Judul Nama/Npm Pembimbing : PERBEDAAN TINGKAT KONFORMITAS TERHADAP SEKS PRANIKAH ANTARA PRIA DAN WANITA : Yedda Prada Teruna /10503208 : Dona Eka Putri, Psi, Mpsi ABSTRAK Pada masa remaja baik pria maupun wanita, kedekatannya dengan peer-groupnya sangat tinggi karena selain ikatan peer-group menggantikan ikatan keluarga, mereka juga merupakan sumber afeksi, simpati, dan pengertian, saling berbagi pengalaman dan sebagai tempat remaja untuk mencapai otonomi dan independensi. Informasi dari teman-temannya tersebut, dalam hal ini sehubungan dengan perilaku seks pranikah, tak jarang menimbulkan rasa penasaran yang membentuk serangkaian pertanyaan dalam diri remaja, pertanyaan yang ambigu, dan ketika individu sulit untuk memutuskan atau menjawab pertanyaan tersebut, maka semakin mudah individu tersebut untuk berkonformitas Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah ingin menguji secara empiris perbedaan tingkat konformitas terhadap seks pranikah pada remaja pria dan wanita. Manfaat dari penelitian ini adalah didapatkannya data yang dapat berguna sebagai bahan referensi atau literature dalam ilmu psikologi terutama yang berkaitan dengan aspek konformitasi. Penelitian ini dilakukan terhadap 60 orang remaja yang berusia antara 18-22 tahun di Universitas YAI Jakarta. Partisipan dalam penelitian ini terdiri dari 30 orang pria dan 30 orang wanita. Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan kuesioner Untuk pengukuran skala konformitas, terlabih dahulu dilakukan uji validitas dan reliabilitas yang menggunakan teknik Alpha Cronbach dengan bantuan program SPSS versi 14.0 for windows. Dari hasil penelitian ini, diketahui terdapat 47 aitem valid dari 60 aitem yang terdapat dalam kuesioner. Nilai korelasi berkisar antara 0,301 sampai dengan 0,612 dengan koefisien realibilitas 0,918. Dari analisis data dengan menggunakan T-Test Independent Sample , diperoleh nilai F sebesar 0.962 dengan signifikansi 0.000 ( p < 0.05 ) yang menunjukkan bahwa ada perbedaan tingkat konformitas terhadap seks pranikah antara pria dan wanita pada remaja Kata kunci : Konformitas, remaja, dan seks 1. PENDAHULAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja bisa dikatakan sebagai periode perubahan, dimana tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku selama masa remaja sejajar dengan tingkat perubahan fisik. Selama awal masa remaja, ketika perubahan fisik terjadi dengan pesat, perubaha perilaku dan sikap juga berlangsung dengan pesat (Hurlock, 1996). Selain mengalami perubahan sikap dan perilaku serta tentunya perubahan fisik, remaja pun mengalami suatu perubahan sosial. Salah satu tugas perkembangan masa remaja yang tersulit adalah yang berhubungan dengan penyesuaian sosial. Dengan lebih banyaknya remaja berada diluar rumah bersama dengan teman-teman sebaya sebagai kelompok, maka dapatlah dimengerti bahwa pengaruh teman-teman sebaya pada sikap, pembicaraan, minat, penampilan dan perilaku lebih besar daripada pengaruh keluarga (Hurlock,1996). Dalam proses mencari identitas diri, remaja bergabung dengan kelompok tertentu. Di kelompok tersebut remaja belajar banyak hal termasuk mendapatkan sumber informasi yang penting. Seringkali remaja mengetahui sesuatu yang tidak diketahui sebelumnya. Semakin besar kepercayaan remaja terhadap kelompok sebagai sumber informasi yang benar, semakin besar pula kemungkinan untuk menyesuaikan diri terhadap kelompok (Sears dkk,1985). Dengan bergabungnya remaja pada satu kelompok tertentu, maka remaja tersebut sangat mungkin untuk meniru ataupun melakukan apa saja yang juga dilakukan oleh kelompoknya. Hal ini dinamakan dengan konformitas. Kenyataannya, apa yang dilakukan individu tersebut belum tentu berguna bagi dirinya sendiri, tidak jarang apa yang dilakukan individu memberikan dampak negatif baik dari segi material, fisik, atau juga psikis individu itu sendiri. Salah satu alasan utama remaja melakukan konformitas adalah demi memperoleh persetujuan atau menghindari celaan kelompok. Hal inilah yang memicu remaja untuk melakukan apa yang dilakukan anggota kelompok dalam berbagai hal (Hurlock, 1996). Konformitas pada remaja dapat memberikan dampak positif dan negatif bagi remaja itu sendiri, misalnya dampak positif konformitas jika kelompok di mana individu tersebut berada sering melakukan belajar bersama, maka secara tidak langsung individu tersebut terlibat di dalamnya. Konformitas pun dapat memberikan dampak negatif seperti minum-minuman beralkohol, merokok, pola hidup konsumtif. Di dalam gaya hidup pun mereka dapat melakukan konformitas, mereka tak malu untuk berpacaran di depan umum, mereka bermesraan dan berpelukan di depan umum. Pada dekade 1980-an, mereka mulai mengenal kehidupan malam, tempat favorit mereka untuk bersosialisasi adalah diskotek dan gaya hidup hedonisme juga dianut mereka (suarakarya-online.com.2006). Begitu juga dengan dekade 1990-an dan awal 2000-an, dengan semakin canggihnya teknologi dan semakin gencarnya kebudayaan barat masuk ke Indonesia, maka pola hidup dan gaya hidup remaja semakin berubah. Mereka tidak lagi mengindahkan norma-norma yang berlaku di masyarakat, gaya hidup hedonisme sudah melekat di pergaulan mereka. Mereka sudah tak segan lagi untuk berciuman di depan umum, dan yang lebih memperihatinkan lagi mereka sudah tidak menganggap lagi seks itu tabu. Para remaja sudah mulai berani menjelajahi apa itu seks dengan cara mereka sendiri, dan mereka sudah mulai berani untuk melakukannya, karena mereka takut dikucilkan dalam pergaulan apabila mereka berlum pernah melakukan hubungan seksual (suarakarya-online.com.2006). Pada seorang remaja, perilaku seks pranikah dapat dimotivasikan oleh rasa sayang dan cinta dengan didominasi oleh perasaan kedekatan dan gairah yang tinggi terhadap pasangannya, tenpa disertai komitmen atau karena pengaruh kelompok (konformitas), di mana remaja tersebut ingin menjadi bagian dari kelompoknya dengan mengikuti norma-norma yang telah dianut kelompoknya (jambiindependent.co.id, 2007). Perilaku seks pranikah itu cenderung dilakukan karena pengaruh teman yang negatif. Lingkungan yang negatif akan membentuk remaja yang tidak punya proteksi terhadap perilaku orang-orang di sekelilingnya. Pada penjelasan di atas sudah jelas bahwa terdapat kaitan antara konformitas dengan seks pranikah pada remaja. Remaja dengan tugas perkembangan yang berhubungan dengan penyesuaian sosial yang sulit, akan mudah dipengaruhi oleh teman-teman sebaya dalam kelompoknya, informasi mengenai hubungan seksual yang salah dapat diterima oleh remaja yang tergabung di dalam individu tersebut, karena mereka ingin diterima secara sosial dan menghindari hukuman sosial berupa celaan di dalam kelompok tersebut (Sears,dkk 1985), remaja mengikuti tanpa memperdulikan perasaan mereka sendiri. Seperti pada contoh penelitian yang dilakukan oleh Annisa Foundation, diantara responden yang diteliti mengaku melakukan hubungan seks tanpa ada paksaan dari pasangannya dan responden itu mengakui bahwa adanya kebutuhan, dan mereka menyetujui perilaku tersebut karena dalam kelompok teman-teman sebaya mereka seks bukanlah hal yang tabu, dan hampir lebih dari 50% individu di dalam kelompok itu melakukan hubungan seks di luar pernikahan, yang lebih ironis lagi ada beberapa responden yang mengaku melakukan hubungan seks lebih dari satu pasangan dan bersifat tidak komersil (Surya.co.id,2007). Melalui contoh di atas kembali bisa kita lihat bahwa pengaruh teman sebaya di dalam suatu kelompok sangat besar, dan mereka melakukan perilaku seksual pranikah hanya semata-mata karena ingin diterima secara sosial oleh kelompoknya dan menghindari celaan (Sears dkk, 1985), oleh sebab itu mereka melakukan konformitas, yaitu melakukan apa yang dilakukan anggota kelompok demi memperoleh persetujuan atau menghindari celaan kelompok, tanpa memperdulikan perasaan mereka sendiri (Hurlock, 1996). Inilah yang terjadi pada remaja saat ini, mereka yang melakukan seks pranikah sebenarnya mengetahui bahwa perilaku seksual pranikah itu salah dan mereka menjaga untuk tidak melakukannya, tetapi karena pengaruh tekanan kelompok dan takut untuk bertentangan dengan kelompoknya maka mereka melakukan seks pranikah. Mereka yang terlibat kegiatan hubungan di luar nikah itu bukan berarti karena tidak mengerti atau tidak paham nilai-nilai agama atau budi pekerti, sebab hampir 90 persen dari mereka mengaku bahwa praktek hubungan seksual di luar nikah tersebut merupakan perbuatan dosa yang seharusnya dihindari oleh siapa saja, dan mereka melakukan konformitas terhadap seks pranikah semata-mata hanya untuk diterima dikelompoknya ,dan mereka secara rela menuruti kemauan kelompok (Sarwono, 2005). Pria dan wanita memiliki peredaan dalam konformitas. Di dalam situasi yang terdapat tekanan kelompok dan terdapat audience didalamnya wanita lebih mudah untuk berkonformitas dibandingkan dengan pria. (wikipedia.org, 2007). Konformitas lebih sering terjadi pada remaja putri. Hal ini dikarenakan remaja putri dilukiskan sebagai sosok yang lemah lembut, bijaksana, peka terhadap perasaan prang lain, tertarik pada penampilan diri, tergantung, dan memiliki kebutuhan akan rasa aman yang sangat besar (Sears dkk, 1985). Menurut Sarwono (2001), wanita lebih mudah konform daripada pria dan ada dua penyebabnya, yaitu, kepribadian wanita lebih flexible, dan status wanita lebih terbatas sehingga mereka tidak mempunyai banyak pilihan, kecuali menyesuaikan diri pada situasi. Stereotipe ini yang tanpa disadari melekat pada diri remaja putri. Remaja putri seringkali terbujuk rayuan orang lain, dalam hal ini teman sekelompoknya, dari hal yang umum seperti gaya berpakaian, dan body image. Remaja pria tidak mudah untuk dikarenakan pria dilukiskan sebagai individu yang mandiri, berpikir secara rasional, logika, dan realistic, sehingga tanpa disadari stereotype ini melekat pada diri remaja pria Pada penelitian yang dilakukan oleh Annisa Foundation lebih dari 40% pelajar wanita di Cianjur sudah kehilangan keperawanannya saat duduk di bangku sekolah, dan mereka beralasan melakukan hubungan seks karena dorongan dan tuntutan dari pergaulan (Surya.co.id,2007). Berdasarkan uraian di atas , maka penelitian ini akan melihat apakah ada perbedaan tingkat konformitas terhadap seks pranikah pada remaja pria dan wanita. C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah ingin menguji secara empiris perbedaan tingkat konformitas terhadap seks pranikah pada remaja pria dan wanita, dan penelitian ini menjadi perlu untuk dilakukan karena di Indonesia belum pernah ada penelitian mengenai konformitas terhadap seks pranikah antara remaja pria dan wanita D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Dalam bidang ilmu Psikologi Sosial penelitian ini memberikan informasi mengenai tingkat perbedaan konformitas terhadap seks pranikah pada remaja pria dan wanita, karena penelitian tentang konformitas terhadap seks pranikah di Indonesia belum pernah ada 2. Manfaat Praktis Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai pedoman untuk penelitian yang berhubungan dengan konformitas pada remaja, selain itu hasil penelitian ini dapat memberi masukan bagi masyarakat luas dan khususnya bagi remaja pria dan wanita dalam bertindak dan memilih kelompok mana yang bisa memberikan masukan positif baginya dalam berperilaku yang baik dan sewajarnya . 2.TINJAUAN PUSTAKA A. Konformitas 1. Pengertian Konformitas Konformitas adalah perubahan keyakinan atau tingkah laku seseorang agar sesuai dengan lingkungan atau kelompok (Callhoun, 1990). Dalam konformitas seorang anggota dalam sebuah kelompok atau lingkungan mengikuti pola pikir atau tindakan yang dilakukan oleh kelompok tersebut. Menurut Willis (dalam Sarwono, 1999) , konformitas adalah usaha terus menerus dari individu untuk selalu selaras dengan norma-norma yang diharapkan oleh kelompok. Jika persepsi individu tentang norma-norma kelompok (standar sosial) berubah, maka ia akan mengubah pula tingkah lakunya. Menurut Sears (1994) konformitas adalah penyesuaian individu terhadap persepsi dan penilaian kelompok terhadap suatu hal. Menurut Kiesler (dalam Sarwono, 2001), konformitas adalah perubahan perilaku atau keyakinan karena adanya tekanan dari kelompok, baik yang sungguhsungguh ada maupun yang dibayangkan saja. Chaplin (2005) juga mengatakan bahwa konformitas adalah kecenderungan untuk memperbolehkan suatu tingkah laku seseorang dikuasai oleh sikap dan pendapat yang sudah berlaku. Berdasarkan definisi beberapa tokoh tentang konformitas, dapat disimpulkan bahwa konformitas yaitu kecenderungan suatu tingkah laku seseorang dikuasai oleh sikap dan pendapat yang sudah berlaku, pengaruh sosial dimana setiap individu mengubah sikapnya, perilakunya dan keyakinannya, karena adanya tekanan dari kelompok dan agar dapat lebih diterima oleh kelompok. 2. Komponen-komponen Konformitas Menurut Calhoun (1990) ada beberapa komponen-komponen yang menyebabkan konformitas, yaitu a. Kelompok. Semakin besar kelompok, semakin berkompeten kelompok tersebut, semakin kuat kelompok tersebut, dan semakin kita bulat suara kelompok tersebut maka semakin mudah individu untuk berkonformitas. Kebulatan suara tampaknya hal yang sangat menentukan dalam konformitas. b. Hal-hal yang dipertanyakan. Menurut Kiesler (dalam Calhoun,1990) ketika suatu individu dihadapkan dengan pertanyaan yang ambigu, dan ketika individu sulit untuk memutuskan atau menjawab pertanyaan tersebut, maka semakin mudah individu tersebut untuk berkonformitas. c. Individu. Penelitian membuktikan bahwa semakin individu mempunyai intelegensi yang tinggi, dan mempunyai kepercayaan diri, maka semakin sulit baginya untuk berkonformitas. Karakteristik dari kelompok, hal-hal yang pertanyakan, dan individu dapat saling menekan satu dengan yang lainnya d. Komponen sikap, yaitu perasaan seseorang tentang diri sendiri, sikap terhadap statusnya sekarang dan prospeknya di masa depan, sikap terhadap harga diri dan pandangan diri yang dimilikinya 3. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya Konformitas Ada dua alasan utama mengapa orang melakukan konformitas. Pertama, perilaku orang lain memberikan informasi yang bermanfaat. Kedua, individu melakukan konformitas karena ingin diterima secara sosial dan menghindari celaan (Sears, 1994). a. Informasi Orang lain adalah sumber informasi yang paling penting. Seringkali mereka mengetahui sesuatu yang tidak individu ketahui, dengan melakukan apa yang mereka lakukan seseorang akan memperoleh manfaat dari pengetahuan mereka. Oleh karena itu, tingkat konformitas yang didasarkan pada informasi ditentukan oleh dua aspek situasi, sejauh mana mutu informasi yang dimiliki orang lain tentang apa yang benar?, dan sejauh mana kepercayaan diri individu terhadap penilaian individu sendiri ( Sears, 1994). Dibawah ini akan dijelaskan dua aspek tersebut. 1). Kepercayaan terhadap kelompok Dalam situasi konformitas, individu mempunyai suatu pandangan dan kemudian menyadari bahwa kelompoknya menganut pandangan yang bertentangan. Individu ingin memberikan informasi yang tepat. Oleh karena itu, semakin besar kepercayaan individu terhadap kelompok sebagai sumber informasi yang benar, semakin besar pula kemungkinan untuk menyesuaikan diri terhadap kelompok. Bila orang tersebut berpendapat bahwa kelompok selalu benar, maka dia akan mengikuti apa pun yang dilakukan kelompok tanpa mempedulikan pendapatnya sendiri (Sears, 1990). Salah satu faktor penentu kepercayaan terhadap kelompok adalah tingkat keahlian anggotanya. Sejauh mana pengetahuan mereka tentang suatu topik?, sejauh mana kewenangan mereka untuk memberikan informasi?, semakin tinggi tingkat keahlian kelompok itu dalam hubungannya dengan individu, semakin tinggi pula tingkat kepercayaan dan penghargaan individu terhadap pendapat kelompok (Sears,1990). 2). Kepercayaan yang lemah terhadap penilaian diri sendiri Sesuatu yang dapat meningkatkan kepercayaan individu terhadap pernilaiannya sendiri akan menurunkan konformitas (Sears, 1990). Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi rasa percaya diri dan tingkat konformitas adalah, tingkat keyakinan orang tersebut pada kemampuannya sendiri untuk menampilkan suatu reaksi. Seperti yang dijelaskan pada Social Comparison Theory oleh Leon Festinger (dalam Calhoun, 1990). Teori ini mendasarkan bahwa seseorang mengevaluasi pendapat atau penilaiannya sendiri dengan membandingkan dengan pendapat atau penilaian orang lain. Ketika tidak ada objektivitas dalam suatu penilaian maka seseorang akan cenderung untuk melakukan pembanding sosial, (Calhoun, 1990). b. Rasa takut terhadap celaan sosial Alasan kedua mengapa orang melakukan konformitas adalah demi memperoleh persetujuan , atau menghindari celaan kelompok (Sears,1994). Dibawah ini terdapat sejumlah faktor yang akan menentukan bagaimana perngaruh persetujuan dan celaan ini terhadap tingkat konformitas individu. 1). Rasa takut terhadap penyimpangan Rasa takut dipandang sebagai orang yang menyimpang merupakan faktor dasar hampir dalam semua situasi sosial (Sears,1994). Rasa takut akan dipandang sebagai orang yang menyimpang ini diperkuat oleh tanggapan kelompok terhadap perilaku menyimpang. Orang yang tidak mau mengikuti apa yang berlaku di dalam kelompok akan menanggung resiko mengalami akibat yang tidak menyenangkan, oleh sebab itu maka orang melakukan konformitas untuk menghindari hal-hal tersebut (Callhoun,1990). 2). Kekompakan kelompok Konformitas juga dipengaruhi oleh eratnya hubungan antara individu dengan kelompoknya. Apakah para anggota merasa dekat dengan kelompoknya atau tidak?, sejauh mana keinginan mereka untuk menjadi anggota kelompok itu?, istilah kekompakan digunakan untuk menyatakan hal-hal tersebut (Sears,1994). Yang dimaksudkan dengan istilah itu adalah jumlah total kekuatan yang menyebabkan orang tertarik pada suatu kelompok dan yang membuat mereka ingin tetap menjadi anggotanya (Sears,1994). Kekompakan yang tinggi menimbulkan konformitas yang tinggi.Alasan utamanya adalah bahwa bila orang merasa dekat dengan anggota kelompok yang lain, akan semakin menyenangkan bagi mereka untuk mengakui seseorang, dan semakin menyakitkan bila mereka mencela. Artinya kemungkinan untuk menyesuaikan diri atau tidak menyesuaikan diri akan semakin besar bila individu mempunyai keinginan yang kuat untuk menjadi anggota kelompok tersebut (Sears,1994). 4. Aspek-aspek Konformitas Sears dkk (1994), berpendapat bahwa konformitas akan mudah terlihat serta mempunyai aspek-aspek yang khas dalam kelompok. Adapun aspek-aspek yang dimaksud di dalamnya, yaitu: a. Aspek kekompakan Yang dimaksud dengan istilah kekompakkan adalah jumlah total kekuatan yang menyebabkan orang tertarik pada suatu kelompok dan yang membuat mereka ingin tetap menjadi anggotanya. Kekompakkan mengacu pada kekuatan yang menyebabkan para anggotanya menetap dalam suatu kelompok. b. Aspek kesepakatan Aspek yang sangat penting bagi timbulnya konformitas adalah kesepakatan pendapat kelompok. Individu yang dihadapkan pada keputusan kelompok yang sudah bulat akan mendapat tekanan yang kuat, untuk menyesuaikan pendapatnya. Namun, bila kelompok tidak bersatu, akan tampak adanya penurunan konformitas. Morris & Miller ( dalam Sears dkk, 1985 ) menunjukkan bahwa saat terjadinya perbedaan pendapat yang berbeda setelah mayoritas menyatakan pendapatnya, konformitas akan menurun. Tetapi bila orang yang mempunyai pendapat berbeda itu memberikan jawabannya sebelum mayoritas, mengemukakan jawaban, akan terjadi penurunan konformitas yang lebih besar. Penurunan konformitas yang drastis karena hancurnya kesepakatan disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain : 1). Tingkat kepercayaan terhadap mayoritas akan menurun bila terjadi perbedaan pendapat. 2). Bila anggota kelompok yang lain mempunyai pendapat yang sama, keyakinan individu terhadap pendapatnya sendiri akan semakin kuat. 3.) Bila individu mempunyai pendapat yang berbeda dengan anggota kelompok yang lain individu akan dikucilkan dan dianggap sebagai orang yang menyimpang, baik dalam pandangannya sendiri maupun dalam pandangan orang lain. c. Aspek ketaatan Konformitas merupakan bagian dari persoalan mengenai bagaimana membuat individu rela melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak ingin mereka lakukan. Salah satu caranya adalah melalui tekanan sosial. Adapun bentuk – bentuk tekanan social yang dapat memunculkan ketaatan dalam diri individu antara lain : 1). Ketaatan terhadap otoritas yang sah Faktor yang paling penting dalam ketaatan adalah bahwa orang memiliki otoritas yang sah dalam situasi itu, sesuai dengan norma social yang berlaku. Yang dimaksud dengan legitimasi adalah keyakinan umum bahwa pihak otoritas mempunyai hak untuk menuntut ketaatan terhadap perintahnya. 2). Ganjaran, hukuman, dan ancaman. Salah satu cara untuk menimbulkan ketaatan adalah dengan meningkatkan tekanan terhadap individu untuk menampilkan perilaku yang diinginkan melalui ganjaran, hukuman, atau ancaman. Semua itu merupakan insentif pokok untuk mengubah perilaku seseorang. 3). Harapan orang lain terhadap individu. Sampai suatu tingkat yang sulit dipercaya, individu akan rela memenuhi permintaan orang lain hanya karena orang lain tersebut mengharapkannya. 4). Peniruan dari model yang melakukan apa yang dikehendaki peneliti. Seperti perilaku yang lain, individu cenderung melakukan apa yang mereka lihat dilakukan oleh orang lain. Bila seseorang bertindak agresif, orang lain juga akan cenderung menjadi lebih agresif. Efek yang sama juga terjadi pada ketaatan. Bila individu melihat bahwa orang tidak taat, maka individu tersebut akan menjadi kurang taat. Menurut Grusec dan Skubiski (dalam Sears, 1985) menunjukkan bahwa, agar efektif, model harus benar-benar menampilkan perilaku tersebut dan tidak hanya sekedar mengatakannya. Ada tiga kondisi yang menyertai, yaitu tanpa model, ada model yang mengatakan bahwa dia akan memberikan ganjaran tetapi tidak benar-benar melakukannya ,dan ada model yang betul-betul memberikan ganjaran. 5). Menempatkan individu dalam situasi terkendali yang dirancang untuk memberi tekanan secara halus sehingga individu tersebut mengalami kesulitan untuk menolak B. Perilaku Seksual Pranikah 1. Pengertian Perilaku Seksual Pranikah Menurut Chaplin (2005) perilaku seksual adalah tingkah laku, perasaan atau emosi yang berasosiasi dengan perangsangan alat kelamin, daerahdaerah erogenous, atau dengan proses perkembangbiakan. Menurut Nevid (1995) perilaku seksual pranikah adalah semua jenis aktifitas fisik yang menggunakan tubuh untuk mengekspresikan perasaan erotis atau afeksi sebelum adanya ikatan secara resmi. Sarwono (2001) menyatakan perilaku seksual pranikah adalah segala tingkah laku oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenisnya maupun dengan sesama jenis yang dilakukan sebelum adanya ikatan pernikahan. Bentuk tingkah laku ini bermacam-macam, mulai dari perasaan tertarik, bercumbu sampai bersenggama. Perilaku seksual pranikah adalah manifestasi dari adanya dorongan seksual yang dapat diamati secara langsung melalui perbuatan yang tercermin dalam tahap-tahap perilaku seksual dari tahap yang paling ringan, hingga tahap yang paling berat (Purnomowardani, 2000). Berdasarkan definisi perilaku seksual pranikah diatas menurut beberapa tokoh dapat disimpulkan bahwa perilaku seksual pranikah adalah suatu bentuk aktifitas fisik untuk mengekspresikan perasaan atau emosi yang berasosiasi dengan perangsangan alat kelamin, daerah-daerah erogenous, atau dengan proses perkembangbiakan sebelum adanya ikatan secara resmi, yaitu pernikahan. 2. Jenis-jenis Dari Perilaku Seksual Pranikah Dibawah ini terdapat beberapa jenis dalam perilaku seksual antara lain (Sarwono, 2001) : a. Kissing Tingkah laku berciuman dengan menempelkan bibir dengan pasangannya b. Necking Bercumbuan tidak sampai menempelkan alat kelamin, yaitu saling menggesek-gesekkan alat kelamin dengan pasangan namun belum bersenggama. c. Petting Bercumbuan sampai menempelkan alat kelamin yaitu saling menggesek-gesekkan alat kelamin dengan pasangan namun belum bersenggama d. Intercouse Tingkah laku bersenggama yang dilakukan diluar pernikahan 3. Faktor-faktor Terjadinya Perilaku Seksual Menurut Dianawati (2003) seorang remaja melakukan seks pranikah ini terbagi dalam beberapa faktor, yaitu sebagai berikut. a. Tekanan yang Datang dari Teman Pergaulannya Lingkungan pergaulan yang telah dimasuki oleh seorang remaja dapat juga berpengaruh untuk menekan temannya yang belum melakukan hubungan seks. Bagi remaja tersebut tekanan dari teman-temannya itu dirasakan lebih kuat daripada tekanan yang didapat dari pacatnya sendiri. Keinginan untuk dapat diterima oleh lingkungan pergaulannya begitu besar, sehingga dapat mengalahkan semua nilai yang didapat, baik dari orang tua maupun dari sekolahnya. Pada umumnya, remaja tersebut melakukannya hanya sebatas ingin membuktikan bahwa dirinya sama dengan teman-temannya, sehingga dapat diterima menjadi bagian dari anggota kelompok seperti yang diinginkan. b. Adanya Tekanan dari Pasangannya Karena kebutuhan seseorang untuk mencintai dan dicintai, seseorang harus rela melakukan apa saja terhadap pasangannya, tanpa memikirkan resiko yang nanti dihadapinya. Dalam hal ini yang berperan bukan saja nafsu seksual mereka, melainkan juga karena sikap memberontak terhadap orang tuanya. Remaja lebih membutuhkan suatu bentuk hubungan, penerimaan, rasa aman, dan harga diri sebagai layaknya manusia dewasa. Jika di dalam lingkungan keluarga tidak dapat membicarakan masalah yang dihadapinya, remaja tersebut akan mencari solusinya di luar rumah. c. Adanya Kebutuhan Badaniah Seks menurut beberapa ahli merupakan kebutuhan dasar yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan seseorang. Jadi, wajar saja jika semua orang, tidak terkecuali remaja menginginkan hubungan seks ini, sekalipun akibat dari perbuatannya tersebut tidak sepadan dibandingkan dengan risiko yang akan mereka hadapi. d. Rasa Penasaran Pada usia remaja, rasa keingintahuannya begitu besar terhadap seks. Apalagi jika temantemannya mengatakan bahwa seks terasa nikmat, ditambah lagi adanya segala informasi yang tidak terbatas masuknya. Maka, rasa penasaran tersebut semakin mendorong mereka untk lebih jauh lagi melakukan berbagai macam percobaan sesuai yang diharapkannya. e. Pelampiasan Diri Faktor ini tidak hanya datang dari diri sendiri. Misalnya, karena terlanjur berbuat, seorang remaja perempuan biasanya berpendapat bahwa sudah tidak ada lagi yang dapat dibanggakan dalam dirinya. Maka, dengan pikirannya tersebut, ia akan merasa putus asa lalu mencari pelampiasan yang akan semakin menjuruskannya ke dalam pergaulan bebas. f. Lingkungan Keluarga Bagi seorang remaja, mungkin aturan yang diterapkan oleh kedua orangtuanya tidak dibuat berdasarkan kepentingan kedua belah pihak (orangtua dan anak). Akibatnya, remaja tersebut merasa tertekan, sehingga ingin membebaskan diri dengan menunjukkan sikap sebagai pemberontak, yang salah satunya dalam masalah seks 4. Perbedaan Nilai Seksual Remaja Pria dan Wanita Antara Santrock (dalam Sarwono, 2002) mengungkapkan dari berbagai penelitian-penelitian menunjukkan halhal berikut yang pada hakikatnya mecerminkan perbedaan nilai seksual antara remaja pria dan wanita yaitu : a. Laki-laki lebih cenderung daripada wanita untuk menyatakan bahwa mereka sudah berhubungan seksual dan sudah aktif berperilaku seksual b. Remaja putri menghubungkan seks dengan cinta. Alasan mereka untuk berhubungan seks adalah cinta. Sementara pada remaja pria kecenderungan ini jauh lebih kecil c. Sebagain besar dari hubungan seks remaja diawali dengan agresivitas pada remaja pria dan selanjutnya remaja putrinyalah yang menentukan sampai batas mana agresivitas pria itu dapat dipenuhi d. Remaja pria cenderung menekan dan memaksa remaja putri dalah hal ini pasangannya untuk berhubungan seks, namun ia sendiri tidak merasa memaksa C. Remaja 1. Definisi Remaja Menurut sebagian orang definisi remaja adalah periode transisi antara masa kanak-kanak ke masa dewasa, atau masa usia belasan tahun, atau seseorang yang menunjukkan tingkah laku tertentu seperti susah diatur, mudah terangsang perasaannya, dan sebagainya (Sarwono, 1980). Mendefinisikan remaja ternyata tidak semudah itu. Di bawah ini peneliti akan mencoba mendefinisikan remaja menurut beberapa sumber, a. Remaja Menurut Hukum Konsep “remaja” berasal dari bidang ilmu sosial, seperti Antropologi, Sosiologi, Psikologi, dan Paedagogi, bukan berasal dari hokum. Dalam berbagai undang-undang yang ada di berbagai negara di dunia tidak dikenal istilah “remaja”. Begitu juga di Indonesia, hukum Indonesia hanya mengenal anak-anak dan dewasa walaupun batasan yang diberikan untuk itu pun bermacam-macam (Sarwono, 1989). Dalam hukun perdata terdapat batasan untuk menyatakan kedewasaan seseorang, yaitu usia 21 tahun (atau kurang dari itu asalkan sudah menikah), dan dibawah usia tersebut untuk melakukan tindakan hukum perdata masih membutuhkan wali (orang tua). Dan dalam hukum pidana, usia 18 tahun adalah usia dewasa (atau yang jurang tetapi sudah menikah). Anakanak yang berusia kurang dari 18 tahun masih menjadi tanggung jawab orang tuanya kalau ia melanggar hukum pidana. Tingkah laku yang dilakukan oleh anak-anak yang berusia kurang dari 18 tahun disebut sebagai “kenakalan”, belum disebut sebagai kejahatan (kriminal). Dan jika kenakalan itu sudah dinilai membahayakan masyarakat dan patut diberi hukuman dan orang tuanya ternyata tidak mampu mendidik anak itu lebih lanjut, maka anak tersebut merupakan tanggung jawab Negara. Ia akan dimasukkan ke Lemabaga Pemasyarakatan Khusus Anak-Anak (di bawah Departemen Kehakiman) atau dimasukkan ke lembaga-lembaga rehabilitasi lainnya. b. Remaja Dilihat dari Perkembangan Fisik Menurut Sarwono (1989), remaja dikenal sebagai suatu tahap perkembangan fisik ketika alat-alat kelamin manusia mencapai kematangannya. Secara anatomis berarti alat-alat kelamin khususnya dan keadaan tubuh pada umumnya memperoleh bentuknya yang sempurna. Secara faali, alat-alat kelamin tersebut sudah berfungsi secara sempurna pula Sebagai makhluk yang berjalan lambat perkembangannya, masa pematangan fisik ini berjalan lebih kurang dua tahun. Biasanya dihitung mulai dari haid pertama pada wanita atau mengalami mimpi basah (mengeluarkan mani yang pertama) pada laki-laki. Masa dua tahun ini dinamakan pubertas (Inggris = puberty)., yang dalam bahasa latin mempunyai arti kedewasaan (the age of manhord). Berkaitan pula dengan kata Latin lainnya yaitu pubescere ysng berarti masa pertumbuhan rambut di daerah tulang pufic (di wilayah kemaluan). Masa pubertas ini, seperti yang sudah dijelaskan diatas, bervariasi pada setiap ndividu, hal ini tergantung pada kondisi masing-masing individu (Sarwono, 1989). c. Remaja Menurut WHO WHO pada tahun 1974 memberikan definisi tentang remaja, dalam definisi tersebut dikemukakan tiga kriteria yaitu biologis, psikologis, dan social ekonomi. Definisi tersebut berbunyi sebagai berikut. Remaja adalah suatu masa ketika: 1). individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tandatanda seksual sekundernya sampai saat ia mengalami kematangan seksual 2). individu mengalami perkembangan psikologis, dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa; 3). terjadi peralihan dari ketergantungan social-ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri (Muangman dalam Sarwono, 1989) Pada tahun-tahun berikutnya, definisi ini semakin berkembang kearah yang lebih konkret operasional. Ditinjau dari bidang kegiatan WHO, yaitu kesehatan, masalah yang dirasakan paling mendesak berkaitan dengan kesehatan remaja adalah kehamilan yang terlalu awal. Melalui masalah yang pokok ini, WHO menetapkan batas usia remaja yaitu 10-21 tahun. Kehamilan dalam usia-usia tersebut memang mempunyai risiko yang lebih tinggi (kesulitan waktu melahirkan, sakit/cacat/ kematian ibu/bayi) daripada kehamilan dalam usia-usia diatasnya (Sanderowitz & Paxman dalam Sarwono, 1989). WHO menyatakan walaupun definisi diatas terutama didasarkan pada usia kesuburan (fertilitas) wanita, batasan tersebut berlaku juga untuk pria. WHO membagi kurun usia tersebut dalam dua bagian, yaitu remaja awal 10-14 tdan remaja akhir 15-20 tahun. Dalam hal ini PBB sendiri menetapkan usia 15-24 tahun sebagai usia pemuda (youth). Berkaitan dengan ini mereka menetapkan tahun 1985 sebagai Tahun Pemuda Internasional (Sanderowitz & Paxman dalam Sarwono, 1989). Di Indonesia, batasan remaja yang mendekati batasan PBB tentang pemuda adalah kurun usia 14-24 tahun. Hal ini dikemukakan pada sensus penduduk 1980. Menurut hasil sensus ini, jumlah remaja di Indonesia pada tahun tersebut adalah 147.338.075 jiwa atau 18.5% dari seluruh penduduk Indonesia (Sarwono,1989). d. Definisi Sosial-Psikologis Csikszentimihalyi & Larson (dalam Mappiare,1982) menyatakan bahwa remaja adalah “restrukturisasi kesadaran”. Hampir semua ahli yang meninjau perkembangan jiwa dari berbagai sudut, beranggapan bahwa masa remaja merupkan penyempurnaan dari perkembangan pada tahap-tahap sebelumnya. Hal ini terlihat dalam teori Piaget tentang perkembangan kognitif (kesadaran, inteligensia), teori Kohlberg temtang perkembangan moral, maupun teori Freud tentang perkembangan seksual. Csikszentimihalyi & Larson selanjutnya menjelaskan bahwa puncak perkembangan jiwa itu ditandai dengan adanya proses perubahan dari kondisi entropty ke kondisi negentropy. Entropy adalah keadaan dimana kesadaran manusia masih belum tersusun rapi. Walaupun isinya sudah banyak (pengetahuam, perasaan, dan sebagainya), isi-isi tersebut belum saling terkait dengan baik sehingga belum bias berfungsi secara maksimal. Istilah entropy ini sebetulnya dipinjam dari ilmu alam (fisika) dan ilmu komunikasi (khususnya teori informasi). Negentropy adalah keadaan berupa isi kesadaran tersusun dengan baik, pengetahuan yang satu terkait dengan pengetahuan yang lainnya. Orang yang berada dalam keadaan negentropy merasa dirinya sebagai satu kesatuan yang utuh. Bertindak dengan jelas dan tidak bimbang dalam mengambil keputusan, adalah cirri-ciri orang yang berada dalam keadaan negentropy. Jadi menurut Csikszentimihalyi & Larson, remaja adalah manusia yang berada dalam keadaan sadar yang merasa dirinya sebagi kesatuan yang utuh. Jadi, dapat disimpulkan remaja adalah periode masa transisi masa kanak-kanak ke masa dewasa, atau masa usia belasan tahun, atau seseorang yang menunjukkan tingkah laku tertentu seperti susah diatur, mudah terangsang perasaannya, dan ditandai oleh berkembangnya tanda-tanda seksual sekunder sampai saat ia mengalami kematangan seksual, dan adanya proses peralihan dari ketergantungan sosialekonomi kepada keadaan yang relatif lebih mandiri E. Perbedaan Tingkat Konformitas Terhadap Perilaku Seks Pranikah Pada Remaja Pria dan Remaja Wanita Perilaku seksual ialah perilaku yang melibatkan sentuhan secara fisik anggota badan antara pria dan wanita yang telah mencapai pada tahap hubungan intim, yang biasanya dilakukan oleh pasangan suami istri (Sarwono, 2001) . Sedangkan perilaku seksual pranikah merupakan perilaku seksual yang dilakukan tanpa melalui proses pernikahan yang resmi menurut hukum maupun menurut agama dan kepercayaan masing-masing individu (Tobing,1985). Bagi wanita, seks merupakan pengalaman yang dianggap suci dan melibatkan seluruh perasaan yang terdalam. Bagi pria, seks hanya merupakan hubungan badaniah yang dianggap tidak terlalu serius, tanpa perasaan (Dariyo, 2004). Namun dalam hal tertentu, sering juga terjadi perasaan cinta yang dimiliki seseorang wanita terlalu jauh dan berharap dapat menjalin hubungan hingga pernikahan. Perasaan dan harapan tersebut mempengaruhinya untuk mau melakukan hubungan seks di luar nikah. Dengan begitu keinginannya untuk menikah dengan pria idamannya dapat terlaksana. Jika pihak pria ternyata tidak siap untuk melanjutkan hubungan ke jenjang pernikahan, pihak wanita akan menanggung kerugian akibat hubungan seks di luar nikah (Dianawati, 2003). Perilaku seksual pranikah ini memang kasat mata, namun ia tidak terjadi dengan sendirinya melainkan didorong atau dimotivasi oleh faktor-faktor internal maupun eksternal yang tidak dapat diamati secara langsung (tidak kasat mata). Dengan demikian individu tersebut tergerak untuk melakukan perilaku seks pranikah (Dianawati, 2003). Pada masa remaja baik pria maupun wanita, kedekatannya dengan peer-groupnya sangat tinggi karena selain ikatan peer-group menggantikan ikatan keluarga, mereka juga merupakan sumber afeksi, simpati, dan pengertian, saling berbagi pengalaman dan sebagai tempat remaja untuk mencapai otonomi dan independensi (Calhoun, 1990). Maka tak heran bila remaja mempunyai kecenderungan untuk mengadopsi informasi yang diterima oleh teman-temannya, tanpa memiliki dasar informasi yang signifikan dari sumber yang lebih dapat dipercaya. Informasi dari teman-temannya tersebut, dalam hal ini sehubungan dengan perilaku seks pranikah, tak jarang menimbulkan rasa penasaran yang membentuk serangkaian pertanyaan dalam diri remaja, pertanyaan yang ambigu, dan ketika individu sulit untuk memutuskan atau menjawab pertanyaan tersebut, maka semakin mudah individu tersebut untuk berkonformitas (Kiesler dalam Calhoun, 1990). Bila orang tersebut berpendapat bahwa kelompok selalu benar, maka dia akan mengikuti apa pun yang dilakukan kelompok tanpa mempedulikan pendapatnya sendiri (Sears, 1990). Untuk menjawab pertanyaan itu sekaligus membuktikan kebenaran informasi yang diterima, mereka cenderung melakukan dan mengalami perilaku seksual pranikah itu. Dan alasan mengapa orang melakukan konformitas adalah demi memperoleh persetujuan atau menghindari celaan kelompok mereka (Sears,1994). Lingkungan pergaulan yang telah dimasuki oleh seorang remaja berpengaruh untuk menekan temannya yang belum melakukan hubungan seks (Tobing, 1985). Bagi, remaja wanita, tekanan dari temantemannya itu dirasakan lebih kuat daripada tekanan yang didapat dari pacarnya sendiri. Keinginan untuk dapat diterima oleh lingkungan pergaulannya begitu besar, sehingga dapat mengalahkan semua nilai yang didapat, baik dari orang tua maupun dari sekolahnya. Menurut Bocker (dalam Sarwono,2001) wanita lebih mudah melakukan konformitas, ada dua kemungkinan penyebab wanita lebih mudah melakukan konformitas, pertama kepribadian wanita lebih fleksibel (lentur, luwes) dan kedua status wanita lebih terbatas sehingga mereka tidak mempunyai banyak pilihan, kecuali menyesuaikan diri pada situasi, dan kelompok (Sarwono, 2001). Pada umumnya, remaja tersebut melakukannya hanya sebatas ingin membuktikan bahwa dirinya sama dengan teman-temannya, sehingga dapat diterima menjadi bagian dari anggota kelompok seperti yang diinginkan atau dengan kata lain remaja tersebut melakukan konformitas terhadap kelompoknya (Sears, 1994). Pria sulit untuk melakukan konformitas pada situasi dimana terdapat audiens didalamnya, karena pria diajarkan untuk bisa lebih independen (wikipedia), tetapi dalam suatu situasi dimana tidak terdapat audiens didalamnya, seorang remaja pria dapat lebih mudah untuk berkonformitas. Pada penelitian yang diadakan di beberapa negara berkembang, bahwa 66.2% remaja wanita melakukan hubungan seksual karena pengaruh konformitas, sedangkan pria sebanyak 46%. Berdasarkan uraian di atas maka penelitian ini akan melihat perbedaan tingkat konformitas terhadap perilaku seks pranikah pada remaja pria dan wanita. D. Hipotesis Berdasarkan uraian diatas, maka penulis mempunyai hipotesis bahwa terdapat perbedaan tingkat konformitas terhadap perilaku seksual pranikah pada remaja pria dan wanita. 3. METODE PENELITIAN A. Identifikasi Variabel-Variabel Penelitian Dalam penelitian ini beberapa variabel yang akan dikaji adalah : 1. Variabel Bebas : Jenis Kelamin 2. Variabel Terikat :Konformitas Terhadap Perilaku Seksual Pranikah B. Definisi Operasional Variabel Penelitian 1. Jenis Kelamin Jenis kelamin adalah perbedaan biologis antara pria dan wanita yang berhubungan dengan organ reproduksi dan sangat berkaitan dengan peran, tingkah laku, kesukaan dan atributatribut lain. Dalam penelitian ini, jenis kelamin didapat dari lembaran identitas yang digunakan sebagai data kontrol untuk melengkapi informasi subjek penelitian. 2. Konformitas terhadap perilaku seks pranikah Konformitas terhadap seks pranikah adalah kecenderungan suatu tingkah laku seseorang yang menyetujui dan melakukan perilaku seks pranikah, karena adanya tekanan dari kelompok, hal itu diantaranya adalah kissing, necking, petting, dan sexual intercourse. Variabel ini diukur dengan menggunakan kuesioner konformitas dengan mengacu kepada aspek-aspek konformitas, yaitu aspek kekompakan, aspek kesepakatan, dan aspek ketaatan (Sears dkk,1985). C. Populasi Dan Sampel Penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah remaja yang berada pada tahap perkembangan remaja akhir, yaitu berusia antara 18-22 tahun yang berada di Universitas Persada Indonesia Y.A.I dan sudah pernah berpacaran atau sedang berpacaran. Sampel yang akan diambil berjumlah 60 orang, terdiri dari 30 pria dan 30 wanita. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling, penggunaan teknik sampling ini didasarkan atas pertimbangan yang sesuai dengan maksud dan tujuan penelitian. D. Metode Pengumpulan Data Untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini digunakan alat berbentuk kuesioner. Menurut Koentjaraningrat (Dalam Hasan, 2002), kuesioner merupakan sebuah daftar pertanyaan tertulis yang bertujuan untuk mendapatkan jawaban responden tentang suatu hal. Dalam kuesioner ini terdapat lembar isian identitas yang meliputi nama, jenis kelamin, usia, dan lama berpacaran. Selain lembar identitas, dalam rangkaian kuesioner tersebut terdapat Model Likert yang merupakan teknik skala yang akan mengungkap tingkat konformitas. Untuk melakukan penskalaan dengan metode ini, sejumlah pernyataan sikap akan ditulis berdasarkan kaidah penulisan aitem dan didasarkan pada dasar rancangan skala yang telah ditetapkan. Subjek diminta untuk menyatakan sikap terhadap 4 kategori sikap, yaitu Sangat Sesuai (SS); Sesuai (S); Tidak Sesuai (TS); Sangat Tidak Sesuai (STS). E. Validitas dan Reliabilitas Alat Pengumpul Data Menurut Chaplin (1999), validitas adalah sifat suatu alat pengukuran. Alatalat tersebut dapat mengukur kenyataan seperti yang dikehendaki untuk mengukur. Sedangkan menurut Anastasi dan Urbina (1997) validitas adalah subuah tes yang menyangkut apa yang diukur oleh alat tes dan seberapa baik tes itu dapat mengukur. Pengujian validitas setiap aitem dilakukan dengan menghitung korelasi skor penilaian seluruh responden pada setiap faktor dengan skor total seluruh faktor. Penghitungan dilakukan dengan software SPSS. Data dikatakan valid jika nilai Coreccted Item Total Correlation-nya lebih besar dari nilai kritis yang kita peroleh dari tabel. Menurut Chaplin (1999) reliabilitas adalah suatu tes yang dapat diandalkan dan dicerminkan dalam kemantapan skor setelah diadakan pengukuran ulang dari tes yang sama. Sedangkan menurut Anastasi (1997) reliabilitas merujuk pada konsistensi skor yang dicapai oleh orang yang sama ketika mereka diuji ulang dengan tes yang sama pada kesempatan yang berbeda. Konsep reliabilitas ini mendasari penghitungan kesalahan pengukuran atas skor tunggal yang dapat kita gunakan untuk memperkirakan kisaran fluktuasi yang muncul dalam skor individual sebagai hasil-hasil faktor peluang yang tidak relevan. Pengujian reliabilitas ini dilakukan dengan mengunakan Reliability Alpha Cornbach pada software SPSS. F. Teknik Analisis Data Untuk menguji hipotesa mengenai perbedaan tingkat konformitas terhadap perilaku seks pranikah pada remaja pria dan wanita digunakan uji TTest dengan menggunakan independent sample test dengan bantuan program SPSS for windows versi 13. 4. PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN A. Persiapan Penelitian Sebelum melakukan proses pengambilan data penelitian, beberapa tahap persiapan dilakukan, yaitu mengumpulkan bahan penelitian, pemilihan sample penelitian, dan penyusunan alat ukur tes yang berupa skala konformitas. Untuk menentukan kesempurnaan skala konformitas, peneliti melakukan uji coba skala konformitas yang dibuat. Uji coba ini dilaksanakan pada tanggal 4 September 2008 di Universitas Persada Indonesia Y.A.I, terhadap 30 dengan proposi 15 orang wanita, dan 15 orang pria. Dari uji coba ini didapatkan 47 item yang valid dan 13 item yang gugur dari total 60 item yang diujicobakan. 1. Uji Validitas Skala Konformitas Suatu kesepakatan umum menyatakan bahwa koefisien validitas dapat dianggap memuaskan apabila melebihi 0.30 (Azwar, 2005). Dengan demikian, dari 60 item skala konformitas yang diujicobakan terdapat 47 item yang valid dan 13 item yang gugur. Dari 47 item yang valid tersebut, memiliki korelasi total item antara 0.301 sampai dengan 0.612. 2. Uji Reliabilitas Skala Konformitas Uji reliabilitas dilakukan untuk mengetahui konsistensi alat ukur. Teknik yang digunakan untuk mendapat konsistensi dari alat ukur ini yaitu dengan teknik Alpha Cornbach. Dari hasil uji reliabilitas alat ukur tersebut diperoleh nilai reliabilitas sebesar 0.918 B. Pelaksanaan Penelitian Pengambilan data penelitian berlangsung pada Senin tanggal 8 September 2008. Partisipan dalam penelitian adalah mahasiswa Universitas Persada Indonesia Y.A.I, dengan proposisi 30 orang pria dan 30 orang wanita, sehingga diperoleh 60 partisipan untuk dianalisis. C. Hasil Penelitian 1. Deskripsi Partisipan Penelitian a. Jenis Kelamin Partisipan dalam penelitian ini berjumlah 60 orang yang merupakan mahasiswa Universitas Persada Indonesia Y.A.I. Partisipan yang berjenis kelamin laki-laki berjumlah 30 orang dengan persentase jumlah partisipan sebesar 50 % dan memiliki nilai mean konformitas sebesar 113.07. Sedangkan partisipan dengan jenis kelamin wanita berjumlah 30 orang dengan persentase jumlah partisipan sebesar 50 % dan memiliki nilai mean konformitas sebesar 143.29 b.Usia Rentang usia partisipan berkisar antara 18 tahun sampai 22 tahun. Jumlah partisipan pria yang berusia 18 tahun adalah 4 orang dengan persentase 13.33 % dari jumlah partisipan dan memiliki mean konformitas 113.5, partisipan pria yang berusia 19 tahun adalah 5 orang dengan persentase 16.66 % dan memiliki mean konformitas sebesar 116, partisipan pria yang berusia 20 tahun berjumlah 5 orang dengan persentase 16.66 % dan memiliki mean konformitas 114.2, partisipan yang berusia 21 tahun berjumlah 6 orang dengan persentase 20 % dan memiliki mean konformitas 112.3 ,dan partisipan yang berusia 22 tahun berjumlah 10 orang dengan persentase 33.33 % dan memiliki konformitas 111.3. Dari rentang usia partisipan pria, mean konformitas paling tinggi adalah pada usia 19 tahun Jumlah partisipan wanita yang berusia 18 tahun adalah 6 orang dengan persentase 20 % dari jumlah partisipan dan memiliki mean konformitas 143.5, partisipan wanita yang berusia 19 tahun adalah 4 orang dengan persentase 13.33 % dan memiliki mean konformitas sebesar 153.7, partisipan wanita yang berusia 20 tahun berjumlah 6 orang dengan persentase 20 % dan memiliki mean konformitas 145.5, partisipan yang berusia 21 tahun berjumlah 8 orang dengan persentase 26.66 % dan memiliki mean konformitas 143.8 ,dan partisipan yang berusia 22 tahun berjumlah 6 orang dengan persentase 20% dan memiliki konformitas 138.2. Dari rentang usia partisipan wanita, mean konformitas paling tinggi adalah pada usia 19 tahun c. Status Status partisipan meliputi dua kategori. Kategori yang pertama adalah sedang berpacaran dan kategori yang kedua adalah pernah berpacaran. Dari hasil mean konformitas yang didapatkan berdasarkan status berpacaran, mengindikasikan bahwa tidak ada pengaruh status berpacaran terhadap tingkat konformitas pada remaja pria, sedangkan pada wanita tingkat konformitas pada 2 kategori status tergolong tinggi Untuk mencapai keakuratan dalam suatu penelitian dengan metode kualitatif, ada beberapa teknik yang digunakan dan salah satu teknik tersebut adalah triangulasi. Triangulasi adalah suatu teknik pemeriksaan keakuratan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Triangulasi dapat dibedakan menjadi emapat macam yaitu triangulasi data, pengamat, teori, dan metodologis. 2. Uji Asumsi Sebelum dilakukan pengujian hipotesis, maka terlebih dahulu dilakukan uji asumsi. Uji asumsi yang terpenuhi dalam penelitian ini adalah uji normalitas dan uji homogenitas. Uji asumsi ini dilakukan dengan bantuan program SPSS for Windows 14.0. a. Uji Normalitas Untuk uji normalitas sebaran skor digunakan uji Kolmogorof Smirnov. Dari hasil uji yang menggunakan Kolmogorof smirnov pada skala konformitas pada laki-laki diketahui dari nilai koefisien korelasi (r) sebesar 0.0977044 dengan nilai signifikansi sebesar 0.200 ( p > 0,05 ). Hal ini menunjukan bahwa distribusi skor konformitas pada partisipan pria adalah normal. Selanjutnya hasil uji normalitas pada konformitas wanita memilki nilai statistik sebesar 0.152 dengan nilai signifikansi sebesar 0.074 (p > 0,05 ). Hal ini menunjukan bahwa distribusi konformitas pada partisipan wanita adalah normal. b. Uji Homogenitas Untuk uji homogenitas sebaran skor digunakan uji Lilliefors. Dari hasil uji ini diketahui nilai Levene Statistic pada Based on Mean adalah 0.962. Dari hasil uji ini juga didapatkan nilai signifikansi 0.331 (p > 0,05). Hal ini menunjukan bahwa distribusi skor konformitas pada penelitian ini adalah homogen. c. Uji Hipotesis Pada uji hipotesis diperoleh data nilai F sebesar 0.962 dengan signifikansi 0.000 ( p < 0.05 ) yang menunjukkan bahwa ada perbedaan tingkat konformitas antara pria dan wanita pada remaja. Hal ini dapat dilihat berdasarkan analisis data yang dilakukan dengan menggunakan uji T-Test dengan menggunakan independent sample test. Hasil uji hipotesis ini menunjukkan bahwa hipotesis penelitian diterima, yang artinya ada perbedaan tingkat konformitas antara pria dan wanita pada remaja d. Perhitungan Mean Empirik dan Hipotetik Untuk lebih mengetahui gambaran konformitas terhadap seks pranikah pada pria dan wanita dengan klasifikasi rendah, sedang, tinggi Jumlah item valid pada skala konformitas sebanyak 47 item dengan menggunakan kriteria dengan nilai 1 sampai dengan 4. Ini berarti nilai skala terkecil berjumlah 1 dan skala terbesar 4. Rentang minimum yaitu nilai terkecil dikalikan dengan jumlah item yang valid (1 x 47 = 47), kemudian dapat diketahui rentang maksimum yaitu nilai terbesar dikalikan dengan jumlah item yang valid (4 x 47 = 188), sehingga didapat rentangan 47 – 188. Dengan jarak sebaran 188 – 47 = 141. Dengan demikian standar deviasi sebesar 141 : 6 = 23.5. Nilai 6 didapat dari kurva distribusi normal yang terbagi atas 6 wilayah, yaitu 3 daerah positif dan 3 daerah negative. Setelah mendapatkan nilai standar deviasi, selanjutnya mencari nilai mean hipotetik dengan cara mengalikan nilai tengah dengan jumlah item yang valid ( 2,5 x 47 = 117.5). Nilai 2,5 didapat dari median atau nilai tengah dari kriteria nilai yang digunakan yaitu antara nilai 1 sampai 4. Adapun penggolongan skala konformitas diperoleh dengan cara menghitung : < X – 2SD = 117.5 – ( 2 x 23.5 ) = 70.5 X – 1SD = 117.5 – ( 1 x 23.5 ) = 94 X + 1SD = 117.5 + ( 1 x 23.5 ) = 141 ≥ X + 2SD = 117.5 + ( 2 x 23.5 ) = 164.5 D. Pembahasan Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah ada perbedaan tingkat konformitas terhadap seks pranikah pada remaja pria dan wanita. Dari hasil penghitungan dari program statistik diperoleh nilai F sebesar 0.962 dengan signifikansi 0,000 ( p > 0,05 ). Hasil tersebut menunjukan bahwa hipotesis penelitian diterima, yang berarti ada perbedaan yang sangat signifikan konformitas terhadap seks pranikah pada pria dan wanita. Setelah melihat hasil penelitian diatas, dapat diketahui bahwa partisipan pria mempunyai tingkat konformitas sedang atau rata-rata, sedangkan partisipan wanita mempunyai tingkat konformitas yang tinggi hasil tersebut senada dengan apa yang diungkapkan Bocker (dalam Sarwono,2001) bahwa wanita lebih mudah melakukan konformitas, ada dua kemungkinan penyebab wanita lebih mudah melakukan konformitas, pertama kepribadian wanita lebih fleksibel (lentur, luwes) dan kedua status wanita lebih terbatas sehingga mereka tidak mempunyai banyak pilihan, kecuali menyesuaikan diri pada situasi, dan kelompok. Lingkungan pergaulan yang telah dimasuki oleh seorang remaja berpengaruh untuk menekan temannya yang belum melakukan hubungan seks (Tobing, 1985). Bagi, remaja wanita, tekanan dari teman-temannya itu dirasakan lebih kuat daripada tekanan yang didapat dari pacarnya sendiri. Keinginan untuk dapat diterima oleh lingkungan pergaulannya begitu besar, sehingga dapat mengalahkan semua nilai yang didapat, baik dari orang tua maupun dari sekolahnya. Pada umumnya, remaja tersebut melakukannya hanya sebatas ingin membuktikan bahwa dirinya sama dengan teman-temannya, sehingga dapat diterima menjadi bagian dari anggota kelompok seperti yang diinginkan atau dengan kata lain remaja tersebut melakukan konformitas terhadap kelompoknya (Sears, 1994). Bila dilihat dari segi usia, usia yang lebih tinggi untuk mean konformitas adalah usia 19 tahun, baik pria maupun wanita. Hurlock (dalam Mappiare, 1982) mengatakan bahwa jika dibagi berdasarkan bentuk-bentuk perkembangan dan pola perilaku yang khas, usia 19 tahun berada di masa remaja akhir. Dari pernyataan tersebut kita bisa melihat fenomena yang terjadi disebabkan karena keadaan pribadi, sosial, dan moral masa remaja akhir berada dalam periode yang kritis (Kelly dalam Mappiare,1982).Dikatakan kritis karena perkembangan pribadi, sosial dan moral yang telah dimiliki remaja dalam masa remaja awal dan yang akan dimantapkannya pada remaja akhir,akan ada banyak faktor dari individual dan sosial yang akan mempengaruhinya. Dapat dikatakan pula pada masa ini adalah masa transisi dari lingkungan sosial SMA ke lingkungan sosial kampus, dimana kelompok yang terdapat pada masa SMA cenderung homogen, sedangkan pada masa kuliah cenderung lebih heterogen. Ketika remaja memasuki lingkungan sosial kampus akan banyak dipengaruhi oleh kuat atau tidaknya pribadi, citra diri dan rasa percaya diri (Mappiare, 1982). 5. PENUTUP A. Kesimpulan Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah ada perbedaan tingkat konformitas terhadap seks pranikah pada remaja pria dan wanita. Berdasarkan hasil penelitian, dapat ditarik kesimpulan bahwa hipotesis penelitian diterima, , yang berarti ada perbedaan yang sangat signifikan konformitas terhadap seks pranikah pada pria dan wanita. Remaja pria tidak mudah untuk dikarenakan pria dilukiskan sebagai individu yang mandiri, berpikir secara rasional, logika, dan realistic, sehingga tanpa disadari stereotype ini melekat pada diri remaja pria. Wanita lebih mudah konform daripada pria dan ada dua penyebabnya, yaitu, kepribadian wanita lebih flexible, dan status wanita lebih terbatas sehingga mereka tidak mempunyai banyak pilihan, kecuali menyesuaikan diri pada situasi. Stereotipe ini yang tanpa disadari melekat pada diri remaja putri B. Saran Berdasarkan hasil penelitian, maka saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut : 1. Bagi remaja, diharapkan dapat meningkatkan pandangan pribadi, citra diri dan rasa percaya diri. Karena apabila remaja memiliki citra diri dan rasa percaya diri yang kuat, maka remaja tidak akan mudah dipengaruhi oleh tekanan-tekanan dari kelompok, dan dalam memilih kelompok diharapkan bisa menentukan kelompok mana yang akan memberikan masukan positif baginya dalam berperilaku yang baik dan sewajarnya 2. Bagi pendidik, memberikan informasi mengenai pendidikan seks, sehingga diharapkan remaja mampu untuk mengetahui dampak dari seks pranikah, dan juga diharapkan agar kewaspadaan terhadap pengaruh pergaulan bebas dalam pola hidup bermasyarakat meningkat. 3. Bagi para peneliti selanjutnya, diharapkan menambah jumlah sampel penelitian dan melakukan penelitian di wilayah lain (di luar wilayah jakarta) sehingga akan didapatkan variasi tingkat konformitas yang berbeda. Hal ini diasumsikan bahwa terdapat perbedaan besar dalam hal citra diri individu, kelompok dan sosial di tiap wilayah, yang dapat mempengaruhi konformitas terhadap seks pranikah. Dan diharapkan menambah data demografis, lama tinggal, status tempat tinggal, dan subjek yang berada pada usia yang lebih muda Daftar Pustaka Anastasi,A.& Urbina S. (1997). Tes psikologi : Psychological testing 7e. Alih Bahasa : Imam,R.H. Penyunting : Molan,B. Jakarta: Prenhallindo Azwar, S. (2005). Penyusunan skala psikologi. Yogyakarta. Penerbit: Pustaka Pelajar. Callhoun, J.F, & Arcocella, R.J. (1990) . Psychology of adjustment and human relationship. New York: L Mcgrowhill,inc Chaplin, J.P. (2005). Kamus lengkap psikologi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Dariyo, A. (2004). Psikologi perkembangan remaja. Bogor: Ghalia Indonesia. Dianawati, A. (2003). Pendidikan seks untuk remaja. Depok: Kawan Pustaka Hasan, M.I. (2002). Pokok-pokok materi metodologi penelitian dan aplikasinya. Jakarta : Ghalia Indonesia. Hurlock, & Elizabeth, B. (1993). Psikologi perkembangan : Suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Jakarta: Penerbit Erlangga Liang, Kwee Soen. (1980). Masa remaja dan ilmu jiwa pemuda. Bandung : Jenmars Mappiare, Andi. (1982) . Psikologi remaja. Surabaya: Usaha Nasional Milles, B. & Huberman. (1992). Qualitative data analysis : A sourcebook of new methods. Beverly Hills: Sage Publications. Moleong, L. (2004). Metodologi penelitian kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Monks, F.J. Knoers, A.M.P & Haditono, S.T. (2004). Psikologi perkembangan pengantar dalam berbagai bagiannya. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Narbuko, C & Achmadi, A. (2004). Metedologi penelitian. Jakarta: PT Bumi Aksara. Nevid, J.S, Rathus, L.F & Rathus, S.A. (1995). Human sexuality : In a word of diversity 2nd edition. Boston: Allyn & Bacon. Nid. (2007). Remaja butuh pendidikan tentang seks.www.jambiindependent.co.id /home/modules.php?name =News&file=article&sid=1071. Diakses 12 Februari 2007.Jakarta Pamungkas, A. (2006). Trend dan gaya hidup remaja. www.suarakaryaonline. com/news.html?id=139221. Diakses 19 November 2006.Jakarta Poerwandari, E.K. (1998). Pendekatan kualitatif dalam penelitian psikologi. Jakarta: LPSP3 Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Purnomowardani, A.D & Koentjoro. (2000). Penyingkapan diri, perilaku seksual dan penyalahgunaan narkoba. Jurnal Psikologi. Jakarta : N.A Rakhmat, J. (1996). Psikologi komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya Sarwono, W.S. (1999). Psikologi sosial : Psikologi kelompok dan psikologi terapan. Jakarta: Balai Pustaka. Sarwono, W.S. (1999). Teori – teori psikologi sosial. Jakarta: ICU Rajawali. Sarwono, W.S. (2001). Psikologi remaja. Jakarta: CV. Rajawali Sarwono, W.S. (2002). Psikologi remaja. Jakarta:PT. Raya Grafindo Persada Sears, Jonathan, & Anne. (1994). Psikologi sosial jilid 2. Jakarta: Erlangga. Simanjuntak, B. (1977). Psikologi pemuda. Bandung: Penerbit Jenmars Soeratno, S. (1987). Metodelogi khusus. Jakarta: Universitas Terbuka. riset Span, C.W. & Stephan, W.G. (1985). Two social psychologies : An integrative approach. Chicago: The Doorsey Press. Surachmad, Winarno. (1997). Psikologi pemuda. Bandung: Penerbit Jenmars Surya. (2007). Pelajar dan seks pranikah.http://www.surya.co.id/ web/Umum/ Politik/423-PelajarSeks-Pra-Nikah.html. Diakses 11 Februari 2007.Jakarta Sukandarrumidi. (2004). Metodelogi penelitian petunjuk praktis untuk peneliti pemula. Yogyakarta: Universitas Gajahmada. Tobing, N.L. 1985. Seks Jakarta:CV. Rajawali pranikah.