KESIMPULAN HASIL SEMINAR TENTANG PLURALISME HUKUM DAN TANTANGANNYA BAGI PEMBENTUKAN SISTEM HUKUM NASIONAL 1. Kemajemukan hukum (pluralisme hukum) merupakan konsekuensi logis dari bangsa Indonesia yang plural. Pluralisme ini bukan saja berkaitan dengan suku, ras, dan agama, tetapi juga mengenai pola pikir, perilaku dan tingkat pendidikannya. 2. Konsep atau pemikiran pluralisme hukum seyogianya tidak dilihat secara dikotomis antara hukum negara dengan hukum rakyat (hukum adat, hukum agama, hukum lokal) dan hukum asing. Akan tetapi diposisikan harus secara sinergis sebagai relasi interaktif dan saling mempengaruhi antara satu dengan lainnya. 3. Membuka kemungkinan secara lebih otonom bagi masyarakat dalam mengatur dan menyelesaikan urusannya sendiri-sendiri. Jika masyarakat dapat menyelesaikan urusan atau persoalannya secara damai, maka negara hendaknya mendukung penyelesaian tersebut, mengingat sebaik-baik hukum adalah yang selaras dengan paradigma dan dinamika masyarakatnya. 4. Betapapun pluralisme hukum menjadi tantangan bagi pembangunan sistem hukum nasional maupun kebutuhan bangsa Indonesia di masa kini, namun dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip falsafah dan hukum yang tertera maupun yang tersimpul dalam Pembukaan UUD 1945. 5. Keutuhan bangsa dan kehidupan bernegara tidak akan salah arah sepanjang berpegang dan melaksanakan asas-asas hukum yang mempersatukan kita dan menjadi kesadaran hukum bangsa Indonesia. Oleh karena itu, Bhinneka Tunggal Ika hendaknya menjadi asas hukum nasional yang terpenting dalam rangka reformasi hukum. 6. Asas Bhinneka Tunggal Ika sebagai asas hukum nasional, bahwa kebinekaan tidak hanya dipahami sebagai aspek suku bangsa, asal usul berbagai agama dan sistem hukum adat, tetapi harus difahami sebagai adanya keanekaragaman cara berpikir atau “mindset”. 7. Pendekatan pluralisme hukum dalam perspektif global mengajak kita untuk berhati-hati dalam menyikapi keragaman hukum. Kita tidak lagi dapat membuat mapping of legal universe, menarik garis batas yang tegas untuk membedakan suatu entitas hukum tertentu dari yang lain. 8. Pluralisme hukum berperspektif global memberi sumbangan yang sangat berharga karena masyarakat tidak lagi harus dipelajari dalam ruang geografi dan teritori yang terbatas. Masyarakat harus dilihat dalam arena yang multi-sited, karena terhubung oleh relasi bisnis, politik, sosial, dan dihubungkan oleh penemuan teknologi komunikasi. 9. Pembangunan Hukum di Daerah harus ditempatkan dalam Kerangka NKRI dengan mengadopsi Strategi Pembangunan hukum KuasiResponsif untuk menghadirkan Hukum di daerah yang sesuai dengan Living Law tetapi tetap memenuhi Unsur Keadilan, Kepastian, dan Kemanfaatan Hukum. 10. Dalam rangka penguatan terhadap pembangunan hukum di daerah, politik hukum nasional harus menempatkan pembangunan hukum di daerah sebagai salah satu prioritas dalam program reformasi hukum yang harus dilakukan. Oleh karena itu, pembangunan hukum di daerah harus melahirkan hukum daerah yang bersifat “kooperatif-koordinatif” dalam rangka sinkronisasi dengan hukum nasional yang ada. 11. Walaupun ada bagian hukum adat yang telah menjadi bagian dari hukum nasional, akan tetapi sebenarnya masih cukup banyak yang lainnya yang perlu disikapi lebih jauh karena mengandung hal yang dapat dijadikan acuan dasar dalam peraturan perundang-undangan dewasa ini. 12. Hukum Islam sebagai bagian dari sistem hukum nasional sudah menjadi hukum positif yang keberlakuannya harus ditaati dan dipatuhi masyarakat. Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dengan ketiadaan hukum materil dan sebagian hukum Islam yang sudah menjadi hukum positif, maka penyusunan Kompilasi Hukum Islam merupakan jalan keluarnya.