PERSPEKTIF ANALISIS SEBAGAI CATATAN PENTING

advertisement
PERSPEKTIF ANALISIS SEBAGAI CATATAN PENTING PERJALANAN SISTEM
POLITIK, PEMERINTAHAN DAN DEMOKRASI DI INDONESIA
DRAMA PANSUS “BANK CENTURY”
Perjalanan Episode Drama Bank Century
Selama 6 bulan lebih perhatian bangsa Indonesia terpusat pada peristiwa bank
century yang setiap hari mengisi headline berbagai media massa di pusat maupun di
daerah, baik media cetak maupun media elektronik. Ibarat sebuah sinetron atau drama
kehidupan, masalah bank century mampu menyita minat sebagian besar masyarakat
kita untuk menyaksikan episode-episode yang terpublikasikan oleh media dengan baik
(masalah bank century termasuk rating headline pemberitaan tertinggi di berbagai
media massa). Episode drama ini semakin menarik takala sebagian besar nasabah
bank century, yang dipelopori ibu Gayatri Cs (nasabah century di Surabaya),
melakukan aksi-aksi protes yang cukup “unik” dan agak “nyeleneh” dibandingkan aksiaksi demonstrasi yang sering di tampilkan dan disaksikan oleh publik di media massa.
Justru episode awal dari drama century melalui aksi-aksi protes ibu Gayatri Cs yang
unik dan aneh menjadi titik awal episode-episode berikutnya dari “drama bank century”.
Melihat rating pemberitaan yang sangat tinggi dan mendapat perhatian sangat besar
dari publik, akhirnya episode berikut bank century bergulir ke senayan, dimana para
pemerannya adalah wakil-wakil rakyat kita di DPR - RI.
Sebuah apresiasi yang tinggi patut kita berikan kepada anggota DPR RI melalui
tim 9 sebagai tim inisiator untuk membentuk panitia khusus tentang masalah bank
century, dan berusaha untuk mengambil alih persoalan ini agar diselesaikan di “ranah
politik”, sebagai konsekuensi dari eksistensi DPR dalam menyerap aspirasi rakyat.
Asumsi yang di kemukakan, karena persoalan bank century dianggap ada persoalan
yang berkaitan dengan kebijakan perbankan yang “keliru”. DPR selaku lembaga
legislatif yang salah satu fungsinya adalah fungsi kontrol berusaha untuk meng”take
over” persoalan bank century ke senayan. Klimaksnya ketika DPR RI menyetujui untuk
membentuk panitia khusus masalah yang berkaitan dengan bank century. Ada 5
agenda yang menjadi agenda kerja pansus bank century, dan diharapkan selama 2
bulan masa kerja, panitia khusus bank century mampu mengambil keputusan pansus
untuk di bawah ke rapat paripurna DPR-RI dan diputuskan secara paripurna.
Akselerasi tindakan politik DPR – RI, mendapat respon positif dari Presiden RI
dengan memberi dukungan untuk mengungkap masalah bank century secara jelas,
transparan dan tuntas. Ibarat sebuah vitamin, pernyataan politik Presiden SBY tersebut,
memberi semangat pada panitia khusus bank century untuk bekerja secara maksimal.
Tidak mengenal lelah, para anggota DPR-RI yang tergabung dalam pansus bank
century bekerja secara optimal, dengan segala dinamika demokrasi yang terjadi di
ruang sidang/rapat-rapat pansus dan disaksikan secara terbuka oleh publik melalui
media-media elektronik. Dan akhirnya sampai pada klimaks episode drama century
ketika hasil kerja pansus bank century di bawah ke rapat paripurna DPR-RI untuk di
putuskan. Proses pengambilan putusan yang dilakukan secara terbuka dan
dipublikasikan di media-media elektronik menjadi sebuah “tontonan” yang menarik bagi
publik. Alot dan serunya rapat paripurna DPR-RI dalam pengambilan keputusan tentang
masalah bank century sejak hari pertama dengan “insiden” yang sempat mencoreng
perjalanan demokrasi kita dan tidak menyurut perhatian publik untuk menyaksikan akhir
dari episode drama century di senayan. Dan putusannya kita ketahui bersama melalui
voting.
Perspektif Analisis sebagai Catatan Penting Dari Episode Drama Bank Century,
bagi Perjalanan Sistem Politik, Pemerintahan dan Demokrasi di Indonesia
Drama Bank Century, dapat kita jadikan sebagai proses pembelajaran yang
bermanfaat bagi perjalanan sistem politik, pemerintahan dan demokrasi di Indonesia.
Penulis melihat bahwa DPR – RI periode 2009-2014, mampu memainkan peran dan
fungsinya lebih baik, meskipun ada “dugaan miring” (curiga) dari beberapa “pihak”
terhadap sepak terjang yang dilakukan oleh panitia 9 inisiator pengagas pansus bank
century. Namun bagi penulis, apresiasi yang tinggi tetap harus diberikan kepada DPR –
RI khususnya anggota tim 9 (tim inisiator) karena bertindak tanggap, respek, dan cepat
untuk segera merespon terhadap persoalan yang terjadi di tengah masyarakat luas.
Pembentukan pansus bank century adalah upaya DPR – RI menjawab dan merespon
terhadap keresahan di publik. Bagi penulis apa yang dilakukan oleh DPR – RI untuk
men”take over” persoalan century ke Senayan adalah tepat, ketika persoalan century
tidak mampu diselesaikan dengan cepat oleh perangkat-perangkat hukum yang ada.
Sedangkan di publik, khususnya para nasabah bank century telah lama “menderita” dan
“menelan korban” karena tidak ada solusi yang mereka dapatkan meskipun perjuangan
mereka telah masuk ke ranah hukum. Namun seakan-akan hukum di Negara ini tidak
mampu berbuat banyak untuk menyelesaikan persoalan-persoalan tentang dana para
nasabah bank century yang dirugikan.
Pansus Century (DPR –RI) bekerja di ranahnya sesuai tugas dan kewenangan
yang dimilikinya, ketika dalam perjalanannya pansus century menemukan berbagai
persoalan yang berkaitan dengan kebijakan bailout dan aliran dana. Suasana politik di
Negara kita semakin hangat, diawali dengan perdebatan sengit di rapat-rapat pansus,
baik pada saat pansus memanggil para pejabat Negara sesuai kewenangannya pada
saat kebijakan penyelematan bank century dilakukan ketika itu, maupun rapat internal
anggota pansus. Karena mekanisme rapat pansus century disiarkan secara “live”, maka
tidak ada perbuatan atau ucapan dari peserta rapat yang terjadi di dalam rapat-rapat
pansus century yang tidak dapat disaksikan secara terbuka oleh publik. Sehingga
masyarakat kita yang “tidak terbiasa” menyaksikan perdebatan-perdebatan sengit
mengklaim rapat pansus century tidak beretika, hal ini makin menjadi ramai
diperdebatkan saat SBY juga mengeluarkan pendapat untuk mengingatkan kepada
anggota pansus century untuk menggunakan etika bahasa saat meminta keterangan
dari berbagai pejabat Negara. Bagi penulis, situasi tersebut sungguh menarik untuk
dijadikan pelajaran dalam berbangsa dan bernegara, karena bangsa kita (Indonesia)
telah lama di kurung dalam suasana “sopan santun” yang semu, sehingga ketika kita
berbeda pendapat, berdebat sengit menjadi “suatu barang langkah” dan dianggap
“riskan” secara etika.
Bagi penulis suasana rapat pansus century yang dinilai publik “tidak etis” justru
memberi warna bagi perjalanan demokrasi kita. Para anggota pansus, terlihat begitu
percaya diri, tidak takut untuk mencari kebenaran dengan mengeluarkan pendapat
mereka. Bisa kita bandingkan saat era orde baru, ketika anggota dewan (MPR/DPR)
seperti anggota paduan suara yang mudah diatur oleh seorang dirigent konser
(pimpinan sidang). Sehingga publik pun saat itu geram dengan tingkah laku dewan
yang datang, duduk, diam dan terima duit (honor) lalu teriak setuju tanpa ada
keberanian berbeda pendapat. Apa yang terjadi dan disaksikan oleh publik dalam rapatrapat pansus century, harus kita lihat sebagai suatu kebangkitan perjalanan demokrasi
di Negara kita.
Persoalan perbedaan penilaian tentang etika berbicara dan sopan santun
memang perlu diperhatikan bagi setiap anggota DPR – RI yang terhormat, sehingga ke
depan status anggota terhormat tadi juga nampak dalam sikap, perilaku, perbuatan dan
perkataan sebagai pejabat publik yang memang patut untuk dihormati. Tetapi bila kita
melihat konfigurasi kultur budaya dari bangsa Indonesia yang beragam termasuk dalam
keragaman kultur budaya yang ada di dalam keanggotaan pansus century, maka sulit
kita mengukur etika berbicara yang “sopan dan etis” dari perspektif kultur budaya
tertentu dan memberi penilaian bagi anggota pansus yang berbicara dengan latar
belakang kultur budaya yang berbeda dari “si penilai”. Penulis melihat hal ini juga
sebagai
warisan
era
rezim
pemerintahan
sebelumnya
yang
“senang”
untuk
menggunakan cara-cara “penyeragaman”, termasuk “mengagung-agungkan” kultur
budaya tertentu meskipun slogan
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita
menganut paham “BHINNEKA TUNGGAL IKA” .Namun sayangnya slogan itu hanya
sebagai slogan semu yang tidak mampu mewarnai dalam kehidupan nyata berbangsa
dan bernegara Indonesia yang penuh dengan keragaman kultur budaya. Sehingga
banyak
persoalan-persoalan
keragaman
yang
belum
mampu
bangsa
ini
menyelesaikannya untuk menerima sebagai sebuah “aset” bangsa yang besar.
Penulis juga menilai statement SBY yang “mengkritik” dengan mengingatkan
kepada anggota pansus century untuk menggunakan etika berbicara pada saat rapatrapat pansus dilaksanakan, adalah hal yang “wajar”. Namun terasa janggal bila kritikan
itu sebagai “upaya” untuk “membatasi” kebebasan berpendapat bagi anggota pansus
century. Penulis menilai ada “kekuatiran” yang berlebihan dari seorang SBY dengan
latar belakang kultur “sopan santun” dengan melihat dinamika rapat pansus century
yang keluar dari “pakem sopan santun” seorang SBY. Bagi penulis bukan kapasitas dan
kewenangan SBY selaku pimpinan eksekutif untuk “menilai” apalagi mengintervensi
mekanisme pansus century (lembaga legislatif) dengan menggunakan “topik” sopan
santun dan etika berbicara hanya untuk “mengendalikan” suasana rapat-rapat pansus
agar sesuai dengan “pakem sopan santun ala SBY”. Justru bagi penulis SBY tidak etis
untuk “mengintervensi” cara kerja dan mekanisme rapat pansus century (legislatif)
hanya agar rapat pansus century berlangsung sesuai dengan “cara rapat” yang
diinginkan SBY. Sayangnya kader dari Partai Demokrat yang duduk di dalam pansus
century juga tidak mengikuti “anjuran” dari ketua Pembina mereka untuk sopan dan
beretika dalam rapat pansus, publik menyaksikan dengan cermat setiap peristiwa
tersebut. Penulis menilai “upaya” SBY untuk “merem” pansus century dengan isu sopan
santun dan etika berbicara hampir berhasil membungkam keberanian berdebat sengit
dan mengeluarkan pendapat di kalangan anggota pansus century, hal ini disebabkan
karena adanya tekanan publik yang telah memberi penilaian negatif terhadap sepak
terjang mekanisme rapat pansus century. Publik telah terpengaruh dengan statemen
SBY tersebut dan publik belum terbiasa melihat mekanisme rapat yang diwarnai
dengan perdebatan sengit dan perbedaan pendapat dari anggota-angota pansus yang
beragam kultur budaya. Untungnya anggota pansus century tidak terlalu lama berada
dibawah tekanan dari penilaian buruk publik. Penulis melihat ada pembelajaran dan
pendewasaan dalam rapat-rapat pansus century selanjutnya, meskipun ada beberapa
catatan-catatan perbaikan, bagi penulis inilah proses pendewasaan berdemokrasi.
Ketika
pansus
century
semakin
menemukan
keganjilan
dalam
proses
penyelesaian bank century dan aliran dana bailout century dan berusaha mencari
penanggungjawab terhadap kebijakan tersebut. Timbul persoalan di luar pansus
century itu sendiri, saat elit-elit partai Demokrat berusaha mempengaruhi pansus centuy
dengan isu menggugat kesetiaan kekuatan koalisi yang sudah dibangun oleh
pemerintahan SBY-Boediono dengan partai-partai pendukung (koalisi). Meskipun
beberapa partai yang tergabung dalam koalisi demokrat (PG, PKS, PAN, PPP) tetap
berpendapat ada persoalan dalam kasus bank century baik aspek kebijakan bailout
maupun aliran dana, namun gugatan elit-elit partai demokrat di luar pansus century
mampu mempengaruhi cara kerja pansus century khususnya dari anggota partai
koalisi. Dan pada akhirnya PG. PKS dan kemudian PPP tetap konsisten dalam
menentukan pilihan keputusan terhadap hasil kerja pansus century dalam rapat
paripurna DPR-RI (tanggal 3/3 2010), yang bagi partai demokrat keputusan akhir
paripurna PG, PKS dan PPP adalah “mengingkari” kesepakatan koalisi. Penulis menilai
bahwa koalisi yang dibangun merupakan koalisi untuk mendukung pemerintahan SBYBoediono dalam menciptakan dan mendorong pemerintahan yang kuat,dan bersih.
Justru apa yang dilakukan oleh Fraksi PG, Fraksi PKS dan Fraksi PPP di DPR - RI
adalah benar dalam rangka menciptakan posisi “Check and Balance” dari eksistensi
kekuasaan legislatif dan eksekutif. Apa yang dilakukan oleh anggota DPR – RI dari
partai-partai koalisi PD, yang dianggap berkhianat dengan kesepakatan koalisi adalah
tepat dan mereka sedang memainkan fungsi pengawasan (kontrol) bagi terciptanya
pemerintahan yang bersih dan akuntabel. Artinya bagi penulis, mereka tidak lari dari
kesepakatan koalisi untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan akuntabel.
Justru terasa aneh dan ganjal secara teori politik bila kita melihat elit-elit partai
politik (PD) berusaha untuk “mengintimidasi” anggota-anggota DPR dari partai koalisi,
dengan isu kesepakatan koalisi. Kalau kita kembali lagi ke bangku kuliah dan belajar
tentang struktur politik dalam suatu sistem politik di semua Negara, maka kedudukan
partai-partai politik di posisikan dalam struktur politik sebagai elemen-elemen infra
struktur, bersama-sama dengan media massa, interest groups, kelompok-kelompok
penekan (mahasiswa, buruh, LSM), informal leader dll. Sedangkan DPR (legislatif),
eksekutif (Presiden dengan jajarannya), yudikatif (institusi-institusi hukum) berada
dalam struktur politik sebagai supra politik. Infra politik (termasuk partai politik)
memainkan fungsi input berupa artikulasi kepentingan dan agregasi kepentingan,
sedangkan supra memainkan fungsi output dengan melahirkan berbagai kebijakankebijakan publik sesuai kewenangan masing-masing (legialatif, eksekutif dan yudikatif).
Artinya menurut penulis sangat tidak etis dan tidak sesuai kewenangan maupun teori
ketika elit-elit partai (PD = infra struktur) berusaha “menekan” anggota DPR (legislatif)
dari partai koalisi yang dianggap keluar dari kesepakatan koalisi dengan isu “resuflle”
kabinet. Pertama partai politik (PD) sebagai infra stuktur dalam memainkan fungsi
inputnya (artikulasi dan agregasi) kepada DPR sebagai supra struktur harus melalui
mekanisme Fraksi-fraksi yang ada di DPR, dalam hal ini Fraksi PD. Persoalannya
apakah Fraksi PD mampu atau tidak membangun komunikasi politik dengan Fraksi-
fraksi yang termasuk dalam koalisinya di DPR-RI, sehingga Fraksi–fraksi partai koalisi
mau mendukung dan memperjuangan aspirasi Fraksi PD. Jadi tidak tepat dan tidak
elok ketika elit-elit partai politik (PD) “mengintimidasi” anggota-angota DPR dari koalisi
PD yang dinilai mengingkari kesepakatan koalisi mereka dengan isu resuflle kabinet.
Kedua. Persoalan resuflle kabinet adalah persoalan pemerintahan (eksekutif), dan
menjadi hak prerogatif Presiden. Soal kinerja dan prestasi menteri dalam kabinet hanya
Presiden yang tahu dan berhak menilai. Sehingga tidak etis dan tidak elok bila petinggipetinggi partai politik (PD = infra struktur), menggunakan isu resuflle kabinet untuk
“menakut-nakutin” anggota DPRD dari koalisi mereka agar tidak berseberangan dalam
putusan akhir paripurna dengan FPD. Sedangkan kewenangan resuflle kabinet bukan
kewenangan dan ranah partai politik (PD = infra struktur), tetapi menjadi domain dan
kewenangan Presiden (eksekutif = supra struktur)
Kerancuan kita dalam memainkan peran dan fungsi infra struktur dan supra
struktur sesuai dengan struktur politik, yang ada di Indonesia, karena “hampir” semua
pejabat publik yang berasal dari partai politik dan sudah masuk dalam ranah supra
struktur, masih tetap menduduki jabatan-jabatan puncak (elit) di partai politiknya
masing-masing. Seharusnya secara etika politik dan pemerintahan, agar tidak terjadi
kesimpangsiuran kepentingan maka pejabat-pejabat publik (legislatif,eksekutif, dan
yudikatif = supra politik) yang berasal dari partai politik,atau elemen-elemen infra
struktur lainnya, semestinya melepas jabatan-jabatan yang dipegangnya di dalam partai
politik maupun elemen infra struktur lainnya, baik sebagai ketua umum partai, presiden
partai, ketua Pembina partai maupun istilah-istilah jabatan elit partai lainnya ataupun
pimpinan golongan lainnya pada elemen infra struktur. Hal ini untuk menghindarkan
terjadinya tumpang tindih kepentingan, antara kepentingan publik dengan kepentingan
partai politik atau golongan. Karena supra struktur politik (legislatif, eksekutif, yudikatif)
dalam melaksanakan fungsi ouputnya melahirkan berbagai kebijakan-kebijakan publik.
Bila pejabat-pejabat di supra struktur tadi juga memegang jabatan elit di partai politik
dan golongan lainnya, maka kebijakan publik yang akan dibuat pasti akan tarik menarik
antara kepentingan publik dan kepentingan partai atau golongan. Dan biasanya bila itu
terjadi maka kepentingan publik akan terabaikan, Ini yang membuat berbagai kebijakan
yang lahir di Indonesia, “sedikit” sekali yang pro publik, kalaupun ada, hanya bersifat
sesaat dan sementara, khususnya menjelang proses demokrasi (pemilu, pilpres dan
pilkada).
Episode drama century lainnya yang menarik perhatian publik, ketika rapat
paripurna DPR-RI untuk memutuskan hasil yang direkomendasikan pansus century
sebagai obsi A dan obsi C berlangsung dua hari (tanggal 2 dan 3 Maret 2010). Diawali
dengan “kericuhan” pada rapat paripurna hari pertama, lalu hari kedua dengan kejadian
insiden “pelemparan botol minuman” dari balkon, meskipun kebenarannya masih perlu
diperiksa lebih lanjut. Hari pertama rapat paripurna menjadi catatan “jelek” yang muncul
di opini publik, ketika sebagian besar anggota DPR-RI “memprotes” pimpinan sidang
(Ketua DPR-RI) saat menutup sidang tanpa memberi kesempatan anggota DPR-RI
berpendapat dan tanpa mempertimbangkan pendapat pimpinan sidang lainnya (4 wakil
ketua DPR-RI), Akibatnya mengundang reaksi keras dari anggota DPR-RI, dengan
cara-cara yang beragam. Bagi publik ini sesuatu yang “memalukan” yang dilakukan
oleh anggota DPR-RI terhormat. Penulis menilai justru ada suatu perbaikan dan
perkembangan proses demokrasi kita dengan “peristiwa rapat paripuna hari pertama”.
Bila kita merefleksi ke belakang pada masa era orde baru, ketika pimpinan sidang
penutup sidang meskipun tanpa mendengar pendapat anggota lainnya, termasuk
pendapat pimpinan sidang lainnya (wakil-wakil ketua DPR), maka tidak ada satupun
anggota DPR-RI yang hadir, yang akan memprotes tindakan Ketua DPR/MPR saat itu,
termasuk para wakil ketua, meskipun selalu dibungkus dengan bahasa-bahasa “telah
dimusyawarahkan”. Peristiwa hari pertama (2/3) rapat paripurna DPR-RI justru memberi
warna baik bagi perkembangan demokrasi di Indonesia ke depan. Begitu pimpinan
sidang bertindak “otoliter” dengan tidak memperhatikan dan memberi ruang bagi
anggota DPR-RI untuk berpendapat, maka secara tegas anggota DPR-RI memprotes
tindakan pimpinan sidang. Penulis menilai tindakan protes para anggota DPR-RI
terhadap tindakan “MA” sebagai pimpinan sidang yang menutup sidang secara
“sepihak” dengan cara protes dengan “gayanya masing-masing”, bagi penulis masih
dalam koridor yang wajar, coba bandingkan dengan suasana sidang parlemen di
berbagai Negara (Jepang, Korea, Nigeria dll) yang dipublikasikan salah satu TV swasta,
menunjukan kepada publik bagaimana mereka saling pukul, membanting rekannya
(gaya judo), melempar sarana prasarana sidang, dan lain-lain yang lebih destruktif
dibandingkan dengan gaya protes anggota parlemen kita kemarin (2/3). Justru penulis
menilai persoalan keributan pada sidang paripurna DPR-RI (2-3/3) kemarin dipicu
karena ketidakmampuan pimpinan sidang (Ketua DPR-RI) dalam memerankan dirinya
sebagai pimpinan sidang. Pertama, pada rapat pertama, seharusnya Ketua DPR-RI
yang memimpin sidang tidak langsung menutup rapat paripurna “secepat kilat”, tanpa
mendengar pendapat anggota DPR-RI lainnya, termasuk para wakil ketua DPR-RI yang
ada. Meskipun pembelaan yang dikemukan Ketua DPRD saat itu mengatakan sebagai
kesalahan teknis karena sarana rapat (mike suara) rusak sehingga banyak yang tidak
posisi “on”, termasuk agenda rapat yang sudah dirumuskan oleh rapat Bamus, hanya 2
agenda (pelantikan wakil ketua DPR-RI dari PAN dan penyampaian pendapat Fraksi),
namun bukan berarti Ketua DPRD bisa bertindak “otoliter” dengan menutup sidang
secara sepihak. Kedua kepemimpinan pimpinan rapat pada saat memimpin rapat
paripurna DPR-RI pada hari kedua juga menjadi persoalan, ketika Ketua DPR-RI
memberi ruang bagi anggota DPR untuk berpendapat. Ada 20 orang anggota DPR
yang dilist/didaftar oleh Ketua DPR untuk diberikan kesempatan berpendapat, namun
dalam perjalannnya Ketua DPR tidak konsisten memberi kesempatan awal bagi 20
orang anggota DPR yang sudah terdaftar tadi, tetapi justru menyerahkan per fraksi
untuk berpendapat, padahal sebelumnya pendapat fraksi-fraksi telah dilakukan.
Celakanya lagi ketika seorang anggota DPR dari FD (TP) melakukan interupsi, Ketua
DPR mempersilahkan dengan asumsi pewakilan PD belum ada, padahal TP tidak
termasuk dalam daftar yang sudah dilist/didaftar sebagai anggota DPR yang akan
berpendapat. Situasi inilah yang memicu “peristiwa pelemparan dan suara riuh rendah
dari balkon pengunjung”. Ketiga menurut penilaian penulis, seharusnya pimpinan
sidang, khususnya Ketua DPR (MA) bertindak dan berperilaku sebagai seorang
pimpinan rapat. Artinya kapasitas MA meskipun berasal dari Fraksi PD, namun saat itu
MA memainkan peran sebagai pimpinan rapat yang mengatur mekanisme rapat agar
berjalan baik dan lancar. Sehingga sikap-sikap yang tidak patut dan tidak etis tidak
perlu ditunjukan dan dilakukan oleh seorang pimpinan rapat. Bila kita cermati banyak
kata-kata yang tidak perlu dikeluarkan oleh seorang MA sebagai pimpinan rapat, karena
terkesan memprovokasi suasana rapat untuk tidak kondusif, serta tidak berwibawa,
Contoh kata-kata yang tidak perlu “hebat PD 100 %, konsisten memberikan suaranya”,
“saya sebagai kader PD memberikan dukungan sepenuhnya pada pilihan….. “,
“….yang lain tidak 100% seperti PD”. Kalimat-kalimat inilah yang keluar dari seorang
pimpinan sidang paripurna DPR-RI yang memicu “kegaduhan” di ruang sidang.
Setelah sidang paripurna DPR-RI diketuk dan ditutup oleh pimpinan rapat
dengan putusan obsi C sebagai putusan paripurna DPR-RI terhadap persoalan bank
century (Obsi A =212 dan Obsi C = 325), ada suatu pembelajaran pendewasaan
demokrasi yang perlu mendapat apresiasi yang tinggi, ketika lagu Indonesia Raya di
kumandangkan dan dinyanyikan oleh semua hadirin di ruang sidang paripurna, baik
sebagai anggota rapat paripurna, sekretariat DPR, peninjau, wartawan, semuanya
menyanyikan dengan agung dan khusus, sebagai sebuah pengharapan terhadap
pendewasaan demokrasi di Indonesia akan lebih baik ke depan. Sebuah episode
drama
reality
show
yang
mengandung
makna
pembelajaran
bagi
proses
pendemokrasian bangsa Indonesia.
Terakhir drama bank century ditutup dengan episode ketika esok harinya Wakil
Presiden Boediono, mengeluarkan pernyataan pers yang bernuansa sejuk, bahwa
siapapun pejabat publik, wajib mentaati hukum dan tunduk pada hukum dan setiap
masa Tuhan pasti berpihak pada kebenaran. Lalu Menteri Keuangan hadir dalam rapat
paripurna di DPR-RI mewakili pihak eksekutif (pemerintah) untuk menghadiri
pembahasan pengesahan persetujuan APBN 2009. Lalu pada saat keluar ruangan SMI
(Menteri Keuangan) memberikan statement yang nuansanya hampir sama dengan
statement Boediono bahwa proses hukum tetap berjalan dan beliau bekerja sesuai
dengan batas kewenangan yang dimilikinya. Malam harinya tepat jam 20.00 Presiden
RI SBY melakukan pidato untuk menanggapi hasil paripurna DPR-RI tentang bank
century. Ada kekuatiran dari berbagai pihak, bahwa statemen SBY akan “keras”
terhadap hasil rapat paripurna century, lalu isu resufle akan dibahas termasuk
kelangsungan nasib koalisi. Karena apabila itu terjadi, maka suhu politik akan semakin
panas
dan bisa bergerak baikan bola api yang liar. Namun pada akhirnya SBY
menyatakan bahwa dia selaku pemimpin pemerintahan bertanggung jawab terhadap
kebijakan penyelamatan bank century untuk menyelamatkan krisis yang akan di hadapi
oleh Negara, terlepas dari penyalah gunaaan aliran dana oleh manajemen bank
century, untuk itu Presiden secara tegas menyatakan agar yang bersalah di proses
secara hukum. Pernyataan Presiden SBY sebagai kata-kata klimaks dari drama bank
century, yang cukup menyita waktu, pikiran dan tenaga dari bangsa ini. Namun banyak
catatan-catan penting yang dapat kita jadikan sebagai proses pembelajaran sistem
politik, pemerintahan dan demokrasi di Indonesia. Ke depan, kita tinggal menunggu dan
menyaksikan tindak lanjut dari keputusan paripurna DPR-RI bahwa persoalan bank
century diserahkan pada mekanisme hukum.
Penulis
Nama : JAMES R. PUALILLIN
PENELITI PADA PUSAT PENGKAJIAN ETIKA POLITIK DAN PEMERINTAHAN
(PUSKAP)
Download