PENGERTIAN

advertisement
INTERAKSI ANTIDIABETIK ORAL
I. PENDAHULUAN
Diabetes mellitus (DM) didefinisikan sebagai suatu penyakit atau gangguan metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai
dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat,lipid dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin.
Insufisiensi fungsi insulin dapat disebabkan oleh gangguan atau defisiensi produksi insulin oleh sel-sel beta Langerhans kelenjar pankreas, atau
disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin. Jika kekurangan produksi insulin atau terdapat resistensi insulin maka kadar
glukosa dalam darah akan meninggi (melebihi nilai normal).
Insulin adalah suatu zat yang dihasilkan oleh sel beta pankreas. Insulin diperlukan agar glukosa dapat memasuki sel tubuh, di mana
gula tersebut kemudian dipergunakan sebagai sumber energi. Jika tidak ada insulin, atau jumlah insulin tidak memadai, atau jika insulin tersebut
cacat , maka glukosa tidak dapat memasuki sel dan tetap berada di darah dalam jumlah besar.
Penyakit diabetes melitus atau kencing manis disebabkan oleh multifaktor, keturunan merupakan salah satu faktor penyebab. Selain
keturunan masih diperlukan faktor-faktor lain yang disebut faktor pencetus, misalnya adanya infeksi virus tertentu, pola makan yang tidak sehat,
stres, makan obat-obatan yang dapat meningkatkan kadar gula darah dan sebagainya.
Gejala penyakit kencing manis sangat bervariasi, dapat timbul secara perlahan-lahan hingga penderita tidak menyadari terdapatnya
perubahan dan baru dapat ditemukan pada saat pemeriksaan penyaring atau pemeriksaan untuk penyakit lain. Tetapi gejala-gejala diabetes
dapat juga timbul mendadak secara dramatis sekali. Gejala-gejala umum yang dapat ditemukan pada penderita kencing manis adalah sebagai
berikut:rasa haus yang berlebihan, sering kencing terutama pada malam hari, berat badan turun dengan cepat, cepat merasa lapar,timbul
kelemahan tubuh, kesemutan pada jari tangan dan kaki, gatal-gatal, penglihatan jadi kabur, luka atau bisul yang sukar sembuh dan keputihan.
II. KLASIFIKASI DIABETES MELLITUS
Klasifikasi diabetes melitus mengalami perkembangan dan perubahan dari waktu ke waktu. Dahulu diabetes diklasifikasikan
berdasarkan waktu munculnya (time of onset). Diabetes yang muncul sejak masa kanak-kanak disebut “juvenile diabetes”, sedangkan yang baru
muncul setelah seseorang berumur di atas 45 tahun disebut sebagai “adult diabetes”. Namun klasifikasi ini sudah tidak layak dipertahankan lagi,
sebab banyak sekali kasus-kasus diabetes yang muncul pada usia 20-39 tahun, yang menimbulkan kebingungan untuk mengklasifikasikannya.
Pada tahun 1968, ADA (American Diabetes Association) mengajukan rekomendasi mengenai standarisasi uji toleransi glukosa dan mengajukan
istilah-istilah Pre-diabetes, Suspected Diabetes, Chemical atau Latent Diabetes dan Overt Diabetes untuk pengklasifikasiannya. British Diabetes
Association (BDA) mengajukan istilah yang berbeda, yaitu Potential Diabetes, Latent Diabetes, Asymptomatic atau Sub-clinical Diabetes, dan
Clinical Diabetes. WHO pun telah beberapa kali mengajukan klasifikasi diabetes melitus.
Pada tahun 1965 WHO mengajukan beberapa istilah dalam pengklasifikasian diabetes, antara lain Childhood Diabetics, Young Diabetics,
Adult Diabetics dan Elderly Diabetics. Pada tahun 1980 WHO mengemukakan klasifikasi baru diabetes melitus memperkuat rekomendasi National
Diabetes Data Group pada tahun 1979 yang mengajukan 2 tipe utama diabetes melitus, yaitu "Insulin-Dependent Diabetes Mellitus" (IDDM)
disebut juga Diabetes Melitus Tipe 1 dan "Non-Insulin-Dependent Diabetes Mellitus" (NIDDM) yang disebut juga Diabetes Melitus Tipe 2. Pada
tahun 1985 WHO mengajukan revisi klasifikasi dan tidak lagi menggunakan terminologi DM Tipe 1 dan 2, namun tetap mempertahankan istilah
"Insulin-Dependent Diabetes Mellitus" (IDDM) dan "Non-Insulin-Dependent Diabetes Mellitus" (NIDDM), walaupun ternyata dalam publikasipublikasi WHO selanjutnya istilah DM Tipe 1 dan 2 tetap muncul.
Disamping dua tipe utama diabetes melitus tersebut, pada klasifikasi tahun 1980 dan 1985 ini WHO juga menyebutkan 3 kelompok
diabetes lain yaitu Diabetes Tipe Lain, Toleransi Glukosa Terganggu atau Impaired Glucose Tolerance (IGT) dan Diabetes Melitus Gestasional atau
Gestational Diabetes Melitus (GDM). Pada revisi klasifikasi tahun 1985 WHO juga mengintroduksikan satu tipe diabetes yang disebut Diabetes
Melitus terkait Malnutrisi atau Malnutrition-related Diabetes Mellitus (MRDM).
Klasifkasi ini akhirnya juga dianggap kurang tepat dan membingungkan sebab banyak kasus NIDDM (Non-Insulin-Dependent Diabetes
Mellitus) yang ternyata juga memerlukan terapi insulin. Saat ini terdapat kecenderungan untuk melakukan pengklasifikasian lebih berdasarkan
etiologi penyakitnya.
Gabungan IO ekstensi 2007/ page 1of 37
Tabel 1. Klasifikasi Diabetes Mellitus Berdasarkan Etiologinya (ADA, 2003)
1
2
3
4
5
Diabetes Mellitus Tipe 1:
Destruksi sel β umumnya menjurus ke arah defisiensi insulin absolut
A. Melalui proses imunologik (Otoimunologik)
B. Idiopatik
Diabetes Mellitus Tipe 2
Bervariasi, mulai yang predominan resistensi insulin disertai defisiensi
insulin relatif sampai yang predominan gangguan sekresi insulin bersama
resistensi insulin
Diabetes Mellitus Tipe Lain
A. Defek genetik fungsi sel β :
• kromosom 12, HNF-1 α (dahulu disebut MODY 3),
• kromosom 7, glukokinase (dahulu disebut MODY 2)
• kromosom 20, HNF-4 α (dahulu disebut MODY 1)
• DNA mitokondria
B. Defek genetik kerja insulin
C. Penyakit eksokrin pankreas:
• Pankreatitis
• Trauma/Pankreatektomi
• Neoplasma
• Cistic Fibrosis
• Hemokromatosis
• Pankreatopati fibro kalkulus
D. Endokrinopati:
1. Akromegali
2. Sindroma Cushing
3. Feokromositoma
4. Hipertiroidisme
E. Diabetes karena obat/zat kimia: Glukokortikoid, hormon tiroid, asam
nikotinat, pentamidin, vacor, tiazid, dilantin, interferon
F. Diabetes karena infeksi
G. Diabetes Imunologi (jarang)
H. Sidroma genetik lain: Sindroma Down, Klinefelter, Turner, Huntington,
Chorea, Prader Willi
Diabetes Mellitus Gestasional
Diabetes mellitus yang muncul pada masa kehamilan, umumnya bersifat
sementara, tetapi merupakan faktor risiko untuk DM Tipe 2
Pra-diabetes:
A. IFG (Impaired Fasting Glucose) = GPT (Glukosa Puasa Terganggu)
B. IGT (Impaired Glucose Tolerance) = TGT (Toleransi Glukosa
Terganggu)
III. ETIOLOGI dan PATOFISIOLOGI
A. Diabetes Mellitus Tipe 1
Diabetes tipe ini merupakan diabetes yang jarang atau sedikit populasinya, diperkirakan kurang dari 5-10% dari keseluruhan populasi
penderita diabetes. Gangguan produksi insulin pada DM Tipe 1 umumnya terjadi karena kerusakan sel-sel β pulau Langerhans yang disebabkan
oleh reaksi otoimun. Namun ada pula yang disebabkan oleh bermacam-macam virus, diantaranya virus Cocksakie, Rubella, CMVirus, Herpes,
dan lain sebagainya. Ada beberapa tipe otoantibodi yang dihubungkan dengan DM Tipe 1, antara lain ICCA (Islet Cell Cytoplasmic Antibodies),
ICSA (Islet cell surface antibodies), dan antibodi terhadap GAD (glutamic acid decarboxylase).
ICCA merupakan otoantibodi utama yang ditemukan pada penderita DM Tipe 1. Hampir 90% penderita DM Tipe 1 memiliki ICCA di
dalam darahnya. Di dalam tubuh non-diabetik, frekuensi ICCA hanya 0,5-4%. Oleh sebab itu, keberadaan ICCA merupakan prediktor yang cukup
akurat untuk DM Tipe 1. ICCA tidak spesifik untuk sel-sel β pulau Langerhans saja, tetapi juga dapat dikenali oleh sel-sel lain yang terdapat di
pulau Langerhans. Sebagaimana diketahui, pada pulau Langerhans kelenjar pancreas terdapat beberapa tipe sel, yaitu sel β, sel α dan sel δ. Selsel β memproduksi insulin, sel-sel α memproduksi glukagon, sedangkan sel-sel δ memproduksi hormon somatostatin. Namun demikian,
nampaknya serangan otoimun secara selektif menghancurkan sel-sel β. Ada beberapa anggapan yang menyatakan bahwa tingginya titer ICCA
di dalam tubuh penderita DM Tipe 1 justru merupakan respons terhadap kerusakan sel-sel β yang terjadi, jadi lebih merupakan akibat, bukan
penyebab terjadinya kerusakan sel-sel β pulau Langerhans. Apakah merupakan penyebab atau akibat, namun titer ICCA makin lama makin
menurun sejalan dengan perjalanan penyakit. Otoantibodi terhadap antigen permukaan sel atau Islet Cell Surface Antibodies (ICSA) ditemukan
pada sekitar 80% penderita DM Tipe 1. Sama seperti ICCA, titer ICSA juga makin menurun sejalan dengan lamanya waktu. Beberapa penderita
DM Tipe 2 ditemukan positif ICSA.
Otoantibodi terhadap enzim glutamat dekarboksilase (GAD) ditemukan pada hampir 80% pasien yang baru didiagnosis sebagai positif
menderita DM Tipe 1. Sebagaimana halnya ICCA dan ICSA, titer antibodi anti-GAD juga makin lama makin menurun sejalan dengan perjalanan
Gabungan IO ekstensi 2007/ page 2of 37
penyakit. Keberadaan antibodi anti-GAD merupakan prediktor kuat untuk DM Tipe 1, terutama pada populasi risiko tinggi. Disamping ketiga
otoantibodi yang sudah dijelaskan di atas, ada beberapa otoantibodi lain yang sudah diidentifikasikan, antara lain IAA (Anti- Insulin Antibody).
IAA ditemukan pada sekitar 40% anak-anak yang menderita DM Tipe 1. IAA bahkan sudah dapat dideteksi dalam darah pasien sebelum
onset terapi insulin. Destruksi otoimun dari sel-sel β pulau Langerhans kelenjar pancreas langsung mengakibatkan defisiensi sekresi insulin.
Defisiensi insulin inilah yang menyebabkan gangguan metabolisme yang menyertai DM Tipe 1. Selain defisiensi insulin, fungsi sel-sel α kelenjar
pankreas pada penderita DM Tipe 1 juga menjadi tidak normal. Pada penderita DM Tipe 1 ditemukan sekresi glukagon yang berlebihan oleh
sel-sel α
Secara normal, hiperglikemia akan menurunkan sekresi glukagon, namun pada penderita DM Tipe 1 hal ini tidak terjadi, sekresi
glukagon tetap tinggi walaupun dalam keadaan hiperglikemia. Hal ini memperparah kondisi hiperglikemia. Salah satu manifestasi dari keadaan
ini adalah cepatnya penderita DM Tipe 1 mengalami ketoasidosis diabetik apabila tidak mendapat terapi insulin. Apabila diberikan terapi
somatostatin untuk menekan sekresi glukagon, maka akan terjadi penekanan terhadap kenaikan kadar gula dan badan keton. Salah satu
masalah jangka panjang pada penderita DM Tipe 1 adalah rusaknya kemampuan tubuh untuk mensekresi glukagon sebagai respon terhadap
hipoglikemia.
Hal ini dapat menyebabkan timbulnya hipoglikemia yang dapat berakibat fatal pada penderita DM Tipe 1 yang sedang mendapat terapi
insulin. Walaupun defisiensi sekresi insulin merupakan masalah utama pada DM Tipe 1, namun pada penderita yang tidak dikontrol dengan
baik, dapat terjadi penurunan kemampuan sel-sel sasaran untuk merespons terapi insulin yang diberikan. Ada beberapa mekanisme biokimia
yang dapat menjelaskan hal ini, salah satu diantaranya adalah, defisiensi insulin menyebabkan meningkatnya asam lemak bebas di dalam
darah sebagai akibat dari lipolisis yang tak terkendali di jaringan adiposa.
Asam lemak bebas di dalam darah akan menekan metabolisme glukosa di jaringan-jaringan perifer seperti misalnya di jaringan otot
rangka, dengan perkataan lain akan menurunkan penggunaan glukosa oleh tubuh. Defisiensi insulin juga akan menurunkan ekskresi dari
beberapa gen yang diperlukan sel-sel sasaran untuk merespons insulin secara normal, misalnya gen glukokinase di hati dan gen GLUT4 (protein
transporter yang membantu transpor glukosa di sebagian besar jaringan tubuh) di jaringan adiposa.
B. Diabetes Mellitus Tipe 2
Diabetes Tipe 2 merupakan tipe diabetes yang lebih umum, lebih banyak penderitanya dibandingkan dengan DM Tipe 1. Penderita DM
Tipe 2 mencapai 90-95% dari keseluruhan populasi penderita diabetes, umumnya berusia di atas 45 tahun, tetapi akhir-akhir ini penderita DM
Tipe 2 di kalangan remaja dan anak-anak populasinya meningkat. Etiologi DM Tipe 2 merupakan multifaktor yang belum sepenuhnya
terungkap dengan jelas. Faktor genetik dan pengaruh lingkungan cukup besar dalam menyebabkan terjadinya DM tipe 2, antara lain obesitas,
diet tinggi lemak dan rendah serat, serta kurang gerak badan. Obesitas atau kegemukan merupakan salah satu faktor pradisposisi utama.
Penelitian terhadap mencit dan tikus menunjukkan bahwa ada hubungan antara gen-gen yang bertanggung jawab terhadap obesitas dengan
gen-gen yang merupakan faktor pradisposisi untuk DM Tipe 2.
Berbeda dengan DM Tipe 1, pada penderita DM Tipe 2, terutama yang berada pada tahap awal, umumnya dapat dideteksi jumlah
insulin yang cukup di dalam darahnya, disamping kadar glukosa yang juga tinggi. Jadi, awal patofisiologis DM Tipe 2 bukan disebabkan oleh
kurangnya sekresi insulin, tetapi karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tak mampu merespon insulin secara normal. Keadaan ini lazim
disebut sebagai “Resistensi Insulin”. Resistensi insulin banyak terjadi di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, antara lain sebagai akibat
dari obesitas, gaya hidup kurang gerak (sedentary), dan penuaan. Disamping resistensi insulin, pada penderita DM Tipe 2 dapat juga timbul
gangguan sekresi insulin dan produksi glukosa hepatik yang berlebihan. Namun demikian, tidak terjadi pengrusakan sel-sel β Langerhans secara
otoimun sebagaimana yang terjadi pada DM Tipe 1.
Dengan demikian defisiensi fungsi insulin pada penderita DM Tipe 2 hanya bersifat relatif, tidak absolut. Oleh sebab itu dalam
penanganannya umumnya tidak memerlukan terapi pemberian insulin. Sel-sel β kelenjar pankreas mensekresi insulin dalam dua fase. Fase
pertama sekresi insulin terjadi segera setelah stimulus atau rangsangan glukosa yang ditandai dengan meningkatnya kadar glukosa darah,
sedangkan sekresi fase kedua terjadi sekitar 20 menit sesudahnya. Pada awal perkembangan DM Tipe 2, sel-sel β menunjukkan gangguan pada
sekresi insulin fase pertama, artinya sekresi insulin gagal mengkompensasi resistensi insulin Apabila tidak ditangani dengan baik, pada
perkembangan penyakit selanjutnya penderita DM Tipe 2 akan mengalami kerusakan sel-sel β pankreas yang terjadi secara progresif, yang
seringkali akan mengakibatkan defisiensi insulin, sehingga akhirnya penderita memerlukan insulin eksogen. Penelitian mutakhir menunjukkan
bahwa pada penderita DM Tipe 2 umumnya ditemukan kedua faktor tersebut, yaitu resistensi insulin dan defisiensi insulin.
Berdasarkan uji toleransi glukosa oral, penderita DM Tipe 2 dapat dibagi menjadi 4 kelompok:
a.Kelompok yang hasil uji toleransi glukosanya normal
b.Kelompok yang hasil uji toleransi glukosanya abnormal, disebut juga Diabetes Kimia (Chemical Diabetes)
Gabungan IO ekstensi 2007/ page 3of 37
c.Kelompok yang menunjukkan hiperglikemia puasa minimal (kadar glukosa plasma puasa < 140 mg/dl)
d.Kelompok yang menunjukkan hiperglikemia puasa tinggi (kadar glukosa plasma puasa > 140 mg/dl).
C. Diabetes Mellitus Gestasional
Diabetes Mellitus Gestasional (GDM=Gestational Diabetes Mellitus) adalah keadaan diabetes atau intoleransi glukosa yang timbul
selama masa kehamilan, dan biasanya berlangsung hanya sementara atau temporer. Sekitar 4-5% wanita hamil diketahui menderita GDM,
dan umumnya terdeteksi pada atau setelah trimester kedua. Diabetes dalam masa kehamilan, walaupun umumnya kelak dapat pulih sendiri
beberapa saat setelah melahirkan, namun dapat berakibat buruk terhadap bayi yang dikandung. Akibat buruk yang dapat terjadi antara lain
malformasi kongenital, peningkatan berat badan bayi ketika lahir dan meningkatnya risiko mortalitas perinatal. Disamping itu, wanita yang
pernah menderita GDM akan lebih besar risikonya untuk menderita lagi diabetes di masa depan. Kontrol metabolisme yang ketat dapat
mengurangi risiko-risiko tersebut.
D. Pra-diabetes
Pra-diabetes adalah kondisi dimana kadar gula darah seseorang berada diantara kadar normal dan diabetes, lebih tinggi dari pada
normal tetapi tidak cukup tinggi untuk dikatagorikan ke dalam diabetes tipe 2. Penderita pradiabetes diperkirakan cukup banyak, di Amerika
diperkirakan ada sekitar 41 juta orang yang tergolong pra-diabetes, disamping 18,2 orang penderita diabetes (perkiraan untuk tahun 2000).
Di Indonesia, angkanya belum pernah dilaporkan, namun diperkirakan cukup tinggi, jauh lebih tinggi dari pada penderita diabetes. Kondisi
pra-diabetes merupakan faktor risiko untuk diabetes, serangan jantung dan stroke. Apabila tidak dikontrol dengan baik, kondisi pra-diabetes
dapat meningkat menjadi diabetes tipe 2 dalam kurun waktu 5-10 tahun. Namun pengaturan diet dan olahraga yang baik dapat mencegah
atau menunda timbulnya diabetes.
Ada dua tipe kondisi pra-diabetes, yaitu:
Impaired Fasting Glucose (IFG), yaitu keadaan dimana kadar glukosa darah puasa seseorang sekitar 100-125 mg/dl (kadar glukosa darah
puasa normal: <100 mg/dl), atau
Impaired Glucose Tolerance (IGT) atau Toleransi Glukosa Terganggu (TGT), yaitu keadaan dimana kadar glukosa darah seseorang pada uji
toleransi glukosa berada di atas normal tetapi tidak cukup tinggi untuk dikatagorikan ke dalam kondisi diabetes.
IV. PENGGOLONGAN ANTIDIABETIK ORAL/HIPOGLIKEMIK ORAL
Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat-obat hipoglikemik oral dapat dibagi menjadi 5 golongan, yaitu:
1. Golongan Sulfonilurea
Bekerja dengan cara merangsang sekresi insulin di pankreas sehingga hanya efektif bila sel beta pankreas masih dapat berproduksi.
Terdapat beberapa jenis sulfonilurea yang tidak terlalu berbeda dalam efektivitasnya. Perbedaan terletak pada farmakokinetik dan lama kerja.
Termasuk dalam golongan ini adalah: Klorpropamid, Glikazid, Glibenklamid, Glipizid, Glikuidon, Glimepirid, Tolazalim dan Tolbutamid.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam penggunaan obat golongan ini :
a.
Golongan sulfonil urea cenderung meningkatkan berat badan.
b. Penggunaannya harus hati-hati pada pasien usia lanjut, gangguan fungsi hati dan ginjal. Klorpropamid dan glibenklamid tidak dianjurkan
untuk pasien usia lanjut dan pasien insufisiensi ginjal. Pada pasien insufisiensi ginjal dapat digunakan glikuidon, gliklazid atau tolbutamid yang
kerjanya singkat.
c.
Wanita menyusui, porfiria dan ketoasidosis merupakan kontraindikasi bagi pemberian sulfonilurea.
d. Insulin kadang-kadang diperlukan bila timbul keadaan patologis tertentu seperti infark miokard, infeksi, koma dan trauma. Insulin juga
diperlukan pada keadaan kehamilan.
e.
Efek samping, umumnya ringan dan frekuensinya rendah diantaranya gejala saluran cerna dan sakit kepala. Gejala hematologik termasuk
trombositopenia, agrunolositosis dan anemia aplastik dapat terjadi tetapi jarang sekali. Hipoglikemi dapat terjadi bila dosis tidak tepat atau
diet terlalu ketat, juga pada gangguan fungsi hati/ginjal atau pada orang usia lanjut. Hipoglikemia sering ditimbulkan oleh ADO kerja lama.
f.
Interaksi, banyak obat yang berinteraksi dengan sulfonilurea sehingga risiko terjadinya hipoglikemia dapat meningkat.
g.
Dosis, sebaiknya dimulai dengan dosis lebih rendah dengan 1 kali pemberian, dosis dinaikkan sesuai dengan respons terhadap obat.
Gabungan IO ekstensi 2007/ page 4of 37
2. Golongan Biguanid
Bekerja dengan cara menghambat glukoneogenesis dan meningkatkan penggunaan glukosa di jaringan. Termasuk dalam golongan ini
adalah Metformin, Fenformin, Buformin. Efek samping yang sering terjadi (20% dari pemakai obat) adalah gangguan saluran cerna seperti
anoreksia, mual, muntah, rasa tidak enak di abdomen dan diare.
3. Golongan analog Meglitinid
Bekerja dengan cara mengikat reseptor sulfonilurea dan menutup ATP-sensitive potassium chanel. Yang termasuk dalam golongan ini
adalah Repaglinid.
4. Golongan Thiazolidindion
Bekerja dengan cara meningkatkan sensitivitas jaringan perifer terhadap insulin. Berikatan dengan PPARγ (peroxisome proliferators
activated receptor-gamma) di otot, jaringan lemak, dan hati untuk menurunkan resistensi insulin. Golongan ini merupakan golongan baru dari
ADO. Termasuk kedalam golongan ini adalah Pioglitazone, Rosiglitazone.
5. Golongan penghambat alphaglukosidase
Yang termasuk dalam golongan ini adalah Akarbosa dan Miglitol yang bekerja dengan cara menghambat alphaglukosidase yang
mengubah di/polisakarida menjadi monosakarida, sehingga memperlambat dan menghambat penyerapan karbohidrat.
Tabel 2.Penggolongan obat hipoglikemik oral
Golongan
Sulfonilurea
Contoh Senyawa
Klorpropamid
Glibenklamida
Glipizida
Glikazida
Glimepirida
Glikuidon
Tolazalim
Tolbutamid
Metformin
Fenformin
Buformin
Mekanisme Kerja
Merangsang sekresi insulin di kelenjar pankreas,
sehingga hanya efektif pada penderita diabetes
yang sel-sel β pankreasnya masih berfungsi
dengan baik
Meglitinid
Repaglinid
Bekerja dengan cara mengikat reseptor
sulfonilurea dan menutup ATP-sensitive potassium
chanel.
Tiazolidindion
Rosiglitazone
Pioglitazone
Penghambat
enzim
alfaglukosidase
Akarbosa
Miglitol
Meningkatkan
kepekaan
tubuh/sensitivitas
terhadap insulin di jaringan perifer. Berikatan
dengan PPARγ (peroxisome proliferators activated
receptor-gamma) di otot, jaringan lemak, dan hati
untuk menurunkan resistensi insulin
Menghambat kerja enzim alfaglukosidase yang
mengubah di/polisakarida menjadi monosakarida,
sehingga memperlambat absorpsi glukosa
kedalam darah
Biguanida
Bekerja langsung pada hati (hepar),menghambat
glukoneogenesis di hati dan meningkatkan
penggunaan glukosa di jaringan.
V. TERAPI KOMBINASI OBAT ANTIDIABETIK ORAL
Pada keadaan tertentu diperlukan terapi kombinasi dari beberapa obat anti diabetik oral (ODA) atau ODA dengan insulin. Kombinasi
yang umum adalah antara golongan sulfonilurea dengan biguanida. Sulfonilurea akan mengawali dengan merangsang sekresi pankreas yang
memberikan kesempatan untuk senyawa biguanida bekerja efektif. Kedua golongan obat antidiabetik oral ini memiliki efek terhadap sensitivitas
reseptor insulin, sehingga kombinasi keduanya mempunyai efek saling menunjang. Pengalaman menunjukkan bahwa kombinasi kedua golongan
ini dapat efektif pada banyak penderita diabetes yang sebelumnya tidak bermanfaat bila dipakai sendiri-sendiri.
Tabel 3.Terapi Kombinasi Obat Anti Diabetik Oral
DRUG
Glipizide/Metformin (Metaglip®, generic)
Glyburide/
generic)
Metformin
(Glucovance®,
AVAILABLE DOSAGE STRENGTH
2.5 mg/250 mg, 2.5 mg/500mg,
5 mg/500 mg tablets
1.25 mg/250 mg,2.5mg/500mg,
5 mg/500 mg tablets
MAXIMUM DAILY DOSE
20 mg/2000 mg per day
20 mg/2000 mg per day
Gabungan IO ekstensi 2007/ page 5of 37
Rosiglitazone/Metformin (Avandamet®)
Pioglitazone/Metformin (ActoPlus Met®)
Pioglitazone/Glimepiride (Duetact®)
Rosiglitazone/Glimepiride (Avandaryl®)
Sitagliptin/Metformin (Janumet®)
2 mg/500 mg, 2 mg/1000 mg,
4 mg/500 mg, 4 mg/1000 mg tablet
15 mg/500 mg, 15 mg/850 mg tablets
8 mg/2000 mg per day
30 mg/2 mg, 30 mg/4 mg tablets
4 mg/1mg, 4 mg/2 mg, 4 mg/4 mg,8 mg/2
mg, 8 mg/4 mg tablets
50 mg/500 mg, 50 mg/1000 mg tablets
30 mg/4 mg per day
8 mg/4 mg per day
45 mg/2550 mg per day
Interaksi obat
Interaksi obat yang mungkin timbul dari pemakaian insulin dengan obat antidiabetik oral atau dengan obat yang lain dapat dilihat pada referensi
yang lebih detil, misalnya BNF terbaru, Stokley's Drug Interactions dan lain sebagainya. Obat-obat tersebut di bawah ini merupakan contoh obatobat yang dapat meningkatkan kadar glukosa darah sehingga memungkinkan adanya kebutuhan peningkatan dosis insulin maupun obat
antidiabetik oral yang diberikan.
Tabel 4.Obat yang dapat menyebabkan hiperglikemia
Alkohol (kronis)
Amiodaron
Asparaginase ++
Antipsikotik atipikal
Beta-agonis ++
Kafein
Calcium channel blockers +
Kortikosteroid +++
Siklosporin ++
Diazoxida +++
Estrogen +++
Fentanil
Alfa-Interferon
Laktulosa
Litium +
Diuretika tiazida +++
Niasin and asam nikotinat ++
Kontrasepsi oral ++
Fenotiazin +
Fenitoin ++
Amina simpatomimetik ++
Teofilin
Preparat Tiroid +
Antidepresan trisiklik
Keterangan (diadaptasi dari Bressler and DeFronzo, 1994):
+ kemungkinan bermakna secara klinis. Studi/laporan terbatas atau bertentangan.
++ bermakna secara klinis. Sangat penting pada kondisi tertentu.
+++ berpengaruh bermakna secara klinis.
Obat atau senyawa-senyawa yang dapat meningkatkan risiko hipoglikemia sewaktu pemberian obat antidiabetik oral golongan
sulfonilurea antara lain: insulin, alkohol, fenformin, sulfonamida, salisilat dosis besar, fenilbutazon, oksifenbutazon, dikumarol, kloramfenikol,
senyawa-senyawa penghambat MAO (Mono Amin Oksigenase), guanetidin, steroida anabolik, fenfluramin, dan klofibrat. Hormon pertumbuhan,
hormon adrenal, tiroksin, estrogen, progestin dan glukagon bekerja berlawanan dengan efek hipoglikemik insulin. Disamping itu,beberapa jenis
obat seperti guanetidin, kloramfenikol, tetrasiklin, salisilat,fenilbutazon, dan lain-lain juga memiliki interaksi dengan insulin, sehingga sebaiknya
tidak diberikan bersamaan dengan pemberian insulin, paling tidak perlu diperhatikan dan diatur saat dan dosis pemberiannya apabila terpaksa
diberikan pada periode yang sama.
Tabel 5.Obat yang dapat menyebabkan hipoglikemia
Asetaminofen
Alkohol (akut)
Steroid Anabolik
Beta-blockers
Biguanida
Klorokuin
Klofibrat
Disopiramida
Guanetidin
Haloperidol
Insulin
Litium karbonat
Inhibitor Monoamin oksidase
Norfloxacin
Pentamidin
Fenobarbital
Fenotiazin
Prazosin
Propoksifen
Kinin
Salisilat
Sulfonamida
Sulfonilurea
Antidepresant trisiklik
Gabungan IO ekstensi 2007/ page 6of 37
Drug-Drug Interactions
Klorpropamid vs alkohol  efek disulfiram (efek antabuse)
1.
MK: proses perombakan enzimatis dari alkohol di hati akan terhambat pada fase asetaldehid, sehingga jumlah asetaldehid dalam darah
meningkat. Efek yang terjadi berupa nyeri kepala, jantung berdebar, flushing, berkeringat.
Rx : C2H5OH  CH3CHO  CH3COOH
Peningkatan ini akan merangsang pelepasan prostaglandin.
Sulfonilurea vs akarbose  meningkatkan efek hipoglikemi
2.
MK: sulfonilurea merangsang sel beta untuk melepaskan insulin yang selanjutnya akan merubah glukosa menjadi glikogen.
Dengan adanya akarbose akan memperlambat absorbsi & penguraian disakarida menjadi monosakarida  insulin >> daripada glukosa 
hipoglikema meningkat.
Sulfonilurea vs antasid  absorbsi sulfonilurea meningkat
3.
MK: interaksi ini terjadi pada proses absorbsi, yaitu antasid akan meningkatkan pH lambung. Peningkatan pH ini akan meningkatkan kelarutan
dari sulfonilurea sehingga absorbsinya dalam tubuh juga akan meningkat.
Insulin vs CPZ  glukosa darah meningkat
4.
MK: CPZ akan menginaktivasi insulin dengan cara mereduksi ikatan disulfida sehingga insulin tidak dapat bekerja.
Sulfonilurea vs Simetidin  hipoglikemi
5.
MK: simetidin menghambat metabolisme sulfonilurea di hati sehingga efek dari sulfonilurea meningkat.
Sulfonilurea vs Alupurinol  hipoglikemi >>
6.
MK: Alupurinol meningkatkan t1/2 dari klorpropamid. Hipoglikemia dan koma dapat dialami oleh pasien yang mengkonsumsi gliclazide dan
alupurinol.
Antidiabetika vs Sulfonamida  peningkatan efek hipoglikemia.
7.
MK: Sulfonamida dapat menggantikan posisi dari sulfonilurea dalam hal pengikatan pada protein dan plasma sehingga sulfonilurea dalam
darah meningkat.
Gemfibrozil vs Glimepirid  hipoglikemi >>
8.
MK: Gemfibrozil menghambat metabolisme glimepirida pada sitokrom P450 dengan isoenzim CYP2C9 yang merupakan perantara metabolisme
dari glimepirida dan antidiabetika golongan sulfonilurea lainnya seperti glipizida, glibenklamida & gliklazida sehingga efek hipoglikemi
meningkat.
Sulfonilurea vs kloramfenikol  hipoglikemi akut
9.
MK: kloramfenikol dapat menginhibisi enzim di hati yang memetabolisme tolbutamid dan klorpropamid. Hal ini menyebabkan terjadinya
akumulasi di dalam tubuh, waktu paruh akan semakin panjang.
10.
Sulfonilurea vs Probenesid  hipoglikemi
MK: probenesid dapat mengurangi ekskresi renal dari sulfonilurea sehingga waktu paruhnya semakin panjang.
11.
Sulfonilurea vs Klofibrate  efek sulfonilurea meningkat dengan adanya klofibrate.
MK: berdasarkan pemindahan sulfonilurea dari ikatan protein plasma, perubahan ekskresi ginjal dan penurunan resistensi insulin.
12.
ADO vs Diuretik Tiazid  meningkatkan kadar gula darah
MK: berdasarkan penghambatan pelepasan insulin oleh pankreas.
Gabungan IO ekstensi 2007/ page 7of 37
13.
ADO vs Ca channel bloker  hiperglikemia
MK: menginhibisi sekresi insulin dan menghambat sekresi glukagon, terjadi perubahan ambilan glukosa dari hati dan sel-sel lain, kadar glukosa
dalam darah meningkat mengikuti pengeluaran katekolamin sesudah terjadinya vasodilatasi, dan perubahan metabolisme pada glukosa.
14.
Tolbutamid vs Sulfipirazone  Hipoglikemia
MK: sulfipirazone menghambat metabolisme tolbutamid di hati.
15.
Repaglinide vs Klaritromisin (makrolida)  efek repaglinide meningkat
MK: Klaritromisin menghambat metabolisme repaglinide dengan menginhibisi sitokrom P450 isoenzim CYP3A4.
16.
ADO vs SSRIs  Hipoglikemi
MK: Fluvoxamine menurunkan kliren dari tolbutamid dengan menghambat metabolismenya oleh sitokrom P450 isoenzim CYP2C9, sehingga
terjadi peningkatan kadar plasma. Sehingga efek hipoglikeminya meningkat.
17.
Pioglitazon vs kontrasepsi oral  mengurangi komponen hormon sampai 30%, berpotensi mengurangi efektivitas kontrasepsi.
MK: pioglitazon menginduksi Sistem sitokrom P450 isoform CYP3A4 yang merupakan bagian yang bertanggung jawab terhadap metabolisme
kontrasepsi, oleh karena itu obat-obat yang lainnya yang dipengaruhi oleh sitokrom P450 juga dapat berinteraksi.
18.
Rosiglitazon vs NSAID  resiko edema meningkat.
MK: Rosiglitazon & obat-obat NSAID sama-sama sebabkan retensi cairan, sehingga kombinasi keduanya dapat meningkatkan resiko edema.
19.
Glibenklamid vs Fenilbutazon  Efek hipoglikemia glibenklamid diperpanjang.
MK: Fenilbutazon menghambat ekskresi renal dari glibenklamid, sehingga dapat bertahan lebih lama dalam tubuh & memperpanjang t1/2
glibenklamid.
20.
Glibenklamid vs ocreotide  ocreotide memiliki efek hipoglikemia, sehingga dosis glibenklamid yang digunakan dapat dikurangi dosisnya.
MK: ocreotide menginhibisi aksi dari glukagon.
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
InfoPOM BADAN PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA.Volume : IV Edisi 5: Mei 2003
Pharmaceutical care untuk penyakit Diabetes Mellitus Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik DIRJEN Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan DEPKES RI 2005
Oral Antidiabetic Agents [Developed - April 1994; September 1995 revised; June 1996; June 1997; June 1998; July 1999; June 2000;
June 2001; September 2001; July 2002; June 2003; October 2007revised; November 2007, February 2008] MEDICAID DRUG USE
REVIEW CRITERIA FOR OUTPATIENT USE
Anonim., InfoPOM Antidiabetik Oral, Volume : IV Edisi 5: Mei 2003, Badan Pengawasan Makanan dan Obat.
Stockley. I.H., Stockley’s Drug Interactions, 2005, University of Nottingham Medical School, Nottingham, UK, Pharmaceutical Press.
INTERAKSI OBAT DENGAN MAKANAN
Obat-obat yang kita konsumsi dapat saling mempengaruhi yang dampaknya bisa negatif dan bisa juga positif bagi kesehatan. Saling
pengaruh yang terjadi bila kita menggunakan lebih dari 1 macam obat disebut juga interaksi obat. Dalam praktek sehari-hari, interaksi obat jarang
dikatakan sebagai akibat kegagalan pengobatan. Sesungguhnya pemberian obat kepada pasien yang terlampau banyak jenisnya, misalnya lebih
dari 4 macam, sangat potensial menimbulkan efek yang tidak diinginkan akibat interaksi obat.
Interaksi obat adalah peristiwa di mana aksi suatu obat diubah atau dipengaruhi oleh obat lain yang diberikan bersamaan.
Kemungkinan terjadinya peristiwa interksi harus selalu dipertimbangkan dalam klinik, manakala dua obat atau lebih diberikan secara bersamaan
atau hampior bersamaan. Tidak semua interaksi obat membawa pengaruh yang merugikan, beberapa interaksi justru diambil manfaatnya dalam
praktek pengobatan.
Gabungan IO ekstensi 2007/ page 8of 37
Interaksi dapat membawa dampak yang merugikan kalau terjadinya interaksi tersebut sampai tidak dikenali sehingga tidak dapat
dilakukan upaya-upaya optimalisasi. Secara ringkas dampak negatif dari interaksi ini kemungkinan akan timbul sebagai:
-
Terjadinya efek samping
-
Tidak tercapainya efek terapetik yang diinginkan
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya interaksi obat yaitu :
1.
Obat dengan indek terapi sempit.
2.
Obat yang mempunyai bioavaibilitas rendah.
3.
Formulasi obat.
4.
Stereokimia obat.
5.
Potensi obat.
6.
Obat yang mempunyai kurva dosis respon yang tajam / curam.
7.
Lama terapi / penggunaan obat.
8.
Dosis obat.
9.
Konsentrasi obat dalam darah dan jaringan (cairan tubuh).
10. Waktu dan urutan penggunaan obat.
11. Rute penggunaan obat
12. Base line dari interaksi dan indek terapi.
13. Jumlah obat yang mengalami metabolism.
14. Kecepatan metabolisme obat
15. Ikatan obat dengan protein
16. Volume distribusi
17. Problem farmakokinetik
Jenis interaksi ada 4 macam, yaitu interaksi obat – obat, Interaksi Obat – makanan, Interaksi Obat – penyakit, Interaksi Obat – Hasil lab.
Disini akan dibahas lebih lanjut interaksi obat dengan makanan. Tipe interaksi ini kemungkinan besar dapat mengubah parameter farmakokinetik
dari obat terutama pada proses absorpsi dan eliminasi, ataupun efikasi dari obat.
Pengaruh makanan atau minuman terhadap obat dapat sangat signifikan atau hampir tidak berarti, bergantung pada jenis obat dan
makanan/minuman yang kita konsumsi. Selain itu harus pula dipahami bahwa sangat banyak faktor lain yang mempengaruhi interaksi ini, antara
lain dosis obat yang diberikan, cara pemberian, umur, jenis kelamin, dan tingkat kesehatan pasien. Pengurangan penyerapan obat oleh tubuh
dapat juga terjadi bila obat-obat ditelan bersama obat dan makanan yang mengandung kalsium, magnesium, aluminium dan zat besi.
Obat yang diberikan secara oral akan melalui saluran pencernaan terlebih dahulu. Oleh karena itu hasil kerja obat di dalam tubuh
manusia sangat mungkin dipengaruhi oleh makanan atau minuman yang dikonsumsinya. Mekanismenya bisa terjadi melalui penghambatan
penyerapan obat atau dengan mempengaruhi aktivitas enzim di saluran cerna ataupun enzim di hati.
Ada 2 kemungkinan hasil interaksi obat dan makanan. Yang pertama interaksi obat dan makanan dapat mengurangi atau bahkan
menghilangkan khasiat atau manfaat obat dan yang kedua dapat meningkatkan efek samping atau efek dari obat itu sendiri.
Hal-hal yang harus diingat tentang interaksi obat dan makanan antara lain:(1)(2)
1.
Bacalah aturan pakai pada kemasan obat
2.
Baca semua aturan, peringatan dan pencegahan interaksi yang ditulis pada label obat dan kemasan. Bahkan obat bebas pun dapat
menyebabkan masalah.
3.
Gunakan obat dengan segelas air putih, kecuali dokter menyarankan cara pakai yang berbeda.
4.
Jangan mencampur obat ke dalam makanan/ minuman atau menmbuka cangkang kapsul karena dapat mempengaruhi khasiat obat.
5.
Jangan mencampur obat dengan minuman panas karena panas dapat mempengaruhi kerja obat.
6.
Jangan pernah minum obat dengan minuman beralkohol.
Berikut akan dibahas beberapa golongan obat yang akan berinteraksi dengan adanya makanan atau minuman. Golongan obat-obatan yang akan
dibahas antara lain:
Monoamin oksidase inhibitor (MAOI)
Antihipertensi
Gabungan IO ekstensi 2007/ page 9of 37
Antiparkinson
Antikoagulan Oral
Immunosuppressant
Antiinflamasi Nonsteroid
Antibiotika
MONOAMIN OKSIDASE INHIBITOR (MAOI)
Monoammine oxydase inhibitors (MAOIs) adalah golongan obat antidepresan, yang digunakan untuk pengobatan depresi.
Mekanisme kerja dari enzim MAO (Monoamine oksidase) adalah membantu melepaskan ephinephrine, norephinephrine, dopamine,
dan serotonin. Ketika monoamin oksidase dihambat, konsentrasi dari neurotrasnmitter meningkat. Obat-obat golongan MAOI masih sering
digunakan untuk pengobatan depresi pada manusia.
Inhibitor monoamin oksidase bekerja menghambat penguraian noradrenalin endogen sehingga meningkatkan kadar noradrenalin di
sistem saraf pusat dan di perifer. Selain itu, MAOI juga dapat menghambat penguraian tiramin. Simpatomimetika tak langsung seperti tirarnin
membebaskan juga noradrenalin. Dengan adanya tiramin dan obat golongan MAOI dalam tubuh dapat mengakibatkan konsentrasi noradrenalin
meningkat.
Gambar 1. Mekanisme kerja obat golongan MAO
Obat-obat MAOI meliputi:
(3)

phenelzine (Nardil®)

tranylcypromine (Parnate®)

selegiline (Eldepryl®)

isocarboxazid (Marplan®)

moclebemice (Manerix®)
Efek samping (4)
Mengantuk, konstipasi, muntah, diare, sakit perut, lelah, mulut kering, pusing, tekanan darah turun, pusing khususnya ketika posisi
bangun dan duduk, menurunnya pengeluaran urin, menurunnya fungsi seksual, tidur terganggu, kejang otot, pandangan kabur, sakit kepala,
menigkatnya nafsu makan, gelisah, menggigil, meningkatnya pengeluaran keringat.
Tabel 1. Interaksi yang terjadi antara obat MAOI dengan makanan(6)
Obat MAO inhibitor
Isocarboxazid (Marplan®)
Tranylcypromine sulfate (Parnate®)
Phenelzine sulfate (Nardil®)
Makanan tinggi tiramin
Keju (cheddar), Hati ayam
Minuman cola, Makanan kaleng (daun/sayuran), Pisang
Bir, Buncis
Kafein, Ekstrak ragi
Daging, Coklat
Ikan kecil, Ikan asin/yg diawetkan, Alpukat, Jamur
Kismis, Sosis (peperoni)
Sour cream, Saus kedelai
Wine: Chianti, Minuman anggur
Hasil interaksi
Makanan yang mengandung tiramin
jika dikombinasi dengan obat MAO
inhibitor dapat menyebabkan sakit
kepala yang hebat, palpitasi, mual,
muntah, dan peningkatan tekanan
darah. Berpotensi mengakibatkan
stroke mematikan dan serangan
jantung.
Gabungan IO ekstensi 2007/ page 10of 37
Gambar 2. Mekanisme interaksi obat golongan MAOI dengan adanya makanan yang mengandung tiramin
ANTIPARKINSON
Mekanisme Kerja :
1.
Dopaminergik Sentral
Pengisian kembali kekurangan DA (Dopamin) korpus stratium
2.
Antikolinergik Sentral
Mengurangi aktivitas kolinergik yang berlebihan di ganglia basal
3.
Penghambat MAO-B
Menghambat deaminase dopamin sehingga kadardopamin di ujung saraf dopaminergik lebih tinggi.
Tabel 2. Interaksi yang terjadi antara obat Antiparkinson dengan makanan(6)
Nama Obat
Methionine
tryptophan
phenylalanine
Bendopa
Dopar
Larodopa
Sinemet
Makanan
Daging dan hati
Biji gandum
Ragi
Makanan
tambahan
atau
Suplemen vitamin seperti vitamin
B6
Makanan yang tinggi protein
Hasil Interaksi
Vitamin B6 menghilangkan aktivitas
dari L-dopa dalam mengobati gejala
penyakit parkinson. Diet protein
yang berlebihan dapat menghambat
L-dopa mencapai otak.
ANTIHIPERTENSI
Mekanisme Kerja :
1.
Penghambat ACE
Penghambat ACE mengurangi pembentukan AII sehingga terjadi vasodilatasi dan penurunan sekresi aldosteron.
2.
Diuretik
Meningkatkan ekskresi natrium, klorida dan air sehingga mengurangi volume plasma dan cairan ekstra sel.
3.
Vasodilator
Melepaskan nitrogen oksida yang mengaktifkan guanilat siklase dengan hasil akhir defosforilasi berbagai protein, termasuk protein
kontraktil, dalam sel otot polos.
Tabel 3. Interaksi yang terjadi antara obat Antihipertensi dengan makanan(6)
Nama Obat
Enalapril
Captopril
Calan-SR
Capoten
Inderal
Lopressor
Vasotec
Imidapril
Spironolacton
Makanan
Sejenis gula-gula yang dibuat
dari Succus liquiritae
makanan
yang
banyak
mengandung garam
Hasil Interaksi
Komponen yang terdapat dalam akar
licorice alami menyebabkan retensi
garam dan air yang dapat
meningkatkan tekanan darah.
Gabungan IO ekstensi 2007/ page 11of 37
ANTIKOAGULAN ORAL
Mekanisme kerja:(5)
Antikoagulan oral merupakan antagonis vitamin K. Vitamin K adalh kofaktor yang berperan dalam aktivasi factor pembekuan darah II,
VII, IX, X yaitu dalam mengubah residu asm glutamate menjadi residu asam gama karboksiglutamat. Untuk berfungsi vitamin K mengalami siklus
oksidasi dan reduksi di hati. Antikoagulan oral mencegah reduksi vitamin K teroksidasi sehingga aktivasi factor-faktor pembekuan darah
terganggu/tidak terjadi.
Tabel 4. Interaksi yang terjadi antara obat Antikoagulan Oral dengan makanan(6)
Obat
Warfarin
Makanan
Alkohol
Mekanisme Interaksi
Peminum alkohol berat dapat menstimulasi enzim hepatik yang terkait dengan
metabolisme dari warfarin, menyebabkan warfarin cepat dieliminasi, sebagai
hasil dari t ½ yang pendek
Mencegah absorspsi antikoagulan
Vitamin C dosis tinggi
cranberry juice
Jahe
Gingseng
Rokok
Vitamin E
Dikumarol
Vitamin E
Antikoagulan
natto (makanan jepang yang
terbuat dari fermentasi kacang
kedelai, dapat menurunkan efek
dari warfarin)
makanan dan minuman:
Makanan
Grapefruit juice
Avocado, ice-cream, kacang
kedelai
Acenocoumarol
Dicoumarol
Warfarin
Antikoagulan
Makanan mngandung
vitaminK: Hati sapi; Kubis, kol;
Minyak; Kol cina ; Sayuran hijau ;
Bayam
Kemungkinan dari kompisisi cranberry juice (mungkin flavonoid, diketahui
bahwa menghambat kerja sitokrom P450) menghambat metabolisme
warfarinmenurunkan Cl, meningkatkan efek
Jahe menghambat agregasi platelet
Penggunaan bersama dengan gingseng kadang-kadang terjadi perdarahan, hal
ini disebabkan karena gingseng mengandung komponen antiplatelet
Komponen dari roko menginduksi/menstimulasi enzim hati , yang mana
meningkatkan sedikit metabolisme warfarinmenurunkan kerja warfarin
Pemberian vitamin E sebesar 1200UI setiap hari selama 2 bulan
menyebabkan perdarahan
Pemberian 800UImenurunkan faktor pembekuan darah dan menyababkan
perdarahan
Pemberian vitamin E 42 UI setiap hari selam 1 bulanmenurunkan efek
dikumarol setelah 36 jam
pada proses pencernaan,aktivitas Bacillus natto di dalam natto pada usus
hewan yang menyebabkan peningkatan sintesis dan kemudian peningkatan
absorbsi vitamin K
- Makanan memperpanjang retensi dikumarol dengan makanan-makanan
bagian usus
- Protein dari kacang kedelai meningkatkan aktivitas vitamin K pada reseptor
dibagian hatimenurunkan efek dari warfarin
- Alpukat yang mengandung sedikit vitamin K (8µg/100g) mempengaruhi
warfarin dengan inhibisi kompetitif
- Grapefruit juice meningkatkan kelemahan efek inhibitor jus anggur pada
aktivitas sitokrom isoenzim P450 CYP3A4 dalam usus.
Vitamin K menaikkan bekuan darah. Dengan adanya makanan ini, efek dari
antikoagulan, pengencer darah menjadi menurun
IMMUNOSUPPRESSANT
Mekanisme kerja:
Kerja dari obat-obat golongan immunosuppressan adalah menghambat atau mencegah aktifitas sistem imun.

Biasanya digunakan dalam pengobatan immunosuppressive.

Mencegah penolakan transplantasi organ dan jaringan (sumsum tulang, jantung, ginjal,hati).

Mengobati penyakit autoimun ( rheumatoid arthritis, multiple sclerosis, myasthenia gravis, systemic lupus erythematosus, Crohn's
disease, pemphigus, and ulcerative colitis).

Pengobatan beberapa penyakit inflamatory non-autoimmune (long term allergic asthma control)
Tabel 5. Interaksi yang terjadi antara obat Immunosuppressan dengan makanan(6)
Obat
Ciclosporin
Mekanisme kerja
Penghambatan selektif
sel
T,
menurunkan
produksi dan pelepasan
limfokin
serta
menghambat
ekspresi
interleukin 2.
Makanan
Makanan
Susu
Grapefriut juice
Red wine
St
John’s
wort
(Hypericum
perforatum)
Vitamin E
Efek yang dihasilkan
Makanan, susu dan grapefruit juice bisa meningkatkan
bioavaibilitas ciclosporin.
Red wine menurunkan bioavailabilitas ciclosporin
Menyebabkan penurunan kadar ciclosporin dalam serum
dan terjadi penolakan organ jika digunakan dalam beberapa
minggu pertama trnsplantasi.
Meningkatkan absorbsi ciclosporin
Gabungan IO ekstensi 2007/ page 12of 37
Keterangan:
•
ciclosporin dimetabolisme oleh cytochrome P450 3A4. Penggunaan bersama ciclosporin dengan inhibitor cytochrome P450 3A4 dapat
menimbulkan peningkatan kadar ciclosporin dalam plasma. Besarnya interaksi dan efek potensi bergantung pada efek variabilitas
cytochrome P450 3A4.
•
Grapefruit juice (naringin flavanoid) diperkirakan menghambat aktivitas dari citokrom p450 isoenzyme CYP3A (metabolisme) pada
dinding usus dan hati sehingga kadar ciclosporin menjadi lebih tinggi , terutama dengan konsumsi grapefruit juice yang berlebihan
(>1,2 liter/hari)
•
jus grapefruit mengandung bahan utama naringin, yang memberi rasa kecut serta aroma khas. Naringin inilah yang diduga memblok
"transporter" obat yang dinamakan OATP1A2 yang mengangkut bahan aktif obat dari usus kecil ke pembuluh darah. Pemblokiran
transporter ini mengurangi absorpsi obat dan menetralisasi potensi manfaatnya.
•
Antioksidan (resveratol) pada red wine dapat menginaktivasi CYP3A4 sehingga bisa meningkatkan kadar ciclosporin, namun red wine
juga menurunkan solubilitas ciclosporin dengan cara membentuk ikatan ciclosporin-red wine pada saluran gastrointestinal sehingga
berpotensi menurunkan bioavaibilitas ciclosporin.
Tabel 6. Interaksi yang terjadi antara obat Immunosuppressan dengan makanan(6)
Obat
takrolimus
Mekanisme kerja
menghambat transkripsi gen pembentuk
sitokin pada limfosit T, menghambat
pelepasan histamin melalui mekanisme
anti-IgE.
Makanan
St.john’s wort
Efek yang dihasilkan
Menurunkan kadar takrolimus
Grapefruit juice
Meningkatkan kadar takrolimus
Keterangan :

Makanan yang dapat menimbulkan interaksi dengan takrolimus adalah St.john’s wort, efek yang dihasilkannya dapat menurunkan
kadar takrolimus. Cytochrome P450 3A4 adalah enzim yang memetabolisme takrolimus.
St john’s wort bekerja dengan cara
meninduksi (cytochrome P450 3A4) sehingga kadar takrolimus dalam darah menurun.

Sedangkan Grapefruit juice dapat meningkatkan kadar takrolimus Grapefruit juice (naringin flavanoid) diperkirakan menghambat
aktivitas dari citokrom p450 isoenzyme CYP3A (metabolisme) pada dinding usus dan hati sehingga kadar takrolimus menjadi lebih
tinggi.
ANTIINFLAMASI NONSTEROID (AINS)
Mekanisme kerja utama kebanyakan NSAID adalah menghambat sintesis prostaglandin melalui pengharnbatan enzim siklooksigenase.
Gambar 3. Bagan penghambatan obat antiradang terhadap pembentukan metabolit-metabolit radang.(7)

Aspirin atau derivat salisilat dengan makanan  Hindari makanan bersamaan dengan analgesik karena menghambat absorpsi aspirin.
Asam asetilsalisilat (aspirin) sebagai prototip nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAID) merupakan analgetika nonsteroid,
non-narkotik (Reynolds, 1982). Kerja utama asam asetilsaIisilat dan kebanyakan obat antiradang nonsteroid lainnya sebagai penghambat
enzim siklooksigenase yang mengakibatkan penghambatan sintesis senyawa endoperoksida siklik PGG2 dan PGH2. Kedua senyawa ini
Gabungan IO ekstensi 2007/ page 13of 37
merupakan prazat semua senyawa prostaglandin, dengan demikian sintesis rostaglandin akan terhenti (Mutschler, 1991; Campbell, 1991).
(7)
Bukti klinis, mekanisme dan penanganan
Sebuah studi pada 25 sukarelawan diberikan 650 mg aspirin dalam 5 preparasi aspirin yang berbeda menunjukkan bahwa makanan
“roughly halved” pada tingkat serum salisilat ketika diukur pada 10 dan 20 menit selanjutnya, dibandingkan dengan ketika dosis yang sama
diambil pada keadaan puasa. Hasil serupa ditemukan pada percobaan pada sukarelawan yang diberikan 1500 mg kalsium aspirin. Pada
percobaan lain terhadap 8 sukarelawan yang diberikan aspirin effervescent, level serum salisilat mereka secara perlahan terhambat dengan
adanya makanan pada 15 menit, namun hampir sama setelah 1 jam. Alasan yang mungkin untuk mengurangi absorpsi yakni aspirin
diadsorbsi oleh makanan. Makanan juga menghambat pengosongan lambung. Maka jika diperlukan efek analgesik yang cepat, aspirin
harus diberikan tanpa makanan, tapi jika aspirin dibutuhkan untuk jangka waktu lama, maka dengan adanya makanan dapat membantu
untuk melindungi mukosa lambung.

Dekstropropoksifen (propoksifen) dengan makanan  Makanan dapat menghambat absorpsi dekstropropoksifen, tapi secara total
absorpsi justru meningkat.
Bukti klinis, mekanisme dan penanganan
Sebuah studi pada subjek sehat dalam keadaan puasa, kadar plasma puncak dekstropropoksifen telah dicapai dalam 2 jam, lemak kadar
tinggi dan karbohidrat kadar tinggi menghambat level serum puncak menjadi 3 jam dan protein tinggi menjadi 4 jam. Pada kedua protein
dan karbohidrat (makanan kecil) menyebabkan sedikit peningkatan total dari jumlah propoksifen yang diabsorpsi. Kemungkinan alasan
keterlambatan penyerapan adalah makanan menghambat pengosongan lambung dan kemungkinan juga secara fisik mencegah
dekstropropoksifen kontak dengan permukaan usus. Hindari makanan, jika diperlukan efek anlgesik yang cepat.
ANTIBIOTIKA
Antibiotik merupakan substansi kimia yang diproduksi oleh berbagai spesies mikroorganisme (bakteri, fungi, aktinomisetes), mampu
menekan pertumbuhan mikroba lain dan mungkin membinasakan.
Mekanisme kerja antibiotik:(8)
Antibiotik dapat menghambat pertumbuhan mikroba melalui beberapa mekanisme yang berbeda, diantaranya adalah dengan cara:
1. Menghambat sintesis dinding sel mikroba.
2. Mengganggu membran sel mikroba.
3. Menghambat sintesis protein dan asam nukleat mikroba.
4. Mengganggu metabolisme sel mikroba.
Beberapa obat-obatan dari golongan antibiotik, diketahui memberikan interaksi apabila dikonsumsi bersamaan dengan makanan
tertentu, diantaranya:
Tabel 7. Interaksi yang terjadi antara obat Antibiotika dengan makanan(6)
Obat
Makanan/Minuman
Mekanisme
Tetrasiklin
Susu
Tetrasiklin mempunyai afinitas yang kuat terhadap
ion kalsium yg terdapat pada susu & produk
olahanya, dimana akan terbentuk khelat yang akan
sulit diabsorbsi pada GI sehingga kadarnya dalam
serum akan berkurang
Doksisiklin
Alkohol
Pasien yg mengkonsumsi alkohol dapat
memetabolisme beberapa jenis obat dengan cepat
dibandingkan dengan yang tidak, berkaitan dengan
efek dari induksi oleh enzim, sehingga akan terjadi
penurunan kadar doksisiklin
Ciprofloksasin
Ofloksasin
Norfloksasin
gatifloksasin
Dairy product
Dairy product dapat menurunkan bioavibilitas dari
ciprofloksasin, norfloksasin dan gatifloksasin,
dimana akan terbentuk suatu khelat yg insoluble
dengan ion Ca
Makanan dapat memperlambat absorbsi dari
ciprofloksasin & ofloksasin dengan mekanisme
dimana AB gol quinolon ini akan membentuk suatu
khelat yg insoluble dengan ion divalen, misal Ca &
Mg
Gabungan IO ekstensi 2007/ page 14of 37
cefalosforin
Dairy product
clindamycin
Dairy product
amoxicillin
Makanan berserat
Rifampisin
makanan
secara farmakokinetik obat golongan cefalosforin (cefprozil,
cefpodoxime proxeti) sangat kecil efeknya
lincomycin terjadi penurunan tingkat pada level serum 2 sampai 3 kali
jika dikonsumsi setelah makan. Tetapi klindamisin tidak terlalu berefek.
Siklamat juga dapat menurunkan absorpsi dari linkomisin
diet serat dapat menyebabkan sedikit penurunan absopsi dari
amoxicillin.
Adanya makanan dapat memperlambat dan mengurangi absorbsi dari
rifampisin (mekanismenya belum jelas)
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
http://www.hsc.virginia.edu/uvahealth/adult_nontrauma/fooddrug.cfm diunduh pada tanggal 4 mei 2009 pukul 11:00 WIB.
www.pom.go.id Pusat Informasi Obat Nasional diunduh pada tanggal 4 mei 2009 pukul 11:14 WIB.
http://health.howstuffworks.com/health-illness/treatment/medicine/medications/antidepressant4.htm diunduh pada tanggal 4 mei
2009 pukul 13:06 WIB.
http://www.mayoclinic.com/health/maois/MH00072/NSECTIONGROUP=2 diunduh pada tanggal 4 mei 2009 pukul 15:43 WIB.
Anonim. Farmakologi Dan Terapi, edisi 4.1995. Jakarta : Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran – Universitas Indonesia.
Ivan H. Stockley. Stockley’s Drug Interactions. UK, Nottingham: University of Nottingham Medical School.
Mansoer, Soewarni. 2003. Mekanisme Kerja Obat Antiradang. Bagian farmasi FK UNSU.
Suwandi, Usman. 1992. Mekanisme Kerja Antibiotik. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan P.T. Kalbe Farma.
INTERAKSI OBAT-OBAT PARKINSON
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Penyakit Parkinson merupakan suatu sindrom klinik yang ditandai empat gejala pokok: bradikinesi (lambat untuk memulai gerakan),
rigiditas otot, resting tremor ( tremor saat istirahat) serta abnormalitas sikap tubuh dan berjalan (Cedarbaum dan Schleifer, 1992). Sindrom
ini pertama kali diutarakan oleh James Parkinson tahun 1817 yang dikenal sebagai paralysis agitans atau shaking palsy,yang merupakan
penyakit neurodegenerative sebagai penyebab umum sindrom ini. Diduga penyakit Parkinson (Parkinsonisme) merupakan 1-2 % dari
kelainan neurologi (Mc Dowel,1981).
Penyakit Parkinson mempunyai dua bentuk pokok, yaitu :
1.
Parkinsonisme idiopatik (paralisis agitans)
2.
Parkinsonisme simptomatik, akibat cedera kepala atau penyakit. Manifestasi klinis seperti ini dapat diakibatkan oleh aterosklerosis
serebri, cedera kepala, infeksi (termasuk neurosifilis), keracunan atau Mangan.
Penyebab penyakit Parkinson, menurut Calne (1980) ialah :
1. Obat-obat ( reserpin, tetrabenozine, fenotiazin seperti klorprolazin, butirofenon seperti haloperidol, difenilbutilpiperidin seperti
pinozoid, antidepresan trisiklik, prokain dan diazoksid).
2. Bahan toksik (Cd, Mangan)
3. Infeksi (ensefalitis, sifilis)
4. Tumor
5. Infark
6. Predisposisi genetic
Sebagian besar pasien merupakan Parkinsonisme idiopatik. Didapat inclusion neural yang disebut : Lewy bodies. Lesi patologiknya luas
tapi hampir selalu melibatkan substansia nigra dan g nglia basal.
Gejala pokok penyakit Parkinson ialah: tremor, rigiditas dan hipokinesia. Gambaran klinis dari penyakit Parkinson termasuk adanya
kelainan ekspresi fasial, postur, cara melangkah (gait), attitude dan gerakan serta rigiditas dan tremor (Walton,1982).
Tahapan Penyakit Parkinson (Herzberg)

Tahapan 1 : gejala begitu ringan sehingga pasientidak merasa terganggu.

Tahapan 2 : gejala ringan dan mulai sedikit mengganggu.

Tahapan 3 : gejala bertambah berat.

Tahapan 4 : tidak mampu lagi berdiri tegak, kepala, leher dan bahu jatuh kedepan.

Memburuknya gejala, menimbulkan keputusasaan.
Gabungan IO ekstensi 2007/ page 15of 37
B.
Mekanisme Kerja Obat Parkinson
 Agonis dopamine
Agonis dopamine secara langsung mengaktivasireseptor-reseptor dopamine pada saraf-saraf postsinaptik sehingga terjadi stimulasi
reseptor-reseptor tersebut sama sepertiapabila reseptor berikatan dengan dopamine.
 Antikolinergik
Memblok aktivitaseksitatorik yang meningkat dari sambungan antar neuron yang bersifat kolinergik pada jalur keluaran dari ganglia
basal, yang secara tidak langsung terjadi akibat hilangnya kerja inhibitorik dopamine pada sambungan antarneuron tersebut
 Levodopa
Levodopa akan di dekarboksilasi  dopamine  jumlah neurotransmitter dopamine bertambah stimulasi reseptor dopamine
sentral & perifer
Pada SSP dan ditempat lainnya, levodopa diubah oleh 1-asam amino dekarboksilase (1-AAD) menjadi dopamine. Dijaringan perifer 1AAD dapat diblok dengan cara memberikan karbidopa, yang tidak dapat menembus sawar otak, oleh karena itu karbidopa
meningkatkan penetrasi levodapa eksognus trsebut serta menurunkan efek samping (misal : mual, muntah, aritmia jantung, mimpi
buruk, hipotensi postural) akibat metabolisme levodopa perifer menjadi dopamine.
 Inhibitor MAO-B
MAO-B inhibitor akan menghambat secara irreversible enzim monoamine oksidase B yang mrupakan enzim penting dalam
metabolisme dopamine.
Blockade metabolisme MAO-B akan menyebabkan lebih banyak inhibitor yang tersedia untuk menstimulasi reseptor-reseptor
dopamin
 Inhibitor COMT
Memblok jalur alternative pada mtabolisme dopamine. Memperpanjang waktu paruh dopamine sehingga memperpanjang durasi
dan aksi dopamine.
INTERAKSI OBAT ANTI PARKINSON
1.
Levodopa + Antasid
Antasid tidak berinteraksi secara signifikan dengan levodopa, walaupun ada beberapa kejadian ada beberapa kejadian bahwa antacid
mengurangi bioavailabilitas levodopa.
Mekanisme :
Usus halus merupakan tempat absorpsi yang utama untuk levodopa dan penundaan pengosongan lambung dapat menyebabkan kadar
levodopa dalam plasma rendah, hal ini disebabkan karena levodopa dapat dimetabolisme di dalam pencernaan.
2.
Levodopa + Antikolinergik
Antikolinergik sangat luas penggunaannya dengan levodopa. Antikolinergik dapat mengurangi penyerapan levodopa sehingga dapat
mengurangi efek sampai tingkat tertentu.
Mekanisme :
Usus halus merupakan tempat absorpsi yang utama untuk levodopa, antikolinergik dapat menyebabkan penundaan pengosongan lambung
sehingga dapat menyebabkan rendahnya kadar levodopa dalam plasma karena metabolism di mukosa lambung menjadi lebih lambat.
3.
Levodopa + Antiemetik (Metoklopramid)
Metoklopramid dapat meningkatkan efek dari levodopa
Mekanisme :
Metoklopramid merupakan antagonis dopamine yang dapat menyebabkan gangguan extrapiramidal (gejala Parkinson). Pada sisi lain
metoklopramid merangsang pengosongan lambung yang dapat meningkatkan bioavaibilitas levodopa.
4.
Levodopa + Antipsikosis (Phenotiazin & Butirofenon)
Phenotiazin (eg. Chlorpromazin) dan Butirofenon (eg.Haloperidol) memblok reseptor dopamine di otak dan mempengaruhi pengembangan
extrapiramidal (gejala Parkinson)
Gabungan IO ekstensi 2007/ page 16of 37
5.
Levodopa + Baclofen
Menyebabkan efek samping yang tidak menyenangkan (halusinasi, bingung, sakit kepala, mual) dan memeperburuk gejala Parkinson.
6.
Levodopa + Benzodiazepin
Menyebabkan efek terapeutik levodopa berkurang karena penggunaan bersama dengan chlordiazepoxid, diazepam atau nitrazepam
7.
Levodopa dengan anastetik
Anestetik : meningkatkan potensi aritmia, jika levodopa diberikan bersamaan dengan cairan anestetik umum yang diuapkan (inhalasi)
8.
Levodopa dengan anti depresan
Resiko terjadi krisis hipertensi jika levodopa diberikan bersamaan dengan penghambat MAO, meningkatkan resiko efek smping jika
levodopa diberikan bersama dengan moklobemid
9.
Levodopa dengan piridoksin
Dapat menurunkan jumlah levodopa yang melewati sawar otak.
Mekanisme : Dalam jumlah yang kecil (lebih dari 5 mg) piridoksin sudah dapat meningkatkan dekarboksilasi levodopa di perifer, akibatnya
levodopa yang mencapai jaringan otak berkurang
10. Amantadin + Cotrimoxazol
Dapat meningkatkan kekacauan mental akut pada pasien usia lanjut, namun bersifat reversible
11. Amantadin + Quinin & Qunidin
Pada kadar 200 mg quinine atau quinidin dapat mengurangi metabolisme amantadin berturut-turut sebanyak 36 %.
12. Amantadin + Thiazid
Menyebabkan ataksia (kehilangan keseimbangan tubuh), gelisah dan halusinasi berkembang tidak lebih.
13. Bromokriptin + Antibiotik Makrolide
Menghambat metabolism bromokriptin oleh hati sehingga ekskresinya menurun dan konsentrasinya tinggi dalam serum darah
14. Levodopa + Entacapone
Entacapone meningkatkan kadar plasma dan bioavailabilitas levodopa, sehingga meningkatkan efek terapi pada pasien penyakit Parkinson.
Akan tetapi peningkatan ini disertai dengan meningkatnya efek samping levodopa (contoh: diskinesia), sehingga disarankan bahwa saat
mulai digunakan entacapone, dosis levodopa sebaiknya dikurangi sekitar 10 sampai 30% (termasuk pada hari atau minggu pertama
pemakaian) untuk menghindari potensi terjadinya efek samping tersebut.
15. Levodopa + Fluoxetine
Penggunaan fluoxetine untuk mengobati depresi yang terkait dengan penyakit parkinson umumnya bermanfaat bagi pasien yang diterapi
dengan levodopa untuk mengobati penyakit tersebut. Meskipun demikian, terkadang gejala parkinsonian justru semakin memburuk. Gejala
ekstrapiramidal jarang terjadi namun diduga gejala tersebut merupakan efek samping fluoxetine.
Urgensitas dan menejemen
Walaupun memiliki bukti terbatas, namun tampaknya pada beberapa kasus, parkinsonisme dapat diperparah oleh fluoxetine. Suatu
penelitian menemukan bahwa kombinasi yang digunakan dapat ditoleransi oleh 12 dari 14 orang percobaan, sehingga disimpulkan bahwa
interaksi hanya terjadi pada beberapa penderita, akan tetapi belum diketahui tipe pasien yang seperti apakah yang dapat menimbulkan
terjadinya interaksi tersebut. Penggunaan bersama secara berkelanjutan dapat memberikan keuntungan dan tidak perlu dihindari, hanya
saja perlu dilakukan monitoring hasil, dan apabila diperlukan pemakaian fluoxetine dapat dihentikan.
Gabungan IO ekstensi 2007/ page 17of 37
16. Levodopa + Isoniazid
Tidak terdapat bukti bahwa isoniazid dapat menurunkan efek levodopa pada penderita Parkinson. Dilaporkan pula bahwa penggunaan
isoniazid bersama dengan levodopa dapat menyebabkan terjadinya hipertensi, takikardi, flushing dan tremor pada pasien.
Mekanisme
Studi metabolisme pada pasien mengindikasikan bahwa isoniazid menghambat dopa-dekarboksilase (walaupun mungkin dapat disebabkan
oleh mekanisme lainnya). Kasus mengenai hipertensi dan takikardi belum diketahui, meskipun demikian diasumsikan bahwa hal tersebut
disebabkan oleh efek inhibisi monoamine oksidase yang lemah oleh metabolit isoniazid.
17. Levodopa + Metildopa
Metildopa dapat meningkatkan efek levodopa sehingga perlu dilakukan penurunan dosis pada beberapa pasien, akan tetapi di sisi lain hal ini
dapat pula menyebabkan terjadinya diskinesia yang semakin buruk. Dapat pula terjadi efek peningkatan hipotensi yang kecil.
Bukti klinis
a.
Efek pada respon levodopa
Studi silang acak-ganda (double-blind crossover study) pada 10 pasien dengan penyakit Parkinson yang telah menggunakan levodopa
selama 12 sampai 40 tahun menunjukkan bahwa dosis harian optimum levodopa diturunkan menjadi 68% apabila digunakan
metildopa dengan dosis tertinggi pada penelitian ini (1920 mg per hari), dan menjadi 50% dengan metildopa 800 mg per hari.
Laporan lain menjelaskan penurunan dosis levodopa terjadi sampai lebih dari 30% dan 70% selama pengobatan bersama metildopa.
Laporan lain menyatakan bahwa terapi penyakit Parkinson pada beberapa pasien meningkat selama penggunaan bersama metildopa,
akan tetapi di sisi lain dapat memperburuk diskinesia. Metildopa itu sendiri dapat menyebabkan sindrome mirip-parkinson reversibel.
b.
Efek terhadap respons metildopa
Penelitian pada 18 pasien Parkinsosn menunjukkan bahwa kombinasi levodopa dan metildopa dapat menurunkan tekanan darah.
Dosis yang digunakan tidak mempengaruhi tekanan sistolik apabila digunakan sendiri. Dosis harian2,5 g levodopa dengan metildopa
500 mg dapat menyebabkan penurunan tekanan darah hingga 12/6 mmHg. Tidak tampak terjadinya perubahan pada kontrol
levodopa, akan tetapi studi tersebut hanya dilakukan selama beberapa hari.
Mekanisme
(a)
Satu teori menyatakan bahwa levodopa menghambat enzim pendestruksi levodopa di luar otak sehingga lebih banyak levodopa
bebas yang dapat memberikan efek terapi.
(b)
Peningkatan hipotensi dapat disebabkan oleh efek aditif kedua obat.
Urgensitas dan menejemen
Penggunaan bersama kedua obat tidak perlu dihentikan akan tetapi perlu dimonitoring dengan baik. Penggunaan metildopa diikuti
dengan penurunan dosis levodopa (antara 30 dan 70%) dan dapat meningkatkan kontrol pada penyakit Parkinson, akan tetapi perlu
diperhatikan bahwa pada beberapa pasien diskinesia dapat semakin memburuk.
18. Levodopa + Mirtazapine
Suatu laporan menjelaskan mengenai psikosis serius yang disebabkan oleh interanksi antara levodopa dan mirtazapine. Hal tersebut terjadi
dikarenakan psikosis yang diinduksi dopamine dicetuskan oleh efek aditif mirtazapine pada levodopa.
19. Levodopa atau Whole broad beans + Monoamin oksidase inhibitor (MAOI)
Reaksi hipertensi yang cepat, serius dan mengancam jiwa dapat terjadi pada pasien pengguna MAOI non selektif ireversibel apabila
diberikan levodopa atau apabila mereka memakan whole broad beans yang mengandung dopa pada cangkang atau kulitnya. Diragukan
adanya interaksi yang terjadi antara sediaan levodopa yang mengandung carbidopa atau benserazide (Sinemet, Madopar). Tidak terjadi
reaksi hipertensi serius yang dilaporkan telah terjadi pada penggunaan MAO-A inhibitor selektif seperti moclobemide, dan interaksi akut
yang serius pada penggunaan selegiline, MAO-B inhibitor selektif.
Gabungan IO ekstensi 2007/ page 18of 37
(a)
Levodopa + MAOI non-selektif, ireversibel
Pasien yang setiap hari mengkonsumsi phenelzine selama 10 hari diberikan 50 mg levodopa secara peroral. Hanya dalam waktu
beberapa jam menunjukkan terjadinya peningkatan tekanan darah dari 135/90 menjadi sekitar 190/130 mmHg, dan walaupun dengan
penyuntikan 5 mg phentolamine secara iv, tekanan darah meningkat sampai 200/135 mmHg sebelum akhirnya turun kembali setelah
penyuntikan 4 mg phentolamine berikutnya. Hari berikutnya percobaan dilanjutkan dengan pemberian 25 mg levodopa, akan tetap
tampak terjadinya peningkatan tekanan darah. Tiga minggu setelah penghentian phenelzine, pemberian levodopa sampai 500 mg
tidak memberikan efek hipertensi.
Kasus hipertensi akut yang serupa biasa disertai dengan flushing, throbbing, dan pounding pada kepala, leher, dada dan sakit kepala
ringan dilaporkan terjadi pada penggunaan levodopa bersama dengan pargyline, nialamide, tranylcypromine, phenelzine dan
isocarboxazid.
(b)
Whole broad beans + MAOI non-selektif, ireversibel
Reaksi seperti hipertensi dilaporkan terjadi pada pasien yang menggunakan MAOI non-selektif, ireversibel yang juga mengkonsumsi
whole broad beans (Vicia alba) atau polong utuh yang masih berkulit, karena pada kulitnya mengandung dopa akan tetapi tidak pada
polongnya. Termasuk di dalam interaksi ini adalah pargyline dan phenelzine.
(c)
Levodopa + MAO-A inhibitor selektif (Moclobamide)
Sebuah penelitian pada 12 orang sehat yang diberikan dosis tunggal Madopar (levodopa + benserazide) dengan 200 mg moclobemide
dua kali sehari melaporkan bahwa objek percobaan menderita mual, muntah dan peningkatan dizziness, akan tetapi reaksi
peningkatan tekanan darah yang signifikan tidak terlihat.
(d)
Levodopa + MAO-B inhibitor selektif (Selegiline)
Kombinasi levoopa dan seleginine telah digunakan secara luas. Tidak terjadi reaksi hipertensi yang serius pada penggunaan MAOI nonselektif. Tidak ada interaksi farmakokinetik yang dilaporkan, dan interaksi serius jarang terjadi. Beberapa penelitian melaporkan efek
kombinasi yang menguntungkan pada kombinasi tersebut, akan tetapi dikatakan bahwa hal tersebut dapat meningkatkan mortalitas.
Retensi urinasi juga diasosiasikan pada penggunaan kombinasi obat ini.
Mekanisme
Keseluruhan levodopa dikonversi secara enzimatis di dalam tubuh, pertama menjadi dopamine, dan kemudian menjadi noradrenalin
(norepinefrin), keduanya akan dirusak oleh monoamine oksidase. Akan tetapi dengan adanya MAOI efek penghancuran tersebut dapat
terhambat, sehingga kadar plasma dopamine dan noradreanalin akan meningkat. Bagaimana tepatnya hal tersebut dapat
meningkatkan tekanan darah secara tajam belum jelas, akan tetapi baik dopamine maupun noradrenalin akan secara langsung
menstimulus reseptor alfa pada sistem kardiovaskular
Urgensitas dan menejemen
Interaksi antara MAOI non-selektif ireversibel dengan levodopa atau whole broad beans termasuk sarius dan membahayakan jiwa.
Pasien sebaiknya tidak diberikan levodopa selama pengobatan dengan MAOI tersebut, maupun setelah 2 sampai 3 minggu pasca
penghentian obat tersebut.
Tidak terjadi interaksi akut yang tidak diinginkan pada penggunaan bersama antara levodopa dan moclobemide, akan tetapi beberapa
efek samping akan tetap terjadi.
Tidak terjadi interaksi akut yang tidak diinginkan pada penggunaan bersama antara levodopa dan seleginine, akan tetapi dikatakan
bahwa dengan penambahan seleginine dapat dilakuka penurunan dosis levodopa (disarankan sekitar 30%).
20. Levodopa + Papaverin
Bukti Klinis :
(a)
Penurunan efek levodopa
Seorang wanita dengan parkinsonisme diterapi menggunakan levodopa (yang selanjutnya dilakukan penambahan carbidopa), mulai
menunjukkan parkinsonisme yang semakin memburuk dalam satu minggu saat diberikan 100 mg papaverin setiap hari untuk
Gabungan IO ekstensi 2007/ page 19of 37
mengobati insufisiensi pembuluh serebral. Kondisi tersebut tetap tampak bahkan setelah penghentian papaverin. Respons normal
terhadap levodopa kembali pulih setelah satu minggu. Empat pasien lainnya juga menunjukkan respons serupa.
(b)
Efek levodopa tetap
Sebuah studi acak ganda (double blind crossover) dilakukan pada 9 pasien parkinsonisme yang diobati menggunakan levodopa (antara
100 sampai 750 mg per hari) dan inhibitor dopa-dekarboksilase. Dua di antaranya juga manggunkan bromocriptine 40 mg per hari dan
triheksilphenidyl (benzhexol) 15 mg per hari.
Mekanisme
Papaverin memblok reseptor dopamine pada otak, sehingga menghambat efek levodopa. Selain itu papaverim memiliki aktivitas miripreserpin pada vesikel di neuron adrenergik (yang dapat menurunkan simpanan katekolamin).
21. Levodopa + Penicillamine
Penicillamine dapat meningkatkan kadar plasma levodopa pada beberapa pasien. Hal ini dapat meningkatkan terapi pada parkinsonisme,
akan tetapi ROTD levodopa juga dapat meningkat.
Bukti Klinis, mekanisme, urgensitas dan menejemen.
Pasien parkison mengalami peningkatan kadar plasma levodopa sebesar 60% setelah pemberian 600 mg penicillamin per hari. Hal ini
menyebabkan meningkatnya terapi akan tetapi diikuti pula oleh diskinesia. Diperhatikan bahwa pasien perlahan-lahan mengalami
penurunan kadar tembaga (copper) dan ceruloplasmin plasma. Hal ini disebabkan karena terjadinya efek kelasi tembaga oleh penicillamine.
Penicillamine dapat ,mempengaruhi farmakokinetik levodopa.
22. Levodopa + Phenylbutazone
Bukti Klinis, mekanisme, urgensitas dan menejemen
Seorang pasien (yang sangat sensitif terhadap levodopa) ditemukan bahwa pasien tersebut dapat mencegah pergerakan involunter dari
lidah, leher dan lengan yang disebabkan oleh levodopa (125 mg). Pasien tersebut dapat menekan efek samping levodopa dengan
menggunakan fenilbutazon. Fenilbutazon juga menurunakan efek terapi dari levodopa.
23. Levodopa + Phenytoin
Efek terapi levodopa dikurangi atau dihilangkan dengan adanya fenitoin.
Bukti Klinis, mekanisme, urgensitas dan menejemen
Suatu studi pada pasien yang menggunakan levodopa 630 hingga 4600 mg, ditemukan bahwa jika dilakukan pemberian bersama dengan
fenitoin (dosis 500 mg per hari selama 5 sampai 19 hari) maka dapat menghilangkan efek dyskinesia, tetapi efek menguntungakan dari
levodopa untuk penyakit parkinson juga berkurang atau hilang
24. Levodopa + Pyridoxine (Vitamin B6)
Efek levodopa berkurang atau hilang pada penggunaan bersama dengan piridoksin tetapi interaksi ini tidak terjadi jika levodopa diberikan
bersama dengan carbidopa atau benserazide (misal :. Sinemet, Madopar).
Bukti Klinis
(a) Levodopa
Suatu studi pada 25 pasien yang diobati dengan levodopa menunjukkan bahwa jika mereka diberikan piridoksin dosis tinggi (750
hingga 1000 mg per hari),efek levodopa benar-benar hilang dalam 3 sampai 4 hari, dan beberapa penurunan efek dalam 24 jam. Dosis
harian 50 hingga 100 mg piridoksin juga mengurangi atau menghilangkan efek dari levodopa, dan peningkatkan tanda dan gejala
parkinson terjadi 8 dari 10 pasien yang menggunakan 5 sampai 10
(b) Levodopa/carbidopa
Studi pada 15 pasien kronik Parkinson dengan levodopa ditemukan bahwa jika diberikan
dosis tunggal 250-mg dosis levodopasecara oral, pemberian piridoksin 50 mg
menyebabkan puncal level oplasma menurun hingga mencapai 70%. Pemberian 50 mg
Gabungan IO ekstensi 2007/ page 20of 37
dengan levodopa 250 mg mempotensiasi level puncak plasma dopa menjadi
1300 nanograms/ml.
Mekanisme
Konversi levodopa menjadi dopamine di dalam tubuh membutuhkan adanya pyridoxal-5-phosphate (berasal dari pyridoxine) seagai
kofaktor.jika konsumsi piridoksin tinggi, maka metabolisme perifer levodopa di luar otak meningkat sehingga hanya sedikit yang dapat
masuk ke dalam susunan saraf pusat. Pyridoksin juga dapat menyebabkan metabolisme levodopa dengan Schiff-base formation.
Adanya inhibitor dopa-decarboxylase seperti carbidopa atau benserazide, metabolisme perifer levodopa diturunkan dan levodopa
dapat masuk ke susunan saraf pusat dalam jumlah yang lebih besar.
25. Levodopa + Rauwolfia alkaloids
Efek levodopa diantagonis dengan penggunaan alkaloid rauwolfia seperti reserpine.
Bukti Klinis, mekanisme, urgensitas dan menejemen
Reserpine dan alkaloid rauwolfia lain menurunkan miniamin di dalam otak, termasuk dopamine, sehingga menurunkan efeknya. Hal ini
dapat menyebabkan gejala yang mirip dengan parkinson, dan dapat mengantagonis efek dari levodopa.
26. Levodopa + Spiramycin
Level plasma carbidopa diturunkan dengan penggunaan spiramycin, oleh karena itu dapat menurunkan efek terapeutiknya.
Bukti Klinis
Observasi pada pasien Parkinson yang menggunakan levodopa/carbidopa (Sinemet) menjadi sedikit tidak terkontrol jika diberikan bersama
dengan spiramisin. Studi dilanjutkan pada 7 orang sehat yang diberikan 250 mg levodopa dengan 25 mg carbidopa. Setelah menggunakan
spiramisin 1 g dua kali sehari selama 3 hari, AUC dari levodopa turun 57%, sementara level maksimum plasma turun dari 2162 menjadi
1680 nanograms/ml (tidak signifikan). Kerelativan ioavailabilitas levodopa hanya 43%.
Mekanisme
Spiramycin menurunkan absorpsi carbidopa, dengan membentuk kompleks yang tidak dapat diabsorpsi di dalam usus atau dengan
meningkatkan transit di dalam usus. Sehingga carbidopa yang diabsorpsi tidak mencukupi, sehingga efek levodopa turun.
Urgensitas dan menejemen
Informasi sangatlah terbatas, tetapi terdapat interaksi obat dan penting secara klinis. Jjka spiramycin diberikan, maka antisipasi diperlukan
untuk meningkatkan dosis levodopa/carbidopa (hingga dua kali dosis biasa). Hal ini tidak diketahui apakah antibakteri makrolida lain
memiliki efek yang sama, atau apakah spiramycin berefek pada sediaan levodopa/benserazide.
27. Levodopa + Tacrine
Semakin memburuknya parkinson pada pasien yang diberikan tacrin. Efek levodopa diantagonis ketika dosis takrin meningkat
Bukti Klinis
Parkinson ringan pada wanita tua yang juga menderita Alzheimer semakin memburuk, terjadi tremor yang parah, stiffness dan disfungsi gait
(cara berjalan) dalam waktu 2 minggu saat meningkatkan dosis takrin dari 10 mg menjadi 20 mg empat kali sehari.
Mekanisme
Parkinsson disebabkan karena ketidakseimbangan antara dua neurotransmiter (dopamine and acetylcholine) di dalam basal ganglia otak.
Tacrine (antikolinesterase sentral) meningkatkan jumlah asetilkolin di dalam otak, yang dapat menyebabkan eksaserbasi gejala parkinson.
Gabungan IO ekstensi 2007/ page 21of 37
28. Levodopa + Tricyclic antidepressants
Terjadi efek hipertensif ketika imipramine atau amitriptyline digunakan bersama dengan Sinemet.
Bukti Klinis
Adanya hipertensi (tekanan darah 210/110 mmHg) yang berhubungan dengan agitasi, tremor dan rigidity terjadi pada wanita uang
menggunakan 6 tablet of Sinemet (levodopa 100 mg + 10 mg carbidopa) per hari, kemudian hari berikutnya pasien tersebut menggunakan
imipramin 25 mg tiga kali sehari. Saat penggunakan imipramin dihentikan, pasien tersebut kembali pada keadaan nornal setelah 24 jam.
Reaksi serupa terjadi lagi saat pasien tersebut meminum 25 mg amitriptyline tiga kali sehari. Reaksi hipertensif yang mirip (meningkat dari
190/110 menjadi 270/140 mmHg) terjadi dalam waktu 34 jam pada pasien lain yang mengkonsumsi amitriptyline 20 mg pada malam ketika
diberikan setengah tablet Sinemet dan 10 mg metoclopramide tiga kali sehari.
Mekanisme
Tidak diketahui. Usus halus merupakan tempat absorpsi utama dari levodopa. Menunda efek pengosongan lambung yang dapat disebabkan
oleh antikolinergik, nampak adanya penurunan lebel plasma levodopa, karena mukosa lambung memetabolisme levodopa.
29. Lisuride + berbagai macam obat
Eritromisin dan makanan dapat bereaksi secara klinik dengan lisuride. Antagonis dopamine dapat diperkirakan mengurangi efek dari lisuride,
dan lisuride dapat memperburuk efek dari obat-obt psikotropik.
Bukti Klinis
Terhadap 12 orang sehat, lisuride dengan dosis 200 mcg secara oral atau 50 mcg secara iv diberikan 30 menit setelah penggunaan
eritromisin (dosis tidak diketahui) sehari 2 kali selama empat hari. Lalu pada 30 orang sehat lainnya diberikan 200 mcg lisuride secara oral
dalam keadaaan puasa atau terdapat makanan. Maka dapat terlihat eritromisin dan makanan dapat merubah farmakokinetik dan
farmakokinetik dari lisuride.
Lisuride merupakan agonis dopamine, maka obat-obat antagonis dopamine seperti haloperidol, sulpirirde dan metoklopramid dapat
melemahkan efek obat-obat psikotropik.
30. Piribedil + Clonidine
Clonidine dapat dilaporkan, bahwa efeknya melawan efek yang dihasilkan dari piribedil.
Berdasarkan pengamatan pada 5 pasien yang mengkonsumsi piribedil bersamaan dengan clonidine (1,5 mg perhari untuk 10-24 hari) dapat
memperburuk proses Parkinson. Maka, penggunaan obat antikolinergik dapat mengurangi dengan efek dari interaksi tersebut.
31. Pramipexole + berbagai macam obat
Cimetidine, Probenecid dan amantadine dapat mengurangi clearance pramipexole dari dalam tubuh. Pramipexole tidak diharapkan
berinteraksi dengan obat-antikolinergik, levodopa (pengurangan dosis mungkin diperlukan) atau selegine, tetapi penggunaannya harus
diperhatikan jika obat tersebut dikombinasikan dengan obat antipsikotik.
Berdasarkan pengamatan terhadap 12 orang sehat, ditemukan cimetidine (multiple dose) mengurangi clearance dari pramipexole dengan
dosis 250 mcg (single dose) sebesar 35 % dan meningkatkan waktu paruh sebesar 40 %. Amantadine dan cimetidine, keduanya dieliminasi
oleh rute tersebut ( contoh melalui renal kationik sistem transport sekresi), maka tingkat ekskresi kedua obat tersebut berkurang.
Probenecid (multiple dose) diberikan kepada 12 orang sehat dapat mengurangi clearance pramipexole sebesar 10, 3%. Dapat disimpulkan
bahwa hendaknya pengurangan dosis pramipexole dipertimbangkan ketika amantadin atau cimetidine diberikan secara bersamaan dengan
pramipexole.
Meskipun tidak ada interaksi farmakokinetik diantara pramipexole dan levodopa, pramipexole merubah aksi levodopa , maka penurunan
dosis levodopa seiring dengan penaikan dosis pramipexole. Penggunaan secara bersamaan dengan obat-obat antipsikoti, harus dapat
dihindari, sebab sebagian besar aksi antagonis dopamine akan mengantagonis efek pramipexole, agonis dopamine.
Gabungan IO ekstensi 2007/ page 22of 37
Meskipun tidak terdapat interraksi farmakokinetik pramipexol dengan levodopa, tetapi jika pada penggunaan Pramipexole dengan dosis
tinggi, maka levodopa dosisnya harus ditambah.
Aksi Antagonis dopamine dapat akan mengantagonis atau menghambat efek dari pramipexole, antagonis dopamine.
32. Ropinirole + berbagai macam obat
Oestrogen dapat mengurangi clearancero pinerole. Cimetidin, Ciproploxacin, fluvoxamin dapat meningkatkan efek ropinerole, dan
dopamine antagonis seperti metoklopramid dan sulpiride mengurangi efek ropinerole.
Ropinirole merupakan agonis dopamine, jadi obat antipsikotik dan obat-obat lain yang bertindak pada reseptor sentral dopamine antagonis
(sulpiride dan metoclopramide), harus dihindari karena dapat mengurangi keefektifan ropinerole.
Ropinirol dan levodopa tidak memiliki interaksi farmakokinetik pada kondisi steady-state. Meskipun demikian, maka disarankan mengurangi
dosis levodopa sekitar 20%. Oestrogen yang digunakan dalam Hormonal Replacement Therapy (HRT) dapat mengurangi clearance ropinirole.
Berdasarkan pengamatan secara invitro menunjukkan sitokrom P45o dengan isoenzim CYP1A2 yang sebagian besar bertanggung jawab
terhadap metabolisme ropinerole, dengan CYP3A yang mempunyai sedikit peranan dalam metabolisme ropinirol. Adanya interaksi dengan
obat-obat yang merangsang atau menghambat CYP1A2.
Penggunaan bersama dengan obat-obat seperti cimetidin, ciprofloxacin dan fluvoxamine dapat miningkatkan efek ropinirenol, maka jika
digunakan bersamaan dosis ropinerol hendaknya dikurangi.
33. Selegine + Antidepressant
Beberapa kasus sindrom serotonin dan kerusakan serius pada SSP telah terlihat pada penggunaan selegiline dan trisiklik antidepresan atau
SSRI S .

SSRIS
a. Citalopram
Pengamatan dilakukan secara acak terhadap 18 orang , dimana tidak menunjukkan adanya interaksi farmakodinamik dan
farmakokinetik pada penggunaan bersama citalopram dan selegiline. Pemberian 20 mg citalopram sekali dalam sehari untuk
pemakaian 10 hari dimana 4 hari citalopram digunakan bersama selegiline dengan pemberian dosis 10 mg sekali sehari. Tidak ada
bukti yang menunjukkan adanya perubahan, teteapi bioavaibilitas selegiline sedikit berkurang sekitar 30% dengan adanya
citalopram. Tetapi dapat disimpulkan bahwa tidak ada interaksi klinik yang terjadi diantara selegiline dan citalopram.

Antidepresan Tetrasiklik
Pada seseorang yang sedang menggunakan selegiline, levodopa/carbidopa, lisuride, maprotiline, teofilin, efedrin menyebabkan
hipertensi (tekanan darah 300/150 mg), vasokonstriksi, bingung, nyeri perut, berkeringat dan takikardi (110 bpm) meningkatkan dosis
teofilin dan efedrin. Semua obat tersebut diberhentikan penggunaannya, dan pasien diberikan nicardipin secara iv. Orang tersebut
sembuh dalam waktu yang singkat. Dapat diperkirakan hal tersebut adalah ‘pseudophaeochromocytoma’ yang disebabkan oleh
selegiline/maprotilen/interaksi efedrin.

Antidepresan Trisiklik
Pada tahun 1989 dan 1994 FDA menerima 16 laporan mengenai interaksi selegiline dan antidepresan trisiklik, yang berhubungan dengan
adanya sindrom serotonin. Oleh karena ini pihak Amerika menetapkan bahwa penggunaan bersama selegiline dengan antidepresan
trisiklik harus dihindari.
Salah satu penelitian menyatakan pada 4568 pasien yang menggunakan selegiline dan antidpresan (termasuk trisiklik) hanya ditemukan
11 orang (0,24%) yang mengalami sindrom serotonin dan 2 orang (0,04%) yang mengalami gejala yang serius.
Penelitian lainnya yang dirancang untuk mengevaluasi toleransi dan efikasi dari kombinasi selegiline dan antidepresan trisiklik yang
diidentifikasi dari 28 pasien yang menggunakan kedua obat tersebut. Berdasarkan pengamatan, 17 pasien sudah pasti menerima
kebaikan/manfaat dan 6 pasien lainnya kemungkian menerima kebaikan/manfaat dari kombinasi kedua obat tersebut.
Sedangkan pada penelitian lainnya yaitu pada 25 angka kejadian pada penggunaan kombinasi selegiline-trisiklik tidak ditemukan adanya
kasus serotonin sindrom.
Gabungan IO ekstensi 2007/ page 23of 37

Antidepresan lainnya
a.
Trazodone
Berdasarkan pengamatan pada pasien dengan penyakit Parkinson dengan selegiline 5-10 mg perhari (dan obat antiparkinson
lainnya seperti levodopa/carbidopa, bromocriptin, amantadin, pergolide antikolinergik) menyebutkan bahwa penambahan
tazadone 25 sampai 150 mg perhari menyebabkan tidak adanya efek samping dan pasien menunjukkan bahwa adanya manfaat dari
kombinasi tersebut, termasuk peningkatan gejala-gejala parkinson
b.
Venlafaxine
Seseorang dengan peningkatan sindrom serotonin 15 hari setelah memberhentikn penggunaan selegiline 50 mg (perhari)dan
selama 30 menit pada awal penggunaan venlafaxine 37,5 mg.
34. Selegiline + Cocain
Cocain dan selegiline tidak berinteraksi secara langsung
Berdasarkan pengamatan terhadap 5 orang yang diberikan cocaine dengan dosis 0,20 dan 40 mg, lalu satu jam kemudian diberikan
selegiline dengan dosis 10 mg secara oral. Maka, Coccaine akan meningkatkan denyut jantung,tekanan darah, diameter pupil dan euphoria.
Bagaimanapun, pemberian selegiline mengurangi diameter pupil, tetapi tidak merubah dilatasi pupil atu efek lainnya yang ditimbulkan
setelah pemberian cocaine. Dapat disimpulkan bahwa penggunaan kedua obat tersebut aman jika digunakan secara bersamaan dan tidak
menguatkan efek cocaine.
INTERAKSI OBAT DENGAN UJI LAB
PENDAHULUAN
I.
Latar Belakang
Agar dapat memantau keadaan kesehatan kita, perlu dilakukan tes laboratorium secara berkala. Pemeriksan laboratorium adalah
suatu tindakan dan prosedur pemeriksaan khusus dengan mengambil bahan/sample dari penderita, dapat berupa urine (air kencing), darah,
sputum (dahak), atau sample dari hasil biopsy
Tujuan pemeriksaan laboratorium yaitu :
1.
Mendeteksi penyakit
2.
Menentukan resiko
3.
Memantau perkembangan penyakit
4.
Memantau pengobatan dan lain-lain
5.
Mengetahui ada tidaknya kelainan/penyakit yang banyak dijumpai dan potensi membahayakan.
Dalam makalah ini akan dibahas hal yang dapat mempengaruhi pemeriksaan laboratorium adalah penggunaan obat oleh pasien
sebelum dilakukan pemeriksaan. Penggunaan obat dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan hematologi misalnya : asam folat, Fe, vitamin
B12 dll. Pada pemberian kortikosteroid akan menurunkan jumlah eosinofil, sedang adrenalin akan meningkatkan jumlah leukosit dan
trombosit. Pemberian transfusi darah akan mempengaruhi komposisi darah sehingga menyulitkan pembacaan morfologi sediaan apus darah
tepi maupun penilaian hemostasis. Antikoagulan oral atau heparin dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan hemostasis.
PENDAHULUAN
Kesehatan merupakan hal yang penting dalam kehidupan, bila kita sakit kita tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari seperti biasa
apalagi bagi orang-orang yang memang memiliki aktivitas yang banyak atau jadual yang padat, mereka akan merasa merugi karena terganggu dan
terhambat aktivitasnya. Belum lagi bagi mereka yang teryata terkena penyakit yang parah maka akan membutuhkan biaya yang mahal untuk
memulihkan kesehatannya. Adapun pepatah mengatakan “kesehatan itu mahal harganya” oleh krena itu kita harus selalu menjaga dan
memelihara kesehatan tubuh kita dengan salah satunya pola hidup sehat mengkonsumsi makan-makanan yang bergizi (sayur, buah, susu),
mengkonsumsi multivitamin bila perlu, olahraga yang teratur, istirahat yang cukup, menghindari atau memiimalkan stress dengan refreshing di
akhir pekan dan kegiatan positif lainnya.
Agar dapat memantau keadaan kesehatan, perlu dilakukan tes laboratorium secara berkala, dengan panel pemeriksaan laboratorium,
sehingga kita tahu bagaimana keadaan tubuh kita sebenarnya. Tes laboratorium bisa dilakukan setahun sekali sebagai bagian dari pemeriksaan
Gabungan IO ekstensi 2007/ page 24of 37
rutin, untuk megetahui parameter kesehatan kita. Tapi karena tes check up gini biasanya tidak murah, maka jarang sekali orang melakukan tes
rutin tahunan. Biasanya tes cuma dilakukan bila dokter menemukan indikasi suatu penyakit, dan harus dipastikan diagnosanya dengan tes lab.
Berikut adalah contoh brosur dari Laboratorium Prodia seputar tes-tes rutin (dan non rutin) yang biasa dilakukan:

Panel Check Up Kesehatan, bertujuan untuk mengetahui kualitas kesehatan secara umum, baik yang menyangkut fungsi organ
maupun keadaan metabolisme tubuh.

Panel Premarital, untuk mendeteksi adanya penyakit menular, menahun atau diturunkan, yang dapat mempengaruhi kesuburan
pasangan maupun kesehatan rutin.

Panel Awal Kehamilan, untuk mengetahui adanya penyakit yang dapat mempengaruhi kesehatan ibu hamil maupun janinnya.

Panel Demam, untuk mengetahui penyebab demam.

Panel Torch, untuk mengetahui adanya infeksi dan status kekebalan terhadap parasit tosoplasma, virus rubella, cytomegalovirus dan
virus herpes tipe 2 yang dapat mempengaruhi janin.

Panel Pengelolaan Diabetes Mellitus, untuk memantau hasil pengobatan dan mendeteksi factor resiko komplikasi Diabetes Mellitus.

Panel Lemak, untuk mengetahui kadar berbagai jenis lemak yang penting dalam proses terjadinya penyumbatan pembuluh darah
(Aterosklerosis).
Setiap laboratorium menentukan nilai 'normal', yang ditunjukkan pada kolum 'Nilai Rujukan' atau 'Nilai Normal' pada laporan
laboratorium. Nilai ini tergantung pada alat yang dipakai dan cara pemakaiannya. Tubuh manusia tidak seperti mesin, dengan unsur yang dapat
diukur secara persis dengan hasil yang selalu sama. Hasil laboratorium dapat berubah-ubah tergantung pada berbagai faktor, diantaranya : jam
berapa contoh darah atau cairan lain diambil; infeksi aktif; tahap infeksi HIV; dan makanan (untuk tes tertentu, contoh cairan harus diambil
dengan perut kosong tidak ada yang dimakan selama beberapa jam). Kehamilan juga dapat mempengaruhi beberapa nilai. Oleh karena faktor ini,
hasil lab yang di luar normal mungkin tidak menjadi masalah.
Tidak ada standar nilai rujukan; angka ini diambil terutama dari laboratorium RSCM, Jakarta; nilai laboratorium lain dapat berbeda. Jadi
angka pada laporan kita harus dibandingkan dengan nilai rujukan pada laporan, bukan dengan nilai rujukan pada lembaran ini. Bahaslah hasil
yang tidak normal dengan dokter.
Untuk informasi lebih lanjut mengenai jenis tes dan range angka normal, dapat di lihat pada Lembaran Informasi beberapa pemeriksaan
yang umum dilakukan di laboratorium hitung darah lengkap, tes kimia darah, gula, lemak darah, fungsi organ ginjal, fungsi hati. Pada tabel ini, bila
ada beda tergantung pada jenis kelamin, angka ditunjukkan sebagai ‘P’ untuk perempuan dan ‘L’ untuk laki-laki.
Darah
Ukuran
Eritrosit (sel darah merah)
Satuan
juta/µl
Hemoglobin (Hb)
g/dL
Hematokrit
%
Basofil
Eosinofil
Batang1
Segmen1
Limfosit
Monosit
Laju endap darah (LED)
Hitung Jenis
%
%
%
%
%
%
mm/jam
Nilai Rujukan
4,0 – 5,0 (P)
4,5 – 5,5 (L)
12,0 – 14,0 (P)
13,0 – 16,0 (L)
40 – 50 (P)
45 – 55 (L)
0,0 – 1,0
1,0 – 3,0
2,0 – 6,0
50,0 – 70,0
20,0 – 40,0
2,0 – 8,0
< 15 (P)
< 10 (L)
5,0 – 10,0
27 – 31
32 – 36
80 – 96
150 – 400
103/µl
Pg
g/dL
Fl
103/µl
Catatan:
1. Batang dan segmen adalah jenis neutrofil. Kadang kala dilaporkan persentase neutrofil saja,
dengan nilai rujukan 50,0–75,0 persen
Leukosit (sel darah putih)
MCH/HER
MCHC/KHER
MCV/VER
Trombosit
Gabungan IO ekstensi 2007/ page 25of 37
Fungsi Ginjal
Ukuran
Satuan
Nilai Rujukan
Kreatinin
U/L
Urea
mg/dL
60 – 150 (P)
70 – 160 (L)
8 – 25
Natrium
mmol/L
135 – 145
Klorid
mmol/L
94 – 111
Kalium
mmol/L
3,5 – 5,0
Fungsi Hati
Ukuran
Satuan
Nilai Rujukan
ALT (SGPT)
U/L
AST (SGOT)
U/L
Alkalin fosfatase
U/L
< 23 (P)
< 30 (L)
< 21 (P)
< 25 (L)
15 – 69
GGT (Gamma GT)
U/L
5 – 38
Bilirubin total
mg/dL
0,25 – 1,0
Bilirubin langsung
mg/dL
0,0 – 0,25
Protein total
g/L
61 – 82
Albumin
g/L
37 – 52
Profil Lipid
Ukuran
Kolesterol total
HDL
Satuan
mg/dL
mg/dL
Trigliserid
mg/dL
Nilai Rujukan
150 – 200
45 – 65 (P)
35 – 55 (L)
120 – 190
Lain-lain
Ukuran
Glukosa (darah, puasa)
Amilase
Asam Urat
Satuan
Mg/dL
U/L
Mg/dL
Nilai Rujukan
70 – 100
30 – 130
2,4 – 5,7 (P)
3,4 – 7,0 (W)
Beberapa Tes laboratorium yang sering dilakukan diantaranya ialah :
Tes darah lengkap
Tes ini mengukur tiap komponen dalam darah. Tes darah lengkap sangat penting karena beberapa jenis obat-obatan dapat
menyebabkan rendahnya jumlah darah merah atau darah putih, yang kemudian dapat menyebabkan anemia atau kelainan darah lain. Tes ini
mengukur jumlah sel darah putih, hemoglobin, hematocrit dan platelet dalam darah. Dengan menggunakan tes ini, jumlah sel darah putih yang
tinggi dapat berarti tubuh melakukan perlawanan terhadap infeksi yang mungkin tidak terdeteksi; jumlah sel darah merah yang rendah dengan
hemoglobin dan hematocrit bisa jadi merupakan anemia akibat konsumsi obat; dan jumlah platelet yang rendah dapat mempengaruhi
pembekuan darah.
Skrining kimia darah
Tes ini merupakan skrining umum untuk mengukur apakah organ-organ tubuh anda (jantung, hati, ginjal, pankreas), otot dan tulang,
bekerja dengan benar dengan mengukur kimia-kimia tertentu dalam darah. Tes ini penting untuk mendeteksi infeksi atau efek samping obat.
Salah satu fokus terpenting dalam tes ini adalah monitor enzim hati. Hati merupakan organ tubuh penting karena hati membantu memproses
obat-obatan, dan karena obat-obatan ini menuntut lebih banyak dari hati anda, ada kemungkinan terjadi toksisitas hati yang dapat
mempengaruhi kesehatan umum anda. Albumin, alkalin, fosfat dan bilirubin juga perlu dimonitor untuk memastikan hati anda bekerja dengan
baik. Fokus penting lain adalah untuk memonitor tingkat lipid jantung anda. Tes ini membantu memonitor kolesterol LDL (kolesterol jahat),
Gabungan IO ekstensi 2007/ page 26of 37
kolesterol HDL (kolesterol sehat) serta trigliserida. Mengenal jenis-jenis lipid ini sangatlah penting untuk membantu memonitor kemungkinan
penyakit jantung. Tes kimia darah ini sebaiknya dilakukan setiap tiga bulan, hasilnya dapat diperoleh dalam dua atau tiga hari kerja.
Tes laboratorium merupakan bagian penting dari perawatan kesehatan komprehensif dengan membantu memonitor perkembangan
penyakit di dalam tubuh. Tes-tes ini dapat menjadi indikator untuk mendeteksi masalah-masalah kesehatan. Namun, ketika anda menggunakan
hasil lab sebagai perbandingan dalam memonitor kesehatan anda, perlu juga untuk memahami bahwa suatu hasil tes yang tidak terduga belum
tentu mengindikasikan adanya masalah kesehatan yang serius, yang lebih penting adalah untuk melihat tren dari hasil tes dalam jangka waktu
tertentu, daripada hanya berpatokan pada satu hasil tes saja. Selain itu, terdapat banyak faktor dapat membuat hasil tes darah anda berbeda,
ingatlah: bila anda tidak nyaman dengan tes darah pertama anda, minta dokter untuk mengulang tes. Penting untuk semua orang untuk memiliki
pengertian umum tentang cara membaca ringkasan hasil tes laboratorium. Namun, lebih penting lagi untuk berbicara dengan dokter anda
mengenai hasil lab anda dan minta kepadanya untuk mengartikan hasil tes dan bagaimana hasil tersebut dapat mempengaruhi perencanaan
pengobatan anda.
Macam-macam uji laboratorium:

Alkalin Fosfatase
Merupakan suatu enzym yang dibuat di liver, tulang dan plasenta dan biasanya ada dalam konsentrasi tinggi pada saat
pertumbuhan tulang dan didalam empedu. Enzim ini menghidrolisis ester fosfat dalam medium alkali.
Alkalin fosfatase dilepaskan kedalam darah pada saat luka dan pada aktivitas normal seperti pada pertumbuhan tulang dan pada
saat kehamilan. Tingginya tingkat alkalin fosfat dalam darah mengindikasikan adanya penyakit dalam tulang atau lever dan konsentrasi
akan meningkat jika terjadi obstruksi aliran empedu.
Tes untuk alkalin fosfat dikerjakan untuk mendiagnosa penyakit-penyakit liver atau tulang, atau untuk melihat apakah pengobatan
untuk penyakit tersebut bekerja.
Uji alkalin fosfat ada dalam tes darah rutin, termasuk dalam bagian tes fungsi liver. Kisaran normal alkalin fosfat dalam darah
adalah 44 sampai 147 IU/L.
Obat-obat yang dapat mempengaruhi konsentrasi alkalin fosfat diantaranya ialah :
1.
Obat AINS
Dapat menurunkan angka alkalin fosfatase
2.
Parasetamol
Meningkatkan angka alkalin fosfat
Mekanisme : Parasetamol dapat mengganggu metabolisme sel hati yang dapat menyebabkan nekrosis. Terjadinya nekrosis ini akan
meningkatkan angka alkalin fosfatase.

Bilirubin
Bilirubin (pigmen empedu) merupakan hasil akhir metabolisme dan secara fisiologis tidak penting, namun merupakan petunjuk
adanya penyakit hati dan saluran empedu.
Pembuangan sel darah merah yang sudah tua atau rusak dari aliran darah dilakukan oleh empedu. Selama proses tersebut
berlangsung, hemoglobin (bagian dari sel darah merah yang mengangkut oksigen) akan dipecah menjadi bilirubin. Bilirubin kemudian
dibawa ke dalam hati dan dibuang ke dalam usus sebagai bagian dari empedu.
Obat-obat yang mempengaruhi Bilirubin:
1.
Fenobarbital
Dapat menurunkan kadar bilirubin
Fenobarbital meningkatkan aktivitas glukoronil transferase (enzim yang digunakan pada konyugasi dengan asam glukuronat sehingga
dengan cepat diekskresi melalui empedu dan urin)
2.
Estrogen, Steroid Anabolik
Dapat meningkatkan kadar bilirubin
Menyebabkan penurunan ekskresi bilirubin. Hal ini menyebabkan terjadinya hiperbilirubinemia, yang disebabkan karena terjadinya
gangguan transfer bilirubin melalui membran hepatosit yang sehingga terjadi retensi bilirubin dalam sel
Obat-obat yang mempunyai mekanisme yang sama adalah halotan (anestetik), isoniazid, dan klorpromazin
Gabungan IO ekstensi 2007/ page 27of 37

Glukosa
Obat-obat yang mempengaruhinya:
1. Atenolol
Interaksi dengan test laboratorium : Dapat menurunkan konsentrasi glukosa
Mekanisme : menghambat glikogenolisis di sel hati dan otot rangka sehingga mengurangi efek hiperglikemia dari epinefrin yang
dilepaskan oleh adanya hipoglikemia sehingga kembalinya kadar gula pada hipoglikemia diperlambat.
2.
Kortikosteroid golongan glukokortikoid
Interaksi dengan test laboratorium : Dapat menurunkan konsentrasi glukosa
Mekanisme : meningkatkan glukoneogenesis dan mengurangi penggunaan glukosa di jaringan perifer dengan cara menghambat
uptake dan penggunaan glukosa oleh jaringan mungkin melalui hambatan transporter glukosa.
Kadar normal: 7-20mg/DL

Blood Urea Nitrogen (BUN) test
BUN adalah konsentrasi urea pada plasma atau darah yang merupakan indikator penting fungsi ginjal. Test ini digunakan untuk
melihat apakah ginjal bekerja dengan baik atau tidak dimana pada fungsi ginjal normal, kadar urin nitrogen adalah 3,6-7,1 mmol/L atau 1020/dL. BUN test dilakukan dengan mengukur jumlah nitrogen yang berada dalam darah yang berasal dari urea.
Obat yang mempengaruhi:
1.
Furosemid
Furosemid dapat meningkatkan BUN
Mekanisme: furosemid adalah obat golongan diuretik kuat yang dapat menyebabkan ekskresi glomerular sodium dan air yang tinggi
(20-30%), sehingga menyebabkan dehidrasi. Jika terjadi dehidrasi maka aliran darah ke ginjal menjadi berkurang.
2.
Vankomisin
Vankomisin dapat meningkatkan Blood Urea Nitrogen
Mekanisme: Vankomisin dapat menyebabkan
ginjal tidak bekerja dengan baik, pengeluaran urea nitrogen menjadi terhambat sehingga kadarnya dalam darah meningkat.
3.
Piroksikam
Piroksikam sedikit dapat meningkatan kadar BUN pada permulaan terapi yang kemudian menetap kadarnya (plateau) seperti halnya
pada pengobatan dengan fenilbutazon, indometasin dan aspirin. Prostaglandin pada ginjal merupakan hormon dalam pengaturan
sirkulasi darah di dalam medula dan korteks adrenal.
Mekanisme kerja:
Penghambatan sintesis prostaglandin oleh obat ains menyebabkan kenaikan kadar Blood Urin Nitrogen
Transaminase
untuk mendeteksi adanya kerusakan hati, pemeriksaannya dengan pengukuran SGOT dan SGPT. Keduanya terdapat dalam sel hati dalam
jumlah yang besar dan ditemukan dalam serum dalam jumlah yang kecil. Kadarnya dalam serum akan meningkat ketika sel rusak atau membran
sel terganggu

SGOT (Serum Glutamat Oksaloasetat trans)
Penurunan kadar SGOT terjadi pada saat kehamilan, diabetik ketoasidosis dan beri-beri, sedangkan peningkatan kadar SGOT pada
kondisi infark miokard akut (IMA), ensefalitis, nekrosis, hepar, penyakit dan trauma muskuloskeletal, pankreatiis akut, eklampsia, dan gagal
jantung kongestif.
Obat yang dapat meningkatkan nilai SGOT : Antibiotik, narkotik, vitamin (asam folat, piridoksin, vitamin A), antihipertensi (metildopa,
guanetidin), teofilin, golongan digitalis, kortison, flurazepam, indometasin, isoniasid, rifampisisn, kontrasepsi oral, salisislat, injeksi
intramuskular.
1.
Isoniazid
Isoniazid dapat menimbulkan ikterus dan kerusakan hati yang fatal akibat terjadinya nekrosis multilobular. Sehingga hal ini
menyebabkan peningkatan aktivitas enzim transaminase
Gabungan IO ekstensi 2007/ page 28of 37

Serum Glutamat Piruvat Transaminase (SGPT)
Peningkatan Kadar : Hepatitis (virus) akut, hepatotoksisitas yang menyebabkan nekrosis hepar (toksisitas obat atau kimia); agak atau
meningkat sedang : sirosis, kanker hepar, gagal jantung kongestif, intoksikasi alkohol akut; peningkatan marginal: infark miokard akut (IMA)
Obat yang dapat meningkatkan SGPT : Antibiotik, narkotik, metildopa, guanetidin, sediaan digitalis, indometasin, salisilat, rifampisin,
flurazepam, propanolol, kontrasepsi oral, timah, heparin.
1.
Rifampisin
Mekanisme Kerja: Rifampisin dapat meningkatkan hepatotoksik sehingga menyebabkan peningkatan aktivitas enzim transaminase.

Kolesterol
Obat-obat yang dapat menurunkan nilai kolesterol : Tiroksin, estrogen, aspirin, antibiotik (tetrasiklin dan neomisin), asam nikotinik, heparin,
kolkisin.
Obat-obat yang dapat meningkatkan nilai kolesterol : Pil KB, epinefrin, fenotiazin, vitamin A dan D, sulfonamid, fenitoin (Dilantin).
1.
Vitamin C dosis tinggi menurunkan kadar kolestesterol melalui mekanisme:
Memperlebar arteri sehingga memperkecil deposit kolesterol pada dinding arteri
Meningkatkan aktifitas fibrinolisis, yang bertanggungjawab untuk memindahkan penumpukan kolesterol dari arteri
Mengeliminasi kelebihan kolesterol dalam aliran darah dengan membawa ke empedu

Trigliserida
Penurunan kadar : β-lipoproteinemia kongenital, hipertiroidisme, malnutrisi protein, latihan
Obat-obat yang dapat menurunkan nilai trigliserida : Asam askorbat, kofibrat (Atromid-S), fenformin, metformin.
Peningkatan Kadar : Hiperlipoproteinemia, IMA, hipertensi, hipotiroidisme, sindrom nefrotik, trombosis serebral, sirosis alkoholik, DM yang
tidak terkontrol, sindrom Down’s, stress, diet tinggi karbohidrat, kehamilan.
Metformin
Mekanisme : Metformin dapat menurunkan absorbsi glukosa dari saluran lambung-usus . Metformin hanya mengurangi kadar glukosa
darah dalam keadaan hiperglikemia serta tidak menyebabkan hipoglikemia bila diberikan sebagai obat tunggal.

Kreatinin Serum
Kreatinin adalah produk sampingan dari hasil pemecahan fosfokreatin (kreatin) di otot yang dibuang melalui ginjal. Normalnya kadar
kreatinin dalam darah 0,6 – 1,2 mg/dl. Bila fungsi ginjal menurun, kadar kreatinin darah bisa meningkat.
1.
Obat Golongan AINS
Obat golongan ini : diklofenak, indometasin, asetosal, ibuprofen, piroksikam, asam mefenamat, ketoprofen, naproksen, meloksikam,
oksaprozin, dll
Obat golongan ini dapat menyebabkan resiko menurunnya fungsi ginjal, sehingga dapat menyebabkan meningkatnya kadar kreatinin
dalam darah.
2.
Amfoterisin B
Amfoterisin B dapat menyebabkan penurunan filtrasi glomerulus yang juga berakibat pada penurunan fungsi ginjal, sehingga dapat
menyebabkan meningkatnya kadar kreatinin dalam darah.
DAFTAR PUSTAKA
Ganiswara, G.S., 1995. Farmakologi dan Terapi, Ed. IV. Bagian farmakologi Fakultas kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: Gaya Baru
www.dokter.indo.net.id. Di download tanggal 9 Mei 2009 Pukul 12:00.
Yulinah Elin, dkk. 2008.ISO Farmakoterapi. Jakarta : PT ISFI Penerbitan.
PENCEGAHAN DAN PENANGANAN IO
PENDAHULUAN
Waspada terhadap masalah yang muncul akibat dari interaksi obat, penting bagi farmasis yang bekerja di rumah sakit maupun di
apotek. Untuk mencegah interaksi obat, seorang farmasis harus waspada terhadap semua obat yang digunakan oleh pasien tersebut, baik obat
Gabungan IO ekstensi 2007/ page 29of 37
yang diresepkan maupun obat yang dapat dibeli bebas. Di rumah sakit, hal ini melibatkan farmasis untuk melihat daftar obat dan rekam medik
pasien rawat inap; di apotek, menggunakan catatan medik pasien terkomputerisasi; dan secara umum, komunikasi dengan pasien, keluarga
pasien dan dengan tim kesehatan yang lain. Pendekatan yang menyeluruh dianjurkan, dengan dititikberatkan pada pasien dan pengobatannya
secara keseluruhan, tidak semata-mata memperhatikan reaksi yang timbul, namun juga terhadap keluhan akut berhubungan dengan penggunaan
obat tertentu.
Seorang farmasis harus proaktif, mengantisipasi interaksi obat yang mungkin terjadi dan bertindak sebelum muncul masalah, bukan
sekedar reaktif yang hanya bertindak bila interaksi obat telah terjadi. Salah satu tujuan utama farmasi klinis dan layanan kefarmasian adalah
untuk meminimumkan risiko pada pasien. Oleh karena itu, memeriksa adanya interaksi obat merupakan tugas farmasis yang utama. Sebagai
tambahan, pendekatan ini dapat ditempatkan dalam konteks strategi manajemen risiko klinis secara umum dalam mendorong peningkatan
kualitas.
Dengan meningkatnya kompleksitas obat-obat yang digunakan dalam pengobatan pada saat ini, dan berkembangnya polifarmasi,
kemungkinan terjadinya interaksi obat sangat besar. Bagaimanapun, meskipun beribu-ribu laporan interaksi obat yang tidak diinginkan muncul di
literatur biomedis, hanya sejumlah kecil yang bermakna secara klinis saat ini terutama terlibat dalam pengetahuan atau memperkirakan
terjadinya kejadian dimana interaksi obat yang potensial terjadi mempunyai akibat yang bermakna secara klinis dan, jika demikian, langkahlangkah apa yang diambil untuk mencegah hal tersebut, atau terapi alternatif apa yang mungkin terjadi dari kombinasi dua atau lebih obat.
Untuk memperkirakan akibat yang mungkin terjadi kombinasi dua atau lebih obat, seorang farmasis perlu memiliki:
-
Pengetahuan praktis tentang mekanisme farmakologi yang terlibat dalam interaksi obat.
-
Waspada terhadap obat-obat yang berisiko tinggi menyebabkan interakis obat.
-
Persepsi terhadap kelompok pasien yang rentan mengalami interaksi obat.
DEFINISI
Interaksi obat dapat didefinisikan sebagai modifikasi efek satu obat akibat obat lain yang diberikan pada awalnya atau diberikan
bersamaan; atau bila dua atau lebih obat berinteraksi sedemikian rupa sehingga keefektifan atau toksisitas satu obat atau lebih berubah.
Bagaimanapun, harus diperhatikan bahwa makanan, asap rokok, etanol dan bahan-bahan kimia lingkungan dapat mempengaruhi efek obat. Bila
mana kombinasi terapeutik mengakibatkan perubahan yang tidak diinginkan atau komplikasi terhadap kondisi pasien, maka interaksi tersebut
digambarkan sebagai interaksi yang bermakna klinis.
Interaksi obat dapat membahayakan, baik dengan meningkatkan toksisitas obat atau dengan mengurangi khasiatnya. Namun, interaksi
beberapa obat dapat menguntungkan. Sebagai contoh, efek hipotensi diuretik bila dikombinasikan dengan beta-bloker dapat berguna dalam
pengobatan hipertensi. Interaksi obat juga meliputi reaksi fisikokimia diantara obat-obat parenteral bila dicampur bersama-sama, mengakibatkan
pengendapan atau inaktivasi. Bagaimanapun, bab ini akan dititik beratkan interaksi obat yang terjadi di dalam tubuh, yang berpotensi merugikan
perawatan pasien.
EPIDEMIOLOGI
Banyak penelitian gagal membedakan antara interaksi obat yang mungkin terjadi dan kejadian interaksi obat yang betul-betul
merugikan atau membahayakan pasien. Jadi angka-angka yang dilaporkan terlalu tinggi. Kejadian interaksi obat yang mungkin terjadi diperkirakan
berkisar antara 2,2 % - 30 % dalam penelitian pasien rawat inap di rumah sakit, dan berkisar antara 9,2 % - 70,3 % pada pasien di masyarakat
(Jankel CA & Speedie SM, 1990). Dari kemungkinan tersebut hingga 11,1 % pasien yang benar-benar mengalami gejala yang diakibatkan oleh
interaksi obat (Jankel CA & Speedie SM, 1990). Pada suatu penelitian selama 10 minggu, dari 691 pasien yang masuk rumah sakit, ditemukan 68
(9,8 %) pasien masuk rumah sakit karena penggunaan obat dan 3 (0,4 %) pasien disebabkan oleh interaksi obat (Stanton LA et al, 1994).
Bagaimanapun, berdasarkan data yang ada, tidak mungkin kita memperoleh data yang menetapkan kejadian interaksi obat yang bermakna klinis,
tetapi kemungkinan kejadian interaksi obat tersebut jumlahnya cukup kecil (kurang dari 1 %).
Interaksi obat dapat menyebabkan seseorang masuk rumah sakit, meskipun hal ini relatif jarang terjadi. Meskipun kejadian interaksi
obat yang bermakna klinis kecil, tetapi sejumlah besar pasien mempunyai resiko morbiditas (angka kesakitan) atau bahkan mortalitas (angka
kematian) dalam pengobatan mereka.
MEKANISME INTERAKSI OBAT
Ada beberapa keadaan dimana obat berinteraksi dengan mekanisme yang unik; namun mekanisme tersebut sering dijumpai.
Mekanisme tersebut dapat dibagi menjadi interaksi yang melibatkan aspek farmakokinetika obat dan interaksi obat yang mempengaruhi respon
farmakodinamik obat. Beberapa interaksi obat yang dikenal merupakan kombinasi lebih dari satu mekanisme.
1.
Interaksi farmakokinetik
Interaksi farmakokinetik dapat terjadi beberapa tahap, meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme, ekskresi (tabel.1)
Gabungan IO ekstensi 2007/ page 30of 37
Tabel.1 Interaksi farmakokinetik obat
a.
Absorpsi di saluran pencernaan
 Kecepatan
 Jumlah
b. Ikatan obat protein (pendesakan obat)
 Obat bebas (aktif)
 Obat terikat (tidak aktif)
c.
Metabolisme hepatik
 Induksi enzim (penurunan konsentrasi obat)
 Inhibisi enzim (peningkatan konsentrasi obat)
d. Klirens ginjal
 Peningkatan ekskresi (penurunan konsentrasi obat)
 Penurunan ekskresi (peningkatan konsentrasi obat)
a.
Absorpsi
Kebanyakan obat diberikan secara oral mengabsorbsi melalui membran mukosa dari saluran gastrointestinal. Dan kebanyakan
interaksi yang terjadi menurunkan absorbsi daripada meningkatkan absorbsi. Perbedaan yang jelas terdapat pada penurunan laju
absorbsi dan mengubah absorbsi secara keseluruhan. Obat yang diberikan untuk penyakit kronis dalam dosis regimen multiple
(contohnya: antikoagulan oral), laju absorbsi biasanya tidak digunakan tetapi absorbsi secara keseluruhannya tidak diubah. Selain obat
yang diberikan dalam dosis tunggal dirancang agar absorbsinya obat (contoh: obat hipnotik atau analgesik), sehingga dibutuhkan
konsentrasi yang tinggi untuk pencapaian tersebut. Penurunan laju absorbsi biasanya menunjukan hasil yang tidak baik pada
pencapaian efek terapi.
Tabel 2. Beberapa obat yang menyebabkan interaksi absorpsi
Obat
Digoksin
Digoksin
Levotiroksin
Warfarin
Ketokonazol
Penicilamin
Metoreksat
Antibiotic kuinolon
tetrasiklin

Interaksi obat
Metoklopramide
Propantelin
Kolestiramin
Efek interaksi
Menurunkan absorpsi digoksin
Peningkatan absorpsi digoksin
Menurunkan
absorpsi
karena
adanya
pengkatan/kompleks dengan kolestiramin
Antasida
H2 bloker
Penghambat pompa proton
Antasida (Al3+ atau Mg2+), preparat
besi dan makanan
Menurunkan absorpsi
penurunan disolusi
Neomisin
Antasida (Al3+ atau Mg2+), susu, Fe2+
Antasida (Al3+, Mg2+, Ca2+ atauBi2+),
susu, Zn2+, Fe2+
ketokonazol
karena
Pembentukan khelat penisilamin terlarut sedikit
sehingga menyebabkan penurunan absorpsi
penisilamin
Menginduksi malabsorpsi
Pembentukan kompleks absorpsi yang buruk
Pembentukan khelat terlarut yang buruk sehingga
menyebabkan penurunan absorpsi antibiotic
Efek dari perubahan pada pH saluran cerna
Perjalanan obat melalui membran mukosa melalui difusi pasif tergantung pada jumlah bentuk non ionik larut lemak .Maka
dari itu absorpsi bergantung pada pKa obat, kelarutan dalam lemak, pH saluran cerna dan parameter lain yang
berhubungan dengan formulasi farmasetik obat. Oleh karena itu absorpsi asam salisilat dalam lambung lebih besar pada pH
asam daripada pH basa. Secara teoritis diharapkan perubahan pH lambung oleh obat seperti H2 bloker memiliki efek
absorpsi yang bermakna, tetapi kenyataannya tidak terlalu pasti karena adanya mekanisme lain seperti khelasi, adsorpsi,
dan perubahan motilitas lambung yang dapat mengubahnya. Namun pada beberapa kasus efek dapat signifikan.
Peningkatkan pH akibat hambatan pompa proton, H2 bloker dan antasida dapat mengurangi absorpsi Ketokonazol secara
bermakna

Adsorpsi, khelasi dan mekanisme pembentukkan kompleks lain
Arang aktif ditujukan sebagai agen adsorpsi dalam saluran cerna untuk pengobatan over dosis obat atau menghilangkan zat
toksik, tetapi pasti akan mengubah absorpsi obat pada dosis terapeutik. Antasida juga dapat mengadsorpsi sejumlah besar
obat, tetapi mekanisme lain juga berpengaruh. Contohnya tetrasiklin dapat mengkhelat logam divalen dan trivalen seperti
kalsium, aluminium, bismuth dan besi, membentuk kompleks yang sangat sulit diabsorpsi dan mengurangi efek anti bakteri.
Ion logam dapat ditemukan pada produk susu dan antasida. Pembagian dosis terpisah 2 sampai 3 jam dapat mengurangi
efek interaksi ini. Reduksi bioavailibilitas penisilamin berkurang secara bermakna disebabkan antasida juga karena khelasi
meskipun adsorpsi juga berpengaruh. Kolestiramin dan resin penukar ion ditujukan untuk mengikat asam empedu dan
Gabungan IO ekstensi 2007/ page 31of 37
metabolik kolesterol dalam saluran cerna, mengikat sejumlah obat seperti digoksin, warfarin, levotiroksin sehingga absorpsi
obat berkurang. (Tabel. 2) daftar obat yang dapat mengkhelat, mengkompleks atau adsorpsi obat lain.
Beberapa wanita yang menggunakan kontrasepsi oral kombinasi dalam dosis rendah mempunyai risiko hamil bila pada saat
yang sama, dia juga menggunakan antibiotik berspektrum luas (misalnya amoksisilin, tetrasiklin). Mekanismenya adalahgangguan
siklus enterohepatik komponen estrogen akibat hilangnya bakteri usus yang berperan dalam dekonjugasi estrogen.
Obat-obat lain dapat mempengaruhi waktu pengosongan lambung, sebagai contoh metoklorpropamid mempercepat waktu
pengosongan lambung, sedangkan opiat memperlambat waktu pengosongan lambung. Bioavailabilitas levodopa berkurang bila
digunakan bersama dengan obat antikolinergik. Hal ini terjadi karena perlambatan waktu pengosongan lambungakan meningkatkan
paparan levodopa dengan metabolisme lokal pada mukosa usus. Interaksi ini pada umumnya lebih mempengaruhi kecepatan absorbsi
obat daripada jumlah obat yang diabsorbsi. Bagaimanapun, penundaan waktu pengosongan lambungda]] dapaat meningkatkan
absorbsi zat-zat yang bersifat asam dan obat-obat yang sukar larut. Sebagian besar interaksi yang berkaitan dengan absorbsi, tidak
bermakna secarak klinis dan dapat diatur dengan memisahkan waktu pemberian obat, biasanya dengan selang waktu meminum 2 jam.
b.
Distribusi
Interaksi pendesakan obat terjadi bila dua obat berkompetisi pada tempat ikatan dengan protein plasma yang sama dan
satu atau lebih obat didesak dari ikatannya dengan protein tersebut. Hal ini akan mengakibatkan peningkatan sementara konsentrasi
obat bebas (aktif), biasanya peningkatan tersebut diikuti dengan peningkatan metabolisme atau ekskresi. Konsentrasi total obat turun
menyesuaikan dengan peningkatan dengan peningkatan fraksi obat bebas. Interaksi ini melibatkan obat-obat yang ikatannya dengan
protein tinggi, misalnya fenitoin, warfarin dan tolbutamid. Bagaimanapun, efek farmakologi keseluruhan minimal kecuali bila
pendesakan tersebut diikuti dengan inhibisi metabolik.
c.
Metabolisme hepatik
Banyak obat dimetabolisme di hati, terutama oleh sistem enzim sitokrom P 450 monooksigenase. Induksi enzimoleh suatu
obat dapat meningkatkan kecepatan metabolisme obat lain dan mengakibatkan pengurangan efek. Induksi enzim melibatkan sintesa
protein, jadi efek maksimum terjadi setelah dua atau tiga minggu. Sebaliknya, inhibisi enzim dapat mengakibatkan akumulasi dan
peningkatan toksisitas obat lain. Waktu terjadinya reaksi akibat inhibisi enzim merupakan efek langsung, biasanya lebih cepat daripada
induksi enzim.
Banyak enzim yang terlibat dalam metabolisme hepatik diantaranya adalah sitokrom P 450. Sebagai contoh, warfarin
dibersihkan dari tubuh memalui metabolisme hepatik (dimetabolisme oleh sistem oksidase P450 hepatik-the hepatic mixed function
oxidase P450 system) sehingga penghambat enzim seperti simetidin dan antibiotik golongan makrolida (eritromisin, klaritomisin)
memperkuat efek warfarin.
Sebaliknya, penginduksi enzim seperti karbamazepin, barbiturat, fenitoin (dilaporkan dapat meningkatkan atau
menurunkan efek) dan rifampisin, dapat menyebabkan kegagalan terapeutik warfarin. Eritromisin dapat menyebabkan peningkatan
kadar lofastatin dalam darah karena eritromisin menghambat aktifitas enzim CYP 3A4 hati.
Yang menarik, makanan kaya protein dianggap menstimulasi enzim hati, sedangkan makanan yang kaya karbohidrat
mempunyai efek yang berlawanan. Zat kimia lain, seperti asap rokok dan etanol dapat meningkatkan aktifitas enzim hati. Faktor-faktor
ini dapat mempengaruhi eliminasi dan akhirnya juga mempengaruhi keefektifan obat-obat tertentu.
d.
Eliminasi
Obat dieliminasi melalui ginjal denga filtrasi glomerulus dan sekresi tubuler aktif. Jadi, obat yang mempengaruhi ekskresi
obat melalui ginjal dapat mempengaruhi konsentrasi obat lain dalam plasma. Hanya sejumlah kecil obat yang cukup larut dalam air
yang mendasarkan ekskresinya melalui ginjal sebagai eliminasi utamanya, yaitu obat yang tanpa lebih dulu dimetabolisme di hati.
Gangguan pada proses ini terutama digambarkan dalam interaksi yang mempengaruhi digoksin dan Litium.
Kuinidin, verapamil, dan amiodaron dapat meningkatkan konsentrasi digoksin dalam serum hingga dua kali lipat dengan
menghambat klirens ginjal (dan non-ginjal) digoksin. Diuretik thiazida, serta furosemid dan bumetanid dengan efek yang lebih lemah,
menguangi ekskresi Litium dengan meningkatkan reabsorbsi Litium dari tubulus proksimal. Interaksi ini dapat menyebabkan keracunan
Litium yang serius.
Gabungan IO ekstensi 2007/ page 32of 37
Metotreksat dan obat antiinflamasi nonsteroid (AINS) berkompetisis dalam ekskresi melalui ginjal; penggunaan secara
bersamaan obatobat tersebut dapat meningkatkan kadar metotreksat dan meningkatkan risiko toksisitas, namun kombinasi ini tetapa
dapat diberikan dengan berhasil di bawah supervisi khusus. Yang perlu diperhatikan tentang interaksi tipe ini adalah tergantung pada
jumlah obat dan/atau metabolitnya yang diekskresi melalui ginjal.
Asam lemah dan basa lemah berkompetisi pada bagian sistem transpor tubuler ginjal yang berbeda. Hal ini merupakan
dasar penggunaan probenesid untuk meningkatkan konsentrasi penisilin atau sefalosporin dalam darah. Probenesid juga
meningkatkan potensi toksisitas metotreksat; simetidina mengurangi ekskresi prokainamid dengan cara yang sama.
2.
Interaksi Farmakodinamik
a.
Sinergisme
Interaksi farmakodinamik yang palng umum adalah sinergisme antara dua obat yang bekerja pada sistem, organ, sel atau
inti yang sama dengan efek farmakologi yang sama. Semua obat yang mempunyai fungsi depresi pada susunan saraf pusat
contohnya Etanol, antihistamin, benzodiazepine (diazepam, lorazepam, prazepam, estazolan, bromazepam, alprazolam),
fenotiazin (klorpromazin, tioridazin, lufenazin, perfenazin, proklorperazin, trifluoperazin), metildopa. Klonidin dapat
meningkatkan efek sedasi.
Semua obat inflamasi nonsteroid dapat mengurangi daya lekat platelet, dan meningkatkan efek antikoagulan warfarin.
Suplemen kalium dapat menyebabkan hiperkalema yang sangat berbahaya bagi pasien yang memperoleh pengobatan dengan
diuretic hemat kalium (contoh amilorida, triamteren) dan penghambat enzim pengkonversi angiotensin (contoh captopril,
enalapril) dan antagonis reseptor angiotensin-II (contoh losartan, valsartan). Dengan cara yang sama verapamil dan propranolol
(dan pengeblok beta yang lain), keduanya memiliki efek inotropik negative, dapat menimbulkan gagal jantung pada pasien yang
retan.
b.
Antagonisme
Sebaliknya, antagonisme terjadi bila obat yang berinteraksi memilki efek farmakologi yang berlawanan. Hal ini
mengakibatkan pengurangan hasil yang diinginkan dari satu atau lebih obat. Sebagai contoh, penggunaan secara bersamaan obat
yang bersifat beta-agonis dengan obat yang bersifat pengeblok beta (salbutamol untuk pengobatan asma dengn propanolol
untuk pengobatan hipertensi, dapat menyebabkan bronkospasme); vitamin K dan warfarin; diuretik tiazida dan obat anti diabet.
Beberapa antibiotika tertentu berinteraksi dengan mekanisme yang antagonis. Sebagai contoh, bakterisida, seperti penisilin,
yang menghambat sintesa dinding sel bakteri, memerlukan sel yang terus bertumbuh dan membelah diri agar berkhasiat
maksimal. Situasi ini tidak akan terjadi dengan adanya antibiotika yang bersifat bakteriostatik, seperti tetrasiklin, yang
menghambat sintesa protein dan juga pertumbuhan bakteri.
c.
Efek reseptor tidak langsung
Kombinasi obat dapat bekerja melalui mekanisme saling mempengaruhi efek reseptor yang meliputi sirkulasi kendali
fisiologis atau biokimia. Pengeblok beta no-selektif seperti propanolol dapat memperpanjang lamanya kondisi hipoglikemia pada
pasien diabet yang diobati dengan insulin dengan menghambat mekanisme kompensasi pemecahan glikogen. Respons
kompensasi ini diperantarai oleh reseptor beta Znamun obat kardioselektif seperti atenolol lebih jarang menimbulkan respons
hipoglikemia apabila digunakan bersama dengan insulin. Lagi pula obat-obat pengeblok beta mempunyai efek simpatik seperti
takikardia dan tremor yang dapat menutupi tanda-tanda bahaya hipoglikemia; efek simpatik ini lebih penting dibandingkan
dengan akibat interaksi obat pada mekanisme kompensasi diatas.
d.
Gangguan cairan dan elektrolit
Interaksi obat dapat terjadi akibat gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Pengurangan kadar kalium dalam plasma
sesudah pengobatan dengan diuretik, kortikosteroid atau amfoterisina akan meningkatkan risiko kardiotoksisitas digoksin. Hal
yang sama, hipokalemia
Gabungan IO ekstensi 2007/ page 33of 37
3.
Interaksi Farmasetik
Disebut sebagai Drug incompatibility yaitu tidak dapat bercampurnya obat interaksi yang terjadi karena adanya perubahan/reaksi
fisika dan kimia antara 2 obat atau lebih yang dapat dikenal/dilihat,yang berlangsung diluar tubuh dan mengakibatkan aktivitas
farmakologi obat tersebut hilang/berubah
Contoh :
1. Hidrolisis
aspirin + Na-bikarbonat  gummy (aspirin terhidrolisis)
2. Perubahan pH Oksitetrasiklin-HCl + Difenhidramin  presipitat
3. Degradasi sinar matahari
Fenitoin-Na  kekeruhan (fenitoinlepas)
Teofilin  perubahan warna
INTERAKSI OBAT atau BERMAKNA KLINIS
Contoh obat-obat yang interaksinya bermakna klinis :

Obat yang rentang terapinya sempit
Antiepilepsi, digoksin, lithium, siklosporin, teofilin dan warfarin.

Obat yang memerlukan pengaturan dosis teliti
Obat antidiabetes oral, antihipertensi

Penginduksi enzim
Asap rokok, barbiturat (contoh fenobarbital), fenitoin, griseofulvin, karbamazepin, rifampisin

Penghambat enzim
Amiodaron, diltiazem, eritromisin, fluoksetin, ketokonazol, metrodinazol, natrium valproat, simetidin, ciprofloksasin., verapamil.
Pencegahan terhadap interaksi obat Farmakokinetik dan Framakodinamik :
1.
Hindari kombinasi obat yang berinteraksi dan jika dibutuhkan pertimbangan obat pengganti
Jika terjadi resiko interaksi pemakaian obat daripada manfaatnya, maka harus dipertimbangkan untuk memakai obat
pengganti. Pemilihan obat pengganti tergantung pada interaksi obat tersebut apakah merupakan interaksi yang berkaitan
dengan kelas obat tersebut atau merupakan efek obat yang sepsifik.
Contoh :
Kortikosteroid dengan obat diuretic dapat menyebabkan kehilangan banyak kalium sehingga tubuh menjadi lemas, aritmia
jantung, tekanan darah rendah
Pencegahannya adalah dapat menggunakan diuretic hemat kalium untuk menghindari interaksi obat yang terjadi.
Simetidin memperlambat metabolisme hepatic oksidatif obat dengan mengikat mikrosomal sitokrom P450 (menghambat enzim)
sedangkan antagonis H2 yang lain, Ranitidin tidak bermakna dalam menghambat metabolisme hepatic mikrosomal obat.
2.
Sesuaikan dosis obat saat memulai atatu menghentikan penggunaan obat yang menyebabkan interaksi yaitu dengan cara
pengurangan dosis ( jika terjadi toksik), peningkatan dosis (jika terjadi pengurangan khasiat)
Jika hasil interaksi obat meningkatkan atau mengurangi efek obat, maka perlu dilakukan modifikasi dosis salah satu atau kedua
obat untuk mengimbangi kenaikan atau penurunan efek obat tersebut. Penyesuain obat dilakukan apada saat mulai atau
menghentikan penggunaan bat yang menyebabkan interaks.

Penurunan dosis
Penggunaan atropine dengan CTM menyebabkan efek yang sinergis, dapat menimbulkan efek mulut kering lebih
hebat. Dikarenakan CTM juga memiliki efek antikolinergik yang kuat, penggunaan obat ini secara bersamaan dapat
menyebabkan respons reseptor obat dan target organ berubah sehingga menimbulkan sensitivitas terhadap efek obat
menjadi lain, untuk menghindarinya dosis harus dikurangi.
Dosis pemiliharaan glikosida jantung digoksin harus dikurangi menjadi setengahnya pada saat kita mulai
memberikan Amiodaron (Antiaritmia).
Gabungan IO ekstensi 2007/ page 34of 37

Peningkatan dosis
Kombinasi fenitoin dengan asam folat dapat menyebabkan efek asam folat berkurang akibatnya kemungkinan
dapat terjadi defisiensi asam folat. Untuk menghindarinya dapat digunakan tambahan vitamin yang mengandung 1 mg
asam folat. Tetapi jika asam folat terlalu banyak akan dapat menurunkan efek dari fenitoin.
3.
Lakukan pemantauan kondisi klinis pasien dan jika perlu ukur kadar obat dalam darah
Pemantauan diperlukan untuk pasien yang menggunakan obat pada penykit-penyakit tertentu, obat yang indeks terapi
sempit, yang respon segaranya sulit diperkirakan, dan bila kadar obat dalam darah dan efek terapi diperkirakan saling
berhubungan.
Contoh : hipoglikemia agent dengan fenilbutazon
Mekanisme ;
Fenilbutazon dapat menghambat ekskresi renal dari Glibenklamid, Tolbutamid dan metabolit aktif dari acetoheksamid sehingga
obat itu tertahan dalam tubuh lebih lama dan efek dari hipoglikemik meningkat dan diperpanjang. Fenilbutazon ini dapat
menhambat metabolism dari sulfonamide. Cara pencegahannya penggunaan obat (fenilbutazon dengan hipoglikemia agent)
secara bersama-sama harus dipantau.
4.
Interval waktu antara obat dengan makanan
Contoh :penggunaan tetrasiklin dengan obat pencahar, susu, dan Fe dapat menyebabkan interaksi dengan menurunkan efek dari
tetrasiklin. Cara pencegahannya adalah jangan menelan secara bersama-sama dalam jangka waktu dua jam. Sebaiknya di minum
di antara dua waktu makan
5.
Lanjutkan pengobatan seperti sebelumnya bila kombinasi obat yang berinteraksi tersebut merupakan pengobatan yang optimal
atau bila interaksi yang terjadi tidak bermakna secara klinis.
Pencegahan interaksi farmasetik:

obat intravena diberikan secara suntikan bolus

hindari pemberian obat lewat cairan infuse kecuali cairan glukosadansalin

hindari pencampuran obat dalam cairan infuse atau jarum suntik

bacalah petunjuk pemakain obat dari brosurnya

mencampur cairan infuse dengan seksama dan amati adanya perubahan. Tdk ada perubahan belum tentu tdk ada interaksi

Penyiapan larutan obat hanya kalau diperlukan

Bila lebih dari 1 obat yang diberikan secara bersamaan, gunakan jalur infuse yang berbeda kecuali yakin tidak ada interaksi

Jam pencampuran obat dan cairan infu harus dicatat dalam label. Dan tuliskan infuse harus habis
Contoh interaksi obat dan Cara pencegahannya :
a.
Interaksi Obat Diare Dengan Beberapa Obat Dan Cara Pencegahannya
1.
Adsorben dengan digoksin
Bila kedua obat ini digunakan secara bersamaan maka efek digoksin dapat berkurang. Adsorben mengurangi kemampuan tubuh
untuk menyerap digoksin,digoksin adalah obat yang digunakan untuk mengobati layu jantung atau menormalkan kembali denyut
jantung yang tak teratur. Akibatnya: Kondisi penderita tidak terkendali dengan baik,untuk mencegah interaksi ini jarak penggunaan
digoksin dengan adsorben tidak boleh kurang dari dua jam.
2.
Adsorben dengan klindamisin/lincomisin
Bila digunakan secara bersamaan maka efek dari klindamisin atau lincomisin bisa berkurang. Adsorben mengurangi kemampuan
tubuh untuk menyerap kedua obat ini,klindamisin maupun lincomisin merupakan antibiotika yang dicadangkan untuk mengobati
beberapa jenis infeksi berbahaya jika penicillin tidak dapat digunakan atau jika pasien alergi terhadap penisillin. Akibatnya: Infeksi yang
sedang ditangani kemungkinan tidak bisa sembuh. Untuk mencegah atau mengurangi interaksi sebaiknya adsorben digunakan dengan
jarak tiga atau empat jamdari waktu penggunaan antibiotika ini.
Gabungan IO ekstensi 2007/ page 35of 37
3.
Difenoksilat(lomotil) dengan digoksin
Bila digunakan secara bersamaan maka efek dari digoksin dapat meningkat. Dengan memperlambat gerakan usus halus
difenoksilat menaikkan penyerapan digoksin oleh tubuh Digoksin digunakan untuk mengobati layu jantung atau menormalkan kembali
denyut jantung yang tak teratur ,Akibatnya efek samping merugikan terjadi karena terlalu banyak digoksin. Gejalanya antara lain :
mual,sakit kepala,tidak ada nafsu makan,gangguan penglihatan, bingung,tak bertenaga,bradikardia,atau takhikardia,dan aritmia
jantung. Efek ini dapat diperkecil bila obat jantung yang digunakan merupakan obat yang mudah larut seperti lanoxin.
4.
Loperamida dengan digoksin
Bila kedua obat ini digunakan secara bersamaan maka efek digoksin dapat meningkat. Dengan memperlambat gerakan usus
halus loperamida menaikkan penyerapan digoksin oleh tubuh. Digoksin digunakan untuk mengobati layu jantung dan menormalkan
kembali denyut jantung yang tidak teratur. Akibatnya: Efek samping merugikan mungkin dapat terjadi karena terlalu banyak digoksin.
Gejalanya
antara
lain:
Mual,sakit
kepala,tak
ada
nafsu
makan,
gangguan
penglihatan,
bingung,tak
bertenaga,bradikardia,takhikardia,aritmia jantung. Efek ini dapat diperkecil bila bila obat jantung yang digunakan adalah obat yang
mudah larut seperti lanoxin.
b. Warfarin dan Simetidin
Interaksi yang terjadi yaitu farmakokinetik (penghambatan enzim) Simetidin dapat menghambat enzim hepatic yang terlibat
dalam metabolisme dan klirens warfarin ; jadi efek warfarin diperpanjang dan meningkat.
Makna klinis yang terjadi adalah warfarin memiliki entang terapi yang sempit dan penggunaan anti koagulan yang berlebihan
dapat menyebabakan perdarahan yang serius.
Saran untuk interaksi ini yaitu dapat dilakukan dengan pemeriksaan nilai INR (International Normalized Ratio) secara rutin dan
bila mungkin mengurangi dosis Warfarin. Pilihan lain dapat menggunakan antagonis H2 lain seperti Ranitidin yang tidak berinteraksi
dengan Warfarin.
c.
Penghambat enzim pengubah angiotensin dan diuretika hemat kalium
Interaksi yang terjadi yaitu farkodinamik (gangguan kesetimbangan cairan dan elektrolit). Penghambat enzim pengubah
angiotensin dan diuretika hemat kalium keduanya dapat meningkatkan kadar kalium dalam darah.
Makna klinis yang terjadi yaitu kombinasi obat ini, bersama dengan gagal ginjal (renal failure) dan dehidrasi dapat menyebabkan
hiperkaliemia. Hal ini dapat mengancam jiwa, mnyebabkan aritmia jantung (cardiac arrhythmias) dan akhirnya asystolic cardiac arrest.
Saran untuk interaksi ini dengan diuretika hemat kalium harusnya diberikan bersama dengan penghambat enzim pengubah
angiotensin, kecuali jika kadar kalium dalam darah dipantau dengan baik. Bila perlu dosis dikurangi, atau salah satu obat dihentikan
pemakaiaannya, misalnya dengan menggunakan loop diuretic (yang dapat menyebabkan hipokalemia) dan pertimbangkan pula untuk
menggunakan kaptopril( penghambat enzim pengubah angiotensin yang hasil kerjanya pendek)pada pasien yang fungsi ginjalnya jelek
d. Digoksin dan amiodaron
Interaksi yang terjadi farmakodinamik yaitu(meskipun belum diketahui secara pasti). Amiodaron mengurangi ekskresi
digoksin baik yang melalui ginjal maupun yang bukan ginjal, amiodaron menyebabkan pendesakan digoksin dari jaringan dan tempat
ikatan protein plasma.
Makna klinis yang terjadi yaitu meningkatkan kadar digoksin dalam darah. Interaksi ini terdokumentasi sebagai interaksi
klinis yang penting. Hal ini terjadi setelah beberapa hari dan berkembang dalam waktu 1 sampai 4 minggu. Kadar digoksin dalam darah
normal berkisar antara 0,8 – 2,0 g/L. Jika kadar digoksin dalam darah lebih besar dari nilai normal maka akan terjadi toksisitas
digoksin ( anoreksia, mual, muntah, diare, aritmia, gangguan penglihatan, kebingungan dan penyumbatan jantung.
Saran: dosis digoksin perlu diturunkan hingga 1/3 atau ½ nya bila amiodaron diberikan pada pasien dengan pengobatan digoksin.
Kemudian dilakukan penyesuain dosis kembali sesudah 1 atau 2 minggu atau satu bulan, oleh karena itu efek interaksi ini akan
menetap untuk beberapa minggu setelah penghentian amiodaron. Pengurangan dosis amiodaron mungkin diperlukan tetapi harus
dilakukan secara perlahan – lahan dan bertahap turun setiap minggunya dan disesuaikan dengan kondisi dan pasiennya.
e.
Eritromisin dan teofilina
Tipe interaksi obat : Farmakokinetik (penghambatan enzim). Eritromisina menghambat metabolisme teofilina oleh hati; oleh sebab itu
eritromisina mengurangi klirens teofilina dan meningkatkan konsentrasi teofilina dalam darah.
Makna klinis : Efek ini telah terdokumentasi dengan baik dan sudah dikenal. Pasien tertentu mempunyai resiko tinggi menghasilkan
kadar teofilina tinggi dalam darah. Pasien yang kadar teofilin dalam darahnya sudah tinggi atau pasien yang memperoleh pengobatan
dengan teofilina dosis tinggi, merupakan pasien berisiko tinggi. Teofilina mempunyai rentang terapi sempit; konsentrasi teofilina
dalam plasma berkisar antara 10 – 20 mg/liter diperlukan untuk memperoleh efek bronkodilatasi yang memuaskan. Kadar teofilina
Gabungan IO ekstensi 2007/ page 36of 37
dalam plasma yang lebih besar dari nilai tersebut dapat menyebabkab toksisitas, misalnya takikardia, palpitasi, mual, gangguan
pencernaan, insomnia, aritmia dan konvulsi.
Saran : pemantauan kadar teofilina dalam darah diperlukan untuk menentukan apakahpasien tersebut berisiko mengalami keracunan
akibat interaksi obat. Dokter seharusnya diberitahu untuk memantau kondisi pasien dan memperhatikan bilamana pasien tersebut
mualdan muntah. Disarankan untuk mengurangi dosis teofilina bila pasien tersebut memperoleh pengobatan dengan eritromisina,
namun semuanya bergantung pada kadar teofilina dalam darah.
f.
Makanan yang mengandung kalsium dan tetrasiklin
Tipe interaksi obat :: Tetrasiklin mempunyai afinitas yang kuat pada kation divalen dan trivalen. Kation kation tersebut meliputi
ion kalsium (Ca2+) yang terdapat dalam makanan yang mengandung kalsium (juga dalam susu); Ion aluminium dan magnesium yang
terdapat dalam antasida dan ;ion besi ,yang terdapat dalam multivitamin. Kelat (chelates) yang jadi akibat interaksi ion- tetrasiklin
misalnya kelat kalsium tetrasiklin, lebih sulit diabsorbsi dari saluran pencernaan. Jadi kadar tetrasiklin dalam plasma lebih rendah dan
aktivitas antibakterinya berkurang.
Makna klinis : merupakan interaksi yang sudah dikenal. Pengurangan kadar tetrasiklin dalam plasma dapat mencapai 50-80 %,
menghasilkan efek antibiotika yang dapat diabaikan (tidak efektif).
Saran : pemberian tetrasiklin dan makanan yang mengadung kalsium (atau antasida yang mengandung kalsium, aluminium,
magnesium) harus dipisah. Biasanya, pasien disarankan untuk minum tetrasiklin satu jam sebelum makanan. Untuk mengatasi efek
iritasi pada lambung, pasien disarankan untuk minum banyak air. Sebagai tambahan ada kemungkinan organisme penyebab infeksi
sensitif terhadap antibiotika yang lain, sehingga lebih baik menggunakan antibiotika lain daripada menggunakan tetrasiklin.
Pasien Yang Rentan Terhadap Interaksi Obat

Orang lanjut usia

Orang yang minum lebih dari satu macam obat

Pasien yang mempunyai gangguan fungsi ginjal dan hati

Pasien dengan penyakit akut

Pasien dengan penyakit yang tidak stabil

Pasien yang memiliki karakteristik genetic tertentu

Pasien yang dirawat oleh lebih dari satu dokter
Pasien lanjut usia mempunyai resiko yang lebih tinggi , karena :

Lebih berkemungkinan memperoleh terapi berbagai macam obat sehingga berpotensi gangguan fungsi ginjal dan hati.

Kepatuhan pasien yang kurang

Adanya gangguan degenerative yang mempengaruhi banyak sistem dan mengganggu mekanisme kompensasi homeostatic.
Contohnya, obat golongan diuretic dapat mengurangi ekskresi litium, pasien dapat distabilisasi dengan baik pada pengobatan kombinasi.
Tetapi penyakit ikutan yang mempengaruhi keseimbangan cairan dan elektrolit dapat mengubah kadar litium dalam plasma, sehingga
menyebabkan hilangnya efek atau toksisitas litium.
Penanggulangan interaksi obat
1.
Penambahan senyawa dari makanan
Contoh :
-
Fenitoin dengan vitamin D dapat menyebabkan efek vitamin D berkurang, akibatnya terjadi defisiensi yang menimbulkan riketsia pada
anak-anak. Cara penanggulangannya adalah memakan makanan yang kaya vitamin D dan cukup terkena sinar matahari.
2.
Mengeluarkan obat dari saluran cerna dengan cara merangsang muntah atau emesis, lavage, laksansia dan adsorben (contoh : norit,
bersifat menyerapa racun dan zat-zat lain dilambung).
3.
Dialisis
Adalah suatu proses untuk membersihkan darah berguna untuk menghilangkan atau mengurangi zat-zat sisa metabolisme yang
berbahaya
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
Stockley, I.H., 1999, Drug Interaction, fifth edition, Pharmaceutical Press, London
www.fkuii.org, diakses tanggal 10 mei 2009
http://www.i-base.info/itpc/Indonesian/spirita/docs/Lembaran-Informasi/LI419.pdf diakses tanggal 10 mei 2009
http://www.iwandarmansjah.web.id/attachment/at_Interaksi.ppt diakses tanggal 10 mei 2009
http://mediapenunjangmedis.dikirismanto.com/interaksi-obat-pada-penanganan-diare.html
Gabungan IO ekstensi 2007/ page 37of 37
Download