Joshua Partogi H - Blog UB

advertisement
PAPER
TEORI MANAJEMEN PUBLIK
(Harapan & Kenyataan Good Governance)
Disusun Oleh:
Mochammad Zacky Abdalla
(125030118113001)
Joshua Partogi Hutagalung
(125030118113012)
Arik Candra Kurniawan
(125030118113016)
Boby Hendra Susanto
(125030118113017)
Dosen Pengampu:
Drs. Mochammad Rozikin, MAP.
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI
ILMU ADMINISTRASI PUBLIK
KEDIRI
2013
Latar Belakang
Penyediaan pelayanan yang berkualitas merupakan suatu keniscayaan yang
harus dipenuhi oleh setiap penyelenggara negara sesuai tuntutan dan perkembangan
masyarakat. Pada dasarnya bahwa keberhasilan pemerintah dalam memberikan
pelayanan publik kepada masyarakat merupakan salah satu indikator penting dalam
penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan.
Reformasi birokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan yang sedang
bergulir saat ini menempatkan pelayanan publik sebagai bagian dari agenda nasional
dan global dalam mewujudkan Good Governance. Berbagai permasalahan yang masih
saja menyertai dalam penyelenggaraan pelayanan publik diantaranya berkenaan
dengan prosedur yang tidak jelas, berbelit-belit, waktu penyelesaiannya yang tidak
menentu, tata cara yang kurang tepat, dan biaya-biaya yang tidak transparan hingga
sikap dan perilaku petugas pelayanan yang tidak mengindahkan etika sebagai
“pelayan masyarakat”, dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Berbagai upaya perubahan atau reformasi di bidang politik, ekonomi, sosial
budaya serta hukum yang telah berlangsung selama ini ternyata masih belum mampu
mendorong terjadinya reformasi birokrasi secara nyata termasuk di dalamnya
reformasi bidang pelayanan publik. Bahkan dalam banyak hal ciri-ciri yang
mencerminkan lemahnya birokrasi di Indonesia masih terindikasi, misalnya struktur
kelembagaan pemerintah yang cenderung membesar, rumusan dan pelaksanaan
tupoksi antar instansi yang seringkali overlapping, hubungan kerja yang tidak jelas,
pegawai yang tidak profesional, tidak kreatif dan tidak inovatif, serta rendahnya
kinerja pelayanan publik.
Peningkatan pemberian pelayanan publik yang berkualitas ternyata masih
banyak mendapat tantangan. Pada dasarnya sudah tersedia dasar hukum yang menjadi
peletak dasar kewajiban negara untuk menyelenggarakan pemerintahan yang bersih
seperti dibentuknya Keppres No. 44/2000 tentang Pembentukan Ombudsman
Nasional. Namun masih banyak aparatur yang tidak menjalankan tugasnya dengan
baik sehingga menimbulkan berbagai persoalan dalam penyelenggaraan pelayanan
kepada masyarakat.
Dalam era reformasi saat ini pelayanan publik menjadi isu kebijakan yang
semakin strategis, mengingat perbaikan pelayanan publik di Indonesia cenderung
“berjalan di tempat”, sedangkan implikasinya sangatlah luas dalam kehidupan
ekonomi, politik, sosial budaya dan lain sebagainya. Dalam kehidupan ekonomi,
perbaikan pelayanan publik akan bisa memperbaiki iklim investasi yang sangat
diperlukan bangsa ini agar bisa segera keluar dari krisis ekonomi yang
berkepanjangan. Buruknya pelayanan publik sering menjadi variabel yang dominan
mempengaruhi penurunan investasi yang berakibat pada pemutusan hubungan kerja
(PHK). Buruknya pelayanan publik tersebut terlihat dari masih kuatnya perilaku
koruptif aparat pelayanan publik. Masih kuatnya prilaku koruptif ini salah satunya
dibuktikan dengan dari masih rendahnya Corruption Perception Index (CPI)
Indonesia tahun 2006 yang dikeluarkan oleh Transparency International Indonesia
(TII), yaitu 2,4 – naik 0,2 point dari CPI tahun 2005.
Pengukuran CPI didasarkan pada pengukuran tingkat persepsi para pelaku
bisnis dan pengamat baik dalam maupun luar negeri terhadap pelayanan publik suatu
negara.
Kondisi buruk ini belum beranjak membaik, bahkan data terkini mengenai
daftar negara terkorup di Asia yang disampaikan oleh Political and Economic Risk
Consultancy (PERC) 8 April 2009 yang berbasis di Hongkong menempatkan
Indonesia berada pada posisi teratas (8,32) dari skor 0 paling bersih sampai dengan 10
paling korup. Keberadaan Indonesia pada skor 8,32 tersebut menunjukkan bahwa
Indonesia merupakan negara terkorup di kawasan Asia.
Daftar tersebut disusun untuk mengukur iklim investasi, dengan salah satu
indikator yang dijadikan sebagai pengukur iklim investasi adalah faktor korupsi.
Kondisi tersebut sungguh memprihatinkan, mengingat disatu sisi pemerintah sedang
giat-giatnya memberantas korupsi akan tetapi disisi lain perilaku koruptif aparat
pelayanan publik masih sangat kuat. Di samping itu, perilaku koruptif aparat
pelayanan publik juga berpengaruh terhadap tingkat CPI, mengingat tinggi rendahnya Corruption Perception Index (CPI) suatu negara berkaitan erat dengan
kualitas pelayan publik di negara bersangkutan. Untuk itu, maka reformasi birokrasi
terutama di sektor pelayanan publik di Indonesia merupakan suatu keharusan.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang diambil
antara lain:
Bagaimana gambaran umum tentang Good Governance?
Bagaimana upaya pemerintah dalam mewujudkan Good Governance di indonesia,
Berserta contoh studi kasusnya?
Bagaimana Harapan & Kenyataan Good Governance?
Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui gambaran umum tentang Good Governance di Indonesia.
Untuk mengetahui upaya pemerintah dalam menerapkan Good Governance di
Indonesia.
Untuk mengetahui Harapan & Kenyataan Good Governance.
Manfaat penulisan
Secara teoritis:
Menambah pemahaman tentang Good Governance.
Lebih memahami upaya pemerintah untuk menerapkan Good Governance di
Indonesia.
Secara praktis:
Dapat digunakan sebagai referensi bagi penulis berikutnya yang mengangkat
tema yang sama.
Metode Penelitian
Metode yang digunakan pemakalah dalam penyusunan makalah ini dengan
menggunakan teknik pengumpulan data dengan menggunakan referensi dan bukubuku dan internet sebagai landasan teoritis mengenai masalah yang akan diselesaikan.
KAJIAN PUSTAKA
Good Governance
Good Governance, yang diterjemahkan menjadi Tata laksana kepemerintahan
yang baik, adalah penggunaan wewenang ekonomi, politik dan administrasi guna
mengelola urusan-urusan negara pada semua tingkat. Tata pemerintahan mencakup
seluruh mekanisme, proses dan lembaga-lembaga dimana warga dan kelompokkelompok masyarakat mengutarakan kepentingan mereka, menggunakan hak hukum,
memenuhi kewajiban dan menjembatani perbedaan-perbedaan diantara mereka Tata
laksana kepemerintahan yang baik adalah seperangkat proses yang diberlakukan
dalam organisasi baik swasta maupun negeri untuk menentukan keputusan.
Tata laksana kepemerintahan yang baik ini walaupun tidak dapat menjamin
sepenuhnya segala sesuatu akan menjadi sempurna - namun, apabila dipatuhi jelas
dapat mengurangi penyalah-gunaan kekuasaan dan korupsi. Banyak badan-badan
donor internasional, seperti IMF dan Bank Dunia, mensyaratkan diberlakukannya
unsur-unsur tata laksana pemerintahan yang baik sebagai dasar bantuan dan pinjaman
yang akan mereka berikan.
untuk ma untuk semua orang.
1. Efektif dan ekonomis
2. ma Dapat dipertanggungjawabkan
Berlakunya karakteristik-karakteristik diatas biasanya menjadi jaminan untuk:


Meminimimalkan terjadinya korupsi
Pandangan minoritas terwakili : Karakteristik dasar tata laksana
kepemerintahan yang baik
Lembaga Administrasi Negara (2000) memberikan pengertian Good
governance yaitu penyelenggaraan pemerintah negara yang solid dan bertanggung
jawab, serta efesien dan efektif, dengan menjaga kesinergian interaksi yang
konstruktif diantara domain-domain negara, sektor swasta, dan masyarakat.
Dalam
Peraturan
Pemerintah
Nomor
101
Tahun
2000
prinsip-prinsip
kepemerintahan yang baik terdiri dari:
1. Profesionalitas, meningkatkan kemampuan dan moral penyelenggara pemerintahan
agar mampu memberi pelayanan yang mudah, cepat, tepat dengan biaya yang
terjangkau.
2. Akuntabilitas, meningkatkan akuntabilitas para pengambil keputusan dalam segala
bidang yang menyangkut kepentingan masyarakat.
3.
Transparansi, menciptakan kepercayaan timbal balik antara pemerintah dan
masyarakat melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan di dalam
memperoleh informasi yang akurat dan memadai.
4. Pelayanan prima, penyelenggaraan pelayanan publik yang mencakup prosedur yang
baik, kejelasan tarif, kepastian waktu, kemudahan akses, kelengkapan sarana dan
prasarana serta pelayanan yang ramah dan disiplin.
5. Demokrasi dan Partisipasi, mendorong setiap warga untuk mempergunakan hak
dalam menyampaikan pendapat dalam proses pengambilan keputusan, yang
menyangkut kepentingan masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung
6. Efisiensi dan Efektifitas, menjamin terselenggaranya pelayanan kepada masyarakat
dengan menggunakan sumber daya yang tersedia secara optimal dan bertanggung
jawab.
7. Supremasi hukum dan dapat diterima oleh seluruh masyarakat, mewujudkan adanya
penegakkan hukum yang adil bagi semua pihak tanpa pengecualian, menjunjung
tinggi HAM dan memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
Karakteristik atau prinsip-prinsip yang harus dianut dan dikembangkan dalam
praktek penyelenggaraan kepemerintahan yang baik (good governance) dikemukakan
oleh UNDP (1997) yaitu meliputi:
1. Partisipasi (Participation): Setiap orang atau warga masyarakat, baik laki-laki
maupun perempuan memiliki hak suara yang sama dalam proses pengambilan
keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembaga perwakilan sesuai
dengan kepentingan dan aspirasinya masing-masing
2. Akuntabilitas (Accountability): Para pengambil keputusan dalam sektor publik, swasta
dan masyarakat madani memiliki pertanggungjawaban (akuntabilitas) kepada publik,
sebagaimana halnya kepada stakeholders.
3. Aturan hukum (Rule of law): Kerangka aturan hukum dan perundang-undangan
harus berkeadilan, ditegakkan dan dipatuhi secara utuh, terutama aturan hukum
tentang hak azasi manusia.
4. Transparansi
(Transparency):
Transparansi
harus
dibangun
dalam
rangka
kebebasan aliran informasi. Informasi harus dapat dipahami dan dapat dimonitor.
5. Daya tangkap (Responsiveness): Setiap intuisi dan prosesnya harus diarahkan pada
upaya untuk melayani berbagai pihak yang berkepentingan (stakeholders).
6. Berorientasi konsensus (consensus Orientation): Pemerintah yang baik akan
bertindak sebagai penengah bagi berbagai kepentingan yang berbeda untuk
mencapai konsensus atau kesempatan yang terbaik bagi kepentingan yang berbeda
untuk mencapai konsensus atau kesempatan yang terbaik bagi kepentingan masingmasing pihak, dan berbagai kebijakan dan prosedur yang akan ditetapkan
pemerintah.
7. Berkeadilan (Equity): Pemerintah yang baik akan memberikan kesempatan yang baik
terhadap laki-laki maupun perempuan dalam upaya mereka untuk meningkatkan
kualitas hidupnya.
8. Efektifitas dan Efisiensi (Effectifitas and Effeciency): Setiap proses kegiatan dan
kelembagaan diarahkan untuk menghasilkan sesuatu yang benar-benar sesuai
dengan kebutuhan melalui pemanfaatan yang sebaik-baiknya dengan berbagai
sumber yang tersedia.
Menurut Edelman, Penerapan prinsip-prinsip good governance sangat penting
dalam pelaksanaan pelayanan publik untuk meningkatkan kinerja aparatur negara.
Menurut Effendi dalam Azhri, dkk. (2009 : 187), Good Governance sebagai
penyelenggaraan pemerintahan secara partisipasi, efektif, jujur, adil, transparan, dan
bertanggung jawab kepada semua pemerintahan.
Menurut IAN & BPKP (2000), Good Governance adalah bagaimana
pemerintah berinteraksi dengan masyarakat dan mengelola sumber-sumber daya
dalam pembangunan. Good Governance adalah sikap di mana kekuasaan dilakukan
oleh masyarakat yang diatur dalam berbagai tingkatan pemerintahan negara yang
berkaitan dengan sumber-sumber sosial-budaya, politik, dan ekonomi.
Menurut Kooman (1992), bahwa Governance merupakan proses interaksi
sosial politik antara pemerintahan dengan masyarakat dalam berbagai bidang yang
berkaitan dengan kepentingan masyarakat. Menurut (Kurniawan, 2005), Good
Governance sebagai penyelenggaraan pemerintah Negara yang solid dan bertanggung
jawab serta efisien dan efektif dengan menjaga kesinergian.
Menurut DR. Sadjijono, SH. , M.Hum. (2007) , Good Governance
mengandung arti kegiatan suatu lembaga pemerintah yang dijalankan berdasarkan
kepentingan rakyat dan norma yang berlaku untuk mewujudkan cita-cita negara.
Harapan & Cita-Cita
Harapan hampir mirip dengan cita-cita, hanya saja biasanya cita-cita itu adalah
sesuatu yang diinginkan setinggi-tingginya, sedangkan harapan itu tidak terlalu
muluk. Meskipun demikian, harapan dan cita-cita memiliki kesamaan, yaitu :
1. Keduanya menyangkut masa depan karena belum terwujud.
2. Pada umumnya baik cita-cita maupun harapan adalah menginginkan hal yang lebih
baik atau lebih meningkat.
Model teori harapan dari Lawler mengajukan empat asumsi:
1. Orang mempunyai pilihan-pilihan antara berbagai hasil-keluaran yang secara
potensial dapat mereka gunakan. Dengan perkataan lain, setiap hasil-keluaran
alternatif mempunyai harkat (valence = V), yang mengacu pada ketertarikannya bagi
seseorang. Hasil keluaran alternatif, juga disebut tujuan-tujuan pribadi (personal
goals), dapat disadari atau tidak disadari oleh yang bersangkutan. Jika disadari,
maknanya serupa dengan penetapan tujuan-tujuan. Jika tidak disadari, motivasi
kerjanya lebih bercorak reaktif.
2. Orang mempunyai harapan-harapan tentang kemungkinan bahwa upaya (effort = E)
mereka akan mengarah ke perilaku unjuk-kerja (performance = P) yang dituju. Ini
diungkapkan sebagai harapan E-P.
3. Orang mempunyai harapan-harapan tentang kemungkinan bahwa hasil-hasil
keluaran (outcomes = O) tertentu akan diperoleh setelah unjuk-kerja (P) mereka. Ini
diungkapkan dalam rumusan harapan P-O.
4. Dalam setiap situasi, tindakan-tindakan dan upaya yang berkaitan dengan tindakantindakan tadi yang dipilih oleh seseorang untuk dilaksanakan ditentukan oleh harapanharapan (E-P, dan P-O) dan pilihan-pilihan yang dipunyai orang pada saat itu.
Model harapan dari Lawler menyatakan bahwa besar kecilnya motivasi
seseorang dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Indeks motivasi = jl {(E-P) x jml [(P-O)(V)]}
Menurut Lawler, faktor-faktor yang menentukan E-P (kemungkina besarnya
upaya menyebabkan tercapainya unjuk-kerja yang diinginkan) ialah harga diri atau
kepercayaan diri, pengalaman lampau dalam situasi serupa, situasi sekarang yang
aktual, komunikasi (informasi dan persepsi) dari orang lain.
Menurut Abraham Maslow, sesuai dengan kodratnya harapan manusia dan
kebutuhan manusia ialah :
a. Kelangsungan Hidup ( Survival ) ;
b. Keamanan ( Safety ) ;
c. Hak & Kewajiban mencintai dan dicintai ( Be Loving and Love ) ;
d. Diakui Lingkungan ;
e. Perwujudan Cita-Cita ( Self Actualization ) .
Definisi Harapan Lainnya, Harapan berasal dari kata harap yaitu keinginan
supaya sesuatu terjadi atau sesuatu terjadi atau suatu yang belum terwujud. Harapan
dapat diartikan sebagai menginginkan sesuatu yang dipercayai dan dianggap benar
dan jujur oleh setiap manusia dan harapan agar dapat dicapai ,memerlukan
kepercayaan kepada diri sendiri,kepercayaan kepada orang lain dan kepercayaan
kepada TUHAN.
Menurut Snyder (1994), mendefinisikan harapan sebagai “mental willpower
plus waypower for goals. Menurut Linley & Joseph (1994) harapan dapat dipahami
sebagai gabungan dari motivasi intrinsik, self – efficacy pribadi dan harapan akan
hasil.
Kenyataan
Realitas atau kenyataan, dalam bahasa sehari-hari berarti "hal yang nyata; yang
benar-benar ada".
Dalam pengertiannya yang sempit dalam filsafat barat, ada tingkat-tingkat
dalam sifat dan konsep tentang realitas. Tingkat-tingkat ini mencakup, dari yang
paling subyektif hingga yang paling ketat: realitas fenomenologis, kebenaran, fakta,
dan aksioma.
Menurut Thomas Kuhn (1922-1996), definisi kenyataan sering dipahami
sebagai suatu entitas yang ada dalam suatu struktur sosial kepercayaan, akreditasi,
institusi, dan praktik individual yang kompleks.
Harapan & Kenyataan Good Governance
Good Governance, Sebuah Harapan
Seiring dengan perubahan tatanan kenegaraan yang dilandasi adanya semangat
reformasi telah mewarnai pemberdayaan dan mengimplimentasikan seluruh aparatur
Negara untuk mewujudkan administrasi Negara yang mampu mendukung keterpaduan
pelaksanaan fungsi penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan berwibawa
sebagai bagian dari tuntutan reformasi.
Menurut Dwiyanto (2004;21), pemerintahan yang baik (good governance)
sebagai sistem administrasi yang melibatkan banyak pelaku (multi stakeholders) baik
dari pemerintah maupun di luar pemerintah, sedangkan Sedarmayanti (2003;2)
menyatakan bahwa good governance merupakan proses penyelenggaraan kekuasaan
Negara dalam melaksanakan penyediaan public goods and service. Untuk
mewujudkan kepemerintahan yang baik (good governance) salah satu unsur yang
harus terpenuhi adalah adanya komitmen dari semua anggota dalam satuan organisasi
/ lembaga dalam mewujudkan kepemerintahan yang bersih, mengedepankan dan
mempertimbangkan unsur-unsur efektivitas, efisiensi dan ekonomis dalam
memberikan layanan prima kepada publik.
Untuk mewujudkan pemerintahan yang baik (good governance), ada beberapa
unsur penting antara lain:
 Pertama, akuntabilitas yaitu adanya kewajiban bagi aparatur pemerintahan
untuk bertindak selaku penanggung jawab dan penanggung gugat atas segala
tindakan dan kewajiban yang ditetapkan.
 Kedua, transparansi, kepemerintahan yang baik akan bersifat transparan
terhadap rakyatnya, baik pada tingkat pusat maupun daerah.
 Ketiga, keterbukaan yaitu menghendaki terbukanya kesempatan bagi rakyat
untuk mengajukan tanggapan dan kritik terhadap pemerintah yang dinilainya
tidak transparan.
 Keempat, aturan hukum: kepemerintahan yang baik mempunyai karakteristik
berupa jaminan kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat terhadap setiap
kebijakan publik yang ditempuh (Sedarmayanti, 2004;7).
Era demokratisasi yang berlangsung selama ini menjadi babak baru dan telah
mengilhami para aktivis untuk mewujudkan pemerintahan yang memberi ruang
partisipasi luas bagi aktor dan lembaga di luar pemerintah sehingga sangat
dimungkinkan adanya pembagian peran dan kekuasaan seimbang antara Negara,
masyarakat sipil dan mekanisme pasar. Jika kondisi ini dapat di implementasikan
dengan kesadaran penuh khususnya bagi penyelenggara Negara, maka apa yang
diharapkan untuk mewujudkan pemerintahan yang baik secara bertahap akan
terlaksana.
Keberadaan governance menurut Subarsono (2003;39) digunakan karena
institusi pemerintah (government) tidak lagi memadai jika diperlakukan sebagai satusatunya institusi untuk menjalankan fungsi goveming. Sedangkan government adalah
fenomena abad 20 ketika Negara memegang hegemoni kekuasaan atas rakyat. Namun
ketika masalah publik sudah kompleks dan pemerintah kewalahan dalam menjalankan
tugas dan fungsi, maka perlu melibatkan banyak stakeholders lain dalam
penyelenggaraan pemerintahan dan ini dipahami sebagai governance.
Banyaknya persepsi berbeda dalam menyikapi konsep good governance akan
melahirkan berbagai pandangan akan beberapa karakteristik dan nilai yang melekat
dalam praktik good governance, diantaranya :
 Pertama, good governance harus memberi ruang kepada aktor lembaga non
pemerintah untuk berperan serta secara optimal dalam kegiatan pemerintahan
sehingga memungkinkan adanya sinergi di antara aktor dan lembaga
pemerintah dan non pemerintah.
 Kedua, dalam praktik good governance terkandung nilai membuat pemerintah
dapat lebih efektif bekerja mewujudkan kesejahteraan bersama.
Model-model untuk mewujudkan kepemerintahan yang baik, UNDP dalam
Sedarmayanti, (2004;37) antara lain :
 Model kepemerintahan ekonomi (economic governance model) meliputi proses
pembuatan keputusan yang memfasilitasi kegiatan ekonomi di dalam negeri
dan interaksi di antara penyelenggara ekonomi.
 Model kepemerintahan politik (political governance model) : mencakup proses
pembuatan berbagai keputusan untuk perumusan kebijakan .
 Model kepemerintahan administratif (administrative governance model) :
sistem implementasi kebijkan.
Implementasi dari good governance di era reformasi ditandai adanya
kelembagaan dalam governance yang melibatkan secara aktif keberadaannya terhadap
3 komponen yaitu Negara, sektor swasta dan masyarakat yang saling berinteraksi
dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Negara menciptakan lingkungan politik dan
hukum yang kondusif, sector swasta menciptakan pekerjaan dan pendapatan, adapun
masyarakat memfasilitasi interaksi social budaya politik, menggerakkan kelompok
masyarakat untuk ambil bagian dalam kegiatan ekonomi, politik, sosial dan budaya.
Prinsip mendasar yang melandasi perbedaan antara kepemerintahan
(governance) dengan pola pemerintahan tradisional adalah terletak pada tuntutan yang
sedemikian kuat agar peranan pemerintah dikurangi dan peran masyarakat termasuk
dunia usaha dan LSM semakin ditingkatkan. Sekarang kita simak Undang-undang No.
22 tahun 1999 yang disempurnakan dengan Undang-Undang No. 32 tahun 2004
tentang Pemerintah Daerah dengan mengusung semangat reformasi dengan
menempatkan masyarakat sebagai pilar utama pemerintah daerah. Keberadaan
Undang-Undang tersebut dimaksudkan untuk mempercepat terwujudnya
kesejahteraan melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan serta peran serta
masyarakat.
Hal ini juga dibarengi adanya Undang-Undang No.25 tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang membawa dampak
terhadap perubahan dalam hal keuangan. Sehingga dengan demikian memberi ruang
gerak lebih luas terhadap pemberdayaan masyarakat sipil (civil society) dan elit
politik dalam melakukan kajian, analisis dan kebijakan daerah sehingga apa yang
dibutuhkan secara mikro dari setiap daerah terkecil dapat dipantau dan diketahui.
Uraian tersebut merupakan rambu-rambu pemerintah pusat yang diserahkan
kepada daerah otonom dengan segala aspeknya, namun kenyataan yang terjadi bahwa
sekitar 11 tahun perjalanan otonomi daerah yang paling menonjol tentang perluasan
daerah otonom terutama di daerah kab/kota dan provinsi. Kondisi ini nampaknya
disadari atau tidak, berdasarkan pengamatan penulis, secara politis akan menambah
elit-elit daerah sebagai penguasa lokal yang kadang kurang menghiraukan
kepentingan yang lebih luas (NKRI). Demikian juga, masih terjadi beberapa daerah
otonom yang belum mandiri secara finansial (anggaran), terbukti masih banyaknya
daerah otonom yang bersaing untuk mendapatkan anggaran pembangunan berupa
DAU, dana dekonsentrasi dan dana pembantuan atau DIPA dari APBN pusat.
Kondisi ini nampaknya belum disadari betul oleh elit daerah dalam
membangun daerah secara swadana. Partisipasi dan peran masyarakat dalam kondisi
seperti ini sangat dibutuhkan sebagai inovasi terdepan, dan hendaknya dilibatkan dan
dipertimbangkan sebagai masukan pemerintah daerah untuk bersama-sama
mempercepat daerah secara mandiri, sehingga ketergantungan dengan pemerintah
pusat secara finansial dapat dikurangi. Kepala daerah tidak lagi dipilih dan ditentukan
oleh pemerintah pusat, tetapi ditentukan oleh DPRD setempat. Ini menunjukkan
adanya penguatan sistem yang ada di wakil rakyat di daerah. Demikian juga
pelaksanaan pelayanan publik di Provinsi, Kab/Kota dengan menguatnya peran
legislatif bukan saja di pusat melainkan juga di daerah, ditandai adanya mekanisme
Laporan Pertanggungan Jawab (LPJ) dari kepala daerah kepada DPR.
Hal ini dipahami sebagai progress report, namun sering muncul adanya nilai
tawar terhadap LPJ yang dikaitkan dengan pertimbangan politik dari sebuah partai,
lebih-lebih partai yang mengusungnya. Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa
reformasi yang berjalan nampaknya masih banyak celah negatif dalam pelaksanaan
pemerintahan yang bersih dan dapat dipertanggunganjawabkan secara transparan.
Hal ini di sebabkan masih banyak hal-hal yang perlu diungkap baik secara
mikro dan makro yang menjadi penyakit (patologi) dalam sistem pemerintahan pusat
dan daerah yang selama ini sudah menjadi keputusan politik di NKRI. Pelaksanaan
Undang-Undang No. 32 tahun 2004 di era reformasi membawa semangat yang sama
yakni penyelenggaraan pemerintah daerah secara partisipasif.
Tetapi kenyataannya arogansi dan penyalahgunaan kewenangan daerah masih
muncul di sana-sini. KKN tidak terkendali, kekuasaan berada pada kelompokkelompok tertentu. Patologi sosial bermunculan dengan corak budaya berbeda
sehingga pemberdayaan masyarakat masih sering dimarjinalkan tidak terkecuali
menjelang pemilihan kepala daerah. Demikian juga pemerintah dituntut untuk terbuka
dan menjamin akses stakeholders terhadap berbagai informasi mengenai proses
kebijakan publik, alokasi anggaran serta evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan juga
belum dapat dilaksanakan dengan baik. Semoga tulisan ini menjadi sebuah renungan
dan membuahkan tekad dan semangat untuk mewujudkan pemerintahan lebih baik
yang diharapkan oleh seluruh komponen bangsa.
Governance Reform, Sebuah Kenyataan
Skeptisisme Triyono Lukmantoro (Kompas, 18/7) yang menyatakan good
governance merupakan utopia belaka perlu diberi catatan khusus. Jika diletakkan
dalam konteks pemahaman perjalanan panjang menuju tata kelola pemerintahan yang
baik, good governance bukan utopia yang mustahil dijangkau, tetapi conditio sine qua
non menuju kehidupan yang lebih demokratis dan bermartabat.
Sejauh ini, governance sering dikonotasikan perangai birokrasi an sich.
Padahal, good governance merupakan sejumlah nilai, kebijakan, dan institusi untuk
menata ekonomi, politik, dan sosial melalui kerja sama pemerintah, masyarakat sipil,
dan dunia usaha. Di negeri kita, wacana good governance mulai berkembang
bersamaan dengan arus reformasi 1998-an. Karena itu dapat dimengerti muncul
pemahaman beragam.
Keniscayaan governance reform
Krisis multidimensi yang kita alami bukanlah kutukan Tuhan dan ulah rakyat
kebanyakan. Fungsi institusi negara diselewengkan dari melayani rakyat menjadi
melanggengkan kekuasaan elite. Pelayanan menjadi mandul dan organisasi tambem,
besar tetapi tidak efektif.
Dibandingkan dengan organisasi mana pun, organisasi negara paling efektif
melayani kepentingan rakyat banyak akibat aneka sumber yang dikelolanya. Namun,
fungsi itu tidak berjalan di Indonesia karena institusi negara direduksi untuk
kepentingan penguasa. Kemewahan dinikmati segelintir golongan: penguasa,
pengusaha yang dekat dengan penguasa, dan kelompok-kelompok strategis pada pusat
kekuasaan.
Penguasa sebelumnya tidak punya kemauan kuat menindak penyeleweng
karena takut, akhirnya akan berujung pada pengaruh kedudukannya sendiri. Bahkan
garda terdepan penegak hukum, seperti polisi, jaksa, dan hakim, justru ikut berperan
aktif dalam berbagai penyalahgunaan kewenangan. Karena itu, dibutuhkan
governance reform dalam semua matra kehidupan masyarakat.
Pada masa Orde Baru, kekuasaan politik amat sentralistis dan kekuatan
masyarakat sipil direduksi. Padahal, masyarakat sipil yang kuat dibutuhkan guna
mengontrol pemerintahan agar berpihak pada rakyat. Jadi, good governance harus
dijalankan bukan sebatas pengambilan keputusan, tetapi keterlibatan hulu-hilir; dari
awal hingga akhir. Deretan aktivitas ini harus menjadi agenda utama bangsa untuk
menciptakan tata pemerintahan yang baik, berpihak kepada kelompok marjinal,
termasuk perempuan.
Kekuatan Rakyat yang terbangun sejak reformasi menjadi acuan pemerintahan
SBY, dan diyakini sebagai amunisi utama yang mengantarkan SBY ke kursi presiden.
Saat ini pengungkapan kasus korupsi menjadi amat penting karena masyarakat
memiliki keberanian untuk kritis terhadap kebijakan pemerintah. Desakan untuk
mengungkap pejabat publik yang terlibat dalam korupsi telah menjadi agenda
masyarakat luas. Artinya, momentum memperjuangkan good governance telah
memperlihatkan hasil yang sulit dibayangkan sebelumnya.
Aneka capaian dalam reformasi tata pemerintahan kian memupuk kesadaran
masyarakat untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Tumbuhnya keberanian
masyarakat menuntut hak, mendesak birokrasi menjadi lebih efektif. Jadi, keniscayaan
governance reform sejalan dengan pembentukan daulat rakyat.
Membangun mitra
Sulit dibayangkan, sederet masalah yang mendera bangsa ini hanya akan
diselesaikan oleh pemerintah karena pemerintah merupakan bagian dari masalah,
bukan bagian dari pemecahan masalah. Pemerintah harus menyadari, kita hanya akan
dapat membangun bangsa bermartabat apabila dibangun kemitraan setara dengan
pemerintah, pengusaha, dan warga masyarakat untuk membangun bangsa bersama
rakyat dan pengusaha.
Determinan tata kelola pemerintahan yang baik, yaitu pemerintah, masyarakat,
dan dunia usaha, perlu bekerja sinergis menguatkan fungsi kontrol dalam menghadapi
sederet kendala ketidakrelaan pejabat-pejabat yang dulunya menikmati segala bentuk
privilege, institusi yang belum reformatif, rakyat apatis yang didera kemiskinan, dan
jumlah pengangguran yang meningkat.
Meski langkah reformasi amat berat, tetapi aparat yang bersih dan jujur, aktivis
yang membumi, akademisi yang masih bernurani, yang peduli terhadap kebangkrutan
bangsa telah menempuh langkah-langkah nyata sesuai dengan ranah masing-masing.
Langkah bersama semacam inilah yang perlu terus digalang sehingga capaian yang
ada tidak mati suri. Dalam hal ini, partnership sengaja didesain untuk memfasilitasi
(baik langsung maupun tidak langsung) usaha yang berujung pada pembentukan good
governance.
Misalnya, fasilitasi yang dilakukan dalam pengungkapan kasus korupsi di
daerah, pengungkapan awal penyelewengan di KPU, dukungan langsung kepada
KPK, prakarsa berbagai komisi reformasi di kepolisian dan kejaksaan, sponsor
transparansi keuangan daerah. Tak kalah penting, kemitraan antikorupsi di antara dua
organisasi keagamaan terbesar di negeri ini, NU dan Muhammadiyah.
Semua upaya dan hasil yang telah dicapai itu hendaknya jangan dimentahkan
dengan menganggap good governace sebagai utopia. Lilin integritas telah dinyalakan
dan menyala di mana-mana. Karena itu, tidak pada tempatnya untuk skeptis.
Semuanya meminta peran serta kita yang lebih efektif dan konkret.
KONSEP PELAYANAN PUBLIK
Konsepsi Pelayanan Publik
Pelayanan publik pada dasarnya menyangkut aspek kehidupan masyarakat
yang sangat luas. Dalam kehidupan bernegara, maka pemerintah memiliki fungsi
memberikan berbagai pelayanan publik yang diperlukan oleh masyarakat, mulai dari
pelayanan dalam bentuk pengaturan atau pun pelayanan-pelayanan lain dalam rangka
memenuhi kebutuhan masyarakat.
Sedangkan hakekat dari pelayanan publik itu sendiri adalah pemberian
pemenuhan pelayanan kepada masyarakat yang merupakan perwujudan kewajiban
pemerintah sebagai abdi masyarakat. Pemberian pelayanan publik ini terutama
diberikan untuk hal-hal yang sifatnya mendasar seperti pendidikan, kesehatan, sosial,
keamanan dan ketertiban, lingkungan, perekonomian, kependudukan, ketenagakerjaan
pertanahan.
Konsepsi pelayanan publik dari perspektif administrasi negara, dipahami
sebagai “segala kegiatan layanan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah sebagai
upaya pemenuhan kebutuhan orang, masyarakat, instansi pemerintah dan badan
hukum sebagai pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Adapun pengertian pelayanan berdasarkan Keputusan Menpan Nomor 81
Tahun 1993 adalah “suatu bentuk kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh instansi
pemerintah baik di pusat, di daerah, BUMN, dan BUMD dalam bentuk barang
maupun jasa dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku”.
Selanjutnya pengertian pelayanan publik berdasarkan Keputusan Menpan
Nomor 63 Tahun 2003 adalah “segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh
penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima
pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Sedangkan pengertian pelayanan publik menurut hasil kajian Komisi Hukum
Nasional (KHN), diartikan sebagai “suatu kewajiban yang diberikan oleh konstitusi
atau undang-undang kepada pemerintah untuk memenuhi hak-hak dasar warga negara
atau penduduk atas suatu layanan (publik)”.
Pengertian menurut KHN ini secara tegas menekankan bahwa pelayanan publik
merupakan kewajiban pemerintah (negara). Batasan ini berbeda denga batasan yang
diberikan oleh Menpan yang mendefinisikan pelayanan publik hanya sebagai kegiatan
instansi pemerintah.
Berkaitan dengan konsep pelayanan publik tersebut, dalam lampiran Keputusan
Menpan No. 63/Kep./M.PAN/7/2003, tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan
Pelayanan Publik, layanan publik oleh pemerintah dibedakan menjadi tiga (3)
kelompok sebagai berikut :
Pertama; Kelompok Layanan Administratif; yaitu layanan yang menghasilkan
bentuk dokumen resmi yang dibutuhkan oleh publik, misalnya status
kewarganegaraan, sertifikat kompetensi, kepemilikan dan penguasaan terhadap suatu
barang, dan sebagainya. Dokumen-dokumen ini antara lain: Kartu Tanda Penduduk
(KTP), akte pernikahan, akte kelahiran, keterangan kematian, Buku Pemillikan
Kendaraan Bermotor (BPKB), Surat Ijin Mengemudi (SIM), Surat Tanda Nomor
Kendaraan Bermotor (STNK), Ijin Mendirikan Bangunan (IMB), paspor, sertifikat
kepemilikan / penguasaan tanah, dan sebagainya.
Kedua; Kelompok Layanan Barang; yaitu layanan yang menghasilkan berbagai
bentuk/jenis yang digunakan oleh publik, misalnya jaringan telepon, penyediaan
tenaga listrik, air bersih, dan sebagainya.
Ketiga; Kelompok Layanan Jasa; yaitu layanan yang menghasilkan berbagai
jasa yang dibutuhkan oleh publik, misalnya pendidikan, pemeliharaan kesehatan,
penyelenggaraan transportasi, pos, dan sebagainya.
Selanjutnya dalam Surat Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur
Negara Nomor 63/Kep./M.PAN/7/2003 tersebut juga ditetapkan mengenai prinsipprinsip pelayanan publik, yang mencakup :
a. Prinsip Kesederhanaan. Prosedur pelayanan publik tidak berbelit-belit, mudah
dipahami dan mudah dilaksanakan.
b. Prinsip Kejelasan. Mencakup: (1) Persyaratan teknis dan administratif pelayanan
publik; (2) Unit kerja/pejabat yang berwenang dan bertanggungjawab dalam
memberikan pelayanan dan penyelesaian keluhan/persoalan/sengketa dalam
pelaksanaan pelayanan publik; (3) Rincian biaya pelayanan publik dan tatacara
pembayaran.
c. Prinsip Kepastian waktu. Pelaksanaan pelayanan publik dapat diselesaikan dalam
kurun waktu yang telah ditentukan.
d. Prinsip Akurasi. Produk pelayanan publik diterima dengan benar, tepat dan sah.
e. Prinsip Keamanan. Proses dan produk pelayanan publik memberikan rasa aman dan
kepastian hukum.
f. Prinsip Tanggungjawab. Pimpinan penyelenggara pelayanan publik atau pejabat
yang ditunjuk bertanggungjawab atas penyelenggaraan pelayanan dan penyelesaian
keluhan/persoalan dalam pelaksanaan pelayanan publik.
g. Prinsip Kelengkapan sarana dan prasarana. Tersedianya sarana dan prasarana
kerja, peralatan kerja dan pendukung lainnya yang memadai termasuk penyediaan
sarana teknologi telekomunikasi dan informatika (telematika).
h. Prinsip Kemudahan Akses. Tempat dan lokasi serta sarana pelayanan yang
memadai mudah dijangkau oleh masyarakat, dan dapat memanfaatkan teknologi
telekomunikasi dan informatika.
i. Prinsip Kedisiplinan, Kesopanan dan Keramahan.
j. Prinsip Kenyamanan. Lingkungan pelayanan harus tertib, teratur, disediakan ruang
tunggu yang nyaman, lingkungan yang sehat serta dilengkapi dengan fasilitas
pendukung pelayanan.
Pembahasan
Case Study : Good Governance, hanya sebuah Harapan
Pada tanggal 13 November 2008 Bank Century mengalami keadaan tidak bisa
membayar dana permintaan dari nasabah atau umumnya disebut sebagai kalah kliring
keadaan ini hingga membuat terjadinya kepanikan atau rush dalam penarikan dana
pada Bank Century.
Selanjutnya pada tanggal 14 November 2008 manajemen Bank Century
melapor kejadian tersebut serta ikut mengajukan permohonan untuk mendapatkan
fasilitas pendanaan darurat kepada Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK)
selanjutnya pada tanggal 20 November 2008 Bank Indonesia (BI) melakukan
penetapan status Bank Century menjadi bank gagal.
Menteri Keuangan yang dijabat oleh Sri Mulyani selaku Ketua dari Komite
Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK) mengadakan rapat untuk pembahasan nasib Bank
Century, dalam rapat tersebut, Bank Indonesia (BI) diwakili oleh Gubenur Bank
Indonesia yang dijabat oleh Boediono melalui data per 31 Oktober 2008 menyatakan
bahwa rasio kecukupan modal atau Capital Adequacy Ratio (CAR) Bank Century
telah minus hingga 3,52 persen, dalam agenda rapat tersebut antara lain turut dibahas
dampak yang akan terjadi atau akan timbul apakah akan berdampak sistemik, seperti
dalam istilah teknis disebut bank run atau run on the bank bila Bank Century
diperlakukan sebagai bank gagal yang akan dilikuidasi kemudian dalam rapat tersebut
diputuskan untuk menyerahkan Bank Century kepada Lembaga Penjamin Simpanan
(LPS).
Dengan menggunakan teori-teori yang telah dipaparkan sebelumnya, maka
kesimpulan sementara yang dapat ditarik yaitu pemberian bailout Bank Century dapat
dikatagorikan sebagai tindak korupsi besar karena telah terjadi manipulasi keuangan
yang dilakukan oleh pajabat negara melalui pembuatan kebijakan dan dampaknya
diduga telah merugikan negara baik secara finansial maupun nonfinansial.
Keputusan yang diambil terlihat tidak melalui pertimbangan khusus, baik
dikarenakan oleh kelalaian yang disebabakan oleh kurangnya informasi maupun
adanya motivasi untuk menguntungkan pribadi dan golongan. Keputusan pemerintah
untuk bailout Bank century pun tidak memenuhi karakteristik good governance,
karena tidak transparan, tidak dapat dipertanggungjawabkan, tidak efektif, dan tidak
mengutamakan supremasi hukum, padahal dalam UU nomor 28 tahun 1999 jelas
tercantum asas-asas dalam menjalankan pemerintahan yang baik.
Dalam menganalisa kasus ini data yang digunakan adalah data sekunder
dengan teknik pengumpulan data kualitatif-eksplanatif yang diperoleh dengan
menggunakan studi kepustakaan. Metode yang akan digunakan adalah melalui studi
literatur dan sumber-sumber yang didapat melalui buku-buku, jurnal, web ataupun
situs surat kabar elektronik yang memiliki relevansi dengan masalah yang dianalisa
dalam kasus ini.
Indikasi Korupsi dalam Pemberian Bail Out Bank Century
Melihat sejarahnya sejak awal Bank Century bukanlah bank yang sehat. Bank
Century didirikan oleh Robert Tantular dengan nama Bank Century Intervest
Corporation (CIC) pada tahun 1989, namun pada saat rights issue pertama pada Maret
1999 bank tersebut dinyatakan tidak lolos uji kelayakan oleh Bank Indonesia yang
kemudian pada bulan Juni Tahun 2004 Bank Century berdiri dari gabungan merger
Bank Danpac, Bank Pikko, dan Bank CIC. Bank Pikko sendiri merupakan bank yang
pernah ditetapkan dalam pengawasan khusus BI pada tahun 2000.
Kasus ini bermula saat sekitar US$ 56 juta surat-surat berharga milik Bank
Century terkena jatuh tempo dan tidak dapat dibayar, saat itu Bank Century
mengalami kesulitan likuiditas dengan rasio kecukupan modal minus 3,53 %
akibatnya bank tersebut gagal kliring. Menarik uang kembali merupakaan hal wajar
dilakukan oleh nasabah saat mengetahui bahwa bank tempat mereka menyimpan uang
sedang mengalami kesulitan likuiditas. Kesulitan likuiditas ini menurut Sri Mulyani
yang saat itu menjabat sebagai Menteri Keuangan RI disebabkan oleh dua hal, yang
pertama oleh karena menejemen bank yang tidak baik dan krisis ekonomi global yang
sedang terjadi. Saat itu Robert Tantular, sebagai pemilik Bank tersebut berani
memberikan bunga yang cukup besar bagi para nasabah, namun dengan cara
menginvestasikan uang tersebut di Amerika Serikat yang saat itu sedang dilanda krisis
ekonomi.
Untuk mengatasi krisis yang terjadi, serangkaian rapat untuk membahas
masalah tersebut dilaksanakan secara bertahap melalui keputusan Komite Stabilitas
Sistem Keuangan (KSSK) No. 04/KSSK.03/2008 menetapkan PT Bank Century Tbk
sebagai bank gagal yang berdampak sistemik dan penyerahan penanganannya kepada
Lembaga Penjamin Simpanan LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) diputuskan oleh
Komite Koordinasi (KK) melalui Keputusan KK No 01/KK.01/2008.
Padahal dasar hukum dan badan pembuat keputusan tidak sesuai dengan UU
yang ada. Kenyataannya keputusan KSSK dalam menetapkan Century sebagai bank
gagal menjadikan Perppu 4 tahun 2008 tentang Sistem Jaringan Pengaman Keuangan
sebagai dasar hukum, padahal Perppu tersebut ditolak oleh DPR dan pemindahalihan
Century dibawah LPS diputuskan oleh KK dengan dasar hukum UU No.24 tahun
2004 tentang LPS, padahal dalam UU tersebut menyatakan bahwa KK harus dibentuk
dengan UU, sedangkan KK tidak dibentuk dengan UU.
Meskipun Perppu tersebut belum ditolak secara tegas oleh DPR apalagi
disahkan, itu berarti Perppu tersebut tidak dapat dijadikan sebagai dasar hukum.
Dalam hal ini tentu tidak ada penerapan supremasi hukum sebagai salah satu
karakteristik good governance, dimana hukum yang diatur dalam UU seharusnya
menjadi peraturan tertinggi dan harus dipatuhi. Selain itu, perubahan peraturan dalam
LPS berubah begitu saja pada saat penanganan Bank Century.
Sebelumnya pada Maret 2007 jaminan yang diberikan oleh LPS hanya Rp 100
juta per nasabah, namun terhitung sejak 13 Oktober 2008 jaminan yang akan
diberikan 2 miliar per nasabah dan nasabah yang memiliki dana diatas 2 miliar
merupakan tanggung jawab bank yang sedang krisis tersebut. Hal ini menimbulkan
kejanggalan dan melanggar prinsip akuntabilitas, karena perubahan jumlah maksimal
suntikan dana seiring krisisnya Bank Century, tidak ada kontrol dari pihak pemerintah
mengenai penggunaan dana jaminan simpanan, serta tidak adanya laporan
pertanggungjawaban mengenai nasabah yang mana saja yang ditanggung oleh LPS
dan berapa nominalnya.
Tanda-tanda Bank Century akan mengalami kesulitan likuiditas seharusnya
sudah dapat diantisipasi oleh BI sebagai bank pusat yang mengawasi jalannya
perbankan di negara ini. Awalnya surat-surat berharga Bank Century mengalami
kemacetan di luar negeri pada tanggal 30 Oktober 2008 sebesar US$ 11 juta dan
hutang lainnya jatuh tempo pada 3 November US$45 juta dan untuk melunasinya
Bank Century mengajukan pinjaman ke LPS sebesar Rp. 689 miliar. Di bawah
penanganan LPS, Bank Century mendapatkan suntikan dana secara bertahap dan hal
inilah yang menimbulkan kontroversi dihadapan publik karena tidak sesuai dengan
kesepakatan awal. Lihat tabel 1, pemberian bailout pertama dilaksanakan pada 23
November 2008 sebesar Rp. 2,7776 triliun. Menyusul pada tanggal 5 Desember 2008
bailout yang diberikan sebesar Rp. 2,201 triliun.
Pada Februari 2009, bailout yang diberikan sebesar Rp. 1,55 triliun dan yang
terakhir pada 21 Juli 2009 yaitu Rp. 630 miliar, sehingga total bailout yang diberikan
adalah Rp. 6,76 triliun. Suntikan dana ini dapat dikatagorikan sebagai tindak korupsi,
karena dengan menilik kembali definisi korupsi, yaitu bukan hanya tindakan
pencucian uang dan aliran dana tidak wajar ke dalam rekening pribadi yang selama ini
dipahami, namun seperti yang dikatakan oleh David M. Chalmers bahwa segala
bentuk manipulasi keuangan dapat dikatagorikan sebagai tindak korupsi, dan dalam
konsep korupsi semua yang berhubungan dengan keputusan yang dapat merugikan
negara baik finansial maupun non-finansial dikatagorikan sebagai tindak korupsi
besar.
Seperti yang telah kita ketahui secara finansial hal tersebut telah banyak
diberitakan oleh media massa, seperti Tempo yang menyatakan bahwa Century
diindikasi telah merugikan negara sebesar 6,7 triliun. Dari segi nonfinansial, bailout
Bank Century ini telah menciptakan krisis kepercayaan masyarakat terhadap
pemerintah maupun perbankkan di Indonesia, terbukti dengan opini-opini publik yang
kerap disorot oleh media massa.
Korupsi dalam kasus ini dapat dilihat bukan hanya sebagai korupsi berupa
uang, namun juga korupsi kewenangan yang berdampak pada berkurangnya
kepercayaan masyarakat. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidatonya
setelah hasil paripurna DPR pada tanggal 4 Maret 2010, dikatakan oleh beliau bahwa
Bailout yang diberikan kepada Bank Century memiliki tujuan yang baik dengan
mempertimbangkan semua pilihan yang ada, diputuskan dengan cepat dan tepat, dan
tidak mengabaikan prinsip kehati-hatian. Namun sebaliknya, dimata sebagian besar
publik kata-kata tersebut hanya sebagai bentuk pembelaan diri. Pertimbangan dalam
pemberian bailout Bank Century terlihat memihak dan justru ada motivasi tersendiri.
Bank Century sendiri bukanlah bank yang tergolong besar.
Namun seperti yang telah disinggung sebelumnya dipendahuluan, Menteri
Keuangan beranggapan bahwa Bank Century harus benar-benar ditolong karena dapat
berdampak sistemik bagi perbankan Indonesia. Padahal menurut Kepala Badan
Kebijakan Fiskal (BKF), analisa Bank Century merupakan bank gagal yang
berdampak sistemik tidak berdasarkan data yang cukup dan terukur. Kemudian, dari
awal berdirinya Century, sudah diketahui bank tersebut merupakan gabungan dari
bank-bank yang memiliki masalah.
Ketidakmampuannya dalam mengatasi krisis yang sewaktu-waktu akan terjadi
seharusnya sudah bisa diantisipasi, meskipun pada saat krisis 2008 yang
membutuhkan bantuan bukan hanya Bank Century. Seperti yang dikatakan oleh Bank
Mandiri, bahwa seharusnya suntikan data tersebut diberikan dengan
mempertimbangkan latar belakang, reputasi, dan kredibilitas pemilik bank. Suntikan
dana ini justu memperlihatkan ketidaktegasan BI sebagai bank central yang terkesan
memudahkan penyelamatan sebuah Bank yang hancur karena penyelewengan yang
dilakukan oleh pemiliknya sendiri.
Robert Tanular, seperti yang telah disinggung sebelumnya, mengelapkan uang
nasabah dari banknya sendiri. Pada bulan november 2008 Robert ditangkap karena
menggelapkan dana Bank Century Rp 1,4 triliun dan reksadana Antaboga Rp 1,3
triliun.Bank Century juga telah melakukan praktek yang dilarang dalam perbankkan
yaitu penggelapan hasil penjualan surat-surat berharga Bank Century senilai US$ 7
juta, menjadikan hasil penjualan surat-surat berharga sebagai jaminan karena
mengalami kredit macet, dan diduga Bank tersebut telah melakukan pengeluaran fiktif
senilai 209,80 miliar dan US$ 4,72 juta sejak tahun 2004 - Oktober 2008.
Pemeriksaan yang dilakukan oleh Panitia Khusus Hak Angket DPR terhadap 5 cabang
Bank Century di Jakarta, Medan, Denpasar, Makasar, dan Surabaya, telah ditemukan
berbagai bentuk pelanggaran seperti pencucian uang, nasabah fiktif, pidana korupsi,
dan pemecahan deposito sebagai bentuk rekayasa. Seharusnya dalam pemberian
bailout, ada aspek-aspek yang dipertimbangkan dan dampaknya bagi negara dan
dimata masyarakat, bukan hanya terpaku pada penyelamatan sebuah bank, terlebih
lagi harus memberikan suntikan dana yang berkali-kali lipat dari permintaan awal.
Dalam pidato presiden SBY dikatakan bahwa bailout diputuskan dengan
prinsip kehati-hatian, namun mengapa aliran dana talangan yang begitu besar
jumlahnya masih belum bisa diurai? Dalam audit penyidikan yang dilakukan oleh
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan (PPATK) ditemukan 11 nasabah yang tidak dapat diditeksi (fiktif).
Hasil penyidikan ini menunjukkan bahwa dana talangan sebesar 6,76 triliun itu
tidak digunakan sebaik mungkin prihal penyelamatan Bank Century, tetapi sebaliknya
dana tersebut diselewengkan dan sampai sekarang pun masih belum diketahui kemana
saja dana tersebut mengalir, hal ini juga telah melanggar prinsip transparansi.
Kalaupun saat itu menurut pemerintah (red. Menteri keuangan, BI, dan KSSK)
keputusan untuk memberi suntikan dana sebesar 6,76 triliun merupakan pilihan yang
paling efektif, seharusnya ada pertanggungjawaban yang jelas dengan laporan yang
transparan mengenai kemana saja dana tersebut mengalir.
Dalam teori governance, hal ini dapat dijelaskan dengan pendekatan baounded
rationality, atau pengambilan keputusan yang hanya goal oriented tanpa adanya
pertimbangan, baik karena kekurangan informasi maupun adanya motivasi egois
sebagai bentuk pilihan rasional seorang manusia, dimana manusia akan mengambil
keputusan yang paling menguntungkan bagi dirinya. Dalam konsep good governance
dalam pembuatan keputusan harus ada interaksi antara pemerintah, swasta dan
masyrakaat sebagai stakeholder.
Dari segi pemerintah, yang paling bertanggung jawab dalam menangani krisis
ini adalah BI bersama KSSK dan LPS, sesuai dengan UU No. 3 tahun 2004 tentang
pengawasan penuh BI terhadap bank-bank di Indonesia. LPS sendiri sebagai oknum
dalam penyuntikan dana merupakan sebuah lembaga yang berfungsi untuk menjamin
simpanan nasabah serta bertanggung jawab atas penanganan bank gagal yang
berdampak sistemik. Kemudian dalam penyuntikan dana, alangkah baikknya kalau
DPR, terutama Komisi XI sebagai komisi yang membidangi masalah keuangan dan
perbankan mengetahui masalah suntikan dana yang mengalami perubahan jumlah.
Namun kenyataannya, suntikan dana yang dilakukan oleh LPS tidak sesuai
dengan kesepakatan awal bersama DPR dan DPR tidak mengetahui tentang perubahan
suntikan dana tersebut. Mengenai BI, KSSK, dan LPS yang memiliki kewenangan
atas krisisnya sebuah bank seharusnya tidak menyalahgunakan wewenang dan harus
bertindak sesuai dengan asas-asas good governance. Kalau tidak, akibatnya keputusan
yang diambil tidak transparan, terkesan sepihak, dan tidak bertanggung jawab.
Dari segi masyarakat, dalam prihal pembuatan keputusan bailout karena krisis
yang dialami oleh bank memang seharusnya tidak melibatkan masyarakat karena
dapat beresiko hilangnya kepercayaan nasabah, namun setidaknya akan merebaknya
kasus ini ke ranah publik sudah dapat diperkirakan sehingga sudah ada persiapan
pertanggungjawaban dari pihak pengambil keputusan, yaitu berupa data yang akurat
dan terukur sebagai bukti bahwa keputusan yang diambil merupakan keputusan yang
paling efektif. Setelah kasus terbuka dihadapan publik, masyarakat sebagai komponen
terpenting dalam melakukan check and balance justru hanya dapat menerima alasanalasan dari pihak pemerintah yang terkesan konspiratif. Bank Century sendiri sebagai
bagian dari stakeholder dari sektor privat dalam kasus sama sekali tidak mendukung
terwujudnya good governance, seperti yang telah dipaparkan sebelumnya mengenai
penyelewengan dana nasabah dan praktek-praktek melanggar hukum yang telah
dilakukan.
Kasus Bail Out Bank Century: Tuntaskan dan Antisipasi
Sampai sekarang kasus mengenai pemberian bailout Bank Century tidak juga
kunjung tuntas. Membengkaknya suntikan dana menimbulkan banyak pertanyaan,
seperti mengapa suntikan dana yang diberikan tidak sesuai dengan permintaan awal?
Kemana dana tersebut mengalir? Mengapa suntikan dana dan kata-kata sistemik yang
diberikan tidak berdasarkan data yang terukur? Dan mengapa Bank Century yang
sejak awal sudah mengalami reputasi yang tidak baik perlu diselamatkan? Dengan
melihat mulai dari pembengkakan suntikan dana, penetapan bank gagal berdampak
sistemik tanpa bukti dan data yang terukur serta dasar hukum yang tidak tepat sebagai
suatu hal yang patut dipertanyakan.
Oleh karena itu, kasus bailout Bank Century dapat dikatakan sebagai tindak
korupsi karena keputusan yang diambil diindikasi telah merugikan negara secara
finansial dan jelas telah merugikan negara secara non-finansial, yaitu berupa
berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan perbankan. Dalam
membuat keputusan bailout terhadap Bank Century terlihat tidak ada pertimbangan
mengenai reputasi dan kredibilitas bank dan pemilik bank tersebut seperti yang
dijelaskan dalam teori bounded rationality, tetapi sebaliknya keputusan yang diambil
terlihat memiliki kecenderungan konspiratif dan terdapat motivasi egois.
Pemberian bailout terhadap Bank Century pun memberi kesan mudah dalam
meminta suntikan dana dan betapa tidak tegasnya BI karena suntikan dana bisa
melebihi jauh dari kesepakatan awal dan belum diketahui mengenai kemana aliran
dana tersebut.
Jika berbicara mengenai good governance di Indonesia sepertinya masih sangat
lemah, terbukti dengan belum terlaksananya interaksi antara pemerintah, masyarakat
dan sektor privat dengan baik. Seperti kasus Bank Century yang telah dijelaskan
sebelumnya mengenai buruknya interaksi antara ketiga stakeholder tersebut. Untuk
mencapai good governance, jalannya pemerintahan harus memenuhi syarat
akuntabilitas, transparansi, efektifitas, dan supremasi hukum.
Namun, seperti yang telah dipaparkan dalam pembahasan, dalam pemberian
bail out tersebut tidak ada pertanggungjawaban hingga kini, tidak transparan dalam
pemberian bail out dan aliran dana bail out, dianggap tidak efektif karena telah
merugikan negara, serta tidak menerapkan supremasi hukum sebab berjalan tidak
sesuai dengan UU yang berlaku. BI sebagai bank central harusnya melakukan kontrol
yang tegas terhadap bank-bank lainnya, baik dalam pendirian sebuah bank maupun
dalam masa berjalannya bank tersebut, disiplin ini penting untuk menjaga kualitas
perbankan di Indonesia.
Dalam pembuatan keputusan, pihak pemerintah harus melakukan pertimbangan
dan identifikasi dampak yang akan terjadi. Prihal pelanggaran yang dilakukan oleh
oknum-oknum Bank Century seharusnya dapat diusut tuntas dan diberi hukuman yang
dapat membuat efek jera dan sebagai bentuk peringatan bagi bank-bank lainnya,
bukan hanya hukuman penjara beberapa tahun. Hukuman yang diberikan bisa seperti
diwajibakan membayar dana nasabah yang telah diselewengkan di luar bantuan LPS
atau bahkan dijatuhi hukuman mati bagi para pelaku yang terbukti melakukan
penyelewegan karena telah merugikan, baik bagi para nasabah maupun citra
perbankan Indonesia.
Selain itu dalam menjalani roda pemerintahan, penerapan konsep good
governance menjadi hal yang sangat penting agar tercipta suatu kondisi yang
demokratis dalam negara ini sehingga tumbuh kepercayaan antara masyarakat dan
pemerintah. Lalu, masyarakat sebagai civil society yang diberikan ruang publik
diharapkan dapat mendukung terciptanya good governance dengan melakukan check
and balance. Sementara itu, sektor privat diharapkan berjalan sesuai dengan hukum
yang berlaku dan tidak melakukan tindakan yang dapat merugikan baik masyarakat
maupun negara. Kalau hal-hal ini tidak mulai diterapkan, maka cita-cita untuk
menciptakan pemerintahan yang baik dan bebas dari korupsi hanya akan menjadi
wacana.
Case Study 2 : Dinasti Politik Ratu
Dinasti politik keluarga Gubernur banten, Ratu Atut Chosiyah, dinilai tidak
berkualitas dan merusak tatanan demokrasi. Hal itu diperparah dengan cara-cara kotor
dan korupsi untuk meraih jabatan.
“Dinasti politik Ratu Atut sangat buruk dan merusak demokrasi. Sebenarnya
tidak ada larangan bagi setiap warga negara untuk berpolitik, namun ketika mereka
dipaksakan menjadi pejabat publik tanpa melalui tahapan dan seleksi, maka hasilnya
ya seperti itu,” kata pengamat politik, AS Hikam.
Menurutnya, dinasti politik terjadi tidak hanya karena pejabat dan kronikroninya melainkan juga ditentukan oleh partisipasi rakyat. Sebagai pemilih, rakyat
tidak memperhatikan latar belakang orang yang dipilihnya namun lebih pada money
politik yang bakal diterimanya.
“Memang tidak bisa disalahkan itu terjadi karena Atut beserta keluarganya, tapi
rakyat sebagai pemilih sering terbuai dengan berapa uang yang diterima untuk
memilih calon tersebut,” ujarnya.
Dia menambahkan, aturan pembatasan dinasti politik tidak bisa dilakukan
karena melanggar hak asasi manusia. Pasalnya, setiap warga negara mempunyai
berpolitik untuk memilih dan dipilih.
“Yang perlu diatur itu proses kompetisinya. Semuanya harus melewati tahapan
dan fase yang sama tidak ada pembedaan. Jangan karena anak atau adik gubernur lalu
dapat dengan mudah mendapat jabatan,” urainya.
Dinasti politik untuk melanggengkan kekuasaan tidak hanya di Banten,
melainkan juga terjadi di sejumlah partai politik.
Case Study 3 : Visi , Misi Kabupaten Trenggalek, Provinsi Jawa Timur, Indonesia.
Visi : Terwujudnya Kabupaten Trenggalek Sejahtera dan Berakhlak.
Trenggalek adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Pusat
pemerintahan berada di Trenggalek kota. Kabupaten ini menempati wilayah seluas
1.205,22 km² yang dihuni oleh ±700.000 jiwa.
Kemiskinan di Trenggalek, Ditengah gencarnya berita tentang kemiskinan,
sebuah stasiun televisi menayangkan berita tentang penduduk miskin di suatu daerah
yang terpaksa makan tiwul karena tidak mampu membeli beras. Tiwul berasal dari ubi
kayu yang dikeringkan atau lebih dikenal dengan istilah gaplek, gaplek inilah yang
kemudian dimasak menjadi tiwul. Jika tiwul merupakan simbol kemiskinan berarti
Trenggalek merupakan daerah yang sangat miskin. Tiwul merupakan makanan pokok
pengganti nasi bagi sebagian penduduk Trenggalek. Pengalaman selama 17 tahun
sebagai petugas Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) memberikan pengetahuan
bahwa gaplek merupakan cadangan pangan yang realistis. Dikatakan realistis karena
wilayah Trenggalek yang berbukit dan kering lebih cocok ditanami ubi kayu
ketimbang padi.Berdasarkan hasil Susenas, penduduk miskin di Kabupaten
Trenggalek pada tahun 2006 berjumlah 165.200 jiwa. Angka ini terus turun menjadi
96.000 jiwa di tahun 2012. Dengan rata-rata penurunan sebesar 8 persen, jumlah
penduduk miskin di Kabupaten Trenggalek pada tahun 2040 seharusnya tinggal 1000
jiwa.
Good Governance adalah Sebuah Kenyataan
Case Study : Good Governance di Kabupaten Sragen.
Kabupaten di Provinsi Jawa Tengah, tepatnya Kabupaten Sragen telah sukses
menerapkan prinsip pelayanan prima paling tidak selama tahun 2001 hingga tahun
2010, di bawah kepemimpinan dua periode dari Bupati Untung Sarono Wiyono
Sukarno, SH.
Cukup banyak prestasi yang menghampiri pribadi beliau contohnya adalah
adalah ditetapkan sebagai salah satu dari sepuluh tokoh Indonesia tahun 2008 versi
majalah Tempo dari kalangan birokrat daerah.
Bapak Untung Wiyono menegaskan bahwa untuk daerah minim sumber daya
alam seperti Sragen ini, yang dibutuhkan untuk mendorong kemajuan adalah dengan
meningkatkan sumber daya manusia sehingga memiliki kompetensi yang tinggi.
Selain itu, dibutuhkan pula reformasi birokrasi yang tegas, sehingga penyelenggaran
pemerintahan dalam rangka menyejahterakan masyarakat akan dapat berjalan lancar
dan efektif. Peningkatan kompetensi petugas pelayanan publik dalam hal ini PNS
Pemda dengan jalan diklat Bahasa Inggris dan komputer, serta dalam rekrutmen
pegawai baru, diterapkan standar tinggi seperti kemampuan bahasa asing, komputer,
serta standar kesehatan yang baik.
Diselenggarakannya Badan Pelayanan Terpadu, yang berprinsip pada
Pelayanan Satu Pintu yang lebih cepat dari model Pelayanan Satu Atap. Dalam
pengurusan perizinan, masyarakat akan dilayani lebih profesional dan transparan,
melalui satu jalur birokrasi saja, sehingga waktu pengurusan diketahui oleh pemohon
izin serta cepat dan tidak ada pungutan-pungutan liar dan merugikan.
Dalam upaya mendukung Pelayanan Satu Pintu, Pemda memasang sistem
jaringan internet yang menghubungkan hampir semua desa dan kecamatan, sehingga
komunikasi lebih efisien serta cepat dan terkontrol dengan baik. Perpustakaan Keliling
motor pintar yaitu perpustakaan yang mengunjungi masyarakat di pedesaan yang tak
mungkin dijangkau dengan mobil. Taman bacaan, Perpustakaan Desa, Perpustakaan
Rumah Ibadah , dan Pusat Kegiatan masyarakat.
Case Study 2 : Pelaksanaan Undang-Undang No. 14 tahun 2008, tentang Keterbukaan
Informasi Publik. Contoh lainnya, Public Service Terpadu SAMSAT JATIM.
Undang-Undang No. 14 tahun 2008, tentang Keterbukaan Informasi Publik
adalah salah satu produk hukum Indonesia yang dikeluarkan dalam tahun 2008 dan
diundangkan pada tanggal 30 April 2008 dan mulai berlaku dua tahun setelah
diundangkan. Undang-undang yang terdiri dari 64 pasal ini pada intinya memberikan
kewajiban kepada setiap Badan Publik untuk membuka akses bagi setiap pemohon
informasi publik untuk mendapatkan informasi publik, kecuali beberapa informasi
tertentu.
Sesungguhnya proses advokasi UU ini adalah perjalanan panjang yang cukup
melelahkan. Setelah hampir 8 tahun sejak awal 2000, 42 koalisi LSM mendorong UU
ini. Adalah Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), sebuah LSM yang
bergerak di bidang kebijakan lingkungan, yang mengawali gagasan perlunya
mendorong sebuah undang-undang yang mengadopsi prinsip-prinsip freedom of
information.
Undang-Undang ini bertujuan untuk:
 menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan
publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan publik,
serta alasan pengambilan suatu keputusan publik;
 mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik;
 meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik dan
pengelolaan Badan Publik yang baik;
 mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, yaitu yang transparan, efektif
dan efisien, akuntabel serta dapat dipertanggungjawabkan;
 mengetahui alasan kebijakan publik yang memengaruhi hajat hidup orang
banyak;
 mengembangkan ilmu pengetahuan dan mencerdaskan kehidupan bangsa;
dan/atau
 meningkatkan pengelolaan dan pelayanan informasi di lingkungan Badan
Publik untuk menghasilkan layanan informasi yang berkualitas.
Informasi yang dikecualikan dalam Undang-undang ini antara lain adalah:










Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon
Informasi Publik dapat menghambat proses penegakan hukum;
Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon
Informasi Publik dapat mengganggu kepentingan perlindungan hak atas
kekayaan intelektual dan perlindungan dari persaingan usaha tidak sehat;
Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon
Informasi Publik dapat membahayakan pertahanan dan keamanan negara;
Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon
Informasi Publik dapat mengungkapkan kekayaan alam Indonesia;
Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon
Informasi Publik, dapat merugikan ketahanan ekonomi nasional;
Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon
Informasi Publik, dapat merugikan kepentingan hubungan luar negeri;
Informasi Publik yang apabila dibuka dapat mengungkapkan isi akta otentik
yang bersifat pribadi dan kemauan terakhir ataupun wasiat seseorang;
Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon
Informasi Publik dapat mengungkap rahasia pribadi;
Memorandum atau surat-surat antar Badan Publik atau intra Badan Publik,
yang menurut sifatnya dirahasiakan kecuali atas putusan Komisi Informasi atau
pengadilan;
Informasi yang tidak boleh diungkapkan berdasarkan Undang-Undang.
Case Study 3 : Citizen Co – Production & Prinsip Transmigrasi, Pondok Ecotani,
Petani di Kecamatan Dringu, Kabupaten Probolinggo, Provinsi Jawa Timur,
Indonesia.
Menurut Cohen dan Uphoff (1977), yang diacu dalam Harahap (2001),
partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan dan pembuatan
keputusan tentang apa yang dilakukan, dalam pelaksanaan program dan pengambilan
keputusan untuk berkontribusi sumberdaya atau bekerjasama dalam organisasi atau
kegiatan khusus, berbagi manfaat dari program pembangunan dan evaluasi program
pembangunan.
Sedangkan menurut Ndraha (1990), diacu dalam Lugiarti (2004), partisipasi
masyarakat dalam proses pembangunan dapat dipilah meliputi; (1) partisipasi dalam /
melalui kontak dengan pihak lain sebagai awal perubahan sosial, (2) partisipasi dalam
memperhatikan / menyerap dan memberi tanggapan terhadap informasi, baik dalam
arti menerima, menerima dengan syarat, maupun dalam arti menolaknya, (3)
partisipasi dalam perencanaan termasuk pengambilan keputusan, (4) partisipasi dalam
pelaksanaan operasional.
Survey partisipasi oleh The International Association of Public Participation
telah mengidentifikasi nilai inti partisipasi sebagai berikut (Delli Priscolli, 1997), yang
diacu dalam Daniels dan Walker (2005):
 Masyarakat harus memiliki suara dalam keputusan tentang tindakan yang
mempengaruhi kehidupan mereka.
 Partisipasi masyarakat meliputi jaminan bahwa kontribusi masyarakat akan
mempengaruhi keputusan.
 Proses partisipasi masyarakat mengkomunikasikan dan memenuhi kebutuhan
proses semua partisipan.
 Proses partisipasi masyarakat berupaya dan memfasilitasi keterlibatan mereka
yang berpotensi untuk terpengaruh.
 Proses partisipasi masyarakat melibatkan partisipan dalam mendefinisikan
bagaimana mereka berpartisipasi.
 Proses partisipasi masyarakat mengkomunikasikan kepada partisipan
bagaimana input mereka digunakan atau tidak digunakan.
 Proses partisipasi masyarakat memberi partisipan informasi yang mereka
butuhkan dengan cara bermakna.
Petani di Probolinggo bekerjasama dengan pemerintah kabupaten probolinggo
dalam pemaksimalan produksi petani & dalam upaya mewujudkan Good Governance
agar petani setempat sejahtera. Petani dapat memproduksi sendiri zatprodi/pupuk
pertanian nya sendiri, hasil produksipun lebih maksimal ukuran sayur mayur seperti :
jagung , tomat, semangka dalam ukuran besar (Jumbo) atau disebut dengan Jagung
Hibrida pada produk jagung petani dalam konsep pondok ecotani petani probolinggo.
Kesimpulan
Perjalanan reformasi sudah memasuki tahun kesepuluh, dan tuntutan mendasar
dari reformasi juga salah satunya adalah perbaikan pelayanan publik yang selama ini
dirasa masih belum sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Berbagai
indikator yang menunjukkan masih rendahnya kualitas pelayanan publik sebagaimana
diuraikan di atas, membutuhkan upaya dan kerja keras pemerintah untuk segera
memperbaiki kondisi pelayanan publik tersebut, mengingat dampaknya yang cukup
luas yaitu tidak saja adanya ketidak puasan masyarakat secara luas, akan tetapi juga
menyangkut iklim investasi yang tidak kondusif. Untuk itu, penyelenggaraan
pelayanan publik perlu memperhatikan dan menerapkan prinsip, standar, pola
penyelenggaraan, biaya, dan akuntabilitas serta transparansi pelayanan.
Saran
Beberapa hal yang direkomendasikan terkait dengan reformasi pelayanan
publik, antara lain: (1) implementasi secara nyata Undang-undang Administrasi
Pemerintahan; (2) mempercepat pengesahan dan implementasi RUU Pelayanan
Publik; (3) membangun mind shet birokrasi pelayanan publik; (4) upaya pencapaian
indikator kinerja pelayanan yang telah ditetapkan dalam Standar Pelayanan Minimal
(SPM); (5) menyusun dan mengimplementasikan: (a) Standar Pelayanan (SP); (b)
Standard Operating Procedur (SOP); (c) Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM); dan (d)
Janji Pelayanan (Maklumat Pelayanan) di masing-masing instansi atau unit-unit
pelayanan publik.
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat
Daerah.
Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan Standar
Pelayanan Minimal.
Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah.
Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63 Tahun 2003
tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik.
Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 81 Tahun 1993
tentang Pedoman Tatalaksana Pelayanan Umum.
Peraturan Menpan Nomor 20/M.PAN/2006 tentang Pedoman Penyusunan Standar
Pelayanan Publik (SP).
Alisjahbana, Reformasi Kelembagaan Menuju Efisiensi Pelayanan Pemerintah,
Jakarta, 2008.
Hendra Teja, Reformasi Pelayanan Publik: Suatu Keharusan, KPK Jakarta, 2007.
Komisi Hukum Nasional (KHN), Hasil Kajian Tentang Pelayaan Publik, Jakarta, tth.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai
Pustaka, Jakarta, 1990.
Lembaga Administrasi Negara, Pedoman Penyusunan Standar Pelayanan, Jakarta,
2003.
Lembaga Administrasi Negara, Evaluasi Kebijakan Pelayanan Publik, Jakarta, 2008,
hlm. 38.
Lembaga Administrasi Negara, Kajian Reformasi Birokrasi, Jakarta, 2005.
Mustopadidjaja AR, Gran Strategi Reformasi Birokasi: Kebijakan, Kinerja, dan
Langkah Ke Depan, Jakarta, 2008.
GTZ-SfGG, Proyek Pengembangan Reformasi Birokrasi Bekerjasama dengan Kantor
Menpan, Jakarta, 2004.
Slamet Luwihono, Pelayanan Publik: Pengertian, Jenis, Prinsip dan Asas, Salatiga,
2008.
Wahyudi Kumorotomo, Pelayanan Yang Akuntabel dan Bebas dari KKN, Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta, 2006.
Download