PENUTUP Berdasarkan hasil kajian penulis, dapat disimpulkan bahwa konflik Laut Cina Selatan mengalami dinamika perubahan yang cukup serius sejak Cina dipimpin oleh Xi Jinping. Dalam konteks ini, banyak sekali fenomena yang mengilustrasikan bahwa hal-hal yang dilakukan oleh Cina untuk menjaga keamanannya di tingkat domestik dan internasional bersifat inheren dengan persepsi atau ide Xi Jinping sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam struktur politik domestik Cina. Berkaitan dengan itu, kajian karakteristik politik luar negeri Cina dan implikasi karakteristik tersebut dalam konflik Laut Cina Selatan menggunakan pendekatan konstruktivisme berhasil memunculkan beberapa inferensi penting sekaligus kritik terhadap teori dalam melihat kasus-kasus di atas. Pertama, konstruktivisme berhasil melihat bahwa ide dan persepsi Xi Jinping mengenai keamanan Cina adalah faktor pendorong terbesar yang menentukan karakteristik politik luar negeri Cina dewasa ini. Hal ini ditunjukkan dengan ketakutan Xi terhadap ancaman yang dapat muncul di tingkat domestik dan internasional. Kemudian, persepsi tersebut dimanifestasikan dengan pembentukan sistem koordinasi keamanan terpadu agar dapat mencegah intervensi ancaman terhadap kedaulatan negara. Dengan demikian, kajian ini menunjukkan bahwa ide adalah aspek yang berkaitan erat dengan karakteristik politik luar negeri Cina. Untuk dapat memahami politik luar negeri Cina, maka kajian terhadap ide adalah salah satu cara yang dapat dilakukan. Kendati demikian, kajian ini juga menemukan bahwa intersubjektivitas sosial sebagai preskripsi dalam nalar konstruktivisme tidak bekerja dalam konteks pemerintahan Xi. Hal ini disebabkan oleh rancangan struktur politik yang kaku di bawah pemerintahan Xi, di mana segala keputusan yang berkaitan dengan keamanan dan politik luar negeri Cina diserahkan kepada Komite Tetap dan Politbiro. Situasi seperti ini menyebabkan tidak adanya celah bagi kontestasi ide yang bersifat representatif sebagai bahan dasar pertimbangan kebijakan politik luar negeri. Kedua, pada skala yang lebih luas, kajian ini melihat adanya hubungan antara cara pandang Xi terhadap keamanan Cina dengan performa Cina yang bersifat sepihak di Laut Cina Selatan. Hal ini ditunjukkan dengan klaim sepihak oleh Cina atas wilayah Kepulauan Spratly dan Paracel di Laut Cina Selatan melalui pidato Xi Jinping dan Wang Yi, publikasi peta klaim Laut Cina Selatan, dan pemasangan alat pengeboran minyak Haiyang Shiyou 981 di wilayah sengketa. Laut Cina Selatan sebagai wilayah yang diakui Cina sebagai ‘kedaulatan’-nya diklaim secara sepihak dengan melihat kehadiran negara lain sebagai ancaman. Situasi ini direspon secara berbeda oleh Brunei Darussalam, Filipina, Malaysia, Taiwan, dan Vietnam sesuai dengan persepsi dan tindakan yang dilakukan. Di titik ini, ada ketumpangtindihan persepsi dan kepentingan, di mana Cina menjadi faktor penting yang menentukan persepsi dan performa negara bersengketa lainnya. Situasi ketumpangtindihan persepsi dan kehadiran Cina yang terbilang dominan dapat menjadi persoalan bagi masa depan konflik Laut Cina Selatan. Pasalnya, ide-ide yang dimiliki oleh masingmasing negara pengklaim tidak mengalami proses penyederhanaan kognitif. Justru, hal yang terjadi adalah munculnya konsistensi ketegasan terhadap cara pandang masing-masing negara. Melalui kondisi ini, hal yang paling memungkinkan untuk terjadi adalah proses interpretasi kognitif oleh satu pihak terhadap pihak lainnya sehingga dapat menimbulkan kesalahpahaman. Hal ini dapat menyebabkan ketegangan atau perang sebagai keberlanjutan dari kesalahpahaman tersebut, meskipun untuk itu akan sangat tergantung pada perubahan persepsi, kepentingan, dan tindakan dari aktor. Oleh karena itu, perlu adanya ikhtiar mencegah eskalasi konflik melalui dialog khusus sehingga terjadi kesepahaman antar aktor bersengketa sebagai bagian besar dari perubahan dan kontinuitas dinamika interaksi di dalam konflik Laut Cina Selatan. Di luar temuan-temuan di atas, penulis menyadari bahwa kajian ini masih memiliki kekurangan. Penulis hanya menggunakan beberapa elemen dalam pendekatan konstruktivisme untuk mengkaji karakteristik politik luar negeri Cina di era Xi dan isu konflik Laut Cina Selatan. Padahal, pendekatan konstruktivisme terdiri dari banyak elemen yang dapat digunakan untuk mengkaji kasus yang sama. Kemudian, pemilihan pemerintahan Cina di era Xi sebagai jangkauan penelitian menjadi tantangan bagi penulis untuk menganalisis data dalam jumlah memadai akibat kebaruan rezim pemerintahan tersebut. Meski demikian, hal tersebut mendorong kajian ini agar dapat memberikan proyeksi perkembangan isu di masa depan sehingga cenderung prediktif. Penulis berharap bahwa tulisan ini dapat dikembangkan ke dalam kajian-kajian yang lebih spesifik melalui pendekatan yang sama ataupun berbeda sehingga dapat berkontribusi dalam pengembangan akademik berkaitan dengan isuisu politik luar negeri Cina dan keamanan kawasan.