BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Organisasi

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Organisasi sebagai Proses Pengorganisasian
Dalam penelitian terkait organisasi, unsur utama yang perlu diteliti adalah
komunikasi, hal ini didasarkan pada process of organizing theory milik Karl Weick.
Karl Weick memperkenalkan teori pengorganisasian pertama kali pada tahun 1969
dalam bukunya yang berjudul The Social Psychology of Organizing. Teori Weick
merupakan studi klasik organisasi yang sangat berpengaruh lintas disiplin dan dikenal
sebagai salah satu dasar pembahasan komunikasi organisasi (Dunn, 2009). Menurut
teori Weick, organisasi tidak dibentuk dari struktur dan fungsi jabatan melainkan dari
aktivitas-aktivitas komunikasi, oleh karena itu Weick tidak menyebutnya sebagai
organisasi melainkan proses pengorganisasian (Littlejohn & Foss, 2011).
Menurut Weick, proses pengorganisasian tersebut
yang menghasilkan
organisasi. Seperti dikutip Pace & Faules (2005), Weick menggambarkan organisasi
sebagai berikut:
“Bila anda mencari organisasi, anda tidak akan menemukannya. Yang akan anda
temukan adalah sejumlah peristiwa yang terjalin bersama-sama, yang
berlangsung dalam kawasan nyata; urutan-urutan peristiwa tersebut, jalurjalurnya dan pengaturan temponya, merupakan bentuk-bentuk yang sering kali
kita nyatakan secara tidak tepat bila kita membicarakan organisasi”.
Weick (1969) mendefinisikan proses pengorganisasian sebagai ”the resolving of
equivocality in an enacted environment by means of interlocked behaviors embedded in
conditionally related processes” (Miller, 2012). Proses pengorganisasian merupakan
kegiatan pengurangan ketidakpastian dalam lingkungan yang ditetapkan berdasarkan
perilaku bertautan yang melekat sebagai proses pendukung. Pemikiran utama teori ini
adalah organisasi terdapat pada lingkungan informasi yang di dalamnya terjadi perilaku
bertautan antar anggota yang bertujuan untuk mengurangi ketidakpastian. Perilaku
bertautan tersebut adalah komunikasi.
9
10
Gagasan Weick diawali dengan pemahaman bahwa organisasi terbentuk melalui
proses komunikasi yang berlangsung secara terus-menerus antar anggotanya. Proses
yang berlangsung tersebut merupakan double interact atau interaksi ganda karena
perilaku-perilaku yang bertautan antar individu dalam organisasi. Satu perilaku akan
menimbulkan perilaku respons yang kemudian akan direspon kembali sebagai tindak
lanjut. Sebagai contoh, seorang manajer menyampaikan perintah kepada stafnya (aksi),
selanjutnya staf tersebut meminta klarifikasi atas perintah tersebut (interaksi), untuk itu
manajer tersebut kemudian menjelaskan kembali perintahnya secara lebih detail
(interaksi ganda). Weick menyebutnya sebagai proses sense-making, yaitu suatu
tindakan akan diikuti oleh reaksi dan selanjutnya interpretasi atas tindakan tersebut
(Weick, Sutcliffe, & Obstfeld, 2005). Sense-making ini terjadi setiap saat dalam
organisasi dan menentukan fungsi struktur organisasi, dengan demikian organisasi
mampu mengurangi ketidakpastian dan memproses informasi yang bermanfaat untuk
mencapai tujuan organisasi.
Sense-making dalam organisasi untuk mengurangi ketidakpastian informasi
(equivocality) merupakan fokus teori Weick selanjutnya. “People organize in order to
reduce, manage, or remove equivocalities” (Dunn, 2009). Equivocality adalah
ketidakpastian yang dihasilkan dari lingkungan informasi suatu organisasi yang mampu
menimbulkan interpretasi berbeda bagi tiap-tiap individu (Miller, 2012). Segala
informasi di lingkungan sekitar kita bersifat tidak pasti atau ambigu dalam taraf tertentu,
maka terjadilah aktivitas pengorganisasian untuk mengurangi ketidakpastian tersebut
(Littlejohn & Foss, 2011). Ketidakpastian dapat disebabkan oleh adanya perbedaan
antara informasi yang tersedia dengan informasi yang diharapkan (Muhammad, 2007).
Ketidakpastian akan menghambat organisasi dalam memproses informasi yang
dibutuhkan dalam mencapai tujuan akhir. Interaksi komunikasi dalam organisasi
diperlukan untuk menentukan dengan tepat jumlah informasi yang dibutuhkan dalam
upaya mengurangi ketidakpastian.
Berdasarkan teori Weick tersebut dapat disimpulkan bahwa mempelajari
organisasi adalah mempelajari perilaku pengorganisasian, sedangkan inti dari perilaku
tersebut adalah komunikasi. Untuk mengetahui apa yang terjadi dalam organisasi,
penting untuk memeriksa interaksi perilaku diantara anggota organisasi tersebut.
11
Dengan kata lain, untuk meneliti organisasi maka aspek utama yang dilakukan adalah
memeriksa interaksi komunikasi yang terjalin di dalam organisasi. Teori inilah yang
mendasari penelitian Pace & Faules tentang profil komunikasi organisasi yang
dikembangkan menjadi model Organizational Communication Profile (OCP).
2. Komunikasi dalam Organisasi
Keterkaitan antara komunikasi dan organisasi juga muncul dalam pernyataan
Porter & Roberts (dalam Goldhaber, 1976) bahwa “an organization receives its physical
and energic inputs, accomplishes its work goals and interfaces with the environment all
through communicative acts”. Bahkan pada taraf fundamental organisasi mampu
bertahan apabila para anggotanya dapat bertukar informasi dan berkoordinasi satu sama
lain, untuk itu organisasi perlu mengawasi kelancaran komunikasi anggotanya (Downs
& Adrian, 2004).
Dampak komunikasi internal terhadap kinerja organisasi juga dijelaskan dalam
artikel yang dirilis Work Group for Community Health and Development Universitas
Kansas (The Community Tool Box) yang berjudul Promoting Internal Communication
(2012). Terdapat 12 alasan mengenai pentingnya komunikasi internal bagi organisasi
antara lain:
1. Komunikasi internal dapat meningkatkan efektivitas kerja organisasi. Semakin
banyak informasi yang didapatkan dengan cepat oleh anggota maka hubungan
kerja antar anggota organisasi akan semakin baik, kualitas kerja meningkat dan
setiap anggota dapatmemberikan hasil kerja terbaiknya.
2. Komunikasi internal mampu menginformasikan anggota tentang apa yang
terjadi dalam organisasi mereka. Setiap anggota organisasi memiliki kesempatan
yang sama untuk mempersiapkan diri terhadap informasi terbaru baik informasi
yang baik maupun yang buruk.
3. Komunikasi internal membantu organisasi untuk merespon perubahan, situasi
krisis dan lain-lain secara cepat dan efisien.
12
4. Komunikasi internal memudahkan pengambilan tindakan untuk pemecahan
masalah karena tersedianya saluran komunikasi bagi setiap anggota organisasi
untuk menyampaikan ide-ide dan pendapat mereka.
5. Komunikasi internal menciptakan iklim keterbukaan dalam organisasi. Bila
setiap orang merasa memiliki akses terhadap informasi apapun yang dia
inginkan dan butuhkan, dan dapat berbicara kepada siapa saja dalam organisasi
tentang apa saja, hal itu akan membangun hubungan baik antar sesama anggota,
menciptakan kepercayaan,mengurangi kecemburuan dan munculnya isu-isu
tidak penting karena merasa tidak aman.
6. Komunikasi internal menciptakan atmosfir kolegial dan membuat organisasi
sebagai tempat yang menyenangkan untuk bekerja. Komunikasi internal yang
baik memungkinkan penyelesaian masalah antar anggotanya dan tempat kerja
menjadi menyenangkan.
7. Komunikasi internal menciptakan rasa memiliki terhadap organisasi di mana
anggota bekerja dan memberikan semangat kepada semua orang bahwa mereka
bekerja untuk mencapai tujuan yang sama. Kombinasi keterbukaan dan
mudahnya jalur komunikasi antar anggota menyebabkan setiap orang merasa
menjadi bagian dari kesatuan yang kompak dan merasa bahwa semua ide dan
pendapat mereka didengar dan dihargai.
8. Komunikasi internal menciptakan keadilan dan kesetaraan dalam organisasi.
Dengan komunikasi internal yang baik setiap anggota akan merasa bahwa ia
menjadi bagian dari suatu komunitas di mana setiap orang diperlakukan tanpa
perbedaan.
9. Komunikasi internal menunjukkan penghargaan terhadap setiap anggota
organisasi dengan cara menghargai ide-ide dan informasi yang mereka berikan.
10. Komunikasi internal memungkinkan organisasi mengetahui adanya masalah dan
potensi masalah sehingga dapat segera diatasi. Kita tidak akan bisa mengatasi
masalah bila kita tidak pernah mengetahui keberadaannya. Potensi masalah yang
segera dikomunikasikan dapat dicegah agar tidak terjadi.
11. Komunikasi internal
dapat mencegah tersebarnya gosip dengan cara
menyampaikan informasi yang akurat secara terus menerus kepada anggota
organisasi.
13
12. Komunikasi internal meningkatkan kinerja organisasi dengan cara identifikasi
kemungkinan-kemungkinan praktek yang tidak efektif, adanya masalah dan lainlain oleh anggota organisasi, sehingga bisa diatasi dengan cara yang lebih baik.
Dilihat dari keterkaitan dan pentingnya komunikasi dalam organisasi tersebut,
secara interpretif komunikasi organisasi dapat dijelaskan sebagai proses penciptaan
makna atas interaksi yang menciptakan, memelihara, dan mengubah organisasi (Pace &
Faules, 2005). Pemahaman tersebut juga dilandaskan pada teori pengorganisasian
Weick sehingga disepakati bahwa komunikasi tidak hanya sekedar menjadi alat bagi
organisasi, tapi merupakan organisasi itu sendiri. Oleh karena itu, komunikasi dapat
digunakan sebagai tolok ukur untuk meneliti organisasi sekaligus menjadi sarana
perubahan organisasi.
Beberapa ciri umum komunikasi organisasi berdasarkan kesimpulan berbagai
persepsi ahli adalah sebagai berikut: 1) Komunikasi organisasi terjadi dalam suatu
sistem terbuka yang kompleks dan dipengaruhi oleh lingkungan internal dan eksternal;
2) Komunikasi organisasi meliputi pesan dan arus pesan, tujuan, arah dan media; 3)
Komunikasi organisasi meliputi individu, sikap dan perasaan, hubungan dan
keterampilan (Muhammad, 2007). Komunikasi organisasi pada dasarnya terdiri dari dua
dimensi, yaitu: 1) dimensi informasi, yang meliputi konten pesan dan simbol dalam
organisasi, makna dari informasi dan kegunaannya; 2) dimensi interaksi, yang meliputi
proses pengiriman dan pertukaran informasi, pola interaksi dalam organisasi dan
fungsinya (Rogers, 1982). Kedua dimensi tersebut berlangsung terus menerus dalam
organisasi dan lingkungannya sehingga dan membangun efek terhadap organisasi secara
perlahan-lahan.
Dimensi informasi dan interaksi tersebut menjadi dasar bagi para peneliti dalam
menentukan variabel komunikasi dalam organisasi. H. J. Ayres (1972) melakukan
review terhadap sejumlah penelitian tentang komunikasi dalam organisasi dan
menyimpulkan variabel komunikasi apa saja yang dapat digunakan untuk mempelajari
komunikasi dalam organisasi. Dalam review tersebut menunjukkan bahwa terdapat
beberapa variabel komunikasi yang dapat digunakan untuk mengukur efektivitas
komunikasi organisasi, yaitu: 1) communication network atau jaringan komunikasi, 2)
downward communication atau komunikasi kepada bawahan, 3) upward communication
14
atau komunikasi kepada atasan, 4) flow of information atau alur informasi, dan 5)
communicative potential atau potensi komunikasi (Ayres, 1972).
3. Efektivitas Komunikasi Organisasi
Komunikasi organisasi dianggap sebagai faktor penyebab efektif dan tidak
efektifnya kerja fungsional organisasi dan menunjukkan adanya gejala tidak sehatnya
organisasi (Kriyantono, 2006). Seperti diungkapkan Roberts & O‟Reilly (1973) yang
dikutip oleh Goldhaber dalam makalahnya tentang the ICA Communication Audit, yaitu
“One prominent view of organizational communication is that if communications is
bad, an organization is likely to have problems and if it is good, an organization's
performance and overall effectiveness will also be good” (Goldhaber, 1976).
Efektivitas komunikasi organisasi berarti organisasi melaksanakan sistem
komunikasi yang benar, sehingga terjadi kesesuaian antara penyebaran informasi dan
kebutuhan informasi. Ketidaksesuaian yang terjadi pada langkah-langkah pelaksanaan
komunikasi dapat menimbulkan dampak dalam sistem penyebaran informasi organisasi.
Terdapat enam kriteria untuk mengukur efektivitas komunikasi organisasi, terdiri dari:
1) penerima (receiver), yaitu semua orang yang dituju menerima informasi; 2) isi pesan
(content), yaitu semua informasi penting disalurkan; 3) ketepatan waktu (timing), yaitu
ketersediaan informasi saat dibutuhkan; 4) saluran (media), yaitu ketersediaan saluran
untuk menerima informasi; 5) format, yaitu bentuk informasi yang diterima; dan 6)
sumber (source), yaitu informasi yang diterima berasal dari sumber terpercaya
(Hardjana, 2000).
Pace & Faules (2005) menyatakan bahwa keefektifan komunikasi organisasi
dipengaruhi oleh delapan permasalahan komunikasi dalam organisasi, yaitu: 1) persepsi
dan motivasi pegawai; 2) iklim komunikasi organisasi; 3) aliran informasi dalam
organisasi; 4) teknologi informasi dalam organisasi; 5) kekuasaan dan pemberdayaan
dalam organisasi; 6) komunikasi dan gaya kepemimpinan; 7) pembentukan tim dan
kelompok; 8) stres dan konflik dalam komunikasi organisasi. Sedangkan menurut
Downs & Adrian (2004), untuk mengetahui permasalahan dalam komunikasi organisasi
perlu dilakukan langkah-langkah berikut:
15
1. Memeriksa dampak proses aktivitas terhadap komunikasi,
2. Menentukan kecukupan pertukaran informasi,
3. Memeriksa arah saluran informasi,
4. Menilai penggunaan media komunikasi oleh anggota organisasi,
5. Memperhatikan perbedaan dalam fungsi komunikasi,
6. Memeriksa kualitas hubungan komunikasi,
7. Merancang jaringan komunikasi,
8. Memeriksa sistem komunikasi organisasi,
9. Mengaitkan aktivitas komunikasi dengan hasil organisasi,
10. Menghubungkan komunikasi internal dengan strategi organisasi,
11. Menilai dampak teknologi baru dalam kegiatan komunikasi,
12. Terbuka terhadap segala kemungkinan dan hasil.
Berdasarkan permasalahan dan langkah-langkah tersebut dapat dilihat bahwa
efektif tidaknya komunikasi organisasi dipengaruhi oleh banyak aspek antara lain:
kepuasan pegawai terhadap organisasi, iklim komunikasi organisasi, aliran informasi,
kecukupan informasi, penggunaan media komunikasi, kualitas hubungan dan jaringan
komunikasi. Dari seluruh aspek-aspek tersebut kemudian disederhanakan ke dalam lima
kelompok utama yang mempengaruhi komunikasi organisasi (Pace & Faules, 2005),
yaitu sebagai berikut:
a. Kepuasan Pegawai terhadap Organisasi
Kepuasan merupakan konsep standar bagaimana pekerja menilai organisasinya
(Downs & Adrian, 2004). Pace & Faules (2005) menyimpulkan bahwa motivasi
seseorang bekerja adalah kepuasan terhadap organisasinya. Motivasi tersebut
mempengaruhi vitalitas kerja seseorang dalam suatu organisasi. Berdasarkan teori
persepsi tentang motivasi, terdapat empat asumsi utama seseorang dapat menunjukkan
vitalitas kerjanya, yaitu: 1) Seberapa jauh harapan pegawai dipenuhi oleh organisasi; 2)
Persepsi pegawai mengenai peluang mereka dalam organisasi; 3) Persepsi pegawai
mengenai pemenuhan yang diperoleh dari pekerjaan dalam organisasi; dan 4) Persepsi
pegawai mengenai kinerja mereka dalam organisasi (Pace & Faules, 2005). Keputusan
pegawai untuk mencurahkan energi dalam mencapai tujuan organisasi merupakan
kombinasi persepsi atas keempat asumsi tersebut.
16
Persepsi kepuasan pegawai terhadap organisasinya menurut Pace & Faules
(2005) dilihat dari lima aspek, yaitu: 1) kepuasan kerja, 2) kepuasan supervisi, 3)
kepuasan upah dan keuntungan, 4) kepuasan promosi, dan 5) kepuasan rekan sejawat.
Pendapat serupa tentang kepuasan pegawai menurut Coleman (1982) merupakan
respons seseorang sebagai pengaruh terhadap bermacam-macam lingkungan kerja yang
dihadapinya, termasuk di dalamnya respons terhadap komunikasi organisasi, supervisor,
kompensasi, promosi, teman sejawat, kebijaksanaan organisasi dan hubungan
interpersonal dalam organisasi (Muhammad, 2007).
b. Iklim Komunikasi Organisasi
Iklim komunikasi dalam organisasi meliputi persepsi-persepsi mengenai pesan
dan peristiwa yang berhubungan dengan pesan yang terjadi dalam organisasi (Pace &
Faules, 2005). Peristiwa komunikasi termasuk di dalamnya antara lain perilaku
manusia, interaksi antar anggota, harapan-harapan, konflik antarpesona, dan kesempatan
pertumbuhan organisasi. Iklim komunikasi positif dapat mendorong para anggota
organisasi berkomunikasi secara terbuka dan penuh persaudaraan, sedangkan iklim
komunikasi negatif menjadikan anggota organisasi tidak dapat berkomunikasi dengan
terbuka (Muhammad, 2007).
Menurut Poole dalam Pace & Faules (2005), iklim komunikasi menjadi penting
karena konteks organisasi dikaitkan dengan konsep, perasaan, dan harapan anggota
organisasi bahkan menjelaskan perilaku anggota organisasi. Berdasarkan penjelasan
tersebut terlihat kemiripan antara sifat-sifat iklim komunikasi dan konsep budaya
organisasi. Namun Kopelman, Brief, & Guzzo dalam Pace & Faules (2005) melihat
hubungan antara keduanya adalah budaya organisasi sebagai konteks tempat iklim
komunikasi menetap. Dengan kata lain, memahami iklim komunikasi suatu organisasi
dapat membantu memberikan gambaran mengenai budaya organisasi tersebut.
Menurut Pace & Faules (2005), iklim komunikasi diasumsikan berkembang dari
interaksi antara sifat-sifat suatu organisasi dan persepsi individu atas sifat-sifat itu.
Mengutip pendapat Dennis (1974) dalam hal pengukuran iklim komunikasi, penelitian
dilakukan terhadap reaksi-reaksi perseptual anggota organisasi atas sifat-sifat makro
organisasi yang relevan dengan komunikasi dan berguna bagi anggota organisasi.
17
Penelitian Redding (1972) menemukan bahwa iklim komunikasi lebih luas dari persepsi
anggota terhadap kualitas hubungan dan komunikasi dalam organisasi, termasuk di
dalamnya pengaruh dan keterlibatan anggota (Muhammad, 2007). Hasil penelitian
tersebut mengungkap lima dimensi penting dalam iklim komunikasi, yang terdiri dari:
1) Supportiveness atau pemberian dukungan; 2) Partisipasi dalam pembuatan keputusan;
3) Kepercayaan; 4) Keterbukaan; dan 5) Tujuan kinerja yang tinggi.
c. Kepuasan Komunikasi Organisasi
Kepuasan atas komunikasi sering kali disamakan dengan iklim komunikasi,
padahal keduanya berbeda. Kepuasan komunikasi merupakan suatu konsep individu dan
konsep mikro sedangkan iklim komunikasi merupakan konsep makro dan gabungan.
Iklim terdiri dari citra gabungan entitas atau fenomena global seperti komunikasi dan
organisasi, sedangkan kepuasan menggambarkan reaksi afektif individu atas harapan
terhadap komunikasi dalam organisasi (Pace & Faules, 2005). Definisi sederhana dari
Thayer (1968) tentang kepuasan komunikasi adalah “the personal satisfaction inherent
in successfully communicating to someone or in successfully being communicated
with...” (Downs & Adrian, 2004).
Menurut Downs & Adrian (2004) terdapat delapan dimensi dalam kepuasan
komunikasi yang stabil, yaitu sebagai berikut:
1. Kepuasan terhadap iklim komunikasi, sejauh mana komunikasi dalam organisasi
memotivasi dan merangsang para pegawai untuk memenuhi tujuan organisasi
dan berpihak pada organisasi;
2. Kepuasan terhadap komunikasi dengan para penyelia, sejauh mana para penyelia
terbuka pada gagasan, mau mendengarkan dan membantu dalam persoalan
penyelesaian pekerjaan;
3. Kepuasan terhadap integrasi organisasi, sejauh mana para anggota menerima
informasi terbaru tentang lingkungan kerja saat itu;
4. Kepuasan terhadap kualitas media, sejauh mana komunikasi melalui rapat-rapat,
arahan tertulis dan media lainnya cukup tersampaikan kepada para anggota;
18
5. Kepuasan terhadap komunikasi horizontal dan informal, sejauh mana
komunikasi horizontal berjalan cermat dan mengalir bebas termasuk munculnya
informasi melalui desas desus atau selentingan;
6. Kepuasan terhadap perspektif organisasi, sejauh mana informasi menyeluruh
mengenai organisasi diterima anggota secara memadai;
7. Kepuasan terhadap komunikasi ke bawah, sejauh mana bawahan responsif
terhadap komunikasi ke bawah dan mengantisipasi komunikasi ke atas yang
membantu penyelia;
8. Kepuasan terhadap umpan balik, sejauh mana para anggota mengetahui
bagaimana mereka dinilai dan dihargai kinerjanya (Downs & Adrian, 2004; Pace
& Faules, 2005).
Kepuasan merupakan konsep yang berkenaan dengan kenyamanan, sehingga
kepuasan komunikasi dapat diartikan bahwa anggota organisasi merasa nyaman dengan
pesan-pesan, media dan hubungan-hubungan dalam organisasi (Pace & Faules, 2005).
Kenyamanan tersebut tidak berkaitan dengan efektivitas pesan namun lebih kepada
standar penciptaan, penyampaian dan penafsiran pesan. Informasi yang disampaikan
sesuai dengan keinginan anggota organisasi akan menimbulkan kepuasan komunikasi.
d. Informasi dalam Organisasi
Fungsi utama dari komunikasi adalah menyalurkan informasi, yang terkait
dengan tiga aspek yaitu: tipe pesan, waktu, dan muatan (Downs & Adrian, 2004).
Dalam hal ini istilah informasi kemudian digunakan secara bergantian dengan istilah
pesan. Kebutuhan akan informasi dalam organisasi umumnya berkaitan secara langsung
dengan pelaksanaan pekerjaan. Namun demikian, karena komunikasi juga merupakan
aspek utama dalam integrasi organisasi maka informasi yang diinginkan anggota tidak
hanya terkait pelaksanaan tugas masing-masing individu. Dalam hal kebijakan
organisasi misalnya, informasi tersebut dibutuhkan dan disampaikan kepada lebih dari
satu orang bahkan seluruh anggota organisasi, proses ini disebut penyebaran pesan
secara serentak (Pace & Faules, 2005). Dalam proses penyebaran pesan secara serentak
dibutuhkan metode distribusi melalui media komunikasi yang sesuai agar informasi
dapat diterima seluruh anggota organisasi pada waktu yang bersamaan.
19
Selain penyebaran secara serentak, organisasi sering menggunakan proses
penyebaran pesan secara berurutan. Seperti dikemukakan Haney (1962) bahwa
penyampaian pesan secara berurutan merupakan bentuk komunikasi yang utama dan
pasti terjadi dalam organisasi (Pace & Faules, 2005). Proses ini merupakan bentuk
penyebaran diadik, yaitu pesan disampaikan kepada A kemudian B dan selanjutnya C,
dalam serangkaian interaksi dua orang. setiap individu kecuali sumber pesan awalnya
menginterpretasikan
pesan
yang
diterima
dan
kemudian
meneruskan
hasil
interpretasinya kepada orang berikutnya dalam rangkaian proses tersebut. Dalam proses
ini penyebaran informasi berlangsung dalam waktu yang tidak beraturan, pada tempat
dan waktu yang berbeda. Hal tersebut dapat memicu adanya keterlambatan informasi
maupun perbedaan interpretasi pesan.
Dalam penelitian tentang penyebaran informasi dalam organisasi, salah satu
aspek yang dinilai adalah ketepatan pesan. Untuk menganalisis dan mengidentifikasi
pesan, hal-hal yang perlu diketahui antara lain: tujuan pesan, distorsi pesan, isi pesan
sesungguhnya, keakuratan pesan, dan kelebihan pesan (Goldhaber, 1976). Dengan
menganalisis pesan dapat diketahui seberapa banyak item pesan yang dikirimkan dan
diterima oleh anggota organisasi, sekaligus mengidentifikasi sumber informasi yang
digunakan dalam menerima pesan tersebut.
e. Budaya Organisasi
Budaya organisasi merupakan hasil konstruksi makna yang dibangun berulang
kali melalui interaksi antar anggota organisasi, konsep yang sama dengan proses sensemaking. Seperti diungkapkan Gareth Morgan bahwa “shared meaning, shared
understanding, and shared sense-making are all different ways of describing culture”
(Littlejohn & Foss, 2011). Dalam hal ini segala macam interaksi komunikasi dan proses
sense-making merupakan awal terbentuknya budaya organisasi.
Berdasarkan teori Michael Pacanowsky & Nick O‟Donnell-Trujillo (1982) yang
menyatakan bahwa indikator budaya organisasi muncul ketika anggota organisasi
mewujudkan konstruk-konstruk yang relevan, fakta yang disepakati, praktik dan
kegiatan, kisah-kisah, dan ritual, yang merupakan bagian dari pencapaian bersama (Pace
& Faules, 2005; Littlejohn & Foss, 2011). Hal tersebut disepakati oleh Smircich (1983)
20
bahwa untuk mengonstruksi sebuah dunia organisasi maka konsep „struktur‟, „hirarki‟
dan „sumber daya‟ yang sering melekat dalam organisasi seharusnya diterjemahkan ke
dalam istilah-istilah yang digunakan anggota organisasi sehari-hari, seperti disebutkan
oleh Pacanowsky & O‟Donnell-Trujillo.
Gagasan Pacanowsky & O‟Donnell-Trujillo dalam menganalisis budaya
organisasi adalah untuk mengetahui bagaimana budaya dijalankan atau disajikan
melalui komunikasi (Pace & Faules, 2005). Indikator budaya organisasi merupakan
pencapaian sekaligus kinerja yang dicapai secara komunikatif. Pacanowsky &
O‟Donnell-Trujillo menyebutkan lima kategori kinerja komunikatif dalam organisasi,
yaitu: 1) Ritual, yaitu kegiatan yang diulang secara teratur sehingga menjadi rutinitas; 2)
Hasrat, yaitu keinginan pekerja untuk mengubah pekerjaan rutin yang membosankan
menjadi menarik dan merangsang minat; 3) Sosialitas, yaitu penetapan pengertian
bersama tentang kepantasan dan penggunaan aturan sosial dalam organisasi, seperti
norma dan sopan santun; 4) Politik organisasi, yang menciptakan dan menggunakan
pengaruh dan kekuasaan untuk memosisikan diri pada situasi tertentu; dan 5)
Enkulturasi, yaitu proses mengajarkan budaya kepada para anggota organisasi
(Littlejohn & Foss, 2011; Umam, 2012).
Analisis budaya organisasi dapat memberikan gambaran menyeluruh tentang
makna budaya dalam kinerja organisasi, yaitu dengan mendeskripsikan tindakan atau
aktivitas komunikasi yang dilakukan para anggota yang kemudian membentuk makna
diantara mereka. Makna yang terbentuk berdasarkan pengalaman aktivitas sehari-hari
kemudian mempengaruhi persepsi dan penilaian anggota terhadap organisasi. Persepsi
dan penilaian anggota terhadap organisasi juga merupakan ukuran yang sama yang
digunakan untuk menilai kepuasan terhadap organisasi.
4. Audit Komunikasi
Istilah audit komunikasi muncul pertama kali dalam tulisan George Odiorne
dalam artikel berjudul An Application of the Communication Audit (1954), namun pada
tahun 1979 komite International Communication Association (ICA) mematenkannya
sebagai sistem pengukuran komunikasi organisasi bernama ICA Audit yang sudah
21
dikembangkan sejak 1971 dan menjadi pedoman dalam penelitian audit komunikasi.
Audit komunikasi dikembangkan berdasarkan tiga pendekatan utama yaitu: alur
informasi, pesan, dan persepsi atau studi perilaku, sehingga dapat digunakan sebagai
sistem pengukuran yang valid dan dapat diandalkan bagi penelitian komunikasi
organisasi, yang (Goldhaber, 1976). Audit komunikasi merupakan kajian mendalam dan
menyeluruh tentang pelaksanaan sistem komunikasi keorganisasian yang mempunyai
tujuan untuk meningkatkan efektivitas organisasi (Hardjana, 2000).
Pelaksanaan penilaian komunikasi tersebut mempunyai tujuan-tujuan yang
dirangkum oleh Hardjana (2000) ke dalam delapan tujuan pokok audit komunikasi
yaitu: 1) untuk menentukan lokasi adanya kelebihan dan kekurangan muatan informasi;
2) untuk menilai kualitas informasi yang disalurkan dari sumber-sumber informasi; 3)
untuk mengukur kualitas hubungan komunikasi antar individu anggota; 4) untuk
mengenali jaringan-jaringan komunikasi yang aktif dalam komunikasi internal; 5)
mengetahui sumber-sumber kemacetan arus informasi dan penyaring informasi; 6)
mengidentifikasi pengalaman-pengalaman dan peristiwa komunikasi mana yang positif
dan negatif; 7) menggambarkan pola-pola komunikasi yang terjadi antar individu,
dalam kelompok dan organisasi; 8) memberikan rekomendasi mengenai perubahan
maupun perbaikan yang diperlukan berdasarkan hasil analisis audit komunikasi.
Secara pendekatan konseptual audit komunikasi dapat dijelaskan sebagai riset
evaluatif yang digunakan untuk mengukur kinerja komunikasi organisasi, terutama
untuk mengetahui bahwa kegiatan yang dilakukan organisasi adalah benar (doing the
right things). Sedangkan dari perspektif fungsional pemeriksaan komunikasi digunakan
untuk mengetahui efektif atau tidaknya fungsi organisasi yang disebabkan oleh efektif
atau tidak efektifnya komunikasi organisasi (Pace & Faules, 2005).
Model audit komunikasi yang dirancang khusus untuk mengukur efektivitas
komunikasi organisasi diperkenalkan oleh Pace & Faules sejak tahun 1983. Pace &
Faules mengusulkan suatu konsep analisis dan perubahan sistem mengenai komunikasi
organisasi dilengkapi dengan instrumen untuk menganalisis dimensi-dimensi utama
komunikasi dalam organisasi, serta menelaah strategi untuk melakukan perubahan pada
unsur-unsur komunikasi organisasi (Pace & Faules, 2005). Konsep analisis komunikasi
organisasi milik Pace & Faules disebut sebagai model Organizational Communication
22
Profile (OCP) atau Profil Komunikasi Organisasi, yang mendiagnosis delapan variabel
komunikasi organisasi yang mempengaruhi tingkat efektivitas komunikasi organisasi.
Sedangkan metode perubahan sistemnya menggunakan strategi intervensi untuk
perbaikan efektivitas sistem komunikasi. Skema model Profil Komunikasi Organisasi
milik Pace & Faules ini dapat dilihat pada Gambar 2.1 berikut.
Gambar 2.1 Model Organizational Communication Profile (OCP)
Variabel pertama adalah kepuasan organisasi, yaitu persepsi tentang tingkat
kepuasan anggota organisasi terhadap pekerjaan. Persepsi kepuasaan tersebut meliputi
pengukuran terhadap sub variabel berikut: 1) kepuasan kerja, 2) kepuasan supervisi, 3)
kepuasan upah dan keuntungan, 4) kepuasan promosi, dan 5) kepuasan rekan sejawat.
Variabel kedua adalah iklim komunikasi, yaitu persepsi tentang sejauh mana
anggota organisasi merasa bahwa organisasi dapat dipercaya, mendukung, terbuka,
menaruh perhatian, dan secara aktif meminta pendapat serta memberi penghargaan atas
standar kinerja yang baik. Pengukuran variabel ini meliputi beberapa sub variabel yang
terdiri dari: 1) kepercayaan, 2) partisipasi dalam pembuatan keputusan, 3) pemberian
dukungan, 4) keterbukaan komunikasi, dan 5) perhatian terhadap kinerja tinggi.
Variabel ketiga adalah kualitas media, yaitu persepsi anggota organisasi
mengenai efektivitas dan efisiensi dari dokumen tertulis seperti laporan, petunjuk/
pedoman, penerbitan, dan media informasi lainnya yang dihasilkan oleh organisasi.
23
Sedangkan aksesibilitas informasi adalah variabel keempat yang mengukur persepsi
anggota organisasi tentang ketersediaan informasi yang berasal dari berbagai sumber
dalam organisasi.
Variabel kelima adalah penyebaran informasi, yaitu persepsi mengenai jumlah
berbagai informasi dalam organisasi yang diterimaanggota organisasi. Seberapa jauh
pesan disebarkan melalui seluruh organisasi atau siapa yang mengetahui sesuatu perihal
pesan tertentu. Sedangkan variabel keenam yaitu muatan informasi merupakan persepsi
anggota organisasi yang berkaitan dengan tingkat kecukupan informasi, kelebihan
informasi, dan tidak terjangkaunya informasi.
Variabel ketujuh adalah ketepatan pesan, yaitu persepsi anggota organisasi
mengenai jumlah butir informasi yang mereka ketahui tentang suatu pesan tertentu
dibandingkan dengan jumlah butir informasi yang sesungguhnya dalam pesan tersebut.
Terakhir adalah variabel budaya organisasi yang mengukur persepsi anggota organisasi
mengenai nilai kunci dan konsep bersama yang membentuk citra mereka terhadap
organisasi. Analisis variabel ini dapat menghasilkan kategori-kategori seperti: iklim
positif, pengaruh negatif, kualitas keunggulan, potensi pertumbuhan, unsur-unsur
organisasi, kegiatan pendidikan, organisasi kecil dan tidak matang, dan aktif/
mendorong.
Dari
kedelapan
variabel
tersebut,
Pace
&
Faules
(2001)
kemudian
menyederhanakan empat variabel diantaranya ke dalam satu variabel baru yaitu
kepuasan komunikasi. Kepuasan komunikasi adalah persepsi anggota organisasi
terhadap pesan-pesan, media dan hubungan-hubungan dalam organisasi. Kepuasan
komunikasi tersebut meliputi kepuasan anggota terhadap kualitas media, kecukupan
informasi, informasi terkait pekerjaan, kemampuan menyarankan perbaikan, efisiensi
saluran komunikasi ke bawahan, komunikasi antar anggota, informasi organisasi dan
integrasi organisasi (Kriyantono, 2006). Untuk itu empat variabel dalam model
Organizational Communication Profile (OCP) yaitu kualitas media, aksesibilitas
informasi, penyebaran informasi, dan muatan informasi dapat dikelompokkan menjadi
sub-sub variabel dari variabel kepuasan komunikasi.
24
5. Strategi Perbaikan Efektivitas Komunikasi Organisasi
Proses audit komunikasi memang dirancang untuk memeriksa dan mengevaluasi
program komunikasi organisasi, yaitu untuk mengungkap kendala dan kesenjangan
dalam komunikasi efektif, serta memberikan saran perbaikan (Henderson, 2005).
Tujuan akhir dari audit komunikasi adalah memberikan rekomendasi perlunya
perubahan atau perbaikan komunikasi organisasi berdasarkan hasil evaluasi efektivitas
komunikasi. Memperbaiki efektivitas komunikasi organisasi dapat dilakukan melalui
perubahan pada proses organisasi yang makro yaitu komunikasi. Pace & Faules (2005)
merekomendasikan suatu upaya melalui strategi intervensi yang dirancang untuk
mempengaruhi proses komunikasi secara langsung dalam setiap kegiatan dan praktik
komunikasi.
Terdapat empat unsur yang terlibat dalam proses perubahan sistem suatu
organisasi (Pace & Faules, 2005), yaitu:
Kondisi saat ini yang
menimbulkan masalah
Kemungkinan perbaikan
kondisi
Langkah praktis untuk
melakukan perubahan
Biaya melakukan perubahan
Sebelum melaksanakan perubahan dalam organisasi, harus diperhatikan empat
unsur tersebut agar proses perubahan berjalan sesuai tujuan. Langkah pertama adalah
pengenalan terhadap kondisi saat ini dalam organisasi yang berpotensi menimbulkan
masalah. Beckhard dalam Pace & Faules (2005) mengidentifikasi sepuluh kondisi
organisasi yang memerlukan intervensi yaitu sebagai berikut: 1) kebutuhan organisasi
untuk berubah; 2) adanya strategi manajerial; 3) norma-norma budaya; 4) perubahan
struktur dan peranan; 5) penurunan motivasi pegawai; 6) terjadi penggabungan
(merger); 7) iklim organisasi negatif; 8) perbaikan sistem komunikasi; 9) adaptasi
lingkungan baru; dan 10) perencanaan yang lebih baik.
Setelah memetakan kondisi organisasi, langkah selanjutnya adalah menganalisis
faktor-faktor apa saja yang mempunyai kemungkinan untuk diperbaiki atau diubah.
Pace & Faules (1993) mengungkapkan tujuh prinsip-prinsip umum yang menentukan
keberlangsungan organisasi, yaitu apabila masing-masing anggota organisasi mampu:
25
1. Merasa memiliki dan bertanggung jawab pada keseluruhan tugas atau proses;
2. Memiliki keterampilan berganda dan melaksanakan berbagai tugas dengan
kualitas tinggi;
3. Memiliki perasaan otonomi dan mandiri mengenai pekerjaannya;
4. Bekerja secara kooperatif dan berada di lingkungan mendukung;
5. Mendapatkan informasi yang memadai tentang pekerjaannya dan kaitannya
dalam organisasi;
6. Dilibatkan dalam pembuatan keputusan yang mempengaruhi mereka sebagai
bagian dari organisasi;
7. Diakui dan diberi penghargaan atas andil mereka dalam organisasi dan atas nilai
lebih untuk potensi dan pelayanan prima.
Jika teridentifikasi adanya gangguan pada salah satu dari prinsip-prinsip umum tersebut,
maka organisasi harus mempertimbangkan untuk melakukan intervensi yang sesuai
dengan perbaikan yang diperlukan organisasi.
Intervensi adalah langkah ketiga dalam proses perubahan organisasi, yaitu
serangkaian langkah praktis yang ditentukan untuk mengubah atau memperbaiki kondisi
saat ini agar mengurangi masalah dan potensi masalah dalam organisasi. Intervensi
sistem organisasi sendiri didefinisikan sebagai tindakan yang mencampuri kegiatan
harian anggota organisasi secara positif dengan cara mempengaruhi proses-proses
organisasi seperti komunikasi, pemecahan masalah, perencanaan, pembuatan keputusan,
kepemimpinan, budaya organisasi, perubahan struktur terkait aliran kerja, teknologi,
dan hubungan otoritas (Pace & Faules, 2005). Intervensi yang efektif harus meliputi
serangkaian langkah tindakan yang mempengaruhi beberapa proses, hubungan, fungsi,
atau struktur.
Proses dalam organisasi mencakup tiga kategori dasar yaitu sosial, teknis, dan
administratif (Pace & Faules, 2005). Proses sosial adalah cara dan aktivitas anggota
organisasi dalam berhubungan dan berinteraksi satu sama lain. Komunikasi adalah inti
dari proses sosial dalam organisasi. Sedangkan proses teknis merupakan proses
pembentukan output organisasi yang mencakup aktivitas kerja, waktu yang dibutuhkan,
dan kendala yang dihadapi. Komunikasi mempengaruhi lancar dan tidaknya proses
teknis dalam organisasi. Kemudian proses administratif, proses yang meliputi dimensi
26
pendukung bagi proses teknis dan proses sosial seperti sistem personel, sistem
keuangan, dan data kegiatan organisasi. Komunikasi membantu proses administratif
berfungsi bagi penyelenggaraan proses-proses lainnya.
Dalam intervensi dikenal tiga jenis intervensi terhadap sistem dan proses yang
berpusat pada perbaikan sistem komunikasi dan proses komunikasi, yaitu: 1) umpan
balik survei; 2) konsultasi proses; 3) rancangan sistem sosioteknik (Pace & Faules,
2005). Diagnosis dan evaluasi komunikasi organisasi melalui tahap pertama survey
kuesioner audit komunikasi model Organizational Communication Profile (OCP),
merupakan bentuk intervensi yaitu tipe umpan balik survei yang memetakan kondisi
dan permasalahan komunikasi dalam organisasi. Selanjutnya apabila organisasi telah
menemukan sumber dan potensi masalah efektivitas komunikasi di dalamnya maka
intervensi yang dilakukan adalah konsultasi proses.
Konsultasi proses adalah salah satu aktivitas dalam proses pengembangan
organisasi yang bertujuan untuk meningkatkan efektivitas individu dan organisasi.
Dalam proses tersebut dibutuhkan keterampilan sosial dan interpersonal seperti
komunikasi, negosiasi dan persuasi, serta penyelesaian konflik (Schein, 1999). Untuk
itulah organisasi membutuhkan intervensi konsultasi proses. Menurut Schein (1969)
konsultasi proses merupakan seperangkat kegiatan yang dilakukan konsultan untuk
membantu klien (organisasi) dalam mengamati, memahami dan melakukan tindakan
terhadap proses yang berlangsung di lingkungan (organisasi) tersebut. Dengan
konsultasi proses dapat membantu anggota organisasi untuk memahami proses
manusiawi di lingkungan (organisasi) mereka, mendiagnosis sumber kesulitan, dan
membuat penyesuaian dalam proses tersebut agar tercapai peningkatan efektivitas
organisasi (Pace & Faules, 2005). Inti dari konsultasi proses adalah membantu orangorang dalam organisasi agar mereka dapat memperbaiki organisasi. Salah satu caranya
adalah melaksanakan diskusi pembahasan mengenai perbaikan potensi masalah dalam
komunikasi organisasi bersama konsultan atau pihak dari luar organisasi guna
meningkatkan efektivitas komunikasi organisasi. Focus group discussion pada tahap
kedua audit komunikasi model Organizational Communication Profile (OCP)
merupakan pelaksanaan dari konsultasi proses tersebut.
27
B. Penelitian Terdahulu
Penelitian audit komunikasi terhadap organisasi pelayanan publik secara
menyeluruh salah satunya dilakukan oleh Julie K. Henderson (2005) di Family Health
Care Center, pusat layanan kesehatan non-profit yang didanai bersama oleh pemerintah
negara bagian North Dakota dan Minnesota. Penelitian ini menggunakan pendekatan
sistem audit komunikasi dengan teknik pengumpulan data antara lain melalui
wawancara individu, survey, dan analisis isi media.
Melalui wawancara peneliti menggali informasi mengenai letak kelebihan dan
kekurangan muatan informasi dan sarana komunikasi baik formal maupun informal
yang digunakan dalam organisasi. Pertanyaan yang diajukan juga meliputi proses
pengambilan keputusan dan penyelesaian konflik dalam organisasi. wawancara tersebut
dilakukan kepada lima orang perwakilan manajemen Family Health Care Center. Untuk
data yang dikumpulkan melalui survey kuesioner dilakukan dengan dua jenis survey
yaitu internal dan eksternal yang diadaptasi dari kuesioner dalam ICA Audit. Kuesioner
untuk survey internal terdiri dari empat bagian yang berisi pertanyaan mengenai data
responden, kepuasan komunikasi organisasi, pengalaman komunikasi, dan saran bagi
perbaikan sistem komunikasi. Kuesioner ini dibagikan kepada delapan puluh empat
pegawai di Family Health Care Center. Sedangkan survey eksternal dilakukan kepada
dua puluh tiga orang perwakilan publik di luar organisasi. Kuesioner ini berisi
pertanyaan mengenai berbagai pengalaman komunikasi yang dilakukan dengan Family
Health Care Center. Kemudian pengumpulan data penelitian yang ketiga dilengkapi
dengan analisis isi pemberitaan media terkait Family Health Care Center selama satu
tahun terakhir.
Hasil analisis audit komunikasi menunjukkan bahwa terdapat kelemahan dalam
sistem komunikasi internal organisasi di Family Health Care Center. Pertama, terdapat
kesenjangan yang signifikan antara jumlah informasi yang diinginkan dan yang diterima
oleh pegawai, terutama yang bersumber dari manajemen menengah dan manajemen
atas. Kedua, terdapat kendala dan kesulitan bagi pegawai dalam menyelesaikan
pekerjaan yang disebabkan oleh kurangnya informasi mengenai perubahan prosedur dan
kebijakan dari atasan. Yang ketiga, tidak adanya kesepakatan pemahaman dalam
internal organisasi terhadap sistem komunikasi yang berjalan di Family Health Care
28
Center (Henderson, 2005). Menurut Henderson, meskipun audit komunikasi tersebut
telah sukses dilakukan untuk memetakan efektivitas komunikasi organisasi di Family
Health Care Center, namun dibutuhkan audit lanjutan yang bertujuan untuk
mengevaluasi adanya perubahan atau perbaikan dalam organisasi setelah dilakukan
audit komunikasi.
Penelitian audit komunikasi yang lebih spesifik dalam rangka perbaikan saluran
komunikasi organisasi dilakukan oleh Mardi Chalmers, Theresa Liedtka, & Carol
Bednar (2006) pada sebuah perpustakaan universitas yaitu Fullerton‟s Pollak Library,
California State University. Penelitian ini dilakukan oleh pustakawan dan staf internal
perpustakaan dengan menerapkan suatu communication task force (CTF) untuk
memeriksa saluran komunikasi yang berjalan di perpustakaan serta menyusun
rekomendasi untuk mendukung aliran informasi dalam organisasi tersebut. Suatu
instrumen survey dikembangkan untuk mengukur prosedur komunikasi secara
kuantitatif, sekaligus mengetahui persepsi komunikasi organisasi secara kualitatif.
Kuesioner yang dibagikan kepada 67 pustakawan dan staf perpustakaan ini terdiri dari
32 pertanyaan dengan enam diantaranya merupakan pertanyaan terbuka. Selama
penelitian berlangsung, seorang konsultan eksternal dilibatkan untuk menjaga netralitas
dan obyektivitas evaluasi komunikasi.
Analisis kuesioner dijabarkan ke dalam tiga kategori yaitu: perilaku komunikasi
secara umum; persepsi terhadap praktek komunikasi; dan kepuasan terhadap
komunikasi internal perpustakaan. Hasil penelitian menyebutkan bahwa sebesar 80,5
persen responden menunjukkan kepuasan terhadap komunikasi internal perpustakaan
dan sebagian besar merupakan level kepuasan yang tinggi. Pada kategori perilaku
komunikasi umum menunjukkan bahwa 70 persen responden memilih email sebagai
saluran komunikasi yang banyak digunakan. Sedangkan untuk persepsi terhadap
praktek komunikasi menghasilkan 76 persen responden mengaku mendapatkan
informasi dengan dengan cepat di lingkungan kerja masing-masing. Setelah
menganalisis kuesioner kemudian dilakukan focus group discussion untuk membangun
rekomendasi tertentu yang dibutuhkan untuk memperbaiki saluran komunikasi dalam
perpustakaan. Sejumlah 26 rekomendasi berhasil disusun dalam lima kategori yaitu:
peran dan tanggungjawab; penyebaran informasi dan pembuatan keputusan; rapat dan
29
pertemuan; pelatihan dan pembentukan tim; serta penunjukkan tim baru yang
dibutuhkan (Chalmers, Liedtka, & Bednar, 2006).
Penelitian lain tentang komunikasi organisasi pada organisasi pelayanan publik
dengan instrumen audit komunikasi juga dapat dilihat dalam penelitian Jules Carriere &
Christopher Bourque (2008). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan
antara praktek komunikasi internal, kepuasan komunikasi, kepuasan kerja, dan
komitmen organisasi. Riset dilakukan pada sektor pelayanan darurat publik yaitu
layanan ambulans darat perkotaan. Sampel penelitian adalah pegawai paramedis
sejumlah 91 orang (32,5 persen) dari total 280 orang paramedis. Instrumen penelitian
yang digunakan antara lain: kuesioner the ICA Audit Survey, the Communication
Satisfaction Questionnaire (CSQ), the Minnesota Satisfaction Questionnaire, dan the
Affective Organizational Commitment Scale.
Hasil analisis audit menemukan hubungan yang positif dan signifikan antara
praktek komunikasi internal dan kepuasan komunikasi. Interpretasi data kemudian
menyebutkan bahwa praktek komunikasi internal mempengaruhi kepuasan kerja dan
komitmen organisasi dengan syarat adanya kepuasan komunikasi antara pegawai. Hal
ini menunjukkan bahwa kepuasan komunikasi menjembatani hubungan antara: 1)
praktek komunikasi dan kepuasan kerja; 2) praktek komunikasi dan komitmen
organisasi. Dari hasil tersebut peneliti menyimpulkan bahwa pelaksanaan praktek
komunikasi internal yang efektif dan efisien dapat meningkatkan kepuasan kerja dan
komitmen organisasi, dengan demikian rasa frustrasi terhadap organisasi akan
berkurang dan memungkinkan peningkatan kepuasan karir (Carriere & Bourque, 2009).
Posisi Penelitian
Ketiga penelitian audit komunikasi tersebut masing-masing menerapkan
kombinasi berbeda baik dalam teknik pengumpulan data maupun model audit dan
kuesioner yang digunakan. Penelitian Henderson (2005) menggunakan kombinasi tiga
metode yaitu: wawancara individu, survey, dan analisis isi media, dengan jenis
kuesioner yang digunakan adalah the ICA Audit Survey. Lain halnya dengan penelitian
Chalmers, Liedtka, & Bednar (2006) yang menerapkan communication task force
(CTF), yaitu kombinasi metode survey kuesioner dan focus group discussion.
30
Sedangkan penelitian Carriere & Bourque (2009) menggunakan satu metode yaitu
survey dan kuesioner, dengan beberapa jenis kuesioner yaitu the ICA Audit Survey, the
Communication Satisfaction Questionnaire (CSQ), the Minnesota Satisfaction
Questionnaire, dan the Affective Organizational Commitment Scale.
Dalam penelitian audit komunikasi ini, peneliti menggunakan
model
Organizational Communication Profile (OCP) yang dirancang oleh Pace & Faules
untuk mengukur efektivitas komunikasi organisasi. Metode pengumpulan data yang
digunakan adalah survey dengan kuesioner Organizational Communication Profile
(OCP) yang bertujuan untuk memetakan dan menganalisis profil efektivitas komunikasi
organisasi. Selanjutnya dilakukan pengumpulan data dengan focus group discussion
untuk mendiskusikan hasil analisis data perolehan kuesioner sekaligus mengumpulkan
opini dan usulan rekomendasi perbaikan efektivitas komunikasi organisasi.
C. Kerangka Pikir
Kerangka pikir merupakan gambaran dari urutan penelitian dan analisis variabel
komunikasi organisasi dalam audit komunikasi model Organizational Communication
Profile (OCP). Berdasarkan teori pengorganisasian milik Weick, untuk meneliti
organisasi maka aspek utama yang dilihat adalah bagaimana interaksi komunikasi yang
terjalin di dalam organisasi. Apabila komunikasi dalam organisasi berjalan baik maka
performa dan efektivitas organisasi secara keseluruhan juga dapat berjalan dengan baik.
Beberapa permasalahan organisasi yang mempengaruhi efektivitas komunikasi
organisasi yaitu: motivasi pegawai, iklim komunikasi, kepuasan dalam berkomunikasi,
informasi dalam organisasi, dan budaya organisasi. Berangkat dari permasalahan
tersebut Pace & Faules merancang model audit komunikasi yang dapat meneliti
organisasi berdasarkan aktivitas komunikasi di dalamnya, sekaligus menggunakannya
sebagai sarana perbaikan organisasi. Profil efektivitas komunikasi organisasi kemudian
diukur menggunakan lima variabel komunikasi organisasi yaitu: 1) Kepuasan
Organisasi; 2) Iklim Komunikasi; 3) Kepuasan Komunikasi; 4) Ketepatan Pesan; dan 5)
Budaya Organisasi.
31
Kerangka pikir dalam penelitian audit komunikasi tersebut dapat digambarkan
dalam bagan berikut:
Gambar 2.2 Bagan Penelitian Audit Komunikasi Model Organizational Communication
Profile (OCP)
Dalam penelitian audit komunikasi model Organizational Communication
Profile (OCP) ini terdapat lima aspek komunikasi organisasi sebagai variabel penelitian,
yaitu: 1) variabel Kepuasan Organisasi; 2) variabel Iklim Komunikasi; 3) variabel
Kepuasan Komunikasi; 4) variabel Ketepatan Komunikasi; dan 5) variabel Budaya
Organisasi. Tahap pertama, kelima variabel tersebut diteliti secara kuantitatif melalui
survey dengan menggunakan kuesioner Organizational Communication Profile (OCP)
kepada responden yaitu pegawai BPMPT Kota Surakarta. Hasil kuesioner tersebut
dianalisis sesuai dengan metode untuk mendapatkan gambaran profil efektivitas
komunikasi yang berlangsung dalam organisasi dan menjawab pertanyaan penelitian
yang pertama.
Tahap kedua, berdasarkan profil efektivitas komunikasi organisasi tersebut
kemudian diidentifikasi adanya kekurangan maupun potensi masalah yang terdapat
dalam organisasi. Permasalahan yang ditemukan selanjutnya digunakan sebagai pokok
pertanyaan-pertanyaan yang didiskusikan dengan kelompok responden dalam focus
group discussion. Tujuannya adalah mengidentifikasi faktor-faktor komunikasi
organisasi yang kurang efektif dan perlu diperbaiki untuk meningkatkan efektivitas
32
komunikasi organisasi di BPMPT Kota Surakarta. Selanjutnya adalah merumuskan
rekomendasi perbaikan komunikasi organisasi berdasarkan opini dan usulan peserta
diskusi. Rekomendasi perbaikan tersebut dapat menjawab pertanyaan penelitian yang
kedua.
Download