BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Vertical Jump 2.1.1 Pengertian Vertical Jump Vertical jump adalah suatu kemampuan untuk naik ke atas melawan gravitasi dengan menggunakan kemampuan otot (Ostijic, 2010). Vertical jump juga bisa diartikan gerakan meloncat setinggi-tingginya dengan fokus kekuatan otot tungkai untuk mencapai loncatan lurus keatas dengan maksimal. Vertical jump ini biasanya banyak digunakan oleh beberapa cabang olahraga misalnya: bola voli, basket, dan lain sebagainya. Peningkatan vertical jump yaitu proses yang komplit di mana dilihat pada berapa aspek yang berbeda, diperlukan berapa komponen yang mendukung di antaranya fleksibilitas komponen sendi, kekuatan tendon, keseimbangan dan kontrol motor, kekuatan otot, fleksibilitas otot serta ketahanan otot (Irwansyah, 2012). Pada vertical jump terdiri dari beberapa fase yaitu: countermovement, propulsion, flight, dan landing. Mekanisme dari gerak vertical jump diawali dengan gerakan countermovement merupakan awal gerakan dimana pada fase ini diawali dengan berdiri tegak lalu melakukan fleksi hip, knee, dan ankle joint, propulsion merupakan lanjutan dari gerakan countermovement dimana gerakan ini diawali dengan fleksi hip, knee dan ankle joint menuju gerakan take off, flight fase ini diawali gerakan take off menuju landing, landing terdiri dari gerakan landing untuk menuju end of movement (Grimshaw, 2007). 8 9 Otot adalah salah satu komponen pendukung dalam melakukan vertical jump yang dapat menghasilkan gerakan serta kekuatan. Otot yang maksimal sangatlah penting bagi peningkatan pada vertical jump. Otot skelet merupakan suatu jaringan yang kegiatannya berupa kontraksi, sehingga otot mempunyai kemampuan ekstensibilitas, elastisitas, dan kontraktilitas. Pada tungkai terdapat beberapa macam otot dan salah satunya adalah quadriceps yang berfungsi sebagai penopang, pada saat berjalan, berlari, menendang, melompat, naik turun tangga maupun stabilisasi pada saat melakukan aktifitas ataupun latihan (Hermakulata, 2011). Otot quadriceps merupakan salah satu otot pada sendi lutut atau knee joint yang mempunyai fungsi sebagai stabilisator aktif sendi lutut dan juga berperan sebagai penggerak sendi yaitu gerakan saat ekstensi lutut. Dimana otot quadriceps berperan dalam aktifitas sehari-hari seperti berjalan, berlari, menendang, melompat, dan naik turun tangga. Terkait dengan fungsi dari otot quadriceps yaitu berperan dalam ekstensi knee maka otot ini merupakan otot yang berperan penting dalam menghasilkan gerakan vertical jump. Agar dapat melakukan gerakan vertical jump secara maksimal maka memerlukan kekuatan otot quadriceps yang maksimal pula, agar menghasilkan performance otot yang optimal sehingga resiko cedera saat beraktifitas dapat diminimalisir (Hermakulata, 2011). Penggerak flexi lutut pada saat melompat dilakukan otot-otot hamstring. Selain itu flexi lutut juga dibantu oleh gastrocnemius, popliteus dan gracillis. Lingkup gerak sendi pada saat flexi berkisar antara 120°-130° (Kapandji, 1997 dalam Ariyadi 2012). Saat terjadi perubahan menjadi gerakan extensi, berganti 10 otot-otot quadriceps yang berkontraksi secara eksplosive, dalam kondisi ini terjadi proses peregangan secara mendadak pada otot hamstring. Pada aktivitas olahraga didapatkan bahwa energi elastik mampu meningkatkan 20% beban maksimum yang diangkat dari energi konsentrik, ini berlaku pada otot quadriceps yang berkontraksi secara kuat memaksa otot hamstring yang merupakan otot tipe II untuk melakukan peregangan secara cepat. Kemampuan otot hamstring dapat membantu meningkatkan kemampuan dalam jumping jika mampu melakukan gerakan sefleksibel mungkin dalam mengikuti gerak otot quadriceps yang berlawanan (Radcliffe, 2000). 2.1.2 Vertical Jump pada Basket Vertical jump dalam permainan adalah kebutuhan mutlak yang harus dimiliki oleh setiap pemain bola basket, karena vertical jump sangat dibutuhkan oleh setiap pemain untuk melakukan shooting ke keranjang lawan agar bisa mendapatkan point (Hermakulata, 2011). Ada beberapa teknik bola basket yang menggunakan gerakan vertical jump yaitu jump shot, lay up, runner, set and jump shoot, free throw,three point shoot, hook shoot (Nugraha, 2012). Gerakan saat melakukan jump shoot saat shooting pada awal lompatan otot-otot yang bekerja adalah seluruh komponen otot-otot tungkai seperti gerakan fleksi knee dilakukan oleh kelompok hamstrings, dan gastronocnemius (Sohiron, 2009). Pada saat melompat, terjadi tolakan ke atas dengan kedua otot-otot ekstensor kaki secara eksplosif melakukan kontraksi serta mengayunkan kedua lengan lurus ke atas secara bersamaan. Eksplosif kontraksi oleh otot-otot gluteus maximus dan minimus, kelompok quadriceps ekstensor, tibia anterior dan otot- 11 otot pada metatarsal menciptakan ekstensi sendi hip, knee dan ankle (Sohiron, 2009). Puncak lompatan pada gerakan ini otot gluteus maximus dan minimus, kelompok quadriceps ekstensor, tibia anterior dan otot-otot pada metatarsal bertahan dalam posisinya, otot fleksor tungkai mengalami relaksasi (Sohiron, 2009). Pengaruh dari kecepatan dan dorongan pada saat melakukan awalan memberikan gaya yang menyebabkan atlet berubah kecepatannya dan pada titik tolaknya mengubah arah gerakannya dari horisontal menjadi vertikal (Lubis, 2009). Gambar 2.1 Jump Shoot Sumber : Setiadi, 2014 2.1.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Vertical Jump Faktor yang mempengaruhi vertical jump dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitu, faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal terdiri umur, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan, kebugaran fisik, dan genetik. Faktor eksternal terdiri dari suhu dan kelembaban relatif udara, kecepatan angin, dan ketinggian tempat (Bompa & Harf, 2009). 12 1. Faktor Internal a) Umur Hampir semua komponen biomotorik dipengaruhi oleh umur. Peningkatan kekuatan otot berkaitan dengan pertambahan umur, dimensi, anatomi atau diameter otot dan kematangan seksual (Astrand dan Ronald, 1986). Kekuatan lebih rendah pada anak-anak dan meningkat pada usia remaja serta mencapai puncaknya pada umur 20-30 tahun, pengembangan fleksibilitas yang baik pada usia remaja antara 16-18 tahun, puncak prestasi atletik dapat dicapai antara umur 18-23 tahun (Nala, 2002). b) Jenis Kelamin Kekuatan otot laki-laki sedikit lebih kuat daripada kekuatan otot perempuan pada usia 10-12 tahun. Perbedaan kekuatan yang signifikan terjadi seiring pertambahan umur, di mana kekuatan otot laki-laki jauh lebih kuat daripada wanita (Bompa, 2005). Pengaruh hormon testosteron memacu pertumbuhan tulang dan otot pada laki-laki, ditambah perbedaan pertumbuhan fisik dan aktivitas fisik wanita yang kurang juga menyebabkan kekuatan otot wanita tidak sebaik laki-laki. Bahkan pada umur 18 tahun ke atas, kekuatan otot bagian atas tubuh pada laki-laki dua kali lipat daripada perempuan, sedangkan kekuatan otot tubuh bagian bawah berbeda sepertiganya (Nala, 2011). c) Indeks Masa Tubuh Indeks masa tubuh (IMT) secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap hasil lompatan. Pemain basket cenderung memiliki sifat ectomorphy 13 (tinggi kurus) lebih banyak dan lebih sedikit yang memiliki sifat endomorphy (pendek gemuk) (Harjanto dkk, 2013). Berat badan merupakan salah satu faktor yang menentukan pusat gravitasi yang nantinya akan menentukan keseimbangan statik dan keseimbangan dinamik. Keseimbangan akan mentukan besarnya daya ledak saat terjadi gerakan melompat (take off) saat di udara dan mendarat (Hairy, 2005). d) Kebugaran Fisik Kebugaran fisik berhubungan erat dengan kapasitas aerobik seseorang. Semakin baik kapasitas aerobik seseorang makin baik pula kebugaran fisiknya (Sukanan, 1986). Kebugaran fisik dari aspek ilmu faal menunjukan kesanggupan atau kempuan dari tubuh manusia untuk melakukan penyesuaian atau adaptasi terhadap beban fisik yang dihadapinya tanpa menimbulkan kelelahan yang berarti (Griwijoyo and Muchtamaji, 2005). e) Genetik Pengaruh genetik terhadap kecepatan, kekuatan dan daya tahan pada umumnya berhubungan dengan komposisi serabut otot yang terdiri dari serabut otot putih dan serabut otot merah. Atlet yang memiliki lebih banyak serabut otot putih lebih mampu untuk melakukan kegiatan yang bersifat anaerobic, sedangkan atlet yang lebih banyak serabut otot merah lebih tepat untuk melakukan kegiatan yang bersifat aerobic (Nala, 2002). 14 2. Faktor Eksternal a) Cuaca Cuaca hujan memudahkan pemain jatuh terpeleset karena kondisi lapangan yang becek dan licin, sehingga dapat menimbulkan cedera pada atlet (Setiawan, 2011). Hujan juga menyebabkan suhu menjadi lebih dingin sehingga sangat mempengaruhi kinerja otot, (1) sel-sel otot menjadi lemah karena terjadi perlambatan laju metabolisme, (2) kemampuan pemendekan otot pada vasokonstriksi dan power otot menurun signifikan, (3) kelelahan otot terjadi lebih cepat, karena mekanisme kontraksi yang terjadi harus dapat memenuhi dua kebutuhan fisiologis dalam waktu yang bersamaan, yaitu untuk menghasilkan energi dan menampilkan performa latihan yang baik, dan pemenuhan kebutuhan energi untuk mempertahankan suhu tubuh (Jhon, 2015). 2.1.4 Pengukuran Vertical Jump dengan Vertical Jump Test Vertical jump test dikenal juga dengan nama sargent test. Test ini dikembangkan oleh Dr. Dudley Allen Sargent yang bertujuan untuk mengukur power otot-otot tungkai dengan mengukur perbedaan jangkauan maksimal pada saat berdiri dan pada saat melompat dengan menggunakan dinding yang berskala centimeter (Quinn, 2013). Vertical jump test didukung oleh peran utama dari otot penggerak tubuh, yaitu kelompok otot quadriceps femoris. Karena itu peningkatan vertical jump harus bertahap dan diperlukan adaptasi dari otot quadriceps femoris sebagai pengerak utama (Sudewa, 2015). 15 Pada pengukuran vertical jump alat yang di sediakan berupa penghapus papan, penggaris kayu dalam ukuran cm atau meteran dan kapur papan tulis (Sudewa, 2015). Pelaksanaan loncat tegak (vertical jump), atlet berdiri di samping dinding atau tembok dengan jari-jari tangan meraih ke atas setinggi mungkin. Tetap di tempat yang sama atlet mengerahkan tenaga dan meloncat ke atas dengan kedua kaki dan kemudian tangan menyentuh dinding setinggi mungkin. Sebelum meloncat atlet memegang kapur untuk memberi bekas pada meteran atau penggaris kayu agar memperjelas tinggi lompatan yang dicapai. Setiap individu melakukan vertical jump sebanyak 3 kali, dari 3 kali vertical jump tersebut diambil lompatan yang paling tinggi kemudian di catat. Skor vertical jump adalah selisih antara tinggi raihan pada waktu meloncat dengan tinggi raihan pada waktu berdiri (Hasanah, 2013). Gambar 2.2 Vertical Jump Test Sumber : (Quinn, 2013) 2.2 Kajian Anatomi Otot Tungkai 2.2.1 Anatomi Otot Tungkai Daerah tungkai memiliki beberapa grup otot besar yang dapat memberikan kontribusi terhadap vertical jump. Beberapa grup otot besar yang terlibat adalah: 16 1. Group Otot Ekstensor Knee dan Fleksor Hip (Quadriceps Femoris) Otot quadriceps femoris adalah salah satu otot rangka yang terdapat pada bagian depan paha manusia. Otot ini mempunyai fungsi dominan ekstensi pada knee (Watson, 2002). Otot quadriceps terdiri atas empat otot, yaitu Gambar 2.3 Grup otot quadriceps femoris Sumber : Watson, 2002 a) Otot Rectus Femoris Terletak paling superfisial pada facies ventalis berada diantara otot quadriceps yang lain yaitu otot vastus lateralis dan medialis. Berorigo pada Spina Illiaca Anterior Inferior (caput rectum) dan pada os ilium di cranialis acetabulum (caput obliquum) dan mengadakan insersio pada tuberositas tibia dengan perantaran ligamentum patellae. Otot ini digolongkan ke dalam otot tipe 1 (Watson, 2002). b) Otot Vastus Lateralis Tipe otot ini adalah otot tipe II yang berada pada sisi lateral yang mengadakan perlekatan pada facies ventro lateral trochanter major dan labium lateral linea aspera femoris (Watson, 2002). 17 c) Otot Vastus Medial Melekat pada labium medial linea aspera (dua pertiga bagian bawah) dan termasuk otot tipe II (Watson, 2002). d) Otot Vastus Intermedius Mengadakan perlekatan pada facies ventro-lateral corpus femoris juga merupakan otot tipe II (Watson, 2002). 2. Grup Otot Fleksor Knee dan Ekstensor Hip (Hamstring) Hamstring merupakan otot paha bagian belakang yang berfungsi sebagai fleksor knee dan ekstensor hip. Secara umum hamstring bertipe otot serabut otot tipe II. Hamstring terbagi atas tiga otot yaitu (Watson, 2002) : Gambar 2.4 Grup otot hamstring Sumber : Watson, 2002 a) Otot Biceps Femoris Mempunyai dua buah caput. Caput longum dan breve, caput longum berorigo pada pars medialis tuber Ichiadicum dan M. semitendinosus sedangkan 18 caput breve berorigo pada labium lateral linea aspera femoris, insersio otot ini pada capitulum fibula. b) Otot Semitendinosus Otot ini berorigo pada pars medialis tuber ichiadicum dan berinsersio pada facies medialis ujung proximal tibia. c) Otot Semimembranosus Melekat di sebelah pars lateralis tuber ichiadicum turun ke arah sisi medial regio posterior femoris dan berinsersio pada facies posterior condylus medialis tibia. 3. Grup Otot Plantar Fleksor Ankle Otot plantar fleksor ankle adalah salah satu otot rangka yang terdapat pada bagian belakang betis manusia. Otot ini mempunyai fungsi dominan fleksi kaki pada ankle joint (Watson, 2002). Gambar 2.5 Grup otot plantar fleksor ankle Sumber : Watson, 2002 a) Otot Gastrocnemius Otot ini merupakan serabut otot fast-twitch yang sangat kuat untuk plantar fleksi kaki pada ankle joint. Otot gastrocnemius merupakan otot yang paling superfisial pada dorsal tungkai dan terdiri dari dua caput pada bagian atas calf. 19 Dua caput tersebut bersamaan dengan soleus membentuk triceps surae. Bagian lateral dan medial otot masih terpisah satu sama lain sejauh memanjang ke bawah pada middle dorsal tungkai. Kemudian menyatu di bawah membentuk tendon yang besar yaitu tendon Achilles (Hamilton, 2002). b) Otot Soleus Otot gastrocnemius, otot soleus berfungsi pada gerakan plantar fleksi kaki pada ankle joint. Otot ini terletak di dalam gastrocnemius, kecuali di sepanjang aspek lateral dari ½ bawah calf, di mana bagian lateral soleus terletak pada bagian atas dari tendon calcaneus. Serabut otot soleus masuk ke dalam tendon calcaneal dalam pola bipenniform. Otot ini dominan memiliki serabut slow-twitch (Hamilton, 2002). 4. Group Otot Dorsi Fleksor Ankle Otot dorsi fleksor ankle adalah salah satu otot rangka yang terdapat pada bagian depan betis. Otot ini mempunyai fungsi untuk dorso fleksi ankle (Watson, 2002). Gambar 2.6 Grup otot dorsi fleksor ankle Sumber : Watson, 2002 20 a) Tibialis Anterior Otot ini terletak di sepanjang permukaan anterior tibia dari condylus lateral kebawah pada aspek medial regio tarsometatarsal. Sekitar ½ sampai 2/3 ke bawah tungkai otot ini menjadi tendinous. Tendon berjalan di depan malleolus medial sampai pada cuneiform pertama. Otot ini berperan dalam gerakan dorsi fleksi ankle dan kaki, serta supinasi (inversi dan adduksi) tarsal joint ketika kaki dorsi fleksi. Dalam penelitian EMG, otot ini ditemukan aktif pada ½ orang yang berdiri bebas dan ketika dalam posisi forward lean (Hamilton, 2002). b) Extensor Digitorum Longus Otot ini memanjang pada empat jari-jari kaki. Otot ini juga berperan pada gerakan dorsi fleksi ankle joint dan tarsal joint serta membantu eversi dan abduksi kaki. Otot ini berbentuk penniform, terletak di lateral dari tibialis anterior pada bagian atas tungkai dan lateral dari extensor hallucis longus pada bagian bawahnya. Tepat di depan ankle joint tendon ini membagi empat tendon pada masing-masing jari-jari kaki (Hamilton, 2002). c) Extensor Hallucis Longus Otot ini berperan dalam gerakan ekstensi dan hiperekstensi ibu jari kaki. Otot extensor hallucis longus juga berperan pada gerakan dorsi fleksi ankle dan tarsal joint. Seperti otot diatas, otot ini juga berbentuk penniform. Pada bagian atas otot ini terletak di dalam tibialis anterior dan extensor digitorum longus, tetapi sekitar ½ bawah tungkai tendon ini menyebar diantara dua otot tersebut di atas sehingga otot ini menjadi superfisial. Setelah mencapai ankle tendonnya ke 21 arah medial melewati permukaan dorsal kaki sampai pada ujung ibu jari kaki (Hamilton, 2012). Otot yang berperan dalam puncak vertical jump selain otot tungkai adalah otot gluteus maximus, gluteus medius dan minimus, Otot-otot ini berperan sebagai pembentuk bokong (Lestari, 2015). a. Gluteus maximus Otot ini merupakan otot yang terbesar yang terdapat di sebelah luar ilium membentuk perineum. Fungsinya, antagonis dari iliopsoas yaitu rotasi fleksi dan endorotasi femur. Fungsi utama dari gluteus maximus adalah untuk menjaga bagian belakang tubuh tetap tegap, atau untuk mendorong kedudukan pinggul ke posisi yang tepat (Lestari, 2015). Gambar 2.7 otot gluteus maximus Sumber : Watson, 2002 b. Gluteus medius dan minimus Otot ini terdapat di bagian belakang dari sendi ilium di bawah gluteus maksimus. Fungsinya, abduksi dan endorotasi dari femur dan bagian medius eksorotasi femur (Lestari, 2015). 22 Gambar 2.8 otot gluteus medius dan minimus Sumber : Watson, 2002 2.3 Pelatihan Fisik 2.3.1 Pengertian Pelatihan Pelatihan dapat diartikan sebagai suatu usaha untuk memperbaiki sistem organ alat-alat tubuh dan fungsinya dengan tujuan untuk mengoptimalkan penampilan atau kinerja atlet (Nala, 2008). Menurut Bompa (1990), pelatihan merupakan suatu proses sistematis dari pengulangan, suatu kinerja progresif yang juga menyangkut proses belajar serta memiliki tujuan memperbaiki sistem dan fungsi dari organ tubuh agar penampilan atlet mencapai optimal, secara fisiologis pelatihan fisik merupakan suatu proses pembentukan reflex bersyarat, proses belajar bergerak serta menghafal gerak. Kata kunci yang harus dipahami yaitu pelatihan merupakan suatu proses yang sistematis, repetitif, durasi, progresif dan individual: (1) sistematis adalah cara atau metode pelatihan terencana secara detail; (2) repetitif adalah suatu gerakan berulang yang sama dilakukan lebih dari satu kali; (3) durasi adalah lamanya aktivitas pelatihan (termasuk istirahat) yang harus dilakukan dalam satu 23 sesi atau sekali pelatihan; (4) progresif adalah peningkatan atau penambahan beban pelatihan yang dilakukan secara bertahap yang diawali dengan pemberian beban yang ringan kemudian ditingkatkan secara bertahap sesuai dengan kemampuan atlet atau dimulai dengan pelatihan yang mudah (sederhana) kemudian secara bertahap diberikan pelatihan yang semakin berat (Lestari, 2015). Pemberian beban pelatihan tidak dapat disamaratakan untuk setiap atlet, walaupun mereka dalam satu regu cabang olahraga (Nala, 1998). Secara garis besar pelatihan dapat dibagi atas : (1) Pelatihan fisik (physical training); (2) Pelatihan teknik (technical training); (3) Pelatihan taktik atau strategi (tactical training); (4) Pelatihan mental atau psikis termasuk rohani (psychological training) (Nala, 2002). 2.3.2 Tujuan Pelatihan Fisik Pelatihan fisik adalah suatu aktivitas fisik yang dilakukan secara sistematis dalam jangka waktu yang lama secara individual dengan kian lama kian bertambah bebannya. Tujuan latihan fisik meningkatkan fungsi potensial yang dimiliki atlet dan mengembangkan kemampuan biomotoriknya sehingga mencapai standar tertentu (Nala, 2002). Perkembangan kondisi fisik secara menyeluruh sangatlah penting, oleh karena tanpa kondisi fisik yang baik tidak akan dapat mengikuti pelatihan dengan optimal. Pelatihan fisik diarahkan untuk meningkatkan komponen-komponen kondisi fisik. Dengan demikian pelatihan fisik bertujuan untuk meningkatkan fungsi kerja faal tubuh dan keterampilan kerja (Lestari, 2015). 24 Tujuan pelatihan fisik meliputi tujuan jangka panjang dan jangka pendek. Tujuan pelatihan jangka panjang adalah agar tercapainya status juara, sedangkan tujuan pelatihan jangka pendek berisi aspek yang terkait dengan kinerja olahraga seperti peningkatan kekuatan, daya tahan, daya ledak, kecepatan, kelentukan, reaksi, kelincahan dan sebagainya termasuk keterampilan (Pamungkas, 2015). Pelatihan fisik bertujuan untuk meningkatkan kapasitas fungsional fisik dan penyesuaian diri terhadap pembebanan sehingga dicapai kinerja yang tinggi. Sukadiyanto (2005) lebih lanjut menjelaskan bahwa sasaran dan tujuan pelatihan secara garis besar antara lain: (a) meningkatkan kualitas fisik dasar secara umum dan menyeluruh, (b) mengembangkan dan meningkatkan potensi fisik yang khusus, (c) menambah dan menyempurnakan tehnik, (d) mengembangkan dan menyempurnakan strategi, tehnik dan pola bermain, (e) meningkatkan kualitas dan kemampuan psikis olahragawan dalam bertanding. 2.3.3 Prinsip Pelatihan Fisik Pada dasarnya latihan yang dilakukan pada setiap cabang olahraga harus mengacu dan berpedoman pada prinsip-prinsip latihan. Proses latihan yang menyimpang sering kali mengakibatkan kerugian bagi atlet maupun pelatih. Prinsip-prinsip latihan memiliki peranan penting terhadap aspek fisiologis dan psikologis olahragawan, dengan memahami prinsip-prinsip latihan akan mendukung upaya untuk meningkatkan kualitas latihan (Pamungkas, 2015). Ada beberapa prinsip latihan yang perlu dipahami dengan baik dan benar oleh para atlet yang akan meningkatkan prestasinya. Menurut Bomba dalam Harsono (2004) prinsip-prinsip pelatihan tersebut adalah: 25 a. Prinsip beban berlebih (the overload principle). Prinsip latihan ini bertujuan untuk mendapatkan pengaruh latihan yang baik, organ tubuh harus mendapat beban yang biasanya diterima dalam aktivitas sehari-hari. Beban yang diterima bersifat individual, tetapi pada prinsipnya diberi beban sampai mendekati maksimal. b. Prinsip beban bertambah (the principle of progressive resistance). Prinsip latihan ini adalah beban kerja dalam latihan ditingkatkan secara bertahap dan disesuaikan dengan kemampuan fisiologi dan psikologi setiap atlet. c. Prinsip latihan beraturan (the principle of arrangement of exercise). Dalam setiap melaksanakan latihan, ada tiga tahap yang harus dilalui, yaitu : pemanasan, latihan inti dan pendinginan. Latihan hendaknya dimulai dari kelompok otot yang besar, kemudian dilanjutkan pada kelompok otot yang kecil. d. Prinsip khusus (the principle of specificity). Kekhususan adalah latihan satu cabang olahraga, mengarah pada perubahan morfologi dan fungsional yang berkaitan dengan kekhususan cabang olahraga tersebut. Kekhususan tersebut meliputi kelompok otot yang dilatih dan latihan yang diberikan harus sesuai dengan keterampilan khusus. e. Prinsip individualisasi (the principle of Individuality). Faktor individu mempunyai karakteristik yang berbeda, baik secara fisik maupun secara psikologis. Dalam hal ini yang harus diperhatikan adalah kapasitas kerja serta perkembangan kepribadian, penyesuaian kapasitas fungsional individu dan kekhususan organisme. 26 f. Prinsip kembali asal (reversible principle). Kualitas yang diperoleh dari latihan akan dapat menurun apabila tidak melakukan latihan dalam waktu tertentu, demikian harus berkesinambungan. g. Prinsip beragam (variety principle). Latihan memerlukan proses panjang yang dilakukan berulang-ulang hal ini sering menimbulkan kebosanan, untuk mengatasinya pelatih harus mampu menciptakan suasana yang menyenangkan serta membuat aneka macam bentuk latihan. Melakukan pelatihan harus sesuai dengan prosedur pelatihan, yaitu sebelum melakukan pelatihan inti perlu dilakukan pemanasan yang berupa gerakangerakan ringan selama 5-10 menit termasuk peregangan otot-otot (Nala, 1986 dalam Lestari, 2015). Pemanasan adalah suatu latihan yang sangat bersifat fisiologis yang telah secara luas diterima dalam program olahraga. Pemanasan menghasilkan penampilan berupa latihan dengan intensitas ringan sampai sedang sebelum pertandingan dengan intensitas yang lebih tinggi. Pemanasan sangat menguntungkan penampilan karena meningkatkan suhu otot aktif. Kenaikan suhu otot memungkinkan otot berkontraksi dan mengendor lebih (Lestari, 2015). Pemanasan juga mempermudah lepasnya oksigen dari hemoglobin dan menaikkan volume oksigen sehingga kebutuhan energi aerobik berkurang pada permulaan latihan keras, lagi pula pemanasan awal dapat mengurangi resiko cedera tendon dan otot. Pemanasan atau warming up sangat perlu dilakukan oleh setiap atlet baik sebelum berlatih maupun sebelum pertandingan. Sistema tubuh pada waktu istirahat berada dalam keadaan inersia atau tidak begitu aktif (Nala, 2002). 27 Mengembalikan kondisi tubuh setelah melakukan pelatihan perlu dilakukan pendingan. Pendinginan merupakan kegiatan penutupan berisi kegiatan yang tujuannya untuk menyesuaikan keadaan tubuh secara bertahap agar kembali ke kondisi normal. Kegiatan pendinginan ini bermanfaat untuk mencegah otot terasa pegal dan kaku. Kegiatannya seperti dengan berbaring, duduk dengan kaki lebih tinggi. Bisa juga diakhiri dengan jalan kaki lamban selama 3-5 menit, atau hingga denyut jantung kembali normal (Lutan, 2002). Arti fisiologis yang dapat ditelusuri dari latihan penutupan ini ialah gerakan-gerakan ringan itu akan membantu memperlancar sirkulasi (mengaktifkan pompa vena), sehingga akan membantu mempercepat pembuangan sampah-sampah sisa olahdaya dari otot-otot yang aktif pada waktu melakukan olahraga sebelumnya (Lestari, 2015). Tersingkirnya sampah-sampah sisa olah daya, maka rasa pegal setelah olahraga dapat dicegah atau dikurangi. Itulah arti fisiologis dari latihan pendinginan yang pada hakikatnya berupa auto-massage yaitu memijit oleh diri sendiri (Giriwijoyo, 1992). Pendinginan atau cooling down dilakukan setelah selesai melakukan pelatihan atau aktivitas fisik lainnya. Tujuan dari pendinginan adalah menarik kembali secepatnya darah yang terkumpul di otot skeletal yang telah aktif sebelumnya ke peredaran darah sentral dan membersihkan darah dari sisa hasil metabolisme berupa tumpukan asam laktat yang berada di dalam otot dan darah. Latihan pendinginan dilakukan kurang lebih 10 menit. Kegiatan yang dilakukan dalam latihan penutupan ini adalah berjalan kaki lamban selama 3 menit, duduk sambil melakukan peregangan statis dan pelemasan terutama pada anggota gerak tubuh bagian bawah selama 7 menit (Lestari, 2015). 28 2.3.4 Takaran Pelatihan Sebuah hasil latihan yang maksimal harus memiliki prinsip latihan. Tanpa adanya prinsip atau patokan yang harus diikuti oleh semua pihak yang terkait, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai pada evaluasi pelatihan akan sulit mencapai hasil yang maksimal (Nala, 2011). 1. Intensitas Intensitas pelatihan menunjukan komponen kualitatif yang harus ditetapkan sebelum menentukan volume dan frekuensi suatu pelatihan. Derajat intensitas diukur sesuai dengan tipe pelatihan atau aktivitas yang dilakukan (Nala, 2002). Takaran pelatihan yang digunakan adalah intensitas sub-maksimum sampai maksimum. 2. Volume Volume dalam pelatihan merupakan komponen takaran yang paling penting dalam setiap pelatihan. Unsur volume ini merupakan takaran kuantitatif, yakni satu kesatuan yang dapat diukur banyaknya, berapa lama, jauh, tinggi atau jumlah suatu aktivitas (Nala, 2011). Pada umumnya volume pelatihan ini terdiri dari atas : durasi atau lama waktu pelatihan, jarak tempuh dan berat beban, serta jumlah repetisi dan set (Lestari, 2015). Dalam penelitian ini volume yang digunakan adalah sebagai berikut : a) Repetisi dan Set Repetisi adalah jumlah ulangan yang menyangkut suatu beban. Jumlah ulangan yang dimaksud adalah gerak yang dilakukan dalam satu seri pelatihan atau jumlah seri yang dilakukan selama pelatihan. Set adalah suatu rangkaian 29 kegiatan dari suatu repetisi, penggunaan set amat penting dalam meningkatkan kemampuan komponen biomotorik (Sajoto, 2002) b) Istirahat Waktu istirahat diperlukan dalam setiap set untuk memberikan waktu istirahat kepada otot-otot yang berperan dalam pelatihan. Waktu istirahat yang dianjurkan adalah selama 1-2 menit antar set, untuk mencegah terlalu lamanya waktu istirahat (Nala, 2011). c) Frekuensi Pelatihan paling sedikit 3 kali perminggu, diselingi dengan satu hari istirahat untuk memberikan kesempatan kepada otot untuk berkembang dan beradaptasi pada hari istirahat tersebut ( Harsono,1988). Hal ini disebabkan karena ketahanan seseorang akan menurun setelah 48 jam tidak melakukan pelatihan. Jadi sebelum ketahanan menurun harus sudah berlatih lagi (Sadoso, 1988). Untuk meningkatkan kapasitas anaerobic frekuensi pelatihan minimal dilakukan 3 kali dalam seminggu dan lama pelatihan 6 minggu atau lebih (Fox, 1993). 2.4 Depth Jump 2.4.1 Pengertian Depth Jump Depth jump merupakan bentuk latihan dari pliometrik dengan cara melompat dari bangku atau box kemudian mendarat, disusul dengan melompat setinggitingginya (Farentinos 2002 dalam Nugroho et al, 2013). Latihan depth jump merupakan salah satu bentuk latihan berbeban yang mampu memberikan keuntungan sekaligus meningkatkan baik pada kemampuan kekuatan, kecepatan, daya ledak dan kontrol motorik, dengan mengikuti prinsip latihan yang benar dan 30 sesuai dengan tujuan menghubungkan gerakan kecepatan dan kekuatan untuk menghasilkan gerakan-gerakan eksplosif (Johansyah, 2010). Depth jumps adalah tipe pelatihan dinamis dimana individu melangkah dari box setinggi 20-80 cm dan melakukan loncatan eksplosif ke atas (Wilson, Murphy, dan Giorgi, 1996 dalam Andrew dkk, 2010).. Setelah di tanah atlet harus melakukan vertical jump dengan upaya yang maksimal dengan waktu yang singkat di tanah, dalam latihan depth jump fokus latihan dengan 60% kekuatan dan 40% kecepatan (Faidlullah dan Kuswandari, 2009). Latihan akan menjadi lebih efektif apabila dilakukan teknik yang benar saat melakukan pelatihan depth jump. Yessis dan Hatfield (2007) menjelaskan cara melakukan depth jump, pertama melangkah dari box yang telah ditetapkan pada ketinggian tertentu sehingga jatuh lurus ke bawah (bukan menyudut). Setelah itu melakukan tolakan ke lantai dan meloncat ke atas atau ke atas depan dengan sedikit menekukkan kaki jika dimungkinkan. Semua pendaratan harus vertical sehingga dapat membuat beban maksimal pada otot (Dau, 2013). Persendian tungkai bawah berperan penuh dalam pelatihan depth jump. Hal ini dikarenakan vertical jump adalah gerakan yang ada dalam depth jump. Pada fase take off dimulai dengan extensi sendi pinggul kemudian secara berurutan diikuti oleh sendi lutut dan sendi pergelangan kaki (Umberger, 1998). Sendi pinggul berperan pertama dalam vertical jump yang kemudian diikuti dengan sendi lutut dan sendi pergelangan kaki. Hal ini juga berlaku dalam depth jump karena dalam depth jump mengandung gerakan vertical jump (Dau, 2013). 31 Penelitian sebelumnya telah ditemukan kontribusi relatif rata-rata dari otot pada vertical jump yang merupakan bagian dari depth jump sebesar 23% pada sendi pergelangan kaki, 28% pada sendi pinggul, dan 49% pada sendi lutut (Hubley, 1983). Sendi lutut berkontribusi terbesar dalam vertical jump dan sendi pergelangan kaki berkontribusi paling kecil dalam vertical jump, jika sendi lutut diberi penekanan lebih besar maka hasil vertical jump akan lebih besar karena kontribusi sendi lutut dalam vertical jump paling besar daripada kontribusi sendisendi yang lain (Dau, 2013). Efek dalam pelatihan plyometrik depth jump sangat spesifik untuk meningkatkan daya ledak eksplosif. Reilly (1992 dalam Abass, 2009) menemukan bahwa depth jump mampu meningkatkan daya dan kekuatan ledakan. Disimpulkan juga bahwa latihan pliometrik dapat dimasukkan dalam program pelatihan kekuatan karena menekankan sifat elastis otot dalam pelatihannya dan cenderung mengembangkan kekuatan otot. Peningkatan sederhana dalam kekuatan maksimal isometrik dan konsentris setelah pelatihan pliometrik depth jump, disimpulkan bahwa efek dari latihan pliometrik sangat spesifik (Klausen, 1990 dalam Abass, 2009) Latihan Plyometrik adalah latihan-latihan atau ulangan yang bertujuan untuk meningkatkan kekuatan, kecepatan dan waktu reaksi. Dalam latihan pliometrik gerakan dilakukan dengan kecepatan gerak tertentu yang melibatkan refleks regang, dimana otot sudah berada dalam kedaan siap untuk berkontraksi lagi sebelum ia berada dalam keadaan rileks (Hanafi, 2010). Istilah ini sering digunakan dalam menghubungkan gerakan lompat yang berulang-ulang atau 32 reflek rengang untuk menghasilkan reaksi yang eksplosif. Furgon & Doewes (2002) menyatakan latihan plyometrik adalah suatu latihan yang memiliki ciri khusus, yaitu kontraksi otot yang sangat kuat yang merupakan respon dari pemberian dinamik atau rengangan yang cepat dari otot-otot terlibat, menghasilkan pergerakan otot isometrik dan menyebabkan refleks rengangan otot dalam otot. Latihan plyometrik dilakukan serangkaian gerakan latihan power yang didesain secara khusus untuk membantu otot mencapai tingkat potensial maksimalnya dalam waktu yang singkat. Plyometrik juga disebut dengan reflek rengangan atau reflek miotatik atau reflek pilinan otot (Furgon & Doewes, 2002). Definisi diatas dapat disimpulkan latihan plyometrik adalah latihan untuk meningkatkan daya ledak otot dengan bentuk kombinasi latihan isometric dan isotonic (eksentrik-konsentrik) yang mengunakan pembebanan dinamik. Renggangan itu terjadi secara mendadak sebelum otot berkontraksi kembali atau suatu latihan yang memungkinkan otot untuk mencapai kekuatan maksimal dalam jangka waktu sesingkat-singkatnya (Dau, 2013). Keuntungan dan Kelemahan Latihan Pliometrik Depth Jump menurut Hasanah 2013 : 1. Keuntungan latihan pliometrik depth jump: a. Latihan ini mudah dilaksanakan b. Secara psikologis latihan ini lebih ringan. Karena tidak ada perubahan ketinggian c. Sederhana, karena alat ini mudah dibuat dan didapat d. Lebih aman karena ketinggian dari tanah tetap 33 2. Kelemahan latihan pliometrik depth jump: a. Faktor eksentrik (memanjang) dan konsentrik (memendek) untuk kontraksi otot kurang banyak mengalami peningkatan karena gerakan yang nain turun b. Atlet cepat jenuh karena gerak maupun tempatnya tetap sehingga motivasi seseorang kurang 2.4.2 Mekanisme Depth Jump Meningkatkan Vertical Jump Pada latihan ini otot yang dikembangkan adalah fleksor pinggul dan paha, gastrocnemius, gluteus, quadriceps dan hamstring (Radiclife dan Farentinous, 2002). Pada saat memulai fase melompat atau fase take off dari kotak terjadi kontraksi isotonic konsentric rectus femoris, eksentrik hamstring dan konsentrik gastrocnemius. Kontraksi tersebut akan bertahan hingga gerakan melompat dilakukan dengan gerak stretch reflex untuk mengirim impuls neuromuscular ke spinal cord agar mampu melakukan lompatan dengan baik. Kemudian pada saat gerakan melompat dilakukan terjadi kontraksi isotonic eksentrik rectus femoris, konsentrik hamstring dan eksentrik gastrocnemius (Meisatama, 2015). Gerakan melompat dilakukan semampunya dan setinggi-tingginya dan pada akhir fase take off atau relates gerak otot rectus femoris dan gastrocnemius mengirim energi mekanik secara luas melalui bagaian proximal energi mekanik untuk kembalinya sendi hip (Markovic dan Jaric, 2007). Bertambahnya power akan meningkatkan kemampuan melompat. Peningkatan kekuatan untuk kelompok otot tertentu terjadi dengan adaptasi kekuatan otot tersebut (Gambetta, 2006) 34 2.4.3 Aplikasi Depth Jump Prosedur pelaksanaan depth jump untuk meningkatkan vertical jump sebagai berikut : a. Berdiri di atas kotak atau platform, dengan kaki membuka selebar bahu. b. Lompat perlahan dari kotak ke tanah dengan mendaratkan kedua kaki secara bersama. c. Gunakan tangan untuk menarik dan mengayun yang berfungsi untuk menambah kecepatan pada saat melompat. d. Kemudian lompat setinggi-tingginya. Gambar 2.9 Latihan Depth Jump Sumber : Donald A. Chu (2006) 2.5 Ballistic Stretching 2.5.1 Pengertian Ballistic Stretching Ballistic Stretching menurut Freshmen (2002) adalah gerakan penguluran dimana dalam penerapanya terjadi proses tersentak-sentak dengan cepat atau memantul-mantulkan gerakan. Stretching balistik adalah peregangan dynamic 35 yang dilakukan dengan cara gerakan yang aktif. Ciri-ciri dari peregangan balistik adalah dilakukan secara aktif dan gerakannya dipantul-pantulkan artinya, gerakan otot yang sama dan pada persendian yang sama dilakukan secara berulang-ulang. Contoh gerakan mencium lutut yang dilakukan berulang ulang, dengan posisi duduk kedua tungkai lurus kedepan, dan saat kedua tangan berusaha meraih kedua ujung kaki lutut harus tetap menempel dilantai. Gerakan mencium lutut dari perlahan menjadi cepat, dengan luas ruang gerak persendian pungung kira-kira hanya mencapai 80% saja (Heerschee dkk, 2006). Tujuan pemberian ballistic stretching adalah meningkatkan kapasitas kerja fisik, mengurangi ketegangan pada otot dan memudahkan otot – otot berkontraksi dan rileksasi secara lebih cepat dan efisien, meningkatkan fleksibilitas dari otot dan meningkatkan nilai LGS pada otot antagonis yang berkontraksi. Hal ini sesuai dengan penilaian vertical jump yang membutuhkan kekuatan tiba – tiba secara cepat dengan power yang besar (Heerschee dkk, 2006). Gerakan-gerakan peregangan yang cepat dan kuat akan menyebabkan terjadinya refleks-regang. Refleks ini berfungsi untuk melindungi otot dari cedera akibat peregangan yang berlebihan, akan menyebabkan otot yang teregang tadi untuk berkontraksi, jadi memendek kembali. Dan kontraksi ini justru akan menghalangi otot untuk bisa meregang secara maksimal (Giyanto, 2013). Menurut Touris Aan Suhadaq (2013) dalam penelitiannya yang membandingkan pengaruh ballistic stretching dan static stretching terhadap peningkatan vertical jump atlet basket. Pada uji beda pengaruh didapatkan hasil bahwa ballistic stretching dengan dosis yang diberikan selama satu minggu 3 kali, 36 5 kali pengulangan, periode istirahat 3 menit durasi stretching 60 detik, dan dilakukan selama 1 bulan lebih berpengaruh terhadap peningkatan vertical jump dibandingkan dengan static stretching. Pada penelitian oleh Endy Hermawan (2013) yang membandingkan pemberian latihan ballistic stretching dan latihan depth jump terhadap hasil lompatan. Menunjukkan hasil bahwa hasil latihan ballistic stretching selama 4 minggu dengan dosis latihan dalam satu minggu dengan 2 kali dengan durasi streching yang dilakukan sampai 60 detik, dengan mendapatkan 8 kali pengulangan memiliki pengaruh terhadap hasil lompatan. Hasil dari penelitian ini juga didapatkan bahwa terdapat perbedaan pengaruh yang signifikan antara latihan ballistic stretching dan depth jump. Dari hasil rata-rata didapatkan latihan pliometrik depth jump memiliki pengaruh yang lebih besar dibandingkan dengan latihan ballistic stretching (Hermawan, 2013). 2.5.2 Kajian fisiologis Ballistic Stretching Apabila seseorang meregangkan suatu kelompok otot dengan metode peregangan ballistic, artinya dalam gerakannya ada regangan-regangan yang mendadak. Kecepatan pengulangan dari ballistic stretching mengakibatkan serabut afferent primer merangsang alpha motor neuron pada medulla spinalis dan memfasilitasi kontraksi serabut ekstrafusal, yaitu meningkatkan ketegangan (tension) pada otot. Hal ini dinamakan dengan monosynaptic stretch reflex, ketegangan belum sepenuhnya terjadi, apabila refleks ini mulai muncul, maka otot yang hampir teregang secara berlebihan tiba-tiba berkontraksi dan ekstensi dari tubuh berkurang, sehingga otot belum meregang secara maksimal sudah terjadi kontraksi otot yang bersangkutan. Hal ini mengakibatkan adanya peningkatan - 37 nilai elastisitas pada otot yang bersambungan dengan tendon, peregangn tersebut meningkatkan nilai Lingkup Gerak Sendi (LGS) yang ada (Guccione, 2000). Gerakan yang cepat saat melakukan ballistic stretching akan merangsang Golgi Tendon Organ (GTO) dimana GTO tersebut dekat dengan muscullotendinosus junction dari ekstrafusal muscle fibers akan merangsang alfa motor neuron untuk menginhibisi dari kontraksi GTO tersebut. Gerakan berulang yang terjadi memaksakan GTO untuk lebih fleksibel dari sebelumnya, sedangkan muscle fibers dari otot tidak begitu cepat dan kurang adaptif. Jadi metode peregangan ballistic tidak memungkinkan otot untuk meregang secara maksimal, sehingga pengaruh pengembangan fleksibilitasnya sangat kecil (Giyanto, 2013). 2.5.3 Mekanisme Ballistic Stretching Meningkatkan Vertical Jump Peningkatan vertical jump pada latihan peregangan ballistic yang diberikan akan merangsang muscle spindle dari otot tungkai. Fungsi muscle spindle dimanifestasikan dalam bentuk refleks muscle spindle. Refleks muscle spindle berperan dalam kontraksi otot. Apabila refleks ini mulai muncul, maka otot yang teregang akan berkontraksi. Selama bertambahnya tingkat peregangan lapisan fascial (jaringan penghubung) yang menyelubungi otot mengalami perubahan panjang dan pada akhirnya pelatihan peregangan ini diyakini dapat menstimulasi bahan pelumas yang disebut dengan GAGs (glicoaminoglycans) yang berfungsi melumasi serat-serat jaringan penghubung. Salah satunya fungsi jaringan penghubung adalah mempengaruhi jangkauan gerakan seseorang atau dengan kata lain pelatihan peregangan ini dapat meningkatkan fleksibilitas seseorang (Alter, 1999). Meningkatnya fleksibilitas dari otot tungkai tersebut 38 menyebabkan tingginya hasil lompatan yang di capai dan prestasi yang lebih optimal (Price, 1998). Ballistic stretching dalam pengaplikasiannya memberikan efek terhadap nilai fleksibilitas dari gerakan cepat suatu sendi oleh otot, pengaplikasian mekanik yang tepat saat melakukan vertical jump adalah faktor penting untuk mendapatkan hasil terbaik. Vertical jump adalah proses dimana seorang pelompat melakukan lompatan dari posisi tegak berdiri, membuat suatu gerakan awal ke bawah dengan melenturkan pinggul, lutut, dan pergelangan kaki, dan segera melakukan lompatan vertikal ke atas lepas dari daratan (Brown, 2008). Gerakan tersebut menggunakan ‘sretch shorten cycle’ atau siklus rentangan yang diperpendek dimana terlebih dahulu dilakukan ‘pre-stretched’ terhadap otot sebelum memperpendek gerakan yang diinginkan. Latihan ballistic stretching adalah latihan yang memang sengaja untuk dikondisikan kepada gerak yang cepat dan membutuhkan fleksibilitas pada otot antagonis yang perlu reflek cepat sebagai respon adanya ledakan tiba-tiba dari otot yang berkontraksi, hal ini sesuai dengan penilaian vertical jump yang membutuhkan kekuatan tiba-tiba secara cepat dengan power yang besar, maka dapat disimpulkan bahwa ballistic stretching mampu meningkatkan nilai vertical jump dari atlet bola basket (Heerschee dkk, 2006). 2.5.4 Aplikasi Ballistic Stretching Prosedur pelaksanaan ballistic stretching untuk meningkatkan fleksibilitas otot tungkai terhadap vertical jump sebagai berikut (Juliantine, 2000) : a. Lakukanlah pemanasan (warm-up). 39 b. Lakukan gerakan dengan penuh konsentrasi. c. Regangkan otot secara tersentak-sentak dengan cepat. d. Lakukan peregangan dengan mencium lutut berulang-ulang selama 60 detik dalam 5 set. e. Istirahat 1 menit tiap set. Gambar 2.10 Latihan ballistic stretching Sumber : Irfan, 2008 2.6 Contrax Relax Stretching 2.6.1 Pengertian Contrax Relax Stretching Contract relax stretching merupakan kombinasi dari tipe stretching isometrik dengan stretching pasif. Dikatakan demikian karena teknik contract relax stretching yang dilakukan adalah memberikan kontraksi isometrik pada otot yang memendek dan dilanjutkan dengan relaksasi dan stretching pada otot tersebut. Adapun tujuan dari pemberian contract relax stretching yaitu untuk memanjangkan / mengulur struktur jaringan lunak (soft tissue) seperti otot, fasia tendon dan ligamen yang memendek secara patologis sehingga dapat meningkatkan lingkup gerak sendi (LGS). Bukan hanya untuk mengurangi terjadinya cidera dalam aktivitas yang memerlukan gerakan daya ledak, tetapi 40 contract relax mampu memberikan peningkatan jangkauan LGS yang lebih besar jika dibandingkan dengan tanpa latihan (Kisner et.al, 1996, dalam Jayanto, 2014). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nagarwal et al (2009) didapatkan hasil PNF (Contract Relax-Antagonist Contract) lebih efektif daripada PNF (Hold Relax) untuk meningkatkan fleksibilitas. Untuk itu contract relax adalah cara baik untuk tetap menjaga fleksibilitas otot tungkai (Jayanto, 2014). Secara umum contract relax stretching dilakukan untuk mendapatkan efek relaksasi dan pengembalian panjang dari otot dan jaringan ikat. Jaringan ikat membutuhkan waktu 20 detik untuk mencapai efek relaksasi sedangkan otot membutuhkan waktu 2 menit untuk dapat mencapai efek relaksasi. Efek contract relax stretching jangka panjang pada manusia didapatkan bahwa individu yang mendapatkan contract relax stretching dengan durasi 15-45 detik menunjukkan panjang otot yang maksimum. Contract relax stretching dengan durasi 20 dan 30 detik dapat mencapai efek yang maksimal pada minggu ke-7 dan contract relax stretching dengan durasi 10 detik mencapai efek maksimal pada minggu ke-10 sedangkan contract relax stretching yang diberikan dengan durasi 30 detik dapat menghasilkan efek maksimal pada minggu keenam dan ketujuh (Irfan, 2008). Pada penelitian yang dilakukan oleh Fransiskus Sales Jayanto (2013) yang membandingkan latihan pliometrik double leg speed hop dengan contrax relax stretching terhadap vertical jump atlet taekwondo pada sampel sebanyak 14 pria, dengan rata-rata usia sekitar 18-24 tahun yang dilakukan selama 1 bulan ditemukan adanya pengaruh pemberian latihan contrax relax stretching terhadap peningkatan vertical jump. Menurut penelitian Ratna Sundari dkk (2014) yang 41 membandingkan latihan contrax relax stretching dan passive stretching untuk meningkatkan fleksibilitas otot hamsting, pada 24 atlet taekwondo dengan perlakuan yang diberikan dalam 1 bulan, frekuensi latihan 2 kali dalam satu minggu. Didapatkan hasil bahwa contract relax stretching lebih efektif dalam meningkatkan fleksibilitas otot hamstring dibandingkan dengan passive stretching. Penelitian pada 120 siswa sekolah dasar membandingkan metode peregangan dinamis, statis, pasif, dan contrax relax stretching (PNF) dengan perlakuan diberikan sebanyak 24 kali dengan frekuensi 3 kali seminggu. Didapatkan hasil bahwa metode peregangan contrax relax stretching (PNF) merupakan metode peregangan yang paling efektif dalam meningkatkan fleksibilitas (Juliantine, 2000). 2.6.2 Kajian Fisiologis Contrax Relax Stretching Kekuatan kontraksi isometrik yang dilakukan untuk mencapai initial stretch, akan menyebabkan penambahan regangan pada tendon, oleh karena itu golgi tendon organs mendapat rangsangan lebih keras. Rangsangan pada golgi tendon organs mencapai ambang rangsangnya sehingga makin kuat otot diregang, maka makin kuat pula kontraksinya. Bila tegangan otot menjadi lebih kuat, maka kontraksi mendadak berhenti dan otot melemas, terjadilah relaksasi otot secara tiba-tiba (Irfan, 2008). Reciproce inhibition merupakan hubungan dari agonis dan antagonis muscle. Ketika motor neurons dari agonis muscle menerima excitatory impulses dari afferent nerves, motor neurons mensuplai antagonis muscle dihambat oleh rangangan afferent. Sehingga kontraksi atau ekstensi mengulur agonis muscle 42 harus mendapatkan relaksasi atau menghambat antagonis sehingga terjadi penguluran agonis muscle. Relaksasi sebagai jawaban terhadap regangan yang kuat dinamakan efek inhibisi atau autogenic inhibition reflex. Akibat relaksasi yang tiba-tiba ini, maka pendorong tiba-tiba pula kehilangan tahanan, sehingga otot dapat diregangkan sampai melampaui titik fleksibilitas maksimum (rasa sakit yang kedua). Hal inilah yang menyebabkan pemanjangan otot bisa lebih dimungkinkan lagi, selain itu efek inhibisi ini merupakan suatu mekanisme protektif untuk mencegah robeknya otot atau terlepasnya tendon dari perlekatannya ke tulang (Irfan, 2008). 2.6.3 Mekanisme Contrax Relax Stretching Meningkatkan Vertical Jump Mekanisme peningkatan vertical jump dengan intervensi contract relax stretching adalah dengan kontraksi isometrik pada contract relax stretching akan meningkatkan rileksasi otot. Adanya komponen stretching pada contract relax stretching maka panjang otot dapat dikembalikan dengan mengaktifasi golgi tendon organ sehingga rileksasi dapat dicapai. Adanya kontraksi isometrik pada intervensi contract relax stretching akan membantu menggerakkan stretch reseptor dari spindel otot untuk segera menyesuaikan panjang otot maksimal. “Rachel Poon merekomendasikan dalam penerapan contract relax stretching lamanya kontraksi isomterik yang diberikan adalah 6-8 detik”. Pada kontraksi isometrik ini terjadi penurunan stroke volume jantung, diafragma menekan organ dalam dan pembuluh darah yang ada di dalamnya sehingga menekan darah agar keluar dari organ dalam (Irfan, 2008). 43 Pada kontraksi isometrik selama 6 detik yang diikuti dengan inspirasi maksimal akan mengaktifkan motor unit maksimal yang ada pada seluruh otot. Menurut Jacobson kontraksi maksimal ini juga akan menstimulus golgi tendo organ sehingga memicu rileksasi otot setelah kontraksi (reverse innervation) yang menyebabkan terjadinya pelepasan adhesi yang terdapat di dalam intermiofibril dan tendon dengan perbandingan 2:3 (Sudarsono, 2011). Pada metode contract relax stretching relaksasi setelah kontraksi isometrik maksimal dilakukan selama 9 detik dimana dalam proses ini diperoleh rileksasi maksimal yang difasilitasi oleh reverse innervation tadi. Proses relaksasi yang diikuti ekspirasi maksimal akan memudahkan perolehan pelemasan otot. Apabila dilakukan peregangan secara bersamaan pada saat rileksasi dan ekspirasi maksimal maka diperoleh pelepasan adhesi yang optimal pada jaringan ikat otot, fasia dan tendo (Sudarsono, 2011). Pada intervensi contract relax stretching dengan adanya kontraksi isometrik dengan inspirasi dalam dan stretching yang diikuti ekspirasi maksimal yang dilakukan dengan ritmis menyebabkan penguluran sejumlah serabut otot sehingga semakin banyak serabut otot yang terulur maka akan menyebabkan semakin besar panjang otot yang dihasilkan pada otot tersebut dan fleksibiltas otot yang maksimal dapat tercapai. Meningkatnya fleksibilitas menyebabkan hasil lompatan (vertical jump) menjadi tinggi, karena terjadinya gerakan yang fleksibel saat melakukan lompatan (Radcliffe, 2000). Pengaruh pemberian contrax relax stretching pada vertical jump dapat meningkatkan nilai fleksibilitas dari otot yang diharapkan bekerja untuk menjadi 44 pengimbang dari kontraksi cepat dari otot yang memiliki daya ledak untuk melompat dalam vertical jump. Otot-otot yang menjadi daya ledak adalah otototot yang memiliki fungsi untuk gerakan ekstensi seperti gastocnemius, quadriceps femoris dan gluteus maximus. Dalam pelaksanaannya contrax relax stretching diberikan terlebih dahulu untuk menciptakan kelenturan dari otot antagonis, baik berupa otot tibialis anterior, hamstring dan illiopsoas sehingga mampu memaksimalkan gerakan latihan. Selanjutnya diberikan latihan depth jump sebagai bentuk latihan agar otot antagonis yang bekerja dalam menjaga kestabilan sendi pada gerakan loncatan yang dilakukan tidak mengalami cedeera dan menambah jangkauan luas sendi yang lebih besar sehingga tinggi vertical jump dapat dicapai (Jayanto, 2014). 2.6.4 Aplikasi Contrax Relax Stretching Prosedur pelaksanaan Contrax Relax Stretching untuk meningkatkan fleksibilitas otot tungkai terhadap vertical jump sebagai berikut (Giyanto, 2013) : a. Pertama-tama pelaku (A) melakukan peregangan statis sampai limit rasa sakit (rasa sakit pertama) dan bukan sampai terasa sakit yang maksimal. b. Setelah itu pendorong (B) memberi dorongan atau regangan secara perlahan-lahan kepada pelaku (A) sampai titik fleksibilitas maksimum tercapai (rasa sakit yang kedua). c. Setelah otot teregang sampai titik fleksibilitas maksimum tercapai (rasa sakit yang kedua), maka pelaku (A) menahan dengan kontraksi isometrik secara sadar terhadap dorongan yang dilakukan oleh pendorong (B). 45 d. Pendorong (B) terus menambah tenaga dorongannya, sementara pelaku (A) terus menambah tahanannya (menambah kekuatan kontraksinya). e. Pertahankan kontraksi isometrik ini, lalu setelah 6 detik, terjadi rileksasi, sementara pendorong (B) tetap memberikan dorongan dengan cara peregangan pasif selama 20 detik, setelah itu kembalilah ke sikap semula secara perlahan-lahan. Lakukan 4 kali repetisi dalam 3 set. Gambar 2.11 Latihan Contrax Relax Strtching (Anonim, 2012).