RINGKASAN EKSEKUTIF CHAIRUL HUDA, 2003 Analisis Sistem Pemasaran Ikan di Pangkalan Pendaratan Ikan Muara Angke, Jakarta. Dibawah bimbingan UJANG SUMARWAN dan E. GUMBIRA SA’AD Tempat Pelelangan Ikan (TPI) yang berada di Jakarta Utara yaitu TPI Muara Karang, TPI Muara Angke, TPI Kamal Muara, dan TPI Pasar Ikan. Secara khusus tempat pemasaran di Muara Angke, merupakan tempat yang paling ekonomis bernilai strategis karena setiap tahunnya mampu menghasilkan ikan yang mencapai 11.082.570 kg ikan laut basah dengan nilai Rp 30.018.938.730,00 (Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Pemda DKI Jakarta, 2002). Dari nilai tersebut ikan kakap dan cumi-cumi merupakan ikan laut yang memiliki kontribusi ekonomi yang cukup tinggi. Produksi ikan kakap adalah 345.672. kg dengan nilai Rp 5.997.768.000,00, sedangkan cumi-cumi adalah 873.604 kg dengan nilai Rp 13.890.384.800,00. Guna meningkatkan kualitas sistem pemasaran terutama pada proses pendistribusian ikan mulai dari para nelayan pengumpul, pedagang grosir, pedagang pengecer sampai kepada masyarakat (konsumen), diperlukan upaya perbaikan pada sistem pemasaran yang terjadi di Pangkalan Pendaratan Ikan ( PPI ) Muara Angke. Pokok masalah dapat dirinci dengan beberapa pertanyaan sebagai berikut. Bagaimanakah sistem pemasaran, struktur pasar, perilaku pasar dan keragaan pasar komoditi ikan di pangkalan pendaratan ikan Muara Angke Jakarta ? Berdasarkan hasil penelitian tentang Tata Cara Pelelangan Ikan di wilayah DKI Jakarta. Produser pelelangan di TPI Muara Angke adalah sebagai berikut. Nelayan yang akan membongkar hasil tangkapannya melapor ke kamtib TPI untuk mendapatklan ijin bongkar dan nomor urut pelelangan. Nelayan membawa hasil tangkapannya dengan terlebih dahulu disortir menurut jenisnya dan ditempatkan dalam keranjang-keranjang ke petugas Timbangan atau Juru Timbang. Juru timbang mencatat bobot per jenis ikan yang akan dilelang, selanjutnya ikan ditempatkan dalam keranjang (trays) yang akan dilakukan oleh petugas trays kemudian dibawa ke lokasi lelang dan diberi label nama kapal dan jumlah ikan yang akan dilelang. Pelelangan baru akan dimulai jika jumlah pedagang (bakul) telah banyak berkumpul. Hal ini dimaksudkan agar penawaran harga semakin bervariasi. Pedagang (bakul) ini diwajibkan menjadi peserta lelang di TPI Muara Angke. Syarat menjadi peserta lelang adalah menitipkan uang jaminan sekurang-kurangnya Rp. 500.000,00 kepada pengelola TPI dan setiap pedagang mempunyai nomor lelang tetap. Setelah pedagang yang akan mengikuti lelang cukup banyak maka pelelangan segera dibuka. Pelelangan dipimpin oleh seorang juru lelang yang melakukan pelelangan dengan terlebih dahulu menyebutkan jenis ikan yang akan dilelang berikut bobotnya. Ikan yang akan dilelang biasanya perkeranjang. Sistem penawaran yang berlaku di pelelangan adalah sistem bertingkat di mana harga yang ditawarkan terus meningkat sampai hanya ada satu pedagang yang sanggup membayar dengan harga tertinggi (pemenang lelang). Juru lelang didampingi oleh juru bakul yang mencatat bakul mana yang memenangkan lelang dan jumlah perjenis ikan yang dibelinya. Petugas lainnya adalah petugas bon biru yang mencatat jumlah uang yang harus dibayarkan. Petugas komputer menyerahkan data hasil transaksi lelang yang telah dikumpulkan oleh juru bakul dan petugas bon biru kepada kasir. Ikan yang telah dilelang diberi label tanda selesai lelang oleh petugas pemberi tanda ikan sudah dilelang, selanjutnya kasir membayarkan uang kepada nelayan pemilik atau pengurus kapal setelah dikurangi biaya retribusi sebesar 3%, nelayan membayar kepada TPI. Bakul dikenakan biaya retribusi 2%. Pengurus hutang pihutang mengurusi transaksi pinjaman bakul kepada TPI untuk pembayaran lelang. Adakalanya dalam suatu pelelangan, ikan yang dilelang tidak ada pembelinya, atau nelayan tidak mau menjual hasil tangkapannya di TPI. Setiap hasil tangkapan yang didaratkan di TPI harus dilelang, jika hasil tangkapannya tidak ingin dilelang maka nelayan tersebut harus membeli hasil tangkapannya sendiri dengan dikenakan retribusi 5%. Di TPI Muara Angke cara diatas disebut Aupau. Ikan yang di aupau nelayan pemilik atau nelayan pengurus dari kapal yang berukuran besar biasanya ikan-ikan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Ikan tersebut mereka tahan (tidak dilelang untuk umum) dengan maksud dapat memperoleh harga yang lebih tinggi dari harga yang didapat melalui pelelangan biasa. Di samping itu biasanya mereka telah memiliki pelanggan yang langsung mengoperasikan kapal kecil. Biasanya mereka melakukan Aupau jika hasil tangkapan terlalu sedikit sehingga tidak ada bakul yang menawar atau karena hasil tangkapan dirasa tidak begitu baik mutunya dan harganya akan jatuh. Pelelangan di TPI Muara Angke ini cukup efektif, dikaji dari banyaknya aktivitas lelang yang terjadi setiap harinya. Nelayan yang ikut melelang hasil tangkapannya di TPI Muara Angke banyak yang juga berasal dari luar daerah, bahkan dari daerah yang memiliki TPI yang telah maju, seperti Pekalongan dan Tegal. Selain karena daerah operasi penangkapan nelayan tersebut cukup dekat dengan TPI Muara Angke, juga disebabkan harga lelang yang tinggi di TPI Muara Angke. Dilihat dari pengalaman usaha, para pihak dalam pejualan akan berada di bawah lima tahun berjumlah tiga orang (30%), 5-10 tahun tiga orang (30%), 10-20 tahun tiga orang (30%) dan mempunyai pengalaman lebih dari 20 tahun satu orang (10%) Dalam regenerasi bidang penangkapan ikan masih belum terlihat meningkatannya. Hal ini ditunjukkan pengalaman nelayan yang merata disetiap strata umur. Orientasi Usaha. Berdasarkan hasil wawancara terhadap 10 orang nelayan contoh, seluruhnya merupakan mata pencaharian satu-satunya untuk bertahan hidup. Hal ini menunjukkan bahwa nelayan merupakan mata pencaharian yang tidak bisa ditinggalkan, sehingga perlu dipertahankan kelangsungannya dan terus diperhatikan pembinaannya. Status Kapal. Dalam berusaha nelayan pemilik berjumlah empat orang (40%), memakai sistem kepemilikan kapal secara bersama. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi resiko usaha (kapal tenggelam, kapal rusak). Umumnya seorang pemilik bisa memilki empat sampai lima kapal motor sekaligus. Setiap kapal terdapat enam orang nelayan sewa merupakan nelayan ABK yang bekerja untuk pemilik kapal. Jenis Kapal. Dalam penelitian ini indikator yang digunakan adalah ikan kakap dan cumi-cumi. Umumnya kedua ikan tersebut ditangkap dengan mempergunakan kapal motor. Maka seluruh nelayan contoh adalah yang menggunakan kapal motor, karena tempat keberadaannya cukup jauh dari pantai sehingga memerlukan kapal yang menggunakan tenaga pendorongan dengan motor, dan menggunakan bahan bakar solar yang harganya lebih murah. Jenis Alat Tangkap. Nelayan yang menangkap ikan kakap dan cumi umumnya menggunakan alat tangkap purse sein (60%) dan sisanya menggunakan gill net (40%). Namun ada pula nelayan yang mempergunakan beberapa alat tangkap sekaligus. Daerah Operasi Penangkapan. Nelayan responden secara keseluruhan menangkap ikan di laut lepas (ZEE), tujuan utama nelayan adalah laut Jawa atau selat Karimata, namun ada pula yang daerah penangkapannya hingga ke laut Bangka dan Belitung. Jumlah Trip Perbulan. Untuk nelayan responden secara keseluruhan, jumlah trip perbulan sebanyak satu kali. Umumnya mereka memerlukan waktu 15 sampai 20 hari perjalanan. Jenis Ikan Yang Biasa Ditangkap. Secara keseluruhan responden umumnya tidak berspesialisasi dalam hal menangkap ikan. Dari 10 nelayan ikan contoh, lima orang biasa menangkap ikan kakap (50%) dan lima orang lainnya menangkap ikan cumi. Cara Memperoleh Perlengkapan Melaut Seluruh responden penelitian mendapatkan perlengkapan melaut dari KUD Mina Jaya. Yang menunjukkan bahwa para nelayan sudah mempunyai kesadaran dalam berkoperasi Hal ini merupakan keberhasilan KUD setempat. Hasil Produksi Ikan Kakap Setiap Trip. Responden nelayan yang mendapat ikan kakap sebanyak 5-10 kilo gram adalah sebanyak enam orang (60%) dan empat nelayan contoh lainnya mendapat ikan kakap sebanyak 10 sampai 20 kilo gram. Perbedaan hasil penangkapan disebabkan perbedaan alat tangkap, besar kapal dan daerah operasi Hasil Produksi Cumi-Cumi Setiap Trip. Responden nelayan yang mendapat cumi – cumi sebanyak 5-10 kilogram adalah sebanyak tiga orang (30%) dan tujuh orang nelayan lainnya mendapat cumi – cumi sebanyak 10 sampai 20 kilogram. Perbedaan hasil penangkapan disebabkan perbedaan alat tangkap, besar kapal dan daerah operasi. Hasil Produksi Ikan Lain-lain. Seluruh responden nelayan, hasil produksi ikan lain-lainnya sebesar 100 sampai 300 kilogram per trip. Jenis ikan lain-lain yang sering didapat adalah ikan selar,tongkol, kembung, cucut dan kerapu. Kondisi ini tergantung dari musim tertentu, sehingga nelayan mengalami penurunan atau peningkatan produksi. Struktur pasar yang berlaku di PPI Muara Angke merupakan pasar tidak bersaing sempurna, yaitu oligopsoni dimana penetapan harga dan perubahannya hanya dipengaruhi oleh beberapa pedagang saja. Dengan demikian adanya struktur pasar yang oligopsoni membuat nelayan dalam menentukan harga, berada pada posisi yang lemah. Marjin pemasaran yang didapat bahwa, penyebaran marjin pamasaran tiap tingkat lembaga pemasaran, telah mendekati marjin pemasaran yang telah ditetapkan oleh pihak Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan DKI Jakarta. Hal ini disebabkan karena harga penjualan yang wajar serta biaya transportasi di daerah konsumen tidak ada hambatan karena jaraknya cukup dekat dan tenaga kerja bidang perikanan cukup banyak. Sehingga sistem pemasaran ikan segar di PPI Muara Angke secara operasional cukup dapat dikatakan efisien, dikarenakan konsumen di PPI Muara Angke pada umumnya berasal dari golongan menengah ke atas dari segi kemampuan ekonomi pembeli. Sehingga menjadi peluang bagi pedagang di PPI Muara Angke untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar, karena harga ikan yang relatif mahal tetapi masih terjangkau oleh konsumen (pembeli). sehingga tidak menjadi masalah bagi konsumen golongan ini. Farmer’s share atau persentase harga yang dibayarkan konsumen dan nelayan pada penelitian ini, untuk komoditi ikan kakap sebesar 76,6 % dan untuk ikan cumi sebesar 71,8 %. Persentase tersebut sudah melampaui dari persentase yang ditetapkan oleh pihak Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan DKI Jakarta, yaitu sebesar 70% untuk ikan kakap 68.2% untuk ikan cumi - cumi. Dari hasil farmer’s share ini belum merupakan penerimaan bersih yang didapat nelayan karena masih perlu memperhitungkan segala ongkos-ongkos dan biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh nelayan. Keterpaduan pasar untuk jangka pendek, dalam perhitungan diperoleh nilai b2 sebesar 0,118 untuk ikan kakap dan sebesar 0,311 untuk ikan cumi, sehingga hasil yang didapat masih jauh dari nilai yang diharapkan. Sedangkan pasar terpadu untuk jangka pendek apabila nilai b2 = 1. Nilai IMC yang dihasilkan untuk ikan kakap adalah 0,145 dan untuk ikan cumi sebesar 0,380. Nilai yang didapat untuk ikan kakap sudah mendekati nilai yang di harapkan tetapi untuk ikan cumi-cumi masih jauh dari nilai yang diharapkan, karena keterpaduan jangka panjang tercapai apabila nilai IMC = 0. Berdasarkan uraian diatas, secara umum pemasaran ikan di PPI Muara Angke masih belum cukup efisien, baik secara operasional (teknis) maupun harga (ekonomis) dimana pedagang di pasar PPI Muara Angke mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi harga yang terjadi di pasar tersebut. Hal ini disebabkan kurangnya informasi pasar atau pengetahuan tentang pasar. Berdasarkan hasil penelitian dapat disarankan bahwa upaya yang yang diperlukan adalah dengan berusaha kuat dan terintegrasi yang dilaksanakan oleh nelayan, pedagang, Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan DKI Jakarta dan pihak UPT PKPI Muara Angke untuk meningkatkan efisiensi sistem pemasaran hasil perikanan laut di PPI Muara Angke. Stakeholder harus selalu memberikan informasi pasar dan berita pasar, yang berwajib harus membatasi jumlah pembeli dalam setiap pelelangan, menertibkan dan menata kembali pedagang-pedagang di lingkungan PPI Muara Angke dan bekerjasama dengan Dinas Pengelola Pasar di wilayah Jakarta Adapun alternatif solusi perbaikan sistem pemasaran di PPI Muara Angke adalah sebagai berikut. Layanan informasi pasar dan berita pasar atau informasi pasar yang transparan dan berkesinambungan dapat berperan menunjang dalam perumusan pengambilan keputusan menentukan jenis, volume dan kualitas ikan untuk periode tertentu. Karena sangat berguna bagi nelayan dan pedagang ikan. Membatasi jumlah pembelian dalam setiap pelelangan, yang bertujuan membatasi tingkat konsentrasi pembeli dan mencegah timbulnya persaingan yang tidak sehat. Menertibkan dan menata kembali pedagang-pedagang di lingkungan PPI Muara Angke, agar terjadi persaingan yang sehat dan wajar.Pihak Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan DKI Jakarta bekerja sama dengan Dinas Pengelola Pasar yang ada di wilayah Jabotabek dalam hal penyebaran informasi harga ikan dan pendistribusian ikan dengan memanfaatkan bis atau truk antar pasar. Menjaga terus efisiensi Saluran pemasaran yang telah terbentuk sehingga akan tetap dapat meningkatkan tarap hidup bagi para nelayan dan kepuasan konsumen. Untuk lebih efektifnya sistem pemasaran perlu adanya penelitian lebih lanjut khususnya hasil yang telah dicapai oleh pihak UPT PKPI Muara Angke dan Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan DKI Jakarta, dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat nelayan dalam rangka meningkatkan pendapatan. Kata Kunci: Pemasaran Ikan, ikan kakap, cumi-cumi, integrasi pasar, marjin tataniaga, Muara Angke.