konsep pluralisme agama dalam al-qur`an dan

advertisement
KONSEP PLURALISME AGAMA DALAM AL-QUR'AN DAN
PENAFSIRANNYA
Oleh :
Agus Mahfudin, M.Si
(Pengajar di Universitas Pesantren Tinggi Darul Ulum Jombang)
ABSTRAK
Esensi kebenaran sebuah agama sejatinya teletak pada jawabannya atas problem
kemanusiaan. Sebab, sesungguhnya agama sejak awal mempunyai misi suci untuk
menyelamatkan dan menuntun manusia menuju jalan kehidupan yang baik dan benar.
Pluralisme adalah realitas yang betul-betul terjadi di sekitar kehidupan kita sehari-hari.
Hal itu nampak pada Pluralisme Agama, Budaya, Pendidikan, Ras dan Suku. Pluralisme
berbagai hal itu sebetulnya memang sebuah hal yang alami tanpa melalui rekayasa atau
kehendak manusia. Maksudnya, itu adalah kehendak Tuhan sebagai pencipta manusia dan
seluruh kehidupan yang ada di muka bumi. Tentunya, dengan tujuan agar perbedaan itu
diambil aspek positifnya sebagai jalan pemandu untuk bekerja sama, introspeksi diri, dan
tolong menolong. Maka, sejatihnya nilai-nilai Pluralisme terutama Pluralisme Agama itu
memiliki akar yang cukup kuat dalam ajaran agama, terutama Islam. Pluralisme adalah
bagian intrinsik dari ajaran Islam yang dalam realitas dan sejarahnya menyatu dengan
ajaran monoteisme sebagai ajaran pokok dalam Islam. Untuk itu apabila Allah
menghendaki niscanya menjadi umat yang tunggal, satu suku, satu bangsa, satu agama,
tetapi Allah tidak menghendaki itu. Allah memang sengaja menjadikan kita bermacammacam untuk menguji berkenaan dengan apa yang dianugerahkan dan mempersilahkan
hamba-Nya berlomba-berlomba dalam kebaikan.
ABSTRACT
The essence of religious truth genuinely is found in its answer for human problem. For
every religion has its own secret mission to save and guide human beings to the good and
right way. Pluralism is a reality happens around our daily lives. It appears in terms of
religious, cultural, and educational pluralism, race and ethnic. All kinds of pluralism are
natural things without any kind of engineering or human desire. It means that it's God's
wish as the only creator of human beings and all lives in this world. Of course, on the
purpose that people can find within all differences the positive sides as guidance for
cooperation, introspection, and help for each other. So that, basically the pluralism values
have strong roots in religious teaching, especially Islam whose reality and history are
closely related to monotheism as a basic teaching in Islam. In this case, if only Allah
wished, all people become one ummah, one ethnic, one nation, one religion, however
Allah does not wish so. Intentionally, Allah created us in different kinds to examine what
He has given and let His servants compete each other in good deeds.
Keyword: Religion Pluralism.
Kata Kunci: Pluralisme Agama
A. Pendahuluan
Ijtihad dalam berbagai persoalan harus terus menerus di hidupkan, begitu
juga ijtihad terhadap konsep Pluralisme Agama. Agama sebagai obyek
perbincangan dan pergerakan yang senantiasa terus menarik untuk
didiskusikan sepanjang zaman. Hal ini dikerenakan fungsi dan peran agama
yang unik dan menarik, yaitu sebagai sesuatu yang berwajah ganda. Agama, di
satu sisi menjadi pedoman, kehidupan, perdamaian, dan tuntutan moralitas
demi keselamatan individu dan sosial. Akan tetapi, di sisi lain agama sering
1
menjadi penyebab konflik, peperangan, kultus, dan kekacauan kehidupan
umat manusia. Agama mempunyai nilai-nilai yang bersifat inklusif, universal
dan transcending. Tetapi, di sisi lain, agama mengandung hal-hal yang
bersifat eksklusif, partikular dan primodial. Maka agama pada tataran realitas
dilapangan sering dicampuradukkan dengan penafsiran keagamaan.
Maksudnya, perbedaan itu sering berujung pada pemberian vonis kesalahan
terhadap orang lain yang tidak sepaham. Dan memunculkan klaim kebenaran
agama pada kelompok sendiri, dan kelompok yang lain dianggap jauh
menyimpang dari kebenaran. Klaim kebenaran penafsiran agama itu juga
menjadikan para pemeluk agama dan tokoh agama berperilaku dengan
menggunakan standar ganda kebenaran.
B. Konsep Pluralisme Agama dalam Al-Qur'an dan Penafsirannya
Ada beberapa pengertian tentang pluralisme, salah satunya diungkapkan
oleh Alwi Shihab (1999 : 41-43) yang membandingkan dengan beberapa konsep
yang memiliki makna hampir sama, tetapi secara substansi berbeda.
Pertama, pluralisme tidak semata menunjuk pada kenyataan adanya
kemajemukan. Namun yang dimaksud adalah keterlibatan aktif terhadap
kenyataan kemajemukan dan keragaman tersebut. Seperti Pluralisme Agama dan
budaya dapat kita jumpai di mana-mana. Seperti di kantor tempat kita bekerja, di
sekolah tempat kita belajar, bahkan di pasar di mana kita berbelanja. Tapi
seseorang baru dapat dikatakan menyandang sifat tersebut apabila dapat
berinteraksi positif dalam lingkungan kemajemukan tersebut.
Kedua, Pluralisme Agama bukanlah sinkretisme, yaitu menciptakan agama
baru yang kemudian memadukan unsur-unsur tertentu atau sebagian komponen
ajaran dari beberapa agama untuk dijadikan bagian integral dari agama tersebut.
Seperti pertengahan abad ke-19, ketika Mirza Husein Ali Nuri yang lebih dikenal
dengan Bahaullah mendirikan agama Bahaisme di Iran. Bahaisme sebagai agama
baru mengambil unsur atau ajaran dari agama Yahudi, Kristen, dan Islam.
Ajaran Al-Qur'an merupakan pedoman hidup yang tidak bisa terlepas dari
kehidupan umat Islam, sejak dulu sampai sekarang. Maka dari itu perlu adanya
konsep yang mampu menjaga eksistensi Islam di tengah-tengah pluralitas. Ada
beberapa tema pokok perspektif Al-Qur'an tentang Pluralisme Agama.
1. Pengakuan Atas Eksistensi Agama-agama
Dalam pandangan Rachman (2004 : 20), pada dasarnya menurut AlQur'an, pokok pangkal kebenaran universal yang tunggal adalah paham
Ketuhanan Yang Maha Esa atau Tauhid. Tugas para Rasul adalah menyampaikan
ajaran tentang Tauhid ini, serta ajaran tentang keharusan manusia tunduk dan
patuh hanya kepada-Nya saja. Seperti terdapat dalam firman Allah, QS. AlAnbiya' [21] : 92 : "Sesungguhnya (agama Tauhid) ini adalah agama kamu
semua; agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku." Justru
berdasarkan paham ke-Tauhid-an inilah Al-Qur'an mengajarkan paham
kemajemukan keagamaan (religious plurality). Sikap ini dapat ditafsirkan sebagai
sutu harapan kepada semua agama yang ada: Bahwa agama itu pada mulanya
menganut prinsip yang sama, dan persis karena alasan inilah Al-Qur'an mengajak
kepada titik pertemuan (kalimah sawa').
Mencari dan menemukan titik kesamaan itu adalah bagian dari ajarannya
yang amat penting. Dalam Al-Qur'an disebutkan ada perintah Allah kepada Nabi
2
Muhammad SAW untuk mengajak kaum Ahl al-Kitab bersatu dalam satu
pandangan yang sama (kalimah sawa'), yaitu paham Ketuhanan Yang Maha Esa
yang terdapat dalam QS. Al-Imran [3] : 64: "Katakanlah: "Hai ahli kitab, marilah
(berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara
kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita
persekutukan dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan
sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah". Maka dari itu, implikasi dari
kalimah sawa' ini adalah siapapun dapat memperoleh keselamatan.
Dari implikasi tersebut, Al-Qur'an telah mencapai puncaknya dalam
berbicara soal Pluralisme Agama ketika menegaskan sikap penerimaan Al-Qur'an
terhadap agama-agama selain Islam untuk hidup berdampingan. Yahudi, Kristen
dan agama-agama lainnya diakui eksistensinya oleh Islam. Ini satu-satunya sikap
yang tidak terdapat di dalam agama-agama lain. Seperti terdapat dalam firman
Allah, QS. Al-Baqarah [2] : 62: "Sesungguhnya orang-orang Mukmin, orangorang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja
diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari Kemudian dan
beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada
kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati."
Ayat ini turun, sebagaimana dalam Shaleh (1999 : 24-25), diriwayatkan
oleh Ibnu Abi Hatim dan Al-Adni dalam musnadnya, dari Ibnu Abi Najih yang
bersumber dari Mujahid, berkata Salman: "Bahwasanya aku telah bertanya kepada
Rasulullah SAW., Tentang penganut agama yang pernah ia anut bersama mereka.
Ia terangkan cara-cara shalatnya dan ibadahnya. Lalu aku meminta kepada beliau
manakah yang benar." Maka turunlah QS. Al-Baqarah [2] : 62 sebagai penegasan
bahwa orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir dan berbuat saleh akan
mendapat pahala dari Allah SWT.
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa ketika Salman menceritakan
kepada Rasulullah kisah teman-temannya, maka Nabi Muhammad SAW.,
bersabda: "Mereka di neraka." Salman berkata: "seolah-olah gelap gulita bumi
bagiku. Akan tetapi setelah turun ayat ini (QS. Al-Baqarah [2] : 62) seolah-olah
terang benderang dunia bagiku."
Ayat di atas, dalam pandangan Essak (1997) jelas mengakui keabsahan de
jure semua agama wahyu dalam dua hal: Pertama, ia menerima keberadaan
kehidupan religius komunitas lain yang semasa dengan kaum muslim awal,
menghormati hukum-hukum, norma-norma sosial, dan pratik-pratik keagamaan
mereka. Kedua, ia menerima pandangan bahwa pemeluk-pemeluk setiap agamaagama ini juga akan mendapatkan keselamatan. Kedua aspek sikap Al-Qur'an
terhadap non muslim ini dapat dianggap sebagai dasar penerimaan Pluralisme
Agama.
Sementara Shihab (2002 : 206) dalam Tafsir Al-Misbah berpendapat,
sesungguhnya orang-orang yang beriman, yakni yang mengaku beriman kepada
Nabi Muhammad SAW., orang-orang Yahudi yang mengaku beriman kepada
Nabi Musa AS., orang-orang Nasrani yang mengaku beriman kepada Nabi Isa
AS,. Dan orang-orang Shabi'in, kaum musyrik atau penganut agama dan
kepercayaan lain, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian sebagaimana dan sesuai dengan segala unsur keimanan
yang diajarkan Allah melalui nabi-nabi dan beramal saleh, yakni yang bermanfaat
dan sesuai dengan nilai-nilai yang ditetapkan Allah, maka untuk mereka pahala
3
amal-amal saleh mereka yang tercurah di dunia ini dan tersimpan hingga di
akhirat nanti di sisi Tuhan pemelihara dan pembimbing mereka, serta atas
kemurahan-Nya, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka menyangkut sesuatu
apa pun yang akan datang, dan tidak pula mereka bersedih hati menyangkut
sesuatu yang telah terjadi.
Secara implisit apa yang ditafsirkan oleh Essak dan Shihab di atas begitu
jelas, semua yang beriman kepada Allah dan beramal saleh, tanpa memandang
afiliasi keagamaan formal mereka, akan diselamatkan, sebab Allah tak
mengutamakan satu kelompok seraya mendzalimi kelompok yang lain. Penafsiran
ini lahir dari refleksi tentang sikap Al-Qur'an terhadap fakta keanekaragaman
agama. Bahwa keselamatan itu bisa diperoleh dengan tiga hal: pertama, beriman
kepada Allah, kedua, beriman kepada hari kemudian dan ketiga berbuat baik atau
beramal saleh. Di dalam ayat yang lain, juga disebutkan dalam QS. Al-Maidah
[5]: 69. Pengakuan hak eksistensi terhadap agama lain, juga harus disertai dengan
kesadaran teologi, bahwa kehidupan, terutama kehidupan agama ini memang
plural dan itu adalah kehendak Allah. Pengakuan Al-Qur'an terhadap hak-hak
tersebut, merupakan landasan bagi konsep Pluralisme Agama, sosial dan budaya
yang bersifat universal.
2. Kesatuan Pesan Ketuhanan
Dalam pandangan teologi Islam, Rachman (2004 : 21) menjelaskan bahwa
Al-Qur'an itu adalah pesan keagamaan yang harus selalu dijadikan pedoman
dalam kehidupan keagamaan seorang Muslim. Pandangan ini mengacu kepada
sebuah Hadist Nabi Muhammad SAW, yang sering dikutipnya, al-din-u nashihah,
"Agama adalah nasihat", jadi agama adalah sebuah pesan. Dan dalam Al-Qur'an
ada penegasan, bahwa pesan keagamaan yang merupakan pokok pandangan hidup
Islam itu sama untuk para pengikut Nabi Muhammad SAW, dan mereka yang
menerima kitab suci sebelumnya, pesan itu adalah untuk bertakwa kepada Allah
QS. Al-Nisa' [4] : 131: "Dan kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan yang di
bumi, dan sungguh kami Telah memerintahkan kepada orang-orang yang diberi
Kitab sebelum kamu dan (juga) kepada kamu; bertakwalah kepada Allah. Tetapi
jika kamu kafir maka (ketahuilah), Sesungguhnya apa yang di langit dan apa
yang di bumi hanyalah kepunyaan Allah dan Allah Maha Kaya dan Maha
Terpuji."
Takwa menurut Madjid (2000 : 495), biasa dijelaskan sebagai sikap "takut
kepada Tuhan" atau "sikap menjaga diri dari perbuatan jahat", atau "sikap patuh
memenuhi segala kewajiban serta menjahui larangan Tuhan." Sedangkan menurut
Rahardjo (1996 : 165-167) takwa merupakan menyangkut hubungan manusia dan
Tuhan. Tetapi implikasi daripada takwa adalah bersifat kemanusiaan. Apabila
orang bertakwa kepada Tuhan, maka implikasinya adalah bersikap adil terhadap
sesama manusia. Takwa di satu pihak mencakup pengertian iman kepada Allah,
hari akhir, para malaikat, kitab-kitab suci dan para Nabi terdahulu, di lain pihak
takwa bisa di manifestasikan dalam bentuk menolong kepada anak yatim, orangorang miskin dan orang-orang yang membutuhkan pertolongan. Inilah yang
disebut orang-orang yang bertakwa.
Pesan takwa tersebut pada prinsipnya ditujukan kepada semua umat
manusia. Artinya takwa di sini bisa memunculkan arti kesamaan hakikat semua
pesan Tuhan. Tetapi arti kesamaan bukan kesamaan dalam arti formal dalam
aturan-aturan positif tertentu, Tetapi yang dimaksud dengan kesamaan adalah
4
kesamaan dalam pesan besar, yang dalam Al-Qur'an dinyatakan dalam kata-kata
"washiyyah".
Kata washiyah dalam Al-Qur'an Menurut Rachman (2004 : 27), berarti
"Ajakan untuk menemukan dasar-dasar kepercayaan" atau juga bisa disebut sikap
hidup yang hanif, atau lengkapnya al-hanifiyat al-samhah yang berarti "semangat
kebenaran yang toleran," Menurut R. William Liddle dalam bukunya Leadership
and Cultural in Indonesian Politics, yang kemudian di kutib oleh Fauzan (2004),
berkaitan dengan al-hanifiyat al-samhah:
Agama yang benar adalah al-hanifiyat al-samhah yaitu mencari
kebenaran yang lapang dan toleran, tanpa fanatisme dan tidak
membelenggu jiwa. Orang-orang Yahudi, Kristen, dan Islam
adalah bagian dari agama Ibrahim, suatu kesinambungan yang
telah di pahami oleh umat Islam secara lebih baik dari umat yang
lain. Disamping itu, al-Islam sebenarnya (aslinya) bukanlah nama
dari suatu agama, tetapi sikap berserah diri atau tunduk kepada
Tuhan seperti yang terdapat pada agama-agama lain.
Hal ini diperkuat dengan Hadist yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin
Hanbal Juz Satu dan Tujuh (1991): Ibn Abbas menuturkan bahwa Nabi SAW
ditanya, "Agama mana yang paling dicintai Allah?" Nabi menjawab, "Semangat
kebenaran yang toleran (al-hanifiyat al-samhah)." A'isyah juga menuturkan
bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Hari ini pastilah kaum Yahudi tahu bahwa
dalam agama kita ada kelapangan. Sesungguhnya aku ini diutus dengan semangat
kebenaran yang toleran (al-hanifiyat al-samhah)."
3. Prinsip Kebebasan Berkeyakinan
Untuk itu pesan takwa dalam Al-Qur'an di atas dan Agama yang benar
adalah mencari kebenaran yang lapang dan toleran, tanpa fanatisme dan tidak
membelenggu jiwa. Maka Pluralisme Agama itu ditegakkan berdasarkan prinsip
bahwa masing-masing kelompok manusia berhak untuk bereksistensi dan
menempuh hidup sesuai dengan keyakinannya. Salah satu esensinya adalah
larangan memaksakan agama, hal ini merupakan prinsip dasar yang disebutkan
dengan tegas dalam Al-Qur'an, QS. Al-Baqarah [2] : 256: "Tidak ada paksaan
untuk (memasuki) agama (Islam)."
Mengomentari ayat diatas, Abdullah Yusuf Ali (1989 : 106 : catatan 300)
berpendapat sebagai berikut:
Compulsion is incompatible with religion because (1) religion
depends upon faith and will, and these would be meaningless if
induced by force; (2) Truth and Error have been so clearly shown
up by the mercy of Allah that there should be the minds of any
persons of good will as to the fundamentals of faith: (3) Allah's
protection is continuous, and His Plan is always to lead us from the
depths of darkness into the clearest light.
(Pemaksaan bertentangan dengan agama, sebab (1) agama
tergantung kepada iman dan kemauan, dan semua ini takkan ada
artinya bila didesak dengan jalan kekerasan, (2) kebenaran dan
kesesatan sudah demikian jelas, (3) perlindungan Tuhan
bersinambungan, dan hendak-Nya selalu membimbing kita keluar
dari lembah kegelapan kepada cahaya yang terang.)
5
Shihab (2002 : 515) menjelaskan, yang dimaksud tidak ada pemaksaaan
agama disini adalah tidak ada paksaan dalam menganut keyakinan agama. Allah
menghendaki agar setiap orang merasakan kedamaian. Agama-Nya dinamai
Islam, yakni damai. Kedamaian tidak dapat diraih kalau jiwa tidak damai. Paksaan
menyebabkan jiwa tidak damai, karena itu tidak ada paksaan dalam menganut
keyakinan agama Islam.
Jadi apa yang dijelaskan oleh Yusuf Ali dan Shihab begitu jelas, bahwa
ayat tersebut menjawab persoalan-persoalan perbedaan agama, pemaksaan agama
dan pemaksaan untuk memilih agama, kenyataannya sangat dikecam oleh AlQur'an. Al-Qur'an di sini betul-betul sangat elegan dan sangat bervisi pluralis,
dengan mengatakan tidak ada pemaksaan agama dalam memeluk agama Islam.
Dalam ayat yang lain juga disebutkan, Allah di dalam Al-Qur'an, menegur
keras Nabi Muhammad SAW ketika ia menunjukkan keinginan dan kesediaan
yang menggebu untuk memaksa manusia menerima dan mengikuti ajaran yang
disampaikannya, Seperti terdapat dalam firman Allah, QS. Yunus [10] : 99: "Dan
Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka
bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka
menjadi orang-orang yang beriman semuanya ?"
Dalam tafsirannya menurut Yusuf Ali (1989 : 505 : catatan 1480) tentang
QS. Yunus ayat 10 disebutkan:
If it had been Allah's Plan or Will not to grant the limited Free Will
that He has granted to man. His omnipotence could have mad all
mankind alike: all would then have had Faith, but that Faith would
have reflected no merit on them. In the actual world as it is, man
has been endowed with various faculties and capacities, so that he
should strive and explore, and bring himself into harmony with
Allah's Will. Hence faith becomes a moral achievement, and to
resist faith becomes a sin. As a complementary proposition, men of
faith must not be impatient or angry if they have to contend against
Unfaith, and most important of all, they must guard against the
temptation of forcing Faith, imposing it on others by physical
compulsion, or any other forms of compulsion such as social
pressure, or inducements held out by wealth or position, or other
adventitious advantages. Forced faith is no faith. They should
strive spiritually and let Allah's Plan work as He wills.
(Seandainya bukanlah Kehendak Allah untuk memberikan
Kebebasan yang terbatas seperti yang sudah diberikan-Nya kepada
manusia, maka Kemahakuassaan-Nya tentu saja akan mampu
menjadikan semua umat manusia sama dan sejenis: Semua mereka
akan beriman, tetapi Iman itu sendiri tidaklah mencerminkan
capaian pengalaman keagamaan mereka yang sesungguhnya.
Dalam dunia aktual yang ada, manusia telah dikaruniai berbagai
fakultas dan kemampuan, dan karunia itulah yang mengharuskan
mereka berusaha keras dan menelusuri, dan pada akhirnya akan
membawa mereka kepada jalan yang sesuai dengan Kehendak
Allah. Karena itu, iman menjadi sebuah capaian moral, dan
penolakan atas iman merupakan sebuah dosa. Sebagai pernyataan
6
pelengkap, manusia yang sudah beriman tidak boleh bersikap tidak
sabar atau marah jika mereka harus berhadapan dengan kekufuran;
dan yang paling penting di atas yang lainnya adalah, mereka harus
menjaga diri dari godaan untuk memaksakan iman, yakni
mendesakkan penerimaannya oleh
orang lain
dengan
menggunakan kekerasan fisik, atau bentuk pemaksaan lainnya
seperti tekanan sosial, atau rayuan yang menjanjikan kekayaan
atau posisi, atau keuntungan-keuntungan lainnya. Iman yang
muncul karena pemaksaan bukanlah iman yang sesungguhnya.
Manusia harus berusaha keras meningkatkan capaian spiritualnya,
dan biarkanlah Rencana Allah berjalan sesuai dengan KehendakNya).
Begitulah, pesan dari kitab suci ini, sejak awal telah mengantisipasi
terjadinya pemaksaan dalam hal agama dengan berbagai bentuknya, dan
menyebutnya sebagai sesuatu yang bertentangan dengan agama itu sendiri.
Dengan demikian, kesan yang dapat ditangkap adalah adanya suatu masa depan
yang cerah bagi kerjasama umat beragama dalam suasana yang lebih damai dan
tentram, tanpa terjadi yang dinamakan kompromi akidah.
4. Prinsip Berlomba dalam Berbagai Kebaikan
Al-Banna (2006:13) menegaskan, bahwa Al-Qur'an tidak pernah
menghendaki manusia menjadi umat yang satu diatur oleh satu konvensi atau satu
gagasan. Mereka berbeda dan akan terus berbeda. Sebagian mereka berbeda
dengan yang lain dalam ras, bahasa, keyakinan dan lain-lain. Dalam QS. AlMaidah [5] : 48 disebutkan: "Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami berikan
aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu
dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap
pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya
kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa
yang Telah kamu perselisihkan itu."
Menurut Essak (1997 : 168) kalimat awal dari QS. Al-Maidah [5] : 48 dan
ayat sesudahnya merujuk kepada peran Nabi sebagai penengah di dalam
komunitas aktual saat itu. Konteksnya membuat jelas bahwa yang dirujuk adalah
komunitas agama lain yang hidup berdampingan dengan kaum muslim Madinah,
bukan komunitas ahistoris yang berada di alam non fisik atau dalam konteks
kesejarahan yang berbeda. Teks tersebut menuntut agar respon terhadap
keanekaragaman itu berupa saling berlomba dalam kebaikan. Mengingat bahwa
setiap kompetisi yang berarti hanya dapat dilaksanakan di dalam komunitas
kontemporer yang mengalami situasi yang sama, maka kita hanya dapat
berasumsi bahwa mitra kaum muslim saat itu adalah pemeluk agama lain yang
hidup berdampingan dengan mereka.
Dalam ayat itu juga disebutkan untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami
berikan syir'ah (aturan) dan minhaj (jalan) yang terang. Menurut Essak (1997 :
169) teks itu bermakna bahwa Tuhan telah menetapkan aturan dan jalan bagi
semua orang, baik sebagai individu maupun komunitas agama, dan bahwa orang
(atau suatu kaum) harus setia pada aturan dan jalan yang telah ditetapkan
untuknya. Dan sekiranya aturan dan jalan itu begitu penuh cobaan sehingga tidak
memungkinkan seseorang untuk melewatinya, maka dia bebas memilih jalan lain
7
yang telah ditetapkan Tuhan. Tujuannya adalah untuk saling berlomba dalam
kebajikan menuju Tuhan. Berkaitan dengan satu umat, bahwa Tuhan memberikan
satu klausul penting diakuinya umat yang berbeda-beda, asal mereka berbuat baik.
Satu umat tentu saja tidak hanya umat Nabi Muhammad, Isa, dan Musa tetapi
banyak umat. Kepada siapa saja komunitas yang ada di muka bumi ini.
Al-Banna (2006 : 33-37) juga mengatakan, Al-Qur'an telah menetapkan
sumber perbedaan. Setiap kelompok tidak dibenarkan merasa paling unggul dan
menganggap kelompok lain sebagai tidak berarti. Tidak dibenarkan ada klaim
bahwa surga hanya milik kelompok tertentu, tidak untuk kelompok yang lain. Ini
bukan wewenang manusia. Dan klaim seperti itu berarti mengabaikan wewenang
Allah. Bahwa perbedaan dan Kemajemukan umat manusia adalah kenyataan yang
telah menjadi kehendak Tuhan. Jika dalam kitab suci disebutkan bahwa manusia
diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar mereka saling mengenal dan
menghargai, oleh karena itu, sesungguhnya sikap Islam terhadap Pluralisme
Agama berdiri di atas prinsip kesejajaran, toleransi dan saling melengkapi. Inilah
pilihan yang paling baik, karena Pluralisme Agama lebih baik dari pada satu
agama. Satu agama tidak akan mampu merespon dinamika kemanusiaan. Dengan
satu agama kondisi saling berlomba dalam berbagai kebajikan tidak akan tercipta.
Sikap toleran dan saling melengkapi jelas lebih baik daripada sikap saling
berseberangan dari puluhan agama.
5. Kesatuan Ajaran para Nabi
Menarik, berkaitan dengan keyakinan Islam mengenai adanya kebenaran
yang sama, yang diekspresikan dengan berbagai agama, salah satu segi ajaran
Islam yang sangat khas, ialah konsep tentang para pengikut kitab suci atau Ahl alKitab. Yaitu konsep yang memberi pengakuan tertentu kepada para penganut
agama lain, yang memiliki kitab suci dengan memberi kebebasan menjalankan
ajaran agamanya masing-masing. Sikap Al-Qur'an terhadap mereka adalah
kebutuhan sosio religius komunitas muslim, seperti pembangunan komunitas dan
masalah keamanan, bukan masalah keyakinan.
Walaupun Islam adalah agama kitab dengan Al-Qur'an sebagai kitab,
tetapi secara tradisi sebutan Ahl al-Kitab tidak tertuju kepada kaum muslim
sendiri. Sebutan ini hanya khusus kepada penganut kitab suci agama lain yang
tidak mengakui kenabian dan kerasulan Muhammad SAW dan ajaran yang
disampaikannya, tetapi mereka mempunyai kepercayaan kepada Allah (baca QS.
Al-Imaran [3] : 113-115). Dalam Al-Qur'an seperti sudah dikemukakan di atas,
kaum Yahudi dan Kristiani mempunyai kedudukan yang khusus, bahkan dijamin
hak-hak keberagaman dan keselamatannya, apalagi menurut Al-Qur'an inti ajaran
yang di sampaikan kepada semua Nabi dan Rasul itu adalah sama. Dan dalam
kerangka "kesatuan agama" dan "pluralitas syari'at-syari'at", Al-Qur'an
melegitimasi realitas ini QS. Asy-Suura [42] : 13 : "Dia Telah mensyari'atkan
bagi kamu tentang agama apa yang Telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa
yang Telah kami wahyukan kepadamu dan apa yang Telah kami wasiatkan
kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu
berpecah belah tentangnya… ".
Kemajemukan syari'at nabi-nabi, rasul-rasul, serta manhaj umat-umat yang
menerima risalah, dalam kerangka kesatuan agama yang satu juga terdapat dalam
hadist Imam Muslim Juz Empat (1995 : 1465) Rasulallah bersabda: "Para nabi
8
adalah saudara dari ibu-ibu yang beragam, agama mereka satu, dan ibu mereka
beragam".
Karena itu sesungguhnya seluruh umat pemeluk agama Allah adalah umat
yang tunggal. Adapun yang dimaksud dengan tunggal atau satu menurut AlBanna (2006 : 14) adalah kesatuan dalam akidah satu. Kesatuan ini tidak
menegasikan unsur-unsur perbedaaan dan keragaman bangsa di kalangan kaum
muslimin yang tetap berada dalam lingkaran akidah yang satu. Seperti dalam QS.
Al-Imran [3] : 84: "Katakanlah: "Kami beriman kepada Allah dan kepada apa
yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail,
Ishaq, Ya'qub, dan anak-anaknya, dan apa yang diberikan kepada Musa, Isa dan
para nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun di
antara mereka dan Hanya kepada-Nyalah kami menyerahkan diri."
Percaya atau beriman terhadap kitab-kitab suci yang dulu. Menuntut
adanya sebuah pengakuan terhadap eksistensi semua agama. Secara implisit dan
eksplisit Al-Qur'an mengakui dan melindungi agama-agama di luar Islam, seperti
terdapat dalam firman Allah, QS. Al-Hajj [22] : 40. "(yaitu) orang-orang yang
Telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali
Karena mereka berkata: 'Tuhan kami hanyalah Allah dan sekiranya Allah tiada
menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah
Telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang
Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah.
Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya."
Ayat ini menyatakan secara tegas keberadaan agama-agama di luar Islam.
Bahwa esensi semua agama itu kembali pada Allah. Mungkin yang berbeda
hanyalah sebuatan "Tuhan" pada setiap agama. Kautsar (2003 : 30) menjelaskan
dalam bukunya Tasawuf Perenial, bahwa semua agama pada hakikatnya satu dan
mempunyai tujuan yang sama, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Perbedaan antar
agama-agama terletak hanya pada nama, bentuk, dan cara ibadanya. Perbedaan itu
tidak menghalangi para penganut masing-masing agama untuk sampai kepada
tujuan yang sama. Sementara Sachedina (2002 : 95) menjelaskan, Pluralisme
Agama merupakan sistem ilahi. Maka teologis Pluralisme Agama dalam AlQur'an mengenai kaum lain memang memandang hubungan antar agama sebagai
sistem ilahiah bagi manusia untuk hidup bersama.
Semua agama memang dapat dikatakan mengacu pada pengakuan, bahwa
ada kekuatan maha dahsyat dan maha kuasa di luar kemampuan manusia dan alam
semesta ini. Demikian juga dengan Islam, dalam kaitan keberadaan agama lain,
Islam tetap menempatkan agama lain dalam kerangka realitas sosial untuk
menjaga hak-hak kebebasan manusia untuk mengikuti dan menyakini suatu
agama. Ini sekaligus mengakui adanya Pluralisme Agama yang menjadi penuntun
hidup manusia. Dan Islam menurut Baidhawi (2006 : 42) tidak menghapus
agama-agama terdahulu. Hal ini ditandai dengan tidak ada paksaan dalam memilih
agama, Islam juga agama yang toleran terhadap agama-agama lain di luar Islam.
Dan Islam juga bukan agama yang suporior, artinya tidak merasa yang paling
benar.
Realitas plural inilah, menuntut setiap individu dan kelompok yang
berbeda, mengakui eksistensi individu, dan kelompok lain. Dan eksistensi yang
diakui Islam bukan dalam kerangka teologis, ritual dan bukan pula
mencampuradukan akidah, sebab dalam firman Allah disebutkan, QS. Al-kafirun :
9
1-6. Menurut Al-Banna (2006 : 34) secara eksplisit ayat ini menciptakan semangat
pluralisme atas dasar toleransi merupakan anugerah dan kesempurnaan. Inilah
kondisi paling otentik, karena semuanya berdoa kepada Tuhan Yang Esa dan
mengajak kepada nilai-nilai cinta, kebaikan dan keadilan. Setiap agama, dengan
berbagai kelebihannya, berlomba untuk berperan dalam membangun sebuah
peradaban.
Sangat menarik apabila melihat pandangan Ibn Al-Arabi yang kemudian
di kutip oleh Kautsar (2003), bahwa persoalan kebenaran keagamaan harus
dijelaskan melalui ajarannya tentang perintah Tuhan. Ibn Al-Arabi membagi
perintah Tuhan kepada dua macam, yaitu: Perintah Penciptaan dan Perintah
Kewajiban. Yang pertama disebut kehendak ilahi, dan yang kedua disebut
keinginan ilahi. Perintah penciptaan menyebabkan semua makhluk ada, tidak
sesuatu pun yang tidak mematuhi perintah ini, seperti dalam QS. Yassin [36] :
82: "Sesungguhnya keadaan-Nya apabila dia menghendaki sesuatu hanyalah
Berkata kepadanya: "Jadilah!" Maka terjadilah ia."
Perintah kewajiban disampaikan oleh Tuhan kepada para Nabi dalam
bentuk wahyu yang harus mereka sampaikan kepada umat mereka. Perintah ini
memberikan kewajiban atas manusia untuk mengabdi kepada Tuhan melalui
shalat, puasa zakat dan lain-lain. Perintah pertama ditujukan secara khusus kepada
manusia. Perintah pertama pasti terpenuhi. Perintah kedua dapat terpenuhi dan
dapat tidak terpenuhi.
Di lihat dari segi perintah penciptaan atau kehendak ilahi, menurut Ibn AlArabi semua agama, baik agama-agama para penyembah Tuhan maupun agamaagama para penyembah berhala, adalah sama dan benar. Artinya semua agama itu
sesuai dengan perintah penciptaan atau kehendak ilahi, dengan kata lain, semua
agama, baik yang sesuai maupun yang tidak sesuai dengan perintah kewajiban
adalah sama karena semuanya memenuhi atau tidak bertentangan dengan perintah
penciptaan. Dapat pula dikatakan bahwa semua agama adalah benar karena
semuanya adalah penampakkan diri atau teofani Tuhan. Dalam pengertian itu,
semua agama berasal dari Tuhan. Akan tetapi, dilihat dari segi perintah
kewajiban, semua agama tidak sama dan tidak benar. Agama yang benar adalah
agama yang sesuai dengan perintah kewajiban, yaitu agama yang sesuai dengan
wahyu Tuhan yang disampaikan kepada para Nabi. Agama inilah yang menjamin
keselamatan dan kebahagiaan. Karena Tuhan memberikan wahyu tidak hanya
kepada Nabi Muhammad SAW tetapi juga kepada Nabi-nabi lain, maka agama
yang membawa keselamatan dan kebahagiaan tidak hanya agama yang di bawa
Nabi Muhammad SAW, tetapi juga agama-agama yang dibawa Nabi lain.
Dalam Pluralisme Agama, masalah ritual agama adalah soal individu
seseorang, di mana tidak boleh orang mengintervensi untuk menentukan merah
hijaunya seseorang dalam menjalankan ritual agama. Tidak boleh seorang pun,
baik tokoh-tokoh agama atau pemegang otoritas agama seperti lembaga-lembaga
agama, untuk memaksakan hal-hal yang berkaitan dengan individu dalam agama.
Di sini dorongan harus dibedakan dengan pemaksaan. Dorongan bisa dibenarkan,
tetapi pemaksaan sama sekali tidak dibenarkan.
D. Kesimpulan
Al-Qur'an telah mengisyaratkan adanya Pluralisme Agama secara global,
bahkan Al-Qur'an menanamkan kaidah-kaidah mendasar bagi kenyataan
10
Pluralisme Agama. Bagian-bagian dari kaidah tersebut yang menopang Pluralisme
Agama dalam Al-Qur'an, pertama, adanya Pengakuan atas Eksistensi Agamaagama, hal ini ketika menegaskan sikap penerimaan Al-Qur'an terhadap agamaagama selain Islam untuk hidup berdampingan. Ini satu-satunya sikap yang tidak
terdapat di dalam agama-agama lain. Seperti terdapat dalam firman Allah, QS. AlBaqarah [2] : 62. Kedua, adaya Kesatuan Pesan Ketuhanan, pesan itu adalah
untuk bertakwa kepada Allah seperti dalam QS. Al-Nisa' [4] : 131. Pesan takwa
tersebut pada prinsipnya ditujukan kepada semua umat manusia.
Ketiga, Adanya Prinsip Kebebasan Berkeyakinan, salah satu esensinya
adalah larangan memaksakan agama, hal ini merupakan prinsip dasar yang
disebutkan dengan tegas dalam Al-Qur'an, QS. Al-Baqarah [2] : 256. Keempat,
adanya Kesatuan Ajaran Nabi-nabi, bahwa ajaran dasar agama itu sama (sekalipun
wujud lahiriahnya berbeda-beda) sejak dari Nabi yang pertama sampai kepada
Nabi yang terakhir. Inilah yang bisa kita pahami dari firman Allah QS. As-Syura
[42] : 13.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Abdullah Yusuf, 1989, The Holy Quran: Text, Translation, Commentary,
USA, Amana Corporation.
Baidhawi, Zakiyuddin, 2006, Kredo Kebebasan Beragama, Cetakan Pertama,
Jakarta, Pusat Studi Agama dan Peradaban [PSAP]
Banna, Gamal Al-, 2006, Doktrin Pluralisme dalam Al-Qur'an, Terjemah Taufik
Damas, Jakarta, Menara.
Esack, Farid, 1997. Qur'an, Liberation And Pluralism: An Islamic Perspective Of
Interreligious Solidarity Against Oppression, Oxford, England.
Hanbal, Imam Ahmad bin, 1991, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, Dar Al-Fikr.
Naisaburi, Imam Abi Al-Husain Muslim bin Al-Hujaj Al-Kusairi An-, 1995,
Shahih Muslim, Beirut, Dar Ibn Azam.
Noer, Kautsar Azhari, 2003, Tasawuf Perenial: Kearifan Kritis Kaum Sufi,
Cetakan Pertama, Jakarta, PT Serambi Ilmu Semesta.
Nurcholish, Madjid, 2000, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis
Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan, Cetakan
Keempat, Jakarta, Yayasan Wakaf.
Rachman, Budhy Munawar-, 2004, Islam Pluralis, Cetakan Pertama, Jakarta, PT
Raja Grafindo Persada.
Rahardjo, M. Dawam, 1996, Ensiklopedi Al-Qur'an; Tafsir Sosial Berdasarkan
Konsep-Konsep Kunci, Jakarta, Paramadina.
11
Saleh, Fauzan, 2004, Teologi Pembaruan: Pergeseran Wacana Islam Sunni Di
Indonesia Abad XX, Terjemah, Jakarta, PT Serambi Ilmu Semesta.
Shaleh, Q. dan M.D. Dahlan, 1999, Asbabun Nuzul: Latar Belakang Sejarah
Turunnya Ayat-Ayat Al-Qur'an, Cetakan Tujuh Belas, Bandung, CV
Diponegoro.
Shihab, M. Quraish, 2002, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian AlQur'an, Cetakan Kedua, Jakarta, Lentera Hati.
Shihab, Alwi, 1999, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama,
Cetakan Kelima, Bandung: Mizan.
12
Download