BAB 2. KERANGKA DASAR TEORITIK 2.1. Karakteristik Masyarakat

advertisement
BAB 2. KERANGKA DASAR TEORITIK
2.1. Karakteristik Masyarakat Nelayan
Karakteristik masyarakat nelayan berbeda dengan karakteristik masyarakat
petani karena perbedaan sumberdaya yang dimilki. Masyarakat petani (agraris)
menghadapi sumberdaya yang terkontrol yakni lahan untuk memproduksi suatu
jenis komoditas dengan hasil yang dapat dipridiksi. Dengan sifat yang demikian
memungkinkannya lokasi produksi yang menetap, sehingga mobilitas usaha yang
relatif rendah dan faktor resiko relatif kecil (Stefanus ,2005).
Tohir (2001), mengemukakan bahwa terdapat fenomena yang menarik
mengenai melimpahnya sumberdaya alam laut dengan masih rendahnya minat
masyarakat nelayan untuk mengeksplorasi kekayaan laut. Fenomena ini jika
dicermati secara mendalam, maka sebenarnya terdapat fakta bahwa masyarakat
pesisir yang bermata pencaharian sebagai nelayan maupun melakukan aktivitas
hidup di laut jumlahnya relatif kecil dibandingkan dengan yang bekerja sebagai
petani di sawah, ladang dan sektor jasa. Hal ini berarti jenis mata pencaharian
masyarakat nelayan heterogen dan warga masyarakat yang memilih sebagai
nelayan pada dasarnya merupakan kelompok kecil saja. Dilihat dari tingkat
kesejahteraan hidup nelayan rata-rata masih belum menggembirakan, karena
sebagai nelayan kecil mereka menghadapi berbagai keterbatasan.
Dari perspektif antropologis, masyarakat nelayan berbeda dari masyarakat
lainnya, seperti petani, buruh di kota atau masyarakat di daratan tinggi. Perspektif
antropologis ini didasarkan pada realitas sosial, bahwa masyarakat nelayan memiliki
pola kebudayaan yang berbeda dari masyarakat lain sebagai hasil interaksi mereka
dengan
lingkungan
beserta
sumberdaya
yang
ada
didalamnya. Pola-pola
13
kebudayaan ini menjadi kerangka berfikir atau referensi perilaku masyarakat
nelayan dalam kehidupan sehari-harinya.
Secara Teologis masyarakat nelayan memilki kepercayaan cukup kuat,
bahwa laut memilki kekuatan magis, sehingga diperlukan perlakuan-perlakuan
khusus dalam melakukan aktivitas penangkapan ikan agar keselamatan terjamin.
Tradisi ini masih tetap dipertahankan, seperti tradisi sowan suhu bagi nelayan yang
berasal dari Wonokerto Pekalongan. Tradisi ini dimaksudkan untuk menjaga
keselamatan para ABK (anak buah kapal) dan Nakhoda padawaktu melaut dan
memperoleh hasil penangkapan ikan yang banyak (Satria, A, 2004).
2.2. Sumberdaya Perikanan
Nontji (1987), mengatakan bahwa, untuk perikanan laut, besar potensi
seluruhnya adalah 7,2 juta ton/tahun berupa standing stock, sedangkan yang dapat
dimanfaatkan secara maksimal (Maksimum Sustainable Yield) berkisar 4,5 juta
ton/tahun atau kurang lebih 65% dari standing stock ditambah lagi 2,1 juta ton/tahun
yang terdapat diperairan ZEE Indonesia.
Perairan laut Jawa Timur meliputi wilayah Teritorial dan wilayah laut Zona
Ekonomi Ekslusif mempunyai luas sekitar 208.097 km 2, sedangkan potensi yang
terkandung
sebesar 618.418 ton/tahun, belum seluruhnya dimanfaatkan oleh
nelayan (Anonymous, 1988)dalam Mimit Primyastanto (2011c). Produksi perikanan
daerah tingkat I Jawa Timur tahun 1995 sebesar 238.677,60 ton dimana sekitar
36,41% atau 225.176,60 ton merupakan produksi dari cabang usaha penangkapan
di laut. Untuk produksi perikanan daerah tingkat 1 Jawa Timur tahun 2007 sebesar
395.890 ton dimana sekitar 96,72 % atau sebesar 382.877 ton merupakan produksi
dari cabang usaha penangkapan di laut.Damanhuri (1980)mengatakan, bahwa nilai
fishing ground bervariasi menurut kedalaman perairan, daerah dan musimnya.
14
Untuk mendapat produktivitas yang tinggi, pengembangan suatu alat, baik
mengenai kontruksi maupun cara operasi harus disesuaikan dengan sifat biologis
ikan yang menjadi tujuan penangkapan.
2.3. Operasional alat tangkap payang
Cara pengoperasian alat tangkap payang adalah dengan melingkari
kawanan ikan sehingga kawanan ikan tersebut terperangkap dan masuk kedalam
kantong. Agar supaya ikan-ikan yang terperangkap tidak terjerat pada mata jaring
bagian kantong akibat saling berdesakan, maka ukuran mata jaring pada bagian ini
dibuat lebih kecil. Ukuran mata jaring yang lebih besar dapat dipakai pada bagian
lain, yaitu bagian yang akan menggiring ikan masuk kekantong. Penentuan ukuran
mata jaring bagian kantong alat tangkap payang pada dasarnya sama seperti pada
kantong alat tangkap trawl. Oleh karena itu ukuran mata jaring pada bagian kantong
alat tangkap payang dapat ditentukan dengan persamaan :
M OB =2/3XM OG
Dimana:
M OB : ukuran mata jaring bagian kantong
M OG : ukuran mata jaring gill net yang biasanya untuk menangkap ikan yang
berukuran dan spesies sama (Fridman,1988).
Alat tangkap payang ini digolongkan oleh Anonymous (1984) kedalam seine net
yang mempunyai kantong dan
dua buah
sayap yang
berfungsi
sebagai
penggiringkawanan ikan. Pengoperasiannya dengan menggunakan perahu atau
kapal kecil dengan menebar jaring secara melingkar disuatu areal perairan yang
diperkirakan terdapat banyak ikan.
Sasaran penangkapan payang ditujukan kepada ikan-ikan permukaan
(pelagis) dengan cara mengejar atau melingkari suatu gerombolan ikan yang
15
nampak di permukaan perairan atau dengan cara menggunakan alat bantu
pengumpul ikan yang disebut rumpon. Untuk menghadang dan menggiring suatu
gerombolan ikan yang terdapat pada areal jangkauan alat tangkap tersebut agar
masuk ke kantong, maka alat tangkap dilengkapi dengan dua buah sayap. Fungsi
mesh size (ukuran mata jaring) pada sayap hanyalah merupakan dinding
penghadang dan bukan sebagai penjerat.
Hasil tangkapan payang didukung oleh terbukanya mulut jaring yang
dipengaruhi oleh beberapa pelampung dan pemberat. Fungsi pelampung adalah
untuk mempertahankan agar mata jaring tetap terapung pada permukaan perairan.
Sedangkan pemberat digunakan agar terjadi keseimbangan antara gaya apung dan
gaya tenggelam sehingga mulut jaring akan terbuka dengan baik. Disamping itu
juga sayapnya dapat berdiri tegak menghadang gerombolan ikan yang berenang ke
arah horisontal.
Pelampung yang digunakan umumnya terbuat dari alat bantu yang
diikatkan pada bagian atas kedua sayap dan bagian tali yang digunakan atau tali ris
atas dan bawah dan tali penarik. Ukuran tali ris atas lebih panjang dibanding
dengan tali ris bawah karena pada bagian bibir atas jaring lebih menonjol kearah
kantong dibandingkan dengan bibir bawah.
Bahan pemberat yang digunakan pada alat tangkap payang ini umumnya
terbuat dari campuran semen dan pasir yang mempunyai berat rata-rata 4 kg serta
pemasangan pemberat disesuaikan dengan letak dari pelampung (Garner, 1977).
2.4. Pengelolaan Sumberdaya Ikan Berkelanjutan
Kesulitan-kesulitan praktis dalam melaksanakan rencana pengelolaan di
kawasan Indo-Pasifik tidak dapat diremehkan. Jumlah nelayan di Asia Tenggara
saja diperkirakan lebih dari 4 juta orang. Daerah geografis dimana peraturan-
16
peraturan harus dilaksanakan luar biasa luasnya dan kebanyakan nelayan kecil tidak
mempunyai sumber pendapatan alternatif, andaikata mereka dilarang memasuki
sumberdaya di pantai atau periran umum didaratan. Disamping itu kekuasaan politik
perusahaan-perusahaan perikanan skala besar dan pengambilan keputusan yang
terpusat pada badan-badan perikanan pemerintah mempersulit dibentuknya
kekuasaan lokal yang diperlukan untuk program pengelolaan sumberdaya perikanan
yang dapat mengatasi pertentangan-pertentangan tersebut diatas secara efektif.
Dengan adanya tekanan penduduk di negara-negara di kawasan IndoPasifik , maka perlu dilakukan lebih dari sekedar mengembangkan program
pengelolaan perikanan jika tujuannya hendak meningkatkan pendapatan masyarakat
nelayan. Program-program pengelolaan gagal untuk menangani dengan baik para
nelayan yang terlantar. Apabila hendak menghindari kemandekan dalam sektorsektor perikanan di pantai dan perairan umum, maka sebagai penyelesaian yang
baik jumlah nelayan atau upaya penangkapan ikan harus dikurangi melalui programprogram yang aktif dan telah disetujui bersama serta kegiatan perangsang yang
membuka kesempatan untuk mendapatkan peluang pendapatan alternatif bagi
sektor penangkapan ikan berukuran kecil yang sekarang hanya sedikit jumlahnya
atau hampir tidak ada.
Skenario teoritis yang ada adalah model-model abstrak dari kenyataan,
dimana biaya penangkapan ikan tidak seragam, lamanya musim penangkapan ikan
berbeda-beda dan para nelayan tidak selalu bebas memasuki dan meninggalkan
industri
perikanan.
Meskipun
ada
asumsi-asumsi
penyederhanaan
yang
memungkinkan abstraksi sampai tingkat tertentu, namun maksudnya jelas sekali dan
melengkapi pengamatan empiris yang lebih maju. Selama sumberdaya perikanan
tetap bersifat bebas ikut serta , pemecahan masalah ganda tentang eksploitasi
17
sumberdaya yang melampaui batas serta pendapatan penangkapan ikan yang
rendah untuk jangka panjang tidak akan ditemukan dalam sektor penangkapan ikan
tetapi malahan di luarnya. Dalam bentuk beberapa sumber pendapatan alternatif
atau tambahan bagi nelayan kecil dengan keluarganya atau RTP (Rumah Tangga
Perikanan).
Sumberdaya ikan harus dikelola dan ditata karena sumberdaya itu sangat
sensitif terhadap tindakan atau aksi manusia. Pengelolaan, penataan, atau dalam
terminologi yang lebih umum, manajemen sumberdaya perikanan patut dilakukan
supaya pembangunan perikanan dapat dilaksanakan dengan baik dan tujuan
pembangunan dapat tercapai (Nikijuluw, 2005). Setiap negara menetapkan tujuan
dan prioritas manajemen sumberdaya perikanan yang berbeda-beda tergantung
pada latar belakang ekonomi, sosial, teknologi, dan politik. Indonesia menempatkan
manajemen sumberdaya perikanan pada visi pembangunan perikanan dan
kelautannya. Visi pembangunan perikanan Indonesia adalah mewujudkan usaha
perikanan produktif dan efisien berdasarkan pengelolaan (manajemen) sumberdaya
perikanan secara bertanggung jawab (DKP, 2001 dalam Nikijuluw, 2005). Upaya
pengelolaan sumberdaya harus dilaksanakan secara terpadu dan terarah dengan
melestarikan sumberdaya itu sendiri beserta lingkungannya.
Pengelolaan perikanan bersifat kompleks mencakup aspek biologi, ekonomi,
sosial budaya, hukum, dan politik. Tujuan dikelolanya perikanan antara lain
tercapainya optimalisasi ekonomi pemanfaatan sumberdaya ikan sekaligus terjaga
kelestariannya. Menurut Cochrane (2002) dalam Mulyana (2007), tujuan (goal)
umum dalam pengelolaan perikanan meliputi 4 (empat) aspek yaitu biologi, ekologi,
ekonomi, dan sosial. Tujuan sosial meliputi tujuan-tujuan politis dan budaya. Contoh
masing-masing tujuan tersebut yaitu:
18
(1) untuk menjaga sumberdaya ikan pada kondisi atau diatas tingkat yang diperlukan
bagi keberlanjutan produktivitas(tujuan biologi);
(2) untuk meminimalkan dampak penangkapan ikan bagi lingkungan fisik serta
sumberdaya non-target (by-catch), serta sumberdaya lainnya yang terkait (tujuan
ekologi);
(3) untuk memaksimalkan pendapatan nelayan (tujuan ekonomi);
(4) untuk memaksimalkan peluang kerja/mata pencaharian nelayan atau masyarakat
yang terlibat (tujuan sosial).
Definisi dalam upaya mengelola sumberdaya perikanan yang ada pada UU
No. 31 tahun 2004 mengacu kepada FAO dalam Fisheries Technical Paper No. 424
yang diedit oleh Cochrane (2002) dalam Mulyana (2007) yaitu : ”The integrated
process of information gathering, analysis, planning, consultation, decision-making,
allocation of resources and formulation of implementation, with enforcement as
necessary, of regulation or rules which govern fisheries activities in order to ensure
the continued productivity of the resources and the accomplishment of other fisheries
objectives”.
Menurut Gulland (1982) dalam Nabunome (2007), tujuan pengelolaan
sumberdaya perikanan meliputi:
1. Tujuan yang bersifat fisik-biologik, yaitu dicapainya tingkat pemanfaatan dalam
level maksimum yang lestari (MSY= Maksimum Sustainable Yield).
2. Tujuan yang bersifat ekonomik, yaitu tercapainya keuntungan maksimum dari
pemanfaatan sumberdaya ikan atau maksimalisasi profit (net income) dari perikanan
3. Tujuan yang bersifat sosial, yaitu tercapainya keuntungan sosial yang maksimal,
misalnya maksimalisasi penyediaan pekerjaan, menghilangkan adanya konflik
kepentingan diantara nelayan dan anggota masyarakat lainnya.
19
Adapun Dwiponggo (1983) dalam Suharno (2008) tujuan pengelolaan
sumberdaya perikanan dapat dicapai dengan beberapa cara, antara lain:
1. Pemeliharaan proses kelangsungan sumberdaya perikanan dengan memelihara
ekosistem penunjang bagi kehidupan sumberdaya ikan.
2. Menjamin pemanfaatan berbagai jenis ekosistem secara berkelanjutan.
3. Menjaga keanekaragaman hayati (plasma nutfah) yang mempengaruhi ciri-ciri,
sifat dan bentuk kehidupan.
4. Mengembangkan perikanan dan teknologi yang mampu menumbuhkan industri
yang mengamankan sumberdaya secara bertanggung jawab.
Tujuan-tujuan itu menurut Pinkerton (1988) dalam Nikijuluw (2002), tidak
dapat tercapai secara otomatis tetapi dapat dicapai melalui beberapa kegiatan yang
intinya merupakan komponen manajemen sumberdaya perikanan. Kegiatankegiatan tersebut adalah sebagai berikut:
- Pengumpulan dan analisis data. Data yang dikumpulkan dan dianalisis meliputi
seluruh variabel atau komponen yang berkaitan dengan sumberdaya perikanan.
Prioritas patut diberikan kepada data biologi, produksi dan penangkapan ikan yang
merupakan informasi dasar pengambilan keputusan dalam pengelolaan sumberdaya
perikanan. Namun, data sosial ekonomi nelayan dan aspek legal perikanan tidak
boleh dilupakan.
- Penetapan cara-cara pemanfaatan sumberdaya ikan meliputi perizinan, waktu,
serta lokasi penangkapan.
- Penetapan alokasi penangkapan ikan (berapa banyak ikan yang boleh ditangkap)
antar nelayan dalam satu kelompok dengan kelompok nelayan yang lain atau
nelayan yang berbeda alat tangkap dan metode penangkapan ikan.
20
- Perlindungan terhadap sumberdaya ikan yang mengalami tekanan ekologis akibat
penangkapan ataupun kejadian alam.
- Penegakan hukum dan perundang-undangan tentang pengelolaan sumberdaya
perikanan.
- Pengembangan dan perencanaan pengelolaan sumberdaya perikanan dalam
jangka panjang yang ditempuh melalui evaluasi terhadap program kerja jangka
pendek atau yang saat itu sedang diimplementasikan.
-
Pengambilan
keputusan
manajemen
sumberdaya
perikanan
dengan
mempertimbangkan pengertian yang sempit, yaitu sumberdaya ikan itu sendiri
maupun pengertian yang luas – sumberdaya ikan beserta seluruh aspek yang
berpengaruh atau dipengaruhi pemanfaatan sumberdaya ikan tersebut.
Masyarakat
perikanan
internasional
menganggap
penting
manajemen
sumberdaya perikanan seperti yang dimuat dalam CCRF (Code of Conduct for
Responsible Fisheries). Pasal 7 CCRF mengenai Manajemen Perikanan diantaranya
menyatakan bahwa negara harus mengadopsi pendekatan manajemen sumberdaya
perikanan yang tepat berdasarkan pada bukti dan fakta ilmiah yang ada. Selain itu,
pendekatan harus diarahkan untuk mempertahankan atau memulihkan stok
perikanan di laut pada tingkat kemampuan maksimum menghasilkan ikan tanpa
merusak lingkungan dan mengganggu stabilitas ekonomi (FAO, 1995). Pilihan
alternatif manajemen sangat tergantung pada kekhasan, situasi, dan kondisi
perikanan yang dikelola serta tujuan pengelolaan atau pembangunan perikanan
(Nikijuluw, 2002). Nabunome (2007) merekomendasikan supaya ada pengaturan
ukuran mata jaring, kontrol terhadap musim dan daerah penangkapan, pengurangan
jumlah upaya tangkap, dan pengaturan waktu penangkapan untuk menghindari
konflik antar nelayan sebagai hasil penelitiannya tentang pengelolaan sumberdaya
21
ikan demersal (studi empiris di Kota Tegal), Jawa Tengah. Pomeroy et. al.(2009)
melakukan penelitian tentang pengelolaan perikanan berbasis ekosistem dengan
metode EBFM (Ecosystem Based Fishery Management) dan pendekatan EAFM
(Ecosystem Approach to Fishery Management) pada perikanan laut tropis skala kecil
di Philipina yang diatur oleh pemerintah setempat. Hasil penelitian merumuskan
skema model pengelolaan sebagai berikut:
Gambar 1. Skema Manajemen Pengelolaan Perikanan Berbasis Ekosistem di
Philipina(Pomeroy, et.al. 2009)
Skema manajemen pengelolaan perikanan dari penelitian Pomeroy, et.al.
(2009) merupakan salah satu contoh bagaimana pemerintah berperan dan
mengajak masyarakat setempat untuk berpartisipasi demi kelangsungan dan
kelestarian ekosistem pesisir yang menjadi sumber kehidupan. Pemerintah Daerah
Philipina masing-masing membentuk perwakilan pengelola perikanan pada tiaptiap
sentra perikanan (teluk-teluk) yang juga berperan sebagai koordinator dari sub-sub
22
pengelola yang skalanya lebih kecil (di setiap desa) untuk mempermudah koordinasi
antara desa-desa kecil dengan instansi pemerintah daerah terkait.
2.5. Kebijakan dan Peraturan Pemerintah Pada Pengelolaan Sumberdaya Ikan
Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi sumber daya alam yang
sangat besar, tetapi potensi tersebut jika tidak dikelola secara baik maka
sumberdaya tersebut akan punah. Untuk mengatur tentang pemanfaatan,
pemasaran
dan
pengelolaan
sumberdaya
perikanan
maka
Pemerintah
mengeluarkan beberapa kebijaksanaan dan peraturan sejak tahun 1973 sampai
tahun 2007. Ada 16 perundang-undangan perikanan nasional yang berlaku di
Indonesia. Perundang-undangan ini meliputi semua aspek dari sektor perikanan
mulai dari kegiatan penangkapan ikan, pengelolaan sampai dengan pemasarannya.
Perundang-undangan ini antara lain :
1) Undang-undang Republik Indonesia No.5 tahun 1983 Keputusan ini
menetapkan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
2) Keputusan Menteri Pertanian No.769 tahun 1988 Keputusan ini
menetapkan aturan untuk pengoperasian alat tangkap lempira dasar
3) Undang-undang Republik Indonesia No.5 tahun 1990 Keputusan ini
mengatur tentang konversi sumberdaya hayati dan ekosistemnya
4) Keputusan Menteri Pertanian No.392 tahun 1999 yang merupakan
amandemen dari Keputusan Menteri Pertanian No.607 tahun 1976
Keputusan ini mengatur tentang jalur tangkap di wilayah Indonesia yang
disesuaikan dengan alat tangkap dan ukuran kapal
5) Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No.10 tahun 2003 Keputusan
ini mengatur tentang izin usaha perikanan bagi setiap perusahaan baik
perusahaan Indonesia maupun perusahaan Asing yang bergerak di bidang
23
penangkapan ikan di 9WPP yang ada di Indonesia. Setiap perusahaan wajib
memiliki Izin Usaha Perikanan (IUP), Surat Penangkapan Ikan (SPI)dan
Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI).
6) Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No.13 tahun 2004 Keputusan
ini mengatur tentang nelayan andon, dimana nelayan ini wajib memiliki surat
izin penangkapan ikan di daerah dimana mereka melakukan penangkapan
ikan. Hal ini dimaksudkan untuk mengendalikan usaha penangkapan ikan
agar tertib sesuai dengan prinsip-prinsip pengelolaan perikanan yang
bertanggungjawab serta tidak menimbulkan konflik antar sesama nelayan
(nelayan andon dan nelayan lokal).
7) Undang-undang Republik Indonesia No.31 tahun 2004 tentang Perikanan
mengamandemen Undang-undang Republik Indonesia No.9 tahun 1985
Selanjutnya direvisi dengan UU No.45 tahun 2009 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, Keputusan ini
mengatur tentang penetapan aturan dan petunjuk operasional perikanan di
Indonesia. Dalam keputusan ini juga sudah diatur mengenai peradilan
perikanan di Indonesia.
8) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 6/Men/2008 yang
memperbolehkan penggunaan alat tangkap Pukat Hela di Perairan
Kalimantan Timur mengamandemen Keputusan Presiden No.39 tahun 1980
Keputusan ini melarang penggunaan alat tangkap pukat trawl di wilayah
Perairan Indonesia.
9) Undang-undang Republik Indonesia No.26 tahun 2007, Keputusan ini
mengatur tentang perencanaan tata ruang.
24
10) Undang-undang Republik Indonesia No.27 tahun 2007, Keputusan ini
mengatur tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Peraturan yang secara langsung berkaitan dengan penelitian ini adalah
Undang-undang No.45 tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Dalam Undang-undang ini jugamengatur
pengelolaan perikanan di Indonesia. Sesuai pasal 7 ayat 4 dijelaskan bahwa menteri
mengatur jumlah tangkapan yang diperbolehkan, jenis, jumlah, ukuran, daerah, jalur,
waktu,
musim
penangkapan
ikan
disesuaikan
dengan
potensi
dengan
mempertimbangkan rekomendasi dari Komisi Nasional yang mengkaji sumberdaya
ikan. Hal ini sesuai dengan Keputusan Menteri Pertanian No.392 tahun 1999 yang
mengatur jalur-jalur penangkapan ikan. Sesuai Kep Men tersebut bahwa jalur
perikanan dibagi menjadi 3 yaitu jalur I, II dan III. Jalur I dibagi menjadi 2 yaitu jalur
Ia daerah tangkapan sampai 3 mil, jalur Ib perairan diluar 3 mil sampai 6 mil, jalur II
daerah tangkapannya diluar 6 mil sampai 12 mil, jalur III perairan diluar jalur II (12
mil) sampai dengan batas terluar ZEE. Dengan penetapan jalur ini maka Propinsi
memiliki kewenangan mengelola kekayaan laut sejauh 12 mil sedangkan
Kabupaten/Kota 1/3 dari kewenangan Propinsi (4 mil) sesuai amanat dalam pasal 18
Undang-undang No.32 tahun 2004.
2.6. Kearifan Lokal Pada Pengelolaan Perikanan Berdasarkan Ekosistem
Pendekatan ekosistem mencakup seluruh aspek kehidupan nelayan, baik
material maupun spiritual (agama) yang menjadi fondasi sosial kehidupan
masyarakat pesisir.. Artinya
penguatan
modal alam juga termasuk penguatan
perilaku masyarakat. Oleh karena itu pendekatan ekosistem termasuk penguatan
sikap batin masyarakat. Ada 2 hal penting dalam pendekatan ini, yaitu : dalil Naqli
(Al-qur’an) dan dalil Aqli (akal).
25
(1) Dalil Naqli (Al Qur’an)
Al Qur’an menegaskan bahwa
bumi merupakan lingkungan hidup yang
paling nyaman bagi manusia. Oleh karena itu harus dijaga kenyamanan hidup
tersebut.. Mari kita renungkan bersama isyarat kehidupan di bumi berikut ini.
Dalil Naqli 1 : Al-Qur’an Surah At-Takwir :ayat 6
6. “Dan apabila lautan dipanaskan (suhu naik)*)
Dalil Naqli 2 : Al-Qur’an Surah Ar-Rahman : ayat 6.
6. “Dan semua tumbuhan
dan semua pepohonan
keduanya tunduk
kepadaNya**).
Dalil Naqli 3 : Al-Qur’an Surah Yaasin : ayat 80.
80. “Yaitu Tuhan yang menjadikan untuk kamu api dari kayu yang berwarna hijau**),
maka seketika itu juga kamu menyalakan (api) dari kayu tersebut.
Keterangan :
*)
Pemanasan global akibat emisi karbon melebihi batas keseimbangan
alam,
sehingga kenikmatan hidup di dunia akan berkurang, berdampak luas seperti
perubahan iklim , termasuk
punahmya kehidupan banyak jenis makhluk,
termasuk manusia.
**) Fungsi pohon-pohonan adalah menjadi
kunci (berbakti kepada Allah SWT.
dengan ikhlas, tanpa pamrih) dalam menjaga keseimbangan alam dan
kehidupan sebagai penyerap carbon (CO2) dengan bantuan sinar matahari
(fotosinthesis) menghasilkan oksigen (O2), tentu saja
untuk menjaga
kelangsungan kehidupan manusia di bumi. Manusia pantas malu pada perilaku
pohon-pohonan ini.
26
Dengan dasar rujukan tersebut, Al Qur’an sebagai acuan hidup memberikan
perhatian sangat tinggi terahap pentingnya
keseimbangan alam
sikap/ etika untuk selalu
untuk kenyamanan hidup kita dengan sikap hidup
menjaga
ramah
terhadap alam/ lingkungan.
Dalil Naqli : Al-Qur’an surah Al-baqarah ayat 261
Menanggulangi
kemiskinan
untuk
meraih
mengandung makna mengembangkan kehidupan
kehidupan
yang
nyaman
masyarakat untuk menjadi
sejahtera secara berkelanjutan. Menurut ajaran agama, ukuran sejahtera itu tidak
muluk-muluk. Dimana hal itu tertuang dalam rukun Islam yaitu dengan membayar
kewajiban zakat bagi yang telah memiliki tingkat kekayaan mencapai batas lebih
nishab dalam periode waktu kepemilikan selama satu tahun (haul). Seperti hasil
pertanian nishabnya sebesar 300 sha’ (930 liter atau 760 kg kering dan bersih),
dengan zakat sebesar 5 % (dengan system irigasi) dan 10 % ( dengan tadah hujan).
Pada usaha perdagangan dan jasa, tingkat keuntungan disetarakan dengan nishab
93, 6 gram emas atau nishab perak sebesar 624 gram, zakatnya sebesar 2,5 %.
Dan untuk zakat barang temuan (rikaz) besarnya 20 % dari nilai temuan tersebut.
Adapun perumpamaan orang yang mengeluarkan zakat adalah seperti orang
yang berbisnis mendapat laba 700 kali lipat, sebagaimana yang disebutkan dalam
Al-Qur’an surah Al-baqarah ayat 261, yaitu : “ Perumpamaan orang-orang yang
menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang
menumbuhkan tujuh bulir, pada setiap bulir, seratus biji. Allah melipat gandakan
ganjaran bagi siapa yang Dia kehendaki.Dan Allah Maha Luas karunia-Nya lagi
Maha Mengetahui “.
27
(2) Dalil Aqli (akal)
Policy dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan secara
maksiimal dan sustainable atau berkelanjutan pada tingkat Maksimum Sustainable
Yield (MSY) dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat nelayan terdiri
atas 2 kebijakan, yaitu : jangka pendek dan jangka panjang (Smith , 1987).
Kebijakan jangka pendek meliputi kegiatan yang terkait dengan perbaikan teknologi,
peningkatan harga ikan dan subsidi input. Sedangkan kebijakan jangka panjang
meliputi kegiatan peningkatan kesejahteraan melalui sumber pendapatan alternative
berupa AMP (alternative Mata Pencaharian bagi rumahtangga nelayan. Adanya
pembatasan quota penangkapan dengan mengurangi jumlah armada penangkapan
yang dikenal sebagai kebijakan transformasi ( dari nelayan ke pertanian atau
industry, Tenaga kerja wanita (TKW) ke luar negeri). Juga diupayakan pendekatan
kawasan konservasi laut (KKL).
Kawasan Konservasi Laut (KKL) bertujuan adanya peningkatan ukuran tubuh
ikan matang gonad yang siap untuk memijah dan melakukan reproduksi. Dimana hal
tersebuat akan mampu menghasilkan benih ikan yang lebih besar jumlahnya.
Kemudian ikan yang sedang berkembang biak di sekitar KKL akan menbentuk food
chain system atau rantai makanan sehingga ikan yang ada disekitar KKL akan
melimpah sekaligus menjamin ketersediaan ikan untuk pemanfaatan sumberdaya
perikanan secara sustainable (Gell dan Roberts, 2002). Sebagai contoh untuk
Kearifan Lokal Pada Pengelolaan Perikanan Berdasarkan Ekosistem adala tentang
ekosistem terumbu karang di Indonesia. Dimana bisa dilihat bagimana potensi,
aspek biologi, aspek lingkungan, aspek kondisi dan ancaman terhadap terumbu
karang sebagai berikut :
28
A. Potensi Terumbu Karang Indonesia
Indonesia merupakan Negara kepulauan yang terluas di dunia dengan
sekitar 17.000 pulau, memiliki kekayaan fauna maupun flora yang beragam
sehingga di dunia dikenal dengan sebutan megabiodiversity country. Sementara itu,
mayoritas penduduk Indonesia hidup di wilayah pesisir. Hal ini dikarenakan
ekosistem pesisir dan lautan merupakan sumber matapencaharian bagi mereka.
Terumbu karang adalah salah satu ekosistem yang dominandari perairan
dangkal atau perairan wilayah pesisir di daerah iklim tropis. Ekosistem ini disebut
unik karena selain memiliki bentuk yang indah dari beragam spesies karangnya
sendiri,juga memiliki beragam spesies biota laut yang berasosiasi dengannya. Ini
menunjukkan bahwa ekosistem terumbu karang merupakan salah satu gudang biota
dengan keanekaragaman hayati tinggi. Menurut Kantor Kementrian Negara
Lingkungan Hidup dan Wetlands International Indonesia (1996), terumbu karang
merupakan salah satu ekosistem di dunia yang sangat produktif, dengan nilai ratarata produktivitas primernya adalah 2.500 gr/
/tahun. Selain sangat penting secara
ekologi, ekosistem yang memiliki sistem ekologi yang stabil ini mempunyai nilai dan
arti yang tidak kalah pentingnya dari segi sosial ekonomi dan sosial budaya.
Secara sosial ekonomi dan sosial budaya, terumbu karang ini antara lain
berfungsi sebagai sumber makanan, bahan obat-obatan, dan bahan bangunan.
Disamping itu, keberadaan terumbu karang memiliki arti penting bagi perikanan laut
dangkal. Manfaat lain adalah sebagai obyek wisata bahari karena memiliki nilai
estetika yang sangat mengagumkan. Akan tetapi dengan segala fungsinya tersebut
telah mendorong adanya aktivitas manusia yang tidak terkendali dimana telah
mengakibatkan terjadinya kerusakan ekosistem terumbu karang.
29
Kondisi tersebut menunjukkan adanya degradasi lingkungan serta tidak
efektifnya pengelolaan sumberdaya dan lingkungan pantai. Tekanan sosial ekonomi
yang muncul serta diperburuk dengan proyek-proyek ekspansi ekonomi ke kawasan
daratan pesisir atau pantai dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat
setempat telah diindikasikan sebagai penyebab utma adanya kerusakan ekosistem
pesisir, termasuk didalamnya ekosistem terumbu karang. Oleh karena itu
sumberdaya terumbu karang ini perlu dikelola dan dilestarikan secara bijaksana dan
rasional, agar dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan (sustainable).
B. Aspek Biologi Terumbu Karang
Karang (koral) merupakan komunitas laut yang sangat unik, dimana
sebagian besar karang merupakan binatang-binatang kecil yang disebut polip, hidup
berkoloni dan membentuk terumbu (Wesmacott
et.al. 2000). Menurut Nybakken
(1982), terumbu adalah hasil sedimentasi kalsium karbonat yang dihasilkan oleh
karang-karang hermatik, alga koralin, dan organisma lain. Organisme karang
termasuk kedalam filum Cnidaria bersama-sama dengan ubur-ubur, hydroid, hydra
air tawar, dan anemone laut (Morton, 1990).
Koloni karang bereproduksi, baik secara seksual maupun aseksual.
Reproduksi seksual melibatkan pembuahan telur karang oleh sperma untuk
membentuk larva yang berenang bebas. Larva-larva tersebut dapat beradaptasi
dengan baik untuk distribusi serta tergantung dari spesies dan kondisinya , dapat
menjadi bibit dimana mereka berasal, didekat terumbu karang yang ratusan
kilometer jauhnya (Richmond 1997). Repoduksi aseksual terjadi bila patahanpatahan karang terlepas dari koloni induknya, dan apabila patahan tersebut
30
mendarat pada substrat yang tepat, maka ia dapat menempelkan kembali dirinya
sendiri dan berkembang menjadi koloni baru (Wesmacott et.al. 2000).
Dilihat dari bentuk pertumbuhan individu atau koloni karang, maka dapat
dibedakan menjadi enam macam yaitu tipe bercabang, padat, daun, kerak, jamur
dan tipe meja (Morton, 1990). Dan berdasarkan struktur geomorfologinya serta
proses pembentukannya, terumbu karang dapat dibedakan atas empat tipe terumbu
karang, yaitu terumbu karang tepi, kecil atau takat, penghalang, dan cincin (Morton
1990, Rompas dan Usher 1992).
C. Aspek Lingkungan
Kualitas air merupakan faktor penting bagi kehidupan karang, menurut
Berwick (1983) dan Nontji (1987), untuk hidupnya karang memerlukan persyaratan
hidup tertentu. Persyaratan tersebut yang terpenting adalah suhu, salinitas,
kecerahan air, sedimentasi, arus, dan cahaya.
Suhu optimal bagi pertumbuhan karang menurut randhal dan Myers dalam
Darjamuni (1986) berkisar 25 – 30 *C. Sedangkan menurut Berwick (1983), suhu
optimum berkisar antara 23 – 25 *C dan pada suhu air tahunan dibawah 18 *C maka
karang tidak akan mengalami perkembang biakan.
Salinitas optimum untuk pertumbuhan berkisar antara 32 – 35 ppt (Divlev,
1980). Sedangkan pada kondisi saliitas diatas atau dibawah 30 – 35 ppt,
perkembangan karang tidak baik (Berwick 1983 dan Nybakken 1982). Adapun
kedalaman maksimum karang untuk dapat membentuk terumbu karang adalah 50 70 m, tetapi karang dapat berkembang dengan baik pada kedalaman kurang dari 25
m dengan suhu rata-rata minimum tahunan 20 *C (Nybakken, 1982).
31
Selain itu lokasi yang baik untuk pertumbuhan karang adalah adanya sumber
cahaya untuk berfotosintesis, sedimentasi hanya terbatas pada kolom air serta tidak
ada makroalga. Ini disebabkan adanya makroalga dapat merupakan pesaing untuk
medapatkan cahaya matahari dan membatasi penempelan larva (Richmond, 1997).
D. Aspek Kondisi dan Ancaman Terhadap Karang
Kondisi karang di Indonesia, berdasarkan data yang tercatat pada buku
Status of Coral Reefs of The World 2000 adalah 40 % terumbu karang termasuk
dalam kategori jelek, dan hanya 29 % dipertimbangkan termasuk dalam kategori
baik sampai sangat baik. Keaneka ragaman spesies karangnya berjumlah 450
spesies. Kondisi terumbu karang di Indonesia bagian Timur lebih baik kondisinya
dibandingkan bagian barat.
Ancaman terhadap terumbu karang adalah terjadinya pemutihan karang, baik
akibat perubahan iklim yang mengakibatkan penaikan suhu muka air laut, juga
aktivitas manusia. Aktivitas manusia yang mengakibatkan kerusakan terumbu
karang adalah reklamasi lahan pesisir, pembuangan limbah, kegiatan wisata,
kegiatan perikanan yang merusak ( pemakaian bom, racun, dan alat tangkap yang
tidak selektif), serta eksploitasi terumbu karang secara langsung (Wesmacott, 2000).
Kerusakan ekosistem terumbu karang yang terjadi di Indonesia menurut
Herman Cesar dalam COREMAP (Coral Reefs Rehabilitation and Management
Program) (1988), dapat mengakibatkan Indonesia kehilangan 45 juta dolar Amerika
dalam waktu empat tahun. Hal ini dapat terjadi apabila penggunaan bahan peledak
dengan tujuan utama mengambil ikan karang tidak dihentikan.
32
E. Aspek Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan masyarakat adalah konsep pembangunan ekonomi yang
merangkum
nilai-nilai
sosial.
Konsep
ini
mencerminkan
paradigma
baru
pembangunan, yaitu bersifat people-centered, participatory, empowering, and
sustainable (Chamber dalam kartasasmita, 1996).Salah satu upaya penting dalam
strategi pemberdayaan, adalah pendidikan, dan melalui pendidikan pengembangan
serta penyerapan ilmu pengetahuan. Upaya pemberdayaan masyarakat dapat dilihat
dari tiga hal, yaitu :
a. Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat
berkembang (enabling). Disini titik tolaknya adalah bahwa setiap
manusia, masyarakat memiliki potensi yang dapat dikembangkan.
Pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk membangun daya itu,
dengan mendorong memotivasikan dan membangkitkan kesadaran akan
potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya.
b. Memberdayakan mengandung pula arti melindungi. Dalam proses
pemberdayaan
masyarakat
harus
dicegah
yang
lemah
menjadi
bertambah lemah, karena kekurangberdayaan dalam menghadapi yang
kuat.
c. Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (empowering).
F. Aspek Kearifan Lokal Pada Terumbu Karang
Di Indonesia, terumbu karang atau ekosistem terumbu karang telah
mengalami tekanan yang besar terutama akibat pengaruh manusia. Selama ini ada
beberapa kendala yang dihadapi dalam upaya pengelolaan terumbu karang,
33
diantaranya adalah kurang data dan informasi yang lengkap. Disamping itu,
pengelolaan yang ada masih banyak belum berpihak pada kearifan lokal,
masyarakat lokal yang sesungguhnya berhak memperoleh manfaat dari keberadaan
ekosistem terumbu karang tersebut. Tapi hal yang paling mendasar adalah masih
kurangnya kesadaran masyarkat (Community awareness) yang hidup disekitarnya,
yang tergantung, membutuhkan, dan atau mempengaruhi ekosistem terumbu
karang, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Dalam hal ini, pengelolaan ekosistem terumbu karang yang dikemukakan
adalah pengelolaan dengan konsep kearifan lokal dalam rangka pemberdayaan
masyarakat untuk mengelola lingkungan sendiri. Hal ini dilakukan dengan harapan
masyarakat tersebut merasa bertanggung jawab untuk melaksanakannya. Dimana
kegiatan ini tidak semata-mata ditinjau dari sisi potensi daerah sekitarnya saja, tetapi
juga seberapa besar masyarakat tersebut menimbulkan kerusakan. Ini disebabkan
potensi kerusakan sangat erat kaitannya dengan faktor-faktor obyektif ada
masyarakat setempat, yang menyangkut persoalan sosial ekonomi dan sosial
budaya.
Sebagai gambaran dari uraian sebelumnya. Maka berikut ini akan diuraikan
sedikit tentang kearifan lokal serta pentingnya peran serta masyarakat dalam
pelestarian lingkungan serta manfaat yang diperolehnya. Gambaran ini merupakan
suatu studi kasus di perairan pantai Jemluk, Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali.
Kawasan pesisir Jemluk dihuni oleh sekitar 87 kepala keluarga (KK) yang
bermata pencaharian utama sebagai nelayan. Bidang perikanan di kawasan ini
masih bersifat tradisional, dimana nelayan menangkap ikan menggunakan perahu
jukung dan alat tangkap utama adalah pancing tonda dengan spesies sasarannya
adalah ikan tongkol dan cakalang. Selain menangkap ikan, nelayan umumnya
34
memilki usaha lain seperti beternak, berladang, dan melayani antar jemput turis
untuk memancing, snorkeling , atau menyelam.
Pada kawasan pesisir pantai Jemluk potensial untuk dibuat termbu karang
buatan yang merupakan salah satu solusi teknis kearifan lokal dalam meningkatkan
produktivitas alami pada area yang telah mengalami degradasi habitat. Penempatan
terumbu karang buatan ini dimulai pada tahun 1991 oleh Pusat Penelitian dan
Pengembangan Perikanan terkait dengan Proyek Pelestarian Lingkungan Hidup
Perikanan. Pelaksanannya secara penuh melibatkan dukungan masyarakat lokal
serta instansi pemerintah di tingkat daerah seperti : Dinas Perikanan, Dinas
Pariwisata, dan Pemerintah Daerah. Dengan adanya terumbu karang buatan ini,
masyarakat lokal dapat mengambil manfaatnya, antara lain :
1. Pemanfaatan waktu luang, dimana keberadaan terumbu karang buatan
telah menambah kegiatan masyarakat lokal yang bisa dilakukan pada
waktu mereka tidak ada aktivitas usaha seperti pelayanan pariwisata, dan
memancing ikan-ikan dasar, serta ikan-ikan karang.
2. Pelayanan pariwisata,
para instruktur selam biasanya memanfaatkan
keberadaan terumbu karang buatan sebagai salah satu promosi
wisatawan.
3. Kegiatan memancing ikan-ikan dasar dan ikan-ikan karang,
dimana
sebelumnya hanya dilakukan selama enam bulan dalam setahun (Juni –
November). Namun setelah adanya terumbu karang buatan ini maka
meningkat produktivitas nelayan lokal, dengan mengisi kegiatan tersebut
di lokasi penempatan terumbu karang buatan, pada saat tidak pergi
melaut.
35
Berdasarkan alasan tersebut, nelayan sebagai masyarakat lokal menilai
bahwa pengembangan terumbu karang buatan juga telah meningkatkan pendapatan
atau secara ekonomi menguntungkan dengan adanya solusi teknis kearifan lokal
tersebut. Keberhasilan tersebut disebabkan sejak awal masyarakat lokal telah
diberdayakan. Dalam hal ini, mereka telah dilibatkan dan dilakukan penyuluhan yang
berkaitan dengan rencana pengembangan terumbu karang buatan.
Sesuai dengan pengamatan, secara berkelanjutan telah ada perubahan
positif pada masyarakat lokal. Dan beberapa hal yang berkaitan dengan perubahan
masyarakat sehingga telah menjadi suatu kearifan lokal di desa Jemluk, Bali sebagai
brikut:
a. Masyarakat
lokal
merasa
malu
untuk
menggunakan
cara
penangkapan ikan yang bisa menyebabkan kerusakan lingkungan,
seperti penggunaan potas dan bom.
b. Masyarakat lokal akan melarang atau melaporkan kepada pihak
berwajib tentang aktivitas yang mereka nilai merusak lingkungan dan
bagi yang melakukan akan dikucilkan dari masyarakat.
c. Setiap bulan diadakan kerja bakti sosial bersih lingkungan.
d. Pembuangan sampah ke kawasan lingkungan pantai telah banyak
berkurang.
e. Penangkapan ikan karang di lokasi wisata dibatasi hanya pada
musim tidak menangkap ikan tongkol di laut.
Selain gambaran mengenai kasus masyarakat lokal di pesisir Jemluk, ada
sebagian masyarakat pesisir yang telah menjaga kelestarian terumbu karang
sehingga kelestarian fungsi dan pemanfaatannya dapat berkelanjutan (sustainable).
Hal ini dapat berlangsung dikarenakan adanya adat atau tradisi masyarakat yang
36
turun temurun atau dikenal dengan kearifan lokal. Tata cara tersebut dewasa ini
telah dikenal. Dimana menurut Grenier (1998), hal tersebut merupakan sesuatu
yang unik, tradisional, dipunyai oleh suatu kelompok atau komunitas masyarakat
tertentu didalam berbagai aspek lingkungannya dan kehidupan sehari-harinya pada
suatu wilayah tertentu pula.
Pengetahuan sistem kearifan lokal mencakup seluruh aspek dalam
kehidupan, termasuk pengelolaan alam lingkungan. Salah satunya yang dapat
dijadikan contoh adalah tradisi Mane’e, yang merupakan tradisi pelestarian
pemanfaatan
keanekaragaman
dan
sumberdaya
pantai
melalui
pergiliran
pemanfaatan kawasan terumbu karang.
Tradisi Mane’e mengakar kuat di desa Kakorotan, Kecamatan Nannusa,
Kabupaten Sangihe Talaud. Desa Kakorotan terdiri dari beberapa pulau, yaitu pulau
Intana, Kakorotan dan Malo yang dikaruniai oleh Tuhan dengan keanekaragaman
(Biodivercity) sumberdaya alam yang sangat tinggi. Dan hampir di seluruh perairan
pesisirnya memiliki terumbu karang, yang disebut Napo oleh penduduk setempat.
Keragaman spesies yang ada sangat tinggi, diantaranya spesies udang, tripang,
biota laut yang dilindungi misalnya ikan Napoleon, penyu, kima dan siput.
Masyarakat Kakorotan selama ini mengambil hasil laut dengan cara yang
cukup bijak, berkat adanya kearifan lokal, yaitu kepercayaan kepada Mane’e. Tradisi
ini konon dimulai sejak abad ke-16, yang dijalankan sekali dalam setahun, biasanya
sekitar bulan Mei bertepatan dengan pasang tertinggi, surut terendah yang terjadi
pada akhir bulan purnama dan awal bulan gelap. Dimana kegiatan Mane’e diawali
dengan melakukan pelarangan hasil laut (eha) pada lokasi yang sebelumnya telah
ditentukan. Upacara Mane’e selanjutnya dilakukan melalui sembilan tahapan.
37
Tradisi Mane’e adalah sebuah upacara adat dalam menangkap ikan yang
merupakan suatu tradisi yang dapat mewakili kearifan lokal masyarakat pesisir
Kakorotan dalam mengelola alam. Hal ini disebabkan dalam tradisi ini terdapat
pemilihan lokasi dan aturan main yang diterapkan pasca perayaannya. Kegiatan ini
tidak dilaksanakan di semua tempat melainkan di lokasi tertentu yang telah
ditetapkan adat sejak dahulu, yang meliputi daerah terumbu karang sampai ke
pinggiran pantai.
Adapun aturan main yang harus dipatuhi oleh masyarakat lokal adalah eha ,
atau larangan menangkap ikan dan hasil laut lainnya bagi masyarakat lokal dan
orang luar di daerah yang akan menjadi tempat pelaksanaan tradisi tersebut. Lokasi
eha ditentukan berdasarkan musyawarah adat. Dimana lokasinya setiap tahun
berpindah tempat dan diberlakukan enam bulan sebelum tradisi tersebut.
Masyarakat yang melanggar ketentuan ini dikenakan sanksi adat atau moral dan
membayar sejumlah uang denda kepada lembaga adat desa setempat.
Kearifan lokal yang lain juga ada dan masih berlaku di Maluku, yaitu sistem
Sasi dimana berupa larangan memanen atau mengambil sesuatu dari alam untuk
waktu tertentu. Sasi ikan lompa di Pulau Haruku dan Ambon sangat terkenal sebagai
salah satu acara tahunan yang unik bagi masyarakat lokal. Hal ini menunjukkan
salah satu bentuk kearifan lokal dalam menjaga kelestarian lingkungan. Dengan
ditetapkannya Sasi atas spesies tertentu dan di wilayah tertentu oleh Kewang, yaitu
semacam polisi adat di Maluku Tengah, maka siapapun tidak berhak untuk
mengambil spesies tersebut. Ketentuan ini sebenarnya memberi kesempatan
kepada ikan lompa untuk berkembang biak dan tumbuh, yang kemudian dapat
dipanen ketika Sasi dibuka kembali.
38
Berbagai hukum adat yang berada pada setiap daerah khususnya terkait
dengan masalah sumberdaya perikanan, sebaiknya disosialisasikan secara
berkesinambungan. Hal ini dikarenakan banyak sistem kearifan lokal yang
sebetulnya sesuai dengan pengelolaan sumberdaya perikanan secara lestari.
Disamping telah diberlakukan penangkapan spesies tertentu pada wilayah tertentu
(Closing area) dan dalam waktu tertentu (Closing time), juga selalu ditegaskan
bahwa untuk menangkap spesies ikan tidak diperkenankan menggunakan bahan
atau alat yang dapat merusak ekosistem lingkungan.
Dari deskripsi diatas menjadi sangat jelas, bahwa ada kearifan lokal dalam
bidang perikanan yang sudah menerapkan cara-cara penangkapan yang ramah
lingkungan (Enviromental friendly), sehingga pemanfaatan sumberdaya perikanan
terumbu karang yang berkelanjutan. Jelas kearifan lokal tersebut menjadi penting
untuk disosialisasikan dan dipelajari sehingga dapat diadopsi untuk kelestarian
sumberdaya perikanan lain di wilayah lain, di Indonesia khususnya dan seluruh
dunia pada umumnya. Maka tindakan yang bisa dilakukan adalah :
1. Pengelolaan ekosistem terumbu karang bukan hanya tanggung
jawab pemerintah tetapi juga para tokoh agama lokal untuk dapat
memberikan penyuluhan tentang pentingnya menumbuhkan sifat kearifan
lokal dalam kitab suci al-Qur’an terutama pembahasan tentang Q.S. ARRuum :41 dalam khutbah Jum’at.
2. Pengelolaan ekosistem terumbu karang berdasarkan kearifan lokal
bertujuan mengikutsertakan masyarakat lokal, bukan hanya sebagai obyek
tetapi sebagai pengelola dengan memandang kepentingan baik secara
ekologis, ekonomis, dan sosbud, seperti dicontohkan oleh masyarakat pesisir
Jemluk, Bali.
39
3. Upaya konservasi dan pengelolaan yang dilakukan berdasarkan
kearifan lokal, seperti tradisi Mane’e dan Sasi merupakan sistem kearifan
lokal yang perlu dipertahankan dan dilestarikan, agar manfaat ekonomi
menjadi berkelanjutan tanpa harus merusak terumbu karang sebagai salah
satu sumberdaya perikanan.
Hendaknya ada kerjasama antara pemerintah dan masyarakat lokal,
terutama tokoh agama dalam menjalankan policy agar pembangunan berkelanjutan
yang mengutamakan kelestarian sumberdaya alam.
Kearifan lokal seperti tradisi Mane’e dan Sasi tersebut sebaiknya dilegitimasi
sehingga keberadaannya dapat terus dipertahankan dan dilestarikan, bagi
kepentingan masyarakat lokal, juga bagi kepentingan ilmu pengetahuan serta bagi
pengelolaan sumberdaya perikanan yang lestari dan berkelanjutan (Sustainable).
2.7. Kearifan Lokal Pada Pengelolaan Perikanan Berdasarkan Sosial
Dalam kitab suci Al-Qur’an Allah telah menginformasikan bahwa manusia
sebagai subyek utama terjadinya kerusakan di dunia, yaitu : ” Telah nampak
kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia ,
supaya ALLAH merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan
mereka, agar mereka (kembali ke jalan yang benar). (Q.S. AR RUUM : 41),sehingga
perlu pencerahan bagi manusia untuk bisa bertindak arif dan bijaksana dalam
mengelola alam, dimana pada ujungnya akan memberikan suatu adat kebiasaan
sebagai kearifan lokal (Primyastanto. M, et al, 2010).
Permasalahan envorontment atau lingkungan hidup menjadi keniscayaan
dunia sejak abad ke XX . Hal ini sebagai wujud kesadaran manusia akan arti
pentingnya pemasalahan environtment atau lingkungan hidup sebagaimana telah
40
dideklarasikan oleh Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) yang dihadiri 131 negara pada
tahun 1972 di Stocholm Swedia. Dimana pada intinya menyatakan bahwa
perlindungan dan perbaikan environtment merupakan permasalahan global untuk
menyelamatkan umat manusia sehingga setiap Negara dan pemerintah wajib
memperhatikannya.
2.8. Kearifan Lokal Pada Pengelolaan Perikanan Berdasarkan Hukum
Konsep system kearifan local berakar dari system pengetahuan dan
pengelolaan masyarakat adat.Hal ini dikarenakan kedekatan hubungan mereka
dengan lingkungan dan sumberdaya alam. Melalui proses interaksi dan adaptasi
dengan lingkungan dan sumberdaya alam yang panjang, masyarakat adat mampu
mengembangkan cara untuk mempertahankan hidup dengan menciptakan system
nilai, pola hidup, system kelembagaan dan hokum yang selaras dengan kondisi
serta ketersediaan sumberdaya alam disekitar daerah yang ditinggalinya (Syafa’at,
2005).
Menurut Mitchell, et.al., (2000) bahwa pada awalnya, masyarakat adat tidak
selalu hidup harmoni dengan alam. Mereka juga menyebabkan kerusakan
lingkungan. Pada saat yang sama, karena kehidupan mereka tergantung pada
dipertahankannya integritas ekosistem tempat mereka mendapatkan makanan dan
rumah, kesalahan besarnya biasanya tidak akan terulang. Pemahaman mereka
tentang system alam yang terakumulasi biasanya diwariskan secara lisan, serta
tidak dapat dijelaskan melalui istilah-istilah ilmiah.
Keberadaan dan peranan masyarakat adat dalam system pengelolaan
sumberdaya alam secara berkelanjutan belum mendapat perhatian dan tempat
41
dalam system perencanaan pembangunan dan pemanfaatan sumberdaya alam
Nasionanl.Percepatan
pembangunan
ternyata
telah
menyebabkan
banyak
kelompok-kelompok masyarakat adat kehilangan akses atas sumberdaya alam
berupa hutan, pesisir dan lautan serta tanah yang pada gilirannya juga
menghancurkan kelembagaan dan hokum masyarakat adat setempat. Hal ini dapat
terjadi karena dalam proses perencanaan dan peruntukan tanah, hutan, pesisir dan
lautan oleh pemerintah, masyarakat adat tidak dilibatkan dalam pengambilan
keputusan ( Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, 1999, Koentjaraningrat dkk.,1993;
dan Kusumaatmadja,1993).
Masyarakat adat dimaksudkan sebagai kelompok masyarakat yang memiliki
asal-usul leluhur (secara turun temurun) di wilayah geografis tertentu serta memiliki
system nialai, idiologi, politik, ekonomi, budaya, social, dan wilayah sendiri.
Pengertian ini sesuai dengan Konvensi Internasional Labour Organization (ILO)
Nomor 169 Tahun 1969 Pasal I ( 1.b) yang isinya sebagai berikut, “ Tribal Peoples
adalah mereka yang berdiam di Negara-negara merdeka dimana kondisi-kondisi
social, budaya dan ekonominya membedakan mereka dari masyarakat lainnya di
Negara tersebut. ( Syafa’at, 2005).
Berbagai pengetahuan dan kearifan local milik masyarakat adat telah banyak
hilang.Pengetahuan, pemahaman dan penguasaan masyarakat adat atas system
konservasi ekologi serta kekayaan alamnya telah dihancurkan oleh kebijakankebijakan yang memaksakan keseragaman kehidupan social budaya. Pengetahuan
dan kearifan local dalam pengelolaan sumberdaya alam yang dimilki oleh
masyarakat adat, seperti : system hera pada masyarakat Dani di lembah Baliem,
system sasi pada masyarakat Adat Negeri Haruku, system perladangan berotasi
pada masyarakat adat Dayak Benuaq tidak diakui eksistensinya dalam system
42
budaya yang disebut modern dan mengedapankan pasar. Oleh karena itu, dalam
rangka mewujudkan pemerintahan yang mampu membentuk hokum yang baik, yang
menghargai dan mengakui serta mengakomodasikan akses, kepentingan dan hakhak serta kearifan local yang ada di masyarkat adat, maka harus dianut idiologi
pluralism hukim ( legal Pluralism) dalam pembangunan politik hokum otonomi
daerah, dengan memberikan ruang bagi prinsip keadilan, demokrasi, partisipasi,
transparansi, penghargaan dan pengakuan atas kearifan local ( Nurjaya, 2004).
Pengakuan kearifan lokal juga mengimplementasikan hukum-hukum yang
ada didalam Agama, sebagaimana yang dilakukan di negeri China sebagai berikut
:In-depth analyses show that people’s conciousnessof ecological conservation was
derived from the edification of kinds of ancient eco-ethical wisdom, such as
totemism, nature worship, Zhou Yi, Taoism, Buddhism, Confucianism, Mohism, etc.
(Maolin Li, et.al, 2010).
2.9. Kearifan Lokal yang Berlaku di Beberapa Daerah di Indonesia
Berdasarkan beberapa kajian studi pada masyarakat adat yang ada di
Indonesia menunjukkan bahwa masyarakat tradisional mampu memelihara dan
menjaga kearifan local dalam upaya pengelolaan sumberdaya alam agar lestari,
yaitu : tradisi lebak lebung (Sumatera Selatan), tradisi adat laot (Nangroe Aceh
Darussalam), tradisi sasi (Maluku), tradisi pamali mamanci ikang (Maluku Utara),
tradsi ponggawa sawi (Sulawesi Selatan), dan tradisi awig-awig (Nusatenggara
Barat).
Tradisi masyarakat adat tersebut telah diwarisi secara turn temurun,
faktannya menunjukkan bahwa nilai tradisi kearifan local tersebut telah menjadi
43
hokum bagi masyarakat dan berdampak efektif dalam pengelolaan sumberdaya
perikanan sekaligus menjaga pelestarian ekosistem yang ada .
2.10. Kearifan Lokal Yang Berlaku di Masyarakat Nelayan Selat Madura
Kegiatan nelayan adalah kegiatan yang beresiko tinggi. Ini tidak hanya
menyangkut besarnya modal yang dipertaruhkan dan pencarian keuntungan yang
spekulatif, tetapi juga berkaitan dengan keselamatan jiwa. Gangguan alam yang
datang setiap sa’at, seperti ombak dan angin yang besar, adalah hal-hal yang dapat
mengancam keselamatan nelayan. Ada dua hal yang selalu menjadi pusat perhatian
nelayan ketika perahu sedang beroperasi yaitu nasalah keselamatan jiwa dan
perolehan
rezeki
atau
keberutungan.
Mereka
berharap
keselamatan
dan
keberutungan dapat berpihak kepada dirinya sekaligus ( Kusnadi, 2005).
Menurut masyarakat nelayan penguasa laut di Selat Madura adalah Nabi
Khidir a.s. Upacara Petik Laut yang dilaksanakan nelayan pesisir setiap tahun
menjelang musim ikan adalah untuk menghormati Nabi Khidir a.s. Dengan
melakukan kegiatan ritual ini, nelayan meminta keselamatan selama melaut dan
agar diberi rezeki hasil tangkapan yang berlimpah. Nabi Khidir a.s. diyakini dapat
menampakkan diri ditengah laut dengan busana dan surban serba putih. Kendatipun
demikian, tidak mudah bagi nelayan untuk dapat menyaksikan peristiwa demikian
karena hal ini merupakan petunjuk keberuntungan. Persepsi bahwa Nabi Khidir a.s.
adalah penguasa laut, juga ditemukan di masyarakat nelayan Pantai Utara Pulau
Madura (Kusnadi, 1992).
Masyarakat nelayan pesisir juga ada kebiasaan tradisi nyabis kepada kyai ,
yaitu mendatangi kyai untuk meminta barokahnya . Nelayan atau pedagang ikan
yang memiliki kemampuan ekonomi akan bersilaturrahmi kepada kyai menurut
44
seorang informan , jika orenga atau jhuragan mendatangi seorang kyai, berarti dia,
awak perahu, dan perahunya telah memperoleh jaminan kepastian keselamatan
kerja, sedangkan masalah penghasilan dianggap sepenuhnya sebagai urusan
Tuhan Yang Maha Esa. Nelayan pesisir juga membedakan pengertian kyai dalam
tiga versi :
1. Kyai besar (Kyae raje), yakni kyai atau ulama besar pemilik pondok
pesantren yang berpengaruh (kharismatik).
2. Kyai kecil (Kyae kene’), yakni kyai atau ulama pemilik pondok
pesantren yang kurang berpengaruh.
3. Kyai kampung (Kyae kampong) atau kyai langgar, yakni guru mengaji
Al-Qur’an di langgar-langgar atau mushollah kampung (Niehoef, 1988
: 133 dalam Kusnadi, 2005).
Kearifan lokal yang terkait dengan pembuatan perahu, yaitu adanya upacara
ritual. Menurut Horridge (1986), rangkaian upacara pembuatan perahu di Madura,
Sulawesi dan Bali dimaksudkan agar perahu memilki”spirit hidup” dan kekuatan
magis sehingga terhindar dari segala bahaya ketika sedang melaut. Pada umumnya
upacara ritual atau selamatan perahu tradisional Madura meliputi tiga tahap, yaitu
upacara makabin lengghi,upacara serah terima perahu, dan upacara peluncuran
perahu yang pertama kali ke tengah laut (Irawan, 1982). Menurut nelayan kegiatan
upacara ritual tersebut tidak hanya dimaksudkan untuk memperoleh keselamatan,
tetapi juga agar perahu dapat memperoleh hasil tangkap yang baik setiap kali
melaut sehingga penghasilan nelayan juga ikut membaik.
Kearifan lokal yang terkait dengan sistem bagi hasil, dimana hal itu adalah
sistem yang mengatur pembagian hasil tangkapan antara pemilik dan pekerja atau
orenga dan pandhiga atas dasar norma-norma yang berlaku. Dengan persepsi
45
bahwa perahu sebagai satu unit produksi, sistem bagi hasil yang berlaku berbedabeda karena tingkat kebutuhan akan jumlah pandhiga yang diperlukan, spesialisasi
pekerjaan, dan biaya operasi atau pemeliharaannya. Sistem bagi hasil pada perahu
sleret relatif lebih kompleks. Pada umumnya sistem bagi hasil pada perahu sleret
adalah sistem bagi tiga (telon) dengan perincian satu bagian untuk orenga dan dua
bagian untuk pandhiga. Dan ada juga yang menggunakan sistem bagi hasil dua
(maron), yaitu : satu bagian untuk masing-masing .
Kearifan lokal lain yang berkaitan dengan penangkapan bila sedang tidak
musim ikan ( sobung lak-kalakan se sae ) nelayan akan melakukan andun (migrasi
musiman) ke berbagai daerah yang sekiranya dapat memberikan penghasilan.
Daerah tujuan andun paling timur adalah pantai Pondok Mimbo (Situbondo Timur),
paling Barat adalah perairan Pantai Lekok (Pasuruan) dan paling Utara adalah
perairan pantai Selatan Pulau Madura. Ketika andun kedaerah-daerah tersebut,
mereka membawa perahu masing-masing. Jika andun dilakukan secara individu
tanpa membawa perahu, secara umum mereka menuju Muncar, Banyuwangi untuk
bekerja pada unit-unit penangkapan yang ada di daerah tersebut seperti yang juga
terjadi di Bantigue, Filipina (Illo dan Pollo, 1990). Sebaliknya apabila di Pesisir
sedang musim ikan atau ada penghasilan yang baik (badha lak-kalakan se sae)
daerah ini akan menjadi tujuan andun nelayan dari Tuban, Madura, Lekok, Pulau
Gili Ketapang dan daerah sekitarnya ( Kusnadi, 1997a).
Pangamba’ sebagai salah satu bentuk kearifan lokal yang ada pada
msyarakat
nelayan.
Menurut
Firth
(1946)
dalam
Kusnadi (2005).,
selain
menyediakan pinjaman modal usaha kepada para nelayan, tugas utama pedagang
perantara (pangamba’) adalah menyelenggarakan kegiatan pasar secara terus
menerus agar ikan tetap tersedia untuk konsumen dan menyelamatkan harga ikan
46
ketika hasil tangkapan nelayan sedikit atau berlimpah. Pedagang Perantara yang
menjualkan hasil tangkapan ikan dikalangan nelayan Madura disebut pangamba’
(Jordan dan Niehof, 1982).
Pada umumnya , baik pemilik perahu ataupun pandhiga, memiliki pinjaman
ikatan dengan pangamba’. Besarnya pinjaman ikatan yang diberikan kepada
nelayan antara orenga dan pandhiga berbeda-beda, sekalipun yang diharapkan dari
mereka itu sama, yaitu hasil tangkapan ikan. Perkiraan besar kecilnya pinjaman
ikatan antara orenga dan pandhiga itu muncul karena pangamba’ memperhitungkan
potensi sumberdaya ekonomi yang dimiliki oleh kedua belah pihak.
1. Orenga adalah pemilik alat-alat produksi untuk menangkap ikan. Dengan
demikian, sumber daya ekonomis yang dimilkinya juga besar. Berkaitan
dengan hal itu, sistem bagian hasil yang berlaku di Pesisir memberikan
bagian (sara’an) yang lebih besar kepada orenga daripada pandhiga
secara perorangan. Jika bagian hasil yang diterima orenga cukup besar,
berarti keuntungan yang diterima oleh pangamba’ juga cukup besar.
2. Pandhiga adalah nelayan buruh yang hanya memiliki sumberdaya jasa
tenaga, dan dimanfaatkan untuk bekerja sebagai buruh pada pemilik
perahu. Dalam sistem pembagian yang berlaku, misalnya sistem
telonatau maron, maka pandhiga secara keseluruhan memperoleh
jumlah hasil yang banyak. Akan tetapi, jika bagian itu dibagi lagi per
orang, hasil yang didapat tidak begitu besar.
Kearifan lokal dalam hal untuk memudahkan kegiatan penangkapan di
tengah laut, sebagian nelayan memasang sarang ikan atau onjhemdidalam laut
untuk daerah lain sering disebut dengan rumpon. Menurut Kusnadi (2005). Sarang
ikan atau onjhem dibuat dari daun pohon kelapa yang masih utuh, batangan
47
bambu, dan batu pemberat yang disusun sedemikian rupa, sarang ikan ini akan
menjadi tempat berkumpul dan bertelur ikan sehingga dapat membantu nelayan
untuk menjaringnya.
Kontrak kerja dalam merekrut pandhiga termasuk juga satu kearifan lokal
pada masyarakat nelayan, biasanya disebut dengan pemberian pinjaman ikatan
oleh pemilik perahu (orenga). Tujuannya adalah memotivasi pandhiga untuk terus
bekerja di tempat itu atau terikat kerja pada pemilik perahu. Maksud lainnya, agar
nelayan memiliki disiplin dan aktif bekerja, sehingga tidak mudah untuk berpindah
kerja antar perahu.
2.11. MODEL EKONOMI RUMAHTANGGA
Konsep inti teori Chayanov dalam menganalisis ekonomi keluarga adalah
keseimbangan antara konsumen dan buruh dalam keluarga, yaitu ditunjukkan rasio
antara jumlah yang mengkonsumsi(C) dan
yang bekerja mendapat gaji ( W )
dalam keluarga tersebut ( C/ W ). Jika jumlah tanggungan meningkat, maka rasio
C/W akan meningkat pula. Untuk menurunkan rasio tersebut, berarti harus
menambah jumlah jam atau hari kerja keluarga yang bekerja, selain itu juga dapat
menambah jumlah anggota keluarga yang ikut bekerja.Dalam penelitian ini
mengajukan perempuan tani dalam keluarga tani tersebut ikut bekerja, supaya rasio
C / W menurun. Berarti akan meningkatkan pendapatan dalam rumah tangga petani
untuk memenuhi kebutuhan konsumsi mereka.
Teori Chayanov tentang perilaku rumah tangga petani, dapat digambarkan
dalam ilustrasi berikut (Gambar 2)
48
Y (output/Pendapatan)
I1
Ye
Keterangan :
I2
TVP
A
Y = pendapatan kotor( uang )
X = waktu(jam kerja buruh)
0 L = jumlah jam kerja
L  0 = waktu kegiatan lain
Ymin
TVP = Total Variabel Produksi
0
Le
Lmax
L (Buruh)
Gambar 2..Perilaku Rumah Tangga Petani
TVP dapat dikatakan sebagai pendapatan keluarga, yang menggambarkan
fungsi produksi , yaitu :
Y = Py. F ( L ) . Sedangkan fungsi konsumsi digambarkan
dalam bentuk kurva indiffernce( I1 dan I2 ) dengan fungsi utility , yaitu : U=f(Y,H),
berarti terjadi pilihan antara bekerja(Y) dan bersenang-senang(H). Sehingga rumah
tangga petani harus pada posisi Ymin, artinya tingkat pendapatan untuk bertahan
hidup. Kemudian untuk mencapai Y max , petani akan mencurahkan waktu bekerja
maximum (Lmax), berarti akan mengorbankan waktu bersenang-senang. Untuk
dapat mencapai posisi keseimbangan pada Ye dan Le di titik A, berarti selain
waktunya digunakan untuk bekerja juga untuk bersenang-senang. Dengan demikian
titik A menunjukkan MVPL ( Marginal Product of Labor) merupakan persamaan
(dY/dH), selanjutnya dapat dibuat kesimpulan bahwa : MUH MUY = dY/dH = MVPL ,
Teori mikroekonomi perilaku rumah tangga petani dalam model Chayanov adalah
memaximumkan utility dengan tiga constraints yaitu meliputi: fungsi produksi, tingkat
pendapatan minimum dan jumlah hari kerja maksimum yang tersedia.
Di Sri Lanka, karakteristik ekonomi keluarga petani sesuai dengan model
Chayanov, contohnya keluarga yang berdasarkan buruh, keseimbangan konsumen
49
buruh, pola siklus keluarga petani, aktifitas ekonomi dan tingkat optimum pekerja.
Akan tetapi meskipun karakteristik dasarnya sesuai dengan model Chayanov,
karakteristik tersebut membawa beban yang lebih ringan untuk alasan-alasan
selanjutnya. (1) Di Sri Lanka, buruh bayaran pedesaan memerankan peran penting,
(2) Model keseimbangan konsumen buruh Chayanov tidak bisa diterapkan pada
penduduk keluarga petani Sri Lanka karena rumah tangga petani tersebut tidak
hanya memiliki kebutuhan dasar tapi juga tingkat kebutuhan kompleks yang luas.
Dengan begitu mereka tidak berada dalam posisi untuk menyeimbangkan buruh dan
konsumen dengan mengguna-kan kesenangan. Sebagai gantinya, mereka akan
mencari kerja baik didalam maupun diluar pertanian. (3) Seperti yang Chayanov
sebutkan, pola siklus keluarga petani tidaklah umum karena kebanyakan penduduk
sekarang ini mencari pekerjaan sektor industri karena masalah yang terus-menerus
dalam sektor pertanian. (3) Alokasi dari tingkat optimum buruh tidak bisa diterapkan
terhadap penduduk Sri Lanka karena kelebihan buruh pada pasar buruh pedesaan
dan inovasi teknis( Thilakarathne & Yanagita,1996).
Definisi petani menurut Chayanov memiliki kesamaan dengan definisi petani
pemegang hak ,berdasarkan deklarasi Hak Asasi Petani- Perempuan dan Laki-laki,
pasal 1 menyatakan : Seorang petani ialah laki-laki atau perempuan yang memiliki
hubungan langsung dan khusus dengan tanah dan alam melalui produksi pangan
dan/atau hasil pertanian lainnya. Para petani penggarap tanah sendiri terutama
mengandalkan tenaga kerja dari keluarga dan pengorganisasian tenaga kerja
berskala kecil lainnya.Petani secara tradisional melekat erat di dalam komunitas
lokal mereka dan mereka merawat bentangan lokal dan dengan sistem
agroekologi.Istilah petani dapat diterapkan kepada siapapun yang berhubungan
dengan pertnian, peternakan, penggembalaan, kerajinan tangan atau pekerjaan-
50
pekerjaan terkait di wilayah pedesaan, termasuk juga masyarakat adat yang
mengolah lahan.Istilah petani juga dapat diterapkan kepada masyarakat tak
bertanah. Menurut FAO (1984) definisi (1) kategori orang-orang berikut ini
dipertimbangkan sebagai tak
bertanah
dan memilki kecenderungan
untuk
menghadapi kesulitan dalam penghidupan mereka :
1. Rumah tangga pekerja pertanian/buruh tani dengan sedikit lahan atau tanpa
lahan sama sekali;
2. Rumah tangga non-pertanian di wilayah pedesaan, dengan kepemilikan kecil
lahan atau tanpa lahan sama sekali yang para anggota kelurganya terlibat
dalam berbagai kegiatan seperti menangkap ikan, membuat kerajinan tangan
untuk pasar local, atau menyediakan jasa;
3. Rumah tangga pedesaan lainnya seperti rumah tangga penggembala,
masyarakat nomaden/berpindah, petani yang berpindah setiap panen,
pemburu dan peramu, dan orang-orang dengan penghidupan yang serupa.
“.......Sebagian besar permasahan perikanan (tangkap dan kelautan) adalah sangat
komplek, yaitu mencakup dimensi sosial-politok-ekonomi dan biologi. Juga
kita
saksikan sering terjadi kompleksitas pada skala yang terbatas. Akibatnya, rencana
pengelolaan yang hanya didasarkan pada informasi bio-ekologis saja bisa gagal,
jika tekanan penangkapan tidak terkendali karena kendala politik dan ekonomi.
Demikian juga kebijakan ekonomi bisa saja gagal, jika
tidak bersamaan kita
memperhatikan komponen bio-ekologis. Singkatnya, bahwa perikanan (tangkap
dan kelautan) merupakan sistem dinamikdengan banyak komponen yang saling
berinteraksi. (Walter, 1980 dari Charles, 2001) dalam Muhammad, S. (2011).
51
Dalam proses analisis kebijakan, untuk memecahkan permasalahan
pembangunan kelautan dan perikanan langkah yang
ditempuh menggunakan
pendekatan sistem.
A. Sistem Lingkungan Kelautan Dan Perikanan
Jika kita kaitkan dengan “Tujuan Pembangunan Perikanan Berkelanjutan”
maka keduanya, yaitu “bio-ekologi” perikanan adalah sangat terkait dengtan aspek
“ekonomi-politik” pada
“Pengelolaan
Berkelanjutan”. Tulisan ini mengacu pada
premis bahwa pengelolaan sumberdaya perikanan berkelanjutan (dan ada kaitan
dengan ketahanan cadangan
sumberdaya ikan) mencakup keterkaitan berbagai
aspek dalam demensi yang sangat luas sebagai suatu “sistem” yang berinteraksi
dan terkait antar komponen ekologi, biologi, ekonomi, sosial dan budaya. Dengan
dasar premis tersebut maka muncullah satu pendekatan baru dalam pengelolaan
sumberdaya perikanan yang kita kenal dengan pendekatan “Bio-Ekonomi”.
Pendekatan
misalnya pertanyaan
ini mungkin
mengundang sejumlah pertanyaan, seperti
apa yang dimasud dengan
keberlanjutan cadangan
sumberdaya perikanan dan kenapa penting ?. Juga pertanyaan lain seperti apa
makna sumberdaya ikan yang memiliki daya tahan secara berkelanjutan tersebut
bagi kesejahteraan manusia ?. Secara lebih mendalam, dapat juga diajukan
pertanyaan tentang apa “sistem perikanan tangkap’ yang dimaksud dan bagaimana
perspektif
sistem tersebut kaitannya dengan keberlanjutan dan kelestarian
cadangan ikan ?. Dan banyak pertanyaan lain yang dapat kita ajukan, seperti
bagaimana bentuk keterkaitan antar komponen, dinamika sistem keterkaitan dan lain
sebagainya. Berikut ini akan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut
52
dan menguraikannya
agak singkat dalam
tahapan pengantar untuk memacu
pendekatan sistem dalam setiap analisisi kebijakan pengelolaan sumberdaya
perikanan dan kelautan. Berikut penjelasan singkat untuk membangkitkan diskusi
lebih lanjut..
Pertama
:
persoalan
berkelanjutan,
kenapa
penting
?.
Masalah
keberlanjutan baik pada perikanan budidaya maupun perikanan tangkap
pada
beberapa dekade ini telah menjadi bahasan utama bahkan telah mendominasi
semua sektor aktifitas ekonomi dunia yang semakin memberikan tekanan
pembangunan berkelanjutan yang dapat memenuhi kebutuhan manusia saat ini dan
juga untuk waktu yang akan datang. Konsep tersebut juga telah
pembahasan
pengelolaan
sumberdaya
alam,
seperti
perikanan,
memasuki
kelautan,
kehutanan dan lain sebagainya, bahwa pemanfaatan sumberdaya alam, baik yang
dapat diperbaharui maupun yang tidak dapat diperbaharui tidak hanya untuk tujuan
pemenuhan kebutuhan
jangka pendek, tapi juga untuk memenuhi kebutuhan
manusia pada tingkat output
yang dapat dipertahankan dalam jangka panjang.
Disamping itu, pendekatan pembangunan berkelanjutan saat ini telah bergeser yang
pada awalnya menekankan pada “output berkelanjutan” kemudian meningkat ke
tingkat pemikiran yang lebih terpadu dalam banyak tingkatan pengelolaan, yaitu
semakin menekankan juga pada “proses” yang berkelanjutan.
Pembahasan tentang keberlanjutan sumberdaya ikan saat ini masih hangat
dibicarakan dan menunjukkan
catatan
kenyataan yang diluar dugaan, bahwa beberapa
penting berkenaan dengan keberlanjutan sumberdaya ikan dunia, juga
dalam lingkup luas berkenaan dengan pembangunan berkelanjutan, banyak
cadangan ikan maupun budidaya ikan di berbagai kawasan dunia memang telah
menunjukkan penutunan cadangan ikan dan peningkatan ancaman pada budidaya
53
ikan berkelanjutan yang memerlukan perhatian sangat mendesak. Banyak lembaga
dunia dan peneliti (OECD, 1997; Granger and Garcia, 1996) menaruh perhatian
serius terhadap krisis cadangan ikan di laut
dan
menawarkan strategi untuk
menyebar-luaskan pengelolaan sumberdaya perikanan berkelanjutan tersebut.
Sebagai contoh, ada permasalahan mendasar berkenaan dengan kondisi
sumberdaya alam dunia, seperti yang dinyatakan oleh FAO sebagai berikut
(Charles, 2001) : “...sekitar 35% dari 200 pusat cadangan ikan dunia telah
menunjukkan penurunan hasil tangkapan, sekitar 25% pada tahapan tereksploitasi
penuh (“mature”) dan sekitarv 40% berada pada tapan perkembangan, hanya 9%
yang berada pada tahapan
“mulai” dieksploitasi (underdeveloped level). Ini
menunjukkan hampir 68% cadangan ikan dunia telah berada pada tahap terkuras
penuh dan berlebih. Kesimpulan
yang dibuat oleh
Granger dan Garcia (1996)
adalah sekitar 44% “over-exploited”, 16% terekploitasi penuh, 6% deplesi dan 3%
mulai pulih. Ini berarti sekitar 69% memerlukan pengelolaan sangat mendesak”.
Kedua, perlu mendapat perhatian, bahwa keberlanjutan sumberdaya ikan
dunia ternyata tidak hanya berkenaan dengan masalah cadangan ikan (biomassa),
tapi ternyata..juga terkait dengan keberlanjutan keseluruhan aspek, mulai dari aspek
ekosistem, sosial dan struktur ekonomi, juga aspek komunitas perikanan dan
kelembagaannya, termasuk hasil kerja para penelitinya. Ini berarti persoalan
keberlanjutan cadangan ikan memerlukan perhatian bukan hanya persoalan hasil
tangkapan ataupun budidayanya, tapi keberlanjutan sumberdaya perikanan juga
menyangkut persoalan yang kita lihat dari sudut pandang komprehensif terkait satu
sama lain untuk mempertahankan empat komponen keberlanjutan (sustainabilitas)
sebagai berikut :
54
(1)
Keberlanjutan ekologis (ecological sustainability), yaitu berkenaan dengan
keberlanjutan panen, ikan, mempertahankan cadangan sumberdaya ikan dan
yang terkait, juga
mempertahankan ketahanan
ikan sebagai sasaran
budidaya dan tangkapan termasuk ekosistem secara keseluruhan.
(2) Keberlanjutan sosial-ekonomi (socioeconomic sustainability) , yaitu berkenaan
dengan keberlanjutan untuk mempertahankan kesejahteraan sosial-ekonomi
masyarakat secara makro termasuk keberlanjutan keuntungan, pemerataan
dan distribusi kesejahteraan, termasuk mempertahankan keseluruhan sistem
ekonomi yang terkait.
(3)
Keberlanjutan komunitas/ masyarakat perikanan (community sustainability),
yaitu menekankan pada penguatan komunitas (kelompok) masyarakat dalam
meningkatkan
dan mempertahankan kondisi ekonomi dan sosial-budaya
masyarakat yang kohesif secara keseluruhan, dan dalam
jangka panjang
mampu menjaga keutuhan sistem sosial-budaya secara sehat.
(4)
Keberlanjutan kelembagaan (institutional sustainability), yaitu menekankan
pada penguatan lembaga finansial yang susuai, kemampuan organisasi dan
pengelolaan dalam jangka panjang,
dalam arti kelembagaan untuk
pengelolaan sumberdaya perikanan dalam jangka panjang terjamin.
Keberadaan kelembagaan dimaksudkan berbagai bentuk organisasi dimana
masyarakat saling berinteraksi dan melakukan pengelolaan seperti Departemen
Perikanan dan Kelautan, organisasi / koperasi nelayan
yang memiliki sejumlah
aturan yang menghasilkan berbagai “norma” untuk mengatur perilaku masyarakat
perikanan. Contoh
bentuk kelembagaan yang dimaksud seperti
pasar-Tempat
Pelelangan Ikan (TPI), sistem peraturan/ Undang-Undang, dan lainnya. Organisasi
tersebut dimanifestasikan dalam bentuk kelembagaan yang melakukan kegiatan
55
agar aturan dan norma diterima oleh masyarakat nelayan
dalam
mengatur
pengelolaan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan.
Sementara keberlanjutan sumberdaya ikan teramat penting, dan lebih
penting lagi adalah “ketahanan” (resiliency) species dan cadangan ikan itu sendiri
dalam menghadapi tekanan lingkungan maupun tindakan manusia sekitarnya.
Pengalaman punahnya cadangan ikan dan ancaman penyakit ikan budidaya pada
skala luas ternyata berkaitan dengan ketahanan spesien ikan tertentu dan
cadangan ikan tersebut. Ketahanan
adalah diperlukan untuk semua aspek
perikanan tangkap maupun budidaya. Ketahanan dibutuhkan
dalam aspek
kehidupan ikan, nelayan, infrastruktur pengelolaan dan ekosistem sumberdaya ikan.
Dalam hal ini, pengelolaan dan peran kebijakan menjadi pusat perhatian
dalam mengembangkan keberlanjutan dan ketahanan spesies ikan dan cadangan
sumberdaya ikan. Dalam kaitan ini, pembangunan perikanan tidak hanya
melindungi cadangan ikan, tapi lebih luas, yaitu mencakup semua aspek yang
berkaitan dengan sistem perikanan dan kelautan. Kita pasti tidak akan berhasil
menduga aspek ekologi, jika kita tidak melihat aspek sosial diluar batas cadangan
ikan tersebut, dan kita juga gagal melihat keberlanjutan komunitas jika kita hanya
melihat komunitas nelayan hanya sebagai penangkap atau pembudidaya ikan saja.
Ini berarti bahwa perhatian peneliti dalam kajian ilmu perikanan dan kelautan
ini dalam menyoroti pengembangan perikanan tangkap maupun budidaya adalah
menggunakan
“pendekatan
sistem” secara komprehensif
melihat perikanan
tangkap maupun budidaya sebagai suatu “sistem perikanan secara utuh”. Kajian ini
melihat ada saling keterkaitan pada “sistem perikanan tangkap” yang merupakan
interaksi antara komponen ekologis, bio-fisik, komponenen ekononomi, sosial dan
budaya masyarakat nelayan. Artinya kita tidak bisa melihat “cadangan ikan” terpisah
56
dari nelayan, terpisah dari pengolah ikan dan selanjutnya. Dengan perspektif
“sistem” harus dipadukan dengan kepentingan pengelolaan dan kebijakan dan
implimentasinya
keseluruh sistem. Pendekatan sistem tersebut menjadi kata kunci
untuk meraih keberhasilan pengelolaan sumberdaya ikan berkelanjutan. Pendekatan
“reduksionist” yang dilakukan oleh berbgai disiplin ilmu memang berguna, tapi tidak
mencukupi.
Dengan dasar rasional tersebut, maka fokus perhatian kajian ilmu perikanan
dan kelautan ini dalam
membangun perikanan adalah melihat pengelolaan
sumberdaya perikanan secara terpadu, misalnya kita melihat struktur, nature dan
dinamika sumberdaya ikan dari seluruh komponenen sistem perikanan tangkap
maupun budidaya. Gagasan pendekatan ini melihat perikanan dalam “satu pundipundi”, dan bagaimana mereka menyatu bersama-sama membentuk “sistem
perikanan” dengan pengorganisasian “Obyek Kesatuan Sistem” sebagai berikut :
1. Sistem Sumberdaya Perikanan
(a) Sumberdaya Ikan
(b) Ekosistem
(c) Lingkungan bio-fisik.
2. Sistem Sosial
(a) Nelayan/ Pembudidaya Ikan
(b) Sektor pasca-panan dan konsumen
(c) Rumahtangga Nelayan/ Pembudidaya Ikan dan komunitas
(d) Lingkungan sosial/ekonomi dan budaya.
3. Sistem Pengelolaan Sumberdaya Perikanan dan Budidaya Ikan
(a) Perencanaan dan kebijakan perikanan tangkap dan budidaya ikan
(b) Pengelolaan perikanan
57
(c) Pembangunan perikanan
(d) Penelitian perikanan tangkap dan budidaya ikan.
Pendekatan sistem menolak pendekatan penyederhanaan perikanan, sperti
: ikan di laut dan masyarakat nelayan di atas kapal”. Dan pendangan sebaliknya
yang melihat :”begitu banyak jenis ikan, begitu banyak tipe nelayan, dan begitu
banyak konflik” Memang benar sistem perikanan adalah kompleks Pendekatan
sistem dimaksudkan untuk melihat “gambaran besar dan unik” tentang sumberdaya
perikanan dan budidayanya untuk dipahami lebih baik dimana sekelompok nelayan
bekerja untuk membantu agar pengelolaan dan kebijakandapat bekerja “lebih baik”.
Tekanan tulisan ini untuk menyediakan cara pandang
pengelolaan dan
penelitian sumberdaya perikanan maupun budidaya ikan secara terpadu sebagai
refleksi implimentasi Agenda 21, sebuah dokumen yang dicanangkan pada United
Nation Conference on Environment and Development yang lebih dikenal sebagai
“Rio-Conference” (Borgese, 1995 dari Charles, 2001). Isi Agenda 21 disajikan pada
Box 1.
Box 1
Agenda 21. Pasal 17
Perlindungan lautan dan kawasan pesisir dan sumberdaya kehidupan didalamnya
A. Pengelolaan terpadu dan pembangunan berkelanjutan kawasan pesisir, termasuk
lautan Zone Ekonomi Eksklusive (ZEE).
B. Perlindungan lingkungan laut.
C. Konservasi dan penggunaan sumberdaya laut dalam secara berkelanjutan.
D. Konservasi
dan penggunaan sumberdaya
lautan
dibawah jurisdiksi nasional
secara berkelanjutan.
E. Mengusahakan diri untuk mengelola lingkungan lautan, ketidakpastian
perubahan iklim..
F. Memperkokoh kerjasama dan koordinasi internasional.
G. Pembangunan berkelanjutan pulau=pulau kecil.
dan
58
B. Gambaran Sistem Perikanan Tangkap
Sistem perikanan tangkap itu dapat disajikan secara grafis dan berbagai
komponen dan beberapa interaksi diantara komponen tersebut dalam gambar 3.
Ekosistem Natural
Sistem Managemen
Komunitas
Rencana &
Kebijakan
Managemen
SDI
Jenis Ikan
Habitat
Pembangun
an
Perikanan
Riset
Perikanan
Lingkungan Aquatik
Kekuatan Eksternal : msalnya pemerintah
Kekuatan Ekternal : misalnya perubahan iklim
Sistem Sosial
Juragan
Klp. Nelayan
(1)
Komunitas
(3)
R.T Nelayan
Klp. Teknologi
(2)
P
D
C
M
Pasca-Panen
R (4) W
Lingkungan Sosial-Ekonomi
Kekuatan eksternal : kebijakan makro ekonomi
Gambar 3. Struktur Sistem Perikanan (tiga sub-sistem)
59
Keterangan :
(1) Konflik pengguna SDI.
(2) Konflik alat tangkap ikan
(3) Interaksi sosial-ekonomi komunitas
(4) Jalur Pemasaran : (P = pengolah; D = distributor; M = pasar; W = pedagang
besar;). (R = pengecer; dan C = konsumen)
Gambar 3. Menunjukkan bahwa ada tiga kekuatan eksternal berpengaruh
dalam pengelolaan sistem perikanan berkelanjutan, yaitu
: perubahan iklim,
kebijakan pemerintah dan makro ekonomi, selanjutnya dapat digambarkan secara
bagan alir (flow chart) sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 4. Sistem perikanan
secara sederhana dapat digambarkan sebagai berikut : (1) Ikan di laut dan (2)
Armada penangkapan untuk menangkap ikan tersebut, yaitu berupa kapal
penangkap ikan (3) Hasil tangkap (panen ikan) diangkut ke darat dan dijual di (4)
pasar, sebagai suatu bentuk aktifitas ekonomi yang berlangsung dalam masyarakat
nelayan yang berlangsung turun temurun sebagai wujud usaha untuk mencari
karunia Tuhan sebagai pencipta, pemelihara dan pengatur rizki manusia dalam
kehidupan didunia ini.
Ikan sebagai sumber protein bagi kebutuhan manusia merupakan salah satu
karunia Tuhan sebagaimana tertera dalam al-Qur’an surah An-nahl ayat 14 : “ Dan
Dialah (ALLAH) yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan
daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu
perhiasan yang kamu pakai, dan kamu melihat bahtera (kapal) berlayar padanya,
dan supaya kamu mencari keuntungan dari karunia-Nya, dan supaya kamu
bersyukur ”.
60
IKAN
(1)
ARMADA
TANGKAP
(2)
PANEN
(HASIL TANGKAPAN)
(3)
PASAR
(4)
Gambar 4. Sistem Perikanan Tangkap (penyederhanaan)
Pada gambar 4. menampilkan sebuah penyederhanaan Sistem Perikanan
Tangkap yang menggambarkan tentang input (ikan dan armada penangkapan ikan)
dan output (panen). Selanjutnya mari kita bayangkan bahwa masing-masing input ,
yaitu cadangan ikan dan armada tangkap secara dinamis berubah sepanjang waktu
tergantung pada lingkungan internal masing-masing. Cadangan ikan dikendalikan
oleh proses reproduksi )recruitment) dan mortalitas. Armada tangkap dikenadalikan
oleh dinamika permodalan sebagai investasi yang dilakukan oleh nelayan juragan
berupa modal fisik kapal dan alat tangkap ikan, dan selanjutnya terjadi penyusutan
sepanjang waktu. Keduanya, yaitu dinamika populasi ikan dan dinamika modal
61
terkait dengan besarnya hasil tangkapan. Pada gambar 5 ditunjukkan suatu Sistem
Perikanan Tangkap lebih lengkap, sebagai berikut ini :
ARMADA
TANGKAP
IKAN
Dinamika Modal
-Investasi
-Penyusutan
Dinamika Populasi
- Recruitment
- Mortalitas
PANEN
(HASIL TANGKAPAN)
Kondisi Pasar
PASAR
Keuntungan
Gambar 5. Sistem Perikanan Tangkap (lebih lengkap)
Pasar
dan
armada
tangkap
berubah
secara
dinamik,
kemudian
mempengaruhi cadangan ikan dan keuntungan juragan (pengusaha). Sangat jelas,
bahwa hasil tangkap akan menurunkan cadangan ikan, sebaliknya, hasil panen di
jual di pasar memperoleh keuntungan yang dapat dipakai oleh nelayan melakukan
62
investasi baru sejalan dengan
variasi keuntungannya. Sementara variasi
keuntungan terkait dengan kondisi hasil tangkapan dan pasar.
..
LINGK. BIOFISIK
LINGK/SOSEK
RT. &KOMMUNITAS
Dinamika Modal
-Investasi
-Penyusutan
EKOSISTEM
ARMADA
TANGKAP
IKAN
NELAYAN
Dinamika Populasi
- Recruitment
- Mortalitas
Sistem
Ketenagakerjaan
PANEN
(HASIL TANGKAPAN)
Pasca-panen
PASAR
-
Kondisi Pasar
Keuntungan
Sosial
-Ekonomi
-Budaya
-Biodiversity
Gambar 6. Gambaran Sistem Perikanan Tangkap lebih kompleks
Masih ada lagi komponenen lain yang terkait dengan sistem perikanan
tangkap, yaitu
sistem sosial perikanan. Untuk diketahui bahwa diatas armada
63
terdapat ABK maupun para juragan yang berperan penting dalam sistem perikanan
tangkap. Sisi sosial ini sangat penting untuk lebih lengkap menggambarkan sistem
perikanan tangkap. Sistem perikanan tangkap
tidak hanya kita lihat pada inti
persoalan “ikan di laut”, dan armada tangkap saja, tapi juga “orang-orang yang
bekerja” di kapal dan atau
orang-orang yang bekerja yang terkait dengan hasil
tangkapan ikan tersebut , sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 6.
Tinjauan lebih luas seperti yang ditunjukkan pada Gambar 6, sistem
perikanan tangkap dimana kita melihat ikan sebagai makhluk hidup yang terkait
dengan ekosistem, yang berada dalam lingkungan bio-fisik perairan, dan nelayan
sebagai makhluk hidup dalam suatu rumahtangga suatu komunitas yang berada
dalam suatu lingkungan sosial-ekonomi yang lebih luas. Selanjutnya, panen ikan
memasuki legiatan pasca-panen yang mendistribusikan produk ke pasar, sehingga
akan dapat diperoleh tingkat keuntungan
produk ikan tersebut. Gambar 6
merupakan gambaran Sistem Perikanan Tangkap secara keseluruhan..
Gambar 3 - 6 menggambarkan Sistem Perikanan Tangkap dalam bentuk
bagan alir. Cara lain, gambaran tentang Sistem Perikanan Tangkap disajikan dalam
bentuk Matrik Perencanaan Strategis yang menyajikan Sistem Perikanan Tangkap
dalam bentuk sistem dengan cara menunjukkan komponen kunci Sistem Perikanan
Tangkap, unsur utama komponen struktur, aspek lingkungan ekologis, sosial dan
ekonomi terkait, tindakan atau pengaruh yang relevan sebagaimana ditunjukkan
pada Tabel 1. dimana Sistem Perikanan Tangkap disusun dalam tujuh kategorisasi
yang ditunjukkan pada kolom pertama, yaitu :
(1) Kategorisasi Pertama
: ikan dan ekosistem.
(2) Kategorisasi Kedua
: pengguna.
(3) Kategorisasi Ketiga
: pasca-panen dan konsumen.
64
(4) Kategorisasi Keempat
: lingkungan sosial-ekonomi dan komunitas.
(5) Kategorisasi Kelima
: pengelolaan perikanan.
(6) Kategorisasi Keenam
: kebutuhan pengelolaan dan pembangunan,
(7) Kategorisasi Ketujuh
: pengaruh luar yang utama
Tabel 1. Skema Perencanaan Strategis Beberapa Kategorisasi Sistem Perikanan
Tangkap dalam garis besar (Charles, 2001)
Ikan dan
Pantai
Lepas Pantai
Ekosistem
Beruaya dan
Habitat dan
Interaksi
Laut Dalam
Kualias
Ekologis
Lingk
Pengguna
Perikanan
Nelayan
Armada Industri
Joint-
Armada Asing
Subsisten
Artisenal
Pasca-panen
Pengolah
Pengolah
Marketing dan
Konsumen
dan Konsumen
tradisional
Industri
distribusi
Domestik
Lingk. Sosek
Organisasi
Kommunitas
Peran Wanita
Aspek
Aktifitas
dan Komunitas
dan
dan RT.
historis,
terkait dengan
Lembaga
Perikanan
kultur dan
perikanan
Ventura
Pasar Ekspor
legal
Pengelolaan
Tujuan dan
Pengelolaan
Pembangunan
Penelitian
Kebijakan
Perikanan
Kebijakan
dan Penegakan
Perikanan
pendugaan
Internasional
aturan
Kebutuhan
Penguatan
Pembangunan
Pengelolaan
Lembaga
SDM
stok
SIM dan IPTEK
dan
Struktur
Diversifikasi
Kelola yang
Usaha
Cocok
Ekonomi
Industri
Transportasi
Pembangunan
Pengaruh Luar
Marikultur
Agrikultur
Turisme
yang Utama
Dari ketujuh kategori pada Tabel 1, maka keenam kategori pertama (1 - 5)
dalam kerangka Sistem Perikanan Tangkap menunjukkan hal-hal sebagai berikut :
65
(1) Kategori pertama : berkenaan dengan komponen sistem sumberdaya ikan (SDI,
yaitu persoalan ikan dan ekosistemnya.
(2) Kategori kedua, krtiga dan keempat : berkenaan dengan persoalan sistem
sosial-ekonomi.
(3) Kategori kelima dan keenam : berkenaan dengan persoalan sistem pengelolaan
SDI.
(4) Adapun kategori ketujuh : berkenaan dengan daftar lingkungan eksternal yang
berpengaruh yang merupakan lingkungan diluar sistem perikanan tangkap.
Setiap kategori berisi sejumlah unsur yang tersusun secara garis besar lebih
bersifat lokal atau internal dalam perikanan tangkap tersebut (pada sisi kirinya) dan
bersifat spsial lebih luas dan berorientasi eksternal (pada sisi kanannya). Sebagai
contoh,
kategori ikan dan ekosistem mencakup tiga lingkungan utama, dari
lingkungan pantai (pesisir) ke lepas pantai (laut dalam), selanjutnya ke situasi ikanikan beruaya di laut dalam, juga kualitas habitat dan lingkungan dan interaksi
ekologis. Sejalan dengan
unsur sistem tersebut, kategori pengguna dimulai dari
perikanan subsisten dan skala kecil ke skala industri, kemudian joint-ventura dan
kapal asing.
Skema perencanaan strategis tersebut tentu saja merupakan pendekatan
penyederhanaan sistem
dari suatu sistem yang kompleks yang dapat dipakai
sebagai alat analisis yang akan dibahas nanti. Sebagai contoh, untuk melalkukan
penilaian sustu program atau projek tertentu dalam suatu perikanan tangkap skema
tersebut dapat membantu memberikan indikasi secara visual suatu unsur sistem
perikanan tangkap secara langsung maupun tidak langsung dan
memberikan
gambaran garis besar tentang interaksi yang dapat dimonitor sebagai bagian yang
tercakup dan tidak terpisahkan dalam sistem perikanan tangkap.
66
Beberapa
alat lain yang dapat digunakan untuk menggambarkan sistem
perikanan tangkap adalah :
(1) Sistem Perikanan Tangkap digambarkan dalam bentuk gambar yang
diperuntukkan bagi pengelolaan sumberdaya ikan berbasis komunitas, atau
untuk kepentinagn pendidikan atau tujuan publikasi.
(2) Sistem Perikanan Tangkap digambarkan secara grafis dalam bentuk peta,
secara khusus disajikan zona-zona untuk kepentingan pengelolaan, jalur
migrasi ikan, atau lokasi armada tangkap. Peta tersebut menyajikan secara
garis besar menggambarkan ciri spasial. Gambar tersebut mungkin belum
mampu menjelaskan aspek dinamik sistem perikanan tangkap.
(3) Sistem perikanan tangkap digambarkan dengan fokus ekosistemyang ada,
lebih khusus menggambarkan persoalan rantai makanan.
(4) Sistem perikanan tangkap digambarkan dengan menggunakan model
matematk. Dalam pendekatan ini sistem perikanan tangkap disajikan dalam
bahasa matematik sebagaimanan ditunjukkan pada Gambar 1.6.
(5) Tinjauan kultural juga bisa digunakan untuk menggambarkan Sistem
Perikanan Tangkap seperti yang dilakukan oleh Borgese (1998 (Charles,
2001) untuk menggambarkan apa yang dibayangkan oleh Mahatma Gandhi
tentang kehidupan masa depan negeri India.
C. Karakteristik Sistem Perikanan Tangkap
Pada sistem perikanan tangkap terdapat diversitas didalam sistem maupun
diantara
sistem
tersebut.
Pertanyaannya
mengklasifikasikan dan mendeferensiasikan
adalah
bagaimana
kita
dapat
diantara berbagai tipe sistem
67
perikanan tangkap tersebut ?. Untuk menjawab pertanyaan ini, perhatian khusus
perlu dilakukan pada persoalan skala yang timbul dari segala aspek terkait dengan
keberhasilan pengelolaan sumberdaya ikan tersebut.
1. Skala Ruang
Skala ruang pada sistem perikanan tangkap terkait dengan ukuran luasan,
baik secara geografis maupun administratif. Persoalan skala ruang muncul dalam
praktek perencanaan dan pengelolaan SDI., seperti batas yang cocok dari sebuah
sistem perikanan tangkap dan pembuatan desain sistem pengelolaan yang sesuai,
dan dalam pertimbangan yang lebih konsepsual memerlukan differensiasi sesuai
dengan kebutuhan pengkelompokan lokasi sistem perikanan tangkap.Sebagai
contoh, seseorang dapat
mempertimbangkan sistem perikanan tangkap yang
memiliki variasi skala ruang sebagai berikut :
(1) Kommunitas pesisir termasuk
jenis-jenis sumberdaya
perikanan yang
bermigrasi secara lokal (misalnya : ikan-ikan yang hidup di lingkungan terumbu
karang, atau lobster yang hidup di karang- karang di sepanjang pantai Selatan
Jawa ) dan sumberdaya perikanan yang terkait dengan sistem pengelolaan
perikanan tangkap skala kecil.
(2) Sistem Perikanan Tangkap pada skala
provinsi sampai tingkat nasional,
khususnya yang dibuat atas dasar batasan jurisdiksi formal.
(3) Organisasi perikanan tangkap regional maupun internasional, seperti : (a) Badan
Pengelola Perikanan Tangkap Regional dari FAO, General Fisheries Commision
for the Mediterrianian/GFCM dan Western Central Atlantic Fishery Commision/
68
WECAFC, dan (b) organisasi pengelolaan perikanan tangkap skala Uni Eropah
termasuk persoalan Kebijakan Perikanan Tangkap di Uni – Eropah.
Pada situasi tertentu,
skala ruang mana yang akan
dipilih ?. Jika fokus
perikanan skala kecil dan persoalannya adalah kapan kita melihat sebagai suatu
sistem yang lebih luas ?. Persoalan ini penting untuk dicatat, mengingat dalam
sistem perikanan tangkap selalu terjadi interaksi antara komponen sistem tersebut.
Lebih jauh, bahwa sistem perikanan tangkap tertentu mencakup cadangan ikan dan
komponenen sumberdaya alam lainnya, dan komponen sistem sosial dan berbagai
komponen pengelolaan (mencakup IPTEK, penegakan aturan, kebijakan dan lainlainnya) , bahwa skala yang sesuai akan berbeda tergantung pada
komponen
sistem dan keadaan khusus lainnya.
Lebih jauh, mungkin saja terdapat perbedaan antara sumberdaya alam yang
satu dengan lainnya atau batasan ekologis dari suatu sistem perikanan tangkap,
mungkin sesuai dari sudut pandang sistem sosial (termasuk aspek ekonomi dan
budaya) dan batas yang sesuai dilihat dari segi pengelolaan (seperti aspek legal,
kelembagaan dan politik). Persoalannya adalah seberapa jauh cakupan yang
didapat dari aspek “natural”, seperti kondisi perairan atau batas wilayah pesisir serta
batas sistem ditinjau dari sudut pandang sistem sosial yang ada ?. Pertanyaanpertanyaan tersebut memerlukan jawaban, sementara jawaban yang kita peroleh
jelas tidak mudah.
Kondisi tidak sinkron (mismatch) antara cakupan sumberdaya, aktifitas
panen dan kegiatan pengelolaan, memerlukan kriteria pengaturan kelembagaan
untuk keperluan pengelolaan agar berhasil. Tentu saja diperlukan
bersifat
alasan yang
persuasif untuk menyelesaikan persoalan yang tidak sinkron tersebut
dengan cara mendesentralisasikan penanganan beberapa bagian sistem disamping
69
diperlukan
pandangan yang lebih luas untuk menangani bagian
komponenen
sistem lainnya. Sistem dan lingkungannya sebagaimana diuraikan diatas disajikan
pada Gambar 7.
(2)
Cuaca
Pelanggan
INPUT
Pemerintah
Pesaing
PROSES
Prosedur
Program
Peralatan
Kebijakan
Bahan Baku
Biaya
Sumberdaya
OUTPUT
Performansi
Barang jadi
Layanan
Konsekuensi
Umpan Balik
PENGAMBIL KEPUTUSAN
(1)
Penjual/ Pedagang
Pemilik Modal
Lembaga Keuangan
Gambar 7. Gambaran Sistem dan Lingkungannya (Charter, et al, 2001)
Keterangan :
(1) Batas Sistem
(2) Lingkungan Sistem
70
2. Pendekatan Sistem Pada Analisis Kebijakan
Pembangunan
Kelautan dan Perikanan
Untuk menjelaskan hubungan antara peubah dapat disusun hubungan antar
perubah dalam bentuk persamaan regresi. Persamaan regresi ini secara sederhana
dapat dikelompokkan menjadi dua model, yaitu :
(1) Model persamaan tunggal dalam bentuk regresi linier atau ganda secara
partsial.
(2) Model Sistem Persamaan, yaitu model hubungan antar peubah eksogen dan
endogen yang tersusun dalam “kesatuan hubungan/ keterkaitan” terdiri dari
sejumlah (lebih dari satu) persamaan.
Berikut disajikan contoh
hubungan
Sistem Persamaan
yang menggambarkan
kegiatan produksi, curangan kerja, penerimaan dan pengeluaran
rumahtangga juragan dan pendega secara komprehensif dengan pemanfaatan
sumberdaya perikanan secara berkelanjutan.. Model Ekoromi Rumahtangga
merupakan
salah
satu
pendekatan
sistem
dalam
perumusan
kebijakan
pembangunan kelautan dan perikamam dengan kerangka kerja sebagai berikut :
1.
Kajian model ekonomi rumahtangga nelayan yang mengintegrasikan status
ketersediaan sumberdaya perikanan (tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan)
dan perilaku ekonomi rumahtangga nelayan Juragan dan Pendega dalam merespon
setiap kebijakan.
2. Analisis dampak berbagai perubahan kebijakan
dan non-kebijakan dalam
peningkatan modernisasi perikanan terhadap keragaan ekonomi dan kesejahteraan
rumahtangga nelayan dalam usaha meningkatkan pendapatan dan pemanfaatan
sumberdaya perikanan secara berkelanjutan.
71
3.
Pilihan kebijakan untuk mengembangkan bisnis dan industri perikanan yang
bertumpu pada peningkatan pendapatan rumahtangga nelayan, perluasan usaha
dan kesempatan kerja, meningkatkan investasi dan tabungan
dalam pemanfaatan
sumberdaya perikanan secara berkelanjutan.
Kegiatan produksi dan konsumsi dalam suatu rumahtangga nelayan
berkaitan
sangat erat. Kegiatan produksi penangkapan ikan terdiri dari proses penangkapan
ikan di laut, dimana rumahtangga nelayan berperan sebagai pemasok tenaga kerja.
Kegiatan produksi di laut akan menghasilkan ikan yang selanjutnya dapat dijual
dalam bentuk ikan segar yang menghasilkan pendapatan yang dapat digunakan
oleh rumahtangga nelayan untuk kebutuhan konsumsinya. Rumahtangga nelayan
juga dapat berperan sebagai pengolah ikan, melakukan proses produksi pengolahan
ikan, yang menghasilkan ikan olahan yang dijual untuk menghasilkan tambahan
pendapatan yang dapat digunakan oleh rumahtangga nelayan dalam memenuhi
kebutuhan konsumsi dan meningkatkan kesejahteraannya.
Ekonomi rumahtangga nelayan biasanya masih bersifat semi-komersial, yang
dicirikan :
(1) kegiatan antara produksi ikan dan rumahtangga pengolah ikan tidak
terpisah, (2) penggunaan tenaga kerja keluarga lebih diutamakan, (3) nelayan dan
rumahtangga pengolah ikan masih lebih banyak berperilaku sebagai penerima
harga, dan (4) mengutamakan aman. Namun, ketika skala usaha penangkapan ikan
semakin membesar, pada umumnya diikuti oleh pergeseran penggunaan tenaga
kerja luar keluarga yang
proporsinya semakin
besar, disamping jangkauan
pemanfaatan sumberdaya perikanan semakin meluas.
Pembangunan
perikanan
tidak
bisa
terlepas
dari
keberadaan
sumberdaya(resource-based development). Tanpa ada sumberdaya, pembangunan
72
perikanan tidak akan ada. Oleh karena itu, semua kebijakan yang dilakukan dalam
hubungannya dengan peningkatan pembangunan perikanan untuk kesejahteraan
nelayan, perlu mempertimbangkan ketersediaan sumberdaya perikanan yang
tersedia. Oleh karena itu, setiap pemanfaatan sumberdaya perikanan secara implisit
berarti menyusun langkah-langkah
pemanfaatan sumberdaya untuk mencapai
tujuan pembangunan perikanan tersebut.
Pada bagian Ketentuan Umum Undang – Undang No. 9 Tahun 1985 tentang
Perikanan, dikatakan bahwa pemanfaatan sumberdaya perikanan adalah semua
upaya, termasuk kebijakan dan non-kebijakan, yang bertujuan agar sumberdaya itu
dapat dimafaatkan secara optimal dan berlangsung terus menerus. Mengingat setiap
bentuk kebijakan akan berdampak terhadap para pelaku, yaitu rumahtangga
nelayan, maka upaya untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan harus dilakukan
secara terpadu dan terarah dengan
melestarikan sumberdaya ikan itu sendiri
beserta lingkungannya (Nikijuluw, 2002).
Mengingat terdapat kaitan erat antara ketersediaan sumberdaya perikanan dengan
perilaku
ekonomi rumahtangga
nelayan,
maka
pilihan
berbagai kebijakan
pemanfaatan bergantung pada kekhasan, situasi, dan kondisi perikanan yang
dikelola serta tujuan pemanfaatan atau pembangunan perikanan. Menurut Nikijuluw
(2002), meski demikian, setiap pilihan pemanfaatan beserta kebijakan yang akan
dilakukan sebaiknya berdasarkan kriteria sebagai berikut : (1) diterima nelayan, (2)
diimplimentasi secara gradual, (3) fleksibel, (4) implementasinya didorong oleh
efisiensi dan inovasi, (5) pengetahuan yang sempurna tentang peraturan dan biaya
yang dikeluarkan sebagai akibat untuk mengikuti peraturan dan atau kebijakan
tersebut, dan (6) ada implikasi terhadap tenaga kerja, pengangguran dan keadilan.
73
Pengendalian secara ekonomi adalah penggunaan peubah ekonomi sebagai
instrumen pengendalian upaya penangkapan ikan. Peubah ekonomi tersebut adalah
terdiri dari : (1) harga ikan, (2) harga BBM, (3) pajak dan biaya izin penangkapan
ikan, (Nikijuluw, 2002), (4) pengembangan alternatif lapangan kerja nelayan (Smith,
1983), (5) pemberian kredit, (6) pengembangan prasarana pelabuhan perikanan dan
tempat pendaratan ikan, (7) peningkatan mutu (keterampilan) nelayan, dan (8)
pengembangan agribisnis perikanan (Saragih, 1998), serta (9) pengaturan sistem
bagi hasil perikanan untuk meningkatkan pemerataan pendapatan nelayan
(Lembaran Negara RI Tahun 1964 No. 97, 1964).
Sedangkan pengendalian secara biologi terdiri dari : (1) pembatasan teknologi
alat tangkap, (2) pembatasan jumlah effort (jumlah dan ukuran kapal yang diijinkan)
agar sumberdaya dimanfaatkan pada tingkat MSY , dan (3) pengendalian daerah
penangkapan ikan (Rettig, 1992).
74
2.12. Review Hasil Penelitian Terdahulu.
2.12.1. Sumberdaya Perikanan
Dalam suatu jurnal Review, bahwa untuk perikanan laut, besar potensi
seluruhnya adalah 7,2 juta ton/tahun berupa standing stock, sedangkan yang
dapat dimanfaatkan secara maksimal (Maximum Sustainable Yield) berkisar 4,5
juta ton/tahun atau kurang lebih 65 % dari standing stock ditambah lagi 2,1 juta
ton/tahun yang terdapat diperairan ZEE Indonesia (Primyastanto. M, 2011e).
Beberapa sumberdaya alam di wilayah pesisir dan lautan telah mengalami
over eksploitasi. Sumberdaya perikanan laut baru dimanfaatkan sekitar 63,49 % dari
total potensi lestari maksimum, namun beberapa kawasan perairan, stok
sumberdaya ikan telah mengalami over fishing. Jenis stok sumberdaya ikan yang
telah mengalami over fishing adalah udang dan ikan karang konsumsi, ikan pelagis
kecil dan ikan pelagis besar (Primyastanto. M, 2011c).
Perairan laut Jawa Timur meliputi wilayah Teritorial dan wilayah laut Zona
Ekonomi Ekslusif mempunyai luas sekitar 208.097 km 2, sedangkan potensi yang
terkandung
sebesar 618.418 ton/tahun, belum seluruhnya dimanfaatkan oleh
nelayan. Produksi perikanan daerah tingkat I Jawa Timur tahun 1995 sebesar
238.677,60 ton dimana sekitar 36,41% atau 225.176,60 ton merupakan produksi
dari cabang usaha penangkapan di laut. Untuk produksi perikanan daerah tingkat 1
Jawa Timur tahun 2007 sebesar 395.890 ton dimana sekitar 96,72 % atau sebesar
382.877 ton merupakan produksi dari cabang usaha penangkapan di laut.Nilai
fishing ground bervariasi menurut kedalaman perairan, daerah dan musimnya.
Untuk mendapat produktivitas yang tinggi, pengembangan suatu alat, baik
mengenai kontruksi maupun cara operasi harus disesuaikan dengan sifat biologis
ikan yang menjadi tujuan penangkapan (Primyastanto. M, 2011b).
75
Menurut hasil penelitian Adolf, F. Mikenda dan Henk Folmer (2001),
menunjukkan bahwa sumberdaya perikanan di Zanzibar telah mengalami
lebih tangkap (over fishing), maka upaya dalam hal manajemen perikanan
yang dilakukan adalah upaya diversifikasi ekonomi. Adapun tujuan secara
spesifiknya adalah meliputi : meningkatkan pasokan ikan bagi masyarakat
negara tersebut, agar harga ikan tetap terjangkau, menciptakan lapangan
pekerjaan,
meningkatkan
pendapatan
nelayan
dan
upaya
ko nservasi
sumberdaya kelautan.
2.12.2. Deskripsi alat tangkap payang
Payang merupakan salah satu jenis alat tangkap yang cukup produktif
digunakan untuk penangkapan ikan dan banyak tersebar diseluruh perairan
Indonesia. Alat tangkap ini banyak digunakan oleh usaha kecil menengah, karena
memerlukan biaya yang relatif kecil sehingga terjangkau oleh nelayan kecil dan
dioperasikan cukup dengan satu perahu dan 5 orang ABK (anak buah kapal).
Cara pengoperasian alat tangkap payang adalah dengan melingkari
kawanan ikan sehingga kawanan ikan tersebut terperangkap dan masuk kedalam
kantong. Agar supaya ikan-ikan yang terperangkap tidak terjerat pada mata jaring
bagian kantong akibat saling berdesakan, maka ukuran mata jaring pada bagian ini
dibuat lebih kecil. Ukuran mata jaring yang lebih besar dapat dipakai pada bagian
lain, yaitu bagian yang akan menggiring ikan masuk kekantong. Penentuan ukuran
mata jaring bagian kantong alat tangkap payang pada dasarnya sama seperti pada
kantong alat tangkap trawl.
Alat tangkap payang ini digolongkan kedalam seine net yang mempunyai
kantong dan dua buah sayap yang berfungsi sebagai penggiringkawanan ikan.
Pengoperasiannya dengan menggunakan perahu atau kapal kecil dengan menebar
76
jaring secara melingkar disuatu areal perairan yang diperkirakan terdapat banyak
ikan.
Sasaran penangkapan payang ditujukan kepada ikan-ikan permukaan
(pelagis) dengan cara mengejar atau melingkari suatu gerombolan ikan yang
nampak di permukaan perairan atau dengan cara menggunakan alat bantu
pengumpul ikan yang disebut rumpon. Untuk menghadang dan menggiring suatu
gerombolan ikan yang terdapat pada areal jangkauan alat tangkap tersebut agar
masuk ke kantong, maka alat tangkap dilengkapi dengan dua buah sayap. Fungsi
mesh size (ukuran mata jaring) pada sayap hanyalah merupakan dinding
penghadang dan bukan sebagai penjerat.
Hasil tangkapan payang didukung oleh terbukanya mulut jaring yang
dipengaruhi oleh beberapa pelampung dan pemberat. Fungsi pelampung adalah
untuk mempertahankan agar mata jaring tetap terapung pada permukaanperairan.
Sedangkan pemberat digunakan agar terjadi keseimbangan antara gaya apung dan
gaya tenggelam sehingga mulut jaring akan terbuka dengan baik. Disamping itu
juga sayapnya dapat berdiri tegak menghadang gerombolan ikan yang berenang ke
arah horisontal.
Pelampung yang digunakan umumnya terbuat dari alat bantu yang
diikatkan pada bagian atas kedua sayap dan bagian tali yang digunakan atau tali ris
atas dan bawah dan tali penarik. Ukuran tali ris atas lebih panjang dibanding
dengan tali ris bawah karena pada bagian bibir atas jaring lebih menonjol kearah
kantong dibandingkan dengan bibir bawah.
Bahan pemberat yang digunakan pada alat tangkap payang ini umumnya
terbuat dari campuran semen dan pasir yang mempunyai berat rata-rata 4 kg serta
pemasangan pemberat disesuaikan dengan letak dari pelampung (Garner, 1977),
77
2.12.3. Potensi lestari dan pengembangan usaha penangkapan
Usaha penangkapan ikan pada dasarnya mengelola sumber ikan yang
merupakan milik bersama. Akibat ciri pemilikan tersebut, maka fungsi produksi pada
usaha penangkapan ikan ditujukan sebagai hubungan antara hasil penangkapan
secara total (sebagai output) dan tingkat upaya penangkapan ikan (sebagai input)
pada periode musim atau tahun tertentu (Smith, 1975). Pengertian upaya
penangkapan adalah indek tertentu mencakup jumlah kapal, tenaga dan hari kerja
penangkapan ikan periode tertentu. Mengingat jumlah stok ikan diperairan dibatasi
oleh daya dukung sumber alami tertentu, maka fungsi produksi tersebut dapat
digambarkan dalam bertuk huruf U terbalik. Pada tahap awal, perkembangan usaha
penangkapan ikan menaik dan produksi ikan secara total juga meningkat. Namun
setelah mencapai puncak produksi, maka produksi ikan secara total menurun
sekalipun jumlah kapal penangkapan ikan meningkat pula. Dengan demikian fungsi
produksi pada usaha penangkapan ikan dibatasi oleh hukum kenaikan hasil yang
makin berkurang (Gulland, 1983).
Dengan gambaran fungsi produksi tersebut, maka eksploitasi ikan disuatu
perairan dibatasi menjadi dua tingkat, yaitu :
a. Tingkat eksploitasi sebelum puncak produksi (under exploited).
b. Tingkat eksploitasi sesudah puncak produksi (over exploited).
Di wilayah perairan under exploited, tingkat produksi yang diperoleh lebih
rendah dari tingkat peroduksi maksimum. Hal ini terjadi karena tingkat usaha
penangkapan ikan belum mencapai jumlah kapal penangkapan ikan yang
78
seharusnya. Dalam keadaan demikian, maka pembangunan dibidang perikanan
dapat ditempuh antara lain dengan cara ekspansi usaha penangkapan ikan melalui
proses subsidi motorisasi dan penambahan jumlah upaya penangkapan ikan.
Untuk wilayah perairan yang telah mencapi over exploited maka tingkat
produksi yang diperoleh lebih rendah dari tingkat produksi maksimum. Ini terjadi
karena tingkat usaha penangkapan ikan melebihi jumlah kapal penangkapan ikan
yang seharusnya. Dalam keadaan demikian maka perlu ditempuh perbaikan
manajemen usaha penangkapan ikan. Hal ini penting agar penangkapan ikan
tersebut dapat dilakukan dengan efisien. Cara ini antara lain ditempuh dengan jalan
pengendalian dan pengawasan jumlah kapal penangkapan baik secara langsung
maupun secara tidak langsung.
Pembangunan dan manajemen dalam usaha penangkapan ikan secara
bersama sama dapat dilakukan untuk mencapai tingkat eksploitasi optimum dari
usaha penangkapan ikan disuatu perairan tertentu (Panayotou, 1982).
2.12.4. Studi Kelayakan Usaha Penangkapan
Dari hasil penelitian Lailatin et al (2007) bhwa untuk analisa jangka pendek
dimana keuntungan yang didapat dalam pengusahaan ikan lemuru (Sardinella
lemuru).Besarnya biaya operasional (Variabel cost) yang dikeluarkan selama 1 trip
(operasi penangkapan) sebelum melaut sebesar Rp. 4.242. 500,- sehingga biaya
tidak tetap selama 1 tahun ( 216 trip/tahun) adalah Rp. 916.380.000,-. Sedangkan
variable cost sesudah melaut yang terdiri dari biaya pengangkutan (manol) dan
retribusi TPI selama 1 tahun sebesar Rp. 122.849.132,9,- sehingga total variable
79
cost selama 1 tahun sebesar Rp. 1.039.229.133,- .Adapun biaya tetap (fixed cost)
yang terdiri dari penyusutan atas modal usaha, perawatan dan pajak selama 1 tahun
sebesar Rp. 186.600.000,-.
Dari analisa jangka panjang diantaranya : NPV merupakan selisih antara
benefit (pendapatan) dengan cost (pengeluaran) yang telah dipresent valuekan.
Apabila NPV positif, maka usa atau proyek dinyatakan layak, sedangkan bila NPV
negative maka dinyatakan proyek tersebut tidak layak. Untuk usaha penangkapan
ikan lemuru, dari perhitungan didapatkan nilai sebesar Rp. 2.091.823.736,- atau
lebih dari 0 (positif) maka usaha penangkapan ini dapat dikatakan layak.
Net B/C merupakan perbandingan antara benefit bersih (penerimaan) dari
tahun-tahun yang bersangkutan (pembilang bersifat positif) yang telah dipresent
valuekan. Kriterianya adalah apabila Net B/C ratio > 1 maka proyek akan dipilih atau
proyek tersebut layak untuk dikerjakan dan bila nilainya < 1 maka usaha atau proyek
tersebut tidak layak. Pada usaha penangkapan ikan lemuru, dari perhitungan
didapatkan nilai Net B/C sebesar 7,5 atau lebih besar dari 1 sehingga usaha ini
dikatakan layak.
A. Analisis Usaha Jangka Pendek
1. Keuntungan usaha merupakan segi yang penting karena tanpa adanya
suatu perolehan keuntungan atau laba, maka perusahaan akhirnya bakal
bangkrut atau rugi. Kemampuan setiap produk untuk memperoleh laba
harus dipertahankan dan ditingkatkan. Untuk memperoleh keuntungan
yang besar, dapat dilakukan dengan cara menekan biaya produksi atau
menekan harga jual. Namun yang biasa dipakai oleh perusahaan yaitu
dengan cara yang pertama menekan biaya produksi (Rahardi et al,
2001).
80
2. Biaya produksi merupakan salah satu unsur yang paling penting dalam
menjalankan suatu perusahaan. Biaya produksi dapat diartikan sebagai
biaya
yang
dikorbankan
untuk menghasilkan
produk jadi untuk
mendapatkan laba atau keuntungan yang dapat dilakukan dengan cara
menekan biaya produksi atau menekan harga jual. Biaya produksi yang
digunakan untuk melakukan proses produksi dibedakan menjadi dua
yaitu biaya tetap dan biaya tidak tetap, dimana biaya tetap adalah biaya
yang besar kecilnya tidak dipengaruhi oleh jumlah produksi yang meliputi
biaya penyusutan dan pajak. Sedangkan biaya tidak tetap biaya yang
tercakup dalam proporsi langsung dari jumlah unit yang dihasilkan
(misalnya pembelian bahan produksi dan tenaga kerja) (Ulrich dan
Steven, 2001). Dalam biaya produksi terdapat biaya perawatan, untuk
mempermudah perhitungan biaya perawatan bangunan dan perawatan
alat (Kumalasanty, et al.1999), maka data biaya yang dipergunakan pada
usaha penangkapan dengan berpedoman sebagai berikut :
Untuk biaya perawatan kontruksi sebesar 1% dari nilai investasi
pertahun.
Biaya perawatan mesin sebesar 5 % dari nilai investasi pertahun
Yang digolongkan kedalam kontruksi adalah semua bangunan dan
peralatan yang tidak menggunakan mesin.
B. Analisis Usaha Jangka Panjang
1. Net Present Value (NPV)
Metode Net Present Value mempertimbangkan nilai uang. Menurut
metode ini, penerimaan atau kas (cash inflow) pada masa yang akan
81
datang selama investasi berlangsung, dihitung berdasarkan nilai
sekarang. Penilaian atas investasi berdasarkan metode ini, adalah
dengan cara membandingkan nilai sekarang atau nilai tunai penerimaan
kas (cash inflow) dengan nilai sekarang dari pengeluaran kas (cash
outflow) selam investasi modal bersaing. Kriteria penilaiannya adalah
suatu usulan investasi akan diterima, jika nilai sekarang dari cash inflow
lebih besar dari nilai sekarang cash outflow-nya (Halim,A dan B. Supomo,
1998).
2. Net Benefit Cost Ratio (Net B/C Ratio)
Analisis benefit-cost ratio (B/C) dimaksudkan untuk mengetahui nilai
perbandingan antara penerimaan kotor dengan total biaya yang
digunakan. Cara ini banyak digunakan karena dengan menghitung B/C
ratio akan diketahui dengan cepat berapa besar manfaat dari usaha
tersebut. Apabila nilainya lebih besar dari satu berarti manfaat dari usaha
tersebut lebih besar dari biaya-biaya yang diperlukan. Ratio ini biasanya
digunakan untuk manfaat yang diperoleh masyarakat (social benefit),
untuk menganalisis ekonomi dan biasanya untuk menilai proyek. Untuk
menghitung B/C ratio, harus menentukan besarnya tingkat bunga
diskonto (Kadariah, 2001).
3. Internal Rate of Return (IRR)
Internal rate of return atau tingkat pengembalian internal (IRR)
didefinisikan sebagai tingkat bunga yang menyamakan nilai sekarang
arus kas yang diharapkan atau penerimaan kas dengan pengeluaran
investasi awal atau IRR adalah tingkat suku bunga yang menggambarkan
82
bahwa antara benefit yang telah di present valuekan dan cost yang telah
dipresent valuekan sama dengan nol (Primyastanto, M. 2005).
4. Payback Period
Menurut Husnan dan Suwarsono (1999) payback period merupakan
metode yang mencoba mengukur seberapa cepat investasi bisa kembali,
karena itu satuan hasilnya bukan prosentase, melainkan satuan waktu
(bulan, tahun dan sebagainya).Apabila payback periodeini lebih lebih
pendek
daripada
yang
disyaratkan
maka
proyek
dikatakan
menguntungkan sedangkan apabila lebih lama, proyek ditolak. Lebih
lanjut dikatakan dasar yang dipergunakan dalam perhitungan ini adalah
aliran kas dan bukan laba, untuk itu terlebih dahulu dihitung aliran kas
dari proyek tersebut.
5. Analisis sensitifitas
Prinsip dasar dari analisis sensitifitas adalah mengidentifikasi parameterparameter atau setiap perubahan yang menyebabkan perubahan
terbesar
dari hasil akhir
suatu
proyek
(NPV,
IRR
atau
yang
lainnya).Analisa ini dianggap penting karena didalam analisa proyek
didasarkan pada proyeksi-proyeksi yang mengandung ketidakpastian
pada waktu yang akan datang (Primyastanto, M 2011g). Teknik
perhitungan analisis sensitifitas ini adalah dengan mengubah berbagai
parameter-parameter yang ada dalam proyek atau usaha secara jangka
panjang (misalnya cost, benefit dan lain-lain).
83
2.12.5. Kearifan Lokal
Penelitian di Sungai Khong Thailand menunjukkan pola kearifan lokal yang
diterapkan untuk kepentingan konservasi bagi masyarakat dibagi menjadi 6 aspek
yaitu : pertama adalah budidaya dengan cara alami dari tumbuhan, kedua
pengelompokan ramuan obat atau herbalyang diklasifikasikan pada bagian batang,
umbi, rerumputan dan sayuran, ketiga pemanenan berdasarkan musim panas, hujan
dan dingin, arah mata angin dan hari dalam seminggu, keempat penyimpanan
ramuan obat herbal dengan wadah yang higienis dan pelabelan, kelima ritual
tradisionaluntuk memberi efek medis yang kuat, meningkatkan iman, keenam
penulisan hasil ramuan herbal di daun palem kitab suci kuno untuk digunakan
dimasa mendatang (Mingkamol, H, 2011)
Dalam kitab suci Al-Qur’an Allah telah menginformasikan bahwa manusia
sebagai subyek utama terjadinya kerusakan di dunia, yaitu : ” Telah nampak
kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia ,
supaya ALLAH merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan
mereka, agar mereka (kembali ke jalan yang benar). (Q.S. AR RUUM : 41),sehingga
perlu pencerahan bagi manusia untuk bisa bertindak arif dan bijaksana dalam
mengelola alam, dimana pada ujungnya akan memberikan suatu adat kebiasaan
sebagai kearifan lokal (Primyastanto, M. et al. 2010)
Indonesia merupakan Negara kepulauan yang terluas di dunia dengan
sekitar 17.000 pulau, memiliki kekayaan fauna maupun flora yang beragam
sehingga di dunia dikenal dengan sebutan megabiodiversity country. Sementara itu,
mayoritas penduduk Indonesia hidup di wilayah pesisir. Hal ini dikarenakan
ekosistem pesisir dan lautan merupakan sumber matapencaharian bagi mereka.
84
Terumbu karang adalah salah satu ekosistem yang dominandari perairan
dangkal atau perairan wilayah pesisir di daerah iklim tropis. Ekosistem ini disebut
unik karena selain memiliki bentuk yang indah dari beragam spesies karangnya
sendiri,juga memiliki beragam spesies biota laut yang berasosiasi dengannya. Ini
menunjukkan bahwa ekosistem terumbu karang merupakan salah satu gudang biota
dengan keanekaragaman hayati tinggi. Menurut Kantor Kementrian Negara
Lingkungan Hidup dan Wetlands International Indonesia (1996), terumbu karang
merupakan salah satu ekosistem di dunia yang sangat produktif, dengan nilai ratarata produktivitas primernya adalah 2.500gr/
/tahun. Selain sangat penting secara
ekologi, ekosistem yang memiliki sistem ekologi yang stabil ini mempunyai nilai dan
arti yang tidak kalah pentingnya dari segi sosial ekonomi dan sosial budaya.
Secara sosial ekonomi dan sosial budaya, terumbu karang ini antara lain
berfungsi sebagai sumber makanan, bahan obat-obatan, dan bahan bangunan.
Disamping itu, keberadaan terumbu karang memiliki arti penting bagi perikanan laut
dangkal. Manfaat lain adalah sebagai obyek wisata bahari karena memiliki nilai
estetika yang sangat mengagumkan. Akan tetapi dengan segala fungsinya tersebut
telah mendorong adanya aktivitas manusia yang tidak terkendali dimana telah
mengakibatkan terjadinya kerusakan ekosistem terumbu karang.
Kondisi tersebut menunjukkan adanya degradasi lingkungan serta tidak
efektifnya pengelolaan sumberdaya dan lingkungan pantai. Tekanan sosial ekonomi
yang muncul serta diperburuk dengan proyek-proyek ekspansi ekonomi ke kawasan
daratan pesisir atau pantai dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat
setempat telah diindikasikan sebagai penyebab utama adanya kerusakan ekosistem
pesisir, termasuk didalamnya ekosistem terumbu karang. Oleh karena itu
85
sumberdaya terumbu karang ini perlu dikelola dan dilestarikan secara bijaksana dan
rasional, agar dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan (sustainable).
Pengelolaan ekosistem terumbu karang berdasarkan kearifan lokal bertujuan
mengikutsertakan masyarakat lokal, bukan hanya sebagai obyek tetapi sebagai
pengelola dengan memandang kepentingan baik secara ekologis, ekonomis, dan
sosbud, seperti dicontohkan oleh masyarakat pesisir Jemluk, Bali. Upaya konservasi
dan pengelolaan yang dilakukan berdasarkan kearifan lokal , seperti tradisi Mane’e
dan Sasi merupakan sistem kearifan lokal yang perlu dipertahankan dan
dilestarikan, agar menfaat ekonomi menjadi berkelanjutan
tanpa harus merusak
terumbu karang sebagai salah satu sumberdaya perikanan (Primyastanto, M.
2011d).
Penelitian yang mengkaji kondisi sosial budaya pada peran kearifan lokal
masyarakat kelautan, baik dipesisir atau laut, maupun perairan pedalaman, telah
Menghasilkan
indikator
awal
kondisi
sosial
budaya
dalam
kerangka
pemberdayaan masyarakat nelayan (Nasution et al, 2004). Indikator awal dari
kondisisosial budaya yang dimaksud dapat memperlihatkan kecenderungan
bahwa perbedaan tipologi masyarakat menunjukkan pengaruh berupa adanya
perbedaan peranan dimensi kearifan lokal sosial budaya masyarakat nelayan.
Pada
masyarakat nelayan di wilayah
pesisir
atau laut, dari
dimensi yang
dijadikan ukuran kodisi sosial budaya masyarakat, yaitu dimensi pengetahuan
lokal akan lebih berperan.
Dalam hal
ini dideskripsikan tentang kearifan lokal pengelolaan terumbu
karang dengan mengikut sertakan masyarakat setempat sebagai ujung tombak yang
sangat berperan dalam melestarikan terumbu karang. Selain itu, untuk menjawab
kondisi pada saat ini dengan pengembangan terumbu karang buatan yang
86
bermanfaat bagi masyarakat setempat, baik dalam aspek sosial, ekonomi maupun
budayanya.
Dari beberapa hasil penelitian yang ada , bahwa kearifan lokal yang berlaku
di Indonesia dan terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam,
dimana memberikan peluang untuk senantiasa digali dan ditumbuhkembangkan
dimasa mendatang, diantaranya adalah : kearifan lokal celako kumali di Serawai,
Bengkulu, kearifan lokal tana’ ulen di Kalimantan Timur, kearifan lokal
te aro
neweak lako di Papua, kearifan lokal awig-awig di Lombok. Sedangkan kearifan
lokal
yang
ada
pada
masyarakat
nelayan
Selat
madura
yang
dapat
ditumbuhkembangkan pada masa mendatang dalam rangka pengelolaan dan
pemanfaatan sumberdaya perikanan secara sustainable, meliputi : kearifan lokal
andun, petik laut, nyabis, pangambak, telasan,onjhem (Primyastanto, M et al. 2013)
Download