32 berpartisipasi dalam maulid; setidaknya mereka ikut ”menyerahkan sejumlah minimum paket makanan seperti telah disebutkan di atas. Kealpaan mereka dari partisipasi dipandang sebagai pelanggaran agama. Dalam masyarakat itupun, ia sebagai pusat pembentukan kesadaran sejarah, centre of rational thougth of history dalam melakukan kebebasan ibadah dan sumber pencarian keselamatan. Mereka asketis tradisional mengganggap bahwa jasa tokoh (sayyid) itu berperan sebagai yang menentukan nasib hidup sama dengan apa yang dipikirkan Tuhan yang bersifat absolut dan mutlak (Mas, 2005). Dengan demikian, diyakini dapat memberi manfaat dan kualat bila tidak mengikuti ajaran ini, sehingga takterhitung jumlahnya kalangan komunitas Cikoang maupun di luar komunitas Cikoang berbondong-bondong merayakan Maudu’ agar senantiasa mendapatkan berkah. D. Sibernetika Parsons Sebagai Grand Theory Teori Sibernetika Talcott Parsons (Talcott Parson’s Cybernetics) adalah sebuah pemikiran dari Talcott Parsons. Dengan teori ini, Parsons dapat menunjukkan keterkaitan sistem hukum dengan sistem lain secara sangat baik; yang kemudian menjadikan menjadikan Talcott Parson sebagai legenda dalam studi sosiologi hukum (Law-Ger, 2011). Dalam perspektif Parsons tersebut, teori ini lebih dikenal dengan berkontribusi secara baik 33 dalam membahas hubungan atau keterkaitan antara ada empat subsistem yaitu: subsistem budaya, sosial, politik, dan ekonomi. Talcott Parsons (1902-1979) telah mengantarkan teori structural-functional sebagai teori yang sangat mewarnai sosiologi di era pertengahan abad ke-20 (terutama di Amerika), meskipun sebenarnya teori tersebut sudah diperkenalkan oleh “bapak sosiologi” Auguste Comte (1798-1857) pada abad ke-19 di Francis (Puspitawati, 2009). Penekanan Parson pada struktural-fungsional dimulai pada tahun 1940-an di mana Parsons memulai menekankan pentingnya fungsionalisme sebagai suatu teori sosiologis. Hal ini terlihat pada pidato inagurasinya sebagai Presiden American Sociological Society dengan judul “Kedudukan Teori Sosiologis” (Poloma, 1979). Sejalan dengan itu, Poloma (1979) juga mengatakan, walaupun konsep tindakan sosial tetap dipakai sebagai dasar teori, perburuan intelektual Parson secara perlahan ternyata bergeser dari tekanan atas tindakan sosial ke struktur dan fungsi masyarakat. Usaha Parson yang sistematis dan maksimal dalam membangun teori fungsional ialah dihasilkannya “The Social System” yang terbit di tahun 1951. Selanjutnya dikatakan, sampai saat ini fungsionalisme dalam teori sosiologi Amerika masih merupakan perspektif yang dominan. Meskipun fungsional dan struktural dapat dipisahkan dalam sebuah analisis sosial, namun bagi ‘aliran’ fungsionalisme-struktural menjadikan perpaduan atau penyatuan kedua unsur itu sebagai ciri utamanya. Artinya, 34 keduanya selalu digunakan bergandengan. Demikian pula, meski fungsionalisme-struktural mempunyai berbagai bentuk, namun fungsional-isme kemasyarakatan (societal functionalism) adalah pendekatan dominan yang digunakan di kalangan fungsionalis struktural sosiologi. Sasaran perhatian utama fungsionalisme kemasyarakatan adalah struktur sosial dan institusi masyarakat berskala luas (Ritzer dan Goodman, 2008). Seperti telah dikemukakan, salah satu penganut pemikiran fungsionalisme struktural yang terkemuka bahkan sempat membawa aliran tersebut diidentikkan dengan sosiologi di pertengahan abad ke-20 adalah Talcott Parsons. Musthofa (2011) menggambarkan bahwa dengan diterbitkannya bukunya, The Social System (1951) Parsons menjadi tokoh dominan sosiologi Amerika. Kemudian pada 1960-an ia mendapat serangan kaum sayap kiri radikal karena dianggap terlalu konservatif dan teorinya sulit dipahami, namun teorinya kembali dominan pada tahun 1980-an. Meskipun teori ini sempat mengalami kritik tajam (bahkan disebutkan ‘sudah mati’) namun di kalangan banyak sociologist masih terasa mendapat pengaruh yang besar. Dalam perjalanannya, secara evolusioner pemikiran Parsons mengalami perubahan. Seperti dikatakan dalam Ritzer dan Goodman (2008), ada perbedaan penting antara karya awal dan karya yang belakangan. Bagi Parsons, ada empat fungsi penting untuk semua sistem “tindakan”, terkenal dengan skema AGIL. Menurut Parsons, suatu fungsi (function) adalah "kumpulan kegiatan yang ditujukan untuk pemenuhan 35 kebutuhan tertentu atau kebutuhan sistem" (Rocher dalam Ritzer dan Goodman, 2008 dan Poloma, 1979). Menggunakan definisi ini, Parsons yakin bahwa ada empat fungsi penting akan berada pada semua sistem—adaptation (A), goal attainment (G), integration (I), dan latency (L) atau pemeliharaan pola. Secara bersama-sama, keempat imperatif ini dikenal sebagai skema AGIL. Agar tetap bertahan (survive), lanjutnya, suatu sistem harus memiliki empat fungsi ini; dengan penjelasan sebagai berikut: (i) Adaptation (adaptasi): sebuah sistem harus menanggulangi situasi eksternal yang gawat. Sistem harus menyesuaikan diri dengan lingkungan dan menyesuaikan lingkungan itu dengan kebutuhannya. (ii) Goal attainment (pencapaian tujuan): sebuah sistem harus mendefinisikan dan mencapai tujuan utamanya. (iii) Integration (integrasi): sebuah sistem harus mengatur antarhubungan bagian-bagian yang menjadi komponennya. Sistem juga harus mengelola antar-hubungan ketiga fungsi penting lainnya (A-G-L). (iv) Latency (latensi atau pemeliharaan pola): sebuah sistem harus memperlengkapi, memelihara dan memperbaiki, baik motivasi individual maupun pola-pola kultural yang menciptakan dan menopang motivasi. Secara garis besar, Parsons mendesain skema AGIL ini untuk digunakan di semua tingkat sistem teoritisnya. Dalam bahasan tentang empat sistem tindakan, di bawah ini dicontohkan bagaimana cara Parsons menggunakan skema AGIL (Ritzer dan Goodman, 2008). 36 Organisme perilaku adalah sistem tindakan yang melaksanakan fungsi adaptasi dengan menyesuaikan diri dengan dan mengubah lingkungan eksternal. Sistem kepribadian melaksanakan fungsi pencapaian tujuan dengan menetapkan tujuan sistem dan memobilisasi sumber daya yang ada untuk mencapainya. Sistem sosial menanggulangi fungsi integrasi dengan mengendalikan bagian-bagian yang menjadi bagian komponen-komponennya. Terakhir, sistem kultural melaksanakan fungsi pemeliharaan pola dengan menyediakan aktor seperangkat norma dan nilai yang memotivasi mereka untuk bertindak. Parsons mengingatkan, bahwa empat sistem tindakan itu tidak muncul dalam kehidupan nyata, tetapi lebih merupakan peralatan analisis untuk menganalisis kehidupan nyata. Parsons menambahkan, sepenting-pentingnya struktur, lebih penting lagi sistem kultural bagi sistem sosial. Seperti dijelaskan sebelumnya, bahwa sebenarnya sistem kultural berada di puncak sistem tindakan Parsons, dan ia pada tahun 1966 menyebut dirinya “determinis cultural”. Hubungan dan interaksi keempat fungsi secara structural diperlihatkan oleh Parsons dan Platt seperti pada Gambar 1 (Poloma, 2007). Selanjutnya Ritzer dan Goodman (2008) secara lebih rinci menjelaskan keempat sistem tindakan tersebut sebagai berikut: Sistem Sosial. Konsep Parsons tentang sistem sosial berawal pada interaksi tingkat mikro antara ego dan alter-ego yang didefinisikan sebagai bentuk sistem sosial paling mendasar. Ia sedikit sekali mencurahkan perhatian untuk 37 menganalisis tingkat mikro ini, meski ia menyatakan bahwa gambaran sistem interaksi ini tercermin dalam bentuk-bentuk yang lebih kompleks yang dilakukan oleh sistem sosial. Parsons dengan demikian mendefinisikan sistem sosial dengan mengatakan, sistem sosial terdiri dari sejumlah aktoraktor individual yang saling berinteraksi dalam situasi yang sekurangkurangnya mempunyai aspek lingkungan atau fisik, aktor-aktor yang mempunyai motivasi dalam arti mempunyai kecenderungan untuk "mengoptimalkan kepuasan", yang hubungannya dengan situasi mereka didefinisikan dan dimediasi dalam term sistem simbol bersama yang terstruktur secara kultural (Parsons dalam Ritzer dan Goodman, 2008). Definisi ini mencoba menetapkan sistem sosial menurut konsep-konsep kunci dalam karya Parsons—yakni aktor, interaksi, lingkungan, optimalisasi Instrumrental Community Internal Latent patternmaintenance Integration External kepuasan, dan kultur. Adaptation Goalattainment Gambar 1. Struktur dan Interaksi Empat Fungsi AGIL Talcott Parsons (Parsons dan Platt dalam Poloma, 2007: 182) Meski Parsons berkomitmen untuk melihat sistem sosial sebagai 38 sebuah interaksi, namun ia tak-menggunakan interaksi sebagai unit fundamental dalam studi tentang sistem sosial. Ia malah menggunakan status-peran sebagai unit dasar dari sistem. Konsep ini bukan merupakan satu aspek dari aktor atau aspek interaksi, tetapi lebih merupakan komponen struktural dari sistem sosial. Status mengacu pada posisi struktural di dalam sistem sosial, dan peran adalah apa yang dilakukan aktor dalam posisinya itu, dilihat dalam konteks signifikansi fungsionalnya untuk sistem yang lebih luas. Aktor tidak dilihat dari sudut pikiran tindakan, tetapi dilihat tak-lebih dari sebuah kumpulan beberapa status dan peran (sekurang-kurangnya dilihat dari sudut posisi di dalam sistem sosial). Dalam analisisnya tentang sistem sosial, Parsons bukan sematamata strukturalis melainkan juga seorang fungsionalis. Ia menjelaskan sejumlah persyaratan fungsional dari sistem sosial. Pertama, sistem sosial harus terstruktur (ditata) sedemikian rupa sehingga bisa beroperasi dalam hubungan yang harmonis dengan sistem lainnya. Kedua, untuk menjaga kelangsungan hidupnya, sistem sosial harus mendapat dukungan yang diperlukan dari sistem yang lain. Ketiga, sistem sosial harus mampu memenuhi kebutuhan para aktornya dalam proporsi yang signifikan. Keempat, sistem harus mampu melahirkan partisipasi yang memadai dari para anggotanya. Kelima, sistem sosial harus mampu mengendalikan perilaku yang berpotensi mengganggu. Keenam, bila konflik akan menimbulkan kekacauan, itu harus dikendalikan. Ketujuh, untuk kelangsungan hidupnya, sistem sosial memerlukan bahasa. 39 Aktor dan Sistem Sosial. Menurut Parsons, persyaratan kunci bagi terpeliharanya integrasi pola nilai di dalam sistem adalah proses internalisasi dan sosialisasi. Parsons tertarik pada cara mengalihkan norma dan nilai sistem sosial kepada aktor di dalam sistem sosial itu. Dalam proses sosial yang berhasil, norma dan nilai itu diinternalisasikan (internalized); artinya, norma dan nilai itu menjadi bagian dari “kesadaran” aktor. Akibatnya, dalam mengejar kepentingan mereka itu sendiri, aktor sebenarnya mengabdi kepada kepentingan sistem sebagai satu kesatuan. Sekali lagi, perhatian utama Parsons lebih tertuju kepada sistem sebagai satu kesatuan ketimbang pada aktor di dalam sistem— bagaimana cara sistem mengontrol aktor, bukan mempelajari bagaimana cara aktor menciptakan dan memelihara sistem. Masyarakat. Meskipun pemikiran tentang sistem sosial meliputi semua jenis kehidupan kolektif, satu sistem sosial khusus dan yang sangat penting adalah masyarakat, yakni "kolektivitas yang relatif mencukupi kebutuhannya sendiri, anggotanya mampu memenuhi seluruh kebutuhan kolektif dan individualnya dan hidup sepenuhnya di dalam kerangkanya sendiri" (Rocher dalam Ritzer dan Goodman, 2008). Sebagai seorang fungsionalis struktural, Parsons membedakan antara empat struktur atau subsistem dalam masyarakat menurut fungsi (AGIL) yang dilaksanakan masyarakat itu (lihat Gambar 2). 40 Sistem Fidusiari Sistem Ekonomi Komunitas Kemasyarakatan Sistem Pemerintahan Gambar 2. Masyarakat, Subsistemnya, dan Imperatif Fungsionalnya Ekonomi. Ekonomi adalah subsistem yang melaksanakan fungsi masyarakat dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan melalui tenaga kerja, produksi, dan alokasi. Melalui pekerjaan, ekonomi menyesuaikan diri dengan lingkungan kebutuhan masyarakat dan membantu masyarakat menyesuaikan diri dengan realitas eksternal. Pemerintah (polity) atau sistem politik melaksanakan fungsi pencapaian tujuan dengan mengejar tujuan-tujuan kemasyarakatan dan memobilisasi aktor dan sumberdaya untuk mencapai tujuan. Sistem fiduciary (misalnya, di sekolah, keluarga) menangani fungsi pemeliharaan pola (latensi) dengan menyebarkan kultur (norma dan nilai) kepada aktor sehingga aktor menginternalisasikan kultur itu. Terakhir, fungsi integrasi dilaksanakan oleh komunitas kemasyarakatan (contoh, hukum), yang mengkoordinasikan berbagai komponen masyarakat (Parsons dan Platt dalam Ritzer dan Goodman, 2008). Sistem Kultural. Di mata Parsons, kultur adalah kekuatan utama yang mengikat sistem tindakan. Kultur menengahi interaksi antaraktor, menginteraksikan kepribadian, dan menyatukan sistem sosial. Kultur mempunyai kapasitas khusus untuk menjadi komponen sistem yang lain. Jadi, di dalam sistem sosial, sistem diwujudkan dalam 41 norma dan nilai, dan dalam sistem kepribadian ia diinternalisasikan oleh aktor. Namun, sistem kultural tak semata-mata menjadi bagian sistem yang lain; ia juga, mempunyai eksistensi yang terpisah dalam bentuk pengetahuan, simbol-simbol dan gagasangagasan. Aspek-aspek sistem kultural ini tersedia untuk sistem sosial dan sistem personalitas, tetapi tidak menjadi bagian dari kedua sistem itu (Morse; Parsons dan Shils dalam Ritzer dan Goodman, 2008). Sistem Kepribadian. Personalitas tak-hanya dikontrol oleh sistem kultural, tetapi juga oleh sistem sosial. Menurut Pasons, meskipun kandungan utama struktur kepribadian berasal dari sistem sosial dan kultural melalui proses sosialisasi, namun kepribadian menjadi suatu sistem yang independen melalui hubungannya dengan organisme dirinya sendiri dan melalui keunikan pengalaman hidupnya sendiri; kepribadian bukanlah merupakan sebuah epifenomenon semata (Parsons dalam Ritzer dan Goodman, 2008). Dengan demikian, tentulah ia akan diturunkan ke status sekunder di dalam sistem teoritisnya. Personalitas (sistem kepribadian) didefinisikan sebagai sistem orientasi dan motivasi tindakan aktor individual yang terorganisir. Komponen dasarnya adalah “disposisi kebutuhan” yakni unit-unit kebutuhan yang paling penting yang merupakan dorongan hati yang dibentuk oleh lingkungan sosial. Parsons membedakan antara tiga tipe dasar disposisi-kebutuhan. Tipe pertama, memaksa aktor mencari cinta, persetujuan, dan sebagai- 42 nya, dari hubungan sosial mereka. Tipe kedua, meliputi internalisasi nilai yang menyebabkan aktor mengamati berbagai standar kultural. Tipe ketiga, adanya peran yang diharapkan yang menyebabkan aktor memberikan dan menerima respon yang tepat. Organisme behavioral. Meskipun ia memasukkan organisme behavioral (prilaku) sebagai salah satu di antara empat sistem tindakan, Parsons sangat sedikit membicarakannya. Walaupun organisme perilaku itu didasarkan atas konstitusi genetik, organisasinya dipengaruhi oleh proses pengondisian dan pembelajaran yang terjadi selama hidup aktor individual. Organisme biologis jelas merupakan sebuah sistem residual dalam karya Parsons, namun ia dipuji memasukannya sebagai kajian sosiologinya, sebab ia mengantisipasi munculnya minat sosiolog (Turner dalam Ritzer dan Goodman, 2008) terhadap sosiobiologi. Dari keseluruhan paparan teori Parsons, Poloma (2007: 195) menuliskan ringkasannya sebagai berikut: Karya-karya Parsons dari masa awalnya sebagai ahli teori socialaction sampai pada sumbangan-sumbangan utamanya terhadap fungsionalisme, ke karyanya yang sekarang sebagai ahli "teori sistem yang umum", merupakan usaha yang tak berkesudahan guna menghasilkan suatu kesatuan teori. Mengingat hakikat interdisipliner disiplin itu, Parsons dapat disebut sebagai tokoh unggul tak hanya dalam sosiologi tetapi juga dalam ilmu-ilmu perilaku lainnya. 43 Teori Parsons menyatakan bahwa semua sistem yang hidup harus mmmenuhi empat prasyarat-fungsional yaitu: pattern maintenance (L), integration (I), goal attainment (G), dan adaptation, yang disingkat LIGA atau sering juga AGIL. Salah satu sub-kelas dari sistem yang hidup itu ialah sistem-bertindak, termasuk subsistem perilaku, sub-sistem psikologis, subsistem kultural dan sub-sistem sosial. Sub-stem sosial yang paling berswadaya ialah masyarakat, yang berfungsi mengintegrasikan sistem sosial. Fiduciary sistem, komunitas sosial, politik dan ekonomi dilihat sebagai prasyarat-fungsional masyarakat. Parsons juga mengutarakan beberapa asumsi berkenaan dengan masyarakat yang antara lain bahwa (Kinloch dalam Puspitawati, 2009), struktur sosial atau subsistem masyarakat menggambarkan sejumlah fungsi utama yang mendasarinya (struktur mewakili fungsi) atau problem sosial yang mendasarinya. Fungsi-fungsi ini terdiri atas: integrasi (sistem sosial didasarkan pada norma-norma yang mengikat individu dengan masyarakatnya melalui integrasi normatif). Pola pertahanan (sistem budaya, nilai-nilai dan nilai generalisasi), pencapaian tujuan (sistem kepribadian-basis pembedaan), dan adaptasi (organisasi perilaku-basis peran dan sistem ekonomi).