BAB II LANDASAN TEORI Pada bab ini akan dijelaskan berbagai teori serta penelitian terdahulu yang berkaitan dengan variabel-variabel dalam penelitian. Dalam bab ini berisi kajian pustaka, kerangka pemikiran yang menjadi pondasi penelitian, serta hipotesis penelitian. 2.1 Kajian Pustaka Sub bab ini akan berisi teori-teori serta penelitian terdahulu yang berkaitan dengan variable kontrak psikologis, komitmen afektif serta turnover intention, yang menunjang penelitian ini. 2.1.1 Kontrak Psikologis Bahasan kontrak psikologis dalam penelitian ini mencakup teori pertukaran sosial yang menjadi dasar pembentukan konsep kontrak psikologis, pemahaman kontrak psikologis serta dinamika di dalamnya dan faktor yang mempengaruhinya. 2.1.1.1 Hubungan Kerja Perusahaan – Karyawan Menjaga hubungan positif dengan karyawan adalah perhatian penting untuk organisasi zaman sekarang. Sifat hubungan karyawan-organisasi (employeeorganization relationship) sangat penting untuk keberhasilan suatu perusahaan karena menentukan motivasi dan dedikasi karyawan, keterikatan mereka kepada perusahaan dan komitmen organisasi mereka (Coyle-Shapiro, Taylor, Shore and Tetrick, dalam Aggarwal & Bhargava, 2010). Atribut karyawan ini diperlukan untuk 9 10 meningkatkan posisi kompetitif dan kinerja keuangan perusahaan (Shore, Porter and Zahra, dalam Aggarwal & Bhargava, 2010). Konstruksi dan pemeliharaan komitmen bersama dalam hubungan kerja merupakan indikator penting untuk pergantian karyawan (Meyer & Allen, dalam Hemdi & Rahim, 2011). Perubahan yang terjadi dalam hubungan kerja sebagai dampak dari iklim ekonomi dapat menanamkan kontrak psikologis baru pada mentalitas para karyawan (Baruch and Bozionelos, 2010). Sebagian besar pengelolaan pengembangan karir organisasi yang masih bersifat tradisional menyempitkan fokus manajemen karirnya menjadi ke tingkat individu, sementara organisasi berperan menyediakan peluang pertumbuhan dan perkembangan bagi karyawan (Briscoe and Finkelstein, 2009; Hess and Jepsen, 2009). Hasilnya, karyawan yang baru direkrut mungkin mengadopsi cara berbeda dalam menciptakan kontrak psikologis mereka dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Kewajiban yang dirasakan dan persepsi bagaimana kewajiban-kewajiban tersebut ditukar dengan kontribusi karyawan mempengaruhi aturan utama hubungan antara karyawan dan organisasi yang meliputi komitmen organisasi, organizational citizenship behaviors, kepuasan kerja serta kinerja (Hecher and Grimmer, dalam Stoner, J., Gallagher, V. & Stoner, C., 2011). Coyle-Shapiro, Taylor, Shore, dan Tetrick (dalam Hemdi & Rahim, 2011) membedakan lima perspektif hubungan kerja dan cara membangun kepercayaan. Diantaranya adalah: perspektif pertukaran sosial, perspektif pandangan keadilan, perspektif hubungan industri, perspektif hukum dan perspektif ekonomi. Perspektif pertama adalah pandangan pertukaran sosial, dimana hubungan kerja dipertimbangkan sebagai pertukaran manfaat tangible dan intangible (Coyle- 11 Shapiro dkk., dalam Hemdi & Rahim, 2011). Penekanan pada manfaat intangible (tak berwujud) membedakan perspektif ini dengan perspektif pertukaran ekonomi. Eisenberger, Huntington, Hutchioson, Sowa (dalam Hemdi & Rahim, 2011) berargumen bahwa pemenuhan kebutuhan sosio-emosional yang penting hampir sama dengan pemenuhan kebutuhan individu untuk rasa hormat, peduli dan dukungan dalam hubungan interpersonal. Perspektif lain adalah pandangan keadilan dalam hubungan kerja. Dalam pandangan ini, perspektif keadilan menjelaskan bagaimana individu melihat hubungan pertukaran dalam kaitannya dengan timbal balik yang adil. (Coyle-Shapiro et al., dalam Hemdi & Rahim, 2011). Perspektif ketiga adalah pandangan hubungan kerja dari segi industri. Asumsi utama adalah adanya konflik inheren antara majikan dan karyawan dan perspektif bahwa majikan dan karyawan merupakan pihak kolektif terlibat dalam proses negosiasi terus menerus (Kelly, dalam Hemdi & Rahim, 2011). Pandangan industri cenderung menekankan pada regulasi hubungan pada tingkat nasional, industri dan organisasional. Pandangan hukum cenderung berfokus pada aspek hukum dari hubungan kerja. Bagaimana ekspekstasi dan kewajiban antara individu karyawan dan perusahaan dibenarkan dan dikontrak secara hukum menjadi objek dari perspektif ini. Perspektif terakhir adalah pandangan ekonomi dari hubungan kerja. Karyawan dan perusahaan adalah dua kelompok berbeda yang berusaha memaksimalkan manfaat dalam hubungan kerja (Block, Berg, & Belman, dalam Hemdi & Rahim, 2011). Perusahaan berusaha memaksimalkan profit dan hanya 12 berpartisipasi dalam hubungan kerja tertentu yang meningkatkan daya saing perusahaan. Kelompok karyawan, baik secara kolektif atau pun individu, berusaha memaksimalkan utilitas pengembaliannya dengan terlibat dalam berbagai bentuk partisipasi tenaga kerja tergantung pada upah yang ditawarkan (Coyle-Shapiro et al., dalam Hemdi & Rahim, 2011). Manfaat berwujud lebih ditekankan dalam perspektif ini. 2.1.1.2 Teori Pertukaran Sosial Hubungan karyawan-organisasi pada dasarnya adalah kontrak pertukaran sumberdaya antara dua pihak—karyawan dan perusahaan (Aggarwal & D’Souza, 2012). Homans, dalam teori pertukaran menyajikan kerangka teori pertukaran dalam konteks bagaimana individu berinteraksi dalam kelompok (Coyle-Shapiro & Conway, 2004), yang kemudian dikembangkan oleh Blau (1964). Teori pertukaran sosial menjelaskan bahwa karyawan termotivasi untuk meningkatkan hasil kerja mereka ketika hubungan kerja mereka dibangun di atas pertukaran sosial yang adil (Blau, 1964). Berdasarkan teori pertukaran social tersebut, karyawan yang merasa hal-hal yang dijanjikan pada mereka telah terpenuhi dapat merasa bahwa organisasi telah memperlakukan mereka dengan baik. Akibatnya, karyawan termotivasi untuk membalas tindakan positif organisasi dengan meningkatkan kinerja mereka, karena mereka merasa bahwa hubungan kerja mereka didasarkan pada pertukaran sosial yang adil (Cheung & Chiu, 2004). Dari pernyataan – pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa teori pertukaran sosial menjelaskan bagaimana karyawan bertindak berdasarkan seberapa baik organisasi memenuhi harapan karyawan serta janji-janji yang mereka buat untuk karyawan. 13 2.1.1.3 Pemahaman Psychological Contract Gagasan kontrak psikologis berkaitan erat dengan teori pertukaran sosial. Berdasarkan teori pertukaran sosial, seperti yang dinyatakan Rousseau (dalam Stoner J. S., Gallagher & Stoner C. R., 2011), kontrak psikologis dapat didefinisikan sebagai keyakinan mengenai syarat dan ketentuan pertukaran kesepakatan secara timbal balik antara individu dan organisasi. Sementara itu, Kotter (dalam Aggarwal & D’Souza, 2012) mendefinisikan kontrak psikologis sebagai keyakinan karyawan, yang berdasarkan janji yang diekspresikan, berdasarkan pertukaran kesepakatan antara individu dengan organisasi. Satu yang paling sederhana dari semua, adalah pengertian dari Guest (dalam Lee & Liu, 2009) yang menyatakan bahwa dasarnya, kontrak psikologis merupakan pengharapan timbal balik antara dua pihak. Maka dapat disimpulkan bahwa kontrak psikologis merupakan sebuah filosofi hubungan kerja mengenai pengharapan timbal balik antara karyawan dan organisasi mengenai apa yang menjadi kewajiban dan apa yang akan diberikan sebagai timbal balik satu sama lain. Pembahasan kontrak psikologis dalam penelitian ini berfokus pada teori Rousseau karena definisi dan konseptualisasi yang lebih spesifik pada individu dan persepsi kognitif, yang sesuai dengan framework penelitian ini. Kontrak psikologis muncul ketika karyawan menganggap kontribusinya untuk organisasi membuahkan kewajiban yang harus dibalas organisasi (Guest, dalam Stoner. J, Gallagher & Stoner. C, 2011). Rousseau dan Wade-Benzoni menjelaskan bahwa kontrak psikologis mewakili bagaimana orang-orang menunjukan janji dan komitmen, kedua pihak dalam hubungan kerja yang sama dapat memiliki pandangan yang berbeda (dalam Anvari R., Amin S., Ismail W.K., Ahmad U., Seliman 2011). Kontrak psikologis berisi keyakinan subjektif mengenai kesepakatan pertukaran antara individu dan organisasi atau agen-agen dalam 14 organisasi (Rousseau, dalam Rahim & Hemdi, 2011). Maka dapat dikatakan bahwa tiga sifat yang menggarisbawahi kompleksitas hubungan kontrak psikologis, ialah janji, pertukaran kewajiban, dan subjektivitas, yang mana sejalan dengan kesimpulan Rousseau. (dalam Stoner J., Gallagher V. & Stoner C, 2011). Morrison dan Robinson (dalam Jam, Haq, Azeem, Ali & Fatima, 2011) membagi kontrak psikologis menjadi dua tipe, yaitu kontrak transaksional dan kontrak relasional. Esensi kontrak transaksional adalah harapan untuk membangun hubungan dalam kerangka pertukaran ekonomi dan oleh karena itu hubungan tersebut dibangun tidak dalam bentuk loyalitas dan dalam jangka waktu panjang (Suryanto, 2008). Hubungan dalam kerangka ekonomi dapat dilihat dari jumlah jam kerja yang diberikan pegawai dan upah yang dibayarkan perusahaan. Bentuk kontrak transaksional merujuk pada tugas jangka pendek atau situasi tunggal (Lee & Liu, 2009). Menurut Wen Lee dan Hsiang Liu (2009), kontrak relasional melibatkan loyalitas dan stabilitas, dan pegawai dengan kontrak relasional memiliki keinginan bekerja yang lebih besar, membantu pegawai lainnya dalam bekerja, dan mendukung perubahan dalam organisasi. Zagenczyk, Gibney dkk., (2011) menjabarkan dimensi relasional dan transaksional secara lebih detail. Menurut mereka, dimensi relasional kontrak psikologis mengkhususkan training, pengembangan professional, perlakuan adil dan job security yang diberikan organisasi dalam pertukaran komitmen karyawan dan keinginan mengerjakan tugas di luar job description mereka. Sedangkan dimensi transaksional kontrak psikologis menangkap penyediaan organisasi atas kompensasi yang memadai, kondisi kerja, dan jaminan kerja jangka pendek yang wajar dalam pertukaran untuk pemenuhan kewajiban kontrak kerja karyawan. Restubog dan kawan-kawan (2008) menawarkan perbedaan yang jelas antara jenis kontrak psikologis relasional dan transaksional: kontrak relasional 15 merupakan hal-hal yang berkaitan dengan sosioemosional, sementara kontrak transaksional mewakili kepentingan materi karyawan. Robinson dkk. Millward dan Hopkins (dalam Nelson, Tonks & Weymouth, 2006) menyatakan bahwa aspek transaksional dan relasional saling berhubungan secara berkebalikan; sehingga, “…semakin tinggi orientasi relasional karyawan, semakin rendah orientasi transaksionalnya, dan begitu pun sebaliknya”. Maka dapat disimpulkan bahwa dimensi transaksional dan relasional mewakili kebutuhan material dan sosioemosional karyawan dalam menyusun fenomena kontrak psikologis. Kontrak psikologis bersifat implisit atau tersirat, juga dinamis – karena berkembang dari waktu ke waktu sementara pengalaman terakumulasi, kondisi kerja berubah dan karyawan mengevaluasi kembali harapan mereka. (Armstrong, 2007). Kontrak psikologis diaktifkan sebagian besar melalui pengalaman pra-kerja, praktek perekrutan, dan pada awal sosialisasi pekerjaan (Rousseau, 2011). Berdasarkan pendapat – pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa seiring berjalannya waktu, kontrak psikologis dapat berubah sesuai kondisi kerja, pengalaman dan perusahaan. Seperti yang dinyatakan Michael Armstrong (2007), karyawan mungkin berharap diperlakukan adil sebagai manusia, diberikan pekerjaan yang menggunakan kemampuan mereka, diberikan balas jasa yang setimpal dengan kontribusi mereka, dapat berkembang dan menunjukkan kompetensi, memiliki peluang untuk tumbuh lebih lanjut, mengetahui apa yang diharapkan dari mereka dan diberikan umpan balik mengenai bagaimana pekerjaan mereka, sementara perusahaan mungkin berharap karyawan memberi kinerja terbaik mereka atas nama organisasi (menempatkan kepentingan perushaaan lebih dulu), berkomitmen sepenuhnya terhadap nilai-nilai perusahaan, rela dan loyal, dan meningkatkan kualitas image organisasi di depan pelanggan dan pemasoknya. Dari sini jelas terlihat bahwa masing-masing pihak 16 memiliki kepentingan yang berbeda, yang nantinya berlanjut menjadi aspek-aspek yang ada dalam daftar kontrak psikologis. Hal ini sejalan dengan pernyataan Griffin dan Moorhead (2010) yang menjelaskan konsep dasar hubungan pertukaran dalam kontrak psikologis secara detail melalui ilustrasi kontribusi-dorongan (gambar 2.1.1.) Gambar 2.1.1: Konsep dasar hubungan pertukaran kontrak psikologis Kontribusi dari Karyawan • • • • • • Dorongan dari Organisasi • • • • • • Usaha Kemampuan Loyalitas Keahlian Waktu Kompetensi Gaji Tunjangan Job Security Peluang Karir Status Peluang Promosi (Griffin dan Moorhead, 2010) Individu memberikan beragam kontribusi untuk organisasi—diantaranya usaha, kemampuan, keahlian, waktu dan loyalitas. Sebagai ganti untuk kontribusi tersebut, organisasi memberikan dorongan untuk karyawan. Beberapa dorongan, seperti gaji dan peluang karir, adalah reward berwujud, sedangkan job security dan status, termasuk dalam kategori reward tak berwujud. Www.businessballs.com menciptakan sebuah model yang sangat bermanfaat untuk mengilustrasikan aspek-aspek dan pengaruh-pengaruh krusial dalam teori kontrak psikologis. Sebuah gunung es dikatakan 90% bagiannya tersembunyi di bawah air. Metafora ini sesuai dengan kontrak psikologis, dimana sebagian besar persepsi kontrak tidak tertulis dan tersembunyi, sesuai dengan definisinya. Bagi para pekerja junior dalam organisasi autokratik kuno 'Teori-X', di mana harapan bersama 17 biasanya kurang terlihat dan kurang jelas, mungkin bagian gunung es yang berada di bawah air sekitar 95% atau 99%. Sebaliknya kontrak psikologis antara organisasi yang lebih modern dan maju dengan para karyawannya, terutama staf yang berpengalaman dan sukses serta senior dewasa yang berpengalaman, mungkin akan lebih jelas dipahami dan terlihat, dengan input dan hadiah yang lebih dalam, secara formal disepakati bersama . Disini, gunung es mungkin hanya 60% atau 70% terendam. Angka-angka persentase tersebut tidak ilmiah, hanya menjelaskan cara model bekerja. Gambar 2.1.2: Model kontrak psikologis ‘Gunung Es’ Sumber: www.businessballs.com, 2010 Keterangan: 18 Sisi kiri gunung es = input karyawan (dan kebutuhan organisasi). Sisi kanan gunung es = penghargaan yang diberikan oleh majikan (dan kebutuhan karyawan). Di atas permukaan air: faktor yang sebagian besar terlihat dan disetujui oleh kedua belah pihak. Bekerja (work) | Gaji (pay) = kontrak kerja tertulis yang terlihat jelas. Panah hitam = sebagian besar pengaruh pasar yang kongkrit dan jelas pada pekerjaan dan gaji. Panah merah = gunung es naik dengan kesuksesan, kematangan, pengalaman, dll, (membawa faktor yang dirasakan yang tidak menjadi kontrak yang disepakati secara kongkrit). Bawah permukaan air: faktor yang sebagian besar dirasakan oleh kedua belah pihak dengan berbeda-beda, atau tersembunyi, dan tidak disepakati. Sisi kiri gunung es = contoh input karyawan, yang sama dengan harapan majikan – informal, dirasakan serta tidak tertulis. Sisi kanan gunung es = contoh-contoh penghargaan dari perusahaan dan harapan karyawan. Panah biru = pengaruh pada karyawan dan majikan yang mempengaruhi persepsi, kebanyakan tidak terlihat atau disalahpahami oleh pihak lain. Faktor ‘garis bawah air’ merupakan masalah persepsi sampai / kecuali dibawa keluar dan diklarifikasi. Persepsi dari sudut pandang karyawan biasanya cenderung berbeda dengan persepsi organisasi / agen-agen organisasi dan juga dari bagaimana metode organisasi menilai faktor tersebut. Misalnya karyawan mungkin 19 jauh melebih-lebihkan nilainya / kontribusinya terhadap kinerja organisasi, sedangkan majikan / organisasi mungkin jauh menyepelekan perkiraan stres atau pengikisan keseimbangan hidup yang disebabkan pekerjaan kepada karyawan. Di atas permukaan air—‘kerja dan gaji' – menunjukkan dasar kontrak kerja 'hari kerja yang adil untuk gaji hari kerja yang adil'. Diagram gunung es menunjukkan pertukaran kerja dan bayaran yang paling dasar. Pada kenyataannya sebagian besar pekerja secara resmi bertanggung jawab untuk input lainnya dan secara resmi berhak atas tunjangan di luar gaji, sehingga dalam hal ini gunung es di sini merupakan situasi yang sangat dasar. Tanda panah hitam mewakili pengaruh pasar pada pekerjaan dan gaji, khususnya termasuk situasi kerja, yang jelas, terlihat, dan dikenal. Pengaruhpengaruh ini akan mencakup hal-hal spesifik seperti permintaan pasar tenaga kerja dan ketersediaan orang-orang yang bisa melakukan pekerjaan yang bersangkutan. Hal ini meluas ke tingkat upah dan gaji pasar. Panah merah mewakili kecenderungan gunung es naik dengan kesuksesan dan kematangan dalam pekerjaan, dan dengan keberhasilan dan kematangan organisas perusahaan. Para karyawan yang berpengalaman dan berprestasi lebih matang akan cenderung melihat gunung es mereka menaik sehingga faktor kontrak yang tersembunyi menjadi semakin terlihat, dan ditulis dalam kontrak kerja formal, di atas garis air. Karyawan umumnya ingin gunung es naik. Begitu juga karyawan cerdas dan progresif. Mereka ingin aspek kontrak psikologis yang tak tertulis dan tersembunyi, yang berada di bawah permukaan untuk dapat diaplikasikan, terlihat dan tercantum dalam kontrak formal. Sebuah gunung es yang naik menandakan 20 kontribusi karyawan yang meningkat terhadap kinerja organisasi, yang biasanya dihargai dengan reward dan tunjangan yang lebih dalam. Garis di bawah air—metafora 90% bagian dari gunung es yang berada di bawah permukaan. Ini adalah persepsi tersembunyi yang sangat mempengaruhi interpretasi kontrak psikologis, terutama oleh karyawan, dimana kontrak psikologis sebagian besar merupakan persepsi tersembunyi dan saling tidak jelas. Berbeda dengan gunung es yang lebih banyak bagian permukaannya muncul di atas permukaan, dimana kontrak lebih sehat dan lebih jelas - untuk alasan apapun - maka gunung es mungkin menjadi hanya 60-70% terendam. Dalam organisasi yang kooperatif dan memiliki bagian yang dimiliki karyawan, model gunung es akan cenderung (karena sifat dari model kepemilikan karyawan) sebagian besar berada di atas air, dan bahkan mungkin mengambang. Panah biru merupakan faktor tersembunyi yang mempengaruhi karyawan dan organisasi dan terutama mempengaruhi persepsi dan sikap mereka satu sama lain. Faktor-faktor ini mungkin sangat terlihat dan jelas dipahami oleh satu pihak, tetapi tidak untuk yang lain sampai / kecuali terungkap dan diklarifikasi secara obyektif. Banyak pengaruh tersembunyi yang tidak dipahami dengan baik oleh kedua belah pihak. Banyak juga faktor-faktor tersebut yang berubah secara tak terduga, tetapi banyak juga yang relatif konstan dan dapat dijelaskan dengan mudah. Kedua belah pihak mungkin menganggap pihak lain sudah tahu tentang faktor-faktor ini, atau tidak berhak tahu tentang faktor-faktor ini. Beberapa faktor tersembunyi karena mereka merupakan hal yang sulit untuk dipahami atau diprediksi bagi siapa pun, tetapi banyak juga orang lain yang menjadikannya rahasia, sehingga melahirkan ketidakpercayaan dan perasaan tidak aman. 21 Rousseau (dalam Hemdi & Rahim, 2011) menyatakan bahwa kurangnya pemenuhan aspek kontrak psikologis akan menyebabkan pelanggaran kontrak, dengan perubahan sikap dan perilaku sebagai konsekuensi, dan dapat menyebabkan reaksi emosional yang kuat seperti kemarahan, kebencian dan rasa ketidakadilan. Di sisi lain, Conway dan Binner mengatakan bahwa pemenuhan kontrak psikologis yang sesuai menghasilkan perasaan dihargai, meningkatkan kepercayaan dan membawa pada outcome karyawan dan organisasi yang positif (dalam Cheung & Chiu, 2004). Pendapat tersebut sejalan dengan Cheung & Chiu (2004) yang menjelaskan bahwa karyawan yang menganggap perusahaan telah memenuhi janji-janjinya, akan merasa lebih terlibat dalam organisasi dan mengidentifikasi lebih dekat dengan nilainilainya. Pernyataan - pernyataan tersebut membawa pada satu kesimpulan, yaitu bahwa pemenuhan dan pelanggaran kontrak psikologis membuahkan perubahan persepsi karyawan yang mengarahkan pada perubahan sikap dan perilaku karyawan terhadap organisasi dan pekerjaannya. 2.1.1.4 Pembentukan Psychological Contract Sebagai sebuah kerangka, kontrak psikologis meneliti "apa yang karyawan percaya adalah hak mereka, karena mereka menganggap perusahaan tempat mereka bekerja menyampaikan janji-janji untuk memberikan hal-hal tersebut" (Robinson, dalam Aggarwal & Bhargava, 2010). Sejak awal hubungan kerja, perusahaan secara implisit dan eksplisit menjanjikan sejumlah hal, termasuk dorongan relasional (peluang pengembangan skill) dan dorongan transaksional (kompensasi yang bersaing). Kombinasi keduanya adalah yang membentuk kontrak psikologis (CoyleShapiro and Kessler, dalam dalam Aggarwal & Bhargava, 2010). 22 2.1.1.5 Dimensi Psychological Contract Pengukuran kontrak psikologis dapat ditinjau dari berbagai perspektif, diantaranya perspektif fitur, konten dan evaluasi. Dalam penelitian ini, yang digunakan adalah pengukuran kontrak psikologis dari segi konten, karena sesuai dengan tujuan penelitian yang ingin melihat sejauh mana konten-konten dalam kontrak psikologis tersebut memengaruhi komitmen afektif dan keinginan keluar dari organisasi, Morrison, Rousseau dan Robinson (dalam Haq, Jam, Azeem, Ali dan Fatima, 2011) membagi dimensi kontrak psikologis dari perspektif konten menjadi dua jenis, yaitu: 1. Transaksional Kontrak transaksional menjelaskan hubungan pertukaran ekonomi dengan konsentrasi pada aspek bersifat ekstrinsik, finansial dan fokus sempit. Kontrak jenis ini juga melibatkan pengaturan kerja dengan durasi jangka pendek atau terbatas, terutama berfokus pada pertukaran ekonomi, bersigat spesifik, tugas sempit dan keterlibatan pekerja yang terbatas dalam organisasi. Indikator dimensi kontrak transaksional ini terbagi empat, yaitu: 1) Lingkup sempit: Karyawan hanya wajib mengerjakan tugas-tugas yang tetap atau terbatas, dan melakukan hanya pekerjaan yang ia dibayar untuk itu. Timbal baliknya, perusahaan berkomitmen untuk memberikan karyawan hanya keterlibatan terbatas dalam organisasi, sedikit atau tidak ada pelatihan atau pengembangan karyawan. 23 2) Jangka pendek: Karyawan wajib tetap tinggal dalam perusahaan, dan berkomitmen untuk bekerja hanya untuk waktu yang terbatas. Perusahaan, sebagai gantinya, menawarkan hubungan kerja hanya untuk waktu yang terbatas, dan tidak diwajibkan untuk komitmen masa depan. 2. Relasional Kontrak relasional ini diasosiasikan dengan dimensi interaksi emosional, dengan fokus aspek bersifat intrinsik, non-finansial dan sosio-emosional antara karyawan dan organisasi. Kontrak jenis ini merujuk pada pengaturan terbuka yang berdasarkan pada kepercayaan dan loyalitas timbal balik. Indikator dari dimensi relasional terbagi tiga, yaitu: 1) Stabilitas: Perusahaan telah berkomitmen untuk menawarkan upah yang stabil dan pekerjaan jangka panjang sementara karyawan wajib untuk tetap dengan perusahaan dan melakukan apa yang diperlukan untuk mempertahankan pekerjaan. 2) Kesetiaan: Perusahaan berkomitmen untuk mendukung kesejahteraan dan kepentingan karyawan serta keluarga mereka. Sebagai balasannya, karyawan berkewajiban mendukung perusahaan, mewujudkan loyalitas dan komitmen atas kebutuhan dan kepentingan organisasi serta menjadi warga organisasi (organizational citizen) yang baik. 3) Internal Advancement: Pengembangan karir dalam pasar tenaga kerja internal perusahaan. Karyawan diwajibkan mengembangkan keahlian-keahlian yang dihargai oleh 24 perusahaan. Sementara perusahaan berkomitmen untuk menciptakan peluang pengembangan karir karyawan dalam perusahaan. 4) Dukungan Kinerja Dinamis: Karyawan wajib mencapai tuntutan tujuan yang baru dan meningkat, yang dapat berubah-ubah seiring perkembangan jaman, untuk membantu perusahaan tetap bersaing. Gantinya, perusahaan berkomitmen memberikan pembelajaran berkelanjutan dan membantu karyawan hingga berhasil mengeksekusi persyaratan kinerja yang semakin meningkat. 2.1.2 Affective Commitment Dalam komitmen afektif ini akan dibahas pengertian, karakter dan jenis-jenis komitmen organisasi, serta pemahaman komitmen afektif dan faktor-faktor yang memperngaruhinya. 2.1.2.1 Komitmen Organisasional Komitmen dipertimbangkan sebagai faktor mendasar untuk pengembangan hubungan karyawan-organisasi (Galleta, Portoghese & Battistelli, 2011). Mowday, Porter & Steers (dalam He, Murrmann & Perdue, 2012) mengatakan bahwa komitmen organisasi adalah kekuatan relatif identifikasi dan keterlibatan individu dalam organisasi tertentu. Selain itu, komitmen organisasional dapat didefinisikan sebagai derajat seseorang, mengidentifikasikan dirinya sebagai bagian dari organisasi dan keinginan melanjutkan partisipasi aktif didalamnya (Newstorm dan Davis, dalam Setiawan 2011). 25 Menurut Mowday, Porter dan Steers (1982) (dalam Setiawan 2011) dikatakan bahwa komitmen organisasional terdiri dari tiga komponen atau faktor, yaitu : 1. Keinginan kuat untuk tetap menjadi anggota organisasi 2. Kemauan besar untuk berusaha bagi organisasi, dan 3. Kepercayaan kuat dan penerimaan terhadap nilai dan tujuan organisasi. Ketiga karakteristik ini menunjukkan bahwa komitmen organisasional tidak hanya melibatkan loyalitas pasif terhadap organisasi, tapi juga suatu hubungan aktif dengan organisasi dimana para karyawan mempunyai kemauan untuk membuat suatu kontribusi personal untuk membantu organisasi mencapai kesuksesan. (Cherrington, dalam Setiawan, 2011). Allen dan Meyer (dalam Malik, Waheed & Malik, 2010) berpendapat bahwa komitmen organisasional terbagi menjadi tiga dimensi, yaitu komitmen afektif, normatif dan kelanjutan. Mereka mendefinisikan komitmen afektif sebagai yang didasarkan dari nilai individu, sementara komitmen normatif berdasarkan kewajiban dan komitmen kelanjutan berdasarkan penghitungan biaya dan manfaat. Pembedaan yang sederhana mengenai ketiga dimensi tersebut juga mereka paparkan. Pegawai dengan komitmen afektif yang kuat melanjutkan masa kerjanya di perusahaan karena mereka ingin, pegawai dengan tingkat komitmen normatif yang tinggi merasa mereka harus tetap tinggal dalam perusahaan, dan pegawai dengan kaitan utama terhadap organisasi berdasarkan komitmen kelanjutan, tetap berada dalam perusahaan karena mereka perlu begitu. Komitmen normatif merefleksikan rasa kewajiban moral individu untuk tetap tinggal dalam organisasi. Wiener (dalam Fu, Bolander & Jones, 2009) 26 mendefinisikan komitmen normatif sebagai totalitas tekanan normatif ke dalam diri agar bertindak sesuai tujuan dan kepentingan organisasi. Komitmen kelanjutan didasarkan pada pengakuan biaya individu yang terkait dengan meninggalkan organisasi. Commeiras dan Fournier (dalam Fu, Bolander & Jones, 2009) mengatakan bahwa komitmen kelanjutan merupakan hasil keputusan individu untuk terus bekerja pada suatu organisasi akibat waktu personal dan sumber daya yang telah didedikasikan untuk perusahaan dan akibat biaya pindah tempat kerja. Komitmen afektif merujuk pada ikatan emosi, identifikasi dan keterlibatan karyawan terhadap organisasi. Keyakinan yang kuat dalam, penerimaan tujuan dan nilai-nilai organisasi, kemauan untuk mengerahkan usaha yang dibutuhkan atas nama organisasi dan keinginan kuat untuk mempertahankan keanggotaan dalam organisasi. Ketiga komponen tersebut dirasakan sebagai refleksi kondisi psikologis, dan individu manapun dapat berpengalaman merasakan ketiga komponen komitmen pada derajat yang berbeda-beda (Meyer dan Allen dalam Anvari, Amin dan Seliman, 2010) dalam tingkatan-tingkatan hubungan kerja yang berbeda. Meskipun begitu, affective commitment yang dapat benar-benar memotivasi karyawan untuk ingin berkontribusi dengan penuh pemaknaan untuk perusahaan mereka (He, Murrmann & Perdue, 2012). 2.1.2.2 Pemahaman Affective Commitment Meyer dan Allen (dalam Malik O.F, Waheed & Malik K., 2010) mendefinisikan komitmen afektif sebagai keterkaitan emosional, identifikasi dan keterlibatan karyawan terhadap organisasi. Dari pernyataan tersebut sejalan dengan pendapat Elias (2009) bahwa komitmen afektif bersifat psikologis dan individual. Mengingat segala hal yang bersifat psikologis memengaruhi sikap dan perilaku 27 individu, maka dapat dinyatakan bahwa komitmen afektif memengaruhi sikap dan prilaku karyawan terhadap organisasi, termasuk upaya kerja dan kinerja (Luchak & Gellatly, 2007). Komitmen afektif juga dinyatakan berkaitan secara negatif terhadap niat meninggalkan organisasi, stres di tempat kerja dan turnover (,Alexandrov et al., 2007; Nasr, 2010; Pare & Tremblay, 2007). Pondasi teoritis pembahasan komitmen afektif dalam penelitian ini berfokus pada teori Meyer dan Allen karena definisi dan frameworknya sejalan dengan yang diadopsi dan dipergunakan penelitian ini. Komitmen afektif melengkapi dua jenis komitmen organisasi lainnya dari segi nilai-nilai dasar. Sementara komitmen normatif mengedepankan alasan berupa hal-hal yang berkaitan dengan norma, aturan dan hukum buatan organisasi—yang merupakan aspek-aspek yang bersifat menuntut dan memaksa, dan komitmen kelanjutan mengusung alasan berbau ekonomi yang melibatkan untung rugi jika meninggalkan organisasi, komitmen afektif mengisi ruang paling dasar dalam pemenuhan komitmen organisasi melalui identifikasi dan nilai-nilai yang mendasari segala sikap dan perilaku dari organisasi. Meyer dan Allen membedakan pemahaman komitmen afektif dengan komitmen normatif dan komitmen kelanjutan dengan lebih sederhana, yaitu: Komitmen normatif merefleksikan perasaan berkewajiban untuk melanjutkan hubungan kerja, sehingga karyawan yang memiliki derajat komitmen normatif yang tinggi merasa mereka harus tetap tinggal dalam perusahaan. Komitmen kelanjutan mengarah pada kesadaran akan biaya yang akan timbul jika karyawan keluar, sehingga karyawan dengan tingkat komitmen kelanjutan yang tinggi melanjutkan hubungan kerja karena merasa perlu begitu. Sementara komitmen afektif yang melibatkan keterkaitan emosional, identifikasi dan keterlibatan dalam perusahaan, 28 menghasilkan karyawan dengan komitmen afektif yang kuat melanjutkan hubungan kerja dengan perusahaan karena mereka ingin.” Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa komitmen afektif merupakan pondasi paling dasar untuk membangun komitmen organisasi. Hal ini sejalan dengan pernyataan Boles dan kawan-kawan (2007) dalam penelitiannya yang menyatakan bahwa komitmen afektif dipertimbangkan lebih efektif dalam mengukur komitmen organisasi, karena komitmen afektif secara tidak langsung memengaruhi dua dimensi komitmen organisasi yang lainnya. Melihat pernyataan Meyer dan Hersovitch (dalam Galleta dkk, 2011) dan berbagai hasil penelitian mengenai keterkaitan komitmen afektif dengan sikap dan perilaku ini menarik perhatian sejumlah peneliti untuk menelusuri lebih lanjut fenomena yang berkaitan dengan kedua hal tersebut, terutama keterkaitannya dengan turnover intention, dan turnover. Meyer dan Allen (dalam Anvari, Amin dan Seliman, 2010) menemukan bahwa komitmen kelanjutan dan komitmen normatif memberi perubahan kecil terhadap turnover dibandingkan komitmen afektif. Carmeli dan Gefen (dalam Baakile, 2011) mengemukakan bahwa komitmen afektif memiliki korelasi signifikan paling tinggi terhadap niat menarik diri dari organisasi. Dan yang palinng eksplisit, Pare dan Tremblay (2007) lewat penelitiannya menyampaikan bahwa komitmen afektif berhubungan secara negatif terhadap turnover intention. Rousseau dan Aube (2010) mengatakan bahwa tingginya tingkat komitmen afektif dicirikan dengan perasaan memiliki, rasa bangga dan kesetiaan. Pernyataan tersebut sejalan dengan milik Allen dan Meyer (dalam Rousseau dan Aube, 2010) bahwa ketika karyawan sangat berkomitmen, mereka cenderung menyamakan diri dengan organisasi dan secara aktif terlibat di tempat kerja. Dua pernyataan ini 29 memberi implikasi pemahaman mengenai karyawan yang memiliki komitmen afektif rendah. Mereka akan cenderung memberi kinerja yang berkisar antara rata-rata hingga rendah, menarik diri dari perusahaan, menumbuhkan niat keluar dari tempat kerja, bahkan benar-benar melakukan tindakan keluar dari tempat kerja. 2.1.2.3 Cara Meningkatkan Komitmen Dessler memberikan panduan khusus dalam implementasi sistem manajemen yang dapat membantu memecahkan masalah terkait komitmen organisasi serta meningkatkan komitmen organisasi dalam diri karyawan (Luthans, 2006): - Berkomitmen pada nilai utama manusia Dilakukan dengan membuat aturan tertulis, mempekerjakan manajer yang baik dan tepat, dan mempertahankan komunikasi. - Memperjelas dan mengkomunikasikan misi Memperjelas ideologi dan misi; berkharisma; menggunakan praktik perekrutan berdasarkan nilai-nilai; menekankan orientasi berdasarkan nilai stress dan pelatihan; membentuk tradisi. - Menjamin keadilan organisasi Memiliki prosedur penyampaian keluhan yang komprehensif; menyediakan komunikasi dua arah yang ekstensif. - Menciptakan rasa komunitas Membangun homogenitas berbasiskan nilai; keadilan; menekankan kerja sama, saling menonton, dan kerja tim; berkumpul bersama. - Mendukung perkembangan karyawan Melakukan aktualisasi; memberikan pekerjaan menantang pada tahun pertama; memajukan dan memberdayakan; mempromosikan dari dalam; 30 menyediakan aktivitas perkembangan; menyediakan keamanan kepada karyawan tanpa jaminan. 2.1.2.4 Dimensi Afffective Commitment Meyer, Allen, dan Smith (dalam Setiawan 2011) mengajukan sejumlah dimensi untuk mengukur komitmen afektif. Indikator tersebut diantaranya: a. Loyalitas Mengindikasikan seberapa karyawan loyal atau setia terhadap perusahaan tempatnya bekerja. Hal ini dapat dilihat dari seberapa besar kesediaan karyawan mengembangkan karirnya dalam perusahaan. b. Pride Menilai bagaimana karyawan memandang perusahaan tempatnya bekerja sebagai tempat kerja yang membanggakan. Rasa bangga karyawan dapat terlihat dari bagaimana mereka membicarakan tentang perusahaan tempat mereka kerja dengan orang-orang di luar perusahaan. c. Job involvement Mengevaluasi sejauh mana kesediaan karyawan untuk terlibat dalam pengembangan organisasi tempatnya bekerja. Keterlibatan karyawan dapat direfleksikan lewat bagaimana karyawan menginternalisasi masalah perusahaan ke dalam dirinya. d. Emotional attachment Mengindikasikan sejauh mana karyawan merasa nilai-nilai organisasi sejalan dengan nilai-nilai yang diyakini mereka. Keterkaitan emosi (emotional 31 attachment) diindikasikan melalui bagaimana persepsi karyawan mengenai dirinya sendiri berkaitan dengan kekeluargaan dalam perusahaan, bagaimana perusahaan bermakna bagi karyawan, serta rasa kepemilikan karyawan terhadap perusahaan. 2.1.3 Turnover Intention Pembahasan turnover intention dalam penelitian ini akan mencakup pemahaman fenomena turnover karyawan dan jenis-jenis turnover, serta pemahaman turnover intention dan dimensi yang mempengaruhinya. 2.1.3.1 Turnover Karyawan Menurut Mobley (dalam Dawley, Houghton dan Bucklew, 2010), turnover karyawan adalah penghentian atau pemutusan keanggotaan dengan organisasi oleh individu pegawai. Dengan kata lain, turnover adalah kepergian permanen seorang pegawai dari organisasi sebagai hasil keputusan dari individu tersebut. Dari pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa turnover adalah wujud aktual dari kepergian pegawai dari peusahaan. Hal tersebut adalah yang membedakannya dengan turnover intention. Turnover intention didefinisikan sebagai gejala atau niat perilaku yang menunjukkan peluang pegawai meninggalkan organisasi sekarang (Cotton & Tuttle, dalam Dawley dkk., 2010). Pemberhentian menurut Robbins (dalam Novliandi, 2007) dibedakan menjadi dia tipe, yaitu turnover yang sukarela atau yang diprakarsai karyawan (voluntary turnover) dan tipe turnover yang terpaksa atau yang diprakarsai oleh organisasi (involuntary turnover). Voluntary turnover didefinisikan sebagai keputusan 32 karyawan untuk meninggalkan organisasi secara sukarela yang disebabkan oleh faktor seberapa menarik pekerjaan yang ada saat ini, dan tersedianya alternatif pekerjaan lain, sementara involuntary turnover menggambarkan keputusan pmberi kerja (employer) untuk menghentikan hubungan kerja dan bersifat tidak dapat dikontrol bagi karyawan yang mengalaminya (Shaw, dalam Witasari, 2008). Zeffane (dalam Witasari, 2008) mengungkapkan beberapa faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya turnover, diantaranya adalah faktor eksternal, yakni pasar tenaga kerja; dan faktor institusi (internal), yakni kondisi ruang kerja, upah, keterampilan kerja, dan supervisi, karakteristik personal dari karyawan seperti intelegensi, sikap, masa lalu, jenis kelamin, minat, umur dan lama bekerja serta reaksi individu terhadap pekerjaannya. Manusia adalah sumber daya dan aset paling penting dalam organisasi, tetapi di sisi lain, juga yang paling sulit untuk dikendalikan (Szamosi, dalam Joarder, dkk., 2011) Keluarnya pegawai seringkali mengeluarkan biaya mahal, dan akibatnya, pengeluaran perusahaan yang sudah banyak dengan kegiatan perekrutan, periklanan dan seleksi semakin membengkak. Untuk itu banyak dilakukan penelitian tentang turnover intention agar dapat memprediksi turnover, karena terdapat hubungan kuat antara keduanya. Hal ini didukung oleh Mobley dan kawan-kawan (dalam Novliandi, 2007) dalam penelitiannya yang menyimpulkan bahwa turnover intention merupakan tanda awal terjadinya turnover, karena terdapat hubungan yang signifikan antara intensi turnover dan turnover yang terjadi. 2.1.3.2 Pemahaman Turnover Intention Turnover intention menyiratkan niat seseorang untuk meninggalkan organisasi yang mempekerjakannya, yang menunjukkan pelanggaran dalam 33 hubungan kerja antara karyawan dan organisasi (Cho dkk., 2009). Menurut Hellman (dalam Davoudi, dkk., 2013), turnover intention adalah niat yang berhubungan dengan perilaku, yang menjelaskan niat individu untuk meninggalkan organisasi. Hom & Griffeth (dalam Davoudi, dkk., 2013) menjelaskan turnover intention sebagai kesengajaan sadar dan terencana dari seorang individu terhadap penarikan diri permanen dari organisasi secara sukarela. Sementara Mobley (dalam Witasari, 2008), dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa turnover intention merupakan peluang tanda awal turnover dan bahwa dalam turnover intention tercakup pengertian intensi untuk mencari pekerjaan di tempat lain. Dari keempat definisi tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa turnover intenion adalah niat seseorang untuk meninggalkan perusahaan secara permanen yang timbul akibat pelanggaran hubungan kerja antara karyawan dan organisasi. Pembahasan turnover intention dalam penelitian ini berfokus pada teori Mobley karena model konseptualnya, yang menunjukkan langkah logis berikutnya setelah seseorang mengalami ketidakpuasan dalam proses penarikan diri (withdrawal), sejalan dengan cakupan pembahasan variabel. Fisbein dan Ajzen (dalam Novliandi, 2007) mengajukan teori pembentukan tingkah laku berdasarkan hubungan timbal balik antara keyakinan (belief), sikap (attitude), dan intensi (intention) individu. Keyakinan digolongkan sebagai aspek kognitif yang meliputi pengetahuan, pendapat dan pandangan individu terhadap objek. Sikap digolongkan sebagai aspek afektif yang mengarah pada perasaan individu terhadap suatu objek serta evaluasi yang dilakukannya. Intensi diklasifikasikan sebagai aspek konatif yang menunjukkan intensi individu dalam bertingkah laku (behavioral intention) dan bertindak ketika berhadapan langsung 34 dengan objek. Ketiga dimensi ini akan membentuk tingkah laku atau tindakan nyata. Secara skematis hubungan antara ketiganya dapat dilihat pada gambar 2.1.3. Gambar 2.1.3: Kerangka konsep untuk meramalkan suatu perilaku tertentu Keyakinan akan akibat perilaku X Sikap terhadap perilaku X Intensi untuk melakukan perilaku X Perilaku X Norma subyektif tentang perilaku X Keyakinan normatif akan akibat perilaku X Keterangan: : Pengaruh : Umpan Balik Sumber: Fisbein dan Ajzen dalam Novliandi, 2007 Keyakinan akan akibat perilaku X merupakan komponen berisi aspek pengetahuan tentang X. Pengetahuan ini adalah akibat positif dan negatif yang didapat subjek jika melakukan perilaku X. Makin banyak segi positif yang diperoleh 35 subjek tentang akibat perilaku tersebut, akan makin positif sikap subjek terhadap perilaku tersebut. Keyakinan normatif akan akibat perilaku X ialah komponen pengetahuan tentang X yang merupakan pandangan atau pendapat orang lain yang berpengaruh terhadap kehidupan seseorang. Individu memiliki pilihan untuk menerima atau menolak pengaruh-pengaruh tersebut. Pengaruh yang diterima oleh individu akan membentuk norma subyektif individu tentang perilaku X. Dari pernyataan – pernyataan tersebut, maka norma subyektif berisi keputusan yang dibuat individu setelah mempertimbangkan pandangan orang-orang yang mempengaruhi dirinya. Mobley (dalam Witasari, 2008) mengutarakan proses keputusan penarikan diri (withdrawal) menunjukkan bahwa thingking of quiting merupakan logis berikutnya setelah mengalami ketidakpuasan dan bahwa intention to leave diikuti oleh beberapa langkah lainnya, yang menjadi langkah-langkah akhir sebelum actual quiting. Ada 2 (dua) macam model penarikan diri dari organisasi (organizational withdrawal) yang mencerminkan rencana individu untuk meninggalkan organisasi baik secara temporer maupun permanen, yaitu : 1. Penarikan diri dari pekerjaan (work withdrawal), biasa disebut mengurangi jangka waktu dalam bekerja atau melakukan penarikan diri secara sementara. Hanisch dan Hulin (dalam Witasari, 2008) menyebutkan bahwa karyawan yang merasa tidak puas dalam pekerjaan akan melakukan beberapa kombinasi perilaku seperti tidak menghadiri rapat, tidak masuk kerja, menampilkan kinerja yang 36 rendah dan mengurangi keterlibatannya secara psikologis dari pekerjaan yang dihadapi. 2. Alternatif mencari pekerjaan baru (search for alternatives), biasanya karyawan benar-benar ingin meninggalkan pekerjaannya secara permanen. Dapat dilakukan dengan proses pencarian kerja baru, sebagai variabel antara pemikiran untuk berhenti bekerja atau keputusan aktual untuk meninggalkan pekerjaan (Hom & Griffeth, dalam Witasari, 2008). Zhao dan kawan-kawan (2007) mengemukakan bahwa turnover intention menunjukkan peluang meninggalkan organisasi yang bersifat subjektif dari individu, dengan demikian, dianggap sebagai penilaian perasaan dan sikap terhadap organisasi yang lebih bermakna. Melihat pernyataan itu, dapat disimpulkan bahwa turnover intention muncul sebagai akibat perubahan kondisi hubungan pegawai dan perusahaan. Kontrak psikologis dan komitmen organisasional yang berkaitan erat dengan kondisi hubungan pegawai dan perusahaan sering kali dijadikan bahan penelitian yang berhubungan dengan turnover intention. Dan banyak dari penelitian tersebut yang menyatakan bahwa pelanggaran kontrak psikologis membawa pada turnover intention (Zhao, 2007) . 2.1.3.3 Faktor-faktor Turnover Intention Novliandi (2007) dalam penelitiannya menyatakan bahwa turnover intention dipengaruhi beberapa faktor, yaitu: 1) Usia 37 Maier (dalam Novliandi, 2007) menyatakan bahwa pekerja muda mempuanyai tingkat turnover yang lebih tinggi daripada pekerja-pekerja yang lebih tua. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh karakter usia peralihan remaja menuju dewasa yang memiliki keinginan besar untuk mencoba hal baru dan cenderung suka mengambil resiko. Mereka ingin mencoba berbagai pekerjaan, berbagai organisasi dan suasana kerja, serta meraih kepercayaan diri melalui tindakan berpindah-pindah kerja. Sedangkan alasan mengapa pekerja yang lebih tua cenderung lebih enggan pindah atau keluar dari tempat kerja mungkin karena mereka telah memiliki tanggungan keluarga, lebih menginginkan kondisi kerja yang stabil dan aman, serta kondisi mobilitas mereka yang telah menurun. 2) Lama Kerja Prihastuti (dalam Novliandi, 2007) mengemukakan bahwa terdapat korelasi negatif antara masa kerja dengan turnover, yang berarti semakin lama masa kerja semakin rendah kecenderungan turovernya. Turnover lebih banyak terjadi pada karyawan dengan masa kerja lebih singkat. Interaksi dengan usia, kurangnya sosialisasi awal merupakan keadaan-keadaan yang memungkinkan turnover tersebut. 3) Tingkat pendidikan dan intellegensi Mowday (dalam Novliandi, 2007) berpendapat bahwa tingkat pendidikan berpengaruh pada dorongan untuk melakukan turnover. Menurut Maier (dalam Novliandi, 2007), dikatakan bahwa mereka yang mempunyai tingkat intellegensi tidak terlalu tinggi akan memandang tugas-tugas yang sulit sebagai tekanan dan sumber kecemasan. Orang – orang tersebut mudah merasa gelisah akan tanggung jawab yang diberikan padanya dan merasa tidak aman. Sebaliknya mereka yang mempunyai tingkat intellegensi yang lebih tinggi akan merasa 38 cepat bosan dengan pekerjaan-pekerjaan yang monoton. Orang – orang dengan tingkat intellegensi lebih tinggi tersebut akan lebih berani keluar dan mencari pekerjaan baru daripada mereka yang tingkat pendidikannya terbatas, karena kemampuan intelegensinya yang terbatas pula. 4) Keterikatan terhadap perusahaan Pekerja yang mempunyai rasa keterikatan yang kuat terhadap perusahaan tempat ia bekerja berarti mempunyai dan membentuk perasaan memiliki (sense of belonging), rasa aman, efikasi, tujuan dan arti hidup serta gambaran diri positif (Mowday dkk, dalam Novliandi, 2007). Akibat secara langsung adalah menurunnya dorongan diri untuk berpindah pekerjaan dan perusahaan. 5) Kepuasan kerja Peneliti-peneliti terdahulu (Mowday, Michael & Spector, dalam Novliandi, 2007) menunjukkan bahwa tingkat turnover dipengaruhi oleh kepuasan kerja seseorang. Mereka menemukan bahwa semakin tidak puas seseorang terhadap pekerjaannya, maka semakin kuat dorongan untuk pindah atau keluar dari tempat kerja. 6) Budaya perusahaan Budaya perusahaan mempengaruhi bagaimana karyawan membangun persepsi terhadap perusahaan dan pekerjaann mereka, serta menentukan dan mengharapkan bagaimana cara individu bekerja sehari-hari dan dapat membuat individu karyawan merasa senang dalam menjalankan tugasnya (Tani dalam Novliandi, 2011). Robbins (dalam Novliandi, 2011) menjelaskan bahwa budaya perusahaan yang kuat memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap perilaku karyawan dan secara langsung mengurangi turnover. Dalam budaya perusahaan 39 yang kuat, para karyawan dalam perusahaan tersebut sangat memegang teguh nilai-nilai utama perusahaan. Nilai-nilai tersebut juga tertanam pada seluruh karyawan dan menghasilkan komitmen yang besar untuk perusahaan. 2.1.3.4. Dimensi Turnover Intention March & Simon; Mobley; Price (Dalam Witasari, 2008) mengemukakan model turnover yang memprediksikan bahwa keinginan seseorang untuk keluar dari organisasi dan mencari pekerjaan lain, yaitu dengan mengevaluasi posisinya saat ini terkait dengan ketidakpuasan. Turnover intention yang dibahas dalam penelitian ini adalah yang termasuk dalam konteks model sukarela (voluntary turnover). Penentu utama dari niat keluar diantaranya pemikiran (a) ketertarikan individu terhadap utilitas pekerjaan dan organisasi yang sekarang, dan (b) ketertarikan individu terhadap utilitas pekerjaan atau peran alternatif (Mobbley dalam Witasari 2008). Variabel turnover intention diukur melalui dimensi sebagai berikut : 1. Kecenderungan individu berpikir untuk meninggalkan organisasi. Pemikiran individu mengenai dirinya terhadap organisasi merepresentasikan keinginannya terhadap organisasi, karena itu, individu yang cenderung berpikir untuk meninggalkan organisasi dapat dijadikan salah satu pengukur keinginan keluar dari organisasi. 2. Kecenderungan individu akan mencari pekerjaan pada organisasi lain. Kecenderungan individu mencari pekerjaan lain menunjukkan keinginan untuk menemukan pekerjaan atau organisasi yang lebih baik dari tempatnya berada sekarang. Dikarenakan hal itu, individu yang punya kecenderungan 40 mencari pekerjaan lain dapat dikatakan memiliki niat keluar dari organisasinya yang sekarang. 3. Kemungkinan individu untuk meninggalkan organisasi. Peluang individu meninggalkan organisasi mengindikasikan terbukanya kesempatan bagi individu untuk meninggalkan organisasinya yang sekarang. Berdasarkan hal tersebut, karyawan yang memiliki pertimbangan untuk keluar dari organisasi menunjukkan bahwa individu tersebut punya kemungkinan keluarg dari organisasi. 4. Kemungkinan individu untuk meninggalkan organisasi dalam waktu dekat. Semakin karyawan menginginkan keluar dari organisasi dalam waktu dekat, semakin mengindikasikan bahwa individu tersebut tidak puas dengan pekerjaan atau organisasinya yang sekarang, dan menginginkan segera keluar dari organisasi. 5. Kemungkinan individu untuk meninggalkan organisasi bila ada kesempatan yang lebih baik. Bagaimana karyawan merespon kesempatan kerja di organisasi dan pada pekerjaan lain yang lebih baik menunjukkan seberapa individu puas terhadap pekerjaan dan organisasi tempatnya berada sekarang, dan menunjukkan peluang individu keluar dari organisasi. Dikarenakan hal itu, semakin individu mempertimbangkan mengambil pekerjaan yang lebih baik di organisasi lain, dapat menjadi pengukur untuk individu yang ingin keluar. 41 2.1.4. Penelitian Terdahulu Dalam penelitian terdahulu ini akan dibahas hubungan antara variabel kontrak psikologis, komitmen afektif dan turnover intention yang pernah dikaji dalam peneliti-peneliti terdahulu. 2.1.4.1 Hubungan Psychological Contract terhadap Turnover Intention Dengan terjalinnya kontrak psikologis antara karyawan dan perusahaan, mengimplikasikan bahwa ada pasal-pasal tak tertulis yang mengikuti kontrak tersebut, yang berkaitan dengan pemenuhan dan pelanggaran kontrak tersebut. Seperti halnya sebuah kontrak perjanjian secara hukum, di dalamnya terkandung pasal yang menangani kondisi pertukaran; apa yang diberikan pihak pertama, apa yang diberikan pihak kedua, kondisi force majeure, dan sanksi hukum atau denda jika salah satu pihak melakukan pelanggaran. Dalam konteks ini, karena kontrak psikologis tidak tertulis, maka jika terjadi pelanggaran, tidak ada sanksi hukum atau denda yang berlaku, melainkan pengaruh yang bersifat sikap dan perilaku dari karyawan. Begitu pula sebaliknya, jika terjadi pemenuhan kontrak. Hal ini disetujui oleh Hecher dan Grimmer (dalam Stoner J., Gallagher dan Stoner C., 2011) yang mengatakan bahwa kewajiban yang dirasakan dan persepsi tentang bagaimana kewajiban ini ditukar dengan kontribusi karyawan mempengaruhi hubungan sikap dan perilaku antara perusahaan dan karyawan. Karyawan yang merasa kontrak mereka telah dipenuhi oleh perusahaan dapat meningkatkan tingkat komitmen afektifnya, kinerja dalam berbagai pekerjaan, dan tingkat keterikatan mereka terhadap supervisor, dan menurunkan tingkat turnover intentions. Stoner dkk. (2011) menyatakan bahwa pelanggaran kontrak psikologis menekankan evaluasi kognitif karyawan bahwa perusahaan tidak memenuhi 42 kewajibannya. Melihat pernyataan tersebut, maka karyawan yang merasa kecewa akan menungukkan sikap dan perilaku yang bertentangan dengan harapan perusahaan, seperti penurunan kepuasan karyawan dan komitmen organisasi (Shore & Barksdale, dalam Stoner dkk., 2011), ketidakpercayaan (Zhao dkk., 2007), penurunan ekspresi dari organization citizenship behavior (Restubog dkk., 2008), kinerja (Robinson, Lester dkk., dalam Stoner dkk., 2011), dan meningkatnya kelelahan emosional (Johnson & O’Leary-Kelly, dalam Stoner dkk., 2011). Di samping itu, penelitian oleh Haq, Jam, Azeem, Ali dan Fatima (2011) menemukan bahwa kontrak psikologis (relasional dan transaksional) secara signifikan berhubungan dengan job outcome (kepuasan kerja dan turnover intention). Penelitian ini berkontribusi dalam menunjukan komitmen sebagai mediator kontrak psikologis dan job outcome. Temuan penelitian ini mendemonstrasikan bahwa ketika janji dibangun, karyawan dalam perusahaan merasakan keterkaitan emosional dengan perusahaan, yang meningkatkan kepuasan kerja dan menurunkan keinginan keluar. 2.1.4.2 Hubungan Affective Commitment terhadap Turnover Intention Merujuk pada pernyataan Meyer dan Allen (dalam Anvari, Amin dan Seliman, 2010), bahwa komitmen adalah kondisi psikologis yang mencirikan hubungan karyawan dengan organisasi, dan memiliki implikasi bagi keputusan untuk melanjutkan keanggotaan dalam organisasi, dapat disimpulkan bahwa komitmen bersifat psikologis dan mempengaruhi kelanjutan keanggotaan individu dalam suatu organisasi. Sifat psikologis tersebut mengindikasikan peluang efek perubahan sikap dan perilaku jika terjadi perubahan persepsi, emosi dan identifikasi individu terhadap organisasi. 43 Peneliti-peneliti terdahulu telah menemukan sejumlah bukti yang mendukung indikasi tersebut, mereka diantaranya: William dan Hazer (dalam Anvari dkk., 2010) menemukan dengan jelas bahwa komitmen afektif memiliki korelasi kuat yang signifikan terhadap turnover intention daripada komitmen normatif dan komitmen kelanjutan. Grover dan Crooker (dalam Baakile, 2011) dalam studi mereka mengenai kebijakan SDM berkaitan dengan keluarga yang responsif, menemukan bahwa menawarkan tunjangan responsif kepada karyawan meningkatkan komitmen afektif dan menurunkan niat keluar dari perusahaan. Banyak peneliti telah mengemukakan hubungan negatif antara komitmen afektif terhadap turnover intention (Pare dan Tremblay 2007; Tumwesigye 2010; Baakile, 2011 ). Di samping itu, penelitian oleh Joarder, Sharif dan Ahmmed (2011) menemukan bahwa praktik-praktik manajemen SDM (kondisi kerja, otonomi kerja, serta pelatihan dan pengembangan) berpengaruh secara positif terhadap komitmen afektif karyawan, dan komitmen ini secara negatif dan signifikan berhubungan dengan turnover intention. Di samping itu, hasil temuan penelitian juga mengindikasikan pentingnya kompensasi, dukungan supervisor dan job security untuk para karyawan, dan organisasi sebaiknya lebih memperhatikan area praktek manajemen SDM untuk mempertahankan karyawan-karyawan potensialnya. 2.1.4.3 Usia Pegawai, Psychological Contract dan Turnover Intention Melihat jarangnya penggunaan kontrak psikologis dalam kajian penelitian sebagai kerangka kerja dalam industri jasa untuk menjelaskan turnover pegawai, menyimpulkan tidak banyaknya perhatian diberikan untuk menilai hubungan usia dan fase terkait dalam perjalanan hidup dan kontrak psikologis pegawai yang bekerja dalam industri jasa (Hemdi & Abdul Rahim, 2011). Contohnya dapat dilihat pada 44 kajian penelitian Walsh dan Taylor (2007) yang tidak memberikan pembedaan antara responden berdasarkan usia. Nemiroff dan Colarusso (dalam Hemdi & Abdul Rahim, 2011) menyatakan bahwa selama masa dewasa, perspektif mengenai kondisi hidup berubah secara dinamis selagi mereka menua. Maka dapat disimpulkan bahwa dalam setiap tingkat dalam masa dewasa memiliki perspektif yang berbeda terhadap kondisi hidup. Sparrow (dalam Hemdi & Abdul Rahim, 2011) membedakan tiga tingkatan untuk masa dewasa sebagai berikut: awal tingkat dewasa (22-32 tahun) dijelaskan sebagai usia dimana membangun keluarga dan karir adalah tema utama, pertengahan tingkat dewasa (33-44) lebih memperhatikan kehidupan keluarga dan pendidikan anak, lalu nilai memiliki karir menurun, dan pentingnya kesenangan kerja, pengakuan sosial, keseimbangan antara otonomi dan saling ketergantungan, serta aktualisasi diri semakin berkembang terjadi di tingkat dewasa akhir (45-65 tahun). Selain itu, kajian penelitian eksplorasi terhadap kontrak psikologis pegawai manajerial dalam industri jasa dipertimbangkan mendukung kategori pengelompokan usia untuk penelitian selanjutnya (Ramley dkk., 2008). Berdasarkan pendapat tersebut, objek penelitian ketiga dapat diketengahkan: pengaruh usia pada hubungan antara kontrak psikologis dan turnover intention. 2.2 Kerangka Pemikiran Berdasarkan kajian pustaka dan identifikasi permasalahan yang telah dijabarkan diatas, maka penelitian ini dapat digambarkan oleh model sebagai berikut: 45 Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran Usia Turnover Intention (Y) Psychological Contract (X1) • Kecenderungan berpikir • Relasional • Transaksional meninggalkan organisasi. • Kecenderungan mencari pekerjaan pada organisasi lain. Affective Commitment (X2) • Kemungkinan meninggalkan • Loyalitas organisasi. • Pride • Kemungkinan meninggalkan • Job Involvement organisasi dalam waktu • Emotional dekat. Attachment • Kemungkinan individu meninggalkan organisasi bila ada kesempatan yang lebih (Sumber: Pengolahan Penulis) 2.3 Hipotesis Dalam kajian pustaka, telah dijelaskan pemahaman mengenai masing-masing variabel penelitian, yaitu psychological contract, affective commitment dan turnover intention. Untuk memahami dasar pembangunan hipotesis, berikut penjabaran kaitan variabel satu dengan yang lain serta hipotesisnya. 46 Kontrak psikologis, yang didefinisikan sebagai pengharapan timbal balik antara karyawan dengan organisasi, dikatakan memiliki pengaruh terhadap keinginan berpindah (turnover intention). Pelanggaran aspek-aspek dalam kontrak psikologis menghasilkan perubahan sikap karyawan terhadap organisasi yang mengarah pada munculnya keinginan untuk keluar dari organisasi. Disebabkan hal itu, maka dibangun hipotesis berikut: Hipotesis untuk T-1: 1. Hipotesis pengujian antara X1, X2 dan Y H0: Tidak ada pengaruh yang signifikan antara psychological contract (X1) dan affective commitment (X2) terhadap turnover intention (Y) karyawan di PT. XYZ. Ha: Ada pengaruh yang signifikan antara psychological contract (X1) dan affective commitment (X2) terhadap turnover intention (Y) karyawan di PT. XYZ Komitmen afektif yang menjelaskan kondisi psikologis karyawan mengenai keterkaitan emosional, identifikasi dan keterlibatan karyawan terhadap organisasi disebutkan berpengaruh terhadap keputusan melanjutkan keanggotaan dalam organisasi. Perubahan persepsi, emosi dan identifikasi karyawan terhadap organisasi membuahkan peluang perubahan sikap dan perilaku karyawan terhadap kondisi keanggotaannya dalam organisasi. Dikarenakan hal itu, maka dikembangkanlah hipotesis sebagai berikut: Hipotesis untuk T-2: 2. Hipotesis pengujian antara X1, X2 dan Y berdasarkan usia 47 H0: Usia tidak dapat dijadikan faktor yang mempengaruhi hubungan antara psychological contract (X1) dan affective commitment (X2) terhadap turnover intention (Y) karyawan di PT. XYZ. Ha: Usia dapat dijadikan faktor yang mempengaruhi hubungan antara psychological contract (X1) dan affective commitment (X2) terhadap turnover intention (Y) karyawan di PT. XYZ. Usia, yang merupakan salah satu faktor yang memengaruhi keinginan berpindah (turnover intention), menjelaskan bahwa perbedaan tingkat usia mengimplikasikan perbedaan persepsi dan pengharapan individu terhadap pekerjaan. Hal ini, menjelaskan bahwa usia dapat dijadikan sebagai faktor yang mempengaruhi hubungan antara afektif terhadap turnover intention. kontrak psikologis dan komitmen