fikrah - stain kudus

advertisement
fikrah
Vol. 1 N0. 1.
Januari - Juni 2013
ISSN : 2354-6174
Page: 1-206
Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan
fikrah
Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan
Vol. 1 N0.1. Januari- Juni 2013
MEWUJUDKAN TRADISI ISLAM DALAM MANIFESTASI
HARMONI KEBERAGAMAAN UMAT
Mas'udi
KRITIK WACANA PLURALISME AGAMA
Andi Hartoyo
RELATIVITAS AJARAN AGAMA: MENUJU PLURALISME
KEBERAGAMAAN YANG HARMONIS
Ahmad Atabik
ISSN :2354-6174
AMBIVALENSI KOTA DEMOKRASI DALAM FILSAFAT POLITIK
AL‐FARABI STUDI KRITIS MADINAH AL FADHILAH AL FARABI
Moh. Yasin
TEOLOGI ISLAM KONTEKSTUAL‐TRANSFORMATIF
Nur Said
STRUKTUR NALAR DI BALIK POLEMIK TEOLOGI DAN
FILSAFAT ISLAM
Tahir Sapsuha
Diterbitkan oleh:
Jurusan Ushuluddin Program Studi Ilmu Aqidah
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kudus
Alamat: Jl. Conge Ngembalrejo PO BOX 51
Telp. (0291) 432677 fax. (441613) Kudus 59322
Jurusan Ushuluddin Program Studi Ilmu Aqidah
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUS
JAWA TENGAH ‐ INDONESIA
FIKRAH
Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan
FIKRAH
Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan
Volume 1 Januari-Juni 2013
ISSN: 2354-6174
Penanggung Jawab
Fathul Mufid
Redaktur
Umma Farida
Mas’udi
Editor/Penyunting
Abdul Karim
Ahmad Atabik
Desain Grafis
Nur Sa’id
Masdi
Sekretariat
M. Nuruddin
Ma’mun Mu’min
Muchlisin
Dwi Sulistiono
Marhamah
Fikrah
Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan
Diterbitkan Oleh:
Jurusan Ushuluddin Program Studi
Ilmu Aqidah STAIN Kudus
Alamat Redaksi
Jl. Conge Ngembalrejo PO. Box. 51 Kudus
59322. Telp. (0291) 432677. Fax. 441613.
Email: [email protected]
Terbit 2 dua kali dalam satu tahun
Bulan Januari-Juni dan Juli - Desember
DAFTAR ISI
• Mewujudkan Tradisi Islam dalam Manifestasi Harmoni
Keberagamaan Umat
—Mas’udi—................................................................ 1-16
• Kritik Wacana Pluralisme Agama
—Andi Hartoyo— ...................................................... 17-38
• Relativitas Ajaran Agama: Menuju Pluralisme Keberagamaan
Yang Harmonis
—Ahmad Atabik—...................................................... 39-56
• Ambivalensi Kota Demokrasi dalam Filsafat Politik Al-Farabi
Studi Kritis Madinah Al Fadhilah Al Farabi
— Moh. Yasin —........................................................ 57-85
• Teologi Islam Kontekstual-Transformatif
—Nur Said—............................................................... 87-107
• Struktur Nalar Di Balik Polemik Teologi dan Filsafat Islam
—Tahir Sapsuha— . ................................................... 109-130
• Dikotomi Agama dan Ilmu dalam Sejarah Umat Islam Serta
Kemungkinan Pengintegrasiannya
—Syamsul Kurniawan—............................................ 131-151
v
• Jihad Melawan Terorisme: Merekonstruksi Pemahaman tentang
Makna dan Implementasi Jihad dalam Islam
—Abdurrahman Kasdi—............................................ 153-173
• Teologi Anti Korupsidalam Tinjauan Al-Qur’an
—Abdul Karim— ....................................................... 175-194
• Ritus dalam Keberagamaan Islam: Relevansi Ritus dalam
Kehidupan Masa Kini
—Ulya— ..................................................................... 195-206
vi
PENGANTAR REDAKSI
Bismillahirrahmanirrahim
Teriring puji syukur ke hadirat Allah dan shalawat serta
salam kepada Rasulullah Muhammad saw., penerbitan edisi
perdana Jurnal Fikrah Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan
ini dapat terlaksana. Hal ini secara niscaya merupakan sebuah
kesyukuran tiada tara karena pentingnya kehadiran jurnal ini
untuk pemenuhan kebutuhan akademis para ahli di bidang Ilmu
Aqidah dan Studi Keagamaan.
Edisi perdana, Vol. I, No. 1, Januari – Juni 2013 ini
merupakan bagian integral dari kajian Ilmu Aqidah dan Studi
Keagamaan. Kajian ini dihadirkan berdasar kepada muatan
studi tentang dinamika Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan yang
berkembang di tengah-tengah kehidupan masyarakat kontemporer.
Secara nyata pula beberapa kajian pada edisi ini mengarah kepada
studi pemikiran yang berhaluan kepada analisa agama dan
dinamika kehidupan keberagamaan di masyarakat.
Pada edisi perdana ini, Jurnal Fikrah sebagai representasi
dari Kajian Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan menampilkan
beberapa kajian tentang Ritus, Polarisasi Keagamaan, Eksistensi
Transformasi Islam, Nilai-nilai Integratif antara Studi Keagamaan
dan Sains serta Teknologi, dan Perpsektif Teologis Korupsi
menurut al-Qur’an. Secara terintegrasi kajian-kajian ini diarahkan
vii
untuk memberikan mapping pemikiran keaqidahan dan keagamaan
kepada segenap pemerhatinya. Walhasil, rumusan pada kajian ini
akan memaparkan tentang objektivikasi Kajian Ilmu Aqidah dan
Studi Keagamaan.
Sebagai harapan akhir, Fikrah, Jurnal Ilmu Aqidah dan
Studi Keagamaan pada edisi ini diorientasikan sepenuhnya
untuk memberikan wawasan baru keilmuan tentang Ilmu Aqidah
dan Studi Keagamaan. Dari semua rumusan yang dihadirkan
di dalamnya tercurah harapan besar eksistensinya mampu
memberikan pencerahan baru bagi pengembangan Studi Ilmu
Aqidah dan Keagamaan. Semoga bermanfaat…..!!!
Kudus, Juni 2013
Redaksi
viii
MEWUJUDKAN TRADISI ISLAM DALAM
MANIFESTASI HARMONI KEBERAGAMAAN
UMAT
Mas’udi
STAIN KUDUS
Email: [email protected]
ABSTRAK
Islam adalah agama misi yang diwahyukan Allah swt., kepada
Rasul-Nya, Nabi Muhammad saw. Dalam perjalanannya
pula, Islam berjalan beriringan dengan dinamika kehidupan
umat sehingga menjadikannya kadang dipertentangkan dan
di diteladani. Plus minus keberadaan ini tidak menjadikan
Islam surut dalam usahanya mengentaskan keberadaban
umat manusia. Islam terus menjalankan misi sucinya dengan
memberikan uraian keilmiahan hidup sehingga pada akhirnya
masyarakat mulai mengerti akan hakikat dari keharmonisan
hidup bersama dalam lintasan keyakinan. Tuntutan utama yang
diajarkan oleh Islam adalah menyadarkan masyarakat akan
arti penting tradisi sebagai perekat utama doktrin keislaman
dengan perjuangan Rasulullah saw. Tradisi dalam Islam
dengan pengertian akan eksistensi keanekaragaman sosial,
budaya, dan bahkan agama itu sendiri menjadikan Islam
sebagai jalan tengah bagi masyarakat. Islam memberikan
beberapa deskripsi realistis tentang hakikat hidup setiap
pribadi yang mustahil dinafikkan kebersandarannya kepada
nilai-nilai suci masing-masing agama. Di atas kenyataan
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
1
Mewujudkan Tradisi Islam (oleh: Mas’udi)
inilah, tuntutan untu menghadirkan harmoni Islam sebagai
pemersatu kehidupan umat niscaya dikedepankan.
Kata Kunci: Tradisi, Jalan Tengah (middle roader), al-Sunnah,
Ritual, Keberagamaan
Pendahuluan
Ritual merupakan manifestasi utama perjalanan dinamika
keberagamaan para pemeluk agama. Di atas kenyataannya,
masing-masing pemeluk agama akan menghadirkan kenyataan ini
sebagai perwujudan dari keyakinan mereka terhadap agama yang
dianut dan dipercaya. Berbagai pola niscaya dikembangkan oleh
segenap pemeluk agama guna mengejawantahkan doktrin agama
sebagai kesatuan praktek dalam kehidupan beragama.
Berbagai ritual dalam Islam sebagai menifestasi dari
nilai-nilai dan budaya suatu agama, terdapat beberapa entitas
yang bisa diperhatikan eksistensinya; kuatnya akar dari tradisi,
budaya keagamaan—ritual—yang terdapat dalam diri masingmasing pemeluknya. Realita ini adalah gambaran yang sangat
faktual untuk mengkajinya dengan baik dan sempurna guna
menemukan suatu hakekat terbesar dari agama atas perwujudan
nilai kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha ESa.
Kebesaran suatu agama dengan berbagai bentuk atributnya
menjadi semakin debatable atau diperdebatkan dalam masyarakat
ketika tradisi ekspresi yang mereka tampilkan sangat berbeda
dari aksentuasi orang lain dalam pengimplementasian agamanya.
Dalam masyarakat yang sederhana dan yang hampir tidak dapat
dibedakan, ada sedikit perbedaan antara kisah-kisah keagamaan
dengan kisah-kisah kemasyarakatan lainnya. Namun demikian,
agama tidak sama sekali diidentikan dengan ketertiban sosial.
Dalam masyarakat yang lebih maju, kisah-kisah keagamaan
muncul sebagai simbol keagamaan dan simbol sosial yang secara
jelas dapat dibedakan, yang saling berinteraksi antara satu dengan
yang lainnya pada kutub pengaruh yang saling menguntungkan.
Akhirnya, di dalam masyarakat yang komplek dan sangat beragam
dewasa ini, kisah keagamaan hanya mempunyai pengaruh
yang tidak langsung terhadap kisah kemasyarakatan melalui
pengaruhnya dalam membentuk penilaian dan pandangan dunia
2a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Mewujudkan Tradisi Islam (oleh: Mas’udi)
dari individu dan keluarga.1 Sebagai penghujung dari realitas
tersebut, aspek kompleksitas dalam tatanan suatu agama semakin
mengisolasikan satu pemeluk agama tertentu terhadap pemeluk
agama yang lainnya.
Pertautan realita sosial dalam bermasyarakat yang
berhubungan dengan pengimplementasian semua aspek-aspek
ekspresif mereka dalam beragama—ritual—tidak akan semakin
tajam, jika pemetaan nilai-nilai keagamaan dapat disandingkan
bersama. Pemetaan nilai-nilai tersebut dapat diklasifikasikan
dalam dua hal; Pertama, Human Contruction—kontruksi
manusia—. Budaya sebagai realita sosial dalam masyarakat,
mempunyai unsur kebiasaan, kontinuitas dan tidak pernah
berhenti. Keberlanjutan ini sebagai manifestasi konstruk budaya
pada manusia dan mengendap kuat pada masing-masing mind
setting pola pikir mereka dan akhirnya menjadi suatu ideologi
tanpa adanya suatu deskripsi yang valid, penyokong terhadap nilai
budaya yang ada. Kenyataan ini bisa terjadi karena pemahaman
masing-masing masyarakat bahwa kebudayaan merupakan
keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia
untuk memenuh kehidupannya dengan belajar, yang semuanya
tersusun dalam kehidupan masyarakat.2
Bagian kedua dari pemetaan tersebut adalah sinkretisme
budaya—Cultural Sincreticism—. Ritual dalam suatu agama pada
awalnya adalah implementasi dari nilai suci ajaran agama yang
ada. Tradisi keagamaan tersebut secara bertahap mengalami proses
transformatif seiring dengan sampainya ajaran agama tersebut
di luar domain agama itu sendiri diturunkan. Perbedaan lokasi,
wilayah, kultur, dan tradisi yang ada ini menjadi paradigma logis
dalam diri pemeluk agama. Tranparansi tradisi agama yang ada
dengan unsur budaya yang mereka miliki membentuk pola-pola
ritual keagamaan baru di masyarakat sehingga terciptalah budaya
keagamaan baru dalam kehidupan mereka. Melalui beberapa pola
ini pula terjadilah sinkretasi tradisi suatu agama dengan budaya
lokal yang ada.
Andrew M. Greely, Agama Suatu Teori Sekuler (Jakarta:Erlangga,
1982), hlm. 113.
2
Sujarwa, Manusia dan Fenomena Budaya (Yogyakarta:Pustaka
Pelajar, 1999), hlm. 1.
1
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
3
Mewujudkan Tradisi Islam (oleh: Mas’udi)
Membentuk kemajuan di tengah-tengah kehidupan umat
secara niscaya perlu menyadarkan masyarakat itu sendiri akan
eksistensi dari pertumbuhan di tengah-tengah kehidupan mereka.
Sebagaimana dicatat oleh Ris’an Rusli bahwa modernisme dalam
masyarakat Barat mengandung arti pikiran, aliran, gerakan dan
usaha mengubah paham-paham, adat istiadat, institusi-institusi
lama, dan sebagainya untuk disesuaikan dengan suasana baru
yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
modern. Pikiran dan aliran ini segera memasuki lapangan agama
dan modernisme dalam hidup keagamaan di Barat mempunyai
tujuan untuk menyesuaikan jaran-ajaran yang terdapat dalam
agama Katolik dan Protestan dengan ilmu pengetahuan dan
falsafat modern. Aliran ini akhirnya membawa kepada timbulnya
sekularisme di Barat.3
Ide-ide sekularisme yang berkembang di tengah-tengah
kehidupan masyaraka Barat memberikan kontribusi terhadap
tuntutan modernisme bagi kehidupan masyarakat dalam beragama.
Hal ini tentunya bukanlah dengan usaha menafikkan hakikat
dasar agama dengan mengedapankan nilai-nilai materi semata
bagi pemeluknya. Islam secara utuh memberikan perekatan nilainilai sosial dan ketuhanan demi menghadirkan sikap modernisme
kehidupan pemeluknya. Hal ini secara niscaya dipraktekkan
oleh Nabi Muhammad saw., sebagai teladan hakiki kehidupan
masyarakat muslim. Fakta ini dicatat oleh Afif Muhammad dengan
penjelasannya bahwa tipologi manusia Qur’ani diwujudnyatakan
oleh Rasulullah saw., demi menghadirkan kehidupan masyarakat
yang sudah mengalami dekadensi. Nabi Muhammad saw., hadir
sebagai pengejawantah al-Qur’an dalam bentuk manusia. Jika dia
berbicara, maka cara berbicaranya adalah cara berbicara menurut
al-Qur’an. Jika dia duduk, maka duduknya adalah duduk model
al-Qur’an.4
Terilustrasi dari beberapa argumentasi di atas terdapat dua
eksistensi keagamaan yang ingin diwujudnyatakan masyarakat
terhadap pola-pola pemahaman keagamaan masing-masing. Secara
Ris’an Rusli, Pembaharuan Pemikiran Modern dalam Islam
(Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2013), hlm. 176.
4
Afif Muhammad, Islam Mazhab Masa Depan Menuju Islam Nonsektarian (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998), hlm. 89.
3
4a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Mewujudkan Tradisi Islam (oleh: Mas’udi)
komparatif terlihat bahwa fenomena keagamaan masyarakat di
Barat menyentuh kepada nilai-nilai sekularitas kehidupan. Untuk
meluncur melewati kejumudan dalam keberagamaan masyarakat
diajak untuk meninggalkan tradisi dan beralih kepada pemikiran.
Hanya dengan fakta ini akan terwujud sepenuhnya pertumbuhan
masyarakat yang lebih moderat. Hal ini secara berbeda dengan
eksistensi Islam yang bersandar kuat kepada risalah yang dibawa
oleh Nabi Muhammad saw., sebagai rasul-Nya. Modernisme
Islam ditunjukkan oleh Rasulullah saw., dengan pengejawantahan
dirinya sebagai insan Qur’ani. Pada praktek kehidupan beliau
semua aktifitas lahir dan batin manusia ditunjukkan.
Representasi Ritual Islam bagi Kejahiliyahan Masyarakat
Arab
Islam terlahir sebagai jawaban atas tradisi Jahiliyyah yang
telah mengakar kuat dalam diri masyarakat Arab. Kelaliman yang
telah mereka perbuat dari, penganiyayaan, perjudian, perzinaan
dan lain sebagainya, telah mengendap kuat dalam diri mereka dan
menjadi tipikal utama kehidupan di masa tersebut. Perwujudan
keagamaan yang mereka lakukan di masa tersebut merupakan
manifestasi utama dari pola kehidupan masyarakat Arab yang lebih
menyentuh ke aspek dekaden. Fakta ini secara nyata ditegaskan
oleh Afif Muhammad bahwa pada masa awal Islam diwahyuka ke
tengah-tengah kehidupan masyarakat diorientasikan seutuhnya
untuk mengikis kejahiliyahan mereka.5
Kehadiran Islam dengan keutuhan etimologinya sebagai
ajaran berserah diri kepada Allah swt., datang untuk meluruskan
hakekat hidup masyarakat Arab yang telah keluar dari sumbu
utama kehidupan Rabbani. Kelaliman yang secara implisit mereka
kultuskan sebagai esensi dari hidup mereka, berangsur-angsur
diarahkan kepada kenyataan hidup di dunia ini. Nabi Muhammad
saw., sebagai pioner dari ajaran ini, menerima pesan suci dari Allah
swt., untuk memberikan suatu paradigma baru dalam hidup yang
lebih imajinatif dan progresif. Rasulullah mendapatkan pesan
Penjelasan tentang hal ini dikupas secara deskriptif analitis oleh Afif
Muhammad dalam karyanya pada bab pembahasan tentang Manusia Qurani.
Lebih lanjut baca; Afif Muhammad, Islam Mazhab Masa Depan Menuju Islam
Non-sektarian. Ibid., hlm. hlm. 87.
5
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
5
Mewujudkan Tradisi Islam (oleh: Mas’udi)
pertama dengan wahyu Allah swt., pada QS. Al-‘Alaq (96:1-5)6
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan;
Dia telah Menciptakan manusia dari segumpal darah; Bacalah
dan Tuhanmulah Yang Paling Pemurah; Yang mengajar (manusia)
dengan pernatara kalam; Dia mengajarkan kepada manusia apa
yang tidak diketahuinya”.
Menganalisa secara deskriptif penjelasan ayat al-Qur’an
tersebut, masyarakat Arab dengan kehadiran ajaran Islam dan
tuntutan perwujudan ritual keagamaannya diperintah untuk
memahami hakikat kosmologi sebagai tempat mereka bernaung
dan mengemban amanat dalam hidup. Pada bagian selanjutnya
fakta kehidupan mereka dituntut untuk menyadari tentang nilainilai antropologis karena kehidupan mereka tercipta dari aneka
warna bentuk suku, ras, dan social. Kesadaran berikutnya dari
tuntutan Islam dengan ayat tersebut adalah pemahaman akan nilai
teologis. Nilai ini seutuhnya mengajak kehadiran akan kesadaran
mereka bahwa pengertian akan Pencipta adalah kenisccayaan
dalam kehidupan. Pada bagian nilai berikutnya yang dituntut
kepada mereka kehadirannya adalah nilai-nilai sosiologis.
Kehiduapan masyarakat Arab tercipta dengan aneka bentuk
sosial pendukungnya. Untuk itulah, tiada suatu kebenaran yang
bisa dipahami bahwa suatu kedudukan sosial tertentu mampu
mendominasikan dirinya terhadap nilai sosial yang lain. Pada
bagian akhir, masyarakat Arab dituntut kesadaran diri mereka
akan nilai-nilai eskatologis kehidupan. Semua kehidupan yang
dijalankan oleh setiap pribadi akan berakhir semua pengembaraan
tersebut ke hadirat-Nya. Untuk selanjutnya pula, melalui wahyu
inilah Rasulullah saw., memulai misi sucinya untuk meluruskan
akidah (kepercayaan orang-orang Arab) yang telah hilang jauh
dari ajaran suci agama.
Islam dalam realitas perjalanannya memberikan
kontribusi besar dalam peradaban sosial, budaya, dan kultur
dalam masyarakat. Kontribusi peradaban yang dimilikinya
tumbuh sempurna. Kebudayaannya menjadi pembimbing bagi
kebudayaan-kebudayaan lain, serta akhlak dan adat istiadatnya
Departemen Agama Republik Indonesia,
Terjemahnya (Semarang: Al-Wa’ah, 1989), hlm. 1079.
6
6a
Al-Qur’an
dan
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Mewujudkan Tradisi Islam (oleh: Mas’udi)
lebih tinggi dari pada yang ada sezamannya. Untuk selanjutnya,
umat-umat yang lain merasa bahwa tidak ada kebahagiaan kecuali
dengan mengikuti contoh-contoh umat ini dan menerima ajaranajarannya. Sehingga meskipun dari segi jumlah umat ini kecil
saja, namun ia mempunyai ruang gerak yang amat luas, seakanakan umat ini merupakan ruh bagi alam, dan alam merupakan
jasad baginya.7 Ketimpangan-ketimpangan serta kebodohan yang
menimpa umat manusia pada masa itu, berangsur-angsur hilang
dan pergi digantikan dengan tradisi baru, yaitu tradisi Islam
dengan semangat suci yang menyertainya “Rahmatan lil ‘Alamin”
Islam rahmat bagi segenap umat.
Kemegahan peradaban dan ketinggian tradisi yang telah
diberikan serta disumbangkan oleh Islam terhadap peradaban umat
manusia, bukti monumental yang harus diketahui dan diresapi
serta diaktualisasikan realitasnya oleh para generasi muda Islam
sebagai sarana penyeimbang—balancing power—bagi mereka
dalam melihat, mengasah dan mejalankan realitas global yang
semakin bebas. Kemajuan yang tealah diberikan oleh zaman
modern ini, tidak dapat dihindarkan bahwasanya kenyataan ini
tercipta dari sumbangan Islam pada zaman klasik, pertengahan,
dan zaman modern saat ini.
Islam sebagai Manifesto Tradisi Kehidupan Umat
Bangunan tradisi yang telah ditanamkan dalam Islam
adalah manifestasi dari akumulasi peradaban yang tertanam
kokoh dalam sanubari kaum muslimin saat ini. Nilai peradaban
ini dapat dilihat dari peta geografis dunia saat ini. Masing-masing
dapat melihat bahwa dunia muslim berada di antara Cina, Korea,
dan Jepang pada sisi timur dan Eropa sisi barat: antara Rusia
di bagian utara dan sub sahara Afrika dan Australia di bagian
selatan. Maksud dari “Dunia Muslim” dalam perspektif ini adalah
bagian bumi yang mayoritas ditempati oleh masyarakat yang
memeluk agama Islam, dan terbentang dari Maroko di ujung barat
hingga Indonesia di ujung timur, Rusia di bagian utara hingga
Comoro di lautan India di bagian selatan. Fakta geografis ini
saja, yang kurang lebih tetap demikian adanya di bagian terbesar
Nurkhalish Madjid, Khazanah Intelektual
Bintang, 1994), hlm. 345.
7
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Islam (Jakarta:Bulan
7
Mewujudkan Tradisi Islam (oleh: Mas’udi)
sejarah Islam cukup untuk menetapkan “Dunia Muslim” sebagai
“Bangsa Tengah” (middle nation). Secara geografis, dunia muslim
merupakan jembatan antara timur dan barat, dan antara utara dan
selatan”8. Letak geografis inilah Islam memberikan warna yang
signifikan bagi sosio-kultur dan budaya masyarakat muslim.
Middle Nation “Bangsa Tengah” yang telah dipredikatkan
pada wilayah-wilayah yang telah terdoktrinasikan tradisi Islam,
secara variatif memunculkan keanekaragaman sosio-kultur dan
sosio-budaya pada domain yang mereka diami. Akan tetapi
Islam dengan stigma pokoknya sebagai “rahmatan lil “alamin”
rahmat untuk sekalian alam telah memberikan kombinasi yang
begitu megahnya untuk kehidupan mereka, dari tradisi sosial,
seni, politik, pendidikan, arsitektur dan banyak lagi yang lainnya.
Satu aspek penting yang telah disumbangkan oleh Islam untuk
kemajuan peradaban yaitu dari bidang tradisi pemikiran. Dalam
melakukan telaah terhadap pemikiran Islam, pertama-tama harus
dilihat kembali masa para sahabat. Dari sana terlihat bahwa
sahabat Nabi Muhammad saw., yang paling kreatif dalam berpikir
adalah tokoh yang kemudian menjadi khalifah kedua, ‘Umar ibn
Khattab (586-644). Kreatifitas pemikiran ‘Umar memberikan
kesan kuat bahwa sekalipun beriman teguh, ia tidak bersifat
dogmatis. ‘Umar adalah seorang beriman sekaligus intelektual,
yang dengan intelektualitasnya itu ia berani mengemukakan ideide dan melaksanakan berbagai perkara inovatif yang sebelumnya
tidak dicontohkan oleh Nabi.9
Dari zaman ‘Umar ibn Khattab inilah Islam mulai
berkibar di kawasan Eropa, peradaban besar yang dapat dilihat
dari kenyataan ini, kemegahan Cordoba dengan masjid agungnya.
Islam mengkombinasikan tradisinya dalam daerah kekuasaan
Raja Alexander Agung, sehingga makin menjadikan Islam lebih
dikenal di antara kawasan dunia. Kemajuan ini telah menjadikan
tradisi Islam mewarnai separuh belahan dunia.
Kemajuan yang telah dicapai oleh Islam dalam
membumikan tradisi dan kebudayaanya tidak dapat dipertahankan
Osman Bakar, Islam dan Dialog Peradaban (Yogyakarta:Fajar
Pustaka. 2003), hlm. 3.
9
Suadi Putro, Islam dan Modernitas (Jakarta:Paramadina, 1998),
hlm. 35.
8
8a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Mewujudkan Tradisi Islam (oleh: Mas’udi)
lagi secara kokoh. Kejumudan mulai menggejala di kalangan umat
Muslim pada masa—Renainsance—kebangkitan di Eropa. Eropa
sebagai negara terbelakang di saat Islam mencapai kejayaannya,
saat itu pula mereka mulai bangkit melakukan ekspansi ke dunia
Islam. Nilai tradisi, ilmu pengetahuan, teknologi, arsitektur yang
sudah begitu melekat dalam Islam jatuh ke tangan mereka. Unsur
fatalistik sebagi mainstream dari perjalanan kehidupan mengakar
kuat dalam nilai tradisi umat manusia.
Menyikapi kejumudan dan nilai fatalisme dalam Islam
harus dimunculkan peranan konstruktif terhadap ajaran-ajaran
Islam yang telah mencapai kegemilangannya di masa lampau.
Untuk itu, dunia Islam harus kerja keras. Pemikiran tradisional dan
sikap fatalislis yang telah ratusan tahun berkembang di kalangan
umat perlu dihilangkan untuk diganti dengan pemikiran rasional
dan sikap dinamis. Sains dan teknologi modern harus dikuasai,
karena sejarah telah membuktikan bahwa ketika dunia Islam
mementingkan sains dan teknologi, Islam menghasilkan adikuasaadikuasa. Eksklusifitas umat yang telah menggejala harus diganti
dengan nilai-nilai inklusif akan transparansi Islam yang terbuka
untuk segala zaman dan keadaan.
Tuntutan untuk menghadirkan Islam dalam proporsinya
yang terbuka seutuhnya menegeskan akan modernisme tradisi
Islam. Hal ini menyandar kepada kenyataan akan kemoderatan
Islam yang berciri khas dan mustahil ditemukan pada agama
lain. Sebagaimana Muhammad Imarah menjelaskan bahwa
kemoderatan Islam (moderatisme Islam) merupakan gabungan
antara kerohanian dan jasmani, kombinasi wahyu dan akal,
kitab yang tertulis dan kitab yang terhampar di alam semesta.10
Membandingkan tentang proses indoktrinasi ini dikukuhkan oleh
Imarah bahwa dalam doktrin Kristen, seseorang diwajibkan untuk
beriman sesuai dengan kepercayaan yang diyakini oleh agama
tersebut. Bahwa keimanan dalam Kristen tidak membutuhkan
rasionalitas sementara dalam Islam bahwa Allah dapat diketahui
banyak dengan akal. Sebelum beriman seseorang kepada nabi dan
rasul, maka tertuntut pada dirinya agar beriman kepada Allah
Muhammad Imarah “Islam Moderat sebagai Penyelamat Peradaban
Dunia” dalam Hery Sucipto, ed., Islam Madzhab Tengah Persembahan 70
Tahun Tarmizi Taher (Jakarta: Grafindo, 2007), hlm. 438.
10
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
9
Mewujudkan Tradisi Islam (oleh: Mas’udi)
swt., dengan perantara akal.
Perintah beriman dalam Islam merupakan piranti atau
media utama untuk menjadikan diri setiap muslim mampu
bertempat dalam wilayah trnsformatif kehidupan. Dalam Islam
dinyatakan bahwa suatu perbuatan baru dikatakan bermakna
jika dilandaskan pada keimanan. Tanpa iman, perbuatan apapun
akan sia-sia di hadapan Allah swt. Itu sebabnya, Afif Muhammad
menjelaskan bahwa kewajiban pertama bagi manusia adalah
berimana terlebih dahulu sebelum dia melakukan apapun.
Secara niscaya pula, hal ini menjadi petunjuk dasar bagi segenap
manusia bahwa kaidah yang ada dalam Islam ini jika dipegang
dengan baik, akan menghasilkan makna ganda dalam diri setiap
muslim. Pertama; dalam hubungannya dengan Allah yang dengan
kenyataannya pekerjaan tersebut mempunyai nilai ibadah yang
dijanjikan pahala di akhirat. Kedua; dalam hubungannya dengan
sesama manusia yang dengan pekerjaan tersebut mempunyai nilai
manfaat duniawi.11
Islam dan Eksistensi Tradisi
Tradisi yang dibangun Islam dengan keterbukaan atas
realitas zaman yang berkembang harus disadari oleh para
pemeluknya. Kejumudan tradisi yang telah lama menggejala dalam
masyarakat dengan beraneka ragam ritual yang menemani mereka
harus dikaji kembali keabsahannya untuk kemajuan umat Islam
itu sendiri. Perlulah masing-masing orang membuka ingatannya—
rethinking—bahwasanya kemunduran Islam terdahulu disebabkan
oleh jutifikasi umat terhadap hasil pemikiran ulama-ulama tanpa
mempertanyakan validitas dari pemikiran mereka. Ibarat ayam
bertelur emas, mereka sering bertaklid buta dengan pemikiranpemikiran tersebut.
Timbal balik atas pemikiran itu pembenaran buta akan
pemikiran yang ada. Sementara itu, realita futuristik umat
membuktikan, relevansi kebenaran di zaman ini terhadap zaman
mendatang senantiasa debatable kebenarannya. Kajian dalam
tradisi ritual dalam Islam harus dimanifestasikan dalam wadah
yang continue, tidak statis. Konstruk yang ada dalam Islam masa
Afif Muhammad, Islam Mazhab Masa Depan Menuju Islam Nonsektarian....., hlm. 245.
11
10a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Mewujudkan Tradisi Islam (oleh: Mas’udi)
depan adalah perpaduan antara tradisi lokal dengan ajaran-ajaran
normatif yang ada dan diajarkan oleh agama.
Kejumudan dalam perjalanan tradisi Islam yang beraviliasi
dengan ekstremitas tidak akan pernah terjadi, jika pengertian tradisi
Islam yang instan, kolaboratif, adoptisiasi terhadap budaya lokal
senantiasa diketahui oleh para pemeluknya. Kontruksi tercepat
terhadap pemberitahuan akan keadaan tradisi Islam yang instan
ini adalah dengan mensosialisasikan sistem terpadu terhadap
masyarakat dari elemen-elemen yang paling bawah sampai yang
atas. Alternatif ini dapat dijadikan jalan tengah—middle roader—
untuk mengantisipasi kesalahpahaman akan hakekat tradisi Islam
yang termanifestasikan dari nilai-nilai normativitas agama serta
ajaran lokal.
Tradisi ritual dalam Islam yang telah mengakar kuat
dalam lubuk sanubari para pemeluk agama Islam adalah suatu
bukti akan tradisi dalam Islam yang berhaluan kepada hakikat
normativitas-historisitas. Normativitas itu dapat dilihat dari
asas dasar yang senantiasa mereka nomersatukan dengan tidak
mengenyampingkan unsur budaya lokal. Historisitas sebagai
komunitas berbagi dalam keseharian mereka, pada akhirnya akan
terkuaklah suatu pengertian pasti tradisi Islam adalah tradisi yang
senantiasa menyanjung tinggi dengan mengedepankan unsurunsur dasar agama dari pada cabang-cabangnya yang debatable,
sehingga terciptalah suatu tradisi dalam Islam yang menjadikannya
rahmat bagi alam semesta.
Dalam catatannya, Mas’udi merumuskan bahwa manusia
perlu melihat kembali identitasnya sebagai manusia yang utuh
dan diciptakan oleh Tuhan untuk mengemban amanat terbesar
sebagai pelindung dan pelestari bumi. Itulah pesan moral yang
senantiasa dipersinggungkan dalam kajian perenial. Sebuah pesan
keabadian yang bersandar seutuhnya kepada prinsip-prinsip
tradisi dalam kehidupan masyarakat. Konsep “keabadian” yang
diperlambangkan dalam kajian perenialisme adalah untuk melihat
suatu kesejajaran akan kebenaran-kebenaran yang terdapat dalam
agama yang mewadahi aspek kehidupan manusia.12 Untuk inilah
Mas’udi, “Perenialisme dalam Islam (Studi atas Pemikiran Seyyed
Hossein Nasr)”, dalam Skripsi, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2005, hlm.
12
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
11
Mewujudkan Tradisi Islam (oleh: Mas’udi)
Seyyed Hossein Nasr menekankan bahwa dalam perenialisme
pada hakekatnya terdapat kebenaran dalam seluruh agama. Inilah
yang disebutnya ”inner metaphysical truth of religion” (kebenaran
metafisis batiniah agama)—dalam kamus peristilahan Islam
disebut al-din al-hanif—primordial relegion. Kebenaran sejati itu
selalu hadir sepanjang sejarah, berlaku abadi. Dengan kata lain,
terdapat persatuan prinsip hakikat keilahian sebelum terjadinya
keragaman.13
Pembahasan tentang aspek primordial agama yang
dijelaskan oleh Seyyed Hossein Nasr dengan pengukuhan
tradisi merupakan hakikat yang diajarkan Islam kepada seluruh
pemeluknya. Hal ini secara niscaya pula dilakukan oleh seluruh
lapisan pemeluk agama dengan harapan besar mereka untuk
mengukuhkan doktrin agama yang berlandaskan kepada tradisi
keniscayaan yang perlu dipertahankan. Semangat ajaran-ajaran
kitab suci itu dipertegas dengan firman Allah, “Dan barang
siapa Alloh menghendaki untuk diberikanNya hidayah, maka Dia
lapangkan dada orang itu untuk ( atau karena ) Islam; dan barang
siapa Alloh menghendakinya sesat, maka Dia jadikan dada orang
itu sempit dan sesak, seolah-olah naik ke langit” (QS.al-An’am,
6:125).
Membaca ayat al-Qur’an di atas sebuah keniscayaan hadir
ke tengah-tengah kehidupan beragama umat bahwa sikap terbuka
adalah bagian dari pada iman. Sebagai alasannya, seperti ternyata
dari firman di atas berkenaan dengan sikap kaum kafir tersebut,
tidak mungkin menerima kebenaran jika dia tidak terbuka. Karena
itu difirmankan bahwa sikap tertutup, yang diibaratkan dada
yang sempit dan sesak, adalah indikasi kesesatan. Sedangkan
sikap terbuka itu sendiri adalah bagian dari sikap”tahu diri”,
yaitu tahu bahwa diri sendiri mustahil mampu meliputi seluruh
pengetahuan akan kebenaran. Sikap “tahu diri” dalam makna
yang seluas-luasnya adalah kualitas pribadi yang amat terpuji,
sehingga ada ungkapan bijaksana bahwa ” Barang siapa yang
tahu dirinya maka dia akan tahu Tuhannya.” Artinya, kesadaran
orang akan keterbatasan dirinya adalah akibat kesadarannya akan
72.
13
12a
Ulumul Qur’an, No. 4. Vol. IV, 1993, hlm. 111.
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Mewujudkan Tradisi Islam (oleh: Mas’udi)
ketidak terbatasan dan kemutlakan Tuhan. Jadi tahu diri sebagai
terbatas adalah isyarat tahu tentang Tuhan sebagai Yang Tak
Terbatas, yang bersifat serba Maha. Dalam tingkah laku nyata,
“tahu diri” itulah yang membuat orang juga rendah hati (harap
jangan dicampuraduk dengan “rendah diri”). Dan sikap rendah
hati itu adalah permulaan adanya sikap jiwa yang suka menerima
atau receptive terhadap kebenaran. Inilah pangkal iman dan jalan
menuju Kebenaran.14
Harapan Ideal Islam Masa Depan
Sebagaimana terilustrasi dari beberapa pembahasan
terdahulu tampak bahwa Islam secara niscaya hadir di tengahtengah kehidupan umat sebagai pencerah dinamika sosial, budaya,
ekonomi, dan atau bahkan politik seutuhnya. Islam “mengambil
istilah Osman Bakar sebagai middle roader” menjadi jalan
tengah di antara kompleksitas kebutuhan umat manusia akan
hidup dan kemanusiaan itu sendiri. Kenyataan ini secara hakiki
diwujudkan oleh Rasulullah dalam kehidupannya sehingga mampu
menghadirkan Islam sebagai solusi kebutuhan umat manusia. Islam
menjadi pintu utama manusia berhutang akan hidupnya kepada
Ilahi. Untuk itulah, Mas’udi mencatat bahwa seorang Muslim
tidak dapat secara langsung mengerti atas pemenuhan dirinya
untuk membayar keberhutangan dirinya kepada Tuhan. Di atas
kenyataan inilah dalam tradisinya yang berlanjut Islam melalui
pembawa amanatnya Nabi Muhammad saw., menjadikannya
patokan dalam kehidupan kaum Muslim. Dalam pandangan
Nasr sebagaimana dikutip oleh Mas’udi dijelaskan bahwa upaya
untuk meniru Nabi, yang merupakan inti dari spiritualitas dan
kesalehan Islam, harus didasarkan atas al-Sunnah, atau tradisitradisi dan perbuatan-perbuatannya. Al-Sunnah memberikan
contoh-contoh konkret dan akses pada teladan Muhammad yang
telah diperintahkan oleh al-Qur’an agar ditiru oleh orang yang
beriman.15
Al-Sunnah adalah ulasan atas al-Qur’an dan tata cara
Dianalisa dari “Pintu-Pintu Menuju Tuhan” karya Nurcholish
Madjid melalui pengungguhan pada http://paramadina.wordpress.com/category/
pemikiran-cak-nur/ diakses pada tanggal, 7 Agustus 2009.
15
Mas’udi, “Perenialisme dalam Islam...........”, hlm. 78-79.
14
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
13
Mewujudkan Tradisi Islam (oleh: Mas’udi)
kaum Muslim mengetahui bagaimana kebenaran-kebenaran Teks
Suci itu dihidupkan oleh makhluk Tuhan yang paling sempurna
dalam kehidupan manusiawi namun benar-benar suci.16 Melalui
al-Sunnah, setiap segi kehidupan manusia disakralkan, karena
hukum Ilahi (al-Syari’ah) itu sendiri yang menjadi acuan bagi
kehidupan Islam, didasarkan bukan hanya pada al-Qur’an
melainkan juga pada al-Hadits. Dan dalam pengertian yang lebih
umum, al-Sunnah, yang karena mencakup seluruh amalan-amalan
dan tradisi-tradisi Nabi, dalam suatu pengertian juga mencakup
al-Hadits.
Al-Hadits sendiri adalah bagian dari al-Sunnah, karena
ia terdiri dari tradisi Nabi yang berbentuk ucapan dan bukan
perbuatan. Kata al-hadits itu sendiri berarti “ucapan”, tetapi ia
juga diterjemahkan sebagai “tradisi”.17 Kedua panduan hukum
dalam Islam tersebut memiliki peranan yang sangat berarti bagi
perjalanan kehidupan seorang Muslim. Hanya al-Qur’anlah yang
mempunyai nilai lebih tinggi dan otoritas lebih besar. Al-Hadits
sesungguhnya, adalah ulasan paling pertama dan paling penting
atas al-Qur’an.18 Pada saat yang sama ia melengkapi Teks Suci
dan menguatkan serta lebih memperjelas ayat-ayatnya. Al-Hadits
merupakan perluasan dalam bahasa manusia, yakni Nabi, dari
Firman Ilahi yang berwujud al-Qur’an.
Penutup
Mengkaji Islam dari sudut pandang eksklusif akan
memunculkan ketimpangan dalam pemahaman itu sendiri. Produk
aktif yang dapat dikedepankan dalam memahami aspek-aspek
tradisi ini adalah suatu bagan pengertian dari hakekat tradisi
sebagai konstruksi pemahaman yang tercipta dari kebiasaankebiasaan yang terjadi di masyarakat dalam kesehariaannya.
Kesalahan dalam masyarakat terhadap asas tradisi tidak akan
muncul tatkala penetahuannya seputar tradisi; adalah pengetahuan
yang diciptakan oleh warisan-warisan nenek moyang mereka
masing-masing bersandar kepada nilai dasar beragama dan
beradat-istiadat.
Ibid.
Ibid.
18
Ibid.
16
17
14a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Mewujudkan Tradisi Islam (oleh: Mas’udi)
Menumbuhkan keterbukaan akan komplektisitas hidup
yang sarat kehidupan yang bersifat normatif dan historis adalah
realitas yang diperjuangkan Islam bagi kehidupan umat. Sejarah
adalah bukti dari suatu kenyataan. Akan tetapi bersifat dinamis
terhadap kemunculan sejarah itu sendiri akan menyelamatkan
setiap orang dalam kebutaan terhadap hal-hal yang harus
direalisasikan dalam kemajuan tradisi yang telah ada.***
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
15
Mewujudkan Tradisi Islam (oleh: Mas’udi)
DAFTAR PUSTAKA
M. Greely, Andrew. Agama Suatu Teori Sekuler. Jakarta:
Erlangga, 1982.
Sujarwa, Manusia dan Fenomena Budaya. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1999.
Afif Muhammad, Islam Mazhab Masa Depan Menuju Islam Nonsektarian. Bandung: Pustaka Hidayah, 1998.
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan
Terjemahnya. Semarang: Al-Wa’ah, 1989.
Nurkhalish Madjid, Khazanah Intelektual Islam. Jakarta: Bulan
Bintang, 1994.
Bakar, Osman, Islam dan Dialog Peradaban. Yogyakarta: Fajar
Pustaka. 2003
Suadi Putro, Islam dan Modernitas. Jakarta: Paramadina, 1998.
http://paramadina.wordpress.com/category/pemikiran-cak-nur/
Ulumul Qur’an, No. 4. Vol. IV, 1993
Mas’udi, “Perenialisme dalam Islam (Studi atas Pemikiran
Seyyed Hossein Nasr)”, Skripsi, UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2005.
Hery Sucipto, ed., Islam Madzhab Tengah Persembahan 70 Tahun
Tarmizi Taher. Jakarta: Grafindo, 2007.
Ris’an Rusli, Pembaharuan Pemikiran Modern dalam Islam.
Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2013
16a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
KRITIK WACANA PLURALISME AGAMA
Andi Hartoyo
Sekolah Harapan Utama Batam
Email: [email protected]
ABSTRAK
Kehidupan adalah sebuah proses dialog terus-menerus dan di
dalam dialog tersebut seseorang akan memberi dan menerima.
Dialog akan terwujud hanya ketika seseorang bisa duduk
sejajar dalam dataran kediriannya. Dunia ini milik bersama,
hidup ini dijalani bersama dan semua persoalan manusia
adalah juga persoalan semua orang, termasuk persoalan
keber-Tuhan-an dan masalah agama serta keberagamaan
adalah juga persoalan sebagai sesama manusia. Kedirian akan
lestari serta akan menimbulkan rasa damai serta kreatif kalau
tali pengikatnya adalah ikatan cinta, simpati dan didasari rasa
saling menghormati, saling mempercayai serta masing-masing
bisa dipercaya. Spiritualitas akan membuat seseorang semakin
lembut, semakin peduli terhadap lingkungan dan sesama
makhluk hidup. Apabila seseorang menjadi semakin egois,
semakin mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompok
berarti seseorang itu belum spiritual (belum beragama),
walaupun seseorang itu mengenakan jubah seorang pendeta
atau pastor atau ulama, maka orang itu belum memahami esensi
agama. dan jika seseorang sudah memahami esensi agama
maka, seseorang itu tidak akan terjebak dengan Fanatisisme,
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
17
Kritik Wacana Pluralisme Agama (oleh: Andi Hartoyo)
Kelompokisme, Eklusivisme dan Isme-isme yang lain.
Kata Kunci: Pluralisme, Menghormati, Peraturan-peraturan,
Simpati
Masalah Pluralisme Agama
Saat ini, manusia hidup dalam dunia yang bergerak begitu
cepat kearah pluralisme dengan beragam agama, bahasa dan budaya
sebagai akibat dari perkembangan modernisme, liberalisme dan
globalisasi.1 Di tengah gemerlap perubahan dahsyat itu, masyarakat
agama justru memperlihatkan kultur sebaliknya: kerusuhan,
kekerasan dan konflik berkepenjangan. Terutama dalam dekade
terakhir ini. Banyak ketegangan muncul yang sebagaian dipicuh oleh
minimnya paham keberagamaan, etnik dan budaya yang pluralis.2
Dampak modernisme adalah kecenderungannya untuk massifikasi
(penyeragaman manusia dalam kerangka kerja teknis), sistem kerja industri yang
menempatkan semua orang sebagai mesin atau sekrup dari sebuah sistem teknis
rasional. Maka itu agama yang berposisi menempatkan nilai masing-masing
manusia sebagai unik berharkat yang merupakan citra Tuhan. Dan dampak
yang kedua adalah sekularisme yang tidak mengakui lagi ruang nafas buat yang
Ilahi atau dimensi relegius dalam hidup ini. Sekulerisme adalah wujud ekstrem
negatif dari proses skulerisasi karena mau memilah-milah adanya jagat relegius
dengan hukum-hukum dan jadag dunia sekular dengan hukum-hukumnya pula.
Mampukah krisis sekularisme lewat wajah-wajah ekstrim ateisme ditanggapi
oleh religiositas agama secara kritis bisa menegaskanb bahwa rasionalitas atau
akal budi memang pemberian Tuhan Tertinggi untuk manusia. Lihat lagi Mudji
Sutrisno, Agama, Harkat Manusia dan Modernisme dalam Dialog: Kritik dan
Identitas Agama, seri DIAN I/th I, (Yogyakarta; Interfield, 1993), hlm. 203
2
Peperangan, kekerasan atau dorongan kearah yang menggunakan
label agama, secara implicit atau ekplisit terus merebak dan menguat di sana
sini. Ini dapat ditemui pada hampir semua agama. Misalnya pada agama Yahudi
Sholomo Goren (1984), mantan pimpinan Rabbi untuk kelompok Yahudi Eropa
Barat di Israel yang mengeluarkan fatwa bahwa “melakukan pembunuhan
terhadap Yaser Arafat merupakan bagian dari tugas suci keagamaan. Kemudian
dalam agama Kristen juga, sejak awal decade 90-an yaitu pengaruh Serbia yang
didukung Gereja ortodoks membumi hanguskan Masjid-masjid di Sarajevo
menjai lautan darah. Sementara di dalam Islam adanya gerakan terorisme
dalam beragam bentuknya seperti Hezbullah yang sering disebut sebagai pelaku
pengerahan truk-truk bom maut yang menghancurkan markas besar pasukan
Amerika Serikat, Inggris dan Perancis di Beirut. Itu semua dikatakan secara
samar-samar digerakkan oleh semangat keagamaan. Di luar itu banyak kasus lain
akan meneguhkan adanya kekerasan yang digerakkan oleh semacam motivasi
1
18a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Kritik Wacana Pluralisme Agama (oleh: Andi Hartoyo)
Karena itu, paham pluralisme agama perlu disegarkan kembali.
Konflik berkepanjangan dan kerusuhan yang tak kunjung
henti dan maraknya beragam bentuk kekerasan menyadarkan
manusia bahwa nilai-nilai kemanusian tampaknya kini mulai
memudar paling tidak kurang diperhatikan dari kehidupan umat
beragama. Fenomena ini mengisyaratkan bahwa adanya sebagian
umat beragama yang menganggap kekerasan atau pola-pola
agresivitas sebagai sesuatu yang biasa atau lumrah, bahkan di
antara mereka ada yang menjadikan sikap dan prilaku agresif itu
sebagai sarana untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapinya.
Anand Krishna mengungkapkan bahwa agama berpotensi
mempersatukan umat manusia dan bukan justru memecah belah.
Walaupun pandangan tentang agama setiap umat beragama
(manusia) berbeda-beda, itu disebabkan oleh pemahaman masingmasing pemeluk agama juga berbeda. Karena agama merupakan
pengalaman individu, maka tujuan utama dari agama adalah
memanusiakan manusia.
Sebenarnya, akar berbagai kerusuhan yang berbau agama,
bermula pada rasa prustasi dan alienasi serta deprivasi ekonomi
dan politik. Marginalisasi periferialisasi dan depresi serta politik
yang dialami massa menjadi kepahitan dan kemarahan yang siap
meledak setiap saat menjadi kekerasan politik. Pada kondisi
semacam itu, agama menjadi pemicu paling mudah dan efektif
sebagai alat3 pemersatu untuk mengarahkan massa melakukan
keagamaan. Lihat Abd ‘A’la, Melampaui Dialog Agama, Qomaruddin SF, ed.,
(Jakarta: Kompas, 2002), hlm, 16-17
3
Salah satu kemajemukan yang sangat krusial mengundang konflik
atau pertentangan adalah diversitas dalam agama, bahkan dalam realitasnya
perbedaan dalam aspek-aspek yang lain sering ditarik oleh sebagaian orang
atau kelompok karena pemahaman agama mereka yang literalis atau karena
kepentingan tertentu kedalam wilayah agama dalam rangka pembenaran
(justifikasi). Justifikasi agama dalam suatu konflik, khususnya konflik yang
timbul pada antar penganut agama –agama yang berbeda sangat mudah muncul
kepermukaan. Dalam kondisi semacam itu agama merupakan bahan empuk
sebagai bahan pemersatu massa (kelompok) yang histeris dan anarkis. Demikian
pula simbol-simbol agama merupakan teriakan-teriakan pembangkit semangat
efektif. Dengan mengatas namakan agama dan mengangkat simbol-simbol
sakral, massa atau kelompok menjadi semacam pasukan berani mati yang
berupaya melenyapkan kelompok lain. Baca Mudji Sutrisno, Agama, Harkat
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
19
Kritik Wacana Pluralisme Agama (oleh: Andi Hartoyo)
kekerasan yang dibungkus dengan label agama.
Dalam tataran tersebut agama-agama diharapkan memiliki
focus terhadap persoalan hidup manusia. Sejalan dengan itu pula
sejumlah tokoh seperti Schuman menunjukkan sikap optimistiknya
tentang masa depan kehidupan manusia. Dia menyatakan :
Memasuki millenium ketiga umat manusia akan mengalami
perubahan kearah signifikan yang lebih baik. Namun untuk
pencapaian kearah sana, rekontruksi pemahaman keagamaan
umat manusia menjadi niscaya untuk dikembangkan karena
manusia agama bersifat eksklusif. Agama-agama hendaknya
berperan mengontrol manusia menjadi individu dewasa, merdeka
dan bertanggung jawab di tengah-tengah masyarakat dan bangsa
di dunia. Tetapi harapan semacam itu, hanya sekedar harapan
belaka. Kehidupan sejahtera yang mencerminkan perdamaian
secara hakiki belum dapat diwujud nyatakan dalam kehidupan
manusia.4
Memasuki millenium ketiga, kekerasan tetap mewarnai
kehidupan manusia sampai derajat tertentu menunjukan tingkat
eskalasi yang mengerikan. Dalam skala internasional, terorisme
menjadi monster yang mengintai mangsanya setiap saat. Menara
kembar World Trade Centre (WTC) dan gedung Pentagon yang
menjadi sasaran kaum teroris merupakan bukti paling konkrit
tentang jauhnya kehidupan yang damai di atas bumi. Pada tingkat
nasional, kerusuhan dan kekerasan dalam bentuk yang beragam
terus mewarnai kehidupan bangsa, bahkan para elite bangsa yang
seharusnya menjadi teladan masih sering menampakkan sikap
mereka yang jauh dari nilai-nilai civility. Secara langsung atau tidak
langsung mereka mentolerir atau bahkan mendorong penggunaan
kekerasan sekedar untuk mempertahankan kekuasaan.
Terlepas dari adanya perbedaan mengenai bentuk-bentuk
konkrit dari aplikasi nilai dan ajaran setiap agama, maka semua
Manusia...., hlm. 33. Baca juga Azyumardi Azra, Menuju Masyarakat Madani:
Gagasan, Fakta dan Tantangan, (Bandung: PT. Rosda Karya , 1999), hlm. 11
4
Olaf Schuman, Milenium Ketiga dan Tantangan Agama-agama
dalam Martin L. Sinaga Edt. Agama-agama Memasuki Milenium Ketiga,
(Jakarta: Gramedia, 2000), hlm. 5.
20a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Kritik Wacana Pluralisme Agama (oleh: Andi Hartoyo)
agama berdiri dalam dataran yang sama,5 semuanya bertujuan
kebahagian manusia. Untuk itu, tiap-tiap agama meyakini bahwa
tujuan substansial itu tidak mungkin terwujud secara utuh tanpa
adanya kerukunan dan kerja sama di antara semua umat manusia,
terutama antar umat beragama yang berbeda-beda. Kearah sanalah
(Tuhan) semua umat akan kembali.
Di sini, pola keberagamaan yang berkembang masih
menampakkan karakter yang sarat dengan nuansa formalisme
yang kering dari nilai-nilai spiritual dan moral. Akibatnya nilainilai substansial agama yang bernuansa inklusif, moderat, toleran
dan yang searti dengan nilai-nilai itu tidak pernah ditangkap dan
diimplementasikan secarah utuh. Sebaliknya, klaim kebenaran
sepihak yang meniadakan kebenaran kelompok lain kian
mengental pada sebagian kelompok. Konsekuensinya terjadi
penindasan satu kelompok terhadap kelompok lain. Pada sisi
lain dialog yang berkembang masih berjalan pada dataran retorik
semata, serta menitikberatkan pada relasi subyek-obyek yang
terkesan menindas. Pola ini tentunya semakin memperburuk relasi
antara manusia yang sudah tidak kondusif lagi untuk menciptakan
kehidupan yang sejuk.
Semua agama yang berdiri pada dataran yang sama dari aplikasi
nilai dan ajaran. Dalam islam misalnya, kemanusian hakiki adalah kembali
kepada fitrah manusia itu sendiri, sebagai manusia yang cenderung kepada nilainilai keagamaan yang subtansial dan nilai-nilai moral spiritual. Oleh karena itu
manusia dituntut untuk bercermin pad sifat-sifat Allah dan menyebarkannya
dalam kehidupan. Sifat Allah yang Maha Pengasih, Maha Penyayang, dan
sebagainya perlu diupayakan untuk diwujudkan dalam kehidupan sehingga
dunia ini menjadi dunia yang penuh kasih, penuh ketentraman, damai dan
sejahtera. Nyaris tidak berbeda dengan Islam, Kristen mengajak manusia untuk
untuk melepaskan diri dari beban ketakutan terutama terhadap kematian, beban
rasa bersalah dan beban kungkungan egoisme. Dari pembebasan ini manusia
diharapkan menuju satu hidup yang sama sekali baru. Dalam agama Kristen, satusatunya kekuatan yang dapat membebaskan manusia dan mampu menimbulkan
perubahan kehidupan sebagai mana ang diinginkan oleh cinta. Dengan demikian
menyebarkan kasih dan nilai-nilai sejenisnya menjadi tugas utama yang harus
dilakukan oleh setiap manusia yang mengaku dirinya sebagai pengikut Yesus.
Pada prinsipnya hal semacam itu merupakan ajaran hampir semua agama yang
hidup dan berkembang di dunia. Konkretnya semua agama mengajarkan tentang
kebajukan, keadilan dan pertanggung jawaban semua amal perbuatan manusia
dihadapan Sang Pencipta. Abd ‘A’la, Melampaui Dialog., hlm.xi-xii
5
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
21
Kritik Wacana Pluralisme Agama (oleh: Andi Hartoyo)
Kenyataan itu menuntut manusia untuk merekontruksi
dialog antar sesama dalam segala keberagamannya yang telah
berjalan selama ini menuju suatu penciptaan dialog antar
subyek yang mencerahkan. Pada saat yang sama dialog tersebut
hendaknya dikembangkan lebih jauh lagi ke dalam bentuk konkrit
yang bersifat praksis. Melalui model ini juga manusia diharapkan
bukan sekedar dapat menyadari tentang pluralisme kehidupan
sebagai suatu realitas yang konkrit yang tidak mungkin dihindari
lagi, tetapi lebih jauh lagi kesadaran itu bisa di bumikan dalam
kerja kreatif yang berwajah manusiawi.
Perkembangan spiritual dan material
Jika spiritualitas mempresentasikan totalitas sumbersumber kearifan, cinta dan perdamaian bersama di antara semua
agama, maka bagaimanakah hubungannya dengan realitas tertentu
dari tempat tertentu dan waktu tertentu? Bagaimanakah kaitan
spiritualitas total dari totalitas warisan keagamaan manusia
dengan totalitas sejarah manusia?. Selama berabad-abad, orangorang Hindu, Jaina, Budha, Yahudi, Kristen dan Islam mengklaim
memiliki petunjuk unik dan sempurna bagi keselamatan manusia.
Akan tetapi, tahap yang dicapai pada titik ini tampaknya
bertentangan dengan klaim-klaim tersebut. Karena dimana-mana
dijumpai kegelapan, diskriminasi, kebencian, pertumpahan darah
dan ancaman total bagi kehidupan dan keberlangsungan hidup
seluruh ras manusia. Jika dilihat secara global dimanakah peran
spiritualitas sebagai penyembuh.
Manusia secara fitrahnya merupakan makhluk spiritual
dan makhluk rasional, memerlukan agama sebagai kebutuhan
dasar dan di samping itu kebutuhan lain yang bersifat fisikal –
kuantitatif dan rasional – saintifik. Untuk itu, agama yang terdiri
dari seperangkat ajaran, nilai dan simbol perlu dipahami secara
utuh oleh manusia, sehingga kehadirannya benar-benar fungsional
bagi penyempurnaan kehidupan dan kehadiran mereka. Akan
tetapi dalam perkembangannya, identitas agama pada umumnya
ditransformasikan menjadi identitas etnik dalam jangka waktu
yang panjang. Suatu agama sering memulainya sebagai suatu
credo abstrak dengan tampilan dan ruang lingkup universal.
Dalam generasi-generasi berikutnya agama menjadi lebih
22a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Kritik Wacana Pluralisme Agama (oleh: Andi Hartoyo)
konkrit sebagai seperangkat liturgy dan praktek yang terbatas
pada komunitas tertentu dan pada wilayah tertentu. Kemudian
agama mengkristalkan menjadi seperangkat ritual dan kebiasaan
yang lebih konkrit yang membedakan komunitas tertentu dari
komunitas lainya. Komunitas agama menjadi komunitas etnik.
Komunitas etnik masih menjadi komunitas agama dalam banyak
hal, maka agama sekarang telah sangat berbeda dengan agama
generasi terdahulu. Selaras dengan hal itu Anand mengatakan:
Pernah saya mendengar seorang tokoh lewat layar tv, kurang
lebih ia mengatakan bahwa kita harus “membudayakan agama,
jangan mengagamakan budaya”, tokoh ini patut dikasihani
– beliau masih tidak dapat melihat esensi agama itu sendiri.
Agama berkembang dari budaya, budaya tertentu melahirkan
agama-agama besar kita. Budaya itu ibarat akar agama. Agama
adalah batang pohon yang berkembang lewat spiritualitas,
berbuah lewat kesadaran. Bagaimana anda bisa memisahkan
budaya dari agama atau agama dari spiritualitas?. Berhentilah
memilah-milah pahami proses ini, jangan mentuhankan budaya
dan jangan pula mentuhankan agama. Ketahuilah bahwa semua
itu merupakan anak-anak tangga untuk mencapai kesadaran
tertinggi, untuk mencapai tujuan utama kita yang satu dan
sama – Tuhan, Allah, Widi, Budha dan sebutan apapun yang
anda berikan kepada-Nya.6
Keanggotaan etnik berperan sebagai kartu identitas.
Kebutuhan identitas diyakini berasal dari masa yang sangat
awal, bersamaan dengan munculnya kebudayaan manusia yang
hidup dalam komunitas. Kebutuhan ini cenderung dilembagakan
dalam jaringan kekeluargaan yang diperluas. Oleh karena itu,
suatu kelompok etnik adalah kelompok sodilaritas yang untuk
dimana orang terlahir dan terikat secara kultural dan biologis.
Dari perspektif ini, keanggotaan dalam komunitas etno-kultural
secara psikologis dekat dengan kekuatan yang memaksa individu
memilih keanggotaan yang tidak disukai dalam kelas yang secara
sosio-ekonomi menentukan dan menyatukan orang-orang yang
Anand Krishna, Wedhatama Bagi Orang Modern – Madah Agung
Kehidupan – Karya Sri Paduka Mangkunegoro IV, (Jakarta, Gramedia, 1999),
hlm. 92-93
6
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
23
Kritik Wacana Pluralisme Agama (oleh: Andi Hartoyo)
tersebar luas dan dari berbagai komunitas etnik yang mempunyai
nilai-nilai yang berbeda dan berbicara dengan bahasa berbeda
pula.
Dalam setiap komunitas baik komunitas agama atau
kultural memiliki hukum (Syir’atan atau Syari’at) dan jalan
hidupnya sendiri (Minhaj) serta mengalami perkembangan
spiritualnya. Istilah Syir’ah atau Syari’ah secara bahasa berarti
‘jalan mengalirnya air’. Al-Qur’an menggambarkan syari’ah
sebagai suatui sistem hukum yang niscaya bagi kesejahteran
komunitas sosial dan spiritual. Istilah Minhaj pada sisi lain berarti
‘jalan terbuka’, yaitu jalan hidup.7 Dengan demikian, tampak
jelas bahwa para Nabi yang diutus kepada umat-umat yang
berbeda memberikan hukum dan jalan hidup kepada masyarakat
sesuai tingkat kecerdasan dan hal-hal yang dapat mengantarkan
perkembangan spiritual dan material. Anand pun mengatakan “
Tuhan tidak membedakan aapakah seorang itu Islam, atau Hindu,
atau Budha yang Tuhan perhatikan adalah amal saleh manusia itu
sendiri”.8
Bukanlah hal sulit bagi Allah untuk membuat umat
manusia menjadi satu komunitas.9 Tetapi Allah memberi rahmat
kepada manusia berupa pluralisme, sehingga menambah kekayaan
dan keberagaman hidup. Setiap komunitas memiliki jalan hidup,
kebiasaan, tradisi dan hukum sendiri, tetapi semua hukum dan
cara hidup itu haruslah dapat menjamin perkembangan dan
memperkaya hidup walaupun berbeda satu sama lain. Oleh karena
itu kebesaran sebuah agama akan diukur melalui kebesaran tradisi
yang ditinggalkannya, sedangkan kuat-lemahnya sebuah tradisi
agama akan ditentukan oleh kualitas dan kuantitas pendukungnya.
Di samping itu tentu saja oleh muatan ajaran atau doktrinnya,
namun sesungguhnya semua doktrin agama selalu berkembang
Mun’im A Sirry, Membendung Militansi Agama – Iman dan Politik
dalam Masyarakat Modern, (Jakarta: Erlangga, 2003), hlm. 171
8
Anand Krishna, Bersama Sufi…. Hlm. 153
9
“… kami berikan aturan dan jalan yang terang. Kalau Allah
menghendaki, niscaya kamu dijadikannya satu umat saja, tetapi Allah hendak
menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka
berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah kamu semua
kembali…. QS: 5; 48
7
24a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Kritik Wacana Pluralisme Agama (oleh: Andi Hartoyo)
dalam perjalanan historisnya.
Dalam perjalan sejarahnya agama-agama berperilaku
tampaknya ditentukan oleh pandangan dunia yang pada intinya
mereka melihat diri mereka sendiri. Dengan kata lain, pandangan
dunia tidak dapat dihindarkan terkait dengan identitas10 mereka
sebagai pemilik dan yang memproyeksikan klaim kebenaran yang
menafikan klaim-klaim kebenaran lainnya.
Ada banyak identitas dan masing-masing mengaku
memiliki finalitas klaim-klaim kebenaran, maka hal itu cenderung
menjadi konflik dan hal itulah yang dapat disaksikan pada dekade
ini. Baik pada skala kecil maupun besar dalam sepanjang sejarah
manusia. Maka penyamaan antara spiritualitas dan identitas harus
dipandang sebagai penyebab utama perselisihan dan perpecahan.
Kekuatan penyamaan spiritualitas dan identitas sebegitu besar,
sehingga kendatipun terdapat beberapa kesaksian verbal (lisan)
pada hampir semua tradisi keagamaan terdapat universalitas
Tuhan dan transendensi-Nya, akan tetapi hubungan aktual di
antara komunitas-komunitas agama pun tidak berkembang dengan
mudah.
Dalam penyamaan yang tertutup antara persepsi dan
identitas yang dapat dipahami bukanlah pribadi, melainkan jenis
dimana pengertian manusia akan identitas diri yang tertutup
memproyeksikan pengertian orang lain. Sebagai contoh, jika
seseorang memperkenalkan Smith kepada Ahmad, maka karena
dikondisikan oleh pemahaman dirinya yang tertutup sebagai
Manusia didefinisikan sebagai sekelompok yang terikat memiliki
kebutuhan identitas yang hanya dapat dipertemukan secara komperatif, jika tidak
bersifat relasi oposisi inklusif /eklusif dengan kelompok lain. Pembentukan dan
keberlangsungan identitas sering bersifat relasional, oposisional dan konfliktual.
Para anggota etnik dapat menciptakan ikatan-ikatan yang unik dalam bentuk
simbol maupun fisik dalam berhubungan dengan kelompok lain. Ini tidak berarti
ikatan-ikatan yang dibangun secara sosial yang diwujudkan oleh simbol budaya
yang merupakan sistem tertutup. Karena itu tidak mengizinkan pertukaran dan
interaksi yang membentuk kembali identitas. Jika identitas sebagai diferensiasi
dipandang sebagai dimensi yang mempertahankan hidup, maka ia merupakan
bagian yang dibangun dengan menemukan orang lain. Dinamika kami-mereka
dalam hal ini terbentuk secara batiniah dalam psikologi manusia. Zakiyuddin
Baidhawy, Ambivalensi Agama – Konflik dan Nirkekerasan, (Yogyakarta:
LESFI, 2002), hlm.112
10
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
25
Kritik Wacana Pluralisme Agama (oleh: Andi Hartoyo)
seorang muslim Ahmad akan memandang Smith sebagai seorang
Kristen. Inilah yang membentuk semua hal yang oleh Islamnya
Ahmad disamakan dengan Kristen. Begitu pula Smith tidak melihat
Ahmad sebagai pribadi, tetapi sebagi jenis yang membentuk
semua hal yang oleh Kristennya Smith disamakan dengan Islam.11
Pertemuan spiritual adalah pertemuan antara dua pribadi
dan bukan antara dua tipe. Pertemuan spiritual bersamaan dengan
realitas orang lain bagaimana pun benarnya menurut cirri-ciri
tertentu dalam penampilan dan prilaku (baik verbal maupun fisik)
orang lain, citra yang diproyeksikan terhadap orang lain (Kristen,
Yahudi ataupun Muslim) menjadikan seseorang buta dalam
melihatnya sebagai pribadi dengan segala keraguan, kecemasannya
yang membaur dalam kedalaman diri dan misteri kebenaran
transenden, mengajak orang lain agar berhubungan dengannya,
serta mencari titik temu dengan perjalanan spiritual orang lain.
Kendatipun mungkin berbeda dan bahkan bertentangan dalam
upaya berkomunikasi dan memasukinya. Karena tantangan besar
di dalam pencarian spiritualitas yang mengatasi identitas-identitas
dan klain-klaim kebenaran yang tertutup adalah mengakui pribadi
konkrit dan nyata yang dia jumpai. Dengan kata lain, jika tidak
ditemukan realitas orang lain sebagai pribadi, maka semua klaim
untuk mengenal dan untuk memiliki spiritualitas akan menjadi
abstrak dan kemunafikan yang terburuk. Sayangnya beban sejarah
yang dipikul, politik yang mengekploitasi agama dan ketakutan
sekular (yang bersifat rasial, nasional dan internasional) yang
membangun pertahanan keagamaan tampaknya tidak pernah
mengizinkan seseorang untuk melihat orang lain sebagai pribadi,
tetapi sebagai kelompok luar yang diciptakan oleh kelompok
dalam umat beragama itu sendiri.
Dengan demikian langkah yang perlu diperhatikan
menghubungkan spiritualitas dengan realitas adalah kesiapan
seseorang untuk menerima orang lain sebagai pribadi, bukan
sebagai jenis. Untuk meraih hal ini seseorang harus menyelami
bentuk lahiriah dan simbol serta memahami kesatuan internal
(batiniah) dari: 1] asal usul manusia dalam Tuhan.12 2] ketidak
Hasan Askari, Hasan Askari, Askari Hasan, Lintas Iman – Dialog
Spiritual, Terj., Sunarwoto, (Yogyakarta, LKIS, 2003), hlm. 170.
12“
sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya kami
11
26a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Kritik Wacana Pluralisme Agama (oleh: Andi Hartoyo)
terbagian (indivisibilitas) manusia sebagai diri tunggal
sebagaimana ciptaan.13 3] wujud spiritual itu berdasarkan asal
usul dan indivisibilitas Ilahiyahnya.14
Bentuk lahiriah, baik berupa ras, bangsa, bahasa, kultur,
keimanan maupun perbuatan manusia adalah bentuk dan tirai
yang menutupi kesatuan esensial manusia yang tak terlukiskan.
Akan tetapi, ada individu dan spesifitas pribadi dan tradisi.
Selama seseorang mampu mengesampingkan kebiasaan orang lain
sebagai jenis. Maka ia tidak hanya melihatnya menurut kesatuan,
tetapi juga sebagai individu yang unik. Hanya saja jika ia melihat
orang lain tidak hanya sebagai orang yang bersamanya dalam
wujud lahiriah yang esensial, tetapi juga unik dan tunggal. Maka
ia berhadapan langsung dengan realitas orang lain, baik sebagai
pribadi yang terbatas maupun sebagai cermin dari yang lainnya
yakni yang Esa dan unik, sumber segala wujud.
Dalam setiap tradisi agama terdapat jalan esoterik dan
gaib yang mengantarkan pada pusat realisasi ini. Tetapi kekuatan
lahiriah yang sedemikian rupa sehingga jalan internal yang
mengantarkan pada umumnya tertutup oleh beragam bentuk dan
simbol, hingga manusia tersesat dalam pintu bentuk dan simbol
yang tertutup.
Berkumpul bersama berarti mengetuk pintu tersebut dan
dengan demikian kebersamaan antar agama merupakan tanda
pencarian kesatuan batin tersebut. Tidak tampak sama sekali
wujudnya yang terpisah dan eksistensinya yang monologis. Begitu
seseorang mengetahui orang lain sebagai pribadi riil, baik secara
individual maupun universal maka ia bersama-sama dengannya
mewujudkan cinta dan simpati spontan. Oleh karena itu, dalam
tiap do’a, dalam tiap mereka menyembah Tuhan, dalam setiap
yang benar dan bahkan dalam perbedaan paham umat beragama
ada kesatuan dan perdamaian, harapan dan cinta.
Agama-agama dalam Perbedaan dan Persamaan
Agama dalam segala sesuatu dalam kehidupan, berdiri di
kembali” QS: 2; 156
13“
Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhan mu yang telah
menciptakan kamu dari diri yang satu” QS: 4; 1
14
Hasan Askari, Lintas Iman ......., hlm. 173
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
27
Kritik Wacana Pluralisme Agama (oleh: Andi Hartoyo)
bawah ambiguitas. Ambiguitas berarti bahwa agama adalah kreatif
sekaligus destruktif. Agama memiliki kesuciannya (sakralitas)
dan ketidaksuciannya (profanitas), oleh karena itu setiap agama
mempunyai perbedaan dan persamaannya. Kesatuan dari berbagai
bentuk agama itu dapat digambarkan dengan jelas oleh hubungan
timbal balik antara tiga agama besar (Yahudi, Kristen dan Islam)
yang disebut sebagai agama monoteisme.15 Karena dari ketiga
agama itulah yang sering menampakkan dirinya dalam bentuk
eksoterik yang tidak dapat dirukunkan satu sama lainnya. Akan
tetapi yang perlu diperjelas perbedaan antara yang dapat disebut
dengan kebenaran simbolis dan kebenaran objektif.
Monoteisme pada hakikatnya didasarkan pada konsepsi
dogmatis tentang kesatuan Ilahi. Konsepsi dogmatis itu bermaksud
menunjukan konsepsi yang disertai sikap yang menolak pandangan
lain. Tanpa sikap tersebut (yang merupakan pembenaran bagi
semua dogma), tidak mungkin adanya penerapan eksoteris.
Walaupun pembatasan ini penting demi kelangsungan hidup
bentuk-bentuk eksoteris. Pembatasan itu pada dasarnya disebabkan
oleh keterbatasan yang ada dalam setiap sudut pandang teologis.16
Paham monoteisme sudah dikenal sejak dahulu sebelum orangorang kemudian beralih menyembah Tuhan-tuhan yang banyak (politeisme).
Dengan demikian ajaran monoteisme yang didakwahkan oleh agama semitik
sesungguhnya bukanlah hal baru, melainkan mempertegas dan memperjelas
kembali paham yang pernah tumbuh, tetapi karena berbagai faktor lalu menjadi
samar-samar. Dalam sejarahnya manusia menyebut Tuhan Yang Esa dan Mutlak
itu dengan berbagai nama dan istilah, namun secara subtansial, beragam nama
itu menunjuk kepada Dzat yang sama. Untuk lebih jelas lagi baca Amstrong
Karen, Sejarah Tuhan, Penerjemah Zaimul Am, (Bandung, Mizan, Cet VI, Mei
2003), hlm. 11-37 Baca juga Komaruddin Hidayat dan Muhammad Wahyudi
Nafis, Agama Masa Depan – Perspektif Filsafat Perennial, (Jakarta, Gramedia,
2003), hlm. 69-73.
16
Sebuah agama tidak dibatasi oleh apa yang dicakup olehnya
melainkan oleh apa yang tidak dicakup olehnya. Ketidak pencakupan ini, tidak
akan merusak kandungan agama yang terdalam – setiap agama pada hakikatnya
merupakan suatu totalitas – tetapi sebagai gantinya akan lebih banyak wilayah
perantara yang sering dinamakan “batas manusia” dan yang merupakan arena
spekulasi dan kegairahan teologis baik moral maupun mistis. Jelas bukan
metafisika murni atau esoterisme yang akan membebani umat dengan kewajiban
untuk berpura-pura bahwa suatu pertentangan yang tampak mencolok itu bukan
suatu pertentangan. Dengan itu yang perlu dilakukan adalah mengetahui bahwa
pertententangan-pertentangan yang tidak hakiki dapat mengesampingkan
15
28a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Kritik Wacana Pluralisme Agama (oleh: Andi Hartoyo)
Dengan kata lain, sudut pandang teologis ditandai oleh ketidak
sesuaian dalam bidangnya sendiri antara berbagai konsepsi. Dan
dari segi bentuk berbagai konsepsi itu saling bertentangan, namun
dari segi ajaran metafisika atau kerohanian murni rumusanrumusan yang kelihatannya saling bertentangan, sebenarnya tidak
dapat dipisahkan satu sama lain atau saling berhubungan satu
sama lain.17
Keterbukaan yang makin berkembang terhadap kebaikan
dan kebenaran yang terdapat dalam tradisi agama-agama lain
memberi harapan bagi terbentuknya era baru pemikiran keagamaan.
Meskipun pertentangan antar agama-agama tetap menodai
kehidupan bersama. Namun kekacauan sejarah agama dalam semua
priode sejak zaman primitif terdahulu sampai perkembanganperkembangan terakhir akan sangat membingungkan, karena
kunci yang melahirkan aturan di luar kekacauan itu adalah segala
sesuatu dalam realitas, dapat mempengaruhi dirinya sebagai
sebuah simbol bagi hubungan khusus pikiran manusia pada dasar
dan arti pokoknya. Maka untuk membuka pintu yang tertutup
atas kekacauan simbol agama ini, seseorang harus bertanya apa
yang menjadi hubungan pokok tersebut yang disimbolisasikan
dengan simbol-simbol agama itu?. Oleh karena itu Anand selalu
menegaskan tentang manusia yang sadar akan esensi agama dan
dapat melampaui kesadaran pikirannya sendiri yang dapat menjaga
ketentraman hidup bersama dalam perbedaan agama.
Secara simbolis, simbol-simbol agama menunjukan pada
simbol yang melebihi mereka sendiri. Akan tetapi mereka sendiri
turut serta di dalamnya sebagai simbol-simbol yang mereka
tunjukan. Sehingga selalu cenderung (dalam pemikiran manusia)
menggantikan hal yang dianggap menunjuk dan menjadi pokok diri
mereka, sehingga mereka menjadi patung-patung. Pemberhalaan
bukanlah sesuatu yang berbeda dengan absolutasi simbol-simbol
Sang suci dan membuat simbol-simbol itu identik dengan Sang
kesesuaian atau identitas yang hakiki, yang sama artinya dengan mengatakan
bahwa masing-masing yang bertentangan itu mengandung kebenaran, karena
adalah salah satu aspek dari seluruh kebenaran serta satu jalan menuju totalitas.
Frithof Schuon, Islam dan Filsafat Perennial, penerjemah Rahmani Astuti,
(Bandung: Mizan,1998), Cet IV, hlm. 55
17
Fritchof Schuon, ibid., hlm. 154
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
29
Kritik Wacana Pluralisme Agama (oleh: Andi Hartoyo)
Suci itu sendiri. Dengan cara ini orang-orang suci bisa menjadi
Tuhan.
Tindakan-tindakan ritual dapat memberikan validitas
mutlak meskipun hanya merupakan ungkapan situasi yang
khusus. Disini dapa dilihat dengan apa yang sering disebut sebagai
“demonisasi” dalam semua aktivitas sakramental agama dalam
semua obyek suci, doktrin-doktrin suci dan upacara-upacara suci.
Semuanya menjadi demonik yang terangkat pada karakter pokok
dan mutlak dari Sang Suci itu sendiri.18
Dalam semua simbol agama, ada tingkatan-tingkatan
simbol yang fundamental yaitu: tingkat transenden dan tingkat
imanen. Tingkat transenden adalah tingkat yang mulai di luar
realitas empiris yang dihadapi, sedangkan tingkat imanen adalah
tingkat yang dijumpai dalam pertemuan dengan realitas.19
Pada tingkat transenden, simbol dasar akan menjadi Tuhan
itu sendiri. Tetapi, Tuhan tidak dapat begitu saja dikatakan sebuah
simbol karena ada dua hal yang selalu berkembang dengan Tuhan
itu sendiri. Pertama adalah bahwa ada elemen non-simbolis berada
dalam image Tuhan yaitu Tuhan adalah realitas pokok, makhluk
diri, dasar kekuatan makhluk dan makhluk tertinggi dari segala
hal-hal yang benar-benar eksis dengan jalan yang paling sempurna.
Dengan demikian manusia memiliki image wujud tertinggi dalam
benak mereka dan makhluk dengan karakteristik kesempurnaan
tertinggi. Hal ini berarti bahwa manusia memiliki simbol yang
merupakan simbolisasi gagasan tentang Tuhan yaitu “makhluk
diri”.20
Kedua adalah kualitas-kualitas dan lambang-lambang
Tuhan. Apapun yang dikatan umat beragama tentang-Nya ; Dia
Maha Pengasih, Maha Pemurah, Ada dimana-mana dan lain
sebagainya merupakan lambang-lambang Tuhan yang berasal dari
kualitas-kualitas yang telah dialami dalam diri manusia, dan itu
tidak dapat diaplikasikan pada Tuhan dengan pemahaman harfiah.
Paul Tillich, Teologi Kebudayaan – Tendensi, Aplikasi dan
Komparasi, Penerjemah, Mimin Muhaimin, (Yogyakarta: Ircisod, 2002), hlm.
71
19
Ibid
20
Ibid, hlm. 72
18
30a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Kritik Wacana Pluralisme Agama (oleh: Andi Hartoyo)
Jika hal itu terjadi, maka ia mengarah pada absurditas yang tak
terbatas jumlahnya. Ini juga menjadi salah satu penyebab destruksi
agama akibat interpretasi komunikasi yang keliru tentang-Nya.
Sedangkan pada tingkat Imanen yaitu tingkat penampilanpenampilan Tuhan dalam waktu dan ruang. Diantaranya adalah
Inkarnasi-inkarnasi Tuhan,21 Makhluk-makhluk berbeda dalam
waktu dan ruang. Gagasan inkarnasi ini selalu berhubungan dengan
tingkat transenden dan tingkat imanen. Secara historis seseorang
dapat mengatakan bahwa perjalanan keduanya merupakan situasi
tingkat imanen dan transenden, yang ia tidak membedakannya.
Tetapi, inkarnasi-inkarnasi22 karakter sakramental lebih
dibutuhkan di Yunani (Dewa-dewa dalam Mitologi), bangsabangsa Semitik dan India karena untuk menghindari keterasingan
Tuhan yang berkembang bersama penguatan elemen transenden.
Masalah inkarnasi ini pun Anand Krishna menjelaskan:
Penciptaan itu terjadi dimana saja, tidak perlu dipermasalahkan
lagi. Apakah seorang bayi lahir secara alami, lewat test-tube
Inkarnasi Tuhan dalam hal ini adalah mitos Kristen yaitu Tuhan
turun ke dalam pribadi anak-Nya yang dilahirkan di bumi sebagai anak kecil,
yang meninggal demi ampunan dosa-dosa manusia dan bangkit kembali untuk
melanjutkan kehidupan di bumi dan kemudian naik ke surga, untuk nantinya
kembali lagi di hari akhir dengan segala kebesarannya. Dalam kata-kata yang
terkenal dari pernyataan iman (yang berasal dari abad keempat),ini adalah
kisah Tuhan Yang Maha Besar, pencipta langit dan bumi dan putera-Nya
Yesus penguasa umat, yang eksis sebelum ada waktu dan dilahirkan di bumi
dari Roh Kudus dan perawan maria. Dia menderita di bawah Pontius Pilate
dan disalib demi ampunan dosa-dosa, bangkit kembali di hari ketiga, naik ke
Surga dimana ia duduk di tangan kanan Tuhan Bapa dan kemudian datang lagi
untuk menghakimi yang hidup dan yang mati. Lihat John Hick, Dimensi Kelima
Menelusuri Makna Kehidupan, Terj., Hermansyah Tantan, (Jakarta, PT.Rosda
Grafindo Persada, 2001), hlm.302
22
Penganut Budha biasanya berbicara tentang kelahiran kembali
ketimbang inkarnasi, karena tidak ada kontinuitas entitas yang berinkarnasi
secara berurutan. Salah satu ajaran Budha adalah tidak ada diri, jiwa, atman,
yang abadi. Bahkan diri empiris atau ego bukan entitas yang tahan lama tetapi
(seperti yang dikatakan David Hume) merupakan suksesi momen kesadaran yang
terkait bersama-sama dengan fakta bahwa momen yang berikutnya dipengaruhi
oleh dan memasukan memori momen-momen awal. Di dalam kontunuitas
kasual, menurut doktrin karma, semua tindakan manusia (termasuk aksi mental)
mempengaruhi masa depan seseorang dan masa depan orang lain. John Hick,
ibid., hlm. 316
21
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
31
Kritik Wacana Pluralisme Agama (oleh: Andi Hartoyo)
ataupun cloning – kelahirannya tetap membuktikan kehadiran
Allah. Jangan takut Tuhan anda akan menganggur. Yang berulang
kali mengalami kelahiran dan kematian adalah ego kita yang
begitu kompleks. Keinginan-keinginan yang tidak terpenuhi,
obsesi-obsesi terpendam semuanya itu yang menyebabkan
terjadinya kelahiran kembali. Kelahiran dalam dunia ini ibarat
belajar di sekolah. Alam semesta ini ibarat lembaga pendidikan,
universitas. Ada fakultas-fakultas lain pila yang terdapat dalam
dimensi lain. Masih ada begitu banyak bentuk kehidupan yan
lain. Apabila seseorang mati dalam kesadaran ia akan tahu
persis mata pelajaran apa yang harus dipelajari. Begitu lahir kau
tersenyum. Susah sekali bagi seorang bayi yang baru lahir untuk
memberikan senyuman semacam itu. Kau harus menggunakan
seluruh energimu untuk memberikan senyuman pertama.
Otot-otot yang belum berkembang sempurna harus dipaksa
sedikit. Kau tidak akan perduli akan rasa sakit dan memberikan
senyuman pertama. Ah, kembali lagi ke dunia. Kau mengenali
ayahmu dalam kelahiran ini.23
Oleh karena itu, meskipun setiap agama memiliki klaim
kebenaran sendiri, ini tidak berarti persamaan dan perbedaan
pada tradisi agama menjadi jurang pemisah antar pemeluk agama.
Justru karena adanya klaim-klaim itulah maka dialog menjadi
sangat urgen, karena agama pada akhirnya tampil dalam prilaku
pemeluknya. Maka setiap umat agama adalah makhluk sosial yang
mau tidak mau mesti terlibat dalam situasi konflik dan dialog.
Meskipun respon iman pada dasarnya dialamatkan pada Tuhan,
tetapi oleh Tuhan komitmen dan respon iman tadi diperintahkan
untuk diwujudkan dalam hubungan sosial, sehingga aktualisasi
komitmen beragama tidak mungkin terwujud tanpa melibatkan
diri dalam usaha-usaha kemanusiaan. Sebagai konsekuensinya
iman selalu menuntut terwujudnya hubungan dialogis baik
antara seorang hamba dengan Tuhannya maupun antar sesama
umat beriman, hanya dengan dialog maka seseorang bisa berbagi
pengalaman iman dan berbagi kebenaran. Lebih dari itu hanya
melalui dialog maka kualitas kemanusiaan akan tumbuh dan
Anand Krishna, Reinkarnasi – Hidup Tak Pernah Berakhir, (Jakarta,
Gramedia, 1998), hlm. 29-31.
23
32a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Kritik Wacana Pluralisme Agama (oleh: Andi Hartoyo)
terbentuk.
Tuhan dalam Konsepsi dan Persepsi
Ada dua pendekatan yang dapat dilakukan saat berdiskusi
mengenai Tuhan. Pertama : Dia dapat didekati sebagai ‘something
to be argued about’, yang dalam hal ini objek formalnya adalah
segala hal yang berkaitan dengan theism, atheism, non-atheism,
deism, dan agnosticism. Pendekatan kedua: dapat dilakukan
dengan memposisikan Tuhan sebagai something to be sacrificed,
yang dalam hal ini berkenaan dengan segenap aktivitas sosial
dalam kehidupan masyarakat, baik berupa commitment, dedication,
maupun involvement.
Sejalan dengan itu, ada hal lain yang perlu
dimengerti saat seseorang memahami Tuhan, yaitu bahwa
manusia harus mengerti dan memahami keterbatasan konsepsinya
tentang Tuhan, karena tak ada yang bisa mengenal Tuhan kecuali
Dia sendiri. Dari sini seseorang memiliki dua macam pengertian
tentang Tuhan, yaitu: Tuhan dalam konsepsi manusia dan
Tuhan Yang Hakiki yang berada jauh di luar konsepsi manusia.
Tuhan dalam konsepsi manusia adalah Tuhan yang dibicarakan,
didiskusikan, diperdebatkan lewat bahasa maupun akal pikiran
sedangkan Tuhan Yang Hakiki adalah Tuhan yang tidak bisa
dibicarakan baik oleh siapa pun.
Dalam tradisi monotheistik diyakini bahwa Tuhan tidak
bisa sungguh-sungguh dapat dikenal dan diketahui oleh makhluk,
sebab:”Tidak ada yang hakiki selain Dzat Maha Hakiki”. Karena
sesungguhnya Tuhan secara mutlak dan tak terhingga sungguhsungguh sebagai Dzat Maha Hakiki, sedangkan realitas alam
semesta hanya hakiki secara relatif sehingga realitas-Nya berada
jauh di luar pemahaman realitas makhluk. Jelasnya, yang relatif
tidak akan pernah sanggup menjangkau Yang Maha Mutlak, Sang
Maha Hakiki. Ibarat timbangan emas tidak dapat dipergunakan
untuk menimbang gunung. Andai manusia bisa mengetahui
sesuatu tentang Tuhan maka pengetahuannya itu bersifat relatif.
Makhluk berhubungan dengan Tuhannya melalui sifat-Nya
yang menampakkan tanda dan jejak-Nya dalam eksistensi kosmos.
Manusia tidak bisa mengetahui Tuhan dalam diri-Nya sendiri tetapi
hanya sejauh Tuhan mengungkapkan diri-Nya melalui kosmos.
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
33
Kritik Wacana Pluralisme Agama (oleh: Andi Hartoyo)
Dia adalah ‘Mutiara Terpendam’, lalu Dia ciptakan makhluk yang
dengan ciptaan-Nya itu makhluk mengenal dan mengetahui-Nya.
Tegasnya, Tuhan menciptakan alam semesta seisinya sehingga
Dia dapat diketahui melalui ciptaan-Nya itu.
Tuhan bukan mitos, Dia adalah Realitas Ultim, yang
eksistensi-Nya akan meyakinkan manusia bahwa dalam rentang
sejarah umat manusia yang immorial ini kebaikan dan kebahagiaan
bisa berpadu dalam proporsi yang ‘sempurna’. Realitas itu sendirisebagaimana Kierkegaard menyatakan-adalah sebuah sistem bagi
Tuhan, meskipun realitas itu sendiri tidak bisa menjadi sistem
bagi setiap jiwa yang eksis.
Tuhan dalam Konsepsi24
Secara keilmuan, Tuhan tidak pernah dan tidak mungkin
menjadi objek kajian ilmu, karena kajian ilmu selalu parsial, terukur,
terbatas dan dapat diuji secara berulang-ulang pada lapangan atau
laboratorium percobaan keilmuan. Dengan demikian, kehendak
untuk membuka adanya Tuhan melalui pendekatan ilmu, akan
mengalami kegagalan karena sudah dari sejak awal tidak benar
secara metodelogis.25
Dalam filsafat hakikat Tuhan telah menjadi bahan
perenungan yang sangat intens, sejak Yunani Kuno bahkan sampai
saat ini. Semula Tuhan dipahami sebagai asal usul kejadian semua
yang ada ini, yang ditegaskan dengan prinsip adanya sebab pertama
first causa atau prima kausa26 yaitu yang menyebabkan adanya
Konsepsi berasal dari bahasa Latin Concipere, artinya memahami,
menerima, menangkap. Yang merupakan gabungan dari Con artinya, bersama
dan Cappere artinya menangkap atau menjinakkan secara istilah dapat diartikan:
1] kesan mental atau pemikiran, ide, suatu gagasan yang mempunyai derajat ke
kongkretan atau abstraksi yang digunakan dalam pemikiran abstrak. 2] apa yang
membuat pikiran mampu membedakan satu benda dari yang lainnya. 3] suatu
ide yang diberikan dari persepsi (hasil persepsi) atau penginderaan (sensasi).
Lihat Lorens Bagus, Kamus Filsafat Barat, (Jakarta, Gramedia, 2002), hlm.481
25
Musa Asy’arie, Filsafat Islam – Sunnah Nabi Dalam Berpikir,
(Yogyakarta: LESFI, 2002), hlm.151
26
Pada zaman pra-Sokrates yang berpandangan monistik menganggap
kosmos itu didasari oleh satu prinsip atau asas; Thales menyatakan bahwa prinsip
itu adalah air, menurut Aximenes prinsip itu udara; menurut Anaximandros
prinsip itu adalah to apeiron (yang tidak terbatas): dan bagi Heraklitos prinsip
24
34a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Kritik Wacana Pluralisme Agama (oleh: Andi Hartoyo)
semua ini. Sebab pertama itu juga disebut sebagai penggerak yang
tidak bergerak, yang menggerakkan semua yang ada ini dan yang
ada ini selalu berada dalam pergerakan atau perubahan.27
Penetapan adanya yang pertama bisa jadi karena kebuntuan
berpikir yang memaksanya harus menetapkan adanya prilaku
awal, padahal hokum sebab akibat bisa terjadi berulang-ulang.28
Dengan demikian penggerak pertama yang tidak bergerak, bagai
mana mungkin terjadi gerakan, jikalau penggerak pertama tidak
menggerakkan. Kebuntuhan berpikir pada akhirnya melawan
logikanya sendiri denag memotong lingkaran sebab akibat yang
terputus.29
Dalam perkembangan selanjutnya, oleh kemampuan
manusia mengelolah dan menundukan alam, maka ia dapat
membentuk alam seperti yang dikendakinya dan seakan-akan
hanya dialah yang menentukan segala-galanya.30 Selanjutnya
konsep Tuhan menurun, bukan lagi sebagai pemegang kekuasaan
dibalik makro- cosmos atau salah satu faktor di dalamnya dan juga
bukan mikro-cosmos yaitu eksistensi manusia denag kekuatan ide
dan kemampuan kecerdasan yang kreatif, tetapi turun pada apa
yang dibuat sendiri yaitu simbolisasi benda-benda hasil karya
sendiri.31
Tetapi dengan kemajuan ilmu dan teknologi yang
makin canggih, manusia menciptakan sistem kebudayaan yang
berorientasi pada cita-cita social yang makin komplek. Karena
berhadapan dengan realitas social dan kehidupan masyarakat
itu adalah api. Bertand Rusell, Sejarah Filsafat Barat, Terj., Sigit Jatmiko dkk,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 31-65
27
Musa Asy’arie, Filsafat Islam......, hlm. 152
28
Ibid, hlm. 153
29
Ibid, dan logika tentang pencarian Tuhan dengan menunjuk faktor
alam yang dianggap layak menjadi Tuhan. Lihat QS: Al-An’am [6]; 76 - 79
30
Pada dataran ini Tuhan sebagai yang menentukan dalam kehidupan
yang disimbolisasikan pada seorang raja sebagai pemegang kuasa, maka dengan
itu manuialah yang bertindak sebagai Tuhan. Seperti yang terjadi pada kekuasaan
raja Fir’aun yang mengangkat dirinya sebagai Tuhan. Seperti digambarkan
dalam al-Qur’an QS: Al-Qasas [28];38-39
31
Hal ini dijelaskan dalam al-Qur’an QS: Al-Anbiya’ [21]; 57-59.
dan tentang perkembangan pemikiran manusia tentang Tuhan baca lagi Musa
Asy’arie, Filsafat Islam......, hlm 157-159.
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
35
Kritik Wacana Pluralisme Agama (oleh: Andi Hartoyo)
yang bersifat plural dan kompleks. Pada dataran ini manusia
membangun basis ideologi yang mengikatnya dalam kesatuan
komunitas yang berorientasi pada usaha mewujudkan cita-cita
ideologi dalam realitas kehidupan manusia. Pada perkembangan
ini manusia menciptakan ideologi bahkan mempertuhankannya,
mereka siap membela dan mempertaruhkan nyawa mereka untuk
memenangkan ideologinya, suatu perjuangan yang menuntut
suatu totalitas.
Jika dilihat perkembangan konsep pemikiran tentang Tuhan,
sebagai kekuatan yang maha dahsyat yang menetukan kehidupan
manusia, ternyata telah mengalami berbagai perkembangan dan
pergeseran, akan tetapi tidak saling menafikan dan meniadakan.
Semua konsep itu sampai sekarang masih tetap ada dan bertahan,
meskipun mengalami banyak modifikasi dan variasi sesuai denagn
perubahan zaman. ***
DAFTAR PUSTAKA
36a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Kritik Wacana Pluralisme Agama (oleh: Andi Hartoyo)
Abd ‘A’la, Melampaui Dialog Agama, Qomaruddin SF, ed.,.
Jakarta: Kompas, 2002.
Amstrong Karen, Sejarah Tuhan, Penerjemah Zaimul Am.
Bandung, Mizan, Cet VI, Mei 2003.
Azyumardi Azra, Menuju Masyarakat Madani: Gagasan, Fakta
dan Tantangan. Bandung: PT. Rosda Karya , 1999.
Bagus, Lorens. Kamus Filsafat Barat. Jakarta, Gramedia, 2002.
Frithof Schuon, Islam dan Filsafat Perenial, penerjemah Rahmani
Astuti. Bandung: Mizan,1998.
Hasan Askari, Hasan Askari, Askari Hasan, Lintas Iman – Dialog
Spiritual, Terj., Sunarwoto. Yogyakarta, LKIS, 2003.
Hick, John. Dimensi Kelima Menelusuri Makna Kehidupan,
Terj., Hermansyah Tantan. Jakarta, PT.Rosda Grafindo
Persada, 2001.
Komaruddin Hidayat dan Muhammad Wahyudi Nafis, Agama
Masa Depan – Perspektif Filsafat Perennial. Jakarta,
Gramedia, 2003.
Krishna, Anand. Reinkarnasi – Hidup Tak Pernah Berakhir.
Jakarta, Gramedia, 1998.
Krishna, Anand. Wedhatama Bagi Orang Modern – Madah Agung
Kehidupan – Karya Sri Paduka Mangkunegoro IV.
Jakarta, Gramedia, 1999
Mudji Sutrisno, Agama, Harkat Manusia dan Modernisme dalam
Dialog: Kritik dan Identitas Agama, seri DIAN I/th I.
Yogyakarta; Interfield, 1993.
Mun’im A Sirry, Membendung Militansi Agama – Iman dan Politik
dalam Masyarakat Modern. Jakarta: Erlangga, 2003.
Musa Asy’arie, Filsafat Islam – Sunnah Nabi Dalam Berpikir.
Yogyakarta: LESFI, 2002.
Rusell, Bertand. Sejarah Filsafat Barat, Terj., Sigit Jatmiko dkk.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
Schuman, Olaf Milenium Ketiga dan Tantangan Agama-agama
dalam Martin L. Sinaga Edt. Agama-agama Memasuki
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
37
Kritik Wacana Pluralisme Agama (oleh: Andi Hartoyo)
Milenium Ketiga. Jakarta: Gramedia, 2000.
Tillich, Paul. Teologi Kebudayaan – Tendensi, Aplikasi dan
Komparasi, Penerjemah, Mimin Muhaimin, (Yogyakarta:
Ircisod, 2002), hlm. 71
Zakiyuddin Baidhawy, Ambivalensi Agama – Konflik dan
Nirkekerasan. Yogyakarta: LESFI, 2002.
38a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Relativitas Ajaran Agama (oleh: Ahmad Atabik)
RELATIVITAS AJARAN AGAMA:
MENUJU PLURALISME KEBERAGAMAAN
YANG HARMONIS
Ahmad Atabik
STAIN KUDUS
Email: [email protected]
ABSTRAK
Deskripsi fenomena keberagamaan manusia, sebenarnya
tidaklah semudah dan sesederhana seperti yang biasa
dibayangkan oleh banyak orang. Ada manfaatnya memang
untuk sesekali melihat agama dalam bentuknya yang tidak
sederhana, lantaran berbagai persoalan pelik yang terkait
dengan fenomena itu sendiri. Menunjuk agama dengan sebutan
proper noun seperti Islam, Katolik, Proterstan, Hindu, Budha
adalah sangat mudah, tetapi pertanyaan yang lebih mendasar
apakah tidak ada bentuk abstrat noun dari segala macam
bentuk kepercayaan dan penghayatan agama yang beraneka
ragam tersebut? Jika tidak ada bentuk abstract noun sebagai
landasan ontologi seuatu kepercayaan, mustahil agaknya
manusia dapat menyebut dengan sebutan proper noun terhadap
apapun, lantaran abstract noun sebenarnya adalah dasar logika
penyebutan proper noun. Menurut M. Amin Abdullah, adanya
“truth claim” yang sering kali melekat pada sebutan agamaagama dengan proper noun, sangat boleh jadi lantaran tidak
atau kurang dikenalinya wilayah abstract noun yang menjadi
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
39
Relativitas Ajaran Agama (oleh: Ahmad Atabik)
landasan logis-ontologis bagi keberadaan masing-masing
proprer noun. Dari sini pula sebenarnya bermula segala macam
kesulitan yang mengitari persoalan. Pluratitas agama-agama
yang dipeluk oleh berbagai macam gologan, kelompok dan
sekte keagamaan pada level historis-empiris.
Kata Kunci: Relativitas, agama, pluralisme dan harmonis
Pendahuluan
Secara empiris keberagamaan yang telah berkembang
dalam wacana kontemporer didefinisikan sebagai pencarian akan
realitas asali. Dalam rangka pencarian ini, tampaknya agama
sering terdorong untuk menegaskan dirinya sebagai unik dan
universal. Hal ini berimplikasi pada kecenderungan terselubung
dalam agama-agama tersebut sehingga banyak agama menyebut
dan mengklaim bahwa dirinya adalah agama yang paling benar
sementara yang lain adalah imitasi atau palsu.
Padalah kalau kita mengadakan analisa mengenai kebenaran
agama yang bersifat absolut muncul suatu kesan bahwa kebenaran
agama hanya sebatas “kulit luar” atau khas simbol-simbol luar
yang bersifat rutinitas, elementer, dan fisiologis. Sehingga klaim
kebenaran agama akan memunculkan sikap keberagamaan yang
angkuh bagi pemeluknya. Kalau analisa kita kembangkan lebih
pada pertanyaan; mengapa sampai muncul sikap angkuh dalam
agama itu? Maka kita bisa membaca bahwa ternyata dibalik semua
itu terdapat suatu kepentingan politik agama untuk memainkan
lakon signifikan dalam pembentukan masyarakat melalui aturan
normatifnya yang diinterpretasikan menjadi ritual dan legalitas
tertentu sebagaimana tertuang dalam teks-teks agama.
Untuk menganalisa lebih dalam mengenai fenomena
keberagaman manusia, terdapat dua tawaran pendekatan yaitu;
Pertama, melalui pendekatan normativitas ajaran wahyu.
Pendekatan ini merupakan ciri khas dari semua agama. Kedua,
menggunakan pendekatan historitas pemahaman dan interpretasi
orang-perorang atau kelompok-kelompok terhadap norma-norma
40a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Relativitas Ajaran Agama (oleh: Ahmad Atabik)
ajaran agama yang dipeluknya.1Pemberangkatan pendekatan
normatif doktrinal agama-agama itu bermuara pada teks-teks
yang tertuangkan dalam kitab suci agama-agama yang bersifat
literalis, tektualis dan skriptualis. Menurut M. Amin Abdullah
kedua pendekatan ini tidak berjalan secara romantis bahkan
keduanya diwarnai dengan tension atau ketegangan baik bersifat
kreatif maupun destruktif.
Pendekatan dan pemahaman terhadap fenomena keberagaman
pendekatan pertama tidak sepenuhnya menyetujui alternasi
pemahaman yang dikemukakan oleh pendekatan kedua.
pendekatan terhadap fenomena keberagaman yang kedua
dituduh oleh yang pertama sebagai pendekatan keagamaan
yang besifat “reduksionis”, yakni pendekatan keagamaan yang
hanya terbatas pada aspek eksternal-lahriah dari keberagamaan
manusia dan kurang begitu memahami, menyelami dan
menyentuh aspek batiniah eksoteris serta makna terdalam dan
moralitas yang dikandung oleh ajaran agama-agama itu sendiri.
Sedang pendektan studi agama yang kedua, yang lebih bersifat
histories balik menuduh corak pendekatan yang pertama sebagai
jenis pendekatan dan pemahaman keagamaan yang cenderung
bersifat “absolutis” lantaran para pendukung pendekatan
pertama ini cenderung mengabsolutkan teks yang sudah tertulis,
tanpa berusaha memahami terlebih dahulu apa sesungguhnya
yang melatarbelakangi berbagai teks keagamaan yang ada. 2
Normativitas Ajaran Agama
Pendekatan normatif doktrinal ajaran agama tidak dapat
dilepaskan dari teks-teks yang tertulis dalam kitab-kitab suci
agama-agama. Namun, teks-teks kitab suci yang disinyalir bersifat
absolut banyak disalahguna dan artikan oleh sebagian kalangan
yang intens dalam studi mereka tentang teks-teks agama. Oleh
karenanya, kemudian muncul pertanyaan dibenak kita, siapakah
sesungguhnya subyek yang berbicara dan siapakah obyek yang
disapa oleh oleh teks tersebut?.
Lihat M. Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historitas?
(Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 1996), hlm.v.
2
M. Amin Abdullah, Studi Agama…, hlm. vi.
1
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
41
Relativitas Ajaran Agama (oleh: Ahmad Atabik)
Untuk menjawab pertanyaan di atas kita dituntut bersifat
kreatif dan tidak berkutat pada pandangan terhadap teks-teks
itu saja. Bukankan sebuah teks hanyalah sebagian dari pikiran
pengarangnya di samping juga sebuah teks tidak selalu akurat dalam
menghadirkan sebuah realitas atau menyajikan sebuah konsep?.
Menurut Komaruddin Hidayat, di balik sebuah teks sesungguhnya
terdapat sekian banyak variabel serta gagasan yang tersembunyi
yang harus dipertimbangkan agar kita lebih mendekati kebenaran
mengenai gagasan yang hendak disajikan oleh pengarangnya.3
Pensoalan inti yang muncul kemudian adalah mampukah
akal dan bahasa manusia menyajikan deskripsi dan atribusi yang
tepat mengenai Tuhan? Bukankah sejauh-jauh manusia berfikir
dan berimajinasi dan bertata bahasa hanya berkutat pada wilayah
pengalaman empiris dan inderawi?4 Jika statemen ini dapat
diterima, maka Tuhan Yang Maha Ghaib yang berada diluar
jangkauan inderawi, nalar dan bahasa manusia tidak mungkin
diungkap dalam bahasa manusia.
Pertanyaan lebih jauh adalah bagaimana kita memahami
ungkapan bahasa kitab suci, misalkan al-Qur’an, tentang Tuhan?
Menurut Komaruddin, sebagian berpendapat bahwa apapun yang
yang diungkapkan oleh kitab suci tentang Tuhan hanya mampu
dipahami oleh manusia sebagai ungkapan-ungkapan analogis
dengan alam pikiran dan dunia empiris manusia. Karena berbagai
pernyataan tentang Tuhan tidak bisa diverifikasi atau difalsivikasi
secara obyektif dan empiris, maka dalam memahai kitab suci
seseorang cenderung menggunakan standar ganda. Yaitu, seorang
berpikir dalam kapasitas dan berdasarkan pengalaman manusia
namun diarahkan untuk suatu obyek yang diimani yang berada
Tanpa memahami motif di balik penulisan sebuah buku, suasana
potitis-psikologis dan sasaran pembaca yang dibayangkan oleh pengarangnya
sendiri, maka sangat mungkin kita akan salah paham ketika membaca sebuah
karya tulis. Lihat Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama; Sebuah
Kajian Hermeneutik, (Jakarta: Penerbit Paramadina, 1996), hlm. 2.
4
Limit kemampuan nalar manusia untuk mengetahui metafisik
secara sistematis dipaparkanoleh Immanuel Kant (1724-1804) dalam karyanya
yang terkenal Critique of Pure Reason dan Religion Within the Limits of Real son
Alone. Bagi Kant, argument yang paling tepat untuk memamahi Tuhan adalah
argument moral yang menggunakan practical reason bukan pure reason yang
bekerja melakukan penalaran kritis dan analitis. Ibid, 6.
3
42a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Relativitas Ajaran Agama (oleh: Ahmad Atabik)
di luar jangkauan nalar dan inderanya.5 Olehnya wilayah ini bisa
dikatakan sebagai wilayah yang remang-remang, karena dalam
sikap “beriman” terdapat hal-hal yang diyakini kebenarannya
namun tidak ketahui dan tidak terjangkau oleh nalar. Wilayah
inilah yang kemudian melahirkan Ilmu Kalam.
Dalam wilayah Ilmu Kalam ini, Komaruddin Mengatakan
bahwa muatan Ilmu Kalam terletak pada penalaran tentang
firman Tuhan dalam dalam rangka melayani iman atau beriman
pada Tuhan berdasarkan pertimbangan logis. Selanjutnya ia
mengatakan;
Dalam berteologi, meskipun nalar telah berusaha memahami dan
menafsirkan firman Tuhan secara logis, namun pada ujungnya
orang yang beragama kan pasrah pada keputusan imannya ketika
dihadapkan pada firman Tuhan yang sulit dicerna oleh akal.
Orang yang beriman menekankan makna dan pesan perspektif
kitab suci ketimbang ungkapan deskriptifnya, meskipun dalam
berbagai hal perlu juga dipahami makna deskriptif-literalnya,
terutama yang berkenaan dengan hukum.6
Intinya bahwa kandungan pokok kitab suci adalah pesan
normatif, mengajarkan seseorang agar berserah diri pada Tuhan,
mentaati jaran-ajaran-Nya, demi kebaikan hidup manusia di
bawah ridla-Nya.
Hal yang senada juga diungkap oleh Harun Nasution,7
bahwa masyarakat beragama, khususnya masyarakat modern
percaya pada kemampuan rasio dan pendekatan ilmiah. Dasar
agama lebih banyak berkaitan dengan perasaan dan keyakinan
daripada rasio. Perasaan dan keyakinan, berlainan dengan dengan
rasio yang mempunyai tendensi dogmatis. Ajaran-ajaran agama
oleh pemeluknya dirasakan dan diyakini mesti benar, sungguhpun
ajaran-ajaran itu terkadan berlawanan dengan rasio. perasan dan
Uraian Lebih Jauh tentang hal ini, lihat Ronal E. Santoni (edt.),
Religious Language and The Problem of Religious Knowledge (London: Indiana
University Press, 1968), sebagaimana dikutip oleh Komaruddin Hidayat,
Memahami Bahasa Agama…, hlm. 6.
6
Ibid, 7.
7
Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran (Bandung:
Mizan, 1995), hlm. 88
5
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
43
Relativitas Ajaran Agama (oleh: Ahmad Atabik)
keyakinan juga banyak bersifat subyektif dan kurang bersifat
obyektif. Selanjutnya, agama banyak dan erat hubungannya
dengan hal-hal yang bersifat imaterial dan yang tak dapat
ditangkap dengan panca indera. Sedangkan pembahasan ilmiah
pada umumnya dipakai dalam wilayah materi.
Menurut M. Amin Abdullah,8 dalam menggambarkan
kesulitan mendasar yang dihadapi seseorang ketika hendak
memahami fundamental values dari kitab suci agama yang
dianutnya, khususnya bagi seorang muslim di dalam memahami
al-Qur’an secara utuh dan komprehensif lewat keteladanan
Nabinya. Pertama, adalah kesulitan bahasa. sebagimana kita
ketahui bahwasanya al-Qur’an dan al-Hadis adalah tertulis dalam
bahasa Arab, sehingga diperlukan waktu dan tenaga ekstra keras
untuk menguasai dan memahami inti pokok ajarannya, belum
lagi, kemudian menginternalisasikan ajaran-ajaran dasarnya
dalam satu keutuhan pandangan hidup seseorang. Kedua, adalah
terbentuknya lapisan geologi pemikiran keagamaan Islam lantaran
pengaruh proses pengendapan sejarah pemikiran yang mengiringi
perjalanan peradaban manusia Muslim itu sendiri. salah satu
konsekuensi dari adanya kedua kesulitan tersebut di atas, adalah
bahwasanya misi kenabian yang dulunya relatif sangat sederhana
dan mudah dicerna, seringkali menjadi kian bertambah sulit dan
rumit lantaran dalam perjalannya yang panjang, berubah menjadi
doktrin-doktrin teologis yang eksklusif, atau aturan-aturan fiqh
yang legal formal, atau berubah menjadi ajaran architektonik
tarekat dalam tasawuf yang seringkali bersifat eskapistik. Belum
lagi, jika partialitas pemahaman subtansi ajaran Islam tersebut
ditambah dengan letaknya berbagai kepentingan atau interest
kelompok maupun gologan politik yang menyertainya.
M. Amin Abdullah menambahkan, adanya pengaruh
pemahaman ajaran keagamaan Islam yang parsial, yang kemudian,
bentuk pemahaman keagamaan tersebut menggumpal dalam lapisan
geologi pemikiran keagamaan, maka moral kenabian Islam yang
aturannya bersifat universal, inklusif, hanif, tereduksi sedemikian
rupa sehingga seolah-olah menjadi semat-mata “eksklusif”,
“partikularistik”, “lagalistik-formalistik” dan “ahistoris”, sehingga
M. Amin Abdullah, Studi Islam…., hlm. 24.
8
44a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Relativitas Ajaran Agama (oleh: Ahmad Atabik)
untuk wilayah dan era tertentu dalam sejarah peradaban Islam
terjadi proses distorsi nilai-nilai etika Islam dan menjadikannya
begitu sempit menjerat. Bukan lagi proses internalisasi dan
sosialisasi nilai-nilai keagamaan yang fundamental yang berjalan
secara gradual yang dipentingkan, tetapi yang terjadi adalah
proses pemilahan yang bersifat dikotomis-antagonistik. 9
Oleh karenya, semua agama—juga lebih-lebih Islam—
yang aturan syari’ahnya begitu menonjol, tidak dapat dibatasi
wilayah realitas “normatifitas” nilai-nilai etikanya pada wilayah
intelektual-transendental yang steril, kering dan formal, jauh
dari realitas kemanusiaan muslim dalam wilayah “das sein”
kesejarahan dan kekhalifahannya. Meskipun begitu, pemahaman
yang mendalam terhadap nilai-nilai etika yang fundamental yang
dimiliki oleh agama-agama, dapat menjadi benang merah yang
dapat menghubungkan pengikut agama yang satu dengan yang
lainnya dan sekaligus dapat menjadi modal dasar untuk mencari
titik-temu antar pengikut agama yang ada.
Dimensi Historitas Keberagamaan
Perjalanan epistemologis manusia dalam mencari kepuasan
terhadap kebutuhan yang fitri itu sangat tergantung dengan
tingkat perkembangan intelektualnya, sehingga bentuk-bentuk
agama yang ada (saat itu) demikian sederhananya. Emile Dukheim
(1858-1917) salah seorang tokoh sosiologi agama avant garde,
mendapatkan bukti sejarah bahwa totem merupakan evolusi paling
elementer, sementara ilmuwan lainnya, E.B. Taylor, menjelaskan
dalam Primitive Culture, bahwa evolusi agama dimulai dari
kepercayaan animisme yang berlanjut pada tahap politeisme dan
monoteisme.10
Proses evolusi agama tidak diletakkan dalam alur sejarah
yang sama oleh para ahli sosiologi agama. Robert N. Bellah dalam
Beyond Belief, membuat diskripsi yang lain bahwa evolusi agama
melalui lima tahapan, di mana masing-masing tahapan tersebut
mempunyai simbol-simbol dan tindakan sosial yang berbeda.
Kelima tahapan tersebut adalah primitive religion, archaic relegion,
Ibid, 25.
Penjelasan lebih lengkap dapat dilihat dalam Daniel L. Pals, Seven
Theoris of Religion, (New York: Oxford University Press, 1996), hlm. 18-20.
9
10
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
45
Relativitas Ajaran Agama (oleh: Ahmad Atabik)
historic religion, early modern religion, dan modern religion.11
Dalam bentuk elementernya sekalipun, agama ternyata
tidak hanya berfungsi sebagai pijakan keyakinan terhadap realitas
yang disebut Rudolf Otto sebagai mysterium tremendum et
fascinan.12 Tapi agama juga berperan sebagai sistem pengetahuan
rujukan manusia dalam memenuhi kebutuhan kognitifnya,
misalnya; problem intelektual yang berhubungan dengan ihwal
penciptaan kosmos dengan segala mekanisme sunnatullah;
adanya hal-hal yang tidak dapat diterima manusia yang kemudian
menimbulkan rasa takut, perasaan frustasi, ketidakadilan, dan lain
sebagainya.
Agama yang berada demikian awal dalam sejarah
kemanusiaan mengalami proses institusionalisasi sebagai lembaga
kepercayaan yang tertua di dunia ini dan menjadi satu-satunya
pemberi legitimasi kultural dan struktural masyarakat. Dalam
sejarah kekuasaan, agama sering dijadikan legitimasi untuk
membangun persepsi politik masyarakat, agar suatu kekeuasan
diakui sebagai pengejawantahan dari ilahi, sehingga dianggap tabu
melakukan kritik sosial ketika terjadi penyimpangan kekuasaan
sekalipun.13
Agama juga menjadi sumber legitimasi sains pada awal
sejarah perkembanganya sedian rupa sehingga semua penemuan
sains harus mendapatkan pembenaran dari agama. Namun pada
perkembangan selanjutnya terjdai konfrontasi antara agama
(Nasrani) di satu pihak dengan paradigma sains di pihak lain.
Akhirnya agama mengalami degradasi fungsional dalam konteks
perkembangan dan revolusi sains.
Berawal dari Copernicus memperkenalkan paradigma
kosmologi baru sebagai penolakan (dekonstruksi) terhadap
paradigma kosmologi Aristoteles (doktrin keagamaan gereja)
yang memandang kosmos sebagai statis dan berpusat pada bumi.
Penemuan Copernicus mempunyai pandangan sebaliknya, bahwa
Ibid.
Lihat Joachim Wach, The Comparative Study of Religions, (New
York: Columbia University Press, 1958), hlm. 24.
13
C.A. Van Peursen, Pengantar ke Filsafat Ilmu (Jakarta: Sinar
Harapan, 1987), hlm. 17.
11
12
46a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Relativitas Ajaran Agama (oleh: Ahmad Atabik)
alam ini berpusat pada matahari. Ide ini memberi inspirasi bagi
ilmuwan berikutnya seperti Tycho, Kepler dan Galileo. Terhadap
pandangan ini, gereja terang-terangan menentang dan meminta
agar pandangan tersebut dicabut.14
Sketsa historis di atas mencerminkan fluktuasi peran
agama dalam rentang waktu sejarah kemanusiaan yang panjang.
Berawal dari wibawa agama yang demikian kokoh dalam
kehidupan spiritual, mistikal dan kognitif manusia, secara lambat
laun namun pasti, agama mulai mengalami reduksionisasi setelah
berhadapan dengan dominasi rasionalisme manusia seperti yang
ditujukan dengan adanya dominasi ilmu pengetahuan dalam
kehidupan manusia pada zaman modern.
Deskripsi fenomena keberagamaan manusia, sebenarnya
tidaklah semudah dan sesederhana seperti yang biasa dibayangkan
oleh banyak orang. Ada manfaatnya memang untuk sesekali
melihat agama dalam bentuknya yang tidak sederhana, lantaran
berbagai persoalan pelik yang terkait dengan fenomena itu sendiri.
Menunjuk agama dengan sebutan proper noun seperti Islam,
Katolik, Proterstan, Hindu, Budha adalah sangat mudah, tetapi
pertanyaan yang lebih mendasar apakah tidak ada bentuk abstrat
noun dari segala macam bentuk kepercayaan dan penghayatan
agama yang beraneka ragam tersebut? Jika tidak ada bentuk
abstract noun sebagai landasan ontologi seuatu kepercayaan,
mustahil agaknya manusia dapat menyebut dengan sebutan proper
noun terhadap apapun, lantaran abstract noun sebenarnya adalah
dasar logika penyebutan proper noun.15
Menurut M. Amin Abdullah, adanya “truth claim” yang
sering kali melekat pada sebutan agama-agama dengan proper
noun, sangat boleh jadi lantaran tidak atau kurang dikenalinya
wilayah abstract noun yang menjadi landasan logis-ontologis
bagi keberadaan masing-masing proprer noun. Dari sini pula
sebenarnya bermula segala macam kesulitan yang mengitari
persoalan. Pluratitas agama-agama yang dipeluk oleh berbagai
macam gologan, kelompok dan sekte keagamaan pada level
Lihat Syamsul Arifin, et al., Spiritualisasi Islam dan Peradaban
Masa Depan. (Yogyakarta; Sipress, 1996). 47.
15
Lihat M. Amin Abdullah, Studi agama…, 24.
14
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
47
Relativitas Ajaran Agama (oleh: Ahmad Atabik)
historis-empiris.
Oleh karenanya, jika pendekatan teologi dan normatif
dogmatig cenderung untuk menekankan “truth claim” dengam
membawa implikasi adanya penyekatan atau pengkotak-kotakan
pemahaman teologi pada enclave tertentu, maka pendekatan
fenomenologi terbebas dari tuntutan dan implikasi seperti itu.
Kaum fenomenolog dapat mengapresiasi dimensi ke dalam
pengalaman keberagamaan manusia tanpa perlu terjerat oleh
bentuk “formal” kelembagaan agama tertentu seperti yang
ditekankan oleh para teolog dan agamawan pada umumnya. Para
fenomenolog mencari “essence”, “Form”, “archetype”, dimensi
universalitas dari pengalaman keberagamaan manusia.16
Ketika para teolog dengan truth claim yang disandangnya
telah kehingan tempat berpijak yang paling kokoh untuk melakukan
dialog dengan sesama penganut agama-agama yang lain, metode
dan cara bepikir fenomenologis dapat membantu dan memberi
sumbangan yang cukup berharga untuk menunjukkan kembali di
mana sebenarnya mereka perlu berpijak untuk dapat berjumpa dan
bekerja sama dengan penganut agama-agama lainnya. Dengan
begitu fenomenologi lebih menekankan segi-segi “persamaan”
dan bukannya segi-segi “perbedaan” seperti yang ditekankan oleh
para teolog.
Berangkat dari pernyataan di atas, Seandainya di terima
faham yang menyatakan: kebenaran agama adalah apa yang
ditemukan manusia dari pemahaman kitab sucinya sehingga
kebenaran agama dapat beragam dan bahwa Tuhan merestui
perbedaan cara keberagamaan ummatnya, atau apa yang dikenal
dalam ajaran Islam dengan istilah tanawu’ al-ibadah, niscaya tidak
akan timbul kelompok-kelompok yang saling mengklaim bahwa
dirinya paling benar.17
Sejarah pada masa silam telah merekam bahwa dua
agama besar—Kristen dan Islam—pernah hidup berdampingan
dengan serasi dan harmonis, kendatipun terdapat perbedaan
anutan antara mereka. Ketika kerajaan Bizantium yang beragama
Ibid, 36.
Lihat M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, (Bandung;
Mizan, 1997), hlm. 217.
16
17
48a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Relativitas Ajaran Agama (oleh: Ahmad Atabik)
Kristen kalah dalam peperangan melawan kerajaan Persia yang
menyembah api, kaum muslimin bersedih karena kekalahan itu,
al-Qur’an turun menggembirakan mereka dengan pernyataan
bahwa setelah sembilan tahun, Romawi akan menang dan ketika
itu kaum muslimin akan bergembira.18
Walaupun diakui bahwa dalam sejarah agama-agama telah
terjadi pertikaian antar pemeluk agama yang sesama atau antar
pemeluk berbagai agama, namun pertikaian tersebut lebih banyak
disebabkan oleh kepentingan-kepentingan non-agama. Dapatkah
ummat masa kini, menemukan pandangan dan jalanyang telah
ditetapkan oleh generasi terdahulu yang hidup berdampingan dan
harmonis itu?
Kalau jalan tersebut tidak dapat ditemukan oleh
pemimpin-pemimpin agama sendiri, maka ketika itu, mereka
harus membenarkan pandangan yang menyatakan bahwa krisis
agama, karena dengan demikian, agama telah menjadi sumber
keresahan pemeluknya dan jangan heran, bila agama hanya akan
tinggal sebagai kenangan buruk sejarah.
Pemikiran Pluralisme Keagamaan dan Teologi Agama-Agama
Pluralisme keagamaan merupakan tantangan khusus
yang dihadap agama-agama dunia dewasa ini, meskipun dalam
arti tertentu pluralisme keagamaan selalu ada bersama kita.
Setiap agama muncul dalam lingkungan yang plural ditinjau dari
sudut agama dan membentuk dirinya sebagai tanggapan terhdap
pluralisme tersebut. Ketegangan kreatif yang ditimbulkan
pluralisme sering menjadi katalisator bagi wawasan baru dan
perkembangan agama. Misalkan, wahu Allah melalui Muhammad
tampil ditengah-tengah keanekaragaman masyarakat Mekkah
yang terdiri dari orang Yahudi, orang Kristen, pengikut Zoroaster
dan lain-lain. Di tengah-tengah penyembahan para dewa setempat
yang beranekaragam Allah mengikat perjanjian dengan Abraham
dan Musa. Tantangan dari Gnostisisme dan filsafat Yunani
membantu orang Kriten purba mengenal keterpisahannya dari
agama Yahudi.19
Pernyataan ini terbukti kebenarannya pada tahun 625. Catatan
histories ini disebut dalam al-Qur’an dalam awal-awal surat ar-Rum.
19
Lihat Harold Coward, Pluralism, Challenge to World Religions.
18
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
49
Relativitas Ajaran Agama (oleh: Ahmad Atabik)
Berteologi dalam konteks agama-agama mempynyai
tujuan tuntuk memasuki dialog antaragam, dan dengan demikian
mencoba memahami cara baru yang mendalam mengenai agaimana
Tuhan mempnyai jalan penyelamat. Pengalaman ini penting
untuk memperkaya pengalaman antariman, sebagai pintu masuk
ke dalam dialog teologis.20
Dewasa ini, di saat antargama semakin intens dan akrab
mengadakan pertemuan-pertemuan agama-agama, justru pada
level teologis—yang merupakan dasar agama itu—muncul
kebinguan-kebingungan, khususnya menyangkut bagaimana kita
harus mendefinisikan diri di tengah-tengah agama lain yang juga
eksis, dan punya keabsahan. Dalam persoalan ini didiskusikan
apakah ada kebenaran dalam agama lain—implikasinya adalah
apakah ada keselamatan dalam agama lain?21
Hugh Goddard, seorang Kritiani, ahli teolog Islam di
Nottingham University, Inggris menulis bahwa dalam seluruh
sejarah hubungan Kritiani-Islam: apa yang telah membuat
hubungan itu berkembang menjadi kesalahpahaman—bahkan
menimbulkan suasana saling menjadi ancaman di antara
keduanya—bahkan menimbulkan suasana saling menjadi ancaman
di antara keduanya—adlah suatu kondisi adanya “standar ganda’
(double standards). Maksudnya orang-orang Kristiani maupun
Islam selalu menerapkan standar-standar yang berbeda untuk
dirinya, yang biasanya standar yang bersifat ideal dan normatif
untuk agama sendiri, sedangkan terhadap agama lain, memakai
standar lain, yang lebih bersifat realistis dan historis. Melalui
standard ganda inilah, muncul prasangka-prasangka (prejudices)
teologis, yang selanjutnya memperkeruh suasana hubungan
antarumat beragama. Anggapan ada tidaknya keselamatan dalam
agama lain sering kali ditentukan oleh pandangan mengenai
standar ganda ini.22
(terj.Pluralisme; Tantangan bagi Agama-agama), (Yogya: Kanisius, 1989),
hlm. 167-168.
20
Budhy Munawar-Rachman, Islam Pluralis, (Jakarta: Paramadina,
2001), hlm. 32.
21
Ibid,33.
22
Lihat uraian lengkapnya dalam karya, Hugh Goddard, Christians
& Muslim: From Double Standards to Mutual Understanding, (Nottingham:
50a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Relativitas Ajaran Agama (oleh: Ahmad Atabik)
Akan tetapi, justru dalam persoalan teologi standar yang
menimbulkan persoalan truth claim adalah standar: bahwa agama
kita adalah agama yang paling sejati berasal dari Tuhan, sedangkan
agama yang lain adalah konstruksi dari manusia atau mungkin
juga berasal dari Tuhan akan tetapi telah dirusak dan dipalsukan
oleh ulah manusia. Lewat standar ganda inilah bermunculnya
perang klaim-klaim kebenaran dan janji keselamatan yang kadang
berlebihan dari satu agama atas agama yang lain. Sebuah buku
mengenai “Ahli Kitab” misalnya menggambarkan standar ganda
ini, dengan menggunakan ayat-ayat al-Qur’an.
“Dan diantara orang-orang yang mengatakan: “Sesungguhnya
kami ini orang-orang Nasrani”, ada yang telah kami ambil
perjanjian mereka, tetapi mereka melupakan sebagian dari apa
yang mereka telah diberi peringatan dengannya; maka Kami
timbulkan di antara mereka permusuhan dan kebencian sampai
hari kiamat. Dan kelak Allah akan memberitakan kepada mereka
apa yang mereka kerjakan. (Q.S. Al-Maidah; 14)... Ayat di atas
bernada sumbang, dan berisi kecaman terhdap orang-orang
Nasrani yang melupakan jinji mereka kepda Allah. Al-Qur’an
mengecam mereka karena sikap dan perilaku mereka yang
mengubah kitab sucinya. (Q.S. Al-Maidah; 13). Bahkan lebih
fatal lagi, yaitu aqidah tawhid yang menjadi inti ajaran para nabi
dan rasul. Ajaran tawhid tersebut mereka ubah menjadi konsep
trinitas, (Q.S. Al-Maidah; 73), dengan mengkultuskan Nabi Isa
as dan mengangkatnya menjadi Anak Allah (Q.S. at-Taubah;3).
Dalam posisi ini Nabi Isa a.s. kemudian dijadikan sebagai salah
satu unsur Tuhan (Q.S. Al-Maidah; 72).”23
Dalam klaim-klaim kebenaran ini, kajian sosiologi agama
sering memperlihatkan bahwa religion’s way of knowing ini bisa
mengalami pengerasan sedemian rupa, sehingga fenomena yang
terjadi adalah: satu agama menjadi ancaman bagai agama lain.
Di sini ketika persoalannya bercampur dengan politik, logikanya
pun menjadi, “siapa yang kebetulah berkuasa, dialah yang
akan mendominasi yang lian.” Dan di sinilah kita bisa melihat,
Nottingham University Press).
23
Lihat Muhammad Galib, Ahl al-Kitab, Makna dan Cakupannya
(Jakarta: Paramadina, 1998), hlm. 59.
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
51
Relativitas Ajaran Agama (oleh: Ahmad Atabik)
seringkali rumusan-rumusan teologis terbetuk berdasarkan suatu
real politik tertentu.24
Apa yang perlu diambil hikmah dari adanya klaim-klaim
kebenaran adalah kebutuhan untuk lebih memperjelas apa yang
disebut the meaning and the purpose of life (makna dan tujuan
hidup) manusia itu—yang dalam agama terbungkus dalam segisegi spiritualnya—yang ternyata dari sudut pandang perennial
philosophy, menjadi alasan mengapa diturunkannya sebuah
agama. Setiap agama mempunyai cerita besar dalam menjelaskan
nasib keberadaan manusia: terutama mengenai keselamatan,
kebahagiaan dan kesengsaraan di dunia ini, dan setelah di dunia
ini.
Dan untuk mengerti sumbangan agama-agama kepada
masalah manusia modern dewasa ini, penjelasan inklusivisme
keagamaan perlu dikembangkan supaya lebih pluralis, dan itu
berarti perlunya meletakkan agama-agama lain dalam kedudukan
yang sederajat dengan agama sendiri. Inilah usaha-usaha mutakhir
yang sedang dijalankan para pendukung dialog agama-agama.25
Dari Kritik Teks Menuju Relativitas Kebenaran Agama
Sistem baca yang basah dan kreatif dengan membongkar
makna kebenaran yang tidak diungkap dalam teks mengundang
pertanyaan tentang makna suatu hakikat atau kebenaran. Karena,
kebenaran atau hakikat itu ada dan diserap hanya berdasarkan apa
yang tertulis dalam bentuk teks-teks itu yang ternyata menutupi
hakikat atau kebenaran lain yang tidak diungkap dalam teks itu.
Dari sinilah kritik kebenaran muncul.
Menurut Ali Harb, berangkat dari kritik teks (naqd al-nash)
selanjutnya menuju ke arah Kritik kebenaran (naqd al-haqiqah),
dan mengarah ke ‘kebenaran agama.’ Kebenaran yang selama
ini diakui oleh agama-agama sebagimana diatur dalam teks-teks
keagamaannya. Dalam kritik kebenaran agama (naqd al-haqiqah
ad-diny), kita harus mengritik agama sendiri sebelum mengritik
agama lain.26
Budhy Munawar-Rahman, Islam Pluralis, 36.
Ibid, 41.
26
Penjelasan lebih lengkap dapat dilihat Ali Harb, Naql al-Haqiqah
24
25
52a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Relativitas Ajaran Agama (oleh: Ahmad Atabik)
Kebenaran itu tidak tetap tetapi terwujud dalam bentuk
kesementaraan, partikular, dan dalam proses yang panjang.
Kebenaran akan menjadi kebenaran minimal dari apa yang
seharusnya “benar” pada batas, pada waktu, dan wilayah
kebenaran yang bersifat universal. Sehingga, pada akhirnya
kebenaran ada pada ungkapan; “tidak ada sesuatu pun yang dapat
dibenarkan atau dipersalahkan. Kita, misalnya, tidak bisa menilai
bahwa Barat itu baik dan benar secara universal, dengan menilai
Timur itu salah dan jelek secara universal pula”. Kebenaran sering
menjadi suatu bentuk pengklaiman dari berbagai pihak secara
subyektif dan menjadi konsep tunggal dan sederhana atau teologis
metafisik yang sangat jauh dari wilayah penelitian dan pemikiran.
Kebenaran sendiri merupakan wacana irrasional yang “diam”.
Menurut Harb, kita selayaknya mengritik konsep
kebenaran kita sendiri, karena kebenaran bukan hanya kemenangan
kebenaran atas kebatilan, kebenaran atas kesalahan, atau antara
petunjuk dengan kesesatan yang dibenturkan pada aspek ilmu
pengetahuan,otoritas dan kesenangan. Sejarah kebenaran bukanlah
kemenangan rasio atas prasangka. Dan solusi untuk menjembatani
adalah diadakannya dialog antara konsep yang bertentangan,
antara agama-agama yang saling bertentangan dalam dimensi
eksoteriknya (syariah adalah dimensi eksoterik Islam sementara
dimensi esoterisnya di isi tasawuf).27
Dalam dialog yang hakiki, terdapat kriteria saling
memahami satu sama lain untuk memberi dan menerima. Tidak
ada sikap saling memberi dan menerima tanpa sikap saling
pengertian atau pengakuan akan hak-hak untuk berbeda. Hal ini
dapat membawa kita merubah pemahaman tentang kebenaran
dimana kebenaran tidak lagi dipikirkan sebagai esensi yang stasis,
kekal, transenden dan mendahului realitas, melainkan sesuatu
yang partikular dan bisa ditemukan di mana saja.
Artinya, kita akan menangkap dan memahami kebenaran
sebagai eksistensi yang berbeda stereotipe dan penampakannya,
atau sebagai peristiwa yang bermacam-macam pembacaan dan
(Kritik Kebenaran), terj. Sunarwoto Dema, (Yogyakarta: LKiS, 2004), 45.
27
Bandingkan Ali Harb, Naql an-Nash (Kritik Nalar al-Qur’an), terj.
M. Faishal Fatawi, (Yogyakarta: LKis, 2003), hlm. 24.
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
53
Relativitas Ajaran Agama (oleh: Ahmad Atabik)
bentuk-bentuk penangkapannya, atau sebagai teks yang jelas
penafsiran, interpretasi dan metode penelitiannya. Maka kebenaran
akan sangat mungkin hanya bisa menjadi sistem eksperimen atau
proses untuk menjelaskan sesuatu sebagai pedoman prinsip, sistem
aksioma, kerangka acuan untuk melihat sesuatu dan atau sebagai
dasar pemikiran untuk meneliti. Sehingga apa yang paling bisa
dan yang paling mungkin kita lakukan adalah menjadi saksi atas
kebenaran itu sendiri.28
Dari sini tampak sekali bahwa dalam membaca
kecenderungan klaim kebenaran absolut terhadap agama, dapat
dilihat dari teori Psikoanalisa Freud (Id, Ego, Superego) yang
memiliki kecocokan dengan konsep jiwa dalam Al-Qur’an (an nafs
al amarah, an nafs al muthmainnah, dan an nafs al lawwamah).
Id merupakan sumber seluruh instink, keinginan, kesesatan tidak
mengakui larangan dan pemikiran. Superego merupakan esensi
persoalan moral (kemanusiaan, peradaban, kemasyarakatan,
dan otorisasi). Ego membentuk prinsip keharmonisan dan
keseimbangan dalam kahidupan seseorang dan penyeimbang
antara paham pragmatisme (id) dan paham realisme (superego).
Maka tidak ada unsur kerelaan dalam pribadinya bila ia tidak
berusaha untuk menyempurnakan dirinya, bagaimana menjadi
diri yang baik. Analogi terhadap an-Nafsu al-Amarah dengan id
(di antara karakter id adalah perilaku agresif) untuk membaca
kecenderungan seseorang membenarkan dirinya sendiri. Artinya
jika Id mengalahkan Ego maka akan menimbulkan “brutalisme”
atau “terorisme”.29
Fenomena demikian itulah yang seringkali diperlihatkan
oleh umat beragama dengan bentuk klaim-klaim kebenaran atas
agamanya yang dalam studium lanjut riskan mengarah pada
konflik. Ketika sampai pada wilayah ini, maka substansi agama
akan hilang. Kebenaran agama-agama itu tidak akan ada gunanya.
Mungkin yang agak menarik di sini adalah kesadaran bahwa tidak
mungkin berhasil mengadakan dialog agama-agama tanpa terlebih
dahulu diadakan dekonstruksi terhadap teks-teks keagamaan.
Oleh karena itu, yang penting bagi kita sekarang adalah melatih
28
29
54a
Ibid, 23.
Ali Harb, Naqd al-Haqiqah…, hlm. 47.
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Relativitas Ajaran Agama (oleh: Ahmad Atabik)
dan mengoptimalkan rasio supaya produktif guna menghasilkan
ilmu dan pengetahuan, serta memberikan kontribusi bagi
terwujudnya realitas dan rekonstruksinya. Pun ada yang berusaha
untuk menggali relevansi antara pemikiran dan gagasannya
dengan khazanah keilmuan lama disaat keterbukaan terhadap
seluruh sumber keilmuan dan hasil budaya, baik yang lama dan
kuno maupun yang baru dan modern walaupun bertentangan dan
berlawanan. Tradisi dengan teks dan simbolnya telah menciptakan
suatu subyektifitas dan bentuk identitas budaya bagi kelompok
masyarakat. Wallahu a’lam.***
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
55
Relativitas Ajaran Agama (oleh: Ahmad Atabik)
DAFTAR PUSTAKA
M. Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historitas?
(Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 1996).
Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama; Sebuah Kajian
Hermeneutik, (Jakarta: Penerbit Paramadina, 1996)
Ronald E. Santoni (edt.), Religious Language and The Problem
of Religious Knowledge (London: Indiana University
Press, 1968).
Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran
(Bandung: Mizan, 1995).
Daniel L. Pals, Seven Theoris of Religion, (New York: Oxford
University Press, 1996).
Joachim Wach, The Comparative Study of Religions (New York:
Columbia University Press, 1958).
C.A. Van Peursen, Pengantar ke Filsafat Ilmu (Jakarta: Sinar
Harapan, 1987).
Syamsul Arifin, et al., Spiritualisasi Islam dan Peradaban Masa
Depan. (Yogyakarta; Sipress, 1996).
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, (Bandung; Mizan,
1997), hlm. 217.
Harold Coward, Pluralism, Challenge to World Religions. (terj.
Pluralisme; Tantangan bagi Agama-agama), (Yogya:
Kanisius, 1989), hlm. 167-168.
Budhy Munawar-Rachman, Islam Pluralis; Wacana Kesetaraan
Kaum beriman, (Jakarta: Yayasan Paramadina, 2001).
Hugh Goddard, Christians & Muslim: From Double Standards
to Mutual Understanding, (Nottingham: Nottingham
University Press).
Muhammad Galib, Ahl al-Kitab, Makna dan Cakupannya (Jakarta:
Paramadina, 1998).
Ali Harb, Naql al-Haqiqah (Kritik Kebenaran), terj. Sunarwoto
Dema, (Yogyakarta: LKiS, 2004).
-----------, Naql an-Nash (Kritik Nalar al-Qur’an), terj. M. Faishal
Fatawi, (Yogyakarta: LKis, 2003).
56a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
AMBIVALENSI KOTA DEMOKRASI
DALAM FILSAFAT POLITIK AL FARABI
STUDI KRITIS MADINAH AL FADHILAH
AL FARABI
Mohammad Yasin
Mahasiswa Program Islamic Philosophy Pasca Sarjana IC-London in
Corporation with Universitas Paramadina Jakarta
Email: [email protected]
ABSTRACT
It is fashionable nowadays to be democratic; prompted by the
desire to portray Islam as a modern ideology and a progressive
government system, they have interpreted Islamic political and
juridical theory in democratic terms. In short, some people
assumed that democracy is the only good government system. But,
in few centuries ago, al-Faraby criticized democracy as a bad
government system. Al Farabi said democracy is a good system
between bad systems, he proposed “the prime city (Madinah alFadlilah)” system. The prime city is the post democracy system,
giving direction to the people to achieve ‘highest happiness’.
But in other hand Al Farabi said that democracy possible to
grow up men of excellent, more civilized, more populated,
more productive and more perfect. It is also possible to glean
from it certain parts of the virtuous city. Thus it may include
philosophers, rhetoricians, and poets dealing with all kinds of
things. Al Farabi seems to tell us that democracy is the most
favourable for the founding of a Virtuous city. Al Farabi never
tell us how the virtuous city may arise from the city of pigs; but
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
57
Ambivalensi Kota Demokrasi (oleh: Muhamad Yasin)
he tells us how we may glean the various city from democracy.
Al Farabi mentioned that democracy is bad system, but he also
said that a virtuous city can rise from democracy city. According
to me, Al Farabi inconsistent on his theory of democracy and
it open to be criticized. This article will explain the Al Farabi’s
theory of democracy deeply and criticize it.
Keywords: Democracy, City, State, and Madinah-al-Fadhilah,
Pendahuluan
Topik tentang demokrasi merupakan tema yang penting
didiskusikan, terlebih di semua Negara telah mengklaim bahwa
negaranya adalah Negara demokratis. Tidak terkecuali negaranegara berkembang di belahan Asia terutama Negara-Negara
Muslim yang gencar menyuarakan bahwa Islam sebagai ideologi
modern dan menganut paham progresif lewat para pemikir
Muslim yang berlomba menafsirkan kembali teori politik dan
paham keagamaan Islam ke dalam istilah-istilah demokrasi.
Padahal konsep tentang demokrasi pada beberapa abad
silam telah menuai kritik pedas dari seorang Filosof politik
Muslim bernama Al Farabi. Al-Farabi mengkritik sistem
pemerintahan demokrasi dan meletakkan sistem demokrasi
termasuk kategori Negara jahiliyah, demokrasi hanya terbaik
diantara sistem-sistem pemerintahan jahiliyah yang ada. Al
Farabi kemudian mengusulkan madinah al fadhilah atau kota
utama sebagai sistem pemerintahan terbaik. Gagasan Al Farabi
ini sebagaimana dtuangkan dalam karya-karya penting filsafat
politiknya di antaranya, Al Siyasah Al Madaniyah, dan Mabadi
Ara Ahlu Al Madinah Al Fadhilah.1
Penulis sangat tertarik dengan konsep Negara demokrasi
Al Farabi dan mencoba melakukan analisis secara kritis terhadap
bangunan teori politik Al Farabi terutama yang berkaitan dengan
tema demokrasi. Apalagi Al Farabi meletakkan demokrasi sebagai
Negara jahiliyah. Sementara faktanya saat ini demokrasi dengan
segala perkembangannya telah menyita perhatian dunia dan
H zainal Abidin Ahmad, Negara utama; Madinatul Fadhilah
(Jakarta: PT. Kinta, 1968), hal. 41-43.
1
58a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Ambivalensi Kota Demokrasi (oleh: Muhamad Yasin)
bahkan memungkinkan menjadi sistem Negara yang paling baik.
Saat ini Negara-Negara saling klaim bahwa negaranya sebagai
Negara demokrasi seperti Negara-Negara di belahan Barat Eropa
dan Amerika Utara, Negara-Negara berkambang, dan terbaru
adalah Negara-Negara di Timur Tengah.
Biografi Singkat Al Farabi
Al Farabi tidak menuliskan riwayat hidupnya, dan
tidak ada seseorang di antara para pengikutnya yang merekam
kehidupannya. Biografi al-Farabi secara lebih panjang dipaparkan
oleh biographer Ibn Khallikan dalam karyanya Wafayat al A’yan,.2
Paling tidak kehidupan al Farabi dapat dipaparkan menjadi dua
periode, pertama, kehidupannya sejak lahir hingga berusia lima
puluh tahun, masa ini adalah masa dimana al Farabi memulai
karir intelektualnya. Kedua, masa tua kehidupan al-Farabi yaitu
saat al Farabi berumur lima puluh tahun, pada masa ini al Farabi
telah mengalami kematangan dan membentuk karakteristik
filsafatnya.
Al Farabi bernama lengkap Abu Nashr Muhammad
Ibn Muhammad Ibn Tarkhan Ibn al-Uzlagh al Farabi lahir di
Wasij di Distrik Farab (yang juga dikenal dengan nama Utrar)
di Transoxiana (sekarang Uzbekistan), pada tahun (257 H /
870 M.), dan wafat di Damaskus pada tahun (337 H/950 M.)3
Dalam sumber-sumber Islam dia lebih akrab dikenal dengan Abu
Nashr, wakil terkemuka kedua dari madzhab filsafat paripatetik
(masy sya’i) muslim setelah al-Kindi (185-260 H. / 801-873 M).4
Sementara dalam teks-teks latin di abad pertengahan, al Farabi
dikenal dengan nama al-Pharabius atau Avennasr.5 Sebutan al
Farabi sendiri diambil dari kata tempat di mana dia dilahirkan,
yaitu Farab.6 Dalam karir intelektualnya al Farabi tidak hanya
Ibrahim Madkour, “Al-Fa>ra>bi>” dalam M. M. Sharif (ed.), A History
of Muslim Philosophy, Vol. I (Delhi: Low Price Publication, 1961), hlm. 450.
3
Yamani, Filsafat Politik Islam; Antara dan Khomeini (Bandung:
Mizan, 2002), hlm. 51.
4
Osman Bakar, Hierarki Ilmu; Membangun Rangka-Pikir Islamisasi
Ilmu, terj. Purwanto (Bandung: Mizan, 1997), hlm. 26.
5
M. Nastsir Arsyad, Ilmuan Muslim Sepanjang Sejarah (Bandung:
Mizan, 1995), hlm. 98.
6
Farab disebut juga dengan Utrar, dahulu termasuk wilayah Iran,
2
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
59
Ambivalensi Kota Demokrasi (oleh: Muhamad Yasin)
mendapat gelar sebagai komentator Aristoteles, tetapi juga
bergelar sebagai mu’alim al-tsa>ni (guru kedua).7
Para biographer seperti Said Ibn Said (w. 1070 M.), Ibn
al-Nadim (w. 990) dan Abi Usaibah mengungkapkan bahwa
ayah al Farabi adalah penduduk asli Iran yang menikah dengan
seorang wanita dari Turkestan, ayahnya adalah seorang perwira di
Turkestan.8 Beberapa sumber menyebutkan bahwa ayah al Farabi
adalah seorang opsir tentara keturunan Persia, namun keluarganya
dianggap sebagai orang Turki.9 Ayahnya adalah seorang pejabat
tinggi militer di kalangan dinas ketentaraan Dinasti Samaniyah
yang menguasai sebagian besar wilayah Transoxiana, propinsi
yang memperoleh kekuasaan otonom dalam pemerintahan
Khalifah Abbasiyah sejak tahun 260 H/ 874-999 M.10
Uraian di atas membuktikan bahwa latar belakang
keluarga al Farabi adalah sebagai seorang keturunan bangsawan
yang terhormat dan memiliki kekayaan. Maka bisa dipastikan
bahwa kehidupan al Farabi memiliki kemudahan fasilitas untuk
memenuhi apa yang diinginkan dalam kehidupannya. Masa
kecil dan remaja al Farabi dijalani di kota dimana dia dilahirkan
yaitu Farab, sebuah kota yang sebagian penduduknya mengikuti
madzhab Syafi’i, dari situ al Farabi belajar berbagai ilmu tentang
bahasa termasuk juga aritmatika dan ilmu tentang al-Qur’an.11
Selanjutnya al Farabi pindah ke Damaskus dan kemudian pindah
ke Baghdad yang pada masa itu menjadi pusat ilmu pengetahuan
akan tetapi sekarang menjadi bagian dari Republuk Uzbekistan dalam daerah
Turkestan Rusia. Lihat Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam (Jakarta: Bulan
Bintang, 1996), hlm. 81.
7
M. Saeed Sheikh, Studies in Muslim Philosophy (India: Adam
Publisher, 1994), hlm. 75.
8
Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, hlm. 81. Lihat Juga
Majid Fakhry, Al-Fa>ra>bi> Founder of Islamic Neo Platonism: His Life, Work and
Influence (Oxford: Oneworld, 2002), hlm. 6.
9
Bukan hanya karena mereka berbicara dalam bahasa Sogdia, sebuah
dialek Turki, tetapi karena gaya hidup dan kebiasaan kultural mereka mirip orang
Turki. Lihat. Osman Bakar, Hierarki Ilmu: Membangun Kerangka, hlm. 26.
10Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya II (Jakarta:
UI-Press, 2002), hlm. 44. Lihat Juga Yamani, Filsafat Politik Islam, hlm. 51.
11
M M. Syarif, Para Filosof Muslim Terj. Tim Penerjemah Mizan
(Bandung: Mizan, 1996), hlm 56.
60a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Ambivalensi Kota Demokrasi (oleh: Muhamad Yasin)
dan pusat pemerintahan. Setelah beberapa tahun menimba ilmu di
Baghdad al Farabi pindah ke Harran salah satu pusat kebudayaan
Yunani di Asia kecil, dan tidak lama kemudian dia kembali ke
Baghdad dan tinggal di Baghdad selama 30 tahun. Masa tua al
Farabi dijalani di Damsyik, setelah puluhan tahun tinggal di kota
Baghdad, al Farabi meninggal di Damsyik pada tahun 330 H./
941 M.12
Latar belakang keluarga al Farabi bahwa dia adalah anak
seorang militer sangatlah penting dalam kaitannya mengenai
karier intelektual yang dibangunnya. Karena di era al Farabi
tentara khalifah terutama terdiri dari pasukan-pasukan Turki,
melalui hubungan keluarga militer al Farabi membangun akses
hubungan dengan para sekretaris negara dan wazir di Baghdad
yang menjadi patron filsafat. Risalah besar al Farabi mengenai
musik, misalnya, ditulis atas permintaan wazir Abu Ja’far alKharkhi.13
Ibrahim Madzkour mengungkapkan bahwa basis
pendidikan dasar al Farabi adalah di bidang ilmu-ilmu religius
dan bahasa. Pada bidang ilmu-ilmu religius dia belajar tentang
fiqih, hadis, al-Qur’an dan tafsir, sementara pada wilayah bahasa
dia belajar bahasa Arab, Persia dan Turki,14 selain itu dia juga
belajar aritmatika dasar.15 Apa yang dipelajarinya dari tingkat
dasar, baik di bawah bimbingan guru privat di rumahnya maupun
dalam pertemuan-pertemuan formal di masjid tidak jauh berbeda
dengan kurikulum tradisional yang diberikan pada anak-anak
muslim sebayanya.16
Bahwa basis pendidikan dasarnya adalah keilmuan
yang bersifat religius diperkuat oleh pernyataan Ibn Khaldun,
berdasarkan kajiannya terhadap berbagai metode pendidikan
anak yang digunakan di kota-kota Muslim, menyebutkan, bahwa
kurikulum di kawasan Timur Islam bersifat campuran, ilmu-ilmu
religius dan bahasa menjadi kurikulum pengajarannya. Sementara
Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, hlm. 81. Lihat Juga Majid
Fakhry, Al-Fa>ra>bi> Founder of Islamic, hlm. 7.
13
Yamani, Filsafat Politik Islam, hlm. 52.
14
Ibrahim Madkour, “Al-Fa>ra>bi>”, hlm. 451.
15
Osman Bakar, Hierarki Ilmu, hlm. 28.
16
Osman Bakar, Hierarki Ilmu, hlm. 27-28.
12
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
61
Ambivalensi Kota Demokrasi (oleh: Muhamad Yasin)
bahwa telah banyak belajar tentang kesusastraan dan ilmu bahasa
diperkuat oleh para sejarawan, yang memiliki laporan bahwa
menjelang akhir hayatnya telah mengenal banyak bahasa seperti
Arab, Turki, Persia, Syria, Yunani dan juga menguasai berbagai
dialek bahasa Asia Tengah serta bahasa-bahasa lokal.17
Fase kedua pendidikan al Farabi adalah di Bukhara setelah
di Farab, di Bukhara al Farabi mengembangkan keilmuannya di
berbagai disiplin termasuk di bidang musik.18 Setelah mendapatkan
pendidikan awalnya, terutama studi ilmu-ilmu religiusnya, al
Farabi kemudian menjadi seorang hakim (qadhi), dan selanjutnya
pergi ke Merv / Marw Khurasan (sekarang Iran). Kemudian al farabi
ke Baghdad dan bertemu dengan seorang ahli logika terkemuka
di masa itu yaitu Yuhanna Ibn Hailan (w. 910 M) dan Abu Bisyr
Matta (w. 940 M) seorang penerjemah karya-karya Aristoteles ke
dalam bahasa Arab. Kepada merekalah dia belajar tentang logika
dan sejak itu pula ia meninggalkan pekerjaannya sebagai al-qadhi
(hakim) dan mulai sibuk dan tenggelam mempelajari ilmu-ilmu
di bidang tersebut.19
bidang logika al Farabi telah mampu menjelaskan sesuatu
yang rumit dan mengungkap rahasianya serta memberikan
perhatian terhadap aspek-aspek yang telah ditinggalkan oleh
al-Kindi lewat metode dan analisisnya.20 Kota Baghdad, saat
al Farabi menggali ilmu di sana, menjadi kota yang dianggap
sebagai pemilik ahli waris utama tradisi filsafat dan kedokteran
Alexandria. Salah satu sumbangan terpenting al Farabi pada
dunia intelektual Baghdad adalah ia bersama para guru logikanya
membentuk salah satu rantai paling awal antara filsafat Yunani
dengan dunia Islam.21 Pada masa kekhalifahan al-Mu’tadid (892902 M.) al Farabi dan Yuhanna Ibn Hailan (gurunya) telah mampu
Osman Bakar, Hierarki Ilmu, hlm. 29.
Osman Bakar, Hierarki Ilmu, hlm. 29.
19
Minat al-Fa>ra>bi> terhadap filsafat terutama ilmu logika sebenarnya
sudah sejak dia tinggal di Bukhara, kalau kemudian dia mengalihkan perhatiannya
dari mempelajari bidang filsafat tidak lebih karena masih langkanya pengajar di
bidang ini. Lihat Osman Bakar, Hierarki Ilmu, hlm. 30.
20
Majid Fakhry, Al-Fa>ra>bi> Founder of Islamic Neo Platonism, hlm.
6-7.
21
Deborah L. Black, “Al-Fa>ra>bi>”, hlm. 221.
17
18
62a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Ambivalensi Kota Demokrasi (oleh: Muhamad Yasin)
menyumbangkan dalam penempaan sebuah bahasa filsafat baru
dalam bahasa Arab, meskipun dia juga menyadari akan perbedaan
antara tata bahasa Yunani dan Arab.22
Minat al Farabi pada logika dan ilmu-ilmu yang
bernuansa filosofis, termasuk metafisika muncul sejak pertama
kali dia mempelajari dalam disiplin ilmu linguistik dan religius.23
Tepatnya di kota Marv (Marw) di Khurasan tempat pertama
kalinya al Farabi berkenalan dengan logika dan ilmu-ilmu filsafat,
terutama logika Aristoteles.24 Namun, pengetahuannya mengenai
logika Aristotelian baru sebatas unsur-unsur yang diterima atau
yang dikritik oleh disiplin kalam. Dari sini, al Farabi mengalami
ketidakpuasan, kemudian al Farabi mengembangkannya di
Baghdad dengan berguru kepada Yuhanna Ibn Hailan dan Abu
Bisyr Matta. Di Baghdad dan Harran dia belajar hanya melanjutkan
studinya terdahulu untuk menguasai beberapa penerapan tentang
logika, dan di Baghdad dia telah menguasai pemikiran Aristoteles
dengan mempelajari karya Analitics Posateriora bersama Ibn
Hailan.
Pada masa Khalifah al-Muqtadir (908-932 M.) al Farabi
pindah dari Baghdad menuju Konstantinopel, besar kemungkinan
karena pengaruh pemikiran Ibn Hailan, kepindahannya ke
konstantinopel Yunani, dimana Konstantinopel pada masa itu
menjadi salah satu madzhab filsafat yang erat kaitannya dengan
madzhab Alexandria. Di Universitas Konstantinopel al Farabi
mempelajari seluruh silabus filosofis dan ilmu-ilmu lain, selama
Yamani, Filsafat Politik Islam, hlm. 55.
Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Osman Bakar bahwa sebelum
masanya kalam maupun Ushul Fiqih telah berkembang hingga pemakaian
sistem logika yang menampilkan banyak unsur dan gambaran umum logika
Stoik. Dimana logika Yurisprudensial-teologis yang dikenal dengan adab alkalam telah ditunjukkan oleh Makdisi sebagai bagian integral dari kurikulum
ilmu-ilmu religius sebelum dan selama masa . Osman Bakar, Hierarki Ilmu, hlm.
30.
24
Jawaban atas pertanyaan di mana pertama kalinya mulai berkenalan
dengan studi logika Aristotelian dan filsafat menjadi perdebatan para sarjana
modern. Namun Walzer dan Mahdi menyebut kota Marv (Marw) di Khurasan
sebagai tempat dimana berkenalan dengan filsafat dan logika Aristotelian,
sementara Majid Fakhry, F.E. Peters, De Boer dan F.W. Zimermann bertempat
di Baghdad. Osman Bakar, Hierarki Ilmu, hlm. 31.
22
23
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
63
Ambivalensi Kota Demokrasi (oleh: Muhamad Yasin)
delapan tahun.25
Rentang waktu tahun (910-920 M.) al Farabi kembali
ke Baghdad mendalami filsafat, sesudah menguasai ilmu logika
serta mengajar dan menulis dan mengulas karya-karya filsafat.
Pada masa itu tercatat bahwa Matta’ Ibn Yunus, al-Mawarzi
dan Quwairi adalah para ahli logika terkemuka, yang begitu
berpengaruh terhadap murid-muridnya, al Farabi juga menjadi
salah satu muridnya.
Pada masa itu kemampuan al Farabi dalam mengungkap
bahasa-bahasa yang dianggap sangat rumit dengan istilah-istilah
yang mudah dicerna dan dipahami menaikkan reputasinya.
Tercatat bahwa sebagai ahli logika di masanya al Farabi telah
membaca (juga mengajar) Physic-nya Aristoteles sebanyak empat
puluh kali dan Rhetoric-nya Aristoteles dua ratus kali serta telah
membaca bukunya De Anima-nya Aristoteles sebanyak seratus
kali.26
Pada akhir tahun 942 M karena gejolak politik Baghdad
yang semakin memburuk al Farabi pindah ke kota Damaskus, di
bawah kekuasaan Dinasti Ikhsyidiyah, Damaskus pada masa itu
menjadi kota yang tenang dan damai. Pada masa awal tinggal di
Damaskus diterangkan bahwa al Farabi bekerja sebagai penjaga
kebun sepanjang siang hari dan mencurahkan waktu untuk menulis
dan membaca buku-buku filsafat di siang harinya.27 Menurut Abi
Usaibiah di Damaskus al Farabi menyelesaikan karyanya A>ra>>’
Ahl al-Madi>>nah al-Fa>dhilah yang sebelumnya telah mulai ditulis
di Baghdad.
Karena alasan yang sama, al Farabi pindah ke Mesir setelah
dua tahun tinggal di kota Damaskus, yaitu karena terjadinya
ketegangan politik antara dinasti Hamdaniyyah dari Mosul dan
Ikhsyidiyah dari Siria, sehingga memaksa kota Damaskus pada
masa itu diduduki dinasti Hamdaniyyah selama periode 945-946.
Di mana mesir pada masa itu dibawah kekuasaan Ikhsidiyyah,
dan menurut Ibn Khallikhan di Mesir al Farabi menyelesaikan
Osman Bakar, Hierarki Ilmu, hlm. 34.
Yamani, Filsafat Politik Islam, hlm. 55.
27
Osman Bakar, Hierarki Ilmu, hlm. 36. Lihat juga Majid Fakhry, AlFa>ra>bi> Founder of Islamic Neo Platonism, hlm. 7.
25
26
64a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Ambivalensi Kota Demokrasi (oleh: Muhamad Yasin)
karyanya yang berjudul Siyasah al-Madaniyah yang semula telah
mulai ditulis di Baghdad.
Pada tahun 949 M al Farabi kembali ke Damaskus, al Farabi
kemudian berjumpa dengan putra mahkota dinasti Hamdaniyah
Saif al-Daulah sang penyokong besar seni dan kesusastraan di
Aleppo. Di sinilah al Farabi bertemu dengan lingkaran orangorang terpelajar yang dikumpulkan oleh Saif al-Daulah seperti
al-Mutanabbi, Abu Firas, Abu al-Fajar dan ahli tata bahasa Ibn
Khalawaih. Saif al-Daulah sangat menghormati al Farabi karena
kecerdasan dan keahliannya menguasai berbagai pengetahuan,
juga karena sikap al Farabi yang sangat sederhana baik dalam hal
pakaian maupun tingkah lakunya, bahkan dia hanya menerima
pensiunan harian sebesar empat dirham meskipun dia menjadi
penasehat negara.28 Pada bulan Rajab 339 H/ Desember 950
M, al Farabi meninggal dunia di Damaskus pada usia delapan
puluh tahun. Dia dimakamkan di pekuburan yang terletak di luar
gerbang kecil kota bagian selatan.29
Dari uraian panjang mengenai latar belakang pendidikan
dan kehidupan ilmiahnya, tidak dapat diragukan bahwa al Farabi
mempunyai pengetahuan yang luas, bahkan dia hampir dapat
menguasai segala macam ilmu pengetahuan yang berkembang
pada masa hidupnya, sehingga tidak ada keraguan sama sekali bagi
kita bahwa al Farabi memahami sepenuhnya filsafat Yunani.30
Al Farabi hidup pada periode kedua masa pemerintahan
Abbasiyyah: suatu masa di mana dari sisi politik, Khalifahkhalifah yang memerintah di Baghdad tidak lagi kuat seperti
sebelumnya, sehingga mereka tidak kuasa melawan kehendak
para perwira pengawal keturunan Turki, dan dari sisi intelektual
dan ideologi ditandai dengan munculnya kembali pengaruh
ajaran Salaf menyusul memudarnya aliran Mu’tazilah. Menurut
Khudhari periode kedua Bani Abbas ini merentang dari tahun
874 M, masa ke Khalifahan al-Mutawakkil, sampai tahun 945 M,
Majid Fakhry, Al-Fa>ra>bi> Founder of Islamic Neo Platonism, hlm.
7. Lihat juga Osman Bakar, Hierarki Ilmu, hlm. 37.
29
Osman Bakar, Hierarki Ilmu, hlm. 37.
30
Ahmad Fuad al-Ahwani, Filsafat Islam (Jakarta: Pustaka Firdaus,
1995), hlm. 60.
28
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
65
Ambivalensi Kota Demokrasi (oleh: Muhamad Yasin)
masa kekuasaan al-Mustakhfi.31
Periode kedua masa pemerintahan Abbasiyyah biasa juga
disebut dengan periode akhir Abbasiyyah, dimana kekuasaan
para khalifah mengalami kemunduran, sedangkan yang berkuasa
sesungguhnya adalah Dinasti-dinasti baru yang sebagian besar
berasal dari Turki dan Persia yang berada di batas luar pemerintahan.
Namun, pada puncaknya justru Dinasti-dinasti baru itu yang
menguasai Baghdad sementara khalifah hanya menjadi boneka di
tangan mereka.32
Al Farabi hidup pada masa terjadinya pergolakan
dan pergeseran arus pemikiran di Baghdad, yaitu: pertama,
rasionalisme kalam Mu’tazilah yang pada mulanya berpengaruh
pada kekuasaan mulai tersingkir digantikan oleh kaum Salaf.
Kedua, adanya ketegangan antara ulama’ fikih dengan kaum
sufi. Bersamaan dengan itu di Bukhara tempat di mana al Farabi
menghabiskan masa mudanya terjadi perkembangan bahasa
dan sastra yang sangat pesat, sedangkan di Aleppo (sekarang
Siria) dan Damaskus dua tempat dimana al Farabi menekuni
karier intelektual dan menghabiskan masa tuanya, berkembang
pemikiran filsafat dan logika yang sangat besar. al Farabi sendiri
faham dengan trend besar zamannya ini karena dia menyaksikan
dan bahkan terlibat langsung dalam gerak intelektual tersebut.33
Karya-Karya al Farabi
Menurut Ahmad Daudy ada sekitar tiga puluh karya al
Farabi yang dijumpai dalam bentuk Bahasa Arab.34Karya-karya
al Farabi paling tidak dapat dikelompokkan dalam beberapa
tema di antaranya: logika, fisika, metafisika, politik, astrologi,
musik dan beberapa risalah yang berisikan tentang sanggahan
atau tanggapan atas pemikiran para filosof tertentu. Di bidang
Muhammad al-Khudhari, Muha>darat al Umam al-Isla>miyah (Kairo:
Tp, 1921), hlm. 542-543.
32
Yamani, Filsafat Politik, hlm. 52.
33
Yamani, Filsafat Politik Islam; Antara, hlm. 53-54
34
Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam (Jakarta: Bulan Bintang,
1992), hlm. 27-28.
31
66a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Ambivalensi Kota Demokrasi (oleh: Muhamad Yasin)
logika al Farabi menguraikan Organon karya Aristoteles secara
tuntas, yang mencakup Hermeneutika, Analitika Prior, Analitika
Posterior, Sofistik, puisi atau syair dan retorika, selain itu al
Farabi juga menguraikan Isagoge Phorphyry. Al Farabi menulis
risalah pendek yang secara khusus membahas aspek-aspek logika
di antaranya: Risa>lah Sudi>ra Biha> al-kita>b, Risa>lah fi> Jawa>b alMasa>’il Su’ila ‘nha> dan Risa>lah fi> Qawa>nin Shina’at al-Syi’r.
Naskah-naskah yang orisinil tentang logika yang
pembahasannya jauh lebih pelik dari pada Categories karya
Aristoteles dan Isagog karya Porphyry di antaranya adalah al-Alfaz
al-Musta’malah fi> al-Mantiq (istilah-istilah logika), al-Fushu>l alKhamsah (lima pasal logika) dan Risa>lah fi> al-Mantiq (Pengantar
Logika) dan semua karya-karya ini masih terdokumentasi
dengan baik. Sementara di bidang fisika (fisika dalam pengertian
tradisional, khususnya dalam pengertian Paripatetik dan filsafat
alam), al Farabi menulis beberapa uraian tentang pemikiran
Aristoteles dan filsafat Yunani di antaranya: Syarh Kita>b al-Sama’
al-Thabi’i li Aristhu>thalis dan Syarh Kita>b al-Sama’ Wa al-Alam li
Aristhu>thalis serta Syarh Maqa>lat al-Iskandar al-Afrudisi’i fi> alNafs. al Farabi juga menulis mengenai risalah-risalah lepas yang
mencakup ilmu Psikologi, zoologi, meteorologi, ruang waktu dan
vakum di antaranya: Risa>lah fi> al-Khala’, Kala>m fi> al-A’dha’ alHayawan, Kalim fi> al-Haiz Wa al-Miqdar dan Maqa>lat fi> Ma’a>ni
al-Aql.
Karya-karya al Farabi yang merupakan sanggahan atas
pandangan dan pemikiran para filosof dan teolog mengenai
filsafat alam. Di antaranya adalah Kita>b al-Raad Ala> Jalinus fi>
Ma> Ta Awwaluhu Min Kala>m Aristhu>, dan Kita>b al-Raad Ala> Ibn
al Rawandi fi> al-Adab al-Jadal, dan al-Raad Ala> Yahya al-Nahwi
fi> Ma> Raddahu Ala> Aristhu> serta kitab al-Raad Ala> al-Razi fi>
al-Ilm al-Ila>hi.
Sementara tentang musik al Farabi menulis karya yang
berjudul Kita>b al-Musi>qa al-Kabi>r dan al Farabi juga menulis
tentang astrologi yudisial yang berjudul fi> Ma> Yashihh Wa Ma>
La> Yashihh Min Ahka>>m al-Nuju>m. Pada bidang metafisika al
Farabi menulis beberapa uraian, sanggahan dan risalah lepas di
antaranya: Maa>lat fi> Aghradh Ma> Ba’d al-Thabi’ah dan Kita>b
al-Huru>f dan karya-karyanya yang masih terselamatkan dalam
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
67
Ambivalensi Kota Demokrasi (oleh: Muhamad Yasin)
bidang ini adalah Fushu>s al- H~ikam, Kitab fi> al-Wahi>d Wa alWahdah serta kitab yang ditujukan guna menyelaraskan gagasan
Plato dan Aristoteles seperti Falsafat Aristhu>thalis, Kitab Falsafah
Afla>thu>n Wa Ajzaha dan Kitab al-Jam‘ bain Ra’yai al- Haki>main:
Afla>thu>n Wa Aristhu>.
Karya al Farabi mengenai teori pengetahuan dan prinsipprinsip pertama dari ilmu-ilmu khusus di antaranya Kitab Fi
Ushu>l Ilm al-Thabi’ah dan Ihsha’ al-Ulu>m, Fushu>s al-Hika>m,
Ta’liqat fi> al-H~ikam, Kitab fi> Dzuhu>r al-Falsafah. Karya al Farabi
mengenai filsafat politik diantaranya Kitab A>ra>>’ Ahl al-Madi>>nah
al-Fa>dhilah, Kitab al-Syiyasah al-Mada>niyah, Kitab al-millat
al-Fa>dhilah, Fushu>sh al-Madani> sementara karyanya mengenai
konsep kebahagiaan berjudul Tahsil al-Sa’a>dah.
Filsafat al Farabi
Menurut Massignon, seorang sarjana Prancis, al Farabi
adalah filosof Muslim pertama dalam arti sesungguhnya.
Sebelum al Farabi memang telah tampil al-Kindi (185-260 H. /
801-873 M) yang membuka pintu filsafat ke dunia Islam. Tetapi,
bagi Massignon, al-Kindi tidak memiliki sebuah filsafat yang
sistematis. Sebaliknya, al Farabi, dalam pandangan Massignon,
telah menciptakan suatu filsafat yang lengkap dan sekaligus
menjadi guru dari para filosof Islam yang datang sesudahnya
seperti Ibnu Si>na dan Ibn Rusyd.35
Al-Kindi mengalami kebingungan dalam memastikan
perbedaan yang mendasar pemikiran Plato, Aristoteles dan
Plotinus. Lain halnya dengan al Farabi, dia telah mampu
memahami perbedaan mendasar tentang pemikiran para
filosof Yunani tersebut. Hal itu sebagaimana dijelaskan dalam
pendahuluan karya al Farabi yang berjudul al-Jama’ Baina Ra’y
al-Hakimain,36
Posisi unik al Farabi dalam sejarah filsafat Islam tampak
Abu Ahmadi, Filsafat Islam (Semarang: Toha Putra, 1982), hlm.
35
102.
Ahmad Fuad al-Ahwani, Filsafat Islam, hlm. 76-77. Lihat Juga
dalam Muhsin Mahdi, Al-Fa>ra>bi>’s Philosophy of Plato and Aristotle, (New York:
The Free Press of Glencoe, 1962), hlm. 3-10.
36
68a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Ambivalensi Kota Demokrasi (oleh: Muhamad Yasin)
dari sejumlah risalah “metodologis” nya, seperti Philosophy of
Plato and Aristotle dan Reconciliation of Plato and Aristotle,
yang kesemuanya itu berupaya melempangkan jalan bagi
pengembangan studi filsafat dikemudian hari. Dalam Ihsha’ alUlu>m (Enumerasi Sains), misalnya, al Farabi mengantarkan
para pembaca pada kurikulum filsafat Yunani. Dalam kurikulum
filsafat Yunani, ilmu pengetahuan terklasifikasi ke dalam ilmu
bahasa, alam, filsafat dan seterusnya.37
Filasafat al Farabi mempunyai corak dan tujuan yang
berbeda dengan para filosof sebelumnya (baik dari Yunani
maupun Islam), dia mengadopsi doktrin-doktrin para filosof
terdahulu kemudian membangun kembali dengan disesuaikan
lingkup kebudayaannya dan disusun dengan sangat sistematis
dan harmonis atau selaras.38 Unsur-unsur penting filsafat al Farabi
dapat dilihat dari tiga pokok pemikirannya yaitu logika, kesatuan
filsafat (the unity of philosophy) dan teori intelek (akal).
Pada masa muda, al Farabi lebih tertarik mempelajari
logika, sebagian karyanya pun banyak yang dipusatkan pada
studi tentang logika. Menurut al Farabi seni logika umumnya
memberikan aturan-aturan yang bila diikuti memberi pemikiran
yang besar dan mengarahkan manusia secara langsung kepada
kebenaran dan menjauhkan dari kesalahan-kesalahan. Menurut
al Farabi logika mempunyai kedudukan yang mudah dimengerti,
sebagaimana hubungan antara tata bahasa dengan kata-kata,
dan ilmu matra dengan syair. Selain itu logika juga membantu
untuk membedakan antara yang benar dengan yang salah dan
menunjukkan bagaimana memperoleh cara yang benar dalam
berpikir serta menunjukkan dari mana seharusnya memulai
berpikir dan mengarahkannya kepada kesimpulan-kesimpulan
akhir.39
Masalah pokok logika menurut al Farabi adalah
topik-topiknya yang membahas aturan-aturan pemahaman,
dimana topik-topik itu dikelompokkan menjadi delapan yaitu:
pengelompokan, penafsiran, pengupasan pertama, pengupasan
Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam; Sebuah Peta Kronologis, terj.
Zaimul Am. (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 46.
38
Ibrahim Madkour, “Al-Fa>ra>bi>”, hlm. 454.
39
Ibrahim Madkour, “Al-Fa>ra>bi>”, hlm. 455.
37
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
69
Ambivalensi Kota Demokrasi (oleh: Muhamad Yasin)
kedua, topik, sofistik, retorik dan puisi yang semua itu merupakan
tujuan utama logika. al Farabi meletakkan landasan bagi lima
bagian penalaran demonstrative, dialektik, sofistik, retorik,
dan puitis.40 al Farabi memberi ketegasan bahwa ada perbedaan
mendasar antara logika dengan bahasa, menurutnya tata bahasa
hanya berkaitan dengan kata-kata sedangkan logika berkaitan
dengan arti dan kata-kata yang merupakan penjelmaan makna,
selain tata bahasa selalu berkaitan dengan aturan-aturan bahasa
tetapi logika berkaitan dengan pemikiran manusia yang selalu
sama dimana dan kapan pun.41
Al Farabi membangun keilmuan logikanya mengikuti
logika Aristoteles dengan menambahkan retorika dan puisi,
kecerdasan al Farabi dalam menjabarkan logika Aristoteles ke
dalam bahasa Arab dan memaparkan prinsip-prinsip silogisme
Aristoteles sekaligus merubah dari contoh-contoh yang dipaparkan
oleh Aristoteles (yang begitu sulit dipahami oleh para filosof
atau sarjana muslim) dengan contoh-contoh kejadian sehari-hari
kehidupan dalam masyarakat Arab dinilai sebagai sumbangan
terbesar oleh para filosof Islam setelahnya. Sehingga menjadikan
al Farabi dijuluki sebagai “guru kedua” setelah Aristoteles.
Setelah logika pikiran pokok dalam filsafat al Farabi adalah
kesatuan filsafat (the unity of philosophy). al Farabi berpendapat
bahwa pada hakekatnya filsafat merupakan satu kesatuan
karena itu satu-satunya tujuan adalah mencari kebenaran, oleh
karenanya menurut al Farabi tidak ada aliran filsafat yang ada
hanya satu yaitu “aliran kebenaran”, oleh karenanya kebenaran
agama dan kebenaran filsafat menurut al Farabi secara nyata
adalah satu meskipun secara formal berbeda.42 Ajaran al Farabi
ini didasarkan pada dua hal yaitu pertama, al Farabi bermaksud
memperbaiki filsafat pengikut Aristoteles dan membungkusnya
dalam bentuk Platonis agar lebih sesuai dengan ajaran Islam
dan kedua, memberikan penafsiran rasional tentang kebenaran
agama. Maka tujuan utama filsafat al Farabi adalah menerangkan
filsafat dengan cara agama dan memfilsafatkan agama sehingga
mendorong keduanya pada satu arah dan dapat dipahami secara
Ibrahim Madkour, “Al-Fa>ra>bi>”, hlm. 456.
Ibrahim Madkour, “Al-Fa>ra>bi>”, hlm. 455.
42
Ibrahim Madkour, “Al-Fa>ra>bi>”, hlm. 456-457.
40
41
70a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Ambivalensi Kota Demokrasi (oleh: Muhamad Yasin)
selaras.43 Pemikiran al Farabi ini membawa pengaruh pada filosof
setelahnya seperti Ibn Rusyd dan Ibnu Si>na yang cenderung
memadukan antara filsafat dan agama atau mengharmonisasikan
keduanya.
Al Farabi mendasarkan penyelarasan antara filsafat dengan
agama didasarkan atas revisi filsafat para pengikut Aristoteles
yang didasarkan pada dua teori yaitu teori kosmologis dan teori
psikologis yaitu teori akal dan intelek sepuluh yang penjelasan
rasionalnya bertumpu pada dua teori yaitu melalui penafsiran
al-Qur’a>n dan teori kenabian. Oleh karenanya bangunan seluruh
filsafat al Farabi dapat dikatakan terangkum dalam emapat
teori ini yang saling berkaitan dan semuanya mengarah ke satu
tujuan.44
Bagi al Farabi, filsafat mencakup matematika, dan
matematika bercabang pada aritmatika, geometri, astronomi,
astrologi, musik, mekanika, dan seterusnya. Sementara itu, ilmuilmu alam terbagi menjadi delapan, mengikuti delapan tema fisika
Aristoteles, yakni Physics, Heavens, Generation and corruption,
Meteorology, Book of Minerals, on Plants, Zoology, dan on the
Soul. Semua bagian ilmu ini berlanjut pada “metafisika”. Dalam
sumber-sumber Arab, “Metafisika” ini lazim pula disebut “ilmu
ketuhanan“. Menurut al Farabi, bagian metafisika ini secara
lengkap dipaparkan oleh Aristoteles dalam Metaphysics, yang
sering jadi acuan dalam sumber-sumber Arab sebagai Book of
Letters.45
M Saeed Shaikh menyimpulkan menjadi lima pokok
pembahasan mengenai pandangan atau pemikiran filosofis al
Farabi yaitu ontologi, teologi metafisik, kosmologi, psikologi
rasional dan filsafat politik. Ontologi mencakup pembahasan
tentang “yang ada” kemudian teologi metafisik berbicara tentang
bagaimana Tuhan itu berada serta bukti-bukti yang menunjukkan
ke-eksistensian-Nya, rasional Psikologi membahas tentang tubuh
dan jiwa, dan filsafat politik mengkaji tentang gagasan kota
utama, pemimpin yang ideal dan sebagainya.46
Ibrahim Madkour, “Al-Fa>ra>bi>”, hlm.457.
Ibrahim Madkour, “Al-Fa>ra>bi>”, hlm.457
45
Ibrahim Madkour, “Al-Fa>ra>bi>”, hlm. 457.
46
M. Saeed Sheikh, Studies in Muslim Philosophy, hlm. 77-88.
43
44
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
71
Ambivalensi Kota Demokrasi (oleh: Muhamad Yasin)
Minat dan perhatian al Farabi yang amat besar terhadap
ilmu pengetahuan, diikuti oleh kecerdasan dan ketekunannya
yang mendalam dan keterbukaannya terhadap segala macam
pandangan atau gagasan yang dijumpainya, menyebabkan dia
tidak dapat mengelak dari pengaruh tokoh-tokoh filsafat Yunani
klasik, diantaranya Plato, Aristoteles dan Plotinus. Di mana
pandangan para filosof Yunani klasik telah merasuki dalam
pemikiran al Farabi.47
Plato mempengaruhi al Farabi pada pemikiran tentang
etika dan politik, Aristoteles mempengaruhi al Farabi pada bidang
ilmu logika, sementara pengaruh Plotinus terhadap al Farabi pada
ajaran-ajarannya tentang bagaimana yang banyak ini berasal dari
yang Esa yang tunggal yaitu ajaran emanasi. Yang kemudian
teori emanasi dikembangkan oleh al Farabi dengan sepuluh akal
yang mengalir dari Tuhan, dan pelimpahan itu terjadi dengan
sendirinya ibarat mengalirnya cahaya / sinar dari matahari tanpa
mengurangi zatnya sedikit pun.48
Filsafat al Farabi merupakan campuran antara filsafat
yang bercorak Aristotelean dengan Neo Platonisme dan pemikiran
ke-Islaman yang jelas dan corak aliran Syi’ah Imamiah. Dalam
masalah logika dan filsafat misalnya dia mengikuti Aristoteles,
dalam masalah etika dan politik al Farabi menganut Plato,
sementara masalah metafisika dia merujuk pada pemikiran
Plotinus.49
Dalam kaitannya dengan dirinya yang dinobatkan sebagai
‘guru kedua’ karena pencapaian keilmuan dalam bidang logika,
hal ini berkaitan dengan kemampuan al Farabi dalam menulis
banyak komentar dan paraphrase atas kumpulan karya logika
Aristoteles yang dikenal dengan Organon, Rethoric dan Poetics
yang menjadi bagian Organon dalam tradisi Suryani dan Arab
ataupun Isagog karya Porphyry, juga dikomentari oleh al Farabi.
Naskah-naskah yang orisinil tentang logika yang pembahasannya
jauh lebih pelik dari pada categories karya Aristoteles dan Isagog
karya Porphyry di antaranya adalah al-Alfaz al-Musta’malah fi>
Syaifuddin, ”Konsep Pemikiran Tentang Kenabian”, Skripsi pada
Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2001. hlm. 24-25.
48
Syaifuddin, ”Konsep Pemikiran Tentang Kenabian”, hlm. 29.
49
Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, hlm. 83.
47
72a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Ambivalensi Kota Demokrasi (oleh: Muhamad Yasin)
al-Mantiq (istilah-istilah logika), al-Fushu>l al-Khamsah (lima
pasal logika) dan Risalah fi> al-Mantiq (Pengantar Logika) dan
semua karya-karya ini masih terdokumentasi dengan baik.50
Tentang alam al Farabi lebih condong ke pemikiran Plato,
dia sependapat dengan Plato bahwa alam ini baru dan terjadi dari
yang tidak ada. Sementara mengenai proses terjadinya alam dan
bagaimana hubungan Khalik dengan makhluk al Farabi begitu
juga al-Kindi menganut ajaran emanasi Neo-Platonisme. Mula
pertama al Farabi memahami prinsip Aristoteles bahwa Tuhan
adalah akal yang berfikir, al Farabi menyebutnya dengan akal
murni. Prinsip Aristoteles itu kemudian diisi oleh al Farabi dengan
teori emanasi Neo Platonisme dan Plotinus.51
Sekilas Filsafat Politik al Farabi
Perkembangan ilmu politik secara umum dan khususnya
persoalan demokrasi saat ini tidak bisa lepas dari Filsafat politik
Plato, Plato menjelaskan bahwa manusia secara natural adalah
makhluk politik karena fitrahnya tidak bisa memenuhi kebutuhan
hidupnya sendiri kecuali melalui perkumpulan atau kelompok.52
Filosof Muslim, Al Farabi meletakkan dasar filsafat
politik Islam melalui karyanya philosophy of Plato dimana Al
Farabi menghadirkan Plato sebagai seorang ahli politik yang
dalam karya-karya filsafat filosof Muslim sebelumnya yaitu
Al Kindi dan al Razi filsafat politik tidak dihadirkan.53 Tidak
berbeda dengan filsafat politik Plato, Al Farabi meletakkan
dasar filsafat politiknya dengan mengkaji psikologi manusia dan
kebahagiaannya.
Manusia, menurut Al Farabi termasuk dalam spesiesMajid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam; Sebuah Peta Kronologis,
Terj. Zaimul Am (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 45-46.
51
Poerwanto, Seluk Beluk Filsafat Islam (Bandung: Rosda Karya,
1994), hlm. 135.
52
Fauzi M Najjar, “Democracy In Islamic Political Philosophy”
dalam Jurnal Studia Islamica, La Loi du 1957, G.P Maisonneuve et Larose
1980, hal. 108-122
53
Muhsin S Mahdi, Al Farabi and the Foundation of Philosophy,
dalam (ed) Parvis Morwedge Islamic Philosophy and Mysticism. (New York:
Carvana Book, 1981), hal. 14-16
50
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
73
Ambivalensi Kota Demokrasi (oleh: Muhamad Yasin)
spesies yang tidak dapat menyelesaikan urusan-urusan penting
mereka ataupun mencapai keadaan baik mereka kecuali melalui
asosiasi (perkeumpulan) banyak kelompok dalam suatu tempat
tinggal yang sama.54 Psikologi manusia menurut Al-Farabi
mempunyai fitrah sosial, fitrah untuk berhubungan dan hidup
bersama orang lain, dari fitrah ini kemudian lahir apa yang disebut
masyarakat, kota dan Negara.55
Al Farabi mengibaratkan Kota atau Negara dengan
tidak ubahnya susunan tubuh manusia yang sehat dan sempurna
dimana masing-masing saling berusaha dan bekerjasama, dalam
tubuh manusia ada kepala, hati, jantung, tangan, dan kaki yang
bekerja sesuai dengan tugasnya. Begitu pula dalam Negara,
masing-masing rakyat mempunyai tugas dan kadar kecerdasan
yang berbeda-beda sehingga membutuhkan saling kerjasama
dimana harus ada kepala Negara, dan yang lain membantu dalam
berbagai kedudukan sehingga tercapai kebahagiaan. Gagasan Al
Farabi ini sebagaimana diungkapkan dalam karya-karya penting
filsafat politiknya di antaranya, Al Siyasah Al Madaniyah, dan
Mabadi Ara Ahlu Al Madinah Al Fadhilah.56
Hirarki wuju>d-nya al-Fa>ra>bi dijadikan landasan untuk
mengembangkan teori politiknya, terutama tentang konsep
pengaturan sebuah kota atau negara. Al Farabi mengajarkan
bahwa sebuah kota atau negara harus diatur berdasarkan
tingkatan-tingkatan hierarki yang di dalamnya dan yang paling
atas mengatur yang di bawahnya secara berturut-turut dan
bertahap. Yang paling tinggi adalah pengatur utama dan mutlak,
sementara yang paling bawah adalah yang diatur secara mutlak,
kemudian yang berada di antaranya mempunyai kedua aspek
sekaligus, yaitu mengatur yang di bawahnya dan diatur oleh yang
Yamani, Al Farabi Filosof Politik Muslim, (Jakarta: Teraju, 2005),
54
hal. 37.
Dikemudian hari, gagasan tentang fitrah sosial ini diulangi oleh
Jean-Jacques Rousseau (1712-1778 M) dengan konsep “kembali ke alam” ( retur
a la nature ) yang kemudian melahirkan konsep Sosial Contrat (kontrak sosial);
kemauan untuk bekerjasama demi tercapainya kebutuhan bersama diantara
individu. Lihat Frans Magnis Suseno, Etika Politik , (Jakarta, Gramedia, 1994),
238-239.
56
H. Zainal Abidin Ahmad, Negara utama; Madinatul Fadhilah
(Jakarta: PT. Kinta, 1968), hal. 41-43.
55
74a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Ambivalensi Kota Demokrasi (oleh: Muhamad Yasin)
di atasnya.57
Sementara mengenai pemimpin utama atau imam dalam
pemikiran politik al Farabi, dia mengadopsi dari pemikirannya
mengenai struktur akal manusia. Menurut al Farabi adalah
mereka yang telah mampu sampai pada akal mustafad yang layak
jadi pemimpin, karena orang tersebut telah terhubung dengan
akal aktif dan telah tercurahkan oleh akal kesepuluh sehingga
teraktualisasikan ilmu pengetahuan dan orang tersebut menjadi
tahu tentang hal-hal yang sebelumnya tidak diketahuinya.
Menurut al Farabi orang yang telah mencapai tingkat
ini sebenarnya kontaknya dengan akal aktif akan berlangsung
terus-menerus. Karena ketika akal kenabian bersatu dengan
akal aktif, akal kenabian secara terus menerus teraktualisasi dan
dia pun menjadi mengetahui tentang segala sesuatu, yang lalu,
yang sekarang, dan yang akan datang. Pemimpin yang seperti ini
menurut al Farabi terus-menerus berada dalam bimbingan Tuhan,
atau dalam istilah teknis filsafat, akal aktif telah menjadi forma
atau forma (akal)-nya dan seseorang telah menjadi materi bagi
wuju>d komposit yang terdiri dari materi (yang sesungguhnya
adalah) forma (akal)-nya dan forma yang sesungguhnya adalah
akal aktif itu sendiri.58
Mengenai pemimpin atau imam, al Farabi kemudian
memberi rincian karakter yang harus dimiliki, menurut al Farabi
ada dua belas karakter bagi seorang imam di antaranya: jujur,
cinta keadilan, cerdas, sehat jasmani, lugas, berakhlak mulia,
moderat dan pemberani. Teorinya ini mirip dengan konsep Plato
tentang raja filosof serta karakter-karakter khalifah menurut para
ahli fiqih Islam 59
Hubungan yang akrab antara metafisika dengan filsafat
politik dalam pemikiran al Farabi lebih lanjut melukiskan
pandangan organik manusia dalam hubungannya dengan Tuhan
dan alam semesta, dan dengan sesama manusia, sebagaimana
Yamani, Antara Al-Fa>ra>bi> dan Khomeini, Filsafat Politik Islam,
57
hlm. 154.
58
hlm. 157.
Yamani, Antara Al-Fa>ra>bi> dan Khomeini, Filsafat Politik Islam,
Abu Nasr al-Fa>ra>bi>, A>ra>>’ Ahl al-Madi>>nah al-Fa>dhilah, hlm. 197199. Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta, hlm. 54.
59
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
75
Ambivalensi Kota Demokrasi (oleh: Muhamad Yasin)
yang diwujudkan dalam sistem kepercayaan Islam. Bagi al
Farabi ilmu politik dan etika dipahami sebagai suatu perluasan
atau perkembangan metafisika atau sebagai manifestasinya
yang tertinggi yaitu teologi, yakni, ilmu tentang Tuhan. Karena
itu karya metafisika al Farabi yang agung A>ra>>’ Ahl al-Madi>>nah
al-Fa>dhilah tidak dimulai dengan keadilan dan diskusi tentang
hubungan manusia dengan negara seperti dalam Republik Plato,
tetapi dengan diskusi tentang wuju>d pertama atau yang maha
esa menurut Plotinus, sifat-sifat dan caranya mengada di dunia
ini. Ciri khas ini benar-benar menunjukkan kemurnian filsafat al
Farabi dan model pemikiran al Farabi.60
Oleh karenanya tidak dapat disangkal bahwa al Farabi
adalah filosof Muslim pertama yang mampu memberikan
teori politik yang didasarkan pada metafisika emanasionis dan
kosmologi Plotinus ataupun Proclus. Dan dijalan itulah al Farabi
membangun utopia politik yang sejalan dengan kekhalifahan
Islam, terutama dalam bentuknya yang diyakini oleh kalangan
Syi’ah Ima>mah.61
Pemikiran politik al Farabi ini tidak hanya berpengaruh
pada filosof-filosof Islam klasik yang datang setelahnya. Tapi
khazanah pemikiran politik al Farabi menjadi sangat penting
kaitannya dengan pemikiran politik Islam kontemporer. Pemikiran
Ayatullah Khomeini (seorang tokoh revolusi Iran) misalnya,
tidak beranjak jauh dari konsep-konsep yang dikembangkan
oleh al-Fa>ra>bi. Tidak hanya Khomeini, para pemikir Islam lain
seperti Jawad Mughniyyah, Muhammad Baqir Shadr, Kahzhim
Hairi juga mengembangkan pemikiran politik al Farabi. Mereka
memunculkan konsep pemerintahan yang Islami, dengan dua
bentuk spektrum, mulai dari yang paling populist (berorientasi
pada rakyat) sampai yang paling statist (berorientasi pada
negara).
Al Farabi juga membahas tentang pencapaian kebahagiaan
melalui kehidupan politik dengan mensintesakan pemahaman
Plato dan hukum Ilahiah Islam. Jika kebahagiaan menurut Plato
puncaknya hanya dapat diraih dalam negara (politeia), bagi al
Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam, hlm. 177.
Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta, hlm. 54.
60
61
76a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Ambivalensi Kota Demokrasi (oleh: Muhamad Yasin)
Farabi kesempurnaan dan kebahagiaan puncaknya hanya dapat
diperoleh dalam negara ideal yang sempurna pemerintahannya,
yang dipimpin oleh raja-filosof yang identik dengan pemberi
hukum dan imam. 62
Demokrasi dalam Filsafat Politik al Farabi
Sebagaimana dituliskan dalam karya-karyanya, Al Farabi
menggunakan kata madinah (Kota) untuk membahas Negara,
tujuan akhir dari Kota atau Negara adalah pencapaian kebaikan
atau kebahagiaan. Demi mencapai tujuan akhir berupa kebaikan
dan kebahagiaan sebuah Kota atau Negara dalam konteks sistem
pemerintahan dan kemungkinan pencapaian kebahagiannya AlFarabi membagi Kota atau Negara dalam beberapa kategori
diantaranya; negara jahiliyah, negara fasiq, negara mubadilah,
dan negara sesat (dlalah). (1) Negara jahiliyah adalah negara
yang pemerintahannya tidak tahu dan tidak mampu mengarahkan
rakyatnya pada kebahagiaan; (2) Negara fasiq adalah Negara yang
pemerintahannya-- sebenarnya-- tahu dan mampu membawa
rakyatnya kepada kebahagiaan, tetapi mereka tidak mengakui dan
tidak melakukannya melainkan justru mempraktekkan permainanpermainan politik kotor yang akhirnya menjerumuskan mereka
pada martabat rendah; (3) Negara mubaddalah adalah Negara
yang pemerintahannya--secara zahir--melakukan tindakan
dan kebijakan yang membantu rakyat, padahal yang terjadi
sesungguhnya justru sangat merugikan rakyat, semua dilakukan
semata demi menutupi kecurangan dan kebobrokan aparat; (4)
Negara sesat adalah Negara yang pemerintahannya tidak membawa
rakyat pada kedamaian melainkan justru membawa mereka pada
pertentangan, disintegrasi, konflik dan kehancuran.63
Di dalam karyanya Al Siyasah Al Madaniyah, dan Mabadi
Ara Ahlu Al Madinah Al Fadhilah, al-Farabi tidak memberi uraian
lebih rinci tentang tiga sistem pemerintahan yang terakhir, tetapi
dia banyak memberikan penjelasan tentang sistem pemerintahan
Yamani, Antara Al-Fa>ra>bi> dan Khomeini, Filsafat Politik Islam,
62
hlm. 51-91.
Al-Farabi, Mabadi Ara Ahl al-Madina al-Fadilah dalam Richard
Welzer (ed), on The Perfect State, (Oxford, Clarendon Press, 1985), hal 225259.
63
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
77
Ambivalensi Kota Demokrasi (oleh: Muhamad Yasin)
jahiliyah. Menurutnya, pemerintahan jahiliyah setidaknya
terbagi atas empat golongan; (1) sistem timokrasi, rezim yang
mengutamakan kehormatan atau kewibawaan (karamah), (2)
sistem plutokrasi, rezim yang mengutamakan kelompok kecil
dimana kekuasaan atau kepemimpinan dipegang orang tertentu
dengan cara didasarkan atas perhitungan besar kekayaan,
konglomeratisme (baddalah), (3) sistem tirani, rezim yang
mengutamakan pemimpin seorang tiran, militerisme (taghallib),
(4) sistem demokrasi, rezim yang mengutamakan perwakilan
orang-orang banyak (jama`iyah).64
Al Farabi meletakkan Kota demokrasi atau Negara
demokrasi termasuk dalam Kota jahiliyah.65 Namun, diantara empat
sistem pemerintahan yang tidak baik (jahiliyah) tersebut, sistem
demokrasi diakui oleh Al-Farabi sebagai sistem yang paling baik.
Menurut Al Farabi, demokrasi adalah sistem pemerintahan yang
terbaik diantara rezim-rezim yang jelek. Demokrasi merupakan
negara yang paling didambakan dan dianggap paling bahagia,
setiap orang menyukainya dan ingin tinggal di dalamnya karena
tidak ada satu pun keinginan atau potensi--baik maupun jahat-yang tidak tertampung dan tidak terkembangkan di dalamnya.
Menurut Al Farabi, kota demokrasi adalah kota yang
tujuan penduduknya adalah kebebasan yang setiap penduduknya
melakukan yang dikehendakinya tanpa sedikit pun dikekang
kehendaknya.66 Penduduknya setara dan samasekali tidak ada
orang yang lebih baik antara satu dengan yang lainnya.67 Ada
dua prinsip yang dianut dalam Kota demokrasi; (1). Prinsip
kebebasan (liberty), rezim demokratis disebut juga rezim “bebas”
atau “kesatuan orang-orang bebas”. Negara demokrasi berjalan
dimana setiap individu berhak dan bebas melakukan apa yang
dikehendaki dan disukai, dan tidak seorang pun berhak atas
otoritas kecuali berbuat untuk memanfaatkan kebebasaanya.
Al-Farabi, Mabadi Ara Ahl al-Madina al-Fadilah dalam Richard
Welzer (ed), on The Perfect State, hal. 225-259.
65
Yamani, Al Farabi Filosof Politik Muslim, hal. 49-54
66
Al-Farabi, Mabadi Ara Ahl al-Madina al-Fadilah , dalam Richard
Welzer (ed), on The Perfect State, hal. 225-259
67
Al Farabi, al-Siyasah al-Madaniyah, Dar wa Maktabah al-Hilal,
hal. 29-32.
64
78a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Ambivalensi Kota Demokrasi (oleh: Muhamad Yasin)
(2). Prinsip kesejajaran (equality), setiap orang dalam rezim
demokrasi adalah sama dan sejajar dihadapan hukum, tidak ada
perbedaan antara penguasa dan rakyat jelata, bahkan rakyatlah
sumber dan pemegang otoritas kekuasaan yang sebenarnya,
sedang pemerintah hanya menjalankan tugasnya sesuai yang
dikehendaki rakyat.68
Melalui dua prinsip tersebut, terutama kebebasan, sistem
demokrasi tidak hanya mendorong lahirnya ilmu dan peradaban
tinggi dalam sebuah kehidupan Kota atau Negara, tetapi
bersamaan itu juga membuka peluang bagi berkembangnya
kekuatan-kekuatan jahat, minimal yang secara moral bertentangan
dan menghambat tercapainya kebahagiaan masyarakat, karena
tidak ada otoritas atau rasa tanggungjawab untuk mengendalikan
nafsu jahat (amoral) dan harapan-harapan warga negara. Inilah
ketidaksempurnaan sistem demokrasi, karena itu, meski demokrasi
diakui sebagai negara paling besar, paling berperadaban, paling
produktif dan paling sejahtera, ia juga merupakan negara yang
paling banyak mengandung kejahatan dan keburukan.69
Kota demokrasi memungkinkan di dalamnya berkembang
kebaikan dan kejahatan, tetapi ketika ada pemimpin yang
berusaha memebawanya pada kebahagiaan penduduk cenderung
menentangnya karena faktor kebebasan yang dianut penduduk
lebih menghendaki pemimpin yang memudahkan penduduk pada
pencapaian keinginannya dan melestarikan yang diinginkannya.70
Berdasar kenyataan atas ketidaksempurnaan sistem
demokratis di atas, Al-Farabi mengajukan gagasannya tentang
sistem pemerintahan Negara utama (Madinah al-Fadilah).
Negara tidak diperintah oleh perwakilan orang banyak (parlemen)
melainkan oleh pemimpin utama yang bertugas untuk mendidik
dan mengarahkan rakyat pada pencapaian kebahagiaan tertinggi
(aktualisasi potensi-potensi terbaik dari ruhani dan pemikiran).
Gagasan ini didasarkan atas kenyataan, (1) bahwa susunan
Al-Farabi, Mabadi Ara Ahl al-Madina al-Fadilah , dalam Richard
Welzer (ed), hal. 257.
69
Al-Farabi, Mabadi Ara Ahl al-Madina al-Fadilah , dalam Richard
Welzer (ed), hal. 257. lihat juga Fauzi M. Najjar, “Demokrasi dalam Filsafat
Politik Muslim”, dalam Jurnal al- Hikmah, (edisi 2, Oktober 1990), 92.
70
Yamani, Al Farabi Filosof Politik Muslim, hal. 76
68
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
79
Ambivalensi Kota Demokrasi (oleh: Muhamad Yasin)
masyarakat atau pemerintahan tidak berbeda dengan badan. Pada
badan, semua gerakan yang dilakukan oleh tangan, kaki, kepala
dan lainnya, adalah atas perintah hati. Hati bertindak sebagai
pemimpin atas tindakan jasad. Begitu pula yang terjadi pada
masyarakat, tidak berbeda dengan apa yang terjadi pada jasad:
ia bertindak sesuai dengan perintah pemimpin atau pemerintah,
pemerintah adalah pemimpin masyarakat. (2) Bahwa karena
perbedaan-perbedaan alamiah, tidak semua orang mengetahui
dan memahami kebahagiaan lewat dirinya sendiri atau sesuatu
yang harus diperbuatnya guna mencapai kebahagiaan mereka
membutuhkan guru, pendidik dan pembimbing. Disinilah tugas
dan fungsi pemimpin utama, yakni dengan kesempurnaan dan
kebijaksanannya, menunjukkan pada masyarakat tentang objek
utama (primary intellegibles) yang bisa mengarahkan pada
kebahagiaan.71
Berdasarkan pemaparan tersebut secara jelas bahwa
Al Farabi meletakkan Kota demokrasi atau Negara demokrasi
termasuk dalam Kota jahiliyah. Al-Farabi bahkan mengungkapkan
kelemahan dan kelebihan Negara demokrasi dan menyatakan
bahwa Kota demokrasi hanya terbaik di antara sistem-sistem
pemerintahan yang jelek dan kemudian mengajukan Madinah alFadilah (Negara Utama) sebagai sistem pemerintahan terbaik,
sistem pemerintahan post-demokrasi. 72
Kritik atas Demokrasi al Farabi
Menurut penulis, Kota demokrasi Al Farabi meskipun
konsepnya tidak sepenuhnya bisa disebut identik dengan
demokrasi modern, namun konsep Kota demokrasi Al Farabi
mengandung segala elemen demokrasi modern seperti dasar
kebebasan dan kesetaraan di dalamnya.
Berdasarkan pemaparan di atas penulis perlu mencermati
beberapa poin penting untuk dikritisi dan teliti lebih dalam
terkait kota demokrasi Al Farabi. Pertama, Al Farabi cenderung
bersifat mendua mengenai kemungkinan Kota utama atau
Fauzi M. Najjar, “Demokrasi dalam Filsafat Politik Muslim”, dalam
Jurnal al- Hikmah, (edisi 2, Oktober 1990), hal. 92
72
Al-Farabi, Mabadi Ara Ahl al-Madina al-Fadilah , dalam Richard
Welzer (ed), hal. 257.
71
80a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Ambivalensi Kota Demokrasi (oleh: Muhamad Yasin)
madinatul fadhilah bisa muncul dari Kota demokrasi, sementara
dalam penjelasan Al Farabi Negara demokrasi sangat kontras
dengan Negara utama bahkan Negara demokrasi termasuk
Negara jahiliyah. Melalui prinsip kebebsan dan kesetaraannya,
Kota demokrasi, menurut Al Farabi, memungkinkan berkembang
menjadi negara paling besar, paling berperadaban, paling produktif
dan paling sejahtera, di dalamnya memungkinkan lahir seorang
fadhil, intelektual, pemikir dan filosof. Namun, karena prinsip
kebebasan dan kesetaraannya, Negara demokrasi juga merupakan
negara yang paling banyak mengandung kejahatan dan keburukan
sehingga memungkinkan penduduknya mengangkat penguasanya
yang memudahkan kebebasan dan keinginan penduduk demi
kepentingan individu masing-masing, bukan mengangkat
pemimpin dari orang bajik yang membawanya pada kebahagiaan
sebagai tujuan sebuah negara.73
Kedua, ada pernyataan yang kontradiktif pada pemikiran
politik Al Farabi terkait Kota demokrasi. Al Farabi menjelaskan
dalam kitab al siayasah ala madaniayah bahwa pembangunan
kota-kota utama dan penegakan pemerintahan orang-orang
uatama adalah lebih efektif dan jauh lebih mudah diwujudkan dari
kota-kota demokratis dibandingkan dengan kota-kota jahiliyah
lainnya.74 Namun, di kitab Al Siayasah Al Madaniyah Al Farabi
juga menjelaskan bahwa masyarakat kota demokrasi cenderung
tidak menghendaki pemimpin dari orang bijak, kalaupun terpilih
menjadi pemimpin akan selalu diganggu dan kedudukannya tidak
stabil, masyarakat demokrasi cenderung menolak pemerintahan
orang bajik dan tidak menyukainya.75 Menurut penulis, pernyataan
Al Farabi tersebut tampaknya mengandung kontradiksi satu
pernyataan dengan pernyataan lainnya yang sangat tidak logis.
Ketiga, terkait kritik Aristoteles terhadap pemikiran
Plato yang sedikit dibahas Al Farabi, meskipun secara tidak
langsung tapi melalui tanggapannya tentang pemikiran Plato.
Kemungkinan bentuk pemimpin despotik dalam bentuk-bentuk
pemerintahan ideal Plato maupun yang dapat juga terjadi di dalam
Fauzi M. Najjar, “Demokrasi dalam Filsafat Politik Muslim”, dalam
Jurnal al- Hikmah , (edisi 2, Oktober 1990), hal. 92.
74
Al Farabi, al-Siyasah al-Madaniyah, hal. 29-32.
75
Al Farabi, al-Siyasah al-Madaniyah, hal. 29-32.
73
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
81
Ambivalensi Kota Demokrasi (oleh: Muhamad Yasin)
bentuk kota utama disetujui Al Farabi tapi tidak ada tindak lanjut.
Bahkan dalam konteks tertentu dia setuju dengan penguasa atau
pemimpin yang despotik.76 Menurut Al Farabi despotisme hanya
tidak benar dan terkutuk bila penguasanya menjadi dispotik
lantaran kecenderungan alaminya, bukan karena diperlukan
menjadi seperti itu untuk rakyat.
Asumsi yang dapat dilihat dari tidak adanya penjelasan
Al Farabi yaitu bahwa dia percaya penuh kemungkinan bentuk
despotis negatif tidak akan terjadi pada penguasa kota utama
seperti dikhawatirkan Aristoteles terhadap bentuk pemerintahan
ideal Plato. Despo-tisme pun diperlukan untuk efektifitas sistem
daripada demokrasi. Meski demokrasi memiliki kemungkinan baik
jika dilakukan akan membutuhkan waktu yang lama mengingat
sistemnya tidak memberikan tempat bagi dispotisme.77
Yamani, Antara Al Farabi dan Khomaeni; Filsafat Politik Islam,
76
hal. 77-78
Yamani, Antara Al Farabi dan Khomaeni; Filsafat Politik Islam,
77
hal. 77-78
82a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Ambivalensi Kota Demokrasi (oleh: Muhamad Yasin)
DAFTAR PUSTAKA
Abu Nasr al-Farabi. Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadhilah. Al Atruk:
Al Maktabah Al Azhar, 2002.
-------, Al-Farabi’s Philosophy of Plato and Aristotle. Terj. Muhsin
Mahdi. New York: The Free Press of Glencoe, 1962
-------, al-Siyasah al-Madaniyah, Dar wa Maktabah al-Hilal
Fakhry, Majid Al-Fa>ra>bi> Founder of Islamic Neo Platonism: His
Life, Work and Influence Oxford: Oneworld, 2002
--------, Sejarah Filsafat Islam; Sebuah Peta Kronologis, terj.
Zaimul Am. Bandung: Mizan, 2001
Bakar, Osman, Hierarki Ilmu; Membangun Rangka-Pikir Islamisasi
Ilmu, terj. Purwanto Bandung: Mizan, 1997
Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya II
Jakarta: UI-Press, 2002
Arsyad, M. Nastsir, Ilmuan Muslim Sepanjang Sejarah Bandung:
Mizan, 1995
Hanafi, Ahmad, Pengantar Filsafat Islam Jakarta: Bulan Bintang,
1996
Sheikh, M. Saeed, Studies in Muslim Philosophy India: Adam
Publisher, 1994
Ahmad, zainal Abidin Negara utama; Madinatul Fadhilah Jakarta:
PT. Kinta, 1968
Ibrahim Madkour, “Al-Fa>ra>bi>” dalam M. M. Sharif (ed.), A
History of Muslim Philosophy, Vol. I Delhi: Low Price
Publication, 1961
M M. Syarif, Para Filosof Muslim Terj. Tim Penerjemah Mizan
Bandung: Mizan, 1996
Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian; Sebuah Pendekatan
Praktek. Edisi V. Cet. XII. Jakarta: PT Asdi Mahasatya,
2002
Baker Anton dan Zubair, A. Charis. Metodologi Penelitian Filsafat.
Yogyakarta: Kanisus, 1990
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
83
Ambivalensi Kota Demokrasi (oleh: Muhamad Yasin)
Bakker, Anton. Metode-Metode Filsafat. Cet. II. Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1986
Copleston, F. A Hsistory of Philosophy I. London: Burns Oates
and Washbourne Ltd, 1951
Hadi, Sutrisno. Metode Research. Yogyakarta: Fakultas Psikologi
UGM, 1987
Morwedge, Parvis (ed.). Islamic Philosophical Theology. Albany:
State University Of New York Press, 1979
-------, Islamic Philosophy and Mysticism. New York: Carvana
Book, 1981
Netton, I.R. Al-Farabi and His School, Arabic Thought and Culture
Series. London and New York: Routledge, 1992
Walzer, Richard. Al-Farabi on the Perfect State : Abu Nasr AlFarabi Mabadi’ Ara’ Ahl al-Madinah al-Fa>dhilah.
Oxford: Clarendon Press, 1985
Wippel, John F (ed.). Studies in Medieval Philosophy. Washington
DC: the Catholic University of America Press, 1987
Yamani. Al-Farabi Filosof Politik Muslim. Jakarta: Teraju, 2005
-------, Antara al-Farabi dan Khomeini: Filsafat Politik Islam.
Bandung: Mizan, 2002
Fuad al-Ahwani, Ahmad, Filsafat Islam Jakarta: Pustaka Firdaus,
1995
al-Khudhari, Muhammad, Muha>darat al Umam al-Isla>miyah
Kairo: Tp, 1921
Daudy, Ahmad, Kuliah Filsafat Islam Jakarta: Bulan Bintang,
1992
Ahmadi, Abu, Filsafat Islam Semarang: Toha Putra, 1982.
Mahdi, Muhsin, Al-Fa>ra>bi>’s Philosophy of Plato and Aristotle,
(New York: The Free Press of Glencoe, 1962
Syaifuddin, ”Konsep Pemikiran Tentang Kenabian”, Skripsi pada
Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta,
2001. hlm. 24-25.
Poerwanto, Seluk Beluk Filsafat Islam Bandung: Rosda Karya,
1994
Najjar, Fauzi M, “Democracy In Islamic Political Philosophy”
84a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Ambivalensi Kota Demokrasi (oleh: Muhamad Yasin)
dalam Jurnal Studia Islamica, La Loi du 1957, G.P
Maisonneuve et Larose 1980,
-------, “Demokrasi dalam Filsafat Politik Muslim”, dalam Jurnal
al-Hikmah, edisi 2, Oktober 1990
Mahdi, Muhsin S, Al Farabi and the Foundation of Philosophy,
dalam (ed) Parvis Morwedge Islamic Philosophy and
Mysticism. New York: Carvana Book, 1981,
Suseno, Frans Magnis, Etika Politik , Jakarta, Gramedia, 1994
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
85
Ambivalensi Kota Demokrasi (oleh: Muhamad Yasin)
Halaman ini bukan sengaja dikosongkan
86a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Teologi Islam Kontekstual-Transformatif (oleh: Nur Said)
TEOLOGI ISLAM KONTEKSTUALTRANSFORMATIF
Nur Said
STAIN Kudus
Email: [email protected]
ABSTRACT
A Religion has strong influence on humanity, morality, ethics,
and aesthetics in the process of humankind development. This
of course, will construct the worldview individually and socially
as well. It may be said that nearly all the social life haven’t
been ignored the role of religion in the making humanity as an
expression of the whole of collective life. Therefore the religious
spirit is also in constant change, which formulated in a certain
theology in line with the historical progress contextually. In
addition, theology is a discourse through which believers develop
and express the content of their faith as they have confessed it.
The notion of this article tries to elaborate the contextualization
of Islamic Theology in Indonesia in respecting to the social
phenomena such as colonialism, oppression, human right, and
pluralism in Indonesia. It also gives paradigmatic contribution
to interpret the Secret text on historical situation in order to
determine public morality more than just individual morality.
The main points are a searching of meaning between “text”
and context in Indonesia society as manifestation of Islamic
contextual theology. It means that Islam should be “translated”
in particular way in order may “come down to earth” and meet
in the contemporary demands.
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
87
Teologi Islam Kontekstual-Transformatif (oleh: Nur Said)
Keywords: Islam, contextual-transformative theology, human
right, Indonesia
Pendahuluan
Agama sebagai suatu sistem keyakinan dan pedoman hidup
sangatlah penting dan fundamental bagi umat manusia, lebih-lebih
untuk para pemeluknya. Namun dalam kelompok masyarakat yang
mengalami derita sosial, multikrisis yang berkepanjangan, selain
agama yang sebenarnya memiliki fungsi profetik yang mulia,
tidak jarang dalam bias perilaku para pengikutnya mendorong
pelarian diri dari kehidupan duniawi seperti hidup zuhud kaum
sufi atau sebaliknya memicu radikalisme dan militansi perilaku
yang serba mutlak seperti konsep jihad yang serba fisik belaka.
Sehingga secara kasat mata seringkali menemukan sekelompok
umat beragama dengan berbagai simbol keagamaan yang kental
dan atraktif justru menunjukkan perilaku kekerasan fisik, teror,
ancaman, hingga ke kesediaan untuk menumpahkan darah
sesama.
Wajah seperti ini menampakkan Agama justru akan
membawa keterbelakangan umat dan belum bisa memberikan
peran yang begitu berarti lantaran ketidakmampuan para
pemeluknya dalam merumuskan persoalan dengan jelas, terutama
bagaimana konteks teologi dibenturkan dengan kenyataan
kehidupan yang begitu kompleks dan selalu berubah. Disamping
itu, teologi agama-agama yang telah ada kurang memberikan
sentuhan yang berarti untuk perkembangan ilmu-ilmu sosial dan
historisitas keagamaan yang sebenarnya tidak bisa dilepaskan
dari tradisi keagamaan sejalan dengan locus dan tempus yang
menyelimutinya. Akibatnya teologi agama-agama tidak
punya komitmen yang sungguh-sungguh terhadap masa depan
kemanusiaan di planet ini.
Bagaimana Islam sebagai agama besar di dunia ini mampu
menjawab berbagai tantangan di tengah tantangan global dan
transformasi sosial yang begitu cepat. Tulisan singkat ini akan
mencoba menawarkan beberapa pointer menuju terbangunnya
teologi kontekstual yang membebaskan,
membumi dan
menyentuh persoalan riil kemanusiaan dengan meletakkan Islam
88a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Teologi Islam Kontekstual-Transformatif (oleh: Nur Said)
sebagai rohnya. Oleh karena itu yang dikedepankan adalah
bagaimana menjadikan Islam sebagai spirit bagi terciptanya
budaya perdamaian dan pembebasan sejalan dengan tuntutan
konteksnya.
Posisi Agama dalam Struktur Sosial
Penting kiranya terlebih dahulu memahami agama dalam
ranah sosial, karena paradigma yang ingin dibangun adalah
bagamana memahami agama secara sosiologis-kontekstual
sebagai kerangka menuju teologi Islam yang kontekstual.
Untuk kepentingan ini menuntut adanya analisa kenyataan
sosial sebagaimana adanya, tanpa memberikan penilaian etis
ataupun politis dan bersamaan itu pula akan kita temukan
bahwa dalam realitas sosial mengandung makna dan nilai yang
melingkupinya.
Hal ini mengandaikan suatu penafsiran dalam pemahaman
makna dan pranata sosial berikut hubungan kausalnya. Dalam
konteks inilah relevan kiranya mengaktualkan konsep umum
yang dibangun oleh Berger dalam menggambarkan fenomena
kenyataan sosial ini secara lebih komprehensif dan di mana posisi
agama itu terposisikan.
Bagi Berger fenomenologi merupakan aspek yang penting
bagi pemahaman dunia sehari-hari sebagai obyek penelitian
sosiologi. Setidaknya ada 3 (tiga) macam fenomenologi, pertama,
fenomenologi transendental yang berusaha mencapai pengetahuan
tanpa pengandaian. Kedua, fenomenologi hermenetik, lebih
menekankan pada sifat linguistik manusia, sehingga teks
menjadi obyek dari analisa fenomenologi. Ketiga, fenomenologi
eksistensial, menekankan analisa dunia kehidupan (life-world).
Fenomenologi jenis ketiga inilah yang banyak mempengaruhi
Berger dalam kajian sosiologisnya.
Pengaruh ini dapat dilihat dari pandangannya tentang
manusia. Baginya dunia manusia ditandai dengan keterbukaan,
sehingga perilaku manusia hanya sedikit saja dipengaruhi
oleh naluri. Oleh karenanya manusia harus membentuk sendiri
perilakunya melalui pengaturan dan penertiban yang berlangsung
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
89
Teologi Islam Kontekstual-Transformatif (oleh: Nur Said)
secara terus menerus.1 Ini menandakan bahwa perilaku manusia
merupakan manifestasi dari fenomena dialektika antar manusia
yang saling mempengaruhi satu sama lain dalam suatu masyarakat
tertentu. Pola kausalitas dalam kenyataan sosial digambarkan
Berger dalam uraiannya:
Masyarakat adalah suatu gejala dialektik, yaitu suatu hasil
manusia dan tak lain adalah hasil manusia, tetapi terus menerus
mempengaruhi hasil itu. Masyarakat adalah hasil produk
manusia. Ia tak lain adalah aktifitas dan kesadaran manusia.
Tidak ada kenyataan sosial lepas dari manusia, tapi dapat juga
dikatakan bahwa manusia adalah hasil dari masyarakat. Biografi
setiap individu adalah suatu episode dalam sejarah masyarakat
yang mendahului dan melestarikannya. Masyarakat sudah ada
sebelum individu dilahirkan dan tetap ada sesuadah individu itu
mati.2
Kejelian Berger dalam melihat relasi manusia dengan
masyarakat sebagai yang berinteraksi secara dialektis, dengan
demikian menyangkal suatu determinisme sepihak yang
mengganggap individu dibentuk oleh struktur sosial yang tidak
memililiki peran dalam menentukan struktur lainnya. Dengan
kata lain Berger ingin menegaskan bahwa manusia dibentuk oleh
struktur sosial, bersamaan itu pula manusia juga mempengaruhi
untuk mengubah institusi dan struktur sosialnya.
Bagi Berger ada tiga momen dialektis yang terjadi dalam
masyarakat yaitu eksternalisasi, obyektifikasi dan internalisasi.
Melalui eksternalisasi, manusia mengekpresikan diri membangun
dunianya. Expresi ini memanifestasikan suatu relitas obyektif
setelah melalui proses obyektifikasi. Demikian pula realitas
James Davison Hunter, Stephan C. Ainly, “Introduction” dalam
Making Sense of Modern Time, Peter L. Berger and the Vision of Interpretatif
Sosiologi, Roudledge & Kegan Paul, (London, 1986) hlm. 1-8. Berger juga
melihat kesadaran manusia sebagai kesadaran yang intensional yang selalu
terarah kepada obyek. Demikian pula kesadaran juga dipengaruhi oleh obyek
di luarnya, Peter L. Berger, The Social Construction of Reality, diterj. Hasan
Basari, Tafsir Sosial atas Kenyataan, Risalah Tentang Sosiologi Pengetahuan,
(Jakarta, LP3ES, 1990) hlm. 30
2
Peter L. Berger, The Sacred Canopy, (Doubleday, Garden City, New
York, 1967) hlm. 3
1
90a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Teologi Islam Kontekstual-Transformatif (oleh: Nur Said)
obyektif juga akan berpengaruh kuat bagi pembentukan perilaku
manusia, setelah manusia tadi melewati tahap internalisasi.3
Sampai di sini bukan berarti harus berhenti, akan tetapi
setiap masyarakat masih mewariskan pranata sosial yang
dibangun kepada generasi berikutnya. Di sinilah proses sosialasi
di upayakan. Dalam proses sosialisasi ini makna dan nilai
dari pranata sosial harus di dijelaskan sedemikian rupa secara
legitimatif, sehingga individu dapat menerimanya.
Menurut Sastraprateja, fungsi legitimasi adalah kognitif
dan sekaligus normatif. Kognitif karena menjelaskan mengenai
makna realitas sosial dan normatif dalam arti akan memberi
pedoman bagaimana seseorang harus berlaku dalam kehidupan
riil. Legitimasi memiliki tujuan mempertahankan realitas. Ada
beberapa tingkat legitimasi yang bisa mewujud pada kata-kata
mutiara, legenda, perumpamaan, perintah-perintah moral, sistem
simbol sampai pada perkembangan yang paling mutakhir dan
sistematis yakni teori ilmiah.4 Dan bagi Berger agama merupakan
satu satu bentuk legitimasi yang paling efektif. Karena agama
yang paling komprehensif membicarakan tentang realitas seperti
tragedi, penderitaan, ketidakadilan dan kematian.5
Penjelasan di atas memberikan suatu kerangka teoritik
bahwa agama merupakan suatu penutup atau kanopi sakral (sacred
canopy) yang melindungi manusia dari chaos, sesuatu yang
tidak menentu tanpa arti. Dengan demikian agama meligitimasi
institusi sosial dengan menempatkannya dalam suatu kerangka
sakral. Sebegitu kuat posisi agama dalam konstruksi sosial,
oleh karena itu agama yang secara operasional menjelma dalam
berbagai bentuk teologi agama-agama harus tetap terintegrasi
secara positif pada konteks sosial yang mewarnainya. Hal ini tentu
dilakukan dengan tidak mengabaikan tahap-tahap dialektika sosial
3 Ibid, hal 2-4
4
M. Sastraprateja, dalam Pengantar, Peter L. Berger, Kabar dari
Langit, Makna Teologis Dalam Masyarakat Modern, (Jakarta, LP3ES, 1991)
hlm. xvi
5
Peter L. Berger , The Sacred Canopy…hlm. 105-107. Dan ternyata
legitimasi kematian merupakan potensi transendensi dari universom simbolis
memanifestasikan diri dengan cara yang paling jelas Peter L. Berger, The
Social…hlm.145
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
91
Teologi Islam Kontekstual-Transformatif (oleh: Nur Said)
yang sedang berproses. Pada tahap inilah kontekstualisasi teologi
menjadi penting dengan menempatkan iman secara transformatif
dan beranjak dari pemahaman agama yang doktriner-normatif
menuju menuju historis-empiris.
Kontekstualisasi Teologi Agama-agama
Dalam dialektikanya, antara iman dan komunitasnya ada
interaksi yang begitu kuat dan berkelanjutan secara terus menerus.
Macquarrie menegaskan bahwa teologi mensyaratkan adanya
partisipasi dan refleksi dalam suatu komunitas iman dan berusaha
menyatakan inti iman itu dalam bahasa yang sejelas mungkin.6
Partisipasi-refleksi ini menuntut suatu kelanjutan (continuity),
sekaligus keterputusan (discontinuity). Berkelanjutan karena
teologi bergumul dalam iman yang sudah ada dan bertitik tolak
dari iman itu, sehingga teologi merupakan suatu kegiatan yang
terlibat.
Teologi juga merupakan suatu keterputusan lantaran
melalui teologi iman dirumuskan dalam suatu pandangan (thought),
sehingga teologi juga sebagai suatu ekspresi.7 Ini menandakan
bahwa teologi secara sosiologis akan selalu bersinggungan
dengan konteks sosial dan berhadapan dengan arus perubahan
yang sebegitu pesat dalam suatu bingkai kebudayaan tertentu.
Sementara Geert menilai, kebudayaan sebagai seperangkat
nilai dan makna yang memberi petunjuk untuk hidup dalam
institusi sosial yang beragam Baginya agama adalah “sistem
budaya” (cultural system).8 Ini menandakan dalam setiap
agama manapun akan mengandung sistem sosio-kultural yang
memberikan suatu konsepsi tentang realitas dan rancangan untuk
mewujudkannya. Artinya konsepsi manusia tentang realitas itu
sendiri tidaklah bersumber dari pengetahuan, akan tetapi dari
kepercayaan pada suatu otoritas mutlak yang berbeda menurut
John Macquarrie, Principle of Christian Theology, (London, SCM
Press, 1966) hlm. 1-3
7
John A. Titaley, Th.D, Menuju Teologi Agama-agama yang
Kontektual, Pidato Pengukuhan Jabatan Fungsional Akademik Guru Besar Ilmu
Teologi, Universitas Satya Wacana, Salatiga, 29 Nopember 2001, hlm. 4-5
8
Clifford Geertz, The Interpretation of Culture, (New York: Basic
Books, 1973)
6
92a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Teologi Islam Kontekstual-Transformatif (oleh: Nur Said)
agama dan keyakinannya.
Karena agama juga merupakan realitas sosial, maka akan
selalu hidup dan termanifestasikan dalam masyarakat. Dengan
demikian konstruksi teologi agama selayaknya mengakar kepada
dinamika sosial dengan segala keprihatinan dan keajaibannya.
Maka cukup beralasan kalau Bevans secara tegas menilai, suatu
teologi bisa disebut teologi apabila dia kontekstual,9 atau –dengan
meminjam istilah Azyumardi Azra- perlu adanya akomodasi
budaya dalam berteologi10 agar teologi agama-agama yang
terbangun tidak berbenturan dengan realitas sosial yang selalu
berubah.
Apalagi kalau mau berpikir lebih jauh bahwa dalam
wacana keagamaan tidak bisa terlepaskan dari persentuhannya
dengan konsepsi tentang Yang Transesden atau -menurut bahasa
Hick- the Real. Bagi Hick konsepsi manusia tentang the Real11
tak terlepas dari pengalaman keadaan yang historis dan adanya
intervensi kebudayaan tertentu yang melingkupinya. Sehingga
ketika konteks teologi ini telah menyentuh pada dimensi
kebenaran, Hick menegaskan itu terjadi sebagai sesuatu yang
budayawi, dalam pengertian bahwa pemahaman itu terjadi dalam
Stephan B. Bevans, Model of Contextual Theology, Faith and
Cultures Series, (Maryknoll-New York: 1996) hlm. 33. Gagasan kontekstualisasi
teologi mulai diprakarsai Theological Education Fund (TEF) dalam upaya
mengembangkan suatu teologi yang memadai dan menyentuh kebutuhan
manusia, David J. Hasselgrave & Edward Roman, Kontektualisasi: Makna,
Metode dan Model, Terj. Stephan Suleeman, (Jakarta, BPK Gunung Mulia,
1996) hlm. 49-50
10
Azyumardi Azra, MA, Konteks Berteologi di Indonesia, Pengalaman
Islam, (Bandung, Mizan, 1999) hlm. 11
11
Hick menerapkan konsep distingsi Imanuel Kant dalam memahami
perbedaan fenomena keagamaan antara the Real sebagai sesuatu yang eksis
dan the Real sebagai hasil pemahaman dari pengalaman individu dalam tradisi
tertentu, John Hick, An Interpretation of Religion (New Haven, Conn.: Yale
University Press, 1989), hlm. 236. Oleh karena itu akan ada perbedaan persepsi
tentang the Real sebagai akibat tidak adanya akses secara langsung kepada
the Real sehingga melahirkan konflik konsepsi terhadap the Real (conflicting
conception of the Real). Semua persepsi terhadap the Real selalu melalui
mediator yaitu tradisi keagmaan yang unik (unique religious tradition), John
Hick, Disputed Questions in Theology and the Philosophy of Religion (New
Haven, Conn.: Yale University Press, 1993), 159.
9
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
93
Teologi Islam Kontekstual-Transformatif (oleh: Nur Said)
kondisi-kondisi simbol budaya suatu masyarakat tertentu.
Dalam masyarakat Israil kebenaran atau disebutnya
eternal one, yang kekal hanya dapat dipahamai sebagai Yahweh
secara kongrit dalam bentuk Tuhan Abraham, Allah Ishak dan
Allah Yakub. Sedangkan dalam masyarakat India yang kekal itu
dipahami sebagai Syiwa atau Krishna.12
Kesadaran bahwa kapasitas imaginasi dan pengalaman
manusia dalam beragama yang terbatas dan selalu bersentuhan
dengan budaya meyakinkan kita bahwa teologi yang kontekstual
akan senantiasa dinamis, terbuka dan menyadari bahwa pluralisme
adalah sebuah keniscayaan yang akan selalu hadir dalam
kehidupan. Dengan demikian meletakkan kriteria kemanusiaan
(humanum)13 atau lebih rincinya –seperti ditegaskan pula oleh
Engineer-14 persaudaraan universal (universal brotherhood),
kesetaraan (equality), dan keadilan sosial (social justice) dalam
berteologi cukuplah mendesak sebagai tanggung jawab global
setiap manusia.
Islam dan Konteks Teologi di Indonesia
Mencermati perjalanan Islam di Indonesia, maka akan
menemukan konteks teologi yang begitu dinamis dan responsible
terhadap kondisi sosial yang mengiringinya. Benar bahwa secara
historis aliran teologi Islam yang dominan adalah aliran teologi
Asy’ariyah yang kemudian menjadi aliran utama (mainstream
school of theology) madzhab Ahl Sunnah wa-al-Jama’ah (Sunni)
yang diikuti oleh mayoritas kaum Muslim di Indonesia.
Teologi Asy’ari muncul sebagai respon atas aliran
Mu’tazilah. Dalam masalah kebebasan berkehendak Mu’tazilah
memandang Tuhan tidak benar-benar memainkan peran dalam
John Hick, God Has Many Names (London: Macmillian, 1980),
12
hlm. 52-54
Hans Kung menggambarkan resiprokal antara agama dan
kemanusiaan secara dialektis dalam suatu statemennya, “The Humanity is the
presupposition for the true religion…and the true religion is the fullfilment of
true humanity…” Hans Kung, Global Responsibility: In Search of a New World
Ethic, trans. John Bowden (New York, Crossroad, 1991) hlm. 91-92
14
Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, (Yogyakarta,
Pustaka Pelajar, 1999) hlm. 33
13
94a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Teologi Islam Kontekstual-Transformatif (oleh: Nur Said)
kegiatan manusia dan manusia diposisikan sebagai pusat
segalanya.15
Teologi Asy’ariyah sebaliknya berkeyakinan
pada posisi ekstremnya dengan menolak ide bahwa manusia
bisa bertindak semuanya dan berkehendak bebas. Menurutnya
Tuhan menciptakan semua tindakan manusia dan manusia
hanya memperolehnya (acquire) bukan melakukan (do). Dapat
dilihat di sini teologi Asy’ary cenderung menekankan pada
takdir (predestination), kendatipun ia memiliki potensi untuk
mewujudkan kenginan dan perbuatannya (kasb) di bawah
kekuasaan Tuhan.16
Kecenderungan teologi Asy’ary yang bersifat jabariyah
(predestination) seperti itu oleh para pengamat dan peneliti
dipandang sebagai yang bertanggung jawab atas kemunduran
dan keterbelakangan sosial ekonomi karena akan melemahkan
berkembangnya semangat etos kerja. Namun kalau mau meniti
lebih jauh bagaimana teologi itu berkembang dan memberikan
respon terhadap realitas sosial sepertinya harus berhati-hati
karena dalam kenyataannya Islam mampu memberikan spirit
bagi perlawanan terhadap kekuatan penjajah dengan adanya
perubahan dan pergeseran teologi Islam (Asy’ariyah) dari waktu
ke waktu.
Kenyataan ini bisa dilacak sejak berkembangnya paham
neosufisme yang disebarkan oleh ulama-ulama Indonesia yang
baru kembali dari menuntut ilmu di Timur Tengah. Sufisme
yang dikembangkan adalah reform sufism, sufisme yang telah
dimurnikan dari praktek-praktek yang antinomian17, sehingga
menjadi selaras dengan hukum Islam.
Salah satu tema sentral neosufism adalah rekonstruksi
sosio-moral masyarakat Muslim melalui aktifitas dan upaya kaum
Fazlur Rahman, Gelombang Perubahan dalam Islam: Studi Tentang
Fundamentalisme Islam, penyunting Ebrahim Moosa, (Jakarta, PT RajaGrafindo,
Persada) hlm. 78-79
16
Ibid. hal 79. Bandingkan dengan Azyumardi Azra, Konteks Teologi
di Indonesia:Pengalaman Islam, (Jakarta, Paramadina, 1999) hlm. 44-45
17
Antinomianisme merupakan suatu keloyalan terhadap agama
tertentu namun kurang respek terhadap hukum-hukum moral yang dianggapnya
sebagai sekuler, lihat Jonathan Z. Smith, The Harper Dictionary of Religion,
(San Francisco, HarperCollin, 1995) hlm. 54
15
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
95
Teologi Islam Kontekstual-Transformatif (oleh: Nur Said)
Muslim sendiri, tanpa harus menunggu campur tangan eskatologi.18
Kesadaran ini memungkinkan para Ulama terlibat di berbagai
urusan sosial antara lain menjadi mufti yang memberikan saran
kepada para penguasa tidak saja pada urusan keagamaan tetapi
juga dalam urusan perdagangan, diplomatik dan politik seperti
yang terjadi pada Syekh Yusuf ketika bekerja sama dengan Sultan
Ageng Tirtayasa dalam perang Banten dengan melawan melawan
Belanda19.
Bahkan seiring dengan terjadinya konsolidasi kolinialisme
Belanda, abad 18, neosufisme mengalami proses politisasi dan
radikalisasi yang kemudian munculah “teologi jihad” melawan
penjajah Belanda yang jelas-jelas melakukan ekploitasi
dan penindasan terhadap bangsa Indonesi. Teologi jihad ini
semakin menguat setelah terbitnya sebuah buku khusus yang
membicarakan tentang keutamaan jihad dalam Fadha’il alJihad20, yang dimotori oleh Syekh Abd al Shomad al-Palimbani,
seorang ulama dan pemikir tasawuf yang beraliran al Ghozaly.
Manifestasi teologi jihad di Jawa juga bisa terlihat pada
perang Diponegoro melawan Belanda tahun 1825-1830. Demikian
juga yang terjadi pada abad 19 di Kalisalak, Pekalongan dengan
munculnya Syekh Ahmad Rifa’i. Setelah belajar cukup lama di
Mekkah lalu beliau kembali ke desanya dan membentuk kelompok
“Santri Tarjamah”. Melalui kelompoknya beliau mengecam
penghulu yang diangkat oleh pemerintah Belanda dan berfatwa
bahwa pernikahan yang melalui penghulu yang diangkat oleh
Belanda dianggapnya sebagai tidak sah.21
Dari beberapa data di atas semakin meyakinkan bahwa
teologi Islam telah begitu mengalami pergeseran secara dinamis
sejalan dengan tatangan yang dihadapinya. Kemudian kalau
melangkah ke era kontemporer pergeseran teologi ini semakin
kompleks dan progresif.
Hal ini bisa dilihat saat bangsa Indonesia mulai
Azyumardi Azra, Konteks Teologi…,hlm. 46-47
Ibid. hlm.47
20
Buku ini membawa pengaruh yang cukup besar bagi kaum Muslim
saat itu dan puncaknya adalah meletusnya pemberontakan kuam thariqat
Naqsabandiyah dan Qodiriyah di Cilegon, Banten, 1888. Ibid. hal 48
21
Ibid. hlm. 48
18
19
96a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Teologi Islam Kontekstual-Transformatif (oleh: Nur Said)
mempersiapkan kemerdekaannya yang diwarnai adanya suatu
“pergulatan” berbagai pandangan dunia (world view) yang
diwarnai prinsip teologi tertentu mengenai posisi negara vis-a-vis
doktrin agama. Melihat kenyataan bangsa Indonesia yang sangat
majmuk dengan beragam suku, ras agama dan kepercayaan,
mustahil terbentuk suatu negara kesatuan yang berdaulat tanpa
adanya sebuah kesadaran akan pentingnya mengedepankan nilainilai kemanusiaan dan kebangsaan di atas segalanya sehingga
muncullah ‘teologi kebangsaan”.22
Kebesaran tokoh-tokoh Islam -yang lebih mengedepankan
kepentingan kebangsaan sebagai buah ijtihad politiknya –
menjelang kemerdekaan tak heran kalau para pengamat dan
peneliti memberikan suatu catatan sejarah yang mengagumkan
terhadap fenomena keberagamaan di Indonesia terutama terkait
dengan eksistensi minoritas non-Muslim dalam masyarakat
Muslim. Hal ini bisa lihat misalnya uraian Smith: “Nowhere in
the Moslem world (except perhap in Indonesia?) do Muslims feel
that a non-Moslim member of their nation is ‘one of us”. And
Nowhere do monorities feel accepted”23
Meskipun penilaian itu sebagai hasil dari suatu interpretasi
terhadap fakta-fakta yang dilihatnya sebagai seorang peneliti,
setidaknya itu dapat dijadikan bahan pertimbangan bahwa
kesadaran keagamaan para tokoh-tokoh Islam terdepan saat itu
begitu humanis an inklusif. Di sinilah nampak teologi Islam telah
begitu membumi dan senantiasa bersentuhan dengan konteks
sosialnya.
Dan nampaknya upaya kontektualisasi teologi dalam Islam
itu tak pernah berhenti hingga sekarang dengan agenda persoalan
yang lebih serious. Maka tak heran kalau proses kreatif melalui
Hal ini menunjukkan terjadinya suatu pergeseran dan meninggakan
keharusan adanya suatu negara Islam. Memang pada era ini awalnya terjadi
polemik yang sangat keras antara kelompok Nasionalis dan Islam terutama
perdebatan seputar dasar Negara yang akhirnya memutuskan Pancasila sebagai
Dasar negara setelah terjadi perdebatan sengit seputar Piagam Jakarta, lihat
misalnya BJ Boland, The Struggle of Islam in Modern Indonesian, The Hague
Martinus Nijhoff, 1971, p. 27-29
23
Wilfred Cantwell Smith, Islam in Mdern History, (Princeton, 1957)
hlm.80 atau bisa disimak pada BJ Boland, The Struggle…hlm. 224
22
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
97
Teologi Islam Kontekstual-Transformatif (oleh: Nur Said)
“ijtihad” secara terus menerus melahirkan beragam formulasi
teologi yang berbasis Islam.
Dari beragamnya teologi itu misalnya, teologi modernisme
yang dipelopori oleh Harun Nasution dan Nurcholish Madjid,
teologi transformatif yang dimotori oleh para tokoh LSM semisal
Adi Sasono, M. Dawam Raharjo dan Muslim Adurrahman, teologi
Inklusifisme dengan Mukti Ali, Abdurrahman Wahid, dan Djohan
Effendi sebagai tokohnya, dan teologi Neotradisionalisme yang
dikembangkan oleh Sayyed Hussain Nasr dan sangat berpengaruh
di Indonesia.24 Semua itu sebagai wujud upaya kontektualisasi
teologi Islam dalam menjawab tantangan zaman menuju
kehidupan yang berkeadaban dilandasi semangat keislaman dan
keilahian. Dan upaya-upaya itu tidak mungkin terwujud tanpa
kesadaran pentingnya pemahaman Islam secara kontekstualtransformatif.
Pemahaman Islam Kontekstual-Transformatif
Jelaslah bahwa teologi yang mampu hidup di tengah
manusia adalah setidaknya teologi yang terbangun mampu
merespon persoalan riil kehidupan kemanusiaan. Teologi yang
tidak hanya berkutat pada persoalan metafisik tetapi yang mampu
merubah ritus menjadi aksi sosial.
Akan tetapi persoalannya tidak semudah dengan hanya
mengedepankan kekuatan apologisme tanpa pemahaman wacana
keislaman yang terangkum dalam teks-teks Kitab suci secara
progresif-revolusioner. Tak cukup hanya menekankan pada
pemahaman tekstual-normatif-skriptualis terhadap Islam seperti
yang mengedepan pada kalangan ahli fiqh, akan tetapi perlu
secara cerdas menangkap “term-term kunci” dalam doktrin Islam
dengan menyerap makna terdalam (deep insight) darinya teksteks itu kepada konteksnya.
Celakanya gejala
pemahaman ahli fiqh
ternyata
Azyumardi Azra, Konteks Teologi…,hlm. 50-51 Sebenarnya masih
banyak jenis teologi Islam dengan segala keunikannya sebagai respon iman
terhadap realitas sosial dengan segala problematikanya, uraian lebih terinci
mengenai keragaman pemikiran yang sangat berpengaruh bagi wacana teologi
di Indosesia dapat dilihat dalam Dr. H. Abuddin Nata, MA., Peta Keragaman
Pemikiran Islam di Indonesia, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2001)
24
98a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Teologi Islam Kontekstual-Transformatif (oleh: Nur Said)
mengedepan setidaknya sebagimana dirasakan oleh Arkoun
dalam suatu keprihatinannya:
”Para ahli fiqh yang sekaligus teolog tidak mengetahui hal itu,
mereka mempraktekkan jenis interpretasi terbatas dan membuat
metodologi tertentu, yakni fiqh dan perundang-undangan. Dua
hal ini mengubah diskursus al-Qur’an yang mempunyai makna
mitis majazi, yang terbuka bagi berbagi makna dan pengertian,
menjadi diskursus baku dan kaku dan …telah menyebabkan
diabaikannya historisitas norma-norma etika keagamaan dan
hukum-hukum fiqh. Jadilah norma-norma dan hukum fiqh itu
seakan-akan berada diluar sejarah dan diluar kemestian sosial,
menjadi suci: tidak boleh disentuh dan didiskusikan...”25
Hal ini membuktikan betapa umat Islam umumnya
masih begitu sempit dalam menangkap semangat Islam dan
terkesan sudah tercerabut dari realitasnya. Sehingga teologi
yang terbangun hanya menyentuh pada wilayah metafisik dan
isu-isu transendental saja. Keprihatinan inilah –setidaknyayang mendorong Engineer membangun landasan keislaman bagi
teologi pembebasan sebagai jawaban atas persoalan kemanusiaan
yang dihadapi saat itu. Menurut Engineer teologi pembebasan
ini tidak hanya terbatas pada logika spekulatif metafisik akan
tetapi lebih menekankan pada wilayah praksis dengan mengubah
iman menjadi spirit bagi kesalehan sosial.26
Penegasan di atas mengukuhkan bahwa antara iman dan
praksis dalam teologi pembebasan merupakan dua sisi yang
tidak bisa dipisahkan. Asumsi dasar dalam teologi pembebasan
menegaskan bahwa Islam senantiasa tidak memberikan ruang
bagi adanya tindak kedlaliman dan diskriminasi. Kerena sejak
awal diturunkan Islam telah mengadung missi pembebasan dan
perdamaian.
Menurut Mukti Ali, setidaknya ada tiga pesan penting
Islam yang dibawa oleh Nabi SAW, pertama, membawa ajaran
tauhid, kedua, perlawanan Nabi SAW tehadap penumpukan harta
Muhammad Arkoun, al-Islam: al-Akhlaq wa al-siyasah, (Beirut:
Markaz al-Inma’ al_Qauni, 1986) hlm. 172-173
26
Asghar Ali Engineer, “Islam and Liberation”, In Islam and Its
Relevan to our Age, (Kuala Lumpur : Iqroq, 1987) hlm.59
25
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
99
Teologi Islam Kontekstual-Transformatif (oleh: Nur Said)
benda pada sekelompok orang tertentu, karena ini bisa berakibat
pada ketdakadilan dan jatuh pda syirk. Ketiga, menghapuskan
rasdiskriminasi, yang menganggap hubungan kekerabatan mereka
hanya didasarkan pada hubungan darah/suku.27
Dengan kata lain, munculnya Islam sebenarnya tidak
bisa terpisahkan dari konteks sosial dan sekaligus sebagai
respon teologis atas fenomena ketidakadilan, eksploitasi dan
penindasan yang merebak kala itu. Ketidakadilan bukanlah
kondisi yang “given” secara metafisik, tetapi lebih merupakan
konstruksi manusia melalui pemaksaan yang harus direspon
dengan perlawanan.
Wujud perlawanan dengan menjadikan agama sebagai
sumber inspirasi juga dilakukan oleh Farid Esack di Afrika Selatan
dengan mencoba secara kreatif menemukan makna terdalam
teks dalam konteks karena baginya antara wahyu dan konteks
ada hubungan yang kuat, …the process of revelation itself was
never independent of the community’s context but consisted of a
dynamics interaction between the two.28
Nampaknya Esack ingin menegaskan bahwa Islam
harus ditransformasikan menjadi spirit untuk menjawab segala
tatangan sosial yang empiris dan historis. Di sinilah pentingnya
teologi pembebasan itu digagas dan kembangkan secara kontinyu
meskipun dengan format dan bentuk yang berbeda. Sejalan dengan
Engineer, Esack menilai teologi pembebasan merupakan upaya
pembebasan agama dari bentuk ketidakadilan dan eksploitasi
termasik di dalamnya adalah ras, gender, kelas dan agama.29 Dan
ini semua mensyaratkan adanya suatu dialektika antara teks
dengan konteks sehingga “hidup” dan selalu menemukan “kata
kunci” dalam Islam yang mampu melahirkan api perubahan dalam
perdamaian.
Setidaknya ada empat kata kunci yang bisa dijadikan
bahan renungan bagi bagi misi pembebasan sebagai respon
H.A. Mukti Ali, Memahami Beberapa Aspek Ajaran Islam,
(Bandung, Mizan, 1991) hlm. 64-65
28
Farid Esack, Qur’an,Liberation and Pluralition an Islamic
Perspectiveof interreligius solidarity again operation, (Oxford: Oneworld, 1997)
hlm.16
29
Farid Esack, Qur’an,Liberation … hlm.83
27
100a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Teologi Islam Kontekstual-Transformatif (oleh: Nur Said)
terhadap konteks: Pertama, tauhid, menurut Engineer doktrin
ini nerupakan inti ajaran Islam yang memiliki dua dimensi yaitu;
pertama dimensi spiritual, menegasikan penyembahan terhadap
“berhala” dalam masyarakat Mekkah saat itu. Kedua dimensi
sosial politik, berhubungan dengan pertahanan Nabi Muhammad
terhadap dominasi kelompok-kelompok tertentu dalam bidang
ekonomi. Dengan demikian Tauhid tidak hanya menunjukkan
keesaan Tuhan tetapi kesatuan umat manusia tanpa kelas.30
Sejalan dengan Engineer, Ali Syari’ati memahami Tauhid
sebagai kesatuan universal dan eksistensinya antara Tuhan,
alam dan manusia.31 Kesadaran ini secara tidak langsung juga
memposiskan manusia secara egaliter memupuk semangat
humanisme lintas kultur dan iman.
Kedua, Adl
(keadilan),
karena adanya kesatuan
kemanusiaan maka keadilan harus ditegakkan secara
komprehensif. Islam tidak membolehkan adanya diskriminasi
berdasarkan ras, jenis kelamin, agama bahasa dan pertimbangan
etnis. Al-Qur’an menggunakan terminologi adl dan Qist untuk
menjelaskan persoalan keadilan.32 Dengan tetap mengacu pada
semangat tauhid, menjadi jelas bahwa keadilan sebagai suatu
sistem nilai yang perlu diperjuangkan harus mampu masuk pada
berbagai wilayah yang multireligious dan multikulturalisme.
Ketiga, Iman. Al-qur’an selalu menghubungkan
“iman” dengan perbuatan-perbuatan yang baik (amal sholeh).
Izutzu menjelaskan amal baik dan iman sebagai dua unit yang
tidak bisa dipisahkan. Mereka yang merasa beriman idealnya
Asghaar Ali Engineer, Islam and Liberation Teologi, hlm. 8 Doktrin
tauhid ini Esack mampu mentransformasikannya menjadi konsep “masyarakat
tauhidi (tauhidi society) sebagai idiologi yang mampu merangkul semua elemen
masyarakat dalam suatu kehidupan yang lebih damai dan membebaskan
perpecahan tradisional karena agama dan politik dan sekaligus sebagai
konter terhadap idiologi apatheid, Farid Esac, Qur’an,Liberation … hlm. 91.
Bandingkan juga dengan Nur Said, Perempuan dalam Himpitan Teologi dan
HAM di Indonesia, (Yogyakarta: Pilar Media, 2005) hlm. 70 – 75.
31
Ali Syari’ati, On the Sosiologi of Islam, (Barkeley : Mizan Press,
1984) hlm.83
32
QS. 49 ayat 9, lihat juga QS. 59 ayat 7, Qs 51 ayat 19, Qs. 69 ayat
33,34, Qs. 89 ayat 17,18. Uraian lebih terinci bisa juga dilihat pada Farid Esack,
Qur’an,Liberation … hlm. 103-106
30
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
101
Teologi Islam Kontekstual-Transformatif (oleh: Nur Said)
mengaktualisasikan perilaku yang baik termasuk dalam hal
penegakan keadilan.33 Sebagai implikasinya orang yang benarbenar beriman akan selalu menempatkan nilai keadilan sebagai
hal penting dalam kehidupannya
Keempat, jihad. Memahami makna jihad menarik
mencermati uraian Esack yang lebih mengandung nuansa
pembelaan hak-hak kemanusiaan. Bagi Esack jihad harus
diletakkan pada konteks kebangsaan dan kemanusiaan yang
selalu bersentuhan pada kehidupan praksis. Karenanya konsep
Esack –dengan mengutip Qibla- cenderung mengkontekskan
jihad sebagai paradigma Islam bagi perjuangan pembebasan (the
islamic paradigm of the liberation struggle…an effort, an exertion
to the utmost, a striving for truth and justice)34.
Jelas sekali penekanan Esack bahwa menegakkan keadilan
merupakan tujuan utama jihad daripada mengedepankan Islam
sebagai sistem keagamaan namun bersamaan itu masih berlanjut
terus penindasan, ekploitasi maupun diskriminasi. Namun tak
jarang oleh sekelompok orang memahami jihad sebagai “perang
suci” dan memberangus naluri kemanusiaan yang semestinya
harus dikedepankan.
Oleh Satha-Anand, pemikir muslim dari Thailand,
kelompok ini mendapat kritik tajam. Menurut Satha-Anand;
“Istilah jihad yang umumnya diterjemahkan dengan “perang suci’
mengandung arti suatu tindakan putus asa orang-orang irasional
dan fanatik yang ingin memaksakan pandangan hidup mereka pada
orang lain”35. Satha-Anand cenderung memaknai jihad sebagai
perjuangan melawan penindasan, kedzaliman dan ketidakadilan
dalam semua bentuknya, dimanapun ditemui dan demi mereka
yang tertindas siapapun mereka.36 Model-model pemahaman
Thoshihiko Izutsu, Etnicho Religious Concepts in the Qur’an
(Montreal; McGill University Press, 1966) hlm. 204
34
Farid Esack, Qur’an,Liberation … hal 106-110
35
Satha-Anand memberikan penjelasan cukup rinci dengan
menguraikan beberapa ayat al Qur’an yang menguatkan, lihat, Chaiwat SathaAnand, Agama dan Budaya Perdamaian, pent. Taufik Adnan Amal (Yogyakarta,
Forum Kajian Agama dan Budaya, 2002) cet.II. hlm. 6
36
Ibid, hlm.8 bisa dilihat juga dalam Asghaar Ali Engineer, Islam
dan Teologi Pembebasan, pent. Agung Prihantoro (Yogyakarta, Pustaka Pelajar,
33
102a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Teologi Islam Kontekstual-Transformatif (oleh: Nur Said)
yang yang bernuansa pembebasan seperti di atas setidaknya akan
memberikan wawasan yang mencerahkan manakala pada tataran
berikutnya diimplementasikan pada kehidupan nyata, dengan
menghadirkan Islam secara kontekstual-transformatif.
Masih banyak “kata kunci” lainnya dalam tradisi keislaman
yang mengharuskan pola-pola penafsiran yang lebih progresiftransformatif dengan penggunaan metode dan pendekatan yang
tepat. Untuk kepentingan ini al Jabiri menekankan pentingnya
“obyektivisme” dan “rasionalitas” dalam memahami tradisi itu.
Dengan obyektivisme (maudluiyyah) akan menjadikan tradisi
lebih kontekstual dengan keberadaannya sendiri dan berarti
memisahkan dirinya dari kondisi kekinian kita. Sebaliknya
rasionalitas (ma’quliyyat) yaitu menjadikan tradisi itu lebih
kontekstual dengan kondisi kekinian kita.37 Maka Al Jabiri- juga
menegaskan begitu pentingnya “dekonstruksi” yakni merombak
sistem relasi yang baku (dan beku) dalam satu struktur tertentu dan
menjadikannya sebagai bukan struktur melainkan menjadikannya
sebagai sesuatu yang berubah-ubah dan “cair”38.
Hubungan obyektifikasi dan rasionalitas sebagaimana
Al Jabiri agaknya sejalan dengan pola penafsiran Fazlur Raham
seperti dikedepankan oleh Esack dalam diagram sebagai berikut
39
:
1999) hlm. 33-39
37
Muhammad Abed al-Jabiri, Post Tradisionalime Islam, terj. Ahmad
Baso (Yogyakarta: LkiS, 2000) hlm.28.
38
ibid hlm. 30 Pola dekonstruksi terhadap wacana keagamaan ini
sepertinya merupakan suatu keharusan lantaran bagi Armstrong umat manusia
tak akan mampu menahankan kehampaan dan ketandusan, mereka akan selalu
mengisi kekosongan itu dengan menciptakan sebuah pusat perhatian baru
tentang “makna”. Mereka akan mencari tuhan-tuhan baru jika Tuhan yang
diajarkan agama tidak relevan lagi. Dalam kegelisahan inilah Armstrong
merasakan pentingnya mempertimbangkan “sejarah Tuhan” sebagai pelajaran
dan peringatan sebagai bentuk dekonstruksi yang begitu radikal, lihat Karen
Amstrong, Karel Amstrong, A History of God, The 4,000 Year Quest of Judaism,
Christianity and Islam, (United States of America, First Ballatin Books Edition,
1994) hal 399
39
Dikutip dari pemaparan Esack tentang suatu “pencarian makna
antara teks dan konteks” Farid Esack, Qur’an,Liberation … hlm. 66
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
103
pentingnya “dekonstruksi” yakni merombak sistem relasi yang baku (dan beku)
dalam satu struktur tertentu dan menjadikannya sebagai bukan struktur melainkan
menjadikannya sebagai sesuatu yang berubah-ubah dan “cair”38.
Teologi Islam Kontekstual-Transformatif
(oleh: Nur Said)
n rasionalitas
sebagaimana Al Jabiri agaknya
Historical Situation
Qur’anic Response
Generalizing Specific Answer
Determining Moral-Social Objectives of the Qur’an
Qur’anic Values
Contemporary
Islamic
Diagram di atas mengilustrasikan bahwa untuk
memahami al Qur’an setidaknya melalui dua langkah; pertama,
menganalisa situasi sejarah serta tuntutan moral-etik (ethicomoral requirements) yang dilanjutkan dengan kajian terhadap
teks-teks al Qur’an pada situasi tertentu. Selanjutnya, melakukan
suatu “generalisasi” jawaban spesifik dari hasil hubungan antara
teks dengan konteks menjadi sebuah “hukum moral sosial”
(determining Moral-Social Objectives of the Qur’an). Langkah
kedua adalah implementasi “hukum moral sosial” dalam konteks
sosial yang kongrit saat ini setelah melalui kajian lebih serius
tentang realitas sosial itu secara kritis. Pola ini diharapkan mampu
mendudukkan semangat teks benar-benar memberikan alternatif
solusi terhadap permasalahan yang dihadapinya.
Lebih jauh Amin Abdullah menambahkan pentingnya
penjelajahan penafsiran dengan pola (abductive)40 yang lebih
menekankan the logic of discovery daripada the logic of
justification.41 Semangat inilah yang akan meneguhkan pola
penalaran kontekstual historis-empiris yang agaknya memang
relevan untuk era kontemporer yang sarat dengan problematika
dengan mengembalikan kesadaran komunitas keagamaan yang
deep insight ‘hati nurani” manusia yang paling dalam. Dengan
Pola pikir ini lebih menekankan unsur hipotesis, interpretasi,
proses pengujian di lapangan terhadap rumus-rumus, konsep-konsep, dalil-dalil
dan gagasan-gagasan yang dihasilkan oleh kombinasi pola pokir deduktif dan
induktif, Amin Adullah, “Agama Masa Depan: Intersubjektif dan Posdogmatik”,
dalam BASIS No.05-06, Tahun ke-51, Mei-Juni 2002, hlm. 54
41
Ibid
40
104a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Teologi Islam Kontekstual-Transformatif (oleh: Nur Said)
cara pemahaman seperti inilah agaknya teologi Islam yang
kontekstual akan bisa hidup dalam segala zaman (shalihun li kulli
zaman wa makan).
Penutup
Kehadiran Islam di tengah pergumulan manusia ini sejak
awal membawa misi kemanusiaan di samping ketuhanan. Ini
sekaligus respon atas hegemoni kultur dan idiologi yang tak
beradab, menindas dan diskriminatif. Islam akan tetap memenuhi
tantangan zaman dengan berbagai persoalan yang dihadapinya
manakala umat pemeluknya secara kreatif mengkontekskan
dan mentransformasikan ajaran-ajarannya dengan senantiasa
berusaha menemukan “makna terdalam” dari semangat teks-teks
Kitab Suci.
Pada tahap inilah teologi Islam kontekstual-transformatif
menjadi penting dan relevan untuk dikembangkan di tengah
masyarakat global yang multireligious dan multikultur menuju
perdamaian bersama terutama bagi STAIN Kudus yang sedang
mengusung Islam trnasformatif sebagai Pola Ilmiah Pokok (PIP)
nya.***
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
105
Teologi Islam Kontekstual-Transformatif (oleh: Nur Said)
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Amin, “Agama Masa Depan: Intersubjektif dan
Posdogmatik”, dalam BASIS No.05-06, Tahun ke-51,
Mei-Juni 2002
Ali, Mukti H.A., Memahami Beberapa Aspek Ajaran Islam,
(Bandung, Mizan, 1991)
Al-Jabiri, Muhammad Abed, Post Tradisionalime Islam, terj.
Ahmad Baso (Yogyakarta: LkiS, 2000)
Amstrong, Karel, A History of God, The 4,000 Year Quest of
Judaism, Christianity and Islam, (United States of
America, First Ballatin Books Edition, 1994)
Anand, Chaiwat Satha-, Agama dan Budaya Perdamaian, pent.
Taufik Adnan Amal (Yogyakarta, Forum Kajian Agama
dan Budaya, 2002)
Arkoun, Muhammad, al-Islam: al-Akhlaq wa al-siyasah, (Beirut:
Markaz al-Inma’ al_Qauni, 1986)
Azra, Azyumardi, Konteks Berteologi di Indonesia, Pengalaman
Islam, (Bandung, Mizan, 1999)
Bevans, Stephan B., Model of Contextual Theology, Faith and
Cultures Series, (Maryknoll-New York: 1996).
Boland, BJ, The Struggle of Islam in Modern Indonesian, The
Hague Martinus Nijhoff, 1971,
Engineer, Asghaar Ali, Islam dan Teologi Pembebasan, pent.
Agung Prihantoro (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999)
Engineer, Asghar Ali, “Islam and Liberation”, In Islam and Its
Relevan to our Age, (Kuala Lumpur : Iqroq, 1987)
Esack, Farid, Qur’an,Liberation and Pluralition an Islamic
Perspectiveof interreligius solidarity again operation,
(Oxford: Oneworld, 1997)
Geertz, Clifford, The Interpretation of Culture, (New York: Basic
Books, 1973)
Hasselgrave, David J. & Edward Roman, Kontektualisasi: Makna,
Metode dan Model, Terj. Stephan Suleeman, (Jakarta,
BPK Gunung Mulia, 1996)
106a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Teologi Islam Kontekstual-Transformatif (oleh: Nur Said)
Hick, John, An Interpretation of Religion (New Haven, Conn.:
Yale University Press, 1989),
Hick, John, Disputed Questions in Theology and the Philosophy
of Religion (New Haven, Conn.: Yale University Press,
1993),
Hick, John, God Has Many Names (London: Macmillian, 1980),
Hunter, James Davison, Stephan C. Ainly, “Introduction” dalam
Making Sense of Modern Time, Peter L. Berger and the
Vision of Interpretatif Sosiologi, Roudledge & Kegan
Paul, (London, 1986)
Izutsu, Thoshihiko, Etnicho Religious Concepts in the Qur’an
(Montreal; McGill University Press, 1966)
Kung, Hans, Global Responsibility: In Search of a New World
Ethic, trans. John Bowden (New York, Crossroad,
1991)
Macquarrie, John, Principle of Christian Theology, (London,
SCM Press, 1966)
Nata, Abuddin Dr. H., MA., Peta Keragaman Pemikiran Islam di
Indonesia, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2001)
Rahman, Fazlur, Gelombang Perubahan dalam Islam: Studi
Tentang Fundamentalisme Islam, penyunting Ebrahim
Moosa, (Jakarta, PT RajaGrafindo, Persada)
Said, Nur, Perempuan dalam Himpitan Teologi dan HAM di
Indonesia, (Yogyakarta, Pilar Media, 2005).
Sastraprateja, M., dalam Pengantar, Peter L. Berger, Kabar dari
Langit, Makna Teologis Dalam Masyarakat Modern,
(Jakarta, LP3ES, 1991)
Smith, Jonathan Z., The Harper Dictionary of Religion, (San
Francisco, HarperCollin, 1995)
Smith, Wilfred Cantwell, Islam in Mdern History, (Princeton,
1957)
Syari’ati, Ali, On the Sosiologi of Islam, (Bandung: Mizan Press,
1984)
Titaley, John A, Menuju Teologi Agama-agama yang Kontektual,
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Ilmu Teologi,
Univ. Satya Wacana, Salatiga, 29 Nopember 2001.
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
107
Teologi Islam Kontekstual-Transformatif (oleh: Nur Said)
108a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Struktur Nalar Di Balik Polemik Teologi (oleh:Tahir Sapsuha)
Struktur NALAR DI BALIK POLEMIK
TEOLOGI DAN FILSAFAT ISLAM
Tahir Sapsuha
STAIN Ternate
Email: ......................
ABSTRAK
Tulisan ini dilatar-belakangi oleh keinginan penulis untuk
menghindarkan diri dari keharusan menyuguhkan kenyataan
polemik teologi dan filsafat sebagai sejarah yang mewarnai
diskursus keilmuan Islam. Lebih dari itu penulis berharap
bisa —meminjam istilah agama— memetik hikmah dari
polemik berkepanjangan itu, baik yang berlaku di lingkungan
disiplin keilmuan, maupun dalam bentuk konflik cara pandang
sikap keagamaan. Penulis berupaya meraih hal itu dengan
menggunakan kerangka kerja hermeneutika appropriasi yang
dikenalkan oleh Paul Ricoeur. Dalam kerangka ini, polemik
teologi dan filsafat Islam ditempatkan sebagai teks yang terbaca
dan mau ditemukan maknanya. Tiga tahap hermeneutis yang
ditawarkan Ricoeur (semantik, reflektif, eksistensial), ditemukan
kemungkinan untuk memaknai polemik teologi dan filsafat
itu untuk menghasilkan pemahaman-diri-eksistensial, yang
tentunya setelah melalui beberapa penelusuran metodologis
dan teoritis di tiap-tiap tahap tersebut (appropriasi). Munculnya
pemahaman-diri-eksistensial inilah yang dalam tulisan ini
penulis sebut sebagai buah dari appropriasi.
Kata Kunci:
Kerjasama,
Nalar Teologi,
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Nalar
Filsafat,
Polemik,
109
Struktur Nalar Di Balik Polemik Teologi (oleh:Tahir Sapsuha)
Pendahuluan
Kita tidak harus malu untuk mengakui bahwa dalam Islam
dan dalam agama-agama besar lainnya, hubungan antara teologi
dan filsafat, baik di wilayah keilmuan-teoritis maupun di wilayah
praksis-keberagamaan, jarang sekali atau bahkan tidak pernah
akur dan harmonis. Hampir sepanjang masa, dua disiplin dan
cara pandang keilmuan ini senantiasa terlibat dalam perseteruan,
saling menonjolkan diri, saling sikut, saling hantam, dan saling
berebut pengaruh di kalangan para peminat keilmuan dan para
penganut agama pada umumnya. Hal ini karena masing-masing
disiplin dan cara pandang keilmuan ini memiliki asumsi dasar,
kerangka teori, logika, paradigma, dan struktur fundamental
keilmuan yang berbeda satu sama lain.
Teologi cenderung memapankan dirinya melalui postulatpostulat teoritis-teologis, yang kemudian mendominasi bagian
terbesar dari model keberagamaan umat. Sedangkan filsafat
terus menggonggong dan menjaga diri agar tidak terjebak
dalam wilayah terlarang, yang disinyalir akan bisa menghapus
daya kritis yang dimilikinya. Muhammad ‘Ãbid al-Jãbiri1
mengungkapkan bahwa seluruh khazanah intelektual Islam yang
dihasilkan oleh mutakallimũn (teolog) muslim selama tahun 150
H hingga 550 H adalah dalam rangka menyerang dan memojokkan
filsafat, baik sebagai disiplin keilmuan maupun sebagai metode
dan epistemologi. Hingga saat ini, perseteruan serupa masih
ditemukan. Singkatnya, hubungan teologi dan filsafat, —baik
in the first level of discourse maupun in the second level of
discourse— tidak mudah didamaikan, apalagi dikompromikan.2
Para ilmuwan Muslim sejak generasi pertama telah
berupaya semampu mereka untuk mengkompromikan dua disiplin
dan cara pandang keilmuan ini. Menurut Harun Nasution3 sejak
semula, al-Kindi yang dikenal sebagai filosof pertama di kalangan
Muhammad ‘Ãbid al-Jãbiri, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi; Dirãsah
Tahlĩliyyah Naqdiyyah li Nuzhum al-Ma‘rifah fĩ ats-Tsaqãfah al-‘Arabiyyah
(Beirut: Markaz Dirãsah al-Wihdah al-‘Arabiyyah, 1990), hlm. 497-498.
2
M. Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), hlm.117.
3
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II.
(Jakarta: Bulan Bintang, 1974), hlm. 43-44.
1
110a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Struktur Nalar Di Balik Polemik Teologi (oleh:Tahir Sapsuha)
Muslim telah berupaya memadukan antara teologi dan filsafat.
Bagi al-Kindi, agama dan filsafat tidak bertentangan. Teologi
merupakan cabang termulia dari filsafat, dan keduanya samasama mengarahkan kajiannya pada hakikat pertama (al-haqq alawwal). Pandangan semacam inilah yang kemudian memunculkan
teori epistemologi al-Kindi yang dikenal luas hingga saat ini.
Demikian pula halnya dengan generasi ilmuwan Muslim
mutakhir. Mereka tetap berupaya untuk mengkompromikan
teologi dan filsafat, apalagi mengingat kompleksitas fenomena
keberagamaan umat yang telah memunculkan berbagai persoalan
yang tidak bisa hanya didekati secara teologis saja atau secara
filosofis an sich. Jika para ilmuwan dan umat Muslim masih
menjebakkan diri pada pola hubungan yang dikotomis ini, maka
hal itu sama artinya dengan melakukan bunuh diri intelektual dan
keberagamaan.
Upaya untuk mengkompromikan teologi dan filsafat
tersebut merupakan semangat tulisan ini. Pada prinsipnya, berbagai
terobosan baru dari perspektif dan sudut pandang yang beragam
harus senantiasa dikembangkan. Upaya ini tidak boleh ditundatunda lagi, karena akibat-akibat yang muncul dari perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini semakin menuntut
adanya kerjasama dan keharmonisan teologi dan filsafat dalam
merumuskan solusi-solusi yang mendesak untuk memecahkan
persoalan keagamaan dan sosial-keberagamaan umat yang
semakin kompleks. Umat Islam mutlak membutuhkan upayaupaya kreatif guna mengembangkan landasan-landasan teoritis
dalam merajut kerjasama dan keharmonisan dua disiplin dan cara
pandang keilmuan tersebut.
Menurut hemat penulis, agar dapat melihat polemik
teologi dan filsafat secara lebih jernih, maka harus ditelusuri
hingga struktur nalar yang membentuknya. Hanya hanya di
wilayah itulah kerjasama dan keharmonisan yang dimaksud bisa
diupayakan.
Struktur Nalar: Pembatasan Awal
Istilah ‘nalar’ dalam hubungannya dengan kebudayaan,
menjadi salah satu kosa-kata penting yang tidak bisa diabaikan
begitu saja oleh para peminat Islamic Studies. Nalar menjadi
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
111
Struktur Nalar Di Balik Polemik Teologi (oleh:Tahir Sapsuha)
salah satu alternatif wilayah yang harus direkonstruksi, jika ingin
mengakhiri masa kemunduran Islam. Untuk bisa mengupayakan
kemajuan, umat Islam dituntut untuk lebih jeli dalam memotret
dan menyikapi nalar yang berkembang di balik fenomena
keilmuan dan keberagamaan umat. Menurut al-Jãbiri4—tokoh
yang mempopuler-kan kajian tentang nalar (‘aql)—, kebangkitan
dan kemajuan yang dicita-citakan oleh umat Islam tidak akan
pernah bisa diwujudkan tanpa melakukan kritik-kritik konstruktif
terhadap nalar. Kebudayaan yang maju dan berkembang harus
didasarkan atas ‘nalar yang bangkit’ (al-‘aql an-nãhidh) dan
progresif.
Bagi al-Jãbiri, nalar (‘aql) tidak bisa disamakan begitu
saja dengan ‘pemikiran’ (al-fikr), meskipun secara kebahasaan
dua istilah itu memiliki kesamaan makna denotatifnya. Dalam
terminologi kontemporer, ‘pemikiran’ (al-fikr) lebih merujuk pada
arti produk pemikiran ketimbang instrumen pemikiran. Arti yang
semacam ini tergambar dalam ungkapan “pemikiran filosofis”,
“pemikiran Eropa” dan sebagainya. Al-Jãbiri5 memandang bahwa
sebagai produk pemikiran, nalar (‘aql) sama arti dan muatannya
dengan ideologi, yakni sekumpulan pandangan dan pemikiran
yang dihasilkan dan digunakan oleh masyarakat tertentu untuk
mengungkapkan norma-norma moral, doktrin-doktrin aliran,
serta ambisi sosial-politik mereka.
Titik tekan penjelasan al-Jãbiri tentang nalar yang penulis
terapkan dalam tulisan ini bukan dalam artinya sebagai ideologi
atau produk pemikiran, akan tetapi dalam posisinya sebagai
instrumen untuk memproduksi pandangan-pandangan teoritis,
yang bisa jadi berupa ideologi-ideologi tertentu itu. Untuk lebih
mengkontraskan perbedaan ini, perlu ditegaskan distingsi antara
pemikiran sebagai alat dan pemikiran sebagai produk (lihat bagan
1-A).6 Dalam dua bentuk yang berbeda itu, al-Jãbiri menisbatkan
nalar (‘aql) pada posisi pemikiran sebagai alat. Ini berarti
Muhammad ‘Ãbid Al-Jãbiri. Takwĩn al-‘Aql al-‘Arabi (Berut:
Markaz Dirãsãt al-Wihdah al-‘Arabiyyah, 1989), hlm. 5.
5
Ibid., hlm. 11.
6
Perlu digaris-bawahi bahwa pembedaan ini sebenarnya tidak
bersifat esensial , akan tetapi lebih pada pertimbangan metodologis semata,
demi ketajaman analisis yang diinginkan dalam tulisan ini.
4
112a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Struktur Nalar Di Balik Polemik Teologi (oleh:Tahir Sapsuha)
pemikiran dalam posisinya sebagai alat-lah yang menghasilkan
produk-produk pemikiran yang bersifat teoritis maupun berupa
ideologi-ideologi tertentu.
Meskipun bisa dilihat secara terpisah, al-Jãbiri mengakui
bahwa pemikiran —baik sebagai alat maupun sebagai produk—,
tidak bisa dilepaskan dari pergesekannya dengan lingkungan
sosial dan kebudayaan yang melingkupinya. Pemikiran adalah
produk sosial, budaya, lingkungan geografis, dan bahkan bahasa.7
Kekhasan dan karakteristik unsur-unsur pembentuk tersebut
sangat menentukan kekhasan dan karakteristik pemikiran yang
dihasilkannya. Nalar yang khas muncul dari persinggungannya
dengan dan dibentuk oleh unsur-unsur pembentuk yang khas
pula. Oleh karena itu, menurut al-Jãbiri,8 Nalar Arab (al-‘Aql al‘Arabĩ) merupakan produk dari dan dibentuk oleh budaya Arab
itu sendiri.9
Dari batasan al-Jãbiri di atas bisa dipahami bahwa al-‘Aql
al-‘Arabĩ dibentuk oleh kebudayaan atau kultur Arab yang khas,
dan bukan oleh kebudayaan atau kultur lainnya. Kalau kemudian
batasan ini disandingkan dengan penjelasan Martin Heidegger10
tentang “kekhasan”,11 maka budaya dan kultur yang khas yang
dimaksudkan oleh al-Jãbiri tersebut dapat dilihat sebagai entitas
yang sebangun dengan “dunia” (welt, world) yang dimaksud oleh
Heidegger. Dalam pemaknaan semacam ini, kebudayaan Arab
merupakan “dunia” yang darinya Nalar Arab terbentuk. Dengan
kata lain, dalam “dunia” inilah Nalar Arab mewujudkan dirinya
(mengada; menjadi ada). Demikian juga, di dalam dan karena
“dunia” itu pula Nalar Arab bereksistensi dan menjadi autentik.
Muhammad ‘Ãbid Al-Jãbiri. Takwĩn al-‘Aql, hlm. 12.
Ibid, hlm. 13-14.
9
Batasan-batasan yang digariskan al-Jãbiri inilah yang penulis
gunakan untuk membatasi apa yang nantinya disebut Nalar Teologi dan Nalar
Filsafat. Tentu saja batasan-batasan itu perlu sedikit direnovasi dan disesuaikan
dengan pembahasan yang dikembangkan dalam tulisan ini.
10
Martin Heidegger, Being and Time, trans. Joan Stambaugh (New
York: State University of New York Press, 1996), hlm. 42.
11
Heidegger berpandangan bahwa “kekhasan” dibutuhkan oleh
manusia untuk bisa menjadi Dasein, dalam arti untuk bisa bereksistensi sesuai
dengan “kekhasannya” sebagai Mengada yang mampu bertanya tentang Adanya.
7
8
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
113
Struktur Nalar Di Balik Polemik Teologi (oleh:Tahir Sapsuha)
“Dunia” tersebut (yakni kebudayaan Arab) merupakan poros
eksistensial dari Nalar Arab, yang menjamin —namun sekaligus
mengikat dan membatasi— kebebasannya untuk bereksistensi.
Hanya di dalam dunia semacam itulah Nalar Arab dapat
mewujudkan autentisitasnya.
Lewat pemaknaan kebudayaan sebagai “dunia”, maka kita
bisa sampai pada premis bahwa segala bentuk realitas (Mengada)
yang kita temukan dalam kehidupan ini memiliki “dunia”-nya
yang khas, yang menjadi unsur determinan bagi eksistensi dan
keberadaannya. Kalau premis ini dikenakan pada teologi dan
filsafat, maka bisa dikatakan bahwa teologi dan filsafat juga
merupakan entitas yang memiliki “dunia”-nya sendiri. Hal ini
akan ditemukan juga ketika kita mengatakan bahwa politik,
sepak bola, catur, artis, dan sebagainya merupakan entitas-entitas
yang juga memiliki dan dilingkupi oleh dunianya masing-masing.
Oleh karena itu kita menyebut adanya dunia politik, dunia artis,
dunia sepak bola, dunia catur, dan seterusnya. Di sini, “dunia”
tidak mengacu kepada ruang spesifik yang bersifat fisik, akan
tetapi merupakan wahana yang melingkupi dan menentukan
karakteristik keberadaan tiap-tiap realitas (Mengada) itu.
Terkait dengan teologi dan filsafat, dunia tersebut dapat
dilihat dalam dua wilayah yang berbeda. Sekali lagi, meminjam
kebiasaan al-Jãbiri, pembagian semacam ini hanya dimaksudkan
demi analisis yang berlangsung dalam pembahasan ini, dan tidak
bersifat esensial. Di wilayah yang pertama, ‘dunia’ merujuk pada
realitas normatif yang mendeter-minasi struktur nalar teologi
maupun filsafat. Sedangkan di wilayah kedua, ‘dunia’ berupa
realitas historis yang menjadi unsur-unsur penopangnya (lihat
bagan 1-B).
Namun demikian, pemilahan secara normatif dan historis
ini hanya berlaku jika di-lihat sebagai bentuk pure science
(keilmuan murni) saja, yakni sebagai kerangka keilmuan dasar
yang melandasi keberadaannya. Sedangkan dalam bentuk applied
science (keilmuan praktis), realitas normatif dan historis tersebut
saling berkait-kelindan dan hampir tidak bisa —untuk tidak
mengatakan sama sekali tidak bisa— dipisahkan.12
Istilah dan pembedaan antara yang normatif dan historis
12
114a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Struktur Nalar Di Balik Polemik Teologi (oleh:Tahir Sapsuha)
Dari titik ini tidak sulit untuk memahami bahwa keterkaitan
dan kejumbuhan realitas normatif dan historis yang khas, yang
masing-masing melingkupi teologi dan filsafat akan menjadi
unsur penopang dan pembentuk bagi munculnya Nalar Teologi
dan Filsafat. Pada masing-masingnya, terdapat karakteristik
dan kekhasan sendiri-sendiri pula (lihat bagan 1-C). Nalar inilah
yang kemudian melahirkan pemikiran-pemikiran teologi dan
filsafat, baik yang berupa sejarah maupun alat analisis (tool of
analysis). Nalar ini pula-lah seharusnya yang “bertanggungjawab” atas munculnya polemik berkepanjangan antara teologi
dan filsafat. Secara bersamaan, titik ini pula yang menjadi awal
bagi terbukanya kemungkinan untuk mengkompromikan dua
disiplin dan cara pandang keilmuan yang berbeda tersebut.
7
BAGAN: STRUKTUR NALAR TEOLOGI DAN
BAGAN:ȱSTRUKTURȱNALARȱTEOLOGIȱDANȱ
BAGANȱ
Al-fikr
sebagai alat
untuk
memproduksi
pemikiran
Al-fikr
sebagai
produk
pemikiran
BAGANȱ
BAGANȱ
NALARȱTEOLOGIȱ
DANȱFILSAFATȱ
NALARȱTEOLOGIȱ
DANȱFILSAFATȱ
YANGȱ“KHAS”ȱ
(al-fikr sebagai alat
untuk memproduksi
pemikiran)
Nalar Teologi:
Dogmatis-Pre-Reflektif-Bayãnƭ
Nalar Teologi:
Dogmatis-Pre-Reflektif-Bayãnĩ
Bagian
akan penulis
awali awali
dengan mengajukan
berikut:
Bagian
iniini akan
penulis
dengan pertanyaan
mengajukan
“Jika nalar
teologi“Jika
dan filsafat
untukfilsafat
menghasilkan
pemikiranpertanyaan
berikut:
nalar—sebagai
teologialatdan
—sebagai
pemikiran
teologis dan filosofis—
dibentuk oleh realitas normatif
historis
alat untuk
menghasilkan
pemikiran-pemikiran
teologisdan dan
yang
khas,
maka
seperti
apakah
bentuk
masing-masing
realitas
normatif
filosofis— dibentuk oleh realitas normatif dan historis yang khas,dan
historis apakah
itu, dan bagaimanakah
karakter nalar realitas
yang dihasilkan
oleh dan
realitas
maka seperti
bentuk masing-masing
normatif
tersebut? Masing-masing realitas normatif dan historis yang melatar-belakangi
terbentuknya
teologidan
danjuga
filsafat,
karakter
masing-masing
nalar yang
digunakan
oleh Fazlurnalar
Rahman
olehserta
Amin
Abdullah
untuk menengahi
dihasilkannya
akan
penulis
telusuri
berikut
ini.
Kita
mulai
dengan
nalar
teologi,
hubungan yang saling berkait-kelindan antara agama dan kepentingan sosialkemasyarakatan,
antara
yang
sakral
dan yang
profan.
Lebih lanjut baca;
dan kemudian
disusul
dengan
penjelasan
tentang
nalar filsafat.
“Rekonstruksi Tidak
Metodologi
Agama
dalam
Masyarakat
dantiga
ada agama
yang tidak
mempunyai
ajaran Multikultural
ketuhanan. Dalam
Multireligius”, dalam, Abdullah, M. Amin, dkk. Rekonstruksi Metodologi Ilmuagama monoteis (Abrahamic Religion), Tuhan berada pada poros yang menjadi
Ilmu Keislaman: Seri Kumpulan Pidato Guru Besar. Yogyakarta: Suka Press,
sentral keberadaan (eksistensi) segala yang ada di dunia ini. Tuhan adalah
2003), hlm.
5.
pencipta langit dan bumi dan bertahta “di atasnya”, namun bukan bagian darinya.
Tuhan menjadi tempat bergantung bagi segala eksistensi.13 Demikian gambaran
Fikrah, Vol.
I, No.yang
I, Januari-Juni
2013
umum
diketahui dari
ajaran Teologi berbagai agama, termasuk dalam115
teologi
Islam.
Sebagaimana halnya agama-agama monoteis, teologi Islam mengajarkan
Struktur Nalar Di Balik Polemik Teologi (oleh:Tahir Sapsuha)
historis itu, dan bagaimanakah karakter nalar yang dihasilkan
oleh realitas tersebut? Masing-masing realitas normatif dan
historis yang melatar-belakangi terbentuknya nalar teologi dan
filsafat, serta karakter masing-masing nalar yang dihasilkannya
akan penulis telusuri berikut ini. Kita mulai dengan nalar teologi,
dan kemudian disusul dengan penjelasan tentang nalar filsafat.
Tidak ada agama yang tidak mempunyai ajaran ketuhanan.
Dalam tiga agama monoteis (Abrahamic Religion), Tuhan berada
pada poros yang menjadi sentral keberadaan (eksistensi) segala
yang ada di dunia ini. Tuhan adalah pencipta langit dan bumi
dan bertahta “di atasnya”, namun bukan bagian darinya. Tuhan
menjadi tempat bergantung bagi segala eksistensi.13 Demikian
gambaran umum yang diketahui dari ajaran Teologi berbagai
agama, termasuk dalam teologi Islam.
Sebagaimana halnya agama-agama monoteis, teologi
Islam mengajarkan bahwa kebenaran pengetahuan tentang Tuhan
dapat dicapai melalui wahyu. Al-Quran sebagai wahyu tidak hanya
memuat aturan-aturan kemasyarakatan, tetapi juga memberikan
penjelasan tentang Tuhan dan eksistensi-Nya, meskipun dalam
porsi yang lebih sedikit.14
Keberadaan Tuhan dan pengetahuan tentang-Nya yang
diperoleh lewat wahyu inilah yang menjadi realitas normatif
bagi nalar teologi Islam. Penjelasan-penjelasan wahyu (alQuran) tentang Tuhan menjadi landasan bagi para teolog untuk
menempatkan-nya sebagai satu-satunya sumber kebenaran
mengenai pengetahuan tentang Tuhan. Para teolog meyakini
bahwa Tuhan telah mengintrodusir diri (eksistensi)-Nya kepada
manusia melalui kalãm-Nya, yang sepenuhnya termaktub di
dalam al-Quran.
Sementara yang menjadi realitas historis bagi nalar
teologi Islam dapat dirunut dari berbagai peristiwa historis yang
melingkupi lahirnya teologi Islam atau yang sering disebut Ilmu
Kalãm. Di titik ini harus digaris-bawahi bahwa teologi Islam atau
Franz Magnis Suseno, Menalar Tuhan (Yogyakarta: Kanisius,
2006), hlm. 39.
14
Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Mohammad (Bandung: Pustaka,
1984), hlm. 116.
13
116a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Struktur Nalar Di Balik Polemik Teologi (oleh:Tahir Sapsuha)
Ilmu Kalãm merupakan produk pemikiran umat Islam tentang
persoalan-persoalan ketuhanan dalam penggal waktu tertentu.
Sama halnya dengan fiqh dan tasawuf, Ilmu Kalãm tidak
dikenal pada masa Nabi. Meskipun Nabi Muhammad beserta para
nabi dan rasul lainnya membawa ajaran-ajaran teologis, namun
mereka tidak pernah disebut sebagai teolog (mutakkallim). Ilmu
Kalãm muncul setelah Muhammad wafat.
Dari berbagai literatur sejarah Islam diketahui bahwa
kelahiran ilmu Kalãm tidak bisa dilepaskan dari pergolakan
politik dalam tubuh umat Islam setelah terbunuhnya khalifah
ketiga ‘Utsmãn ibn ‘Affãn. Pergolakan politik ini mengkristal
pasca terjadinya arbitrase (tahkĩm) antara ‘Ali ibn Abi Thãlib dan
Mu‘ãwiyah ibn Abu Sufyãn. Pertikaian politik ini dengan cepat
menjelma menjadi persoalan teologis setelah segolongan umat
berpendapat bahwa hukum yang sah dan benar hanyalah hukum
yang diputuskan Allah dan telah digariskan-Nya di dalam alQur’ãn. Mereka juga berpandangan bahwa hukum yang digunakan
dalam arbitrase tersebut adalah hasil keputusan manusia.15 Dalil
yang mereka gunakan adalah ayat 44 dari surat al-Mãidah yang
berbunyi: “Barangsiapa yang tidak menentukan hukum dengan
apa yang telah diturunkan Allah, maka mereka adalah orangorang yang kafir”.
Sejak saat itu, penentuan seseorang apakah akan disebut
kafir atau tidak bukan lagi semata-mata menjadi persoalan
politik, akan tetapi soal teologi. Demikian juga perumusan
konsepsi tentang ĩmãn, nifãq, dosa besar, dan persoalan kebebasan
perbuatan manusia di hadapan Allah. Disusul pula dengan
munculnya aliran-aliran seperti Syi‘ah, Khawãrij, Murji‘ah,
Mu‘tazilah, Asy‘ariyyah dan sekte-sekte lainnya. Latar historis
yang demikian itu mengandaikan bahwa produk keilmuan Kalãm
sangat kental dengan suasana pertikaian politik saat itu, sehingga
tanpa terasa persoalan tauhĩd dan ‘aqĩdah yang digagas oleh para
teolog juga sangat terkait dengan kepentingan politik mereka.16
Perkembangan ilmu Kalãm berikutnya jelas tidak immune
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa dan
Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986), hlm.5-7.
16
Fazlur Rahman, Islam....., hlm. 38 dan 126)
15
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
117
Struktur Nalar Di Balik Polemik Teologi (oleh:Tahir Sapsuha)
dari suasana konflik antar berbagai kelompok yang berkepentingan
di atas. Kenyataan inilah yang mengundang banyak kritik dari
para pemikir terhadap rancang bangun keilmuan Kalãm klasik.
Abu Hãmid al-Ghazãli —yang pada batas-batas tertentu dapat
disebut sebagai seorang teolog (mutakallim)—, mengkritik
keberadaan ilmu Kalãm yang menurutnya hanya menyesatkan
dan mempunyai bahaya yang lebih besar dari manfaat yang
dikandungnya. Menurutnya, konsep al-‘aqĩdah al-islãmiyyah
(akidah Islam) yang digambarkan dalam ilmu Kalãm tidak
akan dapat mengantarkan manusia mendekati Allah dan kepada
pengetahuan yang hakiki. Al-Ghazãli menambahkan bahwa hanya
model ‘aqĩdah tasawuf-lah yang dapat mengantarkan seseorang
kepada tujuan itu.17
Selain al-Ghazãli, al-Jãbiri (1990: 497-498) juga menilai
bahwa tujuan terpokok ilmu Kalãm adalah untuk mempertahankan
doktrin-doktrin kelompok dari kecaman lawan-lawannya dan
sekaligus menolak pandangan kelompok lain yang berbeda
pendapat dengan kelompoknya. Tujuan ini dilakukan dengan
penyingkapan secara terus-menerus segala bentuk ketidakkonsistenan pihak lawan melalui logika dan metode-metode
perdebatan yang dikembangkan dalam Ilmu Kalãm. Selain itu,
banyak juga kritikan-kritikan lain yang tak kalah pedasnya
terhadap rancang bangun keilmuan Kalãm.18
Dari keterkaitan antara dua wilayah berbeda yang
melingkupi keberadaan teologi Islam itu dapat dilihat betapa
“dunia” teologi telah memunculkan nalar teologi yang bersifat
dogmatis-pre-reflektif. Nalar yang dogmatis-pre-reflektif
ini selanjutnya melahir-kan paham-paham, ajaran-ajaran dan
prinsip-prinsip teologi yang mendominasi, menuntut loyalitas
dan kesetiaan dari para penganutnya, serta dibekukan dalam
prinsip-prinsip dan dogma-dogma teologis yang diterima dan
dipraktekkan secara turun-temurun. Dalam struktur yang dominan
dan baku ini nalar Teologi menjadi instrumen yang memunculkan
paham-paham dan aliran-aliran teologi di atas. Merujuk pada alMahmud Hamdi Zaqzuq, Al-Ghazãlĩ; Sang Sufi Sang Filosof, terj.
Ahmad Rofi‘ ‘Utsmani (Bandung: Pustaka, 1987), hlm. 2-7
18
M. Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 127-128.
17
118a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Struktur Nalar Di Balik Polemik Teologi (oleh:Tahir Sapsuha)
Jãbiri,19 struktur Nalar Teologi seperti ini disebut sebagai al-‘Aql
al-Mukawwan. Menurutnya, nalar teologi yang dominan ini bisa
dianalisis secara obyektif, lantaran ia bisa diamati dalam bentuk
konsep, ajaran dan prinsip teologi yang telah baku.
Dominasi nalar teologi yang bersifat dogmatis-pre-reflektifbayãni itu menyebab-kan para teolog lebih mengedepankan
sikap apologis dan lebih mengutamakan kebenaran doktrin yang
terdapat dalam wahyu, serta menyalahkan semua pandangan
yang tidak sesuai dengannya. Sikap itu muncul karena mereka
menerima mentah-mentah apa yang telah diterima secara dominan,
tanpa mempertimbangkan atau merefleksikannya lebih lanjut.
Sebenarnya sikap semacam ini adalah sah-sah saja dan bahkan
diperlukan. Tanpa adanya justifikasi kebenaran —atau sering
disebut sebagai truth claim)—, teologi akan terjebak pada kesiasiaan belaka. Akan tetapi, sikap terlalu memutlakkan kebenaran
atau menggantungkan kebenaran mutlak itu kepada transcendent
aspect20 sama artinya dengan membunuh keberadaan (eksistensi)
manusia. Sikap itu menutup kemungkinan-kemungkinan baginya
untuk mengembangkan eksistensinya lebih lanjut. Bukankah
hanya melalui adanya kemungkinan-kemungkinan dan pilihanpilihan sesuatu bisa berkembang dan menjadi penuh?
Nalar Filsafat: Kritis-Reflektif-Burhãnĩ
Jika demikian halnya dengan nalar teologi, maka
bagaimanakah yang terjadi dengan nalar filsafat? Berbeda dengan
ajaran yang dikembangkan oleh agama yang menempatkan Tuhan
di pusat eksistensi, filsafat berangkat dari pertanyaan tentang
unsur-unsur apakah yang berada di balik alam semesta ini. Dalam
perbendaharaan ontologi dan metafisika, unsur tersebut disebut
sebagai Ada (Being). Being tidak bisa disamakan begitu saja
dengan Tuhan. Pertanyaan tentang Being ini merupakan kutub
pendulum normatif dari dunia yang membentuk nalar filsafat.
Manusia adalah makhluk selalu bertanya tentang diri dan
keberadaannya. Hal itu dimungkinkan karena manusia adalah
Muhammad ‘Ãbid Al-Jãbiri. Takwĩn......, hlm. 15-16.
Fazlur Rahman, “Approach to Islam in Religious Studies: Review
Essays”, dalam Approaches to Islam in Religious Studies, Martin, Richard C.
(ed). (Tuscon: The University of Arizona Press, 1985), hlm. 194.
19
20
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
119
Struktur Nalar Di Balik Polemik Teologi (oleh:Tahir Sapsuha)
satu-satunya “Mengada” yang mampu bertanya tentang “Ada”
dan mempertanyakan keberadaannya.
Kenyataan normatif pada filsafat yang berupa pertanyaan
tentang Being tersebut telah pula menjadi guratan perjalanan
filsafat di ranah historis. Manusia telah bertanya tentang Being
sejak masa Yunani Kuno dan belum berhenti hingga saat ini.
Mengakhiri masa mitologi Yunani Kuno, Heraklitus (540480 SM) menyebutkan bahwa Being itu adalah Akal Universal
atau Hukum Universal, yakni sistem yang menguasai alam.
Heraklitus menyebut Akal atau Hukum Universal itu sebagai
Logos. Menurutnya, manusia akan mampu memahami fenomenafenomena alam ini —termasuk asal-usul kejadiannya— secara
benar, jika ia melibatkan diri bersamanya. Baginya, agama yang
benar adalah kesesuaian antara akal yang dimiliki oleh masingmasing individu manusia dengan Hukum atau Akal Universal
yang berjalan di alam.
Berbeda dengan Heraklitus, Anaxagoras (570-526 SM)
menyebut Akal Universal itu sebagai Nous. Menurutnya, Nous
adalah Akal Universal yang mengatur alam raya, menjadi
penyebab bagi segala sesuatu yang ada di alam ini, dan -yang
terpenting- terpisah dari alam ini. Menurut al-Jãbiri,21 pemikiran
Anaxagoras inilah yang kemudian melatar-belakangi revolusi
Socrates, dan berikutnya Plato dan Aristoteles. Sedangkan
sebaliknya, Pemikiran Heraklitus tentang logos, lebih banyak
diadopsi oleh paham-paham yang mengumandangkan wahdah
al-wujũd, yang menganggap adanya kesatuan antara Ada dan
realitas, sebagaimana ditemukan dalam filsafat illuminasionis
dalam Islam.
Sejarah pencarian Being masih dapat diperpanjang lagi
hingga zaman ini. Akan tetapi kita tidak akan berlama-lama
dalam hal itu, karena yang ingin dibahas adalah nalar filsafat
yang muncul dari pergesekan antara realitas normatif dan historis
dunia filsafat. Di sini setidaknya bisa dikemukakan beberapa
hal yang terkait dengan hal itu. Pertama, kajian dan analisis
yang dilakukan dalam filsafat dimulai dari mempertanyakan
realitas yang ditemukan secara langsung dalam kehidupan di
Muhammad ‘Ãbid Al-Jãbiri. Takwĩn....., hlm. 18-20.
21
120a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Struktur Nalar Di Balik Polemik Teologi (oleh:Tahir Sapsuha)
dunia ini. Realitas-realitas itu, baik yang berupa fenomena alam
maupun fenomena sosial, dilihat sebagai realitas otonom yang
mengandung keterkaitan langsung dengan akal -baik dalam arti
universal maupun individual. Kedua, kajian terhadap realitas
itu diarahkan pada perumusan ide-ide abstrak yang bersifat
fundamental (fundamental ideas), yang membantu akal manusia
untuk memahami kenyataan alam dan sosial yang ditemuinya.
Ide-ide itulah yang diterjemahkan dalam bentuk istilah teknis
kefilsafatan sebagai al-falsafah al-ũlã, substansi, hakikat dan
esensi. Ketiga, penerjemahan yang bersifat abstrak itu didasarkan
pada keyakinan bahwa akal mampu mengungkap dan menjelaskan
kenyataan alam dan sosial yang bersifat abstrak tersebut.
Keempat, dengan demikian, secara tidak langsung dunia filsafat
telah melatih para filosof untuk senantiasa bersikap kritis, dan
tidak terjebak dalam diminasi nalar tertentu. Kelima, sikap kritis
itu dilandasi dengan penelitian filosofis yang berkesinambungan,
yang dilakukan melalui refleksi-refleksi keilmuan yang sistematis.
Dan keenam, sikap kritis-reflektif inilah yang akan mampu
menjamin kebebasan intelektual dan sikap inklusif terhadap
kebenaran-kebenaran yang diterima secara dogmatis dan fanatis
oleh masyarakat pada umumnya.22
Dengan demikian, Nalar Filsafat yang bersifat kritisreflektif-burhãnĩ ini, menjadi unsur penopang yang paling utama
bagi manusia untuk mewujudkan eksistensinya. Bagi al-Jãbiri23
nalar seperti inilah yang sangat dibutuhkan untuk memunculkan
prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah baru. Hal itu karena nalar yang
telah mendominasi kehidupan sosial-keberagamaan dalam bentuk
institusi-institusi dan kelembagaan agama dan sistem teologi
yang sudah mapan (ortodoksi) tidak akan bisa dikembangkan,
direvitalisasi dan direkonstruksi tanpa bantuan dari nalar filsafat
yang bersifat kritis-reflektif-burhãnĩ.
Muhammad ‘Ãbid Al-Jãbiri., Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi; Dirãsah
Tahlĩliyyah Naqdiyyah li Nuzhum al-Ma‘rifah fĩ ats-Tsaqãfah al-‘Arabiyyah
(Beirut: Markaz Dirãsah al-Wihdah al-‘Arabiyyah, 1990), hlm. 27. Baca juga,
M. Amin Abdullah, “Rekonstruksi Metodologi Agama dalam Masyarakat
Multikultural dan Multireligius”, dalam, Abdullah, M. Amin, dkk. Rekonstruksi
Metodologi Ilmu-Ilmu Keislaman: Seri Kumpulan Pidato Guru Besar
(Yogyakarta: Suka Press, 2003), hlm. 9-10.
23
Muhammad ‘Ãbid Al-Jãbiri. Takwĩn, hlm. 16.
22
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
121
Struktur Nalar Di Balik Polemik Teologi (oleh:Tahir Sapsuha)
Polemik Teologi dan Filsafat
Polemik yang terjadi antara teologi dan filsafat akan
dapat dilihat secara lebih jernih pada level nalar yang melatarbelakanginya. Struktur nalar teologi yang bersifat dogmatisprereflektif-bayãnĩ akan melahirkan ketegangan-ketegangan
tertentu jika dihadapkan dengan struktur nalar filsafat yang
bersifat kritis-reflektif-burhãnĩ. Ketega- tersebut hanya
berlangsung pada wilayah epistemologi, tetapi juga di wilayah
ontologi. Sebagai nalar yang mendominasi sistem pengetahuan
umat Islam, nalar teologi tidak jarang memaksa nalar filsafat untuk
memposisikan dirinya di bawah kebenaran wahyu, yang justru
hanya menghilangkan kadar kritis-reflektif yang dimilikinya.
Akal dipaksa untuk membuktikan kebenaran wahyu yang telah
dianggap mutlak. Dalam teologi agama-agama, hal ini sering
disebut sebagai pertanggung-jawaban iman secara rasional. Ada
tuntutan untuk “mencari pengertian” tentang iman, yang disebut
fides quaerens intellectum.24
Dalam peradaban Islam, perdebatan teologi dan filsafat
dapat dilacak sejak dari perdebatan antara Abu Sa‘id asy-Syirãfi
(893-979) seorang teolog Mu‘tazilah dengan Abu Bisyr Matta
(870-940), guru filsafat al-Fãrãbi yang beraliran Nestorian.25
Perdebatan ini mengental pada masa al-Fãrãbi yang menempatkan
Teologi (juga Jurisprudensi) pada rangking bawah setelah ilmuilmu Filsafat dalam hierarki ilmu yang disusunnya.26 Al-Fãrãbi
beralasan bahwa secara metodologis, pembagian kesimpulan
teologi tidak didasarkan atas prinsip-prinsip logika yang benar
dan teruji secara rasional, sehingga tidak bisa dipertanggung
jawabkan. Teologi tidak bisa menghasilkan pengetahuan yang
meyakinkan, tapi baru pada tahap mendekati keyakinan.27 Oleh
sebab itu, teologi hanya cocok untuk dikonsumsi oleh masyarakat
awam (baca: masyarakat non-filosofis) dan bukan untuk
Franz Magnis Suseno, Menalar Tuhan.., hlm. 22.
Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, terj. M. Amin Abdullah
(Jakarta: Rajawali Press, 1989, hlm. 12-13.
26
Osman Bakar, Hirarki Ilmu: Membangun Rangka-Pikir Islamisasi
Ilmu, terj. Purwanto. Bandung: Mizan, 1998), hlm. 145-148.
27
Osman Bakar, Tauhid dan Sains, terj. Yuliani Liputo (Bandung:
Pustaka Hidayah, 1995), hlm. 149.
24
25
122a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Struktur Nalar Di Balik Polemik Teologi (oleh:Tahir Sapsuha)
golongan lainnya. Pada kenyata-annya, klasifikasi yang disusun
oleh al-Fãrãbi inilah yang banyak dianut oleh pada filosof Islam
berikutnya, seperti Ibn Sinã (980-1037), Ibn Thufail (w. 1186), Ibn
Rusyd (1126-1198), dan Ibn Khaldun (1332-1406). Kenyataan ini
pula yang telah menaikkan pamor Filsafat di atas Teologi dalam
Islam.
Puncak ketegangan Teologi dan Filsafat terjadi pada masa
al-Ghazãli (1058-1111). Sebagai wakil dari teolog (mutakallim),
al-Ghazãli menyerang filsafat, khususnya pemikiran filsafat
al-Fãrãbi dan Ibn Sinã melalui karyanya Tahãfut al-Falãsifah
dan kemudian dipertegas dalam al-Munqidz min adh-Dhalãl.28
Meskipun demikian, hujatan yang dilancarkan oleh al-Ghazãli ini
tidak sampai menyentuh wilayah di luar metafisika, karena alGhazãli29 masih mengakui pentingnya logika dalam penjabaran
ajaran-ajaran agama. Namun sayangnya, hujatan itu telah terlalu
dibesar-besarkan oleh umat Islam, sehingga menimbulkan
sikap antipati dan mengenyampingkan filsafat dalam diskursus
keilmuan Islam. Jika kemudian al-Ghazãli sering juga dituduh dan
dipersalahkan sebagai biang kerok tumpulnya nalar kritis dalam
Islam, maka sudah selayaknya kenyataan itu dilihat sebagai suatu
keharusan sejarah, demi mengasah ulang dominasi nalar yang
melatar-belakangi keagamaan Islam secara umum.
Terkait dengan perdebatan yang bersifat ontologismetafisik ini, maka polemik itu bisa dilihat sebagai perdebatan
dalam hal bagaimana menempatkan Tuhan, manusia dan alam,
sebagai tiga kutub yang ditemui dalam kehidupan ini. Dalam
nalar teologi, hubungan timbal balik terjadi antara Tuhan dan
manusia, sebagaimana yang dapat pula ditemukan pada model
keberagamaan pada umumnya, —terutama pada paham mistik.
Kenyataan ini bukan berarti menafikan adanya kutub alam sebagai
kutub ketiga, akan tetapi, dalam relasi Tuhan dan manusia ini, alam
berada pada posisi justifikatif terhadap kebenaran pengetahuan
manusia tentang Tuhan. Dengan kata lain, alam tidak dipahami
kecuali dalam rangka memperoleh pengetahuan tentang Tuhan
Abu Hãmid Al-Ghazãli, Tahãfut al-Falãsifah, Sulaimãn Dunyã
(ed.). (Mesir: Dãr al-Ma‘ãrif, 1966), hlm. Th.
29
Abu Hãmid Al-Ghazãli, Al-Munqidz min adh-Dhalãl, Musthafã
Abu al-’Alã (ed.). Berut: al-Maktabah as-Sab‘iyyah, t.t., hlm. 49.
28
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
123
Struktur Nalar Di Balik Polemik Teologi (oleh:Tahir Sapsuha)
(lihat bagan 2-A). Kenyataan inilah yang -menurut al-Jãbirimelingkupi keberagamaan Islam pada umumnya.30
Sedangkan nalar filsafat yang bersifat kritis itu, tidak
memposisikan Tuhan sebagai obyek yang harus diketahui,
akan tetapi memposisikannya sebagai alat yang menjustifikasi
kebenaran pengetahuan manusia terhadap alam semesta ini
(lihat bagan 2-B). Sebagaimana telah disebutkan di atas, nalar
inilah yang melatar-belakangi peradaban Yunani Kuno dan
Eropa Modern hingga saat ini. Tuhan tidak dipahami sebagai
sesuatu yang terpisah dari manusia, atau diposisikan sebagai
puncak pengetahuan manusia, akan tetapi difungsikan sebagai
“pembenaran” bagi pengetahuannya. Implikasi cara pandang yang
demikian itu, akan dapat ditemui langsung dalam kecenderungan
filsafat yang empiris, dan kecenderu-ngan teologi yang idealis.
16
Bagan:
Perbandingan Proses Pembentukan Nalar Teologi dan Filsafat
Bagan 2-a. Nalar Teologi
Bagan 2-a. Nalar Filsafat
Tuhan
Tuhan
Fungsi
justifikatif
manusia
alam
alam
manusia
Fungsi
justifikatif
Teologi dan Filsafat: Polemik, Kerjasama, dan Kemungkinan Apropriasi
Dewasa ini,
para pakar dan
peminat Islamic dan
Studies Kemungkinan
telah berupaya untuk
Teologi dan Filsafat:
Polemik,
Kerjasama,
sebisa mungkin mendamaikan kecenderungan yang berbeda dari dua nalar
Apropriasi
tersebut. Mereka beranggapan bahwa polemik dan perdebatan yang selama ini
Dewasa ini, para pakar dan peminat Islamic Studies telah
terjadi, sudah tidak saatnya lagi untuk dibesar-besarkan, apalagi diteruskan.
berupaya untuk
sebisa mungkin mendamaikan kecenderungan
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini, berikut dengan akibatyang berbeda
dari
dua nalar tersebut. Mereka beranggapan
akibat positif dan negatif yang muncul darinya, dan ditambah lagi semakin
berkembangnya persoalan sosial-keagamaan, mengharuskan adanya kerjasama
Muhammad
Al-Jãbiri.
Takwĩn....,
hlm.keberagamaan
29.
antara teologi‘Ãbid
dan filsafat,
dalam menatap
persoalan
umat Islam di
30
berbagai lini. Belum lagi jika perkembangan itu dikaitkan dengan pluralisme
124a
keyakinan dan pandangan hidup, globalisasi budaya, keragaman kepercayaan dan
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
kebenaran yang menghantui kehidupan masyarakat luas. Jika ingin tanggap
terhadap persoalan umat, maka kerjasama tersebut harus segera diwujudkan dan
Struktur Nalar Di Balik Polemik Teologi (oleh:Tahir Sapsuha)
bahwa polemik dan perdebatan yang selama ini terjadi, sudah
tidak saatnya lagi untuk dibesar-besarkan, apalagi diteruskan.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini, berikut
dengan akibat-akibat positif dan negatif yang muncul darinya,
dan ditambah lagi semakin berkembangnya persoalan sosialkeagamaan, mengharuskan adanya kerjasama antara teologi dan
filsafat, dalam menatap persoalan keberagamaan umat Islam
di berbagai lini. Belum lagi jika perkembangan itu dikaitkan
dengan pluralisme keyakinan dan pandangan hidup, globalisasi
budaya, keragaman kepercayaan dan kebenaran yang menghantui
kehidupan masyarakat luas. Jika ingin tanggap terhadap persoalan
umat, maka kerjasama tersebut harus segera diwujudkan dan
tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Berangkat dari adanya kerjasama yang ingin diwujudkan
itu dan dari persoalan ontologis-metafisik yang diperdebatkan
oleh teologi dan filsafat, penulis melihat kemungkinan untuk bisa
mewujudkan polemik dan kerja-sama itu menjadi sesuatu yang
bisa dimiliki melalui pembacaan kembali (re-saying) terhadapnya,
guna menga-rahkannya pada cakrawala baru. Cakrawala baru itu
adalah makna yang dipetik dari polemik dan kerjasama itu, untuk
bisa dimengerti dan dipahami secara eksistensial, yakni sebagai
suatu cara alternatif untuk memahaminya. Tentu saja, apa yang
penulis maksud dengan appropriasi di sini masih debatable dan
harus diperkaya lebih lanjut.
Pada kenyataannya, Tuhan yang ingin dipahami dan
dijelaskan dalam teologi, maupun Logos, Nous, al-‘Aql al-Kullĩ,
al-Qãnũn al-Kullĩ, Being, dan sederet istilah lainnya yang merujuk
pada hal yang sama, yang hendak dijelaskan dan dipahami dalam
filsafat, benar-benar tidak bisa dibuktikan secara empiris dan
objektif oleh rasio, dan juga tidak bisa diyakinkan eksistensi
dan keberadaannya oleh wahyu. Oleh sebab itu, Tuhan -jika
Nalar Filsafat tidak keberatan dengan sebutan itu- benar-benar
merupakan misteri. Tuhan adalah terlalu kaya (baca: tidak bisa
dibatasi), sehingga tidak mungkin hanya satu tradisi keagamaan
atau tradisi pemikiran-pun yang dapat mengungkap, menjelaskan
dan menggambarkan secara menyeluruh “kekayaan”-Nya itu. Hal
itu dikarenakan tradisi keagamaan atau keilmuan bersifat terbatas.
Sehingga tidak mungkin jika sesuatu yang terbatas mampu
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
125
Struktur Nalar Di Balik Polemik Teologi (oleh:Tahir Sapsuha)
menjelaskan dan memahami sesuatu yang tidak terbatas. Prinsip
ini selayaknya melandasi penerimaan atas keragaman pengalaman
ketuhanan dan menjauhkan diri dari klaim-klaim kebenaran yang
eksklusif. Dari prinsip ini, monopoli kebenaran dipertanyakan,
dan kekhasan pemahaman dan pluralisme dikedepankan, guna
memurni-kan pandangan kita terhadap polemik yang terjadi itu.
Dalam prinsip ini, polemik teologi dan filsafat itu
dilihat menyerupai “teks” yang mengandung struktur maknanya
sendiri. Makna tersebutlah yang hendak digali dan ditemukan,
guna dimiliki dan dikembangkan. Oleh sebab itu, tugas utama
yang dijalankan di sini tidak lagi dimengerti sebagai upaya
untuk mencari kesamaan dan keselarasan antara pemahaman
penafsir (kita sebagai peneliti) dan maksud pengarang (makna
yang terkandung dalam polemik itu), karena hal itu hanya akan
menjebakkan kita pada kutub subjektif-objektif; menerima atau
tidak menerima; dan akhirnya hanya akan memenangkan salah
satunya -teologi atau filsafat- saja. Akan tetapi, tugas utama itu
mirip-mirip dengan hermeneutika-appropriasi, yang pertama,
mencari dan menemukan dinamika yang dituju oleh keberadaan
polemik itu dan struktur nalar yang berada di belakangnya; dan
kedua, mencari di dalam polemik itu kemampuan masing-masing
untuk memproyeksikan diri keluar dari dirinya dan melahirkan
suatu “dunia” yang khas miliknya, dan selaras dengan makna
yang ditujunya.31
Dua tugas utama itu telah dimulai sejak awal pembahasan
ini. Gambaran tentang struktur nalar dan polemik yang terjadi
antara teologi dan filsafat, merupakan upaya pada level semantik,
guna menelusuri polemik itu secara struktural, meskipun dalam
bentuk yang sangat sederhana. Kemudian, upaya pada level
refleksi, dila-kukan dengan mengungkapkan kemungkinan
adanya kerjasama antara dua disiplin dan cara padang keilmuan
itu, yang bisa dimulai dari struktur nalar yang berada di balik
polemik tersebut. Selanjutnya, upaya pada level eksis-tensial-lah
yang penulis maksudkan dengan kemungkinan appropriasi di atas,
agar polemik dan kerjasama itu bisa dilandasi dengan kerangka
Untuk Prinsip hermeneutika yang mendasari ini, lihat: E.
Sumaryono, Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat (Yogyakarta: Kanisius,
1999), 107-108.
31
126a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Struktur Nalar Di Balik Polemik Teologi (oleh:Tahir Sapsuha)
pandang hermeneutis, guna menghindarkan diri dari dikotomi
subjektif-objektif yang seringkali menjebak, dan mengarahkan
polemik tersebut kepada pemaham-diri yang mendewasakan.
Tahap penting antara penjelasan yang dimunculkan
melalui analisis struktural terhadap polemik itu dan perwujudan
pemahaman-diri (eksistensial) melalui appropriasi ini,
ditenggarai oleh sikap memposisikan polemik itu sebagai teks
yang mengandung struktur maknanya sendiri. Apakah makna
dari polemik dan kerjasama itu, yang bisa diungkapkan di sini?
Yaitu bahwa teologi dan filsafat benar-benar entitas otonom yang
memiliki kekhasannya dan karakteristik masing-masing, yang
tidak seharusnya direduksi pada salah satunya saja. Makna inilah
kemudian yang didialogkan dengan kenyataan pluralisme dan
relativitas kebenaran yang kita temui dalam horizon kehidupan
keberagamaan dan keilmuan dewasa ini. Dua kutub ini hendaknya
dilihat secara dialektis, sebagai dua hal yang saling mengisi, dan
menandai pertemuan antara makna yang terkandung di balik
polemik dan kerjasama itu dengan dunia konkrit yang kita hadapi
dewasa ini.
Pembauran ini menjadi niscaya karena kita tidak mungkin
mengambil alih polemik itu secara keseluru-han ataupun
meninggalkan dunia aktual yang di dalamnya kita hidup saat
ini. Dengan kata lain, pembauran itu akan mampu menjaga
intensitas ritme dari dua kutub tersebut, tanpa harus menolak
atau melibatkan diri dalam polemik itu, ataupun menutup mata
dari realitas pluralisme kebenaran yang ada saat ini. Pada tahap
inilah dunia kita -sebagai “pembaca” atas polemik dan kerjasama
itu- mengalami transformasi, yang terjadi berkat adanya pengaruh
yang dibaca dan dihayati dari kenyataan itu, sehingga membantu
untuk mencapai pemahaman-diri yang lebih baik (appropriasi).
Dan dengan pemahaman-diri eksistensial melalui appropriasi ini,
manipulasi-manipulasi kebenaran, baik yang mengatas-namakan
teologi maupun filsafat, bisa dibongkar, dan potensi konflik dari
polemik itu dapat diminimalisir. Bukankah keberlanjutan polemik
teologi dan filsafat itu disebabkan oleh -salah satunya- tiadanya
bentuk pemahaman-diri eksistensial yang bisa dimunculkan dari
pembacaan terhadapnya? Hal itu disebabkan oleh sikap kita yang
benar-benar memposisikan diri sebagai pembaca yang hanya
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
127
Struktur Nalar Di Balik Polemik Teologi (oleh:Tahir Sapsuha)
sekedar ingin mengetahui polemik itu sebagaimana adanya, namun
tidak bisa -meminjam bahasa agama- mengambil hikmah darinya
demi mewujudkan pemahaman-diri eksistensial tersebut.***
128a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Struktur Nalar Di Balik Polemik Teologi (oleh:Tahir Sapsuha)
Daftar pustaka
Abdullah, M. Amin. Falsafah Kalam di Era Postmodernisme.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995
_____. Studi Agama: Normativitas atau Historisitas? Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1996
_____. “Rekonstruksi Metodologi Agama dalam Masyarakat
Multikultural dan Multireligius”, dalam, Abdullah,
M. Amin, dkk. Rekonstruksi Metodologi Ilmu-Ilmu
Keislaman: Seri Kumpulan Pidato Guru Besar.
Yogyakarta: Suka Press, 2003
Al-Jãbiri, Muhammad ‘Ãbid. Takwĩn al-‘Aql al-‘Arabi. Berut:
Markaz Dirãsãt al-Wihdah al-‘Arabiyyah, 1989
_____. Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi; Dirãsah Tahlĩliyyah Naqdiyyah
li Nuzhum al-Ma‘rifah fĩ ats-Tsaqãfah al-‘Arabiyyah.
Beirut: Markaz Dirãsah al-Wihdah al-‘Arabiyyah, 1990
Al-Ghazãli, Abu Hãmid. Tahãfut al-Falãsifah, Sulaimãn Dunyã
(ed.). Mesir: Dãr al-Ma‘ãrif, 1966
_____. Al-Munqidz min adh-Dhalãl, Musthafã Abu al-’Alã (ed.).
Berut: al-Maktabah as-Sab‘iyyah, t.t.
Al-Qur’ãn dan Terjemahnya. Madinah: Mujamma‘ al-Malik Fahd
li Thibã‘ah al-Mushhaf asy-Syarif, 1422 H
Bakar, Osman. Tauhid dan Sains, terj. Yuliani Liputo. Bandung:
Pustaka Hidayah, 1995
_____. Hirarki Ilmu: Membangun Rangka-Pikir Islamisasi Ilmu,
terj. Purwanto. Bandung: Mizan, 1998
Heidegger, Martin. Being and Time, trans. Joan Stambaugh. New
York: State University of New York Press, 1996
Leaman, Oliver. Pengantar Filsafat Islam, terj. M. Amin Abdullah.
Jakarta: Rajawali Press, 1989
Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II.
Jakarta: Bulan Bintang, 1974
_____. Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa dan
Perbandingan. Jakarta: UI Press, 1986
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
129
Struktur Nalar Di Balik Polemik Teologi (oleh:Tahir Sapsuha)
Rahman, Fazlur. Islam, terj. Ahsin Mohammad. Bandung: Pustaka,
1984
_____. Membuka Pintu Ijtihad, terj. Anas Mahyuddin. Bandung:
Pustaka, 1984
_____. “Approach to Islam in Religious Studies: Review Essays”,
dalam Approaches to Islam in Religious Studies, Martin,
Richard C. (ed). Tuscon: The University of Arizona
Press, 1985
Sumaryono, E. Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta:
Kanisius, 1999
Suseno, Franz Magnis. Menalar Tuhan. Yogyakarta: Kanisius,
2006
Zaqzuq, Mahmud Hamdi. Al-Ghazãlĩ; Sang Sufi Sang Filosof, terj.
Ahmad Rofi‘ ‘Utsmani. Bandung: Pustaka, 1987
130a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
DIKOTOMI AGAMA DAN ILMU
DALAM SEJARAH UMAT ISLAM SERTA
KEMUNGKINAN PENGINTEGRASIANNYA
Syamsul Kurniawan
IAIN Pontianak
Email: [email protected]
ABSTRAK
Secara historis-filosofis kajian ini mendeskripsikan tentang
bagaimana dikotomi agama dan ilmu sedang terjadi dalam
perjalanan sejarah umat Islam dan seberapa besar kemungkinan
ia dapat kembali diintegrasikan. Kajian ini dilakukan berangkat
dari kegelisahan penulis dalam menanggapi pemikiran
Islam yang dikotomistik antara agama dan ilmu. Hal ini
mengakibatkan umat Islam berada dalam kondisi yang terpuruk
yaitu mengalami kemunduran dalam pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Karena itulah usaha integrasi perlu
dilakukan umat Islam dengan tidak mendikotomi agama dengan
ilmu. Manfaat dari kajian ini secara teoritis adalah adanya
tuntunan teoritis bagi umat Islam dalam memandang agama dan
ilmu secara integratif, sehingga berikutnya muncul kesadaran
untuk melakukan reinterpretasi terhadap ilmu termasuk adanya
semangat mengkaji ilmu yang didasarkan pada nilai-nilai agama
Islam.
Kata Kunci: Dikotomi, Integrasi, Agama, Ilmu.
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
131
Dikotomi Agama dan Ilmu (oleh: Syamsul Kurniawan)
Pendahuluan
Pengakuan adanya kebenaran ayat qauliyah (yang tertera
di dalam kitab suci) dan ayat kauniyah (ayat yang ada di alam
semesta) harusnya dipandang cukup untuk menjelaskan bahwa
tidak ada pertentangan antara agama dan ilmu dalam Islam.
Karena secara ontologis kedua jenis ayat tersebut berasal dari
Yang Satu. Motivasi Islam menempatkan ilmu-ilmuan dalam
kedudukan yang tinggi sejajar dengan orang-orang yang beriman,1
sesungguhnya mengisyaratkan perintah bagi setiap muslim untuk
selalu berpikir dan mengembangkan ilmu. Turunnya ayat pertama
dalam al-Quran juga sejalan dengan maksud ini. Ayat pertama
tersebut dimulai dengan ayat yang scientific yaitu iqra’,2 dan
sejalan dengan misi Nabi Muhammad Saw untuk memberantas
kebodohan (jahiliyah). Dalam Islam, menuntut ilmu merupakan
suatu pencarian religius.
Sebagai pedoman umat Islam, al-Quran memang
menguatkan hubungan antara agama dan ilmu. Kuntowijoyo
berpendapat bahwa al-Quran menyediakan kemungkinan yang
sangat besar untuk dijadikan sebagai cara berpikir. Cara berpikir
inilah yang selanjutnya harus menjadi paradigma. Pengembangan
eksperimen-eksperimen ilmu yang berdasarkan pada paradigma
al-Quran jelas akan memperkaya khazanah ilmu pengetahuan.
Paradigma ini dapat menjadi pendorong munculnya ilmu-ilmu
pengetahuan alternatif. Jelas bahwa premis-premis normatif
al-Quran dapat dirumuskan menjadi teori-teori empiris dan
rasional. Struktur transedental al-Quran menurut Kuntowijoyo
adalah sebuah ide normatif dan filosofis yang dapat dirumuskan
menjadi paradigma teoritis. Ia akan memberikan kerangka bagi
pertumbuhan ilmu pengetahuan empiris dan rasional yang empiris,
dalam artian sesuai dengan kebutuhan pragmatis umat manusia
sebagai khalifah di bumi. Kuntowijoyo berpendapat bahwa
pengembangan teori-teori ilmu pengetahuan Islam dimaksudkan
untuk kemashlahatan umat Islam.3 Namun sayangnya dalam sejarah
perkembangan keilmuan, termasuk Islam, keduanya seringkali
QS al-Mujadalah (58): 11.
QS al-’Alaq (96): 1-5.
3
Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu (Jakarta: Teraju, 2005), hlm. 251
2
26.
132a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Dikotomi Agama dan Ilmu (oleh: Syamsul Kurniawan)
mengalami pendikotomian sampai kemudian ada kesadaran akan
pentingnya mengintegrasikan kembali keduanya.
Jika dilacak pengertiannya, maka dikotomi menurut
bahasa (etimology) berarti pembagian dua bagian, pembelahan
dua, bercabang dua bagian.4 Dikotomi juga dapat diartikan
sebagai pembagian di dua kelompok yang saling bertentangan.5
Sementara definisi dikotomi menurut istilah (terminology),
mengutip Ruhyana, dapat dipahami sebagai pemisahan antara
ilmu dan agama yang kemudian berkembang menjadi fenomena
dikotomik-dikotomik lainnya, seperti dikotomi ulama dan
intelektual, dikotomi dalam dunia pendidikan Islam dan bahkan
dikotomi dalam diri muslim itu sendiri (split personality).6
Sementara Ali Anwar Yusuf menjelaskan dikotomi sebagai pola
pikir yang memisahkan antara agama dan kehidupan. Agama
hanya dipandang sebagai salah satu aspek hidup yaitu kebutuhan
manusia pada penyembahan pada Yang Maha Kuasa. Adapun
pada aspek-aspek kehidupan lainnya agama tidak bisa diperankan.
Pemahaman yang parsial ini melahirkan pandangan yang sempit
terhadap Islam dan menumbuhkan sekularisasi.7
Saat ini ada kecenderungan pengelompokkan disiplin
ilmu menjadi disiplin ilmu agama dan disiplin ilmu umum. Hal
ini secara implisit menunjukkan adanya dikotomi ilmu. Kondisi
seperti ini sesungguhnya bukan barang baru, karena sudah
nampak pada saat akhir-akhir abad pertengahan yaitu ketika
Islam mulai mengalami kemunduran. Pandangan dikotomis
terhadap agama dan ilmu pengetahuan tersebut sesungguhnya
tidak didapati dalam permulaan sejarah umat Islam atau periode
klasik Islam. Ternyata pandangan dikotomis dalam sejarah umat
Islam yang menempatkan agama sebagai suatu disiplin yang
John M Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia
(Jakarta: Gramedia Utama. 1992), hlm. 180.
5
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa
Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka. 1989), hlm. 205.
6
Ruhyana, “Dikotomi dan Dualisme Pendidikan di Indonesia” dalam
http://jorjoran.wordpress.com/2011/04/04/dikotomi-dan-dualisme-pendidikandi-indonesia/(akses internet 8 Oktober 2013).
7
Ali Anwar Yusuf, Islam dan Sains Modern (Bandung: Pustaka Setia,
2006), hlm. 49.
4
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
133
Dikotomi Agama dan Ilmu (oleh: Syamsul Kurniawan)
selama ini terasing dari disiplin ilmu lain telah menyebabkan
ketertinggalan para ilmuan Islam baik dalam pengembangan
wawasan keilmuan maupun untuk menyelesaikan berbagai
masalah dengan multimensional approach. Oleh karena itulah
wajarlah jika dikotomi yang terjadi ini mendapat gugatan dari
para ilmuan muslim melalui wacana tentang pentingnya integrasi
agama Islam dan ilmu pengetahuan.
Bahkan selama beberapa dekade dapat dikatakan bahwa
persoalan dikotomi ilmu yang dihadapi dunia Islam tak pernah
berhenti dan selalu dihadapkan pada pembedaan antara apa yang
disebut ilmu Islam dan non Islam, ilmu barat dan ilmu timur.
Bahkan lebih parah ketika dikotomi tersebut menjalar sebagai
satu bentuk dikotomi antara ilmu pengetahuan dan teknologi.
Khususnya di bidang pendidikan, dikotomi ilmu ini menjalar
sebagai satu bentuk pembedaan antara sekolah bercirikhaskan
agama di bawah naungan Kementerian Agama (Kemenag) dan
sekolah umum dibawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
(Kemendikbud). Sekolah bercirikhaskan agama secara khusus
diwakili oleh madrasah, sedangkan sekolah bercirikhaskan umum
menempati kontradiksinya.8
Kesalahan pertama pelacakan dasar-dasar keilmuan
antara agama dengan ilmu adalah tidak dimulai dari sumber,
metode, tahapan dan fungsi dari masing-masing objek ilmu.
Akibatnya, agama yang secara metodologi cenderung bersumber
dari penalaran berpikir bercampur secara acak dengan ilmu
pengetahuan yang secara metodologi cenderung bersumber
dari daya mengindera manusia tanpa penjelasan yang tepat.
Sebagian orang tidak bisa membedakan antara pengembangan
ilmu pengetahuan yang dibangun di atas basis ilmu murni,
dengan ilmu agama yang dibangun di atas basis ilmu empiri.9
Ilmu murni melahirkan pandangan ilmu pengetahuan sebagai
ilmu, sementara ilmu empiri terarah pada unsur manusia sebagai
pembentuk ilmu pengetahuan. Ilmu murni meletakkan manusia
Jasa Ungguh Muliawan, Pendidikan Islam Integratif. Yogyakarta:
Pustaka, 2005), hlm 1-2.
9
Penggunaan istilah klasifikasi ilmu murni dan ilmu empiri baca
penjelasan Sutari Imam Barnadib, Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis
(Yogyakarta: Andi Offset, 1993), hlm. 13-23.
8
134a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Dikotomi Agama dan Ilmu (oleh: Syamsul Kurniawan)
di “luar pagar ilmu”, oleh sebab itu ilmu pengetahuan cenderung
bersifat objektif. Pada sisi lain, ilmu agama dalam konteks ini
bersifat empiris karena manusia mendapatkan peranannya dalam
pembentukan ilmu, dalam hal ini ilmu empiri seringkali menjadi
bersifat subjektif. Hakikat hubungan konsep keduanya menjadi
kurang dapat dijelaskan. Akibatnya gagasan Islamisasi ilmu
untuk mengintegrasikan agama dan ilmu sampai sekarang belum
dapat dirasakan hasil kongkritnya.10
Demikianlah, sampai sekarang perdebatan seputar
dikotomi antara agama dan ilmu masih menjadi isu aktual.
Sebagian berpandangan bahwa antara agama dan ilmu merupakan
dua kategori yang berbeda, memiliki wilayah kajian yang berbeda
dan diorientasikan pada hal-hal yang berbeda pula. Sementara
pandangan lain mengatakan sebaliknya, baik agama dan ilmu
adalah dua hal yang bersifat integratif, dua aktivitas yang sama
dan keduanya tidak boleh dipilah-pilah, karena keduanya dapat
saling melengkapi serta dapat dimanfaatkan bagi kepentingan
umat manusia.
Kajian ini menggunakan pendekatan historis dan filsafat
untuk mendeskripsikan tentang bagaimana dikotomi agama dan
ilmu sedang terjadi dalam perjalanan sejarah umat Islam dan
seberapa besar kemungkinan ia dapat kembali diintegrasikan.
Kajian ini berangkat dari kegelisahan penulis dalam menanggapi
pemikiran yang dikotomistik antara agama dan ilmu. Hal ini
mengakibatkan umat Islam berada dalam kondisi yang terpuruk
yaitu mengalami kemunduran dalam pengembangan ilmu
pengetahuan. Karena itu usaha integrasi perlu dilakukan umat
Islam dengan tidak mendikotomi agama dengan ilmu.
Manfaat dari kajian ini secara teoritis adalah adanya
tuntunan teoritis bagi umat Islam dalam memandang agama dan
ilmu secara integratif, sehingga berikutnya muncul kesadaran
untuk melakukan reinterpretasi terhadap ilmu pengetahuan
termasuk adanya semangat mengkaji ilmu pengetahuan yang
didasarkan pada nilai-nilai Islam.
Jasa Ungguh Muliawan, Pendidikan Islam Integratif, hlm. 2.
10
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
135
Dikotomi Agama dan Ilmu (oleh: Syamsul Kurniawan)
Dikotomi Agama dan Ilmu dalam Sejarah Umat Islam
Ian Barbour memetakan hubungan ilmu dan agama selama
ini dalam empat tipologi yaitu konflik, independensi, dialog,
dan integrasi. Pertama, konflik. Hubungan ini ditandai dengan
adanya dua pandangan yang saling berlawanan antara agama
dan ilmu dalam melihat suatu persoalan. Keduanya sama-sama
mempunyai argumentasi yang tidak hanya berbeda tapi juga
saling bertentangan dan bahkan menafikan satu dengan yang
lain. Ian Barbour seorang fisikawan sekaligus teolog mencatat
bahwa momentum kuat munculnya konflik antara agama dan
ilmu telah terjadi pada abad pertengahan, manakala otoritas
gereja menjatuhkan hukuman kepada Galileo Galilei pada tahun
1663, karena mengajukan teori Copernicus bahwa bumi dan
planet-planet mengelilingi matahari (heliosentris) dan menolak
teori Ptolomeus yang didukung otoritas ilmiah Aristoteles dan
otoritas kitab suci yang meyakini bahwa bumi sebagai pusat
alam semesta (geosentris). Seseorang tidak dapat menerima
pandangan heliosentris dan geosentris sekaligus atau dengan kata
lain harus memilih salah satu apakah akan menerima kebenaran
agama atau kebenaran ilmu. Jika menerima kebenaran agama akan
berimplikasi pada penolakan objektifitas kebenaran ilmu dan jika
menerima kebenaran ilmu akan berimplikasi pada pengingkaran
kebenaran agama dan dituduh sebagai kafir. Persoalan lain yang
menggambarkan hubungan konflik antara agama dan ilmu adalah
masalah teori evolusi Darwin yang muncul pada abad XIX.
Sejumlah ilmuan dan agamawan menganggap bahwa teori evolusi
Darwin dan kebenaran kitab suci tidak dapat dipertemukan. Kaum
literalis Biblikal memahami bahwa alam semesta diciptakan Tuhan
secara langsung, sementara kaum evolusionis berpendapat bahwa
alam semesta terjadi secara alamiah melalui proses yang sangat
panjang atau evolusi. Dengan menunjukkan bukti-bukti empiris
kaum evolusionis tidak menisbahkan proses panjang tersebut
pada Tuhan namun melalui proses yang alamiah. Makhluk hidup
menurut kaum evolusionis dapat berkembang menjadi beraneka
ragam melalui mekanisme adaptasi, survival for live, dan seleksi
alam. Bagi Darwin dan kaum evolusionis, manusia bukanlah
makhluk yang diciptakan khusus dan kemudian ditempatkan di
bumi ini sebagaimana pendapat kaum literalis Biblikal. Menurut
136a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Dikotomi Agama dan Ilmu (oleh: Syamsul Kurniawan)
mereka, manusia hanyalah proses evolusi tersebut. Pandangan
demikian tentu menggeser pandangan gereja bahwa Tuhanlah
yang menciptakan satu persatu makhluk hidup dan secara khusus
menciptakan manusia yang memiliki posisi yang lebih tinggi dari
makhluk yang lain. Ada sementara agamawan menyatakan bahwa
teori evolusi bertentangan dengan keyakinan agama, sedangkan
ilmuan atheis bahkan mengklaim bahwa berbagai bukti ilmiah
atas teori evolusi tidak sejalan dengan keimanan. Dua kelompok
ini sepakat bahwa tidak mungkin seseorang dapat mempercayai
Tuhan dan teori evolusi sekaligus. Jadilah agama dan ilmu berada
pada posisi yang bertentangan.
Kedua, Independensi. Berbeda dengan yang pertama,
pandangan independensi menempatkan agama dan ilmu tidak
berada dalam posisi konflik. Kebenaran agama dan ilmu samasama absah selama berada pada batas ruang lingkup penyelidikan
masing-masing. Agama dan ilmu tidak perlu saling mencampuri
satu dengan yang lain karena memiliki cara pemahaman akan
realitas yang benar-benar terlepas satu sama lain, sehingga tidak
ada artinya mempertentangkan keduanya. Menurut pandangan ini
upaya peleburan merupakan upaya yang tidak memuaskan untuk
menghindari konflik. Kalangan Kristen Konservatif berusaha
meleburkan agama dan ilmu dengan mengatakan bahwa kitab
suci memberikan informasi ilmiah yang paling dapat dipercaya
tentang awal mula alam semesta dan kehidupan, yang tidak
mungkin mengandung kesalahan. Mereka menolak teori evolusi
Darwin dan membangun konsep baru tentang penciptaan yang
dinamakan creation science berdasarkan atas penafsiran harfiah
terhadap kisah-kisah Biblikal. Karl Bath berpendapat bahwa
agama dan ilmu memiliki metode dan pokok persoalan yang
berbeda. Ilmu dibangun berdasarkan pengamatan dan penalaran
manusia, sedangkan teologi berdasarkan wahyu Tuhan. Oleh
karenanya Bath berpendapat bahwa agama dan ilmu mesti
berjalan sendiri-sendiri tanpa ada campur tangan satu dengan
yang lain. Barbour menambahkan bahwa selain metode dan
pokok persoalan, bahasa dan fungsinya juga berbeda. Bahasa
ilmiah berfungsi menjawab “bagaimana”, yang ditunjukkan
untuk mendeskripsikan dan mencari jalan keluar atas fenomena
riil kemanusiaan, sedangkan bahasa agama berfungsi untuk
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
137
Dikotomi Agama dan Ilmu (oleh: Syamsul Kurniawan)
menjawab “mengapa”, yang akan mendorong seseorang untuk
mematuhi prinsip-prinsip moral tertentu. Gambaran yang sering
digunakan untuk menjelaskan tipologi ini adalah seperti halnya
permainan, misal catur dan ular tangga. Peraturan dalam catur
tidak dapat diterapkan dalam permainan ular tangga, demikian
pula sebaliknya. Demikian pula ilmu dan agama, tidak ada yang
dapat diperbandingkan satu dengan yang lain dan keduanya tidak
dapat ditempatkan pada posisi bersaing atau konflik. Pendekatan
independensi ini dinilai cukup aman karena dapat menghindari
konflik dengan cara memisahkan hubungan di antara keduanya.
Pendekatan ini menggambarkan agama dan ilmu sebagai jalur
kereta yang berel ganda, masing-masing mempunyai jalan yang
independen dan otonom. Ketegangan antara Galileo Galilei dengan
gereja semestinya tidak perlu terjadi jika agama dapat masuk
ke wilayah privasi ilmu, demikian pula ilmu tidak memaksakan
diri dengan rasionalisme-empirisme pada agama. Agama dan
ilmu mempunyai bahasa sendiri karena menjalani fungsi yang
berbeda dalam kehidupan manusia. Agama berurusan dengan
fakta objektif, agama rentan dengan perubahan karena sifatnya
yang deduktif, sedangkan ilmu setiap saat bisa berubah karena
sifatnya yang lebih induktif. Menurut pandangan independen,
agama dan ilmu adalah dua domain independen yang dapat hidup
bersama sepanjang mempertahankan “jarak aman” satu sama
lain. Agama dan ilmu berada pada posisi sejajar dan tidak saling
mengintervensi satu dengan yang lain.
Ketiga, Dialog. Pendekatan independensi meskipun
merupakan pilihan yang cukup aman, namun dapat menjadikan
realitas kehidupan menjadi terbelah. Penerimaan kebenaran agama
dan ilmu menjadi satu pilihan dikotomis yang membingungkan
karena tidak dapat mengambil keduanya sekaligus. Adapun bagi
seseorang yang berusaha menerima keduanya dapat mengalami
split personality, karena menerima dua macam kebenaran
yang saling berseberangan. Menurut Barbour, pendekatan ini
membantu tetapi membiarkan segala sesuatu berada pada jalan
buntu yang bisa membuat seseorang putus asa. Karena itulah
pendekatan dialog memandang bahwa agama dan ilmu tidak dapat
disekat dengan kotak-kotak yang sama sekali terpisah, meskipun
pendekatan ini menyadari bahwa keduanya berbeda secara logis,
138a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Dikotomi Agama dan Ilmu (oleh: Syamsul Kurniawan)
linguistik, maupun normatif. Bagaimanapun juga, di Barat, agama
telah memberikan banyak inspirasi bagi perkembangan ilmu,
demikian pula penemuan-penemuan ilmiah juga mempengaruhi
teologi. Meskipun keduanya berbeda namun tidak mungkin
benar-benar dipisahkan. Pendekatan dialog ini dapat membangun
hubungan yang mutualis. Dengan belajar dari ilmu, agama dapat
membangun kesadaran kritis dan lebih terbuka sehingga tidak
terlalu over sensitive terhadap hal-hal yang baru. Sebaliknya,
ilmu perlu mempertimbangkan perhatian agama pada masalah
harkat kemanusiaan. Dalam dunia manusia, ada realitas batin
yang membentuk makna dan nilai. Ilmu bukanlah satu-satunya
jalan menuju kebenaran, dan ilmu bukan hanya untuk ilmu
tetapi ilmu juga untuk kemanusiaan. Agama dapat membantu
memahami batas-batas rasio, yaitu pada wilayah adikodrati atau
supranatural ketika ilmu tidak mampu menyentuhnya. Hubungan
dialogis berusaha membandingkan metode kedua bidang yang
dapat menunjukkan kemiripan dan perbedaan. Dialog dapat
terjadi manakala agama dan ilmu menyentuh persoalan di luar
wilayahnya sendiri.
Keempat, Integrasi. Ada dua makna dalam bentuk ini: (a)
bahwa integrasi mengandung makna implisit reintegrasi, yaitu
menyatukan kembali agama dan ilmu setelah keduanya terpisah;
(b) integrasi mengandung makna unity yaitu bahwa agama dan
ilmu merupakan kesatuan primordial. Makna pertama populer
di Barat karena kenyataan sejarah menunjukkan keterpisahan
itu. Adapun makna kedua lebih banyak berkembang di dunia
Islam karena secara ontologis diyakini bahwa kebenaran agama
dan ilmu adalah satu. Perbedaannya ada pada ruang lingkup
pembahasan, yang satu pengkajiannya dimulai dari pembacaan
al-Quran, sementara yang satu lagi dimulai dari pembacaan
alam. Kebenaran keduanya saling mendukung dan tidak saling
bertentangan.
Secara historis, periode klasik Islam memang mencatat
bahwa ilmuan dan cendekiawan muslim ketika itu memandang
agama dan ilmu sebagai sesuatu yang integratif. Menurut
Endang Saifuddin Anshari, ilmuan dan cendekiawan muslim
memandang bahwa ajaran agama Islam memuat semua sistem
ilmu pengetahuan, sehingga tidak ada dikotomi dalam sistem
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
139
Dikotomi Agama dan Ilmu (oleh: Syamsul Kurniawan)
keilmuan Islam.11 Sebagian ilmuan dan cendekiawan muslim saat
itu memang berasumsi bahwa dalam dataran konsep ideal, Islam
diyakini sebagai agama yang memiliki ajaran yang sempurna.12
Ajaran Islam juga komprehensif dan universal,13 sehingga
memungkinkan memuat semua sistem ilmu pengetahuan.
Namun, kenyataan yang terjadi sebaliknya, paska abad
pertengahan muncullah pemisahan antara kelompok ilmu profan
yaitu ilmu-ilmu keduniaan yang melahirkan perkembangan sains
dan teknologi, yang selanjutnya dihadapkan pada ilmu-ilmu agama
pada sisi lain.14 Amin Abdullah berpendapat bahwa kecelakaan
sejarah umat Islam terjadi pada saat bangunan keilmuan natural
science menjadi terpisah dan tidak bersentuhan sama sekali
dengan ilmu-ilmu agama yang fondasi dasarnya berupa teks atau
nash, yaitu al-Quran dan Hadits.15 Meskipun peradaban Islam
klasik pernah mencatatkan tinta emas dalam sejarah umat Islam
dengan nama-nama ilmuan yang terkenal seperti Ibn Sina sebagai
seorang filsuf yang juga menguasai disiplin ilmu kedokteran, Ibn
Haitsam seorang fisikawan, Abu Abbas al-Fadhl Hatim an-Nizari
seorang ahli astronomi, Umar ibn Ibrahim al-Khayyami (yang
lebih dikenal dengan sebutan Umar Khayyam) penulis buku alJabbar, Muhammad al-Syarif al-Idrisi seorang ahli ilmu bumi,
dan lain-lain. Namun sayangnya nama-nama ini di kalangan umat
Islam pada hari ini kurang dikenal atau mungkin tidak dikenal
sama sekali.
Pada periode klasik perkembangan Islam yaitu abad VIIXIII mencatatkan umat Islam pernah mengalami era keemasan,
yang mana telah terjadi perkembangan pesat dibidang ilmu
pengetahuan dan teknologi. Setidaknya ada beberapa faktor yang
Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam: Pokok-pokok Pikiran
tentang Islam dan Umatnya (Jakarta: Rajawali Press,1991), hlm. 120-125.
12
Nasruddin Razak, Dienul Islam (Bandung: Al-Maarif, 1996), hlm.
7.
13
Jasa Ungguh Muliawan, Pendidikan Islam Integratif, hlm. 1.
14
Azyumardi Azra, “Rekonstruksi Kritis Ilmu dan Pendidikan Islam”,
dalam Abdul Munir Mulkhan, dkk., Religiusitas Iptek. Yogyakarta: Fakultas
Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 7883.
15
M. Amin Abdullah, dkk. Islamic Studies dalam Paradigma
Integrasi-Interkoneksi (Yogyakarta: Suka-Press, 2007), hlm. 27.
11
140a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Dikotomi Agama dan Ilmu (oleh: Syamsul Kurniawan)
mendorong kemajuan pesat ilmu pengetahuan pada periode ini,
yaitu: pertama, Agama Islam menjadi motivasi; kedua, Kesatuan
bahasa yang memudahkan komunikasi ilmiah (yaitu bahasa Arab);
ketiga, Adanya kebijakan pemerintah dalam pengembangan ilmu
pengetahuan; keempat, Didirikannya akademi, laboratorium,
dan perpustakaan sebagai sarana perkembangan ilmu; kelima,
Ketekunan ilmuan untuk mengadakan riset dan eksperimen;
keenam, Pandangan internasional yang membuka isolasi dengan
dunia luar; dan ketujuh, Penguasaan terhadap bekas wilayah
pengembangan filsafat klasik Yunani.
Pada periode klasik perkembangan Islam ini telah
mengembangkan ilmu pengetahuan yang bersumber dari al-Quran
dan Hadits, demikian pula ilmu pengetahuan yang bersumber
dari alam dan masyarakat, tetapi masih berada dalam “satu atap”
yaitu pengetahuan Islam.16 Dalam konteks ini Mulla Shadra
seorang pemikir Islam kelahiran Persia menganologikan integrasi
agama dan ilmu dengan “sinar yang satu” yang menyinari suatu
ruangan yang mempunyai jendela yang beragam warna. Setiap
jendela akan memancarkan warna yang bermacam-macam sesuai
dengan warna kacanya. Melalui analogi ini Shadra hendak
menggambarkan bahwa kebenaran berasal dari Yang Satu, dan
akan tampak muncul beragam kebenaran tergantung sejauh mana
manusia mampu menangkap kebenaran itu. Dapatlah dimengerti
bahwa kebenaran yang ditangkap ilmuan hanyalah sebagian
yang mampu ditangkap dari kebenaran Tuhan, demikian pula
kebenaran yang ditangkap oleh agamawan. Jadi kebenaran yang
ditangkap oleh ilmuan dan agamawan bagi Mulla Shadra bersifat
komplementer dan saling melengkapi.
Sesudah periode klasik ini yaitu sejak abad XIII,
perkembangan ilmu pengetahuan dalam umat Islam menampakkan
gejala kemunduran. Sebaliknya di dunia Barat, warisan ilmu
pengetahuan yang sebelumnya berkembang pada umat Islam,
mereka pelajari dan kembangkan sehingga mampu mengantar
mereka ke era renaissance. Mulai saat inilah ada kecenderungan
umat Islam memilah-milah mana ilmu yang boleh mereka pelajari
Lihat M. Shaleh Putuhena, “Ke Arah Rekonstruksi Sains Islam,”
dalam Nurman Said, dkk., Sinergi Agama dan Sains (Makassar: Alauddin Press,
2005), hlm. 107.
16
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
141
Dikotomi Agama dan Ilmu (oleh: Syamsul Kurniawan)
dan mana yang tidak. Ilmu yang diambil langsung dari al-Quran
dan Hadits dapat dipelajari dan dipandang sebagai struktur
ilmu Islam, sedangkan ilmu yang bersumber dari alam dan dari
masyarakat hendaknya ditepikan dari struktur ilmu pengetahuan
dalam Islam. Keadaan inilah yang melatar-belakangi adanya
dikotomi antara agama dan ilmu sejarah umat Islam yang
berujung pada kemunduran umat Islam hingga sekarang dalam
banyak aspek.
Kemungkinan Pengintegrasian Kembali Agama dan Ilmu
Telah diuraikan bahwa dikotomi antara agama dan ilmu
selanjutnya berdampak pada kemunduran umat Islam. Hal ini
yang kemudian memotivasi para ilmuan dan cendekiawan muslim
untuk mewacanakan kembali tentang pentingnya pengintegrasian
kembali agama dengan ilmu. Bagi sebagian ilmuan dan
cendekiawan muslim, mustahil mengandaikan kemajuan umat
muslim, tanpa memposisikan agama secara mutualis sebagai
bagian tak terpisahkan dari perkembangan ilmu.
Dalam konteks integrasi ini, muncullah istilah-istilah
untuk mendukung proyek integrasi agama dan ilmu ini seperti
islamisasi ilmu pengetahuan, ilmuisasi Islam, integrasi ilmu,
integrasi dan interkoneksi, dan lain-lain. Beberapa tokoh yang
dikenal aktif menyuarakan integrasi agama dan ilmu di antaranya:
Ismail Raji al-Faruqi, Syed Muhammad Naquib al-Attas, Fazlur
Rahman, Ziauddin Sardar, Kuntowijoyo, Azyumardi Azra, Imam
Suprayogo dan M. Amin Abdullah.
Ismail Raji al-Faruqi seorang ilmuan kelahiran Palestina
yang hijrah ke Amerika Serikat berpendapat bahwa agama dan ilmu
dapat diintegrasikan, dan dapat dimulai dengan mengembalikan
ilmu pada pusatnya yaitu tauhid. Hal ini dimaksudkannya agar
ada korelasi atau hubungan antara ilmu pengetahuan dengan
iman.
Selanjutnya Kuntowijoyo yang mewacanakan pentingnya
ilmuisasi Islam. Dalam konteks ini, Kuntowijoyo berpendapat
bahwa agama dapat diintegrasikan dengan ilmu manakala ilmuan
dan cendekiawan muslim segera melakukan perumusan teori ilmu
pengetahuan yang didasarkan kepada al-Quran dan menjadikan
al-Quran sebagai suatu paradigma. Upaya yang dilakukan adalah
142a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Dikotomi Agama dan Ilmu (oleh: Syamsul Kurniawan)
objektifikasi. Agama Islam dijadikan sebagai ilmu yang objektif,
sehingga ajaran agama yang terkandung dalam al-Quran dapat
dirasakan manfaatnya bagi seluruh alam atau menjadi rahmatan
lil ‘alamin, dalam arti tidak hanya untuk umat Islam tapi juga non
Islam dapat merasakan manfaat dari objektifikasi ajaran agama
Islam. Kuntowijoyo menyatakan bahwa inti dari integrasi adalah
upaya menyatukan bukan sekedar menggabungkan wahyu Tuhan
dengan temuan pikiran manusia (ilmu-ilmu integralistik), tidak
mengucilkan Tuhan (sekularisme) atau sebaliknya mengucilkan
manusia (other worldly asceticism).17
Jika membandingkan pendapat keduanya, model
integrasi agama dan ilmu agaknya Ismail Raji al-Faruqi lebih riil
dibandingkan model integrasi agama dan ilmu yang diwacanakan
Kuntowijoyo yang hanya bergerak pada tataran teoritis an sich.18
Imam Suprayogo berpendapat bahwa model integrasi
agama dan ilmu hendaknya menjadikan al-Quran dan as-Sunnah
sebagai grand theory pengetahuan, sehingga ayat-ayat qauniyah
dan qauliyah, kedua-duanya dapat dipakai.19
Sejalan dengan pendapat Imam Suprayogo di atas,
Azyumardi Azra mengklaksifikasikan tiga tipologi respons
cendekiawan muslim yang berkaitan dengan hubungan antara
ilmu agama Islam dengan ilmu pengetahuan umum. Pertama,
Restorasionis yang mengatakan bahwa ilmu yang bermanfaat
dan dibutuhkan adalah praktik agama (ibadah). Cendekiawan
yang berpendapat seperti ini adalah Ibrahim Musa dari Andalusia.
Ibn Taimiyah mengatakan bahwa ilmu itu adalah pengetahuan
dari Nabi saja. Begitu juga Abu al-A’la al-Maududi seorang
ulama dari Pakistan mengatakan bahwa ilmu-ilmu dari Barat
seperti geografi,fisika, kimia, biologi, zoologi, geologi, dan ilmu
ekonomi adalah sumber kesesatan karena tanpa rujukan kepada
Allah SWT dan Nabi Muhammad Saw.
Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, hlm. 57-58.
Eko Juhairi Rismawan, “Pemikiran Kuntowijoyo Tentang Integrasi
Ilmu dan Agama”, dalam http://ekojuhairirismawan.blogspot.com/2011/02/
pemikiran-kunto.html (akses internet tanggal 8 Oktober 2013).
19
Lihat Imam Suprayogo, “Membangun Integrasi Ilmu dan Agama:
Pengalaman UIN Malang”, dalam Zainal Abidin Bagir (ed.), Integrasi Ilmu dan
Agama: Interpretasi dan Aksi (Bandung: Mizan, 2005), hlm. 49-50.
17
18
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
143
Dikotomi Agama dan Ilmu (oleh: Syamsul Kurniawan)
Kedua, Rekonstruksionis interpretasi agama untuk
memperbaiki hubungan peradaban modern dengan Islam,
dengan asumsi bahwa Islam pada masa Nabi Muhammad Saw
sangat revolutif, progresif, dan rasionalis. Sayyid Ahmad Khan
mengatakan bahwa firman Allah SWT dan kebenaran ilmiah
adalah sama-sama benar. Pendapat ini sejalan dengan pendapat
Jamaluddin al-Afghani yang menyatakan bahwa Islam memiliki
semangat ilmiah.
Ketiga, Reintegrasi dalam arti merekonstruksi ilmu-ilmu
yang berasal dari ayat-ayat al-Quran dan ayat-ayat qauniyah
sehingga dapat kembali pada kesatuan transedental semua ilmu
pengetahuan.20
Integrasi yang dimaksud Azra berkaitan dengan usaha
memadukan agama dan ilmu tanpa harus menghilangkan keunikankeunikan dari masing-masing keilmuan tersebut. Hanya saja
memang ada sejumlah kritikan yang dilontarkan sejumlah ilmuan
atau cendekiawan muslim dalam kaitannya dengan integrasi
agama dan ilmu ini, di antaranya datang dari M. Amin Abdullah.
M. Amin Abdullah memandang bahwa sejauh ini integrasi
agama dan ilmu masih mengalami kesulitan, yaitu memadukan
studi Islam dan studi umum yang kadang tidak saling akur karena
keduanya ingin saling mengalahkan. Oleh karena itu menurutnya
diperlukan usaha menginterkoneksikan studi Islam dan studi
umum yang lebih arif dan bijaksana. Dapat dimengerti bahwa
interkoneksitas yang diwacanakan oleh M. Amin Abdullah
adalah usaha memahami kompleksitas fenomena kehidupan
yang dihadapi dan dijalani manusia, sehingga setiap bangunan
keilmuan apapun, baik keilmuan agama, keilmuan sosial,
humaniora, maupun kealaman, tidak dapat berdiri sendiri. M.
Amin Abdullah berpendapat, agar agama dan ilmu terintegrasi
dan terinterkoneksi maka disiplin keilmuan tersebut perlu
bekerjasama, saling tegur sapa, saling membutuhkan, saling
koreksi dan saling keterhubungan.21
Azyumardi Azra, “Reintegrasi Ilmu-ilmu dalam Islam” dalam
Zainal Abidin Bagir (ed.), Integrasi Ilmu dan ..., hlm. 206-211.
21
M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan
Integratif-Interkonektif (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. vii-viii.
20
144a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Dikotomi Agama dan Ilmu (oleh: Syamsul Kurniawan)
Pendekatan integratif-interkonektif yang diwacanakan
oleh M. Amin Abdullah merupakan pendekatan yang tidak saling
melumatkan dan tidak pula berarti peleburan antara agama dan
ilmu. Secara rinci M. Amin Abdullah mengklaksifikasikannya ke
dalam tiga pola yaitu, pola pararel, pola linear dan pola sirkular.
Pertama, Pola pararel adalah pola yang masing-masing corak
keilmuan umum dan agama berjalan sendiri-sendiri tanpa ada
hubungan dan persentuhan antara satu dengan yang lainnya.
Kedua, Pola linear adalah pola yang mana salah satu dari keduanya
akan menjadi primadona, sehingga akan ada kemungkinan
berat sebelah. Ketiga, Pola sirkular, yaitu masing-masing corak
keilmuan dapat memahami keterbatasan, kekurangan dan
kelemahan pada masing-masing keilmuan, dan sekaligus bersedia
mengambil manfaat dari temuan-temuan yang ditawarkan oleh
tradisi keilmuan yang lain serta memiliki kemampuan untuk
memperbaiki kekurangan yang melekat pada diri sendiri.22
Dapat dipahami bahwa konsep integrasi-interkoneksi
yang diwacanakan M. Amin Abdullah merupakan usaha untuk
menjadikan sebuah koneksitas atau keterhubungan antara
keilmuan agama Islam dan ilmu pengetahuan. Muara dari konsep
integrasi dan interkoneksi ini menjadikan keilmuan mengalami
proses objektifikasi di mana keilmuan tersebut dirasakan oleh
orang non Islam sebagai suatu yang natural atau sewajarnya, bukan
sebagai praktik keagamaan. Sementara itu bagi umat Islam, bisa
tetap menganggapnya sebagai bagian dari praktik keagamaan dan
dinilai sebagai amal ibadah. Ini memungkinkan ilmu-ilmu dalam
agama Islam menjadi rahmat bagi semua orang.
Contoh konkrit dari konsep ini adalah perbankan syariah
yang praktik atau teori-teorinya dirumuskan dari wahyu Allah
SWT. Seperti kita mafhumi bahwa agama Islam melalui alQuran dan As-Sunnah telah menyediakan etika dan perilaku
yang semestinya dalam mengurusi perbankan. Di sinilah agama
Islam mengalami objektivitas di mana etika agama menjadi ilmu
yang bermanfaat bagi seluruh manusia, baik muslim maupun non
muslim, bahkan bagi seorang yang atheis dapat memanfaatkan.
Kedepan, seperti dijelaskan M. Amin Abdullah, pola kerja
22
Ibid., hlm. 219-223.
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
145
Dikotomi Agama dan Ilmu (oleh: Syamsul Kurniawan)
keilmuan yang integralistik dengan basis moralitas keagamaan
yang humanistik dituntut untuk dapat masuk pada wilayahwilayah yang lebih luas seperti psikologi, sosiologi, antropologi,
kesehatan, teknologi, ekonomi, politik, hubungan internasional,
hukum dan peradilan, dan seterusnya.23
Manfaat dari Integrasi Agama dan Ilmu
Pentingnya integrasi agama dan ilmu ini sesungguhnya
tidak hanya sebagai respon ketertinggalan umat Islam dalam ilmu,
tapi juga merupakan respon mutakhir umat Islam terhadap sains
Barat yang sekular. Hal ini dibenarkan oleh Kuntowijoyo, yang
mana modernisasi telah memaksakan suatu kondisi terpisahnya
antara ilmu dan agama, antara ilmu yang mandiri dan ilmu yang
sekular. Maka wajar menurut Kuntowijoyo, jika pada masa ini
umat Islam banyak yang menghendaki paradigma baru yang
merupakan hasil rujuk kembali antara agama dan ilmu atau antara
wahyu dan rasio.24
Integrasi agama dan ilmu tentu merupakan hal yang
urgen. Hal ini dikarenakan kadang-kadang kita merasakan
bahwa situasi yang penuh problematik di dunia modern justru
disebabkan oleh pemikiran manusia sendiri. Di balik kemajuan
ilmu atau perkembangan sains dan teknologi pada saat ini,
sesungguhnya mempunyai potensi yang dapat menghancurkan
martabat manusia. Menurut Kuntowijoyo umat manusia memang
telah berhasil mengorganisasikan ekonomi, menata struktur
politik, serta membangun peradaban yang maju untuk dirinya
sendiri, tetapi pada saat yang sama, kita juga melihat bahwa
umat manusia telah menjadi tawanan dari hasil-hasil ciptaannya
itu. Sejak manusia memasuki zaman modern, yaitu sejak manusia
mampu mengembangkan potensi-potensi rasionalnya, mereka
memang telah membebaskan diri dari belenggu pemikiran mistis
yang irrasional dan belenggu pemikiran hukum alam yang sangat
mengikat kebebasan manusia. Tetapi ternyata di dunia modern ini
menurut Kuntowijoyo, sebagian manusia tak dapat melepaskan
diri dari jenis belenggu lain, yaitu penyembahan kepada dirinya
Lihat Ibid., hlm. 105.
Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi dan
Etika (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), hlm. 58-59.
23
24
146a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Dikotomi Agama dan Ilmu (oleh: Syamsul Kurniawan)
sendiri.25
Karena itu, integrasi agama dan ilmu menjadi sesuatu
urgen terutama ketika merespons gejala dehumanisasi seperti
diuraikan Kuntowijoyo di atas. Mengutip pendapat Moh. Haitami
Salim dan Syamsul Kurniawan:
Jika bangunan sebuah ilmu merupakan bangunan yang syarat
dengan nilai-nilai ketuhanan. Sebuah bangunan yang syarat
dengan kriteria etik, moral, dan berbagai ketentuan yang
memancar dari ajaran agama, atau penuh dengan kesadaran
ketuhanan, dengan sendirinya tidak akan menghasilkan berbagai
produk yang kontraproduktif dengan ajaran agama. Karena itu,
kekhawatiran akan terjadinya dehumanisasi atau mengubah
hakikat kemanusiaan akibat perkembangan ilmu dan teknologi
tidak akan terjadi.26
Dengan adanya integrasi agama dan ilmu ini, agama
diharapkan bisa bermakna, demikian pula sebaliknya bagi ilmu
supaya tidak kehilangan nilai-nilai ketuhanan, sehingga keduanya
dapat menjadi rahmat bagi pemeluknya, bagi umat manusia, atau
bahkan keseluruhan alam semesta.
Mengutip pendapat Bambang Sugiharto, beberapa manfaat
yang dapat dipetik dari integrasi yang terjadi antara agama dan
ilmu: Pertama, Kesadaran kritis dan sikap realistis yang dibentuk
oleh ilmu pengetahuan sangatlah berguna untuk menguliti sisisisi ilusi dari suatu agama, bukan untuk menghancurkan agama,
melainkan untuk menemukan hal-hal yang lebih esensial dari
ajaran agama. Dalam praksisnya banyak hal dalam kehidupan
beragama yang mungkin saja bersifat ilusi, sehingga membuat
sebagian pemeluk agama cenderung oversensitive dan mudah
menimbulkan konflik yang pada akhirnya justru menggerogoti
martabat agama sendiri tanpa disadari. Kedua, Kemampuan
logis dan kehati-hatian mengambil kesimpulan yang dipupuk
dalam dunia ilmiah menjadikan kita mampu menilai secara
kritis segala bentuk tafsir baru yang kini makin hiruk-pikuk dan
Ibid., hlm. 112.
Moh. Haitami Salim dan Syamsul Kurniawan, Filsafat Ilmu
(Pontianak: STAIN Pontianak Press, 2012), hlm. 112.
25
26
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
147
Dikotomi Agama dan Ilmu (oleh: Syamsul Kurniawan)
membingungkan. Ketiga, lewat temuan-temuan barunya, ilmu
dapat merangsang agama untuk senantiasa tanggap memikirkan
ulang keyakinan-keyakinannya secara baru dan dengan begitu
menghindarkan agama itu sendiri dari bahaya stagnasi. Keempat,
temuan-temuan ilmu pengetahuan dan teknologi pun dapat
memberikan peluang-peluang baru bagi agama untuk makin
mewujudkan idealisme-idealismenya secara konkret, terutama
yang menyangkut kemanusiaan umum.27
Sebaliknya menurut Bambang Sugiharto, agama juga
punya kontribusi pada ilmu, yaitu: pertama, menjaga ilmu supaya
tetap manusiawi dan selalu menyadari persoalan-persoalan konkrit
yang mesti dihadapinya. Agama bisa selalu mengingatkan bahwa
ilmu bukanlah satu-satunya jalan menuju kebenaran dan makna
terdalam kehidupan manusia. Dalam dunia manusia ada realitas
pengalaman batin yang membentuk makna dan nilai, dan itu adalah
wilayah yang tak banyak disentuh oleh ilmu pengetahuan atau
sains. Kedua, agama bisa juga selalu mengingatkan ilmu untuk
senantiasa membela nilai kehidupan dan kemanusiaan bahkan di
atas kemajuan ilmu itu sendiri. Misalnya, jika demi kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi justru harus mengorbankan manusia,
maka seyogyanya yang terjadi adalah sebaliknya. Ketiga, agama
dapat membantu ilmu memperdalam penjelajahan di wilayah
kemungkinan-kemungkinan adikodrati atau supranatural. Apalagi
jika wilayah-wilayah itu memang merupakan ujung tak terelakkan
dari aneka pencarian ilmiah yang serius saat ini. Keempat, agama
pun dapat selalu menjaga sikap mental manusia agar tidak mudah
terjerumus ke dalam mentalitas pragmatis-instrumental, yang
menganggap sesuatu dianggap bernilai sejauh jelas manfaatnya
dan bisa diperalat sesuai kepentingan.28
PENUTUP
Dikotomi antara agama dan ilmu berdampak pada
kemunduran umat Islam. Hal ini yang kemudian memotivasi para
Bambang Sugiharto, “Ilmu dan Agama dalam Kurikulum Perguruan
Tinggi”, dalam Zainal Abidin Bagir, Zainal Abidin Bagir (ed.), Integrasi Ilmu
dan ..., hlm. 45.
28
Ibid., hlm. 45-46.
27
148a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Dikotomi Agama dan Ilmu (oleh: Syamsul Kurniawan)
ilmuan dan cendekiawan muslim untuk mewacanakan kembali
tentang pentingnya pengintegrasian kembali agama dengan
ilmu. Bagi sebagian ilmuan dan cendekiawan muslim, mustahil
mengandaikan kemajuan umat muslim, tanpa memposisikan
agama secara mutualis sebagai bagian tak terpisahkan dari
perkembangan ilmu. Selanjutnya muncul istilah-istilah untuk
mendukung proyek integrasi agama dan ilmu ini seperti islamisasi
ilmu pengetahuan, ilmuisasi Islam, integrasi ilmu, integrasi dan
interkoneksi, dan lain-lain. Beberapa tokoh yang dikenal aktif
menyuarakan integrasi agama dan ilmu di antaranya: Ismail Raji
al-Faruqi, Syed Muhammad Naquib al-Attas, Fazlur Rahman,
Ziauddin Sardar, Kuntowijoyo, Azyumardi Azra, Imam Suprayogo
dan M. Amin Abdullah.
Adanya wacana integrasi agama dan ilmu di kalangan
ilmuan dan cendekiawan muslim sesungguhnya tidak hanya
sebagai respon ketertinggalan umat Islam dalam ilmu, tapi juga
merupakan respon mutakhir umat Islam terhadap sains Barat
yang sekular. Dengan adanya integrasi agama dan ilmu, agama
diharapkan bisa bermakna, demikian pula sebaliknya bagi ilmu
supaya tidak kehilangan nilai-nilai ketuhanan, sehingga keduanya
dapat menjadi rahmat bagi pemeluknya, bagi umat manusia, atau
bahkan keseluruhan alam semesta.***
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
149
Dikotomi Agama dan Ilmu (oleh: Syamsul Kurniawan)
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Munir Mulkhan, dkk., 1998. Religiusitas Iptek. Yogyakarta:
Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
dan Pustaka Pelajar.
Ali Anwar Yusuf, 2006. Islam dan Sains Modern. Bandung:
Pustaka Setia.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1989. Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Eko Juhairi Rismawan, “Pemikiran Kuntowijoyo Tentang Integrasi
Ilmu dan Agama”, dalam http://ekojuhairirismawan.
blogspot.com/2011/02/pemikiran-kunto.html
(akses
internet tanggal 8 Oktober 2013).
Endang Saifuddin Anshari, 1991. Wawasan Islam: Pokok-pokok
Pikiran tentang Islam dan Umatnya. Jakarta: Rajawali
Press.
Jasa Ungguh Muliawan, 2005. Pendidikan Islam Integratif.
Yogyakarta: Pustaka.
John M Echols dan Hassan Shadily, 1992. Kamus InggrisIndonesia. Jakarta: Gramedia Utama.
Kuntowijoyo, 2005. Islam Sebagai Ilmu. Jakarta: Teraju.
Kuntowijoyo, 2006. Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi
dan Etika. Yogyakarta: Tiara Wacana.
M. Amin Abdullah, 2006. Islamic Studies di Perguruan Tinggi:
Pendekatan Integratif-Interkonektif . Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
M. Amin Abdullah, dkk., 2007. Islamic Studies dalam Paradigma
Integrasi-Interkoneksi. Yogyakarta: Suka-Press.
M. Shaleh Putuhena, “Ke Arah Rekonstruksi Sains Islam,” dalam
Nurman Said, dkk., 2005. Sinergi Agama dan Sains.
Makassar: Alauddin Press.
Moh. Haitami Salim dan Syamsul Kurniawan, 2012. Filsafat
Ilmu. Pontianak: STAIN Pontianak Press.
150a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Dikotomi Agama dan Ilmu (oleh: Syamsul Kurniawan)
Nasruddin Razak, 1996. Dienul Islam. Bandung: Al-Maarif.
Ruhyana, “Dikotomi dan Dualisme Pendidikan di Indonesia”
dalam
http://jorjoran.wordpress.com/2011/04/04/
dikotomi-dan-dualisme-pendidikan-di-indonesia/(akses
internet 8 Oktober 2013).
Sutari Imam Barnadib, 1993. Pengantar Ilmu Pendidikan
Sistematis. Yogyakarta: Andi Offset.
Yayasan Penerjemah al-Quran, 1980. Al-Quran dan Terjemahannya.
Medinah: Qadim al-Haramain al-Syarifain.
Zainal Abidin Bagir (ed.), 2005. Integrasi Ilmu dan Agama:
Interpretasi dan Aksi. Bandung: Mizan.
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
151
Dikotomi Agama dan Ilmu (oleh: Syamsul Kurniawan)
152a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Jihad Melawan Terorisme (oleh:Abdurrohman Kasdi)
JIHAD MELAWAN TERORISME:
(Merekonstruksi Pemahaman tentang Makna
dan Implementasi Jihad dalam Islam)
Abdurrohman Kasdi
STAIN Kudus
Email: [email protected]
ABSTRAK
Terorisme kembali lagi datang mengancam bangsa Indonesia
setelah terjadinya ledakan bom di Hotel JW Marriott, Ritz
Carlton dan bom Bali beberapa tahun lalu. Dari peristiwa
peledakan ini, dapat dianalisis bahwa serangan sengaja
dilakukan di tempat-tempat umum dengan target yang jelas.
Inilah sesungguhnya tipikal aksi terorisme yang terjadi di
berbagai belahan dunia. Serangan 11 September terhadap WTC
dan gedung Pentagon di Amerika Serikat, peledakan bom Bali,
ledakan bom JW Marriott 1, peledakan bom di Hotel Marriott 2
dan Ritz Carlton memberikan bukti yang jelas bahwa terorisme
membidik sasaran di tempat keramaian. Hal ini menandakan
betapa aksi kekerasan yang terjadi sudah mulai mengarah pada
aksi yang menimbulkan dampak massif dengan dilakukan oleh
para pelaku yang terorganisir. Fenomena inilah yang mendorong
penulis untuk membahas teroris, dalam perspektif normatif
dan mengkomparasikan dengan konsep jihad. Selama ini para
orientalis menganggap bahwa banyaknya terorisme yang
terjadi karena seorang Muslim mempunyai konsep jihad. Jihad
yang sebenarnya dalam konteks sekarang tidak mesti dilakukan
dalam bentuk perang. Islam menolak semua pembenaran untuk
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
153
Jihad Melawan Terorisme (oleh:Abdurrohman Kasdi)
perang duniawi, seperti kolonialisme, rasisme, ketamakan,
dan ekspansi ekonomi. Di bawah pemerintahan Islam semua
orang akan bekerja bersama-sama sebagai satu keluarga besar,
menjadikan semua makhluk sebagai satu kesatuan tanpa tujuantujuan yang saling bertentangan.
Kata Kunci: Jihad, Terorisme, Rekonstruksi, Impelementasi
Pendahuluan
Penangkapan Abu Tholut alias Mustopa alias Pranata
alias Imron Baihaki di Kudus pada hari Jumat (10/12), tahun lalu
sekitar pukul 8:30 pagi menandakan bahwa ancaman terorisme
masih menghantui kita. Menurut United States Code, Section
2656 f (d), istilah “terorisme” berarti aksi kekerasan bermotif
politik yang direncanakan sebelumnya dan dilakukan terhadap
sasaran nontempur (noncombatant) oleh agen-agen rahasia atau
sub nasional, yang biasanya dimaksudkan untuk mempengaruhi
kalangan tertentu. Sedangkan E.V. Walter dalam Terror and
Resistance: A Study of Political Violence with Case Studies of
Some Primitive African Communities, memandang terorisme
sebagai proses teror mempunyai tiga unsur: pertama, tindakan
atau ancaman kekerasan. Kedua, reaksi emosional terhadap
ketakutan yang amat sangat dari pihak korban atau calon korban.
Dan ketiga, dampak sosial yang mengikuti ancaman dan rasa
ketakutan yang muncul kemudian.
Jika dilihat secara seksama, ada perubahan mendasar dari
aksi-aksi kekerasan yang terjadi di Indonesia, yang dikaitkan
dengan terorisme. Padahal, aksi teroris bertentangan dengan
nilai-nilai kemanusiaan universal dan nilai-nilai esensial semua
agama. Jika dahulu, aksi kekerasan lebih berupa pada persoalan
konflik antaragama, gerakan protes, dan aksi sweeping, maka
sejak tahun 2005 aksi kekerasan sudah mengarah pada kekerasan
sporadis, yang terencana dan terorganisir secara rapi, yang
melibatkan korban sipil yang tidak ada kaitannya dengan mereka.
Hal ini dapat kita lihat dari dua peristiwa penting, yakni tragedi
bom Bali dan tragedi bom di Hotel Marriot. Kedua peledakan
ini seakan-seakan memberikan pesan bahwa eksistensi gerakan
154a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Jihad Melawan Terorisme (oleh:Abdurrohman Kasdi)
mereka masih kuat dan mampu melakukan perlawanan meskipun
aksi penangkapan terus-menerus dilakukan pemerintah.
Definisi Jihad
Islam menolak semua pembenaran untuk perang duniawi,
seperti kolonialisme, rasisme, ketamakan, dan ekspansi ekonomi.
Di bawah pemerintahan Islam semua orang akan bekerja
bersama-sama sebagai satu keluarga besar, menjadikan semua
makhluk sebagai satu kesatuan tanpa tujuan-tujuan yang saling
bertentangan. Satu-satunya perang yang sah dalam Islam adalah
perang yang dilakukan untuk membela kebenaran dan keadilan.
Perang yang dimaksud adalah jihad yang berusaha menegakkan
sistem dan tatanan Islam, dengan mengukuhkan peradabannya di
bumi.1
Secara etimologis, jihad mempunyai makna berjuang
untuk mencapai tujuan yang terpuji. Dalam konteks Islam, kata
jihad memuat banyak makna. Kata ini bisa berarti perjuangan
melawan kecenderungan jahat atau pengerahan daya upaya demi
menegakkan Islam dan umat. Misalnya, mencoba mengimankan
orang yang ingkar (kafir atau tidak beriman) dan bekerja keras
memperbaiki moral masyarakat Islam. Dalam kitab-kitab fiqih
Islam, kata jihad berarti perjuangan bersenjata melawan orang
kafir. Kadang-kadang jihad dengan pedang disebut ”jihad kecil”,
sebagai lawan dari bentuk damainya, yang dinamai ”jihad
besar”.2
Menurut Hasan al-Banna, jihad mempunyai beberapa
makna, di antaranya: Pertama, adalah amar ma’ruf nahi munkar,
memberikan nasehat kepada para pemimpin dan segenap umat
Islam menuju jalan Allah SWT., Rasul-Nya dan kitab-Nya. Tidak
ada suatu kaum yang meninggalkan aktivitas saling menasehati,
kecuali kaum itu akan menjadi hina; tidak ada suatu kaum yang
meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar, kecuali kaum itu akan
direndahkan. Kedua, menyisihkan sebagian waktu, sebagian
harta, dan sebagian kepentingan pribadi untuk kebaikan Islam
Sayyid Quthb, As-Salâm al-‘Alami wa al-Islâm, (Dâr asy-Syurûq,
Kairo, 1974), hlm. 23-24.
2
John L. Esposito, Dunia Islam Modern, jilid II, (Mizan, Bandung,
2001), hlm. 63.
1
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
155
Jihad Melawan Terorisme (oleh:Abdurrohman Kasdi)
dan putra-putra kaum Muslimin. Jika mempunyai posisi sebagai
pemimpin, ia berinfak untuk memenuhi kebutuhan anak buahnya.
Ketiga, menjadi pejuang Allah, mempersembahkan jiwa dan
kekayaan hanya untuk-Nya hingga tidak ada yang tersisa sama
sekali. Ketika keagungan Islam diganggu, keotentikannya
dikoyak, kemuliaannya dinodai, lalu terompet kebangkitan
ditiup untuk perjuangan mengembalikan kejayaan Islam, maka ia
menjadi orang pertama yang memenuhi panggilan itu dan menjadi
orang pertama yang maju membela Islam. Keempat, menentang
orang yang mengingkari agamanya, memutus hubungan dengan
orang yang memusuhi Allah dan rasul-Nya. Kelima, berjuang
mewujudkan neraca keadilan di tengah masyarakat dan
memperbaiki urusan mereka, menolong orang yang dizhalimi dan
membasmi kezhaliman, siapa pun pelakunya.3
Menurut al-Mawdudi, makna jihad adalah bahwa di dalam
diri umat Islam, terdapat semangat (ghirah) terhadap keimanan,
cinta kepada agama, dan nasehat yang tulus untuk saudara-saudara
Muslim. Jihad fî Sabîlillah dalam pengertiannya yang khusus,
yaitu perjuangan yang dilakukan oleh kaum muslimin di hadapan
musuh-musuh Islam. Tidak ada yang memicu perjuangan tersebut,
selain mencari keridlaan Tuhan.4 Dengan demikian jihad adalah
kelanjutan dari ”politik Tuhan”. Jihad adalah perjuangan politik
revolusioner yang dirancang untuk melucuti musuh-musuh Islam,
sehingga memungkinkan kaum Muslimin menerapkan ketentuanketentuan syari’at yang selama ini diabaikan.
Penegakan hegemoni Islam melalui jihad adalah
membebaskan individu-individu dari dominasi politik nonMuslim. Begitu kekuasaan politik berada di tangan elit Muslim dan
syariat Islam ditegakkan, maka seluruh warga negara dibebaskan;
apakah memeluk Islam atau tetap dalam kepercayaannya yang
non-muslim, asalkan mereka berdamai dan tidak menyerang
Taufiq Yusuf Al-Wa’iy, 2003, Al-Fikr as-Siyâsi, al-Mu‘âshir ‘Inda
Ikhwân al-Muslimîn; Dirâsah Tahlîliyah, Maidaniyah, Muwatsaqah (Pemikiran
Politik Kontemporer Ikhwanul Muslimin; Studi Analitis, Observatif, dan
Dokumentatif), Era Intermedia, Solo. 24-26.
4
Muhammad Abdullah Al-Khatib dan Muhammad Abdul Halim
Hamid, Nadlarât fî Risâlah at-Ta‘lîm, (Konsep pemikiran dan gerakan Ikhwan
(terj.) (Bandung: Asy-Syâmil Press, 2001), hlm. 148.
3
156a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Jihad Melawan Terorisme (oleh:Abdurrohman Kasdi)
Islam.
Berkaitan dengan jihad ini, Abdullah Ibnu al-Mubarak
melantunkan syairnya yang indah:
Wahai ahli ibadah di Haramain, andai kamu melihat kami
Kamu tahu, bahwa kamu bermain-main dengan ibadahmu
Bila orang membasahi pipi dengan cucuran air matanya
Maka leher-leher kami telah berlumur dengan darah kami
Bila kuda-kuda orang lelah dalam (membela) kebatilan
Maka kuda kami pun kelelahan dalam peperangan
Buat kalian adalah wanginya minyak, tetapi bagi kami
Wanginya derap kuda dan debu suci yang beterbangan.5
Dengan demikian, jelaslah bahwa pengertian jihad
secara khusus adalah berjuang di jalan Allah Swt., sedangkan
pengertiannya secara umum, seluruh kehidupan manusia dari awal
sampai akhir merupakan jihad. Jihad yang dilakukan oleh kaum
Muslim mempunyai tujuan yang jelas, memotivasi semangat
kesalehan dan keagamaan, untuk membuktikan kebenaran dan
kejayaan Islam.
Di sini jihad secara tegas dimaknai sebagai bellum
justum dan sekaligus bellum pium—berjuang untuk keadilan
dan kesalehan. Dengan makna ini, menurut teori hukum Islam,
dunia dibagi menjadi dua: dâr al-Islâm (wilayah Islam), yang
terdiri dari wilayah-wilayah Islam di bawah kedaulatan Islam,
dan selebihnya adalah dâr al-harb (wilayah perang). Wilayah
pertama mencakup komunitas Muslim dan non-Muslim yang
menerima, serta bersekutu dengan kekuasaan Islam berdasarkan
ketentuan-ketentuan yang digariskan dalam syari’ah atau fiqih.
Sedangkan wilayah kedua, yang berada di luar wilayah Islam,
tidak atau kurang mempunyai kompetisi legal untuk masuk ke
dalam hubungan dengan Islam.
Sebagian ahli fiqih, terutama dari pengikut madzhab
Syafi’i mengatakan bahwa pembagian dunia menjadi dua wilayah
Ibid., hlm. 157-158.
5
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
157
Jihad Melawan Terorisme (oleh:Abdurrohman Kasdi)
itu tidak memadai. Mereka menambahkan wilayah ketiga yang
disebut dâr al-shulh (wilayah damai). Melalui kategori ketiga ini
pengakuan penuh diberikan kepada masyarakat agama dan etnis
politik non-Muslim, jika mereka mengadakan perjanjian nonagresi dengan kekuasaan Islam. Namun pengikut madzhab Hanafi
tidak mengakui pembagian ketiga ini, dengan alasan bahwa
penduduk wilayah non-Muslim yang mengadakan perdamaian
dan membayar jizyah kepada kekuasaan Islam menjadi bagian
integral dari wilayah Islam dan karena itu berhak mendapat
perlindungan, jika tidak demikian mereka masuk dalam kategori
dâr al-harb.
Secara teoritis, dâr al-Islâm berada dalam keadaan
”pertentangan nilai” secara terus-menerus dengan dâr al-harb.
Tetapi perlu ditegaskan, ”pertentangan” dalam kaitan misi
universal Islam itu tidak harus selalu melibatkan jihad dalam
pengertian perang, sebab menyebarkan Islam dapat pula dicapai
dengan cara damai. Bagaimanapun, perang tentu saja tetap
potensial dalam dinamika hubungan antara kedua wilayah,
terutama jika mempertimbangkan doktrin Islam tentang
keutamaan menegakkan kalimat Allah di muka bumi.
Untuk menguatkan eksistensi jihad sebagai sarana
memperjuangkan syari’at Tuhan, sebagian kalangan memakai
beberapa dalil sebagai penopangnya, di antaranya:
1. Al-Qur’an sering menyebut jihad melawan orang kafir, di
antaranya firman Allah, ”Telah diizinkan berperang bagi
orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka
telah dianiaya, dan sesungguhnya Allah benar-benar Maha
Kuasa untuk menolong mereka itu, (yaitu) orang-orang
yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa
alasan yang benar kecuali karena mereka berkata: ”Tuhan
kami adalah Allah.”6
Ayat ini diturunkan tak lama setelah hijrah, yang menurut
para mufassir (ahli tafsir) dianggap sebagai ayat pertama
tentang melawan orang tak beriman.
2. Al-Qur’an telah menegaskan keutamaan jihad ini, dalam
firman Allah Swt., ”Tidaklah sama antara mukmin yang
6(
158a
QS. Al-Hajj {22}: 39-40)
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Jihad Melawan Terorisme (oleh:Abdurrohman Kasdi)
duduk-duduk (tidak turut berjihad) yang tidak mempunyai
uzur, dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah
dengan harta dan jiwa mereka. Allah melebihkan orangorang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orangorang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing
mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan
Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orangorang yang duduk dengan pahala yang besar, (yaitu)
beberapa derajat dari-Nya, ampunan serta rahmat. Dan
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”7
3. Allah Swt. berfirman, ”Tidaklah sepatutnya bagi penduduk
Madinah dan orang-orang Arab Badui yang berdiam di
sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (pergi
berjihad) dan tidak patut (pula) bagi mereka lebih mencintai
diri mereka daripada mencintai Rasulullah. Yang demikian
itu karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan
kelaparan pada jalan Allah, dan tidak (pula) menginjak
suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang
kafir, dan tidak menimpakan bencana kepada musuh,
melainkan dituliskan bagi mereka dengan yang demikian
itu suatu amal shaleh. Sesungguhnya Allah tidak menyianyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik, dan
mereka tiada menafkahkan suatu nafkah yang kecil dan
tidak (pula) yang besar dan tidak melintasi suatu lembah,
melainkan dituliskan bagi mereka (amal shaleh pula). Allah
akan memberi balasan kepada mereka (dengan balasan)
yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”8
Masih banyak ayat lain yang menyuruh seorang Muslim
ikut ambil bagian dalam jihad ”dengan harta dan jiwanya
(bi amwâlihim wa anfusihim). Ayat-ayat lainnya yang
berkaitan dengan masalah praktis, seperti pembebasan dari
wajib militer, berjihad pada bulan-bulan suci hukumnya
haram dan dalam kawasan suci Mekkah hukumnya juga
haram, nasib para tawanan perang, meminta perlindungan,
dan gencatan senjata atau perjanjian damai.
7
8(
(QS. An-Nisâ {4}: 95-97)
QS. At-Taubah {9}: 120-121)
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
159
Jihad Melawan Terorisme (oleh:Abdurrohman Kasdi)
Ada dua hal yang dapat ditangkap dari makna yang
terkandung dalam ayat-ayat tentang jihad. Di satu sisi,
Al-Qur’an memperbolehkan memerangi orang kafir hanya
sebagai usaha mempertahankan dan membela diri terhadap
agresi, dan di sisi lain jihad boleh dilakukan dalam segala
keadaan. Untuk mendukung pandangan pertama, dapat
disitir sejumlah ayat yang secara tegas membenarkan
perang karena agresi atau pengkhianatan (melanggar
perjanjian damai atau gencatan senjata) di pihak orang kafir,
diantaranya: ”Dan perangilah di jalan Allah orang-orang
yang memerangi kamu, tetapi janganlah kamu melampaui
batas karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orangorang yang melampaui batas.”9 Dan ”Tetapi, jika mereka
merusakkan sumpah (janji)-nya sesudah mereka berjanji,
dan mereka mencerca agamamu, perangilah para pemimpin
orang-orang kafir itu.”10 Ayat-ayat ini memerintahkan
kepada kaum Muslim untuk memerangi orang kafir tanpa
syarat.
Pandangan kedua, syarat umum bahwa perang hanya
diperkenankan untuk membela diri dapat dipahami dari
ayat berikut, ”Perangilah orang yang tidak beriman
kepada Allah dan hari kemudian, serta m,ereka tidak
mengharamkan apa-apa yang diharamkan oleh Allah dan
Rasulnya –dan tidak beragama dengan agama yang benar,
(yaitu orang) yang telah diberikan Al-Kitab— hingga
membayar jidzah dengan patuh, sedangkan mereka dalam
keadaan tunduk.”11
4. Dalam Shahih Bukhari dan Muslim terdapat sebuah hadits
yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudri, bahwasanya
Rasulullah Saw. bersabda, ”Sesungguhnya, di dalam
surga terdapat seratus derajat yang disediakan untuk para
mujahidin di jalan Allah; di mana jarak antara derajat satu
dengan lainnya itu seperti jarak antara langit dan bumi.”12
5. Dalam hadits shahih disebutkan bahwa Muadz ra. berjalan
QS. Al-Baqarah {2}: 190)
(QS. Al-Taubah {9}: 12)
11(
QS. Al-Taubah {9}: 29)
12
(HR. Al-Bukhari)
9(
10
160a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Jihad Melawan Terorisme (oleh:Abdurrohman Kasdi)
bersama Rasulullah Saw., kemudian beliau bersabda
kepadanya, ”Wahai Muadz, bila kamu mau, maka
kuceritakan kepadamu pokok bagi urusan (agama) ini serta
puncaknya; pokok urusan (agama) ini adalah kalimat ”Tidak
ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Allah saja;
tiada sekutu baginya, dan bahwa Muhammad Saw. adalah
hamba dan Rasul-Nya. Tiang penyangga urusan (agama) ini
adalah penegakan shalat dan penunaian zakat. Sedangkan
puncak dari urusan (agama) ini adalah jihad fî sabîlillah;
Aku diperintahkan untuk memerangi manusia, sehingga
mereka menegakkan shalat, menunaikan zakat, dan bersaksi
bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah melainkan
Allah saja; tiada sekutu bagi-Nya, dan (bersaksi) bahwa
Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya. Apabila mereka
melakukan semua itu, maka mereka telah berpegang teguh
(dengan agama Islam) serta terjagalah darah dan harta
mereka kecuali dengan haknya, sedangkan perhitungan
(hisab) mereka diserahkan kepada Allah Swt. Demi Dzat
yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidaklah
pucat wajah seseorang dan berdebu kedua kakinya dalam
amal untuk mencari derajat (yang tinggi) di surga setelah
(melakukan) shalat wajib, seperti jihad fî sabîlillah. Tiada
yang memberatkan timbangan (amal kebaikan) seorang
hamba, (melebihi) seseorang yang mati di jalan Allah, atau
membawa beban (perbekalan) di jalan Allah.”13
Jihad sebagai Doktrin dan Gerakan
Doktrin hukum dan konsep tentang jihad merupakan hasil
perdebatan dan diskusi panjang yang sudah berlangsung sejak
Nabi wafat. Melalui perdebatan dan diskusi inilah doktrin itu
dikembangkan. Periode perumusan doktrin jihad secara bertahap
ini berlangsung bersamaan dengan periode penaklukan besarbesaran oleh kaum Muslim. Para penakluk Muslim umumnya
terbuka terhadap budaya-budaya rakyat yang mereka taklukkan.
Doktrin jihad mungkin telah dipengaruhi oleh budaya Kerajaan
Bizantium, tempat gagasan tentang perang agama dan gagasangagasan yang terkait dengannya masih banyak yang hidup.
13
(HR. Ahmad)
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
161
Jihad Melawan Terorisme (oleh:Abdurrohman Kasdi)
Meskipun demikian, amatlah sulit mengidentifikasi pengaruh ini.
Jika memang ada kemiripan, itu tidak mesti merupakan hasil dari
transformasi, tetapi mungkin akibat dari perkembangan yang
terjadi secara paralel.
Jihad terdiri dari beberapa tahapan dan rangkaian;
setiap rangkaian mengantarkan pada rangkaian berikutnya.
Tahapan ini dinarasikan oleh para pemikir Muslim dalam tiga
strategi: Strategi pertama, orang dipersilahkan masuk Islam,
agama terakhir, jalan kebenaran, hukum yang melaksanakan
keadilan bagi semua orang. Strategi kedua, jika mereka menolak,
mereka diminta membayar jidzah (pajak perlindungan) sebagai
tanda dihentikannya permusuhan, dan pengakuan mereka akan
kebebasan kaum Muslim untuk menyebarkan keyakinannya. Jika
mereka masih menolak, maka strategi ketiga, satu-satunya pilihan
terakhir yang ada hanyalah perang, karena musuh-musuh Islam
akan melawan kehendak Tuhan dan mencegah umat Islam untuk
berdakwah. Jadi perang bukan satu-satunya jalan dalam jihad.
Perang melawan orang kafir, tidak boleh dilakukan
tanpa sebelumnya menyeru mereka kepada Islam, sebagaimana
disebutkan dalam hadits ketika Nabi mengangkat seorang
komandan pasukan atau ekspedisi perang, beliau bersabda, ”…
Sekiranya engkau bertemu dengan musuh-musuhmu ajaklah
mereka kepada tiga hal. Terimalah apa yang mereka sepakati
dan janganlah memerangi mereka. Ajaklah mereka masuk Islam.
Apabila mereka setuju, terimalah pengakuan mereka. Dalam hal
ini, ajaklah mereka berpindah dari wilayah mereka ke wilayah
imigran (madinah). Apabila mereka menolak, biarkan mereka
mengetahui bahwa mereka adalah seperti orang badui Muslim
yang hanya turut ambil bagian dalam rampasan perang ketika
mereka berperang bersama kaum Muslim (lainnya). Apabila
mereka menolak untuk memeluk Islam, mintalah mereka membayar
jidzah (pajak jiwa). Apabila mereka setuju, terimalah ketundukan
mereka. Akan tetapi, apabila mereka menolak, mohonlah
pertolongan dari Allah dan perangilah mereka”.14
Hadits ini merangkum dengan baik tujuan memerangi
orang kafir: konversi (memeluk Islam) atau tunduk di bawah
14(
162a
HR. Muslim)
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Jihad Melawan Terorisme (oleh:Abdurrohman Kasdi)
bendera dan undang-undang Islam. Dalam kasus yang terakhir,
para musuh berhak bertahan pada agamanya dan mempraktikkan
agamanya sebagai imbalan bagi pembayaran pajak jiwa. Dua
alternatif pertama merupakan tawaran yang mengarah pada
kedamaian (pilihan antara masuk Islam atau membayar jidzah),
namun jika dua alternatif ini tidak bisa dikompromikan, maka
tidak ada larangan untuk memerangi mereka.
Doktrin jihad, seperti yang dijelaskan dalam karya-karya
hukum (fiqih) Islam, berasal dan diturunkan dari wacana AlQur’an serta contoh Nabi dan Khulafaurrasyidîn sebagaimana
yang termaktub dalam sejarah Islam. Inti doktrin tersebut adalah
menciptakan suatu negara Islam tunggal, yang meliputi dan
memerintah segenap umat. Umat berkewajiban memperluas
wilayah negara itu untuk mengajak sebanyak mungkin manusia
berada di bawah kekuasaannya. Tujuan akhirnya adalah membawa
seluruh manusia di permukaan bumi ini ke dalam pelukan Islam.
Islam sendiri dengan sangat tegas menyatakan bahwa tidak
ada paksaan dalam beragama.15 Tetapi, menurut Sayyid Quthb,
paksaan biasanya terjadi ”terhadap mereka yang menentang
agama dengan kekerasan.”16 Dalam hal ini Islam telah meletakkan
tanggung jawab tertentu pada kaum Muslim, meliputi: (1) Kaum
Muslim wajib menjaga kepercayaannya, agar mereka tidak
menyimpang dari agama, dengan memperkenankan penggunaan
kekuatan untuk memukul mundur kekerasan. (2) Islam harus
dijamin kebebasannya dalam melakukan dakwah, kalau tidak,
maka menjadi kewajiban bagi kaum Muslim untuk melenyapkan
kekuasaan penindas mana saja di bumi yang merintangi dakwah
Islam. (3) Kaum Muslim harus sanggup mengukuhkan kedaulatan
Tuhan di bumi, dan menyingkirkan mereka yang merebut
kedaulatan-Nya dengan membuat undang-undang ala manusia.
(4) Kaum Muslim harus bebas menegakkan keadilan tertinggi,
sehingga semua orang dapat menikmati kebaikannya. Ini berarti
kaum Muslim harus melawan penindasan dan ketidakadilan di
mana saja berada, baik penindasan individu terhadap diri sendiri,
penindasan kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas,
(QS. Al-Baqarah {2}: 256)
Sayyid Quthb, As-Salâm al-‘Alami wa al-Islâm, hlm. 22.
15
16
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
163
Jihad Melawan Terorisme (oleh:Abdurrohman Kasdi)
maupun penindasan pemerintah terhadap rakyatnya.
Ada beberapa fungsi terpenting dari doktrin jihad,
di antaranya: pertama, memobilisasi dan memotifasi kaum
Muslim untuk mengambil bagian dalam perang melawan orang
kafir, karena hal itu dinilai sebagai kewajiban religius. Motifasi
ini di dorong oleh gagasan bahwa mereka yang gugur dalam
peperangan (yang disebut syahid) akan langsung masuk surga.
Ketika akan berlangsung perang melawan orang kafir, teks-teks
religius diedarkan, penuh dengan ayat-ayat Al-Qur’an dan haditshadits yang memuji keutamaan dan kebaikan berjihad, serta
menggambarkan dengan jelas balasan yang menanti di akhirat
bagi yang meninggal dalam peperangan sebagai syahid.
Kedua, doktrin jihad memberikan sehimpunan ketentuan
yang mengatur hubungan kaum Muslim dengan kaum non-Muslim,
dan mengatur perilaku selama peperangan berlangsung. Para mufti
bisa menetapkan ketentuan-ketentuan ini dan mengeluarkan fatwa
yang menyatakan bahwa kebijakan luar negeri seorang penguasa
sudah sesuai atau belum dengan ketentuan Islam. Aturan-aturan
ini dapat ditetapkan agar sesuai dengan keadaan. Jika perang
dilakukan sebagai usaha membela diri dari agresi, perang tersebut
mempunyai justifikasi. Gagasan-gagasan tentang kesatriaan
dalam perang melarang prajurit membunuh yang bukan prajurit;
seperti anak-anak, wanita dan orang tua.
Ketiga, doktrin jihad menurut John L.Posito memberikan
legitimasi bagi penguasa dalam memerintah wilayah-wilayah
dunia Muslim yang berbeda.17 Ketika persatuan dan kesatuan
politik umat yang pernah terjalin dalam sistem kekhalifahan
lenyap dan tidak pernah dapat dipulihkan kembali, maka penguasa
bertanggung jawab untuk merangkul semua eksponen yang ada
dalam negaranya. Salah satu cara untuk memperoleh legitimasi
yang lebih besar adalah melakukan jihad untuk menyatukan umat.
Permasalahannya adalah ketika dua negara Muslim berperang
satu sama lainnya—suatu kemungkinan yang bisa terjadi setelah
hancurnya sistem kekhalifahan dan persatuan politik Islam—
maka harus ada solusinya. Dalam situasi demikian, biasanya
para mufti mencari dalih atau sebab untuk menyatakan pihak
John L. Esposito, Dunia Islam Modern, hlm. 183.
17
164a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Jihad Melawan Terorisme (oleh:Abdurrohman Kasdi)
lawan sebagai pembangkang atau zindik, sehingga memberikan
pembenaran untuk memerangi mereka.
Slogan jihad tidak hanya digunakan oleh penguasa untuk
meredam gejolak para pemberontak, tetapi juga digunakan
oleh kelompok-kelompok radikal muslimin untuk melancarkan
aksinya. Ketika mereka berjuang melawan penjajah dan dominasi
orang asing di Suez, Ismailiah, Kairo dan beberapa tempat
lainnya, mereka menerapkan sistem jihad ini. Demikian halnya
dalam memperjuangkan pemurnian Islam dan pendirian suatu
negara Islam, mereka juga memaklumkan jihad terhadap lawanlawan mereka, baik yang Muslim maupun non-Muslim.
Kelompok ini, menganjurkan penggunaan kekerasan
untuk menjatuhkan pemerintahan yang mapan. Namun,
mereka dihadapkan pada problem doktrin serius ketika mereka
mempropagandakan revolusi bersenjata terhadap para penguasa
Muslim, karena hukum Islam hanya membolehkan pemberontakan
dalam situasi yang sangat khusus, salah satunya adalah apabila
seorang penguasa menanggalkan kepercayaan Islamnya; sebagai
seorang yang murtad, penguasa itu layak untuk diperangi.
Dengan demikian, eskalasi politik dan pemikiran
kontemporer tentang jihad menawarkan spektrum pandangan yang
lebih luas. Interpretasi yang radikal dalam memaknai jihad sebagai
perang, tidaklah mutlak identik dengan organisasi Islam seperti
Ikhwanul Muslimin. Sebab sebagian mereka tidak memaknai jihad
secara taken for granted. Dalam perkembangannya, Ikhwanul
Muslimin sendiri terbagi dalam dua orientasi: pertama, kelompok
radikal fundamentalistik yang menarik pelajaran berharga dari
kekerasan dan pembunuhan yang dilakukan oleh pemerintah
terhadap aktivis Ikhwanul Muslimin era 40-an. Menurut mereka,
hanya dengan sikap menentang terhadap pemerintah yang
berkuasa, mereka akan berhasil. Mereka inilah yang cenderung
memaknai jihad sebagai perang dan penggunaan cara-cara radikal
dalam melawan pemerintah.
Pandangan kelompok ini terinspirasi oleh ideolog Ikhwan,
seperti Sayyid Quthb. Selain pernyataan-pernyataan yang
disampaikan oleh Sayyid Quthb, pernyataan paling fasih dan
canggih dari kelompok ini disampaikan oleh Abd al-Salam Faraj
yang dimuat dalam risalahnya berjudul: Al-Farîdah Al-Ghâibah.
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
165
Jihad Melawan Terorisme (oleh:Abdurrohman Kasdi)
Penulis buku ini meminjam fatwa yang dilontarkan oleh Ibnu
Taimiyah (1263-1328), ketika dia dimintai pendapat berkenaan
dengan legitimasi kekuasaan mongol di Timur Tengah. Dasar
pemikiran Ibnu Taimiyah adalah fakta bahwa para penguasa
mongol memberlakukan hukum mereka sebagai kafir, sekalipun
mereka mengaku beriman.
Menurut Faraj, situasi yang digambarkan oleh Ibnu
Taimiyah tadi mirip dengan situasi Mesir, karena hukum Mesir–
kecuali hukum keluarga dan hukum waris—didasarkan atas
aturan perundangan yang berasal dari gagasan Barat. Kendatipun
ada tuntutan dari berbagai kelompok Islam, pemerintah selalu
menolak untuk memberlakukan syari’at Islam. Sehingga, Faraj
menyimpulkan pemerintah seperti itu tidak bisa dianggap sebagai
pemerintah Islam dan harus dilawan.
Selain kaum radikal, yang setia pada bentuk penafsiran
yang dikemukakan dalam kitab-kitab klasik tentang jihad,
terdapat kelompok kedua, kelompok yang berupaya untuk
menampilkan wajah yang lebih moderat terhadap kelompok
lain dan pemerintah. Yang menjadi simbol tren kelompok ini
adalah diangkatnya Hasan al-Hudaiby pada 1951, seorang hakim
Mesir yang terkenal sikap moderatnya dalam politik, untuk
menggantikan Imam Hasan al-Banna. Kelompok ini terinspirasi
oleh sikap moderat yang ditampilkan oleh Muhammad Abduh
(1849-1905) dan Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935) yang
berpendapat bahwa hidup berdampingan secara damai antara
wilayah Islam dan non-Islam merupakan kondisi normal dan
bahwa jihad dengan peperangan tidak diperkenankan, kecuali
untuk mempertahankan diri. Pembuktian terhadap kebenaran dan
eksistensi Islam, bagi kaum moderat Ikhwan tidak mesti dicapai
hanya dengan cara-cara militer dan kekerasan, tetapi dapat juga
dengan cara-cara damai.
Jika merujuk pada kelompok kedua ini, sangat wajar bila
beberapa pemikir Ikhwan menolak pemahaman Barat yang telah
melebih-lebihkan dan mendistorsi makna jihad. Mereka juga
menolak tuduhan Barat yang mengatakan bahwa kata jihad sering
diartikan umat Islam dengan kekejaman dan pertumpahan darah.
Islam menurut Barat disebarkan dengan pedang, dan syari’at
Islam adalah syari’at yang tidak bersahabat. Seorang mujahid,
166a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Jihad Melawan Terorisme (oleh:Abdurrohman Kasdi)
bagi Barat digambarkan sebagai gerombolan-gerombolan
buas, manusia liar yang selalu menghunus pedangnya, sorot
matanya menampakkan kebencian, seluruh pikirannya terfokus
pada pembunuhan dan perampasan. Setiap melihat orang kafir
langsung ingin menyerangnya dan memegang lehernya, sambil
memberikan pilihan: masuk Islam, membayar jidzah, atau
diperangi. Padahal, menurut mereka tidak satu pun peristiwa
dalam sejarah Islam yang mendukung dan menguatkan pendapat
Barat. Sesungguhnya, sejarah sampai hari ini memberikan
kesaksian sebaliknya; Barat selama berabad-abad, dari generasi
ke generasi, berperang dan menjajah demi memenuhi keinginan
mereka, memuaskan ketamakan mereka yang tak terpuaskan.
Kaum Muslim di mana pun mereka berada selalu menjadi korban
pengkhianatan, penindasan, intimidasi dan penyiksaan.
Melawan Dominasi Barat
Setelah berakhirnya Perang Dingin, yang dipicu oleh
bubarnya Uni Soviet pada tahun 1991, dunia menyaksikan
pergeseran struktur politik global. Selama lebih dari 50 tahun,
dunia terbelah dalam struktur bipolar dengan Amerika Serikat dan
Uni Soviet berada pada dua kutub yang berbeda secara diametral.
Bubarnya Uni Soviet kemudian menyisakan sebuah kutub, yakni
Amerika Serikat menjadi kekuatan dominan. Sejak saat itu, para
pemikir Barat, berusaha keras mendefinisikan lingkup global
yang baru tersebut dan bagaimana menempatkan Amerika Serikat
sebagai sebuah kekuatan yang hegemonik.
Samuel P. Huntington mempunyai analisa menarik tentang
hal ini. Walaupun tulisan awalnya mengenai the clash of civilization
di jurnal Foreign Affair tahun 1993 dihujani kritik tajam, namun
Huntington mengelaborasi lebih jauh persoalan dominasi dan
hegemoni Amerika Serikat. Huntington memperingatkan Amerika
Serikat terhadap munculnya peradaban lain (the others), peradaban
Timur dan peradaban lainnya. Dalam tulisannya yang berjudul The
Lonely Superpower di Foreign Affairs (1999), ia juga menyatakan
bahwa walaupun Amerika Serikat sekarang menjadi satu-satunya
negara super power, namun tidak berarti dunia saat ini berstruktur
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
167
Jihad Melawan Terorisme (oleh:Abdurrohman Kasdi)
unipolar, seperti yang dianggap oleh banyak pihak.
Para ahli percaya, terorisme merupakan suatu bentuk
serangan balik (blowback) atas hegemoni Amerika Serikat.
Terorisme, menurut Profesor Johnson, merupakan harga dan
konsekwensi yang harus dibayar oleh ”American Empire.”
Fakta sejarah membuktikan adanya hubungan yang kuat antara
keterlibatan Washington dalam masalah internasional dengan
peningkatan serangan teroris terhadap Amerika. Serangan
teroris, munculnya negara pembangkang (rogue state) semacam
Afghanistan dan Korea Utara atau maraknya perdagangan senjata
ilegal, merupakan serangan balik terhadap operasi militer dan
kebijakan intervensi Amerika Serikat di negara-negara lain.
Embargo Amerika Serikat terhadap Irak, Afghanistan,
Libya dan negara-negara lainnya atau dukungan Washington
kepada Israel yang berlebihan membuat Amerika Serikat jadi
sasaran utama aksi terorisme. Sejak Perang Teluk sampai sekarang,
Amerika Serikat mensponsori embargo Irak yang mengakibatkan
tewasnya setengah juta lebih penduduk sipil Irak karena ketiadaan
obat, makanan dan kebutuhan dasar lainnya. Sandy Berger, Ketua
Dewan Keamanan Nasional Amerika Serikat bahkan mengatakan
bahwa blokade ekonomi itu telah menimbulkan kesengsaraan
yang terhebat sepanjang sejarah dunia.
Penderitaan dan rasa ketidakadilan yang sengaja ditebarkan
oleh Amerika Serikat telah membuat orang-orang Irak dan negara
lain yang survive membenci Amerika Serikat sampai ke ubunubun. Pada saat yang sama, kebijakan Amerika Serikat di Timur
tengah dan pemihakannya terhadap Israel, menyulut kemarahan
yang luar biasa terhadap Amerika Serikat.
Konsekwensinya, terorisme adalah senjata ampuh dari
pihak-pihak yang tidak mempunyai kekuatan. Orang bilang
”Terrorism is the power of the powerless.” Namun, pasti ada aksi
berantai (action-reaction chains) jika teror dilakukan. Hal ini sudah
merupakan hukum besi-teror, tidak ada teror yang dapat berjalan
tanpa melahirkan teror balasan. Buktinya, pengeboman Kedubes
Amerika Serikat di Nairobi dan Dar Es-Salam pada 7 Agustus
1998, melahirkan serangan balasan Amerika Serikat dengan
menembakkan lebih dari 80 rudal ke pabrik obat di Khourtoum,
Sudan dan kamp Mujahidin, di Afganistan. Serangan terorisme ala
168a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Jihad Melawan Terorisme (oleh:Abdurrohman Kasdi)
kamikaze ke WTC dan Pentagon pada 11 September tahun 2001
lalu, juga melahirkan agresi Amerika Serikat ke Afganistan.
Jihad versus Terorisme
Terorisme seringkali dialamatkan kepada salah satu
pengikut agama. Padahal, aksi terorisme yang dilakukan oleh
mereka sebenarnya lebih didorong oleh keyakinan terhadap
agamanya yang diekspresikan secara radikal dan fundamental.
Kelihatannya, ada hubungan yang paralelism antara aksi terorisme
dengan ekspresi beragama yang radikal dan fundamental. Tak
heran, jika terorisme yang terjadi di belahan dunia ini lebih banyak
dimunculkan oleh kelompok-kelompok agama yang mendasarkan
pada doktrin fundamental agama, dan pada gilirannya memiliki
watak yang khas, yakni berkeinginan untuk merubah tatanan
sosial sesuai dengan ajaran-ajaran agama yang paling fundamental
tersebut.
Jika kita analisis, ada perbedaan yang signifikan antara
terorisme dengan konsep jihad dalam agama Islam. Terorisme
setidaknya mencakup beberapa unsur; Pertama, adanya kelompok
atau negara yang ingin mengartikulasikan kepentingannya.
Kedua, artikulasi itu diwujudkan lewat aksi kekerasan. Dan,
Ketiga, aksi kekerasan itu terkadang ditujukan pada warga
sipil atau sasaran tertentu, untuk menimbulkan ketakutan atau
memperoleh dampak reaksi yang diinginkan. Sedangkan istilah
jihad sendiri tidak memberi konotasi adanya keterkaitan antara
agama dan kekerasan. Dalam hal ini, jihad, bukanlah sinonim
istilah Islam terhadap istilah ‘Terorisme’.
Ibnu khaldun dalam Muqaddimah dan al-Mawardi dalam
Ahkam Sulthaniyah menerangkan secara detil tentang hal ini.
Menurut mereka, jihad lebih berupa suatu konsep tindakan,
yang realisasinya tidak harus berwujud peperangan, tetapi juga
mencakup cara-cara damai.
Rudoph Peters dalam Jihad in Medieval and Modern Islam
menyebutkan, tujuan utama jihad bukanlah untuk memaksa orang
kafir memeluk Islam, seperti dikemukakan dalam banyak literatur
Barat. Tujuan pokoknya, adalah perluasan dan juga pembelaan
kawasan Islam. Pendapat senada juga dikemukakan oleh
Montgomery Watt dalam Islamic Political Thought. Menurutnya,
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
169
Jihad Melawan Terorisme (oleh:Abdurrohman Kasdi)
istilah jihad tidak bisa disamakan dengan “perang suci”. Karena
perang suci, umumnya dipahami sebagai perang yang dilakukan
semata-mata atas alasan konfrontasi agama.
Apapun makna aktual yang kita berikan pada istilah
itu, pada kenyataannya telah terjadi simplifikasi makna dengan
mereduksi makna jihad, menjadi sekedar “perang suci demi
agama”. Bahkan, dalam berbagai wacana pun sering terjadi
bias simplifikasi makna ini. Akibatnya, banyak energi yang
kita habiskan, bukan untuk merumuskan masalah pokok atau
memberikan solusi, namun hanya untuk meluruskan bias-bias
tentang makna jihad ini.
Apa yang dilakukan oleh para teroris ini tidak dibenarkan
oleh ajaran Islam. Hal ini karena Islam sesungguhnya tidak
mengajarkan kepada penganutnya untuk melakukan aksi kekerasan
kepada orang-orang yang tidak berdosa demi menegakkan agama.
Bukankah ini juga menciptakan citra buruk agama Islam di mata
umat agama lain? Padahal wajah agama Islam tidak demikian, ia
damai, santun dan elegan.
Islam adalah agama perdamaian, sementara terorisme
adalah perbuatan biadab yang tidak berperikemanusiaan. Yang
jelas, terorisme adalah perbuatan yang dilarang oleh agama
Islam. Islam misalnya, selalu mengajarkan kedamaian dan
kelembutan. Kata “Islam” sendiri memiliki arti pasrah, menyerah
diri, dan damai. Karena itulah, dalam al-Qur’an disebutkan,
“Allah menyeru kepada dar al-salam, negeri yang damai, bukan
negeri yang penuh dengan gejolak, ketakutan, kekhawatiran, dan
perang. Bahkan, ajaran perang di dalam Islam tidak diperbolehkan
membunuh kepada musuh-musuh yang tidak sedang dalam
keadaan menyerang, para wanita dan anak-anak. Ideologi jihad
dalam Islam tidak dilakukan untuk menghancurkan orang-orang
yang tidak berdosa, melainkan untuk mempertahankan diri.
Karena itulah, perang melawan terorisme mesti kita serukan
dalam rangka menciptakan kehidupan sosial yang lebih damai
dan tidak dihantui rasa takut dan kekhawatiran karena teror para
terorisme.
Dengan demikian, kekerasan atas nama agama
tidak pernah mendapatkan pembenaran. Justru agamalah yang
memberikan konsep kepada kita untuk menghormati jiwa,
170a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Jihad Melawan Terorisme (oleh:Abdurrohman Kasdi)
akal, harta benda, dan kehormatan, sehingga agama tidak bisa
dilabelkan pada aksi kekerasan yang dilakukan penganutnya.
Di sinilah kita semua mesti memberikan penyadaran kepada
semua umat beragama untuk bersatu melawan terorisme dan
melindungi diri dengan paham-paham keagamaan yang toleran
demi terciptanya masyarakat yang aman dan damai.
Penutup
Ketika mantan Presiden Amerika Serikat, George W.
Bush menggalang sebuah koalisi internasional dalam semangat
”Wanted: Dead or Alive”, kita pun tercengang dan berfikir,
telah terjadi kemunduran yang sangat jauh dan akut dalam dunia
diplomasi. Agresi Amerika Serikat ke Irak dan Afganistan dengan
menggunakan kekerasan, nyatanya bukanlah senjata ampuh dalam
membasmi terorisme. Mobilisasi dan eskalasi kekuatan militer
di kawasan Timur Tengah pun tidak membuahkan hasil yang
signifikan, selain kerusakan bangunan dan ekonomi setempat.
Kita pun bertanya, perlawanan terhadap terorisme seperti inikah
yang ingin dibangun dan dibentuk oleh negara-negara yang
mengatasnamakan perdamaian dan keadilan?
Media yang menguasai pasar Amerika Serikat tidak
banyak menyebarkan pesan pemikir, seperti Edward W. Said
dan Noam Chomsky yang mengingatkan bahwa serangan
militer tidak akan menghasilkan apa-apa kecuali penderitaan,
dendam panjang dan lingkaran kekerasan yang sukar diputuskan.
Peringatan ini seperti menegaskan apa yang dikatakan oleh tokoh
anti kekerasan, Mahatma Gandhi, ”An eye for an eye makes the
whole world blind.”
Memang sudah waktunya dunia mulai memberikan
perhatian dan jawaban terhadap masalah-masalah internasional.
Pengaturan dan penataan ulang berbagai permasalahan
internasional, mulai dari persenjataan pemusnah massal sampai
terorisme, bisa diselesaikan secara beradab melalui mekanisme
peradilan multilateral daripada di medan pertempuran atau
melalui berbagai sanksi ekonomi. Peradilan internasional yang
menangani hak asasi manusia, genocide, penyiksaan, kejahatan
perang dan sejenisnya perlu penanganan dengan damai dan
diplomasi.
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
171
Jihad Melawan Terorisme (oleh:Abdurrohman Kasdi)
Agresi Amerika Serikat terhadap negara-negara yang
dianggap terlibat bahkan mendalangi terorisme harus disertai
bukti-bukti keterlibatan secara langsung dalam penyerangan
WTC dan Pentagon. Karena, seperti yang disampaikan oleh
mantan menlu Amerika Serikat, Henry A. Kissinger dalam
tulisannya, ”The Pitfall of Universal Jurisdiction” dalam jurnal
Foreign Affairs (Agustus 2001), jangan sampai mekanisme yang
sekarang sedang berlangsung dalam tatanan peradilan universal
sekarang ini didorong terlalu jauh ke sebuah titik ekstrem yang
bisa melahirkan bahaya apa yang disebutnya sebagai pengganti
”tirany of judges” dari pemerintahan yang berkepentingan.
Kebijakan Amerika Serikat terhadap Irak pun harus melihat
perspektif ini, sehingga tidak lagi muncul ketimpangan dan
terorisme balasan yang semakin dahsyat.***
172a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Jihad Melawan Terorisme (oleh:Abdurrohman Kasdi)
DAFTAR PUSTAKA
Quthb, Sayyid. As-Salâm al-‘Alami wa al-Islâm. Kairo: Dâr asySyurûq, 1974.
Esposito, John L. Dunia Islam Modern, jilid II. Mizan, Bandung,
2001.
Al-Wa’iy, Taufiq Yusuf. Al-Fikr as-Siyâsi, al-Mu‘âshir ‘Inda
Ikhwân al-Muslimîn; Dirâsah Tahlîliyah, Maidaniyah,
Muwatsaqah (Pemikiran Politik Kontemporer Ikhwanul
Muslimin; Studi Analitis, Observatif, dan Dokumentatif),
Era Intermedia, Solo, 2003.
Al-Khatib, Muhammad Abdullah dan Muhammad Abdul
Halim Hamid, Nadlarât fî Risâlah at-Ta‘lîm, (Konsep
pemikiran dan gerakan Ikhwan (terj.) Bandung: AsySyâmil Press, 2001.
Al-Qur’an al-Karim
Hadits Shahih Bukhari
Hadits Shahih Muslim
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
173
Jihad Melawan Terorisme (oleh:Abdurrohman Kasdi)
174a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Teologi Anti Korupsi (oleh:Abdul Karim)
TEOLOGI ANTI KORUPSI DALAM
TINJAUAN AL-QUR’AN
Abdul Karim
STAIN Kudus
Email: [email protected]
ABSTRAK
Masalah korupsi sebenarnya merupakan wacana klasik yang
terus bergulir dan terus mengalami dinamika perkembangan
zaman. Menjadi sebuah isu yang sangat krusial untuk dipecahkan
dan masih membelit bangsa Indonesia khususnya sampai saat
ini. Tindak pidana korupsi disinyalir telah menjalar di semua
bidang dan sektor pembangunan dan sulit untuk diatasi. Hal ini
pun kemudian menjadi menarik untuk diperbincangkan dalam
konteks teologi anti korupsi, mengingat bahwa praktek korupsi
seakan menjadi suatu aliran tersendiri dalam kehidupan
sosial keagamaan. Kita harus menghadirkan sebuah formula
yang mampu menjelaskan atas pembacaan korupsi yang lebih
komperhensif, khususnya dari sudut pandang al-Qur’an. AlQur’an memang tidak secara lugas menyebutkan term korupsi
sebagai kesatuan hukum yang eksplisit, melainkan term-term
tertentu seperti ghulu>l, al-suht, al-dawl, hira>bah yang mengarah
pada subtansi korupsi tersebut. Berangkat dari term-term
tersebut pula, sebuah kerangka rumusan anti korupsi mulai
diperbincangkan dalam berbagai ragamnya sebagai bentuk
epistemologi pencegahan dan juga pemberantasannya.
Keywords: Teologi Anti Korupsi, Al-Qur’an, Pencegahan.
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
175
Teologi Anti Korupsi (oleh:Abdul Karim)
Pendahuluan
Masih tingginya indeks persepsi korupsi (IPK) atau angka
tindak pidana korupsi sesungguhnya dapat kita lihat dari derasnya
informasi di berbagai media yang memberitakan tentang tindak
korupsi, hampir setiap hari dapat kita baca dari berbagai media
yang terbit, artikel yang menyorot perilaku pejabat pusat sampai
pejabat daerah yang menyalahgunakan wewenangnya dengan
tujuan untuk memperkaya diri sendiri.
Ditinjau dari sudut Etimologis, kata korupsi
sendiri berasal dari bahasa Latin, yaitu corruptio (penyuapan)
dan corruptus (merusak). Kata ini lalu disalin ke dalam kosa
kata bahasa Inggris yang disebut corruption atau corrupt. Selain
itu dalam bahasa Perancis juga dikenal dengan kata corruption,
sementara dalam kaidah bahasa Belanda dikenal dengan sebutan
corruptie (korruptie). Menurut Andi Hamzah sebagaimana yang
ditulis oleh M. Nurul Irfan dalam bukunya Korupsi dalam Hukum
Pidana Islam, bahwa kata korupsi yang sampai dan sering dipakai
dalam bahasa Indonesia merupakan plagiasi dari kata korruptie
dalam bahasa Belanda.1 Menurut W.J.S. Poerwadarminta
dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (1976), secara harfiah
kata korupsi dapat diartikan “perbuatan yang buruk, seperti
penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya”. Hal
senada juga disampaikan oleh Subekti dan Tjitrosoedibio (Kamus
Hukum: 1996), kata corruptio adalah korupsi, perbuatan curang,
tindak pidana yang merugikan keuangan negara.
Sementara dalam khazanah Islam kata korupsi diistilahkan
dengan kata risywah.2 Secara terminologi risywah sesuatu yang
M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, (Jakarta:
Amzah, 2011), hlm. 33, lihat juga Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi
Melalui Hukum Nasional dan Internasional, (Jakarta: Raja Grafindo Persada),
2005, hlm. 4. Secara terminologis banyak ahli memiliki definisi masingmasing. Robert Klitgaard misalnya mendefinisikan “corruption is the abuse of
public power for private benefit”, korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan
publik untuk keuntungan pribadi. Korupsi juga berarti memungut uang bagi
layanan yang sudah seharusnya diberikan, atau menggunakan wewenang
untuk mencapai tujuan yang tidak sah. Lihat: Robert Klitgaard dkk., Penuntun
Pemberantasan Korupsi dalam Pemerintahan Daerah, terj. Hermoyo, (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2002), hlm. 3.
2
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir: Arab-Indonesia,
1
176a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Teologi Anti Korupsi (oleh:Abdul Karim)
diberikan dalam rangka mewujudkan kemaslahatan atau sesuatu
yang diberikan dalam rangka membenarkan yang bathil/salah
atau menyalahkan yang benar.3 Sementara kata ghulul bermakna
berkhianat dalam pembagian harta rampasan perang atau dalam
harta-harta yang lain, hal ini dapat diperhatikan dalam al-Qur’an
surah Ali ‘Imran (3) ayat 161. Terlepas dari itu semua, pada
intinya menurut penulis adalah bahwa setiap perbuatan yang
berkaitan dengan merampas, mencuri, dan mengambil harta
orang lain dengan cara zhalim, termasuk di dalamnya suapmenyuap merupakan bentuk dari korupsi. Selanjutnya mari
kita perhatikan bagaimana wawasan dan penjelasan al-Qur’an
mengenai kejahatan dan bahaya korupsi.
Sekilas Catatan Sejarah Korupsi
Sebenarnya korupsi bukanlah merupakan hal yang
baru dalam sejarah peradaban manusia. Fenomena korupsi ini
telah dikenal dan menjadi bahan diskusi, bahkan sejak 2000
tahun yang lalu ketika seorang Perdana Menteri Kerajaan India
bernama Kautilya menulis buku berjudul ”Arthasastra”. Begitu
juga Ungkapan “power tends to corrupt, absolute power corrupts
absolutely” menjadi sangat terkenal pada tahun 1887-an,
ungkapan sejarawan Inggris Lord Acton ini, menegaskan bahwa
korupsi berpotensi muncul di mana saja tanpa memandang ras,
geografi, maupun kapasitas ekonomi.
Tindak korupsi tidak hanya menjadi wabah di negara
Indonesia saja, akan tetapi telah menyebar ke seluruh negara di
Asia, bahkan negara-negara di dunia sehingga muncul berbagai
ragam istilah yang mendefinisikan korupsi. Di China, Hong Kong
dan Taiwan, misalnya, korupsi dikenal dengan nama yum cha,
atau di India terkenal dengan istilah baksheesh, atau di Filipina
dengan nama lagay dan di Indonesia atau Malaysia memiliki
padanan kata yaitu suap.4 Akan tetapi tidak semua istilah ini
(Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), hlm. 499, 1015. Dalam Kamus Bahasa
Arab Modern (Al-Azhar: 2009), risywah tidak saja diartikan penyuapan, tapi
juga diartikan dengan ketidakjujuran dan korupsi.
3
M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, hlm. 89
4
Lihat: W.J.S. Poerwadarminta, kamus umum Bahasa Indonesia,
1976, hlm. 56, dan Lihat juga Kamus Dewan, edisi 3, 1994 dan juga Andi
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
177
Teologi Anti Korupsi (oleh:Abdul Karim)
secara spesifik mendefinisikan pengertian dari praktek korupsi.
Istilah lokal yang dianggap paling mendekati adalah istilah yang
berlaku di Thailand, yaitu istilah gin muong, yang secara literal
berarti nation eating (memakan keuangan negara dengan cara
ilegal).
Sejarah mengenai korupsi sendiri memang cukup panjang.
Menurut petunjuk Hans G. Guterbock, catatan kuno mengenai
masalah ini menunjuk pada penyuapan terhadap hakim dan
tingkah laku para pejabat pemerintah. Dalam sejarah Mesir,
Babilonia, Ibrani, India, Cina, Yunani dan Romawi Kuno, korupsi
seringkali muncul ke permukaan sebagai masalah. Dalam sejarah
Islam sendiri, pada era kekuasaan Khulafâ al-Râsyidîn tepatnya
pada masa Umar bin al-Khattab juga telah ditemui upaya praktek
korupsi. Hal ini dikuatkan dengan usaha Umar memerintah
seorang sahabat yang bernama Maslamah untuk mengawasi harta
kekayaan para pejabat pemerintah.5
Sejarah korupsi di Indonesia bukanlah wacana yang baru.
Dalam literatur sejarah disebutkan bahwa perilaku korup di negeri
ini sudah ada sejak masa kerajaan-kerajaan yang tersebar di
Nusantara. Pada waktu itu, perilaku korupsi diimplementasikan
dalam bentuk upeti yang diberikan kepada pejabat atau pamong
daerah setempat. Sehingga tidak heran hasil survei yang dilakukan
oleh Transparancy Internasional (TI), di mana menurut TI fakta
perkembangan korupsi di Indonesia per 2010 dapat dilihat dari
angka Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2010 yang
tetap pada angka 2,8 atau di peringkat 110 dari 178 negara yang
disurvei. Posisi IPK sama dengan 2009. Maka dengan ini, bisa
dikatakan pemberantasan korupsi di Indonesia tanpa progres.6
Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) mencatat, selama
pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak kurang
dari Rp. 103 Triliun dana pembangunan dirampok. Karena data itu
merupakan hasil audit, jumlah itu baru sampling. Oleh karenanya,
Hamzah, Kamus Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), cet. I, hlm. 339
5
Muhammad Husain Haikal, Sayyidina Umar bin khattab, (Jakarta:
Litera Antar Nusa, 2003), hlm. 665.
6
Bambang Soesatyo, Perang-perangan Melawan Korupsi, (Jakarta:
Ufuk Press, 2011), hlm. xiii.
178a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Teologi Anti Korupsi (oleh:Abdul Karim)
jumlah itu masih terus bisa bertambah.7 Selain BPK, statistik lain
yang dirilis oleh Political and Economic Risk Consultancy (PERC)
menyatakan, pada 2010 Indonesia adalah Negara paling korup
di Asia Pasifik. Hasil survei PERC menyatakan, skor Indonesia
adalah 9,27 (dari skala0-10) Semakin besar skornya, semakin
koruplah sebuah negara. Dengan demikian, korupsi Indonesia
bahkan lebih buruk dibanding beberapa negara di Asia Tenggara
semisal Kamboja (9,10), Filipina (9,0), dan Thailand (8.0).8
Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia yang
semakin meningkat dan kemudian cenderung stagnan dalam
pemberantasannya diasumsikan karena supremasi hukum yang
tumpul terhadap penguasa. Boleh jadi hukum memiliki taring akan
tetapi korupsi terus mengalami perkembangan dan lebih dilakukan
secara sistematis. Oleh karenanya wacana pemberantasan korupsi
harus terus diperbincangkan secara intensif, dalam hal ini, salah
satu tawarannya apa yang akan segera penulis kemukakan.
Dengan melihat beberapa fakta sejarah tersebut, maka
sebetulnya pada masa Arab Era Islampun sesungguhnya kasus
korupsi sudah ditemukan. Namun, seperti penulis tuturkan di
muka, Al-Qur’an tidak mengemukakan ayat korupsi secara
eksplisit. Bahkan secara tegas Ahmad Baidlawi menyebut bahwa
dalam Islam, dalam konteks ini Al-Quran, kasus korupsi tidak
diuraikan secara tekstual dengan jelas.9 Namun demikian, Al-Qur’an sebagai kitab suci umat
Islam, sumber inspirasi ilmu pengetahuan, pedoman dan sumber
hukum dalam agama menyinggung tentang tindak pidana korupsi
secara umum yang intinya adalah suatu praktek penyimpangan
terhadap penyalahgunaan wewenang, dalam al-Qur’an korupsi
atau riswah dianalogikan dengan istilah ghulu>l yaitu praktik
Berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang
melansir bahwa semenjak 2004 hingga 2008 tercatat ada lebih dari 31 laporan
tindak pidana korupsi yang masuk selama 2008 saja, tercatat dalam satu hari ada
37 laporan yang masuk, dengan kerugian negara sekitar 1 miliar untuk setiap
laporan. Jika dikalikan, maka dalam sehari 37 miliar uang negara melayang.
8
Bambang Soesatyo, Perang-perangan Melawan Korupsi, (Jakarta:
Ufuk Press, 2011), hlm. xiii-xiv.
9
Ahmad Baidlawi, “Pemberantasan Korupsi dalam Persepektif
Islam”, dalam Jurnal Esensia, Vol. 10, No. 2, Juli, 2009, hlm. 8
7
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
179
Teologi Anti Korupsi (oleh:Abdul Karim)
suap menyuap (Q.S Ali Imran:161). Menurut Ibnu Katsir,
seorang pakar tafsir ternama, menegaskan bahwa ghulul berarti
menyalahgunakan kewenangan untuk mengambil sesuatu yang
tidak ada dalam kewenangannya dan berakibat merugikan pihak
lain. Definisi Ibnu Katsir tersebut disepakati oleh para Ulama
Indonesia (MUI: 1999) dalam fatwanya menetapkan bahwa algulul identik dengan korupsi, dan dinyatakan sebagai salah
satu bentuk perbuatan haram. Sedangkan di lain ayat, al-qur’an
mengistilahkan korupsi dengan al-batil (al-Baqarah:188) yaitu
memakan harta orang lain dengan jalan yang tidak benar. Imam
al-Qurthubi menambahkan dalam Al-Ja>mi’ Li Ahka>mi al-Qur’a>n
bahwa al-ba>t}il adalah perbuatan mengambil harta orang lain
dengan cara yang tidak di benarkan syariat. Al-qur’an juga
mengistilahkan korupsi dalam surat Al-a’ra>f: 56 dengan alfasa>d.10
Berbagai definisi yang dikemukakan oleh para ahli, Sayyid
Husain al-Alatas menyimpulkan bahwa korupsi tidak akan lepas
dari beberapa ciri khususnya, yaitu: (a) suatu pengkhianatan
terhadap kepercayaan, (b) penipuan terhadap badan pemerintahan,
lembaga swasta atau masyarakat umum, (c) dengan sengaja
melalaikan kepentingan umum untuk kepentingan khusus, (d)
dilakukan dengan rahasia, (e) melibatkan lebih dari satu orang
atau pihak, (f) adanya kewajiban dan keuntungan bersama, (g)
terpusatnya kegiatan korupsi pada mereka yang menghendaki
keputusan yang pasti dan mereka yang dapat mempengaruhinya,
(g) adanya usaha untuk menutupi perbuatan korup dalam bentuk
pengesahan hukum, (i) menunjukkan fungsi ganda pada setiap
individu yang melakukan korupsi.11
Sebagai sang pembawa risalah Nabi muhammad juga
tidak ketinggalan dalam menyinggung hal ini, dalam hadistnya
Rasulullah saw. bersabda:
‫لعن رسول اهلل صىل اهلل عليه وسلم الرايش واملرتيش‬
Al-Qurthuby (w. 681H). Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, (Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1413 H), Cetakan ketiga, Juz 2, hlm. 711
11
S.H. Al-Alatas, Korupsi: Sifat, Sebab dan Fungsi, terj.
Nirwono, (Jakarta: LP3ES, 1987), hlm. 2.
10
180a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Teologi Anti Korupsi (oleh:Abdul Karim)
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat orang yang
menyuap dan yang menerima suap.” [HR. Abu Daud no. hadits
3580]
Kesemua istilah memiliki pengertian yang variatif, namun
pada ujungnya merupakan kegiatan ilegal yang berlaku di luar sistem
formal. Pengertian dari beberapa istilah tersebut menunjukkan
adanya kerusakan yang luar biasa besar terhadap kehidupan suatu
bangsa akibat dari adanya perilaku praktek korupsi.
Jadi, dari berbagai definisi yang telah disebut di atas dapat
diambil kesimpulan bahwa istilah korupsi memiliki arti yang sangat
luas, yaitu:
1. Korupsi ialah penyelewengan atau penggelapan (uang negara
atau perusahaan dan sebagainya) untuk kepentingan pribadi
atau kelompok.
2. Korupsi adalah busuk, rusak, suka memakai barang atau
uang yang di percayakan kepadanya, dapat disogok (melalui
kekuasaannya untuk kepentingan pribadi).
Merujuk kepada beberapa definisi yang telah disebut,
maka Al-Qur’an sebagai Kitab Suci Umat Islam sejatinya sangat
menentang, mengutuk bahkan mengharamkan tindak korupsi,
Islam sangat menentang bentuk-bentuk perbuatan dalam bentuk
pengkhianatan, penmyelewengan, mengambil harta orang lain
dengan cara tidak benar, serta segala sesuatu yang merugikan
orang banyak. Tindak korupsi, suap menyuap dan perbuatan yang
merugikan orang lain adalah perbuatan munkar yang harus dicegah
dan diberantas. Oleh karena itu, pada pembahasan selanjutnya
penulis akan mencoba menguraikan interpretasi ayat-ayat yang
mengandung term korupsi dengan memandang korupsi secara
definitif pada konteks kekinian.
Ayat-Ayat Tentang Korupsi
Pada dasarnya, terminologi korupsi dalam Al-Qur’an
merupakan bentuk-bentuk tindakan pidana yang ada dalam Islam,
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
181
Teologi Anti Korupsi (oleh:Abdul Karim)
namun penyebutan yang secara eksplisit tidak ditemukan di dalam
Al-Qur’an, misalnya, term perampokan (al-harb), pencurian (alsarq), term penghianatan (al-ghulu>l), dan lain sebagainya. Namun,
melihat perkembangan definisi korupsi yang semakin beragam,
maka term-term tersebut juga mengalami pergeseran makna yang
cukup signifikan, yaitu ketika term-term tersebut masuk dalam
ranah kajian korupsi. Al-Qur’an menjelaskan term-term tersebut
sebagai berikut:
1. Ghulu>l (Penghianatan) Qs. Ali Imran : 161
‫ﮑ ﮒ ﮓ ﮔ ﮕﮖ ﮗ ﮘ ﮙ ﮚ ﮛ ﮜ ﮝﮞ ﮟ ﮠ ﮡ‬
‫ﮢﮣﮤ ﮥﮦﮧﮨ‬
Ayat 161 dari surat Ali Imran ini, menurut Al-Maraghi
dalam tafsirnya, menjelaskan bahwa kata ghulu>l dalam ayat
itu bermakna ‘al-akhdz al-khafiyyah’, yaitu mengambil sesuatu
dengan sembunyi-sembunyi, semisal mencuri sesuatu. Kemudian
makna ini sering digunakan dalam istilah mencuri harta rampasan
perang sebelum didistribusikan.12
Rasulullah sendiri memperluas makna ghulu>l menjadi
dua bentuk: (a) Komisi, yaitu tindakan mengambil sesuatu
penghasilan di luar gaji yang telah diberikan. Tentang hal ini Nabi
menyatakan “Siapa saja yang aku angkat dalam satu jabatan
kemudian aku berikan gaji, maka sesuatu yang diterima di luar
gajinya adalah korupsi (ghulu>l ).” HR. Abu Daud. (b) Hadiah,
yaitu pemberian yang didapatkan seseorang karena jabatan yang
melekat pada dirinya. Mengenai hal ini Rasulullah bersabda
“Hadiah yang diterima para pejabat adalah korupsi (ghulu>l)”. HR.
Ahmad.13
2. Al-Sa>riqah (Pencurian) Qs. Al-Maidah: 38
‫ﭟ ﭠ ﭡ ﭢ ﭣ ﭤ ﭥ ﭦ ﭧ ﭨﭩ ﭪ‬
Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, (Bairut: Dar al-Kutub alIlmiyyah, 2006), hlm. 98.
13
Ahmad Baidlawi, “Pemberantasan Korupsi dalam Persepektif
Islam”, dalam Jurnal Esensia, Vol. 10, No. 2, Juli, 2009, hlm. 4
12
182a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Teologi Anti Korupsi (oleh:Abdul Karim)
‫ﭫ ﭬﭭ‬
Kaitannya dengan ayat ini, Ibn Katsir dalam tafsirnya
menjelaskan sebuah riwayat yang bersumber dari Abdullah bin
Amr, ia mengatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan
seorang wanita yang mencuri, maka datanglah orang yang
kecurian itu dan berkata pada Nabi saw. “Wahai Nabi, wanita
ini telah mencuri perhiasan kami”. Maka wanita itu berkata
“Kami akan menebus curiannya.” Nabi bersabda, “Potonglah
tangannya!” Kaumnya berkata, “Kami akan menebusnya dengan
lima ratus dinar.” Maka Nabi Saw. pun bersabda, “Potonglah
tangannya!” Maka dipotonglah tangan kanannya. Kemudian
wanita itu bertanya. “Ya Rasul, apakah ada jalan untuk aku
bertobat?” Jawab Nabi saw,, “Engkau kini telah bersih dari
dosamu sebagaimana engkau lahir dari perut ibumu”. Kemudian
turunlah QS. Al-Maidah: 38 tersebut.14
Kata saraqa sendiri secara etimologi bermakan “akhdzu
ma li al-ghairi khufyatan”(mengambil harta orang lain secara
sembunyi-sembunyi).15 Sedangkan secara terminologis kata
‘mencuri’ (al-sarq) terlebih dahulu dibagi menjadi dua bagian,
yaitu pencurian besar dan kecil. Pencurian besar merupakan arti
lain dari term hirabah sebagaimana penulis jelaskan pada term
sebelumnya. Sedangkan definisi tentang pencurian kecil, beberapa
ulama memiliki makna yang bervariasi, yaitu (a) mengambil
harta orang lain dengan sembunyi-sembunyi, yaitu harta yang
cukup terpelihara menurut kebiasaannya, (b) mengambil harta
orang lain secara sembunyi-sembunyi dengan jalan menganiaya,
(c) mengambil harta orang lain dengan sembunyi-sembunyi,
yaitu harta yang bukan diamanatkan padanya.16 Dari sini dapat
disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan al-sarq adalah
mengambil harta orang lain yang bukan miliknya dengan jalan
sembunyi-sembunyi tanpa kerelaan pemiliknya.
Ibn Katsir, Tafsir Al-Qur’an al-Karim, hlm. 94.
Ahmad Warson al-Munawwir, Al-Munawwir, hlm. 628
16
Abdul Halim Hasan Binjai, Tafsir al-Ahkam, (Jakarta: Kencana,
2006), hlm. 375
14
15
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
183
Teologi Anti Korupsi (oleh:Abdul Karim)
3. Al-Hira>bah (Perampokan) Qs. Al-Maidah: 33
‫ﭻ ﭼﭽﭾﭿﮀﮁﮂﮃ ﮄﮅ‬
‫ﮆﮇﮈﮉﮊﮋ ﮌﮍﮎﮏ‬
‫ﮐ ﮑ ﮒﮓ ﮔ ﮕ ﮖ ﮗ ﮘﮙ ﮚ ﮛ ﮜ‬
‫ﮝﮞ ﮟ‬
Istilah berikutnya yang terindikasi sebagai term
korupsi dalam Al-Qur’an adalah hira>bah. Hakim Muda
Harahap menguraikan bahwa arti lain dari kata yuha>ribu>na apabila
dirunut ke asal bentukan awalnya dari tsula>tsi mujarrad maka ia
bermakna seseorang yang merampas harta dan meninggalkannya
tanpa bekal apa pun.17 Hal yang sama juga datang dari pandangan
sebagian ahli fikih mengenai kata hira>bah. Menurut mereka orang
yang melakukan tindakan hirabah sebagai qa>thi’u al-thari>q atau
penyamun dan al-sa>riq al-kubra> atau pencurian besar. Dengan
kata lain, makna hira>bah di sini adalah seseorang yang merampok
harta orang lain. Pengertian seperti inilah yang kemudian sering
digunakan oleh ulama untuk memaknai kata yuha>ribu>na dalam
QS. Al-Maidah: 33 tersebut.18
4. Al-Suh}t (Penyuapan) Qs. Al-Maidah: 42
‫ﭑ ﭒ ﭓ ﭔﭕ ﭖ ﭗ ﭘ ﭙ ﭚ‬
‫ﭛ ﭜﭝ ﭞ ﭟ ﭠ ﭡ ﭢ ﭣﭤ ﭥ ﭦ‬
‫ﭧ ﭨ ﭩﭪ ﭫ ﭬ ﭭ ﭮ ﭯ‬
Kata al-suht dalam ayat tersebut secara leksikal berasal
dari sah}ata yang memiliki makna memperoleh harta yang
Hakim Muda Harahap, Ayat-ayat Korupsi, (Yogyakarta: Gama
Media, 2009), hlm. 80-82
18
Lihat: Abdul Halim Hasan Binjai, Tafsir al-Ahkam, (Jakarta:
Kencana, 2006), hlm. 384.
17
184a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Teologi Anti Korupsi (oleh:Abdul Karim)
haram.19 Hal senada juga dijelaskan oleh Al-Zamakhsyari dalam
tafsirnya bahwa yang dimaksud dengan al-suh}t adalah harta
haram.20 Ibn Khuzaimah, seperti yang dikutip oleh Al-Qurthubi,
menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan al-suh}t adalah bila
seseorang makan karena kekuasaanya. Itu lantaran dia memiliki
jabatan di sisi penguasa, kemudian seseorang meminta sesuatu
keperluan kepadanya, namun dia tidak mau memenuhi kecuali
dengan adanya suap (risywah) yang dapat diambilnya. Jika
kembali dicermati, ayat tersebut menjelaskan praktek korupsi
seperti yang terjadi pada konteks kekinian. Di mana praktek suap
menyuap orang yang memiliki kekuasaan merupakan bagian
dari bentuk praktek korupsi yang telah menjamur di masyarakat.
Banyak yang belum menyadari bahwa suap (al-suh}t), baik yang
menerima maupun yang memberi, termasuk dalam tindakan
korupsi.
5. Ad-Dalwu (Pengaruh Korupsi) Qs. Al-Baqarah: 188
‫ﮛﮜﮝﮞ ﮟﮠﮡ ﮢﮣﮤﮥ‬
‫ﮦ ﮧﮨﮩﮪﮫﮬ‬
Ayat tersebut, jika dibaca dalam konteks korupsi,
mengandung makna yang sangat tegas melarang memakan harta
orang lain dengan jalan yang tidak dibenarkan oleh agama (alba>thil). Makna yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah menyuap
hakim, kadi, dan lain sebagainya yang memiliki kekuasaan untuk
membebaskan sang penyuap dari tuntutan sesuatu.21
Asba>b al-nuzu>l ayat tersebut dijelaskan Ibn Katsir dalam
tafsirnya melalui khabar dari jalur Ibn Abbas, dia berkata: “Ayat
ini berkenaan dengan seorang laki-laki yang menanggung hutang,
sedangkan orang yang memberi hutang tidak mempunyai bukti
yang kuat (ketika ingin menagih hutang tersebut). Maka laki-laki
yang mempunyai hutang tersebut mengingkari hutangnya dan
Ahmad Warson al-Munawwir, Al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka
Progresif, 1997), hlm. 614.
20
Al-Zamakhsyari, Tafsir al-Kasyaf, Juz III, (Bairut: Dar al-Ilmiyyah,
1968), hlm. 57
21
Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, hlm. 255
19
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
185
Teologi Anti Korupsi (oleh:Abdul Karim)
mengadukan perkaranya pada hakim, padahal dia mengetahui
bahwa dia berhadapan dengan perkara yang hak, dan bahwa
dirinya berada dalam pihak yang salah.” Setting historis inilah
yang kemudian direspons oleh Al-Qur’an dengan turunnya ayat
tersebut yang secara tegas melarang seseorang untuk memakan
harta orang lain dan memperjuangkan sesuatu yang batil.22 Karena
itu, Islam melarang keras membawa urusan harta benda kepada
hakim bila hal yang melatarbelakangi adalah kebatilan.
Al-Qur’an dan Ideologi Anti Korupsi
Kita mengetahui bahwa secara atropologis al-Qur’an
memiliki kekuatan yang dapat membentuk budaya masyarakat.
Bahkan lebih jauh Nasr Hamid Abu Zaid menyatakan bahwa
peradaban Arab-Islam dan Islam secara umum, adalah merupakan
“peradaban teks”. Artinya, bahwa dasar-dasar ilmu dan budaya
Arab-Islam tumbuh dan berdiri tegak di atas landasan dimana teks
sebagai pusatnya tidak dapat diabaikan. Hal ini membuktikan
bahwa dalam peradaban Islam pada umumnya, al-Qur’an memiliki
peran budaya yang tidak dapat diabaikan dalam membentuk wajah
peradaban dan dalam menentukan sifat dan watak keilmuan yang
berkembang di dalamnya.23
Bangsa Indonesia sesungguhnya mayoritasnya adalah
kaum pinggiran yang meletakkan agama sebagai kekuatan spiritual
belaka. Namun pada prinsipnya bahwa al-Qur’an memiliki
kekuatan emosional yang dapat menggerakkan umat Islam
untuk bersikap sesuai dengan ajaran yang dikandungnya. Akan
tetapi patut disayangkan sesungguhnya bahwa doktrin-doktrin
normatif yang tertuang dalam al-Qur’an itu, bagi kebanyakan
umatnya tidak memiliki dimensi sosial dan intelektual yang kuat
dalam membendung realitas kemungkaran yang terjadi. Sungguh
asumsi seperti ini perlu direkonstruksi, sebab Islam bukanlah
teologi eskapistik yang mengamini umatnya untuk larut dalam
buaian spiritual belaka, sehingga lupa akan tanggung jawab
sosialnya. Bagi penulis jika ditelaah lebih mendalam, al-Qur’an
Ibnu Katsir Ad-Dimasyqi, Tafsir al-Qur`ān al-Azhīm, (Kairo: AlMatba’ah Al-Fanniyah, t. th.), Jilid II, hlm. 226.
23
Nasr Haid Abu Zaid, Tekstualitas al-Qur’an: Kritik Terhadap
Ulumul Qur’an, terj. Khoiron Nahdliyyin, Yogyakarta: LkiS, 2003, hlm. 17
22
186a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Teologi Anti Korupsi (oleh:Abdul Karim)
mempunyai rentetan perangkat teoritis yang bisa digunakan untuk
membendung beragam bentuk dari manifestasi ketidakadilan
sosial termasuk korupsi.
Berbicara tentang korupsi, al-Qur’an sangat tegas
memberikan argumen normatif bahwa dalam setiap harta yang
dimiliki manusia, senantiasa ada hak orang lain, dan hak itu jelas
bukan miliknya (Q.S. al-Ma’arij, 70: 24-25). Dengan ungkapan
yang berbeda Allah ingin memberi ketegasan bahwa sesungguhnya
seorang manusia harus menafkahkan harta yang dikuasai kepada
jalan yang diridhai Allah. Seperti yang digambarkan dalam surah
al-Hadid (57): 7
“berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah
sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya.
Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan
(sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar”.
Jika korupsi terus dilakukan, bukankah itu merupakan
pengingkaran atas amanah kebendaan yang telah dititipkan Allah
kepada manusia. Namun peringatan Tuhan melalui al-Qur’an ini
sepertinya hanya menjadi kesadaran kultural, tidak memiliki daya
paksa struktural, sehingga sang koruptor menjadi tak bergeming.
Tindak korupsi yang dipahami sebagai bentuk dari
penyimpangan normatif (menyangkut harta) juga merupakan
bagian yang integral dari kejahatan sosial, sebab korupsi adalah
mengambil harta orang lain baik perorangan maupun kelompok
dengan cara yang zhalim termasuklah dalam kasus suap-menyuap.
Korupsi merupakan dosa besar yang paling berbahaya yang
dapat menimbulkan kehancuran ekonomi, politik, dan sosial
masyarakat.24
Secara garis besar Islam dibangun atas tiga unsur utama,
yaitu akidah, syari’at, dan akhlak (akidah, syari’at, dan akhlak
merupakan istilah lain dari iman, Islam, dan ihsan.25 Akidah
merupakan pondasi bangunan keyakinan umat Islam secara
vertikal, syari’at berisi tentang aturan-aturan dalam membimbing
Husain Husain Syahatah, Suap dan Korupsi dalam Perspektif
Syariah, terj. Kamran As’ad Irsyady, Jakarta: Amzah, 2005, hlm. xi
25
Muslim, Imam, Shahih Muslim, (Riyadh: Dar as-Salam, 1998), cet.
1, hlm. 79
24
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
187
Teologi Anti Korupsi (oleh:Abdul Karim)
kehidupan manusia disamping juga berisi sangsi-sangsi terhadap
yang melanggar aturan tersebut, sementara akhlak berisi tentang
tuntunan perilaku dan adab kesopanan baik kepada Allah (hablum
minallah) maupaun terhadap sesama manusia (hablum minannas).
Ketiga unsur utama ajaran Islam ini pada intinya untuk mencapai
tujuan teologis yakni sebagai rahmat bagi sekalian alam (QS. AlAnbiya’: 107)
Konsep maqasid al-Syari’ah sangat mementingkan
pemeliharaan terhadap lima halyaitu agama, jiwa, akal, keturunan,
dan harta. Dari lima aspek ini, aspek terakhir yang menjadi
perhatian Syari’at Islam adalah masalah harta. Harta harus dijaga
dengan baik, tidak boleh saling mencurangi dan menuasai dengan
cara yang batil dalam bermuamalah, tidak boleh menzalimi hakhak anak yatim, mengkorupsi, melakukan penyuapan kepada
hakim atau pejabat tertentu, memberikan hadiah dengan tujuan
dan maksud khusus kepada seorang pejabat, mencuri atau
merampok.26 Pada sisi yang berbeda, disamping sebagai rahmat,
secara spesifik dalam setiap aturan hukum terdapat konsep
maqasid al-Syari’ah yaitu rahasia-rahasia yang terkandung
dibalik hukum yang ditetapkan oleh syara’ berupa kemaslahatan
bagi umat manusia baik di dunia maupun di akhirat.27
Menurut Syahatah jika diklasifikasikan secara sistematis
bahwa diantara justifikasi syara’ (al-Qur’an) terhadap bahaya dan
keharaman korupsi adalah:
Pertama, korupsi termasuk salah satu bentuk perampasan
harta orang lain dengan cara yang kotor, batil, dan semena-mena.
Deskripsi ini dalam al-Qur’an digunakan untuk menggambarkan
orang yang melakukan korupsi (suap), seperti yang dijelaskan
dalam surah al-Baqarah:188.
Menurut Quraish Shihab, ayat tersebut secara tersirat
terkait dengan pelarangan perbuatan menyogok dan disogok.
Menurutnya dalam ayat ini perbuatan itu diibaratkan dengan
perbuatan menurunkan timba ke dalam sumur untuk memperoleh
M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, (Jakarta:
Amzah, 2011), hlm. 2-4
27
Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid. 4, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,
1997), Jilid 4, hlm. 1108
26
188a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Teologi Anti Korupsi (oleh:Abdul Karim)
air. Timba yang turun tidak terlihat oleh yang lain, khususnya
yang berada jauh dari sumur. Penyogok menurunkan keinginannya
kepada yang berwenang untuk memutuskan sesuatu, tetapi secara
tersembunyi dan dengan tujuan mengambil sesuatu secara tidak
sah, lalu dengan tegas ayat ini mengutuk perbuatan itu.28
Kedua, pihak-pihak yang terlibat dalam kasus korupsi
adalah termasuk pembuat kerusakan di muka bumi yang wajib
ditangkap dan dihukum seberat-beratnya. Sebab perilaku orangorang ini akan dapat menimbulkan kekacauan dalam interaksi
dan relasi sosial serta mengancam stabilitas masyarakat, mereka
yang melakukan semua ini patut divonis sesuai dengan firman
Allah QS. Al-Maidah (5): 33.
Ketiga, jika yang melakukan korupsi (suap) berposisi
sebagai hakim (qadhi), maka konpensasi dari penerimaan suap itu
adalah memutuskan perkara sesuai dengan pesanan dari siapa yang
menyuap, hal ini secara nyata adalah merupakan penyimpangan
dari prinsip keadilan yang lebih ironis adalah bahwa keputusan
yang diambil sudah pasti tidak berdasar pada apa yang telah
diturunkan Allah pada sisi inilah al-Qur’an mengklaimnya sebagai
orang yang kafir, zalim, dan fasik (QS. Al-Maidah: 44, 45, 47).
Keempat, penyebaran wabah korupsi (suap dan
penggelapan) berdampak jelas pada ketimpangan sosial.
Korupsi adalah mengambil hak rakyat yang dianggap kalangan
atas sebagai masyarakat bodoh dan dungu, karena tidak bisa
mengambil haknya secara adil dan tegas. Korupsi juga mencuri
uang negara yang seharusnya digunakan untuk menyejahterakan
rakyat. Oleh karena itu korupsi yang dilakukan penguasa adalah
dosa yang sangat besar karena mereka menurut al-Qur’an
mengemban tanggung jawab untuk menegakkan keadilan tanpa
diskriminasi demi kesejahteraan rakyat (QS An-Nisa’ 4:58),
namun kenyataannya justru menyengsarakan rakyat.
Kelima, pada zaman Rasul perilaku seseorang berbuat
curang dan menyimpang (korupsi) terhadap harta rampasan
perang (ghanimah) diabadikan Allah dalam al-Qur’an sebagai
orang yang berkhianat dan akan dan mereka akan dibalas setimpal
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran
Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 2002, Vol I., hlm. 387
28
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
189
Teologi Anti Korupsi (oleh:Abdul Karim)
dengan yang mereka lakukan (QS. Ali Imran: 3; 161).
Keenam, dalam sebuah riwayat hadis di jelaskan
bahwa suatu saat Rasul saw. memerintahkan para sahabat
untuk menyalati seorang jenazah, namun beliau sendiri tidak
berkenan melaksanakannya. Para sahabat bertanya-tanya, tidak
basanya Rasul berbuat demikian, ternyata keengganan beliau
menyalati jenazah tersebut disebabkan karena jenazah tersebut
semasa hidupnya sempat mengorupsi perhisan semacam intan
atau manic-manikyang nilainya tidak mencapai batas minimal
pencurian, yaitu dua dirham. Atas dasar ini Imam al-Nawawi
menganjurkan agar para ulama dan orang-orang shaleh untuk tidak
ikut menyalatkan jenazah orang yang berlaku fasik (koruptor)
sebagai sebuah pelajaran dan mencegah bagi yang lain agar tidak
mengikuti perbuatan fasik tersebut.29
Sedangkan menurut Munir Mulkan secara ekstrim tindak
korupsi dapat dikatakan sebuah kekafiran yang nyata, sebab
kekafiran bukan semata-mata karena sesorang tidak bersedia
menyatakan diri beriman kepada Tuhan secara formal (verbal/
lisan), tetapi lebih empiris dalam praktek korupsi, politik uang,
dan politik preman (dengan kekerasan). Penyelewangan jabatan,
penggunaan berbagai ancaman kekerasan dalam praktek politik,
manipulasi hukum dan perundangan yang berlaku merupakan
bentuk pemalsuan logika rakyat dan sekaligus pemalsuan
kesalehan yang secara sistematis bisa menghancurkan sisitem
demokrasi dan kesalehan keagamaan.30 Hal itu sesuai dengan
apa yang dijelaskan dalam al-Qur’an dan sunnah Rasulullah saw,
yang dapat kita simpulkan bahwa korupsi merupakan perbuatan
yang dilarang dan merupakan dosa besar.
Penutup
Korupsi adalah mengambil secara tidak jujur
perbendaharaan milik publik atau barang yang diadakan dari pajak
yang dibayarkan masyarakat untuk kepentingan memperkaya
dirinya sendiri. Korupsi adalah tingkah laku yang menyimpang
M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, hlm. 137
Abdul Munir Mulkan, Manusia Al-Qur’an: Jalan Ketiga Religiositas
di Indonesia, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), hlm. 224
29
30
190a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Teologi Anti Korupsi (oleh:Abdul Karim)
dari tugas-tugas resmi yang secara sengaja dilakukan sendiri atau
bersama-sama untuk memperoleh keuntungan berupa status,
kekayaan atau uang untuk perorangan, keluarga dekat atau
kelompok sendiri.
Untuk konteks Indonesia, ketika sistem hukum dan sistim
sosial tidak mendukung, maka keteladanan tokoh masyarakat
akan berperan sangat penting dalam memberantas korupsi. Jadi
harus dimulai dari diri sendiri. Untuk pola hubungan masyarakat
yang masih sangat dipengaruhi community leader (pemimpin
kelompok) faktor keteladanan memang harus lebih ditonjolkan.
Sayangnya, sentimen sosial kaum muslim terhadap isu-isu seperti
korupsi, dan problem-problem sosial lainnya yang bersinggungan
langsung dengan kita, nampaknya kurang bersemangat untuk
mendapatkan perhatian dibandingkan dengan sentimen
persaudaraan sesama muslim seperti dengan Palestina ataupun
Irak yang sangat luar biasa. Semua energi bisa dilibatkan dan
sedia dikerahkan. Padahal menurut sejarah, perhatian pertama
Nabi Muhammad dalam dakwahnya terletak pada usaha perbaikan
sistem sosial.
Banyak ayat dalam al-Qur’an yang memberikan argumen
yang sangat tegas bahwa dalam setiap harta yang dimiliki
manusia, senantiasa ada hak yang tersurat. Dan hak itu, jelas
bukan miliknya (Qs. Al-Maarij: 24-25). Dengan ungkapan yang
berbeda, Allah ingin memberi ketegasan, bahwa sesungguhnya
seorang manusia harus menafkahkan atas harta yang dikuasai
(Qs. Al-Hadid: 7). Lalu, jika korupsi dilakukan, bukankah itu
merupakan pengingkaran besar atas amanah kebendaan yang
dititipkan pada manusia. Hanya saja, ini sekadar menjadi
kesadaran kultural, tidak punya daya paksa struktural, sehingga
sang koruptor menjadi tak bergeming.
Sesungguhnya memang sudah saatnya al-Qur’an tidak
lagi diletakkan sebagai kesadaran normatif yang hanya bergerak
pada wilayah kultural. Ia juga harus mampu menyelinap dalam
perbaikan pada ruang-ruang struktural. Dan itu artinya, alQur’an juga sesungguhnya bisa menjadi landasan teoritik yang
bisa dipakai untuk melakukan pembebasan kemanusiaan, bahkan
untuk masalah seperti korupsi.
Al-Qur’an mempunyai kekuatan untuk membentuk
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
191
Teologi Anti Korupsi (oleh:Abdul Karim)
budaya masyarakat. Al-Qur’an memiliki impetus emosional yang
dapat menggerakkan umat Islam untuk bersikap sesuai dengan
ajaran yang dikandungnya. Hanya saja, yang patut disayangkan,
doktrin-doktrin normatif yang tertuang dalam al-Qur’an itu,
bagi kebanyakan umatnya tidak mempunyai dimensi sosial dan
intelektual yang kuat dalam membendung realitas kemungkaran
yang terjadi.***
192a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Teologi Anti Korupsi (oleh:Abdul Karim)
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Halim Hasan Binjai, Tafsir al-Ahkam, Jakarta: Kencana,
2006.
Abdul Haq, dkk, Formulasi Nalar Fiqh, I, Surabaya: Kalista,
2006.
Abdul Munir Mulkan, Manusia Al-Qur’an: Jalan Ketiga
Religiositas di Indonesia, Yogyakarta: Kanisius, 2007
Ahmad Baidlawi, “Pemberantasan Korupsi dalam Persepektif
Islam”, dalam Jurnal Esensia, Vol. 10, No. 2, Juli,
2009.
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir: ArabIndonesia, Surabaya: Pustaka Progresif, 1997
Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Bairut: Dar al-Kutub alIlmiyyah, 2006.
Al-Syatibi, Al-Muwaffaqat fi Ushul al-Syari’ah, Juz II, Bairut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2004.
Al-Zamakhsyari, Tafsir al-Kasyaf, Juz III, Bairut: Dar alIlmiyyah, 1968.
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
2010
Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Nasional
dan Internasional, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2005
Andi Hamzah, Kamus Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986
Anwar Harjono,. Hukum Islam; Keluasan dan Keadilannya,
Jakarta: Bulan Bintang, 1968.
Bambang Soesatyo, Perang-perangan Melawan Korupsi, Jakarta:
Ufuk Press, 2011
Duski Ibrahim, “Perumusan Fikih Anti Korupsi” dalam
Suyatno,ed, Korupsi, Hukum dan Moralitas Agama,
Yogyakarta: Gama Media, 2006.
Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid. 4, Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1997.
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
193
Teologi Anti Korupsi (oleh:Abdul Karim)
Hakim Muda Harahap, Ayat-ayat Korupsi, Yogyakarta: Gama
Media, 2009.
Husain Husain Syahatah, Suap dan Korupsi dalam Perspektif
Syariah, terj. Kamran As’ad Irsyady, Jakarta: Amzah,
2005.
Jonathan Crowther (ed), Oxford: Advanced Learners Dictionary,
1995.
M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, Jakarta:
Amzah, 2011.
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an Jilid 2: Memfungsikan
Wahyu dalam Kehidupan,Tangerang: Lentera Hati,
2011.
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan
Keserasian Al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, 2000.
Mahfudz Masduki, “Beberapa Prinsip dan Metode Penafsiran alQur’an” dalam Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan
Hadis, Yogyakarta: Jurusan Tafsir Hadis IAIN Sunan
Kalijaga, 2000.
Muhammad Husain Haikal, Sayyidina Umar bin khattab, Jakarta:
Litera Antar Nusa, 2003.
Nasr Haid Abu Zaid, Tekstualitas al-Qur’an: Kritik Terhadap
Ulumul Qur’an, terj. Khoiron Nahdliyyin, Yogyakarta:
LkiS, 2003.
Robert Klitgaard dkk., Penuntun Pemberantasan Korupsi dalam
Pemerintahan Daerah terj. Hermoyo, Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 2002.
194a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Ritus Dalam Keberagamaan Islam (oleh: Ulya)
RITUS DALAM KEBERAGAMAAN ISLAM:
RELEVANSI RITUS DALAM KEHIDUPAN
MASA KINI
Ulya
STAIN Kudus
Email: [email protected]
ABSTRAK
Sebagai pegangan hidup segenap kaum muslim, Islam
memberikan petunjuk umum yang bisa mengarahkan kehidupan
mereka ke arah yang benar menurut doktrin agama. Dalam
hal ini, Islam menjelaskan tentang ritus-ritus keagamaan
yang bisa mengantarkan para pelakunya ke arah kebaikan
dan kesejahteraan hidup mereka. Tidak dapat dipungkiri
kenyataannya, berbagai ritus dalam doktrin ajaran Islam akan
membawa pelakunya mengerti hakikat sakral dan profan dalam
kehidupan.Artikel ini menyajikan beberapa pola utama aspekaspek ritual Islam. Dari pembahasan pada kajian ini pula
masing-masing pribadi muslim diarahkan kepada pengetahuan
mereka akan nilai-nilai luhur akidah Islamiyah yang mewujud
dari ritus-ritus keagamaan yang diwujudkan. Eksistensi ritus
keislaman yang akan diuraikan pada artikel ini sepenuhnya
diarahkan kepada pola perkembangan ritus, dasar perwujudan
ritus, dan implikasi logis ritus keislaman bagi pelakunya.
Kata Kunci: Ritus, Sakral dan Profan, Keislaman, Hidup
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
195
Ritus Dalam Keberagamaan Islam (oleh: Ulya)
Pendahuluan
Islam adalah agama yang komprehensif, mengatur seluruh
kehidupan manusia untuk mencapai kebahagiaan yang utuh. Fi addunya hasanah wa fi al-akhirah hasanah. Islam juga tidak hanya
berisi proposisi-proposisi teologis belaka tetapi ia juga memuat
aspek-aspek perilaku. Demikian relevan dengan pernyataan
Mahmud Syaltut bahwa Islam itu aqidah wa syari’ah.1
Akidah adalah dimensi internal keberagamaan yang
terkait dengan materi-materi kepercayaan manusia (the human
belief), sedangkan syari’ah adalah dimensi eksternalnya yang
memiliki representasi berupa perilaku keberagamaan (the religious
behaviour), yakni berupa ajaran-ajaran praktis agama yang
terelaborasi dalam tata hubungan antara manusia dengan Tuhan,
manusia dengan sesamanya, dan manusia dengan lingkungannya.
Dalam bahasa agama, kedua wilayah ini tersimpulkan dalam
arkan al-iman dan arkan al-Islam.
Praktik-praktik syar’i merupakan implementasi dan
aktualisasi dari akidah,2 yang dalam realisasinya terdiri dari
2 (dua) kategori fundamental, yakni ajaran yang universal,
yang tidak meruang-waktu dengan model-model perilaku yang
partikular dan meruang waktu. Jika yang pertama disebut doktrin
maka yang kedua disebut dengan ritus atau ritual. Keduanya
menjadi satu kesatuan sisten yang tak bisa dipisahkan dalam
proses pengamalan agama.
Ritus – dalam perkembangan selanjutnya – bertolak dari
pemahaman tentang Islam sebagai rahmah li al-`alamin yang
membuka peluang masalah-masalah untuk diinterpretasikan
kembali sesuai situasi dan kondisi sosiologis, menurut konteks
ruang dan waktu, dan sebagainya, maka ritus juga dimungkinkan
akan mengalami pergeseran opini. Ritus-ritus Islam muncul dan
berkembang bersamaan dengan turunnya risalah Islam pada masa
Nabi Muhammad, apabila diimplementasikan pada kehidupan
Mahmud Syaltut, Islam Akidah wa Syari’ah, (T.tp : Dar al-Qalam,
1966), hlm. 32
2
Bandingkan dengan konsep iman menurut Imam al-Asy’ari bahwa
al- iman huwa tasdiq bi al-qalbi, qaul bi al-lisan, wa amal bi al-jawarih fa
furu’uh . Lihat dalam as-Syihrastani, al-Milal wa an-Nihal , (Beirut Dar al-Fikr,
t.th), hlm. 101
1
196a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Ritus Dalam Keberagamaan Islam (oleh: Ulya)
sekarang, apakah masih bermakna dan relevan?
Persoalan tersebut akan dijawab dengan tulsan singkat
ini, dengan pembahasan secara berurutan : pengertian ritus dan
ritus Islam, elemen-elemen ritus Islam, ruang lingkup ritus Islam,
makna ritus dan kaitannya dengan konteks kekinian, dan ditutup
dengan relevansi ritus Islam.
Pengertian Ritus dan Ritus Islam
Term ritus dalam bahasa Inggris, yaitu rite (tunggal) dan
rites (jamak), yang mempunyai arti secara leksikal, yaitu perilaku
atau upacara-upacara (act and ceremonies) yang berkaitan
dengan pelayanan keagamaan.3 Sedangkan secara definitif, ritus
berarti aturan-aturan pelaksanaan (the rules of conduct), yang
melukiskan bagaimana seseorang seharusnya bertingkah laku
dalam kehadirannya di depan obyek – obyek yang sakral atau
disucikan.4 Dalam konteks yang lebih spesifik, bahwa ritus dalam
Islam dideskripsikan sebagai perwujudan dari doktrin-doktrin
Islam (expression of Islamic doctrine). 5
Dari batasan di atas maka ritus dalam Islam pada dasarnya
adalah semua bentuk praktik keberagamaan, baik berupa perilaku
atau upacara-upacara keagamaan yang pelaksanaannya telah
diatur sedemikian rupa, sebagai bentuk penyembahan (worship),
pengabdian atau pelayanan (service), ketundukan (submission),
dan ekspresi rasa syukur (gratitude), yang lahir dari seorang
hamba kepada Tuhannya dalam rangka merealisasikan ajaranajaranya dan menjalankan hidup secara religius menuju klaim
saleh dan takwa.
Elemen-Elemen Ritus Islam
Setiap bentuk praktik keberagamaan, baik berupa
perilaku atau upacara-upacara keagamaan yang pelaksanaannya
AS. Hornby, Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current
English, (New York : Oxford University Press, 1987), hlm.734
4
Emile Durkheim, The Elementary Forms of The Religious Life,
(London : George Allen and Unwin, 1982), hlm. 41
5
Frederick M. Denny, “Islamic Ritual (Perspective and Theory)”,
dalam Richard C Martin, Approaches to Islam in Religious Studies, (USA :
Arizona State University, 1985), hlm. 64
3
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
197
Ritus Dalam Keberagamaan Islam (oleh: Ulya)
telah diatur oleh ajaran agama, sebagai bentuk penyembahan,
pengabdian atau pelayanan, ketundukan , dan ekspresi rasa
syukur, yang dilaksanakan oleh seorang hamba karena Tuhannya
dalam rangka merealisasikan ajaran-ajarannya dan menjalankan
hidup secara religius, memiliki elemen-elemen sebagai berikut :
1. Adanya sistem perilaku yang pelaksanaanya diulang-ulang
terus-menerus, dan reguler. Dalam ritus harus mengandung
perilaku yang diperlihatkan dalam praktik sebab ritus adalah
model dari tindakan atau perilaku.
2. Dalam ritus mengandung unsur penyembahan atau pengabdian
atau ketundukan atau pemujaan atau ungkapan perasaan
bersyukur, dari yang lebih inferior, yakni hamba sebagai
makhluk yang diciptakan, kepada yang paling superior yakni
Allah, Tuhan yang menciptakan.
3. Allah sebagai tujuan akhir (the final purpose of Islamic rites)
sehingga apabila sikap atau perilaku yang di dalamnya telah
memuat unsur penyembahan, pengabdian, pemujaan, dan lainlain, tetapi tidak ditujukan pada Allah maka perilaku tersebut
tidak termasuk dalam klasifikasi ritus Islam.
4. Adanya sistem pemisahan (system of separation) antara yang
suci dan yang tida suci, yakni ritus dilaksanakan pada tempat
atau waktu tertentu yang disucikan atau dilarang karena tidak
disucikan.
Dalam perspektif ini Annimarie Schimmel menyatakan bahwa
di dunia ini terdapat beberapa aspek yag suci dan yang disucikan.
Kesucian sesuatu itu disebabkan 3 (tiga) hal, yaitu :
a. Karena watak atau karakternya (sacred aspect of nature),
seperti: air zam-zam, babi haram karena tidak suci atau
bangkai binatang laut halal karena suci adalah berdasarkan
wataknya.
b. Karena tempat dan waktu (sacred space and time), seperti:
malam lailah al-Qadar, bulan Raadhan, Bait al-Haram,
Ka’bah, dan lain-lain
c. Karena perbuatannya sendiri (sacred actions), seperti:
salat, haji , berkurban, wudhu, dan seterusnya. 6
Baca penjelasan selengkapnya dalam Annimarie Schimmel,
Deciphering The Sign of God (A Phenomenological Approach to Islam), (New
York : State University of New York, 1994), hlm.1-89.
6
198a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Ritus Dalam Keberagamaan Islam (oleh: Ulya)
5. Konsekwensi adanya pembedaan antara yang suci dan yang
tak suci (sacred and profane) maka perilaku-perilaku ritual
atau ritus selalu terkait dengan hukum Islam yang oleh ulama
fuqaha’ dikategorisasikan menjadi 5 (lima), yaitu wajib, sunnah,
hram, makruh, dan mubah. Atau dengan pemisahan yang lebih
clear and distinc, meminjam term Rene Desacartes, adalah
antara halal dan haram, dianjurkan dan dilarang (permitted and
forbidden). Sebagai contoh bahwa pelaksanaan berkorban pada
hari raya ‘id al- adha adalah dianjurkan, sedangkan menyembah
selain Allah adalah dosa dan dilarang.
Ruang Lingkup Ritus Islam
Ritus atau ritual keagamaan secara umum, termasuk ritus
dalam Islam, di dalamnya pasti melibatkan perilaku (action) dan
atau upacara-upacara keagamaan (ceremonies) dalam rangka
berdoa, memuji, mengabdi kepada Tuhan, Dzat yang suci dan
disucikan. Pelaksanaannya kadang-kadang secara berkelompok,
tetapi sering juga dilaksanakan secara individual, pada waktuwaktu yang telah ditentukan (bisa harian – mingguan – bulanan –
tahunan), pada tempat-tempat tertentu (walaupun yang ini tidak
mutlak), selalu diuulang-ulang secara terus-menerus.
Ritus atau ritual hampir berada dan melekat pada seluruh
perilaku keberagamaan yang merupakan aktualisasi konkret dari
kepercayaan atau keimanan seseorang pada Tuhan, secara garis
besarnya dapat diklasifikasikan ke dalam 2 (dua) ruang lingkup,
yaitu :
Yang
pertama,
praktik ritual yang masuk dan
terelaborasikan dalam arkan al-islam, yang terdiri dari salat,
puasa, zakat, dan haji. Masing-masing perilaku tersebut termasuk
dalam sacred actions, dilaksanakan pada momen-momen tertentu
dan diulang-ulang (salat wajib dilaksanakan lima waktu yang
disucikan dalam seharinya , puasa ramadhan wajib dilaksanakan
ddengan kesucian blan Ramadhan, zakat terkait dengan periode
tahunan atau waktu pencapaian satu nishab atau standar
pencapaian tertentu, begitu pula haji erat hubungannya dengan
kesucian bulan Dzu al-Hijjah) ; merujuk pada temat tertentu (salat
menuju atau menghadap tempat suci, Ka’bah, haji merupakan
perjalanan suci menuju bait al-haram yakni Makkah dan
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
199
Ritus Dalam Keberagamaan Islam (oleh: Ulya)
Madinah) ; kesemuanya diorientasikan hanya untuk dan sebagai
bukti pengabdian, ketundukan, pemujaan, juga mengekspresikan
rasa syukur kepada Allah sebagai tujuan utamanya.
Yang kedua, yaitu praktik-praktik ritual yang berada di
luar wilayah arkan al-Islam, seperti: wudhu diwajibkan setiap
sebelum salat, membaca al-Qur’an atau tawaf , menyembelih
hewan untuk berkurban dilaksanakan setiap bulan dzu al-hijjah,
akikah dianjurkan untuk dilakukan pada hari ke-7 kelahiran bayi,
upacara-upacara kelahiran yang lain, pernikahan, peringatan
hari-hari besar Islam, dan sebagainya, yang semuanya itu tidak
semata-mata hanya mengandung unsur rutinitas, melainkan
mengandung unsur simbolik yang memiliki makna di balik
perilaku itu sendiri.
Makna Ritus, Kaitannya dengan Konteks kekinian
Allah telah memerintahkan, menganjurkan atau melarang
hambanya untuk berbuat sesuatu tidak tanpa maksud. Hal yang
demikian karena tidak selaras dengan tradisi Allah yang selalu
berbuat, menciptakan sesuatu pasti menuju tujuan dan arah yang
teah ditetapkan. Firman Allah : “ Kami tidak menciptakan langit
dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya tanpa guna”7
Demikian itu pula ketika Allah mewajibkan salat, puasa
, menganjurkan berkorban, melarang makan babi, dan lain-lain.
Pastinya di balik semua itu terdapat rahasia atau makna yang
seharusnya diungkap oleh semua umat silam, tetapi mungkin akan
timbul pertanyaan : “Adakah sebuah keniscayaan bahwa perintah
atau larangan Allah yang turun bersamaan dengan diwahyukannya
al-Qur’an pada masa Nabi Muhammad pada masa berabad-abad
yang lalu masih mempunyai keterkaitan makna sesuai dengan
rentang waktu sekarang yang semuanya telah berubah ?”. Dalam
hal ini harus diingat bahwa dengan selesainya risalah Nabi berarti
telah sempurna pula ajaran-Nya. Allah berfirman bahwa : “ Pada
hari ini telah Aku sempurnakanuntukmu agamamu dan telah
Aku cukupkan kepadamu nikmatKu dan telah Aku ridhoi Islam
menjadi agama bagimu”. 8Sempurna di sini bukan berarti selesai,
Lihat al-Qur’an, Qs. Shad : 27
Lihat al-Qur’an , Qs. al-Maidah : 3
7
8
200a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Ritus Dalam Keberagamaan Islam (oleh: Ulya)
menjadi usang, dan ketinggalan zaman, dan tidak ada kaitannya
dengan masa sekarang, tetapi sempurna karena universalitasnya
dan relevansinya sepanjang masa. Salih li kulli zama wa makan.
Selanjutnya, berikut ini aan disajikan beberapa contoh
ritus keberagamaan dalam Islam, makna hubungannya dengan
konteks kekinian:
Yang pertama, adalah salat. Salat adalah ritual dalam
Islam yang paling utama. Seperti yang telah diketahui bahwa
salat adalah ibadah yang dimulai dengan niat dan takbirah alihram dan diakhiri dengan gerakan salam, namun tidak sekedah
formalisme-legalisme. Dengan menghayati makna bacaan dan
gerakan dalam salat maka kita bisa mengembangnkan darinya
ahlak-khlak yang terpuji, seperti : sikap rendah diri, mencegah
keangkuhan dan ketakabburan sebab setelah kita bersujud kepadaNya dengan penuh kesadaran, kita akan merasa kecil dihadapanNya.9 Atau dengan salat yang dilakukan secara bersama-sama
atau berjamaah maka akan mendidik pelakunya untuk bersikap
egaliter, memunculkan rasa sosial.10 Sebelum salat diwajibkan
mengambil air wudhu yang mencerminkan vbahwa Islam
menganjurkan kebersihan. Tidak hanya kebersihan ragawi, tetapi
juga kesucian rohani.
Yang kedua, puasa. Puasa dalam arti yang umum adalah
tidak makan dan tidak minum yang diakukan di abad ini dengan
berbagai motif. Biasanya untuk menjaga kesehatan, dalam rangka
berdiet, merupakan ungkapan solidaritas atau sebagai protes
sosial, yang semuanya memiliki eseni yang sama, yaitu untuk
mengendalikan diri (self control). Begitupun puasa sebagai ritual
dalam Islam, yang setelah kita melakukan dan menghayatinya
maka akan menimbulkan sikap kontrol diri terutama berkaitan
dengan kebutuhan-kebutuhan faali dan berkembangnya potensi
diri agar mampu membentuk diri sesuai dengan citra Allah,
takhallaqu bi akhlaq Allah, 11 tentunya dengan menyontoh
Secara normatif telah disebutkan dalam firman-Nya bahwa “
Sesungguhnya salat bisa mencegah dari perbuatan yang keji dan munkar”. Lihat
dalam al-Qur’an Qs. ....
10
Hasbi ash-Shiddieqy, Kuliah Ibadah, (jakarta : Bulan Bintang,
1954), hlm.230
11
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, (Jakarta : Mizan,
9
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
201
Ritus Dalam Keberagamaan Islam (oleh: Ulya)
perilaku Nabi Muhammad sebagai uswah hasanah.12 Selain
itu bisa menumbuhkan rasa solidaritas sosial, menumbuhkan
perasaan simpati, bahkan empati terhadap kaum yang tidak
beruntung secara material.
Kemudian ritual zakat. Zakat berarti menyucikan harta
yang dimiliki dari hak-hak orang lain dengan memberikan sebagian
kekayaannya kepaa mereka yang berhak di jalan Allah. Secara
nyata, dengan berzakat akan memacu dan memicu kesejahteraan
sosial (social welfire) di kalangan umat, juga mengembangkan
kepribadian, kedermawanan, mengikis sikap kikir bagi pemberi
dan mengikis sikap iri dan dengki bagi si penerima,13 juga sebagai
sarana untuk memusnahkan penyakit riba,14 juga menghalangi
timbulnya kelas-kelas sosial, kapitalisme, dan mengentaskan
kemiskinan. Dan seperti zakat pula, ritual korban, akikah
sebagai pengorbanan (sacrifices) versi Islam , terutama bertujuan
sebagaimana di atas di samping sebagai ekpresi ungkapan rasa
terima kasih kepada Allah atas nikmat yang teah diberikan.
Selanjutnya haji. Banyak makna yang ada di balik ritual haji
sesuai dengan konteks kekinian, di antaranya : ihram mempunyai
makna kesederhanaan, tawaf yakni berkunjug ke Ka’bah yang di
situ terdapat Hijr Ismai yang mengandung sejarah bahwa Nabi
Ismail pernah berada di pangkuan ibunya yang bernama Siti
Hajar, seorang bekas budak berkulit hitam dan miskin, yang
dimakamkn di sana menandakan bahwa Islam mengembangkan
prinsip persamaan (equality) yang tidak melihat manusai atas
dasar perbedaan ras, suku, golongan, status sosial. Lalu peristiwa
Arafah atau wuquf di arafah akan mengingatkan kita pada
perjlanan akhir dunia yakni nanti kita akan dikumpulkan Allah di
padang maskhsyar,15 dan seterusnya.
Demikian beberapa contoh yang telah disebutkan di atas
mennjukkan bahwa ritus atau ritua dalam Islam mempunyai
makna yang mendalam, selalu menampakkan keterkaitannya
di sepanjang masa sehingga tetap relevan untuk ditumbuhkan
1997), hlm.308
12
Lihat al-Qur’an , Qs. ....
13
Ibid., hlm.325
14
Lihat al-Qur’an , Qs. al-Baqarah :276
15
M. Quraish Shihab, Membumikan, hlm.335-337
202a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Ritus Dalam Keberagamaan Islam (oleh: Ulya)
dan dikembangkan pada masa sekarang dan masa-masa yag aka
datang.
Relevansi Ritus Islam
Berdasarkan uraian di atas maka secara tak langsung
bisa dinyatakan bahwa antara ibadah dan pelaksanaan ritus atau
ritual berdiri dalam satu entitas yang tak bisa dipisahkan satu
dengan yang lainya. Ritus selalu menyertai pelaksanaan ibadah,
ibadah merupakan perilaku keagamaan yang harus dilakuka oleh
setiap musim kapanpun dan dimanapun mereka besada. Ibadah
adalah sebagai suatu keharusan untuk dilaksanakan seperti pusa,
mengukutu perintah Allah dan Rasu-Nya. 16
Dengan demikian maka apabila ibadah harus dilaksanakan
sapai kapanpun maka pelaksanaan ritus yng direfleksikan dengan
simbol-simbol perbuatan atau upacara yang ada di dalamnya
tak dapat ditinggalkan dan pula akan tetap sesuai untuk
dilaksanakan. Pelaksanaan ritus cenderung tetap sebagaimana
pendapat Catherine Bell, bahwa : “Aktivitas ritual pada umumnya
cenderung untuk menolak perubahan dan lebih serig dilakukan
dari pada bentuk-bentuk lain dari pada kebiasaan-kebiasaan
lainnya (social customs).” 17
Pada sisi yang lain, bahwa ritus dalam Islam adalah
sesuatu yang signifikan, yang tak hanya memiliki nilai fisik tetapi
juga menjelaskan aspek-aspek spiritual tertentu,18 sikap-sikap
tertentu yang membuat kehidupan ini lebih bermakna setelah
kita memahami dan menghayati semangat yang terkndung di
dalamnya.
Ritus sebagai sebuah system of symbol and actions ternyata
juga emainkan peranan yang penting dalam menegaskan kepada
dunia akan kekayaan pemikiran dan kultur Islam sehingga Islam
sepanjang masa memberikan kontrbusi tentag pemikiran, budaya,
dan literatur-literatur yang berkonsentrasi pada persoalan ini. 19
Lihat al-Qur’an , Qs. al-Baqarah :2, juga dalam Qs. al-Ahzab : 36
Catherine Bell, Ritual : Perspective and Dimensions, (New York :
Oxford University Press, 1997), hlm.241
18
Annimarie Schimmel, Deciphering, hlm.xiii
19
John L. Esposto, The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic
Wordl, Vol.III, (New York : Oxford niversity Press, 1995), hlm.442
16
17
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
203
Ritus Dalam Keberagamaan Islam (oleh: Ulya)
Akhirnya penulis mengakhiri dengan mengutip pendapat
ali Syariati, seorag pemikir besar Modern dari Iran, terkait
dengan pembahasan relevansi dan peranan ritus masa kini.
Dia menyatakan bahwa :” Keselamatan seseorang berada pada
keberhasilannya dala mengatasi tantangan antara komponen
spiritual dan material yang membuat kepribadian manusia
(human personality) tercermin dalam ketundukan dan ungkapan
rasa syukur pada Tuhan yang diekspresika secra simbolik (melalui
ritus –pen).”20
Penutup
Dari keseluruhan pembahasan di atas artikel dengan
tema “Ritus dalam Keberagamaan Islam : Relevansi Ritus dalam
Kehidupan Masa Kini ” maka bisa dicatat sebuah kesimpulan
bahwa ritus dalam keberagamaan Islam adalah bagian yng tak
terpisahkan dari ibadah. Dan Ibadah adalah unsrur penting dalam
syari’ah. Dia sebagai sebuah sistem simbol yang mengandung
nilai-nilai spriritual dan makna terdalam, yang realisasinya berupa
perilaku dan upacara-upacatra keagamaan.
Nilai- nilai spriritual dan makna terdalam di balik simbol
ritus itulah yang seharusnya dikembangkan dan diaktualisasikan
dalam kehidupan konkret, setelah kita melakukan perilaku ritual
dan menghayati semangatnya, sehingga di sinilah maka ritus
dalam keberagamaan Islam akan tetap relevan, bermakna, dan
penting di setiap perjalanan rentang sejarah manusia.
Pada bagian yang lain tetap perlu diwaspadai bahwa
manusia adalah makhluk sosial (zoon politicon) yang selalu
berinteraksi dengan lingkungan, kultur, tradisi serta pemeluk
agama atau kepercayaan lain sehingga tidak berlebihan jika
muncul harapan agar kita tetap bersama-sama menjaga ritus
dalam keberagamaan Islam tetap pada kesuciannya, tidak sengaja
atau sengaja dilakukan sinkritisme dengan kultur atau tradisi lain
yang tidak islami yang menyebabkan ritus Islam tidak terjamin
kemurniannya lagi. Meskipun yang demikian itu kita seharusnya
tetap berada dalam kesadaran bahwa manusia itu bagai astronot,
yang keberadaannya tergantung dan dipengaruhi oleh hal-hal
20
204a
Ibid.
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Ritus Dalam Keberagamaan Islam (oleh: Ulya)
lain yang ada di sekitarnya. Kata al-Jabiri bahwa : “Manusia
dianalogikan dengan astronot. Sebagai astronot maka manusia
sebagai penafsir akan selalu bergerak, diserap, dan ditarik ke
dalam arus gerak rotasi iklim intelektual, sosial, maupun politis
yang dikondisikan oleh sejarah, yang disebutnya sebagai al-itar
al-marji’i (bingkai rujukan)”.21
Ketika seorang astronot terbang dengan pesawat ruang angkasanya
maka pesawatnya itu baginya bisa disebut sebagai bingkai rujukan dimana
melalui dan dengan kerangka itulah dia memandang sesuatu. Bintang, tata
surya, dan pesawat ruang angkasa lainnya, bisa terlihat dekat atau jauh, di
atas atau di bawah, cepat atau lambat, bila dilihat dari posisi dan kecepatan
pesawatnya. Dengan ungkapan yang lebih umum, pandangan astronot terhadap
segala sesuatu yang ada di alam dibatasi oleh ikatan imajinatif yang terentang
sampai ke dinding yang merupakan panjang ruangan, dinding yang merupakan
lebar ruangan, dan atap yang memisahkan antara lampu dengan lantai ruangan.
Sesungguhnya seluruh manusia bagaikan astronot tersebut. Masing-masing
memiliki bingkai rujukan yang membatasi hubungannya dengan alam. Kita tidak
mengetahui atau mengetahui sesuatu kecuali melalui hal yang menghubungkan
sesuatu itu dengan bingkai rujukannya. Muḥammad Abid al-Jabiri, Takwin alAql al-Arabi (Beirut : al-Markaz as-Saqafi al-Arabi, 1991), hlm.61.
21
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
205
Ritus Dalam Keberagamaan Islam (oleh: Ulya)
DAFTAR PUSTAKA
Annimarie Schimmel, Deciphering The Sign of
God (A
Phenomenological Approach to Islam), (New York :
State University of New York, 1994)
AS. Hornby, Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current
English, (New York : Oxford University Press, 1987)
as-Syihrastani, al-Milal wa an-Nihal , (Beirut Dar al-Fikr, t.th)
Catherine Bell, Ritual : Perspective and Dimensions, (New York
: Oxford University Press, 1997)
Emile Durkheim, The Elementary Forms of The Religious Life,
(London : George Allen and Unwin, 1982)
Frederick M. Denny, “Islamic Ritual (Perspective and Theory)”,
dalam Richard C Martin, Approaches to Islam in
Religious Studies, (USA : Arizona State University,
1985)
Hasbi ash-Shiddieqy, Kuliah Ibadah, (Jakarta : Bulan Bintang,
1954)
John L. Esposto, The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic
Wordl, Vol.III, (New York : Oxford niversity Press,
1995)
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, (Jakarta : Mizan,
1997)
Mahmud Syaltut, Islam Akidah wa Syari’ah, (T.tp : Dar al-Qalam,
1966)
Muhammad Abid al-Jabiri, Takwin al-Aql al-Arabi (Beirut : alMarkaz as-Saqafi al-Arabi, 1991)
206a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
fikrah
Vol. 1 N0. 1.
Januari - Juni 2013
ISSN : 2354-6174
Page: 1-206
Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan
fikrah
Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan
Vol. 1 N0.1. Januari- Juni 2013
MEWUJUDKAN TRADISI ISLAM DALAM MANIFESTASI
HARMONI KEBERAGAMAAN UMAT
Mas'udi
KRITIK WACANA PLURALISME AGAMA
Andi Hartoyo
RELATIVITAS AJARAN AGAMA: MENUJU PLURALISME
KEBERAGAMAAN YANG HARMONIS
Ahmad Atabik
ISSN :2354-6174
AMBIVALENSI KOTA DEMOKRASI DALAM FILSAFAT POLITIK
AL‐FARABI STUDI KRITIS MADINAH AL FADHILAH AL FARABI
Moh. Yasin
TEOLOGI ISLAM KONTEKSTUAL‐TRANSFORMATIF
Nur Said
STRUKTUR NALAR DI BALIK POLEMIK TEOLOGI DAN
FILSAFAT ISLAM
Tahir Sapsuha
Diterbitkan oleh:
Jurusan Ushuluddin Program Studi Ilmu Aqidah
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kudus
Alamat: Jl. Conge Ngembalrejo PO BOX 51
Telp. (0291) 432677 fax. (441613) Kudus 59322
Jurusan Ushuluddin Program Studi Ilmu Aqidah
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUS
JAWA TENGAH ‐ INDONESIA
Download