PERAN HAKIM SEBAGAI PEMBAHARU HUKUM DALAM

advertisement
PERAN HAKIM SEBAGAI PEMBAHARU HUKUM
DALAM MEWUJUDKAN PERADILAN YANG AGUNG
Oleh: Drs. H. Endang Ali Ma’sum, SH, MH*
A. PENDAHULUAN
Terinspirasikan oleh konsep Roscoe Pound (1870-1964), law as a tool of social
engineering, Prof. Mochtar Kusumaatmadja memperkenalkan ungkapan hukum
sebagai sarana pembaharuan. Gagasan ini bak gayung bersambut mendapat dukungan
dari para pemikir hukum papan atas seperti Prof. Purnadi Purbacaraka dan Prof.
Soerjono Soekanto (UI), Prof. Sunaryati Hartono (UNPAD), Prof. Satjipto Rahardjo
(UNDIP). Prof. Sutandyo (UNAIR), dan lain-lain.
Dalam teori Ruscou Pound tersebut, sebagaimana dikutip oleh Mochtar
Kusumaatmadja, hukum dapat memainkan suatu peranan yang berarti dalam proses
pembaharuan. Pengalaman menunjukkan bahwa di Amerika Serikat terutama setelah
dilaksanakannya New Deal mulai tahun tigapuluhan, hukum dipergunakan sebagai alat
untuk mewujudkan perubahan-perubahan di bidang sosial. Peranan hukum dalam
bentuk keputusan-keputusan Mahkamah Agung Amerika Serikat dalam mewujudkan
persamaan hak bagi warga yang berkulit hitam merupakan contoh yang paling
mengesankan dari peranan progresif yang dapat dimainkan oleh hukum dalam
masyarakat.1
Maskipun rumusan pembaharuan hukum Prof. Muchtar Kusumaatmaja
merupakan turunan dari konsep Pound, namun terdapat perbedaan antara keduanya.
Konsep Pound tidak terlepas dari prinsip judge made law sebagai sumber utama
kaidah hukum Amerika yang menganut cammon law system. Karena itu, makna law
dalam ‘law as a tool of social engineering’ adalah hukum yang dibuat oleh hakim
(judge made law). Dalam konsep Pound, hakim berperan sebagai pembaharu
masyarakat. Sedangkan dalam konsep hukum sebagai sarana pembaharuan
masyarakat, sumber utama kaidah hukum adalah undang-undang atau peraturan
perundang-undangan.
Itulah sebabnya,
arti “hukum” lebih cenderung terhadap
undang-undang atau peraturan perundang-undangan. Namun demikian, pendekatan
*Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Agama Banten.
1
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan,Bandung: Alumni,
2002, hal. 13-15.
1
ini tidak mengabaikan putusan hakim atau peran hakim dalam pembaharuan
masyarakat. Sebagaimana dikemukakan Prof. Bagir Manan, mantan Ketua Mahkamah
Agung, putusan hakim atau yurisprudensi berperan sangat penting dalam kebijakan
atau politik hukum yang selalu memasukkan pengadilan sebagai salah satu obyek
pembangunan hukum.2 Selain itu, hukum merambah pada sistem hukum meliputi
berbagai sub sistem hukum lain seperti pendidikan hukum, profesi hukum, penegak
hukum, proses penegakan hukum, dan lain-lain. Persamaannya, baik konsep Pound
maupun konsep Mochtar Koesumaatmadja, meletakkan hukum sebagai sarana dan
instrumen (pembahàruan) sosial.3
Pada sisi lain, kondisi pengadilan dan peradilan di Indonesia tidak dalam kondisi
memuaskan, karena masih terdengarnya mafia hukum, para calo perkara masih
gentayangan di lembaga peradilan yang membuat daftar hitam penegakan hukum di
negeri ini. Dalam ungkapan Prof. Satjipto Rahardjo, Indonesia adalah Negara baru yang
beberapa dekade terakhir dilanda krisis besar. Mahkamah Agung dan pengadilanpengadilan di bawahnya mendapat sorotan yang sangat keras dari masyarakat yang
merasa tidak puas oleh putusan-putusan yang dibuat serta perilaku para pejabat
pengadilan.4 Dari sini diperlukan adanya hakim yang memiliki integritas, kejujuran dan
tekad kuat untuk melakukan pembaharuan hukum guna menciptakan pradilan yang
agung dan memulihkan lembaga pelaksana tugas yudisial tersebut menjadi pengadilan
yang berwibawa, professional dan akuntabel sesuai visi Mahkamah Agung:
“Terwujudnya Badan Peradilan Indonesia yang Agung.”5
Dari ungkapan yang dikemukakan di atas, lahir suatu permasalahan:
1. Apakah hakim mampu berperan sebagai Pembaharu hukum?
2. Apakah pembaharuan hukum yang dilakukan oleh hakim dapat mewujudkan
peradilan yang agung.
B. HAKIM SEBAGAI PEMBAHARU HUKUM
hal. 6.
2
Bagir Manan, Hakim Sebagai Pembaharu Hukum, dalam Varia Peradilan No. 254 Januari 2007,
3
Idem.
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progrsif, Jakarta: Kompas Penerbit Buku, 2010, hal.167-
4
168.
5
Mahkamah Agung RI, Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010-2035, Jakarta, Mahkamah Agung
RI, 2010, hal. 13-14.
2
Kata
“Pembaharu”
merupakan
pelaku
atau
pengawal
dari
proses
pembaharuan. Sedangkan kata “pembaharuan” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
diartikan sebagai proses, cara, perbuatan membaharui. Membaharui itu sendiri
menurut KBBI bermakna 1) memperbaiki supaya menjadi baru, 2) mengulangi sekali
lagi, memulai lagi, dan 3) mengganti dengan yang baru, memodernkan.6 Bila dikaitkan
dengan kata “hukum” maka akan muncul frasa yang berbunyi: proses pelaksanaan
pembaharuan hukum melalui cara memperbaiki, memodernkan, atau mengganti
dengan yang baru.
Untuk pembaharuan hukum, menurut Satjipto Rahardjo, ada yang
menggunakan istilah pembangunan hukum, perubahan hukum, pembinaan hukum,
atau modernisasi hukum. Terakhir banyak pula yang menggunakan istilah reformasi
hukum sebagai terjemahan dari legal reform. 7.
Soetandyo Wignjosoebroto8 membedakan pembaharuan hukum dalam arti
legal reform dengan pembaharuan hukum dalam arti law reform. Pembaharuan
hukum dalam arti legal reform diperuntukkan bagi masyarakat di mana hukum hanya
sebagai subsistem dan berfungsi sebagai tool of social enginering semata. Hukum
hanya menjadi bagian dari proses politik yang mungkin juga progresif dan reformatif.
Pembaharuan hukum hanya berarti sebagai pembaharuan undang-undang. Sebagai
proses politik, pembaharuan hukum hanya melibatkan pemikiran kaum politis dan
sedikit kaum elit professional yang memiliki akses lobi. Sedangkan pembaharuan
hukum dalam arti law reform, hukum bukan hanya urusan para hakim dan penegak
hukum saja, melainkan juga urusan publik secara umum. Mungkin saja hukum telah
dibuat dalam bentuk undang-undang, tetapi undang-undang itu tidak bersifat sakral di
atas segala-galanya. Dalam konsep ini hukum adalah produk aktivitas politik rakyat
yang berdaulat, yang digerakkan oleh kepentingan rakyat yang berdaulat yang
mungkin saja diilhami oleh kebutuhan ekonomi, norma sosial, atau nilai-nilai ideal
kultur rakyat itu sendiri.
6
Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2005, hal.109..
Satjipto Rahardjo, Membangun dan Merombak Hukum Indonesia, Yogyakarta: Genta
Publishing, 2009, hal.15.
8
Soetandyo Wignjosoebroto, Pembaharuan Hukum MasyarakatIndonesia Baru, dalam Donny
Donardono, Wacana Pembaharuan Hukum di Indonesia, Jakarta: Ford Foundation & HuMa, 2007, hal.
94.
7
3
Pengertian Soetandyo Wignjosoebroto tentang law reform ini nampak rasional
dan dapat diterima akal sehat, manakala dikaitkan dengan Pasal 5 ayat (1) UndangUndang (UU) Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal ini memberi
amanat kepada hakim untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum
dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Frasa menggali, mengikuti, dan
memahami memberi arti bahwa nilai-nilai hukum dimaksud belum tampak di
permukaan, tegasnya tidak dimuat dalam peraturan perundang-undangan.
Pada sisi inilah hakim dapat memerankan fungsinya sebagai pembaharu hukum
dengan cara: Pertama, menggali hukum yang tidak tercantum secara tegas dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan nilai-nilai keadilan yang lahir dari
kehidupan masyarakat. Kedua, mengikuti norma dan kaidah hukum tidak tertulis yang
berkembang di masyarakat sekaligus memperhatikan nila-nilai keadilannya. Ketiga,
memahami norma hukum dan kaidah keadilan yang tumbuh subur dalam kehidupan
sehari-hari.
Setidaknya ada tiga fungsi hakim dalam
hukum yakni: 1) menerapkan hukum
memutus suatu perkara menurut
(rechtstoepassing), 2) menemukan hukum
(rechtsvinding), dan 3) menciptakan hukum (rechtsschepping- judge made law).
Menerapkan hukum apa adanya (rechtstoepassing) mengandung arti bahwa
hakim semata-mata memberikan tempat suatu peristiwa hukum dengan ketentuan
peraturan yang ada, sehingga karenanya hakim disebut subsamptie automaat,
corongnya undang-undang. Sedangkan menemukan hukum (rechtsvinding) berarti
hakim merangkai antara peristiwa hukum dengan aturan hukum dan menerjemahkan
serta memberi makna agar suatu aturan hukum dapat secara aktual bersesuaian
dengan peristiwa hukum konkrit yang terjadi. Menurut Prof. Bagir Manan bahwa
menemukan hukum merupakan upaya agar: Pertama, suatu kaidah hukum mencakup
peristiwa hukum yang tidak secara nyata diatur dalm kaidah hukum. Kedua, suatu
kaidah hukum tidak mencakup suatu peristiwa hukum. Ketiga, suatu kaidah hukum
dikendorkan terhadap peristiwa hukum tertentu. Lainj halnya dengan menciptakan
hukum (rechtsschepping- judge made law), dalam hal ini hakim berhadapan dengan
4
beberapa kondisi, antara lain: 9 1) Adanya kekosongan hukum, tidak ada hukum yang
tersedia untuk memecahkan persoalan hukum (rechtsvacuum). 2) Hukum yang ada
tidak jelas, misalnya adanya inkonsistensi antara ayat atau pasal yang satu dengan
yang lain atau adanya inkonsistensi dengan kaidah dalam peraturan lain. 3) Hukum
yang ada sudah usang (verouderd), akibat perubahan di dalam masyarakat sehingga
hakim berwenang mengesampingkan kaidah yang sudah usang tersebut dengan
menciptakan hukum baru. 4) Hukum yang ada bertentangan dengan rasa keadilan atau
ketertiban umum.
Dengan mengadili menurut hukum tersebut, selain memberikan kedudukan
istimewa kepada seorang hakim dan memeberikan tugas mulia kepadanya yang dalam
pelaksanaan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh lainnya, juga
sejatinya hakim, tak terkecuali hakim peradilan agama, telah melaksanakan fungsinya
sebagai pembaharu hukum secara professional dan terukur.
Meskipun Indonesia merupakan Negara yang menganut sistem hukum civil law,
sebagai akibat warisan Belanda, namun secara diam-diam kita juga menganut sistem
hukum common law, dengan masih mengakui tata hukum adat sebagai indikatornya.
Dengan demikian, penganutan sistem hukum ganda tidak serta merta menganut
sistem presedent, sehingga menjadikan kita tidak menganut asas stare decisis.10
Sementara itu, asas peradilan di Indonesia adalah hakim tidak terikat pada putusan
hakim terdahulu mengenai perkara yang sejenis. Jika perkembangan terakhir banyak
hakim yang menjatuhkan putusan yang berkiblat pada putusan hakim yang lebih tinggi,
hal ini tidak berarti asasnya telah berubah menjadi the binding force of precedent
seperti yang dianut Negara-negara anglo saksis, melainkan terikat karena asas the
persuasive force of precedent, putusan tersebut diikuti karena meyakinkan hakim
untuk mengikutinya.11
Peran yurisprudensi sangat penting untuk menjamin kesatuan hukum dalam
pemecahan sengketa yang dihadapi hakim. Sedangkan pembinaan dan pengembangan
9
Satjipto Rahardjo, Op. Cit, hal. 17
Lengkapnya asas ini berbunyi: Stare decisis et quieta non movere. Artinya: tetap pada apa
yang telah diputuskan dan yang dalam keadaan istirahat tidak digerakkan.
11
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty, 2002, hal.
108.
10
5
yurisprudensi terletak pada badan peradilan tertinggi dalam hal ini Mahkamah Agung.
Dengan demikian, dari yurisprudensi yang dibuat oleh hakim agung akan menentukan
arah ke mana hukum akan dibawa. Nampaknya, betapa besar peran hakim agung
sebagai pembaharu hukum dalam menentukan yurisprudensi yang diharapkan
menciptakan standar hukum yang mengandung common basic idea, yang berdimensi
ganda menampung nilai-nilai yang hidup di kalangan masyarakat Indonesia dan nilainilai global, yang melahirkan hukum yang rasional, praktis dan actual sehingga
berbobot hukum yang matang (the maturity of law).
C. UPAYA MEWUJUDKAN PERADILAN YANG AGUNG
Kendala yang dihadapi Indonesia saat ini adalah lembaga penegakan hukum
dan pengadilan
diselimuti oleh praktik KKN, penyalahgunaan kekuasaan dan
kewenangan dan sebagainya, yang dikenal dengan istilah mafia peradilan atau mafia
hukum. Penelitian yang dilakukan oleh Indonesia Corruption Watch pada tahun 2002
di enam wilayah Indonesia secara detail telah mengklasifikasikan tahapan dan pihak
yang terlibat serta modus mafia peradilan (mafia hukum).12 Praktik tersebut terjadi di
sepanjang proses penegakan hukum, dari hulu, yaitu proses penyelidikan, sampai hilir,
yaitu proses pemasyarakatan. Selain pihak eksternal, praktik mafia hukum melibatkan
anggota korps penegak hukum tak terkecuali hakim. Menurut catatan Satgas Mafia
Hukum bahwa di pengadilan praktik mafia peradilan meliputi jual beli vonis,
penentuan majelis hakim yang mau bekerjasama dengan salah satu pihak, rekayasa
berita acara persidangan, sampai penundaan eksekusi.13
Untuk menangkal atau setidaknya meminimalisasi beroperasinya mafia hukum
di lembaga peradilan, seyogyanya disusun rencana strategis yang terukur yang berhulu
dari visi sebagaimana dicanangkan dalam Cetak Biru Pembaruan Peradilan 20102035.14
Secara ideal Badan Peradilan yang Agung, yaitu yang melakukan usaha-usaha
berikut: 1) Melaksanakan fungsi kekuasaan kehakiman secara independen, efektif, dan
12
Wasingatu Zakiyah, et.all. Menyingkap Tabir Mafia Peradilan, Jakarta, Indonesian Corruption
Watch, 2002,
13
Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, Pemberantasan Mafia Hukum, Jakarta: Satgas PMH
dengan dukungan UNDP, Cetakan I, 2010, hal.1
14
Mahkamah Agung RI, Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010-2035, Loc. Cit.
6
berkeadilan. 2) Didukung pengelolaan anggaran berbasis kinerja secara mandiri yang
dialokasikan secara proporsional dalam APBN. 3) Memiliki struktur organisasi yang
tepat dan manajemen organisasi yang jelas dan terukur. 4) Menyelenggarakan
manajemen dan administrasi proses perkara yang sederhana, cepat, tepat waktu,
biaya ringan dan proporsional. 5) Mengelola sarana prasarana dalam rangka
mendukung lingkungan kerja yang aman, nyaman, dan kondusif bagi penyelenggaraan
peradilan. 6) Mengelola dan membina sumber daya manusia yang kompeten dengan
kriteria obyektif, sehingga tercipta personil peradilan yang berintegritas dan
profesional. 7) Didukung pengawasan secara efektif terhadap perilaku, administrasi,
dan jalannya peradilan. 8) Berorientasi pada pelayanan publik yang prima. 9) Memiliki
manajemen informasi yang menjamin akuntabilitas, kredibilitas, dan transparansi.
10)Modern dengan berbasis TI terpadu.
Menurut analisis Prof. Bagir Manan, setidaknya ada enam ciri pengadilan yang
baik, yang harus diperhatikan oleh hakim, sebagai pendorong mempercepat
terwujudnya kembali pengadilan dan peradilan yang berwibawa, terhormat, dan
dihormati, yaitu:15 1) Pengadilan dan peradilan yang baik kalau dalam setiap perkara
pidana, terutama korupsi, pembalakan kayu atau pelanggaran hak asasi manusia,
selalu harus` menemukan kesalahan terdakwa dan menjatuhkan hukuman seberatberatnya. Tidak boleh ada terdakwa yang dibebaskan, atau dilepaskan, atau
diringankan. 2) Pengadilan dan peradilan yang baik kalau independent, hakim bebas
dari segala tekanan dan campur tangan Pemerintah. 3) Pengadilan dan peradilan yang
baik kalau senantiasa memperhatikan rasa keadilan masyarakat. 4) Pengadilan dan
peradilan yang baik kalau hakim adil, jujur, berpengetahuan tinggi, cakap, rendah hati,
berhati-hati, berintegritas, dan disiplin. 5) Pengadilan dan peradilan yang baik kalau
bekerja efisien dan efektif, seperti memutus dengan cepat. 6) Pengadilan dan
peradilan yang baik, kalau menjamin keterbukaan (transparancy) dan akses publik.
Dalam mewujudkan sistem peradilan yang adil, bersih dan transparan,
menurut Herdiansyah Hamzah,16 Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, ada
15
Bagir Manan, Persepsi Masyarakat Mengenai Pengadilan dan Peradilan yang Baik, dalam
Varia Peradilan No. 258 Mei 2007, hal. 10-18.
16
http://www.herdiansyah.web.id/2011/02/ Membangun Partisipasi Publik menuju Peradilan
Bersih.html.
7
beberapa hal yang harus dilakukan sebagai tahapan awal. Pertama, peningkatan
kualitas pemahaman produk hukum. Hal ini bertujuan untuk meminimalisasi praktik
pembudakan hukum seperti pembodohan dan penipuan terhadap masyarakat. Kedua,
memperkuat gerakan civil society multi sektoral untuk menyatukan persepsi. Ketiga,
monitoring untuk mengidentifikasi praktik mafia peradilan. Keempat, investigasi
sebagai upaya pencarian dan pengumpulan data, informasi dan temuan lainnya.
Kelima, testimoni dari para korban praktik mafia peradilan. Keenam, memanfaatkan
ruang-ruang partisipasi yang bertendensi politik regulatif. Ketujuh, upaya eksaminasi
sebagai medan second opinion terhadap masyarakat luas. .
I. PENUTUP
Dari paparan di atas, dapat ditarik simpulan yang dituangkan dalam redaksi
sebagai berikut:

Hakim
sebagai pejabat Negara yang melaksanakan kekuasaan kehakiman,
selain memiliki kedudukan istimewa dengan tugas mulia, juga berfungsi sebagai
pembaharu hukum yang dalam melaksanakan tugas yudialnya
melakukan
penerapan hukum (rechtstoepassing), penemuan hukum (rechtsvinding) dan
penciptaan hukum (rechtsschepping).

Dalam rangka membangun kepercayaan masyarakat (public trust), hakim dalam
kapasitasnya dan dengan integritas, kejujuran dan profesionalisme yang
dimilikinya memiliki andil besar dalam penciptaan peradilan yang berwibawa
dan bermartabat, dalam bingkai “terwujudnya peradilan Indonesia yang agung”
sesuai visi Mahkamah Agung.

Yurisprudensi yang berkualifikasi hukum yang matang (maturity of law) sebagai
produk hakim agung dan hakim di jenjang bawah, dalam berkreasi dari dampak
logis tugasnya yang mulia menjabarkan asas Judge made law, diharapakan akan
menjadi acuan bagi kasus-kasus yang datang kemudian, sekalipun Indonesia
tidak menganut sistem the binding force of precedent.

Diikutinya yurisprudensi dimaksud oleh hakim jenjang bawah dan generasi
kemudian adalah karena yurisprudensi tersebut meyakinkan hakim untuk
mengikutinya dengan asas the persuasive force of precedent.
8

Rekruitmen hakim agung oleh Komisi Yudisial dan hakim dalam jenjang bawah
oleh Mahkamah Agung bersama Komisi Yudisial tidak semata-mata dipandang
sebagai pelaksanaan amanat Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang
Komisi Yudisial semata, akan tetapi seyogyanya melahirkan keterpanggilan
nurani para Komisioner dalam mengawal visi Komisi Yudisial: “Terwujudnya
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang jujur, bersih, transparan dan
profesional.”17

17
www.komisiyudisial.go.id,Visi, Misi Komis Yudisial.
9
DAFTAR PUSTAKA
Buku dan Majalah
Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2005.
Kusumaatmadja, Mochtar, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan Bandung:
Alumni, 2002.
Manan, Bagir, Hakim Sebagai Pembaharu Hukum, dalam Varia Peradilan No. 254
Januari 2007.
__________, Persepsi Masyarakat Mengenai Pengadilan dan Peradilan yang Baik,
dalam Varia Peradilan No. 258 Mei 2007.
Mahkamah Agung RI, Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010-2035, Jakarta, Mahkamah
Agung RI, 2010.
Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, Pemberantasan Mafia Hukum, Jakarta: Satgas
PMH dengan dukungan UNDP, Cetakan I, 2010.
Rahardjo, Satjipto, Membangun dan Merombak Hukum Indonesia, Yogyakarta: Genta
Publishing, 2009.
______________, Penegakan Hukum Progrsif, Jakarta: Kompas Penerbit Buku, 2010
Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, Pemberantasan Mafia Hukum, Jakarta: Satgas
PMH dengan dukungan UNDP, Cetakan I, 2010.
Wignjosoebroto, Soetandyo, Pembaharuan Hukum Masyarakat Indonesia Baru, dalam
Donny Donardono, Wacana Pembaharuan Hukum di Indonesia, Jakarta: Ford
Foundation & HuMa, 2007.
Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty, 2002.
Zakiyah, Wasingatu, et.all. Menyingkap Tabir Mafia Peradilan, Jakarta, Indonesian
Corruption Watch, 2002.
Dokumen Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

10
Download