BAB II KAJIAN PUSTAKA

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1
Vertical Jump
2.1.1
Pengertian Vertical Jump
Vertical jump adalah suatu kemampuan untuk naik ke atas melawan
gravitasi dengan menggunakan kemampuan otot (Ostijic, 2010). Vertical jump
juga bisa diartikan gerakan meloncat setinggi-tingginya dengan fokus kekuatan
otot tungkai untuk mencapai loncatan lurus keatas dengan maksimal. Vertical
jump ini biasanya banyak digunakan oleh beberapa cabang olahraga misalnya:
bola voli, basket, dan lain sebagainya. Peningkatan vertical jump yaitu proses
yang komplit di mana dilihat pada berapa aspek yang berbeda, diperlukan berapa
komponen yang mendukung di antaranya fleksibilitas komponen sendi, kekuatan
tendon, keseimbangan dan kontrol motor, kekuatan otot, fleksibilitas otot serta
ketahanan otot (Irwansyah, 2012).
Pada vertical jump terdiri dari beberapa fase yaitu: countermovement,
propulsion, flight, dan landing. Mekanisme dari gerak vertical jump diawali
dengan gerakan countermovement merupakan awal gerakan dimana pada fase ini
diawali dengan berdiri tegak lalu melakukan fleksi hip, knee, dan ankle joint,
propulsion merupakan lanjutan dari gerakan countermovement dimana gerakan ini
diawali dengan fleksi hip, knee dan ankle joint menuju gerakan take off, flight
fase ini diawali gerakan take off menuju landing, landing terdiri dari gerakan
landing untuk menuju end of movement (Grimshaw, 2007).
8
9
Otot adalah salah satu komponen pendukung dalam melakukan vertical
jump yang dapat menghasilkan gerakan serta kekuatan. Otot yang maksimal
sangatlah penting bagi peningkatan pada vertical jump. Otot skelet merupakan
suatu jaringan yang kegiatannya berupa kontraksi, sehingga otot mempunyai
kemampuan ekstensibilitas, elastisitas, dan kontraktilitas. Pada tungkai terdapat
beberapa macam otot dan salah satunya adalah quadriceps yang berfungsi sebagai
penopang, pada saat berjalan, berlari, menendang, melompat, naik turun tangga
maupun stabilisasi pada saat melakukan aktifitas ataupun latihan (Hermakulata,
2011).
Otot quadriceps merupakan salah satu otot pada sendi lutut atau knee joint
yang mempunyai fungsi sebagai stabilisator aktif sendi lutut dan juga berperan
sebagai penggerak sendi yaitu gerakan saat ekstensi lutut. Dimana otot quadriceps
berperan dalam aktifitas sehari-hari seperti berjalan, berlari, menendang,
melompat, dan naik turun tangga. Terkait dengan fungsi dari otot quadriceps yaitu
berperan dalam ekstensi knee maka otot ini merupakan otot yang berperan penting
dalam menghasilkan gerakan vertical jump. Agar dapat melakukan gerakan
vertical jump secara maksimal maka memerlukan kekuatan otot quadriceps yang
maksimal pula, agar menghasilkan performance otot yang optimal sehingga resiko
cedera saat beraktifitas dapat diminimalisir (Hermakulata, 2011).
Penggerak flexi lutut pada saat melompat dilakukan otot-otot hamstring.
Selain itu flexi lutut juga dibantu oleh gastrocnemius, popliteus dan gracillis.
Lingkup gerak sendi pada saat flexi berkisar antara 120°-130° (Kapandji, 1997
dalam Ariyadi 2012). Saat terjadi perubahan menjadi gerakan extensi, berganti
10
otot-otot quadriceps yang berkontraksi secara eksplosive, dalam kondisi ini terjadi
proses peregangan secara mendadak pada otot hamstring. Pada aktivitas olahraga
didapatkan bahwa energi elastik mampu meningkatkan 20% beban maksimum
yang diangkat dari energi konsentrik, ini berlaku pada otot quadriceps yang
berkontraksi secara kuat memaksa otot hamstring yang merupakan otot tipe II
untuk melakukan peregangan secara cepat. Kemampuan otot hamstring dapat
membantu meningkatkan kemampuan dalam jumping jika mampu melakukan
gerakan sefleksibel mungkin dalam mengikuti gerak otot quadriceps yang
berlawanan (Radcliffe, 2000).
2.1.2
Vertical Jump pada Basket
Vertical jump dalam permainan adalah kebutuhan mutlak yang harus
dimiliki oleh setiap pemain bola basket, karena vertical jump sangat dibutuhkan
oleh setiap pemain untuk melakukan shooting ke keranjang lawan agar bisa
mendapatkan point (Hermakulata, 2011). Ada beberapa teknik bola basket yang
menggunakan gerakan vertical jump yaitu jump shot, lay up, runner, set and jump
shoot, free throw,three point shoot, hook shoot (Nugraha, 2012).
Gerakan saat melakukan jump shoot saat shooting pada awal lompatan
otot-otot yang bekerja adalah seluruh komponen otot-otot tungkai seperti gerakan
fleksi knee dilakukan oleh kelompok hamstrings, dan gastronocnemius (Sohiron,
2009). Pada saat melompat, terjadi tolakan ke atas dengan kedua otot-otot
ekstensor kaki secara eksplosif melakukan kontraksi serta mengayunkan kedua
lengan lurus ke atas secara bersamaan. Eksplosif kontraksi oleh otot-otot gluteus
maximus dan minimus, kelompok quadriceps ekstensor, tibia anterior dan otot-
11
otot pada metatarsal menciptakan ekstensi sendi hip, knee dan ankle (Sohiron,
2009). Puncak lompatan pada gerakan ini otot gluteus maximus dan minimus,
kelompok quadriceps ekstensor, tibia anterior dan otot-otot pada metatarsal
bertahan dalam posisinya, otot fleksor tungkai mengalami relaksasi (Sohiron,
2009). Pengaruh dari kecepatan dan dorongan pada saat melakukan awalan
memberikan gaya yang menyebabkan atlet berubah kecepatannya dan pada titik
tolaknya mengubah arah gerakannya dari horisontal menjadi vertikal (Lubis,
2009).
Gambar 2.1 Jump Shoot
Sumber : Setiadi, 2014
2.1.3
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Vertical Jump
Faktor yang mempengaruhi vertical jump dapat dikelompokkan menjadi 2
yaitu, faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal terdiri umur, jenis
kelamin, berat badan, tinggi badan, kebugaran fisik, dan genetik. Faktor eksternal
terdiri dari suhu dan kelembaban relatif udara, kecepatan angin, dan ketinggian
tempat (Bompa & Harf, 2009).
12
1. Faktor Internal
a) Umur
Hampir semua komponen biomotorik dipengaruhi oleh umur. Peningkatan
kekuatan otot berkaitan dengan pertambahan umur, dimensi, anatomi atau
diameter otot dan kematangan seksual (Astrand dan Ronald, 1986). Kekuatan
lebih rendah pada anak-anak dan meningkat pada usia remaja serta mencapai
puncaknya pada umur 20-30 tahun, pengembangan fleksibilitas yang baik
pada usia remaja antara 16-18 tahun, puncak prestasi atletik dapat dicapai
antara umur 18-23 tahun (Nala, 2002).
b) Jenis Kelamin
Kekuatan otot laki-laki sedikit lebih kuat daripada kekuatan otot
perempuan pada usia 10-12 tahun. Perbedaan kekuatan yang signifikan terjadi
seiring pertambahan umur, di mana kekuatan otot laki-laki jauh lebih kuat
daripada wanita (Bompa, 2005). Pengaruh hormon testosteron memacu
pertumbuhan tulang dan otot pada laki-laki, ditambah perbedaan pertumbuhan
fisik dan aktivitas fisik wanita yang kurang juga menyebabkan kekuatan otot
wanita tidak sebaik laki-laki. Bahkan pada umur 18 tahun ke atas, kekuatan
otot bagian atas tubuh pada laki-laki dua kali lipat daripada perempuan,
sedangkan kekuatan otot tubuh bagian bawah berbeda sepertiganya (Nala,
2011).
c) Indeks Masa Tubuh
Indeks masa tubuh (IMT) secara tidak langsung akan berpengaruh
terhadap hasil lompatan. Pemain basket cenderung memiliki sifat ectomorphy
13
(tinggi kurus)
lebih banyak
dan
lebih sedikit yang memiliki sifat
endomorphy (pendek gemuk) (Harjanto dkk, 2013). Berat badan merupakan
salah satu faktor yang menentukan pusat gravitasi yang nantinya akan
menentukan keseimbangan statik dan keseimbangan dinamik. Keseimbangan
akan mentukan besarnya daya ledak saat terjadi gerakan melompat (take off)
saat di udara dan mendarat (Hairy, 2005).
d) Kebugaran Fisik
Kebugaran fisik berhubungan erat dengan kapasitas aerobik seseorang.
Semakin baik kapasitas aerobik seseorang makin baik pula kebugaran fisiknya
(Sukanan, 1986). Kebugaran fisik dari aspek ilmu faal menunjukan
kesanggupan atau kempuan dari tubuh manusia untuk melakukan penyesuaian
atau adaptasi terhadap beban fisik yang dihadapinya tanpa menimbulkan
kelelahan yang berarti (Griwijoyo and Muchtamaji, 2005).
e) Genetik
Pengaruh genetik terhadap kecepatan, kekuatan dan daya tahan pada
umumnya berhubungan dengan komposisi serabut otot yang terdiri dari
serabut otot putih dan serabut otot merah. Atlet yang memiliki lebih banyak
serabut otot putih lebih mampu untuk melakukan kegiatan yang bersifat
anaerobic, sedangkan atlet yang lebih banyak serabut otot merah lebih tepat
untuk melakukan kegiatan yang bersifat aerobic (Nala, 2002).
14
2. Faktor Eksternal
a) Cuaca
Cuaca hujan memudahkan pemain jatuh terpeleset karena kondisi
lapangan yang becek dan licin, sehingga dapat menimbulkan cedera pada atlet
(Setiawan, 2011). Hujan juga menyebabkan suhu menjadi lebih dingin
sehingga sangat mempengaruhi kinerja otot, (1) sel-sel otot menjadi lemah
karena terjadi perlambatan laju metabolisme, (2) kemampuan pemendekan
otot pada vasokonstriksi dan power otot menurun signifikan, (3) kelelahan
otot terjadi lebih cepat, karena mekanisme kontraksi yang terjadi harus dapat
memenuhi dua kebutuhan fisiologis dalam waktu yang bersamaan, yaitu untuk
menghasilkan energi dan menampilkan performa latihan yang baik, dan
pemenuhan kebutuhan energi untuk mempertahankan suhu tubuh (Jhon,
2015).
2.1.4
Pengukuran Vertical Jump dengan Vertical Jump Test
Vertical jump test dikenal juga dengan nama sargent test. Test ini
dikembangkan oleh Dr. Dudley Allen Sargent yang bertujuan untuk mengukur
power otot-otot tungkai dengan mengukur perbedaan jangkauan maksimal pada
saat berdiri dan pada saat melompat dengan menggunakan dinding yang berskala
centimeter (Quinn, 2013). Vertical jump test didukung oleh peran utama dari otot
penggerak tubuh, yaitu kelompok otot quadriceps femoris. Karena itu peningkatan
vertical jump harus bertahap dan diperlukan adaptasi dari otot quadriceps femoris
sebagai pengerak utama (Sudewa, 2015).
15
Pada pengukuran vertical jump alat yang di sediakan berupa penghapus
papan, penggaris kayu dalam ukuran cm atau meteran dan kapur papan tulis
(Sudewa, 2015). Pelaksanaan loncat tegak (vertical jump), atlet berdiri di samping
dinding atau tembok dengan jari-jari tangan meraih ke atas setinggi mungkin.
Tetap di tempat yang sama atlet mengerahkan tenaga dan meloncat ke atas dengan
kedua kaki dan kemudian tangan menyentuh dinding setinggi mungkin. Sebelum
meloncat atlet memegang kapur untuk memberi bekas pada meteran atau
penggaris kayu agar memperjelas tinggi lompatan yang dicapai. Setiap individu
melakukan vertical jump sebanyak 3 kali, dari 3 kali vertical jump tersebut
diambil lompatan yang paling tinggi kemudian di catat. Skor vertical jump adalah
selisih antara tinggi raihan pada waktu meloncat dengan tinggi raihan pada waktu
berdiri (Hasanah, 2013).
Gambar 2.2 Vertical Jump Test
Sumber : (Quinn, 2013)
2.2
Kajian Anatomi Otot Tungkai
2.2.1
Anatomi Otot Tungkai
Daerah tungkai memiliki beberapa grup otot besar yang dapat memberikan
kontribusi terhadap vertical jump. Beberapa grup otot besar yang terlibat adalah:
16
1. Group Otot Ekstensor Knee dan Fleksor Hip (Quadriceps Femoris)
Otot quadriceps femoris adalah salah satu otot rangka yang terdapat pada
bagian depan paha manusia. Otot ini mempunyai fungsi dominan ekstensi pada
knee (Watson, 2002). Otot quadriceps terdiri atas empat otot, yaitu
Gambar 2.3 Grup otot quadriceps femoris
Sumber : Watson, 2002
a) Otot Rectus Femoris
Terletak paling superfisial pada facies ventalis berada diantara otot
quadriceps yang lain yaitu otot vastus lateralis dan medialis. Berorigo pada Spina
Illiaca Anterior Inferior (caput rectum) dan pada os ilium di cranialis acetabulum
(caput obliquum) dan mengadakan insersio pada tuberositas tibia dengan
perantaran ligamentum patellae. Otot ini digolongkan ke dalam otot tipe 1
(Watson, 2002).
b) Otot Vastus Lateralis
Tipe otot ini adalah otot tipe II yang berada pada sisi lateral yang
mengadakan perlekatan pada facies ventro lateral trochanter major dan labium
lateral linea aspera femoris (Watson, 2002).
17
c) Otot Vastus Medial
Melekat pada labium medial linea aspera (dua pertiga bagian bawah) dan
termasuk otot tipe II (Watson, 2002).
d) Otot Vastus Intermedius
Mengadakan perlekatan pada facies ventro-lateral corpus femoris juga
merupakan otot tipe II (Watson, 2002).
2. Grup Otot Fleksor Knee dan Ekstensor Hip (Hamstring)
Hamstring merupakan otot paha bagian belakang yang berfungsi sebagai
fleksor knee dan ekstensor hip. Secara umum hamstring bertipe otot serabut otot
tipe II. Hamstring terbagi atas tiga otot yaitu (Watson, 2002) :
Gambar 2.4 Grup otot hamstring
Sumber : Watson, 2002
a) Otot Biceps Femoris
Mempunyai dua buah caput. Caput longum dan breve, caput longum
berorigo pada pars medialis tuber Ichiadicum dan M. semitendinosus sedangkan
18
caput breve berorigo pada labium lateral linea aspera femoris, insersio otot ini
pada capitulum fibula.
b) Otot Semitendinosus
Otot ini berorigo pada pars medialis tuber ichiadicum dan berinsersio pada
facies medialis ujung proximal tibia.
c) Otot Semimembranosus
Melekat di sebelah pars lateralis tuber ichiadicum turun ke arah sisi
medial regio posterior femoris dan berinsersio pada facies posterior condylus
medialis tibia.
3. Grup Otot Plantar Fleksor Ankle
Otot plantar fleksor ankle adalah salah satu otot rangka yang terdapat pada
bagian belakang betis manusia. Otot ini mempunyai fungsi dominan fleksi kaki
pada ankle joint (Watson, 2002).
Gambar 2.5 Grup otot plantar fleksor ankle
Sumber : Watson, 2002
a) Otot Gastrocnemius
Otot ini merupakan serabut otot fast-twitch yang sangat kuat untuk plantar
fleksi kaki pada ankle joint. Otot gastrocnemius merupakan otot yang paling
superfisial pada dorsal tungkai dan terdiri dari dua caput pada bagian atas calf.
19
Dua caput tersebut bersamaan dengan soleus membentuk triceps surae. Bagian
lateral dan medial otot masih terpisah satu sama lain sejauh memanjang ke bawah
pada middle dorsal tungkai. Kemudian menyatu di bawah membentuk tendon
yang besar yaitu tendon Achilles (Hamilton, 2002).
b) Otot Soleus
Otot gastrocnemius, otot soleus berfungsi pada gerakan plantar fleksi kaki
pada ankle joint. Otot ini terletak di dalam gastrocnemius, kecuali di sepanjang
aspek lateral dari ½ bawah calf, di mana bagian lateral soleus terletak pada bagian
atas dari tendon calcaneus. Serabut otot soleus masuk ke dalam tendon calcaneal
dalam pola bipenniform. Otot ini dominan memiliki serabut slow-twitch
(Hamilton, 2002).
4. Group Otot Dorsi Fleksor Ankle
Otot dorsi fleksor ankle adalah salah satu otot rangka yang terdapat pada
bagian depan betis. Otot ini mempunyai fungsi untuk dorso fleksi ankle (Watson,
2002).
Gambar 2.6 Grup otot dorsi fleksor ankle
Sumber : Watson, 2002
20
a) Tibialis Anterior
Otot ini terletak di sepanjang permukaan anterior tibia dari condylus
lateral kebawah pada aspek medial regio tarsometatarsal. Sekitar ½ sampai 2/3 ke
bawah tungkai otot ini menjadi tendinous. Tendon berjalan di depan malleolus
medial sampai pada cuneiform pertama. Otot ini berperan dalam gerakan dorsi
fleksi ankle dan kaki, serta supinasi (inversi dan adduksi) tarsal joint ketika kaki
dorsi fleksi. Dalam penelitian EMG, otot ini ditemukan aktif pada ½ orang yang
berdiri bebas dan ketika dalam posisi forward lean (Hamilton, 2002).
b) Extensor Digitorum Longus
Otot ini memanjang pada empat jari-jari kaki. Otot ini juga berperan pada
gerakan dorsi fleksi ankle joint dan tarsal joint serta membantu eversi dan abduksi
kaki. Otot ini berbentuk penniform, terletak di lateral dari tibialis anterior pada
bagian atas tungkai dan lateral dari extensor hallucis longus pada bagian
bawahnya. Tepat di depan ankle joint tendon ini membagi empat tendon pada
masing-masing jari-jari kaki (Hamilton, 2002).
c) Extensor Hallucis Longus
Otot ini berperan dalam gerakan ekstensi dan hiperekstensi ibu jari kaki.
Otot extensor hallucis longus juga berperan pada gerakan dorsi fleksi ankle dan
tarsal joint. Seperti otot diatas, otot ini juga berbentuk penniform. Pada bagian
atas otot ini terletak di dalam tibialis anterior dan extensor digitorum longus,
tetapi sekitar ½ bawah tungkai tendon ini menyebar diantara dua otot tersebut di
atas sehingga otot ini menjadi superfisial. Setelah mencapai ankle tendonnya ke
21
arah medial melewati permukaan dorsal kaki sampai pada ujung ibu jari kaki
(Hamilton, 2012).
Otot yang berperan dalam puncak vertical jump selain otot tungkai adalah
otot gluteus maximus, gluteus medius dan minimus, Otot-otot ini berperan sebagai
pembentuk bokong (Lestari, 2015).
a. Gluteus maximus
Otot ini merupakan otot yang terbesar yang terdapat di sebelah luar ilium
membentuk perineum. Fungsinya, antagonis dari iliopsoas yaitu rotasi fleksi dan
endorotasi femur. Fungsi utama dari gluteus maximus adalah untuk menjaga
bagian belakang tubuh tetap tegap, atau untuk mendorong kedudukan pinggul ke
posisi yang tepat (Lestari, 2015).
Gambar 2.7 otot gluteus maximus
Sumber : Watson, 2002
b. Gluteus medius dan minimus
Otot ini terdapat di bagian belakang dari sendi ilium di bawah gluteus
maksimus. Fungsinya, abduksi dan endorotasi dari femur dan bagian medius
eksorotasi femur (Lestari, 2015).
22
Gambar 2.8 otot gluteus medius dan minimus
Sumber : Watson, 2002
2.3
Pelatihan Fisik
2.3.1
Pengertian Pelatihan
Pelatihan dapat diartikan sebagai suatu usaha untuk memperbaiki sistem
organ alat-alat tubuh dan fungsinya dengan tujuan untuk mengoptimalkan
penampilan atau kinerja atlet (Nala, 2008). Menurut Bompa (1990), pelatihan
merupakan suatu proses sistematis dari pengulangan, suatu kinerja progresif yang
juga menyangkut proses belajar serta memiliki tujuan memperbaiki sistem dan
fungsi dari organ tubuh agar penampilan atlet mencapai optimal, secara fisiologis
pelatihan fisik merupakan suatu proses pembentukan reflex bersyarat, proses
belajar bergerak serta menghafal gerak.
Kata kunci yang harus dipahami yaitu pelatihan merupakan suatu proses
yang sistematis, repetitif, durasi, progresif dan individual: (1) sistematis adalah
cara atau metode pelatihan terencana secara detail; (2) repetitif adalah suatu
gerakan berulang yang sama dilakukan lebih dari satu kali; (3) durasi adalah
lamanya aktivitas pelatihan (termasuk istirahat) yang harus dilakukan dalam satu
23
sesi atau sekali pelatihan; (4) progresif adalah peningkatan atau penambahan
beban pelatihan yang dilakukan secara bertahap yang diawali dengan pemberian
beban yang ringan kemudian ditingkatkan secara bertahap sesuai dengan
kemampuan atlet atau dimulai dengan pelatihan yang mudah (sederhana)
kemudian secara bertahap diberikan pelatihan yang semakin berat (Lestari, 2015).
Pemberian beban pelatihan tidak dapat disamaratakan untuk setiap atlet,
walaupun
mereka
dalam
satu
regu
cabang
olahraga
(Nala,
1998).
Secara garis besar pelatihan dapat dibagi atas : (1) Pelatihan fisik (physical
training); (2) Pelatihan teknik (technical training); (3) Pelatihan taktik atau
strategi (tactical training); (4) Pelatihan mental atau psikis termasuk rohani
(psychological training) (Nala, 2002).
2.3.2
Tujuan Pelatihan Fisik
Pelatihan fisik adalah suatu aktivitas fisik yang dilakukan secara sistematis
dalam jangka waktu yang lama secara individual dengan kian lama kian
bertambah bebannya. Tujuan latihan fisik meningkatkan fungsi potensial yang
dimiliki atlet dan mengembangkan kemampuan biomotoriknya sehingga mencapai
standar tertentu (Nala, 2002). Perkembangan kondisi fisik secara menyeluruh
sangatlah penting, oleh karena tanpa kondisi fisik yang baik tidak akan dapat
mengikuti
pelatihan
dengan
optimal.
Pelatihan
fisik
diarahkan
untuk
meningkatkan komponen-komponen kondisi fisik. Dengan demikian pelatihan
fisik bertujuan untuk meningkatkan fungsi kerja faal tubuh dan keterampilan kerja
(Lestari, 2015).
24
Tujuan pelatihan fisik meliputi tujuan jangka panjang dan jangka pendek.
Tujuan pelatihan jangka panjang adalah agar tercapainya status juara, sedangkan
tujuan pelatihan jangka pendek berisi aspek yang terkait dengan kinerja olahraga
seperti peningkatan kekuatan, daya tahan, daya ledak, kecepatan, kelentukan,
reaksi, kelincahan dan sebagainya termasuk keterampilan (Pamungkas, 2015).
Pelatihan fisik bertujuan untuk meningkatkan kapasitas fungsional fisik
dan penyesuaian diri terhadap pembebanan sehingga dicapai kinerja yang tinggi.
Sukadiyanto (2005) lebih lanjut menjelaskan bahwa sasaran dan tujuan pelatihan
secara garis besar antara lain: (a) meningkatkan kualitas fisik dasar secara umum
dan menyeluruh, (b) mengembangkan dan meningkatkan potensi fisik yang
khusus, (c) menambah dan menyempurnakan tehnik, (d) mengembangkan dan
menyempurnakan strategi, tehnik dan pola bermain, (e) meningkatkan kualitas
dan kemampuan psikis olahragawan dalam bertanding.
2.3.3
Prinsip Pelatihan Fisik
Pada dasarnya latihan yang dilakukan pada setiap cabang olahraga harus
mengacu dan berpedoman pada prinsip-prinsip latihan. Proses latihan yang
menyimpang sering kali mengakibatkan kerugian bagi atlet maupun pelatih.
Prinsip-prinsip latihan memiliki peranan penting terhadap aspek fisiologis dan
psikologis olahragawan, dengan memahami prinsip-prinsip latihan akan
mendukung upaya untuk meningkatkan kualitas latihan (Pamungkas, 2015).
Ada beberapa prinsip latihan yang perlu dipahami dengan baik dan benar
oleh para atlet yang akan meningkatkan prestasinya. Menurut Bomba dalam
Harsono (2004) prinsip-prinsip pelatihan tersebut adalah:
25
a. Prinsip beban berlebih (the overload principle). Prinsip latihan ini bertujuan
untuk mendapatkan pengaruh latihan yang baik, organ tubuh harus mendapat
beban yang biasanya diterima dalam aktivitas sehari-hari. Beban yang diterima
bersifat individual, tetapi pada prinsipnya diberi beban sampai mendekati
maksimal.
b. Prinsip beban bertambah (the principle of progressive resistance). Prinsip
latihan ini adalah beban kerja dalam latihan ditingkatkan secara bertahap dan
disesuaikan dengan kemampuan fisiologi dan psikologi setiap atlet.
c. Prinsip latihan beraturan (the principle of arrangement of exercise). Dalam
setiap melaksanakan latihan, ada tiga tahap yang harus dilalui, yaitu :
pemanasan, latihan inti dan pendinginan. Latihan hendaknya dimulai dari
kelompok otot yang besar, kemudian dilanjutkan pada kelompok otot yang
kecil.
d. Prinsip khusus (the principle of specificity). Kekhususan adalah latihan satu
cabang olahraga, mengarah pada perubahan morfologi dan fungsional yang
berkaitan dengan kekhususan cabang olahraga tersebut. Kekhususan tersebut
meliputi kelompok otot yang dilatih dan latihan yang diberikan harus sesuai
dengan keterampilan khusus.
e. Prinsip individualisasi (the principle of Individuality). Faktor individu
mempunyai karakteristik yang berbeda, baik secara fisik maupun secara
psikologis. Dalam hal ini yang harus diperhatikan adalah kapasitas kerja serta
perkembangan kepribadian, penyesuaian kapasitas fungsional individu dan
kekhususan organisme.
26
f. Prinsip kembali asal (reversible principle). Kualitas yang diperoleh dari latihan
akan dapat menurun apabila tidak melakukan latihan dalam waktu tertentu,
demikian harus berkesinambungan.
g. Prinsip beragam (variety principle). Latihan memerlukan proses panjang yang
dilakukan berulang-ulang hal ini sering menimbulkan kebosanan, untuk
mengatasinya pelatih harus mampu menciptakan suasana yang menyenangkan
serta membuat aneka macam bentuk latihan.
Melakukan pelatihan harus sesuai dengan prosedur pelatihan, yaitu sebelum
melakukan pelatihan inti perlu dilakukan pemanasan yang berupa gerakangerakan ringan selama 5-10 menit termasuk peregangan otot-otot (Nala, 1986
dalam Lestari, 2015). Pemanasan adalah suatu latihan yang sangat bersifat
fisiologis yang telah secara luas diterima dalam program olahraga. Pemanasan
menghasilkan penampilan berupa latihan dengan intensitas ringan sampai sedang
sebelum pertandingan dengan intensitas yang lebih tinggi. Pemanasan sangat
menguntungkan penampilan karena meningkatkan suhu otot aktif. Kenaikan suhu
otot memungkinkan otot berkontraksi dan mengendor lebih (Lestari, 2015).
Pemanasan juga mempermudah lepasnya oksigen dari hemoglobin dan
menaikkan volume oksigen sehingga kebutuhan energi aerobik berkurang pada
permulaan latihan keras, lagi pula pemanasan awal dapat mengurangi resiko
cedera tendon dan otot. Pemanasan atau warming up sangat perlu dilakukan oleh
setiap atlet baik sebelum berlatih maupun sebelum pertandingan. Sistema tubuh
pada waktu istirahat berada dalam keadaan inersia atau tidak begitu aktif (Nala,
2002).
27
Mengembalikan kondisi tubuh setelah melakukan pelatihan perlu
dilakukan pendingan. Pendinginan merupakan kegiatan penutupan berisi kegiatan
yang tujuannya untuk menyesuaikan keadaan tubuh secara bertahap agar kembali
ke kondisi normal. Kegiatan pendinginan ini bermanfaat untuk mencegah otot
terasa pegal dan kaku. Kegiatannya seperti dengan berbaring, duduk dengan kaki
lebih tinggi. Bisa juga diakhiri dengan jalan kaki lamban selama 3-5 menit, atau
hingga denyut jantung kembali normal (Lutan, 2002). Arti fisiologis yang dapat
ditelusuri dari latihan penutupan ini ialah gerakan-gerakan ringan itu akan
membantu memperlancar sirkulasi (mengaktifkan pompa vena), sehingga akan
membantu mempercepat pembuangan sampah-sampah sisa olahdaya dari otot-otot
yang aktif pada waktu melakukan olahraga sebelumnya (Lestari, 2015).
Tersingkirnya sampah-sampah sisa olah daya, maka rasa pegal setelah
olahraga dapat dicegah atau dikurangi. Itulah arti fisiologis dari latihan
pendinginan yang pada hakikatnya berupa auto-massage yaitu memijit oleh diri
sendiri (Giriwijoyo, 1992). Pendinginan atau cooling down dilakukan setelah
selesai melakukan pelatihan atau aktivitas fisik lainnya. Tujuan dari pendinginan
adalah menarik kembali secepatnya darah yang terkumpul di otot skeletal yang
telah aktif sebelumnya ke peredaran darah sentral dan membersihkan darah dari
sisa hasil metabolisme berupa tumpukan asam laktat yang berada di dalam otot
dan darah. Latihan pendinginan dilakukan kurang lebih 10 menit. Kegiatan yang
dilakukan dalam latihan penutupan ini adalah berjalan kaki lamban selama 3
menit, duduk sambil melakukan peregangan statis dan pelemasan terutama pada
anggota gerak tubuh bagian bawah selama 7 menit (Lestari, 2015).
28
2.3.4
Takaran Pelatihan
Sebuah hasil latihan yang maksimal harus memiliki prinsip latihan. Tanpa
adanya prinsip atau patokan yang harus diikuti oleh semua pihak yang terkait,
mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai pada evaluasi pelatihan akan sulit
mencapai hasil yang maksimal (Nala, 2011).
1. Intensitas
Intensitas pelatihan menunjukan komponen kualitatif yang harus ditetapkan
sebelum menentukan volume dan frekuensi suatu pelatihan. Derajat intensitas
diukur sesuai dengan tipe pelatihan atau aktivitas yang dilakukan (Nala, 2002).
Takaran pelatihan yang digunakan adalah intensitas sub-maksimum sampai
maksimum.
2. Volume
Volume dalam pelatihan merupakan komponen takaran yang paling penting
dalam setiap pelatihan. Unsur volume ini merupakan takaran kuantitatif, yakni
satu kesatuan yang dapat diukur banyaknya, berapa lama, jauh, tinggi atau jumlah
suatu aktivitas (Nala, 2011). Pada umumnya volume pelatihan ini terdiri dari atas :
durasi atau lama waktu pelatihan, jarak tempuh dan berat beban, serta jumlah
repetisi dan set (Lestari, 2015). Dalam penelitian ini volume yang digunakan
adalah sebagai berikut :
a) Repetisi dan Set
Repetisi adalah jumlah ulangan yang menyangkut suatu beban. Jumlah
ulangan yang dimaksud adalah gerak yang dilakukan dalam satu seri pelatihan
atau jumlah seri yang dilakukan selama pelatihan. Set adalah suatu rangkaian
29
kegiatan dari suatu repetisi, penggunaan set amat penting dalam meningkatkan
kemampuan komponen biomotorik (Sajoto, 2002)
b) Istirahat
Waktu istirahat diperlukan dalam setiap set untuk memberikan waktu istirahat
kepada otot-otot yang berperan dalam pelatihan. Waktu istirahat yang dianjurkan
adalah selama 1-2 menit antar set, untuk mencegah terlalu lamanya waktu istirahat
(Nala, 2011).
c) Frekuensi
Pelatihan paling sedikit 3 kali perminggu, diselingi dengan satu hari istirahat
untuk memberikan kesempatan kepada otot untuk berkembang dan beradaptasi
pada hari istirahat tersebut ( Harsono,1988). Hal ini disebabkan karena ketahanan
seseorang akan menurun setelah 48 jam tidak melakukan pelatihan. Jadi sebelum
ketahanan menurun harus sudah berlatih lagi (Sadoso, 1988). Untuk
meningkatkan kapasitas anaerobic frekuensi pelatihan minimal dilakukan 3 kali
dalam seminggu dan lama pelatihan 6 minggu atau lebih (Fox, 1993).
2.4
Depth Jump
2.4.1 Pengertian Depth Jump
Depth jump merupakan bentuk latihan dari pliometrik dengan cara melompat
dari bangku atau box kemudian mendarat, disusul dengan melompat setinggitingginya (Farentinos 2002 dalam Nugroho et al, 2013). Latihan depth jump
merupakan salah satu bentuk latihan berbeban yang mampu memberikan
keuntungan sekaligus meningkatkan baik pada kemampuan kekuatan, kecepatan,
daya ledak dan kontrol motorik, dengan mengikuti prinsip latihan yang benar dan
30
sesuai dengan tujuan menghubungkan gerakan kecepatan dan kekuatan untuk
menghasilkan gerakan-gerakan eksplosif (Johansyah, 2010).
Depth jumps adalah tipe pelatihan dinamis dimana individu melangkah dari
box setinggi 20-80 cm dan melakukan loncatan eksplosif ke atas (Wilson,
Murphy, dan Giorgi, 1996 dalam Andrew dkk, 2010).. Setelah di tanah atlet harus
melakukan vertical jump dengan upaya yang maksimal dengan waktu yang
singkat di tanah, dalam latihan depth jump fokus latihan dengan 60% kekuatan
dan 40% kecepatan (Faidlullah dan Kuswandari, 2009).
Latihan akan menjadi lebih efektif apabila dilakukan teknik yang benar saat
melakukan pelatihan depth jump. Yessis dan Hatfield (2007) menjelaskan cara
melakukan depth jump, pertama melangkah dari box yang telah ditetapkan pada
ketinggian tertentu sehingga jatuh lurus ke bawah (bukan menyudut). Setelah itu
melakukan tolakan ke lantai dan meloncat ke atas atau ke atas depan dengan
sedikit menekukkan kaki jika dimungkinkan. Semua pendaratan harus vertical
sehingga dapat membuat beban maksimal pada otot (Dau, 2013).
Persendian tungkai bawah berperan penuh dalam pelatihan depth jump. Hal
ini dikarenakan vertical jump adalah gerakan yang ada dalam depth jump. Pada
fase take off dimulai dengan extensi sendi pinggul kemudian secara berurutan
diikuti oleh sendi lutut dan sendi pergelangan kaki (Umberger, 1998). Sendi
pinggul berperan pertama dalam vertical jump yang kemudian diikuti dengan
sendi lutut dan sendi pergelangan kaki. Hal ini juga berlaku dalam depth jump
karena dalam depth jump mengandung gerakan vertical jump (Dau, 2013).
31
Penelitian sebelumnya telah ditemukan kontribusi relatif rata-rata dari otot
pada vertical jump yang merupakan bagian dari depth jump sebesar 23% pada
sendi pergelangan kaki, 28% pada sendi pinggul, dan 49% pada sendi lutut
(Hubley, 1983). Sendi lutut berkontribusi terbesar dalam vertical jump dan sendi
pergelangan kaki berkontribusi paling kecil dalam vertical jump, jika sendi lutut
diberi penekanan lebih besar maka hasil vertical jump akan lebih besar karena
kontribusi sendi lutut dalam vertical jump paling besar daripada kontribusi sendisendi yang lain (Dau, 2013).
Efek dalam pelatihan plyometrik depth jump sangat spesifik untuk
meningkatkan daya ledak eksplosif. Reilly (1992 dalam Abass, 2009) menemukan
bahwa depth jump mampu meningkatkan daya dan kekuatan ledakan.
Disimpulkan juga bahwa latihan pliometrik dapat dimasukkan dalam program
pelatihan kekuatan karena menekankan sifat elastis otot dalam pelatihannya dan
cenderung mengembangkan kekuatan otot. Peningkatan sederhana dalam
kekuatan maksimal isometrik dan konsentris setelah pelatihan pliometrik depth
jump, disimpulkan bahwa efek dari latihan pliometrik sangat spesifik (Klausen,
1990 dalam Abass, 2009)
Latihan Plyometrik adalah latihan-latihan atau ulangan yang bertujuan untuk
meningkatkan kekuatan, kecepatan dan waktu reaksi. Dalam latihan pliometrik
gerakan dilakukan dengan kecepatan gerak tertentu yang melibatkan refleks
regang, dimana otot sudah berada dalam kedaan siap untuk berkontraksi lagi
sebelum ia berada dalam keadaan rileks (Hanafi, 2010). Istilah ini sering
digunakan dalam menghubungkan gerakan lompat yang berulang-ulang atau
32
reflek rengang untuk menghasilkan reaksi yang eksplosif. Furgon & Doewes
(2002) menyatakan latihan plyometrik adalah suatu latihan yang memiliki ciri
khusus, yaitu kontraksi otot yang sangat kuat yang merupakan respon dari
pemberian dinamik atau rengangan yang cepat dari otot-otot terlibat,
menghasilkan pergerakan otot isometrik dan menyebabkan refleks rengangan otot
dalam otot. Latihan plyometrik dilakukan serangkaian gerakan latihan power yang
didesain secara khusus untuk membantu otot mencapai tingkat potensial
maksimalnya dalam waktu yang singkat. Plyometrik juga disebut dengan reflek
rengangan atau reflek miotatik atau reflek pilinan otot (Furgon & Doewes, 2002).
Definisi diatas dapat disimpulkan latihan plyometrik adalah latihan untuk
meningkatkan daya ledak otot dengan bentuk kombinasi latihan isometric dan
isotonic
(eksentrik-konsentrik)
yang
mengunakan
pembebanan
dinamik.
Renggangan itu terjadi secara mendadak sebelum otot berkontraksi kembali atau
suatu latihan yang memungkinkan otot untuk mencapai kekuatan maksimal dalam
jangka waktu sesingkat-singkatnya (Dau, 2013).
Keuntungan dan Kelemahan Latihan Pliometrik Depth Jump menurut
Hasanah 2013 :
1. Keuntungan latihan pliometrik depth jump:
a. Latihan ini mudah dilaksanakan
b. Secara psikologis latihan ini lebih ringan. Karena tidak ada
perubahan ketinggian
c. Sederhana, karena alat ini mudah dibuat dan didapat
d. Lebih aman karena ketinggian dari tanah tetap
33
2. Kelemahan latihan pliometrik depth jump:
a. Faktor eksentrik (memanjang) dan konsentrik (memendek) untuk
kontraksi otot kurang banyak mengalami peningkatan karena
gerakan yang nain turun
b. Atlet cepat jenuh karena gerak maupun tempatnya tetap sehingga
motivasi seseorang kurang
2.4.2
Mekanisme Depth Jump Meningkatkan Vertical Jump
Pada latihan ini otot yang dikembangkan adalah fleksor pinggul dan paha,
gastrocnemius, gluteus, quadriceps dan hamstring (Radiclife dan Farentinous,
2002). Pada saat memulai fase melompat atau fase take off dari kotak terjadi
kontraksi isotonic konsentric rectus femoris, eksentrik hamstring dan konsentrik
gastrocnemius. Kontraksi tersebut akan bertahan hingga gerakan melompat
dilakukan dengan gerak stretch reflex untuk mengirim impuls neuromuscular ke
spinal cord agar mampu melakukan lompatan dengan baik. Kemudian pada saat
gerakan melompat dilakukan terjadi kontraksi isotonic eksentrik rectus femoris,
konsentrik hamstring dan eksentrik gastrocnemius (Meisatama, 2015).
Gerakan melompat dilakukan semampunya dan setinggi-tingginya dan
pada akhir fase take off atau relates gerak otot rectus femoris dan gastrocnemius
mengirim energi mekanik secara luas melalui bagaian proximal energi mekanik
untuk kembalinya sendi hip (Markovic dan Jaric, 2007). Bertambahnya power
akan meningkatkan kemampuan melompat. Peningkatan kekuatan untuk
kelompok otot tertentu terjadi dengan adaptasi kekuatan otot tersebut (Gambetta,
2006)
34
2.4.3
Aplikasi Depth Jump
Prosedur pelaksanaan depth jump untuk meningkatkan vertical jump
sebagai berikut :
a. Berdiri di atas kotak atau platform, dengan kaki membuka selebar
bahu.
b. Lompat perlahan dari kotak ke tanah dengan mendaratkan kedua
kaki secara bersama.
c. Gunakan tangan untuk menarik dan mengayun yang berfungsi
untuk menambah kecepatan pada saat melompat.
d. Kemudian lompat setinggi-tingginya.
Gambar 2.9 Latihan Depth Jump
Sumber : Donald A. Chu (2006)
2.5
Ballistic Stretching
2.5.1
Pengertian Ballistic Stretching
Ballistic Stretching menurut Freshmen (2002) adalah gerakan penguluran
dimana dalam penerapanya terjadi proses tersentak-sentak dengan cepat atau
memantul-mantulkan gerakan. Stretching balistik adalah peregangan dynamic
35
yang dilakukan dengan cara gerakan yang aktif. Ciri-ciri dari peregangan balistik
adalah dilakukan secara aktif dan gerakannya dipantul-pantulkan artinya, gerakan
otot yang sama dan pada persendian yang sama dilakukan secara berulang-ulang.
Contoh gerakan mencium lutut yang dilakukan berulang ulang, dengan posisi
duduk kedua tungkai lurus kedepan, dan saat kedua tangan berusaha meraih kedua
ujung kaki lutut harus tetap menempel dilantai. Gerakan mencium lutut dari
perlahan menjadi cepat, dengan luas ruang gerak persendian pungung kira-kira
hanya mencapai 80% saja (Heerschee dkk, 2006).
Tujuan pemberian ballistic stretching adalah meningkatkan kapasitas kerja
fisik, mengurangi ketegangan pada otot dan memudahkan otot – otot berkontraksi
dan rileksasi secara lebih cepat dan efisien, meningkatkan fleksibilitas dari otot
dan meningkatkan nilai LGS pada otot antagonis yang berkontraksi. Hal ini sesuai
dengan penilaian vertical jump yang membutuhkan kekuatan tiba – tiba secara
cepat dengan power yang besar (Heerschee dkk, 2006). Gerakan-gerakan
peregangan yang cepat dan kuat akan menyebabkan terjadinya refleks-regang.
Refleks ini berfungsi untuk melindungi otot dari cedera akibat peregangan yang
berlebihan, akan menyebabkan otot yang teregang tadi untuk berkontraksi, jadi
memendek kembali. Dan kontraksi ini justru akan menghalangi otot untuk bisa
meregang secara maksimal (Giyanto, 2013).
Menurut Touris Aan Suhadaq (2013) dalam penelitiannya yang
membandingkan pengaruh ballistic stretching dan static stretching terhadap
peningkatan vertical jump atlet basket. Pada uji beda pengaruh didapatkan hasil
bahwa ballistic stretching dengan dosis yang diberikan selama satu minggu 3 kali,
36
5 kali pengulangan, periode istirahat 3 menit durasi stretching 60 detik, dan
dilakukan selama 1 bulan lebih berpengaruh terhadap peningkatan vertical jump
dibandingkan dengan static stretching. Pada penelitian oleh Endy Hermawan
(2013) yang membandingkan pemberian latihan ballistic stretching dan latihan
depth jump terhadap hasil lompatan. Menunjukkan hasil bahwa hasil latihan
ballistic stretching selama 4 minggu dengan dosis latihan dalam satu minggu
dengan 2 kali dengan durasi streching yang dilakukan sampai 60 detik, dengan
mendapatkan 8 kali pengulangan memiliki pengaruh terhadap hasil lompatan.
Hasil dari penelitian ini juga didapatkan bahwa terdapat perbedaan pengaruh yang
signifikan antara latihan ballistic stretching dan depth jump. Dari hasil rata-rata
didapatkan latihan pliometrik depth jump memiliki pengaruh yang lebih besar
dibandingkan dengan latihan ballistic stretching (Hermawan, 2013).
2.5.2
Kajian fisiologis Ballistic Stretching
Apabila seseorang meregangkan suatu kelompok otot dengan metode
peregangan ballistic, artinya dalam gerakannya ada regangan-regangan yang
mendadak. Kecepatan pengulangan dari ballistic stretching mengakibatkan
serabut afferent primer merangsang alpha motor neuron pada medulla spinalis
dan memfasilitasi kontraksi serabut ekstrafusal, yaitu meningkatkan ketegangan
(tension) pada otot. Hal ini dinamakan dengan monosynaptic stretch reflex,
ketegangan belum sepenuhnya terjadi, apabila refleks ini mulai muncul, maka otot
yang hampir teregang secara berlebihan tiba-tiba berkontraksi dan ekstensi dari
tubuh berkurang, sehingga otot belum meregang secara maksimal sudah terjadi
kontraksi otot yang bersangkutan. Hal ini mengakibatkan adanya peningkatan -
37
nilai elastisitas pada otot yang bersambungan dengan tendon, peregangn tersebut
meningkatkan nilai Lingkup Gerak Sendi (LGS) yang ada (Guccione, 2000).
Gerakan yang cepat saat melakukan ballistic stretching akan merangsang
Golgi
Tendon
Organ
(GTO)
dimana
GTO
tersebut
dekat
dengan
muscullotendinosus junction dari ekstrafusal muscle fibers akan merangsang alfa
motor neuron untuk menginhibisi dari kontraksi GTO tersebut. Gerakan berulang
yang terjadi memaksakan GTO untuk lebih fleksibel dari sebelumnya, sedangkan
muscle fibers dari otot tidak begitu cepat dan kurang adaptif. Jadi metode
peregangan ballistic tidak memungkinkan otot untuk meregang secara maksimal,
sehingga pengaruh pengembangan fleksibilitasnya sangat kecil (Giyanto, 2013).
2.5.3
Mekanisme Ballistic Stretching Meningkatkan Vertical Jump
Peningkatan vertical jump pada latihan peregangan ballistic yang
diberikan akan merangsang muscle spindle dari otot tungkai. Fungsi muscle
spindle dimanifestasikan dalam bentuk refleks muscle spindle. Refleks muscle
spindle berperan dalam kontraksi otot. Apabila refleks ini mulai muncul, maka
otot yang teregang akan berkontraksi. Selama bertambahnya tingkat peregangan
lapisan fascial (jaringan penghubung) yang menyelubungi otot mengalami
perubahan panjang dan pada akhirnya pelatihan peregangan ini diyakini dapat
menstimulasi bahan pelumas yang disebut dengan GAGs (glicoaminoglycans)
yang berfungsi melumasi serat-serat jaringan penghubung. Salah satunya fungsi
jaringan penghubung adalah mempengaruhi jangkauan gerakan seseorang atau
dengan kata lain pelatihan peregangan ini dapat meningkatkan fleksibilitas
seseorang (Alter, 1999). Meningkatnya fleksibilitas dari otot tungkai tersebut
38
menyebabkan tingginya hasil lompatan yang di capai dan prestasi yang lebih
optimal (Price, 1998).
Ballistic stretching dalam pengaplikasiannya memberikan efek terhadap
nilai fleksibilitas dari gerakan cepat suatu sendi oleh otot, pengaplikasian mekanik
yang tepat saat melakukan vertical jump adalah faktor penting untuk mendapatkan
hasil terbaik. Vertical jump adalah proses dimana seorang pelompat melakukan
lompatan dari posisi tegak berdiri, membuat suatu gerakan awal ke bawah dengan
melenturkan pinggul, lutut, dan pergelangan kaki, dan segera melakukan lompatan
vertikal ke atas lepas dari daratan (Brown, 2008).
Gerakan tersebut menggunakan ‘sretch shorten cycle’ atau siklus
rentangan yang diperpendek dimana terlebih dahulu dilakukan ‘pre-stretched’
terhadap otot sebelum memperpendek gerakan yang diinginkan. Latihan ballistic
stretching adalah latihan yang memang sengaja untuk dikondisikan kepada gerak
yang cepat dan membutuhkan fleksibilitas pada otot antagonis yang perlu reflek
cepat sebagai respon adanya ledakan tiba-tiba dari otot yang berkontraksi, hal ini
sesuai dengan penilaian vertical jump yang membutuhkan kekuatan tiba-tiba
secara cepat dengan power yang besar, maka dapat disimpulkan bahwa ballistic
stretching mampu meningkatkan nilai vertical jump dari atlet bola basket
(Heerschee dkk, 2006).
2.5.4
Aplikasi Ballistic Stretching
Prosedur pelaksanaan ballistic stretching untuk meningkatkan fleksibilitas
otot tungkai terhadap vertical jump sebagai berikut (Juliantine, 2000) :
a. Lakukanlah pemanasan (warm-up).
39
b. Lakukan gerakan dengan penuh konsentrasi.
c. Regangkan otot secara tersentak-sentak dengan cepat.
d. Lakukan peregangan dengan mencium lutut berulang-ulang selama 60
detik dalam 5 set.
e. Istirahat 1 menit tiap set.
Gambar 2.10 Latihan ballistic stretching
Sumber : Irfan, 2008
2.6
Contrax Relax Stretching
2.6.1
Pengertian Contrax Relax Stretching
Contract relax stretching merupakan kombinasi dari tipe stretching
isometrik dengan stretching pasif. Dikatakan demikian karena teknik contract
relax stretching yang dilakukan adalah memberikan kontraksi isometrik pada otot
yang memendek dan dilanjutkan dengan relaksasi dan stretching pada otot
tersebut. Adapun tujuan dari pemberian contract relax stretching yaitu untuk
memanjangkan / mengulur struktur jaringan lunak (soft tissue) seperti otot, fasia
tendon dan ligamen yang memendek secara patologis sehingga dapat
meningkatkan lingkup gerak sendi (LGS). Bukan hanya untuk mengurangi
terjadinya cidera dalam aktivitas yang memerlukan gerakan daya ledak, tetapi
40
contract relax mampu memberikan peningkatan jangkauan LGS yang lebih besar
jika dibandingkan dengan tanpa latihan (Kisner et.al, 1996, dalam Jayanto, 2014).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nagarwal et al (2009) didapatkan
hasil PNF (Contract Relax-Antagonist Contract) lebih efektif daripada PNF (Hold
Relax) untuk meningkatkan fleksibilitas. Untuk itu contract relax adalah cara baik
untuk tetap menjaga fleksibilitas otot tungkai (Jayanto, 2014).
Secara umum contract relax stretching dilakukan untuk mendapatkan efek
relaksasi dan pengembalian panjang dari otot dan jaringan ikat. Jaringan ikat
membutuhkan waktu 20 detik untuk mencapai efek relaksasi sedangkan otot
membutuhkan waktu 2 menit untuk dapat mencapai efek relaksasi. Efek contract
relax stretching jangka panjang pada manusia didapatkan bahwa individu yang
mendapatkan contract relax stretching dengan durasi 15-45 detik menunjukkan
panjang otot yang maksimum. Contract relax stretching dengan durasi 20 dan 30
detik dapat mencapai efek yang maksimal pada minggu ke-7 dan contract relax
stretching dengan durasi 10 detik mencapai efek maksimal pada minggu ke-10
sedangkan contract relax stretching yang diberikan dengan durasi 30 detik dapat
menghasilkan efek maksimal pada minggu keenam dan ketujuh (Irfan, 2008).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Fransiskus Sales Jayanto (2013) yang
membandingkan latihan pliometrik double leg speed hop dengan contrax relax
stretching terhadap vertical jump atlet taekwondo pada sampel sebanyak 14 pria,
dengan rata-rata usia sekitar 18-24 tahun yang dilakukan selama 1 bulan
ditemukan adanya pengaruh pemberian latihan contrax relax stretching terhadap
peningkatan vertical jump. Menurut penelitian Ratna Sundari dkk (2014) yang
41
membandingkan latihan contrax relax stretching dan passive stretching untuk
meningkatkan fleksibilitas otot hamsting, pada 24 atlet taekwondo dengan
perlakuan yang diberikan dalam 1 bulan, frekuensi latihan 2 kali dalam satu
minggu. Didapatkan hasil bahwa contract relax stretching lebih efektif dalam
meningkatkan fleksibilitas otot hamstring dibandingkan dengan
passive
stretching. Penelitian pada 120 siswa sekolah dasar membandingkan metode
peregangan dinamis, statis, pasif, dan contrax relax stretching (PNF) dengan
perlakuan diberikan sebanyak 24 kali dengan frekuensi 3 kali seminggu.
Didapatkan hasil bahwa metode peregangan contrax relax stretching (PNF)
merupakan metode peregangan yang paling efektif dalam meningkatkan
fleksibilitas (Juliantine, 2000).
2.6.2
Kajian Fisiologis Contrax Relax Stretching
Kekuatan kontraksi isometrik yang dilakukan untuk mencapai initial
stretch, akan menyebabkan penambahan regangan pada tendon, oleh karena itu
golgi tendon organs mendapat rangsangan lebih keras. Rangsangan pada golgi
tendon organs mencapai ambang rangsangnya sehingga makin kuat otot diregang,
maka makin kuat pula kontraksinya. Bila tegangan otot menjadi lebih kuat, maka
kontraksi mendadak berhenti dan otot melemas, terjadilah relaksasi otot secara
tiba-tiba (Irfan, 2008).
Reciproce inhibition merupakan hubungan dari agonis dan antagonis
muscle. Ketika motor neurons dari agonis muscle menerima excitatory impulses
dari afferent nerves, motor neurons mensuplai antagonis muscle dihambat oleh
rangangan afferent. Sehingga kontraksi atau ekstensi mengulur agonis muscle
42
harus mendapatkan relaksasi atau menghambat antagonis sehingga terjadi
penguluran agonis muscle. Relaksasi sebagai jawaban terhadap regangan yang
kuat dinamakan efek inhibisi atau autogenic inhibition reflex.
Akibat relaksasi yang tiba-tiba ini, maka pendorong tiba-tiba pula
kehilangan tahanan, sehingga otot dapat diregangkan sampai melampaui titik
fleksibilitas maksimum (rasa sakit yang kedua). Hal inilah yang menyebabkan
pemanjangan otot bisa lebih dimungkinkan lagi, selain itu efek inhibisi ini
merupakan suatu mekanisme protektif untuk mencegah robeknya otot atau
terlepasnya tendon dari perlekatannya ke tulang (Irfan, 2008).
2.6.3
Mekanisme Contrax Relax Stretching Meningkatkan Vertical Jump
Mekanisme peningkatan vertical jump dengan intervensi contract relax
stretching adalah dengan kontraksi isometrik pada contract relax stretching akan
meningkatkan rileksasi otot. Adanya komponen stretching pada contract relax
stretching maka panjang otot dapat dikembalikan dengan mengaktifasi golgi
tendon organ sehingga rileksasi dapat dicapai. Adanya kontraksi isometrik pada
intervensi contract relax stretching akan membantu menggerakkan stretch
reseptor dari spindel otot untuk segera menyesuaikan panjang otot maksimal.
“Rachel Poon merekomendasikan dalam penerapan contract relax stretching
lamanya kontraksi isomterik yang diberikan adalah 6-8 detik”. Pada kontraksi
isometrik ini terjadi penurunan stroke volume jantung, diafragma menekan organ
dalam dan pembuluh darah yang ada di dalamnya sehingga menekan darah agar
keluar dari organ dalam (Irfan, 2008).
43
Pada kontraksi isometrik selama 6 detik yang diikuti dengan inspirasi
maksimal akan mengaktifkan motor unit maksimal yang ada pada seluruh otot.
Menurut Jacobson kontraksi maksimal ini juga akan menstimulus golgi tendo
organ sehingga memicu rileksasi otot setelah kontraksi (reverse innervation) yang
menyebabkan terjadinya pelepasan adhesi yang terdapat di dalam intermiofibril
dan tendon dengan perbandingan 2:3 (Sudarsono, 2011). Pada metode contract
relax stretching relaksasi setelah kontraksi isometrik maksimal dilakukan selama
9 detik dimana dalam proses ini diperoleh rileksasi maksimal yang difasilitasi
oleh reverse innervation tadi. Proses relaksasi yang diikuti ekspirasi maksimal
akan memudahkan perolehan pelemasan otot. Apabila dilakukan peregangan
secara bersamaan pada saat rileksasi dan ekspirasi maksimal maka diperoleh
pelepasan adhesi yang optimal pada jaringan ikat otot, fasia dan
tendo
(Sudarsono, 2011).
Pada intervensi contract relax stretching dengan adanya kontraksi
isometrik dengan inspirasi dalam dan stretching yang diikuti ekspirasi maksimal
yang dilakukan dengan ritmis menyebabkan penguluran sejumlah serabut otot
sehingga semakin banyak serabut otot yang terulur maka akan menyebabkan
semakin besar panjang otot yang dihasilkan pada otot tersebut dan fleksibiltas otot
yang maksimal dapat tercapai. Meningkatnya fleksibilitas menyebabkan hasil
lompatan (vertical jump) menjadi tinggi, karena terjadinya gerakan yang fleksibel
saat melakukan lompatan (Radcliffe, 2000).
Pengaruh pemberian contrax relax stretching pada vertical jump dapat
meningkatkan nilai fleksibilitas dari otot yang diharapkan bekerja untuk menjadi
44
pengimbang dari kontraksi cepat dari otot yang memiliki daya ledak untuk
melompat dalam vertical jump. Otot-otot yang menjadi daya ledak adalah otototot yang memiliki fungsi untuk gerakan ekstensi seperti gastocnemius,
quadriceps femoris dan gluteus maximus. Dalam pelaksanaannya contrax relax
stretching diberikan terlebih dahulu untuk menciptakan kelenturan dari otot
antagonis, baik berupa otot tibialis anterior, hamstring dan illiopsoas sehingga
mampu memaksimalkan gerakan latihan. Selanjutnya diberikan latihan depth
jump sebagai bentuk latihan agar otot antagonis yang bekerja dalam menjaga
kestabilan sendi pada gerakan loncatan yang dilakukan tidak mengalami cedeera
dan menambah jangkauan luas sendi yang lebih besar sehingga tinggi vertical
jump dapat dicapai (Jayanto, 2014).
2.6.4
Aplikasi Contrax Relax Stretching
Prosedur pelaksanaan Contrax Relax Stretching untuk meningkatkan
fleksibilitas otot tungkai terhadap vertical jump sebagai berikut (Giyanto, 2013) :
a. Pertama-tama pelaku (A) melakukan peregangan statis sampai limit rasa
sakit (rasa sakit pertama) dan bukan sampai terasa sakit yang maksimal.
b. Setelah itu pendorong (B) memberi dorongan atau regangan secara
perlahan-lahan kepada pelaku (A) sampai titik fleksibilitas maksimum
tercapai (rasa sakit yang kedua).
c. Setelah otot teregang sampai titik fleksibilitas maksimum tercapai (rasa
sakit yang kedua), maka pelaku (A) menahan dengan kontraksi isometrik
secara sadar terhadap dorongan yang dilakukan oleh pendorong (B).
45
d. Pendorong (B) terus menambah tenaga dorongannya, sementara pelaku
(A) terus menambah tahanannya (menambah kekuatan kontraksinya).
e. Pertahankan kontraksi isometrik ini, lalu setelah 6 detik, terjadi rileksasi,
sementara pendorong (B) tetap memberikan dorongan dengan cara
peregangan pasif selama 20 detik, setelah itu kembalilah ke sikap semula
secara perlahan-lahan. Lakukan 4 kali repetisi dalam 3 set.
Gambar 2.11 Latihan Contrax Relax Strtching (Anonim, 2012).
Download