PAPER TEORI MANAJEMEN PUBLIK (Harapan & Kenyataan Good Governance) Disusun Oleh: Mochammad Zacky Abdalla (125030118113001) Joshua Partogi Hutagalung (125030118113012) Arik Candra Kurniawan (125030118113016) Boby Hendra Susanto (125030118113017) Dosen Pengampu: Drs. Mochammad Rozikin, MAP. UNIVERSITAS BRAWIJAYA FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI ILMU ADMINISTRASI PUBLIK KEDIRI 2013 Latar Belakang Penyediaan pelayanan yang berkualitas merupakan suatu keniscayaan yang harus dipenuhi oleh setiap penyelenggara negara sesuai tuntutan dan perkembangan masyarakat. Pada dasarnya bahwa keberhasilan pemerintah dalam memberikan pelayanan publik kepada masyarakat merupakan salah satu indikator penting dalam penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan. Reformasi birokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan yang sedang bergulir saat ini menempatkan pelayanan publik sebagai bagian dari agenda nasional dan global dalam mewujudkan Good Governance. Berbagai permasalahan yang masih saja menyertai dalam penyelenggaraan pelayanan publik diantaranya berkenaan dengan prosedur yang tidak jelas, berbelit-belit, waktu penyelesaiannya yang tidak menentu, tata cara yang kurang tepat, dan biaya-biaya yang tidak transparan hingga sikap dan perilaku petugas pelayanan yang tidak mengindahkan etika sebagai “pelayan masyarakat”, dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Berbagai upaya perubahan atau reformasi di bidang politik, ekonomi, sosial budaya serta hukum yang telah berlangsung selama ini ternyata masih belum mampu mendorong terjadinya reformasi birokrasi secara nyata termasuk di dalamnya reformasi bidang pelayanan publik. Bahkan dalam banyak hal ciri-ciri yang mencerminkan lemahnya birokrasi di Indonesia masih terindikasi, misalnya struktur kelembagaan pemerintah yang cenderung membesar, rumusan dan pelaksanaan tupoksi antar instansi yang seringkali overlapping, hubungan kerja yang tidak jelas, pegawai yang tidak profesional, tidak kreatif dan tidak inovatif, serta rendahnya kinerja pelayanan publik. Peningkatan pemberian pelayanan publik yang berkualitas ternyata masih banyak mendapat tantangan. Pada dasarnya sudah tersedia dasar hukum yang menjadi peletak dasar kewajiban negara untuk menyelenggarakan pemerintahan yang bersih seperti dibentuknya Keppres No. 44/2000 tentang Pembentukan Ombudsman Nasional. Namun masih banyak aparatur yang tidak menjalankan tugasnya dengan baik sehingga menimbulkan berbagai persoalan dalam penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat. Dalam era reformasi saat ini pelayanan publik menjadi isu kebijakan yang semakin strategis, mengingat perbaikan pelayanan publik di Indonesia cenderung “berjalan di tempat”, sedangkan implikasinya sangatlah luas dalam kehidupan ekonomi, politik, sosial budaya dan lain sebagainya. Dalam kehidupan ekonomi, perbaikan pelayanan publik akan bisa memperbaiki iklim investasi yang sangat diperlukan bangsa ini agar bisa segera keluar dari krisis ekonomi yang berkepanjangan. Buruknya pelayanan publik sering menjadi variabel yang dominan mempengaruhi penurunan investasi yang berakibat pada pemutusan hubungan kerja (PHK). Buruknya pelayanan publik tersebut terlihat dari masih kuatnya perilaku koruptif aparat pelayanan publik. Masih kuatnya prilaku koruptif ini salah satunya dibuktikan dengan dari masih rendahnya Corruption Perception Index (CPI) Indonesia tahun 2006 yang dikeluarkan oleh Transparency International Indonesia (TII), yaitu 2,4 – naik 0,2 point dari CPI tahun 2005. Pengukuran CPI didasarkan pada pengukuran tingkat persepsi para pelaku bisnis dan pengamat baik dalam maupun luar negeri terhadap pelayanan publik suatu negara. Kondisi buruk ini belum beranjak membaik, bahkan data terkini mengenai daftar negara terkorup di Asia yang disampaikan oleh Political and Economic Risk Consultancy (PERC) 8 April 2009 yang berbasis di Hongkong menempatkan Indonesia berada pada posisi teratas (8,32) dari skor 0 paling bersih sampai dengan 10 paling korup. Keberadaan Indonesia pada skor 8,32 tersebut menunjukkan bahwa Indonesia merupakan negara terkorup di kawasan Asia. Daftar tersebut disusun untuk mengukur iklim investasi, dengan salah satu indikator yang dijadikan sebagai pengukur iklim investasi adalah faktor korupsi. Kondisi tersebut sungguh memprihatinkan, mengingat disatu sisi pemerintah sedang giat-giatnya memberantas korupsi akan tetapi disisi lain perilaku koruptif aparat pelayanan publik masih sangat kuat. Di samping itu, perilaku koruptif aparat pelayanan publik juga berpengaruh terhadap tingkat CPI, mengingat tinggi rendahnya Corruption Perception Index (CPI) suatu negara berkaitan erat dengan kualitas pelayan publik di negara bersangkutan. Untuk itu, maka reformasi birokrasi terutama di sektor pelayanan publik di Indonesia merupakan suatu keharusan. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang diambil antara lain: Bagaimana gambaran umum tentang Good Governance? Bagaimana upaya pemerintah dalam mewujudkan Good Governance di indonesia, Berserta contoh studi kasusnya? Bagaimana Harapan & Kenyataan Good Governance? Tujuan Penulisan Untuk mengetahui gambaran umum tentang Good Governance di Indonesia. Untuk mengetahui upaya pemerintah dalam menerapkan Good Governance di Indonesia. Untuk mengetahui Harapan & Kenyataan Good Governance. Manfaat penulisan Secara teoritis: Menambah pemahaman tentang Good Governance. Lebih memahami upaya pemerintah untuk menerapkan Good Governance di Indonesia. Secara praktis: Dapat digunakan sebagai referensi bagi penulis berikutnya yang mengangkat tema yang sama. Metode Penelitian Metode yang digunakan pemakalah dalam penyusunan makalah ini dengan menggunakan teknik pengumpulan data dengan menggunakan referensi dan bukubuku dan internet sebagai landasan teoritis mengenai masalah yang akan diselesaikan. KAJIAN PUSTAKA Good Governance Good Governance, yang diterjemahkan menjadi Tata laksana kepemerintahan yang baik, adalah penggunaan wewenang ekonomi, politik dan administrasi guna mengelola urusan-urusan negara pada semua tingkat. Tata pemerintahan mencakup seluruh mekanisme, proses dan lembaga-lembaga dimana warga dan kelompokkelompok masyarakat mengutarakan kepentingan mereka, menggunakan hak hukum, memenuhi kewajiban dan menjembatani perbedaan-perbedaan diantara mereka Tata laksana kepemerintahan yang baik adalah seperangkat proses yang diberlakukan dalam organisasi baik swasta maupun negeri untuk menentukan keputusan. Tata laksana kepemerintahan yang baik ini walaupun tidak dapat menjamin sepenuhnya segala sesuatu akan menjadi sempurna - namun, apabila dipatuhi jelas dapat mengurangi penyalah-gunaan kekuasaan dan korupsi. Banyak badan-badan donor internasional, seperti IMF dan Bank Dunia, mensyaratkan diberlakukannya unsur-unsur tata laksana pemerintahan yang baik sebagai dasar bantuan dan pinjaman yang akan mereka berikan. untuk ma untuk semua orang. 1. Efektif dan ekonomis 2. ma Dapat dipertanggungjawabkan Berlakunya karakteristik-karakteristik diatas biasanya menjadi jaminan untuk: Meminimimalkan terjadinya korupsi Pandangan minoritas terwakili : Karakteristik dasar tata laksana kepemerintahan yang baik Lembaga Administrasi Negara (2000) memberikan pengertian Good governance yaitu penyelenggaraan pemerintah negara yang solid dan bertanggung jawab, serta efesien dan efektif, dengan menjaga kesinergian interaksi yang konstruktif diantara domain-domain negara, sektor swasta, dan masyarakat. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik terdiri dari: 1. Profesionalitas, meningkatkan kemampuan dan moral penyelenggara pemerintahan agar mampu memberi pelayanan yang mudah, cepat, tepat dengan biaya yang terjangkau. 2. Akuntabilitas, meningkatkan akuntabilitas para pengambil keputusan dalam segala bidang yang menyangkut kepentingan masyarakat. 3. Transparansi, menciptakan kepercayaan timbal balik antara pemerintah dan masyarakat melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan di dalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai. 4. Pelayanan prima, penyelenggaraan pelayanan publik yang mencakup prosedur yang baik, kejelasan tarif, kepastian waktu, kemudahan akses, kelengkapan sarana dan prasarana serta pelayanan yang ramah dan disiplin. 5. Demokrasi dan Partisipasi, mendorong setiap warga untuk mempergunakan hak dalam menyampaikan pendapat dalam proses pengambilan keputusan, yang menyangkut kepentingan masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung 6. Efisiensi dan Efektifitas, menjamin terselenggaranya pelayanan kepada masyarakat dengan menggunakan sumber daya yang tersedia secara optimal dan bertanggung jawab. 7. Supremasi hukum dan dapat diterima oleh seluruh masyarakat, mewujudkan adanya penegakkan hukum yang adil bagi semua pihak tanpa pengecualian, menjunjung tinggi HAM dan memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Karakteristik atau prinsip-prinsip yang harus dianut dan dikembangkan dalam praktek penyelenggaraan kepemerintahan yang baik (good governance) dikemukakan oleh UNDP (1997) yaitu meliputi: 1. Partisipasi (Participation): Setiap orang atau warga masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak suara yang sama dalam proses pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembaga perwakilan sesuai dengan kepentingan dan aspirasinya masing-masing 2. Akuntabilitas (Accountability): Para pengambil keputusan dalam sektor publik, swasta dan masyarakat madani memiliki pertanggungjawaban (akuntabilitas) kepada publik, sebagaimana halnya kepada stakeholders. 3. Aturan hukum (Rule of law): Kerangka aturan hukum dan perundang-undangan harus berkeadilan, ditegakkan dan dipatuhi secara utuh, terutama aturan hukum tentang hak azasi manusia. 4. Transparansi (Transparency): Transparansi harus dibangun dalam rangka kebebasan aliran informasi. Informasi harus dapat dipahami dan dapat dimonitor. 5. Daya tangkap (Responsiveness): Setiap intuisi dan prosesnya harus diarahkan pada upaya untuk melayani berbagai pihak yang berkepentingan (stakeholders). 6. Berorientasi konsensus (consensus Orientation): Pemerintah yang baik akan bertindak sebagai penengah bagi berbagai kepentingan yang berbeda untuk mencapai konsensus atau kesempatan yang terbaik bagi kepentingan yang berbeda untuk mencapai konsensus atau kesempatan yang terbaik bagi kepentingan masingmasing pihak, dan berbagai kebijakan dan prosedur yang akan ditetapkan pemerintah. 7. Berkeadilan (Equity): Pemerintah yang baik akan memberikan kesempatan yang baik terhadap laki-laki maupun perempuan dalam upaya mereka untuk meningkatkan kualitas hidupnya. 8. Efektifitas dan Efisiensi (Effectifitas and Effeciency): Setiap proses kegiatan dan kelembagaan diarahkan untuk menghasilkan sesuatu yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan melalui pemanfaatan yang sebaik-baiknya dengan berbagai sumber yang tersedia. Menurut Edelman, Penerapan prinsip-prinsip good governance sangat penting dalam pelaksanaan pelayanan publik untuk meningkatkan kinerja aparatur negara. Menurut Effendi dalam Azhri, dkk. (2009 : 187), Good Governance sebagai penyelenggaraan pemerintahan secara partisipasi, efektif, jujur, adil, transparan, dan bertanggung jawab kepada semua pemerintahan. Menurut IAN & BPKP (2000), Good Governance adalah bagaimana pemerintah berinteraksi dengan masyarakat dan mengelola sumber-sumber daya dalam pembangunan. Good Governance adalah sikap di mana kekuasaan dilakukan oleh masyarakat yang diatur dalam berbagai tingkatan pemerintahan negara yang berkaitan dengan sumber-sumber sosial-budaya, politik, dan ekonomi. Menurut Kooman (1992), bahwa Governance merupakan proses interaksi sosial politik antara pemerintahan dengan masyarakat dalam berbagai bidang yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat. Menurut (Kurniawan, 2005), Good Governance sebagai penyelenggaraan pemerintah Negara yang solid dan bertanggung jawab serta efisien dan efektif dengan menjaga kesinergian. Menurut DR. Sadjijono, SH. , M.Hum. (2007) , Good Governance mengandung arti kegiatan suatu lembaga pemerintah yang dijalankan berdasarkan kepentingan rakyat dan norma yang berlaku untuk mewujudkan cita-cita negara. Harapan & Cita-Cita Harapan hampir mirip dengan cita-cita, hanya saja biasanya cita-cita itu adalah sesuatu yang diinginkan setinggi-tingginya, sedangkan harapan itu tidak terlalu muluk. Meskipun demikian, harapan dan cita-cita memiliki kesamaan, yaitu : 1. Keduanya menyangkut masa depan karena belum terwujud. 2. Pada umumnya baik cita-cita maupun harapan adalah menginginkan hal yang lebih baik atau lebih meningkat. Model teori harapan dari Lawler mengajukan empat asumsi: 1. Orang mempunyai pilihan-pilihan antara berbagai hasil-keluaran yang secara potensial dapat mereka gunakan. Dengan perkataan lain, setiap hasil-keluaran alternatif mempunyai harkat (valence = V), yang mengacu pada ketertarikannya bagi seseorang. Hasil keluaran alternatif, juga disebut tujuan-tujuan pribadi (personal goals), dapat disadari atau tidak disadari oleh yang bersangkutan. Jika disadari, maknanya serupa dengan penetapan tujuan-tujuan. Jika tidak disadari, motivasi kerjanya lebih bercorak reaktif. 2. Orang mempunyai harapan-harapan tentang kemungkinan bahwa upaya (effort = E) mereka akan mengarah ke perilaku unjuk-kerja (performance = P) yang dituju. Ini diungkapkan sebagai harapan E-P. 3. Orang mempunyai harapan-harapan tentang kemungkinan bahwa hasil-hasil keluaran (outcomes = O) tertentu akan diperoleh setelah unjuk-kerja (P) mereka. Ini diungkapkan dalam rumusan harapan P-O. 4. Dalam setiap situasi, tindakan-tindakan dan upaya yang berkaitan dengan tindakantindakan tadi yang dipilih oleh seseorang untuk dilaksanakan ditentukan oleh harapanharapan (E-P, dan P-O) dan pilihan-pilihan yang dipunyai orang pada saat itu. Model harapan dari Lawler menyatakan bahwa besar kecilnya motivasi seseorang dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: Indeks motivasi = jl {(E-P) x jml [(P-O)(V)]} Menurut Lawler, faktor-faktor yang menentukan E-P (kemungkina besarnya upaya menyebabkan tercapainya unjuk-kerja yang diinginkan) ialah harga diri atau kepercayaan diri, pengalaman lampau dalam situasi serupa, situasi sekarang yang aktual, komunikasi (informasi dan persepsi) dari orang lain. Menurut Abraham Maslow, sesuai dengan kodratnya harapan manusia dan kebutuhan manusia ialah : a. Kelangsungan Hidup ( Survival ) ; b. Keamanan ( Safety ) ; c. Hak & Kewajiban mencintai dan dicintai ( Be Loving and Love ) ; d. Diakui Lingkungan ; e. Perwujudan Cita-Cita ( Self Actualization ) . Definisi Harapan Lainnya, Harapan berasal dari kata harap yaitu keinginan supaya sesuatu terjadi atau sesuatu terjadi atau suatu yang belum terwujud. Harapan dapat diartikan sebagai menginginkan sesuatu yang dipercayai dan dianggap benar dan jujur oleh setiap manusia dan harapan agar dapat dicapai ,memerlukan kepercayaan kepada diri sendiri,kepercayaan kepada orang lain dan kepercayaan kepada TUHAN. Menurut Snyder (1994), mendefinisikan harapan sebagai “mental willpower plus waypower for goals. Menurut Linley & Joseph (1994) harapan dapat dipahami sebagai gabungan dari motivasi intrinsik, self – efficacy pribadi dan harapan akan hasil. Kenyataan Realitas atau kenyataan, dalam bahasa sehari-hari berarti "hal yang nyata; yang benar-benar ada". Dalam pengertiannya yang sempit dalam filsafat barat, ada tingkat-tingkat dalam sifat dan konsep tentang realitas. Tingkat-tingkat ini mencakup, dari yang paling subyektif hingga yang paling ketat: realitas fenomenologis, kebenaran, fakta, dan aksioma. Menurut Thomas Kuhn (1922-1996), definisi kenyataan sering dipahami sebagai suatu entitas yang ada dalam suatu struktur sosial kepercayaan, akreditasi, institusi, dan praktik individual yang kompleks. Harapan & Kenyataan Good Governance Good Governance, Sebuah Harapan Seiring dengan perubahan tatanan kenegaraan yang dilandasi adanya semangat reformasi telah mewarnai pemberdayaan dan mengimplimentasikan seluruh aparatur Negara untuk mewujudkan administrasi Negara yang mampu mendukung keterpaduan pelaksanaan fungsi penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan berwibawa sebagai bagian dari tuntutan reformasi. Menurut Dwiyanto (2004;21), pemerintahan yang baik (good governance) sebagai sistem administrasi yang melibatkan banyak pelaku (multi stakeholders) baik dari pemerintah maupun di luar pemerintah, sedangkan Sedarmayanti (2003;2) menyatakan bahwa good governance merupakan proses penyelenggaraan kekuasaan Negara dalam melaksanakan penyediaan public goods and service. Untuk mewujudkan kepemerintahan yang baik (good governance) salah satu unsur yang harus terpenuhi adalah adanya komitmen dari semua anggota dalam satuan organisasi / lembaga dalam mewujudkan kepemerintahan yang bersih, mengedepankan dan mempertimbangkan unsur-unsur efektivitas, efisiensi dan ekonomis dalam memberikan layanan prima kepada publik. Untuk mewujudkan pemerintahan yang baik (good governance), ada beberapa unsur penting antara lain: Pertama, akuntabilitas yaitu adanya kewajiban bagi aparatur pemerintahan untuk bertindak selaku penanggung jawab dan penanggung gugat atas segala tindakan dan kewajiban yang ditetapkan. Kedua, transparansi, kepemerintahan yang baik akan bersifat transparan terhadap rakyatnya, baik pada tingkat pusat maupun daerah. Ketiga, keterbukaan yaitu menghendaki terbukanya kesempatan bagi rakyat untuk mengajukan tanggapan dan kritik terhadap pemerintah yang dinilainya tidak transparan. Keempat, aturan hukum: kepemerintahan yang baik mempunyai karakteristik berupa jaminan kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat terhadap setiap kebijakan publik yang ditempuh (Sedarmayanti, 2004;7). Era demokratisasi yang berlangsung selama ini menjadi babak baru dan telah mengilhami para aktivis untuk mewujudkan pemerintahan yang memberi ruang partisipasi luas bagi aktor dan lembaga di luar pemerintah sehingga sangat dimungkinkan adanya pembagian peran dan kekuasaan seimbang antara Negara, masyarakat sipil dan mekanisme pasar. Jika kondisi ini dapat di implementasikan dengan kesadaran penuh khususnya bagi penyelenggara Negara, maka apa yang diharapkan untuk mewujudkan pemerintahan yang baik secara bertahap akan terlaksana. Keberadaan governance menurut Subarsono (2003;39) digunakan karena institusi pemerintah (government) tidak lagi memadai jika diperlakukan sebagai satusatunya institusi untuk menjalankan fungsi goveming. Sedangkan government adalah fenomena abad 20 ketika Negara memegang hegemoni kekuasaan atas rakyat. Namun ketika masalah publik sudah kompleks dan pemerintah kewalahan dalam menjalankan tugas dan fungsi, maka perlu melibatkan banyak stakeholders lain dalam penyelenggaraan pemerintahan dan ini dipahami sebagai governance. Banyaknya persepsi berbeda dalam menyikapi konsep good governance akan melahirkan berbagai pandangan akan beberapa karakteristik dan nilai yang melekat dalam praktik good governance, diantaranya : Pertama, good governance harus memberi ruang kepada aktor lembaga non pemerintah untuk berperan serta secara optimal dalam kegiatan pemerintahan sehingga memungkinkan adanya sinergi di antara aktor dan lembaga pemerintah dan non pemerintah. Kedua, dalam praktik good governance terkandung nilai membuat pemerintah dapat lebih efektif bekerja mewujudkan kesejahteraan bersama. Model-model untuk mewujudkan kepemerintahan yang baik, UNDP dalam Sedarmayanti, (2004;37) antara lain : Model kepemerintahan ekonomi (economic governance model) meliputi proses pembuatan keputusan yang memfasilitasi kegiatan ekonomi di dalam negeri dan interaksi di antara penyelenggara ekonomi. Model kepemerintahan politik (political governance model) : mencakup proses pembuatan berbagai keputusan untuk perumusan kebijakan . Model kepemerintahan administratif (administrative governance model) : sistem implementasi kebijkan. Implementasi dari good governance di era reformasi ditandai adanya kelembagaan dalam governance yang melibatkan secara aktif keberadaannya terhadap 3 komponen yaitu Negara, sektor swasta dan masyarakat yang saling berinteraksi dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Negara menciptakan lingkungan politik dan hukum yang kondusif, sector swasta menciptakan pekerjaan dan pendapatan, adapun masyarakat memfasilitasi interaksi social budaya politik, menggerakkan kelompok masyarakat untuk ambil bagian dalam kegiatan ekonomi, politik, sosial dan budaya. Prinsip mendasar yang melandasi perbedaan antara kepemerintahan (governance) dengan pola pemerintahan tradisional adalah terletak pada tuntutan yang sedemikian kuat agar peranan pemerintah dikurangi dan peran masyarakat termasuk dunia usaha dan LSM semakin ditingkatkan. Sekarang kita simak Undang-undang No. 22 tahun 1999 yang disempurnakan dengan Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dengan mengusung semangat reformasi dengan menempatkan masyarakat sebagai pilar utama pemerintah daerah. Keberadaan Undang-Undang tersebut dimaksudkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan serta peran serta masyarakat. Hal ini juga dibarengi adanya Undang-Undang No.25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang membawa dampak terhadap perubahan dalam hal keuangan. Sehingga dengan demikian memberi ruang gerak lebih luas terhadap pemberdayaan masyarakat sipil (civil society) dan elit politik dalam melakukan kajian, analisis dan kebijakan daerah sehingga apa yang dibutuhkan secara mikro dari setiap daerah terkecil dapat dipantau dan diketahui. Uraian tersebut merupakan rambu-rambu pemerintah pusat yang diserahkan kepada daerah otonom dengan segala aspeknya, namun kenyataan yang terjadi bahwa sekitar 11 tahun perjalanan otonomi daerah yang paling menonjol tentang perluasan daerah otonom terutama di daerah kab/kota dan provinsi. Kondisi ini nampaknya disadari atau tidak, berdasarkan pengamatan penulis, secara politis akan menambah elit-elit daerah sebagai penguasa lokal yang kadang kurang menghiraukan kepentingan yang lebih luas (NKRI). Demikian juga, masih terjadi beberapa daerah otonom yang belum mandiri secara finansial (anggaran), terbukti masih banyaknya daerah otonom yang bersaing untuk mendapatkan anggaran pembangunan berupa DAU, dana dekonsentrasi dan dana pembantuan atau DIPA dari APBN pusat. Kondisi ini nampaknya belum disadari betul oleh elit daerah dalam membangun daerah secara swadana. Partisipasi dan peran masyarakat dalam kondisi seperti ini sangat dibutuhkan sebagai inovasi terdepan, dan hendaknya dilibatkan dan dipertimbangkan sebagai masukan pemerintah daerah untuk bersama-sama mempercepat daerah secara mandiri, sehingga ketergantungan dengan pemerintah pusat secara finansial dapat dikurangi. Kepala daerah tidak lagi dipilih dan ditentukan oleh pemerintah pusat, tetapi ditentukan oleh DPRD setempat. Ini menunjukkan adanya penguatan sistem yang ada di wakil rakyat di daerah. Demikian juga pelaksanaan pelayanan publik di Provinsi, Kab/Kota dengan menguatnya peran legislatif bukan saja di pusat melainkan juga di daerah, ditandai adanya mekanisme Laporan Pertanggungan Jawab (LPJ) dari kepala daerah kepada DPR. Hal ini dipahami sebagai progress report, namun sering muncul adanya nilai tawar terhadap LPJ yang dikaitkan dengan pertimbangan politik dari sebuah partai, lebih-lebih partai yang mengusungnya. Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa reformasi yang berjalan nampaknya masih banyak celah negatif dalam pelaksanaan pemerintahan yang bersih dan dapat dipertanggunganjawabkan secara transparan. Hal ini di sebabkan masih banyak hal-hal yang perlu diungkap baik secara mikro dan makro yang menjadi penyakit (patologi) dalam sistem pemerintahan pusat dan daerah yang selama ini sudah menjadi keputusan politik di NKRI. Pelaksanaan Undang-Undang No. 32 tahun 2004 di era reformasi membawa semangat yang sama yakni penyelenggaraan pemerintah daerah secara partisipasif. Tetapi kenyataannya arogansi dan penyalahgunaan kewenangan daerah masih muncul di sana-sini. KKN tidak terkendali, kekuasaan berada pada kelompokkelompok tertentu. Patologi sosial bermunculan dengan corak budaya berbeda sehingga pemberdayaan masyarakat masih sering dimarjinalkan tidak terkecuali menjelang pemilihan kepala daerah. Demikian juga pemerintah dituntut untuk terbuka dan menjamin akses stakeholders terhadap berbagai informasi mengenai proses kebijakan publik, alokasi anggaran serta evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan juga belum dapat dilaksanakan dengan baik. Semoga tulisan ini menjadi sebuah renungan dan membuahkan tekad dan semangat untuk mewujudkan pemerintahan lebih baik yang diharapkan oleh seluruh komponen bangsa. Governance Reform, Sebuah Kenyataan Skeptisisme Triyono Lukmantoro (Kompas, 18/7) yang menyatakan good governance merupakan utopia belaka perlu diberi catatan khusus. Jika diletakkan dalam konteks pemahaman perjalanan panjang menuju tata kelola pemerintahan yang baik, good governance bukan utopia yang mustahil dijangkau, tetapi conditio sine qua non menuju kehidupan yang lebih demokratis dan bermartabat. Sejauh ini, governance sering dikonotasikan perangai birokrasi an sich. Padahal, good governance merupakan sejumlah nilai, kebijakan, dan institusi untuk menata ekonomi, politik, dan sosial melalui kerja sama pemerintah, masyarakat sipil, dan dunia usaha. Di negeri kita, wacana good governance mulai berkembang bersamaan dengan arus reformasi 1998-an. Karena itu dapat dimengerti muncul pemahaman beragam. Keniscayaan governance reform Krisis multidimensi yang kita alami bukanlah kutukan Tuhan dan ulah rakyat kebanyakan. Fungsi institusi negara diselewengkan dari melayani rakyat menjadi melanggengkan kekuasaan elite. Pelayanan menjadi mandul dan organisasi tambem, besar tetapi tidak efektif. Dibandingkan dengan organisasi mana pun, organisasi negara paling efektif melayani kepentingan rakyat banyak akibat aneka sumber yang dikelolanya. Namun, fungsi itu tidak berjalan di Indonesia karena institusi negara direduksi untuk kepentingan penguasa. Kemewahan dinikmati segelintir golongan: penguasa, pengusaha yang dekat dengan penguasa, dan kelompok-kelompok strategis pada pusat kekuasaan. Penguasa sebelumnya tidak punya kemauan kuat menindak penyeleweng karena takut, akhirnya akan berujung pada pengaruh kedudukannya sendiri. Bahkan garda terdepan penegak hukum, seperti polisi, jaksa, dan hakim, justru ikut berperan aktif dalam berbagai penyalahgunaan kewenangan. Karena itu, dibutuhkan governance reform dalam semua matra kehidupan masyarakat. Pada masa Orde Baru, kekuasaan politik amat sentralistis dan kekuatan masyarakat sipil direduksi. Padahal, masyarakat sipil yang kuat dibutuhkan guna mengontrol pemerintahan agar berpihak pada rakyat. Jadi, good governance harus dijalankan bukan sebatas pengambilan keputusan, tetapi keterlibatan hulu-hilir; dari awal hingga akhir. Deretan aktivitas ini harus menjadi agenda utama bangsa untuk menciptakan tata pemerintahan yang baik, berpihak kepada kelompok marjinal, termasuk perempuan. Kekuatan Rakyat yang terbangun sejak reformasi menjadi acuan pemerintahan SBY, dan diyakini sebagai amunisi utama yang mengantarkan SBY ke kursi presiden. Saat ini pengungkapan kasus korupsi menjadi amat penting karena masyarakat memiliki keberanian untuk kritis terhadap kebijakan pemerintah. Desakan untuk mengungkap pejabat publik yang terlibat dalam korupsi telah menjadi agenda masyarakat luas. Artinya, momentum memperjuangkan good governance telah memperlihatkan hasil yang sulit dibayangkan sebelumnya. Aneka capaian dalam reformasi tata pemerintahan kian memupuk kesadaran masyarakat untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Tumbuhnya keberanian masyarakat menuntut hak, mendesak birokrasi menjadi lebih efektif. Jadi, keniscayaan governance reform sejalan dengan pembentukan daulat rakyat. Membangun mitra Sulit dibayangkan, sederet masalah yang mendera bangsa ini hanya akan diselesaikan oleh pemerintah karena pemerintah merupakan bagian dari masalah, bukan bagian dari pemecahan masalah. Pemerintah harus menyadari, kita hanya akan dapat membangun bangsa bermartabat apabila dibangun kemitraan setara dengan pemerintah, pengusaha, dan warga masyarakat untuk membangun bangsa bersama rakyat dan pengusaha. Determinan tata kelola pemerintahan yang baik, yaitu pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha, perlu bekerja sinergis menguatkan fungsi kontrol dalam menghadapi sederet kendala ketidakrelaan pejabat-pejabat yang dulunya menikmati segala bentuk privilege, institusi yang belum reformatif, rakyat apatis yang didera kemiskinan, dan jumlah pengangguran yang meningkat. Meski langkah reformasi amat berat, tetapi aparat yang bersih dan jujur, aktivis yang membumi, akademisi yang masih bernurani, yang peduli terhadap kebangkrutan bangsa telah menempuh langkah-langkah nyata sesuai dengan ranah masing-masing. Langkah bersama semacam inilah yang perlu terus digalang sehingga capaian yang ada tidak mati suri. Dalam hal ini, partnership sengaja didesain untuk memfasilitasi (baik langsung maupun tidak langsung) usaha yang berujung pada pembentukan good governance. Misalnya, fasilitasi yang dilakukan dalam pengungkapan kasus korupsi di daerah, pengungkapan awal penyelewengan di KPU, dukungan langsung kepada KPK, prakarsa berbagai komisi reformasi di kepolisian dan kejaksaan, sponsor transparansi keuangan daerah. Tak kalah penting, kemitraan antikorupsi di antara dua organisasi keagamaan terbesar di negeri ini, NU dan Muhammadiyah. Semua upaya dan hasil yang telah dicapai itu hendaknya jangan dimentahkan dengan menganggap good governace sebagai utopia. Lilin integritas telah dinyalakan dan menyala di mana-mana. Karena itu, tidak pada tempatnya untuk skeptis. Semuanya meminta peran serta kita yang lebih efektif dan konkret. KONSEP PELAYANAN PUBLIK Konsepsi Pelayanan Publik Pelayanan publik pada dasarnya menyangkut aspek kehidupan masyarakat yang sangat luas. Dalam kehidupan bernegara, maka pemerintah memiliki fungsi memberikan berbagai pelayanan publik yang diperlukan oleh masyarakat, mulai dari pelayanan dalam bentuk pengaturan atau pun pelayanan-pelayanan lain dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat. Sedangkan hakekat dari pelayanan publik itu sendiri adalah pemberian pemenuhan pelayanan kepada masyarakat yang merupakan perwujudan kewajiban pemerintah sebagai abdi masyarakat. Pemberian pelayanan publik ini terutama diberikan untuk hal-hal yang sifatnya mendasar seperti pendidikan, kesehatan, sosial, keamanan dan ketertiban, lingkungan, perekonomian, kependudukan, ketenagakerjaan pertanahan. Konsepsi pelayanan publik dari perspektif administrasi negara, dipahami sebagai “segala kegiatan layanan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah sebagai upaya pemenuhan kebutuhan orang, masyarakat, instansi pemerintah dan badan hukum sebagai pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Adapun pengertian pelayanan berdasarkan Keputusan Menpan Nomor 81 Tahun 1993 adalah “suatu bentuk kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah baik di pusat, di daerah, BUMN, dan BUMD dalam bentuk barang maupun jasa dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Selanjutnya pengertian pelayanan publik berdasarkan Keputusan Menpan Nomor 63 Tahun 2003 adalah “segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Sedangkan pengertian pelayanan publik menurut hasil kajian Komisi Hukum Nasional (KHN), diartikan sebagai “suatu kewajiban yang diberikan oleh konstitusi atau undang-undang kepada pemerintah untuk memenuhi hak-hak dasar warga negara atau penduduk atas suatu layanan (publik)”. Pengertian menurut KHN ini secara tegas menekankan bahwa pelayanan publik merupakan kewajiban pemerintah (negara). Batasan ini berbeda denga batasan yang diberikan oleh Menpan yang mendefinisikan pelayanan publik hanya sebagai kegiatan instansi pemerintah. Berkaitan dengan konsep pelayanan publik tersebut, dalam lampiran Keputusan Menpan No. 63/Kep./M.PAN/7/2003, tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik, layanan publik oleh pemerintah dibedakan menjadi tiga (3) kelompok sebagai berikut : Pertama; Kelompok Layanan Administratif; yaitu layanan yang menghasilkan bentuk dokumen resmi yang dibutuhkan oleh publik, misalnya status kewarganegaraan, sertifikat kompetensi, kepemilikan dan penguasaan terhadap suatu barang, dan sebagainya. Dokumen-dokumen ini antara lain: Kartu Tanda Penduduk (KTP), akte pernikahan, akte kelahiran, keterangan kematian, Buku Pemillikan Kendaraan Bermotor (BPKB), Surat Ijin Mengemudi (SIM), Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (STNK), Ijin Mendirikan Bangunan (IMB), paspor, sertifikat kepemilikan / penguasaan tanah, dan sebagainya. Kedua; Kelompok Layanan Barang; yaitu layanan yang menghasilkan berbagai bentuk/jenis yang digunakan oleh publik, misalnya jaringan telepon, penyediaan tenaga listrik, air bersih, dan sebagainya. Ketiga; Kelompok Layanan Jasa; yaitu layanan yang menghasilkan berbagai jasa yang dibutuhkan oleh publik, misalnya pendidikan, pemeliharaan kesehatan, penyelenggaraan transportasi, pos, dan sebagainya. Selanjutnya dalam Surat Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63/Kep./M.PAN/7/2003 tersebut juga ditetapkan mengenai prinsipprinsip pelayanan publik, yang mencakup : a. Prinsip Kesederhanaan. Prosedur pelayanan publik tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan. b. Prinsip Kejelasan. Mencakup: (1) Persyaratan teknis dan administratif pelayanan publik; (2) Unit kerja/pejabat yang berwenang dan bertanggungjawab dalam memberikan pelayanan dan penyelesaian keluhan/persoalan/sengketa dalam pelaksanaan pelayanan publik; (3) Rincian biaya pelayanan publik dan tatacara pembayaran. c. Prinsip Kepastian waktu. Pelaksanaan pelayanan publik dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan. d. Prinsip Akurasi. Produk pelayanan publik diterima dengan benar, tepat dan sah. e. Prinsip Keamanan. Proses dan produk pelayanan publik memberikan rasa aman dan kepastian hukum. f. Prinsip Tanggungjawab. Pimpinan penyelenggara pelayanan publik atau pejabat yang ditunjuk bertanggungjawab atas penyelenggaraan pelayanan dan penyelesaian keluhan/persoalan dalam pelaksanaan pelayanan publik. g. Prinsip Kelengkapan sarana dan prasarana. Tersedianya sarana dan prasarana kerja, peralatan kerja dan pendukung lainnya yang memadai termasuk penyediaan sarana teknologi telekomunikasi dan informatika (telematika). h. Prinsip Kemudahan Akses. Tempat dan lokasi serta sarana pelayanan yang memadai mudah dijangkau oleh masyarakat, dan dapat memanfaatkan teknologi telekomunikasi dan informatika. i. Prinsip Kedisiplinan, Kesopanan dan Keramahan. j. Prinsip Kenyamanan. Lingkungan pelayanan harus tertib, teratur, disediakan ruang tunggu yang nyaman, lingkungan yang sehat serta dilengkapi dengan fasilitas pendukung pelayanan. Pembahasan Case Study : Good Governance, hanya sebuah Harapan Pada tanggal 13 November 2008 Bank Century mengalami keadaan tidak bisa membayar dana permintaan dari nasabah atau umumnya disebut sebagai kalah kliring keadaan ini hingga membuat terjadinya kepanikan atau rush dalam penarikan dana pada Bank Century. Selanjutnya pada tanggal 14 November 2008 manajemen Bank Century melapor kejadian tersebut serta ikut mengajukan permohonan untuk mendapatkan fasilitas pendanaan darurat kepada Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK) selanjutnya pada tanggal 20 November 2008 Bank Indonesia (BI) melakukan penetapan status Bank Century menjadi bank gagal. Menteri Keuangan yang dijabat oleh Sri Mulyani selaku Ketua dari Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK) mengadakan rapat untuk pembahasan nasib Bank Century, dalam rapat tersebut, Bank Indonesia (BI) diwakili oleh Gubenur Bank Indonesia yang dijabat oleh Boediono melalui data per 31 Oktober 2008 menyatakan bahwa rasio kecukupan modal atau Capital Adequacy Ratio (CAR) Bank Century telah minus hingga 3,52 persen, dalam agenda rapat tersebut antara lain turut dibahas dampak yang akan terjadi atau akan timbul apakah akan berdampak sistemik, seperti dalam istilah teknis disebut bank run atau run on the bank bila Bank Century diperlakukan sebagai bank gagal yang akan dilikuidasi kemudian dalam rapat tersebut diputuskan untuk menyerahkan Bank Century kepada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Dengan menggunakan teori-teori yang telah dipaparkan sebelumnya, maka kesimpulan sementara yang dapat ditarik yaitu pemberian bailout Bank Century dapat dikatagorikan sebagai tindak korupsi besar karena telah terjadi manipulasi keuangan yang dilakukan oleh pajabat negara melalui pembuatan kebijakan dan dampaknya diduga telah merugikan negara baik secara finansial maupun nonfinansial. Keputusan yang diambil terlihat tidak melalui pertimbangan khusus, baik dikarenakan oleh kelalaian yang disebabakan oleh kurangnya informasi maupun adanya motivasi untuk menguntungkan pribadi dan golongan. Keputusan pemerintah untuk bailout Bank century pun tidak memenuhi karakteristik good governance, karena tidak transparan, tidak dapat dipertanggungjawabkan, tidak efektif, dan tidak mengutamakan supremasi hukum, padahal dalam UU nomor 28 tahun 1999 jelas tercantum asas-asas dalam menjalankan pemerintahan yang baik. Dalam menganalisa kasus ini data yang digunakan adalah data sekunder dengan teknik pengumpulan data kualitatif-eksplanatif yang diperoleh dengan menggunakan studi kepustakaan. Metode yang akan digunakan adalah melalui studi literatur dan sumber-sumber yang didapat melalui buku-buku, jurnal, web ataupun situs surat kabar elektronik yang memiliki relevansi dengan masalah yang dianalisa dalam kasus ini. Indikasi Korupsi dalam Pemberian Bail Out Bank Century Melihat sejarahnya sejak awal Bank Century bukanlah bank yang sehat. Bank Century didirikan oleh Robert Tantular dengan nama Bank Century Intervest Corporation (CIC) pada tahun 1989, namun pada saat rights issue pertama pada Maret 1999 bank tersebut dinyatakan tidak lolos uji kelayakan oleh Bank Indonesia yang kemudian pada bulan Juni Tahun 2004 Bank Century berdiri dari gabungan merger Bank Danpac, Bank Pikko, dan Bank CIC. Bank Pikko sendiri merupakan bank yang pernah ditetapkan dalam pengawasan khusus BI pada tahun 2000. Kasus ini bermula saat sekitar US$ 56 juta surat-surat berharga milik Bank Century terkena jatuh tempo dan tidak dapat dibayar, saat itu Bank Century mengalami kesulitan likuiditas dengan rasio kecukupan modal minus 3,53 % akibatnya bank tersebut gagal kliring. Menarik uang kembali merupakaan hal wajar dilakukan oleh nasabah saat mengetahui bahwa bank tempat mereka menyimpan uang sedang mengalami kesulitan likuiditas. Kesulitan likuiditas ini menurut Sri Mulyani yang saat itu menjabat sebagai Menteri Keuangan RI disebabkan oleh dua hal, yang pertama oleh karena menejemen bank yang tidak baik dan krisis ekonomi global yang sedang terjadi. Saat itu Robert Tantular, sebagai pemilik Bank tersebut berani memberikan bunga yang cukup besar bagi para nasabah, namun dengan cara menginvestasikan uang tersebut di Amerika Serikat yang saat itu sedang dilanda krisis ekonomi. Untuk mengatasi krisis yang terjadi, serangkaian rapat untuk membahas masalah tersebut dilaksanakan secara bertahap melalui keputusan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) No. 04/KSSK.03/2008 menetapkan PT Bank Century Tbk sebagai bank gagal yang berdampak sistemik dan penyerahan penanganannya kepada Lembaga Penjamin Simpanan LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) diputuskan oleh Komite Koordinasi (KK) melalui Keputusan KK No 01/KK.01/2008. Padahal dasar hukum dan badan pembuat keputusan tidak sesuai dengan UU yang ada. Kenyataannya keputusan KSSK dalam menetapkan Century sebagai bank gagal menjadikan Perppu 4 tahun 2008 tentang Sistem Jaringan Pengaman Keuangan sebagai dasar hukum, padahal Perppu tersebut ditolak oleh DPR dan pemindahalihan Century dibawah LPS diputuskan oleh KK dengan dasar hukum UU No.24 tahun 2004 tentang LPS, padahal dalam UU tersebut menyatakan bahwa KK harus dibentuk dengan UU, sedangkan KK tidak dibentuk dengan UU. Meskipun Perppu tersebut belum ditolak secara tegas oleh DPR apalagi disahkan, itu berarti Perppu tersebut tidak dapat dijadikan sebagai dasar hukum. Dalam hal ini tentu tidak ada penerapan supremasi hukum sebagai salah satu karakteristik good governance, dimana hukum yang diatur dalam UU seharusnya menjadi peraturan tertinggi dan harus dipatuhi. Selain itu, perubahan peraturan dalam LPS berubah begitu saja pada saat penanganan Bank Century. Sebelumnya pada Maret 2007 jaminan yang diberikan oleh LPS hanya Rp 100 juta per nasabah, namun terhitung sejak 13 Oktober 2008 jaminan yang akan diberikan 2 miliar per nasabah dan nasabah yang memiliki dana diatas 2 miliar merupakan tanggung jawab bank yang sedang krisis tersebut. Hal ini menimbulkan kejanggalan dan melanggar prinsip akuntabilitas, karena perubahan jumlah maksimal suntikan dana seiring krisisnya Bank Century, tidak ada kontrol dari pihak pemerintah mengenai penggunaan dana jaminan simpanan, serta tidak adanya laporan pertanggungjawaban mengenai nasabah yang mana saja yang ditanggung oleh LPS dan berapa nominalnya. Tanda-tanda Bank Century akan mengalami kesulitan likuiditas seharusnya sudah dapat diantisipasi oleh BI sebagai bank pusat yang mengawasi jalannya perbankan di negara ini. Awalnya surat-surat berharga Bank Century mengalami kemacetan di luar negeri pada tanggal 30 Oktober 2008 sebesar US$ 11 juta dan hutang lainnya jatuh tempo pada 3 November US$45 juta dan untuk melunasinya Bank Century mengajukan pinjaman ke LPS sebesar Rp. 689 miliar. Di bawah penanganan LPS, Bank Century mendapatkan suntikan dana secara bertahap dan hal inilah yang menimbulkan kontroversi dihadapan publik karena tidak sesuai dengan kesepakatan awal. Lihat tabel 1, pemberian bailout pertama dilaksanakan pada 23 November 2008 sebesar Rp. 2,7776 triliun. Menyusul pada tanggal 5 Desember 2008 bailout yang diberikan sebesar Rp. 2,201 triliun. Pada Februari 2009, bailout yang diberikan sebesar Rp. 1,55 triliun dan yang terakhir pada 21 Juli 2009 yaitu Rp. 630 miliar, sehingga total bailout yang diberikan adalah Rp. 6,76 triliun. Suntikan dana ini dapat dikatagorikan sebagai tindak korupsi, karena dengan menilik kembali definisi korupsi, yaitu bukan hanya tindakan pencucian uang dan aliran dana tidak wajar ke dalam rekening pribadi yang selama ini dipahami, namun seperti yang dikatakan oleh David M. Chalmers bahwa segala bentuk manipulasi keuangan dapat dikatagorikan sebagai tindak korupsi, dan dalam konsep korupsi semua yang berhubungan dengan keputusan yang dapat merugikan negara baik finansial maupun non-finansial dikatagorikan sebagai tindak korupsi besar. Seperti yang telah kita ketahui secara finansial hal tersebut telah banyak diberitakan oleh media massa, seperti Tempo yang menyatakan bahwa Century diindikasi telah merugikan negara sebesar 6,7 triliun. Dari segi nonfinansial, bailout Bank Century ini telah menciptakan krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah maupun perbankkan di Indonesia, terbukti dengan opini-opini publik yang kerap disorot oleh media massa. Korupsi dalam kasus ini dapat dilihat bukan hanya sebagai korupsi berupa uang, namun juga korupsi kewenangan yang berdampak pada berkurangnya kepercayaan masyarakat. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidatonya setelah hasil paripurna DPR pada tanggal 4 Maret 2010, dikatakan oleh beliau bahwa Bailout yang diberikan kepada Bank Century memiliki tujuan yang baik dengan mempertimbangkan semua pilihan yang ada, diputuskan dengan cepat dan tepat, dan tidak mengabaikan prinsip kehati-hatian. Namun sebaliknya, dimata sebagian besar publik kata-kata tersebut hanya sebagai bentuk pembelaan diri. Pertimbangan dalam pemberian bailout Bank Century terlihat memihak dan justru ada motivasi tersendiri. Bank Century sendiri bukanlah bank yang tergolong besar. Namun seperti yang telah disinggung sebelumnya dipendahuluan, Menteri Keuangan beranggapan bahwa Bank Century harus benar-benar ditolong karena dapat berdampak sistemik bagi perbankan Indonesia. Padahal menurut Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF), analisa Bank Century merupakan bank gagal yang berdampak sistemik tidak berdasarkan data yang cukup dan terukur. Kemudian, dari awal berdirinya Century, sudah diketahui bank tersebut merupakan gabungan dari bank-bank yang memiliki masalah. Ketidakmampuannya dalam mengatasi krisis yang sewaktu-waktu akan terjadi seharusnya sudah bisa diantisipasi, meskipun pada saat krisis 2008 yang membutuhkan bantuan bukan hanya Bank Century. Seperti yang dikatakan oleh Bank Mandiri, bahwa seharusnya suntikan data tersebut diberikan dengan mempertimbangkan latar belakang, reputasi, dan kredibilitas pemilik bank. Suntikan dana ini justu memperlihatkan ketidaktegasan BI sebagai bank central yang terkesan memudahkan penyelamatan sebuah Bank yang hancur karena penyelewengan yang dilakukan oleh pemiliknya sendiri. Robert Tanular, seperti yang telah disinggung sebelumnya, mengelapkan uang nasabah dari banknya sendiri. Pada bulan november 2008 Robert ditangkap karena menggelapkan dana Bank Century Rp 1,4 triliun dan reksadana Antaboga Rp 1,3 triliun.Bank Century juga telah melakukan praktek yang dilarang dalam perbankkan yaitu penggelapan hasil penjualan surat-surat berharga Bank Century senilai US$ 7 juta, menjadikan hasil penjualan surat-surat berharga sebagai jaminan karena mengalami kredit macet, dan diduga Bank tersebut telah melakukan pengeluaran fiktif senilai 209,80 miliar dan US$ 4,72 juta sejak tahun 2004 - Oktober 2008. Pemeriksaan yang dilakukan oleh Panitia Khusus Hak Angket DPR terhadap 5 cabang Bank Century di Jakarta, Medan, Denpasar, Makasar, dan Surabaya, telah ditemukan berbagai bentuk pelanggaran seperti pencucian uang, nasabah fiktif, pidana korupsi, dan pemecahan deposito sebagai bentuk rekayasa. Seharusnya dalam pemberian bailout, ada aspek-aspek yang dipertimbangkan dan dampaknya bagi negara dan dimata masyarakat, bukan hanya terpaku pada penyelamatan sebuah bank, terlebih lagi harus memberikan suntikan dana yang berkali-kali lipat dari permintaan awal. Dalam pidato presiden SBY dikatakan bahwa bailout diputuskan dengan prinsip kehati-hatian, namun mengapa aliran dana talangan yang begitu besar jumlahnya masih belum bisa diurai? Dalam audit penyidikan yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) ditemukan 11 nasabah yang tidak dapat diditeksi (fiktif). Hasil penyidikan ini menunjukkan bahwa dana talangan sebesar 6,76 triliun itu tidak digunakan sebaik mungkin prihal penyelamatan Bank Century, tetapi sebaliknya dana tersebut diselewengkan dan sampai sekarang pun masih belum diketahui kemana saja dana tersebut mengalir, hal ini juga telah melanggar prinsip transparansi. Kalaupun saat itu menurut pemerintah (red. Menteri keuangan, BI, dan KSSK) keputusan untuk memberi suntikan dana sebesar 6,76 triliun merupakan pilihan yang paling efektif, seharusnya ada pertanggungjawaban yang jelas dengan laporan yang transparan mengenai kemana saja dana tersebut mengalir. Dalam teori governance, hal ini dapat dijelaskan dengan pendekatan baounded rationality, atau pengambilan keputusan yang hanya goal oriented tanpa adanya pertimbangan, baik karena kekurangan informasi maupun adanya motivasi egois sebagai bentuk pilihan rasional seorang manusia, dimana manusia akan mengambil keputusan yang paling menguntungkan bagi dirinya. Dalam konsep good governance dalam pembuatan keputusan harus ada interaksi antara pemerintah, swasta dan masyrakaat sebagai stakeholder. Dari segi pemerintah, yang paling bertanggung jawab dalam menangani krisis ini adalah BI bersama KSSK dan LPS, sesuai dengan UU No. 3 tahun 2004 tentang pengawasan penuh BI terhadap bank-bank di Indonesia. LPS sendiri sebagai oknum dalam penyuntikan dana merupakan sebuah lembaga yang berfungsi untuk menjamin simpanan nasabah serta bertanggung jawab atas penanganan bank gagal yang berdampak sistemik. Kemudian dalam penyuntikan dana, alangkah baikknya kalau DPR, terutama Komisi XI sebagai komisi yang membidangi masalah keuangan dan perbankan mengetahui masalah suntikan dana yang mengalami perubahan jumlah. Namun kenyataannya, suntikan dana yang dilakukan oleh LPS tidak sesuai dengan kesepakatan awal bersama DPR dan DPR tidak mengetahui tentang perubahan suntikan dana tersebut. Mengenai BI, KSSK, dan LPS yang memiliki kewenangan atas krisisnya sebuah bank seharusnya tidak menyalahgunakan wewenang dan harus bertindak sesuai dengan asas-asas good governance. Kalau tidak, akibatnya keputusan yang diambil tidak transparan, terkesan sepihak, dan tidak bertanggung jawab. Dari segi masyarakat, dalam prihal pembuatan keputusan bailout karena krisis yang dialami oleh bank memang seharusnya tidak melibatkan masyarakat karena dapat beresiko hilangnya kepercayaan nasabah, namun setidaknya akan merebaknya kasus ini ke ranah publik sudah dapat diperkirakan sehingga sudah ada persiapan pertanggungjawaban dari pihak pengambil keputusan, yaitu berupa data yang akurat dan terukur sebagai bukti bahwa keputusan yang diambil merupakan keputusan yang paling efektif. Setelah kasus terbuka dihadapan publik, masyarakat sebagai komponen terpenting dalam melakukan check and balance justru hanya dapat menerima alasanalasan dari pihak pemerintah yang terkesan konspiratif. Bank Century sendiri sebagai bagian dari stakeholder dari sektor privat dalam kasus sama sekali tidak mendukung terwujudnya good governance, seperti yang telah dipaparkan sebelumnya mengenai penyelewengan dana nasabah dan praktek-praktek melanggar hukum yang telah dilakukan. Kasus Bail Out Bank Century: Tuntaskan dan Antisipasi Sampai sekarang kasus mengenai pemberian bailout Bank Century tidak juga kunjung tuntas. Membengkaknya suntikan dana menimbulkan banyak pertanyaan, seperti mengapa suntikan dana yang diberikan tidak sesuai dengan permintaan awal? Kemana dana tersebut mengalir? Mengapa suntikan dana dan kata-kata sistemik yang diberikan tidak berdasarkan data yang terukur? Dan mengapa Bank Century yang sejak awal sudah mengalami reputasi yang tidak baik perlu diselamatkan? Dengan melihat mulai dari pembengkakan suntikan dana, penetapan bank gagal berdampak sistemik tanpa bukti dan data yang terukur serta dasar hukum yang tidak tepat sebagai suatu hal yang patut dipertanyakan. Oleh karena itu, kasus bailout Bank Century dapat dikatakan sebagai tindak korupsi karena keputusan yang diambil diindikasi telah merugikan negara secara finansial dan jelas telah merugikan negara secara non-finansial, yaitu berupa berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan perbankan. Dalam membuat keputusan bailout terhadap Bank Century terlihat tidak ada pertimbangan mengenai reputasi dan kredibilitas bank dan pemilik bank tersebut seperti yang dijelaskan dalam teori bounded rationality, tetapi sebaliknya keputusan yang diambil terlihat memiliki kecenderungan konspiratif dan terdapat motivasi egois. Pemberian bailout terhadap Bank Century pun memberi kesan mudah dalam meminta suntikan dana dan betapa tidak tegasnya BI karena suntikan dana bisa melebihi jauh dari kesepakatan awal dan belum diketahui mengenai kemana aliran dana tersebut. Jika berbicara mengenai good governance di Indonesia sepertinya masih sangat lemah, terbukti dengan belum terlaksananya interaksi antara pemerintah, masyarakat dan sektor privat dengan baik. Seperti kasus Bank Century yang telah dijelaskan sebelumnya mengenai buruknya interaksi antara ketiga stakeholder tersebut. Untuk mencapai good governance, jalannya pemerintahan harus memenuhi syarat akuntabilitas, transparansi, efektifitas, dan supremasi hukum. Namun, seperti yang telah dipaparkan dalam pembahasan, dalam pemberian bail out tersebut tidak ada pertanggungjawaban hingga kini, tidak transparan dalam pemberian bail out dan aliran dana bail out, dianggap tidak efektif karena telah merugikan negara, serta tidak menerapkan supremasi hukum sebab berjalan tidak sesuai dengan UU yang berlaku. BI sebagai bank central harusnya melakukan kontrol yang tegas terhadap bank-bank lainnya, baik dalam pendirian sebuah bank maupun dalam masa berjalannya bank tersebut, disiplin ini penting untuk menjaga kualitas perbankan di Indonesia. Dalam pembuatan keputusan, pihak pemerintah harus melakukan pertimbangan dan identifikasi dampak yang akan terjadi. Prihal pelanggaran yang dilakukan oleh oknum-oknum Bank Century seharusnya dapat diusut tuntas dan diberi hukuman yang dapat membuat efek jera dan sebagai bentuk peringatan bagi bank-bank lainnya, bukan hanya hukuman penjara beberapa tahun. Hukuman yang diberikan bisa seperti diwajibakan membayar dana nasabah yang telah diselewengkan di luar bantuan LPS atau bahkan dijatuhi hukuman mati bagi para pelaku yang terbukti melakukan penyelewegan karena telah merugikan, baik bagi para nasabah maupun citra perbankan Indonesia. Selain itu dalam menjalani roda pemerintahan, penerapan konsep good governance menjadi hal yang sangat penting agar tercipta suatu kondisi yang demokratis dalam negara ini sehingga tumbuh kepercayaan antara masyarakat dan pemerintah. Lalu, masyarakat sebagai civil society yang diberikan ruang publik diharapkan dapat mendukung terciptanya good governance dengan melakukan check and balance. Sementara itu, sektor privat diharapkan berjalan sesuai dengan hukum yang berlaku dan tidak melakukan tindakan yang dapat merugikan baik masyarakat maupun negara. Kalau hal-hal ini tidak mulai diterapkan, maka cita-cita untuk menciptakan pemerintahan yang baik dan bebas dari korupsi hanya akan menjadi wacana. Case Study 2 : Dinasti Politik Ratu Dinasti politik keluarga Gubernur banten, Ratu Atut Chosiyah, dinilai tidak berkualitas dan merusak tatanan demokrasi. Hal itu diperparah dengan cara-cara kotor dan korupsi untuk meraih jabatan. “Dinasti politik Ratu Atut sangat buruk dan merusak demokrasi. Sebenarnya tidak ada larangan bagi setiap warga negara untuk berpolitik, namun ketika mereka dipaksakan menjadi pejabat publik tanpa melalui tahapan dan seleksi, maka hasilnya ya seperti itu,” kata pengamat politik, AS Hikam. Menurutnya, dinasti politik terjadi tidak hanya karena pejabat dan kronikroninya melainkan juga ditentukan oleh partisipasi rakyat. Sebagai pemilih, rakyat tidak memperhatikan latar belakang orang yang dipilihnya namun lebih pada money politik yang bakal diterimanya. “Memang tidak bisa disalahkan itu terjadi karena Atut beserta keluarganya, tapi rakyat sebagai pemilih sering terbuai dengan berapa uang yang diterima untuk memilih calon tersebut,” ujarnya. Dia menambahkan, aturan pembatasan dinasti politik tidak bisa dilakukan karena melanggar hak asasi manusia. Pasalnya, setiap warga negara mempunyai berpolitik untuk memilih dan dipilih. “Yang perlu diatur itu proses kompetisinya. Semuanya harus melewati tahapan dan fase yang sama tidak ada pembedaan. Jangan karena anak atau adik gubernur lalu dapat dengan mudah mendapat jabatan,” urainya. Dinasti politik untuk melanggengkan kekuasaan tidak hanya di Banten, melainkan juga terjadi di sejumlah partai politik. Case Study 3 : Visi , Misi Kabupaten Trenggalek, Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Visi : Terwujudnya Kabupaten Trenggalek Sejahtera dan Berakhlak. Trenggalek adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Pusat pemerintahan berada di Trenggalek kota. Kabupaten ini menempati wilayah seluas 1.205,22 km² yang dihuni oleh ±700.000 jiwa. Kemiskinan di Trenggalek, Ditengah gencarnya berita tentang kemiskinan, sebuah stasiun televisi menayangkan berita tentang penduduk miskin di suatu daerah yang terpaksa makan tiwul karena tidak mampu membeli beras. Tiwul berasal dari ubi kayu yang dikeringkan atau lebih dikenal dengan istilah gaplek, gaplek inilah yang kemudian dimasak menjadi tiwul. Jika tiwul merupakan simbol kemiskinan berarti Trenggalek merupakan daerah yang sangat miskin. Tiwul merupakan makanan pokok pengganti nasi bagi sebagian penduduk Trenggalek. Pengalaman selama 17 tahun sebagai petugas Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) memberikan pengetahuan bahwa gaplek merupakan cadangan pangan yang realistis. Dikatakan realistis karena wilayah Trenggalek yang berbukit dan kering lebih cocok ditanami ubi kayu ketimbang padi.Berdasarkan hasil Susenas, penduduk miskin di Kabupaten Trenggalek pada tahun 2006 berjumlah 165.200 jiwa. Angka ini terus turun menjadi 96.000 jiwa di tahun 2012. Dengan rata-rata penurunan sebesar 8 persen, jumlah penduduk miskin di Kabupaten Trenggalek pada tahun 2040 seharusnya tinggal 1000 jiwa. Good Governance adalah Sebuah Kenyataan Case Study : Good Governance di Kabupaten Sragen. Kabupaten di Provinsi Jawa Tengah, tepatnya Kabupaten Sragen telah sukses menerapkan prinsip pelayanan prima paling tidak selama tahun 2001 hingga tahun 2010, di bawah kepemimpinan dua periode dari Bupati Untung Sarono Wiyono Sukarno, SH. Cukup banyak prestasi yang menghampiri pribadi beliau contohnya adalah adalah ditetapkan sebagai salah satu dari sepuluh tokoh Indonesia tahun 2008 versi majalah Tempo dari kalangan birokrat daerah. Bapak Untung Wiyono menegaskan bahwa untuk daerah minim sumber daya alam seperti Sragen ini, yang dibutuhkan untuk mendorong kemajuan adalah dengan meningkatkan sumber daya manusia sehingga memiliki kompetensi yang tinggi. Selain itu, dibutuhkan pula reformasi birokrasi yang tegas, sehingga penyelenggaran pemerintahan dalam rangka menyejahterakan masyarakat akan dapat berjalan lancar dan efektif. Peningkatan kompetensi petugas pelayanan publik dalam hal ini PNS Pemda dengan jalan diklat Bahasa Inggris dan komputer, serta dalam rekrutmen pegawai baru, diterapkan standar tinggi seperti kemampuan bahasa asing, komputer, serta standar kesehatan yang baik. Diselenggarakannya Badan Pelayanan Terpadu, yang berprinsip pada Pelayanan Satu Pintu yang lebih cepat dari model Pelayanan Satu Atap. Dalam pengurusan perizinan, masyarakat akan dilayani lebih profesional dan transparan, melalui satu jalur birokrasi saja, sehingga waktu pengurusan diketahui oleh pemohon izin serta cepat dan tidak ada pungutan-pungutan liar dan merugikan. Dalam upaya mendukung Pelayanan Satu Pintu, Pemda memasang sistem jaringan internet yang menghubungkan hampir semua desa dan kecamatan, sehingga komunikasi lebih efisien serta cepat dan terkontrol dengan baik. Perpustakaan Keliling motor pintar yaitu perpustakaan yang mengunjungi masyarakat di pedesaan yang tak mungkin dijangkau dengan mobil. Taman bacaan, Perpustakaan Desa, Perpustakaan Rumah Ibadah , dan Pusat Kegiatan masyarakat. Case Study 2 : Pelaksanaan Undang-Undang No. 14 tahun 2008, tentang Keterbukaan Informasi Publik. Contoh lainnya, Public Service Terpadu SAMSAT JATIM. Undang-Undang No. 14 tahun 2008, tentang Keterbukaan Informasi Publik adalah salah satu produk hukum Indonesia yang dikeluarkan dalam tahun 2008 dan diundangkan pada tanggal 30 April 2008 dan mulai berlaku dua tahun setelah diundangkan. Undang-undang yang terdiri dari 64 pasal ini pada intinya memberikan kewajiban kepada setiap Badan Publik untuk membuka akses bagi setiap pemohon informasi publik untuk mendapatkan informasi publik, kecuali beberapa informasi tertentu. Sesungguhnya proses advokasi UU ini adalah perjalanan panjang yang cukup melelahkan. Setelah hampir 8 tahun sejak awal 2000, 42 koalisi LSM mendorong UU ini. Adalah Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), sebuah LSM yang bergerak di bidang kebijakan lingkungan, yang mengawali gagasan perlunya mendorong sebuah undang-undang yang mengadopsi prinsip-prinsip freedom of information. Undang-Undang ini bertujuan untuk: menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan publik, serta alasan pengambilan suatu keputusan publik; mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik; meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik dan pengelolaan Badan Publik yang baik; mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, yaitu yang transparan, efektif dan efisien, akuntabel serta dapat dipertanggungjawabkan; mengetahui alasan kebijakan publik yang memengaruhi hajat hidup orang banyak; mengembangkan ilmu pengetahuan dan mencerdaskan kehidupan bangsa; dan/atau meningkatkan pengelolaan dan pelayanan informasi di lingkungan Badan Publik untuk menghasilkan layanan informasi yang berkualitas. Informasi yang dikecualikan dalam Undang-undang ini antara lain adalah: Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik dapat menghambat proses penegakan hukum; Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik dapat mengganggu kepentingan perlindungan hak atas kekayaan intelektual dan perlindungan dari persaingan usaha tidak sehat; Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik dapat membahayakan pertahanan dan keamanan negara; Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik dapat mengungkapkan kekayaan alam Indonesia; Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik, dapat merugikan ketahanan ekonomi nasional; Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik, dapat merugikan kepentingan hubungan luar negeri; Informasi Publik yang apabila dibuka dapat mengungkapkan isi akta otentik yang bersifat pribadi dan kemauan terakhir ataupun wasiat seseorang; Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik dapat mengungkap rahasia pribadi; Memorandum atau surat-surat antar Badan Publik atau intra Badan Publik, yang menurut sifatnya dirahasiakan kecuali atas putusan Komisi Informasi atau pengadilan; Informasi yang tidak boleh diungkapkan berdasarkan Undang-Undang. Case Study 3 : Citizen Co – Production & Prinsip Transmigrasi, Pondok Ecotani, Petani di Kecamatan Dringu, Kabupaten Probolinggo, Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Menurut Cohen dan Uphoff (1977), yang diacu dalam Harahap (2001), partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan dan pembuatan keputusan tentang apa yang dilakukan, dalam pelaksanaan program dan pengambilan keputusan untuk berkontribusi sumberdaya atau bekerjasama dalam organisasi atau kegiatan khusus, berbagi manfaat dari program pembangunan dan evaluasi program pembangunan. Sedangkan menurut Ndraha (1990), diacu dalam Lugiarti (2004), partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan dapat dipilah meliputi; (1) partisipasi dalam / melalui kontak dengan pihak lain sebagai awal perubahan sosial, (2) partisipasi dalam memperhatikan / menyerap dan memberi tanggapan terhadap informasi, baik dalam arti menerima, menerima dengan syarat, maupun dalam arti menolaknya, (3) partisipasi dalam perencanaan termasuk pengambilan keputusan, (4) partisipasi dalam pelaksanaan operasional. Survey partisipasi oleh The International Association of Public Participation telah mengidentifikasi nilai inti partisipasi sebagai berikut (Delli Priscolli, 1997), yang diacu dalam Daniels dan Walker (2005): Masyarakat harus memiliki suara dalam keputusan tentang tindakan yang mempengaruhi kehidupan mereka. Partisipasi masyarakat meliputi jaminan bahwa kontribusi masyarakat akan mempengaruhi keputusan. Proses partisipasi masyarakat mengkomunikasikan dan memenuhi kebutuhan proses semua partisipan. Proses partisipasi masyarakat berupaya dan memfasilitasi keterlibatan mereka yang berpotensi untuk terpengaruh. Proses partisipasi masyarakat melibatkan partisipan dalam mendefinisikan bagaimana mereka berpartisipasi. Proses partisipasi masyarakat mengkomunikasikan kepada partisipan bagaimana input mereka digunakan atau tidak digunakan. Proses partisipasi masyarakat memberi partisipan informasi yang mereka butuhkan dengan cara bermakna. Petani di Probolinggo bekerjasama dengan pemerintah kabupaten probolinggo dalam pemaksimalan produksi petani & dalam upaya mewujudkan Good Governance agar petani setempat sejahtera. Petani dapat memproduksi sendiri zatprodi/pupuk pertanian nya sendiri, hasil produksipun lebih maksimal ukuran sayur mayur seperti : jagung , tomat, semangka dalam ukuran besar (Jumbo) atau disebut dengan Jagung Hibrida pada produk jagung petani dalam konsep pondok ecotani petani probolinggo. Kesimpulan Perjalanan reformasi sudah memasuki tahun kesepuluh, dan tuntutan mendasar dari reformasi juga salah satunya adalah perbaikan pelayanan publik yang selama ini dirasa masih belum sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Berbagai indikator yang menunjukkan masih rendahnya kualitas pelayanan publik sebagaimana diuraikan di atas, membutuhkan upaya dan kerja keras pemerintah untuk segera memperbaiki kondisi pelayanan publik tersebut, mengingat dampaknya yang cukup luas yaitu tidak saja adanya ketidak puasan masyarakat secara luas, akan tetapi juga menyangkut iklim investasi yang tidak kondusif. Untuk itu, penyelenggaraan pelayanan publik perlu memperhatikan dan menerapkan prinsip, standar, pola penyelenggaraan, biaya, dan akuntabilitas serta transparansi pelayanan. Saran Beberapa hal yang direkomendasikan terkait dengan reformasi pelayanan publik, antara lain: (1) implementasi secara nyata Undang-undang Administrasi Pemerintahan; (2) mempercepat pengesahan dan implementasi RUU Pelayanan Publik; (3) membangun mind shet birokrasi pelayanan publik; (4) upaya pencapaian indikator kinerja pelayanan yang telah ditetapkan dalam Standar Pelayanan Minimal (SPM); (5) menyusun dan mengimplementasikan: (a) Standar Pelayanan (SP); (b) Standard Operating Procedur (SOP); (c) Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM); dan (d) Janji Pelayanan (Maklumat Pelayanan) di masing-masing instansi atau unit-unit pelayanan publik. DAFTAR PUSTAKA Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah. Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan Standar Pelayanan Minimal. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63 Tahun 2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik. Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 81 Tahun 1993 tentang Pedoman Tatalaksana Pelayanan Umum. Peraturan Menpan Nomor 20/M.PAN/2006 tentang Pedoman Penyusunan Standar Pelayanan Publik (SP). Alisjahbana, Reformasi Kelembagaan Menuju Efisiensi Pelayanan Pemerintah, Jakarta, 2008. Hendra Teja, Reformasi Pelayanan Publik: Suatu Keharusan, KPK Jakarta, 2007. Komisi Hukum Nasional (KHN), Hasil Kajian Tentang Pelayaan Publik, Jakarta, tth. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1990. Lembaga Administrasi Negara, Pedoman Penyusunan Standar Pelayanan, Jakarta, 2003. Lembaga Administrasi Negara, Evaluasi Kebijakan Pelayanan Publik, Jakarta, 2008, hlm. 38. Lembaga Administrasi Negara, Kajian Reformasi Birokrasi, Jakarta, 2005. Mustopadidjaja AR, Gran Strategi Reformasi Birokasi: Kebijakan, Kinerja, dan Langkah Ke Depan, Jakarta, 2008. GTZ-SfGG, Proyek Pengembangan Reformasi Birokrasi Bekerjasama dengan Kantor Menpan, Jakarta, 2004. Slamet Luwihono, Pelayanan Publik: Pengertian, Jenis, Prinsip dan Asas, Salatiga, 2008. Wahyudi Kumorotomo, Pelayanan Yang Akuntabel dan Bebas dari KKN, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2006.