Dialog Pengembangan Potensi Bentuk dan Ruang pada Arsitektur Tradisional Indonesia dengan Konteks Masa Kini dan Mendatang 1Surel: Rahadhian PH1, [email protected], [email protected] ABSTRAK: Bentuk dan Ruang merupakan dua aspek yang tidak dapat dipisahkan dalam perwujudan arsitekturnya, khususnya dalam konteks arsitektur tradisional di Indonesia. Arsitektur tradisional Indonesia memiliki kekhasan dalam wujud ruang dan bentuk tersebut. Arsitektur tradisional tersebut berdasarkan fungsi dapat dibagi menjadi dua bagian yakni yang bersifat sakral seperti bangunan religi dan yang bersifat non sakral seperti bangunan hunian dan dungsi lainnya. Makalah ini membahas potensi pengembangan karakteristik yang bersumber bangunan-bangunan tradisional tersebut yang transformatif dan dikaitkan dengan kondisi di masa kini dan tantangan mendatang. Beberapa contoh penerapan arsitektur tradisional dalam konteks saat kini menunjukkan adanya wujud yang sangat beragam baik sekadar eklektik - tempelan maupun mendalam. Penelitian ini dilakukan secara deskriptif dan argumentatif untuk menjelaskan konsekuensi kreativitas penggunaan unsur-unsur arsitektur tradisional Indonesia tersebut dalam menghasilkan wujud yang baru. Penerapan unsur-unsur masa lalu diharapkan tidak merendahkan nilai-nilai aslinya namun dapat memperkaya dan memperluas makna bahkan meningkatkan nilai keutamaannya, mengingat konteks waktu yang berbeda. Nilai-nilai yang terkandung dalam arsitektur tradisional tidak berhenti di masa lalu namun dapat direkontekstuitaskan sesuai dengan perkembangan jamannya, sehingga terjadi kesinambungan dialog antara past-present-future. Menggunakan representasi arsitektur tradisional dalam desain modern merupakan bagian dari proses rethink, reform, rebuild, reinvent, redefine, ataupun reevaluate, sehingga bersifat dinamis dan kontekstual terhadap perkembangan jamannya. Kata kunci: transformatif, rekontekstual, potensi, tradisional, dialog . 1. PENDAHULUAN Wujud bentuk dan ruang arsitektur bangunan religi dan hunian dalam arsitektur tradisional di Indonesia mempunyai kekhasan tertentu. Kekhasan dapat dipandang sebagai sesuatu yang statis dan dinamis. Kedinamisan dapat ditunjukkan melalui pelestarian dengan menggunakan kembali unsur-unsur arsitektur tradisional masa lalu dalam konteks masa kini. Penggunaan kembali arsitektur masa lalu tersebut harus lebih kritis, seperti dalam pemahaman critical regionalism atau yang diungkap Ricoeur's : ‘How become modern and return the source’. Semangat pelestarian dapat dibangun melalui usaha-usaha merekontekstualisasi arsitektur masa lalu di masa kini, tidak hanya melalui konservasi-preservasi terhadap bendanya melainkan juga melalui wujud ‘penggunaan representasinya’ atau idenya atau gagasannya atau spiritnya yang merujuk pada benda tersebut. Dengan menggunakan representasi yang merujuk pada sosok dan ruangnya bahkan tektonikanya, secara sadar maupun tak sadar, upaya untuk pelestarian telah dilakukan, meskipun sebatas menyangkut nilai-nilai yang terkadung di dalamnya, tidak sekadar benda fisiknya. Penggunaan unsur-unsur tersebut ternyata juga berkesuaian dan persisten di era modern sejak jaman Kolonial sampai Pasca Kolonial saat kini. Menggunakan representasi arsitektur masa lalu dalam desain modern menurut Prajudi (2015) merupakan bagian dari proses rethink, reform, rebuild, reinvent, redefine, ataupun reevaluate ‘benda’ masa lalu ke masa kini. Sejarah dapat difahami tidak hanya masa lalu melainkan bersifat masa kini (history of the present). Rekontekstualisasi masa lalu ke 1 masa kini hendaknya dipahami sebagai proses dialog antara masa lalu, kini dan mendatang. 2. STUDI PUSTAKA Berdasarkan kajian tentang arsitektur klasik Indonesia maka dapat diketahui beberapa unsur-unsur penting dan kuat dalam wujud arsitektotikanya. Unsur-unsur tersebut dianggap transferable untuk dapat dikembangkan di masa selanjutnya. Hal ini nampak penggunaannya pada era Islam dan Kolonial Barat di Indonesia. Menurut Prajudi (2014) dapat dirangkum aspek-aspek penting yang terkandung dalam bangunan tradisional hunian antara lain penggunaan: 1. Wujud ornamental berupa pola ragam hias sulur-suluran, binatang, moulding berupa padma, ragam hias geometrik persegi, bentuk persegi dan kurva untuk pintu-jendela. 2. Wujud pembagian tiga yang menunjukkan elemen kaki, badan, dan atap. 3. Wujud atap menunjukkan proporsi yang dominan dibandingkan elemen badan atau kakinya. Bentuk atap dapat dibagi menjadi dua jenis tipe yakni pelana dan perisai dengan berbagai variasinya. Kaki bangunan dapat berwujud panggung kecuali arsitektur tradisional Jawa Jaman Islam. 4. Karakter estetika arsitektural yakni: komposisi geometrik dapat berupa bentuk dasar yang lugas dan jelas seperti bujursangkar/persegipanjang/lingkaran/oval/ cruciform, badan dan atap bangunan menunjukkan ekspresi volumetrik, kaki bangunan dapat menunjukkan ekspresi garis, tata massa menunjukkan komposisi solid-void (dapat membentuk pola cluster atau linier) dalam perletakkannya menunjukkan simbiosis kesatuan Ruang dalam, Ruang Luar, Ruang Transisi, prinsip hirarki, ekspresi segitiga pada atap, pembagian tiga (kepala-badan-kaki/kiri-tengahkanan/atas-tengah-bawah), irama-perulangan (sosok dan ornamen), kesimetrian atau keseimbangan (memiliki pusat perhatian), Bio-mimesis (dalam wujud sosok bangunan atau ornamental), Bio mimesis ditunjukkan pada bentuk atap di beberapa bangunan yang menunjukkan elemen kurva menyerupai bentuk perahu/tanduk demikian pula pada beberapa elemen bangunannya tekstur pada beberapa bagian pemukaan atap atau dinding badan bangunan, sumbu/axis (dapat berupa linier atau memusat), sumbu ini berkaitan dengan orientasi bangunan-kosmologi- lingkungan alam sekitar menjadi pertimbangan Berdasarkan studi penggalian arsitektur percandian Indonesia (bangunan klasik peribadatan) juga ditemukan hal-hal yang identik dengan hal di atas. Unsur-unsur tersebut menurut Prajudi (2011 dan 2015) antara lain dalam wujud ornamental yang berbentuk moulding, berbentuk floral, fauna dan geometrik, Unsur-unsur lain yang juga persisten digunakan antara lain adalah pola geometrik kartesian, ekspresi volumetrik, dan pembagian tiga, khususnya pada sosok berupa kepala-badan-kaki, dsb. Selain itu bentuk-bentuk yang dianggap persisten yang tetap digunakan sampai saat kini adalah sosok gerbang, dan elemen atap berundak. Selain itu ruang-ruang arsitektur percandian menunjukkan adanya simbiosis antara ruang dalam, ruang antara, dan ruang luar. Hal dapat dikaitkan dengan manifestasi dari aspek ketropisan. Unsur tekstur pada fasade candi diperkirakan menunjukkan adanya korelasi dengan sinar matahari tropis sehingga, pengolahan fasad candi akan menimbulkan efek light and shadow tersebut. Candi akan terasa keindahannya lebih kuat ketika terkena sinar tersebut. Bentuk tidak dapat dilepaskan dari aspek tektonikanya. Menurut Limanjaya (2016) perkembangan bentuk candi bekaitan erat dengan material dan berikut teknologi merangkainya. Penggunaan material batu dan bata mengalami berbagai perkembangan pemahaman konstruksi. Pada era klasik tua (abad 7-8) penggunaan tektonika batu lebih 2 merupakan hasil menggambarkan wujud struktur kayu seperti bentuk kolom, atap kayu (hanya bentuk dan bukan sistem konstruksinya yang diadopsi), pada era klasik tengah (abad 9-10) pengaplikasian batu merupakan hasil terjemahan konstruksi kayu secara sistem (penggunaan joint yang merupakan teknik sambungan kayu), sedangkan pada era klasik muda (abad 13-15) pengaplikasian batu dan bata menggunakan teknologi konstruksi tumpuk batu dan bata seperti era sebelumnya namun lebih sederhana dan tidak menggunakan teknik joint kayu serta pada beberapa detailnya muncul pengolahan tumpukan batu/bata bergaris-garis yang memiliki kesamaaan dengan wujud tou-kung sederhana (susunan tumpukan kayu membentuk sekur). Gambar 1 Tektonika Era Klasik sumber : Limanjaya 2016 Penelitian Limanjaya (2016) menunjukkan bahwa konstruksi kayu dijadikan acuan dalam membangun konstruksi batu, meskipun menurut Tjahjono (1989) dan Prajudi (2007) wujud susunan sekur batu candi era klasik muda kemudian diperkirakan menginspirasi konstruksi kayu tumpuk tumpang sari bangunan joglo. Penggunaan konstruksi kayu dalam bangunan klasik memang memegang dominasi utama di masa lalu termasuk hubungannya dengan material batu, sehingga dapat difahami sambungansambungannya merupakan struktur yang tidak kaku atau ‘goyang’ menurut istilah Josef Prijotomo. Dapat diketahui bahwa tektonika arsitektur tradisional adalah sistem yang tidak kaku dan dipandang dapat meniadakan goyangan gempa, hal ini Nampak pada konstruksi atap Meru di Bali. Dalam konteks arsitektur bangunan menurut Prajudi (2014 dan 2015) unsur-unsur kuat dapat dilihat pada : • site plan (berupa: wujud geometrik, hirarki, pembagian tiga, kesimetrisan, sumbusumbu) • denah (berupa: geometrik, hirarki, pembagian tiga, kesimetrisan, sumbu, lantai bangunan yang berbentuk panggung memungkinkan adanya pengaliran udara dari bawah ke dalam ruang) • sosok bangunan (berupa: geometris, hirarki, volumetrik pada badan dan atap, garis pada beberapa badan dan kaki bangunan, pembagian tiga, kesimetrisan, iramaperulangan, atap dominan dibandingkan elemen yang lain) • fasad bangunan (berupa: geometrik, hirarki, volumetrik, transparan pada beberapa tipe seperti pendopo atau kaki bangunan-kolong, pembagian tiga, kesimetrisan, irama-perulangan, tekstur pada beberapa elemen, dinding bangunan hunian memungkinkan udara mengalir – breathable wall, permukaan candi memiliki efek light and shadow) • elemen-elemen fasad bangunan(berupa: penggunaan bentuk geometris, bio-mimesis, hirarki, pembagian tiga). 3 Unsur-unsur tersebut dipandang potensial untuk ditransformasikan pada bangunan modern. Menurut Prajudi (2015) transformasi dapat dilakukan dari yang bersifat presedent (tipologi, tipo-morfologi) sampai generative process (morphing, superpotition, datascape, fractal, dsb). Hal ini dapat dianalogikan dengan usaha rekontekstualisasi melalui strategi konvensional, meminjam sampai dekonstruksi, sehingga kekhasan diharapkan masih dapat dirasakan melalui wujud arsitektonik desain yang ditampilkan meskipun diwujudkan dalam bentuk baru. 3. METODE PENDEKATAN STUDI Penelitian ini dilakukan secara deskriptif dan argumentatif sebagai kesinambungan dari peneltian tahun 2014 dan 2015, yakni untuk menjelaskan unsur-unsur arsitektur tradisional Indonesia baik berupa bangunan religi atupun hunian yang transformatif dan dapat digunakan sampai sekarang dan mendatang melalui kreativitas yang baru. Melalui pemahaman tentang transformasi diharapkan dapat dikenali unsur-unsur yang dapat dikembangkan untuk konteks sekarang dan mendatang. Studi ini dapat menggambarkan sejauh mana penerapan unsur-unsur bangunan tradisional seperti bangunan religi misalnya seperti candi, masjid kuno dan bangunan hunian seperti rumah tradisional di Indonesia khususnya pada konteks bangunan baru di masa modern saat kini. Pengkajian dan perbandingan akan dilakukan pada unsur bentuk dan ruang arsitekturalnya. Dalam perkembangannya pada masa modern, persistensi penggunaan unsur-unsur arsitektur tradisional ditunjukkan pula dalam bentuk ornamentasi, sosok,dsb. Dalam konteks estetika unsur-unsur yang paling banyak digunakan adalah pola geometri, pembagian tiga, khususnya kepala-badan-kaki pada sosoknya. Dengan demikian pola geometrik, pembagian tiga, dsb pada hakekatnya merupakan basic type dalam merepresentasikan kelokalan. Pola-pola ini dianggap transferable pada era modern saat kini. Unsur-unsur kuat tersebut akan dikaji konsekuensinya sejauh mana dapat direkontekstualisasikan kemungkinan-kemungkinan yang dilakukan dalam bersinggungan dengan konteks kekinian. 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan teori di atas dapat dikenali unsur-unsur kuat yang berkaitan erat dengan aspek bentuk dan ruang arsitektur. Dalam arsitektur, bentuk dan ruang merupakan aspek penting yang difahami merupakan kesatuan yang utuh. Perwujudan ruang dan bentuk tersebut tentunya tidak dapat dilepaskan dari aspek nature dan culture yang melatarbelaknginya. Dalam konteks kekinian bentuk dan ruang memiliki representasi yang sangat beragam seiring munculnya isu-isu kontemporer arsitektur. Karakterisitik mendasar dalam ruang arsitektur Indonesia adalah adanya keterkaitan antara ruang dalam, ruang tansisi, dan ruang luar. Selain itu dari segi bentuk adalah perwujudan atap yang mendominasi sosok dan adanya ekspresi kepala badan kaki. Selain aspek tersebut, dapat dikenali melalui unsur-unsur lainnya seperti pola geometrik, tekstur fasad, ornamentasi, dan tektonikanya. Unsur-unsur kuat tersebut dapat dipandang sangat potensial untuk berdialog dengan masa kini dan mendatang karena dipandang bersifat transferable dan transformatif. Dalam upaya transformasi arsitektur masa lalu ke masa kini yang paling sering dilakukan adalah dengan meminjam bentuk dan ruang masa lalu. Menurut Prajudi (2011) meminjam merupakan proses appropriation. Ide apropriasi dapat diklasifikasikan berdasarkan kompleksitasnya menjadi adopsi (pengambilan), adaptasi(penyesuaian), dan asimilasi (perpaduan). Hasilnya dapat berupa duplikasi, membentuk ikonik atau abstraksi. Oleh karena itu meminjam hendaknya 4 memperhatikan spirit dari tempat sehingga kesinambungan bentuk, ruang dan konteks dapat terjaga. Lebih lanjut dalam pemahaman critical regionalism menurut Frampton (1983) dikenali pemahaman bahwa kehadiran arsitektur yang merespon konteks culture dan nature pada dasarnya harus dapat difahami secara kritis, apakah hanya sekadar menghadirkan visual, sceneografi, tipologis, atau dapat lebih mendalam jika aspek tactile-nya, tektonika, topografi, juga dihadirkan. Banyak gagasan bentuk yang hadir dengan bersumber dari gagasan masa lalu, namun jika tanpa memahami rasionalitas aspek arsitektoniknya akan menjadi ironi. Sehingga apropiasi bentuk dan ruang dapat difahami tidak semena-mena apalagi tanpa dilandasi pemahaman yang kritis. Penggunaan pendekatan transformasi arsitektur masa lalu ke masa kini memang paling mudah dikenali jika dilakukan melalui pemindahan (metafora) aspek visual khususnya diterjemahkan dalam wujud bentuk dan ruang. Sebagai contoh untuk menyatakan bahwa desain ini menggunakan rujukan arsitektur tradisional Padang akan lebih mudah misalnya jika menggunakan atap, ornamen tradisional Padang tersebut. Tidak dapat dipungkiri hal ini yang banyak terjadi dalam praktik arsitektur sehingga terkesan muncul efef eklektiktisme. Gagasan ini dapat dikaitkan pula dengan pemikiran hiper-realitas atau hiper-semiotika yang dikemukan oleh Piliang (2003). Penggunaan bentuk masa lalu dapat difahami sebagai penggunaan tanda dari masa lalu, namun tanda tersebut sudah lepas dari konteks aslinya. Tanda tersebut dapat difahami menjadi hiper-realitas, bahkan menjadi hiper-semiotik. Makna tanda tersebut menjadi baru dalam arti lebih luas dalam pemaknaannya sehingga tidak sekadar seperti yang lama, akibatnya pemahaman terhadap wujud reperentasinya menjadi lebih kaya. Menurut Hall dalam Nuraini (2000) representasi memang dapat berubah-ubah, selalu dimungkinkan timbul pemaknaan dan pandangan baru dalam konsep yang sudah pernah ada. Makna selalu berada dalam proses negosiasi dan disesuaikan dengan situasi yang baru. Intinya bahwa makna tidak inheren dalam sesuatu di dunia ini, selalu dikonstruksikan, diproduksi, melalui proses representasi dan merupakan hasil dari praktik penandaan. Penggunaan yang lama terhadap yang baru dalam karya arsitektur dapat pula menjadi Ironi. Menurut Stern (1995) dapat difahami menjadi ironic classicism. Ironic classicism pada hakekatnya adalah ‘semiotik’ (Stern, 1995:65) atau hal ini dapat dikaitkan pula dengan pemahaman ‘teori dusta’ oleh Eco dalam piliang (2003). Dalam Ironic classicism, penggunaan unsur-unsur arsitektur lama pada arsitektur modern dapat terjadi karena sekadar tuntutan estetika saja tanpa dilandasi oleh pemahaman esensi yang mendalam. Di samping efek ironic classicism, penggunaan lama ke baru menurut Stern dalam Prajudi (2011) juga dimungkinkan menjadi fundamental classicism. Fundamental classicism berusaha mengembalikan esensi yang mendasar dari arsitektur klasik untuk diterapkan pada bangunan modern, meskipun dalam aplikasinya unsur-unsur kemodernan lebih menonjol dibandingkan dengan tampilan kunonya. Fundamentalis klasik tidak mengambil keseluruhan desain klasik seperti ornamen-ornamen, dsb; tetapi lebih mengacu pada aspek rasionalitas yang dimiliki oleh arsitektur klasik. Dalam konteks arsitektur Barat hal ini dapat ditunjukkan pada penggunaan pola-pola geometris murniplatonik-bentuk dasar yang dianggap menggambarkan esensi mendasar dari rasionalitas arsitektur klasik Barat. Dengan demikian pemahaman rasionalitas menjadi penting dalam konteks penggunaan unsur-unsur kuat dalam dalam arsitektur tradisional atau klasik di Indonesia. Bentuk dan ruang dapat dibaca melalui sifat-sifatnya secara rasional dalam upaya 5 ditransformasikan dalam konteks kini dan mendatang. Beberapa hal yang dapat diperhatikan dalam konteks dialog antara arsitektur tradisional di Indonesia dengan wujud modern antara lain : 1. Permasalahan bentuk horisontal dan vertikal. Wujud sosok bentuk bangunan hunian tradisional lebih bersifat horizontal, sedangkan bentuk bangunan peribadatan seperti candi bersifat vertikal, kecuali wujud masjid kuno tumpang yang melebar horizontal. Penggunan bentuk-bentuk yang horizontal semestinya lebih sesuai untuk bentuk bangunan-bangunan modern yang memang secara sosoknya merepresentasikan wujud horizontal, seperti bangunan-bangunan berbentang lebar, auditorium, bandara, dsb dan tidak dipaksakan untuk bangunan tinggi dengan tower-tower yang langsing Untuk merancang bangunan tinggi langsing akan lebih tepat jika meminjam sosok bangunan kasik yang bersifat vertikal seperti candi dibandingkan dengan sosok bangunan hunian tradisional yang melebar. Namun apabila tetap ingin mengembangkan sumber-sumber yang berasal dari bangunan hunian tradisional maka haruslah dicari elemen-elemen yang bersifat vertikal, seperti tanduk mahkota, kolom-kolom, dsb. ? Gambar 2 Vertikal – Horisontal, atap dan topi? sumber : survey 2010-2016 2. Permasalahan bentuk atap linier (hunian), memusat (peribadatan-sakral) dan proporsi atap dominan. Bentuk atap linier hendaknya ditransformasikan untuk fungsi bangunan non sakral, sedangkan memusat digunakan untuk bangunan sakral. Hal ini sesuai dengan filosofi dasar penggunaan untuk atap tradisional. Unsur atap yang dominan dalam arsitektur hunian tradisional dapat digunakan untuk mendukung fungsi-fungsi bangunan yang horizontal tersebut dalam butir (1) di atas. Mengingat Indonesia merupakan daerah tropis maka wujud atap yang dominan sangat sesuai dalam kaitannya dengan pengendalian air hujan, thermal dan audial. Jika digunakan untuk bangunan vertikal yang langsing maka kesan atap sebagai topi akan muncul dan terkesan hanya ditempelkan di atas bangunan. Oleh karena itu pemahaman dalam penggunaan proporsi atap yang dominan tetap dikedepankan tidak sekadar menjadi topi yang ditempelkan di bagian atas bangunan. Gambar 3 Puncak Linier dan Memusat sumber : survey 1999-2011 6 3. Permasalahan sifat kesimetrisan, aksis, geometrik, hirarki, dan volumetrik. Wujud simetri, geometrik, hirarki, aksis, volumetrik lebih menunjukkan sifat keformalan sehingga akan relevan sebagai rujukan desain jika digunakan untuk bangunanbangunan pemerintahan atau perkantoran formal. Sosok bangunan-bangunan pemerintahan, kantor yang menonjolkan aspek efsiensi dan efektifitas dalam penggunaan material dan teknologinya, berkesesuaian dengan sifat-sifat simetri, geometrik, hirarki. Sedangkan sifat volumetrik unsur-unsur kuat arsitektur tradisional sangat relevan jika digunakan untuk bangunan-bangunan pertahanan, bank yang membutuhkan bukaan sedikit/lebih tertutup. Di sisi lain dalam perencanaan kawasan, aksis dan orientasi terhadap lingkungan sekitar juga dapat dirujuk seperti halnya kompleks percandian atau hunian tradisional. Orientasi ke arah gunung,lembah, sungai dapat dijadikan rujukan di dalam penempatan sumbusumbu atau aksis pada tapak. Gambar 4 simuasi fasad simetri, volumetrik -formal dan konsep aksis-orientasihirarki sumber : Prajudi 1999 dan 2013 4. Permasalahan Kepala-Badan-Kaki atau pembagian tiga hirarkis. Secara filosofis pembagian tiga ini berkorelasi dengan pembagian dunia atas, tengah, dan bawah dalam arsitektur tradisional, baik peribadatan maupun hunian. Pembagian ini relevan untuk fungsi-fungsi bangunan modern yang menuntut adanya hirarki, misalnya area bawah/kaki digunakan untuk area yang bersifat publik, area tengah/badan adalah untuk semipublic/semiprivate, dan area atas/kepala adalah untuk privat atau utama atau penting. Bangunan pemerintahan, bangunan perkantoran, museum sangat dimungkinkan menggunakan bentuk dan ruang yang merujuk pada sifat-sifat tersebut. 4. Permasalahan efek light and shadow, perulangan, tekstur, garis. Penggunaan efekefek tersebut dapat diterapkan pada pengolahan fasad bangunan dari hunian sampai fungsi yang lebih luas. Kelemahan penggunaan tekstur dan efek gelap terang adalah pada perawatan fasad, namun hal ini dapat dikompensasikan melalui wujud estetika yang ditampilkan. Pengolahan tekstur dapat menimbulkan efek gelap terang sehingga menampilkan unsur kedalaman pada fasadnya. Pengolahan fasad yang bertekstur diharapkan dapat mendukung konsep-konsep pengolahan yang dinamis dan tidak menimbulkan efek kebosanan visual. Tekstur ini dapat juga dihadirkan melalui rujukan ornamen seperti pada bangunan tradisional. 7 Gambar 5 efek gelap terang , tekstur dan breathable wall sumber : survey 1999 dan 2014 6. Permasalahan penggunaan ornamen. Ornamen dalam arsitektur tradisional Indonesia memiliki makna simbolisasi yang berkaitan dengan ritual dan lingkungannya. Ornamen dapat difahami berkaitan erat dengan identitas-karakter yang merujuk pada aspek lokalitas kesejarahan-budaya-tempat. Ornamen dapat berwujud ragam hias yang rumit maupun sederhana. Dalam era post-modern, penggunaan ornamen dapat difahami sebagai tanda bahkan dapat bersifat bersifat hiper-semiotik, seperti halnya batik. Dalam bangunan-bangunan untuk fungsi kebudayaan atau penerima seperti bandara, stasiun, penggunaan ornamen tersebut menjadi relevan khususnya untuk memperkenalkan kekayaan tradisi lokal di tempat tersebut atau lingkungan sekitarnya. Ornamen dapat pula dikaitkan dengan pendekatan pemikiran kekinian seperti fraktal. Oleh karena itu pendekatan parametric design dipandang dapat membantu menjelaskan secara rasional gagasan bentuk-bentuk yang dinamis tersebut. Gambar 6 ornamental dan batik fraktal sumber: survey 2011 dan www.enchgallery.com 7. Permasalahan ruang luar, ruang dalam, dan ruang transisi. Pada dasarnya ruang arsitektur tradisional di Indonesia merupakan simbiosis antara ruang luar (pekarangan), ruang transisi (teras,kolong) dan ruang dalam. Dialog tiga ruang tersebut pada dasarnya dipengaruhi oleh faktor nature (iklim tropis) yang memungkinkan manusia berkativitas di tiga area sepanjang tahun dan faktor budaya. Menurut Prajudi (2012) Ruang candi merupakan satu keterpaduan aktivitas dan tempat secara utuh (menjadi ‘place’) antara ruang dalam candi dan ruang luarnya, bukan terbagi atas interior dan eksteriornya. Dengan demikian keterpaduan ruang 8 luar, transisi dan dalam pada dasarnya menjadi karakter yang mendasar dalam arsitektur tradisional di Nusantara yang juga hadir dalam ruang-ruang bangunan huniannya. Gambar 7 Aplikasi simbiosis ruang dalam-transisi-luar bangunan modern di Indonesia sumber: survey 2011 dan IAI Pada konteks modern hal ini dapat diupayakan melalui desain rumah atau hunian yang sangat mungkin menghadirkan ketiga ruang tersebut. Kendalanya adalah keterbatasan lahan dan tuntutan kebutuhan ruang fungsional yang padat, sehingga menyebabkan teras hanya lebih bersifat mengisi sisa ruang demikian pula dengan pekarangannya. Lahan kemudian dipadati oleh massa bangunan, sehingga pekarangan dan teras hanya sekadar formalitas ada. Untuk bangunan hunian pada dasarnya dapat disiasati dengan membuat ruang-ruang yang menyatu tidak bersifat tertutup di bagian halaman belakang sehingga dapat memiliki teras belakang yang terbuka dan dapat menyatu dengan ruang tengahnya. Teras selain dihadirkan di belakang juga dapat dihadirkan di atas bangunan melalui atap datar yang menyatu dengan pekarangan di atas. Hal ini untuk menyiasati kepadatan bangunan dengan konsekuensi biaya yang tidak murah karena harus membuat halaman pekarangan di atas bangunan. Pada bangunan yang berlahan luas, dialog antar tiga ruang dalam tata massa dan ruang tentunya dapat diupayakan dengan lebih optimal, khususnya untuk bangunan yang memiliki fungsi-fungsi yang memerlukan interaksi publik. Gagasan keruangan ini dapat dikaitkan pula dengan pendekatan kekinian seperti fraktal dan chaotic yang dapat digunakan untuk menggambarkan fenomena atau wujud fisik ruang yang dinamis dan responsive terhadap alam. 8. Permasalahan Tektonika. Tektonika pada hakekatnya merupakan keterkaitan antara perwujudan bentuk-ruang dengan aspek material dan teknologi yang menyertai pembangunannya. Tektonika arsitektur tradisional mungkin relevan untuk bangunan-bangunan satu sampai dua lantai, namun sangat riskan apabila digunakan untuk bangunan-bangunan tinggi. Pengalaman di Nias, Yogyakarta, bangunanbangunan tradisional bermaterial kayu lebih terlihat kokoh menghadapi gempa dibandingkan dengan bangunan berlantai satu yang menggunakan sistem modern beton. Namun demikian tektonika tradisional memiliki keterbatasan apabila digunakan untuk bangunan tinggi berlantai banyak, meskipun meru di Bali mampu bertahan terhadap goyangan gempa. Namun demikian bangunan berlantai banyak memang memerlukan sistem konstruksi yang lebih modern. Bangunan tradisional memang memiliki keterbatasan teknologi dalam konteks berlantai banyak. Relevansi penggunaan tektonika tradisional di masa kini dapat ditunjukkan pada bangunanbangunan yang memang tidak berlantai tingkat banyak. Hal ini juga dikaitkan dengan 9 keterbatasan ketersediaan material alami yang digunakan dalam pembangunannya. Oleh karena diperlukan diversifikasi material selain kayu, seperti bambu, rotan, dsb ,dan dapat digabungkan dengan material baru pabrikasi seperti beton sehingga selain menampilkan kekuatan yang handal juga estetika yang indah pada detail kontruksinya tetap terlihat. Gambar 8 Bangunan tradisional atap bertingkat dan bangunan modern berlantai banyak sumber: survey 1999-2016 9. Permasalahan Pemaknaan. Penggunaan unsur lama ke baru tentunya menghasilkan pemaknaan yang berkembang, makna dapat diperkaya sesuai dengan konteksnya. Penggunaan unsur-unsur arsitektur tradisional ke bangunan modern dapat difahami hendaknya dapat lebih memperkaya makna aslinya sekaligus juga sebagai tanggapan terhadap konteks yang baru, dan tentunya tidak menurunkan hakekatnya. Sebagai contoh makna Borobudur sekarang tidak hanya dianggap sebagai bangunan sakral di masa lalu namun dapat diperkaya menjadi salah satu wujud entitas yang merepresentasikan keunggulan arsitektur Indonesia di masa lalu, bukan hanya di lingkup Jawa Tengah atupun arsitektur kuil Budha. Stupa candi di Indonesia memiliki kekhasan tertentu yang berbeda dengan negara lain. Penggunaan stupa Borobudur sebagai mahkota ruang-ruang utama bangunan utama di Indonesia dapat dikatakan akan menaikkan nilai Borobudur sebagai salah satu representasi identitas Indonesia. Namun di sisi lain peniruan stupa Borobudur dapat juga dipandang menurunkan nilai-nilainya, seperti apabila digunakan untuk hiasan suatu taman bermain atau atap pos jag, dsb. Gambar 9 Meniru Stupa di taman Dufan-Jakarta dan pada puncak hotel Modern sumber: survey 1999-2016 10 5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Beberapa aspek yang didapatkan berdasarkan studi arsitektonik pada arsitektur tradisional baik yang bersifat sakral dan non sakral bepontensi untuk diterapkan dalam bangunan saat kini dan mendatang, bahkan dapat memperkuat identitas yang bersumber pada nilai-nilai lokal. Namun demikian transformasi atau penerapannya hendaknya dilakukan secara critical yang dilandasi oleh rasionalitas yang relevan seperti halnya yang melekat pada sifat-sifat dan konteksnya. Penerapan unsur-unsur masa lalu diharapkan tidak merendahkan nilai-nilai sebelumnya namun dapat memperkaya maknanya mengingat konteksnya telah berubah. Nilai-nilai tidak berhenti di masa lalu namun dapat direkontekstuitaskan sesuai dengan perkembangan jamannya, sehingga tidak dianggap sebagai artefak-benda yang statis dan beku. Penggunaan representasi masa lalu dalam bangunan masa kini dan mendatang sebenarnya merupakan wujud menyinambungkan antara past-present-future (sustainabilitas-keberlanjutan). Kesinambungan ini dapat membangun kesadaran terhadap pemahaman terhadap ’diri sendiri’ yakni siapa ’saya’, dari mana ’berasal', dan ’mau kemana’ nantinya. Dengan mengerti hakekat diri sendiri maka semangat keoptimisan yang kuat dapat dibangun guna melangkah ke depan. Penggunaan representasi yang bersumber pada unsur-unsur lokal akan dapat membangun kesadaran sebagai bangsa yang mandiri-unggul. Kesadaran terhadap jati diri dapat diwujudkan melalui kreativitas arsitektur yang dipandang akan mampu bersaing di tengah globalisasi ini. 6. UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, Atas dukungan dan kerjasama dari berbagai pihak, kami mengucapkan terima kasih kepada • DP2M Dikti – Hibah Kompetensi • LPPM Unpar • Fakultas Teknik Program Studi Arsitektur • Tim Peneliti (dosen dan mahasiswa) 11 REFERENSI BUKU Antoniades, Anthony C, 1992, Poetics Of Architecture, Theory Of Design, New York, Van Nostrand Reinhold. Frampton, K., Foster, H, Editor, 1983, Towards a Critical Regionalism: Six Points for an Architecture of Resistance", in The Anti-Aesthetic: Essays on Postmodern Culture. edited by Hal Foster, Bay Press, Port Townsen Leupen, Bernard, etc ,1997, Design and Analysis, New York, Van Noestrand Reinhold Piliang, Yasraf Amir, 2003, Hipersemiotika, Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna, Yogyakarta, Jalasutra. Piliang, Yasraf Amir, 2004, Posrealitas : Realitas Kebudayaan dalam Era Posmetafisika, Yogyakarta, Jalasutra. Prijotomo, Josef, 1988, Ideas and Form of Javanese Architecture, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press. Tjahjono, Gunawan (1989) Cosmos, Center, and Duality in Javanese Architectural Tradition: The Symbolic Dimensions of House Shapes in Kota Gede and Surroundings, Ph.D Dissertation, University of California at Berkeley Stern Raymond W, and Robert A. M.; Gastil, 1988, Modern Classicism, Rizzoli International Publication, New York, USA TESIS/DISERTASI Prajudi, Rahadhian, H ,1999, Kajian Tipo-Morfologi Arsitektur Candi di Jawa, Thesis, Arsitektur Institut Teknologi Bandung, Bandung Prajudi, Rahadhian, H,2011, Representasi Candi dalam Dinamika Arsitektur di Indonesia, Disertasi Doktor, Unpar, Bandung Limajaya, Marvin 2016, Tektonika Arsitektur Candi di Jawa Ditinjau dari Bentuk, Material, dan Teknologi. Skripsi Arsitektur, Unpar, Bandung MAKALAH ILMIAH Prajudi, Rahadhian, H, 2007, Transformation in the Vernacular Architecture of Settlements on Java, Indonesia from the Hindu-Buddhist Era to the Islamic Era, International Seminar on Vernacular Settlement IV, 14-17th February 2007, Ahmadabad – India Prajudi, Rahadhian, H, 2012, Rekontekstualisasi Ruang-Ruang Arsitektur Klasik Tradisional Nusantara di masa kini, Seminar 121212, Universitas Brawijaya, Malang Prajudi, Rahadhian, H, 2014, Kajian Unsur Arsitektonik Transformatif dalam Arsitektur Rumah Tradisional di Indonesia –Puslitbangkim, Lombok Prajudi, Rahadhian, H, 2015, Penggalian Unsur-Unsur Arsitektonik Transformatif Percandian Indonesia untuk Arsitektur Masa Kini dan Mendatang –Puslitbangkim, Lombok Prajudi, Rahadhian, H 2015,, Arsitektur Candi sebagai representasi kuatnya tradisi membangun di Indonesia, Kolokium Dies Natalis Fakutas Teknik, Unpar, Bandung. JURNAL Prajudi, Rahadhian, H, 2008, The Architectural Development of Candi in Java, Indonesia, Journal of South East Asia JSEA vol 11, NUS- SingaporeJournal of South East Asia JSEA vol 11, NUS- Singapore INTERNET www.enchgallery.com, diakses 22 Juli 2016 https://criticalregionalismdotcom.wordpress.com/2011/03/02/kenneth-frampton-paul-ricouer-adialogue/, diakses 22 Juli 2016. Nurarini (2000), http://kunci.or.id/esai/nws/04/representasi.htm, diakses 20 Juli 2010. 12