DINAMIKA HUBUNGAN KOREA SELATAN

advertisement
DINAMIKA HUBUNGAN KOREA SELATAN-KOREA UTARA
DALAM MEWUJUDKAN REUNIFIKASI DI SEMENANJUNG
KOREA PERIODE 2003-2008
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
untuk memenuhi syarat-syarat mencapai gelar
Sarjana Ilmu Sosial
oleh:
LILIS WIDYASARI
NIM. 106083002819
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2012
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 14 Februari 2012
Lilis Widyasari
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi
yang
berjudul
“
DINAMIKA
HUBUNGAN
KOREA
SELATAN- KOREA UTARA DALAM MEWUJUDKAN REUNIFIKASI
DISEMENANJUNG KOREA PERIODE 2003-2008 ”, telah diujikan dalam
sidang munaqasyah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta pada 2 Maret 2012. Skrpsi ini telah diterima sebagai salah
satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.sos) Program Strata 1 (S1) Jurusan
Ilmu Hubungan Internasional.
Jakarta, 28 Maret 2012
ABSTRAK
Skripsi ini menganalisis dinamika hubungan Korea Selatan dan Korea Utara dalam
mewujudkan reunifikasi di Semenanjung Korea periode 2003-2008. Dalam
mewujudkan reunifikasi di Semenajung Korea, terdapat hambatan-hambatan yang
menjadi penghalang terwujudnya Negara Korea yang satu. Hambatan-hambatan
tersebut tidak lebih dari faktor internal maupun faktor eksternal. Faktor internal
tersebut terdiri dari keadaan domestik dua Negara Korea baik dikarenakan
permasalahan perbedaan ekonomi, ideology kedua Negara Korea, ancaman nuklir
Korea Utara maupun kebijakan reunifikasi kedua Korea. sedangkan pada faktor
eksternal terdiri dari adanya hegemoni Amerika Serikat di Semenanjung Korea, dan
kepentingan Cina, Jepang, dan Rusia di Semenanjung Korea, dan hal tersebut yang
menjadi Latar belakang reunifikasi di Semenanjung Korea.
Penelitian ini menggunakan konsep politik luar negeri, konsep keamanan, konsep
diplomasi dan reunifikasi. Skripsi ini menggunakan metode kualitatif yaitu jenis
penulisan melalui pengumpulan data-data dan pemahaman data dengan menggunakan
studi pustaka. Hasil penelitian ini diketahui bahwa dinamika hubungan yang terjadi
pada tahun 2003-2008 masih memiliki hambatan-hambatan yang cukup serius baik
secara faktor internal maupun faktor eksternal. Diantara faktor-faktor inilah yang
menjadi fokus penulis dalam penelitian ini.
Keyword: Politik Luar Negeri, Reunifikasi di Semenanjung Korea, hambatanhambatan Reunifikasi.
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat, hidayah serta izin-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan
judul “ Dinamika Hubungan Korea Selatan Dan Korea Utara Dalam
mewujudkan Reunifikasi Di Semenanjung Korea Periode 2003-2008 ”.
Terwujudnya skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak yang telah
mendorong dan membimbing penulis, baik tenaga, ide-ide, maupun pemikiran. Oleh
karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada :
1. Papa dan Mama Tercinta, Iwan Hartawan dan Tini selaku orang tua penulis yang
telah
memberikan
dorongan
dan
semangat,
yang
tidak
kenal
lelah
mengumandangkan ayat suci, berdoa untuk kebaikan putrinya, dukungan baik
moral maupun material selama penulis menuntut ilmu.
2. Prof. Dr.Bachtiar Effendy sebagai Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Dina Afrianty, Ph.D., sebagai Ketua Jurusan Hubungan Internasional,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Bapak Adian Firnas, S.IP, M.Si sebagai Pembimbing Skripsi penulis yang telah
memberikan arahan, data-data skripsi, saran, dan ilmunya hingga penulisan
skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik
5. Bapak Agus Nilmada Azmi, S.Ag, MSi., sebagai Sekretaris Jurusan Hubungan
Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
6. Bapak Nazaruddin Nasution, SH, MA., sebagai Dosen Pembimbing Akademik
penulis.
7. Bapak/Ibu Dosen Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah
ii
mengajarkan berbagai ilmu dan telah membantu penulis dalam meyelesaikan
tugasnya sebagai mahasiswi.
8. Terimakasih untuk Perpustakaan Utama UIN Jakarta, Perpustakaan FISIP UI,
Perpustakaan IISIP, Perpustakaan LIPI, Perpustakaan Universitas Budi Luhur.
9. Bapak Hj. Sunandar dan Ibu Etih selaku paman dan bibi bagi penulis yang selalu
memberi semangat dan doa terus-menurus yang tidak henti-hentinya selama
penulis menuntut ilmu.
10. Terima kasih untuk Bapak Sutarman dan Ibu Raminah selaku mertua penulis yang
telah
memberikan
dorongan
dan
semangat,
yang
tidak
kenal
lelah
mengumandangkan ayat suci, berdoa untuk kebaikan putrinya.
11. Yang tercinta suami Mario Sugantoro yang sudah menemani penulis sejak awal
kuliah sampai menyelesaikan skripsi selalu memberikan semangat dan dorongan
setiap saat. Teruntuk anak-ku Muhammad Satrio Sugantoro, makasih ya
sayang...Love you dari bunda buat Satrio.
12. Sahabat-sahabatku : Riana Amelia, Kristya anyarani, Rosy Kamalia, Chairunnisa.
Makasih ya sahabatku, Makasih banyak ya sudah mau berjuang bersama-sama.
13. Teman-teman HI UIN angkatan 2006 dan 2007 lainnya yang tidak dapat di
sebutkan satu-persatu oleh penulis, makasih banyak buat masukan-masukan dan
saran-saran kalian yang sangat bermanfaat bagi penulis. Terima Kasih ya kawan.
Semoga dengan segala bantuan yang tidak ternilai harganya ini mendapat
imbalan di sisi Allah SWT sebagai amal ibadah, Amin. Penulis menyadari skripsi ini
masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari
pihak sangat penulis harapkan demi perbaikan-perbaikan ke depan.
Jakarta, 5 Februari 2012
Penulis
iii
DAFTAR ISI
ABSTRAK……………………………………………………………………… i
PENGANTAR………………………………………………………………… ii
DAFTAR ISI…………………………………………………………………... iv
DAFTAR TABEL……………………………………………………..………. vi
DAFTAR GAMBAR……………………………………………………..…… vii
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………... 1
1.1 Latar Belakang……………………………………………………….. 1
1.2 Rumusan Masalah………………………………………………........ 9
1.3 Tinjauan Pustaka……………………………………………….......... 9
1.4 Kerangka Teori……………………………………………………… 11
1.4.1 Konsep Politik Luar Negeri………………………………… 11
1.4.2 Konsep Diplomasi…………………………………………... 14
1.4.3 Konsep Keamanan…………………………………….......... 15
1.4.4 Reunifikasi…………………………………………….......... 16
1.5 Metode Penelitian……………………………………………........... 18
1.6 Tujuan Penelitian………………………………………………….... 18
1.7 Sistematika Penulisan……………………………………………..... 19
BAB II PASANG SURUT HUBUNGAN ANTARA KOREA SELATAN DAN
KOREA UTARA……………………………………………………. 21
2.1 Hubungan Antara Korea Selatan dan Korea Utara Era Perang
Dingin……………………………………………………………….. 21
2.2 Hubungan Antara Korea Selatan dan Korea Utara Pasca Perang
Dingin………………………………………………………………. 27
2.3 Kebijakan Sunshine Policy Kim Dae Jung………………………….. 31
iv
2.4 Kebijakan Policy for Peace and Prosperity Presiden Roh Moo
Hyun…................................................................................................ 32
BAB III GAGASAN REUNIFIKASI DI SEMENANJUNG KOREA…...... 36
3.1 Latar Belakang Reunifikasi di Semenanjung Korea………………... 37
3.2 Kebijakan Reunifikasi di Semenanjung Korea……………………... 39
3.3 Perkembangan Reunifikasi di Semenanjung Korea………………… 41
BAB IV FAKTOR YANG MEMPENGARUHI HUBUNGAN ANTAR-KOREA
DALAM
PROSES
REUNIFIKASI
DI
SEMENANJUNG
KOREA……………........................................................................... 49
4.1. Faktor Internal…………………………………………………….. 51
4.1.1. Faktor Domestik Korea Selatan…………………………….... 51
4.4.2. Faktor Domestik Korea Utara………………………….......... 53
4.2. Faktor Ekternal…………………………………………………… 57
4.2.1. Hegemoni Amerika Serikat Di Semenanjung Korea…………57
4.2.2. Kepentingan Cina, Jepang, dan Rusia Di Semenanjung
Korea......................................................................................... 60
4.3. Hubungan Korea Selatan-Korea Utara Dalam Menuju Reunifikasi Di
Semenanjung Korea Periode 2003-2008………………................ 64
4.4. Hambatan-hambatan Reunifikasi Di Semanjung Korea………. 70
BAB V KESIMPULAN……………………………………………………... 75
DAFTAR PUSTAKA.………………………………………………………. viii
v
DAFTAR TABEL
Tabel
Halaman
Tabel 1 : Prospek Reunifikasi di Korea…………………………………
38
Tabel 2 : Bantuan Negara-negara dan Indivindu ke Korea Utara………..
46
vi
DAFTAR GAMBAR
Gambar
Halaman
Gambar 2.1 : Peta Korea………………………………………………
22
Gambar 3.1 : Contoh Kemungkinan dari Proses Unifikasi Korea……
43
vii
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG MASALAH
Semenanjung Korea merupakan wilayah yang terletak di kawasan Asia
Timur Laut. Semenanjung Korea dalam berabad-abad sejarahnya merupakan
wilayah yang sangat penting di kawasan tersebut sebagai daerah yang
menghubungkan Asia Timur Laut dengan dunia luar. Posisi geografis Korea
menyebabkan Korea sepanjang sejarahnya mempunyai arti penting dari sudut
strategis. Hal ini karena Semenanjung Korea terletak di tengah tiga negara besar
yaitu Jepang, Cina, dan Rusia.1 Di masa lampau Cina, Jepang dan, Rusia menjadi
pihak-pihak yang mengganggu perkembangan Negara dan bangsa Korea,
sedangkan di masa modern Amerika Serikat ikut serta mencampuri urusan negara
Korea. Terpecahnya Korea menjadi dua Negara yang berdaulat merupakan akibat
dari Perang Dunia II yang pada akhirnya dijustifikasi melalui Perang Dingin
hingga saat ini. Kedua Korea merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
konflik ideologi Liberal-Demokratis dan Komunis-Sosialis antara Blok Barat
(Amerika) dan Blok Timur (Uni Soviet). Kedua belah pihak saling mencari daerah
pengaruh (enclave) untuk kepentingan strategis masing-masing, yang akhirnya
akan mempengaruhi stabilitas politik dan keamanan di Semenanjung Korea
khususnya dan Asia Timur pada umumnya.2
1
Yang Seung-Yoon, dan Mohtar Mas’oed, Masyarakat, Politik, dan Pemerintahan
Korea : Sebuah Pengantar, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 2005, h. 1
2
Ibid, h. 4
1
Pasca Perang Dingin, stabilitas politik dan keamanan di Semenanjung
Korea masih belum memperlihatkan keadaan yang membaik. Perang Korea
berkembang menjadi perang internasional berskala penuh yang melibatkan 16
negara anggota PBB untuk berperang sebagai sekutu Korea Selatan melawan
Cina dan Uni Soviet dari blok komunis.3 Berakhirnya Perang Korea ditandai
dengan gencatan senjata yang menghasilkan garis gencatan senjata sepanjang 155
mil yang membagi Semenanjung Korea. Masalah utama di Semenanjung ini pada
umumnya adalah ancaman nuklir Korea Utara. Kegiatan reaktor nuklir yang tidak
transparan menjadikan situasi di Semenanjung Korea menjadi tidak menentu.
Pengembangan nuklir Korea Utara sudah dilakukan sejak akhir tahun 1970-an.
Program nuklir yang dilakukan Korea Utara awalnya tidak menimbulkan
perhatian dari dunia internasional, hingga pada tahun 1980-an, Korea Utara mulai
menjalankan program pengembangan rudal, dimulai dengan rudal Hwangsong-5.4
Program nuklir Korea Utara dipengaruhi dan didominasi oleh pemikiran
Kim II Sung. Menurut Kim Il Sung, Korea Utara tidak perlu lagi tergantung
dengan Negara lain untuk melindungi keamanan nasionalnya, Korea Utara
percaya tindakan ini akan memberikan keuntungan strategis, simbolis, dan
teknologi yang dibutuhkan dalam jangka panjang untuk mewujudkan Korea Utara
yang kuat dan makmur. Sesuai dengan definisi strategi nuklir sebagai
pemanfaatan senjata nuklir untuk meraih kepentingan politik internasional, nuklir
bagi Korea Utara dapat menjadi alat penting dalam perundingan internasional.5
Pada pertengahan dekade 1980an, intelijen Amerika Serikat mulai mendeteksi
3
Ibid.
Ibid, h. 121
5
Riri Dwianto,”kerjasama Keamanan Asia Timur”dalam Agenda dan Penataan
Keamanan di Asia Pasifik, Bartarto Bandoro (Penyuting), CSIS, Jakarta,1999-2000, h. 185
4
2
program nuklir Korea Utara dan tidak lama sesudahnya, tepatnya di tahun 1986,
Korea Utara mulai memproduksi plutonium di reaktor.6
Pada tahun 1990-an, ancaman nuklir Korea Utara semakin meningkat
dengan penarikan diri Korea Utara dari perjanjian non-proliferasi nuklir pada
bulan Maret 1993. Korea Utara menjadi ancaman bagi stabilitas regional dan
dengan berkuasanya rezim militer tidak butuh pertimbangan untuk memulai
konflik di kawasan dan permasalahan program nuklir selalu menyebabkan hampir
terputusnya hubungan antar Korea.7 Kerumitan dalam proses perdamaian di
kawasan ini lebih dikarenakan oleh kompleknya permasalahan baik ditingkat
bilateral maupun internasional.8 Pada tingkat bilateral, penyelesaian konflik kedua
Korea dipersulit oleh perbedaan-perbedaan ekonomi, sosial, dan politik yang
berkembang dalam situasi masing-masing sejak berakhirnya Perang Dingin.
Di sisi lain, Korea Utara sejak terpecahnya negara Korea, berubah menjadi
sebuah negara yang sangat tertutup, sehingga komunikasi antara Korea Utara dan
dunia luar terutama Korea Selatan sangat minim dan dikontrol dengan ketat.
Usaha-usaha untuk meredakan ketegangan atau konflik kedua Negara tetap
dilakukan mengingat posisi Korea Utara semakin terkucilkan dalam pergaulan
internasional akibat pandangan negatif dunia internasional sejak Korea Utara
mulai melakukan program nuklirnya
yang diteruskan dengan pengembangan
kemampuan rudal dengan serangkaian uji coba serta memburuknya situasi politik
dan ekonomi Korea Utara pada saat itu. Melihat keadaan tersebut Korea Selatan
6
Hezel Smith, Bad, Sad or Rational Actor? Why the ‘Securitization’ Paradigma Makes
for Poor Policy Analysis of North Korea, International Affairs, Vol. 76, No. 3, Europe: Where
Does It Begin and End? (Jul,2000), h. 610.
7
Fakta-fakta tentang Korea, Pelayanan Kebudayaan dan Informasi Korea, Kementerian
Kebudayaan Olah Raga dan Pariwisata, 2002, hal 59
8
Rizal Sukma,”Dua Korea dan Prospek Perdamaian di Asia Timur”, dalam Analisa,
CSIS, Jakarta, 1992-1993, h. 265.
3
mengambil sebuah kebijakan yang ingin memberikan terobosan yang revolusioner
untuk mencairkan hubungan antara kedua Negara Korea dan merubah persepsi
Korea Utara.
Perubahan sikap Korea Selatan terhadap Korea Utara menjadi angin segar
dalam proses transformasi kompleks keamanan di Semenanjung Korea. Salah satu
landasan pembuatan kebijakan Korea Selatan adalah bahwa bangsa Korea adalah
satu. Jika sebelumnya cara yang digunakan dalam peyelesaian permasalahan
nuklir adalah dengan cara membawa permasalahan ke Dewan Keamanan PBB,
memberikan embargo bagi Korea Utara dan mengucilkannya, namun kenyataanya
tidak bisa menyelasaikan permasalahan tersebut. Lebih dari setengah abad, Korea
Selatan berusaha mencari cara untuk menyatukan kembali daerah yang terbagi di
sekitar Semenanjung Korea sejak berdirinya Republik Korea pada tahun 1948.
Kebijakan reunifikasi Korea Selatan mempunyai tujuan yang sama, yaitu
mengurangi atau menetralisir pengaruh komunis dalam pemerintahan pasca
reunifikasi. Namun untuk menciptakan kesatuan, pemerintah Korea Selatan
menggunakan bermacam-macam cara untuk mempersatukan kedua Korea yang
secara reflek dapat mengubah lingkungan internasional dan beragam hubungan
diantara orang-orang Korea Sendiri.9
Korea Selatan memberikan cara pandang yang lain dengan menjadikan
proses dialog yang bersahabat sebagai senjata utama dalam menghadapi Korea
Utara. Dengan mengakrabkan hubungan diantara kedua rakyat Korea bertujuan
untuk memberikan dorongan bagi perubahan cara pandang rejim otoriter Korea
Utara terhadap dunia luar. Proses dialog antara Korea semakin intensif dilakukan,
9
Yang Seung-Yoon dan Aini Setiawati, sejarah Korea Awal Abad Hingga Masa
Kontemporer, Ghajah Mada University Press, Yogyakarta, 2003, h. 190.
4
rangkaian pertemuan tingkat Perdana Menteri yang hingga akhir 1992 telah
dilakukan sebanyak delapan kali, baik yang dilakukan di Seoul maupun di
Pyongyang. Sebagai hasil dari rangkaian pertemuan-pertemuan tersebut, telah
dibentuk berbagai komisi. Komisi-komisi ini sebagian telah melakukan beberapa
kali pertemuan di Panmunjom yang dihadiri oleh para pejabat tinggi dari kedua
belah pihak. Namun kegiatan-kegiatan tersebut akhirnya berhenti oleh protes
Korea Utara terhadap Korea Selatan yang melakukan latihan militer bersama AS
“Team Spirit”pada bulan Maret 1993.10
Dalam melakukan proses transformasi keamanan di Semenanjung Korea,
pemerintahan Korea Selatan sejak masa Presiden Roh Tae Woo, Kim Yong Sam,
Kim Dae Jung dan Roh Moo Hyun selalu menggunakan tiga pondasi kebijakan
yaitu melakukan kerjasama, rekonsiliasi, dan unifikasi. Ketiga pondasi tersebut
dilakukan secara berkesinambungan dan dijadikan cetak biru kebijakan Korea
Selatan terhadap Korea Utara. Proses kerjasama dilakukan sebagai pemecah
kebekuan dan kekakuan antara Korea Selatan dan Korea Utara. Kerjasama
dilakukan dalam dua hal, yaitu kerjasama dalam bidang ekonomi dan kerjasama
keamanan dengan menjadikan isu nuklir tidak lagi sebagai isu yang dominan di
Semenanjung Korea.11
Menyadari situasi keadaan dan perbedaan yang jelas diantara kedua
Negara maka dari itu, dibawah pemerintahan Kim Dae Jung (1998-2002) dan Roh
Moo Hyun (2003-2008), Korea Selatan membuat suatu kebijakan yang lebih
menekankan pentingnya kebersamaan antar negara Korea. Upaya penyatuan
10
Pramudito, “Tinjauan Prospek Perdamian di Semenanjung Korea”, dalam Jurnal
Caraka Vol.I/No. 5, February-Maret 1998, h. 90.
11
Kim Young Sam, Three-Phase Unification Formula for Building Korean National
Community, Pidato pada tanggal 15 Agustus 1994, didalam Korean Focus, Vol. 2, No. 4 (JulyAgustus 1994), h. 174
5
tersebut, tertuang didalam sebuah kebijakan yang dikenal dengan Sunshine Policy
(kebijakan Kim Dae Jung) dan Policy Peace and prosperity (Kebijakan Roh Moo
Hyun). Melalui Sunshine Policy, Kim Dae Jung mencoba untuk mengikutsertakan
Korea Utara didalam setiap kerjasama ekonomi. Untuk itu, pemerintahan Kim
Dae Jung tidak henti-hentinya berusaha keras untuk lebih menciptakan suasana
damai, rukun dan menuju kerjasama antar dua negara daripada hubungan yang
tertekan dengan konflik, hubungan ketidakpercayaan antara Korea Selatan dan
Korea Utara dan hubungan persaingan yang menelan biaya politik yang sia-sia.12
Akan tetapi, perjalanan Sunshine Policy tidak berjalan dengan mudah
seperti yang diharapkan, karena masih terhalang beberapa hambatan-hambatan
sehingga kebijakan secara damai yang dicetuskan Kim Dae Jung tidak dapat
berjalan sempurna. Beberapa kendala yang dihadapi dalam proses reunifikasi
antara Korea Selatan dan Korea Utara adalah perbedaan ideologi yang dianut
kedua Negara Korea. Hambatan lainnya yang dihadapi dalam mewujudkan
reunifikasi antara kedua Negara adalah masalah senjata pemusnah masal (nuklir,
biokimia, dan peluru kendali) yang sedang dikembangkan oleh Korea Utara.
Selain itu, adanya ancaman kemanusiaan yang dihadapi Korea Utara seperti
kelaparan, pembangkangan, dan pengungsian massal yang potensial, serta
ancaman militer konvensional. Hambatan utama untuk mengatasi aneka tantangan
ini muncul dari realitas bahwa tidak ada konsensus di antara negara-negara
bertertangga yang mempengaruhi secara langsung atau tidak langsung oleh tiap
manuver Pyongyang.13
12
Yang Seung-Yoon dan Mohtar Mas’oed, Politik Luar Negeri Korea Selatan:
Penyesuaian Diri Terhadap Masyarakat Interasional. Ghajah Mada University Press, Yogyakarta,
2002, h. 41.
13
Diakses dari http://www.kompas.com/kompas-cetak/0406/02/opini/1056776.htm.
“Menjawab Tantangan di Semenanjung Korea“,pada 16 Desember 2010
6
Dibawah kepemimpinan Roh Moo Hyun, upaya dialog dengan Korea
Utara dilakukan dengan pendekatan Policy for Peace and Prosperity. Kebijakan
tersebut merupakan lanjutan dari kebijakan sebelumnya yaitu kebijakan Sunshine
Policy. Namun selama krisis Semenanjung Korea tahun 2003, dan Korea Utara
bersikeras untuk meneruskan program-program nuklir dan sistem rudalnya, maka
Amerika Serikat-Korea Selatan bisa menyatukan pendapat. Kim Jung Il bersikap
bahwa Korea Utara menyatakan keluar dari perjanjian Non-Proliferasi Nuklir
sejak 1 Januari 2003, setelah bertekad terus mengembangkan program nuklir dan
persenjataannya. Masyarakat dunia kemudian kembali dikejutkan dengan aksi
peluncuran peluru kendali Korea Utara, 5 Juli 2006. Peluncuran beberapa rudal di
Semenanjung Korea itu kian mengkhawatirkan beberapa negara, bahkan Korea
Selatan, Jepang, Amerika Serikat, dan Australia mengecam tindakan itu. Dewan
Keamanan PBB pada 5 Juli 2006 telah membicarakan hal ini atas permintaan
perwakilan Jepang di PBB. Peluncuran rudal itu dapat diartikan Korea Utara
ingin mendapat posisi lebih kuat dalam perundingan damai soal nuklir Korea
Utara bersama enam negara (Six Party Talks), yang mengalami kebuntuan. Korea
Utara juga kian frustrasi dengan jalan damai setelah mengikuti Six Party Talks
bersama AS, Korea Selatan, Jepang, China, dan Rusia, dan hingga kini belum
mendapat hasil.14
Hal ini yang menyebabkan Roh Moo Hyun mengambil sikap tegas.
Dengan diplomasi tajamnya adalah Seoul akan meneruskan bantuan-bantuan
makanan, obat-obatan, pupuk, infrastruktur dan ekonomi, hanya bila Pyongyang
menghentikan pengembangan nuklirnya. Pernyataan Roh sebenarnya merupakan
14
Suara Pembaruan, 30 Juli 2003,” Diplomasi Roh dan Stabilitas Semenanjung Korea”,
h. 10
7
“ancaman” karena Jepang dan sekutu-sekutu Pyongyang, seperti Cina dan Rusia,
juga mendesak Korea Utara untuk kembali mematuhi Pakta Non-Plorifederasi
Nuklir, serta menghentikan semua program nuklirnya.15 Dalam melaksanaan
Policy for Peace and Prosperity, Roh mengadakan pertemuan dengan Kim Jung Il
dalam Konferensi Tingkat Tinggi kedua antara pemimpin-pemimpin Korea
Selatan dan Korea Utara yang berlangsung pada tanggal 2-4 Oktober 2007 di
Pyongyang.16 Di akhir masa kunjungannya selama tiga hari, kedua pemimpin
menandatangani beberapa point kesepakatan. Isinya antara lain, membangun
system perdamaian permanen, memperluas kerjasama ekonomi termasuk
membuat galangan kapal bersama, mengembangkan kerjasama pendidikan,
teknologi, budaya dan olehraga, dan mengadakan Konferensi Tingkat Tinggi.
Namun bila dilihat perospek yang ada, perbaikan hubungan yang langgeng
diantara kedua Korea masih memerlukan perjalanan yang panjang, terutama
perjalanan menuju arah unifikasi kedua Korea. Perbedaan tingkat kemapanan
ekonomi dan perbedaan sistem pemerintahan yang berlaku, memerlukan
penyesuian dalam jangka waktu yang lama. Sehingga rumusan unifikasi di
Semenanjung Korea dilakukan dalam beberapa tahapan penyesuaian. Adanya
bebrapa faktor yang mempengaruhi hubungan antar-Korea dalam proses
reunifikasi di Semenanjung Korea baik dalam faktor Internal seperti faktor
domestik kedua Negara Korea maupun faktor ekternal seperti hegemoni Amerika
Serikat, dan kepentingan Cina, Jepang dan Rusia di Semenanjung Korea.
Hambatan-hambatan yang dihadapi dalam reunifikasi antar-Korea menjadi
sebuah hal yang harus dicari penyelesaiannya. Rakyat Korea memang tidak
15
Diakses dari http://www.suarapembaruan.com/News/2003/02/06/Editor/edi01.html
“Dambaan Presiden Korsel, Perdamaian, dan Pusat Ekonomi“, pada 12 Desember 2010
16
Ibid.
8
seberuntung rakyat Jerman yang bersatu kembali tahun 1990, setelah terbagi
hampir 30 tahun atas Jerman Barat dan Jerman Timur tahun 1961. Namun harapan
untuk bersatunya kembali terus diwujudkan demi menjadi Korea yang satu.
1.2 PERTANYAAN PENELITIAN
Berdasarkan latar belakang diatas, maka pertanyaan mendasar penelitian
ini adalah Bagaimana Perkembangan Dinamika Hubungan antara Korea
Selatan dan Korea Utara tahun 2003-2008 dalam mewujudkan reunifikasi di
Semenanjung Korea? Hambatan-hambatan apa yang mempengaruhi proses
dialog reunifikasi kedua Negara di Semenanjung Korea?
1.3 TINJAUAN PUSTAKA
Ada sejumlah penelitian di mana unit analisanya adalah dinamika
hubungan Korea Selatan dan Korea Utara terkait reunifikasi di Semenanjung
Korea, namun banyak penelitian yang unit analisanya dikaitkan secara langsung
dengan permasalahan reunifikasi di Semenanjung Korea. Meskipun demikian
terdapat dua penelitian yang penulis anggap cukup relevan untuk dijadikan bahan
tinjauan pustaka. Pertama, yaitu penelitian berjudul “Faktor-faktor Determinan
yang menyebabkan Pergeseran Pola Hubungan Korea Utara-Korea Selatan
dalam Isu Reunifikasi Pasca Perang Dingin”, 2001, karya I Wayan Setia Jaya,
Hubungan Internasional, FISIP Universitas Indonesia. I Wayan menyatakan
bahwa terdapat beberapa faktor-faktor determinan yang menyebabkan pergeseran
pola hubungan Korea Utara-Korea Selatan dalam isu reunifikasi secara garis
besar.17 Dimana keberadaan faktor hegemoni Amerika Serikat, Cina, Jepang, dan
Rusia menjadi penyebab pergeseran pola hubungan antar-Korea. pergeseran pola
17
I Wayan Setia Jaya, “Faktor-faktor Determinan yang menyebabkan Pergeseran Pola
Hubungan Korea Utara-Korea Selatan dalam Isu Reunifikasi Pasca Perang Dingin”, (Skripsi S1
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Ilmu Politik,Universitas Indonesia Jakarta, 2001) h. 15-30.
9
hubungan tersebut membuat beberapa kebijakan yang telah ada mengalami
penyesuaian secara perlahan. Namun keberadaan aktor-aktor tesebut tidak
menyebabkan pandang kedua Negara Korea tersebut menjadi berubah dalam
mewujudkan reunifikasi di Semenanjung Korea.
Selain itu, penelitian juga dilakukan oleh Lee young Sun, “Is Korean
Reunification Possible?”, Vol. 3, No.3, Korean Focus, 1995.18 Lee melihat
permasalahan atau hambatan dalam mewujudkan reunifikasi Korea dari berbagai
faktor baik dalam faktor domestik dua Negara Korea tersebut maupun hubungan
antar Negara di Asia Timur dan hubungan dengan Negara besar seperti Amerika
Serikat dan Uni Soviet. Tantangan dalam mewujudkan unifikasi di Semenanjung
Korea memiliki kesulitan yang cukup tinggi mengingat perbedaan tersebut dilihat
dari keadaan ekonomi maupun politik. secara garis besar penelitian ini melihat
bagaimana keadaan Semenanjung Korea dalam mewujudkan reunifikasi. Adanya
perbedaan kebijakan antar kedua pemerintah Korea menyebabkan susahnya
mewujudkan reunifikasi di Semenajung Korea.
Skripsi ini berupaya memberikan sumbangsih ilmu terkait hal yang
melatarbelakangi susahnya mewujudkan reunifikasi di Semenanjung Korea. Jika
penelitian I Wayan lebih memaparkan faktor determinan yang menyebabkan pola
pergeseran hubungan antar Korea. Penulis skripsi ini lebih memfokuskan pada
faktor-faktor yang mempengaruhi hubungan Korea Selatan dan Korea Utara pasca
krisis nuklir kedua pada tahun 2003 sampai 2008. Serta menekankan hambatanhambatan yang terkait dalam proses reunifikasi di Semenanjung Korea. Penulis
melihat dengan terjadinya krisis nuklir kedua pada tahun 2003 membuat pola
18
Lee young Sun, “Is Korean Reunification Possible?”, Vol. 3, No.3, Korean Focus,
1995, h. 15.
10
hubungan antara kedua Negara Korea menjadi memanas. Sehingga kebijakan
yang dibuat oleh kedua Negara Korea tersebut sering kali mengalami perubahan
dikarenakan belum terjadinya kesepakatan antara kedua pihak.
KERANGKA TEORI
1.4.1 Konsep Politik Luar Negeri
Konsep politik luar negeri mengandung unsur tindakan, yaitu hal-hal yang
dilakukan oleh suatu pemerintah tertentu kepada pihak lain untuk menghasilkan
orientasi, memenuhi peran atau mencapai dan mempertahankan tujuan tertentu.
Dalam kaitan ini, tindakan suatu Negara merupakan bentuk komunikasi yang
dimaksudkan untuk mengubah atau mendukung tindakan pemerintah Negara lain
yang berperan dalam menentukan berhasil tidaknya pencapaian tujuan Negara
tersebut.19 Chris Brown dalam bukunya Understanding International Relation
memberikan pandangan sederhana dalam pandangan politik luar negeri, menurut
Brown, politik internasional dapat dipahami sebagai cara untuk mengartikulasikan
dan memperjuangkan kepentingan nasional terhadap dunia luar.20 Dalam hal ini,
penulis mengambil sebuah kesimpulan bahwa dalam sistem internasional pola
perilaku Negara didasarkan pada kepentingan nasional serta strategi berdasarkan
kalkulasi posisi mereka di dalam sistem internasionalnya. Namun dilihat dari
bagaimana Negara merumuskan kepentingan nasionalnya dan aspek-aspek apa
saja yang akan ditonjolkan serta kebijakan yang dihasilkan.
Menurut H.J Morgenthau bahwa Negara sesungguhnya adalah aktor yang
sepenuhnya rasional. Karena itu tindakan-tindakan Negara akan dilakukan secara
19
KJ. Holsti, Politik Internasional: Kerangka Untuk Analisa, M. Tahrir Azhary (pent)
Erlangga, 1983, h. 158.
20
Chris Brown, Understanding International Relation, 2nd edition, London,
Palgrave,2001, h. 68-86, Dikutip dari Politik Luar Negeri Indonesia “Di Tengah Pusaran Politik
Domestik” , Genewati Wuryandari (ed), Pustaka Pelajar, Jakarta, 2008, h. 14.
11
perhitungan untung rugi yang jelas.21 Menurut Kenneth Waltz, aktor diasumsikan
melakukan suatu tindakan rasional yang telah dikalkulasikan. Singkatnya suatu
Negara harus mempertahankan kelangsungan hidupnya (survival) agar tidak
mudah diserang/rawan (vulnerability) dalam sistem internasional anarki. Perilaku
Negara
ditunjukan
kepada
pencapaian
kepentingan
nasional
dengan
mempertimbangkan kapabilitas yang dimilikinya.22
Politik luar negeri cenderung berubah dari waktu ke waktu tanpa indikasi
yang jelas. Meskipun demikian, untuk memahami perilaku politik luar negeri
yang dinamis, William D. Coplin mengidentifikasikan dalam empat determinan
politik luar negeri.23 Pertama, adalah konteks internasional, artinya, situasi politik
internasional yang sedang terjadi pada waktu tertentu dapat mempengaruhi
bagaimana Negara itu akan berperilaku. Dalam hal ini, Coplin menyatakan bahwa
ada tiga elemen penting dalam membahas dampak konteks internasional terhadap
politik luar negeri suatu Negara, yaitu geografis, ekonomis, dan politik. Geografi
merupakan suatu hal yang konstan keberadaannya. Namun tidak lagi terpenting
seperti yang diberikan oleh para pendukung geopolitik pada masa lalu.
Sebagaimana halnya geografi, faktor ekonomi juga memainkan peran penting
dalam menentukan kebijakan luar negeri.
Faktor kedua yang menjadi determinan dalam politik luar negeri adalah
perilaku para pengambil keputusan. Perilaku pemerintah yang dipengaruhi oleh
persepsi, pengalaman, pengetahuan, dan kepentingan individu-individu dalam
21
Hans J. Morgenthau, Politik Antar Bangsa, S. maimon (pent), Yayasan Obor Indonesia,
Jakarta. 1990, h. 4-18.
22
Kenneth N. Waltz, Theory Of International Politics, New York: McGraw-Hill Inc,
1979, h. 125-127.
23
Lihat William D. Coplin, Pengantar Politik Internasional : Suatu Telaah Teoritis,
Bandung, Penerbit Sinar Baru, 1992, h. 165.
12
pemerintahannya menjadi faktor penting dalam penentuan kebijakan luar negeri.
Sementara itu, determinan ketiga adalah kondisi ekonomi dan politik.
Kemampuan ekonomi dan politik suatu Negara dapat mempengaruhi Negara
tersebut dalam interaksinya dengan Negara lain. Keempat, determinan terakhir
yang memepengaruhi politik luar negeri adalah politik dalam negeri. Dalam hal
ini, situasi politik yang terjadi dalam negeri akan memberikan pengaruh dalam
perumusan dan pelaksanaan politik luar negeri.
Dalam kaitannya dengan faktor yang ada Struktur dan pembuatan
keputusan Korea Utara, Kim Jung II memainkan peran yang sangat penting. Sikap
Kim Jung Il untuk memelihara rejim dan sekaligus membangun ekonomi nasional
dengan memobilisasi militer. Untuk menjaga keamanan rejim maupun
pertumbuhan ekonomi, Korea Utara secara efektif berubah menjadi “negara yang
mengutamakan militer”. Salah satunya yaitu dengan mengembangkan program
nuklir. Pengembangan program nuklir Korea Utara sebagai reaksi terhadap
berubahnya sistem di lingkungannya. Pengembangan nuklir tersebut sebagai
upayanya untuk mempertahankan Bargaining position atau posisi tawar menawar
di dalam masyarakat internasional.
Menurut Walter S Jones menegaskan bahwa kemungkinan pecahnya
perang salah satunya dapat diakibatkan oleh adanya perlombaan senjata yang
secara strategis tidak stabil dan secara politis tidak dapat terkendali.24
Pengembangan persenjataan di Kawasan Asia Timur yang terus ditingkatkan akan
menimbulkan pecahnya perselisihan dan konflik dari pihak lawan yang sudah
terjadi sebelumnya. Dengan kata lain, kondisi yang ada akan memperparah
konflik yang sudah ada sebelumnya.
24
Walter S. Jones, Logika Hubungan Internasional: Kekuasaan Ekonomi-Politik
Internasional, Tatanan Dunia, Jilid 2, Gramedia Utama, Jakarta, 1993, h. 196-199.
13
1.4.2 Diplomasi
Dalam arti luas diplomasi meliputi seluruh kegiatan politik luar negeri
suatu Negara dalam hubungannya dengan bangsa atau Negara lain. Diplomasi
meliputi kegiatan:
1. Menentukan tujuan dengan mempergunakan semua daya dan tenaga untuk
mencapai tujuan tersebut.
2. Menyesuaikan kepentingan dari bangsa lain dengan kepentingan dari
bangsa lain dengan kepentingan nasional sesuai dengan daya dan tenaga
yang ada padanya.
3. Menentukan apakah tujuan nasional sesuai atau berbeda dengan
kepentingan bangsa dan Negara lain.25
Pada umumnya, tujuan perundingan antara dua atau lebih pemerintahan
ialah untuk mengubah atau mempertahankan tujuan, kebijaksanaan atau
memperoleh persetujuan mengenai beberapa masalah tertentu.26
1.4.3 Konsep Keamanan
Dalam teori keamanan, Barry Buzan menyebutkan perihal transformasi
keamanan untuk merubah permusuhan (enmity) menjadi persahabatan (amity).
Transformasi keamanan tersebut bisa dilakukan melalui transformasi internal,
dengan kata lain, permusuhan diantara Negara sekawasan bisa dihilangkan apabila
terjadi integrasi.27 Dalam konteks keamanan di Semenanjung Korea. selain proses
rekonsiliasi juga di kemukakan proses unifikasi diantara kedua Negara Korea.
25
Soemarsono Mestoko, Indonesia dan Hubungan Antar Bangsa, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta, 1985, h. 25-26
26
K.J Holsti, Politik Internasional: Suatu Kerangka Analisis, M. Tahrir Azhary (pent),
Erlangga, Jakarta, 1987, h.241
27
Barry Buzan, People States and Fear: An Agenda For International Security Studies in
The Post Cold War Era, 2nd edition, Harvester Wheatsheaf, London, 1991, h. 53.
14
Unifikasi ini merupakan hasil refleksi terhadap opini publik. Operasionalisasi dari
konsep ini adalah melakukan unifikasi diantara kedua Negara secara bertahap
dengan menempatkan kemerdekaan, perdamaian dan demokrasi sebagai prinsip
utama.
Kini dimensi keamanan pasca Perang Dingin mulai berkembang dari
konsep tradisional menuju non-tradisional yang melibatkan aktor yang beragam
(non-state actor) di bawah identitas negara. Isu keamanan secara tradisional dapat
ditemukan dalam pemahaman keamanan militer-politik. Dalam konteks ini konsep
keamanan berbicara bagaimana untuk bertahan hidup (survive).28 Definisi
keamanan hanya terbatas pada pemahaman dimensi militer dalam hubungan antar
negara yang berarti tidak adanya ancaman militer terhadap kedaulatan sebuah
negara. Konsep keamanan tradisional menganggap negara lain sebagai pesaing di
mana hubungan antar negara selalu bersifat zero-sum yaitu setiap upaya untuk
meningkatkan keamanan mempunyai implikasi negatif terhadap keamanan yang
mengganggu keseimbangan kekuatan atau yang disebut sebagai dilema keamanan
(security dilemma).29 Namun pada pasca Perang Dingin pemahaman keamanan ini
semakin
meluas
sehingga
membuat
spektrum
permasalahan
keamanan
internasional dan faktor-faktor yang relevannya pun semakin melebar.
1.4.4 Reunifikasi
Reunifikasi merupakan suatu penyatuan atau menggabungkan kembali.
Istilah reunifikasi berdasar dari kata unifikasi yang berarti hal menyatukan,
28
Barry Buzan, Ole Waefer, dan Jaap de Wilde, A New Frame Work For Analysis,
London: Lynne Rienner Publisher.1998, h. 21
29
Yayan Moch. Yani, Pengantar Ilmu Hubungan Internasional, Bandung: Rosda Karya,
2006. h.126
15
menyatukan, hal yang menjadikan seragam.30 Reunifikasi dari kata re + unify
yaitu, “ to restore the unity or intergrity of (As a divided country) “. Dari kata
dasar tersebut, kemudian Almond an Schuster memberi pengertian atau definisi
mengenai reunifikasi yaitu “The act or process of reunifying ( advocating of the
divided country)” yang dapat diartikan sebagai tindakan atau proses penyatuan
kembali atas suatu Negara yang pernah dipisahkan.31 Sedangkan Thomas A.
Baylis, dalam studinya mengenai reunifikasi menyatakan pendapatnya bahwa “in
fact, the world reunification it self was often replaced by the term einheit or until.
Einheit did not necessarily mean unification in a legal or political sense but
rather in a larger moral sense”, dalam kenyataannya, kata reunifikasi sendiri
sering digantikan dengan einheit atau persatuan. Einheit atau persatuan tidak perlu
berarti penyatuan dalam pengertian hukum atau politik tetapi cukup pada
pengertian moral yang lebih besar.32
Munculnya keinginan unifikasi kedua Negara Korea untuk berunifikasi
sebenarnya sudah sejak lama ada. Namun harapan itu terhalang oleh pemerintahan
militer AS dan USSR dengan dalih pembagian Semenanjung Korea telah
ditetapkan dalam perundingan sekutu, yakni Negara-negara pemenang Perang
Dunia Kedua. Pada saat kekuatan besar tesebut meninggalkan Korea, usaha-usaha
kongkret untuk mewujudkan Negara Korea yang bersatu kembali digiatkan oleh
kedua Negara Korea. Terbukti reunifikasi secara damai melalui jalur diplomasi
30
Tim Penyusun Kamus Bahasa, Kamus Besar Indonesia, Edisi ke-3 Cetakan Pertama,
Balai Pustaka, Jakarta, 2001, h. 954.
31
Almond and Schuster, Websters’s, New Twentieth Century Dictionary Of the English
Language : unabridged, edisi ke-2, New York, 1983, h. 15.
32
Baca tulisan Thomas A. Baylis, The Germanys or One? The Return The “German
Question”, dalam Ursula Hoffman-Lange (ed), Social and Political Structure in The West
Germany, “From Authori Tarianism to Post Industrial Democracy”, West View Special Studies in
West European Politics and Society, Munich, 1998, h.190.
16
dilakukan secara terang-terangan oleh Korea Selatan sejak terbentuknya Republik
Korea tahun 1948 dan masih terus diupayakan sampai saat ini baik dilakukan
dengan cara perundingan, kerjasama, maupun dialog. Hal yang sama juga
dilakukan oleh Korea Utara dalam mewujudkan Negara Korea yang satu,
walaupun dalam kenyataannya kebijakan luar negeri Korea Utara baik dengan
Korea Selatan maupun dengan Negara-negara lainnya cenderung mengancam.
Namun saat ini, Korea Utara mulai mempertimbangkan dan menjalankan upaya
penyatuan melalui jalur diplomatik atau negosiasi.
Terwujudnya reunifikasi Korea merupakan harapan rakyat di Semenanjung
Korea karena pada awalnya mereka adalah bangsa yang satu namun terpisakan
oleh persaingan antara Negara super power pada masa Perang Dingin. Namun
ironisnya, hambatan-hambatan yang ada dalam peroses penyatuan kembali Korea
justru dari dalam negeri dan berkaitan dengan upaya kedua Negara tersebut dalam
menjaga dan mempertahankan kepentingan nasionalnya tersebut, seperti
kesenjangan ekonomi yang cukup besar, perbedaan ideology dan adanya isu
pengembangan nuklir yang semakin memperburuk keadaan maupun belum
adanya formulasi yang tepat bagi Korea yang satu.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini bersifat kualitatif yaitu jenis penulisan melalui pengumpulan
data-data dan pemahaman data berupa data tertulis sepertu buku, jurnal, bulletin
dan sumber tertulis lainnya. Sumber data yang digunakan penelitian ini adalah
dengan menggunakan data-data skunder yakni ada dikumpulkan dan dipilih serta
diolah sesuai dengan kebutuhan penelitian ini. adapun studi perpustakaan yaitu
data diperoleh melalui perpustakaan. Data-data tersebut akan digunakan untuk
17
pembelajaran bagaimana dinamika hubungan kedua Negara Korea tahun 20032008 dalam menuju reunifikasi di Semenanjung Korea dan data-data tersebut
nantinya juga akan membuat sebuah satu pemikiran dalam memprediksi keadaan
yang terjadi di Semenanjung Korea dalam menuju prospek perdamaian. Dan
Permasalahan ini menjadi pusat penelitian yang cukup menarik bagi penulis yang
nantinya akan ditulis dalam sebuah skripsi.
TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ini adalah untuk:
1. Memperoleh informasi tentang bagaimana dinamika hubungan Antara
Korea Selatan dan Korea Utara dalam proses dialog reunifikasi di
Semenanjung Korea tahun 2003-2008
2. Mengkaji secara mendalam tentang hubungan tersebut.
3. Mengidentifikasi faktor-faktor apa yang membuat proses reunifikasi antara
kedua Negara masih mengalami kesulitan.
4. Bagaimana kebijakan Korea Selatan dalam menghadapi Korea Utara untuk
mewujudkan reunifikasi antara kedua Negara Korea di Semenanjung
Korea.
1.7 SISTEMATIKA PENULISAN
Adapun sistematika penulisan proposal ini adalah:
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
1.2
Pertanyaan Penelitian
1.3
Tinjauan Pustaka
1.4
Kerangka Teori
1.5
Metode Penelitian
1.6
Tujuan Penelitian
18
1.7
Sistematika Penulisan
BAB II PASANG SURUT HUBUNGAN ANTARA KOREA SELATAN
DAN KOREA UTARA
2.1 Hubungan Antara Korea Selatan dan Korea Utara Era Perang Dingin
2.2 Hubungan Antara Korea Selatan dan Korea Utara Pasca Perang
Dingin
2.3 Kebijakan Sunshine Policy Kim Dae Jung
2.4 Kebijakan Policy for Peace and Prosperity Presiden Roh Moo Hyun
BAB III GAGASAN REUNIFIKASI DI SEMENANJUNG KOREA
3.1 Latar Belakang Reunifikasi di Semenanjung Korea
3.2 Kebijakan Reunifikasi di Semenanjung Korea
3.3 Perkembangan Reunifikasi di Semenanjung Korea
BAB IV FAKTOR YANG MEMPENGARUHI HUBUNGAN ANTARKOREA DALAM PROSES REUNIFIKASI DI SEMENANJUNG
KOREA
4.1 Faktor Internal
4.1.1 Faktor Domestik Korea Selatan
4.1.2 Faktor Domestik Korea Utara
4.2 Faktor Eksternal
4.2.1 Hegemoni Amerika Serikat di Semenanjung Korea
4.2.2 Kepentingan Cina, Jepang, dan Rusia di Semenenjung Korea
4.3 Hubungan Korea Selatan dan Korea Utara dalam Menuju Proses
Reunifikasi Di Semenanjung Korea periode 2003-2008
4.4 Hambatan-Hambatan Reunifikasi di Semenanjung Korea
BAB V KESIMPULAN
19
BAB II
PASANG SURUT HUBUNGAN
ANTARA KOREA SELATAN DAN KOREA UTARA
2.1 Hubungan Antara Korea Selatan dan Korea Utara Era Perang Dingin
Pembagian Semenanjung Korea merupakan salah satu bukti jelas yang
diakibatkan persaingan ideologi. Setelah sekutu memenangkan Perang Dingin II.
Semenanjung Korea dibagi dua oleh Uni Soviet dan Amerika Serikat pada garis
lintang 38o. Secara geografis, Semenanjung Korea dikelilingi oleh Negara-negara
besar dan kuat, seperti Cina, Jepang, dan Rusia. Sejarah mencatat bahwa sejak
jaman kerajaan kuno hingga Negara modern, Negara Korea pernah mengalami
lima kali masa penjajahan atau penguasaan, seperti Cina, Bangsa Mongol, Jepang
dan Amerika Serikat serta Uni Soviet pasca Perang Dingin Kedua.33 Semenanjung
Korea memiliki lokasi yang strategis, sehingga Negara-negara besar yang menjadi
Negara tetangga, menjadikan Semenanjung Korea sebagai sasaran dari perluasan
pengaruh serta kepentingan Negara-negara besar tersebut.34
Korea adalah sebuah semenanjung di Asia Timur, yang memanjang sekitar
1.100 kilometer kearah selatan daratan Asia kontinental hingga Samudra Pasifik
dan dikelilingi Laut Jepang di timur, Laut China Timur di Selatan, dan Laut
Kuning di barat. Semenanjung Korea mempunyai wilayah seluas 220.000 km²,
sebanyak 70 persen wilayah Semenanjung Korea adalah pegunungan dan tanah
yang bisa diusahakan untuk lahan pertanian lebih kecil. Jajaran pegunungan
berbaris di wilayah sebelah utara dan timur, dengan puncak tertinggi adalah
33
Yang Seung-Yoon dan Mohtar Mas’eod, “Politik Luar Negeri Korea Selatan :
Penyesuaian Diri Terhadap Masyarakat Internasional”, Gadjah Mada University Press, 2002, h.
15
34
Ibid.
20
Gunung Baekdu (2.744 m) di wilayah perbatasan dengan Republik Rakyat Cina.
Panjang garis pantai semenanjung Korea adalah 8.460 kilometer.35
Gambar 2.1 Peta Korea
Sumber: Peta Korea
http://indonesiaseoul.org/pictures/korea.jpg&w=396&h=425&ei=eWxdT5qnBIfTrQf884WjDA&z
oom=1, pada 12 Maret 2012
Bila melihat latar belakang sejarah Korea, kedua negara merupakan satu
Negara Korea. Namun pada tahun 1910-1945 merupakan masa penjajahan Jepang
di Semenanjung Korea. Dahulu hubungan kerajaan-kerajaan Korea dengan Jepang
dari segi politik luar negerinya hampir sama dengan hubungan Cina dan Korea
yaitu antar raja dan raja bawahannya. Semenanjung Korea dalam hubungan
tersebut memiliki fungsi sebagai jembatan antara Cina Daratan dengan Kepulauan
Jepang sampai abad ke-16.
36
Seiring berjalan waktunya, beberapa negara Asia
dan Eropa yang memiliki ambisi bersaing satu dengan yang lainnya untuk meraih
pengaruh atas Semenanjung Korea. Jepang merupakan negara yang berhasil
menduduki Korea setelah menang melawan Cina dan Rusia. Secara paksa
35
Diakses dari,
http://indonesiaseoul.org/pictures/korea.jpg&w=396&h=425&ei=eWxdT5qnBIfTrQf884WjDA&z
oom=1, pada 12 Maret 2012
36
Yang Seung-Yoon dan Mohtar Mas’eod, “Politik Luar Negeri Korea Selatan :
Penyesuaian Diri Terhadap Masyarakat Masyarakat Internasional”, Gadjah Mada University
Press, 2002, h. 10
21
menganeksasi Korea dan mendirikan pemerintahan kolonial pada tahun 1910.37
Selama penjajahannya, Jepang menggunakan kekuasaannya dengan menbentuk
sebuah pemerintahan yang kejam di Korea. Sampai akhirnya, pada tahun 1941
terjadi perang antara Jepang dengan Amerika dan perang tersebut dimenangkan
oleh Amerika Serikat pada tahun 1945. 38
Menyusul kepergian Jepang di tahun 1945 dari Semenanjung Korea,
menjadikan rakyat Korea terpecah karena adanya perubatan kepemimpinan dan
ideologi antar mereka sendiri. Hal itulah yang dimanfaatkan oleh kedua Negara
adikuasa yaitu Amerika Serikat dan Uni Soviet. Keberadaan ke dua Negara
tersebut di Semenanjung Korea, tidak lain adalah untuk memantapkan posisi
mereka di Semenanjung Korea selama Perang Dingin berlangsung. Pada akhir
Perang Dunia II, Tentara Uni Soviet melancarkan serbuan terhadap Korea dari
arah Utara untuk memusnahkan sisa-sisa kekuatan tentara Jepang yang masih ada
di Korea pada 12 Agustus 1945, dan pada bulan September 1945, Amerika Serikat
juga mendaratkan pasukannya di Korea Selatan. Hal inilah yang menyebabkan di
Korea terdapat dua kedudukan, yaitu Korea Utara di duduki oleh Uni Soviet dan
Korea Selatan diduduki oleh Amerika Serikat. Dengan batas di antara keduanya
adalah 38 o. 39
Setelah pembagian Semenanjung Korea, pada tahun 1947 PBB
mengeluarkan satu resolusi untuk mengadakan pemilu, dengan tujuan untuk
membentuk perlemen gabungan dari pemerintahan sementara. Akan tetapi, Rusia
menolak keberadaan komisi PBB untuk mengawasi Pemilu di Korea, sehingga
37
Fakta Tentang Korea, Pelayana Informasi Korea, Badan Informasi Nasional, 2003,
Seoul, Republik Korea, h. 31
38
Ibid. h. 33
39
I Wayan Badrika, Sejarah Nasional dan Umum , Erlangga, Jakarta, 2005, h. 227
22
pada bulan Mei 1948, Pemilu yang diadakan dibawah pengawasan PBB hanya
diadakan di Korea Selatan. Baru 3 bulan kemudian, diadakan Pemilu di Korea
Utara yang dipimpin Uni soviet.40 Pasca Pemilu tahun 1948, dibawah pengawasan
dan dukungan positif Pasukan Uni Soviet, Kim II Sung mendirikan pemerintahan
komunis dengan nama Republik Rakyat Korea (Korea Utara), sedangkan
Syngman Rhee mendirikan pemerintah Pro-Amerika Serikat dengan nama
Republik Korea (Korea Selatan) pada tahun yang sama. Dalam mewujudkan
unifikasi Korea, pada masa pemerintahan Syngman Rhee, pendekatan kebijakan
unifikasi menggunakan pendekatan yang agressif, yang dikenal sebagai “March
North for Unification”.41
Namun kenyataannya pendekatan menuju unifikasi Korea Selatan tidak
didukung oleh kemampuan perangnya. Hal ini terbukti dengan tidak mampunya
Korea Selatan mempertahankan wilayahnya dari invasi Korea Utara yang
didukung oleh Uni Soviet pada tahun 1950. Sejak pembagian Korea setelah lebih
dari satu milenium sebagai Korea yang bersatu, dipandang tidak dapat diterima
dan bersifat sementara oleh masing-masing rezim. Sejak 1948 hingga awal perang
saudara pada 25 Juni 1950, angkatan bersenjata dari masing-masing pihak terlibat
dalam serangkaian konflik berdarah di sepanjang perbatasan. Pada awal,
pembagian semenanjung Korea, diyakini hanya akan berlangsung untuk
sementara.
Tetapi, masalah reunifikasi semakin menjadi isu yang serius yang harus
dipikirkan oleh pihak lain yang memiliki ideologi berbeda, hingga pembagian itu
40
Sukmawarsini Djelantik, Perang Dingin di Asia Timur Laut; Kasus Rivalitas BaratTimur dalam Perang Korea (1950-1953), Jurnal FISIP Potensia, Tahun VII, No. 16, 2006, h. 92.
41
Yang Seun-Yoon dan Nur Aini Setiawati, Sejarah Korea , Gajah Mada University
Press, 2003, h. 189.
23
semakin berubah, yaitu bersifat bermusuhan. Pecahnya Perang Korea bisa
dikatakan sebagai hasil dari memuncaknya konflik pendapat untuk mencapai
reunifikasi yang saling berbeda antar Korea. Pasukan Rakyat Korea (nama
pasukan Korea Utara) tumbuh cepat atas dukungan penuh dari Uni Soviet, mulai
melakukan infiltrasi pada pagi 25 Juni 1950, melintasi garis perbatasan 38
derajat.42 Pasukan Rakyat Korea dapat mengalahkan pasukan Korea Selatan pada
tahap awal perang. Dengan dibantu pasukan PBB yang dipimpin oleh Amerika di
bawah komando Jenderal Douglas Mac Arthur, Korea Selatan memberikan
perlawanan terhadap serbuan tentara Korea Utara ke Korea Selatan. Perang
Saudara itu berakhir pada tahun 1953, sebelum Cina menjebatani kedua Korea
untuk melakukan gencatan senjata. Perjanjian gencatan tersebut ditandatangani
pada tanggal 27 Juni 1953.43
Sebuah gencatan senjata ditandatangani guna mengakhiri permusuhan, dan
kedua belah pihak sepakat untuk membuat zona penyangga selebar tiga mil di
antara kedua negara, di mana tidak seorang pun boleh memasukinya. Daerah ini
kemudian dikenal sebagai Zona Demiliterisasi.44 Akibat perang tersebut sekitar
tiga juta orang Korea tewas atau terluka dan jutaan lainnya kehilangan rumah dan
terpisah dari sanak keluarga mereka. Perang tersebut juga merusak infrastruktur
dan perekonomian Negara, serta meninggalkan keretakan yang lebar antara
sesama orang Korea. Sepanjang tahun 50-an dan 60-an kedua Korea di
Semenanjung
Korea
telah
menjadi
42
sangat
bermusuhan.
Masing-masing
Young Jeh Kim, North Korea’s Nuclear Program and Its Impact On Neighboring
Countries, dalam Korea and World Affairs, Vol. 17, No. 3, Fall 1993, h. 482.
43
Diakses “ Sinar Matahari di Selatan dan Utara”, dari, http://kompas.com/kompas cetak/0209/30/or/sina31.html, pada 26 Septemeber 2009
44
Fakta Tentang Korea, Pelayana Informasi Korea, Badan Informasi Nasional, 2003,
Seoul, Republik Korea, h. 46.
24
pemerintahan sama sekali tidak diakui oleh lawanya, sedangkan semua rakyat di
masing-masing pihak dipaksa mempelajari keunggulan ideologi mereka masingmasing.45
Dibawah pimpinan Kim Il-Sung, Korea Utara giat mengembangkan
ekonomi nasionalnya secara sosialis internasionalnya sambil memperkuat
kekuatan militernya. Permusuhan diantara Korea Utara dan Korea Selatan
mempengaruhi persepsi masing-masing negara yang melihat tetangganya sebagai
musuh dan ancaman. Bagi Korea Utara, Korea Selatan merupakan ancaman
dengan kehadiran kekuatan militer Amerika Serikat untuk melindungi Korea
Selatan. Bagi Korea Selatan, pengalaman invasi yang dilakukan pada waktu
Perang Korea, menunjukan bahwa agresifitas Korea Utara untuk menyatukan
Korea merupakan ancaman yang sewaktu-waktu bisa bangkit kembali. Dengan
situasi hubungan yang demikian mengakibatkan tidak adanya norma yang
disepakati antara kedua negara Korea untuk mengatur hubungan keduanya.
Selama dua dasawarsa, kekuatan ekonomi Korea Utara lebih unggul dibandingkan
Korea Selatan. Hal ini disebabkan banyaknya sumber alam pertambangan di
Korea Utara. Di pihak lain, setelah mendirikan pemerintahannya, Korea Selatan
masih terlibat dalam pertentangan ideologinya sehingga ekonomi rakyat belum
sempat untuk dikembangkan. Namun setelah terpilihnya Park Chung Hee, Korea
Selatan mencapai kesuksesan dalam pembangunan ekonomi. Korea Utara tidak
mau mengakui berkembangannya ekonomi Korea Selatan.46 Ketika Korea Utara
menginginkan unifikasi komunis berdasarkan pada logikanya yang disebut “Satu
Joseon” Korea Selatan menganggap pemerintahannya sebagai satu-satunya entitas
45
Mohtar Masóed, dan Yang Seung-Yoon, Memahami Politik Korea, Gadjah Mada
University Press, 2005, h. 238.
46
Ibid, h. 239
25
yang sah di Semenanjung Korea dengan unifikasi sebagai perpanjangan
kedaulatannya. Pandangan yang kaku dan tidak kompromi menjadikan
akomondasi antara kedua belah pihak sulit untuk dilakukan sampai tahun 1960an.47
Memasuki tahun 1970-an, dunia internasional menjadi lebih damai. Kedua
Korea mulai mengakui pemerintahan masing-masing, hal ini menandai sebuah
perubahan penting dalam sikap mereka terhadap reunifikasi. Pada tahun 1970,
perubahan pertama datang pada peringatan Hari Pembebasan dengan adanya
seruan dari Selatan untuk melakukan kompetisi perdamaian secara jujur dengan
utara.48 Sampai pertengahan tahun 1980-an sejalan berakhirnya Perang Dingin,
hubungan antar-Korea mencapai titik balik yang penting. Tahun 1985, sebuah
peristiwa yang sangat berkesan yang merupakan hasil pembicaraan Palang Merah
adalah pertemuan reuni antar keluarga dari masing-masing pihak, dan
Pembicaraan Ekonomi Selatan-Utara (1984) dan Konferensi Pendahuluan
Parlementer Selatan-Korea (1985). Namun pembicaraan antar Korea SelatanKorea Utara ditunda karena berbagai alasan politis.49
2.2 Hubungan Antara Korea Selatan dan Korea Utara Pasca Perang Dingin
Politik
internasional pasca Perang Dingin ditandai dengan pergeseran
dalam hubungan antar Negara. Adanya pengkajian ulang dan penyesuaian
kebijakannya harus terkait dengan kepentingan strategisnya. Demikian halnya
dengan hubungan antara kedua Negara Korea dalam proses dialog reunifikasi di
Semenanjung Korea. Pergantian Chun Doo Hwan kepada Roh Tae Woo,
47
Fakta-fakta Tentang Korea, Pelayanan Kebudayaan dan Informasi Korea Kementerian
kebudayaan Olahraga dan Pariwisata, 2002, h. 46.
48
Ibid
49
Ibid, h. 47
26
membuat beberapa kemajuan dalam dialog antar Korea dan Semenanjung Korea
pada pertengahan 1980-an. Pada bulan Agustus tahun 1980, telah ditandanganinya
Law on North-South Exchanges dan Cooperation yang menjadi kerangka dasar
bagi kerjasama antar Korea. Dan pada tahun 1989, juga Roh Tae Woo
mengeluarkan Unification Formula for The Korean National Community yang
merupakan model dari kebijakan unifikasi pada masa pemerintahannya.
Tujuannya melalui tiga tahap, yaitu: Confidence Building dan Kerjasama antar
Korea, Konferensi Korea dan Estabilishment of Unified Government.50
Kebijakan ke Utara (Northern Policy) pada masa Roh Tae Woo memiliki
sasaran yaitu untuk meredakan situasi ketegangan diantara kedua Negara Korea.
Korea Selatan mengajukan sebuah konferensi puncak dengan Kim II Sung dan
sebuah deklarasi yang berisi tentang kesepakatan non agresi atau larangan
pengunaan kekuatan bersenjata diantara kedua Negara. Roh Tae Woo
mengusulkan untuk dibentuk sebuah konferensi yang melibatkan dua Negara
Korea, plus empat Negara kunci (AS, Rusia, Cina dan Jepang) sebagai wahana
konsultasi untuk mempromosikan keamanan di Semenanjung Korea.51 Pada
tanggal
31
Desember
1991,
ditandatanganinya
“Basic
Agreement
on
Reconciliation, Non-Agression, and Exchange and Cooperation oleh kedua
Perdana Menteri setelah berbagai pembicaraan-pembicaraan tingkat tinggi kedua
belah pihak.
50
Young Sun Ji,”Conflicting Visison For Korean Reunification”, Fellow, Weatherhead
Center For International Affairs, Harvard University, Juni 2001, h. 7.
Diakses dari
http://www.wcfia.harvard.edu, pada 8 Oktober 2010.
51
Young Jeh Kim, North Korea’s Nuclear Program and Its Impact On Neighboring
Countries, dalam Korea and World Affairs, Vol. 17, No. 3, Fall 1993, h. 482.
27
Basic Agreement ini berlaku efektif bersamaan dengan Joint Declaration
on The Denuclearization of The Korean Peninsula pada tanggal 19 Februari 1992.
Dalam pelaksanaan Basic Agreement, telah disusun suatu protocol pada tanggal
17 September 1992. Namun mengalami kendala akibat pengembangan nuklir
Korea. Memasuki tahun 1993, dalam mengakhiri era otoriterisme Korea Selatan,
Presiden Kim Young Sam dilantik menjadi Presiden Korea yang secara aktif
mempromosikan dialog antar Korea. Kesungguhan Kim dalam untuk rekonsiliasi
yaitu dengan mengembalikan seorang mata-mata Korea Utara yang ditahan Korea
Selatan tanpa syarat apapun. Namun usaha Kim Young Sam kembali mengalami
kegagalan dengan adanya konflik antar AS dengan Korea Utara. Krisis ini
merupakan masalah yang cukup serius ketika AS berencana akan menghancurkan
fasilitas nuklir Korea Utara, sehingga perang tidak dapat dihindarkan.52
Namun krisis tersebut dicairkan dengan kerjasama diplomatik antar SeoulWashington pada saat mantan Presiden AS J. Carter berkunjung ke Pyongyang
untuk melakukan pertemuan dengan Kim II Sung.53 Pertemuan tersebut
merupakan pertemuan puncak antara Korea Utara-AS dan perundingan untuk
membicarakan permasalahan nuklir di Korea Utara. Dengan ditandatanganinya
Agreed Framework sebagai bukti bahwa Korea Utara setuju untuk membekukan
program nuklirnya selama delapan tahun. Akan tetapi dalam perjanjian Agreed
Framework, AS menjanjikan pengiriman bahan bakar dan bantuan teknologi
untuk membangun dua reaktor air raksasa untuk kepentingan energi, sebagai
resiprositas atas sikap kooperatif Korea Utara yang menghentikan proyek
nuklirnya. Selain itu, dari pertemuan tersebut terbentuk pula KEDO, Organisasi
52
Ibid, h. 7.
Mohtar Masóed, dan Yang Seung-Yoon, “Politik Luar Negeri Korea Selatan :
Penyesuaian Diri Terhadap Masyarakat Masyarakat Internasional”, h. 67.
53
28
Energi di Semenanjung Korea.54 melalui organisasi ini,Korea Selatan, AS, dan
Jepang secara bersama-sama memberikan bantuan untuk mendirikan dua buah
reaktor Light-water di Korea Utara. Namun dilain pihak, KTT antara Korea
Selatan dengan Korea Utara mengalami kegagalan. Ini disebabkan meninggalnya
Kim II Sung tujuh belas hari sebelum KTT.
Setelah meninggalnya Kim II Sung, hubungan kedua Negara sempat
mengalami masalah kembali. Hal ini disebabkan, pada masa berkabung di Korea
Utara, Korea Selatan tidak menunjukan sikap yang kurang baik yaitu dengan tidak
menyampaikan belasungkawanya. Bahkan malah menyiagakan pasukannya di
perbatasan sebagai antisipasi perkembangan di Korea Utara. Kim Yong Sam,
mencoba mengeksploitasi kematian Kim II Sung sebagai harapan bahwa dengan
lemahnya rejim Korea Utara tersebut maka akan membuka kesempatan bagi
masuknya Korea Selatan secara perlahan sehingga akhirnya mampu menguasai
Korea Utara. Namun prediksi bahwa proses pengantian akan melemahkan rejim
Korea Utara tidak terjadi.55 Kim Jong Il naik tahta dan menggantikan mendiang
ayahnya sebagai pemimpin Korea Utara. Sementara itu, Korea Selatan merasa
tidak nyaman dengan hubungan antara Korea Utara dengan AS. Dalam hal ini,
Korea Selatan takut bila nantinya AS Tidak akan mendukung Korea Selatan dan
bahkan akan mendukung Korea Utara dalam hubungan bilateralnya dengan AS.
2.3 Kebijakan Sunshine Policy Presiden Kim Dae Jung (1998-2003)
Setelah Kim Dae Jung dilantik menjadi Presiden Korea Selatan,
merupakan saat dimana untuk pertama kalinya sebuah kebijakan yang cukup
bersahabat dan berdialog dengan Korea Utara dilaksanakan dengan cara
54
Ibid, h.122.
Keun-Sik Kim, Inter-Korean Relation and Thr Future of the Sunshine Policy, the
Journal of East Asian Affairs, Vol. XVI, No. 1 Spring/Summer 2002, (The Research Institute for
International Affairs, Seoul, Korea 2002), h. 100.
55
29
paradigma baru. Pada masa jabatannya, Kim Dae Jung mengeluarkan sebuah
kebijakan Sunshine Policy (engagement policy). Kebijakan sunshine policy
berusaha untuk menciptakan paradigma baru hubungan antara kedua Negara
Korea yang didasari oleh rasa saling menghargai yang akan memberikan pengaruh
kepada masa depan rakyat Korea secara keseluruhan menciptakan kerjasama
antara keduanya dengan ide utama perdamaian, rekonsiliasi, dan kerjasama.
Puncak dari kebijakan ini adalah ketika diadakannya North-South Joint
Declaration pada tanggal 15 Juni 2000 yang mempertemukan pertama kali kedua
Negara Korea dalam KTT tersebut. Di dalam pertemuan ini Korea Utara dan
Korea Selatan sepakat melakukan kerjasama diberbagai bidang dan keduanya
akan melakukan dialog untuk mengimplementasikan kesepakatan ini.56
Dalam pertemuan puncak di Pyongyang tersebut, kedua pemimpin
tertinggi masing-masing menyetujui wewenang diplomasi, pertahanan dan
penyusunan undang-undang tingkat rendah, yang semuanya akan diberikan
kepada pemerintah regional. Pasca pertemuan puncak tesebut, hubungan antar
kedua Negara Korea semakin tinggi frekuensinya. Tercatat telah beberapa kali
dilakukan komunikasi melalui dialog tingkat Menteri, baik pertemuan Menteri
Pertahanan dan pertemuan Komite kerjasama ekonomi. Perjanjian tahun 2000
memberikan
landasan
bagi
dilakukannya
konstruksi
kembali
hubungan
perekonomian diantara kedua Negara. Upaya tersebut dilakukan dengan
membangun infrastruktur yang menghubungkan kedua Negara, yaitu dengan jalur
Kereta api dari Seoul-Shinuiju dan dilakukannya pembangunan taman industry
56
Hong Nack Kim, The Kim Dae Jung Government’s North Korea Policy Problems and
Prospects, Korea and World Affairs, Vol XXIII, No. 3, Fall 1999 (Korea; Research Center for
Peace and Unification of Korea, 1999), h. 9.
30
Gaesong.57 Hubungan perdagangan diantara kedua Negara Korea pun mengalami
peningkatan drastis. Pada tahun 2001 tercatat nilai perdagangan diantara kedua
Negara mencapai angka US$ 425 juta. Namun hubungan kedua Negara korea
mngalami tantangan dengan adanya isu terorisme internasional dan rejim Korea
Utara dilabelkan oleh pemerintah Amerika Serikat dibawah pimpinan George W.
Bush sebagai Negara anggota “poros setan” (Axis of Evil States) dan Korea Utara
dimasukkan sebagai salah satu Negara yang dimungkinkan sebagai sasaran
penyerangan oleh Amerika Serikat didalam dokumen Nuclear Posture Review.58
2.4 Kebijakan Policy for Peace and Prosperity Presiden Roh Moo Hyun
Terpilihnya Roh Moo Hyun menjadi Presiden Korea Selatan pada tahun
2003 menjadi kondisi yang kurang menguntungkan bagi Roh Moo Hyun yang
baru dilantik. Dalam hal ini, pada tahun 2003 telah terjadi krisis nuklir untuk yang
kedua kalinya setelah krisis nuklir tahun 1994. Krisis meningkat pada awal 2002
ketika Korea Utara secara resmi tidak menyangkal pernyataan Asisten Militer
Laur Negeri AS James A. Kelly yang menyatakan bahwa Pyongyang memiliki
program pengayaan uranium dan telah melanggar perjanjian mereka. Krisis
tersebut menjadi tantangan bagi pemerintahan Roh Moo Hyun, upaya dialog
Korea Selatan dan Korea Utara pada masa Roh Moo Hyun dijalankan melalui
pendekatan Policy for Peace an Prosperity.59 Melalui kebijakan ini Roh Moo
Hyun menempatkan prioritas kebijakannya dengan menjaga stabilitas di
57
Keun-Sik Kim, Inter-Korean Relation and Thr Future of the Sunshine Policy, the
Journal of East Asian Affairs, Vol. XVI, No. 1 Spring/Summer 2002, (The Research Institute for
International Affairs, Seoul, Korea 2002), h. 105.
58
James T. Laney and Jason T. Shaplen, How to Deal with North Korea, Foreign Affairs,
Vol. 82, No. 2 (Mar-Apr, 2003), h. 28
59
Hyoeng Jung Park, First Year of the Roh Moo Hyun Administration, Korea and World
Affairs, Vol. XXXIV, No. 4, Winner 2003, (Korea : Research Center for Peace and Unification of
Korea 2003), h. 9.
31
Semenanjung Korea. Fokus dari kebijakan ini adalah mencari jalan keluar krisis
nuklir yang terjadi di Semenanjung Korea dan merupakan upaya reunifikasi antara
kedua Negara Korea. kebijakan Peace and Prosperity ditunjukan untuk
memperluas ruang lingkup dan isi dari reconciliation and cooperation policy
terhadap Korea Utara yang telah dipromosikan pada masa Kim Dae Jung
sebelumnya.
Pemerintahan Roh Moo Hyun memperluas horizon dan mengarahkan
pandangan kepada rekonsiliasi dan kerjasama antar Korea dan juga perdamaian di
Semenanjung Korea. Pemerintahan Roh mencoba membangun kerangka
perdamaian di Semenanjung Korea dengan institusionalisasi perdamaian melalui
peningkatan hubungan antar rakyat Korea. Rencana pemerintah menyatakan
bahwa semua masalah termasuk di dalamnya program nuklir Korea Utara harus
dipecahkan lewat cara-cara damai dengan dialog. Rekonsiliasi dan kerjasama
antar-Korea dan mendesak Korea Utara untuk berpartisipasi ke dalam komunitas
internasional harus secara konsisten dipromosikan. Pemerintah Roh Moo Hyun
memperluas dan memperdalam pertukaran dan kerjasama antar Korea. Korea
Selatan meletakan landasan komunitas yang makmur melalui perluasan dan
pembangunan proyek kerjasama ekonomi antar Korea dan menitikberatkan pada
perbaikan homogenitas nasional dengan memperluas pertukaran misi sosial dan
budaya.
Di masa pemerintahan Roh Moo Hyun, politik luar negeri mengalami
perubahan yang cukup signifikan dari pemerintahan sebelumnya. Keinginan untuk
menjadi Negara yang memiliki posisi sejajar dengan Amerika Serikat mewarnai
kebijakan pada masa Roh Moo Hyun. Terbukti dalam membina hubungan
32
diplomatik dengan Amerika Serikat membuat Korea Selatan bersikap lebih tegas
dan jelas bila dibandingkan dengan pemerintahan sebelumnya yang masih terlihat
tergantung dengan kehadiran Amerika Serikat. Faktor inilah yang kemudian
memicu Korea Selatan untuk memulai berjalan secara madiri dan sedikit demi
sedikit melepaskan diri dari intervensi asing. Termasuk juga untuk menyelesaikan
konflik dengan Korea Utara.
Dalam upaya untuk menuju pernyelesaian secara damai atas krisis yang
terjadi ditempuh Roh Moo Hyun dengan diplomasi secara maraton kesejumlah
Negara berpengaruh di Semenanjung Korea seperti Amerika Serikat, Jepang dan
Cina.60 Upaya yang ditawarkan oleh Roh Moo Hyun dalam setiap kesempatan
dalam upaya penyelesaian konflik antara Amerika Serikat dan Korea Utara, Roh
Moo Hyun menawarkan agar lima pihak juga ikut bergabung dalam
menyelesaikan konflik tersebut. Lima pihak tersebut antara lain adalah Amerika
Serikat, Korea Utara, Korea Selatan, Jepang, dan RRC.61 Pada KTT Tokyo
tanggal 7 Juni 2003, Roh Moo Hyun mengusulkan Kepada Mitra PM. Koizumi
agar Jepang dan Korea Selatan bisa menekan Korea Utara melalui dialog dan
tekanan politik.
Dalam mengatasi ketegangan akibat nuklir Korea, diperlukan dialog dalam
upaya membangun hubungan dilakukan dengan itikad yang cukup baik untuk
membina
hubungan
kedua
Negara
Korea.
Terbukti
Korea
Selatan
menyumbangkan 200.000 ribu ton pupuk ke Korea Utara untuk memulai dialog
antar kedua Negara Korea. Pada KTT yang berlangsung pada tanggal 2-4 Oktober
60
Suara Pembaruan, “Diplomasi Roh dan Stabilitas Semenanjung Korea”, 30 Juli 2003,
61
Koran Tempo,”Korea Selatan Mendesak Segerakan Perundingan”, 16 April 2003, h.
h. 10.
11.
33
2007 di Pyongyang telah mengasilkan “Deklarasi untuk Pembangunan Hubungan
Antar-Korea serta Perdamaian dan Kesejahteraan” yang terdiri dari delapan butir.
Setelah pertemuan tersebut baik Korea selatan maupun Korea Utara telah
menghentikan siaran-siaran propaganda yang saling menyerang, menurunkan alatalat propaganda di Zona Demilitarisasi, serta telah membuka hotline militer. 62
62
Kompas, “Korea Selatan Menerima Tawar Menawar Korut”. 22 April 2003, h. 4.
34
BAB III
GAGASAN REUNIFIKASI DI SEMENANJUNG KOREA
Dalam perjalanan sejarahnya, kawasan Semenanjung Korea selalu menjadi
sebuah “arena”dimana banyak kepentingan dari Negara-negara besar yang
bermain didalamnya. Terutama pada masa Perang Dingin, politik di tingkat
kawasan selalu identik dengan kompetisi yang dilakukan oleh Negara-negara
adikuasa seperti Amerika Serikat dan Uni Soviet.63 Setelah terbaginya kedua
Korea, masalah kebijakan reunifikasi Semenanjung Korea itu adalah titik yang
sangat penting bahwa Korea Utara dan Korea Selatan adalah bangsa Korea yang
sama. Kedua negara memiliki leluhur yang sama, latar belakang budaya dan
sejarah yang sama tradisi, bahasa yang sama dan modus kira-kira sama berpikir
dan karakter.
Dalam proses penyatuan Korea, telah banyak mengalami pasang surut
yang cukup rumit selama beberapa dekade. Ketika Korea Utara menginginkan
unifikasi komunis didasarkan pada logikanya yang disebut “Satu Joseong”, namun
bagi Korea Selatan pemerintahannya dianggap sebagai satu-satunya entitas yang
sah di Semenanjung Korea dengan unifikasi sebagai perpanjangan kedaulatannya.
Pandangan yang kaku dan tidak berkompromi menjadikan akomondasi antara
kedua belah pihak mustahil untuk dilakukan sampai tahun 1960-an.64 Pasca
Perang Dingin, hubungan situasi internasional telah mengalami perubahan yang
cukup signifikan terlihat pada Penyatuan Jerman pada tahun 1989 adalah salah
63
Paul A. Papayoanou, Great Powers Regional Orders : Possibilities and Prospects After
Cold War, dalam David Lake and Patrick M. Morgan, Regional Order Bulding Security in a New
World, (United States of American; Pennsylvania State University Press, 1997), h. 27.
64
Fakta Tentang Korea, Pelayana Informasi Korea, Badan Informasi Nasional, 2003,
Seoul, Republik Korea, h. 47.
35
satu peristiwa sentral dari proses penyegelan akhir Perang Dingin. Sejak itu,
Jerman telah mengalami proses yang ditandai dengan positif. Pengalaman Jerman
dapat memegang beberapa pelajaran bagi negara-negara lain.65 Terutama
Semenanjung Korea misalnya, yang masih terjebak dalam konflik ideologi,
pembangunan ekonomi tidak merata dan membangun kekuatan militer yang
cukup mengancam, termasuk kemampuan nuklir.
3.1 Latar Belakang Reunifikasi di Semenanjung Korea
Sejak berakhirnya Perang Dingin, seluruh negara di dunia berfokus pada
persaingan ekonomi. Lain halnya dengan kedua negara Korea di Semenajung
Korea yang masih tetap melakukan konfrontasi militer yang berakibat mengarah
kepada peperangan. Adanya Keberadaan isu pembangunan persenjataan nuklir
memperuncing hubungan kedua Negara tersebut. Isu nuklir Korea Utara mulai
mengemuka di era Perang Dingin. Tidak transparannya kegiatan reaktor-reaktor
nuklir Korea Utara membuat situasi keamanan regional di Semananjung Korea
menjadi tidak pasti. Keterlibatan masalah senjata nuklir lebih disebabkan oleh
masih adanya kecurigaan diantara kedua Korea tentang adanya invansi dari
masing-masing pihak serta keterlibatan negara-negara besar seperti AS dan Rusia
yang secara historis berpengaruh besar di kawasan. Sementara itu, situasi di
kawasan Asia Timur masih belum stabil, hingga dikhawatirkan potensi nuklir
dapat menyulut persaingan diantara negara-negara kawasan dalam pengembangan
senjata nuklir.
65
Banyak analis yang berpendapat bahwa reunifikasi Korea dapat dilakukan dengan
melihat pengalaman reunifikasi Jerman, di mana Jerman Barat dengan kekuatan ekonominya
sangat aktif mengkampanyekan reunifikasi Jerman melalui absorption. Strategi absorption
pemimpin Jerman Barat Kanselir Hemut Kohl dilakukan dengan menunda-nunda bantuan ekonomi
Jerman Barat dan membiarkan ekonomi Jerman Timur hancur. Bantuan ekonomi pun di berikan
dengan syarat-syarat yang tidak dapat ditolak oleh Jerman Timur
36
Usaha-usaha untuk meredakan ketegangan atau konflik kedua Korea tetap
dilakukan secara intensif. Secara positif Korea Selatan mengembangkan kebijakan
diplomatiknya termasuk kebijakan masalah antar Korea.66 Maka sejak tahun
1990-an telah dimulai kembali dialog unifikasi antar Korea. Proses tersebut
banyak diprakasai oleh upaya-upaya mahasiswa Korea Selatan yang terinpirasi
oleh reunifikasi Jerman, sehingga timbul wacana reunifikasi demi mewujudkan
Negara Korea yang satu.67 Dalam hal ini, wacana reunifikasi juga dilakukan
karena semakin memburuknya situasi politik dan ekonomi Korea Utara.
Ketidakstabilan keamanan di Semenanjung Korea membuat terhambatnya proses
reunifikasi antar dua Negara Korea. Menurut survey pada tahun 1995, 92 persen
percaya bahwa korea akan bersatu, 4 persen mengatakan Korea akan tetap terbagi
dan 4 persen lainnya mengatakan ketidakpastiannya. Survey ini menunjukan
bahwa 2.1 persen reunifikasi akan berhasil diprediksikan tahun depan, dan 8.3
persen reunifikasi akan berhasil paling lambat tahun 2000. Sisanya hampir
memprediksi keberhasilan reunifikasi sesaat setelah tahun 2000.68 (Lihat Table 1)
Table 1. Prospek Reunifikasi di Korea
Tahun Proyek
Reunifikasi
Persen
Dalam satu
Sebelum
2001-
2006-
2011-
Lewat
tahun
2000
2005
2010
2015
2015
2.1
8.3
20.9
20.8
16.7
16.3
Sumber: Lihat pada Lee Young Sun,”Is Korean Reunification Possible?”, Korea Focus, Vol. 3,
No. 3, 1995, h. 10
66
Yang Seung-Yoon dan Mohtar Mas’oed, “Politik Luar Negeri Korea Selatan :
Penyesuaian Diri Terhadap Masyarakat Masyarakat Internasional”, Op Cit, h. 123
67
Fakta-fakta Tentang Korea , Pelayanan Kebudayaan dan Informasi Korea Kementerian
kebudayaan Olahraga dan Pariwisata, h.
68
Lee Young Sun,”Is Korean Reunification Possible?”, Korea Focus, Vol. 3, No. 3,
1995, h. 10.
37
Hasil survey tersebut menunjukan bahwa reunifikasi Korea menunjukan
akan mengalami perubahan yang signifikan pada tahun 2000. Perubahan ini akan
mengubah sistem perekonomian antar dua Negara tersebut. Perubahan yang
terjadi pada kekuatan sistem ekonomi Korea Selatan akan tumbuh secara
signifikan, sementara bagi Korea Utara perubahan tersebut dapat mempengaruhi
perubahan sistem politiknya.69 Pada tahun 1998, arah kebijakan reunifikasi
mengalami reformasi yang cukup baik dari terdahulunya. Presiden Kim Dae-Jung
memprakarsai dialog dengan Utara. Kebijakan tersebut disambut baik oleh Kim
Jong-il yang merupakan pemimpin tertinggi di Korea Utara. Kedua pemerintahan
tersebut bertemu di Pyongyang pada Juni 2000, dan menghasilkan beberapa poin
kesepakatan antara Korea Selatan dan Korea Utara.
3.2 Kebijakan Reunifikasi Di Semenanjung Korea
Dalam
kebijakan
reunifikasi
masing-masing,
kedua
Korea
telah
menempatkan secara jelas tujuan dan hasil akhir yang ingin dicapai dari
permasalahan reunifikasi kedua negara Korea. Dalam kebijakan reunifikasi Korea
Utara dan Korea Selatan tampak jelas bahwa terdapat beberapa pokok perbedaan
substansial. Namun, dalam kebijakan reunifikasi tersebut, kedua pihak memiliki
persamaan pandangan hal yang sama. Antara lain: 70
Pertama, kedua Korea telah membuat reunifikasi sebagai tujuan kebijakan
utama mereka. Kedua pemimpin dan rakyat Korea percaya bahwa reunifikasi
adalah sebuah tugas nasional yang penting bagi politik, ekonomi, dan struktur
social mereka. Kedua, walaupun ungkapan secara terperinci dapat berbeda, kedua
69
Ibid.
Kim Hak Joon, A Comparison of Unification Policies of South and North Korea,
National Unification Board, Seoul, 1990, h. 100-101.
70
38
Korea memiliki pandangan yang sama bahwa pertanyaan reunifikasi merupakan
masalah domestic yang penting dan reunifikasi harus dicapai tanpa adanya
campur tangan dari kekuatan asing. Ketiga, kedua Korea Menginginkan
reunifikasi dicapai dalam suatu cara damai. Tentu saja, Korea pernah berusaha
mengkomuniskan seluruh Korea dengan kekuatan angkatan bersenjata, namun
disisi lain, paling tidak Korea Utara menginginkan reunifikasi secara damai
dengan Korea Selatan.
Masih butuh waktu lama bagi Korea Selatan dan Korea Utara untuk
mencapai unifikasi secara damai. Sebab, menurut mantan Presiden Kim Dae Jung,
hambatan utama yang dihadapi adalah hambatan psikologis. “ mungkin butuh 21
tahun lebih ”, kedua belah pihak sudah tidak menghendaki peperangan lagi.
Namun sama seperti halnya Korea Selatan, Pemimpin Korea Utara Kim Il Sung
juga sudah tidak menghendaki lagi adanya peperangan.71 Kesimpulanya, Masa
depan dari reunifikasi Korea secara damai sangat tergantung pada keinginan dan
kemampuan dari kedua negara Korea tersebut untuk dapat mencoba dan
menemukan titik temu ataupun celah-celah konsepsi atau formulasi yang dapat
dikompromikan. Namun dengan catatan baik Korea Selatan maupun Korea Utara
dapat memiliki sikap nothing to loose dalam kompromi yang nantinya akan
dicapai. Ini berarti dilakukan tanpa adanya paksaan dan berasal dari hati nurani
dari bangsa Korea akan harapan dalam terwujudnya sebuah bangsa Korea yang
satu.
3.3 Perkembangan Reunifikasi Di Semenanjung Korea
Dalam menghadapi Korea Utara, pendekatan yang dilakukan Korea
Selatan dilakukan dengan berbagai skenario (Lihat gambar 3.1). Skenario pertama
71
Kompas,”Kim Dae Jung: Unifikasi Korea Perlu 20 Tahun lagi”, 20 Oktober 2000, h. 15
39
adalah dengan cara paksa, dalam hal ini penyatuan Korea dilakukan dengan cara
terjadinya perebutan atau mengambil ahli paksa kekuasaan baik oleh Korea
Selatan atau Korea Utara dengan cara perang. Namun, scenario ini tidak akan
dapat menyatukan kedua negara. Skenario kedua adalah mengambil ahli Korea
Utara setelah runtuhnya sistem politik di Korea Utara.
Saat ini Korea Utara sedang mengalami kemunduran ekonomi yang sangat
parah dan harus membuka diri dengan masyarakat internasional serta harus
beradaptasi dengan prinsip-prinsip pasar ekonomi. Namun rangkaian perubahan
ini, Korea Utara mampu menyesuaikan diri dan akan mampu untuk menghindar
dari pengaruh luar seperti kemakmuran barat, ide-ide demokrasi, dan kebebasan
pribadi. Dalam hal ini, pengaruh tersebut akan mempengaruhi dan melemahkan
dasar ideologi yang berpusat pada dokrin Juche. Ideologi telah djadikan alat
penilaian dan pembenaran dalam realitas yang selama ini dihadapi oleh Korea
Utara. dan pada saat yang sama djadikan sebagai ideologi yang mengatur
kehidupan rakyat Korea Utara. Namun pada akhirnya, Korea Utara akan runtuh
dan reunifikasi di Korea akan terwujud. Runtuhnya Korea Utara mungkin juga
disebabkan oleh berbagai hal seperti kudeta militer. Namun hal tersebut sepertinya
tidak akan pernah terjadi di Korea Utara.
Skenario ketiga adalah reunifikasi bertahap berdasarkan kesepakatan
antara kedua negara Korea. pandangan ini mendapat dukungan sebanyak 38
persen dari peserta survey. Terdapat dua alasan mendukung skenario ini. Pertama
adalah perbedaan luas dalam sistem kedua Korea. Kedua, mengingat keterlibatan
kekuatan sekitar dalam situasi politik di semenanjung Korea. Kedua negara Korea
tersebut ingin mempertahankan sesuatu yang status quo. Untuk kedua alasan
40
tersebut, reunifikasi Korea mungkin akan terlaksana apabila
apabila terdapat persetujuan
kedua negara
egara Korea. dan reunifikasi pun
pun akan terlaksana dari kedua sk
skenario
pertama. Perjanjian antara kedua Korea tersebut dapat diharapkan akan terjadi jika
Korea Utara terus membuat kemajuan ekonomi secara bertahap dan memperlua
memperluas
demokratisasi politik. Namun skenario
skenario ini memerlukan jangka waktu yang cukup
lama, mengingat sikap Korea Utara yang masih menutup diri dengan masyarakat
internasional.
Skenario terakhir, didukung sebanyak 22 persen dari peserta survey,
melihat reunifikasii sebagai sebuah peristiwa yang sulit dicapai. Mengingat pada
kemungkinan kesulitan dalam mencapai suatu kesepakatan tentang penyatuan
politik antara Selatan
elatan dan Utara karena dua sistem dan niat dari kekuasaan
sekitarnya untuk mempertahankan status quo mereka di semenanjung Korea
Korea, akan
membutuhkan waktu yang sangat lama untuk menghilangkan ketidakpercay
ketidakpercayaan di
kedua Korea. khususnya, Korea Utara
tara ketakutan hilangnya kekuasaan politik di
korea bersatu, sedangkan korea selatan khawatir tentang beban ekonomi
reunifikasi akan terjadi setelah tahun 2020.72
Gambar 3.1 Contoh Kemungkinan dari Proses Unifikasi Korea
proses unifikasi rata
rata-rata
dengan cara perjanjian 38 %
Korea Selatan mengambil
Korea Utara setelah Korea
Utara jatuh 38 %
tidak ada respon 2 %
72
Lee Young Sun,
Sun ,”Is Korean Reunification Possible?”, Korea Focus
Focus, Vol. 3, No. 3,
1995, h. 12.
41
Sumber: Lihat pada lee young sun,”Is Korean Reunification Possible?”, Korea Focus,
Vol. 3, No. 3, 1995, h.11.
Banyak orang Korea menyadari bahwa sampai saat ini tidak mudah dan
kemungkinan jauh untuk membayangkan suatu Korea bersatu. Perbedaan tingkat
ekonomi dan perbedaan sistem pemerintahan yang berlaku, memerlukan
penyesuaian dalam jangka waktu yang lama. Sehingga rumusan unifikasi di
Semenanjung Korea dilakukan beberapa tahap penyesuaian. Namun Bagi Korea
Utara reunifikasi Korea adalah jawaban yang paling tepat untuk mengembalikan
harkat dan martabat bangsa Korea. Dalam hal ini harus dilalui tanpa campur
tangan pihak lain yang cenderung menghalang-halangi dan mempertahankan
perpecahan Korea. Unifikasi juga akan mengubah hubungan di timur laut Asia.
Dengan pemerintahan yang demokratis tunggal di Semenanjung Korea, banyak
sumber daerah ketegangan akan lenyap.
Dengan pemerintahan yang terbuka dan akuntabel, kekuasaan sipil dan
antusiasme untuk kemajuan komersial, suatu kebijakan
Korea bersatu
kemungkinan akan moderat dan pragmatis sebagai kebijakan luar negeri Korea
Selatan melampaui semenanjung Korea. Sedangkan secara eksternal, atau
internasional, hal itu telah menjadi masalah politik akut, penyatuan kembali Korea
adalah sesuatu yang setiap Korea di kedua mimpi Selatan dan Utara. Masalah
utama dalam reunifikasi adalah kedua negara memiliki kebijakan dan pandangan
yang berbeda tentang negara Korea yang satu. Korea Utara menginginkan sebuah
Negara federasi dengan dua sisitem berbeda untuk Korea bersatu. Sedangkan
Korea Selatan menginginkan sebuah negara dengan satu sistem yang demokrasis
dan berorientasi ekonomi pasar.
42
Kedua pandangan ini secara fudamental berlawanan dan ini akan sangat
menyulitkan negosiasi antar dua negara, terlebih jika paham demokrasi yang
dimaksudkan Korea Selatan adalah demokrasi liberal, hal ini pasti ditolak oleh
Korea Utara. Membangun kepercayaan diantara kedua negara merupakan
tantangan tersendiri bagi Korea Selatan. Korea Selatan mampu memanfaatkan isu
persaudaraan antar negara untuk merangkul Korea Utara. Namun kendala yang
dihadapi dalam proses tesebut adalah sikap Korea Utara yang tidak rasional dan
selalu memiliki pandangan curiga terhadap dunia luar. Seperti sifat Korea Utara
yang melakukan standar ganda dalam hal program nuklirnya. Disatu sisi Korea
Utara dapat menunjukan sikap yang positif dalam setiap perjanjian apabila
perjanjian tersebut memberikan keuntungan berupa bantuan bagi Korea Utara.
Proses tranformasi keamanan di Semenanjung Korea menekankan kepada
perubahan interprestasi dan interaksi, terutama dari pola hubungan yang saling
bermusuhan menjadi hubungan yang bersahabat.73 Sejak diperkenalkannya
kebijakan Sunshine Policy oleh Kim Dae Jung, hubungan antar kedua negara
mengalami kemajuan. Sunshine Policy merupakan kebijakan proaktif Korea
Selatan untuk menggandeng Korea Utara dalam rangka menciptakan perdamaian,
pembaharuan dan keterbukaan melalui rekonsiliasi dan kerjasama antar Korea.
Dalam kaitan ini Sunshine Policy diartiakan sebagai engagement policy.
Disamping itu, awalnya kebijakan ini digunakan untuk membujuk AS untuk
mengadopsi kebijakan soft landing terhadap Korea Utara.74
73
Daniel A. Pinkston and Philip C. Saunders, Seeing North Korea Clearly, Survival, (The
Internasional Institute for Strategic Studies) Vol. 45, No. 3, Autumn 2003, h. 80.
74
Ada dua scenario yang diajukan oleh para analis tentang penyatuan Korea, yaitu hard
landing dan soft landing. Hard landing merupakan scenario kehancuran rejim komunis Korea
Utara yang akan berdampak pada agresi militer Korea Utara ke Korea Selatan. sedangkan soft
landing dapat berarti engagement Korea Utara melalui kerjasama dan rekonsiliasi. Moon Chang
43
Kemudian dari sudut ekonomi, keamanan dipahami sebagai jaminan
terhadap akses untuk memperoleh kebutuhan akan sumber-sumber alam,
keuangan dan pasar dalam rangka keberlangsungan maupun pencapaian tingkat
kesejahteraan
dan
kekuatan
(power)
negara.
Dengan
kata
lain,
kerjasama/ketergantungan ekonomi mendorong para aktor untuk menyelesaikan
konflik secara damai. Hubungan ekonomi Korea Selatan dan Korea Utara
mengalami peningkatan, khususnya setelah “Inter Korean Summit” pada 13-15
Juni 2000. Dari pertemuan ini terbentuk “The South-North Joint Declaration”,
dimana salah satu kesepakatan yang dicapai adalah kesanggupan Korea Selatan
membantu Korea Utara dalam proses pemulihan ekonomi.
Selama dekade 1990, GDP Korut menunjukan penyusutan hingga 25%,
disusul kekurangan pangan yang berlarut-larut melanda negara tersebut
mengakibatkan bantuan luar negeri menjadi “indispensable” bagi Korea Utara
dari tahun ke tahun. Sejak tahun 1996, Korea Utara telah banyak menerima
bantuan besar-besaran dari berbagai Negara. Khususnya setelah terjadi banjir
besar yang melanda Korea Utara di tahun 1995. Di tahun 2001, AS, Korea
Selatan, Jepang, dan Uni Eropa memberikan bantuan pangan ke Korea Utara
senilai kurang lebih 300 juta dolar AS, termasuk tambahan bantuan dari PBB.75
(Lihat Tabel 3)
In, “The Sunshine Policy and The Korean Summit: Assessment and Prospect”, dalam East Asian
Review, Vol. 12, No. 4, Winner 2000. Diakses dari http://www. Ieas.or.kr/ pada tanggal 26 Juni
2009.
75
Ismah Tita Ruslin, “ Krisis Nuklir Korea Utara: Studi Amplikasi Pengembangan Nuklir
Korea Utara TerhadapPerimbangan Kekuatan Militer Di Kawasan Asia Timur”, Spektrum, Jurnal
Ilmu Politik Hubungan Internasional, Vol. 1, No. 2, Oktober, 2004, h. 26.
44
Tabel 3. Bantuan Negara-negara dan Indivindu ke Korea Utara
(Dollar AS)
1998
1999
2000
USA
173.13
USA
160.700
ROK
71.410
EU
45.540
ROK
38.550
Japan
35.230
China
28.000
EU
8.320
USA
29.230
ROK
27.770
Sweden
4.400
Austri
6.610
Chung
11.900
Canada
3.400
EU
5.000
Source: United Nations Office for The Coordination of Humanitarian Affair
Dalam hal ini dapat disimpulkan beberapa hal yang menjadi latar belakang
wacana reunifikasi di Semenanjung Korea, antara lain:
1. Latar belakang sejarah yang sama; Dalam hal ini Korea merupakan
satu. Secara garis besar Mereka memiliki leluhur yang sama, latar
belakang budaya dan sejarah yang sama tradisi, bahasa yang sama;
2. Adanya faktor ekonomi; yang menjadi tujuan utama dalam reunifikasi.
Dalam hal ini Korea Selatan berfikir dengan memberikan bantuan
ekonomi secara terus-menerus kepada Korea Utara agar rakyat dan
pemerintah negara itu belahan-lahan mau mengubah sikap dan
kebijakan mereka dan bersedia membuka pintu negaranya bekerjasama
dengan masyarakat internasional.
3. Adanya faktor politik; Dalam hal ini situasi politik di Semenanjung
Korea masih mengalami masalah terutama masalah pembentukan
struktur kekuatan politik yang baru di sekitar Semenanjung Korea,
masalah perbedaan pendapat umum terhadap sistem pemerintahan
Korea Utara, serta cara reunifikasi dan kebingungan ideologi.
4. Adanya faktor keamanan; Dalam hal ini situasi kemanan di
Semenanjung Korea masih menjadi topik dalam penyelesaian konflik
antar dua negara Korea. Isu nuklir yang dikembangkan oleh Korea
Utara menjadi ancaman bagi keamanan di Asia Timur terutama Korea
Selatan yang masih berada dekat dengan Korea Utara.
Dengan kata lain, secara teori terdapat dua pilihan kebijakan bagi Korea Selatan
dalam menghadapi Korea Utara antara lain;
Pertama, Korea Selatan bisa menerapkan kebijakan pembendungan
terhadap Korea Utara. kebijakan tersebut biasa dilakuakan dengan menutup semua
akses yang berhubungan Korea Utara dengan Negara lain. Seperti, dengan
45
membuka hubungan diplomatik antara Korea Selatan dengan Negara-negara
sekutu Korea Utara seperti Cina dan Rusia. Korea Selatan menawarkan kerjasama
dalam bidang ekonomi dengan Cina dan Rusia. Dengan kerjasama ini dapat
diharapkan akan mampu menjadi pengalih perhatian terhadap dukungan atas
program nuklir Korea Utara. Namun, resiko penerapan kebijakan tersebut dapat
memperuncing persaingan militer di Semenanjung Korea dan memicu perlombaan
senjata. Jadi, kebijakan tersebut dirasa kurang, karena resiko dari pelaksanaannya
akan memburuk kondisi keamanan di Semenanjung Korea.76
Kedua, menjalankan kebijakan dengan cara merangkul Korea Utara
sebagai mitra dialog dengan tujuan agar Korea Utara mau membuka diri dengan
berdialog serta bekerjasama untuk meninggalkan program nuklirnya. Dengan
terbukanya Korea Utara dan munculnya keinginan untuk melakukan dialog
diharapkan secara berlahan akan mampu merubah kondisi keamanan di
Semenanjung Korea. Kebijakan dialog yang diterapkan sejak berakhirnya masa
Perang Dingin adalah upaya revolusioner dalam merekonstruksi hubungan
bilateral Negara Korea. Namun sikap ketertutupan dari Korea Utara tidak bisa
dilepaskan dari faktor kesejahteraan dan struktur yang terbangun di Semenanjung
Korea pada masa Perang Dingin. 77
Pengalaman kelam Korea Utara digunakan sebagai alasan untuk
memperkuat militernya. Pengalaman penjajahan Korea Utara oleh Jepang dan
Perang Korea dijadikan sebuah landasan bagi pemimpin Korea Utara untuk
76
Keun-Sik Kim, Inter-Korean Relation and Thr Future of the Sunshine Policy, the
Journal of East Asian Affairs, Vol. XVI, No. 1 Spring/Summer 2002, (The Research Institute for
International Affairs, Seoul, Korea 2002), h. 100.
77
Young Choi, The North Military Buildup and Its Impact on North Korean Military
Strategy in The 1980s, Asian Survey, Vol. 25, No. 3, (Maret 1985), (University of California
Press), h. 343.
46
menjalankan program nuklir dan mengembangkan kemampuan rudalnya. Namun
hal tersebut tidak menyurutkan Korea Selatan dalam mengambil kebijakan untuk
merangkul Korea Utara dalam sebuah dialog yang dilakukan secara lebih hangat
dan bersahabat.
47
BAB IV
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI HUBUNGAN ANTAR-KOREA
DALAM PROSES REUNIFIKASI DI SEMENANJUNG KOREA
Dalam setiap proses penyatuan kedua negara Korea, selalu mengalami
berbagai macam hambatan salah satunya yaitu pengembangan nuklir yang
dilakukan Korea Utara. Kekhawatiran akan semakin meningkatnya fenomena aksi
reaksi kekuatan militer Negara-negara di kawasan, khususnya merespon tindakan
pembangunan senjata nuklir Korea Utara membawa pengaruh besar bagi kawasan
dan semakin meningkatnya keterlibatan Negara-negara besar seperti AS dan Rusia
dalam kasus nuklir Korea Utara dikhawatirkan akan memicu meningkatnya
potensi konflik militer.
Adanya perbedaan-perbedaan ekonomi, ideologi, dan politik yang
berkembang dalam situasi masing-masing sejak berakhirnya Perang Dingin,
membuat sulitnya mewujudkan perdamaian di Semenanjung Korea. Namun di
sisi lain, tingginya integritas perekonomian dan ketergantungan antara negara di
kawasan menjadi perendam konflik. Terbukti sejak tahun 1998, hubungan antarkorea mengalami perubahan yang cukup signifikan. Melalui bantuan kemanusian
agar dapat membimbing Korea Utara untuk membuka dirinya terhadap
masyarakat internasional terutama dengan Korea Selatan. Presiden Kim terus
memajukan kerjasama ekonomi serta pertukaran-pertukaran sipil dengan Korea
Utara dan memberikan bantuan pupuk.78
Akan tetapi, proyek-proyek ekonomi antara kedua Negara korea yang
melibatkan sebuah kompleks industri bersama dan sebuah zona wisata di Korea
Utara tidak termasuk dalam daftar kesepakatan yang terkena sanksi, namun
78
Laporan Tahunan Departemen Luar Negeri, Tahun 1999, buku 1, Seoul, h. 25.
48
subsidi antara pemerintah kedua Korea mungkin akan mempertimbangkan
kembali. Dalam setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh kedua negara Korea untuk
mewujudkan reunifikasi di Semenanjung Korea, masih mengalami beberapa
hambatan. Salah satu hambatan tersebut adalah adanya program nuklir yang
dikembangkan oleh Korea Utara sejak Presiden Kim Il Sung menjabat sebagai
Presiden Korea Utara. Menurut Kim Il Sung,
tergantung dengan
Korea Utara tidak perlu lagi
negara lain untuk melindungi keamanan nasionalnya dan
dengan senjata nuklir tersebut, dapat diharapkan posisi tawar Korea Utara
terhadap Negara lain bisa sejajar dan diperhitungkan keberadaanya.79
Korea Utara percaya tindakan ini akan memberikan keuntungan strategis,
simbolis, dan teknologi yang dibutuhkan dalam jangka panjang untuk
mewujudkan Korea Utara yang kuat dan makmur.
Sampai saat ini,
pengembangan Nuklir oleh Korea Utara masih menjadi masalah dalam hubungan
antara kedua Negara Korea. Dalam bab ini, penulis akan menjelaskan hambatanhambatan yang mempengaruhi hubungan Korea Selatan dan Korea Utara dalam
menuju proses reunifikasi di Semenanjung Korea. Hal ini di lihat dari faktor
internal maupun faktor eksternal itu sendiri.
4.1 Faktor Internal
4.1.1 Faktor Domestik Korea Selatan
Keadaan
domestik
Korea
Selatan
menjadi
kunci
utama
dalam
melaksanakan politik luar negerinya. Pada masa pemerintahan sebelumnya telah
beberapa kali mengalami kemajuan yang cukup signifikan dalam hubungan antar
korea. diantaranya telah terjadi pertemuan antara dua negara pada tahun 2000 dan
79
Ching Hyun-Joon, “Internal Changes in North Korea: Reality and Prospect”, Korean
Focus, Vol. 8, No. 5, September-October 2000, h. 94
49
telah terjadi kesepakatan kerjasama diberbagai bidang. Dibawah kepemimpinan
Roh Moo-hyun, Korea Selatan didalam pembuatan kebijakan politik luar
negerinya terhadap Korea Utara menekankan pada penyatuan tersebut. Roh
memiliki banyak rintangan pada awal pemerintahannya, Kebijakan yang Roh buat
merupakan lanjutan dari kebijakan Sunshine Policy yang merupakan kebijakan
dari Kim Dae Jung. Masa tiga bulan pemerintahannya, Roh mengalami masalah
dalam bidang ekonomi. Presiden Roh mengalami juga tuduhan mengenai skandal
keuangan setelah beberapa orang bawahannya dituduh menerima sumbangan
kampanye secara illegal. 80
Karir politik Roh Moo Hyun diwarnai upaya-upaya untuk mengatasi
regionalisme dalam dunia politik Korea Selatan, namun Lawan-lawan politiknya
mencoba untuk memecatnya melalui impeachment pada tahun 2004. Presiden Roh
Moo Hyun diberhentikan oleh parlemen disebabkan adanya dugaan pelanggaran
pada
hukum
saat
pemilu
serta
dugaan
skandal
keuangan.
Semasa
diberhentikannya Roh Moo Hyun dari Jabatannya, Perdana Menteri Bon Kun
mengisi kekosongan pemerintahan tahun 2004-2006. Pemaksaan mundur ini tidak
berlangsung lama, pada bulan Mei Mahkamah Konstitusi membatalkan langkah
impeachment tersebut. Hal ini terjadi karena oposisi konservatif pada waktu itu
didominasi oleh parlemen Korea Selatan yang mengatakan bahwa presiden tidak
melanggar aturan pemungutan suara dan dengan terbuka mendukung Partai URI.81
Dibawah kepemimpinan Presiden Roh Moo-hyun, kebijakan tersebut lebih
menekankan pada penyatuan Korea yang dilakukan setelah Korea Utara
80
Hyoeng Jung Park, Firt Year of The Roh Moo-Yhun Administration, Korea and World
Affairs, Vol. XXXIV, No. 4, Winter 2003, (Korean: Research Center for Peace and Unification of
Korea 2003), h. 9
81
Partai URI merupakan partai yang didirikan oleh Roh Moo-hyun dan pendukungannya
pada saat satu bulan setelah terpilihnya Roh menjadi presiden Korea Selatan, diakses dari
http://www.news.bbc.co.uk./2/hl/asia-pasific/2535143.stm, pada19 September 2011.
50
mempunyai kapasitas untuk menanggulangi berbagai akibat atau resiko yang
timbul akibat dari penyatuan tersebut.82 Kemudian dari segi ideologi, Korea
Selatan memiliki prinsip politik demokrasi dan prinsip ekonomi kapitalisme.
Sehingga bila dibandingkan Korea Utara, Korea Selatan sedikit lebih maju
pembangunan nasionalnya. Demokrasi di Korea Selatan sangat mengandung arti
dalam dua hal yaitu bagi negara dan rakyat Korea. Sepanjang sejarahnya, Negara
dan rakyat Korea dididik berdasarkan ajaran mengenai sistem politik yang jauh
berbeda dengan demokrasi, baik dari segi sistem pemerintahan, ideologi, konsep
masyarakat sipil dan lain-lainnya. Ideologi demokrasi di Korea Selatan dapat
dikatakan sebagai model musyawarah. Hal ini dasarkan pada musyawarah sipil
Korea yang telah mendorong penggunaan sistem musyawarah.83
Namun hal yang terpenting bagi Korea Selatan saat ini adalah mengetahui
secara tepat bagaimana demokrasi tersebut dapat menuju arah perdamaian.84
Sehingga perdamaian tersebut dapat menghasilkan sebuah reunifikasi yang telah
lama didambakan bagi kedua negara Korea. Dalam hal ekonomi, Korea Selatan
menjadi Negara industri yang maju dan berkembang, hal ini berkat bantuan
ekonomi yang diberikan Amerika Serikat. Sehingga Korea Selatan lebih maju
dalam pertumbuhan ekonomi. Peran Chaebol juga memiliki adil yang cukup besar
didalam pembangunan ekonomi di Korea Selatan.
82
“Penjelasan Presiden Roh Moo Hyun tentang 4 tahap penyatuan Korea”, Diakses dari,
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0006/16/utama/temb0l.htm, pada 14 Februari 2011
83
Mohtar Mas’oed dan Yang Seung-Yoon, Masyarakat,Politik, dan Pemerintahan
Korea: Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2004, h. 58.
84
Robert Jacson dan Georg Sorensen, Pengantar Studi Hubungan Internasional, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 2005, h. 176
51
4.1.2 Faktor Domestik Korea Utara
Berakhirnya Perang Dingin (Cold War) memunculkan perubahan besar bagi
dunia internasional, antara lain meluasnya regionalisme, perubahan tata ekonomi
global serta transformasi sistem internasional. Yang unik di sini adalah bagaimana
Korea Utara sebagai negara sosialis dikelilingi oleh negara dengan ekonomi
liberal yang berpendapatan tinggi, namun Korea Utara sendiri tidak terpengaruh
oleh liberalisasi negara-negara tetangganya. Salah satu elemen substansial yang
dimiliki Korut adalah ideologi juche. Juche adalah panduan utama Democratic
People’s Republic of Korea (DPRK: Korea Utara) yang diciptakan oleh Kim Il
Sung dengan dasarnya bahwa pemilik revolusi dan pembangunan adalah rakyat.
Kunci utama untuk memahami sistem politik dan struktur kekuasaan Korea
Utara adalah melalui ideology Juche. Ideologi ini merujuk pada konsep
independensi, penentuan nasib sendiri, berdiri di atas kaki sendiri, dan
semacamnya. Ideologi inilah yang mendominasi seluruh aspek kehidupan Korea
Utara sejak proses perumusan kebijakan hingga kehidupan social budaya
rakyatnya. Ideologi ini juga menjadi semacam alat ukur, bahkan agama, untuk
menentukan yang baik dan buruk.85 Istilah Juche pertama kali diperkenalkan oleh
Kim Il Sung sebagai kritik terhadap sosialisme gaya Cina atau Uni Soviet.
ideology ini dalam prakteknya digunakan oleh kim untuk menyingkirkan lawanlawan politiknya.
Barulah pada tahun 1980-an ideologi ini diberikan pembenaran filosofi
oleh Kim Jong Il sehingga menemukan bentuknya seperti sekarang.86 Sistem
85
Lee Sangu, “Political Thought, Changes in Society and Pyongyang’s Southward
Strategy”, Today and Tomorrow of North Korea, , 1982 (Seoul: Bommunsa), h. 194.
86
Secara filosofi Juche dikatakan berasal dari pemahaman bahwa manusia adalah mahluk
yang sangat lengkap yang mampu melakuakn segalanya. Manusia adalah mahluk social yang
52
kepemimpinan tunggal secara resmi dimulai tahun 1972 saat konstitusi baru
Korea Utara diresmikan. Konstitusi yang diberi nama “konstitusi sosialis” ini
dirancang untuk menaikan posisi Kim Il Sung dari seorang perdana menteri dan
sekretaris jenderal partai menjadi presiden Korea Utara. Konstitusi baru ini
memungkinkan Kim untuk menggengam seluruh kekuasaan negara di tangannya,
mulai dari ketua komite pertahanan hingga panglima tertinggi militer.
Kepemimpinan monolitik pun terbentuk.87 Empat garis besar militer Korea Utara
yang dikeluarkan Kim Il Sung antara lain:

Mempersenjatai semua warga.

Memperkuat seluruh negeri .

Melatih semua anggota angkatan darat menjadi “cadre army” (kader
tentara).

Melakukan moderenisasi semua angkatan darat, dokrin dan taktik dibawah
prinsip kepercayaan diri terhadap pertahanan nasional.
Tahun 1994 Kim Il Sung meninggal dunia, kepemimpianannya diteruskan
oleh putranya, Kim Jong Il. Namun berbeda dengan sang ayah, Kim junior lebih
tidak memiliki karisma sebesar Kim Il Sung sehingga diperlukan usaha ekstra
untuk mengangkat citranya di mata rakyat. Disamping itu, Kim juga harus
menghadapi
ancaman
integritas
negerinya.
Seperti
ancaman
terhadap
keberlangsungan ideologi Juche yang terutama berasal dari perubahan struktural
dalam sistem internasional. Berakhirnya perang dingin membuat isu keamanan
memiliki independesi, kreatifitas, dan kesadaran. Oleh para idolog Korea Utara, Juche disebutsebut sebagai ajaran yang pertama kali dalam sejarah memberikan penjelasan yang sempurna
tentang manusia sebagai mahluk social, sebuah penjelasan yang menurut mereka gagal diberikan
Marxisme.
87
Lee Sangmin, “North Korea’s Political Structure and Hereditary Succession”, North
Korea Research Autumn, 1991 (Seoul: Continental Reseach Institute), h. 10-11.
53
memudar dan isu ekonomi juga mengambil ahli perhatian Masyarakat
internasional.
Cina dua puluh tahun terakhir berideologi pragmatis semakin gencar
melakukan reformasi yang bersifat kapitalistik sehingga lebih mengakomodasi
keberadaan Amerika Serikat di Semenanjung Korea. Sementara itu, Korea Selatan
lewat Nordpolitiknya (merangkul kekuatan komunis) menormalisasikan hubungan
diplomatiknya dengan Rusia dan Cina. Pola hubungan kooperatif ini mengusik
Korea Utara yang sampai saat ini masih memegang teguh ideologi Juche yang
tertutup dan isolasionis.
Ancaman ini juga diperkeruh oleh situasi ekonomi Korea Utara yang
sangat parah, karena ketertutupanya. Negeri ini mengalami kekurangan diberbagai
bidang, mulai dari bahan makanan, energi, bahan baku industri, mata uang asing,
hingga kebutuhan-kebutuhan pokok sehari-hari. Meskipun tidak tersedia data
statistik resmi, musibah kelaparan ini diperkirakan menelan korban jiwa jutaan
orang.88 kenyataan ini tentu menghawatirkan Kim Jong Il karena bisa menganggu
kepercayaan rakyat terhadapnya dan menimbulkan ketidakpercayaan pada
ideology Juche yang mereka anut. Oleh karena itu, Kim menggunakan militer
sebagai instrument penting dalam menjaga integritas dan kemonolitan Korea
Utara sejak negeri ini berdiri. Bahkan hampir 25 % dari Gross National Product
(GDP) Korea Utara dihabiskan untuk personel dan persenjataan. Padahal lima
persen saja (sekitar 300 juta dollar) dari jumlah itu bisa digunakan untuk membeli
1,9 juta ton untuk memnuhi kekurangan pangan tiap tahunnya.
88
Ching Hyun-Joon, “Internal Changes in North Korea: Reality and Prospect”, Korean
Focus, Vol. 8, No. 5, September-October 2000, h. 94.
54
Isu yang mencuat dari anggaran militer yang terlalu besar adalah Korea
Utara tengah mengembangkan senjata nuklir. Sebenarnya isu ini sudah muncul
sejak tahun 1989 ketika satelit Amerika Serikat memotret adanya pipa
penghubung antara pabrik pengolahan kembali plotanium dengan sebuah tangki
penyimpanan sisa pembuangan di Yongbyon. Disisi lain, keberadaan nuklir ini
membuat keuntungan bagi Korea Utara. Pertama, Pyongyang beranggapan
bahwa dengan adanya senjata nuklir, akan menarik perhatian negara-negara di
sekitarnya dan muncul sebagai negara penting di kwasan Asia Timur. Dengan
nuklir Pyongyang berharap akan bisa menahan tekanan eksternal bagi liberalisasi
dan kepemilikan nuklir akan dijadikan alat untuk memperkuat posisi tawar
menawar dengan Amerika Serikat serta memperoleh konsesi ekonomi.89 Kedua,
dengan adanya nuklir di Korea Utara, kecil kemungkinannya pihak lawan akan
melakukan serangan terhadap Negara tersebut.90 Dari Uraian diatas terlihat bahwa
tujuan Kim Jong Il saat ini adalah mempertahankan rejim yang dipimpinnya. Kim
ingin mengarahkan politik luar negeri Korea Utara lebih defensive. Ia ingin
menciptakan semacam pelindung eksternal yang akan menjamin keberlangsungan
hidup Korea Utara.91
Keberadaan Amerika Serikat juga menjadi masalah yang cukup sensitif
bagi hubungan kedua negara Korea. Korea Utara merasa bahwa Amerika Serikat
merupakan ancaman. Korea Utara merasa terancam dan takut dengan kemampuan
militer Amerika Serikat. Terutama ketika kekuatan persenjataan dan nuklir maka
89
Tong Whan Park, “Issues of Arms Control Between the Two Koreans “, Asian Survey,
Vol. XXXII, No. 4, April 1992, h. 358-9
90
Ibid.
91
Hak Soon Paik, “ North Korea’s Unification Policy”, dalam Kwak Tae-Hwan, ed., The
Four Powers and Korean Unification Strategies (Seoul: Kyungman University Press, 1997), h.
124.
55
Amerika Serikat hadir untuk melindungi Korea Selatan membuat Korea Utara
semakin terpojok.92 Pilihan Korea Utara untuk menghadapi ancaman tersebut
adalah dengan mengandalkan penggunan senjata nuklir.
4.2 Faktor Eksternal
4.2.1 Hegemoni Amerika Serikat di Semenanjung Korea
Sejak Korea terbagi menjadi dua, Amerika Serikat secara mendalam telah
melibatkan diri di Semenanjung Korea. Bagi Amerika Serikat pertanyaan tentang
masa depan Korea bukanlah sekedar masalah bilateral antar Korea Utara dan
Korea Selatan, melainkan isu yang menyentuh banyak aspek yang berkaitan
dengan peran dan kepentingan nasional negeri ini.93 Berangkat dari kepentingan
global Amerika Serikat di Semenanjung Korea, sejak tahun 1950-hingga
sekarang, kepentingan Amerika Serikat di Semenanjung Korea adalah
mempertahankan status quo di kawasan ini dengan tetap menjalin hubungan
pertahanan dengan Korea Selatan.94 Sementara itu, jika dilihat dari pandangan
historis, kepentingan Amerika Serikat di Semenanjung Korea adalah untuk
mencegah munculnya kekuatan-kekuatan tidak bersahabat yang mendominasi
Asia. Sementara 50 tahun terakhir, Amerika Serikat memainkan strategi
pembendungan (containment) terhadap penyebaran komunisme oleh Uni Soviet
dan Cina. Hal inilah yang membuat Semenanjung Korea memiliki dimensi
regional yang penting dimata Amerika Serikat.95
92
Andrew Mack, The Nuclear Crisis on The Korean Peninsula, Asian Survey, Vol. 33,
No. 4 (April, 1993), (United States: California Press, 1993), h. 342.
93
Lee Hong Yung,”The Korean Summit Meeting and The Internasional Environment”,
Korean Journal, Vol. 41, No. 2, Summer 2001, h. 54.
94
Oknim Chung,” Regional Perpectives and Role on The Korean Peninsula”, Korean and
World Affairs, Vol. 22, No. 2, Summer 2001, h. 34.
95
Sharif M. Shuja,” US and Japan’s Trends in Attitudes Toward The Korean Peninsula”,
East Asian Studies, Vol. 16, No. 1-2, Spring/Summer 1997, h. 68.
56
Seperti yang telah dijelaskan pada bab kedua dalam skripsi ini, dijelaskan
bahwa masuknya Amerika Serikat dikarenakan Uni Soviet sudah menguasai
terlebih dahulu Semenanjung Korea pada bagian Utara. Pengikat hubungan antara
negara di Semenanjung Korea dengan Negara adikuasa pada masa Perang Dingin
adalah kesamaan ideologi. Kesamaan ideologi inilah yang merupakan tali
pengikat baik negara adikuasa dengan Negara-negara di kawasan.96 Hubungan
ideologi inilah yang menyebabkan Amerika Serikat mau memberikan bantuan
kepada Korea Selatan pada masa pemulihan pasca Perang Korea. Begitu pun
dengan Korea Utara dan Uni Soviet. Namun dalam kasus security complex di
Semenanjung Korea, kehadiran Amerika Serikat dan Uni Soviet menyebabkan
terbangunnya regional security complex yang disebabkan persaingan yang
dilakukan Negara-negara adikuasa.
Pasca Perang Korea berakhir, Amerika Serikat dan Korea Selatan menbuat
Perjanjian Kerjasama Pertahanan (Muatual Security Treaty) sebagai dasar formal
aliansi kedua negara yang sampai saat ini masih terjalin. Seiring perkembangan
zaman, hubungan aliansi yang terjadi diantara Korea Selatan dan Amerika Serikat
mulai dikaji ulang. Pasca insiden 11 September 2001, Amerika Serikat telah
mengubah kebijakannya menjadi lebih keras dan menjadi kurang toleran terhadap
ancaman potensial atas kepentingan Amerika Serikat.97 Hubungan aliansi Korea
Selatan dan Amerika Serikat dapat dicermati sebagai “segitiga Korea”,
mencangkup kedua Korea dan Amerika Serikat. Selama ini aliansi yang dilakukan
antara Korea Selatan dan Amerika Serikat hanya berpihak kepada Amerika
96
Paul A Papayoanou, Great Powers Regional Orders : Possibilities and Prospects After
Cold War, dalam David Lake and Patrick M. Morgan, Regional Order Bulding Security in a New
World, (United States of American; Pennsylvania State University Press, 1997), h. 129.
97
Ibid.
57
Serikat saja. Dalam hal ini, Seoul hanya dituntut untuk mengikuti kepentingan
Amerika Serikat daripada kepentingan nasional Korea Selatan itu sendiri.
Namun beberapa pendapat mengejutkan yang dilakukan oleh surat kabar
The Joong Ang Ilbo, Korea Selatan pada bulan September 2003, menilai bahwa
43,7 % responden menyatakan bahwa hubungan aliansi yang dilakukan Amerika
Serikat dengan Korea Selatan sangat penting untuk Korea, akan tetapi 45,4 %
responden menilai cukup baik, dan hanya 0,5 % saja yang menyatakan bahwa
hubungan yang dilakukan oleh kedua Negara tidak penting untuk kepentingan
Korea.98 Dari hasil polling tersebut dapat disimpulkan bahwa sebagian masyarakat
Korea Selatan masih belum siap memiliki keberanian untuk mempertahankan
negaranya sendiri dari ancaman yang datang dari luar, Khususnya Korea Utara.
Sehingga aliansi antara kedua negara tersebut masih sangat dibutuhkan demi
menjaga kedaulatan Negara Korea Selatan.
Di sisi lain, Amerika Serikat juga masih memiliki kepentingan untuk
mempertahankan posisi kepemimpinannya di wilayah Asia Pasifik dan sebagai
upaya untuk mencegah munculnya negara agresor yang dapat mengubah
perimbangan kekuatan di kawasan tersebut.99 Oleh karena itu, Amerika Serikat
harus berusaha menangani isu nuklir Korea Utara yang menjadi masalah utama di
Semenanjung Korea secara hati-hati sehingga tidak memperparah persepsi
arogansi dan uniliteralisme Amerika Serikat, dan tidak berdampak buruk bagi
hubungan keamanan diantara Amerika Serikat dan Korea Selatan yang
98
David W. Shin, “Future of The US-ROK Aliance: Manangin The Perception Gap”,
dalam KNDU Review of National Security Affairs, Vol. 10, No. 1, June, Research Institute On
National Security Affairs, Seoul, 2005, h. 93.
99
Ibid.
58
sesungguhnya masih diperlukan untuk menciptakan stabilitas keamanan di Asia
Pasifik.
4.2.2 Kepentingan Cina, Jepang, dan Rusia di Semenanjung Korea
Dalam menjelaskan peranan Cina di Semenanjung Korea, Cina sebenarnya
tidak memiliki peran sepenting Korea Utara atau pun Amerika Serikat untuk
menjadi penghambat masalah unifikasi Korea. Cina sesuai dengan perjanjian
armistis, telah mengundurkan diri dari Semenanjung Korea. Namun Cina ikut lagi
terlibat pada masalah Korea sejak diikutsertakan dalam perundingan empat pihak.
Pada permasalahan unifikasi ini, Cina mengalami ambiguitas. Disatu sisi, Cina
sangat mendukung unifikasi Korea. tetapi disisi lain, Cina khawatir bila dalam
upaya mencapai unifikasi tersebut, maka stabilitas dan perdamaian di Asia Timur
yang selama ini ada akan rusak. Cina juga khawatir jika kenyataan Korea yang
terunifikasi akan bersikap bermusuhan terhadapnya maka dampaknya akan
merugikan Cina.100 Karena alasan inilah Cina mempertahankan status quo dalam
memandang masalah unifikasi Korea. Cina memainkan perannya di kawasan,
maka Cina meningkatkan hubunganya dengan Korea Utara dengan tujuan agar
pengaruh Cina lebih terasa di Semenanjung Korea. Generasi keempat dari para
pemimpin di Cina menyadari bahwa dengan menunjukan solidaritas sebagai
sesama komunis tidak lagi bisa diandalkan, maka untuk memaksimalkan Peranan
Cina di Semenanjung Korea, Cina ikut terlibat dalam proses dialog multilateral
untuk menyelesaikan permasalahan nuklir Korea Utara. Dalam persektif Cina,
100
Fei-Ling Wang, “Joining the Major Powers for The Status Quo; China’s Views and
Policy on Korean Reunification”, Pasific Affairs, Vol. 72, No. 2 (Summer 1999), (University of
British Columbia: Canada, 1999), h. 173-176.
59
Semenajung Korea merupakan “problem inti” (core problem atau hexin wenti) di
Asia Timur.101
Pasca Perang Dingin, kesempatan Cina untuk muncul sebagai pemain
yang diperhitungkan di Asia Timur Mencuat. Permasalahan yang terjadi di
Semenanjung Korea merupakan ujian awal bagi Cina jika ingin dianggap sebagai
sebuah kekuatan global dan hegemon di kawasan.102 Ujian bagi Cina untuk bisa
menunjukkan diri sebagai pemain di Kawasan adalah dengan melakukan upaya
untuk merestrukturisasi kembali konstruksi keamanan di Semananjung Korea.
Dominasi Amerika Serikat dan sekutunya terkait permasalahan kondisi keamanan
di Semenanjung Korea seolah-olah merupakan hasil dikte yang dilakukan
Amerika Serikat. Sehingga hal inilah yang menjadi tantangan bagi Cina untuk
menata kembali hubungan di Kawasan dan memperluas pengaruhnya di Kawasan.
Jepang sebagai Negara tertangga terdekat dan pernah menduduki Korea jelas
memiliki kepentingan yang kuat di Semenanjung Korea. Jepang secara resmi
mendukung penyatuan kembali dua Korea di bawah pemerintahan demokratis.
Pandangan Jepang terhadap Korea ialah bahwa perdamaian dan stabilitas di
Semenanjung Korea esensial bagi perdamaian dan stabilitas di Asia Timur,
terutama Jepang. Jepang sangat takut terhadap dampak runtuhnya Korea Utara,
seperti membanjirnya pengungsi Korea Utara ke Jepang dan juga permintaan dana
ganti rugi. Oleh karena itu, posisi Jepang terhadap unifikasi juga tergantung
dengan posisi Amerika Serikat dan Korea Selatan. Dengan kata lain, Jepang
bersedia untuk mengadakan normalisasi hubungannya dengan Korea Utara dan
101
Samuel S. Kim, The Making of China’s Korean Policy in the Era of Reform, dalam
David Lampton, (ed), The Making of Chinese Foreign and Security Policy in The Era of Reform,
2001 (standford, CA: Standford University press), h. 372
102
Xiaoxing Yi, A Neutralized Korea? The North-South Rapprochment and China’s
Korean Policy, Korean Journal of Defense Analysis, Vol. XIII, No. 2, Winter 2000, h. 79
60
mewujudkan ekonominya untuk mewujudkan stbilitas di Semenanjung Korea
apabila Korea Utara mau berkerjasama dengan Amerika dan Korea Selatan.103
Sementara itu, Jepang juga memiliki kekhawatiran dalam terjadinya
unifikasi Korea, apabila terjadi unifikasi Korea yang akan memiliki 70 juta
penduduk, ekonomi dan militer yang kuat. Maka akan muncul nasionalisme
Korea. Kekhawatiran ini beralasan karena ketika muncul nasionalisme Korea
bersatu, dan terjadi konflik antara Jepang dan Korea, maka aka nada kemungkinan
bahwa Korea akan berpaling pada Cina untuk membangun militernya. Disisi lain,
Jepang merasa khawatir kehilangan dominasi ekonomi di Asia jika kedua Negara
Korea kembali bersatu.104 Dibidang keamanan, keberhasilan Pyongyang
menembakkan peluru kendali yang dapat mencapai Jepang menimbulkan
kekhawatiran besar. Oleh karena itu, Jepang telah mengandalkan militer AS untuk
melindungi kepentingannya dan akses ke pasar luar negeri, seperti jalur laut
komunikasi melalui Timur Tengah, Asia Tenggara, dan Selat Taiwan. Dalam
pertukaran untuk keamanan regional dan stabilitas, Jepang telah memberikan
mengijinkan Amerika Serikat memakai pangkalan-pangkalan dan fasilitas-fasilitas
di wilayahnya dalam hal bila terjadi keadaan darurat di Korea.105 Meskipun
Jepang memberikan dukungan politik dan bantuan ekonomi pada Korea Selatan.
Tetapi Jepang juga memiliki beberapa hubungan politik dan kontak-kontak
ekonomi dengan Korea Utara.
103
Charles E. Morrison, Asia Pasific Security outlook, 2003, (Tokyo: Japan Center for
International Exchange., Inc, 2003), h. 49
104
Byung-Joon Ahn, “Semenanjung Korea dan Keamanan Asia Timur”, dalam Robert A.
Scanlapino, Selzaburo Sato dan Yusuf Wanandi, “Masalah Keamanan Asia”, CSIS, Jakarta, 1990,
h. 169
105
Ibid.
61
Lain halnya dengan Rusia, kepentingan utama Uni Soviet di Korea
terutama secara geopolitics. Tidak boleh dilupakan bahwa Rusia, selain
merupakan negara Eropa, termasuk negara Asia Timur dengan wilayah yang
cukup luas di kawasan ini. Meskipun Rusia bukan satu negara adikuasa seperti
Uni Soviet dulu, namun kekuatan dan potensinya cukup besar dan tidak boleh
diabaikan. Dalam bidang militer Rusia tetap masih kedua terkuat di dunia setelah
AS. Dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi Rusia termasuk negara maju,
terutama teknologi militernya. Dalam bidang ekonomi, dalam potensi kekayaan
alam, khususnya minyak dan gas bumi menjadi andalan bagi Rusia. Oleh karena
itu, Cina begitu dekat dengan Rusia. Sebab Cina memerlukan teknologi militer
Russia yang belum mampu menjadikan dirinya memiliki kekuatan teknologi yang
setingkat. Sebaliknya Cina mempunyai kemampuan dana yang diperlukan Russia
untuk mengembangkan dirinya.
Namun tidak seperti Cina yang mendukung kebijakan Korea SelatanKorea Utara dalam menuju reunifikasi, Rusia lebih memilih cara untuk tidak
begitu terlibat didalam masalah penyatuan kedua Negara Korea, walaupun secara
pribadi Rusia mendukung upaya terjadinya penyatuan diantara Korea Selatan dan
Korea Utara.106 Selain itu rusia menganggap bahwa masalah yang terjadi diantara
kedua haruslah diselesaikan oleh kedua negara Korea. Walaupun punya
pendekatan ideologi dengan Korea Utara, Rusia tidak merasa terancam jika
sewaktu-waktu kedua Korea bisa bersatu kembali. Namun untuk menjaga
perdamian di Semenanjung Korea, Rusia masih mau berpartisipasi didalam
menciptakan stabilitas keamanan di Semenanjung Korea. Hal ini dilihat dari
106
Chung In-Moo and David I. Steinberg (ed), Kim Dae Jung Government and Sunshine
Policy Promises and Challenges, Seoul: Yonsei University Press, 1999, h. 102
62
keterlibatannya didalam enam negara yang membahas mengenai masalah nuklir di
Korea Utara.
4.3 Hubungan Korea Selatan dan Korea Utara Dalam Menuju Reunifikasi
di Semenanjung Korea Periode 2003-2008
Sejak pembagian Semenanjung Korea merupakan salah satu bukti yang
diakibatkan persaingan ideologi. Sejak tahun 1960-an, dialog unifikasi sudah
dilakukan oleh Korea Selatan secara damai. Pada tahun 1972 proses dialog antarKorea menghasilkan Joint Communique dimana upaya unifiaksi dilakukan
berdasarkan tiga prinsip, yaitu independen dari campur tangan asing, cara-cara
damai, dan persatuan nasional. Namun gagal karena adanya permintaan Korea
Utara yang menginginkan pasukan Amerika Serikat segera meninggalkan Korea
Selatan, dan permintaan ini tidak dihiraukan oleh Korea Selatan. Pada tahun
berikutnya, Komite Koordinasi Utara-Selatan dibubarkan tanpa ada kemajuan
dalam mengimplementasikan perjanjian. Setelah vakum dua belas tahun, perdana
menteri dari dua Korea bertemu di Seoul pada bulan September 1990 untuk
terlibat dalam Puncak Inter-Korea atau Pembicaraan Tingkat Tinggi. Dalam
pertemuan tersebut, melahirkan kesepakatan bersejarah pada bulan Desember
1991 oleh kedua Korea berjudul, "Perjanjian Tentang Rekonsiliasi, Non-agresi,
Kerjasama, dan Pertukaran Antara Utara dan Selatan”. Hal ini membuat harapan
baru di antara warga Korea namun harus dihancurkan lagi ketika kedua belah
pihak tidak menyelesaikan masalah fasilitas nuklir. Terkendalanya reunifikasi
tersebut dikarenakan adanya krisis nuklir pada tahun 1994. Krisis dicairkan
dengan kunjungan Presiden Amerika Serikat Bill Clinton ke Pyongyang dan
perundingan tersebut menghasilkan Agreed Framework .
63
Pasca krisis nuklir 1994, hubungan antar-Korea dicairkan dengan kebijakan
Sunshine Policy yang merupakan kebijakan Kim Dae Jung. Sebuah kebijakan
yang menciptakan paradigma baru hubungan antara kedua negara Korea yang
didasari oleh saling menghargai dengan ide utama perdamaian, rekonsiliasi dan
kerjasama. Pada tanggal 15 Juni 2000, untuk pertama kalinya kedua negara Korea
bertemu dan menghasilkan “South-North Joint Declaration”.
Sebagai hasil
pertemuan puncak antar kedua negara Korea tersebut adalah kerjasama dalam
mewujudkan proyek menghubungkan rel kereta api antar Korea. Tahap
pembukaan kembali jalur kereta api yang menghubungkan Seoul-Shinuiji dimulai
pada tanggal 18 September 2000 ditandai dengan pembokaran dinding pemisah
yang selama ini memutuskan jalur kereta api antara kedua negara tersebut.107
Kedua negara Korea merampungkan perbaikan rel kereta api diperlintasan
perbatasan, bahkan sempat uji coba pada thun 2005. Namun uji coba tersebut
mengalami kendala pada tahun 2006 karena militer Korea Utara tidak mau
memberikan jaminan keamanan dan keselamatan terhadap jalannya kereta api
tersebut.108 Pada tanggal 17 Mei 2007, sebuah perjalanan percobaan kereta api
telah melintasi perbatasan kedua negara Korea. Masing-masing kereta api itu
membawa 100 orang Korea Selatan dan 50 orang Korea Utara. kereta tersebut
memperlambat kecepatannya ketika memasuki Demilitarized Zone (zona
demiliterasi) yang berdinding tinggi dan berkawat duri.109 Pada masa Roh Moo
Hyun, Korea Selatan menawarkan Korea Utara bantuan besar saluran listrik besar
sebagai insentif untuk mengakhiri ambisi nuklir Pyongyang. Namun mengalami
107
Laporan Tahuanan Kedutaan Besar RI untuk Korea Selatan, 2000, h. 35-36.
Kompas, ”Rekonsiliasi Korea Melalui Kereta Api”, 9 Mei 2007
109
Kompas, “Kereta Api Pertama Melewati Perbatasan Perang Dingin”, 18 Mei 2007
108
64
jalan buntu tahun 2002. Upaya diplomatik terus dilakukan menjelang pertemuan
tentang rencana nuklir Korea Utara.
Akan tetapi, proyek-proyek ekonomi antara kedua negara korea yang
melibatkan sebuah kompleks industri bersama dan sebuah zona wisata di Korea
Utara tidak termasuk dalam daftar kesepakatan yang terkena sanksi, namun
subsidi antara pemerintah kedua korea mungkin akan mempertimbangkan
kembali. Kebijakan ekonomi Korea Selatan berubah pasca pembicaraan 6 negara
Korea Selatan setuju untuk mengirim 400.000 ton beras ke Korea Utara, setelah
lima hari melakukan pembicaraan di Pyongyang. Pertemuan itu tidak menyebut
soal program nuklir Korea Utara yang menjadi fokus perundingan internasional.
Bantuan sempat terlantar setelah Korea gagal memenuhi batas waktu untuk
menutup reaktor nuklir yang merupakan bagian penting dari kesepakatan yang
dicapai pada tanggal 13 Februari 2003, yang ditandatangani oleh Korea Selatan,
Korea Utara, Jepang, Cina, Rusia dan Amerika Serikat. Dalam kesepakatannya
Korea Utara setuju untuk menutup reaktor Yongbyon dalam waktu 60 hari dengan
imbalan bantuan, dan kesepakatan akhir yang dicapai adalah Korea Selatan akan
mengirim pasokan beras sebagai tanda perhatian dari saudara.110
Namun Ketegangan yang terjadi di Semenanjung Korea pada bulan
Oktober 2003, dimana Amerika Serikat menaruh kecurigaan terhadap Korea Utara
yang mengembangkan kembali program nuklirnya. berdasar perjanjian 1994
Korea Utara seharusnya membekukan program itu. Kompensasinya, Amerika
Serikat mengirim 500.000 ton BBM pengganti energi nuklir ke Korea Utara.
Perjanjian mengalami pasang surut, perseteruan pun tak terhindarkan setelah
110
” Korea Selatan Kirim Beras ke Korut”, Diakses dari, http://www.BBCIndonesia.com.
pada tanggal 12 Januari 2011
65
Korea Utara mengaktifkan kembali program senjata nuklir rahasia yang kaya
uranium, Amerika Serikat membalas dengan menghentikan pengiriman BBM ke
Korea Utara dan berlaku sejak 15 Desember 2002. Korea Utara kemudian
menanggapinya dengan memindahkan semua peralatan pemantauan fasilitas
nuklir PBB di Yongbyon, pusat pengembangan nuklir di Korea Utara, dan diikuti
dengan perginya semua personel inspeksi nuklir PBB meninggalkan Korea
Utara.111
Ketegangan ini diperparah dengan insiden pencegatan kapal Sosan milik
Korea Utara oleh Angkatan Laut Spanyol yang mengangkut paket rudal Scud ke
Yaman.
Peristiwa
ini
semakin
menimbulkan
kekhawatiran
masyarakat
internasional dan meningkatkan ketegangan antara Korea Utara dengan negaranegara barat dan tetangganya di Asia Timur. Selain itu, Korea Utara terbukti tidak
ragu-ragu menjual teknologi mereka untuk mendapatkan financial gain.
Keluarnya Korea Utara dari rezim non-proliferasi mendapat kecaman dari
internasional, tidak terkecuali Korea Selatan, yang menilai bahwa tindakan Korut
telah merusak upaya normalisasi hubungan kedua negara yang sempat mengalami
kemajuan pesat dengan disepakatinya perjanjian kerjasama bilateral di berbagai
bidang, diantaranya ekonomi dan pertahanan, pada tahun 2000 lalu. Korea Selatan
tetap mempertahankan sikap dengan tidak mengeluarkan opsi militer terhadap
ambisi nuklir Korea Utara. Dalam diplomasinya Korea Selatan terus menolak
imbauan untuk menerapkan sanksi ekonomi atau tindakan militer dalam
menghadapi Korea Utara. Namun dengan tidak ada perubahan prinsip bahwa
perang tidak diperkenankan untuk terjadi di Semenanjung Korea.112
Sebagaimana diketahui, pengembangan senjata nuklir di Korea Utara selama
ini sudah mengancam perdamaian bukan hanya di wilayah Asia Timur Laut tapi
111
112
Faustinus Andrea, Krisis Semenanjung Korea, Koran Tempo, Selasa 25 Maret 2003.
Kompas, “Korea Selatan Miliki Kartu Hadapi Korea Utara”, 17 Mei 2003
66
juga internasional. Dalam kesempatan ini, Roh juga sekali lagi menegaskan
perlunya usaha bersama untuk menuntaskan masalah nuklir Korea melalui dialog,
dan tanpa menggunakan kekerasan termasuk aksi militer. Oleh karena itu, Korea
akan terus berusaha meningkatkan hubungan kerjasama dengan Amerika Serikat,
Jepang, Cina, Rusia, dan EU.113 Dalam upaya dialog dengan Korea Utara, Roh
Moo Hyun menjalankan pendekatan dengan Policy for Peace and Prosperity.
Namun dalam kunjungannya di Jerman, Presiden Roh Moo-hyun dengan
ringkas menjelaskan 4 tahap rumusan penyatuan Korea.114 Presiden Roh
menjelaskan kebijakannya yang khas tentang penyatuan Korea yang sama sekali
berbeda dengan kebijakan pendahulunya. Presiden mengatakan reunifikasi atau
penyatuan kembali kedua Korea bisa terjadi setelah konfederasi nasional.
Konfederasi
tersebut
akan
dilaksanakan
dengan
sistem
terpisah
untuk
menjembatani persiapan penyatuan atau reunifikasi. Korea Selatan tidak akan
pernah mencoba untuk mendorong keruntuhan rezim komunis Korea Utara.
Penyatuan Korea akan terlaksana hanya bila kedua Korea membangun struktur
perdamaian dan melengkapi segala persiapan tersebut. Dengan kata lain Seoul
tidak akan mengambil resiko untuk membayar mahal jatuhnya rezim Korea Utara
secara tiba-tiba.
Melalui KTT yang berlangsung pada tanggal 2-4 Oktober 2007 di
Pyongyang telah mengasilkan “Deklarasi untuk Pembangunan Hubungan AntarKorea serta Perdamaian dan Kesejahteraan”, Roh Moo-hyun mencoba
menghidupkan kembali semangat perdamaian pendahulunya. Di akhir masa
113
Fokus: “Ancaman Nuklir Korea Utara dan Sikap EU“,Diakses dari ,
http://www.indonesia-eu.com, pada 24 Januari 2011
114
,“Penjelasan Presiden Roh Moo Hyun tentang 4 tahap penyatuan Korea”, Diakses
dari, http://www.kompas.com/kompas-cetak/0006/16/utama/temb0l.htm, pada 14 Februari 2011
67
kunjungan tiga hari, kedua pemimpin menandatangani beberapa poin kesepakatan,
beberapa poin kesepakatan dua Negara, diantaranya:115
1. Mengupayakan diakhirinya gencatan senjata perang Korea dan mendesak
pertemuan dengan negara lain yang turut menandatangani gencatan senjata
1953 (Cina dan Amerika Serikat) untuk menghasilkan kesepakatan
perdamaian
2. Bekerja sama untuk mengakhiri permusuhan militer, meredakan
ketegangan dan menjamin perdamaian di Semenanjung Korea.
3. Menciptakan zona perikanan bersama di sekitar perbatasan perairan barat
yang menjadi sengketa
4. Menerapkan secara halus kesepakatan pembicaraan internasional tentang
program senjata nuklir Korea Utara demi menyelesaikan masalah ini
5. Mempromosikan dan memperluas proyek-proyek kerjasama ekomomi
6. Membuka layanan kereta api kargo ke zona industri bersama yang telah
berdiri di Kaesong, Korea Utara
7. Membuka kompleks dok perkapalan bersama
8. Membuka tur udara bagi warga Korea Selatan ke puncak tertinggi Korea
Utara, Paektu
9. Mengirimkan tim pendukung bersama ke Olimpiade Beijing 2008
menggunakan kereta api
10. Memperluas reuni keluarga-keluarga yang terpisah.
Menurut pengamat Kim Yeon Chui, pengamat politik Asiatic Research
Center Korea University, pertemuan tersebut diluar perkiraan terutama pada
kerjasama ekonomi dan perdamaian kesepakatan kedua belah pihak bisa
dilaksanakan dengan baik, maka akan lahir sebuah babak baru hubungan negara
Korea. Namun sikap Korea Utara yang sulit ditebak dan seringnya mengingkari
115
Media Indonesia, “Dua Korea Menuju Damai (Deklarasi Monumental Kim dan
Roh)”, 5 Oktober 2007
68
kesepakatan-kesepakatan yang telah disepakati oleh kedua pihak menjadi kendala
kerjasama tersebut.116
4.4 Hambatan-hambatan Reunifikasi
Secara perilaku suatu Negara terpengaruh oleh empat faktor: sejarah,
geopolitik, ekonomi, dan politik. Tiap masalah yang timbul sedikit banyak
merupakan hasil dari faktor-faktor yang saling berhubungan, tetapi geopolitik dan
politik dalam negeri umumnya lebih penting daripada faktor-faktor lain. Secara
historis pembagian Korea merupakan hasil Perang Dunia II dan Perang Dingin.
Keputusan Amerika Serikat dan Uni Soviet untuk menduduki Semenanjung Korea
pada akhir Perang Dunia II membuka jalan bagi pembagian ini. Banyaknya
kendala dalam mewujudkan reunifikasi di Semenanjung Korea menjadi sulit.
Beberapa kesulitan dalam proses ini dikarenakan adanya perbedaan politik dan
ekonomi yang besar antara kedua negara. Pada permasalah jangka pendek
Pembongkaran
sejumlah
pengungsi
besar
dari
Utara
bermigrasi
dan
ketidakstabilan Politik dan Ekonomi Selatan perlu diatasi. Sedangkan masalah
jangka panjang seperti perbedaan budaya, kontras ideologi politik dan
diskriminasi mungkin juga perlu untuk diselesaikan. Korea Selatan berpendapat
unifikasi harus dicapai untuk mewujudkan keinginan bebas 70 juta rakyat Korea
yang sama sekali bebas dari kekerasan. Kebijaksanaan unifikasi tersebut
dimaksudkan untuk mengangkat cita-cita, kebebasan, demokrasi, dan perdamaian
yang berlawanan dengan rencana Korea Utara untuk menyatukan Semenanjung
Korea dengan kekuatan dibawah komunisme.117
116
Republika, “Dua Korea Sepakati Komitmen Bagi perdamaian”, 5 Oktober 2007
Suara Pembaruan, “Korea Selatan Perkuat Upaya Diplomatik Hadapi Korea Utara”,
14 Mei 2007
117
69
Hal lain yang menjadi hambatan dalam reunifikasi di Semenanjung Korea
adalah sikap Korea Utara yang melakukan standar ganda dalam program
nuklirnya. Disatu sisi Korea Utara menunjukan sikap positif dalam setiap
perjanjian yang disepakati, namun disisi lain, Korea Utara masih menyimpan dan
mengembangkan program nuklirnya. Hal ini diperjelas dengan adanya krisis
nuklir pada tahun 2003 menunjukan Korea Utara masih setengah hati untuk
menghentikan program nuklirnya. Persoalan nuklir Korea Utara merupakan
masalah yang serius dan dapat membahayakan keamanan Korea Selatan. Selain
itu masalah nuklir tesebut juga dapat membahayakan Negara-negara di sekitar
Semenanjung Korea. Dampak buruknya bagi reunifikasi Korea adalah persoalan
nuklir tersebut akan menjadikannya sebagai kumpulan dari berbagai kepentingan
dari negara-negara besar yang bisa saling bertentangan. Sehingga dengan adanya
kepentingan tersebut saling tarik-menarik akan jelas menghambat terwujudnya
penyatuan kembali kadua Korea.118
Salah satu perbedaan antara Korea Utara dan Korea Selatan adalah bahwa
hampir tidak ada perubahan dalam pimpinan Korea Utara sedangkan Korea
Selatan telah mengalami beberapa kali perubahan pimpinan.119 Akibatnya Korea
Selatan mendapat banyak pengalaman sebagaimana menangani krisis politik,
sedangkan Korea Utara harus mengalami krisis penggantian kekuasaan besar jika
Kim Jong Il meninggalkan ajang politik. Bila melihat prospek tersebut, untuk
mewujudkan reunifikasi di Semenanjung Korea sangat sulit terwujud. Adanya
118
119
Kompas, “Pertemuan Dua Korea Belum Membuahkan Hasil”, 19 Mei 2007
Park Young Ho,”International Perceptions of Korean Unification Issue”, Korean
Focus, Vol. 6, No.1, 1998, h. 147-8.
70
perbedaan ideologi kedua negara tersebut serta keadaan perang yang hanya
diakhiri suatu gencatan senjata dan bukan oleh suatu perjanjian damai permanen.
Dalam hal bidang ekonomi, dua Korea terpisah oleh jembatan kesenjangan
ekonomi yang sangat lebar. Korea Selatan yang menjadi sekutu Amerika, Jepang
dan negara Barat lainnya kini menjadi negara dengan ekonomi terkuat di Asia.
Sebagai negara industri, pendapatan per kapita masyarakatnya tinggi. Sementara
Korea Utara, yang bertahun-tahun dikucilkan dunia internasional, menjadi negara
miskin dengan pendapatan minim. Praktis kehidupan negara komunis tersebut
banyak bergantung kepada sekutu terdekatnya, Cina. Sejumlah embargo ekonomi
yang hingga kini belum dicabut semakin memperburuk perekonomian Korea
Utara. Bila melihat prospek tersebut, untuk mewujudkan reunifikasi di
Semenanjung Korea sangat sulit terwujud. Adanya perbedaan ideologi kedua
negara tersebut serta keadaan perang yang hanya diakhiri suatu gencatan senjata
dan
bukan
oleh
suatu
perjanjian
damai
permanen.
Disinilah
letak
permasalahannya, bila nantinya isi perjanjian damai untuk menyelesaikan konflik
secara permanen, akan sangat terkait dengan status akhir kedua negara. Selain itu,
terdapat fakta selama terjadi pemisahan yaitu timbul suatu kesenjangan
kesejahteraan ekonomi. Korea Selatan muncul sebagai salah satu negara dengan
pendapatan per kapita tertinggi (2006: US$ 24,500) sebaliknya Korea Utara
diperkirakan merupakan salah satu negara termiskin saat ini (GDP tahun 2006:
US$
1,800).
Faktor-faktor
itu
tentunya
semakin
mempersulit
prospek
reunifikasi.120
120
Byung-Joon Ahn,“Semenanjung Korea dan Keamanan Asia Timur”, dalam Robert A.
Scanlapino, Selzaburo Sato dan Yusuf Wanandi, “Masalah Keamanan Asia”, CSIS, Jakarta, 1990,
h. 187.
71
Namun keadaan perekonomian Korea Utara yang sangat lemah, Korea
Selatan terus mencapai pertumbuhan ekonomi yang cepat dalam beberapa dekade.
Ini telah membawa suatu kesenjangan pendapatan yang semakin besar. Saat ini,
pendapatan per kapita di Selatan paling tidak lima kali ukuran Utara. Ini saja akan
membuat integrasi ekonomi antara Utara dan Selatan suatu tugas yang sangat sulit
dan kompleks. Dalam sebuah survei ekonomi yang dilakukan Organisasi Kerja
Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) untuk Korea Selatan, pada 2010
terlihat bahwa jurang kesenjangan antara dua Korea itu semakin luas. OECD
melansir, meski populasi Korea Utara untuk tahun 2008 tercatat 23,3 juta jiwa,
atau sekitar 48 persen dari populasi penduduk Korea Selatan, produk domestik
bruto (GDP)-nya berada pada angka USD 24,7 miliar. Jumlah tersebut hanya
sekitar 2,7 persen dari GDP Korea Selatan. Data tersebut berpengaruh kepada
pendapatan per kapita rakyatnya. OECD menyebut, GDP per kapita rakyat Korea
Utara itu sekitar USD 1.060 per tahun. Atau hanya 5,6 persen GDP per kapita
Korea Selatan.121
Ekspansi perdagangan antar-Korea yang dikomandoi selatan akan membawa
pengaruh penting untuk mempersempit kesenjangan ekonomi antara selatan dan
utara. OECD juga memperingatkan bahwa biaya unifikasi akan meningkat drastis
akibat perluasan kesenjangan sosial dan ekonomi antara kedua Korea. Namun,
harapan untuk melihat kedua Korea kembali rukun untuk membangun hubungan
simbiosis ekonomi demi mensejahterakan rakyat mereka belum juga dapat
terwujud. Berbagai insiden yang memicu ketegangan politik dan keamanan di
antara kedua Korea diakui sangat mengganggu upaya tersebut.122
121
“Kembar Beda Nasib”, Diakses dari,
http://www.rimanews.com/read/20100629/1196/kembar-tapi-beda-nasib, pada 14 Februari 2011
122
Yang Seung-Yoon dan Mohtar Mas’oed, “Politik Luar Negeri Korea Selatan :
Penyesuaian Diri Terhadap Masyarakat Masyarakat Internasional”, Ghajah Mada University
Press, Yogyakarta, 2002, h. 69
72
BAB V
KESIMPULAN
Dari uraian diatas dapat di lihat bahwa hubungan antar-Korea periode
2003-2008 telah mengalami dinamika yang cukup rumit. Dengan adanya krisis
nuklir kedua pada tahun 2003 dan permasalahan antara Korea Utara dengan
Amerika Serikat membuat posisi Korea Selatan serba salah. Sejak 2003
permasalahan itu telah diupayakan penyelesaiannya melalui mekanisme
pertemuan enam pihak yang melibatkan AS, Jepang, Rusia, dan RRC, di samping
Korea Selatan dan Korea Utara. Dalam rangka penyelesaian berbagai masalah di
Semenanjung Korea, pertemuan puncak inter-Korea itu perlu menghasilkan
tawaran atau proposal bersifat konkret. Di antaranya solusi menyangkut masa
depan reunifikasi Korea.
Namun pada kenyataanya usaha-usaha kearah penyelesaian konflik
tersebut harus melibatkan lingkungan eksternalnya, dalam pengertian bahwa
solusi yang ada harus pula diselaraskan dengan kepentingan-kepentingan Negara
besar di Semenanjung Korea. Korea Selatan memberikan cara pandang yang lain
dengan menjadikan proses dialog yang bersahabat sebagai senjata utama dalam
menghadapi Korea Utara. Kemajuan hubungan antar-Korea tidak lepas dari
berbagai masalah yang cukup besar.
Beberapa kesulitan dalam proses ini
dikarenakan adanya perbedaan politik dan ekonomi yang besar antara kedua
negara. Pada permasalah jangka pendek, penyelesaian sejumlah pengungsi secara
besar yang bermigrasi dari Korea Utara serta ketidakstabilan politik dan ekonomi
Korea Utara perlu diatasi. Sedangkan masalah jangka panjang seperti perbedaan
73
budaya, kontras ideologi politik dan diskriminasi mungkin juga perlu untuk
diselesaikan.
Hal lain yang menjadi hambatan dalam reunifikasi di Semenanjung Korea
adalah sikap Korea Utara yang melakukan standar ganda dalam program
nuklirnya. Disatu sisi Korea Utara menunjukan sikap positif dalam setiap
perjanjian yang disepakati, namun disisi lain, Korea Utara masih menyimpan dan
mengembangkan program nuklirnya. Untuk menciptakan masyarakat Korea
dibawah satu kesatuan serta hidup damai berdampingan ini bukanlah pekerjaan
yang mudah dan diperlukan waktu yang cukup lama. Hambatan dimulai dari
perbedaan yang mendasar yaitu ideologi yang dianut oleh kedua Korea yang telah
memberikan kesan bahwa penyatuan dua Korea ini bukanlah perkara yang mudah
karena masing-masing Korea menganggap bahwa ideologi merekalah yang paling
unggul. Apalagi Korea Utara saat ini menjadi ancaman baru bagi kawasan Asia
Timur dengan program nuklirnya. Selain itu, adanya ancaman kemanusiaan yang
dihadapi Korea Utara seperti kelaparan, pembangkangan, dan pengungsian missal
yang potensial, serta ancaman militer konvensional. Hambatan utama untuk
mangatasi aneka tantangan ini muncul dari realitas bahwa tidak ada konsensus di
antara negara-negara bertertangga yang mempengaruhi secara langsung atau tidak
langsung oleh tiap monuver Pyongyang.
Keberadaan Amerika Serikat dan ketiga Negara lainnya seperti Jepang,
Cina dan Rusia juga menjadi sebuah masalah bagi kelangsungan hubungan kedua
Negara tersebut. Pada umumnya negara-negara besar melihat Korea dari persektif
global dan regional mereka. Bila Amerika dan Jepang, melihat Korea Selatan
penting dalam arti positif bagi hubungan bilateral mereka. Di lain pihak, RRC dan
74
Rusia memandang Korea Utara sebagai wilayah penting bagi rivalitas mereka. Hal
ini diperkuat dengan adanya pakta pertahanan antara Amerika Serikat dengan
Korea Selatan sejak tahun 1953. Sedangkan pada tahun 1961, RRC dan Uni
Soviet mempunyai pakta pertahanan dengan Korea Utara. Dibawah pemerintahan
Roh Moo Hyun dalam menjalankan pendekatan dengan Korea Utara dilakukan
dengan Policy for Peace and Prosperity.
Semasa jabatannya, Roh Moo Hyun banyak mengalami permasalahan baik
dalam negeri maupun luar negeri. Dalam permasalahan domestik, Roh Moo Hyun
diberhentikan oleh parlemen disebabkan adanya dugaan pelanggaran hukum pada
saat pemilu serta dugaan skandal keuangan. Sedangkan pada permasalahan politik
luar negeri, hubungan antara Korea Selatan dan Korea Utara mengalami masalah
dengan pengembangan program nuklir Korea Utara. Sehingga menyebabkan Roh
Moo Hyun mengambil sikap tegas dengan menyatakan Seoul akan meneruskan
bantuan-bantuan makanan, obat-obatan, pupuk, infrastruktur, dan ekonomi, bila
Pyongyang menghentikan pengembangan nuklirnya.
Dalam kunjungannya di Jerman, Presiden Roh Moo-hyun dengan ringkas
menjelaskan 4 tahap rumusan penyatuan Korea. Presiden Roh menjelaskan
kebijakannya yang khas tentang penyatuan Korea yang sama sekali berbeda
dengan kebijakan pendahulunya. Presiden mengatakan reunifikasi atau penyatuan
kembali kedua Korea bisa terjadi setelah konfederasi nasional. Konfederasi
tersebut akan dilaksanakan dengan sistem terpisah untuk menjembatani persiapan
penyatuan atau reunifikasi. Korea Selatan tidak akan pernah mencoba untuk
mendorong keruntuhan rezim komunis Korea Utara. Penyatuan Korea akan
terlaksana hanya bila kedua Korea membangun struktur perdamaian dan
75
melengkapi segala persiapan tersebut. Dengan kata lain, Seoul tidak akan
mengambil resiko untuk membayar mahal jatuhnya rezim Korea Utara secara
tiba-tiba.
Melalui KTT yang berlangsung pada tanggal 2-4 Oktober 2007 di
Pyongyang telah mengasilkan “Deklarasi untuk Pembangunan Hubungan AntarKorea Serta Perdamaian dan Kesejahteraan”, Roh Moo-hyun mencoba
menghidupkan kembali semangat perdamaian pendahulunya. Isinya, antara lain,
membangun sistem perdamaian permanen, memperluas kerja sama ekonomi
termasuk membuat galangan kapal bersama, mengembangkan kerja sama
pendidikan, teknologi, budaya dan olahraga, dan mengadakan konferensi tingkat
tinggi. Kedua pihak juga sepakat menutup program nuklir Korea Utara mulai
akhir tahun ini secara bertahap. Tindakan ini akan dilanjutkan dengan penyerahan
bahan-bahan pembuat senjata nuklir mulai tahun depan. Namun Bagi Roh Moohyun, sangat sulit memberikan konsesi yang berarti mengingat popularitasnya
sangat rendah di kalangan publik Korea Selatan. Masa jabatannya pun tinggal
beberapa bulan saja. Sekalipun ia cukup berani memberikan konsesi tertentu,
tidak ada jaminan presiden selanjutnya akan menghargai konsesi atau kesepakatan
yang dicapainya dengan Kim Jong-il.
76
Daftar Pustaka
Buku:
Ahn, Byung-Joon, “Semenanjung Korea dan Keamanan Asia Timur”, dalam
Robert A. Scanlapino, Selzaburo Sato dan Yusuf Wanandi, “Masalah
Keamanan Asia”, CSIS, Jakarta, 1990
Badrika, I Wayan, Sejarah Nasional dan Umum , Erlangga, Jakarta, 2005.
Brown, Chris, Understanding Internasional Relation, 2nd edition, London,
Palgrave,2001, hal 68-86, Dikutip dari Politik Luar Negeri Indonesia “Di
Tengah Pusaran Politik Domestik” , Genewati Wuryandari (ed), 2008,
Pustaka Pelajar: Jakarta.
Buzan, Barry, People States and Fear: An Agenda For International Security
Studies in The Post Cold War Era, 2nd edition, Harvester Wheatsheaf,
London, 1991.
, Ole Waefer, dan Jaap de Wilde, A New Frame Work For
Analysis, London: Lynne Rienner Publisher.1998
Coplin, William D. 1992 Pengantar Politik Internasional : Suatu Telaah Teoritis,
Penerbit Sinar Baru,: Bandung.
Chung In-Moo and David I. Steinberg (ed), Kim Dae Jung Government and
Sunshine Policy Promises and Challenges, Seoul: Yonsei University
Press, 1999
Dwianto, Riri, ”kerjasama Keamanan Asia Timur” dalam Agenda dan Penataan
Keamanan di Asia Pasifik, Bartarto Bandoro (Penyuting), CSIS, Jakarta,
1999-2000.
Fakta-fakta tentang Korea, Pelayanan Kebudayaan dan Informasi Korea,
Kementerian Kebudayaan Olah Raga dan Pariwisata. 2002, Seoul,
Republik Korea.
Fakta Tentang Korea, Pelayanan Informasi Korea, Badan Informasi Nasional,
2003, Seoul, Republik Korea
Holsti, KJ. 1983, Politik Internasional: Kerangka Untuk Analisa, M. Tahrir
Azhary (pent) Erlangga: Jakarta.
viii
Jacson, Robert, dan Georg Sorensen, Pengantar Studi Hubungan Internasional,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005
Kim, Samuel S., The Making of China’s Korean Policy in the Era of Reform,
dalam David Lampton, (ed), The Making of Chinese Foreign and Security
Policy in The Era of Reform, 2001 (standford, CA: Standford University
press),
Morgenthau, Hans J., Politik Antar Bangsa, S. maimon (pent), Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta. 1990.
, Politik Internasional: Suatu Kerangka Analisis, M. Tahrir
Azhary (pent), Erlangga, Jakarta, 1987
Mestoko, Soemarsono, Indonesia dan Hubungan Antar Bangsa, Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta, 1985
Morrison, Charles E., Asia Pasific Security outlook, 2003, (Tokyo: Japan Center
for International Exchange., Inc, 2003)
Jones, Walter S. 1993, Logika Hubungan Internasional: Kekuasaan EkonomiPolitik Internasional, Tatanan Dunia, Jilid 2, Gramedia Utama: Jakarta.
Mas’oed , Mohtar dan Yang Seung-Yoon, Politik Luar Negeri Korea Selatan :
Penyesuaian Diri Terhadap Masyarakat Internasional, Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 2002.
, Masyarakat, Politik, dan Pemerintahan Korea: Sebuah Pengantar.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005.
, Memahami Politik Korea, Gadjah Mada University Press, 2005.
Papayoanou, Paul A.,” Great Powers Regional Orders : Possibilities and Prospects
After Cold War”, dalam David Lake and Patrick M. Morgan, Regional
Order Building Security in a New World, (United States of American;
Pennsylvania State University Press, 1997)
Seung-Yoon, Yang dan Nur Aini Setiawati, Sejarah Korea , Gajah Mada
University Press, 2003.
, sejarah Korea Awal Abad Hingga Masa Kontemporer,
Ghajah Mada University Press, Yogyakarta, 2003
Sukma, Rizal,”Dua Korea dan Prospek Perdamaian di Asia Timur”, dalam
Analisa, CSIS, Jakarta, 1992-1993
ix
Schuster, Almond and., Websters’s, New Twentieth Century Dictionary Of the
English Language : unabridged, edisi ke-2, New York, 1983.
Tim Penyususn Kamus Bahasa, Kamus Besar Indonesia, Edisi ke-3 Cetakan
Pertama, Balai Pustaka, Jakarta, 2001
Waltz, Kenneth N. Theory of International Politics, New York: McGraw-Hill Inc,
1979.
Yani, Yayan Moch., Pengantar Ilmu Hubungan Internasional, Bandung: Rosda
Karya, 2006.
Jurnal, Laporan Tahunan dan skripsi:
Choi, Young,” The North Military Buildup and Its Impact on North Korean
Military Strategy in The 1980s”, Asian Survey, Vol. 25, No. 3, (Mar
1985), (University of California Press)
Chung, Oknim,” Regional Perspectives and Role on The Korean Peninsula”,
Korean and World Affairs, Vol. 22, No. 2, Summer 2001
Djelantik, Sukmawarsini, “Perang Dingin di Asia Timur Laut; Kasus Rivalitas
Barat-Timur dalam Perang Korea (1950-1953)”, Jurnal FISIP Potensia,
Tahun VII, No. 16, 2006
Hyun-Joon, Ching, “Internal Changes in North Korea: Reality and Prospect”,
Korean Focus, Vol. 8, No. 5, September-October 2000
Hyoeng, Jung Park, First year of The Roh Moo-Hyun Administration, Korea and
World Affairs, Vol. XXXIV, No. 4, Winner 2003, (Korea: Research Center
for Peace and Unification of Korea 2003)
Ho, Park Young, ”International Perceptions of Korean Unification Issue”, Korean
Focus, Vol. 6, No.1, 1998
James T. Laney and Jason T. Shaplen, How to Deal with North Korea, Foreign
Affairs, Vol. 82, No. 2 (Mar-Apr, 2003).
Ji, Young Sun,”Conflicting Visison For Korean Reunification”, Fellow,
Weatherhead Center For International Affairs, Harvard University, Juni
2001, hal. 7, Diakses dari http://www.wcfia.harvard.edu, pada tanggal 8
Oktober 2010.
x
Kim, Keun-Sik, Inter-Korean Relation and Thr Future of the Sunshine Policy, the
Journal of East Asian Affairs, Vol. XVI, No. 1 Spring/Summer 2002, (The
Research Institute for Internasional Affairs, Seoul, Korea 2002).
Kim, Young Jeh,” North Korea’s Nuclear Program and Its Impact On
Neighboring Countries, Korea and World Affairs, Vol. 17, No. 3, Fall
1993
Kim, Hong Nack,”The Kim Dae Jung Government’s North Korea Policy
Problems and Prospects, Korea and World Affairs, Vol XXIII, No. 3, Fall
1999 (Korea; Research Center for Peace and Unification of Korea, 1999)
Mack, Andrew, The Nuclear Crisis On The Korean Peninsula, Asian Survey, Vol.
33, No. 4 (April 1993), (United States: University of California Press,
1993).
Paik, Hak Soon, “ North Korea’s Unification Policy”, dalam Kwak Tae-Hwan,
ed., The Four Powers and Korean Unification Strategies (Seoul:
Kyungman University Press, 1997)
Park, Hyoeng Jung, FirstbYear of the Roh Moo Hyun Administration, Korea and
World Affairs, Vol. XXXIV, No. 4, Winner 2003, (Korea : Research
Center for Peace and Unification of Korea 2003).
Park, Tong Whan,“ Issues of Arms Control Between the Two Koreans “, Asian
Survey, Vol. XXXII, No. 4, April 1992
Pinkston Daniel A. and Philip C. Saunders, Seeing North Korea Clearly, Survival,
(The Internasional Institute for Strategic Studies) Vol. 45, No. 3, Autumn
2003
Pramudito,”Tinjauan Prospek Perdamaian di Semenanjung Korea”, dalam Jurnal
Caraka Vol.I/No. 5, February-Maret 1998.
Ruslin, Ismah Tita, “Krisis Nuklir Korea Utara: Studi Implikasi Pengembangan
Nuklir Korea Utara Terhadap Perimbangan Kekuatan Militer di Kawasan
Asia Timur”, SPEKTRUM , Vol. 1, No. 2, Oktober 2004
Sam, Kim Young, Three-Phase Unification Formula for Building Korean National
Community, Pidato pada tanggal 15 Agustus 1994, didalam Korean
Focus, Vol. 2, No. 4 (July-Agustus 1994).
xi
Sangu, Lee, “Political Thought, Changes in Society and Pyongyang’s Southward
Strategy”, Today and Tomorrow of North Korea (Seoul: Bommunsa,
1982),
Sangmin, Lee, “North Korea’s Political Structure and Hereditary Succession”,
North Korea Research Autumn, 1991 (Seoul: Continental Reseach
Institute)
Shuja, Sharif M.,” US and Japan’s Trends in Attitudes Toward The Korean
Peninsula”, East Asian Studies, Vol. 16, No. 1-2, Spring/Summer 1997
Shin, David W., “Future of The US-ROK Aliance: Manangin The Perception
Gap”, dalam KNDU Review of National Security Affairs, Vol. 10, No. 1,
June, Research Institute On National Security Affairs, Seoul, 2005
Smith, Hezel Bad, Sad or Rational Actor? Why the ‘Securitization’ Paradigma
Makes for Poor Policy Analysis of North Korea, International Affairs,
Vol. 76, No. 3, Europe: Where Does It Begin and End? (Jul,2000)
sun, Lee young, ”Is Korean Reunification Possible?”, Korea Focus, Vol. 3, No. 3,
1995
Wang, Fei-Ling, “Joining the Major Powers for The Status Quo; China’s Views
and Policy on Korean Reunification”, Pasific Affairs, Vol. 72, No. 2
(Summer 1999), (University of British Columbia: Canada, 1999)
Yi, Xiaoxing,”A Neutralized Korea? The North-South Rapprochment and China’s
Korean Policy”, Korean Journal of Defense Analysis, Vol. XIII, No. 2,
Winter 2000
Yung, Lee Hong,”The Korean Summit Meeting and The Internasional
Environment”, Korean Journal, Vol. 41, No. 2, Summer 2001
Laporan Tahunan Departemen Luar Negeri, Tahun 1999, buku 1, Seoul
Laporan Tahuanan Kedutaan Besar RI untuk Korea Selatan, 2000
Jaya, I Wayan Setia, “Faktor-faktor Determinan yang menyebabkan Pergeseran
Pola Hubungan Korea Utara-Korea Selatan dalam Isu Reunifikasi Pasca
Perang Dingin”, (Skripsi S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Ilmu
Politik,Universitas Indonesia Jakarta, 2001)
xii
Surat Kabar:
Koran Tempo,”Korea Selatan Mendesak Segerakan Perundingan”, 16 April 2003.
Kompas, “Korea Selatan menerima Tawar Menawar Korut”. 22 April 2003
, “Korea Selatan Miliki Kartu Hadapi Korea Utara”, 17 Mei 2003.
Suara Pembaruan, “Diplomasi Roh dan Stabilitas Semenanjung Korea”, 30 Juli
2003.
Kompas, ”Rekonsiliasi Korea Melalui Kereta Api”, 9 Mei 2007
,
“Kereta Api Pertama Melewati Perbatasan Perang Dingin”, 18 Mei
2007
, Kompas, “Pertemuan Dua Korea Belum Membuahkan Hasil”, 19 Mei
2007
Republika, “Dua Korea Sepakati Komitmen Bagi Perdamian”, 5 Oktober 2007.
Koran Tempo,” Krisis Semenanjung Korea”, Selasa 25 Maret 2003
Media Indonesia, “Dua Korea Menuju Damai (Deklarasi Monumental Kim dan
Roh)”, 5 Oktober 2007
Suara Pembaruan, “Korea Selatan Perkuat Upaya Diplomatik Hadapi Korea
Utara”, 14 Mei 2007
Lain-lainnya :
Tangker Minyak Menuju Korut, diakses dari: http://www.BBCIndonesia.com,
diakses pada tanggal 21 januari 2011
“Penjelasan Presiden Roh Moo-hyun tentang 4 tahap penyatuan Korea”, diakses
dari diakses pada tanggal 14 Februari 2011.
”KTT Dua Korea - Simbolis atau Berhasil Kongkrit?”, diakses dari
http://www.kabarindonesia.com,, diakses pada tanggal 20 Februari 2011.
“Menjawab
Tantangan
di
Semenanjung
Korea“,
Diakses
dari
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0406/02/opini/1056776.htm, pada
16 Desember 2010.
“Dambaan Presiden Korsel, Perdamaian, dan Pusat Ekonomi“, diakses dari
http://www.suarapembaruan.com/News/2003/02/06/Editor/edi01.html.,
pada 12 Desember 2010
xiii
Peta
Korea
Diakses,
http://indonesiaseoul.org/pictures/korea.jpg&w=396&h=425&ei=eWxdT5
qnBIfTrQf884WjDA&zoom=1, pada 12 Maret 2012
“Sinar
Matahari
di
Selatan
http://kompas.com/kompas
dan
Utara”,
Diakses
-cetak/0209/30/or/sina31.html,
pada
dari,
26
Septemeber 2009
Partai URI merupakan partai yang didirikan oleh Roh Moo-hyun dan
pendukungannya pada saat satu bulan setelah terpilihnya Roh menjadi
presiden Korea Selatan, diakses dari http://www.news.bbc.co.uk./2/hl/asiapasific/2535143.stm, pada19 September 2011
“Penjelasan Presiden Roh Moo Hyun tentang 4 tahap penyatuan Korea”,
Diakses
dari,
http://www.kompas.com/kompas-
cetak/0006/16/utama/temb0l.htm, pada 14 Februari 2011
Fokus: “Ancaman Nuklir Korea Utara dan Sikap EU“, Diakses dari ,
http://www.indonesia-eu.com,pada 24 Januari 2011
“Kembar
Beda
Nasib”,
Diakses
dari,
http://www.rimanews.com/read/20100629/1196/kembar-tapi-beda-nasib,
pada 14 Februari 2011
xiv
Download