TINJAUAN PUSTAKA Pengendalian Hayati Di beberapa

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Pengendalian Hayati
Di beberapa perkebunan kelapa sawit masalah UPDKS khususnya ulat
kantong M. plana diatasi dengan menggunakan bahan kimia sintetik yang mampu
menurunkan populasi hama secara cepat, sehingga dapat dihindarkan terjadinya
kerusakan daun kelapa sawit. Namun demikian, penggunaan insektisida kimia
sintetik yang kurang bijaksana dapat menimbulkan berbagai dampak negatif
terhadap lingkungan, dan justru dapat mengakibatkan permasalahan hama antara
lain: meningkatnya resistensi hama terhadap insektisida kimia, terjadinya ledakan
populasi serangga hama sekunder, meningkatnya risiko keracunan pada manusia
dan hewan ternak, terkontaminasinya air tanah, menurunnya biodiversitas, dan
bahaya-bahaya lain yang berkaitan dengan lingkungan (Untung, 1984).
Timbulnya masalah-masalah tersebut menjadi stimulan yang meningkatkan
kepedulian
terhadap
upaya
pengendalian
hama
secara
hayati
maupun
pengendalian hama secara terpadu (PHT).
Pertanian berkelanjutan pada abad 21 akan lebih mengedepankan upaya
alternatif pengelolaan serangga hama yang ramah lingkungan dan meminimalkan
kontak
antara
manusia
dengan
insektisida
kimia.
Patogen
(entomopatogen) yang berpeluang untuk mengisi kebutuhan
serangga
akan alternatif
pengendalian hama masih membutuhkan beberapa perbaikan. Perbaikan tersebut
termasuk perbaikan potensi, produksi dan formulasi. Dibutuhkan pemahaman
yang
tepat
terhadap kemampuannya berintegrasi dengan ekosistem, dan
Universitas Sumatera Utara
7
kesesuaiannya dengan lingkungan dan komponen PHT lainnya, serta dapat
diterima oleh petani atau pengguna (Nugrohorini dkk, 2009)
Pengendalian hayati dilihat dari aspek ekologi adalah suatu fase dari
pengendalian alami. Definisi pengendalian hayati adalah perbuatan parasitoid,
predator dan patogen dalam memelihara kepadatan populasi organisme pada
tingkat rata-rata yang lebih rendah dari pada apabila perbuatan itu tidak ada.
Pengendalian alami mencakup semua pengaturan populasi secara hayati tanpa
campur tangan manusia. Sebaliknya jika pengendalian alami secara langsung dan
sengaja digunakan untuk pengendalian organisme pengganggu atau jika
pemahaman tentang organisme hidup digunakan sebagai dasar untuk strategi atau
taktik pengendalian, maka didefinisikan sebagai pengendalian hayati (biological
control). Jadi pengendalian hayati adalah manipulasi secara langsung dan sengaja
menggunakan musuh alami, pesaing organisme pengganggu, seluruhnya atau
sebagian , atau sumber daya yang diperlukan oleh agensia itu untuk pengendalian
organisme pengganggu atau dampak negatifnya (Tampubolon, 2004).
Organisme yang dapat berperan sebagai agens hayati tersebut dapat berupa
jamur, bakteri, virus, nematoda, mikroplasma, protozoa atau jasad renik lainnya
yang sering disebut entomopatogen, serta golongan hewan dan serangga yang
bersifat predator. Chung dan Narendran (1996) melaporkan bahwa perlakuan
dengan 10 macam insektisida mikroba dengan bahan aktif Bacillus thuringiensis
terhadap ulat kantong M. plana yang dipelihara pada bibit kelapa sawit
mengakibatkan kematian ulat kantong tersebut dapat mencapai 63,86 sampai
100% pada delapan hari setelah aplikasi. Ramlah dkk. (1996) menemukan adanya
infeksi Nucleopolyhedrovirus (NPV) sampai 45.5% pada ulat kantong yang baru
Universitas Sumatera Utara
8
saja mati. Organisme tersebut keberadaannya di alam memegang peran yang
sangat penting dan ikut menentukan keseimbangan alam, oleh karena itu sering
disebut musuh alami (Prasetijono, 2007). Keberadaan musuh alami ini sering
mengalami goncangan bahkan hampir menghilang. Hal ini sebagai konsekuensi
logis dari perubahan bioekosistem. Khususnya agroekosistem akibat tindak kelola
yang dijalankan manusia atau tata perubahan alami yang terjadi di lingkungan
karena pengaruh biotik dan abiotik sehingga potensinya tidak optimal dan jauh
tertinggal dari populasi organisme pengganggu tumbuhan (OPT). Hal ini
menjadikan sering munculnya problem OPT dan bumerang bagi manusia itu
sendiri.
Metisa plana (Lepidoptera: Psychidae)
Ciri khas ulat kantong adalah hidupnya di dalam sebuah bangunan mirip
kantong yang berasal dari potongan-potongan daun, tangkai bunga tanaman inang,
di sekitar daerah serangan (Norman dkk, 1998). Ciri khas yang lain yakni
betina
tidak mampu terbang. Jantan memiliki sayap dan akan mencari betina karena
feromon yang dikeluarkan betina untuk menarik serangga jantan.
Siklus hidup ulat kantong identik dengan ulat kupu-kupu dan ngengat
lainnya. Telur menetas dalam kantong menjadi ulat. Pada stadia ini ulat mampu
mengeluarkan benang dan menyebar dibantu oleh angin dan hewan. Pengetahuan
tentang siklus hidup secara utuh sangat berguna dalam manajemen pengendalian
hama ulat kantong. Adanya informasi ini, maka rantai terlemah dari siklus
hidupnya didapat, sehingga akan membantu dalam menentukan waktu tindakan
pengendalian yang tepat. Informasi siklus hidup juga akan memberikan
pemahaman yang baik dalam pengelolaan hama ini (Purba dkk, 2005)
Universitas Sumatera Utara
9
Biologi M.plana
Telur
Telur ulat kantong berada di dalam kantong, berukuran kecil berbentuk
bulat dan berwarna putih saat diletakkan dan akan berwarna kecoklatan pada saat
akan menetas. Telur akan menetas dalam waktu 18 hari (Prawirosukarto dkk,
2007).
Larva
Larva berukuran lebih kecil dibandingkan dengan M. Corbetti. Pada akhir
perkembangannya dapat mencapai panjang sekitar 12 mm, dengan panjang
kantong 15-17 mm. Stadia larva M. plana terdiri atas 4-5 instar dan berlangsung
sekitar 50 hari. Larva yang baru menetas berwarna putih kecoklatan, akan keluar
dari kantong dan bergantungan dengan bantuan air liurnya. Kadang-kadang larva
tetap berkelompok membuat masing-masing kantong. Larva M. plana memakan
epidermis daun sehingga pada serangan tinggi daun berwarna kecoklatan seperti
terbakar dan akhirnya daun menjadi melidi (Prawirosukarto dkk, 2007).
Kepompong
Waktu berkepompong, kantong kelihatan halus permukaan luarnya.
Berukuran panjang sekitar 15 mm dan menggantung seperti kait di permukaan
bawah daun. Stadia kepompong berlangsung selama 25 hari (Susanto dkk, 2010)
Ngengat
Ngengat jantan memiliki rentang sayap 17-20 mm, berwarna coklat
kehitaman, antena panjang dan berbulu pada ujung. Ngengat betina tidak memiliki
sayap dan dapat menghasilkan telur sebanyak 100-300 butir selama hidupnya.
Siklus hidup berlangsung selama 100 hari (Borror dkk, 1982; Susanto dkk, 2010).
Universitas Sumatera Utara
10
Gejala serangan
Gejala serangan ulat kantong ditandai dengan terlihatnya tajuk tanaman
yang kering seperti terbakar. Basri dkk, (1993) menyatakan bahwa kehilangan
daun akibat serangan ulat ini dapat mencapai 46,6%. Prawirosukarto dkk, (1997)
menyatakan kehilangan daun mencapai 50% pada tanaman kelapa sawit yang
berumur 1-2 tahun. Tanaman pada semua umur rentan terhadap serangan ulat
kantong, tetapi lebih cenderung berbahaya terjadi pada tanaman dengan umur
lebih dari 8 tahun. Keadaan ini mungkin ditimbulkan dari kemudahan penyebaran
ulat kantong pada tanaman yang lebih tua karena antar pelepah daun saling
bersinggungan. Tingkat populasi kritis 20-30 ulat/pelepah (Prawirosukarto dkk,
2007).
Nematoda Steinernema sp. (Rhapditidae: Steinernematidae)
Nematoda adalah hewan yang bergerak aktif, lentur dan berbentuk seperti
pipa. Hidup pada permukaan yang lembab dan tidak memiliki sistem peredaran
darah. Nematoda entomopatogen hidup sebagai parasit, khususnya bagi serangga
hama. Ada dua famili nematoda sebagai entomopatogen (NEP) yaitu
Steinernematidae dan Heterohabditidae. Nematoda di dalam suatu ekosistem
dapat digolongkan menjadi nematoda entomopatogen, parasit dan predator.
Patogen adalah mikroorganisme yang membuat luka atau membunuh inangnya.
Beberapa patogen menyebabkan penyakit pada tanaman dan hewan. Nematoda ini
membunuh serangga dengan bantuan yang diperoleh dari simbiotik mutualistik
dengan bakteri yang dibawa dalam saluran pencernaannya (Grewal dan Ruisheng,
2007).
Salah satu nematoda entomopatogen dari famili Steinernematidae adalah
Steinernema. Nematoda Steinernema telah banyak digunakan sebagai agensia
Universitas Sumatera Utara
11
hayati bahkan sudah diperdagangkan. Teknik pengendalian hama ini berpotensi
mengurangi ketergantungan pada insektisida kimia, yaitu dapat dimanfaatkan
sebagai biopestisida. Selain mudah dikembangbiakkan dan memiliki kemampuan
menginfeksi yang tinggi, nematoda ini juga mempunyai kisaran inang yang luas.
Menurut Poinar (1979), Steinernema sp. dapat menginfeksi lebih dari 250 spesies
serangga yang berasal dari 75 famili.
Steinernema sp. dapat menimbulkan penyakit (patogenik) pada serangga.
Patogenisitasnya terhadap serangga dibantu oleh interaksi mutualistik dengan
bakteri simbion yang hidup dalam saluran pencernaannya (Smigielsky dan
Akhurst, 2004). Hubungan mutualistik ini memberikan beberapa keuntungan bagi
nematoda, antara lain membunuh inang dengan cepat serta menyediakan nutrisi
dan lingkungan yang sesuai bagi perkembangan dan reproduksi nematoda
(Subagiya, 2005).
Pada saat mendapatkan inang yang sesuai, NEP akan memasuki saluran
pencernaan
larva, kemudian melakukan penetrasi ke dalam hemosel inang.
Menurut Prabowo dan Indrayani (2009), NEP dapat masuk ke dalam hemosel
melalui spirakel atau dengan melakukan penetrasi langsung melalui kutikula larva.
Pada saat masuk ke dalam hemosel, NEP melepaskan bakteri ke dalam hemolimfa.
Selanjutnya NEP dan bakteri simbionnya secara cepat membunuh larva serangga.
Biologi Steinernema sp.
Nematoda Steinernema sp. mempunyai siklus hidup yang sederhana,
perkembangannya dari telur, juvenil dan dewasa. Nematoda berkembang dengan
cepat menjadi dewasa dan menghasilkan telur. Juvenil instar pertama keluar dari
telur dan akan menjadi juvenil infektif yang dapat menginfeksi inangnya. Stadia
Universitas Sumatera Utara
12
juvenil terdiri dari tiga instar yaitu instar I, II dan III. Stadia infektif nematoda
adalah pada instar III yang secara morfologis dan fisiologis dapat hidup untuk
waktu yang lama sebelum mendapatkan inang (Poinar, 1979).
Ekologi Steinernema sp.
Lingkungan yang sesuai merupakan faktor utama bagi perkembangbiakan
nematoda. Kemampuan nematoda untuk menyebar, mempertahankan diri,
menemukan inang, dan bereproduksi dalam tanah sangat dipengaruhi oleh
kelembaban dan temperatur tanah (Gaugler, 2001).
Kelembaban merupakan syarat penting untuk bertahan hidup dalam habitat
mikro nematoda. Pada kelembaban relatif 26-27% pada suhu 220 C, juvenil
infektif hanya bertahan selama 3 jam. Kelembaban relatif yang optimum berkisar
antara 70-80%, nematoda akan bertahan sampai 20 hari (Poinar, 1979).
Mekanisme menginfeksi inang
Proses infeksi nematoda terhadap inang disebabkan adanya interaksi
metabolistik antara nematoda patogen dengan bakteri. Bakteri ini terdapat dalam
saluran pencernaan juvenile infektif (Salame dan Glazer, 2000).
Nematoda patogen serangga menginfeksi inangnya dengan cara memasuki
lubang-lubang alami seperti spirakel, mulut dan anus serta penetrasi langsung
menembus kutikula. Infeksi nematoda Steinernema sp. sebagian besar melalui
serangga inangnya yakni melalui saluran pencernaan selanjutnya menuju homosel.
Kemudian bakteri dilepaskan melalui anus yang menyebabkan keracunan dan
kematian inang (Subagiya, 2005).
Nematoda diberi makan oleh bakteri dari jaringan inang dan berkembang
dengan cepat hingga dewasa, kemudian nematoda memasuki masa reproduksi dan
Universitas Sumatera Utara
13
menghasilkan telur. Semua nutrisi yang ada dalam tubuh inang akan menjadi
sumber makanannya (Grewal dan Ruisheng, 2007), selanjutnya nematoda akan
berkembang menjadi generasi kedua dan ketiga yang akan keluar lagi dari bangkai
inang dan mencari inang yang baru (Tanada dan Kaya, 1993).
Secara umum gejala dan tanda inang yang terinfeksi oleh nematoda
entomopatogen adalah serangga akan berhenti bergerak dan makan, pertama kali
terjadi perubahan warna di ujung abdomen dari coklat muda hingga ke abu-abuan
kemudian ke seluruh tubuh larva dan lama kelamaan akan menjadi hancur (Kaya,
1996)
Universitas Sumatera Utara
Download