BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Organisasi sebagai Proses Pengorganisasian Dalam penelitian terkait organisasi, unsur utama yang perlu diteliti adalah komunikasi, hal ini didasarkan pada process of organizing theory milik Karl Weick. Karl Weick memperkenalkan teori pengorganisasian pertama kali pada tahun 1969 dalam bukunya yang berjudul The Social Psychology of Organizing. Teori Weick merupakan studi klasik organisasi yang sangat berpengaruh lintas disiplin dan dikenal sebagai salah satu dasar pembahasan komunikasi organisasi (Dunn, 2009). Menurut teori Weick, organisasi tidak dibentuk dari struktur dan fungsi jabatan melainkan dari aktivitas-aktivitas komunikasi, oleh karena itu Weick tidak menyebutnya sebagai organisasi melainkan proses pengorganisasian (Littlejohn & Foss, 2011). Menurut Weick, proses pengorganisasian tersebut yang menghasilkan organisasi. Seperti dikutip Pace & Faules (2005), Weick menggambarkan organisasi sebagai berikut: “Bila anda mencari organisasi, anda tidak akan menemukannya. Yang akan anda temukan adalah sejumlah peristiwa yang terjalin bersama-sama, yang berlangsung dalam kawasan nyata; urutan-urutan peristiwa tersebut, jalurjalurnya dan pengaturan temponya, merupakan bentuk-bentuk yang sering kali kita nyatakan secara tidak tepat bila kita membicarakan organisasi”. Weick (1969) mendefinisikan proses pengorganisasian sebagai ”the resolving of equivocality in an enacted environment by means of interlocked behaviors embedded in conditionally related processes” (Miller, 2012). Proses pengorganisasian merupakan kegiatan pengurangan ketidakpastian dalam lingkungan yang ditetapkan berdasarkan perilaku bertautan yang melekat sebagai proses pendukung. Pemikiran utama teori ini adalah organisasi terdapat pada lingkungan informasi yang di dalamnya terjadi perilaku bertautan antar anggota yang bertujuan untuk mengurangi ketidakpastian. Perilaku bertautan tersebut adalah komunikasi. 9 10 Gagasan Weick diawali dengan pemahaman bahwa organisasi terbentuk melalui proses komunikasi yang berlangsung secara terus-menerus antar anggotanya. Proses yang berlangsung tersebut merupakan double interact atau interaksi ganda karena perilaku-perilaku yang bertautan antar individu dalam organisasi. Satu perilaku akan menimbulkan perilaku respons yang kemudian akan direspon kembali sebagai tindak lanjut. Sebagai contoh, seorang manajer menyampaikan perintah kepada stafnya (aksi), selanjutnya staf tersebut meminta klarifikasi atas perintah tersebut (interaksi), untuk itu manajer tersebut kemudian menjelaskan kembali perintahnya secara lebih detail (interaksi ganda). Weick menyebutnya sebagai proses sense-making, yaitu suatu tindakan akan diikuti oleh reaksi dan selanjutnya interpretasi atas tindakan tersebut (Weick, Sutcliffe, & Obstfeld, 2005). Sense-making ini terjadi setiap saat dalam organisasi dan menentukan fungsi struktur organisasi, dengan demikian organisasi mampu mengurangi ketidakpastian dan memproses informasi yang bermanfaat untuk mencapai tujuan organisasi. Sense-making dalam organisasi untuk mengurangi ketidakpastian informasi (equivocality) merupakan fokus teori Weick selanjutnya. “People organize in order to reduce, manage, or remove equivocalities” (Dunn, 2009). Equivocality adalah ketidakpastian yang dihasilkan dari lingkungan informasi suatu organisasi yang mampu menimbulkan interpretasi berbeda bagi tiap-tiap individu (Miller, 2012). Segala informasi di lingkungan sekitar kita bersifat tidak pasti atau ambigu dalam taraf tertentu, maka terjadilah aktivitas pengorganisasian untuk mengurangi ketidakpastian tersebut (Littlejohn & Foss, 2011). Ketidakpastian dapat disebabkan oleh adanya perbedaan antara informasi yang tersedia dengan informasi yang diharapkan (Muhammad, 2007). Ketidakpastian akan menghambat organisasi dalam memproses informasi yang dibutuhkan dalam mencapai tujuan akhir. Interaksi komunikasi dalam organisasi diperlukan untuk menentukan dengan tepat jumlah informasi yang dibutuhkan dalam upaya mengurangi ketidakpastian. Berdasarkan teori Weick tersebut dapat disimpulkan bahwa mempelajari organisasi adalah mempelajari perilaku pengorganisasian, sedangkan inti dari perilaku tersebut adalah komunikasi. Untuk mengetahui apa yang terjadi dalam organisasi, penting untuk memeriksa interaksi perilaku diantara anggota organisasi tersebut. 11 Dengan kata lain, untuk meneliti organisasi maka aspek utama yang dilakukan adalah memeriksa interaksi komunikasi yang terjalin di dalam organisasi. Teori inilah yang mendasari penelitian Pace & Faules tentang profil komunikasi organisasi yang dikembangkan menjadi model Organizational Communication Profile (OCP). 2. Komunikasi dalam Organisasi Keterkaitan antara komunikasi dan organisasi juga muncul dalam pernyataan Porter & Roberts (dalam Goldhaber, 1976) bahwa “an organization receives its physical and energic inputs, accomplishes its work goals and interfaces with the environment all through communicative acts”. Bahkan pada taraf fundamental organisasi mampu bertahan apabila para anggotanya dapat bertukar informasi dan berkoordinasi satu sama lain, untuk itu organisasi perlu mengawasi kelancaran komunikasi anggotanya (Downs & Adrian, 2004). Dampak komunikasi internal terhadap kinerja organisasi juga dijelaskan dalam artikel yang dirilis Work Group for Community Health and Development Universitas Kansas (The Community Tool Box) yang berjudul Promoting Internal Communication (2012). Terdapat 12 alasan mengenai pentingnya komunikasi internal bagi organisasi antara lain: 1. Komunikasi internal dapat meningkatkan efektivitas kerja organisasi. Semakin banyak informasi yang didapatkan dengan cepat oleh anggota maka hubungan kerja antar anggota organisasi akan semakin baik, kualitas kerja meningkat dan setiap anggota dapatmemberikan hasil kerja terbaiknya. 2. Komunikasi internal mampu menginformasikan anggota tentang apa yang terjadi dalam organisasi mereka. Setiap anggota organisasi memiliki kesempatan yang sama untuk mempersiapkan diri terhadap informasi terbaru baik informasi yang baik maupun yang buruk. 3. Komunikasi internal membantu organisasi untuk merespon perubahan, situasi krisis dan lain-lain secara cepat dan efisien. 12 4. Komunikasi internal memudahkan pengambilan tindakan untuk pemecahan masalah karena tersedianya saluran komunikasi bagi setiap anggota organisasi untuk menyampaikan ide-ide dan pendapat mereka. 5. Komunikasi internal menciptakan iklim keterbukaan dalam organisasi. Bila setiap orang merasa memiliki akses terhadap informasi apapun yang dia inginkan dan butuhkan, dan dapat berbicara kepada siapa saja dalam organisasi tentang apa saja, hal itu akan membangun hubungan baik antar sesama anggota, menciptakan kepercayaan,mengurangi kecemburuan dan munculnya isu-isu tidak penting karena merasa tidak aman. 6. Komunikasi internal menciptakan atmosfir kolegial dan membuat organisasi sebagai tempat yang menyenangkan untuk bekerja. Komunikasi internal yang baik memungkinkan penyelesaian masalah antar anggotanya dan tempat kerja menjadi menyenangkan. 7. Komunikasi internal menciptakan rasa memiliki terhadap organisasi di mana anggota bekerja dan memberikan semangat kepada semua orang bahwa mereka bekerja untuk mencapai tujuan yang sama. Kombinasi keterbukaan dan mudahnya jalur komunikasi antar anggota menyebabkan setiap orang merasa menjadi bagian dari kesatuan yang kompak dan merasa bahwa semua ide dan pendapat mereka didengar dan dihargai. 8. Komunikasi internal menciptakan keadilan dan kesetaraan dalam organisasi. Dengan komunikasi internal yang baik setiap anggota akan merasa bahwa ia menjadi bagian dari suatu komunitas di mana setiap orang diperlakukan tanpa perbedaan. 9. Komunikasi internal menunjukkan penghargaan terhadap setiap anggota organisasi dengan cara menghargai ide-ide dan informasi yang mereka berikan. 10. Komunikasi internal memungkinkan organisasi mengetahui adanya masalah dan potensi masalah sehingga dapat segera diatasi. Kita tidak akan bisa mengatasi masalah bila kita tidak pernah mengetahui keberadaannya. Potensi masalah yang segera dikomunikasikan dapat dicegah agar tidak terjadi. 11. Komunikasi internal dapat mencegah tersebarnya gosip dengan cara menyampaikan informasi yang akurat secara terus menerus kepada anggota organisasi. 13 12. Komunikasi internal meningkatkan kinerja organisasi dengan cara identifikasi kemungkinan-kemungkinan praktek yang tidak efektif, adanya masalah dan lainlain oleh anggota organisasi, sehingga bisa diatasi dengan cara yang lebih baik. Dilihat dari keterkaitan dan pentingnya komunikasi dalam organisasi tersebut, secara interpretif komunikasi organisasi dapat dijelaskan sebagai proses penciptaan makna atas interaksi yang menciptakan, memelihara, dan mengubah organisasi (Pace & Faules, 2005). Pemahaman tersebut juga dilandaskan pada teori pengorganisasian Weick sehingga disepakati bahwa komunikasi tidak hanya sekedar menjadi alat bagi organisasi, tapi merupakan organisasi itu sendiri. Oleh karena itu, komunikasi dapat digunakan sebagai tolok ukur untuk meneliti organisasi sekaligus menjadi sarana perubahan organisasi. Beberapa ciri umum komunikasi organisasi berdasarkan kesimpulan berbagai persepsi ahli adalah sebagai berikut: 1) Komunikasi organisasi terjadi dalam suatu sistem terbuka yang kompleks dan dipengaruhi oleh lingkungan internal dan eksternal; 2) Komunikasi organisasi meliputi pesan dan arus pesan, tujuan, arah dan media; 3) Komunikasi organisasi meliputi individu, sikap dan perasaan, hubungan dan keterampilan (Muhammad, 2007). Komunikasi organisasi pada dasarnya terdiri dari dua dimensi, yaitu: 1) dimensi informasi, yang meliputi konten pesan dan simbol dalam organisasi, makna dari informasi dan kegunaannya; 2) dimensi interaksi, yang meliputi proses pengiriman dan pertukaran informasi, pola interaksi dalam organisasi dan fungsinya (Rogers, 1982). Kedua dimensi tersebut berlangsung terus menerus dalam organisasi dan lingkungannya sehingga dan membangun efek terhadap organisasi secara perlahan-lahan. Dimensi informasi dan interaksi tersebut menjadi dasar bagi para peneliti dalam menentukan variabel komunikasi dalam organisasi. H. J. Ayres (1972) melakukan review terhadap sejumlah penelitian tentang komunikasi dalam organisasi dan menyimpulkan variabel komunikasi apa saja yang dapat digunakan untuk mempelajari komunikasi dalam organisasi. Dalam review tersebut menunjukkan bahwa terdapat beberapa variabel komunikasi yang dapat digunakan untuk mengukur efektivitas komunikasi organisasi, yaitu: 1) communication network atau jaringan komunikasi, 2) downward communication atau komunikasi kepada bawahan, 3) upward communication 14 atau komunikasi kepada atasan, 4) flow of information atau alur informasi, dan 5) communicative potential atau potensi komunikasi (Ayres, 1972). 3. Efektivitas Komunikasi Organisasi Komunikasi organisasi dianggap sebagai faktor penyebab efektif dan tidak efektifnya kerja fungsional organisasi dan menunjukkan adanya gejala tidak sehatnya organisasi (Kriyantono, 2006). Seperti diungkapkan Roberts & O‟Reilly (1973) yang dikutip oleh Goldhaber dalam makalahnya tentang the ICA Communication Audit, yaitu “One prominent view of organizational communication is that if communications is bad, an organization is likely to have problems and if it is good, an organization's performance and overall effectiveness will also be good” (Goldhaber, 1976). Efektivitas komunikasi organisasi berarti organisasi melaksanakan sistem komunikasi yang benar, sehingga terjadi kesesuaian antara penyebaran informasi dan kebutuhan informasi. Ketidaksesuaian yang terjadi pada langkah-langkah pelaksanaan komunikasi dapat menimbulkan dampak dalam sistem penyebaran informasi organisasi. Terdapat enam kriteria untuk mengukur efektivitas komunikasi organisasi, terdiri dari: 1) penerima (receiver), yaitu semua orang yang dituju menerima informasi; 2) isi pesan (content), yaitu semua informasi penting disalurkan; 3) ketepatan waktu (timing), yaitu ketersediaan informasi saat dibutuhkan; 4) saluran (media), yaitu ketersediaan saluran untuk menerima informasi; 5) format, yaitu bentuk informasi yang diterima; dan 6) sumber (source), yaitu informasi yang diterima berasal dari sumber terpercaya (Hardjana, 2000). Pace & Faules (2005) menyatakan bahwa keefektifan komunikasi organisasi dipengaruhi oleh delapan permasalahan komunikasi dalam organisasi, yaitu: 1) persepsi dan motivasi pegawai; 2) iklim komunikasi organisasi; 3) aliran informasi dalam organisasi; 4) teknologi informasi dalam organisasi; 5) kekuasaan dan pemberdayaan dalam organisasi; 6) komunikasi dan gaya kepemimpinan; 7) pembentukan tim dan kelompok; 8) stres dan konflik dalam komunikasi organisasi. Sedangkan menurut Downs & Adrian (2004), untuk mengetahui permasalahan dalam komunikasi organisasi perlu dilakukan langkah-langkah berikut: 15 1. Memeriksa dampak proses aktivitas terhadap komunikasi, 2. Menentukan kecukupan pertukaran informasi, 3. Memeriksa arah saluran informasi, 4. Menilai penggunaan media komunikasi oleh anggota organisasi, 5. Memperhatikan perbedaan dalam fungsi komunikasi, 6. Memeriksa kualitas hubungan komunikasi, 7. Merancang jaringan komunikasi, 8. Memeriksa sistem komunikasi organisasi, 9. Mengaitkan aktivitas komunikasi dengan hasil organisasi, 10. Menghubungkan komunikasi internal dengan strategi organisasi, 11. Menilai dampak teknologi baru dalam kegiatan komunikasi, 12. Terbuka terhadap segala kemungkinan dan hasil. Berdasarkan permasalahan dan langkah-langkah tersebut dapat dilihat bahwa efektif tidaknya komunikasi organisasi dipengaruhi oleh banyak aspek antara lain: kepuasan pegawai terhadap organisasi, iklim komunikasi organisasi, aliran informasi, kecukupan informasi, penggunaan media komunikasi, kualitas hubungan dan jaringan komunikasi. Dari seluruh aspek-aspek tersebut kemudian disederhanakan ke dalam lima kelompok utama yang mempengaruhi komunikasi organisasi (Pace & Faules, 2005), yaitu sebagai berikut: a. Kepuasan Pegawai terhadap Organisasi Kepuasan merupakan konsep standar bagaimana pekerja menilai organisasinya (Downs & Adrian, 2004). Pace & Faules (2005) menyimpulkan bahwa motivasi seseorang bekerja adalah kepuasan terhadap organisasinya. Motivasi tersebut mempengaruhi vitalitas kerja seseorang dalam suatu organisasi. Berdasarkan teori persepsi tentang motivasi, terdapat empat asumsi utama seseorang dapat menunjukkan vitalitas kerjanya, yaitu: 1) Seberapa jauh harapan pegawai dipenuhi oleh organisasi; 2) Persepsi pegawai mengenai peluang mereka dalam organisasi; 3) Persepsi pegawai mengenai pemenuhan yang diperoleh dari pekerjaan dalam organisasi; dan 4) Persepsi pegawai mengenai kinerja mereka dalam organisasi (Pace & Faules, 2005). Keputusan pegawai untuk mencurahkan energi dalam mencapai tujuan organisasi merupakan kombinasi persepsi atas keempat asumsi tersebut. 16 Persepsi kepuasan pegawai terhadap organisasinya menurut Pace & Faules (2005) dilihat dari lima aspek, yaitu: 1) kepuasan kerja, 2) kepuasan supervisi, 3) kepuasan upah dan keuntungan, 4) kepuasan promosi, dan 5) kepuasan rekan sejawat. Pendapat serupa tentang kepuasan pegawai menurut Coleman (1982) merupakan respons seseorang sebagai pengaruh terhadap bermacam-macam lingkungan kerja yang dihadapinya, termasuk di dalamnya respons terhadap komunikasi organisasi, supervisor, kompensasi, promosi, teman sejawat, kebijaksanaan organisasi dan hubungan interpersonal dalam organisasi (Muhammad, 2007). b. Iklim Komunikasi Organisasi Iklim komunikasi dalam organisasi meliputi persepsi-persepsi mengenai pesan dan peristiwa yang berhubungan dengan pesan yang terjadi dalam organisasi (Pace & Faules, 2005). Peristiwa komunikasi termasuk di dalamnya antara lain perilaku manusia, interaksi antar anggota, harapan-harapan, konflik antarpesona, dan kesempatan pertumbuhan organisasi. Iklim komunikasi positif dapat mendorong para anggota organisasi berkomunikasi secara terbuka dan penuh persaudaraan, sedangkan iklim komunikasi negatif menjadikan anggota organisasi tidak dapat berkomunikasi dengan terbuka (Muhammad, 2007). Menurut Poole dalam Pace & Faules (2005), iklim komunikasi menjadi penting karena konteks organisasi dikaitkan dengan konsep, perasaan, dan harapan anggota organisasi bahkan menjelaskan perilaku anggota organisasi. Berdasarkan penjelasan tersebut terlihat kemiripan antara sifat-sifat iklim komunikasi dan konsep budaya organisasi. Namun Kopelman, Brief, & Guzzo dalam Pace & Faules (2005) melihat hubungan antara keduanya adalah budaya organisasi sebagai konteks tempat iklim komunikasi menetap. Dengan kata lain, memahami iklim komunikasi suatu organisasi dapat membantu memberikan gambaran mengenai budaya organisasi tersebut. Menurut Pace & Faules (2005), iklim komunikasi diasumsikan berkembang dari interaksi antara sifat-sifat suatu organisasi dan persepsi individu atas sifat-sifat itu. Mengutip pendapat Dennis (1974) dalam hal pengukuran iklim komunikasi, penelitian dilakukan terhadap reaksi-reaksi perseptual anggota organisasi atas sifat-sifat makro organisasi yang relevan dengan komunikasi dan berguna bagi anggota organisasi. 17 Penelitian Redding (1972) menemukan bahwa iklim komunikasi lebih luas dari persepsi anggota terhadap kualitas hubungan dan komunikasi dalam organisasi, termasuk di dalamnya pengaruh dan keterlibatan anggota (Muhammad, 2007). Hasil penelitian tersebut mengungkap lima dimensi penting dalam iklim komunikasi, yang terdiri dari: 1) Supportiveness atau pemberian dukungan; 2) Partisipasi dalam pembuatan keputusan; 3) Kepercayaan; 4) Keterbukaan; dan 5) Tujuan kinerja yang tinggi. c. Kepuasan Komunikasi Organisasi Kepuasan atas komunikasi sering kali disamakan dengan iklim komunikasi, padahal keduanya berbeda. Kepuasan komunikasi merupakan suatu konsep individu dan konsep mikro sedangkan iklim komunikasi merupakan konsep makro dan gabungan. Iklim terdiri dari citra gabungan entitas atau fenomena global seperti komunikasi dan organisasi, sedangkan kepuasan menggambarkan reaksi afektif individu atas harapan terhadap komunikasi dalam organisasi (Pace & Faules, 2005). Definisi sederhana dari Thayer (1968) tentang kepuasan komunikasi adalah “the personal satisfaction inherent in successfully communicating to someone or in successfully being communicated with...” (Downs & Adrian, 2004). Menurut Downs & Adrian (2004) terdapat delapan dimensi dalam kepuasan komunikasi yang stabil, yaitu sebagai berikut: 1. Kepuasan terhadap iklim komunikasi, sejauh mana komunikasi dalam organisasi memotivasi dan merangsang para pegawai untuk memenuhi tujuan organisasi dan berpihak pada organisasi; 2. Kepuasan terhadap komunikasi dengan para penyelia, sejauh mana para penyelia terbuka pada gagasan, mau mendengarkan dan membantu dalam persoalan penyelesaian pekerjaan; 3. Kepuasan terhadap integrasi organisasi, sejauh mana para anggota menerima informasi terbaru tentang lingkungan kerja saat itu; 4. Kepuasan terhadap kualitas media, sejauh mana komunikasi melalui rapat-rapat, arahan tertulis dan media lainnya cukup tersampaikan kepada para anggota; 18 5. Kepuasan terhadap komunikasi horizontal dan informal, sejauh mana komunikasi horizontal berjalan cermat dan mengalir bebas termasuk munculnya informasi melalui desas desus atau selentingan; 6. Kepuasan terhadap perspektif organisasi, sejauh mana informasi menyeluruh mengenai organisasi diterima anggota secara memadai; 7. Kepuasan terhadap komunikasi ke bawah, sejauh mana bawahan responsif terhadap komunikasi ke bawah dan mengantisipasi komunikasi ke atas yang membantu penyelia; 8. Kepuasan terhadap umpan balik, sejauh mana para anggota mengetahui bagaimana mereka dinilai dan dihargai kinerjanya (Downs & Adrian, 2004; Pace & Faules, 2005). Kepuasan merupakan konsep yang berkenaan dengan kenyamanan, sehingga kepuasan komunikasi dapat diartikan bahwa anggota organisasi merasa nyaman dengan pesan-pesan, media dan hubungan-hubungan dalam organisasi (Pace & Faules, 2005). Kenyamanan tersebut tidak berkaitan dengan efektivitas pesan namun lebih kepada standar penciptaan, penyampaian dan penafsiran pesan. Informasi yang disampaikan sesuai dengan keinginan anggota organisasi akan menimbulkan kepuasan komunikasi. d. Informasi dalam Organisasi Fungsi utama dari komunikasi adalah menyalurkan informasi, yang terkait dengan tiga aspek yaitu: tipe pesan, waktu, dan muatan (Downs & Adrian, 2004). Dalam hal ini istilah informasi kemudian digunakan secara bergantian dengan istilah pesan. Kebutuhan akan informasi dalam organisasi umumnya berkaitan secara langsung dengan pelaksanaan pekerjaan. Namun demikian, karena komunikasi juga merupakan aspek utama dalam integrasi organisasi maka informasi yang diinginkan anggota tidak hanya terkait pelaksanaan tugas masing-masing individu. Dalam hal kebijakan organisasi misalnya, informasi tersebut dibutuhkan dan disampaikan kepada lebih dari satu orang bahkan seluruh anggota organisasi, proses ini disebut penyebaran pesan secara serentak (Pace & Faules, 2005). Dalam proses penyebaran pesan secara serentak dibutuhkan metode distribusi melalui media komunikasi yang sesuai agar informasi dapat diterima seluruh anggota organisasi pada waktu yang bersamaan. 19 Selain penyebaran secara serentak, organisasi sering menggunakan proses penyebaran pesan secara berurutan. Seperti dikemukakan Haney (1962) bahwa penyampaian pesan secara berurutan merupakan bentuk komunikasi yang utama dan pasti terjadi dalam organisasi (Pace & Faules, 2005). Proses ini merupakan bentuk penyebaran diadik, yaitu pesan disampaikan kepada A kemudian B dan selanjutnya C, dalam serangkaian interaksi dua orang. setiap individu kecuali sumber pesan awalnya menginterpretasikan pesan yang diterima dan kemudian meneruskan hasil interpretasinya kepada orang berikutnya dalam rangkaian proses tersebut. Dalam proses ini penyebaran informasi berlangsung dalam waktu yang tidak beraturan, pada tempat dan waktu yang berbeda. Hal tersebut dapat memicu adanya keterlambatan informasi maupun perbedaan interpretasi pesan. Dalam penelitian tentang penyebaran informasi dalam organisasi, salah satu aspek yang dinilai adalah ketepatan pesan. Untuk menganalisis dan mengidentifikasi pesan, hal-hal yang perlu diketahui antara lain: tujuan pesan, distorsi pesan, isi pesan sesungguhnya, keakuratan pesan, dan kelebihan pesan (Goldhaber, 1976). Dengan menganalisis pesan dapat diketahui seberapa banyak item pesan yang dikirimkan dan diterima oleh anggota organisasi, sekaligus mengidentifikasi sumber informasi yang digunakan dalam menerima pesan tersebut. e. Budaya Organisasi Budaya organisasi merupakan hasil konstruksi makna yang dibangun berulang kali melalui interaksi antar anggota organisasi, konsep yang sama dengan proses sensemaking. Seperti diungkapkan Gareth Morgan bahwa “shared meaning, shared understanding, and shared sense-making are all different ways of describing culture” (Littlejohn & Foss, 2011). Dalam hal ini segala macam interaksi komunikasi dan proses sense-making merupakan awal terbentuknya budaya organisasi. Berdasarkan teori Michael Pacanowsky & Nick O‟Donnell-Trujillo (1982) yang menyatakan bahwa indikator budaya organisasi muncul ketika anggota organisasi mewujudkan konstruk-konstruk yang relevan, fakta yang disepakati, praktik dan kegiatan, kisah-kisah, dan ritual, yang merupakan bagian dari pencapaian bersama (Pace & Faules, 2005; Littlejohn & Foss, 2011). Hal tersebut disepakati oleh Smircich (1983) 20 bahwa untuk mengonstruksi sebuah dunia organisasi maka konsep „struktur‟, „hirarki‟ dan „sumber daya‟ yang sering melekat dalam organisasi seharusnya diterjemahkan ke dalam istilah-istilah yang digunakan anggota organisasi sehari-hari, seperti disebutkan oleh Pacanowsky & O‟Donnell-Trujillo. Gagasan Pacanowsky & O‟Donnell-Trujillo dalam menganalisis budaya organisasi adalah untuk mengetahui bagaimana budaya dijalankan atau disajikan melalui komunikasi (Pace & Faules, 2005). Indikator budaya organisasi merupakan pencapaian sekaligus kinerja yang dicapai secara komunikatif. Pacanowsky & O‟Donnell-Trujillo menyebutkan lima kategori kinerja komunikatif dalam organisasi, yaitu: 1) Ritual, yaitu kegiatan yang diulang secara teratur sehingga menjadi rutinitas; 2) Hasrat, yaitu keinginan pekerja untuk mengubah pekerjaan rutin yang membosankan menjadi menarik dan merangsang minat; 3) Sosialitas, yaitu penetapan pengertian bersama tentang kepantasan dan penggunaan aturan sosial dalam organisasi, seperti norma dan sopan santun; 4) Politik organisasi, yang menciptakan dan menggunakan pengaruh dan kekuasaan untuk memosisikan diri pada situasi tertentu; dan 5) Enkulturasi, yaitu proses mengajarkan budaya kepada para anggota organisasi (Littlejohn & Foss, 2011; Umam, 2012). Analisis budaya organisasi dapat memberikan gambaran menyeluruh tentang makna budaya dalam kinerja organisasi, yaitu dengan mendeskripsikan tindakan atau aktivitas komunikasi yang dilakukan para anggota yang kemudian membentuk makna diantara mereka. Makna yang terbentuk berdasarkan pengalaman aktivitas sehari-hari kemudian mempengaruhi persepsi dan penilaian anggota terhadap organisasi. Persepsi dan penilaian anggota terhadap organisasi juga merupakan ukuran yang sama yang digunakan untuk menilai kepuasan terhadap organisasi. 4. Audit Komunikasi Istilah audit komunikasi muncul pertama kali dalam tulisan George Odiorne dalam artikel berjudul An Application of the Communication Audit (1954), namun pada tahun 1979 komite International Communication Association (ICA) mematenkannya sebagai sistem pengukuran komunikasi organisasi bernama ICA Audit yang sudah 21 dikembangkan sejak 1971 dan menjadi pedoman dalam penelitian audit komunikasi. Audit komunikasi dikembangkan berdasarkan tiga pendekatan utama yaitu: alur informasi, pesan, dan persepsi atau studi perilaku, sehingga dapat digunakan sebagai sistem pengukuran yang valid dan dapat diandalkan bagi penelitian komunikasi organisasi, yang (Goldhaber, 1976). Audit komunikasi merupakan kajian mendalam dan menyeluruh tentang pelaksanaan sistem komunikasi keorganisasian yang mempunyai tujuan untuk meningkatkan efektivitas organisasi (Hardjana, 2000). Pelaksanaan penilaian komunikasi tersebut mempunyai tujuan-tujuan yang dirangkum oleh Hardjana (2000) ke dalam delapan tujuan pokok audit komunikasi yaitu: 1) untuk menentukan lokasi adanya kelebihan dan kekurangan muatan informasi; 2) untuk menilai kualitas informasi yang disalurkan dari sumber-sumber informasi; 3) untuk mengukur kualitas hubungan komunikasi antar individu anggota; 4) untuk mengenali jaringan-jaringan komunikasi yang aktif dalam komunikasi internal; 5) mengetahui sumber-sumber kemacetan arus informasi dan penyaring informasi; 6) mengidentifikasi pengalaman-pengalaman dan peristiwa komunikasi mana yang positif dan negatif; 7) menggambarkan pola-pola komunikasi yang terjadi antar individu, dalam kelompok dan organisasi; 8) memberikan rekomendasi mengenai perubahan maupun perbaikan yang diperlukan berdasarkan hasil analisis audit komunikasi. Secara pendekatan konseptual audit komunikasi dapat dijelaskan sebagai riset evaluatif yang digunakan untuk mengukur kinerja komunikasi organisasi, terutama untuk mengetahui bahwa kegiatan yang dilakukan organisasi adalah benar (doing the right things). Sedangkan dari perspektif fungsional pemeriksaan komunikasi digunakan untuk mengetahui efektif atau tidaknya fungsi organisasi yang disebabkan oleh efektif atau tidak efektifnya komunikasi organisasi (Pace & Faules, 2005). Model audit komunikasi yang dirancang khusus untuk mengukur efektivitas komunikasi organisasi diperkenalkan oleh Pace & Faules sejak tahun 1983. Pace & Faules mengusulkan suatu konsep analisis dan perubahan sistem mengenai komunikasi organisasi dilengkapi dengan instrumen untuk menganalisis dimensi-dimensi utama komunikasi dalam organisasi, serta menelaah strategi untuk melakukan perubahan pada unsur-unsur komunikasi organisasi (Pace & Faules, 2005). Konsep analisis komunikasi organisasi milik Pace & Faules disebut sebagai model Organizational Communication 22 Profile (OCP) atau Profil Komunikasi Organisasi, yang mendiagnosis delapan variabel komunikasi organisasi yang mempengaruhi tingkat efektivitas komunikasi organisasi. Sedangkan metode perubahan sistemnya menggunakan strategi intervensi untuk perbaikan efektivitas sistem komunikasi. Skema model Profil Komunikasi Organisasi milik Pace & Faules ini dapat dilihat pada Gambar 2.1 berikut. Gambar 2.1 Model Organizational Communication Profile (OCP) Variabel pertama adalah kepuasan organisasi, yaitu persepsi tentang tingkat kepuasan anggota organisasi terhadap pekerjaan. Persepsi kepuasaan tersebut meliputi pengukuran terhadap sub variabel berikut: 1) kepuasan kerja, 2) kepuasan supervisi, 3) kepuasan upah dan keuntungan, 4) kepuasan promosi, dan 5) kepuasan rekan sejawat. Variabel kedua adalah iklim komunikasi, yaitu persepsi tentang sejauh mana anggota organisasi merasa bahwa organisasi dapat dipercaya, mendukung, terbuka, menaruh perhatian, dan secara aktif meminta pendapat serta memberi penghargaan atas standar kinerja yang baik. Pengukuran variabel ini meliputi beberapa sub variabel yang terdiri dari: 1) kepercayaan, 2) partisipasi dalam pembuatan keputusan, 3) pemberian dukungan, 4) keterbukaan komunikasi, dan 5) perhatian terhadap kinerja tinggi. Variabel ketiga adalah kualitas media, yaitu persepsi anggota organisasi mengenai efektivitas dan efisiensi dari dokumen tertulis seperti laporan, petunjuk/ pedoman, penerbitan, dan media informasi lainnya yang dihasilkan oleh organisasi. 23 Sedangkan aksesibilitas informasi adalah variabel keempat yang mengukur persepsi anggota organisasi tentang ketersediaan informasi yang berasal dari berbagai sumber dalam organisasi. Variabel kelima adalah penyebaran informasi, yaitu persepsi mengenai jumlah berbagai informasi dalam organisasi yang diterimaanggota organisasi. Seberapa jauh pesan disebarkan melalui seluruh organisasi atau siapa yang mengetahui sesuatu perihal pesan tertentu. Sedangkan variabel keenam yaitu muatan informasi merupakan persepsi anggota organisasi yang berkaitan dengan tingkat kecukupan informasi, kelebihan informasi, dan tidak terjangkaunya informasi. Variabel ketujuh adalah ketepatan pesan, yaitu persepsi anggota organisasi mengenai jumlah butir informasi yang mereka ketahui tentang suatu pesan tertentu dibandingkan dengan jumlah butir informasi yang sesungguhnya dalam pesan tersebut. Terakhir adalah variabel budaya organisasi yang mengukur persepsi anggota organisasi mengenai nilai kunci dan konsep bersama yang membentuk citra mereka terhadap organisasi. Analisis variabel ini dapat menghasilkan kategori-kategori seperti: iklim positif, pengaruh negatif, kualitas keunggulan, potensi pertumbuhan, unsur-unsur organisasi, kegiatan pendidikan, organisasi kecil dan tidak matang, dan aktif/ mendorong. Dari kedelapan variabel tersebut, Pace & Faules (2001) kemudian menyederhanakan empat variabel diantaranya ke dalam satu variabel baru yaitu kepuasan komunikasi. Kepuasan komunikasi adalah persepsi anggota organisasi terhadap pesan-pesan, media dan hubungan-hubungan dalam organisasi. Kepuasan komunikasi tersebut meliputi kepuasan anggota terhadap kualitas media, kecukupan informasi, informasi terkait pekerjaan, kemampuan menyarankan perbaikan, efisiensi saluran komunikasi ke bawahan, komunikasi antar anggota, informasi organisasi dan integrasi organisasi (Kriyantono, 2006). Untuk itu empat variabel dalam model Organizational Communication Profile (OCP) yaitu kualitas media, aksesibilitas informasi, penyebaran informasi, dan muatan informasi dapat dikelompokkan menjadi sub-sub variabel dari variabel kepuasan komunikasi. 24 5. Strategi Perbaikan Efektivitas Komunikasi Organisasi Proses audit komunikasi memang dirancang untuk memeriksa dan mengevaluasi program komunikasi organisasi, yaitu untuk mengungkap kendala dan kesenjangan dalam komunikasi efektif, serta memberikan saran perbaikan (Henderson, 2005). Tujuan akhir dari audit komunikasi adalah memberikan rekomendasi perlunya perubahan atau perbaikan komunikasi organisasi berdasarkan hasil evaluasi efektivitas komunikasi. Memperbaiki efektivitas komunikasi organisasi dapat dilakukan melalui perubahan pada proses organisasi yang makro yaitu komunikasi. Pace & Faules (2005) merekomendasikan suatu upaya melalui strategi intervensi yang dirancang untuk mempengaruhi proses komunikasi secara langsung dalam setiap kegiatan dan praktik komunikasi. Terdapat empat unsur yang terlibat dalam proses perubahan sistem suatu organisasi (Pace & Faules, 2005), yaitu: Kondisi saat ini yang menimbulkan masalah Kemungkinan perbaikan kondisi Langkah praktis untuk melakukan perubahan Biaya melakukan perubahan Sebelum melaksanakan perubahan dalam organisasi, harus diperhatikan empat unsur tersebut agar proses perubahan berjalan sesuai tujuan. Langkah pertama adalah pengenalan terhadap kondisi saat ini dalam organisasi yang berpotensi menimbulkan masalah. Beckhard dalam Pace & Faules (2005) mengidentifikasi sepuluh kondisi organisasi yang memerlukan intervensi yaitu sebagai berikut: 1) kebutuhan organisasi untuk berubah; 2) adanya strategi manajerial; 3) norma-norma budaya; 4) perubahan struktur dan peranan; 5) penurunan motivasi pegawai; 6) terjadi penggabungan (merger); 7) iklim organisasi negatif; 8) perbaikan sistem komunikasi; 9) adaptasi lingkungan baru; dan 10) perencanaan yang lebih baik. Setelah memetakan kondisi organisasi, langkah selanjutnya adalah menganalisis faktor-faktor apa saja yang mempunyai kemungkinan untuk diperbaiki atau diubah. Pace & Faules (1993) mengungkapkan tujuh prinsip-prinsip umum yang menentukan keberlangsungan organisasi, yaitu apabila masing-masing anggota organisasi mampu: 25 1. Merasa memiliki dan bertanggung jawab pada keseluruhan tugas atau proses; 2. Memiliki keterampilan berganda dan melaksanakan berbagai tugas dengan kualitas tinggi; 3. Memiliki perasaan otonomi dan mandiri mengenai pekerjaannya; 4. Bekerja secara kooperatif dan berada di lingkungan mendukung; 5. Mendapatkan informasi yang memadai tentang pekerjaannya dan kaitannya dalam organisasi; 6. Dilibatkan dalam pembuatan keputusan yang mempengaruhi mereka sebagai bagian dari organisasi; 7. Diakui dan diberi penghargaan atas andil mereka dalam organisasi dan atas nilai lebih untuk potensi dan pelayanan prima. Jika teridentifikasi adanya gangguan pada salah satu dari prinsip-prinsip umum tersebut, maka organisasi harus mempertimbangkan untuk melakukan intervensi yang sesuai dengan perbaikan yang diperlukan organisasi. Intervensi adalah langkah ketiga dalam proses perubahan organisasi, yaitu serangkaian langkah praktis yang ditentukan untuk mengubah atau memperbaiki kondisi saat ini agar mengurangi masalah dan potensi masalah dalam organisasi. Intervensi sistem organisasi sendiri didefinisikan sebagai tindakan yang mencampuri kegiatan harian anggota organisasi secara positif dengan cara mempengaruhi proses-proses organisasi seperti komunikasi, pemecahan masalah, perencanaan, pembuatan keputusan, kepemimpinan, budaya organisasi, perubahan struktur terkait aliran kerja, teknologi, dan hubungan otoritas (Pace & Faules, 2005). Intervensi yang efektif harus meliputi serangkaian langkah tindakan yang mempengaruhi beberapa proses, hubungan, fungsi, atau struktur. Proses dalam organisasi mencakup tiga kategori dasar yaitu sosial, teknis, dan administratif (Pace & Faules, 2005). Proses sosial adalah cara dan aktivitas anggota organisasi dalam berhubungan dan berinteraksi satu sama lain. Komunikasi adalah inti dari proses sosial dalam organisasi. Sedangkan proses teknis merupakan proses pembentukan output organisasi yang mencakup aktivitas kerja, waktu yang dibutuhkan, dan kendala yang dihadapi. Komunikasi mempengaruhi lancar dan tidaknya proses teknis dalam organisasi. Kemudian proses administratif, proses yang meliputi dimensi 26 pendukung bagi proses teknis dan proses sosial seperti sistem personel, sistem keuangan, dan data kegiatan organisasi. Komunikasi membantu proses administratif berfungsi bagi penyelenggaraan proses-proses lainnya. Dalam intervensi dikenal tiga jenis intervensi terhadap sistem dan proses yang berpusat pada perbaikan sistem komunikasi dan proses komunikasi, yaitu: 1) umpan balik survei; 2) konsultasi proses; 3) rancangan sistem sosioteknik (Pace & Faules, 2005). Diagnosis dan evaluasi komunikasi organisasi melalui tahap pertama survey kuesioner audit komunikasi model Organizational Communication Profile (OCP), merupakan bentuk intervensi yaitu tipe umpan balik survei yang memetakan kondisi dan permasalahan komunikasi dalam organisasi. Selanjutnya apabila organisasi telah menemukan sumber dan potensi masalah efektivitas komunikasi di dalamnya maka intervensi yang dilakukan adalah konsultasi proses. Konsultasi proses adalah salah satu aktivitas dalam proses pengembangan organisasi yang bertujuan untuk meningkatkan efektivitas individu dan organisasi. Dalam proses tersebut dibutuhkan keterampilan sosial dan interpersonal seperti komunikasi, negosiasi dan persuasi, serta penyelesaian konflik (Schein, 1999). Untuk itulah organisasi membutuhkan intervensi konsultasi proses. Menurut Schein (1969) konsultasi proses merupakan seperangkat kegiatan yang dilakukan konsultan untuk membantu klien (organisasi) dalam mengamati, memahami dan melakukan tindakan terhadap proses yang berlangsung di lingkungan (organisasi) tersebut. Dengan konsultasi proses dapat membantu anggota organisasi untuk memahami proses manusiawi di lingkungan (organisasi) mereka, mendiagnosis sumber kesulitan, dan membuat penyesuaian dalam proses tersebut agar tercapai peningkatan efektivitas organisasi (Pace & Faules, 2005). Inti dari konsultasi proses adalah membantu orangorang dalam organisasi agar mereka dapat memperbaiki organisasi. Salah satu caranya adalah melaksanakan diskusi pembahasan mengenai perbaikan potensi masalah dalam komunikasi organisasi bersama konsultan atau pihak dari luar organisasi guna meningkatkan efektivitas komunikasi organisasi. Focus group discussion pada tahap kedua audit komunikasi model Organizational Communication Profile (OCP) merupakan pelaksanaan dari konsultasi proses tersebut. 27 B. Penelitian Terdahulu Penelitian audit komunikasi terhadap organisasi pelayanan publik secara menyeluruh salah satunya dilakukan oleh Julie K. Henderson (2005) di Family Health Care Center, pusat layanan kesehatan non-profit yang didanai bersama oleh pemerintah negara bagian North Dakota dan Minnesota. Penelitian ini menggunakan pendekatan sistem audit komunikasi dengan teknik pengumpulan data antara lain melalui wawancara individu, survey, dan analisis isi media. Melalui wawancara peneliti menggali informasi mengenai letak kelebihan dan kekurangan muatan informasi dan sarana komunikasi baik formal maupun informal yang digunakan dalam organisasi. Pertanyaan yang diajukan juga meliputi proses pengambilan keputusan dan penyelesaian konflik dalam organisasi. wawancara tersebut dilakukan kepada lima orang perwakilan manajemen Family Health Care Center. Untuk data yang dikumpulkan melalui survey kuesioner dilakukan dengan dua jenis survey yaitu internal dan eksternal yang diadaptasi dari kuesioner dalam ICA Audit. Kuesioner untuk survey internal terdiri dari empat bagian yang berisi pertanyaan mengenai data responden, kepuasan komunikasi organisasi, pengalaman komunikasi, dan saran bagi perbaikan sistem komunikasi. Kuesioner ini dibagikan kepada delapan puluh empat pegawai di Family Health Care Center. Sedangkan survey eksternal dilakukan kepada dua puluh tiga orang perwakilan publik di luar organisasi. Kuesioner ini berisi pertanyaan mengenai berbagai pengalaman komunikasi yang dilakukan dengan Family Health Care Center. Kemudian pengumpulan data penelitian yang ketiga dilengkapi dengan analisis isi pemberitaan media terkait Family Health Care Center selama satu tahun terakhir. Hasil analisis audit komunikasi menunjukkan bahwa terdapat kelemahan dalam sistem komunikasi internal organisasi di Family Health Care Center. Pertama, terdapat kesenjangan yang signifikan antara jumlah informasi yang diinginkan dan yang diterima oleh pegawai, terutama yang bersumber dari manajemen menengah dan manajemen atas. Kedua, terdapat kendala dan kesulitan bagi pegawai dalam menyelesaikan pekerjaan yang disebabkan oleh kurangnya informasi mengenai perubahan prosedur dan kebijakan dari atasan. Yang ketiga, tidak adanya kesepakatan pemahaman dalam internal organisasi terhadap sistem komunikasi yang berjalan di Family Health Care 28 Center (Henderson, 2005). Menurut Henderson, meskipun audit komunikasi tersebut telah sukses dilakukan untuk memetakan efektivitas komunikasi organisasi di Family Health Care Center, namun dibutuhkan audit lanjutan yang bertujuan untuk mengevaluasi adanya perubahan atau perbaikan dalam organisasi setelah dilakukan audit komunikasi. Penelitian audit komunikasi yang lebih spesifik dalam rangka perbaikan saluran komunikasi organisasi dilakukan oleh Mardi Chalmers, Theresa Liedtka, & Carol Bednar (2006) pada sebuah perpustakaan universitas yaitu Fullerton‟s Pollak Library, California State University. Penelitian ini dilakukan oleh pustakawan dan staf internal perpustakaan dengan menerapkan suatu communication task force (CTF) untuk memeriksa saluran komunikasi yang berjalan di perpustakaan serta menyusun rekomendasi untuk mendukung aliran informasi dalam organisasi tersebut. Suatu instrumen survey dikembangkan untuk mengukur prosedur komunikasi secara kuantitatif, sekaligus mengetahui persepsi komunikasi organisasi secara kualitatif. Kuesioner yang dibagikan kepada 67 pustakawan dan staf perpustakaan ini terdiri dari 32 pertanyaan dengan enam diantaranya merupakan pertanyaan terbuka. Selama penelitian berlangsung, seorang konsultan eksternal dilibatkan untuk menjaga netralitas dan obyektivitas evaluasi komunikasi. Analisis kuesioner dijabarkan ke dalam tiga kategori yaitu: perilaku komunikasi secara umum; persepsi terhadap praktek komunikasi; dan kepuasan terhadap komunikasi internal perpustakaan. Hasil penelitian menyebutkan bahwa sebesar 80,5 persen responden menunjukkan kepuasan terhadap komunikasi internal perpustakaan dan sebagian besar merupakan level kepuasan yang tinggi. Pada kategori perilaku komunikasi umum menunjukkan bahwa 70 persen responden memilih email sebagai saluran komunikasi yang banyak digunakan. Sedangkan untuk persepsi terhadap praktek komunikasi menghasilkan 76 persen responden mengaku mendapatkan informasi dengan dengan cepat di lingkungan kerja masing-masing. Setelah menganalisis kuesioner kemudian dilakukan focus group discussion untuk membangun rekomendasi tertentu yang dibutuhkan untuk memperbaiki saluran komunikasi dalam perpustakaan. Sejumlah 26 rekomendasi berhasil disusun dalam lima kategori yaitu: peran dan tanggungjawab; penyebaran informasi dan pembuatan keputusan; rapat dan 29 pertemuan; pelatihan dan pembentukan tim; serta penunjukkan tim baru yang dibutuhkan (Chalmers, Liedtka, & Bednar, 2006). Penelitian lain tentang komunikasi organisasi pada organisasi pelayanan publik dengan instrumen audit komunikasi juga dapat dilihat dalam penelitian Jules Carriere & Christopher Bourque (2008). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara praktek komunikasi internal, kepuasan komunikasi, kepuasan kerja, dan komitmen organisasi. Riset dilakukan pada sektor pelayanan darurat publik yaitu layanan ambulans darat perkotaan. Sampel penelitian adalah pegawai paramedis sejumlah 91 orang (32,5 persen) dari total 280 orang paramedis. Instrumen penelitian yang digunakan antara lain: kuesioner the ICA Audit Survey, the Communication Satisfaction Questionnaire (CSQ), the Minnesota Satisfaction Questionnaire, dan the Affective Organizational Commitment Scale. Hasil analisis audit menemukan hubungan yang positif dan signifikan antara praktek komunikasi internal dan kepuasan komunikasi. Interpretasi data kemudian menyebutkan bahwa praktek komunikasi internal mempengaruhi kepuasan kerja dan komitmen organisasi dengan syarat adanya kepuasan komunikasi antara pegawai. Hal ini menunjukkan bahwa kepuasan komunikasi menjembatani hubungan antara: 1) praktek komunikasi dan kepuasan kerja; 2) praktek komunikasi dan komitmen organisasi. Dari hasil tersebut peneliti menyimpulkan bahwa pelaksanaan praktek komunikasi internal yang efektif dan efisien dapat meningkatkan kepuasan kerja dan komitmen organisasi, dengan demikian rasa frustrasi terhadap organisasi akan berkurang dan memungkinkan peningkatan kepuasan karir (Carriere & Bourque, 2009). Posisi Penelitian Ketiga penelitian audit komunikasi tersebut masing-masing menerapkan kombinasi berbeda baik dalam teknik pengumpulan data maupun model audit dan kuesioner yang digunakan. Penelitian Henderson (2005) menggunakan kombinasi tiga metode yaitu: wawancara individu, survey, dan analisis isi media, dengan jenis kuesioner yang digunakan adalah the ICA Audit Survey. Lain halnya dengan penelitian Chalmers, Liedtka, & Bednar (2006) yang menerapkan communication task force (CTF), yaitu kombinasi metode survey kuesioner dan focus group discussion. 30 Sedangkan penelitian Carriere & Bourque (2009) menggunakan satu metode yaitu survey dan kuesioner, dengan beberapa jenis kuesioner yaitu the ICA Audit Survey, the Communication Satisfaction Questionnaire (CSQ), the Minnesota Satisfaction Questionnaire, dan the Affective Organizational Commitment Scale. Dalam penelitian audit komunikasi ini, peneliti menggunakan model Organizational Communication Profile (OCP) yang dirancang oleh Pace & Faules untuk mengukur efektivitas komunikasi organisasi. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah survey dengan kuesioner Organizational Communication Profile (OCP) yang bertujuan untuk memetakan dan menganalisis profil efektivitas komunikasi organisasi. Selanjutnya dilakukan pengumpulan data dengan focus group discussion untuk mendiskusikan hasil analisis data perolehan kuesioner sekaligus mengumpulkan opini dan usulan rekomendasi perbaikan efektivitas komunikasi organisasi. C. Kerangka Pikir Kerangka pikir merupakan gambaran dari urutan penelitian dan analisis variabel komunikasi organisasi dalam audit komunikasi model Organizational Communication Profile (OCP). Berdasarkan teori pengorganisasian milik Weick, untuk meneliti organisasi maka aspek utama yang dilihat adalah bagaimana interaksi komunikasi yang terjalin di dalam organisasi. Apabila komunikasi dalam organisasi berjalan baik maka performa dan efektivitas organisasi secara keseluruhan juga dapat berjalan dengan baik. Beberapa permasalahan organisasi yang mempengaruhi efektivitas komunikasi organisasi yaitu: motivasi pegawai, iklim komunikasi, kepuasan dalam berkomunikasi, informasi dalam organisasi, dan budaya organisasi. Berangkat dari permasalahan tersebut Pace & Faules merancang model audit komunikasi yang dapat meneliti organisasi berdasarkan aktivitas komunikasi di dalamnya, sekaligus menggunakannya sebagai sarana perbaikan organisasi. Profil efektivitas komunikasi organisasi kemudian diukur menggunakan lima variabel komunikasi organisasi yaitu: 1) Kepuasan Organisasi; 2) Iklim Komunikasi; 3) Kepuasan Komunikasi; 4) Ketepatan Pesan; dan 5) Budaya Organisasi. 31 Kerangka pikir dalam penelitian audit komunikasi tersebut dapat digambarkan dalam bagan berikut: Gambar 2.2 Bagan Penelitian Audit Komunikasi Model Organizational Communication Profile (OCP) Dalam penelitian audit komunikasi model Organizational Communication Profile (OCP) ini terdapat lima aspek komunikasi organisasi sebagai variabel penelitian, yaitu: 1) variabel Kepuasan Organisasi; 2) variabel Iklim Komunikasi; 3) variabel Kepuasan Komunikasi; 4) variabel Ketepatan Komunikasi; dan 5) variabel Budaya Organisasi. Tahap pertama, kelima variabel tersebut diteliti secara kuantitatif melalui survey dengan menggunakan kuesioner Organizational Communication Profile (OCP) kepada responden yaitu pegawai BPMPT Kota Surakarta. Hasil kuesioner tersebut dianalisis sesuai dengan metode untuk mendapatkan gambaran profil efektivitas komunikasi yang berlangsung dalam organisasi dan menjawab pertanyaan penelitian yang pertama. Tahap kedua, berdasarkan profil efektivitas komunikasi organisasi tersebut kemudian diidentifikasi adanya kekurangan maupun potensi masalah yang terdapat dalam organisasi. Permasalahan yang ditemukan selanjutnya digunakan sebagai pokok pertanyaan-pertanyaan yang didiskusikan dengan kelompok responden dalam focus group discussion. Tujuannya adalah mengidentifikasi faktor-faktor komunikasi organisasi yang kurang efektif dan perlu diperbaiki untuk meningkatkan efektivitas 32 komunikasi organisasi di BPMPT Kota Surakarta. Selanjutnya adalah merumuskan rekomendasi perbaikan komunikasi organisasi berdasarkan opini dan usulan peserta diskusi. Rekomendasi perbaikan tersebut dapat menjawab pertanyaan penelitian yang kedua.