BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. KONSEP DIRI 1. Pengertian Konsep Diri Konsep diri merupakan evaluasi individu mengenai diri sendiri, penilaian atau penaksiran mengenai diri sendiri oleh individu bersangkutan, konsep diri terbentuk karena adanya interaksi dengan orang-orang sekitarnya (Chalpin dalam Pardede, 2008). Menurut Cooley (dalam Yusuf, 2005) melalui analogi cermin sebagai sarana bagi seseorang melihat dirinya (the looking glass self), konsep diri seseorang diperoleh dari hasil penilaian atau evaluasi orang lain terhadap dirinya. Konsep diri dapat didefinisikan secara umum sebagai keyakinan, pandangan atau penilaian seseorang terhadap dirinya (Fatimah, 2012). Burns (dalam Kusumawardani, 2012) mengungkapkan bahwa konsep diri merupakan sikap dan keyakinan tentang diri sendiri baik fisik, karakteristik, tujuan hidup antara lain cita-cita, motivasi, kelemahan, kelebihan, kepandaian dan kegagalan. Sejalan dengan hal tersebut, Hurlock (1999) memberikan pengertian tentang konsep diri sebagai sekumpulan keyakinan dan perasaan yang dimiliki individu tentang mereka sendiri, merupakan hal yang penting bagi kehidupan individu karena konsep diri menentukan bagaimana individu bertindak dalam berbagai situasi. George Herbert Mead (dalam Sutatminingsih, 2009) mengemukakan bahwa konsep diri merupakan produk sosial yang dibentuk melalui proses internalisasi dan organisasi pengalamanpengalaman psikologis. Pengalaman-pengalaman psikologis ini merupakan hasil eksplorasi individu terhadap lingkungan fisiknya dan refleksi dari dirinya yang diterima dari orang-orang penting (significant others) disekitarnya. Sejalan dengan hal tersebut, Stuart dan Sundeen (dalam Sarwono, 2012) mengatakan konsep diri adalah semua ide, pikiran, kepercayaan dan pendirian yang diketahui individu tentang dirinya, dan mempengaruhi individu dalam berhubungan dengan orang lain. Hal ini termasuk persepsi individu akan sifat dan kemampuannya, interaksi dengan orang lain dan lingkungan, nilai-nilai yang berkaitan dengan pengalaman dan objek, tujuan serta keinginannya. Penghargaan mengenai diri akan menentukan bagaimana individu akan bertindak dalam hidup. William H. Fitts (dalam Agustiani, 2009) mengemukakan bahwa konsep diri merupakan aspek penting dalam diri seseorang, karena konsep diri seseorang merupakan kerangka acuan dalam berinteraksi dengan lingkungan. Konsep diri berpengaruh kuat terhadap tingkah laku seseorang, dengan mengetahui konsep diri seseorang, maka akan lebih mudah meramalkan dan memahami tingkah laku orang tersebut. Pada umumnya tingkah laku individu berkaitan dengan gagasan-gagasan tentang dirinya sendiri. Berdasarkan beberapa pengertian yang dipaparkan diatas, peneliti menggabungkan beberapa pengertian dari Burns (dalam Kusumawardani, 2012) yang mengungkapkan bahwa konsep diri merupakan sikap dan keyakinan tentang diri sendiri baik fisik, karakteristik, tujuan hidup antara lain cita-cita, motivasi, kelemahan, kelebihan, kepandaian dan kegagalan dan pengertian dari William H. Fitts (dalam Agustiani, 2009) mengemukakan bahwa konsep diri merupakan aspek penting dalam diri seseorang, karena konsep diri seseorang merupakan kerangka acuan dalam berinteraksi dengan lingkungan, sehingga peneliti dapat menyimpulkan bahwa konsep diri adalah pandangan dan keyakinan individu mengenai dirinya sendiri, baik fisik, sosial, emosional, serta aspirasi dan prestasi yang juga dapat diperoleh dari persepsi orang lain terhadap individu tersebut, serta melibatkan pengalaman-pengalaman psikologis dan interaksi dengan orang lain yang kemudian dapat menentukan individu dalam bertindak dan berperilaku. 2. Jenis- Jenis Konsep Diri Menurut Brooks dan Emmert (dalam Jahja, 2011) dalam perkembangannya konsep diri terbagi dua, yaitu konsep diri positif dan konsep diri negatif. Konsep diri positif ditandai dengan hal sebagai berikut: a. Memiliki keyakinan bahwa individu mampu mengatasi masalah. b. Merasa setara dengan orang lain. c. Menerima pujian tanpa merasa malu/ bersalah. d. Menyadari bahwa setiap orang memiliki keinginan, perasaan serta perilaku yang seluruhnya belum tentu disetujui oleh masyarakat. e. Mengetahui dan menyadari kekurangan-kekurangan yang ada dalam dirinya dan berusaha memperbaikinya. Berbeda dengan sifat angkuh, dasar dari konsep diri positif bukanlah kebanggaan yang besar tentang diri, tetapi lebih kepada penerimaan diri. Oleh karena itu, hal ini akan membawa individu kepada kerendahan hati dan kedermawanan daripada keegoisan dan keangkuhan, sedangkan konsep diri negatif, ciri- cirinya sebagai berikut: a. Peka pada kritik, Hampir selalu merasa tidak tahan terhadap kritikan yang diterimanya dan mudah marah atau naik pitam. individu dengan konsep diri yang negatif akan melihat hal tersebut sebagai usaha orang lain untuk menjatuhkan harga dirinya. sehingga, individu terkadang tampak keras kepala dan berusaha mempertahankan pendapatnya dengan menggunakan berbagai logika yang keliru. b. Responsif terhadap pujian, Meskipun individu tampak tidak peduli dan menghindari pujian namun antusiasme terhadap pujian masih akan tampak. Bagi individu yang seperti ini menganggap segala macam hal yang yang menunjang harga dirinya menjadi pusat perhatiannya. c. Hiperkritis, Selalu mengeluh, mencela, meremehkan apapun dan siapapun. Individu yang mempunyai sifat seperti ini tidak pandai dan tidak sanggup mengungkapkan penghargaan atau pengakuan pada kelebihan orang lain. d. Memiliki kecenderungan untuk merasa tidak disenangi oleh orang lain. Reaksinya yang memandang orang lain sebagai musuh, tidak lain karena individu tersebut merasa tidak diperhatikan, walaupun individu dengan konsep diri yang negatif akan merasa diri sebagai korban dari sistem sosial yang bermasalah yang pada akhirnya membuat individu menjadi pesimis, hal ini terjadi karena individu merasa tidak berdaya atau tidak mampu melawan persaingan yang ada. Berdasarkan penjelasan diatas, secara garis besar konsep diri terbagi menjadi dua bagian yaitu konsep diri positif dan negatif. Konsep diri yang positif adalah ketika individu dapat mengerti dan menerima dirinya dengan baik, sehingga individu tersebut dapat menerima setiap evaluasi terhadap dirinya dengan baik. Konsep diri positif memiliki ciri-ciri; memiliki keyakinan mampu mengatasi masalah, merasa diri sama dengan orang lain, menerima pujian tanpa rasa malu, sadar akan setiap orang yang memiliki keinginan yang seluruhnya belum tentu disetujui oleh masyarakat, sadar akan kekurangan dalam dirinya dan berusaha untuk memperbaiki, sedangkan konsep diri yang negatif memiliki ciri-ciri sebagai berikut; peka terhadap kritik, responsif terhadap pujian, hiperkritis, memiliki kecenderungan untuk merasa tidak disenangi oleh orang lain karena merasa tidak diperhatikan. 3. Aspek-Aspek Konsep Diri Berzonsky (dalam Fatimah, 2012) menjelaskan ada empat aspek konsep diri yang bersifat positif dan negatif, yaitu : a. Konsep diri fisik, Konsep diri fisik berarti pandangan, pikiran, perasaan dan pemikiran individu terhadap fisiknya sendiri. b. Konsep diri psikis, Konsep diri psikis berarti pandangan, pikiran, perasaan dan penilaian individu terhadap pribadinya sendiri. c. Konsep diri sosial, Konsep diri sosial berarti pendangan, pikiran dan penilaian individu terhadap kecenderungan sosial yang ada pada dirinya sendiri, konsep diri sosial berkaitan dengan kemampuan yang berhubungan dengan dunia di luar dirinya, perasaan mampu, dan berharga dalam lingkup interaksi sosial. d. Konsep diri moral. Konsep diri moral berarti pandangan, pikiran, perasaan, dan penilaian individu terhadap moralitas dirinya sendiri, konsep diri moral berkaitan dengan nilai dan prinsip yang member arti dan arah bagi kehidupan seseorang. Berdasarkan pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa dari beberapa pendapat para ahli yang berbeda mengenai aspek konsep diri, namun peneliti menggunakan aspek konsep diri oleh Berzonsky (dalam Fatimah, 2012), yaitu konsep diri fisik, konsep diri psikis, konsep diri sosial dan konsep diri moral. 4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konsep Diri Pada dasarnya perkembangan konsep diri dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut Baldwin dan Holmes (dalam Pardede, 2008) ada beberapa faktor yang mempengaruhi konsep diri individu adalah sebagai berikut: a. Orangtua, Orangtua adalah kontak sosial yang paling awal individu alami dan yang paling berpengaruh. Orangtua sangat penting bagi seorang anak, sehingga apa yang anak komunikasikan akan lebih berpengaruh daripada informasi lain yang diterima anak sepanjang hidupnya. Orangtua memberikan arus informasi yang konstan mengenai diri anak. Orangtua juga membantu dalam menetapkan pengharapan serta mengajarkan anak bagaimana menilai dirinya sendiri. Pengharapan dan penilaian tersebut akan terus terbawa sampai anak menjadi dewasa. b. Teman sebaya, Setelah orangtua, kelompok teman sebaya juga cukup mempengaruhi konsep diri individu. Penerimaan maupun penolakan kelompok teman sebaya terhadap individu akan berpengaruh pada konsep diri individu tersebut. Peran yang diukir individu dalam kelompok teman sebayanya dapat member pengaruh yang dalam pada pandangannya tentang dirinya sendiri dan peranan ini, bersama dengan penilaian diri yang dimilikinya akan cenderung terus berlangsung dalam hubungan sosial ketika dewasa. c. Masyarakat, Sama halnya seperti orangtua dan teman sebaya, masyarakat juga memberitahu individu bagaimana mendefinisikan diri sendiri. Penilaian dan penghargaan masyarakat terhadap individu dapat masuk ke dalam konsep diri individu dan individu akan berperilaku sesuai dengan pengharapan tersebut. d. Belajar. Konsep diri merupakan hasil belajar, belajar dapat didefinisikan sebagai perubahan psikologis yang relatif permanen yang terjadi dalam diri individu sebagai akibat dari pengalaman, dalam mempelajari konsep diri terdapat tiga faktor utama yang harus dipertimbangkan, yaitu: asosiasi, ganjaran dan motivasi. Berdasarkan penjelasan diatas, konsep diri terbentuk dari pengalam seseorang akibat adanya hubungan dengan significant others, sehingga dapat disimpulkan bahwa beberapa hal yang dapat mempengaruhi konsep diri adalah, keluarga, teman sebaya, masyarakat, dan belajar. B. KONFORMITAS 1. Pengertian Konformitas David O’Sears (2009) mengatakan bahwa bila seseorang menampilkan perilaku tertentu karena disebabkan oleh karena orang lain menampilkan perilaku tersebut disebut konformitas. Konformitas adalah penyesuaian perilaku individu untuk menganut pada norma kelompok acuan, menerima ide atau aturan-aturan yang menunjukkan bagaimana individu berperilaku (Baron& Byrne, 2001). Pendapat lain juga dikatakan oleh Jalaludin (2004) yaitu bila sejumlah orang dalam kelompok mengatakan atau melakukan sesuatu, ada kecenderungan para anggota untuk mengatakan dan melakukan hal yang sama disebut dengan konformitas. Konformitas adalah perubahan perilaku ataupun keyakinan agar sama dengan orang lain (Myers dalam Hotpascaman, 2010). Asch (dalam Hotpascaman, 2010) mendefinisikan konformitas sebagai perubahan dalam sikap dan perilaku yang dibawa seseorang sebagai hasrat untuk mengikuti kepercayaan atau standar yang dtetapkan orang lain. Konformitas juga diartikan sebagai bujukan untuk merasakan tekanan kelompok meskipun tidak ada permintaan langsung untuk tunduk pada kelompok (Deux dalam Hotpascaman, 2010). Zebua dan Nurdjayadi (2001) mengemukakan bahwa konformitas pada remaja umumnya terjadi karena mereka tidak ingin dipandang berbeda dengan teman-temannya, pada remaja tekanan teman-temannya lebih dominan. Hal ini disebabkan oleh besarnya keinginan untuk menjaga harmonisasi dan penerimaan sosial dalam kelompok. Berdasarkan beberapa pengertian yang dipaparkan diatas, peneliti menggabungkan pernyataan dari pengertian konformitas menurut Baron& Byrne (2001) yang menyebutkan bahwa konformitas adalah penyesuaian perilaku individu untuk menganut pada norma kelompok acuan, menerima ide atau aturan-aturan yang menunjukkan bagaimana individu berperilaku dan pernyataan pengertian konformitas dari Deux dalam Hotpascaman (2010) yang menyebutkan bahwa konformitas sebagai bujukan untuk merasakan tekanan kelompok meskipun tidak ada permintaan langsung untuk tunduk pada kelompok (Deux dalam Hotpascaman, 2010), sehingga peneliti dapat menyimpulkan bahwa konformitas merupakan perubahan perilaku sebagai usaha untuk menyesuaikan diri dengan norma kelompok acuan baik ada maupun tidak ada tekanan secara langsung yang berupa suatu tuntutan tidak tertulis dari kelompoknya terhadap anggotanya, namun memiliki pengaruh yang kuat dan dapat menyebabkan munculnya perilaku-perilaku tertentu pada anggota kelompok tersebut. 2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konformitas Menurut David O’Sears (2009) menyebutkan ada empat faktor yang mempengaruhi konformitas, antara lain : a. Kekompakan kelompok, Konformitas juga dipengaruhi oleh eratnya hubungan antara individu dengan kelompoknya. Kekompakan kelompok adalah jumlah total kekuatan yang menyebabkan individu tertarik pada suatu kelompok dan yang membuat mereka ingin tetap menjadi anggotanya. Kekompakan yang tinggi menimbulkan konformitas yang semakin tinggi. Alasan utamanya adalah bahwa bila individu merasa dekat dengan anggota kelompok yang lain akan semakin menyenangkan bagi mereka untuk mengakui kita, dan semakin menyakitkan bila mereka mencela kita, artinya kemungkinan untuk menyesuaikan diri atau tidak menyesuaikan diri akan semakin besar bila kita mempunyai keinginan yang kuat untuk menjadi anggota kelompok tersebut. Bila melakukan sesuatu yang berharga konformitas yang dihasilkan kelompok akan meningkat, peningkatan konformitas ini terjadi karena anggotanya enggan disebut individu yang menyimpang, penyimpangan menimbulkan risiko ditolak oleh kelompoknya. Semakin tinggi perhatian individu terhadap kelompoknya, semakin serius tingkat rasa takutnya terhadap penolakan dan semakin kecil kemungkinan untuk tidak menyetujui kelompoknya. b. Kesepakatan kelompok, Faktor yang sangat penting bagi timbulnya konformitas adalah kesepakatan pendapat kelompok. Individu yang dihadapkan pada keputusan kelompok yang sudah bulat akan mendapat tekanan yang kuat untuk menyesuaikan pendapatnya, namun apabila kelompok tidak bersatu, maka akan tampak adanya penurunan tingkat konformitas. Moris dan Miller (dalam David O’Sears, 2009) menunjukkan bahwa saat terjadinya perbedaan pendapat bisa menimbulkan perbedaan. Apabila individu menyatakan pendapat yang berbeda setelah mayoritas menyatakan pendapatnya, konformitas akan menurun. Penurunan konformitas yang drastis karena hancurnya kesepakatan disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, tingkat kepercayaan terhadap mayoritas akan menurun bila terjadi perbedaan pendapat, meskipun individu yang berbeda pendapat tersebut sebenarnya kurang ahli apabila dibandingkan individu lain yang membentuk mayoritas. Kedua, bila anggota kelompok yang lain mempunyai pendapat yang sama, keyakinan individu terhadap pendapatnya sendiri akan semakin kuat. Keyakinan yang kuat akan menurunkan konformitas. Ketiga, menyangkut keengganan untuk menjadi individu yang menyimpang. c. Ukuran kelompok, Beberapa eksperimen menunjukkan bahwa konformitas akan meningkat apabila ukuran mayoritas yang sependapat juga meningkat, setidak-tidaknya sampai tingkat tertentu. Asch (dalam David O’Sears, 2009) dalam eksperimennya menemukan bahwa dua individu menghasilkan tekanan yang lebih kuat daripada satu individu, tiga individu memberikan tekanan yang lebih besar daripada dua individu, dan empat individu kurang lebih sama dengan tiga individu. Penambahan jumlah anggota mayoritas sehingga lebih dari empat individu tidak meningkatkan mayoritas, setidak-tidaknya sampai individu, sehingga dapat disimpulkan bahwa untuk menghasilkan tingkat konformitas yang paling tinggi, ukuran kelompok yang optimal adalah tiga atau empat individu. d. Keterikatan pada penilaian bebas. Keterikatan sebagai kekuatan total yang membuat individu mengalami kesulitan untuk melepaskan suatu pendapat. Individu yang secara terbuka dan sungguh-sungguh terikat suatu penilaian bebas akan lebih enggan menyesuaikan diri terhadap perilaku kelompok yang berlawanan, mungkin harus menanggung risiko mendapat celaan sosial karena menyimpang dari pendapat kelompok, tetapi keadaan akan lebih buruk apabila individu mengetahui bahwa kita telah mengorbankan penilaian pribadi sendiri hanya untuk menyesuaikan diri terhadap kelompok. Menurut Myers (dalam Hotpascaman, 2010) mengungkapkan ada 5 faktor yang mempengaruhi individu untuk conform adalah: a. Besaran kelompok (Group size), Semakin besar jumlah anggota kelompok, semakin besar juga pengaruhnya terhadap individu. b. Keterpaduan/ kohesivitas (Cohession), Cohession merupakan perasaan yang dimiliki oleh anggota dari kelompok dimana mereka merasa ada ketertarikan dengan kelompok. Myers (dalam Hotpascaman, 2010) menambahkan semakin seseorang memiliki kohesif dengan kelompoknya maka semakin besar pengaruh dari kelompok pada individu tesebut. c. Status, Dalam sebuah kelompok, bila individu memiliki status yang tinggi cenderung memiliki pengaruh yang lebih besar, sedangkan individu memiliki status yang rendah cenderung untuk mengikuti pengaruh yang ada. d. Tanggapan umum (Public Response), Ketika individu diminta untuk menjawab secara langsung pertanyaan di hadapan publik, individu akan lebih konform, daripada individu tersebut diminta untuk menjawab dalam bentuk tulisan. e. Komitmen umum (No Prior Comitment). Individu yang sudah memutuskan untuk memiliki pendiriannya sendiri, akan cenderung mengubah pendiriannya disaat individu tersebut dipertunjukkan pada adanya aspek tekanan sosial. Konformitas akan lebih mudah terjadi pada orang yang tidak mempunyai komitmen apa-apa. 3. Sebab-Sebab Timbulnya Konformitas Menurut David O’Sears (2009) pada dasarnya, individu melakukan perilaku conform terhadap kelompoknya karena dua alasan, yaitu: a. Perilaku orang lain (kelompok) memberikan informasi yang bermanfaat, Orang lain merupakan sumber informasi yang penting, mereka mengetahui sesuatu yang tidak kita ketahui. Dengan melakukan apa yang mereka lakukan kita akan memperoleh manfaat dari pengetahuan mereka. Tingkat konformitas yang didasarkan pada informasi ditentukan oleh dua aspek situasi, antara lain: 1. Kepercayaan terhadap kelompok Semakin besar kepercayaan individu terhadap kelompok sebagai sumber informasi yang benar, semakin besar pula kemungkinan untuk menyesuaikan diri terhadap kelompok. 2. Kepercayaan yang lemah terhadap penilaian sendiri Sesuatu yang meningkatkan kepercayaan individu terhadap penilaiannya sendiri akan menurunkan konformitas, begitu juga sebaliknya karena salah satu faktor yang sangat mempengaruhi rasa percaya diri dan tingkat konformitas adalah tingkat keyakinan individu tersebut pada kemampuan sendiri untuk menampilkan suatu reaksi. b. Rasa takut terhadap celaan sosial. Alasan utama konformitas yang kedua adalah demi memperoleh persetujuan, atau menghindari celaan kelompok. Tingkat konformitas yang didasarkan pada rasa takut terhadap celaan sosial ditentukan oleh rasa takut terhadap penyimpangan. Rasa takut dipandang sebagai orang yang menyimpang merupakan faktor dasar hampir pada semua situasi sosial. Kita ingin agar kelompok tempat kita berada menyukai kita, memperlakukan kita dengan baik, dan bersedia menerima kita. Rasa takut dipandang sebagai individu yang menyimpang ini diperkuat oleh tanggapan kelompok terhadap perilaku menyimpang. Orang yang tidak mau mengikuti apa yang berlaku dalam kelompok akan menanggung risiko mengalami akibat yang tidak menyenangkan. 4. Aspek-Aspek Konformitas Konformitas sebuah kelompok acuan dapat mudah terlihat dengan adanya ciri-ciri yang khas. Berdasarkan pendapat lain, Myers (dalam Hotpascaman, 2010) menyatakan bahwa untuk dapat mengerti mengapa seseorang bisa konform terhadap kelompok, perlu diamati dua bentuk pengaruh sosial yaitu: a. Pengaruh sosial normatif, Konformitas karena pengaruh sosial normatif, berarti bagaimana individu dapat membuat orang lain menyukai dirinya. Sumber konformitas yang dikenal sebagai pengaruh sosial normatif (normative social influence), karena pengaruh sosial ini meliputi perubahan tingkah laku individu untuk memenuhi harapan orang lain untuk mendapatkan penerimaan. Myers (dalam Hotpascaman, 2010) menambahkan bahwa dalam pengaruh ini, individu berusaha untuk mematuhi standar norma yang ada di dalam kelompok. Apabila norma ini dilanggar, maka efeknya adalah penolakan ataupun pengasingan oleh kelompok pada individu. Adapun pengertian oleh Fieldman (1995) bahwa pengaruh ini tampak, dengan adanya keinginan individu untuk berperilaku sesuai dengan keinginan dari kelompok dan untuk menghindar dari adanya pengalaman penolakan, maupun menghindari sanksi yang akan diterima dari kelompok pada individu. b. Pengaruh sosial informasional. Individu menggunakan opini dan tindakan sebagai panduan opini dan tindakannya. Ketergantungan terhadap orang lain menjadi sumber yang kuat atas kecenderungan untuk melakukan konformitas. Tindakan dan opini orang lain menegaskan kenyataan sosial bagi individu dan individu menggunakan sebagai pedoman bagi tindakan dan opini individu itu sendiri. Dasar dari konformitas dikenal sebagai pengaruh sosial informasional (informational social influence). Hal tersebut didasarkan pada kecenderungan individu untuk bergantung pada orang lain sebagai sumber informasi tentang aspek dunia sosial. Sesuai dengan Fieldman (dalam Hotpascaman, 2010) yang memperjelas bahwa disaat individu conform terhadap kelompoknya, hal ini didasari karena bagi individu, kelompok memiliki informasi yang lebih akurat, sehingga individu cenderung untuk selalu memverifikasi informasi dan menyesuaikan diri dengan pendapat ataupun informasi yang dimiliki kelompok selain itu juga agar pendapat individu lebih objektif dan secara moral menghindari perilaku yang tidak diinginkan. 5. Bentuk-Bentuk Perilaku Konformitas Menurut Myers (dalam Hotpascaman, 2010) di dalam konformitas terdapat 2 bentuk perilaku konformitas: a. Menurut (Compliance), Adalah tindakan konformitas dimana seseorang menerima pengaruh sosial yang dibentuk akibat tekanan sosial meskipun secara pribadi sebenarnya tidak menyetujui. b. Penerimaan (Acceptance). Adalah tindakan konform yang dilakukan dengan senang hati karena percaya terhadap tekanan atau norma sosial dalam kelompok atau masyarakat. C. REMAJA LAKI-LAKI 1. Pengertian Remaja Laki-laki Sarwono (2012) menjelaskan bahwa tidak dengan mudah mendefinisikan remaja sebagai periode transisi antara masa anak-anak ke masa dewasa atau masa usia belasan tahun. Di Indonesia, konsep “remaja’ tidak dikenal dalam sebagian undang-undang yang berlaku. Hukum Indonesia hanya mengenal anak-anak dan dewasa, walaupun batasan yang diberikan untuk itu pun bermacam-macam. Sarwono (2012) berpendapat bahwa remaja adalah suatu masa transisi dari anak ke dewasa, yang ditandai dengan perkembangan biologis, psikologis, moral, agama, kognitif, dan sosial. Pakar psikologi perkembangan (termasuk di Indonesia), yang banyak dianut adalah pendapat Hurlock (1990) yang membagi masa remaja menjadi masa remaja awal (13 hingga 16 atau 17 tahun) dan remaja akhir (16 atau 17 hingga 18 tahun). Masa remaja awal dan masa remaja akhir dibedakan oleh Hurlock karena pada masa akhir individu telah mencapai transisi perkembangan yang lebih mendekati masa dewasa, sedangkan Monks (2004) menjabarkan, usia remaja berlangsung dari usia 12-21 tahun, dengan pembagian sebagai berikut: a. Remaja Awal : 12-15 tahun, Pada rentang usia ini, remaja mengalami pertumbuhan jasmani yang sangat pesat dan perkembangan intelektual yang sangat intensif, sehingga minat anak pada dunia luar sangat besar dan pada saat ini remaja tidak mau dianggap kanak-kanak lagi, namun belum bisa meninggalkan pola kekanak-kanakannya. Sarwono (2012) mengatakan remaja pada fase ini, akan mengembangkan pikiran-pikiran baru dan belum mampu mengontrol emosinya sendiri, sering merasa ragu-ragu, tidak stabil, tidak puas, rendah diri, dan cepat merasa kecewa. Jahja (2011), peningkatan emosional terjadi sangat cepat pada masa ini, sehingga masa remaja awal dikenal sebagai masa storm and stress. Dilihat dari segi fisik, peningkatan emosional ini merupakan hasil dari perubahan kondisi hormon, sedangkan dilihat dari kondisi sosial, peningkatan emosi merupakan tanda bahwa remaja dalam kondisi baru yang berbeda dari masa sebelumnya. Disamping itu, remaja pada fase ini, banyak tuntutan dan tekanan yang ditunjukkan pada remaja, misalnya mereka diharapkan untuk tidak lagi bertingkah seperti anak-anak, lebih mandiri dan bertanggung jawab. b. Remaja Madya: 15-18 tahun, Pada rentang kepribadian, remaja masih bersifat kekanak-kanakan namun pada usia remaja sudah timbul unsur baru yaitu kesadaran akan kepribadian dan kehidupan badaniah sendiri. Remaja mulai menemukan nilai-nilai tertentu dan melakukan perenungan terhadap pemikiran filofosis dan etis. Maka, dari perasaan yang penuh keraguan pada usia remaja awal, pada rentang usia ini akan mulai timbul kemantapan pada diri sendiri yang lebih berbobot dan akan muncul kemantapan yang menjawab keragu-raguan pada masa remaja awal, dan mulai dapat memunculkan rasa percaya diri. Selain itu, pada masa ini remaja sudah mampu menemukan diri sendiri atau jati dirinya. c. Remaja Akhir : 18-21 tahun. Remaja pada fase ini sudah mantap dan stabil. Remaja akhir sudah mengenal dirinya dan ingin hidup dengan pola hidup yang digariskan sendiri dengan keberanian. Remaja mulai memahami arah hidupnya dan menyadari tujuan hidupnya. Remaja adalah masa transisi dari periode anak ke dewasa. Proses perubahan karena pengalaman dan usia merupakan hal yang harus terjadi karena dalam proses pematangan kepribadiannya remaja sedikit demi sedikit memunculkan kepermukaan sifat-sifat yang sebenarnya, yang harus berbenturan dengan rangsangan-rangsangan dari luar (Sarwono 2012). Rata-rata laki-laki lebih lambat matang daripada perempuan, maka laki-laki mengalami periode awal masa remaja yang lebih singkat meskipun pada usia delapan belas tahun sudah dianggap dewasa, seperti halnya anak perempuan. Akibatnya, seringkali laki-laki tampak kurang matang untuk usia dibandingkan dengan perempuan, dengan adanya status yang lebih matang di rumah dan di sekolah, biasanya laki-laki cepat menyesuaikan diri dan menunjukkan perilaku yang lebih matang, yang sangat berbeda dengan perilaku remaja yang lebih muda (Sarwono, 2012). Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa remaja laki-laki adalah seseorang yang berada pada usia transisi dari anak menuju dewasa yang memiliki masa remaja awal yang lebih pendek dari jenis kelamin perempuan, yang ditandai dengan perkembangan biologis, psikologis, moral, agama, kognitif, maupun sosial. 2. Ciri-Ciri Remaja Ciri-ciri remaja menurut Hurlock (1999) adalah sebagai berikut: a. Masa Remaja Sebagai Periode yang Penting, Walaupun semua periode dalam rentang kehidupan adalah penting, namun kadar kepentingannya berbeda-beda. Pada periode remaja, perkembangan fisik terjadi sangat cepat dan penting, disertai dengan cepatnya perkembangan mental yang cepat, terutama pada awal masa remaja, memerlukan kesiapan serta penyesuaian mental remaja dalam membentuk sikap, nilai dan minat baru. b. Masa Remaja Sebagai Periode Peralihan, Dalam setiap periode peralihan, status individu tidaklah jelas dan terdapat keraguan akan peran yang harus dilakukan. Pada masa ini, remaja bukan lagi seorang kanak-kanak, namun belum juga dapat dikatakan dewasa. Ketika remaja berperilaku seperti anak-anak, maka remaja akan diajari untuk “bertindak sesuai umurnya” dan sebaliknya ketika remaja berusaha berperilaku seperti dewasa, mereka akan mendapat tuduhan mencoba bertindak seperti orang dewasa, namun, di pihak lain perubahan status ini juga dapat menguntungkan remaja karena status tersebut memberikan waktu kepadanya untuk mencoba gaya hidup yang berbeda dan menentukan pola perilaku, nilai dan sifat yang paling sesuai bagi dirinya. c. Masa Remaja Sebagai Periode Perubahan, Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku selama masa remaja sejajar dengan tingkat perubahan fisiknya. Terdapat empat perubahan yang terjadi pada masa remaja yaitu perubahan emosi, perubahan tubuh, minat dan peran yang diharapkan oleh sosial, perubahan nilai-nilai, dan remaja yang bersikap ambivalen terhadap setiap perubahan yang terjadi, sehingga mereka meragukan kemampuan mereka sendiri dan cenderung sulit untuk bertanggung jawab. d. Masa Remaja Sebagai Usia Bermasalah, Setiap periode memiliki masalahnya masing-masing. Namun, masalah remaja sering menjadi masalah yang sulit diatasi. Terdapat dua alasan penyebab kesulitan tersebut, yaitu pertama, sepanjang masa kanak-kanak, masalah anak-anak akan mendapat penanganan atau bantuan dari pihak luar seperti bantuan dari orangtrua, dan guru, sehingga menjadikan remaja tidak berpengalaman dalam mengatasi permasalahan yang muncul pada masanya saat ini. Kedua, karena para remaja merasa diri mandiri dan mampu sehingga menolak bantuan orangtua dan guru-guru karena ketidakmampuan mereka untuk mengatasi permasalahannya sendiri menurut caranya sendiri, menjadikan remaja berpikir nahwa penyelesaiannya tidak selalu sesuai dengan apa yang mereka harapkan. e. Masa Remaja Sebagai Masa Mencari Identitas, Pada tahun awal remaja, penyesuaian diri dengan standar kelompok masih tetap penting, namun lambat laun remaja akan berpikir dan mendambakan identitas dirinya sendiri dan tidak puas lagi menjadi sama dengan teman-teman dalam segala hal. f. Masa Remaja Sebagai Usia yang Menimbulkan Ketakutan, Banyak terdapat anggapan popular tentang remaja, namun tidak sedikit pula anggapan yang bersikap negatif. Anggapan stereotip budaya bahwa remaja adalah anak-anak yang tidak dapat dipercaya dan cenderung menimbulkan perilaku merusak, menjadikan orang dewasa harus membimbing dan mengawasi kehidupan remaja kearah yang lebih baik. Stereotip negatif tersebut dapat mempengaruhi pembentukan konsep diri dan sikap remaja terhadap dirinya sendiri. g. Masa Remaja Sebagai Masa yang Tidak Realistik, Remaja cenderung melihat dirinya sendiri dan orang lain sebagaimana yang dia inginkan, bukan berdasarkan apa adanya, terlebih dalam hal cita-cita. Emosi remaja akan semakin tinggi apabila orang lain mengecewakannya, atau kalau remaja tidak berhasil mencapai tujuan yang ditetapkannya sendiri h. Masa Remaja Sebagai Ambang Masa Dewasa. Mendekatnya usia kematangan yang sah, para remaja menjadi gelisah untuk meninggalkan streotip belasan tahun dan kemudian memberikan kesan bahwa mereka sudah menuju masa dewasa. Remaja menganggap dengan berpakaian dan bertindak seperti orang dewasa belum cukup, sehingga remaja mulai mencoba-coba memusatkan diri pada perilaku yang dianggap mewakili orang dewasa, misalnya merokok, minum-minuman keras , drugs, dan perilaku seks bebas. Para remaja menganggap bahwa perilaku ini akan memberikan citra yang mereka inginkan. Berdasarkan penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwam ciri-ciri remaja menurut Hurlock (1999) adalah masa remaja sebagai periode peralihan, masa remaja sebagai periode perubahan, masa remaja sebagain usia bermasalah, masa remaja sebagai masa mencari identitas, masa remaja sebagi usia yang menimbulkan ketakutan, masa remaja sebagai masa yang tidak realistis, dan masa remaja sebagai ambang masa dewasa. 3. Tugas Dan Perkembangan Remaja Remaja merupakan masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa yang terjadi pada seorang individu yang berusia 12-21 tahun. Pada setiap siklus hidup yang di alami manusia pasti terdapat tugas perkembangan yang harus di lalui untuk mencapai tingkat kehidupan yang lebih tinggi. Tugas perkembangan yang harus di lalui oleh remaja tersebut antara lain (Soetjiningsih, 2004): a. Memperluas hubungan antar pribadi dan berkomunikasi secara lebih dewasa, b. Memperoleh peranan sosial, c. Menerima keadaan tubuhnya dan menggunakannya secara efektif, d. Memperoleh kebebasan emosional dari orangtua, e. Mencapai kepastian akan kebebasan dan kemampuan berdiri sendiri. William Kay dalam (Jahja, 2011) mengemukakan tugas-tugas perkembangan remaja sebagai berikut: a. Menerima fisiknya sendiri berikut keragaman kualitasnya, b. Mnencapai kemandirian emosional dari orangtua atau figure-figur yang mempunyai otoritas, c. Mengembangkan keterampilan komunikasi interpersonal dan belajar bergaul dengan teman sebaya atau orang lain, baik secara individual maupun kelompok, d. Menemukan manusia model yang dijadikan identitasnya, e. Menerima dirinya sendiri, dan memiliki kepercayaan terhadap kemampuannya sendiri, f. Memperkuat self control atas dasar nilai-nilai, prinsip-prinsip, atau falsafah hidup, g. Mampu meninggalkan reaksi dan penyesuaian diri (sikap atau perilaku) kekanak-kanakan. Berdasarkan penjelasan mengenai tugas-tugas perkembangan remaja diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa remaja pada umumnya memiliki tugas perkembangan masing-masing yang harus mereka lewati sebelum memasuki tahapan selanjutnya yaitu masa dewasa. D. MINUMAN KERAS (ARAK) 1. Pengertian Minuman Keras (Arak) Minuman keras adalah segala jenis minuman yang memabukan, sehingga dengan meminumnya menjadi hilang kesadarannya,yang termasuk minuman keras seperti arak minuman yang banyak mengandung alkohol, seperti wine, whisky, brandy, champagne, malaga dan lainlain (Zulvikar, 2008). Minuman beralkohol adalah minuman yang mengandung etanol. Etanol adalah bahan psikoaktif dan konsumsinya menyebabkan penurunan kesadaran. Arak adalah sejenis minuman yang mengandung alkohol dengan berbagai golongan terutama etanol (CH3CH2OH) dengan kadar tertentu yang mampu membuat peminumnya menjadi mabuk atau kehilangan kesadaran jika diminum dalam jumlah tertentu. Secara kimia alkohol adalah zat yang pada gugus fungsinya mengandung gugus–OH. Alkohol diperoleh dari proses peragian zat yang mengandung senyawa karbohidrat seperti gula, madu, gandum, sari buah atau umbi-umbian. Jenis serta golongan dari alkohol yang akan dihasilkan tergantung pada bahan serta proses peragian. Dari peragian tersebut akan didapat alkohol sampai berkadar 15% tapi melalui proses destilasi memungkinkan didapatnya alkohol dengan kadar yang lebih tinggi bahkan sampai 100% (Zulvikar, 2008). Berdasarkan pengaturan minuman beralkohol yang pada umumnya disebut sebagai minuman keras, terdapat dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI tentang minuman keras Nomor 86/Men/Kes/Per/IV/77. Di dalam peraturan tersebut, minuman keras digolongkan sebagai berikut, ada 3 golongan minuman berakohol yaitu: 1. Golongan A; kadar etanol 1%-5% misalnya tuak dan bir, 2. Golongan B; kadar etanol 5%-20% misalnya arak dan anggur, 3. Golongan C; kadar etanol 20%-55% misalnya whiskey dan vodca. Dari presentase alkohol yang terdapat dalam bermacam-macam minuman tersebut, dapat dikategorikan dari golongan mana minuman tersebut, apakah golongan A, golongan B, golongan C. Pada umumnya seseorang yang minum-minuman keras untuk bersantai dan akan berhenti minum tanpa kesukaran, namun apabila individu mulai tergantung pada minuman keras, maka timbullah apa yang disebut alkoholisme. 2. Remaja Dan Fenomena Tradisi Minum Minuman Keras (Arak) Di Bali Kebiasaan masyarakat mengkonsumsi arak di Bali sudah ada sejak lama, bahkan sudah turun temurun. Kebiasaan ini dapat dilihat dari adanya acara khusus yang dilakukan warga saat selesainya mengadakan upacara selamatan ataupun upacara yang menandakan hari baik seperti setelah upacara metatah (potong gigi), pernikahan, atau menek kelih dan mecaru. Acara ini sebagai perayaan kebahagiaan selain sebagai simbolis terhadap adanya rasa penghormatan terhadap para tamu yang hadir serta adanya hubungan kemasyarakatan yang terjalin dengan erat, biasanya acara minum dilakukan secara berkelompok dengan duduk melingkar dimana arak diminum secara bergilir pada sebuah cangkir kecil yang disebut dengan sloki (Winata, 2009). Acara minum arak biasanya terbagi atas dua kelompok, yang pertama yaitu kelompok orang tua dimana pada kelompok ini individu yang dianggap dihormati akan diberi kesempatan untuk minum terlebih dahulu, sedangkan pada kelompok kedua adalah kaum remaja dimana yang diberi kesempatan minum adalah laki-laki yang baru saja diupacarai. Pada pesta pernikahan mungkin tidak akan menjadi permasalahan, namun pada upacara metatah dan menek bajang, yang diupacarai serta tamu yang datang rata-rata masih berusia 13-15 tahun dimana mereka belum terbiasa minum atau bahkan belum pernah minum arak sebelumnya (Winata, 2009). Bagi para laki-laki yang diupacarai ataupun keluarga dari orang yang mengadakan upacara, minum minuman keras bersama para tamu adalah suatu kewajiban moral, karena ada anggapan bahwa jika tuan rumah tidak ikut minum bersama para tamu, merupakan sesuatu yang tidak etis atau bahkan yang lebih buruk akan dituduh telah memberikan racun atau yang di Bali dikenal dengan cetik pada makanan dan minuman yang telah disuguhkan bagi para tamu, sehingga mau tidak mau individu tersebut pasti ikut minum arak, tidak peduli apakah individu tersebut sudah terbiasa minum atau tidak. Pada acara metatah dan menek bajang tentu yang diundang juga berasal dari teman-teman orang yang diupacarai yang rata-rata masih berumur 1315 tahun dimana individu sebelumnya belum pernah minum arak, namun karena desakan temantemannya maka individu biasanya ikut-ikutan dan mulai terbiasa, sehingga secara tidak langsung budaya ini ikut mempengaruhi penyebaran kebiasaan minum-minuman keras (Winata, 2009). Di Bali, arak merupakan satu jenis minuman yang digunakan sebagai sajian (tabuhan) bersama-sama dengan berem dan tuak pada upacara adat dan keagamaan, disamping itu arak juga di sajikan sebagai hidangan khusus bagi orang dewasa. Arak nomor satu biasanya dipakai sebagai jamu obat kuat dalam bentuk arak ramuan atau arak base dan campuran obat luar yang biasa disebut boreh untuk mengatasi rematik dan gatal-gatal. Umumnya individu tidak berani meminum arak nomor satu tanpa campuran minuman lain. Kadar alkohol arak nomor satu sangat tinggi, kira-kira lebih dari 40 %. Untuk pesta minum, individu biasanya memilih arak kelas nomor dua, itu pun sering dicampur dengan madu (arak madu), coca-cola (arak kuk), es batu (arak es), atau air jeruk, sedangkan arak kelas tiga biasanya dipakai untuk arak tabuh, salah satu elemen penting dalam setiap ritual Hindu di Bali (Winata, 2009). 3. Faktor Yang Mempengaruhi Penggunaan Minuman Keras Kalangan Remaja Puspitawati (dalam Ulfah, 2005) menyebutkan beberapa remaja terjerumus dalam masalah minuman keras karena dipengaruhi lingkungan pergaulan antara lain sebagai berikut : a. Remaja yang selalu minum-minuman keras selalu mempunyai “kelompok pemakai”. Awalnya remaja hanya mencoba-coba karena keluarga atau teman-teman yang yang menggunakannya, namun ada yang kemudian menjadi kebiasaan. b. Pada remaja yang “kecewa” dengan kondisi diri dan keluarganya, sering menjadi lebih suka untuk mengorbankan apa saja demi hubungan baik dengan teman-teman sebayanya. c. Adanya “ajakan” atau “tawaran” dari teman serta banyaknya film dan sarana hiburan yang memberikan contoh “model pergaulan moderen” biasanya mendorong remaja minumminuman keras secara berkelompok. d. Apabila remaja telah menjadi terbiasa minum minuman keras dan karena mudah mendapatkannya, maka remaja akan memakainya sendiri sehingga tanpa disadari lamakelamaan akan ketagihan. Penggunaan minuman keras di kalangan remaja umumnya karena minuman keras tersebut menjanjikan sesuatu yang menjadi rasa kenikmatan, kenyamanan dan kesenangan dan ketenangan. walaupun hal itu dirasakan secara semu. Noegroho Djajoesman (dalam Ulfah, 2005) menyebutkan kalangan remaja mengkonsumsi minuman keras di sebabkan oleh beberapa faktor antara lain: a. Lingkungan sosial, Motif ingin tahu, bahwa remaja selalu mempunyai sifat selalu ingin tahu segala sesuatu yang belum atau kurang diketahui dampak negatifnya. Misalnya saja ingin tahu bagaimanakah rasanya minuman keras. b. Kepribadian. Rendah diri, rendah diri dalam pergaulan masyarakat, karena tidak dapat mengatasi perasaan tersebut maka untuk menutupi kekurangan dan agar dapat menunjukan eksistensi dirinya. 4. Efek Minuman Keras Bila dikonsumsi berlebihan, minuman beralkohol dapat menimbulkan gangguan mental organik (GMO), yaitu gangguan dalam fungsi berpikir, merasakan, dan berprilaku. Timbulnya GMO itu disebabkan reaksi langsung alkohol pada sel-sel saraf pusat. Karena sifat adiktif alkohol itu, orang yang meminumnya lama-kelamaan tanpa sadar akan menambah takaran/dosis sampai pada dosis keracunan atau mabuk. Individu yang terkena GMO biasanya mengalami perubahan perilaku, seperti misalnya ingin berkelahi atau melakukan tindakan kekerasan lainnya, tidak mampu menilai realitas, terganggu fungsi sosialnya, dan terganggu pekerjaannya. Perubahan fisiologis juga terjadi, seperti cara berjalan yang tidak mantap, muka merah, atau mata juling. Perubahan psikologis yang dialami oleh konsumen misalnya mudah tersinggung, bicara tidak beraturan atau kehilangan konsentrasi. Individu yang sudah ketagihan biasanya mengalami suatu gejala yang disebut sindrom putus alkohol, yaitu rasa takut diberhentikan minum alkohol. Para remaja akan sering gemetar dan jantung berdebar-debar, cemas, gelisah, murung, dan banyak berhalusinasi (Djajoesman dalam Ulfah, 2005). 5. Dampak Mengkonsumsi Minuman Keras Bagi Remaja a. Farmakologi, Bahwa minuman keras larut dalam air sebagai molekul-molekul kecil sehingga dengan waktu yang relatif singkat dapat dengan cepat di serap melalui pencernaan kemudian disebarluaskan keseluruh jaringan dan cairan. b. Gangguan kesehatan fisik, Meminum minuman keras dalam jumlah yang banyak dan dalam waktu yang lama menimbulkan kerusakan dalam hati, jantung pankreas, lambung dan otot. Pada pemakaian kronis minuman keras dapat terjadi pergeseran hati, peradangan pangkreas dan peradangan lambung. c. Gangguan kesehatan jiwa, Meminum minuman keras secara kronis dalam jumlah berlebihan dapat menimbulkan kerusakan jaringan otak sehingga menimbulkan gangguan daya ingatan, kemampuan penilaian, kemapuan belajar, dan gangguan jiwa tertentu. d. Gangguan terhadap Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (KAMTIMBAS). Akibat dari minum-minuman keras akan menekan pusat pengendalian dari individu, sehingga individu akan menjadi berani dan agresif, karena keberaniannya dan keagresifan serta tertekannya pengendalian diri tersebut individu melakukan gangguan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (KAMTIMBAS) baik dalam bentuk pelanggaran norma-norma dan sikap moral bahkan tidak sedikit melakukan tindakan pidana dan kriminal (Djajoesman dalam Ulfah, 2005). E. Dinamika Hubungan Antar Variabel Dari pemaparan di atas, dapat diketahui bahwa salah satu tugas perkembangan masa remaja yang tersulit adalah penyesuaian sosial. Remaja harus menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Untuk mencapai tujuan dari pola sosialisasi dewasa, remaja harus membuat banyak penyesuaian baru. Hal yang terpenting dan tersulit adalah penyesuaian diri dengan meningkatnya pengaruh peer group, perubahan dalam perilaku sosial, pengelompokkan sosial yang baru, nilai-nilai baru dalam seleksi persahabatan (Hurlock, 1999). Remaja lebih banyak berada di luar rumah bersama dengan teman-temannya sebagai kelompok, oleh karena itu pengaruh teman-temannya pada sikap, pembicaraan, minat, penampilan, dan perilaku terkadang lebih besar daripada pengaruh keluarga (Hurlock, 1999). Konformitas pada remaja umumnya terjadi karena remaja tidak ingin dipandang berbeda dengan teman-temannya, pada masa remaja tekanan teman-temannya lebih dominan (Zebua& Nurdjayadi, 2001). Hal ini disebabkan oleh besarnya keinginan untuk menjaga harmonisasi dan penerimaan sosial dalam kelompok. Konformitas muncul pada masa remaja, yang ditunjukkan dengan cara menyamakan diri dengan temannya dalam hal ini yaitu mengkonsumsi minuman keras (arak), sebagian remaja beranggapan apabila remaja melakukan aktivitas yang sama dengan yang sedang dilakukan kelompok acuan, maka timbul rasa percaya diri dan kesempatan diterima kelompok lebih besar, oleh karena itu remaja cenderung menghindari penolakan dari teman-temannya dengan bersikap conform atau sama dengan kelompoknya (Baron& Byrne, 2001). Konsep diri sangat penting di dalam kehidupan manusia. Konsep diri adalah pandangan atau persepsi, pikiran, perasaan, dan sikap individu mengenai dirinya dan hubungannya dengan orang lain, yang diperoleh melalui pengalaman dan interaksi dengan lingkungan, yang akan mengarahkan serta mempengaruhi tingkah laku individu tersebut (William H. Fitts, dalam Agustiani 2009). Hubungan antara konsep diri dengan konformitas pada remaja yang mengkonsumsi minuman keras (arak) yaitu bagaimana remaja akan bertingkah laku ditentukan dari konsep diri yang dimilikinya. Dalam penelitian ini mengangkat konsep diri yang berhubungan dengan konformitas pada remaja laki-laki yang mengkonsumsi minuman keras (arak) di Gianyar, Bali. Maka dibuat bagan hubungan antar variabel sebagai berikut: Remaja Laki-laki Konsep Diri Konformitas Yang Mengkonsumsi Minuman Keras (Arak) Orangtua Teman sebaya Masyarakat Belajar Kekompakan kelompok Kesepakatan kelompok Ukuran kelompok Gambar 1: Dinamika antar Variabel Hubungan Konsep Diri Dengan Konformitas Pada Remaja Laki-laki Yang Mengkonsumsi Minuman Keras (Arak) di Gianyar, Bali. Keterangan: : garis hubungan yang diteliti : garis hubungan yang tidak diteliti : variabel yang diteliti : variabel yang tidak diteliti : cakupan subjek yang diteliti berdasarkan ke dua variabel Keterikatan pada penilaian bebas Melalui penjelasan tersebut, terdapat garis hubungan antara konsep diri dengan konformitas pada gambar diatas. Hal ini menunjukkan bahwa penelitian ini tidak mencari pengaruh, melainkan ingin melihat apakah terdapat hubungan antara konsep diri dalam kaitannya dengan remaja laki-laki yang mengkonsumsi minuman keras khususnya arak di Gianyar, Bali. Konsep Diri nantinya akan berimplikasi kepada konformitas kelompok dari remaja khususnya remaja laki-laki yang mengkonsumsi minuman keras itu sendiri. Masingmasing dari variabel baik konsep diri maupun konformitas memiliki faktor yang mempengaruhi, akan tetapi faktor tersebut tidak diteliti oleh peneliti. Variabel yang diteliti dapat dilihat dari perbedaan garis yang ditunjukkan pada kerangka konsep diatas, yaitu melalui garis yang di cetak tebal maupun garis putus-putus, sedangkan lingkaran menunjukkan cakupan subjek yang diteliti berdasarkan kedua variabel. F. Hipotesis Penelitian Hipotesis adalah dugaan sementara yang hendak diuji kebenarannya (Setiawan, 2004). Peneliti mengajukan dua hipotesis yang terbagi menjadi Ha dan Ho. Hipotesis ini akan terjawab salah satunya setelah melewati uji snalisa statistik, maka hipotesis yang dapat ditarik yaitu: Ha : ada hubungan konsep diri dengan konformitas pada remaja laki-laki yang mengkonsumsi minuman keras (arak) di Gianyar, Bali. Ho : tidak ada hubungan konsep diri dengan konformitas pada remaja laki-laki yang mengkonsumsi minuman keras (arak) di Gianyar, Bali.