DINAMIKA HUBUNGAN KOREA SELATAN-KOREA UTARA DALAM MEWUJUDKAN REUNIFIKASI DI SEMENANJUNG KOREA PERIODE 2003-2008 Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik untuk memenuhi syarat-syarat mencapai gelar Sarjana Ilmu Sosial oleh: LILIS WIDYASARI NIM. 106083002819 PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2012 LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa : 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta, 14 Februari 2012 Lilis Widyasari PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi yang berjudul “ DINAMIKA HUBUNGAN KOREA SELATAN- KOREA UTARA DALAM MEWUJUDKAN REUNIFIKASI DISEMENANJUNG KOREA PERIODE 2003-2008 ”, telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 2 Maret 2012. Skrpsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.sos) Program Strata 1 (S1) Jurusan Ilmu Hubungan Internasional. Jakarta, 28 Maret 2012 ABSTRAK Skripsi ini menganalisis dinamika hubungan Korea Selatan dan Korea Utara dalam mewujudkan reunifikasi di Semenanjung Korea periode 2003-2008. Dalam mewujudkan reunifikasi di Semenajung Korea, terdapat hambatan-hambatan yang menjadi penghalang terwujudnya Negara Korea yang satu. Hambatan-hambatan tersebut tidak lebih dari faktor internal maupun faktor eksternal. Faktor internal tersebut terdiri dari keadaan domestik dua Negara Korea baik dikarenakan permasalahan perbedaan ekonomi, ideology kedua Negara Korea, ancaman nuklir Korea Utara maupun kebijakan reunifikasi kedua Korea. sedangkan pada faktor eksternal terdiri dari adanya hegemoni Amerika Serikat di Semenanjung Korea, dan kepentingan Cina, Jepang, dan Rusia di Semenanjung Korea, dan hal tersebut yang menjadi Latar belakang reunifikasi di Semenanjung Korea. Penelitian ini menggunakan konsep politik luar negeri, konsep keamanan, konsep diplomasi dan reunifikasi. Skripsi ini menggunakan metode kualitatif yaitu jenis penulisan melalui pengumpulan data-data dan pemahaman data dengan menggunakan studi pustaka. Hasil penelitian ini diketahui bahwa dinamika hubungan yang terjadi pada tahun 2003-2008 masih memiliki hambatan-hambatan yang cukup serius baik secara faktor internal maupun faktor eksternal. Diantara faktor-faktor inilah yang menjadi fokus penulis dalam penelitian ini. Keyword: Politik Luar Negeri, Reunifikasi di Semenanjung Korea, hambatanhambatan Reunifikasi. i KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah serta izin-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “ Dinamika Hubungan Korea Selatan Dan Korea Utara Dalam mewujudkan Reunifikasi Di Semenanjung Korea Periode 2003-2008 ”. Terwujudnya skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak yang telah mendorong dan membimbing penulis, baik tenaga, ide-ide, maupun pemikiran. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Papa dan Mama Tercinta, Iwan Hartawan dan Tini selaku orang tua penulis yang telah memberikan dorongan dan semangat, yang tidak kenal lelah mengumandangkan ayat suci, berdoa untuk kebaikan putrinya, dukungan baik moral maupun material selama penulis menuntut ilmu. 2. Prof. Dr.Bachtiar Effendy sebagai Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Ibu Dina Afrianty, Ph.D., sebagai Ketua Jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Bapak Adian Firnas, S.IP, M.Si sebagai Pembimbing Skripsi penulis yang telah memberikan arahan, data-data skripsi, saran, dan ilmunya hingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik 5. Bapak Agus Nilmada Azmi, S.Ag, MSi., sebagai Sekretaris Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 6. Bapak Nazaruddin Nasution, SH, MA., sebagai Dosen Pembimbing Akademik penulis. 7. Bapak/Ibu Dosen Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah ii mengajarkan berbagai ilmu dan telah membantu penulis dalam meyelesaikan tugasnya sebagai mahasiswi. 8. Terimakasih untuk Perpustakaan Utama UIN Jakarta, Perpustakaan FISIP UI, Perpustakaan IISIP, Perpustakaan LIPI, Perpustakaan Universitas Budi Luhur. 9. Bapak Hj. Sunandar dan Ibu Etih selaku paman dan bibi bagi penulis yang selalu memberi semangat dan doa terus-menurus yang tidak henti-hentinya selama penulis menuntut ilmu. 10. Terima kasih untuk Bapak Sutarman dan Ibu Raminah selaku mertua penulis yang telah memberikan dorongan dan semangat, yang tidak kenal lelah mengumandangkan ayat suci, berdoa untuk kebaikan putrinya. 11. Yang tercinta suami Mario Sugantoro yang sudah menemani penulis sejak awal kuliah sampai menyelesaikan skripsi selalu memberikan semangat dan dorongan setiap saat. Teruntuk anak-ku Muhammad Satrio Sugantoro, makasih ya sayang...Love you dari bunda buat Satrio. 12. Sahabat-sahabatku : Riana Amelia, Kristya anyarani, Rosy Kamalia, Chairunnisa. Makasih ya sahabatku, Makasih banyak ya sudah mau berjuang bersama-sama. 13. Teman-teman HI UIN angkatan 2006 dan 2007 lainnya yang tidak dapat di sebutkan satu-persatu oleh penulis, makasih banyak buat masukan-masukan dan saran-saran kalian yang sangat bermanfaat bagi penulis. Terima Kasih ya kawan. Semoga dengan segala bantuan yang tidak ternilai harganya ini mendapat imbalan di sisi Allah SWT sebagai amal ibadah, Amin. Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari pihak sangat penulis harapkan demi perbaikan-perbaikan ke depan. Jakarta, 5 Februari 2012 Penulis iii DAFTAR ISI ABSTRAK……………………………………………………………………… i PENGANTAR………………………………………………………………… ii DAFTAR ISI…………………………………………………………………... iv DAFTAR TABEL……………………………………………………..………. vi DAFTAR GAMBAR……………………………………………………..…… vii BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………... 1 1.1 Latar Belakang……………………………………………………….. 1 1.2 Rumusan Masalah………………………………………………........ 9 1.3 Tinjauan Pustaka……………………………………………….......... 9 1.4 Kerangka Teori……………………………………………………… 11 1.4.1 Konsep Politik Luar Negeri………………………………… 11 1.4.2 Konsep Diplomasi…………………………………………... 14 1.4.3 Konsep Keamanan…………………………………….......... 15 1.4.4 Reunifikasi…………………………………………….......... 16 1.5 Metode Penelitian……………………………………………........... 18 1.6 Tujuan Penelitian………………………………………………….... 18 1.7 Sistematika Penulisan……………………………………………..... 19 BAB II PASANG SURUT HUBUNGAN ANTARA KOREA SELATAN DAN KOREA UTARA……………………………………………………. 21 2.1 Hubungan Antara Korea Selatan dan Korea Utara Era Perang Dingin……………………………………………………………….. 21 2.2 Hubungan Antara Korea Selatan dan Korea Utara Pasca Perang Dingin………………………………………………………………. 27 2.3 Kebijakan Sunshine Policy Kim Dae Jung………………………….. 31 iv 2.4 Kebijakan Policy for Peace and Prosperity Presiden Roh Moo Hyun…................................................................................................ 32 BAB III GAGASAN REUNIFIKASI DI SEMENANJUNG KOREA…...... 36 3.1 Latar Belakang Reunifikasi di Semenanjung Korea………………... 37 3.2 Kebijakan Reunifikasi di Semenanjung Korea……………………... 39 3.3 Perkembangan Reunifikasi di Semenanjung Korea………………… 41 BAB IV FAKTOR YANG MEMPENGARUHI HUBUNGAN ANTAR-KOREA DALAM PROSES REUNIFIKASI DI SEMENANJUNG KOREA……………........................................................................... 49 4.1. Faktor Internal…………………………………………………….. 51 4.1.1. Faktor Domestik Korea Selatan…………………………….... 51 4.4.2. Faktor Domestik Korea Utara………………………….......... 53 4.2. Faktor Ekternal…………………………………………………… 57 4.2.1. Hegemoni Amerika Serikat Di Semenanjung Korea…………57 4.2.2. Kepentingan Cina, Jepang, dan Rusia Di Semenanjung Korea......................................................................................... 60 4.3. Hubungan Korea Selatan-Korea Utara Dalam Menuju Reunifikasi Di Semenanjung Korea Periode 2003-2008………………................ 64 4.4. Hambatan-hambatan Reunifikasi Di Semanjung Korea………. 70 BAB V KESIMPULAN……………………………………………………... 75 DAFTAR PUSTAKA.………………………………………………………. viii v DAFTAR TABEL Tabel Halaman Tabel 1 : Prospek Reunifikasi di Korea………………………………… 38 Tabel 2 : Bantuan Negara-negara dan Indivindu ke Korea Utara……….. 46 vi DAFTAR GAMBAR Gambar Halaman Gambar 2.1 : Peta Korea……………………………………………… 22 Gambar 3.1 : Contoh Kemungkinan dari Proses Unifikasi Korea…… 43 vii BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Semenanjung Korea merupakan wilayah yang terletak di kawasan Asia Timur Laut. Semenanjung Korea dalam berabad-abad sejarahnya merupakan wilayah yang sangat penting di kawasan tersebut sebagai daerah yang menghubungkan Asia Timur Laut dengan dunia luar. Posisi geografis Korea menyebabkan Korea sepanjang sejarahnya mempunyai arti penting dari sudut strategis. Hal ini karena Semenanjung Korea terletak di tengah tiga negara besar yaitu Jepang, Cina, dan Rusia.1 Di masa lampau Cina, Jepang dan, Rusia menjadi pihak-pihak yang mengganggu perkembangan Negara dan bangsa Korea, sedangkan di masa modern Amerika Serikat ikut serta mencampuri urusan negara Korea. Terpecahnya Korea menjadi dua Negara yang berdaulat merupakan akibat dari Perang Dunia II yang pada akhirnya dijustifikasi melalui Perang Dingin hingga saat ini. Kedua Korea merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari konflik ideologi Liberal-Demokratis dan Komunis-Sosialis antara Blok Barat (Amerika) dan Blok Timur (Uni Soviet). Kedua belah pihak saling mencari daerah pengaruh (enclave) untuk kepentingan strategis masing-masing, yang akhirnya akan mempengaruhi stabilitas politik dan keamanan di Semenanjung Korea khususnya dan Asia Timur pada umumnya.2 1 Yang Seung-Yoon, dan Mohtar Mas’oed, Masyarakat, Politik, dan Pemerintahan Korea : Sebuah Pengantar, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 2005, h. 1 2 Ibid, h. 4 1 Pasca Perang Dingin, stabilitas politik dan keamanan di Semenanjung Korea masih belum memperlihatkan keadaan yang membaik. Perang Korea berkembang menjadi perang internasional berskala penuh yang melibatkan 16 negara anggota PBB untuk berperang sebagai sekutu Korea Selatan melawan Cina dan Uni Soviet dari blok komunis.3 Berakhirnya Perang Korea ditandai dengan gencatan senjata yang menghasilkan garis gencatan senjata sepanjang 155 mil yang membagi Semenanjung Korea. Masalah utama di Semenanjung ini pada umumnya adalah ancaman nuklir Korea Utara. Kegiatan reaktor nuklir yang tidak transparan menjadikan situasi di Semenanjung Korea menjadi tidak menentu. Pengembangan nuklir Korea Utara sudah dilakukan sejak akhir tahun 1970-an. Program nuklir yang dilakukan Korea Utara awalnya tidak menimbulkan perhatian dari dunia internasional, hingga pada tahun 1980-an, Korea Utara mulai menjalankan program pengembangan rudal, dimulai dengan rudal Hwangsong-5.4 Program nuklir Korea Utara dipengaruhi dan didominasi oleh pemikiran Kim II Sung. Menurut Kim Il Sung, Korea Utara tidak perlu lagi tergantung dengan Negara lain untuk melindungi keamanan nasionalnya, Korea Utara percaya tindakan ini akan memberikan keuntungan strategis, simbolis, dan teknologi yang dibutuhkan dalam jangka panjang untuk mewujudkan Korea Utara yang kuat dan makmur. Sesuai dengan definisi strategi nuklir sebagai pemanfaatan senjata nuklir untuk meraih kepentingan politik internasional, nuklir bagi Korea Utara dapat menjadi alat penting dalam perundingan internasional.5 Pada pertengahan dekade 1980an, intelijen Amerika Serikat mulai mendeteksi 3 Ibid. Ibid, h. 121 5 Riri Dwianto,”kerjasama Keamanan Asia Timur”dalam Agenda dan Penataan Keamanan di Asia Pasifik, Bartarto Bandoro (Penyuting), CSIS, Jakarta,1999-2000, h. 185 4 2 program nuklir Korea Utara dan tidak lama sesudahnya, tepatnya di tahun 1986, Korea Utara mulai memproduksi plutonium di reaktor.6 Pada tahun 1990-an, ancaman nuklir Korea Utara semakin meningkat dengan penarikan diri Korea Utara dari perjanjian non-proliferasi nuklir pada bulan Maret 1993. Korea Utara menjadi ancaman bagi stabilitas regional dan dengan berkuasanya rezim militer tidak butuh pertimbangan untuk memulai konflik di kawasan dan permasalahan program nuklir selalu menyebabkan hampir terputusnya hubungan antar Korea.7 Kerumitan dalam proses perdamaian di kawasan ini lebih dikarenakan oleh kompleknya permasalahan baik ditingkat bilateral maupun internasional.8 Pada tingkat bilateral, penyelesaian konflik kedua Korea dipersulit oleh perbedaan-perbedaan ekonomi, sosial, dan politik yang berkembang dalam situasi masing-masing sejak berakhirnya Perang Dingin. Di sisi lain, Korea Utara sejak terpecahnya negara Korea, berubah menjadi sebuah negara yang sangat tertutup, sehingga komunikasi antara Korea Utara dan dunia luar terutama Korea Selatan sangat minim dan dikontrol dengan ketat. Usaha-usaha untuk meredakan ketegangan atau konflik kedua Negara tetap dilakukan mengingat posisi Korea Utara semakin terkucilkan dalam pergaulan internasional akibat pandangan negatif dunia internasional sejak Korea Utara mulai melakukan program nuklirnya yang diteruskan dengan pengembangan kemampuan rudal dengan serangkaian uji coba serta memburuknya situasi politik dan ekonomi Korea Utara pada saat itu. Melihat keadaan tersebut Korea Selatan 6 Hezel Smith, Bad, Sad or Rational Actor? Why the ‘Securitization’ Paradigma Makes for Poor Policy Analysis of North Korea, International Affairs, Vol. 76, No. 3, Europe: Where Does It Begin and End? (Jul,2000), h. 610. 7 Fakta-fakta tentang Korea, Pelayanan Kebudayaan dan Informasi Korea, Kementerian Kebudayaan Olah Raga dan Pariwisata, 2002, hal 59 8 Rizal Sukma,”Dua Korea dan Prospek Perdamaian di Asia Timur”, dalam Analisa, CSIS, Jakarta, 1992-1993, h. 265. 3 mengambil sebuah kebijakan yang ingin memberikan terobosan yang revolusioner untuk mencairkan hubungan antara kedua Negara Korea dan merubah persepsi Korea Utara. Perubahan sikap Korea Selatan terhadap Korea Utara menjadi angin segar dalam proses transformasi kompleks keamanan di Semenanjung Korea. Salah satu landasan pembuatan kebijakan Korea Selatan adalah bahwa bangsa Korea adalah satu. Jika sebelumnya cara yang digunakan dalam peyelesaian permasalahan nuklir adalah dengan cara membawa permasalahan ke Dewan Keamanan PBB, memberikan embargo bagi Korea Utara dan mengucilkannya, namun kenyataanya tidak bisa menyelasaikan permasalahan tersebut. Lebih dari setengah abad, Korea Selatan berusaha mencari cara untuk menyatukan kembali daerah yang terbagi di sekitar Semenanjung Korea sejak berdirinya Republik Korea pada tahun 1948. Kebijakan reunifikasi Korea Selatan mempunyai tujuan yang sama, yaitu mengurangi atau menetralisir pengaruh komunis dalam pemerintahan pasca reunifikasi. Namun untuk menciptakan kesatuan, pemerintah Korea Selatan menggunakan bermacam-macam cara untuk mempersatukan kedua Korea yang secara reflek dapat mengubah lingkungan internasional dan beragam hubungan diantara orang-orang Korea Sendiri.9 Korea Selatan memberikan cara pandang yang lain dengan menjadikan proses dialog yang bersahabat sebagai senjata utama dalam menghadapi Korea Utara. Dengan mengakrabkan hubungan diantara kedua rakyat Korea bertujuan untuk memberikan dorongan bagi perubahan cara pandang rejim otoriter Korea Utara terhadap dunia luar. Proses dialog antara Korea semakin intensif dilakukan, 9 Yang Seung-Yoon dan Aini Setiawati, sejarah Korea Awal Abad Hingga Masa Kontemporer, Ghajah Mada University Press, Yogyakarta, 2003, h. 190. 4 rangkaian pertemuan tingkat Perdana Menteri yang hingga akhir 1992 telah dilakukan sebanyak delapan kali, baik yang dilakukan di Seoul maupun di Pyongyang. Sebagai hasil dari rangkaian pertemuan-pertemuan tersebut, telah dibentuk berbagai komisi. Komisi-komisi ini sebagian telah melakukan beberapa kali pertemuan di Panmunjom yang dihadiri oleh para pejabat tinggi dari kedua belah pihak. Namun kegiatan-kegiatan tersebut akhirnya berhenti oleh protes Korea Utara terhadap Korea Selatan yang melakukan latihan militer bersama AS “Team Spirit”pada bulan Maret 1993.10 Dalam melakukan proses transformasi keamanan di Semenanjung Korea, pemerintahan Korea Selatan sejak masa Presiden Roh Tae Woo, Kim Yong Sam, Kim Dae Jung dan Roh Moo Hyun selalu menggunakan tiga pondasi kebijakan yaitu melakukan kerjasama, rekonsiliasi, dan unifikasi. Ketiga pondasi tersebut dilakukan secara berkesinambungan dan dijadikan cetak biru kebijakan Korea Selatan terhadap Korea Utara. Proses kerjasama dilakukan sebagai pemecah kebekuan dan kekakuan antara Korea Selatan dan Korea Utara. Kerjasama dilakukan dalam dua hal, yaitu kerjasama dalam bidang ekonomi dan kerjasama keamanan dengan menjadikan isu nuklir tidak lagi sebagai isu yang dominan di Semenanjung Korea.11 Menyadari situasi keadaan dan perbedaan yang jelas diantara kedua Negara maka dari itu, dibawah pemerintahan Kim Dae Jung (1998-2002) dan Roh Moo Hyun (2003-2008), Korea Selatan membuat suatu kebijakan yang lebih menekankan pentingnya kebersamaan antar negara Korea. Upaya penyatuan 10 Pramudito, “Tinjauan Prospek Perdamian di Semenanjung Korea”, dalam Jurnal Caraka Vol.I/No. 5, February-Maret 1998, h. 90. 11 Kim Young Sam, Three-Phase Unification Formula for Building Korean National Community, Pidato pada tanggal 15 Agustus 1994, didalam Korean Focus, Vol. 2, No. 4 (JulyAgustus 1994), h. 174 5 tersebut, tertuang didalam sebuah kebijakan yang dikenal dengan Sunshine Policy (kebijakan Kim Dae Jung) dan Policy Peace and prosperity (Kebijakan Roh Moo Hyun). Melalui Sunshine Policy, Kim Dae Jung mencoba untuk mengikutsertakan Korea Utara didalam setiap kerjasama ekonomi. Untuk itu, pemerintahan Kim Dae Jung tidak henti-hentinya berusaha keras untuk lebih menciptakan suasana damai, rukun dan menuju kerjasama antar dua negara daripada hubungan yang tertekan dengan konflik, hubungan ketidakpercayaan antara Korea Selatan dan Korea Utara dan hubungan persaingan yang menelan biaya politik yang sia-sia.12 Akan tetapi, perjalanan Sunshine Policy tidak berjalan dengan mudah seperti yang diharapkan, karena masih terhalang beberapa hambatan-hambatan sehingga kebijakan secara damai yang dicetuskan Kim Dae Jung tidak dapat berjalan sempurna. Beberapa kendala yang dihadapi dalam proses reunifikasi antara Korea Selatan dan Korea Utara adalah perbedaan ideologi yang dianut kedua Negara Korea. Hambatan lainnya yang dihadapi dalam mewujudkan reunifikasi antara kedua Negara adalah masalah senjata pemusnah masal (nuklir, biokimia, dan peluru kendali) yang sedang dikembangkan oleh Korea Utara. Selain itu, adanya ancaman kemanusiaan yang dihadapi Korea Utara seperti kelaparan, pembangkangan, dan pengungsian massal yang potensial, serta ancaman militer konvensional. Hambatan utama untuk mengatasi aneka tantangan ini muncul dari realitas bahwa tidak ada konsensus di antara negara-negara bertertangga yang mempengaruhi secara langsung atau tidak langsung oleh tiap manuver Pyongyang.13 12 Yang Seung-Yoon dan Mohtar Mas’oed, Politik Luar Negeri Korea Selatan: Penyesuaian Diri Terhadap Masyarakat Interasional. Ghajah Mada University Press, Yogyakarta, 2002, h. 41. 13 Diakses dari http://www.kompas.com/kompas-cetak/0406/02/opini/1056776.htm. “Menjawab Tantangan di Semenanjung Korea“,pada 16 Desember 2010 6 Dibawah kepemimpinan Roh Moo Hyun, upaya dialog dengan Korea Utara dilakukan dengan pendekatan Policy for Peace and Prosperity. Kebijakan tersebut merupakan lanjutan dari kebijakan sebelumnya yaitu kebijakan Sunshine Policy. Namun selama krisis Semenanjung Korea tahun 2003, dan Korea Utara bersikeras untuk meneruskan program-program nuklir dan sistem rudalnya, maka Amerika Serikat-Korea Selatan bisa menyatukan pendapat. Kim Jung Il bersikap bahwa Korea Utara menyatakan keluar dari perjanjian Non-Proliferasi Nuklir sejak 1 Januari 2003, setelah bertekad terus mengembangkan program nuklir dan persenjataannya. Masyarakat dunia kemudian kembali dikejutkan dengan aksi peluncuran peluru kendali Korea Utara, 5 Juli 2006. Peluncuran beberapa rudal di Semenanjung Korea itu kian mengkhawatirkan beberapa negara, bahkan Korea Selatan, Jepang, Amerika Serikat, dan Australia mengecam tindakan itu. Dewan Keamanan PBB pada 5 Juli 2006 telah membicarakan hal ini atas permintaan perwakilan Jepang di PBB. Peluncuran rudal itu dapat diartikan Korea Utara ingin mendapat posisi lebih kuat dalam perundingan damai soal nuklir Korea Utara bersama enam negara (Six Party Talks), yang mengalami kebuntuan. Korea Utara juga kian frustrasi dengan jalan damai setelah mengikuti Six Party Talks bersama AS, Korea Selatan, Jepang, China, dan Rusia, dan hingga kini belum mendapat hasil.14 Hal ini yang menyebabkan Roh Moo Hyun mengambil sikap tegas. Dengan diplomasi tajamnya adalah Seoul akan meneruskan bantuan-bantuan makanan, obat-obatan, pupuk, infrastruktur dan ekonomi, hanya bila Pyongyang menghentikan pengembangan nuklirnya. Pernyataan Roh sebenarnya merupakan 14 Suara Pembaruan, 30 Juli 2003,” Diplomasi Roh dan Stabilitas Semenanjung Korea”, h. 10 7 “ancaman” karena Jepang dan sekutu-sekutu Pyongyang, seperti Cina dan Rusia, juga mendesak Korea Utara untuk kembali mematuhi Pakta Non-Plorifederasi Nuklir, serta menghentikan semua program nuklirnya.15 Dalam melaksanaan Policy for Peace and Prosperity, Roh mengadakan pertemuan dengan Kim Jung Il dalam Konferensi Tingkat Tinggi kedua antara pemimpin-pemimpin Korea Selatan dan Korea Utara yang berlangsung pada tanggal 2-4 Oktober 2007 di Pyongyang.16 Di akhir masa kunjungannya selama tiga hari, kedua pemimpin menandatangani beberapa point kesepakatan. Isinya antara lain, membangun system perdamaian permanen, memperluas kerjasama ekonomi termasuk membuat galangan kapal bersama, mengembangkan kerjasama pendidikan, teknologi, budaya dan olehraga, dan mengadakan Konferensi Tingkat Tinggi. Namun bila dilihat perospek yang ada, perbaikan hubungan yang langgeng diantara kedua Korea masih memerlukan perjalanan yang panjang, terutama perjalanan menuju arah unifikasi kedua Korea. Perbedaan tingkat kemapanan ekonomi dan perbedaan sistem pemerintahan yang berlaku, memerlukan penyesuian dalam jangka waktu yang lama. Sehingga rumusan unifikasi di Semenanjung Korea dilakukan dalam beberapa tahapan penyesuaian. Adanya bebrapa faktor yang mempengaruhi hubungan antar-Korea dalam proses reunifikasi di Semenanjung Korea baik dalam faktor Internal seperti faktor domestik kedua Negara Korea maupun faktor ekternal seperti hegemoni Amerika Serikat, dan kepentingan Cina, Jepang dan Rusia di Semenanjung Korea. Hambatan-hambatan yang dihadapi dalam reunifikasi antar-Korea menjadi sebuah hal yang harus dicari penyelesaiannya. Rakyat Korea memang tidak 15 Diakses dari http://www.suarapembaruan.com/News/2003/02/06/Editor/edi01.html “Dambaan Presiden Korsel, Perdamaian, dan Pusat Ekonomi“, pada 12 Desember 2010 16 Ibid. 8 seberuntung rakyat Jerman yang bersatu kembali tahun 1990, setelah terbagi hampir 30 tahun atas Jerman Barat dan Jerman Timur tahun 1961. Namun harapan untuk bersatunya kembali terus diwujudkan demi menjadi Korea yang satu. 1.2 PERTANYAAN PENELITIAN Berdasarkan latar belakang diatas, maka pertanyaan mendasar penelitian ini adalah Bagaimana Perkembangan Dinamika Hubungan antara Korea Selatan dan Korea Utara tahun 2003-2008 dalam mewujudkan reunifikasi di Semenanjung Korea? Hambatan-hambatan apa yang mempengaruhi proses dialog reunifikasi kedua Negara di Semenanjung Korea? 1.3 TINJAUAN PUSTAKA Ada sejumlah penelitian di mana unit analisanya adalah dinamika hubungan Korea Selatan dan Korea Utara terkait reunifikasi di Semenanjung Korea, namun banyak penelitian yang unit analisanya dikaitkan secara langsung dengan permasalahan reunifikasi di Semenanjung Korea. Meskipun demikian terdapat dua penelitian yang penulis anggap cukup relevan untuk dijadikan bahan tinjauan pustaka. Pertama, yaitu penelitian berjudul “Faktor-faktor Determinan yang menyebabkan Pergeseran Pola Hubungan Korea Utara-Korea Selatan dalam Isu Reunifikasi Pasca Perang Dingin”, 2001, karya I Wayan Setia Jaya, Hubungan Internasional, FISIP Universitas Indonesia. I Wayan menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor-faktor determinan yang menyebabkan pergeseran pola hubungan Korea Utara-Korea Selatan dalam isu reunifikasi secara garis besar.17 Dimana keberadaan faktor hegemoni Amerika Serikat, Cina, Jepang, dan Rusia menjadi penyebab pergeseran pola hubungan antar-Korea. pergeseran pola 17 I Wayan Setia Jaya, “Faktor-faktor Determinan yang menyebabkan Pergeseran Pola Hubungan Korea Utara-Korea Selatan dalam Isu Reunifikasi Pasca Perang Dingin”, (Skripsi S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Ilmu Politik,Universitas Indonesia Jakarta, 2001) h. 15-30. 9 hubungan tersebut membuat beberapa kebijakan yang telah ada mengalami penyesuaian secara perlahan. Namun keberadaan aktor-aktor tesebut tidak menyebabkan pandang kedua Negara Korea tersebut menjadi berubah dalam mewujudkan reunifikasi di Semenanjung Korea. Selain itu, penelitian juga dilakukan oleh Lee young Sun, “Is Korean Reunification Possible?”, Vol. 3, No.3, Korean Focus, 1995.18 Lee melihat permasalahan atau hambatan dalam mewujudkan reunifikasi Korea dari berbagai faktor baik dalam faktor domestik dua Negara Korea tersebut maupun hubungan antar Negara di Asia Timur dan hubungan dengan Negara besar seperti Amerika Serikat dan Uni Soviet. Tantangan dalam mewujudkan unifikasi di Semenanjung Korea memiliki kesulitan yang cukup tinggi mengingat perbedaan tersebut dilihat dari keadaan ekonomi maupun politik. secara garis besar penelitian ini melihat bagaimana keadaan Semenanjung Korea dalam mewujudkan reunifikasi. Adanya perbedaan kebijakan antar kedua pemerintah Korea menyebabkan susahnya mewujudkan reunifikasi di Semenajung Korea. Skripsi ini berupaya memberikan sumbangsih ilmu terkait hal yang melatarbelakangi susahnya mewujudkan reunifikasi di Semenanjung Korea. Jika penelitian I Wayan lebih memaparkan faktor determinan yang menyebabkan pola pergeseran hubungan antar Korea. Penulis skripsi ini lebih memfokuskan pada faktor-faktor yang mempengaruhi hubungan Korea Selatan dan Korea Utara pasca krisis nuklir kedua pada tahun 2003 sampai 2008. Serta menekankan hambatanhambatan yang terkait dalam proses reunifikasi di Semenanjung Korea. Penulis melihat dengan terjadinya krisis nuklir kedua pada tahun 2003 membuat pola 18 Lee young Sun, “Is Korean Reunification Possible?”, Vol. 3, No.3, Korean Focus, 1995, h. 15. 10 hubungan antara kedua Negara Korea menjadi memanas. Sehingga kebijakan yang dibuat oleh kedua Negara Korea tersebut sering kali mengalami perubahan dikarenakan belum terjadinya kesepakatan antara kedua pihak. KERANGKA TEORI 1.4.1 Konsep Politik Luar Negeri Konsep politik luar negeri mengandung unsur tindakan, yaitu hal-hal yang dilakukan oleh suatu pemerintah tertentu kepada pihak lain untuk menghasilkan orientasi, memenuhi peran atau mencapai dan mempertahankan tujuan tertentu. Dalam kaitan ini, tindakan suatu Negara merupakan bentuk komunikasi yang dimaksudkan untuk mengubah atau mendukung tindakan pemerintah Negara lain yang berperan dalam menentukan berhasil tidaknya pencapaian tujuan Negara tersebut.19 Chris Brown dalam bukunya Understanding International Relation memberikan pandangan sederhana dalam pandangan politik luar negeri, menurut Brown, politik internasional dapat dipahami sebagai cara untuk mengartikulasikan dan memperjuangkan kepentingan nasional terhadap dunia luar.20 Dalam hal ini, penulis mengambil sebuah kesimpulan bahwa dalam sistem internasional pola perilaku Negara didasarkan pada kepentingan nasional serta strategi berdasarkan kalkulasi posisi mereka di dalam sistem internasionalnya. Namun dilihat dari bagaimana Negara merumuskan kepentingan nasionalnya dan aspek-aspek apa saja yang akan ditonjolkan serta kebijakan yang dihasilkan. Menurut H.J Morgenthau bahwa Negara sesungguhnya adalah aktor yang sepenuhnya rasional. Karena itu tindakan-tindakan Negara akan dilakukan secara 19 KJ. Holsti, Politik Internasional: Kerangka Untuk Analisa, M. Tahrir Azhary (pent) Erlangga, 1983, h. 158. 20 Chris Brown, Understanding International Relation, 2nd edition, London, Palgrave,2001, h. 68-86, Dikutip dari Politik Luar Negeri Indonesia “Di Tengah Pusaran Politik Domestik” , Genewati Wuryandari (ed), Pustaka Pelajar, Jakarta, 2008, h. 14. 11 perhitungan untung rugi yang jelas.21 Menurut Kenneth Waltz, aktor diasumsikan melakukan suatu tindakan rasional yang telah dikalkulasikan. Singkatnya suatu Negara harus mempertahankan kelangsungan hidupnya (survival) agar tidak mudah diserang/rawan (vulnerability) dalam sistem internasional anarki. Perilaku Negara ditunjukan kepada pencapaian kepentingan nasional dengan mempertimbangkan kapabilitas yang dimilikinya.22 Politik luar negeri cenderung berubah dari waktu ke waktu tanpa indikasi yang jelas. Meskipun demikian, untuk memahami perilaku politik luar negeri yang dinamis, William D. Coplin mengidentifikasikan dalam empat determinan politik luar negeri.23 Pertama, adalah konteks internasional, artinya, situasi politik internasional yang sedang terjadi pada waktu tertentu dapat mempengaruhi bagaimana Negara itu akan berperilaku. Dalam hal ini, Coplin menyatakan bahwa ada tiga elemen penting dalam membahas dampak konteks internasional terhadap politik luar negeri suatu Negara, yaitu geografis, ekonomis, dan politik. Geografi merupakan suatu hal yang konstan keberadaannya. Namun tidak lagi terpenting seperti yang diberikan oleh para pendukung geopolitik pada masa lalu. Sebagaimana halnya geografi, faktor ekonomi juga memainkan peran penting dalam menentukan kebijakan luar negeri. Faktor kedua yang menjadi determinan dalam politik luar negeri adalah perilaku para pengambil keputusan. Perilaku pemerintah yang dipengaruhi oleh persepsi, pengalaman, pengetahuan, dan kepentingan individu-individu dalam 21 Hans J. Morgenthau, Politik Antar Bangsa, S. maimon (pent), Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. 1990, h. 4-18. 22 Kenneth N. Waltz, Theory Of International Politics, New York: McGraw-Hill Inc, 1979, h. 125-127. 23 Lihat William D. Coplin, Pengantar Politik Internasional : Suatu Telaah Teoritis, Bandung, Penerbit Sinar Baru, 1992, h. 165. 12 pemerintahannya menjadi faktor penting dalam penentuan kebijakan luar negeri. Sementara itu, determinan ketiga adalah kondisi ekonomi dan politik. Kemampuan ekonomi dan politik suatu Negara dapat mempengaruhi Negara tersebut dalam interaksinya dengan Negara lain. Keempat, determinan terakhir yang memepengaruhi politik luar negeri adalah politik dalam negeri. Dalam hal ini, situasi politik yang terjadi dalam negeri akan memberikan pengaruh dalam perumusan dan pelaksanaan politik luar negeri. Dalam kaitannya dengan faktor yang ada Struktur dan pembuatan keputusan Korea Utara, Kim Jung II memainkan peran yang sangat penting. Sikap Kim Jung Il untuk memelihara rejim dan sekaligus membangun ekonomi nasional dengan memobilisasi militer. Untuk menjaga keamanan rejim maupun pertumbuhan ekonomi, Korea Utara secara efektif berubah menjadi “negara yang mengutamakan militer”. Salah satunya yaitu dengan mengembangkan program nuklir. Pengembangan program nuklir Korea Utara sebagai reaksi terhadap berubahnya sistem di lingkungannya. Pengembangan nuklir tersebut sebagai upayanya untuk mempertahankan Bargaining position atau posisi tawar menawar di dalam masyarakat internasional. Menurut Walter S Jones menegaskan bahwa kemungkinan pecahnya perang salah satunya dapat diakibatkan oleh adanya perlombaan senjata yang secara strategis tidak stabil dan secara politis tidak dapat terkendali.24 Pengembangan persenjataan di Kawasan Asia Timur yang terus ditingkatkan akan menimbulkan pecahnya perselisihan dan konflik dari pihak lawan yang sudah terjadi sebelumnya. Dengan kata lain, kondisi yang ada akan memperparah konflik yang sudah ada sebelumnya. 24 Walter S. Jones, Logika Hubungan Internasional: Kekuasaan Ekonomi-Politik Internasional, Tatanan Dunia, Jilid 2, Gramedia Utama, Jakarta, 1993, h. 196-199. 13 1.4.2 Diplomasi Dalam arti luas diplomasi meliputi seluruh kegiatan politik luar negeri suatu Negara dalam hubungannya dengan bangsa atau Negara lain. Diplomasi meliputi kegiatan: 1. Menentukan tujuan dengan mempergunakan semua daya dan tenaga untuk mencapai tujuan tersebut. 2. Menyesuaikan kepentingan dari bangsa lain dengan kepentingan dari bangsa lain dengan kepentingan nasional sesuai dengan daya dan tenaga yang ada padanya. 3. Menentukan apakah tujuan nasional sesuai atau berbeda dengan kepentingan bangsa dan Negara lain.25 Pada umumnya, tujuan perundingan antara dua atau lebih pemerintahan ialah untuk mengubah atau mempertahankan tujuan, kebijaksanaan atau memperoleh persetujuan mengenai beberapa masalah tertentu.26 1.4.3 Konsep Keamanan Dalam teori keamanan, Barry Buzan menyebutkan perihal transformasi keamanan untuk merubah permusuhan (enmity) menjadi persahabatan (amity). Transformasi keamanan tersebut bisa dilakukan melalui transformasi internal, dengan kata lain, permusuhan diantara Negara sekawasan bisa dihilangkan apabila terjadi integrasi.27 Dalam konteks keamanan di Semenanjung Korea. selain proses rekonsiliasi juga di kemukakan proses unifikasi diantara kedua Negara Korea. 25 Soemarsono Mestoko, Indonesia dan Hubungan Antar Bangsa, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1985, h. 25-26 26 K.J Holsti, Politik Internasional: Suatu Kerangka Analisis, M. Tahrir Azhary (pent), Erlangga, Jakarta, 1987, h.241 27 Barry Buzan, People States and Fear: An Agenda For International Security Studies in The Post Cold War Era, 2nd edition, Harvester Wheatsheaf, London, 1991, h. 53. 14 Unifikasi ini merupakan hasil refleksi terhadap opini publik. Operasionalisasi dari konsep ini adalah melakukan unifikasi diantara kedua Negara secara bertahap dengan menempatkan kemerdekaan, perdamaian dan demokrasi sebagai prinsip utama. Kini dimensi keamanan pasca Perang Dingin mulai berkembang dari konsep tradisional menuju non-tradisional yang melibatkan aktor yang beragam (non-state actor) di bawah identitas negara. Isu keamanan secara tradisional dapat ditemukan dalam pemahaman keamanan militer-politik. Dalam konteks ini konsep keamanan berbicara bagaimana untuk bertahan hidup (survive).28 Definisi keamanan hanya terbatas pada pemahaman dimensi militer dalam hubungan antar negara yang berarti tidak adanya ancaman militer terhadap kedaulatan sebuah negara. Konsep keamanan tradisional menganggap negara lain sebagai pesaing di mana hubungan antar negara selalu bersifat zero-sum yaitu setiap upaya untuk meningkatkan keamanan mempunyai implikasi negatif terhadap keamanan yang mengganggu keseimbangan kekuatan atau yang disebut sebagai dilema keamanan (security dilemma).29 Namun pada pasca Perang Dingin pemahaman keamanan ini semakin meluas sehingga membuat spektrum permasalahan keamanan internasional dan faktor-faktor yang relevannya pun semakin melebar. 1.4.4 Reunifikasi Reunifikasi merupakan suatu penyatuan atau menggabungkan kembali. Istilah reunifikasi berdasar dari kata unifikasi yang berarti hal menyatukan, 28 Barry Buzan, Ole Waefer, dan Jaap de Wilde, A New Frame Work For Analysis, London: Lynne Rienner Publisher.1998, h. 21 29 Yayan Moch. Yani, Pengantar Ilmu Hubungan Internasional, Bandung: Rosda Karya, 2006. h.126 15 menyatukan, hal yang menjadikan seragam.30 Reunifikasi dari kata re + unify yaitu, “ to restore the unity or intergrity of (As a divided country) “. Dari kata dasar tersebut, kemudian Almond an Schuster memberi pengertian atau definisi mengenai reunifikasi yaitu “The act or process of reunifying ( advocating of the divided country)” yang dapat diartikan sebagai tindakan atau proses penyatuan kembali atas suatu Negara yang pernah dipisahkan.31 Sedangkan Thomas A. Baylis, dalam studinya mengenai reunifikasi menyatakan pendapatnya bahwa “in fact, the world reunification it self was often replaced by the term einheit or until. Einheit did not necessarily mean unification in a legal or political sense but rather in a larger moral sense”, dalam kenyataannya, kata reunifikasi sendiri sering digantikan dengan einheit atau persatuan. Einheit atau persatuan tidak perlu berarti penyatuan dalam pengertian hukum atau politik tetapi cukup pada pengertian moral yang lebih besar.32 Munculnya keinginan unifikasi kedua Negara Korea untuk berunifikasi sebenarnya sudah sejak lama ada. Namun harapan itu terhalang oleh pemerintahan militer AS dan USSR dengan dalih pembagian Semenanjung Korea telah ditetapkan dalam perundingan sekutu, yakni Negara-negara pemenang Perang Dunia Kedua. Pada saat kekuatan besar tesebut meninggalkan Korea, usaha-usaha kongkret untuk mewujudkan Negara Korea yang bersatu kembali digiatkan oleh kedua Negara Korea. Terbukti reunifikasi secara damai melalui jalur diplomasi 30 Tim Penyusun Kamus Bahasa, Kamus Besar Indonesia, Edisi ke-3 Cetakan Pertama, Balai Pustaka, Jakarta, 2001, h. 954. 31 Almond and Schuster, Websters’s, New Twentieth Century Dictionary Of the English Language : unabridged, edisi ke-2, New York, 1983, h. 15. 32 Baca tulisan Thomas A. Baylis, The Germanys or One? The Return The “German Question”, dalam Ursula Hoffman-Lange (ed), Social and Political Structure in The West Germany, “From Authori Tarianism to Post Industrial Democracy”, West View Special Studies in West European Politics and Society, Munich, 1998, h.190. 16 dilakukan secara terang-terangan oleh Korea Selatan sejak terbentuknya Republik Korea tahun 1948 dan masih terus diupayakan sampai saat ini baik dilakukan dengan cara perundingan, kerjasama, maupun dialog. Hal yang sama juga dilakukan oleh Korea Utara dalam mewujudkan Negara Korea yang satu, walaupun dalam kenyataannya kebijakan luar negeri Korea Utara baik dengan Korea Selatan maupun dengan Negara-negara lainnya cenderung mengancam. Namun saat ini, Korea Utara mulai mempertimbangkan dan menjalankan upaya penyatuan melalui jalur diplomatik atau negosiasi. Terwujudnya reunifikasi Korea merupakan harapan rakyat di Semenanjung Korea karena pada awalnya mereka adalah bangsa yang satu namun terpisakan oleh persaingan antara Negara super power pada masa Perang Dingin. Namun ironisnya, hambatan-hambatan yang ada dalam peroses penyatuan kembali Korea justru dari dalam negeri dan berkaitan dengan upaya kedua Negara tersebut dalam menjaga dan mempertahankan kepentingan nasionalnya tersebut, seperti kesenjangan ekonomi yang cukup besar, perbedaan ideology dan adanya isu pengembangan nuklir yang semakin memperburuk keadaan maupun belum adanya formulasi yang tepat bagi Korea yang satu. METODE PENELITIAN Penelitian ini bersifat kualitatif yaitu jenis penulisan melalui pengumpulan data-data dan pemahaman data berupa data tertulis sepertu buku, jurnal, bulletin dan sumber tertulis lainnya. Sumber data yang digunakan penelitian ini adalah dengan menggunakan data-data skunder yakni ada dikumpulkan dan dipilih serta diolah sesuai dengan kebutuhan penelitian ini. adapun studi perpustakaan yaitu data diperoleh melalui perpustakaan. Data-data tersebut akan digunakan untuk 17 pembelajaran bagaimana dinamika hubungan kedua Negara Korea tahun 20032008 dalam menuju reunifikasi di Semenanjung Korea dan data-data tersebut nantinya juga akan membuat sebuah satu pemikiran dalam memprediksi keadaan yang terjadi di Semenanjung Korea dalam menuju prospek perdamaian. Dan Permasalahan ini menjadi pusat penelitian yang cukup menarik bagi penulis yang nantinya akan ditulis dalam sebuah skripsi. TUJUAN PENELITIAN Tujuan penelitian ini adalah untuk: 1. Memperoleh informasi tentang bagaimana dinamika hubungan Antara Korea Selatan dan Korea Utara dalam proses dialog reunifikasi di Semenanjung Korea tahun 2003-2008 2. Mengkaji secara mendalam tentang hubungan tersebut. 3. Mengidentifikasi faktor-faktor apa yang membuat proses reunifikasi antara kedua Negara masih mengalami kesulitan. 4. Bagaimana kebijakan Korea Selatan dalam menghadapi Korea Utara untuk mewujudkan reunifikasi antara kedua Negara Korea di Semenanjung Korea. 1.7 SISTEMATIKA PENULISAN Adapun sistematika penulisan proposal ini adalah: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Pertanyaan Penelitian 1.3 Tinjauan Pustaka 1.4 Kerangka Teori 1.5 Metode Penelitian 1.6 Tujuan Penelitian 18 1.7 Sistematika Penulisan BAB II PASANG SURUT HUBUNGAN ANTARA KOREA SELATAN DAN KOREA UTARA 2.1 Hubungan Antara Korea Selatan dan Korea Utara Era Perang Dingin 2.2 Hubungan Antara Korea Selatan dan Korea Utara Pasca Perang Dingin 2.3 Kebijakan Sunshine Policy Kim Dae Jung 2.4 Kebijakan Policy for Peace and Prosperity Presiden Roh Moo Hyun BAB III GAGASAN REUNIFIKASI DI SEMENANJUNG KOREA 3.1 Latar Belakang Reunifikasi di Semenanjung Korea 3.2 Kebijakan Reunifikasi di Semenanjung Korea 3.3 Perkembangan Reunifikasi di Semenanjung Korea BAB IV FAKTOR YANG MEMPENGARUHI HUBUNGAN ANTARKOREA DALAM PROSES REUNIFIKASI DI SEMENANJUNG KOREA 4.1 Faktor Internal 4.1.1 Faktor Domestik Korea Selatan 4.1.2 Faktor Domestik Korea Utara 4.2 Faktor Eksternal 4.2.1 Hegemoni Amerika Serikat di Semenanjung Korea 4.2.2 Kepentingan Cina, Jepang, dan Rusia di Semenenjung Korea 4.3 Hubungan Korea Selatan dan Korea Utara dalam Menuju Proses Reunifikasi Di Semenanjung Korea periode 2003-2008 4.4 Hambatan-Hambatan Reunifikasi di Semenanjung Korea BAB V KESIMPULAN 19 BAB II PASANG SURUT HUBUNGAN ANTARA KOREA SELATAN DAN KOREA UTARA 2.1 Hubungan Antara Korea Selatan dan Korea Utara Era Perang Dingin Pembagian Semenanjung Korea merupakan salah satu bukti jelas yang diakibatkan persaingan ideologi. Setelah sekutu memenangkan Perang Dingin II. Semenanjung Korea dibagi dua oleh Uni Soviet dan Amerika Serikat pada garis lintang 38o. Secara geografis, Semenanjung Korea dikelilingi oleh Negara-negara besar dan kuat, seperti Cina, Jepang, dan Rusia. Sejarah mencatat bahwa sejak jaman kerajaan kuno hingga Negara modern, Negara Korea pernah mengalami lima kali masa penjajahan atau penguasaan, seperti Cina, Bangsa Mongol, Jepang dan Amerika Serikat serta Uni Soviet pasca Perang Dingin Kedua.33 Semenanjung Korea memiliki lokasi yang strategis, sehingga Negara-negara besar yang menjadi Negara tetangga, menjadikan Semenanjung Korea sebagai sasaran dari perluasan pengaruh serta kepentingan Negara-negara besar tersebut.34 Korea adalah sebuah semenanjung di Asia Timur, yang memanjang sekitar 1.100 kilometer kearah selatan daratan Asia kontinental hingga Samudra Pasifik dan dikelilingi Laut Jepang di timur, Laut China Timur di Selatan, dan Laut Kuning di barat. Semenanjung Korea mempunyai wilayah seluas 220.000 km², sebanyak 70 persen wilayah Semenanjung Korea adalah pegunungan dan tanah yang bisa diusahakan untuk lahan pertanian lebih kecil. Jajaran pegunungan berbaris di wilayah sebelah utara dan timur, dengan puncak tertinggi adalah 33 Yang Seung-Yoon dan Mohtar Mas’eod, “Politik Luar Negeri Korea Selatan : Penyesuaian Diri Terhadap Masyarakat Internasional”, Gadjah Mada University Press, 2002, h. 15 34 Ibid. 20 Gunung Baekdu (2.744 m) di wilayah perbatasan dengan Republik Rakyat Cina. Panjang garis pantai semenanjung Korea adalah 8.460 kilometer.35 Gambar 2.1 Peta Korea Sumber: Peta Korea http://indonesiaseoul.org/pictures/korea.jpg&w=396&h=425&ei=eWxdT5qnBIfTrQf884WjDA&z oom=1, pada 12 Maret 2012 Bila melihat latar belakang sejarah Korea, kedua negara merupakan satu Negara Korea. Namun pada tahun 1910-1945 merupakan masa penjajahan Jepang di Semenanjung Korea. Dahulu hubungan kerajaan-kerajaan Korea dengan Jepang dari segi politik luar negerinya hampir sama dengan hubungan Cina dan Korea yaitu antar raja dan raja bawahannya. Semenanjung Korea dalam hubungan tersebut memiliki fungsi sebagai jembatan antara Cina Daratan dengan Kepulauan Jepang sampai abad ke-16. 36 Seiring berjalan waktunya, beberapa negara Asia dan Eropa yang memiliki ambisi bersaing satu dengan yang lainnya untuk meraih pengaruh atas Semenanjung Korea. Jepang merupakan negara yang berhasil menduduki Korea setelah menang melawan Cina dan Rusia. Secara paksa 35 Diakses dari, http://indonesiaseoul.org/pictures/korea.jpg&w=396&h=425&ei=eWxdT5qnBIfTrQf884WjDA&z oom=1, pada 12 Maret 2012 36 Yang Seung-Yoon dan Mohtar Mas’eod, “Politik Luar Negeri Korea Selatan : Penyesuaian Diri Terhadap Masyarakat Masyarakat Internasional”, Gadjah Mada University Press, 2002, h. 10 21 menganeksasi Korea dan mendirikan pemerintahan kolonial pada tahun 1910.37 Selama penjajahannya, Jepang menggunakan kekuasaannya dengan menbentuk sebuah pemerintahan yang kejam di Korea. Sampai akhirnya, pada tahun 1941 terjadi perang antara Jepang dengan Amerika dan perang tersebut dimenangkan oleh Amerika Serikat pada tahun 1945. 38 Menyusul kepergian Jepang di tahun 1945 dari Semenanjung Korea, menjadikan rakyat Korea terpecah karena adanya perubatan kepemimpinan dan ideologi antar mereka sendiri. Hal itulah yang dimanfaatkan oleh kedua Negara adikuasa yaitu Amerika Serikat dan Uni Soviet. Keberadaan ke dua Negara tersebut di Semenanjung Korea, tidak lain adalah untuk memantapkan posisi mereka di Semenanjung Korea selama Perang Dingin berlangsung. Pada akhir Perang Dunia II, Tentara Uni Soviet melancarkan serbuan terhadap Korea dari arah Utara untuk memusnahkan sisa-sisa kekuatan tentara Jepang yang masih ada di Korea pada 12 Agustus 1945, dan pada bulan September 1945, Amerika Serikat juga mendaratkan pasukannya di Korea Selatan. Hal inilah yang menyebabkan di Korea terdapat dua kedudukan, yaitu Korea Utara di duduki oleh Uni Soviet dan Korea Selatan diduduki oleh Amerika Serikat. Dengan batas di antara keduanya adalah 38 o. 39 Setelah pembagian Semenanjung Korea, pada tahun 1947 PBB mengeluarkan satu resolusi untuk mengadakan pemilu, dengan tujuan untuk membentuk perlemen gabungan dari pemerintahan sementara. Akan tetapi, Rusia menolak keberadaan komisi PBB untuk mengawasi Pemilu di Korea, sehingga 37 Fakta Tentang Korea, Pelayana Informasi Korea, Badan Informasi Nasional, 2003, Seoul, Republik Korea, h. 31 38 Ibid. h. 33 39 I Wayan Badrika, Sejarah Nasional dan Umum , Erlangga, Jakarta, 2005, h. 227 22 pada bulan Mei 1948, Pemilu yang diadakan dibawah pengawasan PBB hanya diadakan di Korea Selatan. Baru 3 bulan kemudian, diadakan Pemilu di Korea Utara yang dipimpin Uni soviet.40 Pasca Pemilu tahun 1948, dibawah pengawasan dan dukungan positif Pasukan Uni Soviet, Kim II Sung mendirikan pemerintahan komunis dengan nama Republik Rakyat Korea (Korea Utara), sedangkan Syngman Rhee mendirikan pemerintah Pro-Amerika Serikat dengan nama Republik Korea (Korea Selatan) pada tahun yang sama. Dalam mewujudkan unifikasi Korea, pada masa pemerintahan Syngman Rhee, pendekatan kebijakan unifikasi menggunakan pendekatan yang agressif, yang dikenal sebagai “March North for Unification”.41 Namun kenyataannya pendekatan menuju unifikasi Korea Selatan tidak didukung oleh kemampuan perangnya. Hal ini terbukti dengan tidak mampunya Korea Selatan mempertahankan wilayahnya dari invasi Korea Utara yang didukung oleh Uni Soviet pada tahun 1950. Sejak pembagian Korea setelah lebih dari satu milenium sebagai Korea yang bersatu, dipandang tidak dapat diterima dan bersifat sementara oleh masing-masing rezim. Sejak 1948 hingga awal perang saudara pada 25 Juni 1950, angkatan bersenjata dari masing-masing pihak terlibat dalam serangkaian konflik berdarah di sepanjang perbatasan. Pada awal, pembagian semenanjung Korea, diyakini hanya akan berlangsung untuk sementara. Tetapi, masalah reunifikasi semakin menjadi isu yang serius yang harus dipikirkan oleh pihak lain yang memiliki ideologi berbeda, hingga pembagian itu 40 Sukmawarsini Djelantik, Perang Dingin di Asia Timur Laut; Kasus Rivalitas BaratTimur dalam Perang Korea (1950-1953), Jurnal FISIP Potensia, Tahun VII, No. 16, 2006, h. 92. 41 Yang Seun-Yoon dan Nur Aini Setiawati, Sejarah Korea , Gajah Mada University Press, 2003, h. 189. 23 semakin berubah, yaitu bersifat bermusuhan. Pecahnya Perang Korea bisa dikatakan sebagai hasil dari memuncaknya konflik pendapat untuk mencapai reunifikasi yang saling berbeda antar Korea. Pasukan Rakyat Korea (nama pasukan Korea Utara) tumbuh cepat atas dukungan penuh dari Uni Soviet, mulai melakukan infiltrasi pada pagi 25 Juni 1950, melintasi garis perbatasan 38 derajat.42 Pasukan Rakyat Korea dapat mengalahkan pasukan Korea Selatan pada tahap awal perang. Dengan dibantu pasukan PBB yang dipimpin oleh Amerika di bawah komando Jenderal Douglas Mac Arthur, Korea Selatan memberikan perlawanan terhadap serbuan tentara Korea Utara ke Korea Selatan. Perang Saudara itu berakhir pada tahun 1953, sebelum Cina menjebatani kedua Korea untuk melakukan gencatan senjata. Perjanjian gencatan tersebut ditandatangani pada tanggal 27 Juni 1953.43 Sebuah gencatan senjata ditandatangani guna mengakhiri permusuhan, dan kedua belah pihak sepakat untuk membuat zona penyangga selebar tiga mil di antara kedua negara, di mana tidak seorang pun boleh memasukinya. Daerah ini kemudian dikenal sebagai Zona Demiliterisasi.44 Akibat perang tersebut sekitar tiga juta orang Korea tewas atau terluka dan jutaan lainnya kehilangan rumah dan terpisah dari sanak keluarga mereka. Perang tersebut juga merusak infrastruktur dan perekonomian Negara, serta meninggalkan keretakan yang lebar antara sesama orang Korea. Sepanjang tahun 50-an dan 60-an kedua Korea di Semenanjung Korea telah menjadi 42 sangat bermusuhan. Masing-masing Young Jeh Kim, North Korea’s Nuclear Program and Its Impact On Neighboring Countries, dalam Korea and World Affairs, Vol. 17, No. 3, Fall 1993, h. 482. 43 Diakses “ Sinar Matahari di Selatan dan Utara”, dari, http://kompas.com/kompas cetak/0209/30/or/sina31.html, pada 26 Septemeber 2009 44 Fakta Tentang Korea, Pelayana Informasi Korea, Badan Informasi Nasional, 2003, Seoul, Republik Korea, h. 46. 24 pemerintahan sama sekali tidak diakui oleh lawanya, sedangkan semua rakyat di masing-masing pihak dipaksa mempelajari keunggulan ideologi mereka masingmasing.45 Dibawah pimpinan Kim Il-Sung, Korea Utara giat mengembangkan ekonomi nasionalnya secara sosialis internasionalnya sambil memperkuat kekuatan militernya. Permusuhan diantara Korea Utara dan Korea Selatan mempengaruhi persepsi masing-masing negara yang melihat tetangganya sebagai musuh dan ancaman. Bagi Korea Utara, Korea Selatan merupakan ancaman dengan kehadiran kekuatan militer Amerika Serikat untuk melindungi Korea Selatan. Bagi Korea Selatan, pengalaman invasi yang dilakukan pada waktu Perang Korea, menunjukan bahwa agresifitas Korea Utara untuk menyatukan Korea merupakan ancaman yang sewaktu-waktu bisa bangkit kembali. Dengan situasi hubungan yang demikian mengakibatkan tidak adanya norma yang disepakati antara kedua negara Korea untuk mengatur hubungan keduanya. Selama dua dasawarsa, kekuatan ekonomi Korea Utara lebih unggul dibandingkan Korea Selatan. Hal ini disebabkan banyaknya sumber alam pertambangan di Korea Utara. Di pihak lain, setelah mendirikan pemerintahannya, Korea Selatan masih terlibat dalam pertentangan ideologinya sehingga ekonomi rakyat belum sempat untuk dikembangkan. Namun setelah terpilihnya Park Chung Hee, Korea Selatan mencapai kesuksesan dalam pembangunan ekonomi. Korea Utara tidak mau mengakui berkembangannya ekonomi Korea Selatan.46 Ketika Korea Utara menginginkan unifikasi komunis berdasarkan pada logikanya yang disebut “Satu Joseon” Korea Selatan menganggap pemerintahannya sebagai satu-satunya entitas 45 Mohtar Masóed, dan Yang Seung-Yoon, Memahami Politik Korea, Gadjah Mada University Press, 2005, h. 238. 46 Ibid, h. 239 25 yang sah di Semenanjung Korea dengan unifikasi sebagai perpanjangan kedaulatannya. Pandangan yang kaku dan tidak kompromi menjadikan akomondasi antara kedua belah pihak sulit untuk dilakukan sampai tahun 1960an.47 Memasuki tahun 1970-an, dunia internasional menjadi lebih damai. Kedua Korea mulai mengakui pemerintahan masing-masing, hal ini menandai sebuah perubahan penting dalam sikap mereka terhadap reunifikasi. Pada tahun 1970, perubahan pertama datang pada peringatan Hari Pembebasan dengan adanya seruan dari Selatan untuk melakukan kompetisi perdamaian secara jujur dengan utara.48 Sampai pertengahan tahun 1980-an sejalan berakhirnya Perang Dingin, hubungan antar-Korea mencapai titik balik yang penting. Tahun 1985, sebuah peristiwa yang sangat berkesan yang merupakan hasil pembicaraan Palang Merah adalah pertemuan reuni antar keluarga dari masing-masing pihak, dan Pembicaraan Ekonomi Selatan-Utara (1984) dan Konferensi Pendahuluan Parlementer Selatan-Korea (1985). Namun pembicaraan antar Korea SelatanKorea Utara ditunda karena berbagai alasan politis.49 2.2 Hubungan Antara Korea Selatan dan Korea Utara Pasca Perang Dingin Politik internasional pasca Perang Dingin ditandai dengan pergeseran dalam hubungan antar Negara. Adanya pengkajian ulang dan penyesuaian kebijakannya harus terkait dengan kepentingan strategisnya. Demikian halnya dengan hubungan antara kedua Negara Korea dalam proses dialog reunifikasi di Semenanjung Korea. Pergantian Chun Doo Hwan kepada Roh Tae Woo, 47 Fakta-fakta Tentang Korea, Pelayanan Kebudayaan dan Informasi Korea Kementerian kebudayaan Olahraga dan Pariwisata, 2002, h. 46. 48 Ibid 49 Ibid, h. 47 26 membuat beberapa kemajuan dalam dialog antar Korea dan Semenanjung Korea pada pertengahan 1980-an. Pada bulan Agustus tahun 1980, telah ditandanganinya Law on North-South Exchanges dan Cooperation yang menjadi kerangka dasar bagi kerjasama antar Korea. Dan pada tahun 1989, juga Roh Tae Woo mengeluarkan Unification Formula for The Korean National Community yang merupakan model dari kebijakan unifikasi pada masa pemerintahannya. Tujuannya melalui tiga tahap, yaitu: Confidence Building dan Kerjasama antar Korea, Konferensi Korea dan Estabilishment of Unified Government.50 Kebijakan ke Utara (Northern Policy) pada masa Roh Tae Woo memiliki sasaran yaitu untuk meredakan situasi ketegangan diantara kedua Negara Korea. Korea Selatan mengajukan sebuah konferensi puncak dengan Kim II Sung dan sebuah deklarasi yang berisi tentang kesepakatan non agresi atau larangan pengunaan kekuatan bersenjata diantara kedua Negara. Roh Tae Woo mengusulkan untuk dibentuk sebuah konferensi yang melibatkan dua Negara Korea, plus empat Negara kunci (AS, Rusia, Cina dan Jepang) sebagai wahana konsultasi untuk mempromosikan keamanan di Semenanjung Korea.51 Pada tanggal 31 Desember 1991, ditandatanganinya “Basic Agreement on Reconciliation, Non-Agression, and Exchange and Cooperation oleh kedua Perdana Menteri setelah berbagai pembicaraan-pembicaraan tingkat tinggi kedua belah pihak. 50 Young Sun Ji,”Conflicting Visison For Korean Reunification”, Fellow, Weatherhead Center For International Affairs, Harvard University, Juni 2001, h. 7. Diakses dari http://www.wcfia.harvard.edu, pada 8 Oktober 2010. 51 Young Jeh Kim, North Korea’s Nuclear Program and Its Impact On Neighboring Countries, dalam Korea and World Affairs, Vol. 17, No. 3, Fall 1993, h. 482. 27 Basic Agreement ini berlaku efektif bersamaan dengan Joint Declaration on The Denuclearization of The Korean Peninsula pada tanggal 19 Februari 1992. Dalam pelaksanaan Basic Agreement, telah disusun suatu protocol pada tanggal 17 September 1992. Namun mengalami kendala akibat pengembangan nuklir Korea. Memasuki tahun 1993, dalam mengakhiri era otoriterisme Korea Selatan, Presiden Kim Young Sam dilantik menjadi Presiden Korea yang secara aktif mempromosikan dialog antar Korea. Kesungguhan Kim dalam untuk rekonsiliasi yaitu dengan mengembalikan seorang mata-mata Korea Utara yang ditahan Korea Selatan tanpa syarat apapun. Namun usaha Kim Young Sam kembali mengalami kegagalan dengan adanya konflik antar AS dengan Korea Utara. Krisis ini merupakan masalah yang cukup serius ketika AS berencana akan menghancurkan fasilitas nuklir Korea Utara, sehingga perang tidak dapat dihindarkan.52 Namun krisis tersebut dicairkan dengan kerjasama diplomatik antar SeoulWashington pada saat mantan Presiden AS J. Carter berkunjung ke Pyongyang untuk melakukan pertemuan dengan Kim II Sung.53 Pertemuan tersebut merupakan pertemuan puncak antara Korea Utara-AS dan perundingan untuk membicarakan permasalahan nuklir di Korea Utara. Dengan ditandatanganinya Agreed Framework sebagai bukti bahwa Korea Utara setuju untuk membekukan program nuklirnya selama delapan tahun. Akan tetapi dalam perjanjian Agreed Framework, AS menjanjikan pengiriman bahan bakar dan bantuan teknologi untuk membangun dua reaktor air raksasa untuk kepentingan energi, sebagai resiprositas atas sikap kooperatif Korea Utara yang menghentikan proyek nuklirnya. Selain itu, dari pertemuan tersebut terbentuk pula KEDO, Organisasi 52 Ibid, h. 7. Mohtar Masóed, dan Yang Seung-Yoon, “Politik Luar Negeri Korea Selatan : Penyesuaian Diri Terhadap Masyarakat Masyarakat Internasional”, h. 67. 53 28 Energi di Semenanjung Korea.54 melalui organisasi ini,Korea Selatan, AS, dan Jepang secara bersama-sama memberikan bantuan untuk mendirikan dua buah reaktor Light-water di Korea Utara. Namun dilain pihak, KTT antara Korea Selatan dengan Korea Utara mengalami kegagalan. Ini disebabkan meninggalnya Kim II Sung tujuh belas hari sebelum KTT. Setelah meninggalnya Kim II Sung, hubungan kedua Negara sempat mengalami masalah kembali. Hal ini disebabkan, pada masa berkabung di Korea Utara, Korea Selatan tidak menunjukan sikap yang kurang baik yaitu dengan tidak menyampaikan belasungkawanya. Bahkan malah menyiagakan pasukannya di perbatasan sebagai antisipasi perkembangan di Korea Utara. Kim Yong Sam, mencoba mengeksploitasi kematian Kim II Sung sebagai harapan bahwa dengan lemahnya rejim Korea Utara tersebut maka akan membuka kesempatan bagi masuknya Korea Selatan secara perlahan sehingga akhirnya mampu menguasai Korea Utara. Namun prediksi bahwa proses pengantian akan melemahkan rejim Korea Utara tidak terjadi.55 Kim Jong Il naik tahta dan menggantikan mendiang ayahnya sebagai pemimpin Korea Utara. Sementara itu, Korea Selatan merasa tidak nyaman dengan hubungan antara Korea Utara dengan AS. Dalam hal ini, Korea Selatan takut bila nantinya AS Tidak akan mendukung Korea Selatan dan bahkan akan mendukung Korea Utara dalam hubungan bilateralnya dengan AS. 2.3 Kebijakan Sunshine Policy Presiden Kim Dae Jung (1998-2003) Setelah Kim Dae Jung dilantik menjadi Presiden Korea Selatan, merupakan saat dimana untuk pertama kalinya sebuah kebijakan yang cukup bersahabat dan berdialog dengan Korea Utara dilaksanakan dengan cara 54 Ibid, h.122. Keun-Sik Kim, Inter-Korean Relation and Thr Future of the Sunshine Policy, the Journal of East Asian Affairs, Vol. XVI, No. 1 Spring/Summer 2002, (The Research Institute for International Affairs, Seoul, Korea 2002), h. 100. 55 29 paradigma baru. Pada masa jabatannya, Kim Dae Jung mengeluarkan sebuah kebijakan Sunshine Policy (engagement policy). Kebijakan sunshine policy berusaha untuk menciptakan paradigma baru hubungan antara kedua Negara Korea yang didasari oleh rasa saling menghargai yang akan memberikan pengaruh kepada masa depan rakyat Korea secara keseluruhan menciptakan kerjasama antara keduanya dengan ide utama perdamaian, rekonsiliasi, dan kerjasama. Puncak dari kebijakan ini adalah ketika diadakannya North-South Joint Declaration pada tanggal 15 Juni 2000 yang mempertemukan pertama kali kedua Negara Korea dalam KTT tersebut. Di dalam pertemuan ini Korea Utara dan Korea Selatan sepakat melakukan kerjasama diberbagai bidang dan keduanya akan melakukan dialog untuk mengimplementasikan kesepakatan ini.56 Dalam pertemuan puncak di Pyongyang tersebut, kedua pemimpin tertinggi masing-masing menyetujui wewenang diplomasi, pertahanan dan penyusunan undang-undang tingkat rendah, yang semuanya akan diberikan kepada pemerintah regional. Pasca pertemuan puncak tesebut, hubungan antar kedua Negara Korea semakin tinggi frekuensinya. Tercatat telah beberapa kali dilakukan komunikasi melalui dialog tingkat Menteri, baik pertemuan Menteri Pertahanan dan pertemuan Komite kerjasama ekonomi. Perjanjian tahun 2000 memberikan landasan bagi dilakukannya konstruksi kembali hubungan perekonomian diantara kedua Negara. Upaya tersebut dilakukan dengan membangun infrastruktur yang menghubungkan kedua Negara, yaitu dengan jalur Kereta api dari Seoul-Shinuiju dan dilakukannya pembangunan taman industry 56 Hong Nack Kim, The Kim Dae Jung Government’s North Korea Policy Problems and Prospects, Korea and World Affairs, Vol XXIII, No. 3, Fall 1999 (Korea; Research Center for Peace and Unification of Korea, 1999), h. 9. 30 Gaesong.57 Hubungan perdagangan diantara kedua Negara Korea pun mengalami peningkatan drastis. Pada tahun 2001 tercatat nilai perdagangan diantara kedua Negara mencapai angka US$ 425 juta. Namun hubungan kedua Negara korea mngalami tantangan dengan adanya isu terorisme internasional dan rejim Korea Utara dilabelkan oleh pemerintah Amerika Serikat dibawah pimpinan George W. Bush sebagai Negara anggota “poros setan” (Axis of Evil States) dan Korea Utara dimasukkan sebagai salah satu Negara yang dimungkinkan sebagai sasaran penyerangan oleh Amerika Serikat didalam dokumen Nuclear Posture Review.58 2.4 Kebijakan Policy for Peace and Prosperity Presiden Roh Moo Hyun Terpilihnya Roh Moo Hyun menjadi Presiden Korea Selatan pada tahun 2003 menjadi kondisi yang kurang menguntungkan bagi Roh Moo Hyun yang baru dilantik. Dalam hal ini, pada tahun 2003 telah terjadi krisis nuklir untuk yang kedua kalinya setelah krisis nuklir tahun 1994. Krisis meningkat pada awal 2002 ketika Korea Utara secara resmi tidak menyangkal pernyataan Asisten Militer Laur Negeri AS James A. Kelly yang menyatakan bahwa Pyongyang memiliki program pengayaan uranium dan telah melanggar perjanjian mereka. Krisis tersebut menjadi tantangan bagi pemerintahan Roh Moo Hyun, upaya dialog Korea Selatan dan Korea Utara pada masa Roh Moo Hyun dijalankan melalui pendekatan Policy for Peace an Prosperity.59 Melalui kebijakan ini Roh Moo Hyun menempatkan prioritas kebijakannya dengan menjaga stabilitas di 57 Keun-Sik Kim, Inter-Korean Relation and Thr Future of the Sunshine Policy, the Journal of East Asian Affairs, Vol. XVI, No. 1 Spring/Summer 2002, (The Research Institute for International Affairs, Seoul, Korea 2002), h. 105. 58 James T. Laney and Jason T. Shaplen, How to Deal with North Korea, Foreign Affairs, Vol. 82, No. 2 (Mar-Apr, 2003), h. 28 59 Hyoeng Jung Park, First Year of the Roh Moo Hyun Administration, Korea and World Affairs, Vol. XXXIV, No. 4, Winner 2003, (Korea : Research Center for Peace and Unification of Korea 2003), h. 9. 31 Semenanjung Korea. Fokus dari kebijakan ini adalah mencari jalan keluar krisis nuklir yang terjadi di Semenanjung Korea dan merupakan upaya reunifikasi antara kedua Negara Korea. kebijakan Peace and Prosperity ditunjukan untuk memperluas ruang lingkup dan isi dari reconciliation and cooperation policy terhadap Korea Utara yang telah dipromosikan pada masa Kim Dae Jung sebelumnya. Pemerintahan Roh Moo Hyun memperluas horizon dan mengarahkan pandangan kepada rekonsiliasi dan kerjasama antar Korea dan juga perdamaian di Semenanjung Korea. Pemerintahan Roh mencoba membangun kerangka perdamaian di Semenanjung Korea dengan institusionalisasi perdamaian melalui peningkatan hubungan antar rakyat Korea. Rencana pemerintah menyatakan bahwa semua masalah termasuk di dalamnya program nuklir Korea Utara harus dipecahkan lewat cara-cara damai dengan dialog. Rekonsiliasi dan kerjasama antar-Korea dan mendesak Korea Utara untuk berpartisipasi ke dalam komunitas internasional harus secara konsisten dipromosikan. Pemerintah Roh Moo Hyun memperluas dan memperdalam pertukaran dan kerjasama antar Korea. Korea Selatan meletakan landasan komunitas yang makmur melalui perluasan dan pembangunan proyek kerjasama ekonomi antar Korea dan menitikberatkan pada perbaikan homogenitas nasional dengan memperluas pertukaran misi sosial dan budaya. Di masa pemerintahan Roh Moo Hyun, politik luar negeri mengalami perubahan yang cukup signifikan dari pemerintahan sebelumnya. Keinginan untuk menjadi Negara yang memiliki posisi sejajar dengan Amerika Serikat mewarnai kebijakan pada masa Roh Moo Hyun. Terbukti dalam membina hubungan 32 diplomatik dengan Amerika Serikat membuat Korea Selatan bersikap lebih tegas dan jelas bila dibandingkan dengan pemerintahan sebelumnya yang masih terlihat tergantung dengan kehadiran Amerika Serikat. Faktor inilah yang kemudian memicu Korea Selatan untuk memulai berjalan secara madiri dan sedikit demi sedikit melepaskan diri dari intervensi asing. Termasuk juga untuk menyelesaikan konflik dengan Korea Utara. Dalam upaya untuk menuju pernyelesaian secara damai atas krisis yang terjadi ditempuh Roh Moo Hyun dengan diplomasi secara maraton kesejumlah Negara berpengaruh di Semenanjung Korea seperti Amerika Serikat, Jepang dan Cina.60 Upaya yang ditawarkan oleh Roh Moo Hyun dalam setiap kesempatan dalam upaya penyelesaian konflik antara Amerika Serikat dan Korea Utara, Roh Moo Hyun menawarkan agar lima pihak juga ikut bergabung dalam menyelesaikan konflik tersebut. Lima pihak tersebut antara lain adalah Amerika Serikat, Korea Utara, Korea Selatan, Jepang, dan RRC.61 Pada KTT Tokyo tanggal 7 Juni 2003, Roh Moo Hyun mengusulkan Kepada Mitra PM. Koizumi agar Jepang dan Korea Selatan bisa menekan Korea Utara melalui dialog dan tekanan politik. Dalam mengatasi ketegangan akibat nuklir Korea, diperlukan dialog dalam upaya membangun hubungan dilakukan dengan itikad yang cukup baik untuk membina hubungan kedua Negara Korea. Terbukti Korea Selatan menyumbangkan 200.000 ribu ton pupuk ke Korea Utara untuk memulai dialog antar kedua Negara Korea. Pada KTT yang berlangsung pada tanggal 2-4 Oktober 60 Suara Pembaruan, “Diplomasi Roh dan Stabilitas Semenanjung Korea”, 30 Juli 2003, 61 Koran Tempo,”Korea Selatan Mendesak Segerakan Perundingan”, 16 April 2003, h. h. 10. 11. 33 2007 di Pyongyang telah mengasilkan “Deklarasi untuk Pembangunan Hubungan Antar-Korea serta Perdamaian dan Kesejahteraan” yang terdiri dari delapan butir. Setelah pertemuan tersebut baik Korea selatan maupun Korea Utara telah menghentikan siaran-siaran propaganda yang saling menyerang, menurunkan alatalat propaganda di Zona Demilitarisasi, serta telah membuka hotline militer. 62 62 Kompas, “Korea Selatan Menerima Tawar Menawar Korut”. 22 April 2003, h. 4. 34 BAB III GAGASAN REUNIFIKASI DI SEMENANJUNG KOREA Dalam perjalanan sejarahnya, kawasan Semenanjung Korea selalu menjadi sebuah “arena”dimana banyak kepentingan dari Negara-negara besar yang bermain didalamnya. Terutama pada masa Perang Dingin, politik di tingkat kawasan selalu identik dengan kompetisi yang dilakukan oleh Negara-negara adikuasa seperti Amerika Serikat dan Uni Soviet.63 Setelah terbaginya kedua Korea, masalah kebijakan reunifikasi Semenanjung Korea itu adalah titik yang sangat penting bahwa Korea Utara dan Korea Selatan adalah bangsa Korea yang sama. Kedua negara memiliki leluhur yang sama, latar belakang budaya dan sejarah yang sama tradisi, bahasa yang sama dan modus kira-kira sama berpikir dan karakter. Dalam proses penyatuan Korea, telah banyak mengalami pasang surut yang cukup rumit selama beberapa dekade. Ketika Korea Utara menginginkan unifikasi komunis didasarkan pada logikanya yang disebut “Satu Joseong”, namun bagi Korea Selatan pemerintahannya dianggap sebagai satu-satunya entitas yang sah di Semenanjung Korea dengan unifikasi sebagai perpanjangan kedaulatannya. Pandangan yang kaku dan tidak berkompromi menjadikan akomondasi antara kedua belah pihak mustahil untuk dilakukan sampai tahun 1960-an.64 Pasca Perang Dingin, hubungan situasi internasional telah mengalami perubahan yang cukup signifikan terlihat pada Penyatuan Jerman pada tahun 1989 adalah salah 63 Paul A. Papayoanou, Great Powers Regional Orders : Possibilities and Prospects After Cold War, dalam David Lake and Patrick M. Morgan, Regional Order Bulding Security in a New World, (United States of American; Pennsylvania State University Press, 1997), h. 27. 64 Fakta Tentang Korea, Pelayana Informasi Korea, Badan Informasi Nasional, 2003, Seoul, Republik Korea, h. 47. 35 satu peristiwa sentral dari proses penyegelan akhir Perang Dingin. Sejak itu, Jerman telah mengalami proses yang ditandai dengan positif. Pengalaman Jerman dapat memegang beberapa pelajaran bagi negara-negara lain.65 Terutama Semenanjung Korea misalnya, yang masih terjebak dalam konflik ideologi, pembangunan ekonomi tidak merata dan membangun kekuatan militer yang cukup mengancam, termasuk kemampuan nuklir. 3.1 Latar Belakang Reunifikasi di Semenanjung Korea Sejak berakhirnya Perang Dingin, seluruh negara di dunia berfokus pada persaingan ekonomi. Lain halnya dengan kedua negara Korea di Semenajung Korea yang masih tetap melakukan konfrontasi militer yang berakibat mengarah kepada peperangan. Adanya Keberadaan isu pembangunan persenjataan nuklir memperuncing hubungan kedua Negara tersebut. Isu nuklir Korea Utara mulai mengemuka di era Perang Dingin. Tidak transparannya kegiatan reaktor-reaktor nuklir Korea Utara membuat situasi keamanan regional di Semananjung Korea menjadi tidak pasti. Keterlibatan masalah senjata nuklir lebih disebabkan oleh masih adanya kecurigaan diantara kedua Korea tentang adanya invansi dari masing-masing pihak serta keterlibatan negara-negara besar seperti AS dan Rusia yang secara historis berpengaruh besar di kawasan. Sementara itu, situasi di kawasan Asia Timur masih belum stabil, hingga dikhawatirkan potensi nuklir dapat menyulut persaingan diantara negara-negara kawasan dalam pengembangan senjata nuklir. 65 Banyak analis yang berpendapat bahwa reunifikasi Korea dapat dilakukan dengan melihat pengalaman reunifikasi Jerman, di mana Jerman Barat dengan kekuatan ekonominya sangat aktif mengkampanyekan reunifikasi Jerman melalui absorption. Strategi absorption pemimpin Jerman Barat Kanselir Hemut Kohl dilakukan dengan menunda-nunda bantuan ekonomi Jerman Barat dan membiarkan ekonomi Jerman Timur hancur. Bantuan ekonomi pun di berikan dengan syarat-syarat yang tidak dapat ditolak oleh Jerman Timur 36 Usaha-usaha untuk meredakan ketegangan atau konflik kedua Korea tetap dilakukan secara intensif. Secara positif Korea Selatan mengembangkan kebijakan diplomatiknya termasuk kebijakan masalah antar Korea.66 Maka sejak tahun 1990-an telah dimulai kembali dialog unifikasi antar Korea. Proses tersebut banyak diprakasai oleh upaya-upaya mahasiswa Korea Selatan yang terinpirasi oleh reunifikasi Jerman, sehingga timbul wacana reunifikasi demi mewujudkan Negara Korea yang satu.67 Dalam hal ini, wacana reunifikasi juga dilakukan karena semakin memburuknya situasi politik dan ekonomi Korea Utara. Ketidakstabilan keamanan di Semenanjung Korea membuat terhambatnya proses reunifikasi antar dua Negara Korea. Menurut survey pada tahun 1995, 92 persen percaya bahwa korea akan bersatu, 4 persen mengatakan Korea akan tetap terbagi dan 4 persen lainnya mengatakan ketidakpastiannya. Survey ini menunjukan bahwa 2.1 persen reunifikasi akan berhasil diprediksikan tahun depan, dan 8.3 persen reunifikasi akan berhasil paling lambat tahun 2000. Sisanya hampir memprediksi keberhasilan reunifikasi sesaat setelah tahun 2000.68 (Lihat Table 1) Table 1. Prospek Reunifikasi di Korea Tahun Proyek Reunifikasi Persen Dalam satu Sebelum 2001- 2006- 2011- Lewat tahun 2000 2005 2010 2015 2015 2.1 8.3 20.9 20.8 16.7 16.3 Sumber: Lihat pada Lee Young Sun,”Is Korean Reunification Possible?”, Korea Focus, Vol. 3, No. 3, 1995, h. 10 66 Yang Seung-Yoon dan Mohtar Mas’oed, “Politik Luar Negeri Korea Selatan : Penyesuaian Diri Terhadap Masyarakat Masyarakat Internasional”, Op Cit, h. 123 67 Fakta-fakta Tentang Korea , Pelayanan Kebudayaan dan Informasi Korea Kementerian kebudayaan Olahraga dan Pariwisata, h. 68 Lee Young Sun,”Is Korean Reunification Possible?”, Korea Focus, Vol. 3, No. 3, 1995, h. 10. 37 Hasil survey tersebut menunjukan bahwa reunifikasi Korea menunjukan akan mengalami perubahan yang signifikan pada tahun 2000. Perubahan ini akan mengubah sistem perekonomian antar dua Negara tersebut. Perubahan yang terjadi pada kekuatan sistem ekonomi Korea Selatan akan tumbuh secara signifikan, sementara bagi Korea Utara perubahan tersebut dapat mempengaruhi perubahan sistem politiknya.69 Pada tahun 1998, arah kebijakan reunifikasi mengalami reformasi yang cukup baik dari terdahulunya. Presiden Kim Dae-Jung memprakarsai dialog dengan Utara. Kebijakan tersebut disambut baik oleh Kim Jong-il yang merupakan pemimpin tertinggi di Korea Utara. Kedua pemerintahan tersebut bertemu di Pyongyang pada Juni 2000, dan menghasilkan beberapa poin kesepakatan antara Korea Selatan dan Korea Utara. 3.2 Kebijakan Reunifikasi Di Semenanjung Korea Dalam kebijakan reunifikasi masing-masing, kedua Korea telah menempatkan secara jelas tujuan dan hasil akhir yang ingin dicapai dari permasalahan reunifikasi kedua negara Korea. Dalam kebijakan reunifikasi Korea Utara dan Korea Selatan tampak jelas bahwa terdapat beberapa pokok perbedaan substansial. Namun, dalam kebijakan reunifikasi tersebut, kedua pihak memiliki persamaan pandangan hal yang sama. Antara lain: 70 Pertama, kedua Korea telah membuat reunifikasi sebagai tujuan kebijakan utama mereka. Kedua pemimpin dan rakyat Korea percaya bahwa reunifikasi adalah sebuah tugas nasional yang penting bagi politik, ekonomi, dan struktur social mereka. Kedua, walaupun ungkapan secara terperinci dapat berbeda, kedua 69 Ibid. Kim Hak Joon, A Comparison of Unification Policies of South and North Korea, National Unification Board, Seoul, 1990, h. 100-101. 70 38 Korea memiliki pandangan yang sama bahwa pertanyaan reunifikasi merupakan masalah domestic yang penting dan reunifikasi harus dicapai tanpa adanya campur tangan dari kekuatan asing. Ketiga, kedua Korea Menginginkan reunifikasi dicapai dalam suatu cara damai. Tentu saja, Korea pernah berusaha mengkomuniskan seluruh Korea dengan kekuatan angkatan bersenjata, namun disisi lain, paling tidak Korea Utara menginginkan reunifikasi secara damai dengan Korea Selatan. Masih butuh waktu lama bagi Korea Selatan dan Korea Utara untuk mencapai unifikasi secara damai. Sebab, menurut mantan Presiden Kim Dae Jung, hambatan utama yang dihadapi adalah hambatan psikologis. “ mungkin butuh 21 tahun lebih ”, kedua belah pihak sudah tidak menghendaki peperangan lagi. Namun sama seperti halnya Korea Selatan, Pemimpin Korea Utara Kim Il Sung juga sudah tidak menghendaki lagi adanya peperangan.71 Kesimpulanya, Masa depan dari reunifikasi Korea secara damai sangat tergantung pada keinginan dan kemampuan dari kedua negara Korea tersebut untuk dapat mencoba dan menemukan titik temu ataupun celah-celah konsepsi atau formulasi yang dapat dikompromikan. Namun dengan catatan baik Korea Selatan maupun Korea Utara dapat memiliki sikap nothing to loose dalam kompromi yang nantinya akan dicapai. Ini berarti dilakukan tanpa adanya paksaan dan berasal dari hati nurani dari bangsa Korea akan harapan dalam terwujudnya sebuah bangsa Korea yang satu. 3.3 Perkembangan Reunifikasi Di Semenanjung Korea Dalam menghadapi Korea Utara, pendekatan yang dilakukan Korea Selatan dilakukan dengan berbagai skenario (Lihat gambar 3.1). Skenario pertama 71 Kompas,”Kim Dae Jung: Unifikasi Korea Perlu 20 Tahun lagi”, 20 Oktober 2000, h. 15 39 adalah dengan cara paksa, dalam hal ini penyatuan Korea dilakukan dengan cara terjadinya perebutan atau mengambil ahli paksa kekuasaan baik oleh Korea Selatan atau Korea Utara dengan cara perang. Namun, scenario ini tidak akan dapat menyatukan kedua negara. Skenario kedua adalah mengambil ahli Korea Utara setelah runtuhnya sistem politik di Korea Utara. Saat ini Korea Utara sedang mengalami kemunduran ekonomi yang sangat parah dan harus membuka diri dengan masyarakat internasional serta harus beradaptasi dengan prinsip-prinsip pasar ekonomi. Namun rangkaian perubahan ini, Korea Utara mampu menyesuaikan diri dan akan mampu untuk menghindar dari pengaruh luar seperti kemakmuran barat, ide-ide demokrasi, dan kebebasan pribadi. Dalam hal ini, pengaruh tersebut akan mempengaruhi dan melemahkan dasar ideologi yang berpusat pada dokrin Juche. Ideologi telah djadikan alat penilaian dan pembenaran dalam realitas yang selama ini dihadapi oleh Korea Utara. dan pada saat yang sama djadikan sebagai ideologi yang mengatur kehidupan rakyat Korea Utara. Namun pada akhirnya, Korea Utara akan runtuh dan reunifikasi di Korea akan terwujud. Runtuhnya Korea Utara mungkin juga disebabkan oleh berbagai hal seperti kudeta militer. Namun hal tersebut sepertinya tidak akan pernah terjadi di Korea Utara. Skenario ketiga adalah reunifikasi bertahap berdasarkan kesepakatan antara kedua negara Korea. pandangan ini mendapat dukungan sebanyak 38 persen dari peserta survey. Terdapat dua alasan mendukung skenario ini. Pertama adalah perbedaan luas dalam sistem kedua Korea. Kedua, mengingat keterlibatan kekuatan sekitar dalam situasi politik di semenanjung Korea. Kedua negara Korea tersebut ingin mempertahankan sesuatu yang status quo. Untuk kedua alasan 40 tersebut, reunifikasi Korea mungkin akan terlaksana apabila apabila terdapat persetujuan kedua negara egara Korea. dan reunifikasi pun pun akan terlaksana dari kedua sk skenario pertama. Perjanjian antara kedua Korea tersebut dapat diharapkan akan terjadi jika Korea Utara terus membuat kemajuan ekonomi secara bertahap dan memperlua memperluas demokratisasi politik. Namun skenario skenario ini memerlukan jangka waktu yang cukup lama, mengingat sikap Korea Utara yang masih menutup diri dengan masyarakat internasional. Skenario terakhir, didukung sebanyak 22 persen dari peserta survey, melihat reunifikasii sebagai sebuah peristiwa yang sulit dicapai. Mengingat pada kemungkinan kesulitan dalam mencapai suatu kesepakatan tentang penyatuan politik antara Selatan elatan dan Utara karena dua sistem dan niat dari kekuasaan sekitarnya untuk mempertahankan status quo mereka di semenanjung Korea Korea, akan membutuhkan waktu yang sangat lama untuk menghilangkan ketidakpercay ketidakpercayaan di kedua Korea. khususnya, Korea Utara tara ketakutan hilangnya kekuasaan politik di korea bersatu, sedangkan korea selatan khawatir tentang beban ekonomi reunifikasi akan terjadi setelah tahun 2020.72 Gambar 3.1 Contoh Kemungkinan dari Proses Unifikasi Korea proses unifikasi rata rata-rata dengan cara perjanjian 38 % Korea Selatan mengambil Korea Utara setelah Korea Utara jatuh 38 % tidak ada respon 2 % 72 Lee Young Sun, Sun ,”Is Korean Reunification Possible?”, Korea Focus Focus, Vol. 3, No. 3, 1995, h. 12. 41 Sumber: Lihat pada lee young sun,”Is Korean Reunification Possible?”, Korea Focus, Vol. 3, No. 3, 1995, h.11. Banyak orang Korea menyadari bahwa sampai saat ini tidak mudah dan kemungkinan jauh untuk membayangkan suatu Korea bersatu. Perbedaan tingkat ekonomi dan perbedaan sistem pemerintahan yang berlaku, memerlukan penyesuaian dalam jangka waktu yang lama. Sehingga rumusan unifikasi di Semenanjung Korea dilakukan beberapa tahap penyesuaian. Namun Bagi Korea Utara reunifikasi Korea adalah jawaban yang paling tepat untuk mengembalikan harkat dan martabat bangsa Korea. Dalam hal ini harus dilalui tanpa campur tangan pihak lain yang cenderung menghalang-halangi dan mempertahankan perpecahan Korea. Unifikasi juga akan mengubah hubungan di timur laut Asia. Dengan pemerintahan yang demokratis tunggal di Semenanjung Korea, banyak sumber daerah ketegangan akan lenyap. Dengan pemerintahan yang terbuka dan akuntabel, kekuasaan sipil dan antusiasme untuk kemajuan komersial, suatu kebijakan Korea bersatu kemungkinan akan moderat dan pragmatis sebagai kebijakan luar negeri Korea Selatan melampaui semenanjung Korea. Sedangkan secara eksternal, atau internasional, hal itu telah menjadi masalah politik akut, penyatuan kembali Korea adalah sesuatu yang setiap Korea di kedua mimpi Selatan dan Utara. Masalah utama dalam reunifikasi adalah kedua negara memiliki kebijakan dan pandangan yang berbeda tentang negara Korea yang satu. Korea Utara menginginkan sebuah Negara federasi dengan dua sisitem berbeda untuk Korea bersatu. Sedangkan Korea Selatan menginginkan sebuah negara dengan satu sistem yang demokrasis dan berorientasi ekonomi pasar. 42 Kedua pandangan ini secara fudamental berlawanan dan ini akan sangat menyulitkan negosiasi antar dua negara, terlebih jika paham demokrasi yang dimaksudkan Korea Selatan adalah demokrasi liberal, hal ini pasti ditolak oleh Korea Utara. Membangun kepercayaan diantara kedua negara merupakan tantangan tersendiri bagi Korea Selatan. Korea Selatan mampu memanfaatkan isu persaudaraan antar negara untuk merangkul Korea Utara. Namun kendala yang dihadapi dalam proses tesebut adalah sikap Korea Utara yang tidak rasional dan selalu memiliki pandangan curiga terhadap dunia luar. Seperti sifat Korea Utara yang melakukan standar ganda dalam hal program nuklirnya. Disatu sisi Korea Utara dapat menunjukan sikap yang positif dalam setiap perjanjian apabila perjanjian tersebut memberikan keuntungan berupa bantuan bagi Korea Utara. Proses tranformasi keamanan di Semenanjung Korea menekankan kepada perubahan interprestasi dan interaksi, terutama dari pola hubungan yang saling bermusuhan menjadi hubungan yang bersahabat.73 Sejak diperkenalkannya kebijakan Sunshine Policy oleh Kim Dae Jung, hubungan antar kedua negara mengalami kemajuan. Sunshine Policy merupakan kebijakan proaktif Korea Selatan untuk menggandeng Korea Utara dalam rangka menciptakan perdamaian, pembaharuan dan keterbukaan melalui rekonsiliasi dan kerjasama antar Korea. Dalam kaitan ini Sunshine Policy diartiakan sebagai engagement policy. Disamping itu, awalnya kebijakan ini digunakan untuk membujuk AS untuk mengadopsi kebijakan soft landing terhadap Korea Utara.74 73 Daniel A. Pinkston and Philip C. Saunders, Seeing North Korea Clearly, Survival, (The Internasional Institute for Strategic Studies) Vol. 45, No. 3, Autumn 2003, h. 80. 74 Ada dua scenario yang diajukan oleh para analis tentang penyatuan Korea, yaitu hard landing dan soft landing. Hard landing merupakan scenario kehancuran rejim komunis Korea Utara yang akan berdampak pada agresi militer Korea Utara ke Korea Selatan. sedangkan soft landing dapat berarti engagement Korea Utara melalui kerjasama dan rekonsiliasi. Moon Chang 43 Kemudian dari sudut ekonomi, keamanan dipahami sebagai jaminan terhadap akses untuk memperoleh kebutuhan akan sumber-sumber alam, keuangan dan pasar dalam rangka keberlangsungan maupun pencapaian tingkat kesejahteraan dan kekuatan (power) negara. Dengan kata lain, kerjasama/ketergantungan ekonomi mendorong para aktor untuk menyelesaikan konflik secara damai. Hubungan ekonomi Korea Selatan dan Korea Utara mengalami peningkatan, khususnya setelah “Inter Korean Summit” pada 13-15 Juni 2000. Dari pertemuan ini terbentuk “The South-North Joint Declaration”, dimana salah satu kesepakatan yang dicapai adalah kesanggupan Korea Selatan membantu Korea Utara dalam proses pemulihan ekonomi. Selama dekade 1990, GDP Korut menunjukan penyusutan hingga 25%, disusul kekurangan pangan yang berlarut-larut melanda negara tersebut mengakibatkan bantuan luar negeri menjadi “indispensable” bagi Korea Utara dari tahun ke tahun. Sejak tahun 1996, Korea Utara telah banyak menerima bantuan besar-besaran dari berbagai Negara. Khususnya setelah terjadi banjir besar yang melanda Korea Utara di tahun 1995. Di tahun 2001, AS, Korea Selatan, Jepang, dan Uni Eropa memberikan bantuan pangan ke Korea Utara senilai kurang lebih 300 juta dolar AS, termasuk tambahan bantuan dari PBB.75 (Lihat Tabel 3) In, “The Sunshine Policy and The Korean Summit: Assessment and Prospect”, dalam East Asian Review, Vol. 12, No. 4, Winner 2000. Diakses dari http://www. Ieas.or.kr/ pada tanggal 26 Juni 2009. 75 Ismah Tita Ruslin, “ Krisis Nuklir Korea Utara: Studi Amplikasi Pengembangan Nuklir Korea Utara TerhadapPerimbangan Kekuatan Militer Di Kawasan Asia Timur”, Spektrum, Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional, Vol. 1, No. 2, Oktober, 2004, h. 26. 44 Tabel 3. Bantuan Negara-negara dan Indivindu ke Korea Utara (Dollar AS) 1998 1999 2000 USA 173.13 USA 160.700 ROK 71.410 EU 45.540 ROK 38.550 Japan 35.230 China 28.000 EU 8.320 USA 29.230 ROK 27.770 Sweden 4.400 Austri 6.610 Chung 11.900 Canada 3.400 EU 5.000 Source: United Nations Office for The Coordination of Humanitarian Affair Dalam hal ini dapat disimpulkan beberapa hal yang menjadi latar belakang wacana reunifikasi di Semenanjung Korea, antara lain: 1. Latar belakang sejarah yang sama; Dalam hal ini Korea merupakan satu. Secara garis besar Mereka memiliki leluhur yang sama, latar belakang budaya dan sejarah yang sama tradisi, bahasa yang sama; 2. Adanya faktor ekonomi; yang menjadi tujuan utama dalam reunifikasi. Dalam hal ini Korea Selatan berfikir dengan memberikan bantuan ekonomi secara terus-menerus kepada Korea Utara agar rakyat dan pemerintah negara itu belahan-lahan mau mengubah sikap dan kebijakan mereka dan bersedia membuka pintu negaranya bekerjasama dengan masyarakat internasional. 3. Adanya faktor politik; Dalam hal ini situasi politik di Semenanjung Korea masih mengalami masalah terutama masalah pembentukan struktur kekuatan politik yang baru di sekitar Semenanjung Korea, masalah perbedaan pendapat umum terhadap sistem pemerintahan Korea Utara, serta cara reunifikasi dan kebingungan ideologi. 4. Adanya faktor keamanan; Dalam hal ini situasi kemanan di Semenanjung Korea masih menjadi topik dalam penyelesaian konflik antar dua negara Korea. Isu nuklir yang dikembangkan oleh Korea Utara menjadi ancaman bagi keamanan di Asia Timur terutama Korea Selatan yang masih berada dekat dengan Korea Utara. Dengan kata lain, secara teori terdapat dua pilihan kebijakan bagi Korea Selatan dalam menghadapi Korea Utara antara lain; Pertama, Korea Selatan bisa menerapkan kebijakan pembendungan terhadap Korea Utara. kebijakan tersebut biasa dilakuakan dengan menutup semua akses yang berhubungan Korea Utara dengan Negara lain. Seperti, dengan 45 membuka hubungan diplomatik antara Korea Selatan dengan Negara-negara sekutu Korea Utara seperti Cina dan Rusia. Korea Selatan menawarkan kerjasama dalam bidang ekonomi dengan Cina dan Rusia. Dengan kerjasama ini dapat diharapkan akan mampu menjadi pengalih perhatian terhadap dukungan atas program nuklir Korea Utara. Namun, resiko penerapan kebijakan tersebut dapat memperuncing persaingan militer di Semenanjung Korea dan memicu perlombaan senjata. Jadi, kebijakan tersebut dirasa kurang, karena resiko dari pelaksanaannya akan memburuk kondisi keamanan di Semenanjung Korea.76 Kedua, menjalankan kebijakan dengan cara merangkul Korea Utara sebagai mitra dialog dengan tujuan agar Korea Utara mau membuka diri dengan berdialog serta bekerjasama untuk meninggalkan program nuklirnya. Dengan terbukanya Korea Utara dan munculnya keinginan untuk melakukan dialog diharapkan secara berlahan akan mampu merubah kondisi keamanan di Semenanjung Korea. Kebijakan dialog yang diterapkan sejak berakhirnya masa Perang Dingin adalah upaya revolusioner dalam merekonstruksi hubungan bilateral Negara Korea. Namun sikap ketertutupan dari Korea Utara tidak bisa dilepaskan dari faktor kesejahteraan dan struktur yang terbangun di Semenanjung Korea pada masa Perang Dingin. 77 Pengalaman kelam Korea Utara digunakan sebagai alasan untuk memperkuat militernya. Pengalaman penjajahan Korea Utara oleh Jepang dan Perang Korea dijadikan sebuah landasan bagi pemimpin Korea Utara untuk 76 Keun-Sik Kim, Inter-Korean Relation and Thr Future of the Sunshine Policy, the Journal of East Asian Affairs, Vol. XVI, No. 1 Spring/Summer 2002, (The Research Institute for International Affairs, Seoul, Korea 2002), h. 100. 77 Young Choi, The North Military Buildup and Its Impact on North Korean Military Strategy in The 1980s, Asian Survey, Vol. 25, No. 3, (Maret 1985), (University of California Press), h. 343. 46 menjalankan program nuklir dan mengembangkan kemampuan rudalnya. Namun hal tersebut tidak menyurutkan Korea Selatan dalam mengambil kebijakan untuk merangkul Korea Utara dalam sebuah dialog yang dilakukan secara lebih hangat dan bersahabat. 47 BAB IV FAKTOR YANG MEMPENGARUHI HUBUNGAN ANTAR-KOREA DALAM PROSES REUNIFIKASI DI SEMENANJUNG KOREA Dalam setiap proses penyatuan kedua negara Korea, selalu mengalami berbagai macam hambatan salah satunya yaitu pengembangan nuklir yang dilakukan Korea Utara. Kekhawatiran akan semakin meningkatnya fenomena aksi reaksi kekuatan militer Negara-negara di kawasan, khususnya merespon tindakan pembangunan senjata nuklir Korea Utara membawa pengaruh besar bagi kawasan dan semakin meningkatnya keterlibatan Negara-negara besar seperti AS dan Rusia dalam kasus nuklir Korea Utara dikhawatirkan akan memicu meningkatnya potensi konflik militer. Adanya perbedaan-perbedaan ekonomi, ideologi, dan politik yang berkembang dalam situasi masing-masing sejak berakhirnya Perang Dingin, membuat sulitnya mewujudkan perdamaian di Semenanjung Korea. Namun di sisi lain, tingginya integritas perekonomian dan ketergantungan antara negara di kawasan menjadi perendam konflik. Terbukti sejak tahun 1998, hubungan antarkorea mengalami perubahan yang cukup signifikan. Melalui bantuan kemanusian agar dapat membimbing Korea Utara untuk membuka dirinya terhadap masyarakat internasional terutama dengan Korea Selatan. Presiden Kim terus memajukan kerjasama ekonomi serta pertukaran-pertukaran sipil dengan Korea Utara dan memberikan bantuan pupuk.78 Akan tetapi, proyek-proyek ekonomi antara kedua Negara korea yang melibatkan sebuah kompleks industri bersama dan sebuah zona wisata di Korea Utara tidak termasuk dalam daftar kesepakatan yang terkena sanksi, namun 78 Laporan Tahunan Departemen Luar Negeri, Tahun 1999, buku 1, Seoul, h. 25. 48 subsidi antara pemerintah kedua Korea mungkin akan mempertimbangkan kembali. Dalam setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh kedua negara Korea untuk mewujudkan reunifikasi di Semenanjung Korea, masih mengalami beberapa hambatan. Salah satu hambatan tersebut adalah adanya program nuklir yang dikembangkan oleh Korea Utara sejak Presiden Kim Il Sung menjabat sebagai Presiden Korea Utara. Menurut Kim Il Sung, tergantung dengan Korea Utara tidak perlu lagi negara lain untuk melindungi keamanan nasionalnya dan dengan senjata nuklir tersebut, dapat diharapkan posisi tawar Korea Utara terhadap Negara lain bisa sejajar dan diperhitungkan keberadaanya.79 Korea Utara percaya tindakan ini akan memberikan keuntungan strategis, simbolis, dan teknologi yang dibutuhkan dalam jangka panjang untuk mewujudkan Korea Utara yang kuat dan makmur. Sampai saat ini, pengembangan Nuklir oleh Korea Utara masih menjadi masalah dalam hubungan antara kedua Negara Korea. Dalam bab ini, penulis akan menjelaskan hambatanhambatan yang mempengaruhi hubungan Korea Selatan dan Korea Utara dalam menuju proses reunifikasi di Semenanjung Korea. Hal ini di lihat dari faktor internal maupun faktor eksternal itu sendiri. 4.1 Faktor Internal 4.1.1 Faktor Domestik Korea Selatan Keadaan domestik Korea Selatan menjadi kunci utama dalam melaksanakan politik luar negerinya. Pada masa pemerintahan sebelumnya telah beberapa kali mengalami kemajuan yang cukup signifikan dalam hubungan antar korea. diantaranya telah terjadi pertemuan antara dua negara pada tahun 2000 dan 79 Ching Hyun-Joon, “Internal Changes in North Korea: Reality and Prospect”, Korean Focus, Vol. 8, No. 5, September-October 2000, h. 94 49 telah terjadi kesepakatan kerjasama diberbagai bidang. Dibawah kepemimpinan Roh Moo-hyun, Korea Selatan didalam pembuatan kebijakan politik luar negerinya terhadap Korea Utara menekankan pada penyatuan tersebut. Roh memiliki banyak rintangan pada awal pemerintahannya, Kebijakan yang Roh buat merupakan lanjutan dari kebijakan Sunshine Policy yang merupakan kebijakan dari Kim Dae Jung. Masa tiga bulan pemerintahannya, Roh mengalami masalah dalam bidang ekonomi. Presiden Roh mengalami juga tuduhan mengenai skandal keuangan setelah beberapa orang bawahannya dituduh menerima sumbangan kampanye secara illegal. 80 Karir politik Roh Moo Hyun diwarnai upaya-upaya untuk mengatasi regionalisme dalam dunia politik Korea Selatan, namun Lawan-lawan politiknya mencoba untuk memecatnya melalui impeachment pada tahun 2004. Presiden Roh Moo Hyun diberhentikan oleh parlemen disebabkan adanya dugaan pelanggaran pada hukum saat pemilu serta dugaan skandal keuangan. Semasa diberhentikannya Roh Moo Hyun dari Jabatannya, Perdana Menteri Bon Kun mengisi kekosongan pemerintahan tahun 2004-2006. Pemaksaan mundur ini tidak berlangsung lama, pada bulan Mei Mahkamah Konstitusi membatalkan langkah impeachment tersebut. Hal ini terjadi karena oposisi konservatif pada waktu itu didominasi oleh parlemen Korea Selatan yang mengatakan bahwa presiden tidak melanggar aturan pemungutan suara dan dengan terbuka mendukung Partai URI.81 Dibawah kepemimpinan Presiden Roh Moo-hyun, kebijakan tersebut lebih menekankan pada penyatuan Korea yang dilakukan setelah Korea Utara 80 Hyoeng Jung Park, Firt Year of The Roh Moo-Yhun Administration, Korea and World Affairs, Vol. XXXIV, No. 4, Winter 2003, (Korean: Research Center for Peace and Unification of Korea 2003), h. 9 81 Partai URI merupakan partai yang didirikan oleh Roh Moo-hyun dan pendukungannya pada saat satu bulan setelah terpilihnya Roh menjadi presiden Korea Selatan, diakses dari http://www.news.bbc.co.uk./2/hl/asia-pasific/2535143.stm, pada19 September 2011. 50 mempunyai kapasitas untuk menanggulangi berbagai akibat atau resiko yang timbul akibat dari penyatuan tersebut.82 Kemudian dari segi ideologi, Korea Selatan memiliki prinsip politik demokrasi dan prinsip ekonomi kapitalisme. Sehingga bila dibandingkan Korea Utara, Korea Selatan sedikit lebih maju pembangunan nasionalnya. Demokrasi di Korea Selatan sangat mengandung arti dalam dua hal yaitu bagi negara dan rakyat Korea. Sepanjang sejarahnya, Negara dan rakyat Korea dididik berdasarkan ajaran mengenai sistem politik yang jauh berbeda dengan demokrasi, baik dari segi sistem pemerintahan, ideologi, konsep masyarakat sipil dan lain-lainnya. Ideologi demokrasi di Korea Selatan dapat dikatakan sebagai model musyawarah. Hal ini dasarkan pada musyawarah sipil Korea yang telah mendorong penggunaan sistem musyawarah.83 Namun hal yang terpenting bagi Korea Selatan saat ini adalah mengetahui secara tepat bagaimana demokrasi tersebut dapat menuju arah perdamaian.84 Sehingga perdamaian tersebut dapat menghasilkan sebuah reunifikasi yang telah lama didambakan bagi kedua negara Korea. Dalam hal ekonomi, Korea Selatan menjadi Negara industri yang maju dan berkembang, hal ini berkat bantuan ekonomi yang diberikan Amerika Serikat. Sehingga Korea Selatan lebih maju dalam pertumbuhan ekonomi. Peran Chaebol juga memiliki adil yang cukup besar didalam pembangunan ekonomi di Korea Selatan. 82 “Penjelasan Presiden Roh Moo Hyun tentang 4 tahap penyatuan Korea”, Diakses dari, http://www.kompas.com/kompas-cetak/0006/16/utama/temb0l.htm, pada 14 Februari 2011 83 Mohtar Mas’oed dan Yang Seung-Yoon, Masyarakat,Politik, dan Pemerintahan Korea: Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2004, h. 58. 84 Robert Jacson dan Georg Sorensen, Pengantar Studi Hubungan Internasional, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, h. 176 51 4.1.2 Faktor Domestik Korea Utara Berakhirnya Perang Dingin (Cold War) memunculkan perubahan besar bagi dunia internasional, antara lain meluasnya regionalisme, perubahan tata ekonomi global serta transformasi sistem internasional. Yang unik di sini adalah bagaimana Korea Utara sebagai negara sosialis dikelilingi oleh negara dengan ekonomi liberal yang berpendapatan tinggi, namun Korea Utara sendiri tidak terpengaruh oleh liberalisasi negara-negara tetangganya. Salah satu elemen substansial yang dimiliki Korut adalah ideologi juche. Juche adalah panduan utama Democratic People’s Republic of Korea (DPRK: Korea Utara) yang diciptakan oleh Kim Il Sung dengan dasarnya bahwa pemilik revolusi dan pembangunan adalah rakyat. Kunci utama untuk memahami sistem politik dan struktur kekuasaan Korea Utara adalah melalui ideology Juche. Ideologi ini merujuk pada konsep independensi, penentuan nasib sendiri, berdiri di atas kaki sendiri, dan semacamnya. Ideologi inilah yang mendominasi seluruh aspek kehidupan Korea Utara sejak proses perumusan kebijakan hingga kehidupan social budaya rakyatnya. Ideologi ini juga menjadi semacam alat ukur, bahkan agama, untuk menentukan yang baik dan buruk.85 Istilah Juche pertama kali diperkenalkan oleh Kim Il Sung sebagai kritik terhadap sosialisme gaya Cina atau Uni Soviet. ideology ini dalam prakteknya digunakan oleh kim untuk menyingkirkan lawanlawan politiknya. Barulah pada tahun 1980-an ideologi ini diberikan pembenaran filosofi oleh Kim Jong Il sehingga menemukan bentuknya seperti sekarang.86 Sistem 85 Lee Sangu, “Political Thought, Changes in Society and Pyongyang’s Southward Strategy”, Today and Tomorrow of North Korea, , 1982 (Seoul: Bommunsa), h. 194. 86 Secara filosofi Juche dikatakan berasal dari pemahaman bahwa manusia adalah mahluk yang sangat lengkap yang mampu melakuakn segalanya. Manusia adalah mahluk social yang 52 kepemimpinan tunggal secara resmi dimulai tahun 1972 saat konstitusi baru Korea Utara diresmikan. Konstitusi yang diberi nama “konstitusi sosialis” ini dirancang untuk menaikan posisi Kim Il Sung dari seorang perdana menteri dan sekretaris jenderal partai menjadi presiden Korea Utara. Konstitusi baru ini memungkinkan Kim untuk menggengam seluruh kekuasaan negara di tangannya, mulai dari ketua komite pertahanan hingga panglima tertinggi militer. Kepemimpinan monolitik pun terbentuk.87 Empat garis besar militer Korea Utara yang dikeluarkan Kim Il Sung antara lain: Mempersenjatai semua warga. Memperkuat seluruh negeri . Melatih semua anggota angkatan darat menjadi “cadre army” (kader tentara). Melakukan moderenisasi semua angkatan darat, dokrin dan taktik dibawah prinsip kepercayaan diri terhadap pertahanan nasional. Tahun 1994 Kim Il Sung meninggal dunia, kepemimpianannya diteruskan oleh putranya, Kim Jong Il. Namun berbeda dengan sang ayah, Kim junior lebih tidak memiliki karisma sebesar Kim Il Sung sehingga diperlukan usaha ekstra untuk mengangkat citranya di mata rakyat. Disamping itu, Kim juga harus menghadapi ancaman integritas negerinya. Seperti ancaman terhadap keberlangsungan ideologi Juche yang terutama berasal dari perubahan struktural dalam sistem internasional. Berakhirnya perang dingin membuat isu keamanan memiliki independesi, kreatifitas, dan kesadaran. Oleh para idolog Korea Utara, Juche disebutsebut sebagai ajaran yang pertama kali dalam sejarah memberikan penjelasan yang sempurna tentang manusia sebagai mahluk social, sebuah penjelasan yang menurut mereka gagal diberikan Marxisme. 87 Lee Sangmin, “North Korea’s Political Structure and Hereditary Succession”, North Korea Research Autumn, 1991 (Seoul: Continental Reseach Institute), h. 10-11. 53 memudar dan isu ekonomi juga mengambil ahli perhatian Masyarakat internasional. Cina dua puluh tahun terakhir berideologi pragmatis semakin gencar melakukan reformasi yang bersifat kapitalistik sehingga lebih mengakomodasi keberadaan Amerika Serikat di Semenanjung Korea. Sementara itu, Korea Selatan lewat Nordpolitiknya (merangkul kekuatan komunis) menormalisasikan hubungan diplomatiknya dengan Rusia dan Cina. Pola hubungan kooperatif ini mengusik Korea Utara yang sampai saat ini masih memegang teguh ideologi Juche yang tertutup dan isolasionis. Ancaman ini juga diperkeruh oleh situasi ekonomi Korea Utara yang sangat parah, karena ketertutupanya. Negeri ini mengalami kekurangan diberbagai bidang, mulai dari bahan makanan, energi, bahan baku industri, mata uang asing, hingga kebutuhan-kebutuhan pokok sehari-hari. Meskipun tidak tersedia data statistik resmi, musibah kelaparan ini diperkirakan menelan korban jiwa jutaan orang.88 kenyataan ini tentu menghawatirkan Kim Jong Il karena bisa menganggu kepercayaan rakyat terhadapnya dan menimbulkan ketidakpercayaan pada ideology Juche yang mereka anut. Oleh karena itu, Kim menggunakan militer sebagai instrument penting dalam menjaga integritas dan kemonolitan Korea Utara sejak negeri ini berdiri. Bahkan hampir 25 % dari Gross National Product (GDP) Korea Utara dihabiskan untuk personel dan persenjataan. Padahal lima persen saja (sekitar 300 juta dollar) dari jumlah itu bisa digunakan untuk membeli 1,9 juta ton untuk memnuhi kekurangan pangan tiap tahunnya. 88 Ching Hyun-Joon, “Internal Changes in North Korea: Reality and Prospect”, Korean Focus, Vol. 8, No. 5, September-October 2000, h. 94. 54 Isu yang mencuat dari anggaran militer yang terlalu besar adalah Korea Utara tengah mengembangkan senjata nuklir. Sebenarnya isu ini sudah muncul sejak tahun 1989 ketika satelit Amerika Serikat memotret adanya pipa penghubung antara pabrik pengolahan kembali plotanium dengan sebuah tangki penyimpanan sisa pembuangan di Yongbyon. Disisi lain, keberadaan nuklir ini membuat keuntungan bagi Korea Utara. Pertama, Pyongyang beranggapan bahwa dengan adanya senjata nuklir, akan menarik perhatian negara-negara di sekitarnya dan muncul sebagai negara penting di kwasan Asia Timur. Dengan nuklir Pyongyang berharap akan bisa menahan tekanan eksternal bagi liberalisasi dan kepemilikan nuklir akan dijadikan alat untuk memperkuat posisi tawar menawar dengan Amerika Serikat serta memperoleh konsesi ekonomi.89 Kedua, dengan adanya nuklir di Korea Utara, kecil kemungkinannya pihak lawan akan melakukan serangan terhadap Negara tersebut.90 Dari Uraian diatas terlihat bahwa tujuan Kim Jong Il saat ini adalah mempertahankan rejim yang dipimpinnya. Kim ingin mengarahkan politik luar negeri Korea Utara lebih defensive. Ia ingin menciptakan semacam pelindung eksternal yang akan menjamin keberlangsungan hidup Korea Utara.91 Keberadaan Amerika Serikat juga menjadi masalah yang cukup sensitif bagi hubungan kedua negara Korea. Korea Utara merasa bahwa Amerika Serikat merupakan ancaman. Korea Utara merasa terancam dan takut dengan kemampuan militer Amerika Serikat. Terutama ketika kekuatan persenjataan dan nuklir maka 89 Tong Whan Park, “Issues of Arms Control Between the Two Koreans “, Asian Survey, Vol. XXXII, No. 4, April 1992, h. 358-9 90 Ibid. 91 Hak Soon Paik, “ North Korea’s Unification Policy”, dalam Kwak Tae-Hwan, ed., The Four Powers and Korean Unification Strategies (Seoul: Kyungman University Press, 1997), h. 124. 55 Amerika Serikat hadir untuk melindungi Korea Selatan membuat Korea Utara semakin terpojok.92 Pilihan Korea Utara untuk menghadapi ancaman tersebut adalah dengan mengandalkan penggunan senjata nuklir. 4.2 Faktor Eksternal 4.2.1 Hegemoni Amerika Serikat di Semenanjung Korea Sejak Korea terbagi menjadi dua, Amerika Serikat secara mendalam telah melibatkan diri di Semenanjung Korea. Bagi Amerika Serikat pertanyaan tentang masa depan Korea bukanlah sekedar masalah bilateral antar Korea Utara dan Korea Selatan, melainkan isu yang menyentuh banyak aspek yang berkaitan dengan peran dan kepentingan nasional negeri ini.93 Berangkat dari kepentingan global Amerika Serikat di Semenanjung Korea, sejak tahun 1950-hingga sekarang, kepentingan Amerika Serikat di Semenanjung Korea adalah mempertahankan status quo di kawasan ini dengan tetap menjalin hubungan pertahanan dengan Korea Selatan.94 Sementara itu, jika dilihat dari pandangan historis, kepentingan Amerika Serikat di Semenanjung Korea adalah untuk mencegah munculnya kekuatan-kekuatan tidak bersahabat yang mendominasi Asia. Sementara 50 tahun terakhir, Amerika Serikat memainkan strategi pembendungan (containment) terhadap penyebaran komunisme oleh Uni Soviet dan Cina. Hal inilah yang membuat Semenanjung Korea memiliki dimensi regional yang penting dimata Amerika Serikat.95 92 Andrew Mack, The Nuclear Crisis on The Korean Peninsula, Asian Survey, Vol. 33, No. 4 (April, 1993), (United States: California Press, 1993), h. 342. 93 Lee Hong Yung,”The Korean Summit Meeting and The Internasional Environment”, Korean Journal, Vol. 41, No. 2, Summer 2001, h. 54. 94 Oknim Chung,” Regional Perpectives and Role on The Korean Peninsula”, Korean and World Affairs, Vol. 22, No. 2, Summer 2001, h. 34. 95 Sharif M. Shuja,” US and Japan’s Trends in Attitudes Toward The Korean Peninsula”, East Asian Studies, Vol. 16, No. 1-2, Spring/Summer 1997, h. 68. 56 Seperti yang telah dijelaskan pada bab kedua dalam skripsi ini, dijelaskan bahwa masuknya Amerika Serikat dikarenakan Uni Soviet sudah menguasai terlebih dahulu Semenanjung Korea pada bagian Utara. Pengikat hubungan antara negara di Semenanjung Korea dengan Negara adikuasa pada masa Perang Dingin adalah kesamaan ideologi. Kesamaan ideologi inilah yang merupakan tali pengikat baik negara adikuasa dengan Negara-negara di kawasan.96 Hubungan ideologi inilah yang menyebabkan Amerika Serikat mau memberikan bantuan kepada Korea Selatan pada masa pemulihan pasca Perang Korea. Begitu pun dengan Korea Utara dan Uni Soviet. Namun dalam kasus security complex di Semenanjung Korea, kehadiran Amerika Serikat dan Uni Soviet menyebabkan terbangunnya regional security complex yang disebabkan persaingan yang dilakukan Negara-negara adikuasa. Pasca Perang Korea berakhir, Amerika Serikat dan Korea Selatan menbuat Perjanjian Kerjasama Pertahanan (Muatual Security Treaty) sebagai dasar formal aliansi kedua negara yang sampai saat ini masih terjalin. Seiring perkembangan zaman, hubungan aliansi yang terjadi diantara Korea Selatan dan Amerika Serikat mulai dikaji ulang. Pasca insiden 11 September 2001, Amerika Serikat telah mengubah kebijakannya menjadi lebih keras dan menjadi kurang toleran terhadap ancaman potensial atas kepentingan Amerika Serikat.97 Hubungan aliansi Korea Selatan dan Amerika Serikat dapat dicermati sebagai “segitiga Korea”, mencangkup kedua Korea dan Amerika Serikat. Selama ini aliansi yang dilakukan antara Korea Selatan dan Amerika Serikat hanya berpihak kepada Amerika 96 Paul A Papayoanou, Great Powers Regional Orders : Possibilities and Prospects After Cold War, dalam David Lake and Patrick M. Morgan, Regional Order Bulding Security in a New World, (United States of American; Pennsylvania State University Press, 1997), h. 129. 97 Ibid. 57 Serikat saja. Dalam hal ini, Seoul hanya dituntut untuk mengikuti kepentingan Amerika Serikat daripada kepentingan nasional Korea Selatan itu sendiri. Namun beberapa pendapat mengejutkan yang dilakukan oleh surat kabar The Joong Ang Ilbo, Korea Selatan pada bulan September 2003, menilai bahwa 43,7 % responden menyatakan bahwa hubungan aliansi yang dilakukan Amerika Serikat dengan Korea Selatan sangat penting untuk Korea, akan tetapi 45,4 % responden menilai cukup baik, dan hanya 0,5 % saja yang menyatakan bahwa hubungan yang dilakukan oleh kedua Negara tidak penting untuk kepentingan Korea.98 Dari hasil polling tersebut dapat disimpulkan bahwa sebagian masyarakat Korea Selatan masih belum siap memiliki keberanian untuk mempertahankan negaranya sendiri dari ancaman yang datang dari luar, Khususnya Korea Utara. Sehingga aliansi antara kedua negara tersebut masih sangat dibutuhkan demi menjaga kedaulatan Negara Korea Selatan. Di sisi lain, Amerika Serikat juga masih memiliki kepentingan untuk mempertahankan posisi kepemimpinannya di wilayah Asia Pasifik dan sebagai upaya untuk mencegah munculnya negara agresor yang dapat mengubah perimbangan kekuatan di kawasan tersebut.99 Oleh karena itu, Amerika Serikat harus berusaha menangani isu nuklir Korea Utara yang menjadi masalah utama di Semenanjung Korea secara hati-hati sehingga tidak memperparah persepsi arogansi dan uniliteralisme Amerika Serikat, dan tidak berdampak buruk bagi hubungan keamanan diantara Amerika Serikat dan Korea Selatan yang 98 David W. Shin, “Future of The US-ROK Aliance: Manangin The Perception Gap”, dalam KNDU Review of National Security Affairs, Vol. 10, No. 1, June, Research Institute On National Security Affairs, Seoul, 2005, h. 93. 99 Ibid. 58 sesungguhnya masih diperlukan untuk menciptakan stabilitas keamanan di Asia Pasifik. 4.2.2 Kepentingan Cina, Jepang, dan Rusia di Semenanjung Korea Dalam menjelaskan peranan Cina di Semenanjung Korea, Cina sebenarnya tidak memiliki peran sepenting Korea Utara atau pun Amerika Serikat untuk menjadi penghambat masalah unifikasi Korea. Cina sesuai dengan perjanjian armistis, telah mengundurkan diri dari Semenanjung Korea. Namun Cina ikut lagi terlibat pada masalah Korea sejak diikutsertakan dalam perundingan empat pihak. Pada permasalahan unifikasi ini, Cina mengalami ambiguitas. Disatu sisi, Cina sangat mendukung unifikasi Korea. tetapi disisi lain, Cina khawatir bila dalam upaya mencapai unifikasi tersebut, maka stabilitas dan perdamaian di Asia Timur yang selama ini ada akan rusak. Cina juga khawatir jika kenyataan Korea yang terunifikasi akan bersikap bermusuhan terhadapnya maka dampaknya akan merugikan Cina.100 Karena alasan inilah Cina mempertahankan status quo dalam memandang masalah unifikasi Korea. Cina memainkan perannya di kawasan, maka Cina meningkatkan hubunganya dengan Korea Utara dengan tujuan agar pengaruh Cina lebih terasa di Semenanjung Korea. Generasi keempat dari para pemimpin di Cina menyadari bahwa dengan menunjukan solidaritas sebagai sesama komunis tidak lagi bisa diandalkan, maka untuk memaksimalkan Peranan Cina di Semenanjung Korea, Cina ikut terlibat dalam proses dialog multilateral untuk menyelesaikan permasalahan nuklir Korea Utara. Dalam persektif Cina, 100 Fei-Ling Wang, “Joining the Major Powers for The Status Quo; China’s Views and Policy on Korean Reunification”, Pasific Affairs, Vol. 72, No. 2 (Summer 1999), (University of British Columbia: Canada, 1999), h. 173-176. 59 Semenajung Korea merupakan “problem inti” (core problem atau hexin wenti) di Asia Timur.101 Pasca Perang Dingin, kesempatan Cina untuk muncul sebagai pemain yang diperhitungkan di Asia Timur Mencuat. Permasalahan yang terjadi di Semenanjung Korea merupakan ujian awal bagi Cina jika ingin dianggap sebagai sebuah kekuatan global dan hegemon di kawasan.102 Ujian bagi Cina untuk bisa menunjukkan diri sebagai pemain di Kawasan adalah dengan melakukan upaya untuk merestrukturisasi kembali konstruksi keamanan di Semananjung Korea. Dominasi Amerika Serikat dan sekutunya terkait permasalahan kondisi keamanan di Semenanjung Korea seolah-olah merupakan hasil dikte yang dilakukan Amerika Serikat. Sehingga hal inilah yang menjadi tantangan bagi Cina untuk menata kembali hubungan di Kawasan dan memperluas pengaruhnya di Kawasan. Jepang sebagai Negara tertangga terdekat dan pernah menduduki Korea jelas memiliki kepentingan yang kuat di Semenanjung Korea. Jepang secara resmi mendukung penyatuan kembali dua Korea di bawah pemerintahan demokratis. Pandangan Jepang terhadap Korea ialah bahwa perdamaian dan stabilitas di Semenanjung Korea esensial bagi perdamaian dan stabilitas di Asia Timur, terutama Jepang. Jepang sangat takut terhadap dampak runtuhnya Korea Utara, seperti membanjirnya pengungsi Korea Utara ke Jepang dan juga permintaan dana ganti rugi. Oleh karena itu, posisi Jepang terhadap unifikasi juga tergantung dengan posisi Amerika Serikat dan Korea Selatan. Dengan kata lain, Jepang bersedia untuk mengadakan normalisasi hubungannya dengan Korea Utara dan 101 Samuel S. Kim, The Making of China’s Korean Policy in the Era of Reform, dalam David Lampton, (ed), The Making of Chinese Foreign and Security Policy in The Era of Reform, 2001 (standford, CA: Standford University press), h. 372 102 Xiaoxing Yi, A Neutralized Korea? The North-South Rapprochment and China’s Korean Policy, Korean Journal of Defense Analysis, Vol. XIII, No. 2, Winter 2000, h. 79 60 mewujudkan ekonominya untuk mewujudkan stbilitas di Semenanjung Korea apabila Korea Utara mau berkerjasama dengan Amerika dan Korea Selatan.103 Sementara itu, Jepang juga memiliki kekhawatiran dalam terjadinya unifikasi Korea, apabila terjadi unifikasi Korea yang akan memiliki 70 juta penduduk, ekonomi dan militer yang kuat. Maka akan muncul nasionalisme Korea. Kekhawatiran ini beralasan karena ketika muncul nasionalisme Korea bersatu, dan terjadi konflik antara Jepang dan Korea, maka aka nada kemungkinan bahwa Korea akan berpaling pada Cina untuk membangun militernya. Disisi lain, Jepang merasa khawatir kehilangan dominasi ekonomi di Asia jika kedua Negara Korea kembali bersatu.104 Dibidang keamanan, keberhasilan Pyongyang menembakkan peluru kendali yang dapat mencapai Jepang menimbulkan kekhawatiran besar. Oleh karena itu, Jepang telah mengandalkan militer AS untuk melindungi kepentingannya dan akses ke pasar luar negeri, seperti jalur laut komunikasi melalui Timur Tengah, Asia Tenggara, dan Selat Taiwan. Dalam pertukaran untuk keamanan regional dan stabilitas, Jepang telah memberikan mengijinkan Amerika Serikat memakai pangkalan-pangkalan dan fasilitas-fasilitas di wilayahnya dalam hal bila terjadi keadaan darurat di Korea.105 Meskipun Jepang memberikan dukungan politik dan bantuan ekonomi pada Korea Selatan. Tetapi Jepang juga memiliki beberapa hubungan politik dan kontak-kontak ekonomi dengan Korea Utara. 103 Charles E. Morrison, Asia Pasific Security outlook, 2003, (Tokyo: Japan Center for International Exchange., Inc, 2003), h. 49 104 Byung-Joon Ahn, “Semenanjung Korea dan Keamanan Asia Timur”, dalam Robert A. Scanlapino, Selzaburo Sato dan Yusuf Wanandi, “Masalah Keamanan Asia”, CSIS, Jakarta, 1990, h. 169 105 Ibid. 61 Lain halnya dengan Rusia, kepentingan utama Uni Soviet di Korea terutama secara geopolitics. Tidak boleh dilupakan bahwa Rusia, selain merupakan negara Eropa, termasuk negara Asia Timur dengan wilayah yang cukup luas di kawasan ini. Meskipun Rusia bukan satu negara adikuasa seperti Uni Soviet dulu, namun kekuatan dan potensinya cukup besar dan tidak boleh diabaikan. Dalam bidang militer Rusia tetap masih kedua terkuat di dunia setelah AS. Dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi Rusia termasuk negara maju, terutama teknologi militernya. Dalam bidang ekonomi, dalam potensi kekayaan alam, khususnya minyak dan gas bumi menjadi andalan bagi Rusia. Oleh karena itu, Cina begitu dekat dengan Rusia. Sebab Cina memerlukan teknologi militer Russia yang belum mampu menjadikan dirinya memiliki kekuatan teknologi yang setingkat. Sebaliknya Cina mempunyai kemampuan dana yang diperlukan Russia untuk mengembangkan dirinya. Namun tidak seperti Cina yang mendukung kebijakan Korea SelatanKorea Utara dalam menuju reunifikasi, Rusia lebih memilih cara untuk tidak begitu terlibat didalam masalah penyatuan kedua Negara Korea, walaupun secara pribadi Rusia mendukung upaya terjadinya penyatuan diantara Korea Selatan dan Korea Utara.106 Selain itu rusia menganggap bahwa masalah yang terjadi diantara kedua haruslah diselesaikan oleh kedua negara Korea. Walaupun punya pendekatan ideologi dengan Korea Utara, Rusia tidak merasa terancam jika sewaktu-waktu kedua Korea bisa bersatu kembali. Namun untuk menjaga perdamian di Semenanjung Korea, Rusia masih mau berpartisipasi didalam menciptakan stabilitas keamanan di Semenanjung Korea. Hal ini dilihat dari 106 Chung In-Moo and David I. Steinberg (ed), Kim Dae Jung Government and Sunshine Policy Promises and Challenges, Seoul: Yonsei University Press, 1999, h. 102 62 keterlibatannya didalam enam negara yang membahas mengenai masalah nuklir di Korea Utara. 4.3 Hubungan Korea Selatan dan Korea Utara Dalam Menuju Reunifikasi di Semenanjung Korea Periode 2003-2008 Sejak pembagian Semenanjung Korea merupakan salah satu bukti yang diakibatkan persaingan ideologi. Sejak tahun 1960-an, dialog unifikasi sudah dilakukan oleh Korea Selatan secara damai. Pada tahun 1972 proses dialog antarKorea menghasilkan Joint Communique dimana upaya unifiaksi dilakukan berdasarkan tiga prinsip, yaitu independen dari campur tangan asing, cara-cara damai, dan persatuan nasional. Namun gagal karena adanya permintaan Korea Utara yang menginginkan pasukan Amerika Serikat segera meninggalkan Korea Selatan, dan permintaan ini tidak dihiraukan oleh Korea Selatan. Pada tahun berikutnya, Komite Koordinasi Utara-Selatan dibubarkan tanpa ada kemajuan dalam mengimplementasikan perjanjian. Setelah vakum dua belas tahun, perdana menteri dari dua Korea bertemu di Seoul pada bulan September 1990 untuk terlibat dalam Puncak Inter-Korea atau Pembicaraan Tingkat Tinggi. Dalam pertemuan tersebut, melahirkan kesepakatan bersejarah pada bulan Desember 1991 oleh kedua Korea berjudul, "Perjanjian Tentang Rekonsiliasi, Non-agresi, Kerjasama, dan Pertukaran Antara Utara dan Selatan”. Hal ini membuat harapan baru di antara warga Korea namun harus dihancurkan lagi ketika kedua belah pihak tidak menyelesaikan masalah fasilitas nuklir. Terkendalanya reunifikasi tersebut dikarenakan adanya krisis nuklir pada tahun 1994. Krisis dicairkan dengan kunjungan Presiden Amerika Serikat Bill Clinton ke Pyongyang dan perundingan tersebut menghasilkan Agreed Framework . 63 Pasca krisis nuklir 1994, hubungan antar-Korea dicairkan dengan kebijakan Sunshine Policy yang merupakan kebijakan Kim Dae Jung. Sebuah kebijakan yang menciptakan paradigma baru hubungan antara kedua negara Korea yang didasari oleh saling menghargai dengan ide utama perdamaian, rekonsiliasi dan kerjasama. Pada tanggal 15 Juni 2000, untuk pertama kalinya kedua negara Korea bertemu dan menghasilkan “South-North Joint Declaration”. Sebagai hasil pertemuan puncak antar kedua negara Korea tersebut adalah kerjasama dalam mewujudkan proyek menghubungkan rel kereta api antar Korea. Tahap pembukaan kembali jalur kereta api yang menghubungkan Seoul-Shinuiji dimulai pada tanggal 18 September 2000 ditandai dengan pembokaran dinding pemisah yang selama ini memutuskan jalur kereta api antara kedua negara tersebut.107 Kedua negara Korea merampungkan perbaikan rel kereta api diperlintasan perbatasan, bahkan sempat uji coba pada thun 2005. Namun uji coba tersebut mengalami kendala pada tahun 2006 karena militer Korea Utara tidak mau memberikan jaminan keamanan dan keselamatan terhadap jalannya kereta api tersebut.108 Pada tanggal 17 Mei 2007, sebuah perjalanan percobaan kereta api telah melintasi perbatasan kedua negara Korea. Masing-masing kereta api itu membawa 100 orang Korea Selatan dan 50 orang Korea Utara. kereta tersebut memperlambat kecepatannya ketika memasuki Demilitarized Zone (zona demiliterasi) yang berdinding tinggi dan berkawat duri.109 Pada masa Roh Moo Hyun, Korea Selatan menawarkan Korea Utara bantuan besar saluran listrik besar sebagai insentif untuk mengakhiri ambisi nuklir Pyongyang. Namun mengalami 107 Laporan Tahuanan Kedutaan Besar RI untuk Korea Selatan, 2000, h. 35-36. Kompas, ”Rekonsiliasi Korea Melalui Kereta Api”, 9 Mei 2007 109 Kompas, “Kereta Api Pertama Melewati Perbatasan Perang Dingin”, 18 Mei 2007 108 64 jalan buntu tahun 2002. Upaya diplomatik terus dilakukan menjelang pertemuan tentang rencana nuklir Korea Utara. Akan tetapi, proyek-proyek ekonomi antara kedua negara korea yang melibatkan sebuah kompleks industri bersama dan sebuah zona wisata di Korea Utara tidak termasuk dalam daftar kesepakatan yang terkena sanksi, namun subsidi antara pemerintah kedua korea mungkin akan mempertimbangkan kembali. Kebijakan ekonomi Korea Selatan berubah pasca pembicaraan 6 negara Korea Selatan setuju untuk mengirim 400.000 ton beras ke Korea Utara, setelah lima hari melakukan pembicaraan di Pyongyang. Pertemuan itu tidak menyebut soal program nuklir Korea Utara yang menjadi fokus perundingan internasional. Bantuan sempat terlantar setelah Korea gagal memenuhi batas waktu untuk menutup reaktor nuklir yang merupakan bagian penting dari kesepakatan yang dicapai pada tanggal 13 Februari 2003, yang ditandatangani oleh Korea Selatan, Korea Utara, Jepang, Cina, Rusia dan Amerika Serikat. Dalam kesepakatannya Korea Utara setuju untuk menutup reaktor Yongbyon dalam waktu 60 hari dengan imbalan bantuan, dan kesepakatan akhir yang dicapai adalah Korea Selatan akan mengirim pasokan beras sebagai tanda perhatian dari saudara.110 Namun Ketegangan yang terjadi di Semenanjung Korea pada bulan Oktober 2003, dimana Amerika Serikat menaruh kecurigaan terhadap Korea Utara yang mengembangkan kembali program nuklirnya. berdasar perjanjian 1994 Korea Utara seharusnya membekukan program itu. Kompensasinya, Amerika Serikat mengirim 500.000 ton BBM pengganti energi nuklir ke Korea Utara. Perjanjian mengalami pasang surut, perseteruan pun tak terhindarkan setelah 110 ” Korea Selatan Kirim Beras ke Korut”, Diakses dari, http://www.BBCIndonesia.com. pada tanggal 12 Januari 2011 65 Korea Utara mengaktifkan kembali program senjata nuklir rahasia yang kaya uranium, Amerika Serikat membalas dengan menghentikan pengiriman BBM ke Korea Utara dan berlaku sejak 15 Desember 2002. Korea Utara kemudian menanggapinya dengan memindahkan semua peralatan pemantauan fasilitas nuklir PBB di Yongbyon, pusat pengembangan nuklir di Korea Utara, dan diikuti dengan perginya semua personel inspeksi nuklir PBB meninggalkan Korea Utara.111 Ketegangan ini diperparah dengan insiden pencegatan kapal Sosan milik Korea Utara oleh Angkatan Laut Spanyol yang mengangkut paket rudal Scud ke Yaman. Peristiwa ini semakin menimbulkan kekhawatiran masyarakat internasional dan meningkatkan ketegangan antara Korea Utara dengan negaranegara barat dan tetangganya di Asia Timur. Selain itu, Korea Utara terbukti tidak ragu-ragu menjual teknologi mereka untuk mendapatkan financial gain. Keluarnya Korea Utara dari rezim non-proliferasi mendapat kecaman dari internasional, tidak terkecuali Korea Selatan, yang menilai bahwa tindakan Korut telah merusak upaya normalisasi hubungan kedua negara yang sempat mengalami kemajuan pesat dengan disepakatinya perjanjian kerjasama bilateral di berbagai bidang, diantaranya ekonomi dan pertahanan, pada tahun 2000 lalu. Korea Selatan tetap mempertahankan sikap dengan tidak mengeluarkan opsi militer terhadap ambisi nuklir Korea Utara. Dalam diplomasinya Korea Selatan terus menolak imbauan untuk menerapkan sanksi ekonomi atau tindakan militer dalam menghadapi Korea Utara. Namun dengan tidak ada perubahan prinsip bahwa perang tidak diperkenankan untuk terjadi di Semenanjung Korea.112 Sebagaimana diketahui, pengembangan senjata nuklir di Korea Utara selama ini sudah mengancam perdamaian bukan hanya di wilayah Asia Timur Laut tapi 111 112 Faustinus Andrea, Krisis Semenanjung Korea, Koran Tempo, Selasa 25 Maret 2003. Kompas, “Korea Selatan Miliki Kartu Hadapi Korea Utara”, 17 Mei 2003 66 juga internasional. Dalam kesempatan ini, Roh juga sekali lagi menegaskan perlunya usaha bersama untuk menuntaskan masalah nuklir Korea melalui dialog, dan tanpa menggunakan kekerasan termasuk aksi militer. Oleh karena itu, Korea akan terus berusaha meningkatkan hubungan kerjasama dengan Amerika Serikat, Jepang, Cina, Rusia, dan EU.113 Dalam upaya dialog dengan Korea Utara, Roh Moo Hyun menjalankan pendekatan dengan Policy for Peace and Prosperity. Namun dalam kunjungannya di Jerman, Presiden Roh Moo-hyun dengan ringkas menjelaskan 4 tahap rumusan penyatuan Korea.114 Presiden Roh menjelaskan kebijakannya yang khas tentang penyatuan Korea yang sama sekali berbeda dengan kebijakan pendahulunya. Presiden mengatakan reunifikasi atau penyatuan kembali kedua Korea bisa terjadi setelah konfederasi nasional. Konfederasi tersebut akan dilaksanakan dengan sistem terpisah untuk menjembatani persiapan penyatuan atau reunifikasi. Korea Selatan tidak akan pernah mencoba untuk mendorong keruntuhan rezim komunis Korea Utara. Penyatuan Korea akan terlaksana hanya bila kedua Korea membangun struktur perdamaian dan melengkapi segala persiapan tersebut. Dengan kata lain Seoul tidak akan mengambil resiko untuk membayar mahal jatuhnya rezim Korea Utara secara tiba-tiba. Melalui KTT yang berlangsung pada tanggal 2-4 Oktober 2007 di Pyongyang telah mengasilkan “Deklarasi untuk Pembangunan Hubungan AntarKorea serta Perdamaian dan Kesejahteraan”, Roh Moo-hyun mencoba menghidupkan kembali semangat perdamaian pendahulunya. Di akhir masa 113 Fokus: “Ancaman Nuklir Korea Utara dan Sikap EU“,Diakses dari , http://www.indonesia-eu.com, pada 24 Januari 2011 114 ,“Penjelasan Presiden Roh Moo Hyun tentang 4 tahap penyatuan Korea”, Diakses dari, http://www.kompas.com/kompas-cetak/0006/16/utama/temb0l.htm, pada 14 Februari 2011 67 kunjungan tiga hari, kedua pemimpin menandatangani beberapa poin kesepakatan, beberapa poin kesepakatan dua Negara, diantaranya:115 1. Mengupayakan diakhirinya gencatan senjata perang Korea dan mendesak pertemuan dengan negara lain yang turut menandatangani gencatan senjata 1953 (Cina dan Amerika Serikat) untuk menghasilkan kesepakatan perdamaian 2. Bekerja sama untuk mengakhiri permusuhan militer, meredakan ketegangan dan menjamin perdamaian di Semenanjung Korea. 3. Menciptakan zona perikanan bersama di sekitar perbatasan perairan barat yang menjadi sengketa 4. Menerapkan secara halus kesepakatan pembicaraan internasional tentang program senjata nuklir Korea Utara demi menyelesaikan masalah ini 5. Mempromosikan dan memperluas proyek-proyek kerjasama ekomomi 6. Membuka layanan kereta api kargo ke zona industri bersama yang telah berdiri di Kaesong, Korea Utara 7. Membuka kompleks dok perkapalan bersama 8. Membuka tur udara bagi warga Korea Selatan ke puncak tertinggi Korea Utara, Paektu 9. Mengirimkan tim pendukung bersama ke Olimpiade Beijing 2008 menggunakan kereta api 10. Memperluas reuni keluarga-keluarga yang terpisah. Menurut pengamat Kim Yeon Chui, pengamat politik Asiatic Research Center Korea University, pertemuan tersebut diluar perkiraan terutama pada kerjasama ekonomi dan perdamaian kesepakatan kedua belah pihak bisa dilaksanakan dengan baik, maka akan lahir sebuah babak baru hubungan negara Korea. Namun sikap Korea Utara yang sulit ditebak dan seringnya mengingkari 115 Media Indonesia, “Dua Korea Menuju Damai (Deklarasi Monumental Kim dan Roh)”, 5 Oktober 2007 68 kesepakatan-kesepakatan yang telah disepakati oleh kedua pihak menjadi kendala kerjasama tersebut.116 4.4 Hambatan-hambatan Reunifikasi Secara perilaku suatu Negara terpengaruh oleh empat faktor: sejarah, geopolitik, ekonomi, dan politik. Tiap masalah yang timbul sedikit banyak merupakan hasil dari faktor-faktor yang saling berhubungan, tetapi geopolitik dan politik dalam negeri umumnya lebih penting daripada faktor-faktor lain. Secara historis pembagian Korea merupakan hasil Perang Dunia II dan Perang Dingin. Keputusan Amerika Serikat dan Uni Soviet untuk menduduki Semenanjung Korea pada akhir Perang Dunia II membuka jalan bagi pembagian ini. Banyaknya kendala dalam mewujudkan reunifikasi di Semenanjung Korea menjadi sulit. Beberapa kesulitan dalam proses ini dikarenakan adanya perbedaan politik dan ekonomi yang besar antara kedua negara. Pada permasalah jangka pendek Pembongkaran sejumlah pengungsi besar dari Utara bermigrasi dan ketidakstabilan Politik dan Ekonomi Selatan perlu diatasi. Sedangkan masalah jangka panjang seperti perbedaan budaya, kontras ideologi politik dan diskriminasi mungkin juga perlu untuk diselesaikan. Korea Selatan berpendapat unifikasi harus dicapai untuk mewujudkan keinginan bebas 70 juta rakyat Korea yang sama sekali bebas dari kekerasan. Kebijaksanaan unifikasi tersebut dimaksudkan untuk mengangkat cita-cita, kebebasan, demokrasi, dan perdamaian yang berlawanan dengan rencana Korea Utara untuk menyatukan Semenanjung Korea dengan kekuatan dibawah komunisme.117 116 Republika, “Dua Korea Sepakati Komitmen Bagi perdamaian”, 5 Oktober 2007 Suara Pembaruan, “Korea Selatan Perkuat Upaya Diplomatik Hadapi Korea Utara”, 14 Mei 2007 117 69 Hal lain yang menjadi hambatan dalam reunifikasi di Semenanjung Korea adalah sikap Korea Utara yang melakukan standar ganda dalam program nuklirnya. Disatu sisi Korea Utara menunjukan sikap positif dalam setiap perjanjian yang disepakati, namun disisi lain, Korea Utara masih menyimpan dan mengembangkan program nuklirnya. Hal ini diperjelas dengan adanya krisis nuklir pada tahun 2003 menunjukan Korea Utara masih setengah hati untuk menghentikan program nuklirnya. Persoalan nuklir Korea Utara merupakan masalah yang serius dan dapat membahayakan keamanan Korea Selatan. Selain itu masalah nuklir tesebut juga dapat membahayakan Negara-negara di sekitar Semenanjung Korea. Dampak buruknya bagi reunifikasi Korea adalah persoalan nuklir tersebut akan menjadikannya sebagai kumpulan dari berbagai kepentingan dari negara-negara besar yang bisa saling bertentangan. Sehingga dengan adanya kepentingan tersebut saling tarik-menarik akan jelas menghambat terwujudnya penyatuan kembali kadua Korea.118 Salah satu perbedaan antara Korea Utara dan Korea Selatan adalah bahwa hampir tidak ada perubahan dalam pimpinan Korea Utara sedangkan Korea Selatan telah mengalami beberapa kali perubahan pimpinan.119 Akibatnya Korea Selatan mendapat banyak pengalaman sebagaimana menangani krisis politik, sedangkan Korea Utara harus mengalami krisis penggantian kekuasaan besar jika Kim Jong Il meninggalkan ajang politik. Bila melihat prospek tersebut, untuk mewujudkan reunifikasi di Semenanjung Korea sangat sulit terwujud. Adanya 118 119 Kompas, “Pertemuan Dua Korea Belum Membuahkan Hasil”, 19 Mei 2007 Park Young Ho,”International Perceptions of Korean Unification Issue”, Korean Focus, Vol. 6, No.1, 1998, h. 147-8. 70 perbedaan ideologi kedua negara tersebut serta keadaan perang yang hanya diakhiri suatu gencatan senjata dan bukan oleh suatu perjanjian damai permanen. Dalam hal bidang ekonomi, dua Korea terpisah oleh jembatan kesenjangan ekonomi yang sangat lebar. Korea Selatan yang menjadi sekutu Amerika, Jepang dan negara Barat lainnya kini menjadi negara dengan ekonomi terkuat di Asia. Sebagai negara industri, pendapatan per kapita masyarakatnya tinggi. Sementara Korea Utara, yang bertahun-tahun dikucilkan dunia internasional, menjadi negara miskin dengan pendapatan minim. Praktis kehidupan negara komunis tersebut banyak bergantung kepada sekutu terdekatnya, Cina. Sejumlah embargo ekonomi yang hingga kini belum dicabut semakin memperburuk perekonomian Korea Utara. Bila melihat prospek tersebut, untuk mewujudkan reunifikasi di Semenanjung Korea sangat sulit terwujud. Adanya perbedaan ideologi kedua negara tersebut serta keadaan perang yang hanya diakhiri suatu gencatan senjata dan bukan oleh suatu perjanjian damai permanen. Disinilah letak permasalahannya, bila nantinya isi perjanjian damai untuk menyelesaikan konflik secara permanen, akan sangat terkait dengan status akhir kedua negara. Selain itu, terdapat fakta selama terjadi pemisahan yaitu timbul suatu kesenjangan kesejahteraan ekonomi. Korea Selatan muncul sebagai salah satu negara dengan pendapatan per kapita tertinggi (2006: US$ 24,500) sebaliknya Korea Utara diperkirakan merupakan salah satu negara termiskin saat ini (GDP tahun 2006: US$ 1,800). Faktor-faktor itu tentunya semakin mempersulit prospek reunifikasi.120 120 Byung-Joon Ahn,“Semenanjung Korea dan Keamanan Asia Timur”, dalam Robert A. Scanlapino, Selzaburo Sato dan Yusuf Wanandi, “Masalah Keamanan Asia”, CSIS, Jakarta, 1990, h. 187. 71 Namun keadaan perekonomian Korea Utara yang sangat lemah, Korea Selatan terus mencapai pertumbuhan ekonomi yang cepat dalam beberapa dekade. Ini telah membawa suatu kesenjangan pendapatan yang semakin besar. Saat ini, pendapatan per kapita di Selatan paling tidak lima kali ukuran Utara. Ini saja akan membuat integrasi ekonomi antara Utara dan Selatan suatu tugas yang sangat sulit dan kompleks. Dalam sebuah survei ekonomi yang dilakukan Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) untuk Korea Selatan, pada 2010 terlihat bahwa jurang kesenjangan antara dua Korea itu semakin luas. OECD melansir, meski populasi Korea Utara untuk tahun 2008 tercatat 23,3 juta jiwa, atau sekitar 48 persen dari populasi penduduk Korea Selatan, produk domestik bruto (GDP)-nya berada pada angka USD 24,7 miliar. Jumlah tersebut hanya sekitar 2,7 persen dari GDP Korea Selatan. Data tersebut berpengaruh kepada pendapatan per kapita rakyatnya. OECD menyebut, GDP per kapita rakyat Korea Utara itu sekitar USD 1.060 per tahun. Atau hanya 5,6 persen GDP per kapita Korea Selatan.121 Ekspansi perdagangan antar-Korea yang dikomandoi selatan akan membawa pengaruh penting untuk mempersempit kesenjangan ekonomi antara selatan dan utara. OECD juga memperingatkan bahwa biaya unifikasi akan meningkat drastis akibat perluasan kesenjangan sosial dan ekonomi antara kedua Korea. Namun, harapan untuk melihat kedua Korea kembali rukun untuk membangun hubungan simbiosis ekonomi demi mensejahterakan rakyat mereka belum juga dapat terwujud. Berbagai insiden yang memicu ketegangan politik dan keamanan di antara kedua Korea diakui sangat mengganggu upaya tersebut.122 121 “Kembar Beda Nasib”, Diakses dari, http://www.rimanews.com/read/20100629/1196/kembar-tapi-beda-nasib, pada 14 Februari 2011 122 Yang Seung-Yoon dan Mohtar Mas’oed, “Politik Luar Negeri Korea Selatan : Penyesuaian Diri Terhadap Masyarakat Masyarakat Internasional”, Ghajah Mada University Press, Yogyakarta, 2002, h. 69 72 BAB V KESIMPULAN Dari uraian diatas dapat di lihat bahwa hubungan antar-Korea periode 2003-2008 telah mengalami dinamika yang cukup rumit. Dengan adanya krisis nuklir kedua pada tahun 2003 dan permasalahan antara Korea Utara dengan Amerika Serikat membuat posisi Korea Selatan serba salah. Sejak 2003 permasalahan itu telah diupayakan penyelesaiannya melalui mekanisme pertemuan enam pihak yang melibatkan AS, Jepang, Rusia, dan RRC, di samping Korea Selatan dan Korea Utara. Dalam rangka penyelesaian berbagai masalah di Semenanjung Korea, pertemuan puncak inter-Korea itu perlu menghasilkan tawaran atau proposal bersifat konkret. Di antaranya solusi menyangkut masa depan reunifikasi Korea. Namun pada kenyataanya usaha-usaha kearah penyelesaian konflik tersebut harus melibatkan lingkungan eksternalnya, dalam pengertian bahwa solusi yang ada harus pula diselaraskan dengan kepentingan-kepentingan Negara besar di Semenanjung Korea. Korea Selatan memberikan cara pandang yang lain dengan menjadikan proses dialog yang bersahabat sebagai senjata utama dalam menghadapi Korea Utara. Kemajuan hubungan antar-Korea tidak lepas dari berbagai masalah yang cukup besar. Beberapa kesulitan dalam proses ini dikarenakan adanya perbedaan politik dan ekonomi yang besar antara kedua negara. Pada permasalah jangka pendek, penyelesaian sejumlah pengungsi secara besar yang bermigrasi dari Korea Utara serta ketidakstabilan politik dan ekonomi Korea Utara perlu diatasi. Sedangkan masalah jangka panjang seperti perbedaan 73 budaya, kontras ideologi politik dan diskriminasi mungkin juga perlu untuk diselesaikan. Hal lain yang menjadi hambatan dalam reunifikasi di Semenanjung Korea adalah sikap Korea Utara yang melakukan standar ganda dalam program nuklirnya. Disatu sisi Korea Utara menunjukan sikap positif dalam setiap perjanjian yang disepakati, namun disisi lain, Korea Utara masih menyimpan dan mengembangkan program nuklirnya. Untuk menciptakan masyarakat Korea dibawah satu kesatuan serta hidup damai berdampingan ini bukanlah pekerjaan yang mudah dan diperlukan waktu yang cukup lama. Hambatan dimulai dari perbedaan yang mendasar yaitu ideologi yang dianut oleh kedua Korea yang telah memberikan kesan bahwa penyatuan dua Korea ini bukanlah perkara yang mudah karena masing-masing Korea menganggap bahwa ideologi merekalah yang paling unggul. Apalagi Korea Utara saat ini menjadi ancaman baru bagi kawasan Asia Timur dengan program nuklirnya. Selain itu, adanya ancaman kemanusiaan yang dihadapi Korea Utara seperti kelaparan, pembangkangan, dan pengungsian missal yang potensial, serta ancaman militer konvensional. Hambatan utama untuk mangatasi aneka tantangan ini muncul dari realitas bahwa tidak ada konsensus di antara negara-negara bertertangga yang mempengaruhi secara langsung atau tidak langsung oleh tiap monuver Pyongyang. Keberadaan Amerika Serikat dan ketiga Negara lainnya seperti Jepang, Cina dan Rusia juga menjadi sebuah masalah bagi kelangsungan hubungan kedua Negara tersebut. Pada umumnya negara-negara besar melihat Korea dari persektif global dan regional mereka. Bila Amerika dan Jepang, melihat Korea Selatan penting dalam arti positif bagi hubungan bilateral mereka. Di lain pihak, RRC dan 74 Rusia memandang Korea Utara sebagai wilayah penting bagi rivalitas mereka. Hal ini diperkuat dengan adanya pakta pertahanan antara Amerika Serikat dengan Korea Selatan sejak tahun 1953. Sedangkan pada tahun 1961, RRC dan Uni Soviet mempunyai pakta pertahanan dengan Korea Utara. Dibawah pemerintahan Roh Moo Hyun dalam menjalankan pendekatan dengan Korea Utara dilakukan dengan Policy for Peace and Prosperity. Semasa jabatannya, Roh Moo Hyun banyak mengalami permasalahan baik dalam negeri maupun luar negeri. Dalam permasalahan domestik, Roh Moo Hyun diberhentikan oleh parlemen disebabkan adanya dugaan pelanggaran hukum pada saat pemilu serta dugaan skandal keuangan. Sedangkan pada permasalahan politik luar negeri, hubungan antara Korea Selatan dan Korea Utara mengalami masalah dengan pengembangan program nuklir Korea Utara. Sehingga menyebabkan Roh Moo Hyun mengambil sikap tegas dengan menyatakan Seoul akan meneruskan bantuan-bantuan makanan, obat-obatan, pupuk, infrastruktur, dan ekonomi, bila Pyongyang menghentikan pengembangan nuklirnya. Dalam kunjungannya di Jerman, Presiden Roh Moo-hyun dengan ringkas menjelaskan 4 tahap rumusan penyatuan Korea. Presiden Roh menjelaskan kebijakannya yang khas tentang penyatuan Korea yang sama sekali berbeda dengan kebijakan pendahulunya. Presiden mengatakan reunifikasi atau penyatuan kembali kedua Korea bisa terjadi setelah konfederasi nasional. Konfederasi tersebut akan dilaksanakan dengan sistem terpisah untuk menjembatani persiapan penyatuan atau reunifikasi. Korea Selatan tidak akan pernah mencoba untuk mendorong keruntuhan rezim komunis Korea Utara. Penyatuan Korea akan terlaksana hanya bila kedua Korea membangun struktur perdamaian dan 75 melengkapi segala persiapan tersebut. Dengan kata lain, Seoul tidak akan mengambil resiko untuk membayar mahal jatuhnya rezim Korea Utara secara tiba-tiba. Melalui KTT yang berlangsung pada tanggal 2-4 Oktober 2007 di Pyongyang telah mengasilkan “Deklarasi untuk Pembangunan Hubungan AntarKorea Serta Perdamaian dan Kesejahteraan”, Roh Moo-hyun mencoba menghidupkan kembali semangat perdamaian pendahulunya. Isinya, antara lain, membangun sistem perdamaian permanen, memperluas kerja sama ekonomi termasuk membuat galangan kapal bersama, mengembangkan kerja sama pendidikan, teknologi, budaya dan olahraga, dan mengadakan konferensi tingkat tinggi. Kedua pihak juga sepakat menutup program nuklir Korea Utara mulai akhir tahun ini secara bertahap. Tindakan ini akan dilanjutkan dengan penyerahan bahan-bahan pembuat senjata nuklir mulai tahun depan. Namun Bagi Roh Moohyun, sangat sulit memberikan konsesi yang berarti mengingat popularitasnya sangat rendah di kalangan publik Korea Selatan. Masa jabatannya pun tinggal beberapa bulan saja. Sekalipun ia cukup berani memberikan konsesi tertentu, tidak ada jaminan presiden selanjutnya akan menghargai konsesi atau kesepakatan yang dicapainya dengan Kim Jong-il. 76 Daftar Pustaka Buku: Ahn, Byung-Joon, “Semenanjung Korea dan Keamanan Asia Timur”, dalam Robert A. Scanlapino, Selzaburo Sato dan Yusuf Wanandi, “Masalah Keamanan Asia”, CSIS, Jakarta, 1990 Badrika, I Wayan, Sejarah Nasional dan Umum , Erlangga, Jakarta, 2005. Brown, Chris, Understanding Internasional Relation, 2nd edition, London, Palgrave,2001, hal 68-86, Dikutip dari Politik Luar Negeri Indonesia “Di Tengah Pusaran Politik Domestik” , Genewati Wuryandari (ed), 2008, Pustaka Pelajar: Jakarta. Buzan, Barry, People States and Fear: An Agenda For International Security Studies in The Post Cold War Era, 2nd edition, Harvester Wheatsheaf, London, 1991. , Ole Waefer, dan Jaap de Wilde, A New Frame Work For Analysis, London: Lynne Rienner Publisher.1998 Coplin, William D. 1992 Pengantar Politik Internasional : Suatu Telaah Teoritis, Penerbit Sinar Baru,: Bandung. Chung In-Moo and David I. Steinberg (ed), Kim Dae Jung Government and Sunshine Policy Promises and Challenges, Seoul: Yonsei University Press, 1999 Dwianto, Riri, ”kerjasama Keamanan Asia Timur” dalam Agenda dan Penataan Keamanan di Asia Pasifik, Bartarto Bandoro (Penyuting), CSIS, Jakarta, 1999-2000. Fakta-fakta tentang Korea, Pelayanan Kebudayaan dan Informasi Korea, Kementerian Kebudayaan Olah Raga dan Pariwisata. 2002, Seoul, Republik Korea. Fakta Tentang Korea, Pelayanan Informasi Korea, Badan Informasi Nasional, 2003, Seoul, Republik Korea Holsti, KJ. 1983, Politik Internasional: Kerangka Untuk Analisa, M. Tahrir Azhary (pent) Erlangga: Jakarta. viii Jacson, Robert, dan Georg Sorensen, Pengantar Studi Hubungan Internasional, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005 Kim, Samuel S., The Making of China’s Korean Policy in the Era of Reform, dalam David Lampton, (ed), The Making of Chinese Foreign and Security Policy in The Era of Reform, 2001 (standford, CA: Standford University press), Morgenthau, Hans J., Politik Antar Bangsa, S. maimon (pent), Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. 1990. , Politik Internasional: Suatu Kerangka Analisis, M. Tahrir Azhary (pent), Erlangga, Jakarta, 1987 Mestoko, Soemarsono, Indonesia dan Hubungan Antar Bangsa, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1985 Morrison, Charles E., Asia Pasific Security outlook, 2003, (Tokyo: Japan Center for International Exchange., Inc, 2003) Jones, Walter S. 1993, Logika Hubungan Internasional: Kekuasaan EkonomiPolitik Internasional, Tatanan Dunia, Jilid 2, Gramedia Utama: Jakarta. Mas’oed , Mohtar dan Yang Seung-Yoon, Politik Luar Negeri Korea Selatan : Penyesuaian Diri Terhadap Masyarakat Internasional, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002. , Masyarakat, Politik, dan Pemerintahan Korea: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005. , Memahami Politik Korea, Gadjah Mada University Press, 2005. Papayoanou, Paul A.,” Great Powers Regional Orders : Possibilities and Prospects After Cold War”, dalam David Lake and Patrick M. Morgan, Regional Order Building Security in a New World, (United States of American; Pennsylvania State University Press, 1997) Seung-Yoon, Yang dan Nur Aini Setiawati, Sejarah Korea , Gajah Mada University Press, 2003. , sejarah Korea Awal Abad Hingga Masa Kontemporer, Ghajah Mada University Press, Yogyakarta, 2003 Sukma, Rizal,”Dua Korea dan Prospek Perdamaian di Asia Timur”, dalam Analisa, CSIS, Jakarta, 1992-1993 ix Schuster, Almond and., Websters’s, New Twentieth Century Dictionary Of the English Language : unabridged, edisi ke-2, New York, 1983. Tim Penyususn Kamus Bahasa, Kamus Besar Indonesia, Edisi ke-3 Cetakan Pertama, Balai Pustaka, Jakarta, 2001 Waltz, Kenneth N. Theory of International Politics, New York: McGraw-Hill Inc, 1979. Yani, Yayan Moch., Pengantar Ilmu Hubungan Internasional, Bandung: Rosda Karya, 2006. Jurnal, Laporan Tahunan dan skripsi: Choi, Young,” The North Military Buildup and Its Impact on North Korean Military Strategy in The 1980s”, Asian Survey, Vol. 25, No. 3, (Mar 1985), (University of California Press) Chung, Oknim,” Regional Perspectives and Role on The Korean Peninsula”, Korean and World Affairs, Vol. 22, No. 2, Summer 2001 Djelantik, Sukmawarsini, “Perang Dingin di Asia Timur Laut; Kasus Rivalitas Barat-Timur dalam Perang Korea (1950-1953)”, Jurnal FISIP Potensia, Tahun VII, No. 16, 2006 Hyun-Joon, Ching, “Internal Changes in North Korea: Reality and Prospect”, Korean Focus, Vol. 8, No. 5, September-October 2000 Hyoeng, Jung Park, First year of The Roh Moo-Hyun Administration, Korea and World Affairs, Vol. XXXIV, No. 4, Winner 2003, (Korea: Research Center for Peace and Unification of Korea 2003) Ho, Park Young, ”International Perceptions of Korean Unification Issue”, Korean Focus, Vol. 6, No.1, 1998 James T. Laney and Jason T. Shaplen, How to Deal with North Korea, Foreign Affairs, Vol. 82, No. 2 (Mar-Apr, 2003). Ji, Young Sun,”Conflicting Visison For Korean Reunification”, Fellow, Weatherhead Center For International Affairs, Harvard University, Juni 2001, hal. 7, Diakses dari http://www.wcfia.harvard.edu, pada tanggal 8 Oktober 2010. x Kim, Keun-Sik, Inter-Korean Relation and Thr Future of the Sunshine Policy, the Journal of East Asian Affairs, Vol. XVI, No. 1 Spring/Summer 2002, (The Research Institute for Internasional Affairs, Seoul, Korea 2002). Kim, Young Jeh,” North Korea’s Nuclear Program and Its Impact On Neighboring Countries, Korea and World Affairs, Vol. 17, No. 3, Fall 1993 Kim, Hong Nack,”The Kim Dae Jung Government’s North Korea Policy Problems and Prospects, Korea and World Affairs, Vol XXIII, No. 3, Fall 1999 (Korea; Research Center for Peace and Unification of Korea, 1999) Mack, Andrew, The Nuclear Crisis On The Korean Peninsula, Asian Survey, Vol. 33, No. 4 (April 1993), (United States: University of California Press, 1993). Paik, Hak Soon, “ North Korea’s Unification Policy”, dalam Kwak Tae-Hwan, ed., The Four Powers and Korean Unification Strategies (Seoul: Kyungman University Press, 1997) Park, Hyoeng Jung, FirstbYear of the Roh Moo Hyun Administration, Korea and World Affairs, Vol. XXXIV, No. 4, Winner 2003, (Korea : Research Center for Peace and Unification of Korea 2003). Park, Tong Whan,“ Issues of Arms Control Between the Two Koreans “, Asian Survey, Vol. XXXII, No. 4, April 1992 Pinkston Daniel A. and Philip C. Saunders, Seeing North Korea Clearly, Survival, (The Internasional Institute for Strategic Studies) Vol. 45, No. 3, Autumn 2003 Pramudito,”Tinjauan Prospek Perdamaian di Semenanjung Korea”, dalam Jurnal Caraka Vol.I/No. 5, February-Maret 1998. Ruslin, Ismah Tita, “Krisis Nuklir Korea Utara: Studi Implikasi Pengembangan Nuklir Korea Utara Terhadap Perimbangan Kekuatan Militer di Kawasan Asia Timur”, SPEKTRUM , Vol. 1, No. 2, Oktober 2004 Sam, Kim Young, Three-Phase Unification Formula for Building Korean National Community, Pidato pada tanggal 15 Agustus 1994, didalam Korean Focus, Vol. 2, No. 4 (July-Agustus 1994). xi Sangu, Lee, “Political Thought, Changes in Society and Pyongyang’s Southward Strategy”, Today and Tomorrow of North Korea (Seoul: Bommunsa, 1982), Sangmin, Lee, “North Korea’s Political Structure and Hereditary Succession”, North Korea Research Autumn, 1991 (Seoul: Continental Reseach Institute) Shuja, Sharif M.,” US and Japan’s Trends in Attitudes Toward The Korean Peninsula”, East Asian Studies, Vol. 16, No. 1-2, Spring/Summer 1997 Shin, David W., “Future of The US-ROK Aliance: Manangin The Perception Gap”, dalam KNDU Review of National Security Affairs, Vol. 10, No. 1, June, Research Institute On National Security Affairs, Seoul, 2005 Smith, Hezel Bad, Sad or Rational Actor? Why the ‘Securitization’ Paradigma Makes for Poor Policy Analysis of North Korea, International Affairs, Vol. 76, No. 3, Europe: Where Does It Begin and End? (Jul,2000) sun, Lee young, ”Is Korean Reunification Possible?”, Korea Focus, Vol. 3, No. 3, 1995 Wang, Fei-Ling, “Joining the Major Powers for The Status Quo; China’s Views and Policy on Korean Reunification”, Pasific Affairs, Vol. 72, No. 2 (Summer 1999), (University of British Columbia: Canada, 1999) Yi, Xiaoxing,”A Neutralized Korea? The North-South Rapprochment and China’s Korean Policy”, Korean Journal of Defense Analysis, Vol. XIII, No. 2, Winter 2000 Yung, Lee Hong,”The Korean Summit Meeting and The Internasional Environment”, Korean Journal, Vol. 41, No. 2, Summer 2001 Laporan Tahunan Departemen Luar Negeri, Tahun 1999, buku 1, Seoul Laporan Tahuanan Kedutaan Besar RI untuk Korea Selatan, 2000 Jaya, I Wayan Setia, “Faktor-faktor Determinan yang menyebabkan Pergeseran Pola Hubungan Korea Utara-Korea Selatan dalam Isu Reunifikasi Pasca Perang Dingin”, (Skripsi S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Ilmu Politik,Universitas Indonesia Jakarta, 2001) xii Surat Kabar: Koran Tempo,”Korea Selatan Mendesak Segerakan Perundingan”, 16 April 2003. Kompas, “Korea Selatan menerima Tawar Menawar Korut”. 22 April 2003 , “Korea Selatan Miliki Kartu Hadapi Korea Utara”, 17 Mei 2003. Suara Pembaruan, “Diplomasi Roh dan Stabilitas Semenanjung Korea”, 30 Juli 2003. Kompas, ”Rekonsiliasi Korea Melalui Kereta Api”, 9 Mei 2007 , “Kereta Api Pertama Melewati Perbatasan Perang Dingin”, 18 Mei 2007 , Kompas, “Pertemuan Dua Korea Belum Membuahkan Hasil”, 19 Mei 2007 Republika, “Dua Korea Sepakati Komitmen Bagi Perdamian”, 5 Oktober 2007. Koran Tempo,” Krisis Semenanjung Korea”, Selasa 25 Maret 2003 Media Indonesia, “Dua Korea Menuju Damai (Deklarasi Monumental Kim dan Roh)”, 5 Oktober 2007 Suara Pembaruan, “Korea Selatan Perkuat Upaya Diplomatik Hadapi Korea Utara”, 14 Mei 2007 Lain-lainnya : Tangker Minyak Menuju Korut, diakses dari: http://www.BBCIndonesia.com, diakses pada tanggal 21 januari 2011 “Penjelasan Presiden Roh Moo-hyun tentang 4 tahap penyatuan Korea”, diakses dari diakses pada tanggal 14 Februari 2011. ”KTT Dua Korea - Simbolis atau Berhasil Kongkrit?”, diakses dari http://www.kabarindonesia.com,, diakses pada tanggal 20 Februari 2011. “Menjawab Tantangan di Semenanjung Korea“, Diakses dari http://www.kompas.com/kompas-cetak/0406/02/opini/1056776.htm, pada 16 Desember 2010. “Dambaan Presiden Korsel, Perdamaian, dan Pusat Ekonomi“, diakses dari http://www.suarapembaruan.com/News/2003/02/06/Editor/edi01.html., pada 12 Desember 2010 xiii Peta Korea Diakses, http://indonesiaseoul.org/pictures/korea.jpg&w=396&h=425&ei=eWxdT5 qnBIfTrQf884WjDA&zoom=1, pada 12 Maret 2012 “Sinar Matahari di Selatan http://kompas.com/kompas dan Utara”, Diakses -cetak/0209/30/or/sina31.html, pada dari, 26 Septemeber 2009 Partai URI merupakan partai yang didirikan oleh Roh Moo-hyun dan pendukungannya pada saat satu bulan setelah terpilihnya Roh menjadi presiden Korea Selatan, diakses dari http://www.news.bbc.co.uk./2/hl/asiapasific/2535143.stm, pada19 September 2011 “Penjelasan Presiden Roh Moo Hyun tentang 4 tahap penyatuan Korea”, Diakses dari, http://www.kompas.com/kompas- cetak/0006/16/utama/temb0l.htm, pada 14 Februari 2011 Fokus: “Ancaman Nuklir Korea Utara dan Sikap EU“, Diakses dari , http://www.indonesia-eu.com,pada 24 Januari 2011 “Kembar Beda Nasib”, Diakses dari, http://www.rimanews.com/read/20100629/1196/kembar-tapi-beda-nasib, pada 14 Februari 2011 xiv