BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. KONSEP DIRI 1. Pengertian Konsep

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. KONSEP DIRI
1. Pengertian Konsep Diri
Konsep diri merupakan evaluasi individu mengenai diri sendiri, penilaian atau penaksiran
mengenai diri sendiri oleh individu bersangkutan, konsep diri terbentuk karena adanya interaksi
dengan orang-orang sekitarnya (Chalpin dalam Pardede, 2008). Menurut Cooley (dalam Yusuf,
2005) melalui analogi cermin sebagai sarana bagi seseorang melihat dirinya (the looking glass
self), konsep diri seseorang diperoleh dari hasil penilaian atau evaluasi orang lain terhadap
dirinya. Konsep diri dapat didefinisikan secara umum sebagai keyakinan, pandangan atau
penilaian seseorang terhadap dirinya (Fatimah, 2012).
Burns (dalam Kusumawardani, 2012) mengungkapkan bahwa konsep diri merupakan sikap
dan keyakinan tentang diri sendiri baik fisik, karakteristik, tujuan hidup antara lain cita-cita,
motivasi, kelemahan, kelebihan, kepandaian dan kegagalan. Sejalan dengan hal tersebut, Hurlock
(1999) memberikan pengertian tentang konsep diri sebagai sekumpulan keyakinan dan perasaan
yang dimiliki individu tentang mereka sendiri, merupakan hal yang penting bagi kehidupan
individu karena konsep diri menentukan bagaimana individu bertindak dalam berbagai situasi.
George Herbert Mead (dalam Sutatminingsih, 2009) mengemukakan bahwa konsep diri
merupakan produk sosial yang dibentuk melalui proses internalisasi dan organisasi pengalamanpengalaman psikologis. Pengalaman-pengalaman psikologis ini merupakan hasil eksplorasi
individu terhadap lingkungan fisiknya dan refleksi dari dirinya yang diterima dari orang-orang
penting (significant others) disekitarnya. Sejalan dengan hal tersebut, Stuart dan Sundeen (dalam
Sarwono, 2012) mengatakan konsep diri adalah semua ide, pikiran, kepercayaan dan pendirian
yang diketahui individu tentang dirinya, dan mempengaruhi individu dalam berhubungan dengan
orang lain. Hal ini termasuk persepsi individu akan sifat dan kemampuannya, interaksi dengan
orang lain dan lingkungan, nilai-nilai yang berkaitan dengan pengalaman dan objek, tujuan serta
keinginannya. Penghargaan mengenai diri akan menentukan bagaimana individu akan bertindak
dalam hidup.
William H. Fitts (dalam Agustiani, 2009) mengemukakan bahwa konsep diri merupakan
aspek penting dalam diri seseorang, karena konsep diri seseorang merupakan kerangka acuan
dalam berinteraksi dengan lingkungan. Konsep diri berpengaruh kuat terhadap tingkah laku
seseorang, dengan mengetahui konsep diri seseorang, maka akan lebih mudah meramalkan dan
memahami tingkah laku orang tersebut. Pada umumnya tingkah laku individu berkaitan dengan
gagasan-gagasan tentang dirinya sendiri.
Berdasarkan beberapa pengertian yang dipaparkan diatas, peneliti menggabungkan
beberapa pengertian dari Burns (dalam Kusumawardani, 2012) yang mengungkapkan bahwa
konsep diri merupakan sikap dan keyakinan tentang diri sendiri baik fisik, karakteristik, tujuan
hidup antara lain cita-cita, motivasi, kelemahan, kelebihan, kepandaian dan kegagalan dan
pengertian dari William H. Fitts (dalam Agustiani, 2009) mengemukakan bahwa konsep diri
merupakan aspek penting dalam diri seseorang, karena konsep diri seseorang merupakan
kerangka acuan dalam berinteraksi dengan lingkungan, sehingga peneliti dapat menyimpulkan
bahwa konsep diri adalah pandangan dan keyakinan individu mengenai dirinya sendiri, baik
fisik, sosial, emosional, serta aspirasi dan prestasi yang juga dapat diperoleh dari persepsi orang
lain terhadap individu tersebut, serta melibatkan pengalaman-pengalaman psikologis dan
interaksi dengan orang lain yang kemudian dapat menentukan individu dalam bertindak dan
berperilaku.
2. Jenis- Jenis Konsep Diri
Menurut Brooks dan Emmert (dalam Jahja, 2011) dalam perkembangannya konsep diri
terbagi dua, yaitu konsep diri positif dan konsep diri negatif. Konsep diri positif ditandai dengan
hal sebagai berikut:
a. Memiliki keyakinan bahwa individu mampu mengatasi masalah.
b. Merasa setara dengan orang lain.
c. Menerima pujian tanpa merasa malu/ bersalah.
d. Menyadari bahwa setiap orang memiliki keinginan, perasaan serta perilaku yang
seluruhnya belum tentu disetujui oleh masyarakat.
e. Mengetahui dan menyadari kekurangan-kekurangan yang ada dalam dirinya dan
berusaha memperbaikinya.
Berbeda dengan sifat angkuh, dasar dari konsep diri positif bukanlah kebanggaan
yang besar tentang diri, tetapi lebih kepada penerimaan diri. Oleh karena itu, hal ini akan
membawa individu kepada kerendahan hati dan kedermawanan daripada keegoisan dan
keangkuhan, sedangkan konsep diri negatif, ciri- cirinya sebagai berikut:
a. Peka pada kritik,
Hampir selalu merasa tidak tahan terhadap kritikan yang diterimanya dan mudah
marah atau naik pitam. individu dengan konsep diri yang negatif akan melihat hal
tersebut sebagai usaha orang lain untuk menjatuhkan harga dirinya. sehingga, individu
terkadang tampak keras kepala dan berusaha mempertahankan pendapatnya dengan
menggunakan berbagai logika yang keliru.
b. Responsif terhadap pujian,
Meskipun individu tampak tidak peduli dan menghindari pujian namun antusiasme
terhadap pujian masih akan tampak. Bagi individu yang seperti ini menganggap segala
macam hal yang yang menunjang harga dirinya menjadi pusat perhatiannya.
c. Hiperkritis,
Selalu mengeluh, mencela, meremehkan apapun dan siapapun. Individu yang mempunyai
sifat seperti ini tidak pandai dan tidak sanggup mengungkapkan penghargaan atau
pengakuan pada kelebihan orang lain.
d. Memiliki kecenderungan untuk merasa tidak disenangi oleh orang lain.
Reaksinya yang memandang orang lain sebagai musuh, tidak lain karena individu tersebut
merasa tidak diperhatikan, walaupun individu dengan konsep diri yang negatif akan merasa
diri sebagai korban dari sistem sosial yang bermasalah yang pada akhirnya membuat
individu menjadi pesimis, hal ini terjadi karena individu merasa tidak berdaya atau tidak
mampu melawan persaingan yang ada.
Berdasarkan penjelasan diatas, secara garis besar konsep diri terbagi menjadi dua bagian
yaitu konsep diri positif dan negatif. Konsep diri yang positif adalah ketika individu dapat
mengerti dan menerima dirinya dengan baik, sehingga individu tersebut dapat menerima setiap
evaluasi terhadap dirinya dengan baik. Konsep diri positif memiliki ciri-ciri; memiliki keyakinan
mampu mengatasi masalah, merasa diri sama dengan orang lain, menerima pujian tanpa rasa
malu, sadar akan setiap orang yang memiliki keinginan yang seluruhnya belum tentu disetujui
oleh masyarakat, sadar akan kekurangan dalam dirinya dan berusaha untuk memperbaiki,
sedangkan konsep diri yang negatif memiliki ciri-ciri sebagai berikut; peka terhadap kritik,
responsif terhadap pujian, hiperkritis, memiliki kecenderungan untuk merasa tidak disenangi
oleh orang lain karena merasa tidak diperhatikan.
3. Aspek-Aspek Konsep Diri
Berzonsky (dalam Fatimah, 2012) menjelaskan ada empat aspek konsep diri yang bersifat
positif dan negatif, yaitu :
a. Konsep diri fisik,
Konsep diri fisik berarti pandangan, pikiran, perasaan dan pemikiran individu terhadap
fisiknya sendiri.
b. Konsep diri psikis,
Konsep diri psikis berarti pandangan, pikiran, perasaan dan penilaian individu terhadap
pribadinya sendiri.
c. Konsep diri sosial,
Konsep diri sosial berarti pendangan, pikiran dan penilaian individu terhadap kecenderungan
sosial yang ada pada dirinya sendiri, konsep diri sosial berkaitan dengan kemampuan yang
berhubungan dengan dunia di luar dirinya, perasaan mampu, dan berharga dalam lingkup
interaksi sosial.
d. Konsep diri moral.
Konsep diri moral berarti pandangan, pikiran, perasaan, dan penilaian individu terhadap
moralitas dirinya sendiri, konsep diri moral berkaitan dengan nilai dan prinsip yang member
arti dan arah bagi kehidupan seseorang.
Berdasarkan pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa dari beberapa pendapat para ahli
yang berbeda mengenai aspek konsep diri, namun peneliti menggunakan aspek konsep diri oleh
Berzonsky (dalam Fatimah, 2012), yaitu konsep diri fisik, konsep diri psikis, konsep diri sosial
dan konsep diri moral.
4.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konsep Diri
Pada dasarnya perkembangan konsep diri dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut
Baldwin dan Holmes (dalam Pardede, 2008) ada beberapa faktor yang mempengaruhi konsep
diri individu adalah sebagai berikut:
a. Orangtua,
Orangtua adalah kontak sosial yang paling awal individu alami dan yang paling
berpengaruh. Orangtua sangat penting bagi seorang anak, sehingga apa yang anak
komunikasikan akan lebih berpengaruh daripada informasi lain yang diterima anak
sepanjang hidupnya. Orangtua memberikan arus informasi yang konstan mengenai diri anak.
Orangtua juga membantu dalam menetapkan pengharapan serta mengajarkan anak
bagaimana menilai dirinya sendiri. Pengharapan dan penilaian tersebut akan terus terbawa
sampai anak menjadi dewasa.
b. Teman sebaya,
Setelah orangtua, kelompok teman sebaya juga cukup mempengaruhi konsep diri individu.
Penerimaan maupun penolakan kelompok teman sebaya terhadap individu akan berpengaruh
pada konsep diri individu tersebut. Peran yang diukir individu dalam kelompok teman
sebayanya dapat member pengaruh yang dalam pada pandangannya tentang dirinya sendiri
dan peranan ini, bersama dengan penilaian diri yang dimilikinya akan cenderung terus
berlangsung dalam hubungan sosial ketika dewasa.
c. Masyarakat,
Sama halnya seperti orangtua dan teman sebaya, masyarakat juga memberitahu individu
bagaimana mendefinisikan diri sendiri. Penilaian dan penghargaan masyarakat terhadap
individu dapat masuk ke dalam konsep diri individu dan individu akan berperilaku sesuai
dengan pengharapan tersebut.
d. Belajar.
Konsep diri merupakan hasil belajar, belajar dapat didefinisikan sebagai perubahan
psikologis yang relatif permanen yang terjadi dalam diri individu sebagai akibat dari
pengalaman, dalam mempelajari konsep diri terdapat tiga faktor utama yang harus
dipertimbangkan, yaitu: asosiasi, ganjaran dan motivasi.
Berdasarkan penjelasan diatas, konsep diri terbentuk dari pengalam seseorang akibat
adanya hubungan dengan significant others, sehingga dapat disimpulkan bahwa beberapa hal
yang dapat mempengaruhi konsep diri adalah, keluarga, teman sebaya, masyarakat, dan belajar.
B. KONFORMITAS
1. Pengertian Konformitas
David O’Sears (2009) mengatakan bahwa bila seseorang menampilkan perilaku tertentu
karena disebabkan oleh karena orang lain menampilkan perilaku tersebut disebut konformitas.
Konformitas adalah penyesuaian perilaku individu untuk menganut pada norma kelompok acuan,
menerima ide atau aturan-aturan yang menunjukkan bagaimana individu berperilaku (Baron&
Byrne, 2001). Pendapat lain juga dikatakan oleh Jalaludin (2004) yaitu bila sejumlah orang
dalam kelompok mengatakan atau melakukan sesuatu, ada kecenderungan para anggota untuk
mengatakan dan melakukan hal yang sama disebut dengan konformitas.
Konformitas adalah perubahan perilaku ataupun keyakinan agar sama dengan orang lain
(Myers dalam Hotpascaman, 2010). Asch (dalam Hotpascaman, 2010) mendefinisikan
konformitas sebagai perubahan dalam sikap dan perilaku yang dibawa seseorang sebagai hasrat
untuk mengikuti kepercayaan atau standar yang dtetapkan orang lain. Konformitas juga diartikan
sebagai bujukan untuk merasakan tekanan kelompok meskipun tidak ada permintaan langsung
untuk tunduk pada kelompok (Deux dalam Hotpascaman, 2010).
Zebua dan Nurdjayadi (2001) mengemukakan bahwa konformitas pada remaja umumnya
terjadi karena mereka tidak ingin dipandang berbeda dengan teman-temannya, pada remaja
tekanan teman-temannya lebih dominan. Hal ini disebabkan oleh besarnya keinginan untuk
menjaga harmonisasi dan penerimaan sosial dalam kelompok.
Berdasarkan beberapa pengertian yang dipaparkan diatas, peneliti menggabungkan
pernyataan dari pengertian konformitas menurut Baron& Byrne (2001) yang menyebutkan
bahwa konformitas adalah penyesuaian perilaku individu untuk menganut pada norma kelompok
acuan, menerima ide atau aturan-aturan yang menunjukkan bagaimana individu berperilaku dan
pernyataan pengertian konformitas dari Deux dalam Hotpascaman (2010) yang menyebutkan
bahwa konformitas sebagai bujukan untuk merasakan tekanan kelompok meskipun tidak ada
permintaan langsung untuk tunduk pada kelompok (Deux dalam Hotpascaman, 2010), sehingga
peneliti dapat menyimpulkan bahwa konformitas merupakan perubahan perilaku sebagai usaha
untuk menyesuaikan diri dengan norma kelompok acuan baik ada maupun tidak ada tekanan
secara langsung yang berupa suatu tuntutan tidak tertulis dari kelompoknya terhadap anggotanya,
namun memiliki pengaruh yang kuat dan dapat menyebabkan munculnya perilaku-perilaku
tertentu pada anggota kelompok tersebut.
2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konformitas
Menurut David O’Sears (2009) menyebutkan ada empat faktor yang mempengaruhi
konformitas, antara lain :
a. Kekompakan kelompok,
Konformitas juga dipengaruhi oleh eratnya hubungan antara individu dengan kelompoknya.
Kekompakan kelompok adalah jumlah total kekuatan yang menyebabkan individu tertarik
pada suatu kelompok dan yang membuat mereka ingin tetap menjadi anggotanya.
Kekompakan yang tinggi menimbulkan konformitas yang semakin tinggi. Alasan utamanya
adalah bahwa bila individu merasa dekat dengan anggota kelompok yang lain akan semakin
menyenangkan bagi mereka untuk mengakui kita, dan semakin menyakitkan bila mereka
mencela kita, artinya kemungkinan untuk menyesuaikan diri atau tidak menyesuaikan diri
akan semakin besar bila kita mempunyai keinginan yang kuat untuk menjadi anggota
kelompok tersebut. Bila melakukan sesuatu yang berharga konformitas yang dihasilkan
kelompok akan meningkat, peningkatan konformitas ini terjadi karena anggotanya enggan
disebut individu yang menyimpang, penyimpangan menimbulkan risiko ditolak oleh
kelompoknya. Semakin tinggi perhatian individu terhadap kelompoknya, semakin serius
tingkat rasa takutnya terhadap penolakan dan semakin kecil kemungkinan untuk tidak
menyetujui kelompoknya.
b. Kesepakatan kelompok,
Faktor yang sangat penting bagi timbulnya konformitas adalah kesepakatan pendapat
kelompok. Individu yang dihadapkan pada keputusan kelompok yang sudah bulat akan
mendapat tekanan yang kuat untuk menyesuaikan pendapatnya, namun apabila kelompok
tidak bersatu, maka akan tampak adanya penurunan tingkat konformitas. Moris dan Miller
(dalam David O’Sears, 2009) menunjukkan bahwa saat terjadinya perbedaan pendapat bisa
menimbulkan perbedaan. Apabila individu menyatakan pendapat yang berbeda setelah
mayoritas menyatakan pendapatnya, konformitas akan menurun. Penurunan konformitas
yang drastis karena hancurnya kesepakatan disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama,
tingkat kepercayaan terhadap mayoritas akan menurun bila terjadi perbedaan pendapat,
meskipun individu yang berbeda pendapat tersebut sebenarnya kurang ahli apabila
dibandingkan individu lain yang membentuk mayoritas. Kedua, bila anggota kelompok yang
lain mempunyai pendapat yang sama, keyakinan individu terhadap pendapatnya sendiri akan
semakin kuat. Keyakinan yang kuat akan menurunkan konformitas. Ketiga, menyangkut
keengganan untuk menjadi individu yang menyimpang.
c. Ukuran kelompok,
Beberapa eksperimen menunjukkan bahwa konformitas akan meningkat apabila ukuran
mayoritas yang sependapat juga meningkat, setidak-tidaknya sampai tingkat tertentu. Asch
(dalam David O’Sears, 2009) dalam eksperimennya menemukan bahwa dua individu
menghasilkan tekanan yang lebih kuat daripada satu individu, tiga individu memberikan
tekanan yang lebih besar daripada dua individu, dan empat individu kurang lebih sama
dengan tiga individu. Penambahan jumlah anggota mayoritas sehingga lebih dari empat
individu tidak meningkatkan mayoritas, setidak-tidaknya sampai individu, sehingga dapat
disimpulkan bahwa untuk menghasilkan tingkat konformitas yang paling tinggi, ukuran
kelompok yang optimal adalah tiga atau empat individu.
d. Keterikatan pada penilaian bebas.
Keterikatan sebagai kekuatan total yang membuat individu mengalami kesulitan untuk
melepaskan suatu pendapat. Individu yang secara terbuka dan sungguh-sungguh terikat
suatu penilaian bebas akan lebih enggan menyesuaikan diri terhadap perilaku kelompok
yang berlawanan, mungkin harus menanggung risiko mendapat celaan sosial karena
menyimpang dari pendapat kelompok, tetapi keadaan akan lebih buruk apabila individu
mengetahui bahwa kita telah mengorbankan penilaian pribadi sendiri hanya untuk
menyesuaikan diri terhadap kelompok.
Menurut Myers (dalam Hotpascaman, 2010) mengungkapkan ada 5 faktor yang
mempengaruhi individu untuk conform adalah:
a. Besaran kelompok (Group size),
Semakin besar jumlah anggota kelompok, semakin besar juga pengaruhnya terhadap
individu.
b. Keterpaduan/ kohesivitas (Cohession),
Cohession merupakan perasaan yang dimiliki oleh anggota dari kelompok dimana mereka
merasa ada ketertarikan dengan kelompok. Myers (dalam Hotpascaman, 2010)
menambahkan semakin seseorang memiliki kohesif dengan kelompoknya maka semakin
besar pengaruh dari kelompok pada individu tesebut.
c. Status,
Dalam sebuah kelompok, bila individu memiliki status yang tinggi cenderung memiliki
pengaruh yang lebih besar, sedangkan individu memiliki status yang rendah cenderung
untuk mengikuti pengaruh yang ada.
d. Tanggapan umum (Public Response),
Ketika individu diminta untuk menjawab secara langsung pertanyaan di hadapan publik,
individu akan lebih konform, daripada individu tersebut diminta untuk menjawab dalam
bentuk tulisan.
e. Komitmen umum (No Prior Comitment).
Individu yang sudah memutuskan untuk memiliki pendiriannya sendiri, akan cenderung
mengubah pendiriannya disaat individu tersebut dipertunjukkan pada adanya aspek
tekanan sosial. Konformitas akan lebih mudah terjadi pada orang yang tidak mempunyai
komitmen apa-apa.
3. Sebab-Sebab Timbulnya Konformitas
Menurut David O’Sears (2009) pada dasarnya, individu melakukan perilaku conform
terhadap kelompoknya karena dua alasan, yaitu:
a. Perilaku orang lain (kelompok) memberikan informasi yang bermanfaat,
Orang lain merupakan sumber informasi yang penting, mereka mengetahui sesuatu yang
tidak kita ketahui. Dengan melakukan apa yang mereka lakukan kita akan memperoleh
manfaat dari pengetahuan mereka. Tingkat konformitas yang didasarkan pada informasi
ditentukan oleh dua aspek situasi, antara lain:
1. Kepercayaan terhadap kelompok
Semakin besar kepercayaan individu terhadap kelompok sebagai sumber informasi
yang benar, semakin besar pula kemungkinan untuk menyesuaikan diri terhadap
kelompok.
2. Kepercayaan yang lemah terhadap penilaian sendiri
Sesuatu yang meningkatkan kepercayaan individu terhadap penilaiannya sendiri akan
menurunkan konformitas, begitu juga sebaliknya karena salah satu faktor yang sangat
mempengaruhi rasa percaya diri dan tingkat konformitas adalah tingkat keyakinan
individu tersebut pada kemampuan sendiri untuk menampilkan suatu reaksi.
b. Rasa takut terhadap celaan sosial.
Alasan utama konformitas yang kedua adalah demi memperoleh persetujuan, atau
menghindari celaan kelompok. Tingkat konformitas yang didasarkan pada rasa takut
terhadap celaan sosial ditentukan oleh rasa takut terhadap penyimpangan. Rasa takut
dipandang sebagai orang yang menyimpang merupakan faktor dasar hampir pada semua
situasi sosial. Kita ingin agar kelompok tempat kita berada menyukai kita, memperlakukan
kita dengan baik, dan bersedia menerima kita. Rasa takut dipandang sebagai individu yang
menyimpang ini diperkuat oleh tanggapan kelompok terhadap perilaku menyimpang. Orang
yang tidak mau mengikuti apa yang berlaku dalam kelompok akan menanggung risiko
mengalami akibat yang tidak menyenangkan.
4. Aspek-Aspek Konformitas
Konformitas sebuah kelompok acuan dapat mudah terlihat dengan adanya ciri-ciri yang
khas. Berdasarkan pendapat lain, Myers (dalam Hotpascaman, 2010) menyatakan bahwa
untuk dapat mengerti mengapa seseorang bisa konform terhadap kelompok, perlu diamati dua
bentuk pengaruh sosial yaitu:
a.
Pengaruh sosial normatif,
Konformitas karena pengaruh sosial normatif, berarti bagaimana individu dapat membuat
orang lain menyukai dirinya. Sumber konformitas yang dikenal sebagai pengaruh sosial
normatif (normative social influence), karena pengaruh sosial ini meliputi perubahan tingkah
laku individu untuk memenuhi harapan orang lain untuk mendapatkan penerimaan. Myers
(dalam Hotpascaman, 2010) menambahkan bahwa dalam pengaruh ini, individu berusaha
untuk mematuhi standar norma yang ada di dalam kelompok. Apabila norma ini dilanggar,
maka efeknya adalah penolakan ataupun pengasingan oleh kelompok pada individu. Adapun
pengertian oleh Fieldman (1995) bahwa pengaruh ini tampak, dengan adanya keinginan
individu untuk berperilaku sesuai dengan keinginan dari kelompok dan untuk menghindar
dari adanya pengalaman penolakan, maupun menghindari sanksi yang akan diterima dari
kelompok pada individu.
b. Pengaruh sosial informasional.
Individu menggunakan opini dan tindakan sebagai panduan opini dan tindakannya.
Ketergantungan terhadap orang lain menjadi sumber yang kuat atas kecenderungan untuk
melakukan konformitas. Tindakan dan opini orang lain menegaskan kenyataan sosial bagi
individu dan individu menggunakan sebagai pedoman bagi tindakan dan opini individu itu
sendiri.
Dasar
dari
konformitas
dikenal
sebagai
pengaruh
sosial
informasional
(informational social influence). Hal tersebut didasarkan pada kecenderungan individu untuk
bergantung pada orang lain sebagai sumber informasi tentang aspek dunia sosial. Sesuai
dengan Fieldman (dalam Hotpascaman, 2010) yang memperjelas bahwa disaat individu
conform terhadap kelompoknya, hal ini didasari karena bagi individu, kelompok memiliki
informasi yang lebih akurat, sehingga individu cenderung untuk selalu memverifikasi
informasi dan menyesuaikan diri dengan pendapat ataupun informasi yang dimiliki
kelompok selain itu juga agar pendapat individu lebih objektif dan secara moral menghindari
perilaku yang tidak diinginkan.
5. Bentuk-Bentuk Perilaku Konformitas
Menurut Myers (dalam Hotpascaman, 2010) di dalam konformitas terdapat 2 bentuk
perilaku konformitas:
a. Menurut (Compliance),
Adalah tindakan konformitas dimana seseorang menerima pengaruh sosial yang dibentuk
akibat tekanan sosial meskipun secara pribadi sebenarnya tidak menyetujui.
b. Penerimaan (Acceptance).
Adalah tindakan konform yang dilakukan dengan senang hati karena percaya terhadap
tekanan atau norma sosial dalam kelompok atau masyarakat.
C. REMAJA LAKI-LAKI
1. Pengertian Remaja Laki-laki
Sarwono (2012) menjelaskan bahwa tidak dengan mudah mendefinisikan remaja sebagai
periode transisi antara masa anak-anak ke masa dewasa atau masa usia belasan tahun. Di
Indonesia, konsep “remaja’ tidak dikenal dalam sebagian undang-undang yang berlaku. Hukum
Indonesia hanya mengenal anak-anak dan dewasa, walaupun batasan yang diberikan untuk itu
pun bermacam-macam. Sarwono (2012) berpendapat bahwa remaja adalah suatu masa transisi
dari anak ke dewasa, yang ditandai dengan perkembangan biologis, psikologis, moral, agama,
kognitif, dan sosial.
Pakar psikologi perkembangan (termasuk di Indonesia), yang banyak dianut adalah
pendapat Hurlock (1990) yang membagi masa remaja menjadi masa remaja awal (13 hingga 16
atau 17 tahun) dan remaja akhir (16 atau 17 hingga 18 tahun). Masa remaja awal dan masa
remaja akhir dibedakan oleh Hurlock karena pada masa akhir individu telah mencapai transisi
perkembangan yang lebih mendekati masa dewasa, sedangkan Monks (2004) menjabarkan, usia
remaja berlangsung dari usia 12-21 tahun, dengan pembagian sebagai berikut:
a. Remaja Awal : 12-15 tahun,
Pada rentang usia ini, remaja mengalami pertumbuhan jasmani yang sangat pesat dan
perkembangan intelektual yang sangat intensif, sehingga minat anak pada dunia luar sangat
besar dan pada saat ini remaja tidak mau dianggap kanak-kanak lagi, namun belum bisa
meninggalkan pola kekanak-kanakannya. Sarwono (2012) mengatakan remaja pada fase ini,
akan mengembangkan pikiran-pikiran baru dan belum mampu mengontrol emosinya sendiri,
sering merasa ragu-ragu, tidak stabil, tidak puas, rendah diri, dan cepat merasa kecewa. Jahja
(2011), peningkatan emosional terjadi sangat cepat pada masa ini, sehingga masa remaja
awal dikenal sebagai masa storm and stress. Dilihat dari segi fisik, peningkatan emosional
ini merupakan hasil dari perubahan kondisi hormon, sedangkan dilihat dari kondisi sosial,
peningkatan emosi merupakan tanda bahwa remaja dalam kondisi baru yang berbeda dari
masa sebelumnya. Disamping itu, remaja pada fase ini, banyak tuntutan dan tekanan yang
ditunjukkan pada remaja, misalnya mereka diharapkan untuk tidak lagi bertingkah seperti
anak-anak, lebih mandiri dan bertanggung jawab.
b. Remaja Madya: 15-18 tahun,
Pada rentang kepribadian, remaja masih bersifat kekanak-kanakan namun pada usia remaja
sudah timbul unsur baru yaitu kesadaran akan kepribadian dan kehidupan badaniah sendiri.
Remaja mulai menemukan nilai-nilai tertentu dan melakukan perenungan terhadap
pemikiran filofosis dan etis. Maka, dari perasaan yang penuh keraguan pada usia remaja
awal, pada rentang usia ini akan mulai timbul kemantapan pada diri sendiri yang lebih
berbobot dan akan muncul kemantapan yang menjawab keragu-raguan pada masa remaja
awal, dan mulai dapat memunculkan rasa percaya diri. Selain itu, pada masa ini remaja
sudah mampu menemukan diri sendiri atau jati dirinya.
c. Remaja Akhir : 18-21 tahun.
Remaja pada fase ini sudah mantap dan stabil. Remaja akhir sudah mengenal dirinya dan
ingin hidup dengan pola hidup yang digariskan sendiri dengan keberanian. Remaja mulai
memahami arah hidupnya dan menyadari tujuan hidupnya.
Remaja adalah masa transisi dari periode anak ke dewasa. Proses perubahan karena
pengalaman dan usia merupakan hal yang harus terjadi karena dalam proses pematangan
kepribadiannya remaja sedikit demi sedikit memunculkan kepermukaan sifat-sifat yang
sebenarnya, yang harus berbenturan dengan rangsangan-rangsangan dari luar (Sarwono 2012).
Rata-rata laki-laki lebih lambat matang daripada perempuan, maka laki-laki mengalami
periode awal masa remaja yang lebih singkat meskipun pada usia delapan belas tahun sudah
dianggap dewasa, seperti halnya anak perempuan. Akibatnya, seringkali laki-laki tampak kurang
matang untuk usia dibandingkan dengan perempuan, dengan adanya status yang lebih matang di
rumah dan di sekolah, biasanya laki-laki cepat menyesuaikan diri dan menunjukkan perilaku
yang lebih matang, yang sangat berbeda dengan perilaku remaja yang lebih muda (Sarwono,
2012).
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa remaja laki-laki adalah seseorang
yang berada pada usia transisi dari anak menuju dewasa yang memiliki masa remaja awal yang
lebih pendek dari jenis kelamin perempuan, yang ditandai dengan perkembangan biologis,
psikologis, moral, agama, kognitif, maupun sosial.
2.
Ciri-Ciri Remaja
Ciri-ciri remaja menurut Hurlock (1999) adalah sebagai berikut:
a. Masa Remaja Sebagai Periode yang Penting,
Walaupun semua periode dalam rentang kehidupan adalah penting, namun kadar
kepentingannya berbeda-beda. Pada periode remaja, perkembangan fisik terjadi sangat cepat
dan penting, disertai dengan cepatnya perkembangan mental yang cepat, terutama pada awal
masa remaja, memerlukan kesiapan serta penyesuaian mental remaja dalam membentuk
sikap, nilai dan minat baru.
b. Masa Remaja Sebagai Periode Peralihan,
Dalam setiap periode peralihan, status individu tidaklah jelas dan terdapat keraguan akan
peran yang harus dilakukan. Pada masa ini, remaja bukan lagi seorang kanak-kanak, namun
belum juga dapat dikatakan dewasa. Ketika remaja berperilaku seperti anak-anak, maka
remaja akan diajari untuk “bertindak sesuai umurnya” dan sebaliknya ketika remaja
berusaha berperilaku seperti dewasa, mereka akan mendapat tuduhan mencoba bertindak
seperti orang dewasa, namun, di pihak lain perubahan status ini juga dapat menguntungkan
remaja karena status tersebut memberikan waktu kepadanya untuk mencoba gaya hidup
yang berbeda dan menentukan pola perilaku, nilai dan sifat yang paling sesuai bagi dirinya.
c. Masa Remaja Sebagai Periode Perubahan,
Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku selama masa remaja sejajar dengan tingkat
perubahan fisiknya. Terdapat empat perubahan yang terjadi pada masa remaja yaitu
perubahan emosi, perubahan tubuh, minat dan peran yang diharapkan oleh sosial, perubahan
nilai-nilai, dan remaja yang bersikap ambivalen terhadap setiap perubahan yang terjadi,
sehingga mereka meragukan kemampuan mereka sendiri dan cenderung sulit untuk
bertanggung jawab.
d. Masa Remaja Sebagai Usia Bermasalah,
Setiap periode memiliki masalahnya masing-masing. Namun, masalah remaja sering
menjadi masalah yang sulit diatasi. Terdapat dua alasan penyebab kesulitan tersebut, yaitu
pertama, sepanjang masa kanak-kanak, masalah anak-anak akan mendapat penanganan atau
bantuan dari pihak luar seperti bantuan dari orangtrua, dan guru, sehingga menjadikan
remaja tidak berpengalaman dalam mengatasi permasalahan yang muncul pada masanya saat
ini. Kedua, karena para remaja merasa diri mandiri dan mampu sehingga menolak bantuan
orangtua dan guru-guru karena ketidakmampuan mereka untuk mengatasi permasalahannya
sendiri menurut caranya sendiri, menjadikan remaja berpikir nahwa penyelesaiannya tidak
selalu sesuai dengan apa yang mereka harapkan.
e. Masa Remaja Sebagai Masa Mencari Identitas,
Pada tahun awal remaja, penyesuaian diri dengan standar kelompok masih tetap penting,
namun lambat laun remaja akan berpikir dan mendambakan identitas dirinya sendiri dan
tidak puas lagi menjadi sama dengan teman-teman dalam segala hal.
f. Masa Remaja Sebagai Usia yang Menimbulkan Ketakutan,
Banyak terdapat anggapan popular tentang remaja, namun tidak sedikit pula anggapan yang
bersikap negatif. Anggapan stereotip budaya bahwa remaja adalah anak-anak yang tidak
dapat dipercaya dan cenderung menimbulkan perilaku merusak, menjadikan orang dewasa
harus membimbing dan mengawasi kehidupan remaja kearah yang lebih baik. Stereotip
negatif tersebut dapat mempengaruhi pembentukan konsep diri dan sikap remaja terhadap
dirinya sendiri.
g. Masa Remaja Sebagai Masa yang Tidak Realistik,
Remaja cenderung melihat dirinya sendiri dan orang lain sebagaimana yang dia inginkan,
bukan berdasarkan apa adanya, terlebih dalam hal cita-cita. Emosi remaja akan semakin
tinggi apabila orang lain mengecewakannya, atau kalau remaja tidak berhasil mencapai
tujuan yang ditetapkannya sendiri
h. Masa Remaja Sebagai Ambang Masa Dewasa.
Mendekatnya usia kematangan yang sah, para remaja menjadi gelisah untuk meninggalkan
streotip belasan tahun dan kemudian memberikan kesan bahwa mereka sudah menuju masa
dewasa. Remaja menganggap dengan berpakaian dan bertindak seperti orang dewasa belum
cukup, sehingga remaja mulai mencoba-coba memusatkan diri pada perilaku yang dianggap
mewakili orang dewasa, misalnya merokok, minum-minuman keras , drugs, dan perilaku
seks bebas. Para remaja menganggap bahwa perilaku ini akan memberikan citra yang
mereka inginkan.
Berdasarkan penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwam ciri-ciri remaja menurut
Hurlock (1999) adalah masa remaja sebagai periode peralihan, masa remaja sebagai periode
perubahan, masa remaja sebagain usia bermasalah, masa remaja sebagai masa mencari identitas,
masa remaja sebagi usia yang menimbulkan ketakutan, masa remaja sebagai masa yang tidak
realistis, dan masa remaja sebagai ambang masa dewasa.
3.
Tugas Dan Perkembangan Remaja
Remaja merupakan masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa yang terjadi pada
seorang individu yang berusia 12-21 tahun. Pada setiap siklus hidup yang di alami manusia pasti
terdapat tugas perkembangan yang harus di lalui untuk mencapai tingkat kehidupan yang lebih
tinggi. Tugas perkembangan yang harus di lalui oleh remaja tersebut antara lain (Soetjiningsih,
2004):
a. Memperluas hubungan antar pribadi dan berkomunikasi secara lebih dewasa,
b. Memperoleh peranan sosial,
c. Menerima keadaan tubuhnya dan menggunakannya secara efektif,
d. Memperoleh kebebasan emosional dari orangtua,
e. Mencapai kepastian akan kebebasan dan kemampuan berdiri sendiri.
William Kay dalam (Jahja, 2011) mengemukakan tugas-tugas perkembangan remaja sebagai
berikut:
a. Menerima fisiknya sendiri berikut keragaman kualitasnya,
b. Mnencapai kemandirian emosional dari orangtua atau figure-figur yang mempunyai otoritas,
c. Mengembangkan keterampilan komunikasi interpersonal dan belajar bergaul dengan teman
sebaya atau orang lain, baik secara individual maupun kelompok,
d. Menemukan manusia model yang dijadikan identitasnya,
e. Menerima dirinya sendiri, dan memiliki kepercayaan terhadap kemampuannya sendiri,
f. Memperkuat self control atas dasar nilai-nilai, prinsip-prinsip, atau falsafah hidup,
g. Mampu meninggalkan reaksi dan penyesuaian diri (sikap atau perilaku) kekanak-kanakan.
Berdasarkan penjelasan mengenai tugas-tugas perkembangan remaja diatas, dapat ditarik
kesimpulan bahwa remaja pada umumnya memiliki tugas perkembangan masing-masing yang
harus mereka lewati sebelum memasuki tahapan selanjutnya yaitu masa dewasa.
D. MINUMAN KERAS (ARAK)
1. Pengertian Minuman Keras (Arak)
Minuman keras adalah segala jenis minuman yang memabukan, sehingga dengan
meminumnya menjadi hilang kesadarannya,yang termasuk minuman keras seperti arak minuman
yang banyak mengandung alkohol, seperti wine, whisky, brandy, champagne, malaga dan lainlain (Zulvikar, 2008). Minuman beralkohol adalah minuman yang mengandung etanol. Etanol
adalah bahan psikoaktif dan konsumsinya menyebabkan penurunan kesadaran. Arak adalah
sejenis minuman yang mengandung alkohol dengan berbagai golongan terutama etanol
(CH3CH2OH) dengan kadar tertentu yang mampu membuat peminumnya menjadi mabuk atau
kehilangan kesadaran jika diminum dalam jumlah tertentu.
Secara kimia alkohol adalah zat yang pada gugus fungsinya mengandung gugus–OH.
Alkohol diperoleh dari proses peragian zat yang mengandung senyawa karbohidrat seperti gula,
madu, gandum, sari buah atau umbi-umbian. Jenis serta golongan dari alkohol yang akan
dihasilkan tergantung pada bahan serta proses peragian. Dari peragian tersebut akan didapat
alkohol sampai berkadar 15% tapi melalui proses destilasi memungkinkan didapatnya alkohol
dengan kadar yang lebih tinggi bahkan sampai 100% (Zulvikar, 2008).
Berdasarkan pengaturan minuman beralkohol yang pada umumnya disebut sebagai
minuman keras, terdapat dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI tentang minuman keras Nomor
86/Men/Kes/Per/IV/77. Di dalam peraturan tersebut, minuman keras digolongkan sebagai
berikut, ada 3 golongan minuman berakohol yaitu:
1. Golongan A; kadar etanol 1%-5% misalnya tuak dan bir,
2. Golongan B; kadar etanol 5%-20% misalnya arak dan anggur,
3. Golongan C; kadar etanol 20%-55% misalnya whiskey dan vodca.
Dari presentase alkohol yang terdapat dalam bermacam-macam minuman tersebut, dapat
dikategorikan dari golongan mana minuman tersebut, apakah golongan A, golongan B, golongan
C. Pada umumnya seseorang yang minum-minuman keras untuk bersantai dan akan berhenti
minum tanpa kesukaran, namun apabila individu mulai tergantung pada minuman keras, maka
timbullah apa yang disebut alkoholisme.
2. Remaja Dan Fenomena Tradisi Minum Minuman Keras (Arak) Di Bali
Kebiasaan masyarakat mengkonsumsi arak di Bali sudah ada sejak lama, bahkan sudah
turun temurun. Kebiasaan ini dapat dilihat dari adanya acara khusus yang dilakukan warga saat
selesainya mengadakan upacara selamatan ataupun upacara yang menandakan hari baik seperti
setelah upacara metatah (potong gigi), pernikahan, atau menek kelih dan mecaru. Acara ini
sebagai perayaan kebahagiaan selain sebagai simbolis terhadap adanya rasa penghormatan
terhadap para tamu yang hadir serta adanya hubungan kemasyarakatan yang terjalin dengan erat,
biasanya acara minum dilakukan secara berkelompok dengan duduk melingkar dimana arak
diminum secara bergilir pada sebuah cangkir kecil yang disebut dengan sloki (Winata, 2009).
Acara minum arak biasanya terbagi atas dua kelompok, yang pertama yaitu kelompok
orang tua dimana pada kelompok ini individu yang dianggap dihormati akan diberi kesempatan
untuk minum terlebih dahulu, sedangkan pada kelompok kedua adalah kaum remaja dimana
yang diberi kesempatan minum adalah laki-laki yang baru saja diupacarai. Pada pesta pernikahan
mungkin tidak akan menjadi permasalahan, namun pada upacara metatah dan menek bajang,
yang diupacarai serta tamu yang datang rata-rata masih berusia 13-15 tahun dimana mereka
belum terbiasa minum atau bahkan belum pernah minum arak sebelumnya (Winata, 2009).
Bagi para laki-laki yang diupacarai ataupun keluarga dari orang yang mengadakan
upacara, minum minuman keras bersama para tamu adalah suatu kewajiban moral, karena ada
anggapan bahwa jika tuan rumah tidak ikut minum bersama para tamu, merupakan sesuatu yang
tidak etis atau bahkan yang lebih buruk akan dituduh telah memberikan racun atau yang di Bali
dikenal dengan cetik pada makanan dan minuman yang telah disuguhkan bagi para tamu,
sehingga mau tidak mau individu tersebut pasti ikut minum arak, tidak peduli apakah individu
tersebut sudah terbiasa minum atau tidak. Pada acara metatah dan menek bajang tentu yang
diundang juga berasal dari teman-teman orang yang diupacarai yang rata-rata masih berumur 1315 tahun dimana individu sebelumnya belum pernah minum arak, namun karena desakan temantemannya maka individu biasanya ikut-ikutan dan mulai terbiasa, sehingga secara tidak langsung
budaya ini ikut mempengaruhi penyebaran kebiasaan minum-minuman keras (Winata, 2009).
Di Bali, arak merupakan satu jenis minuman yang digunakan sebagai sajian (tabuhan)
bersama-sama dengan berem dan tuak pada upacara adat dan keagamaan, disamping itu arak
juga di sajikan sebagai hidangan khusus bagi orang dewasa. Arak nomor satu biasanya dipakai
sebagai jamu obat kuat dalam bentuk arak ramuan atau arak base dan campuran obat luar yang
biasa disebut boreh untuk mengatasi rematik dan gatal-gatal. Umumnya individu tidak berani
meminum arak nomor satu tanpa campuran minuman lain. Kadar alkohol arak nomor satu sangat
tinggi, kira-kira lebih dari 40 %. Untuk pesta minum, individu biasanya memilih arak kelas
nomor dua, itu pun sering dicampur dengan madu (arak madu), coca-cola (arak kuk), es batu
(arak es), atau air jeruk, sedangkan arak kelas tiga biasanya dipakai untuk arak tabuh, salah satu
elemen penting dalam setiap ritual Hindu di Bali (Winata, 2009).
3. Faktor Yang Mempengaruhi Penggunaan Minuman Keras Kalangan Remaja
Puspitawati (dalam Ulfah, 2005) menyebutkan beberapa remaja terjerumus dalam
masalah minuman keras karena dipengaruhi lingkungan pergaulan antara lain sebagai berikut :
a. Remaja yang selalu minum-minuman keras selalu mempunyai “kelompok pemakai”.
Awalnya remaja hanya mencoba-coba karena keluarga atau teman-teman yang yang
menggunakannya, namun ada yang kemudian menjadi kebiasaan.
b. Pada remaja yang “kecewa” dengan kondisi diri dan keluarganya, sering menjadi lebih suka
untuk mengorbankan apa saja demi hubungan baik dengan teman-teman sebayanya.
c. Adanya “ajakan” atau “tawaran” dari teman serta banyaknya film dan sarana hiburan yang
memberikan contoh “model pergaulan moderen” biasanya mendorong remaja minumminuman keras secara berkelompok.
d. Apabila remaja telah menjadi terbiasa minum minuman keras dan karena mudah
mendapatkannya, maka remaja akan memakainya sendiri sehingga tanpa disadari lamakelamaan akan ketagihan. Penggunaan minuman keras di kalangan remaja umumnya karena
minuman keras tersebut menjanjikan sesuatu yang menjadi rasa kenikmatan, kenyamanan
dan kesenangan dan ketenangan. walaupun hal itu dirasakan secara semu.
Noegroho Djajoesman (dalam Ulfah, 2005) menyebutkan kalangan remaja mengkonsumsi
minuman keras di sebabkan oleh beberapa faktor antara lain:
a. Lingkungan sosial,
Motif ingin tahu, bahwa remaja selalu mempunyai sifat selalu ingin tahu segala sesuatu
yang belum atau kurang diketahui dampak negatifnya. Misalnya saja ingin tahu
bagaimanakah rasanya minuman keras.
b. Kepribadian.
Rendah diri, rendah diri dalam pergaulan masyarakat, karena tidak dapat mengatasi perasaan
tersebut maka untuk menutupi kekurangan dan agar dapat menunjukan eksistensi dirinya.
4. Efek Minuman Keras
Bila dikonsumsi berlebihan, minuman beralkohol dapat menimbulkan gangguan mental
organik (GMO), yaitu gangguan dalam fungsi berpikir, merasakan, dan berprilaku. Timbulnya
GMO itu disebabkan reaksi langsung alkohol pada sel-sel saraf pusat. Karena sifat adiktif
alkohol itu, orang yang meminumnya lama-kelamaan tanpa sadar akan menambah takaran/dosis
sampai pada dosis keracunan atau mabuk. Individu yang terkena GMO biasanya mengalami
perubahan perilaku, seperti misalnya ingin berkelahi atau melakukan tindakan kekerasan lainnya,
tidak mampu menilai realitas, terganggu fungsi sosialnya, dan terganggu pekerjaannya.
Perubahan fisiologis juga terjadi, seperti cara berjalan yang tidak mantap, muka merah, atau mata
juling. Perubahan psikologis yang dialami oleh konsumen misalnya mudah tersinggung, bicara
tidak beraturan atau kehilangan konsentrasi. Individu yang sudah ketagihan biasanya mengalami
suatu gejala yang disebut sindrom putus alkohol, yaitu rasa takut diberhentikan minum alkohol.
Para remaja akan sering gemetar dan jantung berdebar-debar, cemas, gelisah, murung, dan
banyak berhalusinasi (Djajoesman dalam Ulfah, 2005).
5. Dampak Mengkonsumsi Minuman Keras Bagi Remaja
a. Farmakologi,
Bahwa minuman keras larut dalam air sebagai molekul-molekul kecil sehingga dengan
waktu yang relatif singkat dapat dengan cepat di serap melalui pencernaan kemudian
disebarluaskan keseluruh jaringan dan cairan.
b. Gangguan kesehatan fisik,
Meminum minuman keras dalam jumlah yang banyak dan dalam waktu yang lama
menimbulkan kerusakan dalam hati, jantung pankreas, lambung dan otot. Pada pemakaian
kronis minuman keras dapat terjadi pergeseran hati, peradangan pangkreas dan peradangan
lambung.
c. Gangguan kesehatan jiwa,
Meminum minuman keras secara kronis dalam jumlah berlebihan dapat menimbulkan
kerusakan jaringan otak sehingga menimbulkan gangguan daya ingatan, kemampuan
penilaian, kemapuan belajar, dan gangguan jiwa tertentu.
d. Gangguan terhadap Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (KAMTIMBAS). Akibat dari
minum-minuman keras akan menekan pusat pengendalian dari individu, sehingga individu
akan menjadi berani dan agresif, karena keberaniannya dan keagresifan serta tertekannya
pengendalian diri tersebut individu melakukan gangguan Keamanan dan Ketertiban
Masyarakat (KAMTIMBAS) baik dalam bentuk pelanggaran norma-norma dan sikap moral
bahkan tidak sedikit melakukan tindakan pidana dan kriminal (Djajoesman dalam Ulfah,
2005).
E. Dinamika Hubungan Antar Variabel
Dari pemaparan di atas, dapat diketahui bahwa salah satu tugas perkembangan masa
remaja yang tersulit adalah penyesuaian sosial. Remaja harus menyesuaikan diri dengan
lingkungannya. Untuk mencapai tujuan dari pola sosialisasi dewasa, remaja harus membuat
banyak penyesuaian baru. Hal yang terpenting dan tersulit adalah penyesuaian diri dengan
meningkatnya pengaruh peer group, perubahan dalam perilaku sosial, pengelompokkan sosial
yang baru, nilai-nilai baru dalam seleksi persahabatan (Hurlock, 1999).
Remaja lebih banyak berada di luar rumah bersama dengan teman-temannya sebagai
kelompok, oleh karena itu pengaruh teman-temannya pada sikap, pembicaraan, minat,
penampilan, dan perilaku terkadang lebih besar daripada pengaruh keluarga (Hurlock, 1999).
Konformitas pada remaja umumnya terjadi karena remaja tidak ingin dipandang berbeda dengan
teman-temannya, pada masa remaja tekanan teman-temannya lebih dominan (Zebua&
Nurdjayadi, 2001). Hal ini disebabkan oleh besarnya keinginan untuk menjaga harmonisasi dan
penerimaan sosial dalam kelompok.
Konformitas muncul pada masa remaja, yang ditunjukkan dengan cara menyamakan diri
dengan temannya dalam hal ini yaitu mengkonsumsi minuman keras (arak), sebagian remaja
beranggapan apabila remaja melakukan aktivitas yang sama dengan yang sedang dilakukan
kelompok acuan, maka timbul rasa percaya diri dan kesempatan diterima kelompok lebih besar,
oleh karena itu remaja cenderung menghindari penolakan dari teman-temannya dengan bersikap
conform atau sama dengan kelompoknya (Baron& Byrne, 2001).
Konsep diri sangat penting di dalam kehidupan manusia. Konsep diri adalah pandangan
atau persepsi, pikiran, perasaan, dan sikap individu mengenai dirinya dan hubungannya dengan
orang lain, yang diperoleh melalui pengalaman dan interaksi dengan lingkungan, yang akan
mengarahkan serta mempengaruhi tingkah laku individu tersebut (William H. Fitts, dalam
Agustiani 2009). Hubungan antara konsep diri dengan konformitas pada remaja yang
mengkonsumsi minuman keras (arak) yaitu bagaimana remaja akan bertingkah laku ditentukan
dari konsep diri yang dimilikinya.
Dalam penelitian ini mengangkat konsep diri yang berhubungan dengan konformitas pada
remaja laki-laki yang mengkonsumsi minuman keras (arak) di Gianyar, Bali. Maka dibuat bagan
hubungan antar variabel sebagai berikut:
Remaja Laki-laki
Konsep Diri
Konformitas
Yang Mengkonsumsi
Minuman Keras (Arak)
Orangtua
Teman
sebaya
Masyarakat
Belajar
Kekompakan
kelompok
Kesepakatan
kelompok
Ukuran
kelompok
Gambar 1: Dinamika antar Variabel Hubungan Konsep Diri Dengan Konformitas Pada
Remaja Laki-laki Yang Mengkonsumsi Minuman Keras (Arak) di Gianyar, Bali.
Keterangan:
: garis hubungan yang diteliti
: garis hubungan yang tidak diteliti
: variabel yang diteliti
: variabel yang tidak diteliti
: cakupan subjek yang diteliti berdasarkan ke dua variabel
Keterikatan
pada
penilaian
bebas
Melalui penjelasan tersebut, terdapat garis hubungan antara konsep diri dengan
konformitas pada gambar diatas. Hal ini menunjukkan bahwa penelitian ini tidak mencari
pengaruh, melainkan ingin melihat apakah terdapat hubungan antara konsep diri dalam
kaitannya dengan remaja laki-laki yang mengkonsumsi minuman keras khususnya arak di
Gianyar, Bali. Konsep Diri nantinya akan berimplikasi kepada konformitas kelompok dari
remaja khususnya remaja laki-laki yang mengkonsumsi minuman keras itu sendiri. Masingmasing dari variabel baik konsep diri maupun konformitas memiliki faktor yang mempengaruhi,
akan tetapi faktor tersebut tidak diteliti oleh peneliti. Variabel yang diteliti dapat dilihat dari
perbedaan garis yang ditunjukkan pada kerangka konsep diatas, yaitu melalui garis yang di cetak
tebal maupun garis putus-putus, sedangkan lingkaran menunjukkan cakupan subjek yang diteliti
berdasarkan kedua variabel.
F. Hipotesis Penelitian
Hipotesis adalah dugaan sementara yang hendak diuji kebenarannya (Setiawan, 2004).
Peneliti mengajukan dua hipotesis yang terbagi menjadi Ha dan Ho. Hipotesis ini akan terjawab
salah satunya setelah melewati uji snalisa statistik, maka hipotesis yang dapat ditarik yaitu:
Ha : ada hubungan konsep diri dengan konformitas pada remaja laki-laki yang
mengkonsumsi minuman keras (arak) di Gianyar, Bali.
Ho : tidak ada hubungan konsep diri dengan konformitas pada remaja laki-laki yang
mengkonsumsi minuman keras (arak) di Gianyar, Bali.
Download