II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pembelajaran Konstruktivisme Pembelajaran konstruktivisme merupakan pembelajaran kognitif yang baru dalam psikologi pendidikan yang menyatakan bahwa siswa harus menemukan sendiri dan mentransformasi informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama dan merevisinya apabila aturan-aturan lama itu tidak sesuai lagi. Bagi siswa agar benar-banar memahami dan dapat menerapkan pengetahuan, maka harus bekerja memecahkan masalah, menemukan sesuatu untuk dirinya, berusaha dengan susah payah dengan ide-ide (Slavin,1994). Menurut pembelajaran ini, satu prinsip paling penting dalam psikologi pendidikan adalah bahwa guru tidak dapat hanya sekadar memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun sendiri pengetahuan di benaknya. Guru dapat memberikan kemudahan untuk proses ini, dengan memberikan kesempatan siswa untuk menemukan dan menerapkan ide-ide mereka sendiri, dan membelajarkan siswa dengan secara sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat memberi siswa anak tangga yang membawa siswa ke pemahaman yang lebih tinggi, dengan catatan siswa sendiri yang harus memanjatnya (Slavin,1994). 9 Esensi dari konstruktivisme adalah ide bahwa siswa sendiri yang menemukan dan mentransformasikan sendiri suatu informasi kompleks apabila menginginkan informasi itu menjadi miliknya. Konstruktivisme adalah suatu pendapat yang menyatakan bahwa perkembangan kognitif merupakan suatu proses dimana anak akan secara aktif membangun sistem arti dan pemahaman terhadap realita melalui pengalaman dan interaksi mereka (Slavin,1994). Pendekatan konstruktivisme dalam pengajaran menerapkan pembelajaran kooperatif secara intensif, atas dasar teori bahwa siswa akan lebih mudah menemukan dan memahami konsep-konsep yang sulit apabila mereka dapat saling mendiskusikan masalah-masalah itu dengan temannya (Slavin, 1994). Contoh aplikasi pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran adalah siswa belajar bersama dalam kelompok-kelompok kecil dan saling membantu satu sama lain. Kelas disusun dalam kelompok yang terdiri dari 4 atau 5 siswa, campuran siswa berkemampuan tinggi, sedang, dan rendah. Mereka diajarkan keterampilan khusus agar dapat bekerja sama dengan baik dalam kelompoknya, selama kerja dalam kelompok, tugas kelompok adalah mencapai ketuntasan materi yang ditugaskan guru dan saling membantu teman sekelompok mencapai ketuntasan belajar. Pada saat siswa sedang bekerja dengan baik, dan memberikan bimbingan kepada kelompok yang mengalami kesulitan (Trianto, 2010). Prinsip-prinsip konstruktivisme menurut (Suparno, 1997), antara lain: 1. 2. 3. 4. 5. 6. Pengetahuan dibangun oleh siswa secara aktif; Tekanan dalam proses belajar terletak pada siswa; Mengajar adalah membantu siswa belajar; Tekanan dalam proses belajar lebih pada proses bukan pada hasil akhir; Kurikulum menekankan partisipasi siswa; Guru adalah fasilitator. 10 Menurut Von Glasersfeld, agar siswa mampu mengkonstruksi pengetahuan, maka diperlukan: 1. Kemampuan siswa untuk mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman. Kemampuan untuk mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman sangat penting karena pengetahuan dibentuk berdasarkan interaksi individu siswa dengan pengalaman-pengalaman tersebut. 2. Kemampuan siswa untuk membandingkan, dan mengambil keputusan mengenai persamaan dan perbedaan suatu hal. Kemampuan membandingkan sangat penting agar siswa mampu menarik sifat yang lebih umum dari pengalaman-pengalaman khusus serta melihat kesamaan dan perbedaannya untuk selanjutnya membuat klasifikasi dan mengkonstruksi pengetahuannya. 3. Kemampuan siswa untuk lebih menyukai pengalaman yang satu dari yang lain (selective conscience). Melalui “suka dan tidak suka” inilah muncul penilaian siswa terhadap pengalaman, dan menjadi landasan bagi pembentukan pengetahuannya. B. Model pembelajaran problem solving Masalah pada hakikatnya merupakan bagian dalam kehidupan manusia. Masalah yang sederhana dapat dijawab melalui proses berpikir yang sederhana, sedangkan masalah yang rumit memerlukan langkah-langkah pemecahan yang rumit pula. Masalah pada hakikatnya adalah suatu pertanyaan yang mengandung jawaban. Suatu pertanyaan mempunyai peluang tertentu untuk dijawab dengan tepat, bila pertanyaan itu dirumuskan dengan baik dan sistematis. Ini berarti, pemecahan 11 suatu masalah menuntut kemampuan tertentu pada diri individu yang hendak memecahkan masalah tersebut. Pemecahan masalah adalah suatu proses mental dan intelektual dalam menemukan suatu masalah dan memecahkannya berdasarkan data dan informasi yang akurat, sehingga dapat diambil kesimpulan yang tepat dan cermat. Proses pemecahan masalah memberikan kesempatan peserta didik berperan aktif dalam mempelajari, mencari, dan menemukan sendiri informasi untuk diolah menjadi konsep, prinsip, teori, atau kesimpulan. Dengan kata lain, pemecahan masalah menuntut kemampuan memproses informasi untuk membuat keputusan tertentu (Hidayati, 2006). Langkah-langkah model pembelajaran problem solving (Djamarah dan Zain, 2002) yaitu meliputi : 1. Ada masalah yang jelas untuk dipecahkan. Masalah ini harus tumbuh dari siswa sesuai dengan taraf kemampuannya. 2. Mencari data atau keterangan yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah tersebut. Misalnya, dengan jalan membaca buku-buku, meneliti, bertanya dan lain-lain. 3. Menetapkan jawaban sementara dari masalah tersebut. Dugaan jawaban ini tentu saja didasarkan kepada data yang telah diperoleh, pada langkah kedua di atas. 4. Menguji kebenaran jawaban sementara tersebut. Dalam langkah ini siswa harus berusaha memecahkan masalah sehingga betul-betul yakin bahwa jawaban tersebut itu betul-betul cocok. Apakah sesuai dengan jawaban sementara atau sama sekali tidak sesuai. Untuk menguji kebenaran jawaban ini tentu saja diperlukan kegiatan lainnya seperti demonstrasi, tugas, diskusi, dan lain-lain. 5. Menarik kesimpulan. Artinya siswa harus sampai kepada kesimpulan terakhir tentang jawaban dari masalah tadi. Kelebihan dan kekurangan model pembelajaran problem solving (Djamarah dan Zain, 2002) adalah sebagai berikut: 1. Kelebihan model problem solving a. Dapat membuat pendidikan di sekolah menjadi lebih relevan dengan kehidupan. b. Proses belajar mengajar melalui pemecahan masalah dapat membiasakan para siswa menghadapi dan memecahkan masalah secara terampil. 12 c. Merangsang pengembangan kemampuan berfikir siswa secara kreatif dan menyeluruh, karena dalam proses belajarnya, siswa banyak melakukan mental dengan menyoroti permasalahan dari berbagai segi dalam rangka mencari pemecahannya. 2. Kekurangan model problem solving a. Menentukan suatu masalah yang tingkat kesulitannya sesuai dengan tingkat berfikir siswa, tingkat sekolah dan kelasnya serta pengetahuan dan pengalaman yang telah dimiliki siswa, sangat memerlukan kemampuan dan keterampilan guru b. Proses belajar mengajar dengan menggunakan metode ini sering memerlukan waktu yang cukup banyak dan sering terpaksa mengambil waktu pelajaran lain c. mengubah kebiasaan siswa belajar dengan mendengarkan dan menerima informasi dari guru menjadi belajar dengan banyak berfikir memecahkan permasalah sendiri atau kelompok, yang kadang-kadang memerlukan berbagai sumber belajar, merupakan kesulitan tersendiri bagi siswa. C. Kemampuan Berpikir Kreatif Berpikir kreatif merupakan suatu kegiatan mental yang menyelesaikan persoalan, mengajukan metode, gagasan atau memberikan pandangan baru terhadap suatu persoalan atau gagasan lama. Rogers (Munandar, 1992) mendefinisikan kreativitas sebagai proses munculnya hasil-hasil baru dalam tindakan. Hasil-hasil baru itu muncul dari sifat-sifat individu yang unik yang berinteraksi dengan individu lain, pengalaman maupun keadaan hidupnya. Demikian juga Drevhal (Hurlock, 1978) mendefinisikan kreativitas sebagai kemampuan untuk memproduksi komposisi dan gagasan baru yang dapat berwujud kretivitas imajenatif atau sintesis yang mungkin melibatkan pembentukan pola-pola baru dan kombinasi dari pengalaman masa lalu yang dihubungkan dengan yang sudah ada pada situasi sekarang. Pendekatan dalam studi kreativitas dapat dibedakan menjadi 2 jenis (Torrence, 1981; Supriadi, 1989) yaitu : 13 1. Pendekatan psikologis Pendekatan psikologis lebih melihat kreativitas dari segi kekuatan yang ada dalam diri individu sebagai faktor-faktor yang menetukan kreativitas. Salah satu pendekatan psikologis yang digunakan untuk menjelaskan kreativitas adalah pendekatan holistik. Clark (1988) dalam Ngalimun menggunakan pendekatan holistik untuk menjelaska konsep kreativitas dengan berdasarka pada fungsi-fungsi berfikir, merasa, mengindra, dan intuisi. Clark menganggap bahwa kreativitas itu mencakup sintesis dari fungsi-fungsi thingking, feeling, sensing, dan intuiting. 2. Pendekatan sosiologis Pendekatan sosiologis berasumsi bahwa kreativitas individu merupakan hasil dari proses interaksi sosial, dimana individu dengan segala potensi dan disposisi kepribadiannya dipengaruhi oleh lingkungan sosial tempat individu itu berada, yang meliputi ekonomi, politik, kebudayaan dan peranan keluarga. Empat tahapan proses kreatif, yaitu persiapan, inkubasi, iluminasi, dan verfikasi: 1. Persiapan (preparation). Pada tahap ini, individu berusaha mengumpulkan informasi atau data untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Dengan bekal ilmu pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki, individu berusaha menjajaki berbagai kemungkinan jalan yang dapat ditempuh untuk memecahkan masalah itu. Namun pada tahap ini belum ada arah yang tetap meskipun sudah mampu mengeksplorasi berbagai alternatif pemecahan masalah. 14 2. Inkubasi (incubation). Pada tahap ini individu seolah-olah melepaskan diri untuk sementara waktu dari masalah yang dihadapinya, dalam pengertian tidak memikirkannya secara sadar melainkan “menghadapinya” dalam alam prasadar. 3. Iluminasi (illumanation). Pada tahap ini individu sudah dapat timbul inspirasi atau gagasangagasan baru serta proses-proses psikologis yang mengawali dan mengikuti munculnya inspirasi atau gagasan baru. 4. Verifikasi (verification). Pada tahap ini, gagasan yang telah muncul dievaluasi secara kritis dan konvergen serta menghadapkannya kepada realitas. Pemikiran divergen harus diikuti dengan pemikiran konvergen. Pemikiran dan sikap spontan harus diikuti oleh pemikiran selektif dan sengaja. Penerimaan secara total harus diikuti oleh kritik. Filsafat harus diikuti oleh pemikiran logis. Keberanian harus diikuti oleh sikap hati-hati. Imajinasi harus diikuti oleh pengujian terhadap realitas. Piers dalam Ngalimun mengemukakan bahwa karakteristik kreativitas adalah sebagai berikut: 1. Memiliki dorongan (drive) yang tinggi 2. Memiliki keterlibatan yang tinggi 3. Memiliki rasa ingin tahu yang besar 4. Memiliki ketekunan yang tinggi 5. Cenderung tidak puas terhadap kemapanan 6. Penuh percaya diri 7. Memiliki kemandirian yang tinggi 8. Bebas dalam mengambil keputusan 9. Menerima diri sendiri 10. Senang humor 15 11. Memiliki intuisi yang tinggi 12. Cenderung tertarik kapada hal-hal yang kompleks 13. Toleran terhadap ambiguitas 14. Bersifat sensitif Supriadi mengemukakan sejumlah bantuan yang dapat digunakan untuk membimbing perkembangan kreatif, yaitu: 1. Menciptakan rasa aman kepada anak untuk mengekspresikan kreativitasnya; 2. Mengakui dan meghargai gagasan-gagasan anak; 3. Menjadikan pendorong bagi anak untuk mengomunikasikan dan mewujudkan gagasan-gagasannya; 4. Membantu anak memahami dalam berpikir dan bersikap, dan bukan malah menghukumnya; 5. Memberikan peluang untuk mengomunikasikan gagasan-gagasannya 6. Memberikan informasi mengenai peluang-peluang yang tersedia. Untuk lebih menjelaskan pengertian kreativitas, akan dikemukakan beberapa perumusan yang merupakan kesimpulan para ahli mengenai kreativitas (Munandar, 1985). a. “Kreativitas adalah kemampuan untuk membuat kombinasi baru, berdasarkan data, informasi, atau unsur-unsur yang ada”. b. “Kreativitas (berpikir kreatif atau berpikir divergen) adalah kemampuan berdasarkan data atau informasi yang tersedia menemukan banyak kemungkinan jawaban terhadap suatu masalah, dimana penekanannya adalah pada kuantitas, ketepatgunaan, dan keragaman jawaban”. c. Jadi, secara operasional kreativitas dapat dirumuskan sebagai “kemampuan yang mencerminkan kelancaran, keluwesan (fleksibilitas), dan orisinalitas dalam berpikir, serta kemampuan untuk mengelaborasi (mengembangkan, memperkaya, memperinci) suatu gagasan”. 16 Kemampuan memberikan penilaian atau evaluasi terhadap suatu obyek atau situasi juga mencerminkan kreativitas, jika dalam penilaiannya seseorang mampu melihat obyek, situasi, atau masalahnya dari sudut pandang yang berbeda-beda. Ciri-ciri berpikir kreatif (aptitude) (Munandar, 2008) seperti terlihat pada Tabel 1. Tabel 1. Ciri-ciri berpikir kreatif (aptitude) Pengertian Berpikir Lancar (Fluency) 1. 2. 3. Mencetuskan banyak gagasan, jawaban, penyelesaian masalah atau jawaban. Memberikan banyak cara atau saran untuk melakukan berbagai hal. Selalu memikirkan lebih dari satu jawaban. Berpikir Luwes (Flexibility) Menghasilkan gagasan, jawaban, atau pertanyaan yang bervariasi. 2. Dapat melihat suatu masalah dari sudut pandang yang berbeda. 3. Mencari banyak alternatif atau arah yang berbeda. 4. Mampu mengubah cara pendekatan atau pemikiran. Berpikir Orisinil (Originality) a. b. c. d. e. f. a. 1. 1. 2. 3. Mampu melahirkan ungkapan yang baru dan unik. Memikirkan cara-cara yang tak lazim untuk mengungkapkan diri. Mampu membuat kombinasikombinasi yang tak lazim dari bagian-bagian atau unsur-unsur. b. c. a. b. c. Perilaku Mengajukan banyak pertanyaan. Menjawab dengan sejumlah jawaban jika ada. Mempunyai banyak gagasan mengenai suatu masalah. Lancar mengungkapkan gagasangagasannya. Bekerja lebih cepat dan melakukan lebih banyak dari orang lain. Dapat dengan cepat melihat kesalahan dan kelemahan dari suatu objek atau situasi. Memberikan bermacam-macam penafsiran terhadap suatu gambar, cerita atau masalah. Menerapkan suatu konsep atau asas dengan cara yang berbedabeda. Jika diberikan suatu masalah biasanya memikirkan bermacammacam cara untuk menyelesaikannya. Memikirkan masalah-masalah atau hal yang tidak terpikirkan orang lain. Mempertanyakan cara-cara yang lama dan berusaha memikirkan cara-cara yang baru. Memilih cara berpikir lain dari pada yang lain. 17 Pengertian Berpikir Elaboratif (Elaboration) 1. 2. Mampu memperkaya dan mengembangkan suatu gagasan atau produk. Menambah atau merinci detaildetail dari suatu objek, gagasan atau situasi sehingga menjadi lebih menarik. Berpikir Evaluatif (Evaluation) 1. 2. 3. Menentukan kebenaran suatu pertanyaan atau kebenaran suatu penyelesaian masalah. Mampu mengambil keputusan terhadap situasi terbuka. Tidak hanya mencetuskan gagasan tetapi juga melaksanakannya. a. b. c. a. b. c. d. Perilaku Mencari arti yang lebih mendalam terhadap jawaban atau pemecahan masalah dengan melakukan langkah-langkah yang terperinci. Mengembangkan atau memperkaya gagasan orang lain. Menambah garis-garis, warnawarna, dan detail-detail (bagianbagian) terhadap gambaranya sendiri atau gambar orang lain. Memberi pertimbangan atas dasar sudut pandang sendiri. Mencetuskan pandangan sendiri mengenai suatu hal. Mempunyai alasan yang dapat dipertanggungjawabkan. Menentukan pendapat dan bertahan terhadapnya. Pemikiran kreatif akan membantu seseorang untuk meningkatkan kualitas dan keefektifan pemecahan masalah dan hasil pengambilan keputusan yang dibuat (Evans, 1991). Pada penelitian ini yang akan dijadikan tolak ukur keterampilan berpikir kreatif adalah kemampuan mengevaluasi. D. Kerangka Pemikiran Model pembelajaran problem solving ini membiasakan kita untuk tidak terjebak pada solusi atas pikiran yang sempit melainkan membiasakan kita untuk melihat opsi-opsi yang terbuka luas. Dengan memiliki lebih banyak opsi solusi kemungkinan untuk berhasil me-ngatasi masalah juga akan semakin besar. Dalam proses pembelajaran yang menggunakan model ini, siswa dapat menyeimbangkan pemanfaatan otak kanan dan otak kirinya. 18 Dalam usaha yang dilakukan untuk menyelesaikan masalah yang diberikan, siswa dituntut untuk menjadi pelajar yang mandiri yang mampu menggunakan dan menghubungkan berbagai aturan-aturan yang telah dikenalnya serta berbagai keterampilan yang mereka miliki. Dengan demikian, model pembelajaran ini memberikan kesempatan untuk mengembangkan berbagai kemampuan siswa, diantaranya kemampuan menyelesaikan persoalan, mengajukan metode, gagasan atau memberikan pandangan baru terhadap suatu persoalan atau gagasan lama. Kemampuan-kemampuan ini tidak lain merupakan aspek-aspek yang ada dalam kemampuan mengevaluasi. Dengan kata lain, pembelajaran ini sekaligus mampu meningkatkan kemampuan mengevaluasi siswa. E. Anggapan Dasar Anggapan dasar dalam penelitian ini adalah: 1. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi peningkatan kemampuan mengevaluasi pada materi asam-basa siswa kelas XI IPA semester genap SMA Negeri 16 Bandar Lampung T.A. 2013/2014 diabaikan. 2. Perbedaan n-Gain kemampuan mengevaluasi siswa pada materi asam-basa semata-mata terjadi karena perbedaan perlakuan dalam proses pembelajaran. F. Hipotesis Hipotesis umum dalam penelitian ini adalah: Model pembelajaran problem solving pada materi asam-basa efektif dalam meningkatkan kemampuan mengevaluasi dibandingkan pembelajaran konvensional.