ini 2. Kasus-kasus perpajakan yang lain agar dilakukan pengkajian kembali, dan perlu dikawal sampai ke aparat penegak hukum untuk memastikan bahwa kasus-kasus tersebut diproses secara hukum sampai tuntas. 3. Konsepsi yang disampaikan oleh Prof. Gunadi menjadi perhatian Komisi III DPR RI untuk perbaikan penegakan hukum di sektor pajak ke depan. Rapat ditutup tepat pukul 13.13 WIB PIMPINAN KOMISI III DPR RI WAKIL KETUA, IR. TJATUR SAPTO EDY, MT 10 I. Prof. Gunadi : 1. Terkait dengan pelaksanaan tugas pokok dan fungsi Direktorat Penyidikan Pajak, kegiatan penyusunan konsep pembinaan, pengendalian, dan pengawasan di bidang pemeriksaan, penyidikan, dan penagihan pajak dilakukan oleh Direktorat Pemeriksaan, Penyidikan dan Penagihan Pajak (Direktorat P4). Selain itu, karena dalam Direktorat P4 juga ada pejabat fungsional pemeriksa dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), Dit P4 juga melakukan pemeriksaan dan penyidikan . Menurut Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor: 994/KM.1/1993 ikhtisar jabatan Direktur P4 adalah mengkoordinasikan penyusunan konsep pembinaan, pengendalian dan pengawasan di bidang pemeriksaan, penyidikaan, dan penagihan pajak, serta melakukan pemeriksaan dan penyidikan terhadap Wajib Pajak Perseorangan dan Wajib Pajak Badan. Kegiatan pembinaan, pengendalian dan pengawasan dilakukan dengan cara penyusunan konsep Surat Keputusan dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak tentang Petunjuk Teknis Pemeriksaan, Penyidikan, dan Penagihan Pajak serta mengkoordinasikian pemeriksaan dan penyidikan Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku agar sasaran pemeriksaan, penyidikan, dan penagihan dapat dicapai sesuai kebijakan yang telah ditetapkan. Dalam KMK-302/KMK.01/2004 sebagai perubahan KMK-994/KM.01/1993 tugas pokok Dit P4 adalah menyiapkan perumusan kebijakan, standarisasi dan bimbingan teknis serta evaluasi di bidang pemeriksaan, penyidikan dan penagihan pajak. Dalam melaksanakan tugas tersebut Direktorat P4 menyelenggarakan fungsi : a. Penyiapan, perumusan, pemantauan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan teknis pemeriksaan pajak; b. Penyiapan, perumusan, pemantauan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan teknis penyidikan pajak; c. Penyiapan, perumusan, pemantauan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan teknis penagihan pajak; d. Pelaksanaan urusan pemeriksaan dan penyidikan pajak e. Pelaksanaan administrasi Direktorat. Karena selain tugas pokok dan fungsi perumusan kebijakan, standarisasi, bimbingan teknis dan evaluasi hal-hal terkait pemeriksaan, penyidikan dan penagihan pajak, juga disampiri tugas pelaksanaan urusan pemeriksaan dan penyidikan pajak walau tidak banyak sesuai dengan situasi dan kondisi pada masanya juga terdapat pengalaman penanganan kasus-kasus perpajakan. Sistem penentuan utang pajak yang diikuti swejak tahun 1984, sesuai dengan Pasal 12 UUKUP adalah sistem self assessment artinya berapa jumlah pajak yang terutang dihitung sendiri oleh pembayar pajak kemudian membayarnya atau kalau sudah mengangsur dan kena potong serta pungut memperhitungkannya dan membayar kekurangannya dan melaporkan penghitungan dan pembayaran yang telah lunas dalam SPT. Karena sebagai bentuk pertanggungjawaban pelaksanaan kewajiban maka SPT harus diisi dengan benar (penulisan, penghitungan, penerapan ketentuan dan sesuai keadaan sebenarnya), lengkap (unsur objeknya, lampirannya), dan jelas (asal-usulnya, dilengkapi dengan kelengkapannya). Secara administratif, karena penghitingan pajak terutang ada pada pembayar pajak, terjadi asymitri penguasaan informasi dan data perpajakan umumnya pada mereka. Akibatnya, terdapat beberapa upaya efisiensi/penghematan beban pajak baik yang secara hukum dibenarkan (avoidance) atau tidak dibenarkan (secara melawan hukum – evasion). Beberapa bentuk mafia perpajakan pada saat itu: (1) segaja menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Pengukuhan PKP (Pasal 39(1)(b)) (2) sengaja tidak menyampaikan SPT (...(c)), (3) sengaja menyampaikan SPT dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap (...(d)), (4) sengaja 11 tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut (...(i)), (5) sengaja: (Pasal 39A(a)) menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya, atau (... (b)) menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai PKP. Pada saat itu, kebanyakan mafia perpajakan adalah: (1) permintaan restitusi PPN karena ekspor melalui ekspor fiktif dan faktur yang tidak sesuai dengan transaksi sebenarnya, (2) menerbitkan faktur pajak dengan NPPKP pengusaha lain, (3) mengubah SPT Masa PPN yang sudah disampaikan ke KPP (kerjasama dengan oknum Pajak – untuk mengakali konfirmasi faktur pajak), (4) jualbeli faktur pajak fiktif – ada saat itu ada 15 model faktur pajak bermasalah, (5) pengisian SPT tidak benar (penghasilan di mark down, biaya dan pengurang di mark up, agar PPh rendah misalnya oleh beberapa pedagang valas). Beberapa indikasi faktur pajak bermasalah pada saat itu: (1) perusahaan baru diukuhkan atau lama tidak aktif tiba-tiba bangun kembali dengan omset bulanan cukup besar; (2) lokasi perusahaan tidak sesuai dengan profile kegiatan berupa omset dalam SPT (rumah tinggal biasa, pos keamanan, tanah kosong, makam, bahkan tidak dikenal), (3) modal usaha relatif kecil, (4) omset, PM dan PK tidak sebanding dengan modal kerja, (5) sering pindah alamat (tiap triwulan), dan (6) data pengukuhan (kopi KTP, KK, keteraangan domisili, dsb) umumnya palsu. Double accounting/reporting berupa laporan keuangan fiskal dan komersiil sudah dimanfaatkan, namun karena audited accounting report sering direkayasa, maka walaupun menunjukkan jumlah omset dan laba jauh lebih besar dari jumlah omset dan laba fiskal, namun PPNS kesulitan membuktikannya bahwa laporan tersebut yang benar. Pada saat itu pembukaan cabang bank di tax haven jurisdictions (Cayman Island, Virgin Island, Cocos Island, dsb) cukup marak menampung deposito kebanyakan warga Indonesia. Mau dibawa keranah penyidikan, karena berada di luar wilayah Indonesia, tidak mudah. Saat itu diatasi dengan mengharuskan memotong pajak atas bunga deposito. Selain itu, sudah mulai dioperasikan anak-anak perusahaan sebagai, SPV cukup dengan modal minimal hanya beberapa USD, di beberapa jurisidiksi suaka pajak dengan modus penjualan barang ke negara tujuan melalui SPV kemudian bangkrut sehingga tidak dapat membayar utang dan dihapuskan dengan legal opinion dari lawyer setempat. 2. Bentuk koordinasi selama ini dengan aparat penegak hukum atau instansi lain seperti PPATK dan Bareskrim Mabes Polri dalam pengusutan jaringan mafia hukum dan perpajakan, sangat baik dan efektif hampir semua penyidikan kita melibatkan dan meminta bantuannya. Semua PPNS mendapatkan diklat perintelegensian dan penyidikan serta pemberkasan di Pusdiklat Megamendung. Beberapa kali dilakukan operasi tangkap tangan calon TSK dengan bantuan teman2 dari Bareskrim. Bahkan ketika Bp Jenderal Dai Bahtiar menjabat Kapolri diadakan rapat tindakan penyidikan di Mabes dan kepergian ke lokasi penyidikan di luar Jawa difasilitasi alat transport dari Polri. Kerjasama dengan Kejaksaan juga cukup bagus, sebelum dilakukan penyidikan dari pemeriksaan bukti permulaan dilakukan gelar perkara dengan menghadirkan teman2 dari Polri danh Kejaksaan untuk memperoleh masukannya. Kadangkala PPNS mendapat data dan informasi perpajakan dari Bareskrim. PPATK didirikan berdasar Undang-undang No. 15 tahun 2002 tentang Tindaki Pidana Pencucian Uang yang ditandatangani pada tanggal 17 April 2002 (kemudian dijadikan hari berdirinya lembaga tersebut). Namun, PPATK baru mulai aktif sekitar tahun 2003, sejak saat itu sudah mulai ada kontak dan hubungan karena tindak pidana di bidang perpajkan menjadi salah satu predicate crime tindak pidana pencucian uang. Hubungan mulai agak intens setelah perubahan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan diubah dngan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007, karena adata transaksi keuanagan menjadi salah satu data dan informasi perpajkan yang dimaksudkan dapat diperoleh 12 Ditjen Pajak. Bahkan sejak saat itu adalaison officer dari Ditjen Pajak untuk ke PPATK, dan hampir semua penyidikan dimintakan data transaksi keuangan dan rekening bank dari PPATK. Sejak diberlakukannya UU No. 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang memberi kewenangan kepada Direktorat Jenderal Pajak untuk melakukan penyidikan TPPU, bersama Polri, Kejaksaan, KPK, BNN, dan Bea Cukai, kerjasama antara DJP dengan PPATK dsemakin intens, apalagi 6 lembaga penyidik TPPU membentuk data interchange agar mereka saling mengetahui dan bersinergi dalam penyidikan TPPU dan predicate crimenya. Semenjak itu, PPATK mengirimkan Laporan Hasil Analisis atas transaksi mencurigakan yang diduga terkait tindak pidana di bidang perpajakan sebagai tindak pidana asalnya. Selain itu PPATK juga membantu DJP dalam mengungkap transaksitransaksi keuangan yang terkait dengan kasus-kasus tindak pidana di bidang perpajakan yang sedang ditangani DJP. 3. Mekanisme penelusuran dan pemberian data kepada aparat penegak hukum terkait dengan pengungkapan oknum lain atau perusahaan-perusahaan yang patut diduga telah melakukan penyelewengan pajak yang terkait dengan oknum tertentu dan telah ditangani oleh pegawai pajak yang telah atau diduga menyalahgunakan kewenangannya. Pada saat itu, belum diatur mekanisme khusus terkait hal tersebut, namun jika ada oknum pegawai yang terlibat penyalahgunaan wewenang ditangani oleh bagian Organisasi dan Tata Laksana (Organta setingkat Eselon III) pada Sekretaris Direktorat Jenderal Pajak atau Inspektorat Jenderal Departemen Keuangan. Dalam Pasal 36A Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara perpajakan mengatur pengenaan sanksi sesuaai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan atas pegawai yang: (1) karena kelalaiannya atau sengaj menghitung atau menetapkan pajak tidak sesuai dengan ketentuan undangundang perpajakan, (2) dalam melakukan tugasnya denganh sengaja bertindak diluar kewenangannya yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan perpajakan, dapat diadukan ke unit internal Departemen Keuangan yang berwenanag melakukan pemeriksaan dan investigasi dan terbukti melakukannya, (3) dalam melakukan tugasnya terbukti melakukan pemerasan dan pengancaman kepada Wajib Pajak untuk mrnguntungksn diri sendiri secara melawan hukum, atau (4) dengan maksud menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu , untuk membayar, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri. Namun Pasal 36A(5) juga menyatakan bahwa pegawai tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana, apabila dalam melaksanakan tugasnya didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Sepengetahuan saya sejak tahun 2010 Menteri Keuangan telah menerbitkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 10/KMK.03/2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Penanganan Pengenaan Sanksi Sesuai Ketentuan Pasal 36A UndangUndang nomor 28 Tahun 2007 tersebut. Dalam Keputusan Menteri Keuangan tersebut pada diktum Keenam mengatur bahwa: “Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan, atau unit pengawasan internal pada Direktorat Jenderal Pajak, setelah menerima laporan atau pengaduan sebagaimana dimaksud dalam Diktum Kelima, melakukan : melimpahkan kasus kepada aparat penegak hukum melalui Inspektur Jenderal atas nama Menteri Keuangan, apabila berdasarkan hasil investigasi terdapat indikasi adanya perbuatan pidana.” 13 Karena itu, menurut kami saat ini mekanisme penelusuran dan pemberian data kepada aparat penegak hukum terkait dengan pengungkapan oknum lain atau perusahaan-perusahaan yang patut diduga telah melakukan penyelewengan pajak yang terkait dengan oknum tertentu dan telah ditangani oleh pegawai pajak yang telah atau diduga menyalahgunakan kewenangannya, telah cukup jelas diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan tersebut. Selain itu menurut saya, lembaga penegak hukum termasuk DJP masing-masing telah memiliki mekanisme tersendiri untuk menangani dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan pegawainya. 4. Program pencegahan terhadap meluasnya mafia hukum dan perpajakan atau penyelewengan pajak yang telah dicanangkan dan dijadikan target oleh Dirjen Pajak, bahwa pencegahan terhadap meluasnya mafia hukum dan perpajakan atau penyelewengan pajak telah menjadi perhatian utama pemerintah, hal ini tampak dari diterbitkannya Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011 tentang Percepatan Penyelesaian Kasus-Kasus Hukum dan Penyimpangan Pajak. Dalam Instruksi Presiden tersebut diantaranya Presiden menginstruksikan KAPOLRI, Jaksa Agung, Menteri Hukum dan HAM serta Menteri Keuangan untuk : 1. Mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai tugas, fungsi dan kewenangan masing-masing secara terkoordinasi dan terintegrasi dalam rangka percepatan penyelesaian kasus-kasus hukum dan penyimpangan pajak termasuk dan tidak terbatas pada kasus Gayus HP Tambunan 2. Mempercepat proses penegakan hukum secara sinergis dengan melibatkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan dan Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum, serta lebih meningkatkan koordinasi dan kerjasama dengan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.......... 3. Melakukan evaluasi dan perbaikan sistem kerja dan semua aturan yang terkait, yang dinilai memliki kelemahan atau memberi peluang terjadinya penyimpangan dan/atau kejahatan.....” Menindaklanjuti Instruksi Presiden tersebut Kementerian Keuangan dan Direktorat Jenderal Pajak telah melakukan beberapa langkah sebagai berikut: 1. Menindaklanjuti kasus-kasus penyimpangan pajak yang telah memenuhi bukti awal tindak pidana di bidang perpajakanke tingkat penyidikan. 2. Meningkatkan koordinasi dan sinergi dengan aparat penegak hukum lain yang dikukuhkan dalam bentuk penandatangan MOU dengan PPATK, KAPOLRI dan Jaksa Agung. Hal ini dimaksudkan untuk mempercepat proses penegakan hukum secara sinergis. 3. Bekerjasama dengan KPK dalam mengungkap kasus-kasus TIPIKOR yang melibatkan pegawai DJP. 4. Memperbaiki sistem kerja terutama terkait pengendalian internal dalam rangka mencegah dan melakukan deteksi dini serta memperkecil peluang penyimpangan dan atau kejahatan yang mungkin dilakukan dalam pelaksanaan tugas DJP dengan menerapkan Whistle Blowing System yang diatur dalam Peraturan Dirjen Pajak nomor PER-22/PJ/2011. 5. Kasus-kasus yang pernah ditangani terkait Mafia hukum dan perpajakan adalah kasus-kasus yang ada di media masa yaitu, misalnya kasus Gayus Tambunan, dalam penanganan kasus tersebut yang menangani adalah pihak Mabes Polri, DJP hanya membantu penyediaan data dan informasi yang dibutuhkan penyidik dalam pengungkapan kasus tersebut. Saya tidak mengetahui secara pasti hambatan- 14 hambatan apa yang dihadapi penyidik Polri dalam menangani kasus tersebut. Selanjutnya, Kasus Dana, Anggrah, dsb. Saya juga membaca di media masa bahwa DJP telah melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan atas Asian Agri Group yang cukup lama dan saat ini telah divonis oleh majelis kasasi Mahkamah Agung. 6. Beberapa modus mafia perpajakan antara lain adalah sbb: a. Modus yang konvensional yang sampai saat ini masih dilakukan para penyelundup pajak PPN adalah pemanfaatan faktur pajak fiktif (tidak sesuai dengan transaksi sebenarnya). b. Treaty shopping yaitu memanfaatkan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Indonesia dengan negara mitra tertentu untuk mendapatkan manfaat penurunan tarif atau tidak dikenakan pajak/potongan pajak di Indonesia. Misalnya, pembentukan kantor pusat perusahaan di negara yang mempunyai P3B dengan Indonesia dengan tax benefit berupa tarif rendah untuk branch-profit tax, seperti yanag dilansir oleh BPK di Harian Kompas kemarin dengan membentuk Kantor Pusat PSC Migas di Inggris sehingga menghindari tarif PPh Pasal 26 sebesar 20% (sesuai dengan kontrak) dan memilih dikenakan sesuai dengan tarif P3B 10%. c. Penyalah gunaan P3B (treaty abuse) selain treaty shopping (tidak hanya untuk branch-profit tax Migas, tapi juga banyak dilakukan dengan modus mendirikan SPV di Belanda dan memberikan pinjaman (back-to-back loan) berbunga kepada anggota grupnya karena dalam Pasal 11(4) P3B Indonesia-Belanda menyatakan bunga dari utang komersial lebih dari 2 tahun dan dari penjualan kredit atas perlengkapan komersial, industrial dan sains, bebas potongan pajaknya), modus controlled-foreign corporation (CFC), nominee atau conduit company, dan modus government controlled or guaranteed financial institutions (yang biasanya berdasar P3B bebas dari potongan PPh). d. Transformasi penghasilan royalti karena pemakaian trade mark, atau know-how (pengetahuan dan pengalaman berproduksi) menjadi technical services fees. Royalti kena potongan PPh Pasal 26 sekitar 10% (tarif statuter UUPPh – 20%), sedangkan untuk penyerahan jasa teknis untuk dikenakan pajak harus ada Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang baru ada jika pemberian jasa berlangsung sekitar lebih dari 90 -120 hari. Mereka memberian njasa hanya sekitar beberapa hari saja, namun pembayaran technical services setiap tiga bulan sepanjang tahun. e. Thin capitalization membiayai perusahaan lebih banyak dengan utang (debt) ketimbang dengan modal sendiri (equity) karena cost of loan (bunga) dapat dibiayakan (tax deductible), sedangkan cost of equity capital (dividen) tidak. Modus ini dikuti dengan back-to-back loan dan paralel loan. f. Transfer pricing (harga transfer) dengan mendirikan perusahaan grup dengan memanfaatkan jurisdiksi yang tarif pajaknya rendah (seperti Singapura – 17%; Hong Kong 16%, Makao, dan beberapa negara kepulauan sebagai Special Purpose Vehicle – SPV). Modusnya ialah barang langsung dikirim kepada pembeli sebenarnya, tetapi faktur komersial dilewatkan melalui para SPV dimaksud, sehingga total beban pajak global menjadi rendah. Dari pemberitaan mass media praktik demikian kebanyakan dilakukan misalnya oleh para eksportir produk perkebunan, hasil tambang mineral, dsb. g. Fictitiuous expenses dalam grup perusahaan baik yang berinduk di manca negara maupun perusahaan WPDN, melalui biaya manajemen, jasa, service center, alokasi biaya penelitian dan biaya kantor pusat, royalti serta biaya lainnya. h. Tax eficiency supply chain management (pengefisienan beban pajak global melalui rekayasa pengelolaan jalaur pemasok). Modus ini dilakukan dengan membentuk 15 Head Ofice di jurisdiksi yang menawarkan tax benefits (biasanya di no/low tax haven jurisdiction) yang menangani pengadaan bahan baku, sampai distribusi produk kepada pembeli sebenarnya. Sedangan fungsi pabrikan (anak perusahaannya) dikerdilkan menjadi hanya contract manufacturing (punya bahan namun berproduksi hanya berdasar pesanan) atau toll manufacturing (ala tukang jahit), dan fungsi distributor juga dikerdilkan untuk tidak menanggung risiko sehingga alokasi laba sangat minimal, karena sebagian besar risiko usaha ditanggung Head Office dan akibatnya laba dialokasikan kesana sehingga beban pajak global rendah. Sesuai dengan perkembangan model dan teknologi serta sarana berbisnis, tentu modus penghindaran dan penyelundupan perpajakan ini akan berkembang terus dengan berbagai bentuk dan namanya menjadi semakin canggih dan kompleks dengan memadukan rekayasa fakta transaksi, ekonomi, akuntansi, hukum, dan teknologi informasi baik dalam spektrum lokal, nasional maupun global, apalagi dilingkunan ASEAN sendiri terdapat gejala persaingan pajak dengan adanya trend reformasi pajak dengan penurunan tarif race-to- the bottom dan cakupan geografis basis pengenaan pajak dari worlwide basis menuju territorial basis serta dari two-tiers taxation of dividends (badan dan pemegang saham) menuju one tier taxation (badan atau pemegang saham). II. Sasmito Hadinegoro : 1. Pada prinsipnya modus operandi tindak pidana perpajakan yang menyangkut penyelewengan penerimaan Negara sebenarnya masih mirip dan sejenis dengan yang telah terjadi pada masa-masa yang telah lalu, seperti : penggelembungan biaya-biaya operasi, penurunan omset produksi/penjualan, dividen terselubung, transfer princing antar group dsb, dan pembuatan faktur on fiktif guna membobol kas Negara dengan pengajuan restitusi pajak fiktif dalam hal ini adalah yang saat ini termasuk paling rawan adalah “permainan” restitusi SKLB fiktif yang dilakukan dengan kolusi dengan aparat/pejabat yang nilainya bisa mencapai nilai trilyunan. Sebagai contoh mutahkir dengan kasus pidana pajak Asian Agri, Permata Hijau Sawit 9PHS) dan patut diduga pada Wilmar Group. Di samping itu yang perlu dicermati adalah setoran pajak yang “ASPAL” asli tapi palsu seperti yang telah terjadi di Kanwil Pajak Surabaya tahun 2010 yang merugikan 350 wajib pajak sampai dengan Rp.350 Milyar. 2. Pertanyaan butir 2 berhubung terkait dengan masalah koordinasi dengan instansi di kementerian ESDM dan Pemerintah Daerah setempat, dan BUMNN seperti : Pertamina, PT. Antam. 3. Dalam kaitannya dengan masalah kasus-kasus kejahatan pelanggaran hukum yang menyebabkann kerugian dibidang keuangan negara yang pendanaannya bersumber dari APBN, yang mana pada dasarnya berasal dari uang pajak yang disetor oleh Rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke maka sebenarnya semua kasus-kasus besar yang menjadi perhatian public sampai dengan saat ini seperti : Skandal Pra Merger Century US 600 Juta, Century Gate Rp. 6,7 Trilyun, BLBI Gate Rp. 640 Trilyun, subsidi bunga Obligasi rekapitulasi ex BLBI tahun 2003-2013 Rp. 600 Trilyun (kurang lebih Rp. 60 Trilyun, etc. dalam kenyatannya semua kasus-kasus tersebut muaranya adalah “pembobolan” kas negara yang ujungnya tetap memanfaatkan “Uang Pajak” yang seharusnya prioritasnya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Harap diingat bahwa merujuk kepada UUD 1945 Pasal 23 Bab VIII tentang tata kelola APBN yang diutamakan untuk kepentingan rakyat, dan merujuk pula kepada UU Nomor 17 tahun 2003 tentang Tata Kelola Keuangan negara bahwa “ Pengeloolaan Keuangan Negara” harus dilakukan secara transparan dan akuntabel serta dalam hal ini masyarakat berhak untuk mengetahuinya maka itu ada alasan bagi para penanggung jawab pengelola uang negara yang berasal dari APBN untuk menutup-nutupi berbagai masalah yang terkait dengan pertanggung jawaban administrasi meskipun hanya “serupiah” selayaknya harus bisa diketahui masyarakat secara terbuka. Prinsip-prinsip pertanggungjawaban pengelolaan Keuangan Negara seperti itulah yang menjadi 16 landasan hukum dalam mewujudkan Tata Kelola Pemerintahan yang baik dan bersih (Good Governance – Good Government) sebagaimana yang dijanjikan oleh Presiden SBY kala Pilpres tahun 2009 yang lalu. Dengan demikian maka dengan mengacu kepada penyelesaian pertanggung jawaban hukum yang telah terbukti dapat “memenjarakan”” Gubernur Bank Indonesia Dr. Burhanudin Abdullah dan Deputi Gubernur Bank Indonesia serta para pejabat Bank Indonesia yang tersangkut skandal Keuangan Yayasan Bank Indonesia senilai Rp. 100 Milyar pada tahun 2009, maka seharusnya demikian pulalah Pemerintah SBY secara konsisten juga dapat dalam periode tahun terakhir masa baktinya sampai dengan pertengahan tahun 2014 yang akan datang mampu menuntaskan Mega Skandal Keuangan Negara/Perpajakan yang nilainya ratusan milyar sampai dengan ratusan trilyun seperti : Skandal Pajak Paulus Tumewu yang telah P21 lengap dihentikan pelimpahannya ke meja hijau oleh Menkeu Sri Mulyani pada 16 Oktober 2006 dengan pemberian informasi palsu kepada Jaksa Agung Abdurrahman Saleh tentang adanya SKP Rp. 7,9 Milyar yang telah kami laporkan kepada ketua MA Harifin Tumpa maupun Hatta Ali yang sampai dengan hari ini tidak ada tindak lanjutnya sehingga kasus ini menjadi contoh buruk reformasi Keuangan yang miskin keteladanan dipertontonkan oleh Menkeu SMI dan patut diduga membawa dampak maraknya Mafia Pajak di lingkungan kementerian Keuangan sampai dengan detik hari ini karena kasus pidana pajak yang kasat mata jika menyentuh “Big Fish”nya tidak pernah tersentuh hukum tidak sebagaimana bila dilakukan oleh aparat bawahan seperti Gayus Tambunan, Dhana Widyatmika, Pargio, Bahasyim, dan Suhartanto di Kanwil Surabaya, April 2010 dalam Skandal SSP (Surat Setoran Pajak” aspal-asli tapi palsu”) Rp. 350 Milyar dengan tanpa menyentuh pimpinan Ditjen Pajak sampai dengan Menkeu yang selayaknya mempunyai tanggung jawab dalam “Management Responsibility” dan “Management Policy” mengingat terkait dengan jumlah uang rakyat yang cukup besar yang harus diamankannya. Demikian pula dalam kaitannya dengan Century Gate yang merugikan Keuangan Negara sampai dengan Rp. 6,7 trilyun yang sumbernya sebagai modal disetor ke LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) adalah juga Uang APBN yang 70% merupakan uang pajak yang disetor oleh rakyat dengan “ngos2an” dari Sabang-Merauke. DPR RI sebagai Lembaga Tinggi negara yang mempunyai tanggung jawab dalam “meloloskan” persetujuan penggunaan uang APBN perlu kiranya berlapang dada untuk melakukan koreksi yang serius terkait dengan penyelamatan uang pajak ratusan trilyun yang sampai dengan hari ini ternyata juga masih memberikan persetujuan kepada Menkeu RI yang “patut diduga” menyalahgunakan wewenangnya mengalokasikan anggaran untuk memberikan subsidi bunga Obligasi Rekapitulasi (OR) puluhan Trilyun lanjut sampai dengan hari ini dikala subsidi BBM untuk rakyat mau dibatasi padahal subsidi BBM untuk rakyat yang berasal dari uang pajak sesungguhnya lebih pantas diberikan daripada untuk alokasi subsidi bunga OR yang penyajiannya di APBN pun tidak dilakukan secara transparan dan akuntabel karena uang Negara tersebut dipergunakan untuk memberi subsidi kepada Perbankan seperti : BCA, Danamon, CIMB NIAGA, BII, Permata, dll yang kebanyakan sahamnya dimiliki oleh pihak asing sehingga sangat ironis rakyat Indonesia yang lebih miskin memberikan “sedekah” kepada WNA di Malaysia, Singapore, Inggris, dll yang jelas lebih kaya dan sejahtera kehidupannya. Menurut hemat kami maka bilamana uang pajak puluhan Trilyun tersebut sampai dengan tahun 2013 ini bahkan berdasarkan data valid di bank Indonesia akan berlanjut sampai dengan tahun 2033 dan nilainya di re-schedule sampai dengan sebesar Rp. 3000 Trilyun yang akan membebani generasi yang akan datang sungguh betapa sangat berdosanya para wakil rakyat Indonesia di DPR RI dan para Penegak Hukum di KPK, Kejaksaan Agung dan Mabes Polri jikalau melakukan “pembiaran” tanpa turun tangan untuk menyelesaikan secara tuntas Mega Skandal keuangan Negara yang terbesar dalam abad ini yang mungkin lebih dahsyat daripada penindasan penjajahan Belanda dan jepang selama 350 tahun di Republik Indonesia. 4. Meskipun informasi dan data yang lengkap atas terjadinnya Mega Skandal Perpajakan/Keuangan Negara yang “patut diduga” dapat menyeret para Menteri Keuangan tahun 2003-2013 telah dilaporkan oleh Asosiasi Pembayar Pajak Indonesia 17 dan gerakan Hidupkan Masyarakat Sejahtera – HMS kepada aparat penegak hukum seperti : KPK dan Kejaksaan Agung bahkan diiringi dengan demonstrasi secara tertib dan damai ke KPK dan Kejaksaan Agung sejak tahun 2010-2012 yang lalu namun demikian ternyata penegakan hukum di Era Reformasi yang begitu jelas dan tegas dinyatakan oleh Presiden SBY sebagai Kepala negara yang menyatakan akan patuh pada Konstitusi dan tidak melakukan intervensi dalam penegakan hukum di Negara ini tetapi kenyataannya “hukum dilihat oleh rakyat hanya tajam ke bawah dan majal ke atas”. Sehingga sungguh sangat memprihatinkan bila rakyat yang tertangkap mencuri biji cokelat seharga Rp. 15000 atau mencuri piring juga senilai Rp. 20000 harus dipenjarakan sementara penjahat “kerah putih” yang senyumnya bak malaikat turun dari kahyangan membobol uang Negara yang adalah berasal dari setoran pajak seperti : PPn 10% karena makan di restoran, PBBB, STNK, dsb. yang nilainya trilyunan bahkan ratusan trilyun tidak pernah tersentuh hukum karena alasan belum diketemukannya 2 alat bukti seperti : pencuri sandal di Mesjid, atau pembantu yang mencuri piring karena terpaksa untuk mempertahankan hidupnya pada hari itu, sehingga bukan mustahil penegakan hukum seperti yang dipamerkan oleh KPK menjadi bahan tertawaan anak cucu kita karena mungkin mereka menganggap KPK bukan Komisi Pemberansatan Korupsi tetapi dianggapnya “Komisi Pelindung Koruptor” terutama Koruptor Kakap seperti yang dimaksud Presiden SBY tatkala memberi perintah kepada Satgas Mafia Hukum yang dipimpin oleh Dr. Kuntoro Mangkusubroto pada bulan April tahun 2010 yang lalu, ingatkah anda??? 5. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan tindak lanjut dari semua tindakan Aparat Penegak Hukum dalam menangani kasus-kasus yang menyangkut BIG FISH Mafia Keuangan Negara/Perpajakan tidak pernah tuntas dalam kenyataan yang kita lihat bersama sampai dengan detik hari ini, para anggota panja Perpajakan/Komisi III DPR RI saya yakin lebih mahfum daripada saya karena semua masalah-masalah pidana yang terkait dengan Mega Skandal Keuangan Negara tersebut pasti kemungkinan besar karena pendekatannya dilakukan secara “politis”. Ke depan jikalau para wakil rakyat dalam menangani masalah pidana pelanggaran keuangan Negara berkenaan pendekatannya dilakukan dengan mengedepankan penegakan “hukum” secara murni dan konsekuen sesuai ketentuan perundang-unddangan yang berlaku yang pendekatannya dilakukan dengan mengedepankan penegakan “hukum” secara murni dan konsekuen sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku yang notabene adalah produk hukum atau Undang-undang yang dihasilkan oleh yang Mulia para wakil rakyat niscaya dapat diharapkan terwujudnya Good Governance Clean Government di negeri kita yang tercinta NKRI. 6. Pajak harus diselamatkan. Reformasi perpajakan yang memakan biaya pada tahun 2006, ternyata miskin dengan keteladanan. Misalnya kasus Gayus Tambunan dimana hanya sebagai pemeriksa, masih banyak persoalan di Dirjen Pajak. Dirjen Pajak harus memberikan keteladanan. Ada potensi pajak ratusan trilyun yang tahun 2013 ini akan hangus karena UU perpajakan yang lama hanya 10 tahun. Agar dicek dan diteliti apakah dalam klausul Release & Descharge masalah pajak di. yang menjadi persoalan adalah kasus-kasus pajak yang kecil-kecil ditangani sedangkan kasus yang besar-besar dicuekin begitu saja. Perlu ditunjukan bahwa penegakan hukum untuk masalah pajak panggil gedung bundar, uang pajak dipakai sedekah kepada bankirbankir sejak 2003. Bank menyelundupkan obligasi rekapitulasi ratuan trilyun. Restitusi pajak fiktif sampai saat ini merupakan sesuatu hak yang sangat rawan. Diharapkan agar terkait dengan reformasi pajak, agar Dirjen Pajak tidak miskin keteladanan, jika ada kasus-kasus pajak, jangan hanya dipublikasikan, namun harus ditindaklanjuti dengan diperiksa dan diproses hingga tuntas. Untuk kasus mafia hukum dan perpajakan diselesaikan secara politik maka mustahil untuk bisa diselesaikan. Namun jika diselesaikan secara hukum maka akan bisa diselesaikan sampai tuntas. Diusulkan agar Panja pemberantasan mafia hukum dan perpajakan dinaikkan ke tingkat Pansus. Perlu juga meminta kepada Dirjen Pajak untuk membuat Surat Edaran terkait road map kepada kantor pajak seluruh Indonesia. Undang-undang pajak masih efektif memungkinkan untuk diterapkan, namun Dirjen Pajak perlu melakukan daluwarsa penetapan. 18 Pimpinan Kesimpulan : 19