128 Perbandingan Penyelenggaraan Pemilihan Umum Legislatif Era Reformasi di Indonesia PERBANDINGAN PENYELENGGARAAN PEMILIHAN UMUM LEGISLATIF ERA REFORMASI DI INDONESIA Bismar Arianto1 Abstract Throughout the era of reformation there has been three times of legislative elections of 1999, 2004, and 2009. With the changing rules of electoral systems, each had brought its implication on the mechanism and quality itself. Based on the phenomenon was this research conducted. Results show significant difference from one election to another and the district tending system with multirepresentative members, as well. Key words : legislative elections, rules of electoral systems A. Latar Belakang Kajian yang akan penulis lakukan ini berjudul Perbandingan Penyelenggaraan Pemilihan Umum Legislatif Era Reformasi Di Indonesia. Sebelum penulis menjelaskan tentang latar belakang penulis tertarik untuk melakukan kajian ini, penulis akan menjelaskan atau memberikan pemahaman tentang judul tulisan ini terlebih dahulu. Penyelenggaraan pemilihan umum legislatif era reformasi di Indonesia maknanya adalah pemilihan umum yang dilaksanakan sejak mulainya era reformasi di Indonesia. Era reformasi adalah masa atau periode pasca jatuhnya Presiden Soeharto akibat gerakkan mahasiswa 1997-1998. Pasca tumbangnya rezim otoritarian itulah dikenal dengan sebutan era reformasi. Sejak era reformasi sudah dilaksanakan tiga kali pemilihan umum legislatif (pileg) yaitu tahun 1999, 2004 dan 2009. Kajian ini penulis bermaksud ingin membandingkan penyelenggaraan pileg di era reformasi dilihat dari undang-undang yang 1 Dosen Ilmu Pemerintahan FISIP UMRAH mengatur tentang pileg tersebut. Ketiga undang-undang itu adalah Undang-undang No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum yaitu undang-undang yang mengatur penyelenggaraan pileg tahun 1999, kemudian Undang-undang No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah merupakan undang-undang yang mengatur penyelenggaraan pileg tahun 2003, serta Undang-undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah merupakan undang-undang yang menjadi acuan pelaksanaan pileg 2009. Penyelenggaraan pemilu berdasarkan ketiga undang-undang ini yang ingin penulis bandingkan. Secara materi tidak semua isi undang-undang tersebut yang akan penulis bandingkan, tetapi hanya pada materi tertentu yang sangat memiliki pengaruh terhadap kualitas pemilu dan dampak yang ditimbulkan dari penyelenggaraan pileg tersebut. Subtansi 127 Jurnal FISIP UMRAH Vol. 2, No. 2, 2011 : 126 - 140 undang-undang pileg yang akan penulis bandingkan dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 1.1. Materi Undang-undang yang akan diperbandingkan Sumber : Data olahan 2011 Berdasarkan pemaparan di atas diharapkan bisa dipahami arah dari tulisan ini. Ada empat pertimbangan utama penulis tertarik untuk melakukan kajian ini. Pertama, sejak negara Indonesia terbentuk sudah dilaksanakan sebanyak sepuluh kali pileg. Pemilu legislatif pertama tahun 1955 ini adalah pemilu pada masa orde lama kemudian 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997 ini adalah pemilu pada masa orde baru, selanjutnya tahun 1999, 2004 dan 2009 adalah pileg di era reformasi. Sebagian besar dari pelaksanaan pileg tersebut belum mencapai esesensi dari pelaksanaan pemilu. Pemilu dalam suatu negara yang demokratis mempunyai arti penting : pertama, merupakan mekanisme seleksi kepemimpinan yang demokratis, kedua, merupakan mekanisme bagi berlangsungnya sirkulasi elit, dan ketiga, merupakan persaingan seseorang dalam merebut kekuasan secara damai, etis dan beradab. Idealnya pemilu harus dapat menjadi jembatan transfer of power dan power compitition yang berlangsung dalam karangka yang demokratis damai dan beradab (J. Kristiadi ; 2004). 128 Perbandingan Penyelenggaraan Pemilihan Umum Legislatif Era Reformasi di Indonesia Tiga arti penting dari pemilu itu belum terwujud karena kuatnya intervensi rezim dalam pelaksanaan pileg terutama pada era orde baru. Penjelasan ini diperkuat dengan pendapat Lili Romli yang mengatakan “jika sebelumnya pada masa Orde Baru partisipasi politik masyarakat dimobilisasi oleh rezim penguasa, maka saat ini variabel partisipasi itu bisa dikatakan hanya tinggal kemauan masyarakat saja”(Seputar Indonesia, Selasa, 7 Juli 2009). Maknanya jika pelaksanaan pemilu dimobilisasi oleh rezim yang berkuasa maka pelaksanaan pemilu tersebut bisa dipastikan tidak berlangsung fair. Maka secara otomatis akan menguntung rezim pasa masa itu. Kondisi seperti inilah yang terjadi pada era orde baru. Pertimbangan kedua, pemilu adalah salah satu cara untuk mencapai konsensus politik (kesepakatan politik). Maswardi Rauf mengatakan pemilu adalah salah satu cara untuk mencapai konsensus politik, selain musyawarah dan pemungutan suara (voting) (Maswardi Rauf ; 2001;35 -41). Dari penjelasan itu digambarkan bahwa pemilu adalah salah satu sarana untuk menyelesaikan konflik politik secara persuasif. Pada kasus pemilu 1999, apa yang dilakukan oleh pemerintah pada era itu adalah bagian dari upaya untuk menyelesaikan konflik politik, di mana masyarakat tidak percaya dengan pemerintah yang berkuasa. Dalam pandangan penulis Presiden Habibi sebagai pengganti Soeharto memilih tidak menjalani seluruh masa tugas tapi lebih memilih untuk mempercepat penyelenggaraan pemilu demi mempercepat berakhirnya antipati masyarakat pada pemerintah. Pertimbangan ketiga, ada perbedaan yang mendasar antara pemilu era reformasi dengan pemilu sebelumnya. Pada pemilu sebelumnya terutama pada pemilu di zaman orde baru masyarakat hanya memilih lambang partai politik peserta pemilu, calon terpilih diserahkan kepada mekanisme partai tersebut dan berdasarkan nomor urut. Sedangkan pada tiga pemilu terakhir (pemilu 1999, 2004 dan 2009) masyarakat memilih lambang partai atau calon dan yang terpilih berdasarkan suara terbanyak. Alasan keempat penulis tertarik melakukan kajian ini adalah acuan pelaksanaan pemilu adalah undang-undang yang mengatur tentang pemilu. Setiap pemilu pasca reformasi undang-undang pemilu selalu berubah atau tidak sama. Perubahan ini tentunya ingin mewujudkan penyelenggaraan pemilu yang lebih baik. Karena selalu berubah maka menurut penulis penting untuk dibandingkan ketiga undang-undang ini untuk mencari persamaan, perbedaan, perbaikan dan dampak dari perubahan tersebut baik bagi penyelenggaraan maupun dampak dari hasil pemilu tersebut. Berangkat dari empat pertimbangan inilah penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “Perbandingan Penyelenggaraan Pemilihan Umum Legislatif Era Reformasi Di Indonesia”. B. Perumusan Masalah Penelitian Berdasarkan pertimbangan/alasan penulis melakukan kajian ini yang dikemukan di atas, maka permasalahan penelitian ini menimbul pertanyaan penelitian bagaimana perbandingan tiga undang-undang penyelenggaraan pemilihan legislatif era reformasi di Indonesia? C. Tujuan Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menjelaskan bagaimana perbandingan penyelenggaraan pemilihan legislatif era reformasi di Indonesia. D. Konsep Teori D.1. Konsep Pemilihan Umum D.1.1. Defenisi Pemilihan Umum Banyak para ahli yang memberikan arti atau definisi tentang pemilihan umum. Menurut Ali Murtopo pemilu adalah sarana yang tersedia bagi rakyat untuk menjalankan kedaulatannya dan merupakan lembaga Jurnal FISIP UMRAH Vol. 2, No. 2, 2011 : 126 - 140 demokrasi. Kemudian menurut Manuel Kaisepo pemilu memang telah menjadi tradisi penting dalam berbagai sistem politik di dunia, penting karena berfungsi memberi legitimasi atas kekuasaan yang ada dan bagi rezim baru, dukungan dan legitimasi inilah yang cari (Ali Murtopo, 1981;179,). William Liddle menyatakan dalam sistem pemerintahan demokrasi, pemilu sering dianggap sebagai penghubung antara prinsip kedaulatan rakyat dan praktek pemerintahan oleh sejumlah elit politik. Setiap warga negara yang telah dianggap dewasa dan memenuhi persyaratan menurut undangundang, dapat memilih wakil-wakil mereka di parlemen, termasuk para pemimpin pemerintahan (dalam Toni Adrianus Pito dkk, 2006; 298) Ahli lain Nohlen mengatakan bahwa pemilu adalah satu-satunya metode demokratik untuk memilih wakil rakyat. Pendapat lain mengenai defenisi pemilihan umum dikemukan oleh Giovanni Sartori yang mengatakan sistem pemilihan umum adalah serangkaian aturan yang menurutnya pemilihan mengekpresikan preferensi politik mereka, dan suara dari pemilih diterjemahkan menjadi kursi dalam Toni Adrianus Pito dkk, 2006; 298-299). Pendapat lain disampaikan oleh Samuel Huntington pemilu merupakan media pembangunan partisipasi politik rakyat dalam negara modern. Partisipasi politik merupakan arena seleksi bagi rakyat untuk mendapatkan jabatanjabatan penting dalam pemerintahan (dalam Toni Adrianus Pito dkk, 2006; 298-290). 129 D.1.2. Sistem Pemilihan Umum Sistem Pemilu secara sederhana adalah instrumen untuk menterjemahkan perolehan suara di dalam pemilu kedalam kursi-kursi yang dimenangkan oleh partai atau calon. Sistem pemilu dalam kajian ilmu politik bermacam-macam dengan berbagai variasi, namun secara umum dapat dibagi kedalam dua macam yaitu sistem distrik dan sistem proporsional (Kacung Marijan ; 2010;83). Sistem distrik adalah sistem dimana satu daerah pemilihan memilih satu wakil atau dikenal juga dengan sebutan single member constituency. Sedangkan sistem proporsional adalah sistem pemilu dimana dari satu daerah pemilihan memilih beberapa wakil atau dikenal juga dengan sebutan sistem perwakilan berimbang (multi member constituency) (Kacung Marijan ; 2010;83). Memang ada beberapa variasi tentang sistem pemilihan umum diantaranya Block Vote (BV), Alternative Vote (AV), sistem dua putaran atau Two Round System (TRS), sistem paralel, Limated Vote (LV), Single Non-Tranferable Vote (SNTV), Missed Member Proporsional (MMP) dan Single Tranferable Vote (STV). Namun jika dikelompokkan tiga pertama BV, AV dan TRS lebih dekat ke sistem distrik, sedangkan yang lainnya lebih dekat ke sistem proporsional atau semi proporsional. Kacung Marijan dalam bukunya Sistem Politik Indonesia, Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde Baru merangkum pendapat para ahli serta mengkalisifikasi sistem 130 Perbandingan Penyelenggaraan Pemilihan Umum Legislatif Era Reformasi di Indonesia pemilu kedalam tiga rumpun besar berikut ini : 1. Rumpun Distrik a. Firt past the post (FPTP) : dalam sistem ini pemenang pemilu atau calon terpilih adalah calon suara terbanyak b. The two roun system (TRS): pemenangnya adalah calon suara terbanyak, jika tidak ada dilanjutkan pada putaran kedua c. The alternative vote (VT) : sama dengan FPTP tapi pemilih diberi kebebebasan untuk merangking calon/ kandidat, yang terpilih yang adalah yang paling tinggi rangkingnya d. Block vote (BV) : pada sistem ini pemilih bisa memilih calon individu yang ada di daftar calon e. Party block vote (PBV) : sistem ini sama dengan BV cuma pemilih hanya memilih partai 2. Rumpun Proporsional a. List proporsional presenta- tion (List PR) : pada sistem ini partai mengajukan calon, pemilih memilih partai yang terpilih berdasarkan nomor urut b. The single transferable vote (STV) : dalam sistem ini sama dengan AV, tapi pemenangnya berdasarkan kuota 3. Rumpun Campuran (mixed system) a. Mixed member proporsional (MPP) : pada sitem ini sistem proporsional dipakai untuk memberi kompensasi jika adanya disproporsionalitas dalam pembagian kurasi berdasarkan distrik b. Parallel system (Sistem Paralel) : sedangkan sistem ini sistem proporsional dan distrik dijalankan secara bersama-sama Secara sederhana berbagai klasifikasi sistem pemilu yang dikemukan oleh Kacung Marijan di atas dapat dilihat pada bagan berikut ini; Dari pemaparan di atas banyak konsep teori tentang sistem pemilihan umum, namun 131 Jurnal FISIP UMRAH Vol. 2, No. 2, 2011 : 126 - 140 Bagan 1.1. Rumpun Sistem Pemilu Sumber : Kacung Marijan, 2010 ; 85 secara keseluruhan dalam kajian ilmu politik hanya ada dua kelompok besar yaitu sistem distrik dan proporsional. Untuk mengetahui keuntungan dan kelemahan sistem distrik dan proporsional ini, dapat dilihat pada tabel berikut ini ; Dari tabel di atas terlihat keuntungan dan kelemahan pada pemilu yang menggunakan Tabel 1.2 Keuntungan dan Kelemahan Sistem Distrik 132 Perbandingan Penyelenggaraan Pemilihan Umum Legislatif Era Reformasi di Indonesia Sumber : dalam Miriam Budiardjo 2008, hal 470-471 sistem distrik. Tabel berikut ini berisikan data tentang keuntungan dan kelemahan pemilihan umum yang dilaksanakan dengan sistem proporsional ; D.2. Tinjauan Penelitian Sebelumnya Tabel 1.3 Keuntungan dan Kelemahan Sistem Proporsional 133 Jurnal FISIP UMRAH Vol. 2, No. 2, 2011 : 126 - 140 Sumber : dalam Miriam Budiardjo 2008, hal 470-471 Kajian tentang pemilu cukup banyak dilakukan peneliti sebelumnya. Diantaranya R. William Liddle, dalam buku yang berjudul Pemilu-Pemilu Orde Baru Pasang Surut Kekuasaan Politik. Liddle menunjukkan bagaimana rangkaian Pemilu tersebut mencerminkan proses electoral yang dikelola serta dikendalikan secara sangat berencana dan ketat. Untuk menegaskan keabsahan pemerintah kepada rakyatnya dan dunia luar, sementara pada yang bersamaan menghindari sejauh mungkin pertarungan diantara kekuatan-kekuatan politik yang bersaing. Buku ini merupakan semacam reakaman sejarah mengenai bagaimana pemerintah Orde Baru yang merupakansatu-satunya pemerintah dalam perjalanan panjang bangsa Indonesia yang duduk di kursi pemerintahan melalui proses pemilihan umum secara bertahap melalui berbagai strategi lembaga serta doktrin politik dan ekonomi meneguhkan kekuasaannya diatas landasan yang sangat kokoh, stabil dan efektif (R William Liddle ; 1992). Kajian lain tentang pemilu ditulis oleh Koirudin. Dalam bukunya Kilas Balik Pemilihan Presiden 2004, menjabarkan bahwa buku ini merupakan salah satu dokumen dan kajian pemilihan umum 2004 dengan harapan dapat bermanfaat untuk pemilihan umum yang akan datang melalui perubahan amandemen Undang-Undang Pemilu dan Undang-Undang pemilihan Presiden. Sehingga pelaksanaan pemilihan umum untuk masa yang akan datang dapat dilaksanakan lebih demokratis lagi (Koirudin; 2004). Penelitian yang hampir sama dengan yang penulis lakukan ini pernah ditulis oleh Suda Wirrahmi. Penelitian tersebut berjudul Penyelenggaraan Pemilu di Indonesia Studi Kasus Perbandingan Undang-undang No. 12 Tahun 2003 dengan Undang-undang No. 10 Tahun 2008. Penelitian ini dilakukan tahun 2009. Ada dua tujuan utama penelitian ini yaitu ; menjelaskan elemen-elemen dan variabel dalam pemilu di Indonesia, kemudian merumuskan dan menjelaskan perbedaan yang terdapat dalam Undang-undang No. 12 Tahun 2003 dengan Undang-undang No. 10 Tahun 2008. Penelitian ini menyimpulkan (Suda Wirrahmi ; 2009) ; 1. Suara terbanyak meneguhkan kedaulatan di tangan rakyat, sistem suara terbanyak merupakan esensi dalam sistem demokrasi, dengan sistem suara terbanyak aspirasi rakyat terwakili dan tersalurkan. 2. Sistem suara terbanyak membuka peluang bagi seluruh kontestan pemilu untuk terpilih menjadi anggota legislatif. 3. Kandidat/caleg berupaya semaksimal mungkin membentuk citra positif. 4. Keputusan MK tentang suara terbanyak bisa memutus mata rantai oligarkhi pimpinan partai politik dalam penentuan caleg. 134 Perbandingan Penyelenggaraan Pemilihan Umum Legislatif Era Reformasi di Indonesia 5. Sistem pemilu yang berdasarkan nomor urut hanya menguntungkan para caleg yang dekat dengan pimpinan partai politik. 6. Sistem suara terbanyak mendekatkan caleg dengan pemilih/rakyat. 7. Hasil Pemilu 2009 sangat tergatung pada sistem pemilu yang digunakan. 8. Sistem suara terbanyak juga bisa berdampak negatif dimana turunnya kualitas legislatif, karena caleg yang terpilih sebagain besar karena ketokohannya bukan karena kemampuanya. Dari kajian tentang pemilu yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya terlihat terjadi perubahan dalam proses pemilu dari masa ke masa. Perubahan ini bisa memperkuat rezim yang berkuasa atau perubahan kearah yang lebih demokratis. Dalam konteks pemilu di Indonesia, perubahan itu arahnya lebih kearah pemilu yang lebih baik dan lebih demokratis. Penelitian yang akan penulis lakukan ini berbeda dengan peneliti sebelumnya yang telah diuraikan di atas. Penelitian ini akan membahas tiga undang-undang pemilu di Indonesia tepatnya undang-undang pemilu di era reformasi. Penelitian ini akan menampilkan persamaan, perbedaan keunggulan dan titik lemah dari ketiga undang-undang tersebut. E. Metode Penelitian Penelitian adalah proses mencari sesuatu secara sistematis dalam waktu tertentu dengan mengunakan metode ilmiah serta aturan penelitian. Metodologi adalah cara-cara atau langkah-langkah yang akan ditempuh dalam melakukan penelitian ini. Metodologi berfungsi untuk menjaga penelitian ini bisa dianggap sebagai penelitian ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan kebenaran informasi yang didapat darinya. Untuk itu, diperlukan beberapa langkah sehingga penelitian ini menjadi penelitian ilmiah. E.1. Jenis Penelitian Penelitian yang akan penulis lakukan ini masuk dalam kategori penelitian keperpustakaan (library research). Dalam penelitian penulis mengunakan metode komparatif. Penelitian ini akan melakukan perbandingan tiga undang-undang pemilu yang dilaksanakan di era reformasi. Berdasarkan perbandingan tersebut akan dilakukan interpretasi berdasarkan teori yang digunakan sehingga dapat diambil sebuah kesimpulan yang ilmiah. E.2. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah telaah pustaka. Teknik ini dilakukan dengan pengumpulan berupa literatur atau buku merupakan data primer atau pokok dalam penelitian ini. Data tersebut bisa berupa undang-undang, buku, jurnal, majalah, koran, artikel hasil pemungutan suara pemilu legislatif, data statistik serta berbagai sumber lainnya yang terkait dengan penelitian ini. E.3. Teknik Analisa Data Teknik analisa data dalam penelitian ini menggunakan analisa secara deskriptif kualitatif. Teknik ini hanya memaparkan dengan kata-kata tanpa melakukan uji statistik. Metode kualitatif merupakan sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orangorang yang perilaku dapat diamati (Jalaluddin Rakhmat, 2004;5). Data yang didapatkan dari temuan penelitian akan dijabarkan secara gamblang, data tersebut akan dianalisis dengan mendalam sehingga akan diperoleh suatu kesimpulan yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan. F. Pembahasan Sepanjang era reformasi sudah dilakukan tiga pemilihan umum legislatif di Indonesia. Pemilu 1999 diikuti sebanyak 48 partai politik, pada pemilu 2004 dikuti oleh 24 partai politik dan pemilu 2009 dikuti oleh 41 partai politik nasional dan 6 partai politik lokal di Aceh. Pokok 135 Jurnal FISIP UMRAH Vol. 2, No. 2, 2011 : 126 - 140 bahasan dalam kajian ini akan memfokuskan atau membandingkan pada empat hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilihan umum legislatif era reformasi di Indonesia. Pertama, penyelenggara pemilihan umum, kedua, pencalonan anggota legislatif, ketiga, pemungutan suara dan keempat, penetapan hasil pemilihan umum. F.1. Penyelenggara Pemilihan Umum Legislatif Penyelenggara pemilihan umum legislatif yang akan dibandingkan terkait dengan organisasi pelaksana pemilu 1999 dengan pemilu 2004 dan 2009. Penyelengaraan pemilu legislatif 1999 secara yuridis diatur melalui Undang-undang No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum. Dalam undangundang ini organisasi penyelenggara pemilu diatur mulai dari Bab III tentang Penyelenggaraan dan Organisasi yaitu dari pasal 8 hingga pasa 23. Secara teknis pada pemilu legislatif 1999 dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum yang bebas dan mandiri, yang terdiri dari atas unsur partai-partai politik peserta pemilihan umum dan pemerintah, yang bertanggung jawab kepada Presiden. Pemilu legislatif 2004 berpedoman pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pelaksana pemilu diatur dalam sejak Bab IV Penyelenggara Pemilihan Umum mulai dari pasal 15 hingga pasal 45. Secara teknis yang menyeleggarakan pemilu adalah KPU yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Untuk tingkat pusat anggota KPU berjumlah 11 orang dan di tingkat provinsi, kabupaten/kota berjumlah 5 orang. Undang-undang No 10 tahun 2008 adalah landasan yuridis pelaksanaan pileg 2009. Pengaturan mengenai penyelenggara pemilu pada tahun 2009 diatur mulai dari pasal 9 yang berbunyi Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/ kota diselenggarakan oleh KPU. Pemaparan singkat di atas terlihat bahwa sejak era reformasi penyelenggara pemilu khususnya pemilu 2004 dan 2009 diserah kepada lembaga yang independen terpisah dari unsur pemerintah atau yang disebut dengan Komisi Pemilihan Umum. Ada perbedaan yang mendasar antar penyelenggara pemilu 1999 dengan pemilu 2004 dan 2009. Secara lebih jelas dapat dilihat pada tabel berikit ini. Tabel 1.4. Perbandingan Penyelenggara Pemilu Era Reformasi Sumber ; Olahan 2011 136 Perbandingan Penyelenggaraan Pemilihan Umum Legislatif Era Reformasi di Indonesia Data pada tabel di atas dari tiga pemilihan umum yang dilakukan di era reformasi di Indonesia dalam pandangan penulis dari aspek penyelenggara pemilu 2004 dan 2009 lebih demokratis dan jauh dari intervensi pemerintah dan partai peserta pemilu karena unsur anggota KPU berasal dari orang-orang yang independen dan diluar unsur partai dan pemerintah. Maka konflik intrest antara penyelenggara dan peserta akan bisa diminimalisir. F.2. Pencalonan Anggota Legislatif Pencalonan anggota legislatif ini dinilai penting karena terkait dengan mekanisme pencalonan dan persyaratan dan ketentuan yang harus dipenuhi oleh partai politik atau perseorangan seperti nomor urut calon perempuan dan kuota perempuan dalam daftar calon yang akan diusulkan dalam pemilu. Mekanismen pencalonan anggota legislatif pada pemilu 1999 diatur secara detail mulai dari pasal 41 hingga 45. Terkait dengan pencalonan anggota legislatif pada pemilu ini sepenuhnya menjadi kewenangan partai politik, kemudian dalam Partai Politik Peserta Pemilihan Umum dapat mengajukan namanama calon Anggota DPR, DPRD I, dan DPRD II, sebanyak-banyaknya 2 (dua) kali jumlah kursi yang telah ditetapkan dan penetapan nomor urut calon sepenuhnya menjadi kewenangan DPP partai politik. Ketentuan yang mengatur tentang penca- lonan anggota legislatif pada pemilu 2004 terdapat dalam pasal 60 hingga 70 Undangundang No 12 tahun 2003. Pada pemilu ini ada anggota legislatif yang berasal dari unsur partai yaitu DPR dan DPRD serta calon persorangan atau Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dimana setiap provinsi terdiri dari 4 orang. Pada pemilu tahun 2004 ini selain munculnya calon persorangan ada kewajiban partai politik untuk memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% dalam pengajuan calon angggota legislatif. Pemilu 2009 juga terjadi perbaikkan dalam proses pengajuan calon anggota legislatif dimana selain ada calon dari partai dan calon perseorang, dalam pemilu secara tegas diatur mengenai kuota 30% keterwakilan perempuan, dimana dari tiga orang calon yang diajukan partai politik harus ada minimal satu orang calon perempuan. Penjelasan singkat ini menggambar bahwa pada pemilu 1999 hanya ada anggota legislatif yang berasal dari partai politik, kemudian pada pemilu 2004 dan 2009 untuk nasional ada calon yang berasal dari calon perorangan atau yang di sebut dengan DPD. Kemajuan lain pada pemilu 2004 ada kuota 30% bagi calon perempuan dan 2009 partai diwajibkan mengusulkan calon legislatif perempuan menimal 1 orang dari tiga calon yang diajukan. Secara terperinci perbandingan dari aspek pengajuan calon anggota legislatif pada pemilu era reformasi dapat dilihat pada tabel berikut ini : Tabel 1.5. Perbandingan Pengajuan Calon Anggota Legislatif 137 Jurnal FISIP UMRAH Vol. 2, No. 2, 2011 : 126 - 140 Sumber ; Olahan 2011 F.3. Pemungutan Suara Pokok pembahasan pada sub bahasan ini terkait dengan mekanisme cara pencoblosan atau pemilihan. Dari ketiga pemilu yang dilakukan pada era reformasi mekanisme pemungutan suara pada dasarnya sama dimana pemilih harus memilih atau mencoblos salah satu tanda gambar partai politik peserta pemilu dan mencoblos satu calon dibawah tanda gambar partai politik peserta pemilu dalam surat suara. Sedangkan pada pemilu 2004 dan 2009 selain memilih partai dan calon partai masyarakat juga pemilihan anggota DPD dilakukan dengan mencoblos satu calon anggota DPD dalam surat suara. Perbedaan mendasar antara pemilu 1999 dengan 2004 dan 2009 adalah adanya pemungutan suara untuk calon perseorangan. Kemudian perbedaan yag signifikan antara pemilu 2009 dengan pemilu sebelumnya pada tata cara pemilihan dimana pada pemilu 2009 pemilih bukan mencoblos akan tetapi menandai pilihannya dengan menggunakan pena. Secara detail mekanisme pemungutan suara atau cara penggunaan hak pilih dari ketiga pemilu ini dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 1.6. Perbandingan Pengajuan Calon Anggota Legislatif Sumber ; Olahan 2011 138 Perbandingan Penyelenggaraan Pemilihan Umum Legislatif Era Reformasi di Indonesia F.4. Penetapan Hasil Pemilihan Umum Pembahasan terakhir dalam kajian ini adalah membahas tentang penetapan hasil pemilihan umum, pembahasan ini terkait dengan tata cara menentukan hasil pemilihan umum dan proses penentuan calon terpilih. Merujuk pada pada undang-undang yang yang mengatur tentang penyelenggaraan pemilu tahun 1999, 2004 dan 2009 secara garis besar mekanisme penetapan hasil pemilihan umum pada dasarnya sama. Tahap awal yang dilakukan dalam menentukan calon terpilih adalah dengan mengakumulasi seluruh perolehan partai politik (akumlasi suara partai dan suara yang memilih calon) peserta pemilu di satu daerah pemilihan guna mencari total suara sah. Langkah kedua yang dilakukan adalah mencari Bilangan Pembagi Pemilih (BPP), BPP didapatkan dengan membagi suara sah dengan jumlah kursi yang di perebutkan di satu Dapil. Langkah selanjutnya adalah mencari perolehan kursi partai politik dengan cara membagi akumulasi suara partai di satu dapil dengan BPP. Hasil pembagian yang di dapat itulah yang menjadi kursi partai di parlemen. Kemudian jika masih ada kursi yang masih tesisa setelah tahap ini langkah berikutnya dalam menentukan kursi di parlemen adalah dengan membandingkan jumlah sisa suara partai politik. Partai yang memiliki suara terbanyak dari suara sisa maka akan mendapatkan sisa kursi setelah pembagian BPP. Penentuan calon terpilih setelah dapat pembagian kursi partai, kalau calon anggota legisatif yang mencapai atau melebihi BPP maka secara otomatis akan duduk di parlemen, sementara jika tidak ada yang mencapai BPP maka calon yang terpilih ditentukan berdasarkan caleg yang mendapatkan suara terbanyak dari partai tersebut cara ini berlaku pada pemilu 1999 dan 2009, sedangkan pada 2004 jika tidak memenuhi BPP maka calon terpilih di tentukan berdasarkan nomor urut. Kasus pada pemilu legislatif 2004 hanya dua orang anggota DPR yang memenuhi BPP yaitu Saleh Djazit dari pemilihan Provinsi Riau dan Hidayat Nurhawid dari pemilihan Jakarta. Penentuan anggota DPD terpilih dari setiap provinsi akan di tentukan dari empat besar perolehan suara terbanyak dari calon yang bersaing. Maka proses pentuan calon perseorang lebih mudah dibandingkan dengan penentuan calon dari partai politik (DPR/ DPRD). Secara sederhana perbandingan penetapan calon terpilih pada pileg era reformasi dapat dilihat pada tabel berikut ini : Tabel 1.6. Perbandingan Penetapan Calon Anggota Legislatif Terpilih 139 Jurnal FISIP UMRAH Vol. 2, No. 2, 2011 : 126 - 140 Sumber ; Olahan 2011 G. Penutup Uraian singkat pada pembahasan di atas mengambarkan dinamika penyelenggaraan pileg sepanjang era reformasi di Indonesia. Kepentingan elit terutama dari partai politik dalam penyelenggaraan pemilu sangat kuat, terbukti pada pileg 2004 terjadi perubahan yang mendasar dalam penentuan calon terpilih dimana ketika calon tidak mencapai BPP maka calon terpilih di kembalikan berdasarkan nomor urut. Aturan main seperti ini akan menguntungkan para politisi yang dekat degan elit partai, karena cederung di tempatkan pada nomor urut kecil dalam proses pencalegkan. Temuan lain di era reformasi ruang untuk keterwakilan perempuan dalam panggung politik semakin terbuka hal ini dibuktikan dengan adanya kuota 30% perempuan pada pileg 2004 dan 2009, walunpun tidak ada kententuan yang akan memberi sanksi jika partai politik tidak menjalannya. Sejak reformasi dari analiasi penulus pemilihan umum legislatif di Indonesia cenderung dekat dengan sistem distrik tetapi satu dapil masih diwakilkan lebih dari satu calon. Daftar Pustaka Budiardjo, Miriam , 2008, Dasar-dasar Ilmu Politik (edisi revisi pertama), Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Koirudin. 2004. Kilas Balik Pemilihan Presiden 2004. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Liddle, R William. 1992. Pemilu–Pemilu Orba Pasang Surut Kekuasaan Politik, LP 3 ES Jakarta Marijan , Kacung, 2010, Sistem Politik Indonesia, Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde Baru, Kencana, Jakarta Murtopo, Ali, 1987 Strategi Pembangunan Nasional, CSIS, 1981, hal.179, dalam Bintan R. Saragih, Lembaga Perwakilan dan Pemilihan Umum di Indonesia, Jakarta: Gaya Media Pratama Pito, Toni Adrianus, Efriza dan Kemal Fasyah, 2006, Mengenal Teori-Teori Politik, Nuasa, Jakarta Rauf, Maswardi, 2001 Konsesus dan Konflik Politik Sebuah Penjajagan Teoritis, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Depdiknas, Jakarta Rakhmat, Jalaluddin 2004, Metode Penelitian Komunikasi, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. Wirrahmi, Suda, 2009, Penyelenggaraan Pemilu di Indonesia Studi Kasus Perbandingan Undang-undang No. 12 Tahun 2003 dengan Undang-undang No. 10 Tahun 2008, Universitas Sumatera Utara (Skripsi) Jurnal, Opini dan Undang-undang 140 Perbandingan Penyelenggaraan Pemilihan Umum Legislatif Era Reformasi di Indonesia J. Kristiadi dalam Workshop Pendidikan Politik untuk Pengurus Partai Politik 2004 di Provinsi Riau Lili Romli, Mendorong Partisipasi Politik dalam Pemilihan Presiden 2009, Seputar Indonesia, Selasa, 7 Juli 2009 Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Teknis Penetapan dan Pengumunan Hasil Pemilu, Tatacara Penetapan Perolehan Kursi, Penetapan Calon Terpilih dan Penggantian Calon Terpilih dalam Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota Tahun 2009. UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum, Sinar Grafika, 1999 Jakarta. UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD, Gradian Mediatama, Jakarta. UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD, Gradian Mediatama, Jakarta.