7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Olahraga Sepak Bola Sepak bola

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Olahraga Sepak Bola
Sepak bola adalah cabang olahraga yang menggunakan bola terbuat dari
bahan kulit dan dimainkan oleh dua tim yang masing-masing beranggotakan
sebelas orang pemain inti dan sebagian pemain cadangan. Sepak bola adalah
olahraga yang paling populer di dunia karena memasuki abad ke-21 olahraga ini
dimainkan lebih dari 240 juta orang di 200 negara. Permainan sepak bola
bertujuan mencetak gol sebanyak-banyaknya dengan memasukkan bola ke
gawang lawan. Dimainkan dalam lapangan yang berbentuk persegi panjang,
diatas rumput atau rumput sintetis (Nonalisa, 2013).
Tim yang mencetak gol paling banyak pada akhir pertandingan adalah
pemenangnya. Jika waktu pertandingan telah berakhir tetapi skor masih imbang
maka dapat dilakukan undian, perpanjangan waktu maupun adu pinalti,
tergantung dari format penyelenggaraan kejuaraan (Nonalisa, 2013).
Peraturan pertandingan secara umum diperbaharui setiap tahunnya oleh
FIFA, yang juga menyelenggarakan kejuaraan piala dunia setiap 4 tahun sekali
(Nonalisa, 2013).
2.1.1
Otot yang Berperan dalam Olahraga Sepak Bola
Dalam olahraga sepak bola tidak hanya melibatkan satu kelompok otot
saja. Adapun otot yang terlibat adalah otot-otot tungkai bawah untuk menendang,
7
8
berlari, bergerak dari sisi ke sisi, dan juga menggunakan otot-otot pada lengan dan
otot-otot core atau inti (Danielle, 2009). Peran otot tungkai bawah sangatlah
dominan disetiap gerakan dalam olahraga sepak bola diantaranya dalam
pergerakan utama otot yang berperan adalah musculus quadriceps femoris dan
musculus tibialis anterior, tibialis posterior dipakai dalam gerakan menendang.
Musculus bicep femoris dan musculus quadriceps femoris dipakai pada gerakan
menendang, berlari dan bertahan. musculus bicep femoris dipakai saat melakukan
shooting, lari dan bertahan. Dalam pergerakan antagonis musculus bicep femoris
terjadi pemendekan otot dan musculus quadriceps femoris terjadi pemanjangan
otot. Dalam pergerakan sinergis pada gerakan menendang, menahan dan
menggiring bola otot yang berperan yaitu musculus gluteus maximus, musculus
quadriceps
femoris,
musculus
bicep
femoris,
semitendinosus
dan
semimembranosus, musculus tibialis anterior dan tibialis posterior. Pergerakan
stabilitas otot yang berperan adalah musculus testor fascia latae, musculus
gastrocnemius, musculus tibiatis anterior dan tibialis posterior (Irpan, 2011).
2.1.2
Kajian Anatomi Otot Tungkai Bawah
Daerah tungkai memiliki beberapa grup otot besar yang dapat memberikan
kontribusi terhadap kekuatan otot tungkai khususnya saat menendang, berlari dan
bergerak dari sisi ke sisi dalam permainan sepak bola. Pada saat melakukan
gerakan tersebut dibutuhkan gerakan fleksi kearah ekstensi knee, gerakan
dorsofleksi kearah plantarfleksi ankle dan gerakan fleksi hip kearah ekstensi hip.
9
Gerakan-gerakan tersebut membutuhkan aksi otot ekstensor hip, ekstensor knee
dan plantarfleksor ankle. Beberapa grup otot besar yang terlibat adalah:
1. Group Otot Ekstensor Knee dan Fleksor Hip (Quadriceps Femoris)
Otot quadriceps femoris adalah salah satu otot rangka yang terdapat
pada bagian depan paha manusia. Otot ini mempunyai fungsi dominan
ekstensi pada knee (Watson, 2002). Otot quadriceps terdiri atas empat otot,
yaitu:
Gambar 2.1 Group otot quadriceps femoris (Watson, 2002).
a. Otot Rectus Femoris
Terletak paling superfisial pada facies ventalis berada diantara
otot quadriceps yang lain yaitu otot vastus lateralis dan medialis.
Berorigo pada Spina Illiaca Anterior Inferior (caput rectum) dan
pada os ilium di cranialis acetabulum (caput obliquum) dan
mengadakan insersio pada tuberositas tibia dengan perantaran
ligamentum patellae. Otot ini digolongkan ke dalam otot tipe 1
(Watson, 2002).
10
b. Otot Vastus Lateralis
Tipe otot ini adalah otot tipe II yang berada pada sisi lateral
yang mengadakan perlekatan pada facies ventro lateral trochanter
major dan labium lateral linea aspera femoris (Watson, 2002).
c. Otot Vastus Medial
Melekat pada labium medial linea aspera (dua pertiga bagian
bawah) dan termasuk otot tipe II (Watson, 2002).
d. Otot Vastus Intermedius
Mengadakan perlekatan pada facies ventro-lateral corpus
femoris juga merupakan otot tipe II (Watson, 2002).
2. Grup Otot Fleksor knee dan Ekstensor Hip (Hamstring)
Hamstring merupakan otot paha bagian belakang yang berfungsi
sebagai fleksorknee dan ekstensor hip. Secara umum hamstring bertipe otot
serabut otot tipe II (Watson, 2002). Hamstring terbagi atas tiga otot yaitu:
Gambar 2.2 Group otot hamstring (Watson, 2002).
11
a. Otot Biceps Femoris
Mempunyai dua buah caput. Caput longum dan breve, caput
longum berorigo pada pars medialis tuber Ichiadicum dan M.
semitendinosus sedangkan caput breve berorigo pada labium
lateral linea aspera femoris, insersio otot ini pada capitulum fibula
(Watson, 2002).
b. Otot Semitendinosus
Otot ini berorigo pada pars medialis tuber ichiadicum dan
berinsersio pada facies medialis ujung proximaltibia (Watson,
2002).
c. Otot Semimembranosus
Melekat di sebelah pars lateralis tuber ichiadicum turun ke
arah sisi medial regio posterior femoris dan berinsersio pada facies
posterior condylus medialis tibia (Watson, 2002).
3. Grup Otot Plantarfleksor Ankle
Gambar 2.3 Group otot plantarfleksor ankle (Watson, 2002).
12
a. Otot Gastrocnemius
Otot ini merupakan serabut otot fast-twitch yang sangat kuat
untuk plantarfleksi kaki pada ankle joint. Otot gastrocnemius
merupakan otot yang paling superfisial pada dorsal tungkai dan
terdiri dari dua caput pada bagian atas calf. Dua caput tersebut
bersamaan dengan soleus membentuk triceps surae. Bagian lateral
dan medial otot masih terpisah satu sama lain sejauh memanjang
kebawah pada middle dorsal tungkai. Kemudian menyatu dibawah
membentuk tendon yang besar yaitu tendon Achilles (Hamilton,
2002).
b. Otot Soleus
Seperti otot gastrocnemius, otot soleus berfungsi pada gerakan
plantarfleksi kaki pada ankle joint. Otot ini terletak di dalam
gastrocnemius, kecuali di sepanjang aspek lateral dari ½ bawah
calf, di mana bagian lateral soleus terletak pada bagian atas dari
tendon calcaneus. Serabut otot soleus masuk kedalam tendon
calcaneal dalam pola bipenniform. Otot ini dominan memiliki
serabut slow-twitch (Hamilton, 2002).
13
4. Group Otot Dorsifleksor Ankle
Gambar 2.4 Group otot dorsifleksor ankle (Watson, 2002).
a. Tibialis Anterior
Otot ini terletak di sepanjang permukaan anterior tibia dari
condylus lateral kebawah pada aspek medial regio tarsometatarsal.
Sekitar ½ sampai 2/3 kebawah tungkai otot ini menjadi tendinous.
Tendon berjalan didepan malleolus medial sampai pada cuneiform
pertama. Otot ini berperan dalam gerakan dorsifleksi ankle dan
kaki, serta supinasi (inversi dan adduksi) tarsal joint ketika kaki
dorsifleksi. Dalam penelitian EMG, otot ini ditemukan aktif pada ½
orang yang berdiri bebas dan ketika dalam posisi forward lean
(Hamilton, 2002).
b. Extensor Digitorum Longus
Otot ini memanjang pada empat jari-jari kaki. Otot ini juga
berperan pada gerakan dorsifleksi ankle joint dan tarsal joint serta
membantu eversi dan abduksi kaki. Otot ini berbentuk penniform,
14
terletak di lateral dari tibialis anterior pada bagian atas tungkai dan
lateral dari extensor hallucis longus pada bagian bawahnya. Tepat
didepan ankle joint tendon ini membagi empat tendon pada
masing-masing jari-jari kaki (Hamilton, 2002).
c. Extensor Hallucis Longus
Otot ini berperan dalam gerakan ekstensi dan hiperekstensi ibu
jari kaki. Otot extensor hallucis longus juga berperan pada gerakan
dorsifleksi ankle dan tarsal joint. Seperti otot diatas, otot ini juga
berbentuk penniform. Pada bagian atas otot ini terletak di dalam
tibialis anterior dan extensor digitorum longus, tetapi sekitar ½
bawah tungkai tendon ini menyebar diantara dua otot tersebut di
atas sehingga otot ini menjadi superfisial. Setelah mencapai ankle
tendonnya ke arah medial melewati permukaan dorsal kaki sampai
pada ujung ibu jari kaki (Hamilton, 2002).
2.1.3
Fisiologi Otot Rangka
Karakteristik otot rangka secara fisiologis ada 4 aspek yaitu: contractility
yaitu kemampuan otot untuk mengadakan respon (memendek) bila dirangsang
(otot polos 1/6 kali; otot rangka 1/10 kali). Exstensibility (distensibility) yaitu
kemampuan otot untuk memanjang bila otot ditarik atau ada gaya yang bekerja
pada otot tersebut bila otot rangka diberi beban. Elasticity yaitu kemampuan otot
untuk kembali ke bentuk dan ukuran semula setelah mengalami exstensibility atau
distensibility
(memanjang)
atau
contractility
(memendek).
Exsitability
15
electricyaitu kemampuan untuk merespon terhadap rangsangan tertentu dengan
memproduksi sinyal-sinyal listrik disebut tindakan potensi (Tortora dan
Derrickson, 2009).
Otot rangka memperlihatkan kemampuan berubah yang besar dalam
memberi respon terhadap berbagai bentuk latihan (Sudarsono, 2009). Beberapa
unit organ tubuh akan mengalami perubahan akibat dilakukan pelatihan. Latihan
pliometrik akan meningkatkan diameter myofibrialir otot. (Nala, 2011). Dengan
latihan yang teratur, akan memberikan beberapa efek positif terhadap otot, bahkan
perubahan adaptif jangka panjang dapat terjadi pada serat otot, yang
memungkinkan untuk respon lebih efisien terhadap berbagai jenis kebutuhan pada
otot (Wiarto, 2013).
2.1.4
Sistem Energi Otot
Dalam melakukan aktivitas, otot berkontraksi dan untuk mempertahankan
hidup perlu energi. Energi yang diperoleh dari makanan ini tidak dapat langsung
digunakan, tetapi energi pada bahan makanan tersebut diubah menjadi energi
kimia yang berbentuk ATP. Adapun rumus bangun ATP itu terdiri dari satu
komponen yang komplek, adenosine dan tiga bagian susunan Phophate. Seperti
terlihat pada gambar :
16
Gambar 2.5 Rumus bangun ATP (Fox, et al.,1988)
Hubungan antara kedua fosfat yang terakhir merupakan hubungan yang
berenergi tinggi. Yang dimaksud disini adalah apabila hubungan tersebut dilepas
maka akan mengeluarkan energi yang tinggi. ATP dan Pi, maka sejumlah energi
akan keluar. Seperti pada gambar :
Gambar 2.6 Rumus bangun ATP (Fox, et al.,1988)
Satu senyawa dari phosphate terurai dari molekul induknya, maka akan
keluar energi sebesar 7-12 kcal (Fox et al., 1988). Pecahnya molekul ATP hanya
dapat dibantu oleh enzim yang disebut ATPase. Energi yang digunakan oleh otot
pada saat istirahat seluruh tubuh hanya sebanyak 1,3 kcal setiap menitnya dan
digunakan oleh otot adalah 0,26 kcal/menit. Sedangkan dalam 1 sampai 2 menit
kebutuhan energi meningkat sehingga 35 kcal/menit. Kira-kira meningkatkan 120
kali dari saat istirahat (3,68). Maka kebutuhan ATP juga akan besar. Pada hal
ATP yang tersedia dalam otot hanya 4 sampai 6 milimol/kg otot (Fox, et
al.,1988).
17
Kalau aktivitas itu berlangsung terus menerus maka ATP yang tersedia
hanya dapat digunakan selama 3 detik. Sehingga harus ada mekanisme untuk
memenuhi kebutuhan energi, mekanisme ini dikenal sebagai resistesa ATP dari
ADP dan Pi. Menurut Fox et al., (1988), ada 3 proses untuk memproduksi ATP
yaitu :
1. Sistem ATP-PC (Phosphagen). Dalam sistem ini resintesa ATP hanya
berasal dari suatu persenyawaan phosphocreatine (PC)
2. Sistem Glkolisis Anaerobic atau Asam Laktat. Sistem ini menyediakan
ATP dari sebagian pemecahan glukosa atau glikogen
Sistem oksigen (Aerobic System). Sistem ini terdiri dari dua bagian.
Bagian A merupakan penyelesaian dari oksidasi karbohidrat. Bagian B merupakan
penyelesaian dari oksidasi lemak. Kedua sistem ini perjalanannya terakhir
oksidasinya melalui siklus kreb’s.
2.2
Pelatihan Fisik
Kondisi fisik merupakan suatu proses sistematis dari suatu pengulangan,
suatu kinerja progresif yang juga menyangkut proses belajar serta memiliki tujuan
untuk memperbaiki sistem dan fungsi dari organ tubuh agar penampilan atlet
mencapai optimal (Bompa, 1993). Pelatihan fisik harus diprogramkan sedemikian
rupa secara kontinyu dan meningkat sehingga kondisi tubuh atlet meningkat
ketahanan dan kesegarannya dalam mempersiapkan diri dalam suatu pertandingan
(Jerver, 2005).
18
Dengan demikian, pelatihan merupakan gerakan fisik dan aktivitas mental
yang dilakukan secara sistematis dan berulang-ulang (repetitif) dalam jangka
waktu (durasi) lama, dengan pembebanan yang meningkat secara progresif dan
individual, yang bertujuan untuk memperbaiki sistem serta fungsi fisiologis dan
psikologis tubuh agar pada waktu melakukan aktivitas olahraga dapat mencapai
penampilan yang optimal (Nala, 2011).
2.2.1
Prinsip-Prinsip Pelatihan
Prinsip-prinsip latihan merupakan bagian dari seluruh konsep dan tidak
dapat dilihat secara sempit saja, namun demikian prinsip latihan sering juga
dilihat secara terpisah untuk memahami konsep-konsep dasarnya dan pemakaian
secara tepat prinsip-prinsip pelatihan akan menghasilkan program latihan yang
superior dan proses latihan yang bagus bagi atlet (Bompa, 1999).
Prinsip-prinsip dasar pelatihan diuraikan oleh Nala (2011), terdiri dari
tujuh prinsip yaitu:
1. Prinsip Aktif dan Bersungguh-Sungguh
Prinsip ini bertujuan untuk mencapai hasil yang maksimal dalam suatu
penelitian sehingga atlet dituntut untuk selalu bertindak aktif dan
mengikuti pelatihan dengan bersungguh-sungguh tanpa ada paksaan.
2. Prinsip Pengembangan Multilateral
Sebelum pelatihan mengarah kepada spesifikasi hendaknya dibekali
terlebih dahulu pelatihan dasar-dasar kebugaran badan dan komponen
biomotorik. Selain itu dikembangkan pula seluruh organ dan sistem yang
19
ada dalam tubuh, baik yang menyangkut proses fisiologis maupun
psikologisnya.
3. Prinsip Spesialisasi dalam Pelatihan
Setelah pelatihan pengembangan multilateral dilatih, dilanjutkan
dengan pengembangan khusus atau spesialisasi sesuai dengan cabang
olahraga yang dilatih. Pelatihan spesialisasi baru dimulai setelah
disesuaikan dengan umur yang cocok untuk cabang olahraga yang dipilih
oleh anak atau atlet bersangkutan.
4. Prinsip Pelatihan Individualisasi atau perorangan
Setiap orang mempunyai kemampuan, potensi, karakter belajar dan
spesifikasi dalam olahraga, yang berbeda satu sama lainnya, sehingga cara
pelatihannya pun berbeda.
5. Prinsip Variasi dalam Pelatihan
Pelatihan yang bersifat monoton dan dilakukan secara terus-menerus
akan membosankan. Untuk menghindari hal tersebut maka dalam
pelaksanaan pelatihan perlu dibuatkan variasi pelatihan, tentunya
mempunyai tujuan yang sama yaitu tetap mengacu pada tujuan pelatihan
dan tidak keluar dari program pelatihan yang ditetapkan, sehingga atlet
tetap bergairah dan semangat dalam berlatih.
6. Prinsip Menggunakan Model Pelatihan
Model yang dimaksud dalam pelatihan ini adalah suatu simulasi dari
kenyataan yang dibuat dari elemen atau unsur spesifik dari fenomena yang
diamati mendekati keadaan sebenarnya.
20
7. Prinsip Peningkatan Beban Progresif
Beban pelatihan dimulai dengan beban awal yang ringan, kemudian
ditingkatkan secara bertahap disesuaikan dengan kemampuan atlet
bersangkutan, makin lama semakin berat atau dapat diawali dengan
gerakan sederhana kemudian ditingkatkan menjadi gerakan yang semakin
rumit.
2.2.2
Pengaruh Pelatihan Fisik
Apabila pelatihan dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip pelatihan,
tentunya akan menyebabkan perubahan- perubahan, baik fisik maupun mental.
Perubahan-perubahan pada tubuh meliputi perubahan sentral dan perubahan
perifer yaitu :
a) terjadi hipertropi otot;
b) perubahan biokimia dalam otot skelet;
c) perubahan sistem pernafasan;
d) terjadi perubahan ratio otot putih atau otot cepat (fast-switch) dan otot
merah atau otot lambat (slow-switch); dan
e) terjadi perubahan pada sistem kardiorespirasi (Fox et al., 1993).
2.3
Pliometrik
2.3.1
Pengertian dan Tujuan Pelatihan Pliometrik
Plyometric berasal dari bahasa Yunani yang akar katanya adalah plyo dan
metric. Plyo bermakna tambah atau lagi dan metric berarti ukuran. Dengan
21
demikian plyometric diartikan sebagai measurable increases atau peningkatan
yang dapat diukur (Chu, 1992). Beberapa definisi pliometrik dapat dikemukakan
sebagai berikut :
a) Arga (2008), Plyometric adalah latihan-latihan atau ulangan yang
bertujuan menghubungkan gerakan kecepatan dan kekuatan untuk
menghasilkan gerakan-gerakan eksplosif.
b) Radcliffe dan Ferentinos (1985), membedakan tiga kelompok latihan
pliometrik, yakni: 1) latihan untuk anggota gerak bawah; 2) latihan untuk
batang tubuh; 3) latihan untuk anggota gerak atas. Latihan untuk anggota
gerak bawah terdiri dari latihan-latihan: bounds hops, jump, leaps, skips,
ricichets. Jadi pada prinsipnya plyometric adalah suatu latihan yang
memiliki ciri khusus, yaitu kontraksi otot yang sangat kuat merupakan
respon dan pembebanan dinamik atau regangan yang cepat dari otot-otot
yang terlibat. Dengan nama lain: reflek regangan atau reflek miotatik atau
reflek pilihan otot.
c) Menurut Chu (1992), pliometrik terdiri dari: jumping – in – place,
bounding, box drills dan deep jumps. Sehingga tujuan latihan pliometrik
adalah latihan yang memungkinkan otot untuk mencapai kekuatan
maksimal dalam waktu yang sesingkat mungkin.
Definisi yang dikemukakan tersebut pada prinsipnya adalah sama. Pliometrik
merupakan salah satu metode latihan yang diperlukan untuk meningkatkan muscle
explosive power.
22
2.3.2
Mekanisme dan Fisiologi Latihan Pliometrik
Latihan pliometrik membantu meningkatkan kekuatan eksplosif dan
kecepatan pada jaringan otot fast twitch. Latihan ini memanfaatkan sifat stretchrecoil yang melekat pada otot (misalnya, kontraksi eksentrik terjadi saat otot
memanjang) (Whyte dan Godfrey, 2006). Gerakan pliometrik dapat dibagi
menjadi tiga fase, (Whyte dan Godfrey, 2006) yaitu:
1. Fase pemanjangan (kontraksi eksentrik)
2. Fase amortization
3. Fase take off (kontraksi konsentrik)
Selama fase pemanjangan, otot menghasilkan tegangan seperti per yang
diregangkan. Tipe kontraksi ini disebut kontraksi eksentrik. Selama kontraksi
eksentrik, tegangan terbangun di dalam otot. Fase amorrtization adalah fase saat
dimulainya fase pemanjangan hingga awal dari fase take-off. Ini adalah fase
terpenting saat melakukan latihan pliometrik. Selama fase ini berlangsung, otot
harus merubah tegangan muskular yang dihasilkan selama fase pemanjangan
menjadi percepatan selama fase take-off berlangsung. Sifat elastis yang melekat di
dalam otot dan reflek neuromuskular (stretch reflex) bertanggung jawab untuk
perubahan tersebut. Take-off terjadi melalui kontraksi konsentrik dari otot. Selama
fase ini, otot mengalami pemendekan saat berkontraksi.
Terdapat tiga teori yang menjelaskan tentang peningkatan kekuatan otot
melalui latihan pliometrik. Yang pertama, peregangan yang cepat dari otot agonis
mengaktivasi muscle spindle yang menyebabkan peningkatan laju neuron sensoris
yang berhubungan dengan rantai nuclear intrafusal dan kantung serat otot (Kolt
23
dan Mackler, 2007). Peningkatan laju saraf sensoris menyebabkan peningkatan
kontraksi otot agonis dan sinergis dengan alpha motor neuron melalui
monosynaptic spinal reflex yang memicu peningkatan kontraksi otot secara
menyeluruh (Kolt dan Mackler, 2007).
Teori yang ke dua mengemukakan penurunan sensitivitas Golgi Tendon
Organ (GTO) untuk meregang. GTO berada di dalam tendon otot, diaktivasi oleh
tegangan di dalam otot. GTO memberikan mekanisme protektif dengan
menghambat produksi kekuatan agonis ketika tegangan mencapai level yang
dapat merusak otot. Latihan pliometrik diketahui dapat mengurangi sensasi dari
GTO, yang pada akhirnya mampu memproduksi kekuatan dengan meminimalisir
penghambatan kekuatan agonis (Bosco dan Komi dalam Kolt dan Mackler, 2007).
Teori yang ketiga berdasarkan pada adaptasi neuromuskular. Antara
kontraksi eksentrik dan konsentrik biasanya memilki rentang waktu tertentu.
Melalui latihan pliometrik maka transisi antara kontraksi eksentrik menuju
konsentrik dapat diminimalisir, waktu reaksi antara impuls saraf dan kontraksi
otot dapat dikurangi dan dapat memperkuat lebih banyak motor unit (Chu dalam
Kolt dan Mackler, 2007).
Berdasarkan teori tersebut dapat disimpulkan bahwa secara fisiologis
latihan pliometrik meningkatkan kekuatan otot melalui proses adaptasi yang
berkesinambungan pada sistem neuromuskuloskeletal.
24
2.3.3
Pedoman Latihan
Sebuah hasil latihan yang maksimal harus memiliki prinsip latihan. Tanpa
adanya prinsip atau patokan yang harus diikuti oleh semua pihak yang terkait,
mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai pada evaluasi pelatihan akan sulit
mencapai hasil yang maksimal (Nala, 2011).
Latihan pliometrik harus disesuaikan dengan karakteristik individu dan
menyesuaikan dengan aktivitas yang akan dilatih. Tekanan yang lebih besar akan
dialami oleh otot, sendi dan jaringan penghubung pada individu yang lebih
gemuk. Individu yang memiliki berat berlebih (lebih berat dari 90 Kg),
seharusnya tidak melakukan latihan pliometrik intensitas tinggi. Individu dengan
riwayat cedera juga sebaiknya mendapat persetujuan dokter untuk melakukan
latihan ini (Deuster et al., 2007).
Dalam latihan pliometrik, pedoman latihan yang harus diperhatikan antara
lain:
a) Frekuensi dan Lamanya Latihan
Frekuensi adalah jumlah latihan yang dilakukan per minggu atau
kekerapan latihan per minggu (Nala, 2011). Frekuensi latihan untuk
mengembangkan komponen kekuatan otot, jika dilakukan tujuh kali
seminggu dianggap densitasnya terlalu tinggi. Menurut Deuster et al.
(2007), untuk latihan pliometrik, rentangnya biasanya dilakukan satu
hingga tiga kali per minggu. Menurut Kolt dan Mackler (2007), latihan
pliometrik sering dilakukan dua kali per minggu, dengan waktu 48 jam
sebagai periode istirahat dan recovery.
25
Lamanya latihan adalah berapa minggu atau berapa bulan program
tersebut dijalankan sehingga memperoleh kondisi yang diharapkan
(Widhiyanti, 2013). Peningkatan otot rangka sudah Nampak apabila
dilakukan pelatihan minimal 4–6 minggu (Kanca dalam Widhiyanti,
2013). Latihan pliometrik dapat menunjukkan adaptasi yang signifikan
dengan latihan selama empat minggu (Rezaimanesh et al., 2011).
Dengan berbagai pertimbangan teoritis, maka dalam penelitian ini
latihan dilakukan tiga kali sesi pertemuan dalam satu minggu, dengan
diberi jeda waktu tidak lebih dari 48 jam. Latihan dilaksanakan selama
empat minggu.
b) Intensitas
Intensitas pada latihan pliometrik adalah level tekanan yang
diterima oleh sistem neuromuskular, jaringan penghubung dan sendi. Hal
tersebut tergantung pada tipe latihan yang dilakukan. Intensitas selalu
diukur dengan tingkat kesulitan gerakan. Semakin sulit gerakan,
intensitasnya semakin tinggi. Beberapa guideline dalam latihan
pliometrik dapat disajikan sebagai berikut (Deuster et al., 2007):
 Lompatan vertikal lebih stressfull daripada lompatan horisontal
 Mendarat dengan satu kaki lebih stressfull daripada mendarat
dengan dua kaki.
 Semakin tinggi permukaan tanah dari tubuh maka semakin
bertenaga dan semakin stressfull latihan yang dilakukan
26
 Menambahkan beban eksternal akan meningkatkan stress pada
tubuh
c) Waktu
Waktu latihan sebaiknya pendek, tetapi berisi dan padat dengan
kegiatan–kegiatan yang bermanfaat. Waktu latihan berlangsung terlalu
lama dan terlalu melelahkan akan berbahaya karena setiap latihan akan
dipandang suatu siksaan. Hari–hari latihan berikutnya dilihat dengan
perasaan enggan dan jenuh.
d) Repetisi
Dalam prinsip latihan pliometrik, repetisi adalah jumlah ulangan
suatu latihan, sedangkan set adalah suatu rangkaian kegiatan dari satu
repetisi. Tidak ada riset yang menunjukan secara rinci aturan berkaitan
dengan set dan repetisi. Literatur lebih menganjurkan agar pelatih
menyesuaikan dengan kondisi dan tingkat keberhasilan latihan. Banyaknya
ulangan atau repetisi berkisar antara 6 sampai 10 kali dengan semakin
sedikit ulangan untuk rangkaian yang lebih berat dan lebih banyak ulangan
untuk latihan-latihan yang lebih ringan (Arga, 2008).
Peningkatan latihan dilakukan secara bertahap, yakni dengan cara
meningkatkan jumlah set dan mengurangi jeda waktu antar set setiap sesi
latihan. Dalam hal ini, penulis menentukan jumlah set dan repetisi
berdasarkan tabel berikut:
27
Tabel 2.1. Repetisi Latihan Pliometrik (Arga, 2008)
No
Tipe of Exercise
Intensity
No. of Rep and Set
1
Shock tension/High
Maximal
reactive Jump
8-5 x 10-20
2
Drop Jump
Very High
3-15 x 3-15
3
Hopping exercise
High
3-15 x 5-15
4
Low Reactive Jump
Moderate
10-25 x 10-25
5
Low impact jump
Low
10-30 x 5-15
Berdasarkan tabel tersebut, dapat dilihat bahwa untuk high
intensity, jumlah repetisinya berkisar antara 3-15, dengan peningkatan
secara bertahap.
e) Tipe
Adapun tipe latihan pliometrik untuk tungkai adalah sebagai
berikut (Furqon dan Dowes, 2002):
1) Bounding
Gerakan bounding menekankan pada loncatan untuk
mencapai ketinggian maksimum dan juga jarak horisontal.
Bounding dilakukan dengan dua kaki atau dengan cara
bergantian.
2) Hopping
Gerakan hopping adalah gerakan yang menekankan pada
loncatan ke arah vertikal, kombinasi ke arah horisontal dan
kecepatan maksimum gerakan kaki. Hopping dilakukan dengan
28
satu atau dua kaki. Model pelatihan hopping sesuai untuk
olahraga seperti sepak bola, karena sepak bola menuntut daya
ledak vertikal, horisontal serta kecepatan yang dipadukan
menjadi satu dalam permainannya.
3) Jumping
Dalam gerakan jumping menekankan pada ketinggian
maksimum, sedangkan komponen horisontal dan kecepatan
adalah faktor kedua. Jumping dapat dilakukan dengan satu atau
dua kaki.
4) Leaping
Gerakan leaping menekankan pada jarak horisontal dan
ketinggian maksimum. Leaping dapat dilakukan dengan satu atau
dua kaki.
5) Skipping
Skipping menekankan pada komponen ketinggian maksimal
dan memperhatikan pula jarak horisontal. Gerakan ini dilakukan
dengan melangkah-meloncat secara bergantian.
6) Ricochet
Gerakan Richocet menekankan pada kecepatan tungkai dan
gerakan kaki dengan meminimalkan jarak vertikal dan horisontal.
Latihan pliometrik lower body yang akan diteliti dalam upaya
peningkatan kecepatan lari pemain sepak bola lebih ditekankan pada gerakan
29
hopping. Adapaun pelaksanaan depth jump dan jump to box adalah sebagai
berikut:
a) Depth Jump
Depth jump adalah metode yang paling populer dan paling efektif untuk
pengembangan power dan juga merupakan metode yang paling efektif untuk
mengembangkan kemampuan reaktif dari sistem neuromuskuler. Ketika otot
ditarik, itu mengembangkan kekuatan elastis. Ini bukan proses metabolisme, itu
adalah murni fisik. Depth jump merupakan salah satu bentuk latihan yang sangat
baik untuk membantu meningkatkan kekuatan reaktif atau eksentrik. Bahkan bisa
menjadi latihan yang bermanfaat untuk meningkatkan kecepatan lari. Tujuan dari
latihan depth jump adalah untuk meningkatkan kekuatan reaktif seorang atlet,
semakin sedikit lentur dari lutut dan semakin sedikit waktu kaki berada dalam
kontak dengan tanah akan lebih efektif. (Chu, 1992).
Depth jump membutuhkan berat tubuh atlet dan gravitasi untuk
menggunakan kekuatan yang berlawanan dengan tanah. Depth jump dilakukan
dengan melangkah keluar dari kotak dan menjatuhkan ke tanah, kemudian
berusaha untuk melompat keatas semaksimal mungkin. Depth jump memerlukan
intensitas yang ditentukan, maka seharusnya gerakan depth jump dilakukan
dengan melompat bukan melangkah diatas kotak, sebagai tambahan tinggi dan
peningkatan tekanan saat mendarat. Pengendalian ketinggian untuk mengukur
intensitas juga diperlukan asalkan tidak mengurangi manfaatnya dan gerakan ini
dilakukan secepat mungkin. Kuncinya membentuk latihan ini dan menurunkan
30
fase amortisasi adalah untuk menekan aksi “sentuhan dan pergi” mendarat ke
tanah (Chu, 1992).
Uraian geraka depth jump adalah sebagai berikut :
Awalan
: Berdiri di atas kotak atau platform, dengan kaki membuka
selebar bahu.
Pelaksanaan :
1. Lompat perlahan dari kotak ke tanah dengan mendaratkan kedua kaki
secara bersama.
2. Punggung dalam keadaan netral tidak melengkung.
3. Pandangan lurus kedepan.
4. Gunakan tangan untuk menarik dan mengayun yang berfungsi untuk
menambah kecepatan pada saat melompat.
5. Bereaksi secepat mungkin dari tanah lompat ke atas semaksimal mungkin.
Perlengkapan : Kotak atau platform setinggi 12 inci / 30 cm (Chu, 1992).
Gambar 2.7 Latihan Pliometrik Depth Jump (Natalia, 2013)
31
Anatomi gerakan latihan pliometrik depth jump menurut Radcliffe dan Farentinos
(Tombak, 2010) yaitu:
-
Fleksi paha dan ekstensi panggul melibatkan grup otot hamstring
-
Ekstensi lutut dan fleksi panggul melibatkan grup otot quadriceps
-
Plantarfleksi ankle, melibatkan otot gastrocnemius dan soleus
-
Dorsofleksi ankle, melibatkan otot tibialis anterior, extensor digitorum
longus, extensor hallucis longus
b) Jump to box
Latihan jump to box adalah latihan meloncat ke atas kotak balok kemudian
meloncat turun kembali ke belakang seperti sikap awal dengan menggunakan
kedua tungkai bersama-sama (Chu, 1992).
Uraian geraka jump to box adalah sebagai berikut :
Awalan
: Berdiri dengan posisi kaki membuka selebar pinggul.
Pelaksanaan
:
1. Posisi badan menghadap ke kotak.
2. Jongkok sedikit dan langsung melompat dari tanah ke kotak.
3. Gunakan lengan ayun ganda.
4. Kaki mendarat ke kotak dengan mendaratkan kedua kaki secara bersama.
Perlengkapan : Kotak dengan tinggi 6 – 12 inci / 15 – 30 cm (Chu, 1992)
32
Gambar 2.8 Latihan Pliometrik Jump to box (Vera, 2011)
Berdasarkan analisis anatomi, antara gerakan depth jump dan jump to box,
otot yang berperan adalah sama, namun perbedaannya, pada posisi awal saat
latihan, serta akhiran tempat mendarat kedua kaki yang memiliki ketinggian yang
berbeda.
2.4
Kecepatan
Kecepatan (gerakan) adalah kemampuan untuk mengerjakan suatu
aktivitas berulang yang sama serta berkesinambungan dalam waktu yang
sesingkat-singkatnya (Nala, 2011). Kecepatan secara fisiologis dapat diartikan
sebagai kemampuan untuk melakukan gerakan-gerakan dalam satu satuan waktu
tertentu yang ditentukan oleh fleksibilitas tubuh, proses sistem persarafan dan
kemampuan otot (Satiadarma, 2000). Kecepatan merupakan kemampuan untuk
berpindah atau bergerak dari tubuh atau anggota tubuh dari satu titik ke titik
lainnya
atau
mengerjakan
suatu
aktivitas
berulang
yang
sama
serta
berkesinambungan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya (Aip dan Muhadi,
33
1993). Kecepatan merupakan kemampuan menempuh suatu jarak dalam waktu
yang cepat (Harsono, 1997). Lari cepat merupakan perpindahan tubuh dari satu
titik
ke
titik
lainnya
yang dilakukan
dengan
gerakan
berulang dan
berkesinambungan oleh anggota gerak bawah. Sedangkan secara fisikalis
kecepatan dapat diartikan jarak dibagi waktu. Kecepatan sangat bergantung dari
kekuatan karena tanpa kekuatan kecepatan tidak dapat dikembangkan dan bila
seorang atlet ingin mengembangkan kecepatan maksimalnya maka ia juga harus
mengembangkan kekuatannya (Yunus, 2000). Persurnay dan Sidik (2006),
menyebutkan didalam olahraga ada dua batas tentang kecepatan :
1. Kecepatan reaksi merupakan kemampuan untuk bereaksi secepat mungkin
terhadap rangsangan.
2. Kecepatan maksimal merupakan gerakan melawan tahanan gerak yang
berbeda-beda dengan kecepatan yang setinggi-tingginya.
2.4.1
Klasifikasi Kecepatan
Kecepatan dibagi menjadi dua macam yaitu kecepatan umum (general
speed) dan kecepatan khusus (special speed)(Bompa 1999). Kecepatan umum
adalah kapasitas untuk melakukan beberapa macam gerakan (reaksi motorik)
dengan cara cepat. Kecepatan khusus adalah kapasitas untuk melakukan
keterampilan pada kecepatan tertentu, biasanya sangat tinggi. Kecepatan khusus
digunakan khusus tiap cabang olahraga dan sebagian besar tidak dapat dicapai
secara umum. Kecepatan khusus hanya mungkin dikembangkan melalui metode
khusus pula, namun perlu diberi bentuk latihan alternatif. Selain itu pula bentuk
34
kecepatan meliputi: kecepatan reaksi (reaction speed); kecepatan bergerak (speed
of movement); dan kecepatan berlari (sprinting speed) (Nossek, 1982). Kecepatan
reaksi ditentukan oleh susunan saraf daya orientasi situasi. Kecepatan bergerak
ditentukan oleh kekuatan otot daya ledak otot, daya koordinasi, kelincahan dan
keseimbangan. Kecepatan lari banyak ditentukan oleh kekuatan otot dan
persendian (Suharno, 1993). Kecepatan lari tersusun dalam tiga bagian waktu
reaksi, frekuensi gerak per-satuan waktu dan kecepatan melintasi suatu jarak
tertentu (meter per-detik) (Nala 2011).
Waktu reaksi tidak sama dengan kecepatan reaksi. Waktu reaksi adalah
waktu antara saat individu diberi stimulus dan reaksi otot atau gerakan pertama
yang dilakukan individu tersebut. Sedangkan kecepatan reaksi
adalah waktu
tersingkat yang dibutuhkan untuk memberi jawaban kinetis setelah menerima
rangsang (Nossek, 1982).
2.4.2
Pengaruh Kecepatan Lari dalam Sepak Bola
Kecepatan lari sangat berpengaruh dalam semua posisi pemain sepak bola.
Seperti penjaga gawang yang harus sigap dan berlari cepat menangkap bola saat
penyerang lawan mendekati gawang. Pemain wing back bertugas menjaga area
pertahanan disisi sayap baik kanan maupun kiri. Wing back juga sering kali
bertugas membangun serangan dari sisi sayap dengan mengandalkan kecepatan
saat menyerang dan kembali ke belakang saat bertahan. Penyerang sayap
merupakan pemain digaris depan yang bertugas untuk membobol gawang lawan
dan memberi umpan kepada penyerang tengah. Pemain diposisi ini harus
35
memiliki kecepatan diatas rata-rata dan kemampuan meyerang dari sektor sayap
(Zebua, 2014).
2.4.3
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecepatan
Menurut Berger (2002), ada dua faktor yang mempengaruhi kecepatan,
faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang berasal dari
dalam tubuh manusia dan cenderung menetap, contohnya: genetik, umur, indeks
massa tubuh, jenis kelamin dan motivasi. Sedangkan faktor eksternalnya meliputi:
suhu dan kelembaban relatif udara. Berikut uraian dari faktor-faktor tersebut di
atas.
1. Genetik
Genetik manusia, unit yang kecil yang tersusun atas rentetan
Deoxyribonucleic Acid (DNA) adalah bahan paling mendasar dalam
menentukan hereditas. Keunggulan genetik yang bersifat pembawaan atau
genetik tertentu diperlukan untuk berhasil dalam cabang olahraga tertentu.
Beberapa komponen dasar seperti proporsi tubuh, karakter, psikologis, otot
merah, otot putih dan suku, sering menjadi pertimbangan untuk pemilihan
atlet (Widhiyanti 2013). Tubuh seseorang secara genetis rata-rata tersusun
oleh 50% serabut otot tipe lambat dan 50% serabut otot tipe cepat pada otot
yang digunakan untuk bergerak (Quinn, 2013).
2. Umur
Makin meningkat umur, massa otot akan semakin membesar.
Pembesaran otot ini erat sekali kaitannya dengan kekuatan otot, di mana
36
kekuatan otot merupakan komponen penting dalam peningkatan kecepatan
berlari. Kekuatan otot akan meningkat sesuai dengan pertambahan umur
(Kamendan Roy, 2000). Selain ditentukan oleh pertumbuhan fisik, kekuatan
otot ini ditentukan oleh aktivitas ototnya. Laki-laki dan perempuan akan
mencapai puncak kekuatan otot pada usia 15-24 tahun. Kemudian di atas
umur tersebut mengalami penurunan, kecuali diberikan pelatihan. Namun
umur di atas 65 tahun kekuatan ototnya sudah mulai berkurang sebanyak 20%
dibandingkan sewaktu muda (Nala, 2011).
3. Indeks Massa Tubuh
Indeks massa tubuh adalah nilai yang diambil dari perhitungan antara
berat badan dan tinggi badan seseorang. Rumus menghitung IMT adalah,
IMT = Berat Badan (kg) / [Tinggi Badan (m)]2 (Arga, 2008).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa derajat kegemukan memiliki
pengaruh yang besar terhadap performa empat komponen fitness dan tes-tes
kemampuan atletik. Kegemukan tubuh berhubungan dengan keburukan
performa atlet pada tes-tes speed (kecepatan), endurance (daya tahan),
balance (kesimbangan) agility (kelincahan) serta explosive strength (daya
ledak) (Arga, 2008).
4. Jenis Kelamin
Kekuatan otot laki-laki sedikit lebih kuat daripada kekuatan otot
perempuan pada usia 10-12 tahun. Perbedaan kekuatan yang signifikan terjadi
seiring pertambahan umur, di mana kekuatan otot laki-laki jauh lebih kuat
daripada wanita (Bompa, 2005). Pengaruh hormon testosteron memacu
37
pertumbuhan
tulang
dan
otot
pada
laki-laki,
ditambah
perbedaan
pertumbuhan fisik dan aktivitas fisik wanita yang kurang juga menyebabkan
kekuatan otot wanita tidak sebaik laki-laki. Bahkan pada umur 18 tahun ke
atas, kekuatan otot bagian atas tubuh pada laki-laki dua kali lipat daripada
perempuan, sedangkan kekuatan otot tubuh bagian bawah berbeda
sepertiganya (Nala, 2011).
5. Motivasi
Motivasi Olahraga adalah keseluruhan daya penggerak (motif–motif)
didalam diri individu yang menimbulkan kegiatan berolahraga, menjamin
kelangsungan latihan dan memberi arah pada kegiatan latihan untuk mencapai
tujuan yang dikehendaki (Gunarsa, 2004). Dengan motivasi yang baik akan
dicapai hasil latihan maksimal.
6. Suhu dan Kelembaban Relatif
Suhu sangat berpengaruh terhadap performa otot. Suhu yang terlalu
panas menyebabkan seseorang akan mengalami dehidrasi saat latihan. Dan
suhu yang terlalu dingin menyebabkan seorang atlet susah mempertahankan
suhu tubuhnya, bahkan menyebabkan kram otot (Widhiyanti, 2013). Pada
umumnya upaya penyesuaian fisiologis atau adaptasi orang Indonesia
terhadap suhu tropis sekitar 290-300C dan kelembaban relatif antara 85%-95%.
38
2.4.4
1.
Faktor Fisik yang Mempengaruhi Kecepatan
Kekuatan
Kekuatan adalah kemampuan untuk melakukan kontraksi atau tegangan
maksimal dalam menerima beban sewaktu melakukan aktivitas (Nala, 2011).
Kekuatan otot pada pelari cepat berperan dalam sistem pengungkit, sehingga
gerakan dapat melaju dengan cepat dan kuat(Jerver, 1991).
2.
Kelincahan
Kelincahan adalah kemampuan tubuh atau bagian tubuh untuk mengubah
arah gerakan secara mendadak dalam kecepatan yang tinggi (Nala, 2011).
3.
Keseimbangan
Keseimbangan adalah kemampuan tubuh untuk melakukan reaksi atas
setiap perubahan posisi tubuh, sehingga tubuh tetap stabil dan terkendali (Nala,
2011).
4.
Koordinasi
Koordinasi adalah kemampuan tubuh untuk mengintegrasikan gerakan
yang berbeda menjadi gerakan tunggal yang harmonis dan efektif. Kemampuan
koordinasi ini dibutuhkan oleh setiap atlet pada cabang olahraga apapun yang
digeluti (Nala, 2011). Koordinasi neuromuscular menentukan frekuensi gerakan
pada suatu aplikasi kekuatan maksimal berdasarkan respon kerja otot terhadap
signal – signal saraf. Hal tersebut menjadi lebih efektif jika ditunjang oleh adanya
elastisitas otot, mobilitas, dan teknik lari yang benar, relaksasi otot – otot
antagonis untuk mencapai titik ruang gerak yang luas (Jerver, 1991).
39
5.
Daya tahan
Daya tahan adalah kemampuan dalam melakukan aktivitas terus menerus
yang berlangsung cukup lama (Nala, 2011). Daya tahan yang dimaksud pada
pelari cepat adalah daya tahan kecepatan yang berfungsi untuk memelihara
kecepatan maksimal sehingga mampu melewati jarak dengan kecepatan penuh
(Jerver, 1991).
2.4.5
Pengukuran Kecepatan
Kecepatan gerak diukur dengan cara mengukur jarak yang ditempuh dan
waktu yang dibutuhkan untuk menempuh jarak tersebut (meter per detik) (Nala,
2011). Pada penelitian ini pengukuran kecepatan dilakukan dengan mengukur
waktu tempuh lari 100 meter (Nurhasan, 1992). Alat yang dipergunkan untuk
mengukur kecepatan berlari adalah stop watch. Pengukuran dimulai (stop wacth
hidup) saat aba-aba “ya” atau saat bendera diangkat ke atas dan pengukuran
berakhir (stop wacth mati) saat pelari memasuki garis finish. Pengukur waktu
harus berada lurus dengan garis finish agar pengukuran bisa mengamati dengan
tepat bagian tubuh atlet saat memasuki garis finish (Anonim, 2011).
Download