KONSEP PLURALISME AGAMA DALAM AL-QUR'AN DAN PENAFSIRANNYA Oleh : Agus Mahfudin, M.Si (Pengajar di Universitas Pesantren Tinggi Darul Ulum Jombang) ABSTRAK Esensi kebenaran sebuah agama sejatinya teletak pada jawabannya atas problem kemanusiaan. Sebab, sesungguhnya agama sejak awal mempunyai misi suci untuk menyelamatkan dan menuntun manusia menuju jalan kehidupan yang baik dan benar. Pluralisme adalah realitas yang betul-betul terjadi di sekitar kehidupan kita sehari-hari. Hal itu nampak pada Pluralisme Agama, Budaya, Pendidikan, Ras dan Suku. Pluralisme berbagai hal itu sebetulnya memang sebuah hal yang alami tanpa melalui rekayasa atau kehendak manusia. Maksudnya, itu adalah kehendak Tuhan sebagai pencipta manusia dan seluruh kehidupan yang ada di muka bumi. Tentunya, dengan tujuan agar perbedaan itu diambil aspek positifnya sebagai jalan pemandu untuk bekerja sama, introspeksi diri, dan tolong menolong. Maka, sejatihnya nilai-nilai Pluralisme terutama Pluralisme Agama itu memiliki akar yang cukup kuat dalam ajaran agama, terutama Islam. Pluralisme adalah bagian intrinsik dari ajaran Islam yang dalam realitas dan sejarahnya menyatu dengan ajaran monoteisme sebagai ajaran pokok dalam Islam. Untuk itu apabila Allah menghendaki niscanya menjadi umat yang tunggal, satu suku, satu bangsa, satu agama, tetapi Allah tidak menghendaki itu. Allah memang sengaja menjadikan kita bermacammacam untuk menguji berkenaan dengan apa yang dianugerahkan dan mempersilahkan hamba-Nya berlomba-berlomba dalam kebaikan. ABSTRACT The essence of religious truth genuinely is found in its answer for human problem. For every religion has its own secret mission to save and guide human beings to the good and right way. Pluralism is a reality happens around our daily lives. It appears in terms of religious, cultural, and educational pluralism, race and ethnic. All kinds of pluralism are natural things without any kind of engineering or human desire. It means that it's God's wish as the only creator of human beings and all lives in this world. Of course, on the purpose that people can find within all differences the positive sides as guidance for cooperation, introspection, and help for each other. So that, basically the pluralism values have strong roots in religious teaching, especially Islam whose reality and history are closely related to monotheism as a basic teaching in Islam. In this case, if only Allah wished, all people become one ummah, one ethnic, one nation, one religion, however Allah does not wish so. Intentionally, Allah created us in different kinds to examine what He has given and let His servants compete each other in good deeds. Keyword: Religion Pluralism. Kata Kunci: Pluralisme Agama A. Pendahuluan Ijtihad dalam berbagai persoalan harus terus menerus di hidupkan, begitu juga ijtihad terhadap konsep Pluralisme Agama. Agama sebagai obyek perbincangan dan pergerakan yang senantiasa terus menarik untuk didiskusikan sepanjang zaman. Hal ini dikerenakan fungsi dan peran agama yang unik dan menarik, yaitu sebagai sesuatu yang berwajah ganda. Agama, di satu sisi menjadi pedoman, kehidupan, perdamaian, dan tuntutan moralitas demi keselamatan individu dan sosial. Akan tetapi, di sisi lain agama sering 1 menjadi penyebab konflik, peperangan, kultus, dan kekacauan kehidupan umat manusia. Agama mempunyai nilai-nilai yang bersifat inklusif, universal dan transcending. Tetapi, di sisi lain, agama mengandung hal-hal yang bersifat eksklusif, partikular dan primodial. Maka agama pada tataran realitas dilapangan sering dicampuradukkan dengan penafsiran keagamaan. Maksudnya, perbedaan itu sering berujung pada pemberian vonis kesalahan terhadap orang lain yang tidak sepaham. Dan memunculkan klaim kebenaran agama pada kelompok sendiri, dan kelompok yang lain dianggap jauh menyimpang dari kebenaran. Klaim kebenaran penafsiran agama itu juga menjadikan para pemeluk agama dan tokoh agama berperilaku dengan menggunakan standar ganda kebenaran. B. Konsep Pluralisme Agama dalam Al-Qur'an dan Penafsirannya Ada beberapa pengertian tentang pluralisme, salah satunya diungkapkan oleh Alwi Shihab (1999 : 41-43) yang membandingkan dengan beberapa konsep yang memiliki makna hampir sama, tetapi secara substansi berbeda. Pertama, pluralisme tidak semata menunjuk pada kenyataan adanya kemajemukan. Namun yang dimaksud adalah keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan dan keragaman tersebut. Seperti Pluralisme Agama dan budaya dapat kita jumpai di mana-mana. Seperti di kantor tempat kita bekerja, di sekolah tempat kita belajar, bahkan di pasar di mana kita berbelanja. Tapi seseorang baru dapat dikatakan menyandang sifat tersebut apabila dapat berinteraksi positif dalam lingkungan kemajemukan tersebut. Kedua, Pluralisme Agama bukanlah sinkretisme, yaitu menciptakan agama baru yang kemudian memadukan unsur-unsur tertentu atau sebagian komponen ajaran dari beberapa agama untuk dijadikan bagian integral dari agama tersebut. Seperti pertengahan abad ke-19, ketika Mirza Husein Ali Nuri yang lebih dikenal dengan Bahaullah mendirikan agama Bahaisme di Iran. Bahaisme sebagai agama baru mengambil unsur atau ajaran dari agama Yahudi, Kristen, dan Islam. Ajaran Al-Qur'an merupakan pedoman hidup yang tidak bisa terlepas dari kehidupan umat Islam, sejak dulu sampai sekarang. Maka dari itu perlu adanya konsep yang mampu menjaga eksistensi Islam di tengah-tengah pluralitas. Ada beberapa tema pokok perspektif Al-Qur'an tentang Pluralisme Agama. 1. Pengakuan Atas Eksistensi Agama-agama Dalam pandangan Rachman (2004 : 20), pada dasarnya menurut AlQur'an, pokok pangkal kebenaran universal yang tunggal adalah paham Ketuhanan Yang Maha Esa atau Tauhid. Tugas para Rasul adalah menyampaikan ajaran tentang Tauhid ini, serta ajaran tentang keharusan manusia tunduk dan patuh hanya kepada-Nya saja. Seperti terdapat dalam firman Allah, QS. AlAnbiya' [21] : 92 : "Sesungguhnya (agama Tauhid) ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku." Justru berdasarkan paham ke-Tauhid-an inilah Al-Qur'an mengajarkan paham kemajemukan keagamaan (religious plurality). Sikap ini dapat ditafsirkan sebagai sutu harapan kepada semua agama yang ada: Bahwa agama itu pada mulanya menganut prinsip yang sama, dan persis karena alasan inilah Al-Qur'an mengajak kepada titik pertemuan (kalimah sawa'). Mencari dan menemukan titik kesamaan itu adalah bagian dari ajarannya yang amat penting. Dalam Al-Qur'an disebutkan ada perintah Allah kepada Nabi 2 Muhammad SAW untuk mengajak kaum Ahl al-Kitab bersatu dalam satu pandangan yang sama (kalimah sawa'), yaitu paham Ketuhanan Yang Maha Esa yang terdapat dalam QS. Al-Imran [3] : 64: "Katakanlah: "Hai ahli kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah". Maka dari itu, implikasi dari kalimah sawa' ini adalah siapapun dapat memperoleh keselamatan. Dari implikasi tersebut, Al-Qur'an telah mencapai puncaknya dalam berbicara soal Pluralisme Agama ketika menegaskan sikap penerimaan Al-Qur'an terhadap agama-agama selain Islam untuk hidup berdampingan. Yahudi, Kristen dan agama-agama lainnya diakui eksistensinya oleh Islam. Ini satu-satunya sikap yang tidak terdapat di dalam agama-agama lain. Seperti terdapat dalam firman Allah, QS. Al-Baqarah [2] : 62: "Sesungguhnya orang-orang Mukmin, orangorang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari Kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati." Ayat ini turun, sebagaimana dalam Shaleh (1999 : 24-25), diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dan Al-Adni dalam musnadnya, dari Ibnu Abi Najih yang bersumber dari Mujahid, berkata Salman: "Bahwasanya aku telah bertanya kepada Rasulullah SAW., Tentang penganut agama yang pernah ia anut bersama mereka. Ia terangkan cara-cara shalatnya dan ibadahnya. Lalu aku meminta kepada beliau manakah yang benar." Maka turunlah QS. Al-Baqarah [2] : 62 sebagai penegasan bahwa orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir dan berbuat saleh akan mendapat pahala dari Allah SWT. Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa ketika Salman menceritakan kepada Rasulullah kisah teman-temannya, maka Nabi Muhammad SAW., bersabda: "Mereka di neraka." Salman berkata: "seolah-olah gelap gulita bumi bagiku. Akan tetapi setelah turun ayat ini (QS. Al-Baqarah [2] : 62) seolah-olah terang benderang dunia bagiku." Ayat di atas, dalam pandangan Essak (1997) jelas mengakui keabsahan de jure semua agama wahyu dalam dua hal: Pertama, ia menerima keberadaan kehidupan religius komunitas lain yang semasa dengan kaum muslim awal, menghormati hukum-hukum, norma-norma sosial, dan pratik-pratik keagamaan mereka. Kedua, ia menerima pandangan bahwa pemeluk-pemeluk setiap agamaagama ini juga akan mendapatkan keselamatan. Kedua aspek sikap Al-Qur'an terhadap non muslim ini dapat dianggap sebagai dasar penerimaan Pluralisme Agama. Sementara Shihab (2002 : 206) dalam Tafsir Al-Misbah berpendapat, sesungguhnya orang-orang yang beriman, yakni yang mengaku beriman kepada Nabi Muhammad SAW., orang-orang Yahudi yang mengaku beriman kepada Nabi Musa AS., orang-orang Nasrani yang mengaku beriman kepada Nabi Isa AS,. Dan orang-orang Shabi'in, kaum musyrik atau penganut agama dan kepercayaan lain, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian sebagaimana dan sesuai dengan segala unsur keimanan yang diajarkan Allah melalui nabi-nabi dan beramal saleh, yakni yang bermanfaat dan sesuai dengan nilai-nilai yang ditetapkan Allah, maka untuk mereka pahala 3 amal-amal saleh mereka yang tercurah di dunia ini dan tersimpan hingga di akhirat nanti di sisi Tuhan pemelihara dan pembimbing mereka, serta atas kemurahan-Nya, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka menyangkut sesuatu apa pun yang akan datang, dan tidak pula mereka bersedih hati menyangkut sesuatu yang telah terjadi. Secara implisit apa yang ditafsirkan oleh Essak dan Shihab di atas begitu jelas, semua yang beriman kepada Allah dan beramal saleh, tanpa memandang afiliasi keagamaan formal mereka, akan diselamatkan, sebab Allah tak mengutamakan satu kelompok seraya mendzalimi kelompok yang lain. Penafsiran ini lahir dari refleksi tentang sikap Al-Qur'an terhadap fakta keanekaragaman agama. Bahwa keselamatan itu bisa diperoleh dengan tiga hal: pertama, beriman kepada Allah, kedua, beriman kepada hari kemudian dan ketiga berbuat baik atau beramal saleh. Di dalam ayat yang lain, juga disebutkan dalam QS. Al-Maidah [5]: 69. Pengakuan hak eksistensi terhadap agama lain, juga harus disertai dengan kesadaran teologi, bahwa kehidupan, terutama kehidupan agama ini memang plural dan itu adalah kehendak Allah. Pengakuan Al-Qur'an terhadap hak-hak tersebut, merupakan landasan bagi konsep Pluralisme Agama, sosial dan budaya yang bersifat universal. 2. Kesatuan Pesan Ketuhanan Dalam pandangan teologi Islam, Rachman (2004 : 21) menjelaskan bahwa Al-Qur'an itu adalah pesan keagamaan yang harus selalu dijadikan pedoman dalam kehidupan keagamaan seorang Muslim. Pandangan ini mengacu kepada sebuah Hadist Nabi Muhammad SAW, yang sering dikutipnya, al-din-u nashihah, "Agama adalah nasihat", jadi agama adalah sebuah pesan. Dan dalam Al-Qur'an ada penegasan, bahwa pesan keagamaan yang merupakan pokok pandangan hidup Islam itu sama untuk para pengikut Nabi Muhammad SAW, dan mereka yang menerima kitab suci sebelumnya, pesan itu adalah untuk bertakwa kepada Allah QS. Al-Nisa' [4] : 131: "Dan kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan yang di bumi, dan sungguh kami Telah memerintahkan kepada orang-orang yang diberi Kitab sebelum kamu dan (juga) kepada kamu; bertakwalah kepada Allah. Tetapi jika kamu kafir maka (ketahuilah), Sesungguhnya apa yang di langit dan apa yang di bumi hanyalah kepunyaan Allah dan Allah Maha Kaya dan Maha Terpuji." Takwa menurut Madjid (2000 : 495), biasa dijelaskan sebagai sikap "takut kepada Tuhan" atau "sikap menjaga diri dari perbuatan jahat", atau "sikap patuh memenuhi segala kewajiban serta menjahui larangan Tuhan." Sedangkan menurut Rahardjo (1996 : 165-167) takwa merupakan menyangkut hubungan manusia dan Tuhan. Tetapi implikasi daripada takwa adalah bersifat kemanusiaan. Apabila orang bertakwa kepada Tuhan, maka implikasinya adalah bersikap adil terhadap sesama manusia. Takwa di satu pihak mencakup pengertian iman kepada Allah, hari akhir, para malaikat, kitab-kitab suci dan para Nabi terdahulu, di lain pihak takwa bisa di manifestasikan dalam bentuk menolong kepada anak yatim, orangorang miskin dan orang-orang yang membutuhkan pertolongan. Inilah yang disebut orang-orang yang bertakwa. Pesan takwa tersebut pada prinsipnya ditujukan kepada semua umat manusia. Artinya takwa di sini bisa memunculkan arti kesamaan hakikat semua pesan Tuhan. Tetapi arti kesamaan bukan kesamaan dalam arti formal dalam aturan-aturan positif tertentu, Tetapi yang dimaksud dengan kesamaan adalah 4 kesamaan dalam pesan besar, yang dalam Al-Qur'an dinyatakan dalam kata-kata "washiyyah". Kata washiyah dalam Al-Qur'an Menurut Rachman (2004 : 27), berarti "Ajakan untuk menemukan dasar-dasar kepercayaan" atau juga bisa disebut sikap hidup yang hanif, atau lengkapnya al-hanifiyat al-samhah yang berarti "semangat kebenaran yang toleran," Menurut R. William Liddle dalam bukunya Leadership and Cultural in Indonesian Politics, yang kemudian di kutib oleh Fauzan (2004), berkaitan dengan al-hanifiyat al-samhah: Agama yang benar adalah al-hanifiyat al-samhah yaitu mencari kebenaran yang lapang dan toleran, tanpa fanatisme dan tidak membelenggu jiwa. Orang-orang Yahudi, Kristen, dan Islam adalah bagian dari agama Ibrahim, suatu kesinambungan yang telah di pahami oleh umat Islam secara lebih baik dari umat yang lain. Disamping itu, al-Islam sebenarnya (aslinya) bukanlah nama dari suatu agama, tetapi sikap berserah diri atau tunduk kepada Tuhan seperti yang terdapat pada agama-agama lain. Hal ini diperkuat dengan Hadist yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal Juz Satu dan Tujuh (1991): Ibn Abbas menuturkan bahwa Nabi SAW ditanya, "Agama mana yang paling dicintai Allah?" Nabi menjawab, "Semangat kebenaran yang toleran (al-hanifiyat al-samhah)." A'isyah juga menuturkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Hari ini pastilah kaum Yahudi tahu bahwa dalam agama kita ada kelapangan. Sesungguhnya aku ini diutus dengan semangat kebenaran yang toleran (al-hanifiyat al-samhah)." 3. Prinsip Kebebasan Berkeyakinan Untuk itu pesan takwa dalam Al-Qur'an di atas dan Agama yang benar adalah mencari kebenaran yang lapang dan toleran, tanpa fanatisme dan tidak membelenggu jiwa. Maka Pluralisme Agama itu ditegakkan berdasarkan prinsip bahwa masing-masing kelompok manusia berhak untuk bereksistensi dan menempuh hidup sesuai dengan keyakinannya. Salah satu esensinya adalah larangan memaksakan agama, hal ini merupakan prinsip dasar yang disebutkan dengan tegas dalam Al-Qur'an, QS. Al-Baqarah [2] : 256: "Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)." Mengomentari ayat diatas, Abdullah Yusuf Ali (1989 : 106 : catatan 300) berpendapat sebagai berikut: Compulsion is incompatible with religion because (1) religion depends upon faith and will, and these would be meaningless if induced by force; (2) Truth and Error have been so clearly shown up by the mercy of Allah that there should be the minds of any persons of good will as to the fundamentals of faith: (3) Allah's protection is continuous, and His Plan is always to lead us from the depths of darkness into the clearest light. (Pemaksaan bertentangan dengan agama, sebab (1) agama tergantung kepada iman dan kemauan, dan semua ini takkan ada artinya bila didesak dengan jalan kekerasan, (2) kebenaran dan kesesatan sudah demikian jelas, (3) perlindungan Tuhan bersinambungan, dan hendak-Nya selalu membimbing kita keluar dari lembah kegelapan kepada cahaya yang terang.) 5 Shihab (2002 : 515) menjelaskan, yang dimaksud tidak ada pemaksaaan agama disini adalah tidak ada paksaan dalam menganut keyakinan agama. Allah menghendaki agar setiap orang merasakan kedamaian. Agama-Nya dinamai Islam, yakni damai. Kedamaian tidak dapat diraih kalau jiwa tidak damai. Paksaan menyebabkan jiwa tidak damai, karena itu tidak ada paksaan dalam menganut keyakinan agama Islam. Jadi apa yang dijelaskan oleh Yusuf Ali dan Shihab begitu jelas, bahwa ayat tersebut menjawab persoalan-persoalan perbedaan agama, pemaksaan agama dan pemaksaan untuk memilih agama, kenyataannya sangat dikecam oleh AlQur'an. Al-Qur'an di sini betul-betul sangat elegan dan sangat bervisi pluralis, dengan mengatakan tidak ada pemaksaan agama dalam memeluk agama Islam. Dalam ayat yang lain juga disebutkan, Allah di dalam Al-Qur'an, menegur keras Nabi Muhammad SAW ketika ia menunjukkan keinginan dan kesediaan yang menggebu untuk memaksa manusia menerima dan mengikuti ajaran yang disampaikannya, Seperti terdapat dalam firman Allah, QS. Yunus [10] : 99: "Dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya ?" Dalam tafsirannya menurut Yusuf Ali (1989 : 505 : catatan 1480) tentang QS. Yunus ayat 10 disebutkan: If it had been Allah's Plan or Will not to grant the limited Free Will that He has granted to man. His omnipotence could have mad all mankind alike: all would then have had Faith, but that Faith would have reflected no merit on them. In the actual world as it is, man has been endowed with various faculties and capacities, so that he should strive and explore, and bring himself into harmony with Allah's Will. Hence faith becomes a moral achievement, and to resist faith becomes a sin. As a complementary proposition, men of faith must not be impatient or angry if they have to contend against Unfaith, and most important of all, they must guard against the temptation of forcing Faith, imposing it on others by physical compulsion, or any other forms of compulsion such as social pressure, or inducements held out by wealth or position, or other adventitious advantages. Forced faith is no faith. They should strive spiritually and let Allah's Plan work as He wills. (Seandainya bukanlah Kehendak Allah untuk memberikan Kebebasan yang terbatas seperti yang sudah diberikan-Nya kepada manusia, maka Kemahakuassaan-Nya tentu saja akan mampu menjadikan semua umat manusia sama dan sejenis: Semua mereka akan beriman, tetapi Iman itu sendiri tidaklah mencerminkan capaian pengalaman keagamaan mereka yang sesungguhnya. Dalam dunia aktual yang ada, manusia telah dikaruniai berbagai fakultas dan kemampuan, dan karunia itulah yang mengharuskan mereka berusaha keras dan menelusuri, dan pada akhirnya akan membawa mereka kepada jalan yang sesuai dengan Kehendak Allah. Karena itu, iman menjadi sebuah capaian moral, dan penolakan atas iman merupakan sebuah dosa. Sebagai pernyataan 6 pelengkap, manusia yang sudah beriman tidak boleh bersikap tidak sabar atau marah jika mereka harus berhadapan dengan kekufuran; dan yang paling penting di atas yang lainnya adalah, mereka harus menjaga diri dari godaan untuk memaksakan iman, yakni mendesakkan penerimaannya oleh orang lain dengan menggunakan kekerasan fisik, atau bentuk pemaksaan lainnya seperti tekanan sosial, atau rayuan yang menjanjikan kekayaan atau posisi, atau keuntungan-keuntungan lainnya. Iman yang muncul karena pemaksaan bukanlah iman yang sesungguhnya. Manusia harus berusaha keras meningkatkan capaian spiritualnya, dan biarkanlah Rencana Allah berjalan sesuai dengan KehendakNya). Begitulah, pesan dari kitab suci ini, sejak awal telah mengantisipasi terjadinya pemaksaan dalam hal agama dengan berbagai bentuknya, dan menyebutnya sebagai sesuatu yang bertentangan dengan agama itu sendiri. Dengan demikian, kesan yang dapat ditangkap adalah adanya suatu masa depan yang cerah bagi kerjasama umat beragama dalam suasana yang lebih damai dan tentram, tanpa terjadi yang dinamakan kompromi akidah. 4. Prinsip Berlomba dalam Berbagai Kebaikan Al-Banna (2006:13) menegaskan, bahwa Al-Qur'an tidak pernah menghendaki manusia menjadi umat yang satu diatur oleh satu konvensi atau satu gagasan. Mereka berbeda dan akan terus berbeda. Sebagian mereka berbeda dengan yang lain dalam ras, bahasa, keyakinan dan lain-lain. Dalam QS. AlMaidah [5] : 48 disebutkan: "Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang Telah kamu perselisihkan itu." Menurut Essak (1997 : 168) kalimat awal dari QS. Al-Maidah [5] : 48 dan ayat sesudahnya merujuk kepada peran Nabi sebagai penengah di dalam komunitas aktual saat itu. Konteksnya membuat jelas bahwa yang dirujuk adalah komunitas agama lain yang hidup berdampingan dengan kaum muslim Madinah, bukan komunitas ahistoris yang berada di alam non fisik atau dalam konteks kesejarahan yang berbeda. Teks tersebut menuntut agar respon terhadap keanekaragaman itu berupa saling berlomba dalam kebaikan. Mengingat bahwa setiap kompetisi yang berarti hanya dapat dilaksanakan di dalam komunitas kontemporer yang mengalami situasi yang sama, maka kita hanya dapat berasumsi bahwa mitra kaum muslim saat itu adalah pemeluk agama lain yang hidup berdampingan dengan mereka. Dalam ayat itu juga disebutkan untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami berikan syir'ah (aturan) dan minhaj (jalan) yang terang. Menurut Essak (1997 : 169) teks itu bermakna bahwa Tuhan telah menetapkan aturan dan jalan bagi semua orang, baik sebagai individu maupun komunitas agama, dan bahwa orang (atau suatu kaum) harus setia pada aturan dan jalan yang telah ditetapkan untuknya. Dan sekiranya aturan dan jalan itu begitu penuh cobaan sehingga tidak memungkinkan seseorang untuk melewatinya, maka dia bebas memilih jalan lain 7 yang telah ditetapkan Tuhan. Tujuannya adalah untuk saling berlomba dalam kebajikan menuju Tuhan. Berkaitan dengan satu umat, bahwa Tuhan memberikan satu klausul penting diakuinya umat yang berbeda-beda, asal mereka berbuat baik. Satu umat tentu saja tidak hanya umat Nabi Muhammad, Isa, dan Musa tetapi banyak umat. Kepada siapa saja komunitas yang ada di muka bumi ini. Al-Banna (2006 : 33-37) juga mengatakan, Al-Qur'an telah menetapkan sumber perbedaan. Setiap kelompok tidak dibenarkan merasa paling unggul dan menganggap kelompok lain sebagai tidak berarti. Tidak dibenarkan ada klaim bahwa surga hanya milik kelompok tertentu, tidak untuk kelompok yang lain. Ini bukan wewenang manusia. Dan klaim seperti itu berarti mengabaikan wewenang Allah. Bahwa perbedaan dan Kemajemukan umat manusia adalah kenyataan yang telah menjadi kehendak Tuhan. Jika dalam kitab suci disebutkan bahwa manusia diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar mereka saling mengenal dan menghargai, oleh karena itu, sesungguhnya sikap Islam terhadap Pluralisme Agama berdiri di atas prinsip kesejajaran, toleransi dan saling melengkapi. Inilah pilihan yang paling baik, karena Pluralisme Agama lebih baik dari pada satu agama. Satu agama tidak akan mampu merespon dinamika kemanusiaan. Dengan satu agama kondisi saling berlomba dalam berbagai kebajikan tidak akan tercipta. Sikap toleran dan saling melengkapi jelas lebih baik daripada sikap saling berseberangan dari puluhan agama. 5. Kesatuan Ajaran para Nabi Menarik, berkaitan dengan keyakinan Islam mengenai adanya kebenaran yang sama, yang diekspresikan dengan berbagai agama, salah satu segi ajaran Islam yang sangat khas, ialah konsep tentang para pengikut kitab suci atau Ahl alKitab. Yaitu konsep yang memberi pengakuan tertentu kepada para penganut agama lain, yang memiliki kitab suci dengan memberi kebebasan menjalankan ajaran agamanya masing-masing. Sikap Al-Qur'an terhadap mereka adalah kebutuhan sosio religius komunitas muslim, seperti pembangunan komunitas dan masalah keamanan, bukan masalah keyakinan. Walaupun Islam adalah agama kitab dengan Al-Qur'an sebagai kitab, tetapi secara tradisi sebutan Ahl al-Kitab tidak tertuju kepada kaum muslim sendiri. Sebutan ini hanya khusus kepada penganut kitab suci agama lain yang tidak mengakui kenabian dan kerasulan Muhammad SAW dan ajaran yang disampaikannya, tetapi mereka mempunyai kepercayaan kepada Allah (baca QS. Al-Imaran [3] : 113-115). Dalam Al-Qur'an seperti sudah dikemukakan di atas, kaum Yahudi dan Kristiani mempunyai kedudukan yang khusus, bahkan dijamin hak-hak keberagaman dan keselamatannya, apalagi menurut Al-Qur'an inti ajaran yang di sampaikan kepada semua Nabi dan Rasul itu adalah sama. Dan dalam kerangka "kesatuan agama" dan "pluralitas syari'at-syari'at", Al-Qur'an melegitimasi realitas ini QS. Asy-Suura [42] : 13 : "Dia Telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang Telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang Telah kami wahyukan kepadamu dan apa yang Telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya… ". Kemajemukan syari'at nabi-nabi, rasul-rasul, serta manhaj umat-umat yang menerima risalah, dalam kerangka kesatuan agama yang satu juga terdapat dalam hadist Imam Muslim Juz Empat (1995 : 1465) Rasulallah bersabda: "Para nabi 8 adalah saudara dari ibu-ibu yang beragam, agama mereka satu, dan ibu mereka beragam". Karena itu sesungguhnya seluruh umat pemeluk agama Allah adalah umat yang tunggal. Adapun yang dimaksud dengan tunggal atau satu menurut AlBanna (2006 : 14) adalah kesatuan dalam akidah satu. Kesatuan ini tidak menegasikan unsur-unsur perbedaaan dan keragaman bangsa di kalangan kaum muslimin yang tetap berada dalam lingkaran akidah yang satu. Seperti dalam QS. Al-Imran [3] : 84: "Katakanlah: "Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya'qub, dan anak-anaknya, dan apa yang diberikan kepada Musa, Isa dan para nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan Hanya kepada-Nyalah kami menyerahkan diri." Percaya atau beriman terhadap kitab-kitab suci yang dulu. Menuntut adanya sebuah pengakuan terhadap eksistensi semua agama. Secara implisit dan eksplisit Al-Qur'an mengakui dan melindungi agama-agama di luar Islam, seperti terdapat dalam firman Allah, QS. Al-Hajj [22] : 40. "(yaitu) orang-orang yang Telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali Karena mereka berkata: 'Tuhan kami hanyalah Allah dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah Telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya." Ayat ini menyatakan secara tegas keberadaan agama-agama di luar Islam. Bahwa esensi semua agama itu kembali pada Allah. Mungkin yang berbeda hanyalah sebuatan "Tuhan" pada setiap agama. Kautsar (2003 : 30) menjelaskan dalam bukunya Tasawuf Perenial, bahwa semua agama pada hakikatnya satu dan mempunyai tujuan yang sama, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Perbedaan antar agama-agama terletak hanya pada nama, bentuk, dan cara ibadanya. Perbedaan itu tidak menghalangi para penganut masing-masing agama untuk sampai kepada tujuan yang sama. Sementara Sachedina (2002 : 95) menjelaskan, Pluralisme Agama merupakan sistem ilahi. Maka teologis Pluralisme Agama dalam AlQur'an mengenai kaum lain memang memandang hubungan antar agama sebagai sistem ilahiah bagi manusia untuk hidup bersama. Semua agama memang dapat dikatakan mengacu pada pengakuan, bahwa ada kekuatan maha dahsyat dan maha kuasa di luar kemampuan manusia dan alam semesta ini. Demikian juga dengan Islam, dalam kaitan keberadaan agama lain, Islam tetap menempatkan agama lain dalam kerangka realitas sosial untuk menjaga hak-hak kebebasan manusia untuk mengikuti dan menyakini suatu agama. Ini sekaligus mengakui adanya Pluralisme Agama yang menjadi penuntun hidup manusia. Dan Islam menurut Baidhawi (2006 : 42) tidak menghapus agama-agama terdahulu. Hal ini ditandai dengan tidak ada paksaan dalam memilih agama, Islam juga agama yang toleran terhadap agama-agama lain di luar Islam. Dan Islam juga bukan agama yang suporior, artinya tidak merasa yang paling benar. Realitas plural inilah, menuntut setiap individu dan kelompok yang berbeda, mengakui eksistensi individu, dan kelompok lain. Dan eksistensi yang diakui Islam bukan dalam kerangka teologis, ritual dan bukan pula mencampuradukan akidah, sebab dalam firman Allah disebutkan, QS. Al-kafirun : 9 1-6. Menurut Al-Banna (2006 : 34) secara eksplisit ayat ini menciptakan semangat pluralisme atas dasar toleransi merupakan anugerah dan kesempurnaan. Inilah kondisi paling otentik, karena semuanya berdoa kepada Tuhan Yang Esa dan mengajak kepada nilai-nilai cinta, kebaikan dan keadilan. Setiap agama, dengan berbagai kelebihannya, berlomba untuk berperan dalam membangun sebuah peradaban. Sangat menarik apabila melihat pandangan Ibn Al-Arabi yang kemudian di kutip oleh Kautsar (2003), bahwa persoalan kebenaran keagamaan harus dijelaskan melalui ajarannya tentang perintah Tuhan. Ibn Al-Arabi membagi perintah Tuhan kepada dua macam, yaitu: Perintah Penciptaan dan Perintah Kewajiban. Yang pertama disebut kehendak ilahi, dan yang kedua disebut keinginan ilahi. Perintah penciptaan menyebabkan semua makhluk ada, tidak sesuatu pun yang tidak mematuhi perintah ini, seperti dalam QS. Yassin [36] : 82: "Sesungguhnya keadaan-Nya apabila dia menghendaki sesuatu hanyalah Berkata kepadanya: "Jadilah!" Maka terjadilah ia." Perintah kewajiban disampaikan oleh Tuhan kepada para Nabi dalam bentuk wahyu yang harus mereka sampaikan kepada umat mereka. Perintah ini memberikan kewajiban atas manusia untuk mengabdi kepada Tuhan melalui shalat, puasa zakat dan lain-lain. Perintah pertama ditujukan secara khusus kepada manusia. Perintah pertama pasti terpenuhi. Perintah kedua dapat terpenuhi dan dapat tidak terpenuhi. Di lihat dari segi perintah penciptaan atau kehendak ilahi, menurut Ibn AlArabi semua agama, baik agama-agama para penyembah Tuhan maupun agamaagama para penyembah berhala, adalah sama dan benar. Artinya semua agama itu sesuai dengan perintah penciptaan atau kehendak ilahi, dengan kata lain, semua agama, baik yang sesuai maupun yang tidak sesuai dengan perintah kewajiban adalah sama karena semuanya memenuhi atau tidak bertentangan dengan perintah penciptaan. Dapat pula dikatakan bahwa semua agama adalah benar karena semuanya adalah penampakkan diri atau teofani Tuhan. Dalam pengertian itu, semua agama berasal dari Tuhan. Akan tetapi, dilihat dari segi perintah kewajiban, semua agama tidak sama dan tidak benar. Agama yang benar adalah agama yang sesuai dengan perintah kewajiban, yaitu agama yang sesuai dengan wahyu Tuhan yang disampaikan kepada para Nabi. Agama inilah yang menjamin keselamatan dan kebahagiaan. Karena Tuhan memberikan wahyu tidak hanya kepada Nabi Muhammad SAW tetapi juga kepada Nabi-nabi lain, maka agama yang membawa keselamatan dan kebahagiaan tidak hanya agama yang di bawa Nabi Muhammad SAW, tetapi juga agama-agama yang dibawa Nabi lain. Dalam Pluralisme Agama, masalah ritual agama adalah soal individu seseorang, di mana tidak boleh orang mengintervensi untuk menentukan merah hijaunya seseorang dalam menjalankan ritual agama. Tidak boleh seorang pun, baik tokoh-tokoh agama atau pemegang otoritas agama seperti lembaga-lembaga agama, untuk memaksakan hal-hal yang berkaitan dengan individu dalam agama. Di sini dorongan harus dibedakan dengan pemaksaan. Dorongan bisa dibenarkan, tetapi pemaksaan sama sekali tidak dibenarkan. D. Kesimpulan Al-Qur'an telah mengisyaratkan adanya Pluralisme Agama secara global, bahkan Al-Qur'an menanamkan kaidah-kaidah mendasar bagi kenyataan 10 Pluralisme Agama. Bagian-bagian dari kaidah tersebut yang menopang Pluralisme Agama dalam Al-Qur'an, pertama, adanya Pengakuan atas Eksistensi Agamaagama, hal ini ketika menegaskan sikap penerimaan Al-Qur'an terhadap agamaagama selain Islam untuk hidup berdampingan. Ini satu-satunya sikap yang tidak terdapat di dalam agama-agama lain. Seperti terdapat dalam firman Allah, QS. AlBaqarah [2] : 62. Kedua, adaya Kesatuan Pesan Ketuhanan, pesan itu adalah untuk bertakwa kepada Allah seperti dalam QS. Al-Nisa' [4] : 131. Pesan takwa tersebut pada prinsipnya ditujukan kepada semua umat manusia. Ketiga, Adanya Prinsip Kebebasan Berkeyakinan, salah satu esensinya adalah larangan memaksakan agama, hal ini merupakan prinsip dasar yang disebutkan dengan tegas dalam Al-Qur'an, QS. Al-Baqarah [2] : 256. Keempat, adanya Kesatuan Ajaran Nabi-nabi, bahwa ajaran dasar agama itu sama (sekalipun wujud lahiriahnya berbeda-beda) sejak dari Nabi yang pertama sampai kepada Nabi yang terakhir. Inilah yang bisa kita pahami dari firman Allah QS. As-Syura [42] : 13. DAFTAR PUSTAKA Ali, Abdullah Yusuf, 1989, The Holy Quran: Text, Translation, Commentary, USA, Amana Corporation. Baidhawi, Zakiyuddin, 2006, Kredo Kebebasan Beragama, Cetakan Pertama, Jakarta, Pusat Studi Agama dan Peradaban [PSAP] Banna, Gamal Al-, 2006, Doktrin Pluralisme dalam Al-Qur'an, Terjemah Taufik Damas, Jakarta, Menara. Esack, Farid, 1997. Qur'an, Liberation And Pluralism: An Islamic Perspective Of Interreligious Solidarity Against Oppression, Oxford, England. Hanbal, Imam Ahmad bin, 1991, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, Dar Al-Fikr. Naisaburi, Imam Abi Al-Husain Muslim bin Al-Hujaj Al-Kusairi An-, 1995, Shahih Muslim, Beirut, Dar Ibn Azam. Noer, Kautsar Azhari, 2003, Tasawuf Perenial: Kearifan Kritis Kaum Sufi, Cetakan Pertama, Jakarta, PT Serambi Ilmu Semesta. Nurcholish, Madjid, 2000, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan, Cetakan Keempat, Jakarta, Yayasan Wakaf. Rachman, Budhy Munawar-, 2004, Islam Pluralis, Cetakan Pertama, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada. Rahardjo, M. Dawam, 1996, Ensiklopedi Al-Qur'an; Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, Jakarta, Paramadina. 11 Saleh, Fauzan, 2004, Teologi Pembaruan: Pergeseran Wacana Islam Sunni Di Indonesia Abad XX, Terjemah, Jakarta, PT Serambi Ilmu Semesta. Shaleh, Q. dan M.D. Dahlan, 1999, Asbabun Nuzul: Latar Belakang Sejarah Turunnya Ayat-Ayat Al-Qur'an, Cetakan Tujuh Belas, Bandung, CV Diponegoro. Shihab, M. Quraish, 2002, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian AlQur'an, Cetakan Kedua, Jakarta, Lentera Hati. Shihab, Alwi, 1999, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama, Cetakan Kelima, Bandung: Mizan. 12