PERSPEKTIF ANALISIS SEBAGAI CATATAN PENTING PERJALANAN SISTEM POLITIK, PEMERINTAHAN DAN DEMOKRASI DI INDONESIA DRAMA PANSUS “BANK CENTURY” Perjalanan Episode Drama Bank Century Selama 6 bulan lebih perhatian bangsa Indonesia terpusat pada peristiwa bank century yang setiap hari mengisi headline berbagai media massa di pusat maupun di daerah, baik media cetak maupun media elektronik. Ibarat sebuah sinetron atau drama kehidupan, masalah bank century mampu menyita minat sebagian besar masyarakat kita untuk menyaksikan episode-episode yang terpublikasikan oleh media dengan baik (masalah bank century termasuk rating headline pemberitaan tertinggi di berbagai media massa). Episode drama ini semakin menarik takala sebagian besar nasabah bank century, yang dipelopori ibu Gayatri Cs (nasabah century di Surabaya), melakukan aksi-aksi protes yang cukup “unik” dan agak “nyeleneh” dibandingkan aksiaksi demonstrasi yang sering di tampilkan dan disaksikan oleh publik di media massa. Justru episode awal dari drama century melalui aksi-aksi protes ibu Gayatri Cs yang unik dan aneh menjadi titik awal episode-episode berikutnya dari “drama bank century”. Melihat rating pemberitaan yang sangat tinggi dan mendapat perhatian sangat besar dari publik, akhirnya episode berikut bank century bergulir ke senayan, dimana para pemerannya adalah wakil-wakil rakyat kita di DPR - RI. Sebuah apresiasi yang tinggi patut kita berikan kepada anggota DPR RI melalui tim 9 sebagai tim inisiator untuk membentuk panitia khusus tentang masalah bank century, dan berusaha untuk mengambil alih persoalan ini agar diselesaikan di “ranah politik”, sebagai konsekuensi dari eksistensi DPR dalam menyerap aspirasi rakyat. Asumsi yang di kemukakan, karena persoalan bank century dianggap ada persoalan yang berkaitan dengan kebijakan perbankan yang “keliru”. DPR selaku lembaga legislatif yang salah satu fungsinya adalah fungsi kontrol berusaha untuk meng”take over” persoalan bank century ke senayan. Klimaksnya ketika DPR RI menyetujui untuk membentuk panitia khusus masalah yang berkaitan dengan bank century. Ada 5 agenda yang menjadi agenda kerja pansus bank century, dan diharapkan selama 2 bulan masa kerja, panitia khusus bank century mampu mengambil keputusan pansus untuk di bawah ke rapat paripurna DPR-RI dan diputuskan secara paripurna. Akselerasi tindakan politik DPR – RI, mendapat respon positif dari Presiden RI dengan memberi dukungan untuk mengungkap masalah bank century secara jelas, transparan dan tuntas. Ibarat sebuah vitamin, pernyataan politik Presiden SBY tersebut, memberi semangat pada panitia khusus bank century untuk bekerja secara maksimal. Tidak mengenal lelah, para anggota DPR-RI yang tergabung dalam pansus bank century bekerja secara optimal, dengan segala dinamika demokrasi yang terjadi di ruang sidang/rapat-rapat pansus dan disaksikan secara terbuka oleh publik melalui media-media elektronik. Dan akhirnya sampai pada klimaks episode drama century ketika hasil kerja pansus bank century di bawah ke rapat paripurna DPR-RI untuk di putuskan. Proses pengambilan putusan yang dilakukan secara terbuka dan dipublikasikan di media-media elektronik menjadi sebuah “tontonan” yang menarik bagi publik. Alot dan serunya rapat paripurna DPR-RI dalam pengambilan keputusan tentang masalah bank century sejak hari pertama dengan “insiden” yang sempat mencoreng perjalanan demokrasi kita dan tidak menyurut perhatian publik untuk menyaksikan akhir dari episode drama century di senayan. Dan putusannya kita ketahui bersama melalui voting. Perspektif Analisis sebagai Catatan Penting Dari Episode Drama Bank Century, bagi Perjalanan Sistem Politik, Pemerintahan dan Demokrasi di Indonesia Drama Bank Century, dapat kita jadikan sebagai proses pembelajaran yang bermanfaat bagi perjalanan sistem politik, pemerintahan dan demokrasi di Indonesia. Penulis melihat bahwa DPR – RI periode 2009-2014, mampu memainkan peran dan fungsinya lebih baik, meskipun ada “dugaan miring” (curiga) dari beberapa “pihak” terhadap sepak terjang yang dilakukan oleh panitia 9 inisiator pengagas pansus bank century. Namun bagi penulis, apresiasi yang tinggi tetap harus diberikan kepada DPR – RI khususnya anggota tim 9 (tim inisiator) karena bertindak tanggap, respek, dan cepat untuk segera merespon terhadap persoalan yang terjadi di tengah masyarakat luas. Pembentukan pansus bank century adalah upaya DPR – RI menjawab dan merespon terhadap keresahan di publik. Bagi penulis apa yang dilakukan oleh DPR – RI untuk men”take over” persoalan century ke Senayan adalah tepat, ketika persoalan century tidak mampu diselesaikan dengan cepat oleh perangkat-perangkat hukum yang ada. Sedangkan di publik, khususnya para nasabah bank century telah lama “menderita” dan “menelan korban” karena tidak ada solusi yang mereka dapatkan meskipun perjuangan mereka telah masuk ke ranah hukum. Namun seakan-akan hukum di Negara ini tidak mampu berbuat banyak untuk menyelesaikan persoalan-persoalan tentang dana para nasabah bank century yang dirugikan. Pansus Century (DPR –RI) bekerja di ranahnya sesuai tugas dan kewenangan yang dimilikinya, ketika dalam perjalanannya pansus century menemukan berbagai persoalan yang berkaitan dengan kebijakan bailout dan aliran dana. Suasana politik di Negara kita semakin hangat, diawali dengan perdebatan sengit di rapat-rapat pansus, baik pada saat pansus memanggil para pejabat Negara sesuai kewenangannya pada saat kebijakan penyelematan bank century dilakukan ketika itu, maupun rapat internal anggota pansus. Karena mekanisme rapat pansus century disiarkan secara “live”, maka tidak ada perbuatan atau ucapan dari peserta rapat yang terjadi di dalam rapat-rapat pansus century yang tidak dapat disaksikan secara terbuka oleh publik. Sehingga masyarakat kita yang “tidak terbiasa” menyaksikan perdebatan-perdebatan sengit mengklaim rapat pansus century tidak beretika, hal ini makin menjadi ramai diperdebatkan saat SBY juga mengeluarkan pendapat untuk mengingatkan kepada anggota pansus century untuk menggunakan etika bahasa saat meminta keterangan dari berbagai pejabat Negara. Bagi penulis, situasi tersebut sungguh menarik untuk dijadikan pelajaran dalam berbangsa dan bernegara, karena bangsa kita (Indonesia) telah lama di kurung dalam suasana “sopan santun” yang semu, sehingga ketika kita berbeda pendapat, berdebat sengit menjadi “suatu barang langkah” dan dianggap “riskan” secara etika. Bagi penulis suasana rapat pansus century yang dinilai publik “tidak etis” justru memberi warna bagi perjalanan demokrasi kita. Para anggota pansus, terlihat begitu percaya diri, tidak takut untuk mencari kebenaran dengan mengeluarkan pendapat mereka. Bisa kita bandingkan saat era orde baru, ketika anggota dewan (MPR/DPR) seperti anggota paduan suara yang mudah diatur oleh seorang dirigent konser (pimpinan sidang). Sehingga publik pun saat itu geram dengan tingkah laku dewan yang datang, duduk, diam dan terima duit (honor) lalu teriak setuju tanpa ada keberanian berbeda pendapat. Apa yang terjadi dan disaksikan oleh publik dalam rapatrapat pansus century, harus kita lihat sebagai suatu kebangkitan perjalanan demokrasi di Negara kita. Persoalan perbedaan penilaian tentang etika berbicara dan sopan santun memang perlu diperhatikan bagi setiap anggota DPR – RI yang terhormat, sehingga ke depan status anggota terhormat tadi juga nampak dalam sikap, perilaku, perbuatan dan perkataan sebagai pejabat publik yang memang patut untuk dihormati. Tetapi bila kita melihat konfigurasi kultur budaya dari bangsa Indonesia yang beragam termasuk dalam keragaman kultur budaya yang ada di dalam keanggotaan pansus century, maka sulit kita mengukur etika berbicara yang “sopan dan etis” dari perspektif kultur budaya tertentu dan memberi penilaian bagi anggota pansus yang berbicara dengan latar belakang kultur budaya yang berbeda dari “si penilai”. Penulis melihat hal ini juga sebagai warisan era rezim pemerintahan sebelumnya yang “senang” untuk menggunakan cara-cara “penyeragaman”, termasuk “mengagung-agungkan” kultur budaya tertentu meskipun slogan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita menganut paham “BHINNEKA TUNGGAL IKA” .Namun sayangnya slogan itu hanya sebagai slogan semu yang tidak mampu mewarnai dalam kehidupan nyata berbangsa dan bernegara Indonesia yang penuh dengan keragaman kultur budaya. Sehingga banyak persoalan-persoalan keragaman yang belum mampu bangsa ini menyelesaikannya untuk menerima sebagai sebuah “aset” bangsa yang besar. Penulis juga menilai statement SBY yang “mengkritik” dengan mengingatkan kepada anggota pansus century untuk menggunakan etika berbicara pada saat rapatrapat pansus dilaksanakan, adalah hal yang “wajar”. Namun terasa janggal bila kritikan itu sebagai “upaya” untuk “membatasi” kebebasan berpendapat bagi anggota pansus century. Penulis menilai ada “kekuatiran” yang berlebihan dari seorang SBY dengan latar belakang kultur “sopan santun” dengan melihat dinamika rapat pansus century yang keluar dari “pakem sopan santun” seorang SBY. Bagi penulis bukan kapasitas dan kewenangan SBY selaku pimpinan eksekutif untuk “menilai” apalagi mengintervensi mekanisme pansus century (lembaga legislatif) dengan menggunakan “topik” sopan santun dan etika berbicara hanya untuk “mengendalikan” suasana rapat-rapat pansus agar sesuai dengan “pakem sopan santun ala SBY”. Justru bagi penulis SBY tidak etis untuk “mengintervensi” cara kerja dan mekanisme rapat pansus century (legislatif) hanya agar rapat pansus century berlangsung sesuai dengan “cara rapat” yang diinginkan SBY. Sayangnya kader dari Partai Demokrat yang duduk di dalam pansus century juga tidak mengikuti “anjuran” dari ketua Pembina mereka untuk sopan dan beretika dalam rapat pansus, publik menyaksikan dengan cermat setiap peristiwa tersebut. Penulis menilai “upaya” SBY untuk “merem” pansus century dengan isu sopan santun dan etika berbicara hampir berhasil membungkam keberanian berdebat sengit dan mengeluarkan pendapat di kalangan anggota pansus century, hal ini disebabkan karena adanya tekanan publik yang telah memberi penilaian negatif terhadap sepak terjang mekanisme rapat pansus century. Publik telah terpengaruh dengan statemen SBY tersebut dan publik belum terbiasa melihat mekanisme rapat yang diwarnai dengan perdebatan sengit dan perbedaan pendapat dari anggota-angota pansus yang beragam kultur budaya. Untungnya anggota pansus century tidak terlalu lama berada dibawah tekanan dari penilaian buruk publik. Penulis melihat ada pembelajaran dan pendewasaan dalam rapat-rapat pansus century selanjutnya, meskipun ada beberapa catatan-catatan perbaikan, bagi penulis inilah proses pendewasaan berdemokrasi. Ketika pansus century semakin menemukan keganjilan dalam proses penyelesaian bank century dan aliran dana bailout century dan berusaha mencari penanggungjawab terhadap kebijakan tersebut. Timbul persoalan di luar pansus century itu sendiri, saat elit-elit partai Demokrat berusaha mempengaruhi pansus centuy dengan isu menggugat kesetiaan kekuatan koalisi yang sudah dibangun oleh pemerintahan SBY-Boediono dengan partai-partai pendukung (koalisi). Meskipun beberapa partai yang tergabung dalam koalisi demokrat (PG, PKS, PAN, PPP) tetap berpendapat ada persoalan dalam kasus bank century baik aspek kebijakan bailout maupun aliran dana, namun gugatan elit-elit partai demokrat di luar pansus century mampu mempengaruhi cara kerja pansus century khususnya dari anggota partai koalisi. Dan pada akhirnya PG. PKS dan kemudian PPP tetap konsisten dalam menentukan pilihan keputusan terhadap hasil kerja pansus century dalam rapat paripurna DPR-RI (tanggal 3/3 2010), yang bagi partai demokrat keputusan akhir paripurna PG, PKS dan PPP adalah “mengingkari” kesepakatan koalisi. Penulis menilai bahwa koalisi yang dibangun merupakan koalisi untuk mendukung pemerintahan SBYBoediono dalam menciptakan dan mendorong pemerintahan yang kuat,dan bersih. Justru apa yang dilakukan oleh Fraksi PG, Fraksi PKS dan Fraksi PPP di DPR - RI adalah benar dalam rangka menciptakan posisi “Check and Balance” dari eksistensi kekuasaan legislatif dan eksekutif. Apa yang dilakukan oleh anggota DPR – RI dari partai-partai koalisi PD, yang dianggap berkhianat dengan kesepakatan koalisi adalah tepat dan mereka sedang memainkan fungsi pengawasan (kontrol) bagi terciptanya pemerintahan yang bersih dan akuntabel. Artinya bagi penulis, mereka tidak lari dari kesepakatan koalisi untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan akuntabel. Justru terasa aneh dan ganjal secara teori politik bila kita melihat elit-elit partai politik (PD) berusaha untuk “mengintimidasi” anggota-anggota DPR dari partai koalisi, dengan isu kesepakatan koalisi. Kalau kita kembali lagi ke bangku kuliah dan belajar tentang struktur politik dalam suatu sistem politik di semua Negara, maka kedudukan partai-partai politik di posisikan dalam struktur politik sebagai elemen-elemen infra struktur, bersama-sama dengan media massa, interest groups, kelompok-kelompok penekan (mahasiswa, buruh, LSM), informal leader dll. Sedangkan DPR (legislatif), eksekutif (Presiden dengan jajarannya), yudikatif (institusi-institusi hukum) berada dalam struktur politik sebagai supra politik. Infra politik (termasuk partai politik) memainkan fungsi input berupa artikulasi kepentingan dan agregasi kepentingan, sedangkan supra memainkan fungsi output dengan melahirkan berbagai kebijakankebijakan publik sesuai kewenangan masing-masing (legialatif, eksekutif dan yudikatif). Artinya menurut penulis sangat tidak etis dan tidak sesuai kewenangan maupun teori ketika elit-elit partai (PD = infra struktur) berusaha “menekan” anggota DPR (legislatif) dari partai koalisi yang dianggap keluar dari kesepakatan koalisi dengan isu “resuflle” kabinet. Pertama partai politik (PD) sebagai infra stuktur dalam memainkan fungsi inputnya (artikulasi dan agregasi) kepada DPR sebagai supra struktur harus melalui mekanisme Fraksi-fraksi yang ada di DPR, dalam hal ini Fraksi PD. Persoalannya apakah Fraksi PD mampu atau tidak membangun komunikasi politik dengan Fraksi- fraksi yang termasuk dalam koalisinya di DPR-RI, sehingga Fraksi–fraksi partai koalisi mau mendukung dan memperjuangan aspirasi Fraksi PD. Jadi tidak tepat dan tidak elok ketika elit-elit partai politik (PD) “mengintimidasi” anggota-angota DPR dari koalisi PD yang dinilai mengingkari kesepakatan koalisi mereka dengan isu resuflle kabinet. Kedua. Persoalan resuflle kabinet adalah persoalan pemerintahan (eksekutif), dan menjadi hak prerogatif Presiden. Soal kinerja dan prestasi menteri dalam kabinet hanya Presiden yang tahu dan berhak menilai. Sehingga tidak etis dan tidak elok bila petinggipetinggi partai politik (PD = infra struktur), menggunakan isu resuflle kabinet untuk “menakut-nakutin” anggota DPRD dari koalisi mereka agar tidak berseberangan dalam putusan akhir paripurna dengan FPD. Sedangkan kewenangan resuflle kabinet bukan kewenangan dan ranah partai politik (PD = infra struktur), tetapi menjadi domain dan kewenangan Presiden (eksekutif = supra struktur) Kerancuan kita dalam memainkan peran dan fungsi infra struktur dan supra struktur sesuai dengan struktur politik, yang ada di Indonesia, karena “hampir” semua pejabat publik yang berasal dari partai politik dan sudah masuk dalam ranah supra struktur, masih tetap menduduki jabatan-jabatan puncak (elit) di partai politiknya masing-masing. Seharusnya secara etika politik dan pemerintahan, agar tidak terjadi kesimpangsiuran kepentingan maka pejabat-pejabat publik (legislatif,eksekutif, dan yudikatif = supra politik) yang berasal dari partai politik,atau elemen-elemen infra struktur lainnya, semestinya melepas jabatan-jabatan yang dipegangnya di dalam partai politik maupun elemen infra struktur lainnya, baik sebagai ketua umum partai, presiden partai, ketua Pembina partai maupun istilah-istilah jabatan elit partai lainnya ataupun pimpinan golongan lainnya pada elemen infra struktur. Hal ini untuk menghindarkan terjadinya tumpang tindih kepentingan, antara kepentingan publik dengan kepentingan partai politik atau golongan. Karena supra struktur politik (legislatif, eksekutif, yudikatif) dalam melaksanakan fungsi ouputnya melahirkan berbagai kebijakan-kebijakan publik. Bila pejabat-pejabat di supra struktur tadi juga memegang jabatan elit di partai politik dan golongan lainnya, maka kebijakan publik yang akan dibuat pasti akan tarik menarik antara kepentingan publik dan kepentingan partai atau golongan. Dan biasanya bila itu terjadi maka kepentingan publik akan terabaikan, Ini yang membuat berbagai kebijakan yang lahir di Indonesia, “sedikit” sekali yang pro publik, kalaupun ada, hanya bersifat sesaat dan sementara, khususnya menjelang proses demokrasi (pemilu, pilpres dan pilkada). Episode drama century lainnya yang menarik perhatian publik, ketika rapat paripurna DPR-RI untuk memutuskan hasil yang direkomendasikan pansus century sebagai obsi A dan obsi C berlangsung dua hari (tanggal 2 dan 3 Maret 2010). Diawali dengan “kericuhan” pada rapat paripurna hari pertama, lalu hari kedua dengan kejadian insiden “pelemparan botol minuman” dari balkon, meskipun kebenarannya masih perlu diperiksa lebih lanjut. Hari pertama rapat paripurna menjadi catatan “jelek” yang muncul di opini publik, ketika sebagian besar anggota DPR-RI “memprotes” pimpinan sidang (Ketua DPR-RI) saat menutup sidang tanpa memberi kesempatan anggota DPR-RI berpendapat dan tanpa mempertimbangkan pendapat pimpinan sidang lainnya (4 wakil ketua DPR-RI), Akibatnya mengundang reaksi keras dari anggota DPR-RI, dengan cara-cara yang beragam. Bagi publik ini sesuatu yang “memalukan” yang dilakukan oleh anggota DPR-RI terhormat. Penulis menilai justru ada suatu perbaikan dan perkembangan proses demokrasi kita dengan “peristiwa rapat paripuna hari pertama”. Bila kita merefleksi ke belakang pada masa era orde baru, ketika pimpinan sidang penutup sidang meskipun tanpa mendengar pendapat anggota lainnya, termasuk pendapat pimpinan sidang lainnya (wakil-wakil ketua DPR), maka tidak ada satupun anggota DPR-RI yang hadir, yang akan memprotes tindakan Ketua DPR/MPR saat itu, termasuk para wakil ketua, meskipun selalu dibungkus dengan bahasa-bahasa “telah dimusyawarahkan”. Peristiwa hari pertama (2/3) rapat paripurna DPR-RI justru memberi warna baik bagi perkembangan demokrasi di Indonesia ke depan. Begitu pimpinan sidang bertindak “otoliter” dengan tidak memperhatikan dan memberi ruang bagi anggota DPR-RI untuk berpendapat, maka secara tegas anggota DPR-RI memprotes tindakan pimpinan sidang. Penulis menilai tindakan protes para anggota DPR-RI terhadap tindakan “MA” sebagai pimpinan sidang yang menutup sidang secara “sepihak” dengan cara protes dengan “gayanya masing-masing”, bagi penulis masih dalam koridor yang wajar, coba bandingkan dengan suasana sidang parlemen di berbagai Negara (Jepang, Korea, Nigeria dll) yang dipublikasikan salah satu TV swasta, menunjukan kepada publik bagaimana mereka saling pukul, membanting rekannya (gaya judo), melempar sarana prasarana sidang, dan lain-lain yang lebih destruktif dibandingkan dengan gaya protes anggota parlemen kita kemarin (2/3). Justru penulis menilai persoalan keributan pada sidang paripurna DPR-RI (2-3/3) kemarin dipicu karena ketidakmampuan pimpinan sidang (Ketua DPR-RI) dalam memerankan dirinya sebagai pimpinan sidang. Pertama, pada rapat pertama, seharusnya Ketua DPR-RI yang memimpin sidang tidak langsung menutup rapat paripurna “secepat kilat”, tanpa mendengar pendapat anggota DPR-RI lainnya, termasuk para wakil ketua DPR-RI yang ada. Meskipun pembelaan yang dikemukan Ketua DPRD saat itu mengatakan sebagai kesalahan teknis karena sarana rapat (mike suara) rusak sehingga banyak yang tidak posisi “on”, termasuk agenda rapat yang sudah dirumuskan oleh rapat Bamus, hanya 2 agenda (pelantikan wakil ketua DPR-RI dari PAN dan penyampaian pendapat Fraksi), namun bukan berarti Ketua DPRD bisa bertindak “otoliter” dengan menutup sidang secara sepihak. Kedua kepemimpinan pimpinan rapat pada saat memimpin rapat paripurna DPR-RI pada hari kedua juga menjadi persoalan, ketika Ketua DPR-RI memberi ruang bagi anggota DPR untuk berpendapat. Ada 20 orang anggota DPR yang dilist/didaftar oleh Ketua DPR untuk diberikan kesempatan berpendapat, namun dalam perjalannnya Ketua DPR tidak konsisten memberi kesempatan awal bagi 20 orang anggota DPR yang sudah terdaftar tadi, tetapi justru menyerahkan per fraksi untuk berpendapat, padahal sebelumnya pendapat fraksi-fraksi telah dilakukan. Celakanya lagi ketika seorang anggota DPR dari FD (TP) melakukan interupsi, Ketua DPR mempersilahkan dengan asumsi pewakilan PD belum ada, padahal TP tidak termasuk dalam daftar yang sudah dilist/didaftar sebagai anggota DPR yang akan berpendapat. Situasi inilah yang memicu “peristiwa pelemparan dan suara riuh rendah dari balkon pengunjung”. Ketiga menurut penilaian penulis, seharusnya pimpinan sidang, khususnya Ketua DPR (MA) bertindak dan berperilaku sebagai seorang pimpinan rapat. Artinya kapasitas MA meskipun berasal dari Fraksi PD, namun saat itu MA memainkan peran sebagai pimpinan rapat yang mengatur mekanisme rapat agar berjalan baik dan lancar. Sehingga sikap-sikap yang tidak patut dan tidak etis tidak perlu ditunjukan dan dilakukan oleh seorang pimpinan rapat. Bila kita cermati banyak kata-kata yang tidak perlu dikeluarkan oleh seorang MA sebagai pimpinan rapat, karena terkesan memprovokasi suasana rapat untuk tidak kondusif, serta tidak berwibawa, Contoh kata-kata yang tidak perlu “hebat PD 100 %, konsisten memberikan suaranya”, “saya sebagai kader PD memberikan dukungan sepenuhnya pada pilihan….. “, “….yang lain tidak 100% seperti PD”. Kalimat-kalimat inilah yang keluar dari seorang pimpinan sidang paripurna DPR-RI yang memicu “kegaduhan” di ruang sidang. Setelah sidang paripurna DPR-RI diketuk dan ditutup oleh pimpinan rapat dengan putusan obsi C sebagai putusan paripurna DPR-RI terhadap persoalan bank century (Obsi A =212 dan Obsi C = 325), ada suatu pembelajaran pendewasaan demokrasi yang perlu mendapat apresiasi yang tinggi, ketika lagu Indonesia Raya di kumandangkan dan dinyanyikan oleh semua hadirin di ruang sidang paripurna, baik sebagai anggota rapat paripurna, sekretariat DPR, peninjau, wartawan, semuanya menyanyikan dengan agung dan khusus, sebagai sebuah pengharapan terhadap pendewasaan demokrasi di Indonesia akan lebih baik ke depan. Sebuah episode drama reality show yang mengandung makna pembelajaran bagi proses pendemokrasian bangsa Indonesia. Terakhir drama bank century ditutup dengan episode ketika esok harinya Wakil Presiden Boediono, mengeluarkan pernyataan pers yang bernuansa sejuk, bahwa siapapun pejabat publik, wajib mentaati hukum dan tunduk pada hukum dan setiap masa Tuhan pasti berpihak pada kebenaran. Lalu Menteri Keuangan hadir dalam rapat paripurna di DPR-RI mewakili pihak eksekutif (pemerintah) untuk menghadiri pembahasan pengesahan persetujuan APBN 2009. Lalu pada saat keluar ruangan SMI (Menteri Keuangan) memberikan statement yang nuansanya hampir sama dengan statement Boediono bahwa proses hukum tetap berjalan dan beliau bekerja sesuai dengan batas kewenangan yang dimilikinya. Malam harinya tepat jam 20.00 Presiden RI SBY melakukan pidato untuk menanggapi hasil paripurna DPR-RI tentang bank century. Ada kekuatiran dari berbagai pihak, bahwa statemen SBY akan “keras” terhadap hasil rapat paripurna century, lalu isu resufle akan dibahas termasuk kelangsungan nasib koalisi. Karena apabila itu terjadi, maka suhu politik akan semakin panas dan bisa bergerak baikan bola api yang liar. Namun pada akhirnya SBY menyatakan bahwa dia selaku pemimpin pemerintahan bertanggung jawab terhadap kebijakan penyelamatan bank century untuk menyelamatkan krisis yang akan di hadapi oleh Negara, terlepas dari penyalah gunaaan aliran dana oleh manajemen bank century, untuk itu Presiden secara tegas menyatakan agar yang bersalah di proses secara hukum. Pernyataan Presiden SBY sebagai kata-kata klimaks dari drama bank century, yang cukup menyita waktu, pikiran dan tenaga dari bangsa ini. Namun banyak catatan-catan penting yang dapat kita jadikan sebagai proses pembelajaran sistem politik, pemerintahan dan demokrasi di Indonesia. Ke depan, kita tinggal menunggu dan menyaksikan tindak lanjut dari keputusan paripurna DPR-RI bahwa persoalan bank century diserahkan pada mekanisme hukum. Penulis Nama : JAMES R. PUALILLIN PENELITI PADA PUSAT PENGKAJIAN ETIKA POLITIK DAN PEMERINTAHAN (PUSKAP)