PORTOFOLIO ATAU BUKAN

advertisement
ISSN 0215 - 8250
13
PORTOFOLIO SEBAGAI PENDEKATAN ASESMEN DALAM
PEMBELAJARAN
oleh
A.A. Istri N. Marhaeni
Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris
Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni, IKIP Negeri Singaraja
ABSTRAK
Tujuan utama penulisan artikel ini adalah untuk membahas konsep-konsep
teoretis mengenai asesmen portofolio dalam pembelajaran. Portofolio merupakan
salah satu pendekatan asesmen paling komprehensif yang digunakan dalam
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Namun, tidak sedikit pertanyaan yang
muncul karena kurangnya informasi tentang itu. Pembahasan dalam artikel ini
mencoba membangun pemahaman mengenai apa sebenarnya portofolio tersebut.
Hal ini diharapkan dapat membantu para guru dalam merencanakan implementasi
asesmen portofolio dalam pembelajarannya; serta para supervisor dalam menilai
suatu praktik asesmen.
Kata kunci: asesmen portofolio
ABSTRACT
The primary purpose in writing the article was to discuss theoretical
concepts that deal with portfolio assessment in instruction. Portfolio is one of the
most comprehensive assessment approaches in the Competency-Based Curriculum
(KBK). Many questions, however, have been posed due to limited information so
far available. The discussion has tried to provide an understanding of what
portfolio actually is. This would help teachers in preparing for a portfolio
implementation in their classrooms; and for school supervisors in evaluating an
assessment practice.
Key word: portfolio assessment
______________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 1 TH. XXXVII Januari 2004
ISSN 0215 - 8250
14
1. Pendahuluan
Tujuan utama suatu proses pendidikan adalah agar siswa dapat menjadi
insan yang independen, dalam arti, mampu menjadi anggota masyarakat yang
memiliki kemampuan dan keterampilan, serta nilai dan sikap yang dapat
digunakan untuk menjalin kehidupan yang baik di masyarakat. Komisi Pendidikan
untuk Abad ke-21 (Delors dkk., 1996) dengan jelas mengatakan bahwa untuk
mencapai tujuan akhir tersebut, ada empat pilar pendidikan yang dapat digunakan.
Keempat pilar tersebut menggariskan bahwa pendidikan tidak hanya membuat
siswa tahu (learning to know), tetapi juga dapat melakukan (learning to do), agar
siswa dapat menjadi insan yang berkompeten dalam bidangnya (learning to be)
dan dapat menggunakan kompetensinya tersebut untuk hidup berdampingan
bersama masyarakatnya dengan selamat (learning to live together). Dengan
demikian, proses pendidikan bukanlah aspek-aspek pedagogi yang masing-masing
berdiri sendiri, melainkan harus dilakukan secara holistik dan komprehensif.
Menyambut laporan komisi tersebut, pendidikan di Indonesia sekarang ini
diwarnai oleh kebijakan baru di bidang kurikulum, yaitu diberlakukannya
Kurikulum Berbasis Kompetensi atau disebut juga Kurikulum Tahun 2004. Seperti
lazimnya, setiap perubahan kurikulum pasti membawa dampak. Salah satunya
adalah pada sistem evaluasinya. KBK menganut sistem penilaian berbasis kelas.
Orientasi ini dilandasi oleh pemikiran bahwa untuk mencapai standar kompetensi
yang diharapkan, diperlukan asesmen yang bersifat multifaset dan holistik, agar
dapat dicapai hasil sesuai dengan empat pilar tersebut di atas.
Dewasa ini, dunia pendidikan dan pengajaran ditandai oleh adanya
ketidakpuasan terhadap penggunaan jenis tes objektif secara berlebihan.
Sementara jenis tes objektif cocok digunakan dalam tes-tes baku, penggunaannya
yang luas bahkan cenderung menjadi satu-satunya pendekatan asesmen yang
digunakan pada asesmen formatif di kelas, telah mengundang kritik para guru dan
pendidik lainnya. Routman (1991) menyebutkan beberapa kelemahan tes objektif.
Pertama, bahwa seperti layaknya tes baku, tes objektif hanya mengacu pada satu
data yang diambil dari satu latar, tetapi gagal menunjukkan indikator multidimensi
yang penting diketahui dalam rangka membantu siswa. Kedua, bahwa tes objektif
hanya mampu menunjukkan kemampuan siswa saat dibandingkan dengan
______________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 1 TH. XXXVII Januari 2004
ISSN 0215 - 8250
15
kelompoknya, tetapi hanya sedikit informasi yang berguna untuk meningkatkan
pembelajaran. Ketiga, bahwa tes objektif yang menggunakan format pilihan ganda
tidak mampu menggali latar belakang pengetahuan dan pengalaman siswa.
Keempat, sangat terkait dengan pembelajaran bahasa adalah bahwa tes objektif
mengabaikan perbedaan properti kebahasaan siswa dengan latar belakang budaya
yang berbeda.
Sejalan dengan eskalasi ketidakpuasan tersebut, Mc.Laughin dan Vogt
(1996) mengatakan perlunya dilakukan perubahan orientasi asesmen tersebut
kepada yang bersifat terbuka (open-ended) dimana siswa membangun sendiri
responnya. Digunakan pendekatan-pendekatan asesmen berbasis kelas. Salah satu
pendekatan asesmen yang memenuhi kriteria di atas dan digunakan dalam KBK
adalah asesmen portofolio. Meskipun bukan barang baru, asesmen portofolio
mulai banyak dibicarakan sejak lahirnya KBK. Sejak dua dekade belakangan ini,
di negara-negara maju pun asesmen portofolio sedang naik daun. Hal ini tidak
terlepas dari adanya pergeseran dalam paradigma pendidikan.
Sejauh ini di lapangan, asesmen portofolio lebih banyak dibicarakan
daripada digunakan. Asesmen portofolio menjadi topik baru dalam seminar
maupun pelatihan KBK yang banyak dilakukan untuk guru-guru. Jadi, pada tataran
konseptual, guru-guru tersebut telah memiliki cukup pengetahuan tentang asesmen
portofolio sebagai salah satu asesmen dalam KBK. Walaupun demikian, apakah
konsep-konsep tersebut telah dipahami dan diterapkan dengan benar dalam
mengimplementasikan asesmen portofolio, masih merupakan pertanyaan. Ada
keraguan apakah praktik asesmen yang diklaim sebagai asesmen portofolio adalah
asesmen portofolio.
Tulisan ini mengkaji konsep-konsep tentang asesmen portofolio dan
penggunaannya dalam pembelajaran, dengan harapan dapat meningkatkan
wawasan para guru dan pendidik lainnya.
2. Pembahasan
2.1 Hakikat Portofolio
Secara harfiah, portofolio berarti sekumpulan karya (a collection of works).
Menurut sejarahnya, kata portofolio pertama kali digunakan dalam dunia seni,
______________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 1 TH. XXXVII Januari 2004
ISSN 0215 - 8250
16
utamanya seni rupa yang berarti kumpulan karya sang seniman. Dari portofolio
tersebut dapat diperoleh gambaran mengenai berbagai hal tentang perkembangan
sang seniman dalam berkesenian, seperti orientasi seni serta perubahannya
(mungkin), kualitas karya, filosofi dalam berkesenian, penghargaan publik yang
diterima, dan lain sebagainya. Para pengamat seni rupa menggunakan portofolio
untuk menilai kiprah seni sang seniman.
Selanjutnya portofolio digunakan dalam pendidikan seni. Di sini, fungsi
portofolio tidak jauh berbeda. Walaupun demikian, dalam pendidikan seni,
portofolio juga digunakan untuk menilai apakah siswa telah mencapai suatu tujuan
pembelajaran tertentu yang telah disepakati atau ditentukan. Kemudian, portofolio
digunakan dalam pendidikan bahasa, terutama dalam pengajaran literasi (membaca
dan menulis). Hal ini disebabkan oleh esensi belajar berbahasa yang merupakan
suatu proses berkelanjutan (on-going process) sangat cocok dengan fungsi
portofolio sebagai pencatat perkembangan belajar. Setelah digunakan dalam
pengajaran bahasa, selanjutnya portofolio juga digunakan dalam pengajaran
bidang-bidang ilmu sosial maupun sains. Penggunaan portofolio sangat luas mulai
dari tingkat pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Universitas Tokyo dapat
dikatakan perguruan tinggi pertama yang menggunakan portofolio sebagai salah
satu bukti otentik tentang apa yang telah dipelajari dan dicapai oleh calon
mahasiswa yang bersangkutan.
Berbagai definisi asesmen portofolio dapat ditemukan dalam literaturliteratur tentang pengajaran dan evaluasi. Berikut ini dikutip tiga definisi yang
dianggap mewakili maksud dari definisi-definisi yang ada.
Salvia dan Ysseldike (1994) mengatakan bahwa portofolio adalah…”a
collections of products used to demonstrate what a student has done, and by
inference, what a person is capable of doing” (sekumpulan hasil karya siswa, yang
dapat menunjukkan apa yang bisa dilakukan oleh siswa tersebut). Wyaatt III dan
Looper (1999) mendefinisikan portofolio sebagai … “a very personal collection of
artifacts and reflections about one’s accomplishments, learning, strengths, and best
works” (suatu koleksi personal yang berisi bukti-bukti karya (artifact) serta
refleksi siswa tentang pencapaian, perkembangan, kekuatan, dan karya terbaik
sebagai hasil belajarnya). Poulson dan Poulson dalam Fogarty (1996)
______________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 1 TH. XXXVII Januari 2004
ISSN 0215 - 8250
17
mendefinisikan portofolio sebagai …” a purposeful collection of student work that
exhibits the student’s effort, progress, and achievement in one or more areas. The
collection must include student participation in selecting contents, the criteria for
selection, the criteria for judging merit and, evidence of student self-reflection”
(karya-karya siswa yang dikumpulkan untuk suatu tujuan tertentu, dan
mencerminkan usaha, kemajuan, dan pencapaian dalam satu atau lebih bidang
tertentu. Kumpulan atau koleksi ini meliputi partisipasi siswa dalam memilih isi
portofolionya, kriteria seleksi, kriteria penilaian, dan bukti siswa melakukan
refleksi).
Berdasarkan definisi-definisi di atas dapat disimpulkan bahwa asesmen
portofolio adalah suatu prosedur pengumpulan informasi mengenai perkembangan
dan kemampuan siswa melalui portofolionya. Pengumpulan informasi tersebut
dilakukan secara formal dengan menggunakan kriteria tertentu, untuk tujuan
pengambilan keputusan terhadap status siswa.
2.2 Landasan Filosofis Asesmen Portofolio
Keinginan untuk menggunakan asesmen alternatif selain tes objektif telah
melahirkan pergeseran orientasi asesmen sejak dua dekade terakhir. Alternatif
yang dipilih adalah asesmen otentik, seperti portofolio yang dianggap dapat
memberikan informasi yang akurat mengenai keberadaan siswa dalam kaitannya
dengan proses belajarnya. Penggunaan asesmen portofolio sejalan dengan teoriteori terkini mengenai pembelajaran.
Menurut filsafat konstruktivisme, siswa memahami dunianya dengan cara
menghubungkan antara pengetahuan dan pengalamannya dengan apa yang sedang
dipelajarinya. Mereka membangun makna melalui transaksi ini ketika guru
memberikan permasalahan yang relevan, mendorong inkuiri, menyusun kegiatan
pembelajaran dari konsep-konsep utama, menghargai sudut pandang siswa, dan
menilai hasil belajar siswa. Semua itu terwadahi dalam konteks pembelajaran
(McLaughin dan Vogt, 1996). Konstruktivisme sosial yang dimotori oleh
Vygotsky (Suparno, 1997) menyumbangkan konsep perkiraan wilayah
perkembangan atau Zone of Proximal Development (ZPD) tempat siswa
membangun pemahaman dan interpretasinya apabila digandengkan dengan orang
______________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 1 TH. XXXVII Januari 2004
ISSN 0215 - 8250
18
yang lebih berpengalaman. ZPD mewakili apa yang bisa dibuat oleh siswa itu
ketika bekerja sendiri, dengan apa yang bisa dicapainya dengan bantuan orang
lain. Dengan demikian, pembentukan makna dimungkinkan oleh interaksi sosial
antarsiswa.
Teori skema menyebutkan bahwa proses belajar terjadi bilamana informasi
baru ditambahkan pada pengetahuan sebelumnya. Semakin banyak informasi yang
ada dalam pengetahuan awalnya, maka semakin mudah bagi siswa membuat
hubungan antara apa yang telah diketahui dan apa yang sedang dipelajari.
Rosenblatt (1988) mengatakan proses yang terjadi antara skema dan stimulus
tersebut sebagai proses transaksi. Hasil transaksi ini merupakan suatu skemata
yang dibangun sendiri oleh siswa. Dikatakan dibangun sendiri karena skemata
tersebut tidak sama dengan stimulus yang masuk. Hal ini terjadi karena selama
proses transaksi berlangsung, terjadi suatu tarik ulur (interplay) antara skema dan
stimulus. Hasilnya adalah suatu skemata baru yang memperkaya skema yang ada.
Pandangan ini sekaligus mematahkan keyakinan para behavioris yang menyatakan
bahwa belajar adalah suatu proses transfer (pemindahan) ilmu dari seseorang (atau
medianya) kepada orang lain melalui pemberian stimulus yang berulang-ulang
hingga terbentuk suatu kebiasaan. Pandangan konstruktivis justru menunjukkan
bahwa perkembangan ilmu pengetahuan terjadi karena adanya pemikiranpemikiran baru yang lahir sebagai akibat terjadinya proses transformasi ilmu
pengetahuan. Proses transformasi itu menyebabkan ilmu pengetahuan terus
berkembang.
Pendekatan reflektif dalam pengembangan profesi keguruan (Wallace,
1991) menyumbangkan konsep tentang pentingnya dilakukan refleksi dalam
proses belajar. Dengan latar belakang pengetahuan yang dimiliki (knowledge
background) dan pengalaman (experiential background), guru secara terusmenerus mendapatkan masukan mengenai kelebihan dan kekurangannya. Dari
masukan itu, guru dapat memperbaiki kinerjanya. Refleksi ini meningkatkan
pemahaman yang mengarah pada cara-cara pengajaran yang lebih baik.
Asesmen portofolio sesuai dengan teori-teori di atas karena (1) menilai
performansi yang menunjukkan hasil dari suatu konstruksi makna, (2) bersifat
kolaboratif karena diperlukan interaksi dan dukungan dari orang lain untuk
______________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 1 TH. XXXVII Januari 2004
ISSN 0215 - 8250
19
mendapatkan hasil yang berkualitas, (3) membimbing siswa menjadi peneliti, (4)
menunjukkan perkembangan siswa dari waktu ke waktu, (5) memberikan penilaian
yang tinggi perkembangan pengetahuan dan aplikasi dari apa yang dipelajari, dan
(6) memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan asesmen dan refleksi
diri, yang menunjang kemampuan reflektif terhadap latihan yang dilakukan.
2.3 Elemen-Elemen Dasar Portofolio
O’Malley dan Valdez Pierce (1996) menyebutkan tiga elemen penting
dalam suatu portofolio, yaitu (1) sampel karya siswa, (2) evaluasi diri, dan (3)
kriteria penilaian yang jelas dan terbuka.
(1) Sampel Karya Siswa
Sampel karya siswa menunjukkan perkembangan belajarnya dari waktu ke
waktu. Sampel tersebut dapat berupa tulisan/karangan, audio, video, laporan,
problem matematika, eksperimen, dan artefak. Isi sampel tersebut disusun secara
sistematis tergantung pada tujuan pembelajaran, preferensi guru, maupun
preferensi siswa. Asesmen portofolio menilai proses maupun hasil. Oleh karena
itu, proses dan hasil sama pentingnya. Meskipun asesmen ini bersifat
berkelanjutan, yang berarti proses mendapatkan porsi penilaian yang besar
(bandingkan dengan asesmen konvensional yang hanya menilai hasil belajar),
kualitas hasil sangat penting. Laporan dari San Diego (Moya dan O’Malley, 1994)
menyebutkan bahwa penilaian proses yang dilakukan tersebut memberikan
kesempatan kepada siswa untuk mencapai hasil sebaik mungkin.
Tierney, Carter, dan Desai yang dikutip oleh O’Malley dan Valdez Pierce
mengatakan bahwa portofolio pada dasarnya bersifat individual, dalam arti, dapat
memenuhi tujuan kelas maupun tujuan individu siswa. Oleh karena itu, tidak
mungkin ada dua portofolio yang sama persis. Meski demikian, perlu ditentukan
cara menyusun sampel tersebut sehingga memudahkan proses asesmen dan
pelaporannya (sharing) kepada orangtua ataupun pihak-pihak yang
berkepentingan. Wyaatt dan Looper (1999) mengatakan ada tiga jenis portofolio
berdasarkan teknik penyusunannya yaitu portofolio karya terbaik, portofolio
perkembangan, dan portofolio berdasarkan topik.
______________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 1 TH. XXXVII Januari 2004
ISSN 0215 - 8250
20
Portofolio karya terbaik (bestwork portfolio) adalah portofolio mengenai
karya-karya terbaik yang dihasilkan oleh siswa. Mengingat portofolio bersifat
kolaboratif sekaligus individual, pemilihan karya terbaik dilakukan siswa bersama
dengan temannya (peer evaluation) maupun guru (dalam student-teacher
conferences). Dalam konferensi dengan siswa, guru biasanya menanyakan kenapa
dia memilih karya tersebut sebagai karya terbaiknya. Refleksi ini dapat pula
dilakukan secara tertulis.
Portofolio perkembangan (developmental portfolio) berisi informasi
mengenai proses yang dilalui siswa dalam mencapai suatu karya tertentu.
Portofolio ini menunjukkan bagaimana siswa berkembang sebagai seorang
pebelajar dari waktu ke waktu. Dengan mengamati portofolionya, dapat dilihat
kelebihan dan kelemahan siswa, serta apa yang dilakukan untuk memperbaiki
kelemahan yang ada. Oleh karena itu, asesmen portofolio perkembangan bersifat
formatif.
Portofolio berdasarkan topik pada dasarnya bersifat lebih terfokus karena
semua berkas di dalam portofolio adalah tentang topik yang dimaksud. Portofolio
ini lebih memudahkan guru mengetahui sejauh mana kemampuan siswa dalam
materi tertentu. Portofolio untuk satu pokok bahasan, misalnya, dapat
dikategorikan sebagai portofolio topik.
Pada prinsipnya, proses belajar yang terjadi dalam menyusun ketiga jenis
portofolio tersebut tidaklah jauh berbeda karena, untuk mendapatkan suatu karya
terbaik, misalnya, siswa tetap harus melalui proses perkembangan tertentu.
Perbedaan ketiga jenis portofolio ini lebih banyak disebabkan oleh tujuan yanag
hendak dicapai dalam menggunakan portofolio dalam proses.
(2) Evaluasi Diri dalam Asesmen Portofolio
Menurut Routman (1991), evaluasi diri merupakan analisis terhadap sikap
dan proses belajar siswa. Informasi tersebut dapat digunakan untuk meningkatkan
perkembangan dan proses belajar yang berkelanjutan. Dalam asesmen portofolio,
evaluasi diri merupakan komponen yang sangat penting. Sehubungan dengan itu,
O’Malley dan Valdez Pierce (1996) bahkan mengatakan bahwa … “selfassessment is the key to portfolio”. Hal ini disebabkan karena melalui evaluasi diri
______________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 1 TH. XXXVII Januari 2004
ISSN 0215 - 8250
21
siswa dapat membangun pengetahuannya serta merencanakan dan memantau
perkembangannya apakah rute yang ditempuhnya telah sesuai. Melalui evaluasi
diri, siswa dapat melihat kelebihan maupun kekurangannya, untuk selanjutnya
kekurangan ini menjadi tujuan perbaikan (improvement goal). Dengan demikian,
siswa lebih bertanggung jawab terhadap proses belajarnya dan pencapaian tujuan
belajarnya.
O’Malley dan Valdez Pierce selanjutnya mengatakan ada tiga jenis
evaluasi diri yang menunjukkan sifat asesmen itu sendiri. Pertama, evaluasi diri
bersifat dokumentatif. Dalam hal ini, siswa memberikan justifikasi terhadap apa
yang telah dihasilkannya. Misalnya, siswa memilih satu karangan sebagai karya
terbaiknya. Siswa tersebut menyertakan alasan kenapa dia memilih karangan itu
sebagai karya terbaiknya. Kedua, evaluasi diri bersifat komparatif. Dalam hal ini,
siswa membandingkan karyanya dengan karya terdahulu dan menemukan
kelebihan-kelebihan dari karyanya. Ketiga, evaluasi diri bersifat integratif. Dalam
hal, ini portofolio berfungsi secara lebih umum yaitu sebagai contoh atau bukti
atas kemajuan yang telah dicapai.
Salvia dan Ysseldike (1994) menekankan bahwa refleksi dan evaluasi diri
merupakan cara untuk menumbuhkan rasa kepemilikan (ownership) siswa
terhadap proses dan hasil belajarnya. Siswa akan mengerti bahwa apa yang
dilakukannya dan dihasilkannya melalui proses belajar tersebut memang
merupakan hal yang berguna bagi diri dan kehidupannya. Rasa kepemilikan ini
pada gilirannya akan memicu situasi kondusif pada diri siswa melalui munculnya
minat dan motivasi belajar yang lebih tinggi.
(3) Kriteria Penilaian yang Jelas dan Terbuka
Bila pada praktik asesmen konvensional kriteria penilaian menjadi
‘rahasia’ guru ataupun tester, dalam asesmen portofolio justru harus
disosialisasikan kepada siswa secara jelas. Kriteria tersebut dalam hal ini
mencakup prosedur dan standar penilaian. Para ahli menganjurkan bahwa sistem
dan standar asesmen tersebut ditetapkan bersama-sama dengan siswa, atau paling
tidak diumumkan secara jelas. Adanya kriteria penilaian terkait dengan tujuan
pembelajaran. Salvia dan Ysseldyke (1994) mengatakan bahwa dalam portofolio
______________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 1 TH. XXXVII Januari 2004
ISSN 0215 - 8250
22
harus jelas tujuan dan ranah belajar yang hendak dicapai. Karena asesmen bersifat
komprehensif, maka tujuan pembelajaran dapat meliputi lebih dari satu ranah dan
multidimensi, yaitu asesmen pada proses ataupun konstruk (McLaughin dan Vogt,
1996). Bila proses melibatkan siswa dan guru yang bekerja secara kolaboratif
dalam membangun portofolio, konstruk adalah folder, binder , ataupun kotak
tempat bahan-bahan asesmen dikumpulkan.
Vignet berikut memberikan ilustrasi bagaimana ketiga elemen dasar
portofolio di atas diterapkan dalam pembelajaran menulis bahasa Inggris, yaitu
pada mata kuliah Writing II pada Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris IKIP Negeri
Singaraja yang dibimbing oleh penulis sendiri.
Evaluasi diri dan refleksi diri dilakukan secara teratur untuk setiap draf
tulisan yang diselesaikan. Untuk melakukan evaluasi diri, mahasiswa memiliki
sejumlah ceklis tentang komponen-komponen kemampuan kognitif dan linguistik
yang mendukung kemampuan menulis. Misalnya, Grammar Checker adalah
sebuah ceklis yang digunakan untuk menilai penggunaan tatabahasa. Dalam ceklis
tersebut terdapat kolom untuk sejumlah deskriptor tatabahasa dan kolom ‘yes’ dan
‘no’. Sebagai contoh, sebuah deskriptor berbunyi ‘S-V Agreement’. Jika
mahasiswa menemukan kesalahan kesesuaian subjek kalimat dengan predikatnya,
maka dia akan memberi tanda rumput pada kolom ‘no’. Ini sekaligus berarti dia
harus memperbaiki kesalahan tersebut. Demikian seterusnya hingga mahasiswa
puas dengan tulisannya dan menyimpan karyanya itu dalam foldernya. Ini adalah
suatu kegiatan penilaian dalam proses. Penilaian proses yang lain adalah
konferensi mahasiswa dengan dosen, dimana dosen mencatat dan memberi nilai
terhadap kemampuan menulis mahasiswa berdasarkan karyanya dan hasil
konferensi.
Penilaian terhadap kemampuan menulis menggunakan suatu instrumen
utama berupa sebuah rubrik penilaian. Rubrik tersebut terdiri atas beberapa
komponen kemampuan menulis, yang meliputi dua komponen kognitif (isi dan
organisasi karangan) dan tiga komponen berbahasa (struktur kalimat, kosakata dan
gaya berbahasa, dan mekanik). Setiap komponen dikembangkan dalam empat
deskriptor berjenjang. Deskriptor pertama menunjukkan kualitas optimal yang
diharapkan. Suatu tulisan yang memenuhi deskriptor pertama ini mendapat skor
______________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 1 TH. XXXVII Januari 2004
ISSN 0215 - 8250
23
empat. Sebelum digunakan, terlebih dahulu rubrik tersebut disosialisasikan dan
didiskusikan dengan mahasiswa. Setiap mahasiswa juga menyimpan rubrik
tersebut sebagai salah satu ceklis evaluasi diri.
3. Penutup: Portofolio atau Bukan?
Untuk dapat secara jelas mengetahui tentang asesmen portofolio, maka
pertanyaan di atas perlu diajukan setiap kali berbicara mengenai asesmen
portofolio. Poulson dan Poulson dalam artikelnya berjudul “What Makes a
Portfolio a Portfolio?” (dalam Fogarty, 1996) mengatakan bahwa portofolio dapat
disebut sebagai suatu pendekatan asesmen apabila (1) mampu memberikan
informasi secara komprehensif mengenai performansi siswa dalam konteks; (2)
siswa adalah peserta dalam, bukan objek dari proses asesmen (bandingkan dengan
asesmen konvensional); (3) menyediakan forum bagi siswa untuk
mengembangkan kemampuan-kemampuan yang dimiliki agar dapat menjadi
pebelajar yang independen dan mampu mengarahkan diri-sendiri. Jika ketiga hal
tersebut terpenuhi, maka sebuah portofolio (kumpulan karya) adalah portofolio
(menunjukkan perkembangan siswa sebagai pebelajar).
Bagi para guru yang hendak menggunakan asesmen portofolio dalam
pembelajarannya, tiga hal di atas dapat digunakan sebagai titik tolak dalam
merencanakan kegiatan asesmennya. Dari kegiatan tersebut akan berkembang
kebutuhan pada hal-hal yang bersifat teknis pelaksanaannya. Bagi para pengawas
dan penilik, tiga acuan di atas dapat memberikan landasan dalam menilai kinerja
guru yang menggunakan asesmen portofolio. Hal ini penting mengingat seringkali
terjadi salah pengertian antara guru dan pengawasnya (termasuk kepala
sekolahnya) hanya karena kedua belah pihak tidak menggunakan landasan yang
sama dalam memandang suatu fenomena pembelajaran.
______________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 1 TH. XXXVII Januari 2004
ISSN 0215 - 8250
24
REFERENSI
Delors, J. 1996. Learning: The Treasure Within. France: UNESCO Publishing.
Mc.Laughin, M. & Vogt, M. 1996. Portfolios in Teacher Education. Delaware:
International Reading Association.
Moya, S.S. & O’Malley, J.M. 1994. A Portfolio Model for ESL;. The Journal of
Educational Issues of Language Minorities. Vol. 13 (Spring). 13-36.
O’Malley, J.M. & Valdez Pierce, L. 1996. Authentic Assessment for English
Language Learners. New York: Addison-Wesley Publishing Company.
Paulson F.L. and Paulson P.R. 1996. ‘Assessing Portfolios Using the
Constructivist Paradigm’ in R. Fogarty (Ed.). Student Portfolios, A
Collection of Articles. Victoria, Australia: Hawker Brownlow Education.
Paulson, F.L., Paulson, P.R., & C.A. Meyer 1996. ‘What makes a portfolio a
portfolio?’ in R. Fogarty (Ed.). Student Portfolios, A Collection of Articles.
Victoria, Australia: Hawker Brownlow Education.
Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi.
Jakarta
Rosenblatt, L. 1988. The Reader, the Text, the Poem. New Jersey: Macmillan.
Routman, R. 1991. Invitations, Changing as Teachers K-12. New Hampshire:
Heinemann.
Salvia, J. & Ysseldyke, J.E. 1996. Assessment. 6th Edition. Boston: Houghton
Mifflin Company.
Suparno. Paul. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta:
Kanisius.
Wallace, R. 1991. The Reflective Approach to professional Teaching
Development. Sydney: Mc.Millan.
Wyaatt III, R.L. & Looper, S. 1999. So You Have to Have A Portfolio, a Teacher’s
Guide to Preparation and Presentation. California: Corwin Press Inc.
______________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 1 TH. XXXVII Januari 2004
Download