Author - Google Groups

advertisement
Author:
Dr. Anis Malik Thoha
Judul buku: Tren Pluralisme Agama: Sebuah Tinjauan Kritis
Penulis: Dr Anis Malik Thoha
Penerbit: Perspektif
Cetakan: I, Agustus 2005
Menyingkap Topeng Pluralisme
Benarkah pluralisme merupakan solusi yang didambakan masyarakat? Ataukah justru
merupakan sumber persoalan baru yang dapat merusak tatanan kehidupan
bermasyarakat? Benarkah pluralisme seperti yang senantiasa dipuji-puji oleh para tokoh
pendukungnya? Ataukah, pluralisme mempunyai wajah lain yang boleh jadi mengelabui
masyarakat akan jati dirinya yang sesungguhnya.
Buku yang ditulis oleh Dr Anis Malik Thoha, peraih gelar doctor dari International
Islamic University Islamabad (IIUI), Pakistan, ini berupaya membongkar wajah
sesungguhnya pluralisme. Melalui bukunya yang berasal dari disertasi doktornya itu,
penulis menegaskan bahwa gagasan kesetaraan agama yang diangkat oleh para pembela
pluralisme, yang sepintas tampak sebagai solusi yang menjanjikan harapan-harapan dan
nilai-nilai kemanusiaan yang luhur, ternyata menunjukkan hakikat yang justru
sebaliknya. Kajian lebih mendalam, obyektif dan kritis terhadap gagasan kesetaraan
agama tersebut semakin menyingkap topeng yang menyembunyikan wajah asli
pluralisme yang ternyata bengis, tak ramah, dan intoleran.
Penulis membagi bukunya menjadi empat bab. Bab I membahas tentang definisi
pluralisme agama, sejarah perkembangan dan beberapa faktor penting yang
melatarbelakangi munculnya gagasan tersebut. Bab II mengupas tren-tren pluralisme
agama dan dasar-dasar utamanya, yakni tren humanisme secular, teologi global,
sinkretisme, dan hikmah abadi.
Bab III membicarakan implikasi -implikasi pluralisme agama, terutama menyangkut
eliminasi agama, munculnya pluralisme formalitis, dan ancaman terhadap HAM. Bab
terakhir menyajikan tinjauan Islam tentang pluralisme agama secara umum, dan tren-tren
pluralisme agama secara khusus, dengan berpedoman kepada teks-teks Alquran dan
sunah Rasul SAW.
Buku ini amat perlu dibaca terutama oleh para mahasiswa, dosen, inteleketual, anggota
dewan, orang-orang pemerintah, tokoh-tokoh masyarakat maupun para santri. Dengan
membaca buku ini, masyarakat tidak gampang terkecoh oleh gagasan pluralisme yang
menyembunyikan wajah yang sesungguhnya.
-----------------------Selamat Datang Buku Dr. Anis Malik Thoha
Oleh: Adian Husaini
Pada tanggal 3 September 2005 yang lalu, ada peristiwa bersejarah dalam pemikiran
Islam di Indonesia. Hari itu, Dr. Anis Malik Thoha – dosen ilmu perbandingan agama di
Universitas Islam Internasional Malaysia – meluncurkan bukunya yang berjudul “Tren
Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis” (Jakarta: GIP, 2005). Peluncuran dilakukan di
Gedung Menara Dakwah-Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia. Ratusan hadirin berjubel
menghadiri acara tersebut.
Mengapa peristiwa tersebut kita katakan sebagai peristiwa bersejarah? Pertama, buku itu
merupakan terjemahan disertasi doktornya di Universitas Islam Internasional Islamabad,
dimana Dr. Anis akhirnya meraih ‘Gold Medal’, karena disertasinya dinyatakan sebagai
disertasi terbaik.
Kedua, materi pembahasan dalam buku ini merupakan tema penting dalam isu pemikiran
Islam yang telah berpuluh tahun menjadi perdebatan hangat diantara para pemikir bidang
keagamaan, baik di dunia Islam, dunia Barat, maupun di Indonesia sendiri. Dan ketiga,
buku ini hadir tepat waktu, ketika kritikan dan hujatan terhadap fatwa MUI tentang sipilis
(Sekularisme, Pluralisme Agama, dan Liberalisme) masih terus berlangsung.
Sebagai buku berkualitas ilmiah tinggi, buku ini bukan buku populer, sehingga biasanya
kurang luas peredarannya. Tetapi, mengingat materinya yang sangat penting, maka buku
ini perlu dijadikan bahan kajian di kalangan akademisi Muslim, para ulama,
cendekiawan, dan para peminat pemikiran Islam. Judul asli buku ini dalam bahasa Arab:
“Ittijaahaat al-Ta’addudiyah al-Diniyah wa al-Mawqif al-Islami minha”.
Isu Pluralisme Agama masih terus menjadi perbincangan di tengah masyarakat luas.
Jumat (9/9/2005) kemarin pagi, dalam acara dialog interaktif dengan sebuah radio di
Solo, seorang Ibu menceritakan pengalamannya, sejak kecil dia dididik oleh orang tuanya
untuk berpikir dan bersikap bahwa semua agama itu baik.
Jadi, jangan merasa yang paling benar atau paling baik. Akibatnya, ia tidak terdorong
untuk mengamalkan agamanya dengan baik. Syukurlah akhirnya ia mengakui kekeliruan
paham semacam itu, dan mengakui besarnya manfaat fatwa MUI yang mengharamkan
paham Pluralisme Agama.
Dalam bukunya, Anis mengutip definisi populer dari Pluralisme Agama yang dirumuskan
John Hick: “...pluralisme agama adalah suatu gagasan bahwa agama-agama besar dunia
merupakan persepsi dan konsepsi yang berbeda tentang, dan secara ertepatan merupakan
respon yang beragam terhadap, Yang Real atau Yang Maha Agung dari dalam pranata
kultural manusia yang bervariasi; dan bahwa transformasi wujud manusia dari
pemusatan-diri menuju pemusatan-Hakikat terjadi secara nyata dalam setiap masingmasing pranata kultural manusia tersebut –dan terjadi, sejauh yang dapat diamati, sampai
pada batas yang sama.”
Dengan kata lain, Hick ingin menegaskan bahwa sejatinya semua agama adalah
merupakan manifestasi-manifestasi dari realitas yang satu. Dengan demikian, semua
agama sama dan tak ada yang lebih baik dari yang lain. Sangat jelas, rumusan Hick
tentang pluralisme agama di atas adalah berangkat dari pendekatan substantif, yang
mengungkung agama dalam ruang (privat) yang sangat sempit, dan memandang agama
lebih sebagai konsep hubungan manusia dengan kekuatan sakral yang transendental dan
bersifat metafisik ketimbang sebagai suatu sistem sosial.
Dengan demikian telah terjadi proses pengebirian dan “reduksi” pengertian agama yang
sangat dahsyat. Sesungguhnya, pemahaman agama yang reduksionistik inilah yang
merupakan “pangkal permasalahan” sosio-teologis modern yang sangat akut dan
kompleks yang tak mungkin diselesaikan dan ditemukan solusinya kecuali dengan
mengembalikan “agama” itu sendiri ke habitat aslinya, ke titik orbitnya yang sebenarnya,
dan kepada pengertiannya yang benar dan komprehensif, tak reduksionistik.
Tetapi sungguh mengejutkan, menurut Anis, ternyata “pemahaman reduksionistik” inilah
justru yang semakin populer dan bahkan diterima di kalangan para ahli dari berbagai
disiplin ilmu dan pemikiran yang berbeda, hingga menjadi sebuah fenomena baru dalam
dunia pemikiran manusia yang secara diametral berbeda dengan apa yang sudah dikenali
secara umum.
Yang unik dalam fenomena baru ini adalah bahwa pemikiran “persamaan” agama
(religious equality) ini, tidak saja dalam memandang eksistensi riil agama-agama
(equality on existence), namun juga dalam memandang aspek esensi dan ajarannya
(syariat), sehingga dengan demikian diharapkan akan tercipta suatu kehidupan bersama
antar agama yang harmonis, penuh toleransi, saling menghargai (mutual respect) atau apa
yang diimpikan oleh para “pluralis” sebagai "Pluralisme Agama".
Namun, alih-alih menciptakan kerukunan dan toleransi, paham Pluralisme Agama itu
sendiri sebenarnya sangat tidak toleran, otoriter, dan kejam, karena menafikan kebenaran
semua agama, meskipun dengan jargon menerima kebenaran semua agama.
Sebagai agama, kata Anis, Pluralisme Agama memiliki ciri-ciri, watak-watak,
karakteristik yang khas yang terdapat pada semua agama pada umumnya. Ia memiliki
tuhannya sendiri, nabi-nabinya sendiri, ritus-ritus dan ritual-ritualnya sendiri dsb. Tuhan
agama ini, sebagaimana dikatakan “nabi”nya, John Hick, adalah “The Real” yang
mengatasi semua tuhan yang diyakini agama-agama. Jadi pada dasarnya, agama baru ini
juga tidak lepas dari “klaim absolut”.
Bahkan sebetulnya agama baru ini lebih eksklusif dari agama-agama yang ada,
khususnya Islam. Sebab Islam secara ontologis mengakui dan menghargai “klaim-klaim
absolut” yang dibuat agama-agama lain, serta memberikan hak untuk berbeda, juga
membiarkan mereka untuk menjadi dirinya masing-masing (to let the others to be others),
tanpa berusaha sedikitpun untuk mereduksi atau merelativisasi mereka.
Sebagai konsekwensinya, pada tataran praktis Islam menawarkan “plurality of laws”
kepada semua pengikut agama untuk mengatur kehidupan mereka masing-masing sesuai
dengan hukum atau syari’at yang mereka yakini.
Apa ada sistem modern (yang paling demokratis, sekalipun) yang berani menawarkan
demikian?. Inilah, yang menurut bahasa Isma’il al-Faruqi, the best gift of Islam to
humankind. Sikap Islam ini sungguh sangat elegan, lugas dan apa adanya.
Namun sebaliknya, agama baru (Pluralisme Agama) ini “memaksa” agama-agama lain
untuk meyakini atau mengimani keunggulan tuhannya, yaitu “The Real” tadi. Bahwa
tuhan-tuhan semua agama itu hanyalah manifestasi “The Real” ini. Ditambah lagi, pada
tataran praktis, legal dan formal, agama baru ini memaksakan syari’at atau seperangkat
hukumnya kepada semua agama.
Maka, agama baru ini sebetulnya (tanpa disadari) inkonsisten dengan semboyansemboyannya yang muluk dan memikat lagi mempesona, yang moderat-lah, toleran-lah,
kesetaraan-lah, kebebasan-lah dsb. “Semua itu semboyan kosong !” tegas Anis, yang kini
memimpin Syuriah NU Cabang Istimewa Malaysia.
Dalam bukunya, Anis menjelaskan adanya empat tren dalam paham Pluralisme Agama,
yaitu tren humanisme sekuler, tren teologi global, tren sinkretisme, dan tren hikmah abadi
(sophia perennis). Dalam tren teologi global, dikupas pemikiran dua tokoh perumusnya
yang terkenal, yaitu Wilfred Cantwell Smith dan John Hick.
Pemikiran Smith penting untuk dicermati, sebab pemikiran inilah yang kemudian banyak
diikuti pemikir di Indonesia. Ide dekonstruksi makna Islam – yang hanya merujuk pada
makna generiknya sebagai “sikap pasrah” -- yang diajukan Nurcholis Madjid pada 21
Oktober 1992, misalnya, sejalan dengan ide Cantwell Smith tentang makna agamaagama.
Dalam bukunya, Dr. Anis Malik juga menguraikan secara cukup rinci ide Cantwell Smith
yang mengusulkan penggantian terminologi “agama” sebagai kata benda, dan bukan
sebagai kata sifat. Sebagai gantinya, dia mengusulkan terminologi baru, yaitu “faith” atau
“cumulative tradition”.
Istilah terakhir ini dimaknainya dengan: “tradisi-tradisi yang terhimpun dari anasir
keagamaan dan budaya yang hidup – seperti keyakinan, ritus, ritual, teks suci dan
tafsirnya, mitos, seni, dan sebagainya – sehingga membentuk suatu sistem tersendiri yang
memiliki karakteristik tersendiri, yang kemudian disebut tradisi Hindu, Budha, Yahudi,
Kristen, Muslim, dan lain sebagainya. Teori ini, menurut Smith juga berlaku untuk Islam.
Islam sebagai kata benda pun harus dilepaskan, sebab Islam juga seperti agama lain.
Meskipun Islam memiliki satu kekhususan dan keistimewaan, menurutnya ia juga
mengalami proses reifikasi baru saja pada masa modern. Ia mengajukan makna Islam
sebagai “kata sifat”.
Ide inilah yang kemudian diikuti oleh Nurcholish Madjid. Dalam buku Teologi Inklusif
Cak Nur, ditulis: "Bangunan epistemologis teologi inklusif Cak Nur diawali dengan
tafsiran al-islam sebagai sikap pasrah ke hadirat Tuhan. Kepasrahan ini, kata Cak Nur,
menjadi karakteristik pokok semua agama yang benar.
Inilah world view Al Quran, bahwa semua agama yang benar adalah al-islam, yakni sikap
berserah diri kehadirat Tuhan (QS 29:46)." Selanjutnya dikatakan: "Dalam konteks
inilah, sikap pasrah menjadi kualifikasi signifikan pemikiran teologi inklusif Cak Nur.
Bukan saja kualifikasi seorang yang beragama Islam, tetapi "muslim" itu sendiri (secara
generik) juga dapat menjadi kualifikasi bagi penganut agama lain, khususnya para
penganut kitab suci, baik Yahudi maupun Kristen.
Maka konsekuensi secara teologis bahwa siapa pun di antara kita - baik sebagai orang
Islam, Yahudi, Kristen, maupun shabi'in --, yang benar-benar beriman kepada Tuhan dan
Hari Kemudian, serta berbuat kebaikan, maka akan mendapatkan pahala di sisi Tuhan ...
(QS 2:62, 5:69).
Dengan kata lain, sesuai firman Tuhan ini, terdapat jaminan teologis bagi umat beragama,
apa pun "agama"-nya, untuk menerima pahala (surga) dari Tuhan. Bayangkan betapa
inklusifnya pemikiran teologi Cak Nur ini." (Lihat, Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur,
(Jakarta: Kompas, 2001), hal. 21-22). Konsep “Islam” Cantwell Smith dan Nurcholish
sangat berbeda dengan pandangan Prof. Naquib al-Attas.
Ia katakan bahwa hanya ada satu agama wahyu yang otentik, dan namanya sudah
diberikan oleh Allah, yaitu Islam. Islam bukanlah sekedar kata kerja yang berarti pasrah
atau tunduk (submission), tetapi juga nama sebuah agama yang menjelaskan cara
submission yang benar. (Naquib al-Attas, Prolegomena to The Metaphysics of Islam,
Kuala Lumpur: ISTAC, 1995).
Walhasil, kita ucapkan selamat datang untuk buku “Tren Pluralisme Agama” karya Dr.
Anis Malik Thoha. Buku ini patut disambut gembira oleh kaum Muslim yang
merindukan tumbuhnya tradisi ilmu dan intelektual sejati dalam masyarakat Muslim.
Dengan terbitnya buku ini, kita juga mengharapkan para penyebar paham Pluralisme
Agama bersedia membacanya, bertobat, menyadari kekeliruannya, dan segera
menghentikan propagandanya, meskipun dengan resiko tidak lagi dikucuri dana para
cukong asing. Wallahu a’lam.(Jakarta, 9-9-2005).
Download