13 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Batasan Konsep 1. Mahasiswa

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Batasan Konsep
1. Mahasiswa
Menurut Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (Kamisa, 1997), bahwa
mahasiswa merupakan individu yang belajar di Perguruan Tinggi.
Montgomery dalam Papalia dkk (2007) menjelaskan bahwa Perguruan Tinggi
atau universitas dapat menjadi sarana atau tempat untuk seorang individu
dalam mengembangkan kemampuan intelektual, kepribadian, khususnya
dalam melatih keterampilan verbal dan kuantitatif, berpikir kritis dan moral
reasoning.
Mahasiswa merupakan
satu
golongan
dari masyarakat yang
mempunyai dua sifat, yaitu manusia muda dan calon intelektual, dan sebagai
calon intelektual, mahasiswa harus mampu untuk berpikir kritis terhadap
kenyataan sosial, sedangkan sebagai manusia muda, mahasiswa seringkali
tidak mengukur resiko yang akan menimpa dirinya (Djojodibroto, 2004).
Mahasiswa dalam perkembangannya berada pada kategori remaja akhir yang
berada dalam rentang usia 18-21 tahun (Monks dkk, 2001). Menurut Papalia,
dkk (2007), usia ini berada dalam tahap perkembangan dari remaja atau
adolescence menuju dewasa muda atau young adulthood. Pada usia ini,
perkembangan individu ditandai dengan pencarian identitas diri, adanya
pengaruh dari lingkungan, serta sudah mulai membuat keputusan terhadap
pemilihan pekerjaan atau karirnya.
Lebih jauh, menurut Ganda (2004), mahasiswa adalah individu yang
belajar dan menekuni disiplin ilmu yang ditempuhnya secara mantap, dimana
di dalam
menjalani serangkaian kuliah itu sangat dipengaruhi oleh
kemampuan mahasiswa itu sendiri, karena pada kenyataannya diantara
13
14
mahasiswa ada yang sudah bekerja atau disibukkan oleh kegiatan organisasi
kemahasiswaan.
Mahasiswa merupakan anggota masyarakat yang mempunyai ciri-ciri
tertentu, antara lain (Kartono,1985):
a. Mempunyai kemampuan dan kesempatan untuk belajar di Perguruan
Tinggi, sehingga dapat digolongkan sebagai kaum intelegensia.
b. Yang karena kesempatan diatas diharapkan nantinya dapat bertindak
sebagai pemimpin yang mampu dan terampil, baik sebagai pemimpin
masyarakat ataupun dalam dunia kerja.
c. Diharapkan dapat menjadi daya penggerak yang dinamis bagi proses
modernisasi.
d. Diharapkan dapat memasuki dunia kerja sebagai tenaga yang berkualitas
dan profesional.
Prestasi adalah hasil yang telah dicapai seseorang dalam melakukan
kegiatan. Menurut Bloom dalam Arikunto (2010:110) bahwa hasil belajar
dibedakan menjadi tiga aspek yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik.
Prestasi merupakan kecakapan atau hasil kongkrit yang dapat dicapai pada
saat atau periode tertentu.
Prestasi adalah hasil dari suatu kegiatan yang telah dikerjakan,
diciptakan, baik secara individual maupun kelompok. Prestasi tidak akan
pernah dihasilkan tanpa suatu usaha baik berupa pengetahuan maupun berupa
keterampilan (Qohar, 2000).
Prestasi menyatakan hasil yang telah dicapai, dilakukan, dikerjakan
dan sebagainya, dengan hasil yang menyenangkan hati dan diperoleh dengan
jalan keuletan kerja (Nasrun, 2000).
Kata akademik berasal dari bahasa Yunani yakni academos yang
berarti sebuah taman umum (plasa) di sebelah barat laut kota Athena. Sesudah
itu, kata acadomos berubah menjadi akademik, yaitu semacam tempat
15
perguruan. Para pengikut perguruan tersebut disebut academist, sedangkan
perguruan semacam itu disebut academia. Berdasarkan hal ini, inti dari
pengertian akademik adalah keadaan orang-orang bisa menyampaikan dan
menerima gagasan, pemikiran, ilmu pengetahuan, dan sekaligus dapat
mengujinya secara jujur, terbuka, dan leluasa (Fadjar, 2002). Dapat dikatakan,
secara umum pengertian akademik berarti proses belajar mengajar yang
dilakukan di kelas atau dunia persekolahan.
Kegiatan akademik meliputi tugas-tugas yang dinyatakan dalam
program pembelajaran, diskusi, obesrvasi, dan pengerjaan tugas. Dalam satu
kegiatan akademik diperhitungkan tidak hanya kegiatan tatap muka yang
terjadwal saja tetapi juga kegiatan yang direncanakan (terstruktur) dan yang
dilakukan secara mandiri.
Berdasarkan teori yang telah diuraikan diatas, prestasi akademik dalam
penelitian ini adalah hasil yang telah dicapai mahasiswa dalam proses
pembelajaran. Prestasi belajar merupakan salah satu bagian dari prestasi
akademik
karena
pengertian
akademik
sendiri
merupakan
proses
pembelajaran di dalam nya yang meliputi kegiatan belajar, pemberian tugas
dan evaluasi.
Prestasi akademik merupakan perubahan dalam hal kecakapan tingkah
laku, ataupun kemampuan yang dapat bertambah selama beberapa waktu dan
tidak disebabkan proses pertumbuhan, tetapi adanya situasi belajar.
Perwujudan bentuk hasil proses belajar tersebut dapat berupa pemecahan lisan
maupun tulisan, dan keterampilan serta pemecahan masalah langsung dapat
diukur atau dinilai dengan menggunakan tes yang terstandar (Sobur, 2006).
Prestasi akademik adalah istilah untuk menunjukkan suatu pencapaian
tingkat keberhasilan tentang suatu tujuan, karena suatu usaha belajar telah
dilakukan oleh seseorang secara optimal (Setiawan, 2006).
Sejalan dengan pandangan di atas Qohar (2000) berpendapat bahwa
16
pengertian prestasi adalah hasil dari suatu yang telah dikerjakan, diciptakan,
baik secara individual maupun kelompok. Prestasi tidak pernah dihasilkan
tanpa suatu usaha baik berupa pengetahuan maupun berupa keterampilan.
Prestasi akademik adalah perubahan dalam hal kecakapan tingkah
laku, ataupun kemampuan yang dapat bertambah selama beberapa waktu dan
tidak disebabkan proses pertumbuhan, tetapi adanya situasi belajar.
Perwujudan bentuk hasil proses tersebut dapat berupa pemecahan lisan
maupun tulisan, dan keterampilan serta pemecahan masalah langsung dapat
dinilai atau diukur dengan menggunakan test yang terstandar (Sobur, 2006).
Selain itu, prestasi akademik adalah istilah untuk menunjukkan suatu
pencapaian tingkat keberhasilan tentang suatu tujuan, karena suatu usaha
belajar telah dilakukan seseorang secara optimal (Setiawan, 2000).
Secara umumnya, pencapaian akademik adalah penentu kepada taraf
pencapaian individu dalam sesuatu pemeriksaan yang standar. Pencapaian
adalah sebagai penyelesaian dan efisiensi yang diperoleh dalam sesuatu
kemahiran, pengetahuan atau kemajuan yang diperoleh secara alami yang
tidak terlalu bergantung kepada kecerdasan akal pikiran. Selain itu, prestasi
akademik adalah mengungkap keberhasilan seseorang dalam belajar (Azwar,
2004). Selanjutnya dikemukakan, karena prestasi akademik tak lain dari hasil
dari proses belajar, maka prestasi akademik juga dimaknai sebagai prestasi
belajar.
Menurut Azwar (2004) secara umum, ada dua faktor yang
mempengaruhi prestasi akademik seseorang, yaitu faktor internal dan faktor
eksternal. Faktor internal meliputi antara lain faktor fisik dan faktor
psikologis. Faktor fisik berhubungan dengan kondisi fisik umum seperti
penglihatan dan pendengaran. Faktor psikologis menyangkut faktor-faktor
non fisik, seperti minat, motivasi, bakat, intelegensi, sikap dan kesehatan
mental. Faktor eksternal meliputi faktor fisik dan faktor sosial. Faktor fisik
17
menyangkut kondisi tempat belajar, sarana dan perlengkapan belajar, materi
pelajaran dan kondisi lingkungan belajar. Faktor sosial menyangkut dukungan
sosial dan pengaruh budaya.
2. Organisasi
Organisasi sebagai kesatuan sosial terdiri dari orang atau kelompok
orang yang berinteraksi satu sama lain. Pandangan terhadap organisasi sangat
tergantung pada konteks dan perspektif tertentu dari seseorang yang
merumuskannya. Beberapa pandangan mengenai organisasi tersebut dapat
diuraikan seperti yang dikemukakan Thompson dalam Thoha (1992), bahwa
organisasi adalah: “an organization is a highly rationalized and impersonal
integration of a large member of specialists cooperating to achieve some
announched specific objectif”. Sedangkan pandangan lain, seperti yang
dikemukakan oleh Robbins (2006), merumuskan bahwa:“an organization is a
consciously coordinated sosial entity, with a relatively indentiviable
boundary, that functions on a relatively continuous basis to achieve a
common goal or set of goals”. Kedua pandangan tersebut di atas, jelas
memperlihatkan perspektif yang berbeda. Thompson dalam Thoha (1992),
merumuskan organisasi dengan penekanan pada tingkat rasionalitas dalam
kerjasama yang terkoordinasi, dengan menekankan pentingnya pembagian
tugas sesuai keahlian masing-masing anggota organisasi. Sedangkan menurut
Robbins (2006), memandang organisasi sebagai kesatuan sosial, yaitu terdiri
dari orang atau kelompok orang yang berinteraksi satu sama lain. Pola
interaksi yang diikuti oleh anggota organisasi tidak begitu saja timbul,
melainkan telah dipikirkan terlebih dahulu.
Organisasi merupakan tata hubungan sosial. Dalam hal ini seorang
individu melakukan proses interaksi dengan sesamanya di dalam organisasi,
baik antara pimpinan dan anggota maupun antar anggota sendiri. Organisasi
mempunyai pembatasan-pembatasan tertentu. Setiap anggota organisasi yang
18
melakukan hubungan interaksi dengan yang lainnya tidaklah didasarkan atas
kemauan sendiri, akan tetapi mereka dibatasi oleh peraturan tertentu.
Organisasi merupakan suatu kumpulan tata aturan. Dengan adanya tata aturan
setiap organisasi maka dapat lebih mudah dibedakan suatu organisasi dengan
kumpulan kemasyarakatan.
Organisasi merupakan suatu kerangka hubungan yang berstruktur,
yang di dalamnya berisi wewenang, tanggung jawab, dan pembagian kerja
untuk menjalankan suatu fungsi tertentu. Adanya hirarkhi atau tingkatan
mulai dari pimpinan sampai pada bawahan atau staf.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa orang-orang terlibat
dalam organisasi harus tunduk pada suatu aturan untuk mengadakan
kerjasama dan interaksi guna mencapai suatu tujuan bersama. Peneliti
mengkaitkan paradigma organisasi dengan konsep klasik, lebih banyak
mempertimbangkan hal-hal yang berhubungan dengan struktur seperti
hirarkhi, wewenang, tanggungjawab, kesatuan komando, dan jenjang
pengawasan. Organisasi juga dapat diartikan dalam dua macam yakni: (1)
dalam arti statis, organisasi sebagai wadah kerja sama sekelompok orang yang
bekerja sama, untuk mencapai tujuan tertentu, (2) dalam arti dinamis,
organisasi sebagai suatu sistem atau kegiatan sekelompok orang untuk
mencapai tujuan tertentu.
3. Struktur Organisasi
Suatu struktur organisasi menetapkan cara tugas pekerjaan dibagi,
dikelompokkan, dan dikoordinasi secara formal. Menurut Robbins ada enam
unsur dalam merancang struktur organisasi, yaitu:
a. Spesialisasi kerja, yaitu suatu tingkat dimana tugas dalam organisasi
dibagai-bagi menjadi pekerjaan-pekerjaan yang terpisah.
b. Departementalisasi, yaitu dasar yang dipakai untuk mengelompokkan
19
bersama, sejumlah pekerjaan.
c. Rantai komando, yaitu garis tidak putus dari wewenang yang terentang
dari puncak organisasi ke eselon terbawah dan memperjelas siapa melapor
kepada siapa.
d. Rantai kendali, yaitu jumlah bawahan yang dapat diarahkan secara efisien
dan efektif oleh seorang manajer.
e. Sentralisasi dan Desentralisasi, Sentralisasi yaitu sampai tingkat mana
pengambilan keputusan dipusatkan pada suatu titik tunggal dalam
organisasi. Desentralisasi yaitu keleluasaan keputusan dialihkan ke bawah
ke karyawan tingkat lebih rendah.
f. Formalisasi, yaitu suatu tingkat yang terhadapnya pekerjaan-pekerjaan
dalam organisasi itu dilakukan (Robbins, 2006).
Dalam suatu organisasi diperlukan stuktur organisasi yang berfungsi
menetapkan cara tugas pekerjaan dibagi, dikelompokkan, dan dikoordinasikan
secara formal, agar tercapai suatu tujuan organisasi yang telah ditentukan
sebelumnya.
Menurut Robbins, secara umum ada tiga desain organisai, yaitu:
a. Struktur sederhana, yaitu suatu struktur yang bercirikan tingkat
departementalisasi sederhana, rentang kendali yang luas, wewenang yang
dipusatkan, dalam tangan satu orang, dan formalisasi kecil.
b. Birokrasi, yaitu suatu struktur dengan tugas-tugas operasi yang sangat
rutin yang dicapai lewat spesialisasi aturan dan pengaturan yang sangat
formal, tugas-tugas yang dikelompokkan ke dalam departemendepartemen fungsional, wewenang terpusat, rentang kendali yang sempit
dan pengambilan keputusan yang mengikuti rantai komando.
c. Struktur matrik, yaitu suatu struktur yang menciptakan lini pangkat dari
wewenag, menggabungkan departementalisasi fungsional dan produk.
(Robbins, 2006).
20
Struktur organisasi merupakan suatu bentuk dari organisasi tersebut,
yang berisikan susunan orang-orang yang menduduki suatu jabatan tertentu,
berdasarkan wewenangnya masing-masing dan terdapat rentang kendali
dalam pelaksanaan organisasi tersebut. Secara umum ada tiga bentuk strutur
organisasi, yaitu struktur sederhana, struktur birokrasi, dan struktur matrik.
Robbins juga mengemukakan pilihan desain baru dalam organisasi, yaitu:
a. Struktur tim, yaitu penggunaan tim sebagai piranti pusat untuk
mengkoordinasi kegiatan kerja.
b. Organisasi virtual, yaitu suatu organisasi inti yang kecil, yang
menggunakan sumber luar untuk fungsi-fungsi bisnis utama.
c. Organisasi tanpa tapal batas, yaitu suatu organisasi yang mengusahakan
penghapusan rantai komando, mempunyai rentang kendali yang tak
terbatas, dan menggantikan departemen dengan tim yang diberdayakan.
(Robbins, 2006).
Dalam
sebuah
struktur
organisai,
ada
kelebihan
dan
ada
kekurangannya, untuk mengatasinya ada jenis struktur organisasi pilihan lain,
sebagai strutur organisasi pilihan, selain struktur organisasi secara umum yang
telah ada sebelumnya ada juga struktur organisasi lain, yaitu sebagai struktur
organisasi pilihan, apabila struktur organisasi secara umum tersebut tidak
cocok untuk digunakan. Struktur organisasi tersebut diantaranya strutur
organisasi tim, struktur organisasi virtual, dan struktur organisasi tanpa tapal
batas.
4. Representasi Budaya Organisasi
a. Budaya Organisasi
Davis (Moeljono, 2005) mendefinisikan budaya organisasi sebagai
pola yang terdiri atas kepercayaan dan nilai-nilai yang memberi arti bagi
anggota suatu organisasi serta aturan-aturan bagi anggota untuk
21
berperilaku di organisasinya. Schein (Yuwono, dkk, 2005) juga
menyatakan budaya organisasi adalah pola-pola asumsi dasar yang
diyakini bersama yang suatu kelompok pelajari sebagai hal yang dapat
menyelesaikan persoalan-persoalan adaptasi eksternal dan integrasi, yang
telah bekerja dengan baik sehingga dinyatakan sebagai sahih dan oleh
karena itu diajarkan kepada anggota-anggota baru sebagai cara yang benar
untuk memandang, berfikir, dan merasa terkait dengan persoalanpersoalan yang dihadapi.
Dilihat dari sisi kejelasan dan ketahanannya terhadap perubahan,
Kotter dan Heskett (1998) memilah budaya organisasi menjadi ke dalam
dua tingkatan yang berbeda. Dikemukakannya, bahwa pada tingkatan
yang lebih dalam dan kurang terlihat, nilai-nilai yang dianut bersama oleh
orang dalam kelompok dan cenderung bertahan sepanjang waktu bahkan
meskipun anggota kelompok sudah berubah. Pengertian ini mencakup
tentang apa yang penting dalam kehidupan, dan dapat sangat bervariasi
dalam perusahaan yang berbeda: dalam beberapa hal orang sangat
mempedulikan uang, dalam hal lain orang sangat mempedulikan inovasi
atau kesejahteraan karyawan. Pada tingkatan ini budaya sangat sukar
berubah, sebagian karena anggota kelompok sering tidak sadar akan
banyaknya nilai yang mengikat mereka bersama. Pada tingkat yang
terlihat, budaya menggambarkan pola atau gaya perilaku suatu organisasi,
sehingga karyawan-karyawan baru secara otomatis terdorong untuk
mengikuti perilaku sejawatnya. Sebagai contoh, katakanlah bahwa orang
dalam satu kelompok telah bertahun-tahun menjadi pekerja keras, yang
lainnya sangat ramah terhadap orang asing dan lainnya lagi selalu
mengenakan pakaian yang sangat konservatif.
Budaya dalam pengertian ini, masih kaku untuk berubah, tetapi
tidak sesulit pada tingkatan nilai-nilai dasar. Untuk lebih jelasnya lagi
22
mengenai tingkatan budaya ini dapat dilihat dalam bagan 1.
Gambar 2.1. Budaya dalam Organisasi
(Sumber: John. P. Kotter & James L. Heskett, 1998)
Selain itu, Wibowo (Joelanda, 2011) mengatakan budaya
organisasi dalam suatu organisasi yang satu dapat berbeda dengan
organisasi yang lain. Namun budaya organisasi menunjukkan ciri-ciri,
sifat , karakteristik tertentu yang menunjukkan kesamaannya.Terminologi
yang dipergunakan para ahli untuk menunjukkan karakteristik budaya
organisasi sangat bervariasi. Hal tersebut menunjukkan beragamnya ciri,
sifat dan elemen yang terdapat dalam budaya organisasi. Budaya yang
strategis, cocok, secara eksplisit menyatakan bahwa arah budaya harus
menyelaraskan dan memotivasi anggota, jika ingin meningkatkan kinerja
organisasi. Konsep utama yang digunakan di sini adalah “kecocokan”.
Jadi, sebuah budaya dianggap baik apabila cocok dengan konteksnya.
Adapun yang dimaksud dengan konteks bisa berupa kondisi obyektif dari
organisasinya atau strategi usahanya (Kotter dan Hesket, 1998).
23
b. Proses pembentukan budaya organisasi
Budaya suatu organisasi tidak muncul begitu saja dari suatu
kehampaan. Menurut Atmosoeprapto (Moeljono, 2005) Beberapa unsur
budaya organisasi yang terbentuk banyak ditentukan oleh beberapa hal
yaitu sebagai berikut : (1) Lingkungan usaha; lingkungan di mana
perusahaan itu beroperasi akan menentukan apa yang harus dikerjakan
oleh perusahaan tersebut untuk mencapai keberhasilan. (2) Nilai-nilai
(values); merupakan konsep dasar dan keyakinan dari suatu organisasi. (3)
Panutan/keteladanan; orang-orang yang menjadi panutan atau teladan
karyawan lainnya karena keberhasilannya. (4) Upacara-upacara (rites and
ritual); acara-acara rutin yang diselenggarakan oleh perusahaan dalam
rangka memberikan penghargaan pada karyawannya. (5) Network;
jaringan komunikasi informal di dalam perusahaan yang dapat menjadi
sarana penyebaran nilai-nilai dari budaya perusahaan.
Terdapat beberapa faktor yang memberikan sumbangan terhadap
terbentuknya budaya organisasi. Greenberg & Baron (Yuwono, dkk,
2005) menyatakan bahwa faktor-faktor tersebut adalah
1) Pendiri organisasi. Budaya organisasi dapat ditelusuri, paling tidak
sebagian, para pendiri organisasi. Pendiri-pendiri ini seringkali
memiliki kepribadian yang dinamis, nilai yang kuat, dan visi yang
jelas tentang bagaimana organisasi seharusnya bekerja, karena mereka
merupakan orang-orang pertama, maka mereka memainkan peran
penting dalam penerimaan karyawan. Mereka akan cenderung memilih
orang-orang yang memiliki sikap dan keyakinan yang sama dan tentu
saja lebih dari itu, mereka akan mengajarkan dan menyebarluaskan
sikap dan nilai-nilai kepada karyawan baru tersebut.
2) Pengalaman Organisasi. Budaya organisasi akan berkembang seiiring
dengan pengalaman organisasi dalam menghadapi lingkungan
24
eksternalnya. Mereka harus bersaing dengan organisasi lain untuk
mendapatkan pasarnya dan mendapatkan nilai-nilai serta cara-cara
terbaik untuk memenangkan persaingan.
3) Interaksi internal. Budaya organisasi juga berkembang dari interaksi
antar kelompok-kelompok dalam organisasi. Budaya selalu melibatkan
bagaimana anggota organisasi menginterpretasikan kejadian-kejadian
dalam organisasi. Ketika anggota-anggota organisasi memberi makna
yang sama terhadap suatu kejadian maka budaya organisasi telah
terbentuk.
c. Indikator Budaya
Budaya merupakan inti dari apa yang penting dalam organisasi,
seperti aktivitas perintah dan larangan serta menggambarkan sesuatu yang
dilakukan dan tidak dilakukan yang mengatur perilaku anggotanya. Edgar
(Antonius, 2010)
menyebutkan suatu budaya dapat dilihat dari tiga
dimensi yaitu:
1) Dimensi Adaptasi Eksternal (External Adaptation Task). Dimensi ini
meliputi indikator-indikator misi, tujuan, sarana dasar, pengukuran
keberhasilan strategi cadangan. Dimensi ini dalam organisasi publik
misi
yang
diemban
merupakan
hasil
dari
logika
yang
menyeimbangkan kebutuhan berbagai pihak terkait dengan keberadaan
organisasi tersebut.
2) Dimensi Integrasi Internal (Internal Integration Task). Dimensi
integrasi internal yaitu meliputi indikator kesamaan bahasa, batasan
dalam kelompok, penempatan status dan kekuasaan, hubungan dalam
kelompok, penghargaan dan bagaimana mengatur anggota dalam
kelompok.
3) Dimensi Asumsi-asumsi Dasar (Basic Underlying Assumtions).
Indikator-indikator yang akan diteliti untuk mengetahui variabel
25
dimensi asumsi-asumsi dasar, yaitu hubungan dengan lingkungan,
hakekat kegiatan manusia, hakekat kenyataan dan kebenaran, hakekat
waktu, hakekat kebersamaan manusia, hakekat hubungan antar
manusia, homogenitas versus heterogenitas.
d. Representasi Budaya
Representasi dalam konteks antropologi menurut Stuart Hall
(2003) sebagai suatu produksi makna dari konsep-konsep yang ada dalam
pikiran seseorang. Secara sederhana representasi dapat diartikan sebagai
pikiran orang-orang terhadap objek, peristiwa, dan simbol-simbol tertentu.
Representasi tidak hanya untuk menyajikan (to present), untuk
membayangkan (to image), atau untuk melukiskan (to depict), tapi lebih
dari itu representasi mengacu pada cara memaknai objek atau peristiwa
yang tergambarkan.
Chris Barker (Stuart Hall, 2003) menyatakan bahwa representasi
merupakan kajian utama dari Cultural Studies, artinya representasi
berhubungan dengan budaya dan media massa. Dalam hal ini, Barker
mengungkap bahwa representasi adalah kajian tentang bagaimana dunia
dikonstruksikan secara sosial kemudian disajikan dan dimaknai.
Representasi merujuk kepada konstruksi segala bentuk media terutama
media massa terhadap segala aspek realitas atau kenyataan seperti di
masyarakat, objek, peristiwa, hingga identitas budaya. Representasi ini
bisa berbentuk kata-kata atau tulisan bahkan juga dapat dilihat dalam
bentuk gambar bergerak atau visual.
Budaya telah didefinisikan dengan berbagai cara dan masih sedikit
kesepakatan
mengenai
defenisi
yang
tepat.
Budaya
merupakan
sekumpulan nilai-nilai, kepercayaan dan norma yang dirasakan bersama.
Manifestasi budaya dibagi kedalam empat kategori, yaitu : simbol, heroes,
ritual, dan nilai. Simbol adalah kata-kata, isyarat, gambar atau benda yang
26
membawa arti khsusus dalam budaya. Heroes adalah orang-orang baik
yang hidup atau telah meninggal nyata atau imajiner mempunyai
karasteristik yang bernilai tinggi dalam budaya sekaligus diperlakukan
sebagai panutun dalam berperilaku. Rituals adalah kegiatan bersama yang
secara teknis berlebih-lebihan namun sosial penting dalam budaya.
Keempat, kategori tersebut digolongkan dan istilah practices, karena
ketiganya kelihatan oleh pengamat atau pihak luar meskipun arti
budayanya terletak bagaimana anggota mempersepsikannya. Inti dari
budaya dibentuk oleh nilai-nilai. Nilai-nilai adalah perasaan yang
memiliki sisi positif dan negatif, yang terdiri baik dan jahat, cantik dan
buruk, normal dan abnormal, paradoks dan logis, rasional dan irasional,
perasan-perasaan di bawah sadar dan jarang didiskusikan, mereka tidak
dapat diamati namun diwujudkan dalam sikap perilaku.
Nilai didefenisikan sebagai suatu tendensi yang luas untuk
menunjukkan state of affairs tertentu atas lainnya, yang pengukurannya
menggunakan kepercayaan, sikap, dan kepribadian. Sedangkan budaya
dideffenisikan oleh Hofsfede sebagai program mental yang berpola
pikiran, perasaan, dan tindakan atau disebut dengan “sofware of the
mind”. Pemprograman ini dimulai dari lingkungan keluarga, kemudian
dilanjutkan dengan lingkungan tetangga, sekolah, kelompok remaja,
lingkungan kerja, dan lingkungan masyarakat. Dengan demikian,
kebudayaan adalah suatu sistem nilai yang dianut oleh suatu lingkungan,
baik lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan kerja, sampai
pada lingkungan masyarakat luas. Pemprograman mental atau budaya
nilai ini dikembangkan melalui suatu sistem nilai yang berkembang dalam
masyarakat, kemudian sistem nilai ini akan menjadi norma-norma sosial
yang mempengaruhi perilaku sosial.
27
5. Motivasi Belajar
Motivasi didefinsikan sebagai proses yang ikut menentukan intensitas,
arah, dan ketekunan individu dalam usaha mencapai sasaran (Robins, 2006).
Sementra itu Gibson, Ivancevich dan Donnelly (Robbins, 2006) mengatakan
bahwa motivasi ialah suatu konsep yang kita gunakan jika kita menguraikan
kekuatan-kekuatan yang bekerja terhadap atau dalam diri individu untuk
memulai dan menjelaskan perilaku. Pengertian motivasi pada intinya motivasi
adalah dorongan yang menggerakan seseorang untuk melakukan suatu
kegiatan.
Sardiman (2009) mengartikan motivasi sebagai serangkaian usaha
untuk menyediakan kondisi-kondisi tertentu, sehingga seseorang mau dan
ingin melakukan sesuatu, dan bila ia tidak suka maka akan berusaha untuk
meniadakan atau mengelakkan perasaan tidak suka itu. Dalam hal ini sesorang
akan berusaha untuk menciptakan suatu keadaan yang mendorong dirinya
untuk melakukan suatu tindakan yang disukai sehingga tidak ada penolakan
dari dalam dirinya untuk tidak menyukai aktivitas yang dilaksanakannya.
Menurut Handoko dalam Samino (2010) mengemukakan motivasi
merupakan kekuatan pendorong yang akan mewujudkan suatu perilaku guna
mencapai tujuan kepuasan diri. Jadi dalam hal ini seseorang akan melakukan
suatu cara yang dianggap dapat mewujudkan keinginannya melalui dukungandukungan dari dalam diri maupun dari orang lain.
Dari uraian pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa motivasi
adalah sesuatu usaha atau kekuatan yang timbul dari dalam dan mendorong
seseorang untuk melakukan kegiatan yang disukai atau disenangi dalam
mencapai tujuan tertentu.
Tindakan memotivasi akan berhasil apabila tujuan jelas dan didasari
oleh kebutuhan, tetapi perlu diketahui bahwa tujuan dan kebutuhan setiap
individu tidaklah sama, oleh karenanya timbullah motivasi yang berbeda.
28
Terdapat bermacam-macam teori motivasi yang dikemukakan oleh para ahli.
Diantara teori-teori tersebut terdapat beberapa teori yang sering diaplikasikan
dalam perilaku individu, masyarakat maupun organisasi.
a. Teori Kebutuhan
Teori kebutuhan disampaikan oleh Maslow (Robins, 2006) atau
dikenal dengan teori Hierarki Kebutuhan mengklasifikasikan kebutuhankebutuhan dasar manusia kedalam suatu hierarki yang terdiri dari:
1) Psikologis, antara lain rasa lapar, rasa haus, perlindungan (pakaian dan
perumahan), seks, dan kebutuhan jasmani lainnya;
2) Keamanan, antara lain keselamatan dan perlindungan terhadap kerugian
fisik dan emosional;
3) Sosial, mencakup kasih sayang, rasa memiliki, diterima-baik, dan
persahabatan;
4) Penghargaan, mencakup faktor penghormatan dari luar seperti misalnya
status, pengakuan, dan perhatian; dan
5) Aktualisasi diri, yaitu dorongan untuk menjadi seseorang atau sesuatu
ambisinya yang mencakup pertumbuhan, pencapaian potensi, dan
pemenuhan kebutuhan diri. Untuk memenuhi kebutuhan kebutuhan
yang lebih tinggi, kebutuhan yang ada di bawahnya harus terpenuhi
terlebih dahulu.
Maslow (Robbins, 2006) lebih lanjut menjelaskan bahwa begitu
masing-masing kebutuhan terpenuhi secara substansial, maka kebutuhan
berikutnya akan menjadi dominan. Berikut ini adalah Hierarki Kebutuhan
Maslow yang digambarkan sebagai sebuah piramida.
29
Aktualisasi
Diri
Penghargaan
Sosial
Keamanan
Psikologis
Gambar. 2.2
Hierarki Kebutuhan Maslow (Robbins, 2006)
Berdasarkan piramida kebutuhan tersebut Maslow (Robbins, 2006)
mengungkapkan bahwa di dalam diri semua manusia bersemanyam lima
jenjang kebutuhan, yaitu:
1) Psikologis, antara lain rasa lapar, haus, perlindungan (pakaian dan
perumahan), seks, dan kebutuhan jasmani lainnya,
2) Keamanan, antara lain keselamatan dan perlindungna terhadap kerugian
fisik dan emosional,
3) Sosial, mencakup kasih sayang, rasa memiliki, diterima baik, dan
persahabatan,
4) Penghargaan, mencakup faktor penghormatan diri seperti harga diri,
otonomi, dan prestasi, serta faktor penghormatan dari luar seperti status,
pengakuan, dan perhatian, serta
5) Aktualisasi diri, yaitu dorongan untuk menjadi seseorang atau sesuatu
sesuai ambisinya, yang mencakup pertumbuhan, pencapaian potensi,
dan pemenuhan kebutuhan diri.
b. Teori insting
Sardiman (2009) mengemukakan bahwa tindakan setiap diri manusia
diasumsikan seperti tingkah jenis binatang. Tindakan manusia itu dikatakan
30
selalu berkaitan dengan insting atau pembawaan. Dalam memberikan
respons terhadap adanya kebutuhan seolah-olah tanpa dipelajari.
c. Teori fisiologis
Menurut teori ini semua tindakan manusia berakar pada usaha
memenuhi kepuasan dan kebutuhan organik atau kebutuhan untuk
kepentingan fisik (Sardiman, 2009)
d. Teori psikoanalitik
Teori ini menjelaskan bahwa tssetiap tindakan manusiakarena adanya
unsur pribadi manusia yaitu id dan ego (Sardiman, 2009)
Pengertian dasar motivasi adalah keadaan internal organisme baik
manusia ataupun hewan yang mendorongnya untuk berbuat sesuatu. Dalam
pengertian ini motivasi berarti pemasok daya (energizer) untuk bertingkah
laku
secara
terarah
(Gleitman
dalam
Muhibbin,
2003).
Dalam
perkembangan selanjutnya, motivasi dapat dibedakan menjadi dua macam,
yaitu:
1) Motivasi intrinsik, adalah hal dan keadaan yang berasal dari dalam diri
siswa sendiri yang dapat mendorongnya melakukan tindakan belajar.
Yang termasuk dalam motivasi intrinsik antara lain perasaan
menyenangi materi dan kebutuhannya terhadap materi tersebut,
misalnya untuk kehidupan masa depan siswa yang bersangkutan.
2) Motivasi ekstrinsik, adalah hal dan keadaan yang datang dari luar
individu siswa yang juga mendorongnya untuk melakukan kegiatan
belajar. Contoh-contoh motivasi ekstrinsik antara lain pujian dan
hadiah, peraturan sekolah, suri tauladan dan dorongan orang tua.
Tingkah laku atau kegiatan individu bukanlah kegiatan begitu saja
terjadi, tetapi ada faktor yang mendorong yang disebut motivasi.
Sehubungan dengan hal tersebut diatas maka ada tiga fungsi motivasi :
31
1) Mendorong manusia untuk berbuat, jadi sebagai penggerak atau motor
yang melepaskan energi. Motivasi dalam hal ini merupakan motor
penggeak dari setiap kegiatan yang akan dikerjakan.
2) Menentukan arah perbuatan, yakni ke arah tujuan yang hendak dicapai.
Dengan demikian motivasi dapat memberikan arah dan kegiatan yang
harus dikerjakan sesuai dengan rumusan tujuan.
3) Menyeleksi perbuatan yakni menentukan perbuatan-perbuatan apa
yang harus dikerjakan yang serasi guna mencapai tujuan, dengan
menyisihkanperbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat bagi tujuan
tersebut (Sardiman, 2009).
Dari uraian fungsi motivasi di atas dapatlah disimpulkan bahwa pada
pokoknya fungsi motivasi adalah mendorong manusia agar melakukan
perbuatan untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam kegiatan belajar mengajar,
motivasi adalah untuk menggiatkan semangat belajar siswa sehingga siswa
akan lebih bergairah dalam belajar.
B. Penelitian Yang Relevan
Peneliti sejauh ini belum menemukan penelitian yang relevan dengan
penelitian yang dilakukan oleh penulis saat ini. Namun peneliti menemukan
beberapa penelitian yang dapat dijadikan acuan atau landasan untuk pelaksanaan
penelitian ini.
1. Lukman Solihin (2013) dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan,
menulis artikel dengan judul “Those Who prefer to stay study about
adaptation strategies of Bugis-Makasar Students in Melbourne, Australia”.
Hasil penelitian ini mengungkapkan keputusan untuk tinggal permanen di
Australia mula-mula didorong oleh faktor eksternal yang kemudian didukung
oleh kondisi internal kebudayaan orang Bugis-Makassar di Kota Melbourne.
Faktor eksternal berupa lingkungan hidup yang nyaman, layak, dan
32
memberikan rasa aman telah memantik keinginan mereka untuk menetap.
Selain itu, dorongan budaya berupa spirit merantau (sompe’), serta alasanalasan yang sifatnya personal, seperti keberadaan anak dan cucu mereka yang
telah menjadi warga negara Australia, makin meneguhkan pilihan mereka
untuk tidak pulang ke Indonesia.
2. Paningkat Siburian (2010) meneliti tentang hubungan budaya organisasi dan
motivasi berprestasi pada mahasiswa dalam bimbingan perencanaan
pembelajaran. Penelitian ini menyimpulkan bahwa budaya organisasi dalam
organisasi bimbingan perencanaan mahasiswa dalam pengerjaan tugas akhir
terbukti memiliki hubungan yang signifikan dengan prestasi belajar
mahasiswa.
3. Tito (2013) meneliti tentang penyesuaian kebudayaan di Kampus Universitas
Negeri Semarang. Penelitian ini menyimpulkan bahwa salah satu faktor yang
berhubungan dengan kemampuan penyesuaian diri terhadap kebudayaan
mahasiswa dari luar Semarang adalah adanya pertemananan dengan teman
sekampung atau organisasi kesatuan mahasiswa asal.
4. Lutfhian (2011) tentang interaksi sosial antara anggota organisasi ekstra
kampus di UIN Syarief Hidayatullah Jakarta menunjukkan bahwa interaksi
mahasiswa dengan organisasi intra sekolah memberikan corak perilaku yang
berbeda-beda. Penelitian ini mengungkapkan bahwa terdapat perbedaan pola
pendekatan dan perilaku mahasiswa anggota Himpunan Mahasiswa Islam
(HMI) dengan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) terhadap
perebutan kedudukan dalam organisasi intra kampus seperti di Badan
Eksekutif Mahasiswa (BEM).
5. Khusnul (2012) meneliti tentang Pengamalan Nilai Sipakatau, Sipakalebbi,
Sipakainge di Lingkungan Forum Mahasiswa Bone-Yogyakarta (FKMB-Y).
penelitian ini mengungkapkan bahwa nilai Sipakatau, Sipakalebbi, Sipakainge
tidak hanya sebatas nilai kultur yang diakui oleh masyarakatnya akan tetapi
33
juga teraplikasi pada tindakannya. Pengalaman nilai Sipakatau, Sipakalebbi,
Sipakainge telah diwujudkan dalam interaksi sosial pelajar atau mahasiswa di
Forum Mahasiswa Bone-Yogyakarta (FKMB-Y).
6. Andi (2014)
meneliti adaptasi sosial mahasiswa rantau dalam mencapai
prestasi akademik. Penelitian ini meneliti tentang cara-cara mahasiswa rantau
untuk mencapai prestasi akademik kaitannya dengan keberadaan perkumpulan
mahasiswa asal. Penelitian ini menyimpulkan bahwa perkumpulan mahasiswa
asal berfungsi memperkenalkan mahasiswa baru kepada langkah-langkah
beradaptasi dalam pembelajaran dan cara-cara untuk mencapai prestasi
akademik yang baik.
7. Rodhil (2013) meneliti pengaruh budaya organisasi dan motivasi organisasi
terhadap kinerja pengurus koperasi mahasiswa Universitas Muhammadiyah
Surakarta. Penelitian ini menyimpulkan bahwa terdapat pengaruh budaya
organisasi dan motivasi organisasi dengan kinerja pengurus. Budaya
organisasi yang dimiliki oleh pengurus membantu pengurus untuk memahami
pola kerja dalam organisasi, sehingga mempercepat proses adaptasi dan
ketercapaian tujuan organisasi.
8. Ron Rencher (1992) meneliti tentang Student Motivation, School Culture, and
Academic Achievement. Penelitian ini menyimpulkan bahwa motivasi belajar
pelajar dan budaya sekolah berhubungan dengan pencapaian belajar siswa.
Siswa yang memiliki motivasi tinggi cenderung memiliki prestasi atau
pencapaian belajar yang baik dan budaya sekolah yang baik mendukung
pencapaian belajar yang baik pula.
9. Seda Sumer (2009) melakukan penelitian dengan judul International student’s
psychological and sociocultural adaptation in the Unites States. Penelitian ini
menyimpulkan bahwa mahasiswa asing yang belajar di USA mengalami
perbedaan budaya dan agama sehingga mereka mengalami kesulitan dalam
melakukan adaptasi khususnya dalam budaya belajar di USA. Badan
34
konseling psikologi dan budaya terbukti memiliki peran dalam membantu
mahasiswa asing untuk melakukan adaptasi budaya di USA.
10. Ly Thi Ran (2008) meneliti tentang Mutual Adaptation of International
Students and Academics for the Sustainable Development of International
Education. Penelitian ini menyimpulkan bahwa adaptasi yang menguntungkan
antara pelajar asing dengan proses akademik dapat meningkatkan kenyaman
pembelajaran oleh pelajar asing. Peran adaptasi pelajar asing dilakukan oleh
institusi lembaga pembelajaran serta organisasi pada pelajar asing tersebut.
11. Ly Thi Ran (2013) juga meneliti tentang International Student Adaptation to
Academic Writing in Higher Education. Penelitian ini menyimpulkan bahwa
faktor-faktor yang berhubungan dengan kemampuan adaptasi mahasiswa
internasional dalam menulis tugas belajar dan tugas akhir adalah adanya rekan
dari satu wilayah, adalah instittusi pembinaan, dan organisasi mahasiswa dari
Negara atau asal yang sama. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan
peneliti, bahwa penelitian yang dilakukan peneliti organisasi mahasiswa satu
daerah tidak hanya memfokuskan kepada pemberian bantuan dalam adaptasi
mahasiswa baru, namun juga berupaya untuk menjaga kultur budaya wilayah
asal serta memperkenalkan kultur budaya wilayah asal kepada tempat
beradanya organisasi tersebut.
C. Landasan Teori
Interaksionisme simbolik merupakan salah satu bentuk dari interaksi
sosial. Pendekatan ini bersumber pada pemikiran George Herbert Mead. Dari kata
interaksionisme sudah nampak bahwa sasaran pendekatan ini ialah interaksi
sosial; kata simbolik mengacu pada penggunaan simbol-simbol dalam interaksi1.
Dalam hemat penulis, teori tersebut juga mengajak kita untuk lebih memperdalam
sebuah kajian mengenai pemaknaan interaksi yang digunakan dalam mayarakat
mulitietnik. Dalam menggunakan pendekatan teori interaksionisme simbolik
35
sudah nampak jelas bahwa pendekatan ini merupakan suatu teropong ilmiah
untuk melihat sebuah interaksi dalam masyarakat multietnik yang banyak
menggunakan simbol-simbol dalam proses interaksi dalam masyarakat tersebut
(Kamanto, 2004).
Pokok pikiran interaksionisme simbolik ada tiga; yang pertama ialah
bahwa manusia bertindak (act) terhadap sesuatu (thing) atas dasar makna yang
dipunyai sesuatu baginya. Dengan demikian tindakan (act) seorang penganut
agama Hindu di India terhadap seekor sapi (thing) akan berbeda dengan tindakan
seorang penganut agama islam di Pakistan, karena bagi masing-masing orang
tersebut sapi tersebut mempunyai makna (meaning) berbeda (Kamanto, 2004).
Lebih dalam lagi sebuah kajian mengenai pokok pemikiran teori
interaksionisme simbolik, membuat kita memahami bahwa dalam sebuah
tindakan mempunyai makna yang berbeda dengan orang yang lain yang juga
memaknai sebuah makna dalam tindakan interaksi tersebut, seperti yang
dijelaskan pada proses pemaknaan penganut Agama Hindu di India dan penganut
Agama Islam di Pakistan terhadap seekor sapi. Ini menandakan bahwa ada
banyak makna yang terkandung dalam sebuah tindakan (act). Interaksionis
simbolik telah diperhalus untuk dijadikan salah satu pendekatan sosiologis oleh
Herbert Blumer dan George Herbert Mead, yang berpandangan bahwa manusia
adalah individu yang berpikir, berperasaan, memberikan pengertian pada setiap
keadaan, yang melahirkan reaksi dan interpretasi kepada setiap rangsangan yang
dihadapi. Kejadian tersebut dilakukan melalui interpretasi simbol-simbol atau
komunikasi bermakna yang dilakukan melalui gerak, bahasa, rasa simpati,
empati, dan melahirkan tingkah laku lainnya yang menunjukan reaksi atau respon
terhadap rangsangan-rangsangan yang datang kepada dirinya (Salim, 2008).
Pendekatan interaksionisme simbolik merupakan salah suatu pendekatan
yang mengarah kepada interaksi yang menggunakan simbol-simbol dalam
berkomunikasi, baik itu melalui gerak, bahasa dan simpati, sehingga akan muncul
36
suatu respon terhadap rangsangan yang datang dan membuat manusia melakukan
reaksi atau tindakan terhadap rangsangan tersebut. Dalam pendekatan
interaksionisme simbolik akan lebih diperjelas melalui ulasan-ulasan yang lebih
spesifik mengenai makna simbol yang akan dibahas di bawah ini. Dalam
melakukan suatu interaksi, maka gerak, bahasa, dan rasa simpati sangat
menentukan, apalagi berinteraksi dalam masyarakat yang berbeda suku dan
kebudayaan. Modal utama dalam melakukan interaksi dalam masyarakat multi
etnik adalah saling memahami kebiasaan ataupun kebudayaan dari orang lain,
sehingga kesalah-pahaman yang nantinya akan menimbulkan konflik dapat
tertekan.
Disamping manusia disebut sebagai mahluk sosial, manusia juga sering
disebut sebagai mahluk individu yang mempunyai keinginan untuk memperbaiki
dirinya sendiri sendiri, sedangkan dalam kategori mahluk sosial, manusia selalu
berkeinginan untuk melakukan interaksi dan hubungan dengan orang lain karena
akan timbul dalam diri manusia itu sendiri rasa untuk mencari orang lain untuk
berinteraksi. Interaksi merupakan suatu proses yang sifatnya timbal balik dan
mempunyai pengaruh terhadap perilaku dan pihak-pihak yang bersangkutan
melalui kontak langsung, melalui berita yang didengar, ataupun melalui surat
kabar.
Interaksi sosial sebagai berikut: “interaksi sosial merupakan hubunganhubungan sosial yang dinamis, yang menyangkut hubungan orang perorang antara
kelompok manusia. Interaksi sosial adalah kontak atau hubungan timbal balik
atau intersimulasi dan respon antar individu antar kelompok atau antar individu
dan kelompok. Suatu interaksi merupakan hubungan timbal balik antara
seseorang dengan kelompoknya dalam suatu masyarakat. Suatu interaksi
merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat karena tidak
dapat dipungkiri bahwa dalam kehidupan kita sehari-hari sangat membutuhkan
bantuan dan petunjuk dari orang lain, sehingga sangat penting untuk melakukan
37
suatu interkasi dengan kelompok yang ada dalam masyarakat tersebut. Dalam
suatu masyarakat diperlukan suatu interaksi karena tanpa interaksi tersebut kita
akan dijauhi oleh orang lain karena dianggap tidak dapat beradaptasi dan
berkomunikasi dalam menyampaikan sesuatu (Kamanto, 2004).
Penjelasan tentang simbol ini juga dipertegas oleh White, makna atau
simbol hanya dapat ditangkap melalui cara nonsensoris; melaui cara simbolik.
Sebagai contoh: makna suatu warna tergantung kepada mereka yang
menggunakannya. Warna merah, misalnya, dapat berarti berani (“merah berarti
berani, dan putih suci”), dapat berarti komunis (“kaum merah”). Warna putih
dapat berarti suci, dapat berarti berkabung (pada orang Tionghoa), dapat pula
berarti menyerah. Makna-makana tersebut tidak dapat ditangkap dengan panca
indera sebagaimana telah dikemukakan White, makna-makna tersebut tidak ada
kaitannya dengan sifat-sifat yang secara intrinsik terdapat pada warna. Simbol
merupakan sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat
utamanya dalam masyarakat multi etnik, terutama dalam melakukan interaksi
antara masyarakat satu dengan masyarakat yang lainnya (Salim, 2008).
Suatu simbol menjadi penting karena dapat membuat manusia dalam
melakukan sesuatu akan sungguh-sungguh dan berfikir secara manusiawi. Dalam
melakukan suatu tindakan sosial seseorang akan selalu mempertimbangkan apa
yang akan dilakukan terhadap orang lain. Dengan kata lain, dalam melakukan
suatu tindakan sosial manusia akan memikirkan dampak negatif ataupun positif
dari tindakan yang iya lakukan terhadap orang yang terlibat dalam tindakan
tersebut. Di samping kegunaan yang bersifat umum, simbol-simbol pada
umumnya dan bahasa pada khususnya mempunyai sejumlah fungsi, antara lain
(Salim, 2008):
1. Simbol-simbol memungkinkan manusia untuk berhubungan dengan dunia
material dan sosial dengan membolehkan mereka memberi nama, membuat
38
kategori, dan mengingat obyek-obyek yang mereka temukan di mana saja.
Dalam hal ini bahasa mempunyai peran yang sangat penting.
2. Simbol-simbol menyempurnakan kemampuan manusia untuk memahami
lingkungannya.
3. Simbol-simbol menyempurnakan kemampuan manusia untuk berfikir. Dalam
arti ini, berfikir dapat dianggap sebagai simbolik dengan diri sendiri.
4. Simbol-simbol meningkatkan kemampuan manusia untuk memecahkan
persoalan. Binatang coba memecahkan masalah dengan trial and error,
sedangkan manusia biasa berfikir dengan menggunakan simbol-simbol
sebelum melakukan pilihan-pilihan dalam melakukan sesuatu.
5. Penggunaan simbol-simbol memungkinkan manusia bertransendensi dari segi
waktu, tempat, dan bahkan diri mereka sendiri. Dengan menggunakan simbolsimbol manusia bisa membayangkan bagaimana hidup di masa lampau atau
akan datang. Mereka juga bisa membayangkan tentang diri mereka sendiri
berdasarkan pandangan orang lain.
6. Simbol-simbol memungkinkan manusia bisa membayangkan kenyataankenyataan metafisis seperti surga atau neraka.
7. Simbol-simbol memungkinkan manusia tidak diperbudak oleh lingkungannya.
Mereka bisa lebih aktif ketimbang pasif dalam mengarahkan dirinya kepada
sesuatu yang mereka perbuat.
D. Kerangka Berfikir
Budaya organisasi merupakan budaya sistem yang dipercayai dan nilai
yang dikembangkan oleh organisasi dimana hal itu menuntun perilaku dari
anggota organisasi itu sendiri (Wood, Wallace, Zeffane, Schermerhorn, Hunt,
Osborn, 2001). Sedangkan Mangkunegara, (2005) menyatakan bahwa budaya
organisasi adalah seperangkat asumsi atau sistem keyakinan, nilai-nilai dan norma
yang dikembangkan dalam organisasi yang dijadikan pedoman tingkah laku bagi
39
anggota-anggotanya untuk mengatasi masalah adaptasi eksternal dan integrasi
internal.
Budaya organisasi diidentifikasi dalam bentuk yang tampak (visible)
seperti cara berpakaian, simbol, fisik, perayaan atau seremonial, dan tata ruang.
Selanjutnya bentuk yang tidak tampak (invisible) berupa disiplin dan makna
prestasi, dan keyakinan yang paling dalam atau asumsi-asumsi yang tersembunyi
meliputi adanya keyakinan bahwa pimpinan tidak pernah salah dan anggota selalu
salah (Robins, 2006). Lebih lanjut Robins (2006) mengemukakan bahwa fungsi
utama budaya organisasi adalah sebagai proses integrasi internal yaitu budaya
organisasi berfungsi sebagai pemersatu setiap komponen internal organisasi dan
sebagai proses adaptasi eksternal yaitu budaya organisasi berfungsi sebagai
sarana menyesuaikan diri dengan lingkungan luar organisasi.
Mahasiswa Thailand yang belajar dan tinggal di Kota Yogyakarta akan
mengalami proses adaptasi dengan pola kehidupan Kota Yogyakarta. Keberadaan
PMIPTI sebagai persatuan mahasiswa muslim dari Thailand Selatan menjadi
salah satu alternatif bagi mereka untuk memperoleh tempat yang dapat
mengarahkan mereka dalam melakukan adaptasi di Kota Yogyakarta.
Dalam teori struktural fungsional disebutkan bahwa organisasi sebagai
suatu sistem sosial di masyarakat memiliki fungsi utama sebagai (1) Adaptation
(adaptasi), yaitu sebuah sistem harus menanggulangi situasi eksternal yang gawat.
Sistem harus menyesuaikan diri dengan lingkungan dan menyesuaikan
lingkungan itu dengan kebutuhannya. (2) Goal attainment (pencapaian tujuan).
Sebuah sistem harus mendifiniisikan diri untuk mencapai tujuan utamanya. (3)
Integration (integrasi). Sebuah sistem harus mengatur antar hubungan bagianbagian yang menjadi komponennya. Sistem juga harus mengelola antar hubungan
ketiga fungsi penting lainnya (A, G, L). (4) Latency (pemeliharaan pola). Sebuah
sistem harus memperlengkapi, memelihara, dan memperbaiki, baik motivasi
individu maupun pola-pola kultural yang menciptakan dan menopang motivasi.
40
Persatuan Mahasiswa Islam Patani (Thailand Selatan) Indonesia (PMIPTI)
di Yogyakarta merupakan organisasi mahasiswa Islam yang berasal dari Thailand.
Sebagai suatu organisasi dan sistem sosial, maka budaya organisasi yang ada
dalam PMIPTI akan mengubah atau mewarnai pola perilaku individu-individu
anggotanya baik pengurus maupun anggotanya. Salah satu dampak dari budaya
organisasi yang ada di PMPTI baik yang tampak maupun tidak tampak akan
berpengaruh terhadap perilaku anggotanya, salah satunya adalah cara pandang
mereka terhadap prestasi belajar yang selanjutnya berwujud dalam motivasi
belajar mahasiswa.
Berdasarkan landasan teori dan landasan berpikir diatas, maka untuk
memudahkan pemahaman disusunlah kerangka pemikiran penelitian sebagai
berikut.
41
1.
2.
3.
4.
5.
Dimensi
Pendukung
1. Program
PMIPTI
2. Kesamaan
sebagai
masyarakat
Melayu
Patani
Organisasi Persatuan Mahasiswa
Islam Patani (PMIPTI) di Daerah
Istimewa Yogyakarta
Sejarah organisasi
Pengurus dan anggota
Visi, Misi dan tujuan organisasi
AD/ART organisasi
Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk
Teknik Organisasi
Representasi Budaya Organisasi pada
Persatuan Mahasiswa Islam Patani
(PMIPTI) di Daerah Istimewa
Yogyakarta
Bentuk-bentuk budaya organisasi pada
PMIPTI
serta
latar
belakang
terbentuknya budaya organisasi tersebut
1. Terpeliharanya budaya keIslaman pada
mahasiswa Patani di Indonesia.
2. Tercapainya tujuan PMIPTI (Visi dan
Misi) di Indonesia.
3. Tercapainya tujuan belajar anggota
PMIPTI baik secara kuantitas maupun
kualitas.
Gambar 2.3. Kerangka Berpikir
Dimensi
Penghambat
1. Bahasa
2. Hambatan
internal
anggota
42
Download