Judul : PERBEDAAN TINGKAT KONFORMITAS TERHADAP SEKS

advertisement
Judul
Nama/Npm
Pembimbing
: PERBEDAAN TINGKAT KONFORMITAS TERHADAP SEKS
PRANIKAH ANTARA PRIA DAN WANITA
: Yedda Prada Teruna /10503208
: Dona Eka Putri, Psi, Mpsi
ABSTRAK
Pada masa remaja baik pria maupun wanita, kedekatannya dengan peer-groupnya
sangat tinggi karena selain ikatan peer-group menggantikan ikatan keluarga, mereka juga
merupakan sumber afeksi, simpati, dan pengertian, saling berbagi pengalaman dan sebagai
tempat remaja untuk mencapai otonomi dan independensi.
Informasi dari teman-temannya tersebut, dalam hal ini sehubungan dengan perilaku seks
pranikah, tak jarang menimbulkan rasa penasaran yang membentuk serangkaian pertanyaan
dalam diri remaja, pertanyaan yang ambigu, dan ketika individu sulit untuk memutuskan atau
menjawab pertanyaan tersebut, maka semakin mudah individu tersebut untuk berkonformitas
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah ingin menguji secara empiris
perbedaan tingkat konformitas terhadap seks pranikah pada remaja pria dan wanita. Manfaat
dari penelitian ini adalah didapatkannya data yang dapat berguna sebagai bahan referensi atau
literature dalam ilmu psikologi terutama yang berkaitan dengan aspek konformitasi.
Penelitian ini dilakukan terhadap 60 orang remaja yang berusia antara 18-22 tahun di
Universitas YAI Jakarta. Partisipan dalam penelitian ini terdiri dari 30 orang pria dan 30 orang
wanita. Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan kuesioner
Untuk pengukuran skala konformitas, terlabih dahulu dilakukan uji validitas dan
reliabilitas yang menggunakan teknik Alpha Cronbach dengan bantuan program SPSS versi 14.0
for windows. Dari hasil penelitian ini, diketahui terdapat 47 aitem valid dari 60 aitem yang
terdapat dalam kuesioner. Nilai korelasi berkisar antara 0,301 sampai dengan 0,612 dengan
koefisien realibilitas 0,918.
Dari analisis data dengan menggunakan T-Test Independent Sample , diperoleh nilai F
sebesar 0.962 dengan signifikansi 0.000 ( p < 0.05 ) yang menunjukkan bahwa ada perbedaan
tingkat konformitas terhadap seks pranikah antara pria dan wanita pada remaja
Kata kunci : Konformitas, remaja, dan seks
1. PENDAHULAN
A. Latar Belakang Masalah
Masa remaja bisa dikatakan sebagai
periode
perubahan,
dimana
tingkat
perubahan dalam sikap dan perilaku selama
masa remaja sejajar dengan tingkat
perubahan fisik. Selama awal masa remaja,
ketika perubahan fisik terjadi dengan pesat,
perubaha perilaku dan sikap juga
berlangsung dengan pesat (Hurlock, 1996).
Selain mengalami perubahan sikap dan
perilaku serta tentunya perubahan fisik,
remaja pun mengalami suatu perubahan
sosial.
Salah satu tugas perkembangan
masa remaja yang tersulit adalah yang
berhubungan dengan penyesuaian sosial.
Dengan lebih banyaknya remaja berada
diluar rumah bersama dengan teman-teman
sebaya sebagai kelompok, maka dapatlah
dimengerti bahwa pengaruh teman-teman
sebaya pada sikap, pembicaraan, minat,
penampilan dan perilaku lebih besar
daripada pengaruh keluarga (Hurlock,1996).
Dalam proses mencari identitas diri,
remaja bergabung dengan kelompok
tertentu. Di kelompok tersebut remaja
belajar banyak hal termasuk mendapatkan
sumber informasi yang penting. Seringkali
remaja mengetahui sesuatu yang tidak
diketahui sebelumnya. Semakin besar
kepercayaan remaja terhadap kelompok
sebagai sumber informasi yang benar,
semakin besar pula kemungkinan untuk
menyesuaikan diri terhadap kelompok
(Sears dkk,1985).
Dengan bergabungnya remaja pada
satu kelompok tertentu, maka remaja
tersebut sangat mungkin untuk meniru
ataupun melakukan apa saja yang juga
dilakukan oleh kelompoknya. Hal ini
dinamakan
dengan
konformitas.
Kenyataannya, apa yang dilakukan individu
tersebut belum tentu berguna bagi dirinya
sendiri, tidak jarang apa yang dilakukan
individu memberikan dampak negatif baik
dari segi material, fisik, atau juga psikis
individu itu sendiri.
Salah satu alasan utama remaja
melakukan konformitas adalah demi
memperoleh persetujuan atau menghindari
celaan kelompok. Hal inilah yang memicu
remaja untuk melakukan apa yang dilakukan
anggota kelompok dalam berbagai hal
(Hurlock, 1996).
Konformitas pada remaja dapat
memberikan dampak positif dan negatif bagi
remaja itu sendiri, misalnya dampak positif
konformitas jika kelompok di mana individu
tersebut berada sering melakukan belajar
bersama, maka secara tidak langsung
individu tersebut terlibat di dalamnya.
Konformitas pun dapat memberikan dampak
negatif seperti minum-minuman beralkohol,
merokok, pola hidup konsumtif. Di dalam
gaya hidup pun mereka dapat melakukan
konformitas, mereka tak malu untuk
berpacaran di depan umum, mereka
bermesraan dan berpelukan di depan umum.
Pada dekade 1980-an, mereka mulai
mengenal kehidupan malam, tempat favorit
mereka untuk bersosialisasi adalah diskotek
dan gaya hidup hedonisme juga dianut
mereka (suarakarya-online.com.2006).
Begitu juga dengan dekade 1990-an
dan awal 2000-an, dengan semakin
canggihnya
teknologi
dan
semakin
gencarnya kebudayaan barat masuk ke
Indonesia, maka pola hidup dan gaya hidup
remaja semakin berubah. Mereka tidak lagi
mengindahkan norma-norma yang berlaku
di masyarakat, gaya hidup hedonisme sudah
melekat di pergaulan mereka. Mereka sudah
tak segan lagi untuk berciuman di depan
umum, dan yang lebih memperihatinkan lagi
mereka sudah tidak menganggap lagi seks
itu tabu. Para remaja sudah mulai berani
menjelajahi apa itu seks dengan cara mereka
sendiri, dan mereka sudah mulai berani
untuk melakukannya, karena mereka takut
dikucilkan dalam pergaulan apabila mereka
berlum pernah melakukan hubungan seksual
(suarakarya-online.com.2006).
Pada seorang remaja, perilaku seks
pranikah dapat dimotivasikan oleh rasa
sayang dan cinta dengan didominasi oleh
perasaan kedekatan dan gairah yang tinggi
terhadap pasangannya, tenpa disertai
komitmen atau karena pengaruh kelompok
(konformitas), di mana remaja tersebut ingin
menjadi bagian dari kelompoknya dengan
mengikuti norma-norma yang telah dianut
kelompoknya
(jambiindependent.co.id,
2007).
Perilaku
seks
pranikah
itu
cenderung dilakukan karena pengaruh teman
yang negatif. Lingkungan yang negatif akan
membentuk remaja yang tidak punya
proteksi terhadap perilaku orang-orang di
sekelilingnya.
Pada penjelasan di atas sudah jelas
bahwa terdapat kaitan antara konformitas
dengan seks pranikah pada remaja. Remaja
dengan
tugas
perkembangan
yang
berhubungan dengan penyesuaian sosial
yang sulit, akan mudah dipengaruhi oleh
teman-teman sebaya dalam kelompoknya,
informasi mengenai hubungan seksual yang
salah dapat diterima oleh remaja yang
tergabung di dalam individu tersebut, karena
mereka ingin diterima secara sosial dan
menghindari hukuman sosial berupa celaan
di dalam kelompok tersebut (Sears,dkk
1985),
remaja
mengikuti
tanpa
memperdulikan perasaan mereka sendiri.
Seperti pada contoh penelitian yang
dilakukan oleh Annisa Foundation, diantara
responden yang diteliti mengaku melakukan
hubungan seks tanpa ada paksaan dari
pasangannya dan responden itu mengakui
bahwa adanya kebutuhan, dan mereka
menyetujui perilaku tersebut karena dalam
kelompok teman-teman sebaya mereka seks
bukanlah hal yang tabu, dan hampir lebih
dari 50% individu di dalam kelompok itu
melakukan hubungan seks di luar
pernikahan, yang lebih ironis lagi ada
beberapa
responden
yang
mengaku
melakukan hubungan seks lebih dari satu
pasangan dan bersifat tidak komersil
(Surya.co.id,2007).
Melalui contoh di atas kembali bisa
kita lihat bahwa pengaruh teman sebaya di
dalam suatu kelompok sangat besar, dan
mereka melakukan perilaku seksual
pranikah hanya semata-mata karena ingin
diterima secara sosial oleh kelompoknya dan
menghindari celaan (Sears dkk, 1985), oleh
sebab itu mereka melakukan konformitas,
yaitu melakukan apa yang dilakukan
anggota kelompok demi memperoleh
persetujuan atau menghindari celaan
kelompok, tanpa memperdulikan perasaan
mereka sendiri (Hurlock, 1996).
Inilah yang terjadi pada remaja saat
ini, mereka yang melakukan seks pranikah
sebenarnya mengetahui bahwa perilaku
seksual pranikah itu salah dan mereka
menjaga untuk tidak melakukannya, tetapi
karena pengaruh tekanan kelompok dan
takut
untuk
bertentangan
dengan
kelompoknya maka mereka melakukan seks
pranikah. Mereka yang terlibat kegiatan
hubungan di luar nikah itu bukan berarti
karena tidak mengerti atau tidak paham
nilai-nilai agama atau budi pekerti, sebab
hampir 90 persen dari mereka mengaku
bahwa praktek hubungan seksual di luar
nikah tersebut merupakan perbuatan dosa
yang seharusnya dihindari oleh siapa saja,
dan mereka melakukan konformitas
terhadap seks pranikah semata-mata hanya
untuk diterima dikelompoknya ,dan mereka
secara rela menuruti kemauan kelompok
(Sarwono, 2005).
Pria dan wanita memiliki peredaan
dalam konformitas. Di dalam situasi yang
terdapat tekanan kelompok dan terdapat
audience didalamnya wanita lebih mudah
untuk berkonformitas dibandingkan dengan
pria. (wikipedia.org, 2007). Konformitas
lebih sering terjadi pada remaja putri. Hal ini
dikarenakan remaja putri dilukiskan sebagai
sosok yang lemah lembut, bijaksana, peka
terhadap perasaan prang lain, tertarik pada
penampilan diri, tergantung, dan memiliki
kebutuhan akan rasa aman yang sangat besar
(Sears dkk, 1985).
Menurut Sarwono (2001), wanita
lebih mudah konform daripada pria dan ada
dua penyebabnya, yaitu, kepribadian wanita
lebih flexible, dan status wanita lebih
terbatas sehingga mereka tidak mempunyai
banyak pilihan, kecuali menyesuaikan diri
pada situasi. Stereotipe ini yang tanpa
disadari melekat pada diri remaja putri.
Remaja putri seringkali terbujuk rayuan
orang lain, dalam hal ini teman
sekelompoknya, dari hal yang umum seperti
gaya berpakaian, dan body image. Remaja
pria tidak mudah untuk dikarenakan pria
dilukiskan sebagai individu yang mandiri,
berpikir secara rasional, logika, dan realistic,
sehingga tanpa disadari stereotype ini
melekat pada diri remaja pria
Pada penelitian yang dilakukan oleh
Annisa Foundation lebih dari 40% pelajar
wanita di Cianjur sudah kehilangan
keperawanannya saat duduk di bangku
sekolah, dan mereka beralasan melakukan
hubungan seks karena dorongan dan
tuntutan dari pergaulan (Surya.co.id,2007).
Berdasarkan uraian di atas , maka
penelitian ini akan melihat apakah ada
perbedaan tingkat konformitas terhadap seks
pranikah pada remaja pria dan wanita.
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang hendak dicapai
dalam penelitian ini adalah ingin menguji
secara
empiris
perbedaan
tingkat
konformitas terhadap seks pranikah pada
remaja pria dan wanita, dan penelitian ini
menjadi perlu untuk dilakukan karena di
Indonesia belum pernah ada penelitian
mengenai konformitas terhadap seks
pranikah antara remaja pria dan wanita
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Dalam bidang ilmu Psikologi Sosial
penelitian ini memberikan informasi
mengenai tingkat perbedaan konformitas
terhadap seks pranikah pada remaja pria
dan wanita, karena penelitian tentang
konformitas terhadap seks pranikah di
Indonesia belum pernah ada
2. Manfaat Praktis
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat
digunakan sebagai pedoman untuk
penelitian yang berhubungan dengan
konformitas pada remaja, selain itu hasil
penelitian ini dapat memberi masukan
bagi masyarakat luas dan khususnya bagi
remaja pria dan wanita dalam bertindak
dan memilih kelompok mana yang bisa
memberikan masukan positif baginya
dalam berperilaku yang baik dan
sewajarnya
.
2.TINJAUAN PUSTAKA
A. Konformitas
1. Pengertian Konformitas
Konformitas adalah perubahan
keyakinan atau tingkah laku seseorang
agar sesuai dengan lingkungan atau
kelompok (Callhoun, 1990). Dalam
konformitas seorang anggota dalam
sebuah kelompok atau lingkungan
mengikuti pola pikir atau tindakan yang
dilakukan oleh kelompok tersebut.
Menurut Willis (dalam Sarwono, 1999) ,
konformitas adalah usaha terus menerus
dari individu untuk selalu selaras dengan
norma-norma yang diharapkan oleh
kelompok. Jika persepsi individu tentang
norma-norma kelompok (standar sosial)
berubah, maka ia akan mengubah pula
tingkah lakunya. Menurut Sears (1994)
konformitas adalah penyesuaian individu
terhadap
persepsi
dan
penilaian
kelompok terhadap suatu hal. Menurut
Kiesler
(dalam
Sarwono,
2001),
konformitas adalah perubahan perilaku
atau keyakinan karena adanya tekanan
dari kelompok, baik yang sungguhsungguh ada maupun yang dibayangkan
saja. Chaplin (2005) juga mengatakan
bahwa
konformitas
adalah
kecenderungan untuk memperbolehkan
suatu tingkah laku seseorang dikuasai
oleh sikap dan pendapat yang sudah
berlaku.
Berdasarkan definisi beberapa tokoh
tentang konformitas, dapat disimpulkan
bahwa konformitas yaitu kecenderungan
suatu tingkah laku seseorang dikuasai
oleh sikap dan pendapat yang sudah
berlaku, pengaruh sosial dimana setiap
individu
mengubah
sikapnya,
perilakunya dan keyakinannya, karena
adanya tekanan dari kelompok dan agar
dapat lebih diterima oleh kelompok.
2. Komponen-komponen Konformitas
Menurut Calhoun (1990) ada
beberapa komponen-komponen yang
menyebabkan konformitas, yaitu
a. Kelompok. Semakin besar kelompok,
semakin berkompeten kelompok
tersebut, semakin kuat kelompok
tersebut, dan semakin kita bulat
suara kelompok tersebut maka
semakin mudah individu untuk
berkonformitas. Kebulatan suara
tampaknya
hal
yang
sangat
menentukan dalam konformitas.
b. Hal-hal
yang
dipertanyakan.
Menurut
Kiesler
(dalam
Calhoun,1990) ketika suatu individu
dihadapkan dengan pertanyaan yang
ambigu, dan ketika individu sulit
untuk memutuskan atau menjawab
pertanyaan tersebut, maka semakin
mudah individu tersebut untuk
berkonformitas.
c. Individu. Penelitian membuktikan
bahwa
semakin
individu
mempunyai intelegensi yang tinggi,
dan mempunyai kepercayaan diri,
maka semakin sulit baginya untuk
berkonformitas. Karakteristik dari
kelompok,
hal-hal
yang
pertanyakan, dan individu dapat
saling menekan satu dengan yang
lainnya
d. Komponen sikap, yaitu perasaan
seseorang tentang diri sendiri, sikap
terhadap statusnya sekarang dan
prospeknya di masa depan, sikap
terhadap harga diri dan pandangan
diri yang dimilikinya
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi
terjadinya Konformitas
Ada dua alasan utama mengapa orang
melakukan
konformitas.
Pertama,
perilaku
orang
lain
memberikan
informasi yang bermanfaat. Kedua,
individu melakukan konformitas karena
ingin diterima secara sosial dan
menghindari celaan (Sears, 1994).
a. Informasi
Orang lain adalah sumber informasi
yang paling penting. Seringkali
mereka mengetahui sesuatu yang tidak
individu ketahui, dengan melakukan
apa yang mereka lakukan seseorang
akan memperoleh manfaat dari
pengetahuan mereka. Oleh karena itu,
tingkat konformitas yang didasarkan
pada informasi ditentukan oleh dua
aspek situasi, sejauh mana mutu
informasi yang dimiliki orang lain
tentang apa yang benar?, dan sejauh
mana kepercayaan diri individu
terhadap penilaian individu sendiri (
Sears, 1994). Dibawah ini akan
dijelaskan dua aspek tersebut.
1). Kepercayaan terhadap kelompok
Dalam situasi konformitas,
individu
mempunyai
suatu
pandangan
dan
kemudian
menyadari bahwa kelompoknya
menganut
pandangan
yang
bertentangan.
Individu
ingin
memberikan informasi yang tepat.
Oleh karena itu, semakin besar
kepercayaan individu terhadap
kelompok
sebagai
sumber
informasi yang benar, semakin
besar pula kemungkinan untuk
menyesuaikan
diri
terhadap
kelompok. Bila orang tersebut
berpendapat bahwa kelompok
selalu benar, maka dia akan
mengikuti apa pun yang dilakukan
kelompok tanpa mempedulikan
pendapatnya sendiri (Sears, 1990).
Salah
satu
faktor
penentu
kepercayaan terhadap kelompok
adalah
tingkat
keahlian
anggotanya.
Sejauh
mana
pengetahuan mereka tentang suatu
topik?, sejauh mana kewenangan
mereka
untuk
memberikan
informasi?, semakin tinggi tingkat
keahlian kelompok itu dalam
hubungannya dengan individu,
semakin tinggi pula tingkat
kepercayaan dan penghargaan
individu
terhadap
pendapat
kelompok (Sears,1990).
2). Kepercayaan yang lemah terhadap
penilaian diri sendiri
Sesuatu
yang
dapat
meningkatkan
kepercayaan
individu terhadap pernilaiannya
sendiri
akan
menurunkan
konformitas (Sears, 1990). Salah
satu
faktor
yang
sangat
mempengaruhi rasa percaya diri
dan tingkat konformitas adalah,
tingkat keyakinan orang tersebut
pada kemampuannya sendiri
untuk menampilkan suatu reaksi.
Seperti yang dijelaskan pada
Social Comparison Theory oleh
Leon Festinger (dalam Calhoun,
1990). Teori ini mendasarkan
bahwa seseorang mengevaluasi
pendapat atau penilaiannya sendiri
dengan membandingkan dengan
pendapat atau penilaian orang
lain. Ketika tidak ada objektivitas
dalam suatu penilaian maka
seseorang akan cenderung untuk
melakukan pembanding sosial,
(Calhoun, 1990).
b. Rasa takut terhadap celaan sosial
Alasan kedua mengapa orang
melakukan konformitas adalah demi
memperoleh persetujuan , atau
menghindari
celaan
kelompok
(Sears,1994). Dibawah ini terdapat
sejumlah faktor yang akan menentukan
bagaimana perngaruh persetujuan dan
celaan ini terhadap tingkat konformitas
individu.
1). Rasa takut terhadap penyimpangan
Rasa takut dipandang sebagai
orang yang menyimpang merupakan
faktor dasar hampir dalam semua
situasi sosial (Sears,1994). Rasa
takut akan dipandang sebagai orang
yang menyimpang ini diperkuat oleh
tanggapan
kelompok
terhadap
perilaku menyimpang. Orang yang
tidak mau mengikuti apa yang
berlaku di dalam kelompok akan
menanggung resiko mengalami
akibat yang tidak menyenangkan,
oleh sebab itu maka orang
melakukan
konformitas
untuk
menghindari
hal-hal
tersebut
(Callhoun,1990).
2). Kekompakan kelompok
Konformitas juga dipengaruhi
oleh eratnya hubungan antara
individu dengan kelompoknya.
Apakah para anggota merasa dekat
dengan kelompoknya atau tidak?,
sejauh mana keinginan mereka
untuk menjadi anggota kelompok
itu?, istilah kekompakan digunakan
untuk menyatakan hal-hal tersebut
(Sears,1994). Yang dimaksudkan
dengan istilah itu adalah jumlah
total kekuatan yang menyebabkan
orang tertarik pada suatu kelompok
dan yang membuat mereka ingin
tetap
menjadi
anggotanya
(Sears,1994). Kekompakan yang
tinggi menimbulkan konformitas
yang tinggi.Alasan utamanya adalah
bahwa bila orang merasa dekat
dengan anggota kelompok yang
lain, akan semakin menyenangkan
bagi mereka untuk mengakui
seseorang,
dan
semakin
menyakitkan bila mereka mencela.
Artinya
kemungkinan
untuk
menyesuaikan diri atau tidak
menyesuaikan diri akan semakin
besar bila individu mempunyai
keinginan yang kuat untuk menjadi
anggota
kelompok
tersebut
(Sears,1994).
4. Aspek-aspek Konformitas
Sears dkk (1994), berpendapat bahwa
konformitas akan mudah terlihat serta
mempunyai aspek-aspek yang khas
dalam kelompok. Adapun aspek-aspek
yang dimaksud di dalamnya, yaitu:
a. Aspek kekompakan
Yang dimaksud dengan istilah
kekompakkan adalah jumlah total
kekuatan yang menyebabkan orang
tertarik pada suatu kelompok dan yang
membuat mereka ingin tetap menjadi
anggotanya. Kekompakkan mengacu
pada kekuatan yang menyebabkan
para anggotanya menetap dalam suatu
kelompok.
b. Aspek kesepakatan
Aspek yang sangat penting bagi
timbulnya
konformitas
adalah
kesepakatan pendapat kelompok.
Individu yang dihadapkan pada
keputusan kelompok yang sudah bulat
akan mendapat tekanan yang kuat,
untuk menyesuaikan pendapatnya.
Namun, bila kelompok tidak bersatu,
akan tampak adanya penurunan
konformitas.
Morris & Miller ( dalam Sears dkk,
1985 ) menunjukkan bahwa saat
terjadinya perbedaan pendapat yang
berbeda setelah mayoritas menyatakan
pendapatnya,
konformitas
akan
menurun. Tetapi bila orang yang
mempunyai pendapat berbeda itu
memberikan jawabannya sebelum
mayoritas, mengemukakan jawaban,
akan terjadi penurunan konformitas
yang lebih besar.
Penurunan konformitas yang drastis
karena
hancurnya
kesepakatan
disebabkan oleh beberapa faktor,
antara lain :
1). Tingkat kepercayaan terhadap
mayoritas akan menurun bila
terjadi perbedaan pendapat.
2). Bila anggota kelompok yang
lain mempunyai pendapat yang
sama,
keyakinan
individu
terhadap pendapatnya sendiri
akan semakin kuat.
3.) Bila
individu
mempunyai
pendapat yang berbeda dengan
anggota kelompok yang lain
individu akan dikucilkan dan
dianggap sebagai orang yang
menyimpang,
baik
dalam
pandangannya sendiri maupun
dalam pandangan orang lain.
c. Aspek ketaatan
Konformitas merupakan bagian dari
persoalan
mengenai
bagaimana
membuat individu rela melakukan
sesuatu yang sebenarnya tidak ingin
mereka lakukan. Salah satu caranya
adalah melalui tekanan sosial.
Adapun bentuk – bentuk tekanan
social yang dapat memunculkan
ketaatan dalam diri individu antara
lain :
1). Ketaatan terhadap otoritas yang
sah
Faktor yang paling penting
dalam ketaatan adalah bahwa
orang memiliki otoritas yang sah
dalam situasi itu, sesuai dengan
norma social yang berlaku. Yang
dimaksud
dengan
legitimasi
adalah keyakinan umum bahwa
pihak otoritas mempunyai hak
untuk menuntut ketaatan terhadap
perintahnya.
2). Ganjaran, hukuman, dan ancaman.
Salah
satu
cara
untuk
menimbulkan
ketaatan
adalah
dengan
meningkatkan
tekanan
terhadap
individu
untuk
menampilkan
perilaku
yang
diinginkan
melalui
ganjaran,
hukuman, atau ancaman. Semua itu
merupakan insentif pokok untuk
mengubah perilaku seseorang.
3). Harapan orang lain terhadap
individu.
Sampai suatu tingkat yang sulit
dipercaya, individu akan rela
memenuhi permintaan orang lain
hanya karena orang lain tersebut
mengharapkannya.
4). Peniruan
dari
model
yang
melakukan apa yang dikehendaki
peneliti.
Seperti perilaku yang lain,
individu cenderung melakukan apa
yang mereka lihat dilakukan oleh
orang lain. Bila seseorang bertindak
agresif, orang lain juga akan
cenderung menjadi lebih agresif.
Efek yang sama juga terjadi pada
ketaatan. Bila individu melihat
bahwa orang tidak taat, maka
individu tersebut akan menjadi
kurang taat. Menurut Grusec dan
Skubiski (dalam Sears, 1985)
menunjukkan bahwa, agar efektif,
model
harus
benar-benar
menampilkan perilaku tersebut dan
tidak hanya sekedar mengatakannya.
Ada tiga kondisi yang menyertai,
yaitu tanpa model, ada model yang
mengatakan bahwa dia akan
memberikan ganjaran tetapi tidak
benar-benar melakukannya ,dan ada
model yang betul-betul memberikan
ganjaran.
5). Menempatkan
individu
dalam
situasi terkendali yang dirancang
untuk memberi tekanan secara halus
sehingga
individu
tersebut
mengalami kesulitan untuk menolak
B. Perilaku Seksual Pranikah
1. Pengertian
Perilaku
Seksual
Pranikah
Menurut Chaplin (2005) perilaku
seksual adalah tingkah laku, perasaan
atau emosi yang berasosiasi dengan
perangsangan alat kelamin, daerahdaerah erogenous, atau dengan proses
perkembangbiakan. Menurut Nevid
(1995) perilaku seksual pranikah adalah
semua jenis aktifitas fisik yang
menggunakan
tubuh
untuk
mengekspresikan perasaan erotis atau
afeksi sebelum adanya ikatan secara
resmi. Sarwono (2001) menyatakan
perilaku seksual pranikah adalah segala
tingkah laku oleh hasrat seksual, baik
dengan lawan jenisnya maupun dengan
sesama jenis yang dilakukan sebelum
adanya ikatan pernikahan. Bentuk
tingkah laku ini bermacam-macam,
mulai dari perasaan tertarik, bercumbu
sampai bersenggama.
Perilaku seksual pranikah adalah
manifestasi dari adanya dorongan
seksual yang dapat diamati secara
langsung melalui perbuatan yang
tercermin dalam tahap-tahap perilaku
seksual dari tahap yang paling ringan,
hingga tahap yang paling berat
(Purnomowardani, 2000).
Berdasarkan
definisi
perilaku
seksual pranikah diatas menurut
beberapa tokoh dapat disimpulkan
bahwa perilaku seksual pranikah adalah
suatu bentuk aktifitas fisik untuk
mengekspresikan perasaan atau emosi
yang berasosiasi dengan perangsangan
alat kelamin, daerah-daerah erogenous,
atau dengan proses perkembangbiakan
sebelum adanya ikatan secara resmi,
yaitu pernikahan.
2. Jenis-jenis Dari Perilaku Seksual
Pranikah
Dibawah ini terdapat beberapa jenis
dalam perilaku seksual antara lain
(Sarwono, 2001) :
a. Kissing
Tingkah laku berciuman dengan
menempelkan
bibir
dengan
pasangannya
b. Necking
Bercumbuan
tidak
sampai
menempelkan alat kelamin, yaitu
saling menggesek-gesekkan alat
kelamin dengan pasangan namun
belum bersenggama.
c. Petting
Bercumbuan sampai menempelkan
alat
kelamin
yaitu
saling
menggesek-gesekkan alat kelamin
dengan pasangan namun belum
bersenggama
d. Intercouse
Tingkah laku bersenggama yang
dilakukan diluar pernikahan
3. Faktor-faktor Terjadinya Perilaku
Seksual
Menurut Dianawati (2003) seorang
remaja melakukan seks pranikah ini
terbagi dalam beberapa faktor, yaitu
sebagai berikut.
a. Tekanan yang Datang dari Teman
Pergaulannya
Lingkungan pergaulan yang telah
dimasuki oleh seorang remaja dapat
juga berpengaruh untuk menekan
temannya yang belum melakukan
hubungan seks. Bagi remaja tersebut
tekanan dari teman-temannya itu
dirasakan lebih kuat daripada
tekanan yang didapat dari pacatnya
sendiri. Keinginan untuk dapat
diterima
oleh
lingkungan
pergaulannya begitu besar, sehingga
dapat mengalahkan semua nilai
yang didapat, baik dari orang tua
maupun dari sekolahnya. Pada
umumnya,
remaja
tersebut
melakukannya hanya sebatas ingin
membuktikan bahwa dirinya sama
dengan teman-temannya, sehingga
dapat diterima menjadi bagian dari
anggota kelompok seperti yang
diinginkan.
b. Adanya Tekanan dari Pasangannya
Karena kebutuhan seseorang untuk
mencintai dan dicintai, seseorang
harus rela melakukan apa saja
terhadap
pasangannya,
tanpa
memikirkan resiko yang nanti
dihadapinya. Dalam hal ini yang
berperan bukan saja nafsu seksual
mereka, melainkan juga karena
sikap memberontak terhadap orang
tuanya. Remaja lebih membutuhkan
suatu bentuk hubungan, penerimaan,
rasa aman, dan harga diri sebagai
layaknya manusia dewasa. Jika di
dalam lingkungan keluarga tidak
dapat membicarakan masalah yang
dihadapinya, remaja tersebut akan
mencari solusinya di luar rumah.
c. Adanya Kebutuhan Badaniah
Seks menurut beberapa ahli
merupakan kebutuhan dasar yang
tidak
dapat
dipisahkan
dari
kehidupan seseorang. Jadi, wajar
saja jika semua orang, tidak
terkecuali remaja menginginkan
hubungan seks ini, sekalipun akibat
dari perbuatannya tersebut tidak
sepadan dibandingkan dengan risiko
yang akan mereka hadapi.
d. Rasa Penasaran
Pada
usia
remaja,
rasa
keingintahuannya
begitu
besar
terhadap seks. Apalagi jika temantemannya mengatakan bahwa seks
terasa nikmat, ditambah lagi adanya
segala informasi yang tidak terbatas
masuknya. Maka, rasa penasaran
tersebut
semakin
mendorong
mereka untk lebih jauh lagi
melakukan
berbagai
macam
percobaan
sesuai
yang
diharapkannya.
e. Pelampiasan Diri
Faktor ini tidak hanya datang dari
diri sendiri. Misalnya, karena
terlanjur berbuat, seorang remaja
perempuan biasanya berpendapat
bahwa sudah tidak ada lagi yang
dapat dibanggakan dalam dirinya.
Maka, dengan pikirannya tersebut,
ia akan merasa putus asa lalu
mencari pelampiasan yang akan
semakin menjuruskannya ke dalam
pergaulan bebas.
f. Lingkungan Keluarga
Bagi seorang remaja, mungkin
aturan yang diterapkan oleh kedua
orangtuanya
tidak
dibuat
berdasarkan kepentingan kedua
belah pihak (orangtua dan anak).
Akibatnya, remaja tersebut merasa
tertekan,
sehingga
ingin
membebaskan
diri
dengan
menunjukkan
sikap
sebagai
pemberontak, yang salah satunya
dalam masalah seks
4. Perbedaan Nilai Seksual
Remaja Pria dan Wanita
Antara
Santrock (dalam Sarwono, 2002)
mengungkapkan
dari
berbagai
penelitian-penelitian menunjukkan halhal berikut yang pada hakikatnya
mecerminkan perbedaan nilai seksual
antara remaja pria dan wanita yaitu :
a. Laki-laki lebih cenderung daripada
wanita untuk menyatakan bahwa
mereka sudah berhubungan seksual
dan sudah aktif berperilaku seksual
b. Remaja putri menghubungkan seks
dengan cinta. Alasan mereka untuk
berhubungan seks adalah cinta.
Sementara pada remaja pria
kecenderungan ini jauh lebih kecil
c. Sebagain besar dari hubungan seks
remaja diawali dengan agresivitas
pada remaja pria dan selanjutnya
remaja
putrinyalah
yang
menentukan sampai batas mana
agresivitas pria itu dapat dipenuhi
d. Remaja pria cenderung menekan
dan memaksa remaja putri dalah hal
ini pasangannya untuk berhubungan
seks, namun ia sendiri tidak merasa
memaksa
C. Remaja
1. Definisi Remaja
Menurut sebagian orang definisi
remaja adalah periode transisi antara masa
kanak-kanak ke masa dewasa, atau masa
usia belasan tahun, atau seseorang yang
menunjukkan tingkah laku tertentu seperti
susah
diatur,
mudah
terangsang
perasaannya, dan sebagainya (Sarwono,
1980). Mendefinisikan remaja ternyata tidak
semudah itu. Di bawah ini peneliti akan
mencoba mendefinisikan remaja menurut
beberapa sumber,
a. Remaja Menurut Hukum
Konsep “remaja” berasal dari bidang
ilmu sosial, seperti Antropologi,
Sosiologi, Psikologi, dan Paedagogi,
bukan berasal dari hokum. Dalam
berbagai undang-undang yang ada di
berbagai negara di dunia tidak dikenal
istilah “remaja”. Begitu juga di
Indonesia, hukum Indonesia hanya
mengenal anak-anak dan dewasa
walaupun batasan yang diberikan
untuk itu pun bermacam-macam
(Sarwono, 1989).
Dalam hukun perdata terdapat batasan
untuk
menyatakan
kedewasaan
seseorang, yaitu usia 21 tahun (atau
kurang dari itu asalkan sudah
menikah), dan dibawah usia tersebut
untuk melakukan tindakan hukum
perdata masih membutuhkan wali
(orang tua).
Dan dalam hukum pidana, usia 18
tahun adalah usia dewasa (atau yang
jurang tetapi sudah menikah). Anakanak yang berusia kurang dari 18
tahun masih menjadi tanggung jawab
orang tuanya kalau ia melanggar
hukum pidana. Tingkah laku yang
dilakukan oleh anak-anak yang
berusia kurang dari 18 tahun disebut
sebagai “kenakalan”, belum disebut
sebagai kejahatan (kriminal). Dan jika
kenakalan
itu
sudah
dinilai
membahayakan masyarakat dan patut
diberi hukuman dan orang tuanya
ternyata tidak mampu mendidik anak
itu lebih lanjut, maka anak tersebut
merupakan tanggung jawab Negara. Ia
akan dimasukkan ke Lemabaga
Pemasyarakatan Khusus Anak-Anak
(di bawah Departemen Kehakiman)
atau dimasukkan ke lembaga-lembaga
rehabilitasi lainnya.
b. Remaja Dilihat dari Perkembangan Fisik
Menurut Sarwono (1989), remaja
dikenal
sebagai
suatu
tahap
perkembangan fisik ketika alat-alat
kelamin
manusia
mencapai
kematangannya. Secara anatomis berarti
alat-alat kelamin khususnya dan
keadaan
tubuh
pada
umumnya
memperoleh bentuknya yang sempurna.
Secara faali, alat-alat kelamin tersebut
sudah berfungsi secara sempurna pula
Sebagai makhluk yang berjalan lambat
perkembangannya, masa pematangan
fisik ini berjalan lebih kurang dua tahun.
Biasanya dihitung mulai dari haid
pertama pada wanita atau mengalami
mimpi basah (mengeluarkan mani yang
pertama) pada laki-laki. Masa dua tahun
ini dinamakan pubertas (Inggris =
puberty)., yang dalam bahasa latin
mempunyai arti kedewasaan (the age of
manhord). Berkaitan pula dengan kata
Latin lainnya yaitu pubescere ysng
berarti masa pertumbuhan rambut di
daerah tulang pufic (di wilayah
kemaluan).
Masa pubertas ini, seperti yang sudah
dijelaskan diatas, bervariasi pada setiap
ndividu, hal ini tergantung pada kondisi
masing-masing individu (Sarwono,
1989).
c. Remaja Menurut WHO
WHO pada tahun 1974 memberikan
definisi tentang remaja, dalam definisi
tersebut dikemukakan tiga kriteria yaitu
biologis, psikologis, dan social ekonomi.
Definisi tersebut berbunyi sebagai
berikut.
Remaja adalah suatu masa ketika:
1). individu berkembang dari saat
pertama kali ia menunjukkan tandatanda seksual sekundernya sampai
saat ia mengalami kematangan
seksual
2). individu mengalami perkembangan
psikologis, dan pola identifikasi dari
kanak-kanak menjadi dewasa;
3). terjadi
peralihan
dari
ketergantungan
social-ekonomi
yang penuh kepada keadaan yang
relatif lebih mandiri (Muangman
dalam Sarwono, 1989)
Pada tahun-tahun berikutnya, definisi
ini semakin berkembang kearah yang
lebih konkret operasional. Ditinjau dari
bidang kegiatan WHO, yaitu kesehatan,
masalah
yang
dirasakan
paling
mendesak berkaitan dengan kesehatan
remaja adalah kehamilan yang terlalu
awal. Melalui masalah yang pokok ini,
WHO menetapkan batas usia remaja
yaitu 10-21 tahun. Kehamilan dalam
usia-usia tersebut memang mempunyai
risiko yang lebih tinggi (kesulitan waktu
melahirkan,
sakit/cacat/
kematian
ibu/bayi) daripada kehamilan dalam
usia-usia diatasnya (Sanderowitz &
Paxman dalam Sarwono, 1989).
WHO menyatakan walaupun definisi
diatas terutama didasarkan pada usia
kesuburan (fertilitas) wanita, batasan
tersebut berlaku juga untuk pria. WHO
membagi kurun usia tersebut dalam dua
bagian, yaitu remaja awal 10-14 tdan
remaja akhir 15-20 tahun. Dalam hal ini
PBB sendiri menetapkan usia 15-24
tahun sebagai usia pemuda (youth).
Berkaitan
dengan
ini
mereka
menetapkan tahun 1985 sebagai Tahun
Pemuda Internasional (Sanderowitz &
Paxman dalam Sarwono, 1989).
Di Indonesia, batasan remaja yang
mendekati batasan PBB tentang pemuda
adalah kurun usia 14-24 tahun. Hal ini
dikemukakan pada sensus penduduk
1980. Menurut hasil sensus ini, jumlah
remaja di Indonesia pada tahun tersebut
adalah 147.338.075 jiwa atau 18.5%
dari seluruh penduduk Indonesia
(Sarwono,1989).
d. Definisi Sosial-Psikologis
Csikszentimihalyi & Larson (dalam
Mappiare,1982) menyatakan bahwa
remaja
adalah
“restrukturisasi
kesadaran”. Hampir semua ahli yang
meninjau perkembangan jiwa dari
berbagai sudut, beranggapan bahwa
masa remaja merupkan penyempurnaan
dari perkembangan pada tahap-tahap
sebelumnya. Hal ini terlihat dalam teori
Piaget tentang perkembangan kognitif
(kesadaran, inteligensia), teori Kohlberg
temtang perkembangan moral, maupun
teori Freud tentang perkembangan
seksual. Csikszentimihalyi & Larson
selanjutnya menjelaskan bahwa puncak
perkembangan jiwa itu ditandai dengan
adanya proses perubahan dari kondisi
entropty ke kondisi negentropy. Entropy
adalah keadaan dimana kesadaran
manusia masih belum tersusun rapi.
Walaupun
isinya
sudah
banyak
(pengetahuam,
perasaan,
dan
sebagainya), isi-isi tersebut belum saling
terkait dengan baik sehingga belum bias
berfungsi secara maksimal. Istilah
entropy ini sebetulnya dipinjam dari
ilmu alam (fisika) dan ilmu komunikasi
(khususnya teori informasi). Negentropy
adalah keadaan berupa isi kesadaran
tersusun dengan baik, pengetahuan yang
satu terkait dengan pengetahuan yang
lainnya. Orang yang berada dalam
keadaan negentropy merasa dirinya
sebagai satu kesatuan yang utuh.
Bertindak dengan jelas dan tidak
bimbang dalam mengambil keputusan,
adalah cirri-ciri orang yang berada
dalam keadaan negentropy. Jadi
menurut Csikszentimihalyi & Larson,
remaja adalah manusia yang berada
dalam keadaan sadar yang merasa
dirinya sebagi kesatuan yang utuh.
Jadi, dapat disimpulkan remaja adalah
periode masa transisi masa kanak-kanak ke
masa dewasa, atau masa usia belasan tahun,
atau seseorang yang menunjukkan tingkah
laku tertentu seperti susah diatur, mudah
terangsang perasaannya, dan ditandai oleh
berkembangnya
tanda-tanda
seksual
sekunder sampai saat ia mengalami
kematangan seksual, dan adanya proses
peralihan dari ketergantungan sosialekonomi kepada keadaan yang relatif lebih
mandiri
E. Perbedaan Tingkat Konformitas
Terhadap Perilaku Seks Pranikah Pada
Remaja Pria dan Remaja Wanita
Perilaku seksual ialah perilaku yang
melibatkan sentuhan secara fisik anggota
badan antara pria dan wanita yang telah
mencapai pada tahap hubungan intim, yang
biasanya dilakukan oleh pasangan suami
istri (Sarwono, 2001) . Sedangkan perilaku
seksual pranikah merupakan perilaku
seksual yang dilakukan tanpa melalui proses
pernikahan yang resmi menurut hukum
maupun menurut agama dan kepercayaan
masing-masing individu (Tobing,1985).
Bagi wanita, seks merupakan pengalaman
yang dianggap suci dan melibatkan seluruh
perasaan yang terdalam. Bagi pria, seks
hanya merupakan hubungan badaniah yang
dianggap tidak terlalu serius, tanpa perasaan
(Dariyo, 2004). Namun dalam hal tertentu,
sering juga terjadi perasaan cinta yang
dimiliki seseorang wanita terlalu jauh dan
berharap dapat menjalin hubungan hingga
pernikahan. Perasaan dan harapan tersebut
mempengaruhinya untuk mau melakukan
hubungan seks di luar nikah. Dengan begitu
keinginannya untuk menikah dengan pria
idamannya dapat terlaksana. Jika pihak pria
ternyata tidak siap untuk melanjutkan
hubungan ke jenjang pernikahan, pihak
wanita akan menanggung kerugian akibat
hubungan seks di luar nikah (Dianawati,
2003). Perilaku seksual pranikah ini
memang kasat mata, namun ia tidak terjadi
dengan sendirinya melainkan didorong atau
dimotivasi oleh faktor-faktor internal
maupun eksternal yang tidak dapat diamati
secara langsung (tidak kasat mata). Dengan
demikian individu tersebut tergerak untuk
melakukan
perilaku
seks
pranikah
(Dianawati, 2003).
Pada masa remaja baik pria maupun
wanita, kedekatannya dengan peer-groupnya
sangat tinggi karena selain ikatan peer-group
menggantikan ikatan keluarga, mereka juga
merupakan sumber afeksi, simpati, dan
pengertian, saling berbagi pengalaman dan
sebagai tempat remaja untuk mencapai
otonomi dan independensi (Calhoun, 1990).
Maka tak heran bila remaja mempunyai
kecenderungan untuk mengadopsi informasi
yang diterima oleh teman-temannya, tanpa
memiliki dasar informasi yang signifikan
dari sumber yang lebih dapat dipercaya.
Informasi dari teman-temannya tersebut,
dalam hal ini sehubungan dengan perilaku
seks pranikah, tak jarang menimbulkan rasa
penasaran yang membentuk serangkaian
pertanyaan dalam diri remaja, pertanyaan
yang ambigu, dan ketika individu sulit untuk
memutuskan atau menjawab pertanyaan
tersebut, maka semakin mudah individu
tersebut untuk berkonformitas (Kiesler
dalam Calhoun, 1990). Bila orang tersebut
berpendapat bahwa kelompok selalu benar,
maka dia akan mengikuti apa pun yang
dilakukan kelompok tanpa mempedulikan
pendapatnya sendiri (Sears, 1990). Untuk
menjawab
pertanyaan
itu
sekaligus
membuktikan kebenaran informasi yang
diterima, mereka cenderung melakukan dan
mengalami perilaku seksual pranikah itu.
Dan alasan mengapa orang melakukan
konformitas adalah demi memperoleh
persetujuan atau menghindari celaan
kelompok mereka (Sears,1994).
Lingkungan pergaulan yang telah
dimasuki oleh seorang remaja berpengaruh
untuk menekan temannya yang belum
melakukan hubungan seks (Tobing, 1985).
Bagi, remaja wanita, tekanan dari temantemannya itu dirasakan lebih kuat daripada
tekanan yang didapat dari pacarnya sendiri.
Keinginan untuk dapat diterima oleh
lingkungan pergaulannya begitu besar,
sehingga dapat mengalahkan semua nilai
yang didapat, baik dari orang tua maupun
dari sekolahnya. Menurut Bocker (dalam
Sarwono,2001) wanita lebih mudah
melakukan
konformitas,
ada
dua
kemungkinan penyebab wanita lebih mudah
melakukan
konformitas,
pertama
kepribadian wanita lebih fleksibel (lentur,
luwes) dan kedua status wanita lebih
terbatas sehingga mereka tidak mempunyai
banyak pilihan, kecuali menyesuaikan diri
pada situasi, dan kelompok (Sarwono,
2001). Pada umumnya, remaja tersebut
melakukannya
hanya
sebatas
ingin
membuktikan bahwa dirinya sama dengan
teman-temannya, sehingga dapat diterima
menjadi bagian dari anggota kelompok
seperti yang diinginkan atau dengan kata
lain remaja tersebut melakukan konformitas
terhadap kelompoknya (Sears, 1994). Pria
sulit untuk melakukan konformitas pada
situasi dimana terdapat audiens didalamnya,
karena pria diajarkan untuk bisa lebih
independen (wikipedia), tetapi dalam suatu
situasi dimana tidak terdapat audiens
didalamnya, seorang remaja pria dapat lebih
mudah
untuk
berkonformitas.
Pada
penelitian yang diadakan di beberapa negara
berkembang, bahwa 66.2% remaja wanita
melakukan hubungan seksual karena
pengaruh konformitas, sedangkan pria
sebanyak 46%.
Berdasarkan uraian di atas maka
penelitian ini akan melihat perbedaan
tingkat konformitas terhadap perilaku seks
pranikah pada remaja pria dan wanita.
D. Hipotesis
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis
mempunyai hipotesis bahwa terdapat
perbedaan tingkat konformitas terhadap
perilaku seksual pranikah pada remaja pria
dan wanita.
3. METODE PENELITIAN
A. Identifikasi Variabel-Variabel
Penelitian
Dalam penelitian ini beberapa variabel
yang akan dikaji adalah :
1. Variabel Bebas : Jenis Kelamin
2. Variabel Terikat :Konformitas
Terhadap Perilaku Seksual Pranikah
B. Definisi Operasional Variabel
Penelitian
1. Jenis Kelamin
Jenis kelamin adalah perbedaan
biologis antara pria dan wanita yang
berhubungan dengan organ reproduksi
dan sangat berkaitan dengan peran,
tingkah laku, kesukaan dan atributatribut lain.
Dalam penelitian ini, jenis kelamin
didapat dari lembaran identitas yang
digunakan sebagai data kontrol untuk
melengkapi
informasi
subjek
penelitian.
2. Konformitas terhadap perilaku seks
pranikah
Konformitas
terhadap
seks
pranikah adalah kecenderungan suatu
tingkah
laku
seseorang
yang
menyetujui dan melakukan perilaku
seks pranikah, karena adanya tekanan
dari kelompok, hal itu diantaranya
adalah kissing, necking, petting, dan
sexual intercourse.
Variabel
ini
diukur
dengan
menggunakan kuesioner konformitas
dengan mengacu kepada aspek-aspek
konformitas, yaitu aspek kekompakan,
aspek kesepakatan, dan aspek ketaatan
(Sears dkk,1985).
C. Populasi Dan Sampel Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah
remaja yang berada pada tahap
perkembangan remaja akhir, yaitu
berusia antara 18-22 tahun yang
berada di Universitas Persada
Indonesia Y.A.I dan sudah pernah
berpacaran atau sedang berpacaran.
Sampel yang akan diambil berjumlah
60 orang, terdiri dari 30 pria dan 30
wanita. Teknik sampling yang
digunakan dalam penelitian ini adalah
purposive sampling, penggunaan
teknik sampling ini didasarkan atas
pertimbangan yang sesuai dengan
maksud dan tujuan penelitian.
D. Metode Pengumpulan Data
Untuk mengumpulkan data dalam
penelitian ini digunakan alat berbentuk
kuesioner. Menurut Koentjaraningrat
(Dalam Hasan, 2002), kuesioner
merupakan sebuah daftar pertanyaan
tertulis
yang
bertujuan
untuk
mendapatkan
jawaban
responden
tentang suatu hal. Dalam kuesioner ini
terdapat lembar isian identitas yang
meliputi nama, jenis kelamin, usia, dan
lama
berpacaran.
Selain
lembar
identitas, dalam rangkaian kuesioner
tersebut terdapat Model Likert yang
merupakan teknik skala yang akan
mengungkap tingkat konformitas.
Untuk
melakukan
penskalaan
dengan metode ini, sejumlah pernyataan
sikap akan ditulis berdasarkan kaidah
penulisan aitem dan didasarkan pada
dasar rancangan skala yang telah
ditetapkan. Subjek diminta untuk
menyatakan sikap terhadap 4 kategori
sikap, yaitu Sangat Sesuai (SS); Sesuai
(S); Tidak Sesuai (TS); Sangat Tidak
Sesuai (STS).
E. Validitas dan Reliabilitas Alat
Pengumpul Data
Menurut Chaplin (1999), validitas
adalah sifat suatu alat pengukuran. Alatalat tersebut dapat mengukur kenyataan
seperti
yang
dikehendaki
untuk
mengukur. Sedangkan menurut Anastasi
dan Urbina (1997) validitas adalah
subuah tes yang menyangkut apa yang
diukur oleh alat tes dan seberapa baik
tes itu dapat mengukur. Pengujian
validitas setiap aitem dilakukan dengan
menghitung korelasi skor penilaian
seluruh responden pada setiap faktor
dengan skor total seluruh faktor.
Penghitungan
dilakukan
dengan
software SPSS. Data dikatakan valid
jika nilai Coreccted Item Total
Correlation-nya lebih besar dari nilai
kritis yang kita peroleh dari tabel.
Menurut Chaplin (1999) reliabilitas
adalah suatu tes yang dapat diandalkan
dan dicerminkan dalam kemantapan
skor setelah diadakan pengukuran ulang
dari tes yang sama. Sedangkan menurut
Anastasi (1997) reliabilitas merujuk
pada konsistensi skor yang dicapai oleh
orang yang sama ketika mereka diuji
ulang dengan tes yang sama pada
kesempatan yang berbeda. Konsep
reliabilitas ini mendasari penghitungan
kesalahan pengukuran atas skor tunggal
yang dapat kita gunakan untuk
memperkirakan kisaran fluktuasi yang
muncul dalam skor individual sebagai
hasil-hasil faktor peluang yang tidak
relevan. Pengujian reliabilitas ini
dilakukan
dengan
mengunakan
Reliability Alpha Cornbach pada
software SPSS.
F. Teknik Analisis Data
Untuk
menguji
hipotesa
mengenai perbedaan tingkat konformitas
terhadap perilaku seks pranikah pada
remaja pria dan wanita digunakan uji TTest dengan menggunakan independent
sample test dengan bantuan program
SPSS for windows versi 13.
4. PELAKSANAAN DAN HASIL
PENELITIAN
A. Persiapan Penelitian
Sebelum
melakukan
proses
pengambilan data penelitian, beberapa
tahap
persiapan
dilakukan,
yaitu
mengumpulkan
bahan
penelitian,
pemilihan sample penelitian, dan
penyusunan alat ukur tes yang berupa
skala konformitas.
Untuk menentukan kesempurnaan
skala konformitas, peneliti melakukan uji
coba skala konformitas yang dibuat. Uji
coba ini dilaksanakan pada tanggal 4
September 2008 di Universitas Persada
Indonesia Y.A.I, terhadap 30 dengan
proposi 15 orang wanita, dan 15 orang
pria. Dari uji coba ini didapatkan 47 item
yang valid dan 13 item yang gugur dari
total 60 item yang diujicobakan.
1. Uji Validitas Skala Konformitas
Suatu
kesepakatan
umum
menyatakan bahwa koefisien validitas dapat
dianggap memuaskan apabila melebihi 0.30
(Azwar, 2005). Dengan demikian, dari 60
item skala konformitas yang diujicobakan
terdapat 47 item yang valid dan 13 item
yang gugur. Dari 47 item yang valid
tersebut, memiliki korelasi total item antara
0.301 sampai dengan 0.612.
2. Uji Reliabilitas Skala Konformitas
Uji reliabilitas dilakukan untuk
mengetahui konsistensi alat ukur. Teknik
yang digunakan untuk mendapat konsistensi
dari alat ukur ini yaitu dengan teknik Alpha
Cornbach. Dari hasil uji reliabilitas alat ukur
tersebut diperoleh nilai reliabilitas sebesar
0.918
B. Pelaksanaan Penelitian
Pengambilan data penelitian berlangsung
pada Senin tanggal 8 September 2008.
Partisipan
dalam
penelitian
adalah
mahasiswa Universitas Persada Indonesia
Y.A.I, dengan proposisi 30 orang pria dan
30 orang wanita, sehingga diperoleh 60
partisipan untuk dianalisis.
C. Hasil Penelitian
1. Deskripsi Partisipan Penelitian
a. Jenis Kelamin
Partisipan dalam penelitian ini
berjumlah 60 orang yang merupakan
mahasiswa
Universitas
Persada
Indonesia Y.A.I. Partisipan yang
berjenis kelamin laki-laki berjumlah
30 orang dengan persentase jumlah
partisipan sebesar 50 % dan memiliki
nilai mean konformitas sebesar
113.07. Sedangkan partisipan dengan
jenis kelamin wanita berjumlah 30
orang dengan persentase jumlah
partisipan sebesar 50 % dan memiliki
nilai mean konformitas sebesar 143.29
b.Usia
Rentang usia partisipan berkisar
antara 18 tahun sampai 22 tahun. Jumlah
partisipan pria yang berusia 18 tahun
adalah 4 orang dengan persentase 13.33
% dari jumlah partisipan dan memiliki
mean konformitas 113.5, partisipan pria
yang berusia 19 tahun adalah 5 orang
dengan persentase 16.66 % dan
memiliki mean konformitas sebesar 116,
partisipan pria yang berusia 20 tahun
berjumlah 5 orang dengan persentase
16.66
%
dan
memiliki
mean
konformitas 114.2, partisipan yang
berusia 21 tahun berjumlah 6 orang
dengan persentase 20 % dan memiliki
mean konformitas 112.3 ,dan partisipan
yang berusia 22 tahun berjumlah 10
orang dengan persentase 33.33 % dan
memiliki konformitas 111.3. Dari
rentang usia partisipan pria, mean
konformitas paling tinggi adalah pada
usia 19 tahun
Jumlah partisipan wanita yang
berusia 18 tahun adalah 6 orang dengan
persentase 20 % dari jumlah partisipan
dan memiliki mean konformitas 143.5,
partisipan wanita yang berusia 19 tahun
adalah 4 orang dengan persentase 13.33
% dan memiliki mean konformitas
sebesar 153.7, partisipan wanita yang
berusia 20 tahun berjumlah 6 orang
dengan persentase 20 % dan memiliki
mean konformitas 145.5, partisipan
yang berusia 21 tahun berjumlah 8
orang dengan persentase 26.66 % dan
memiliki mean konformitas 143.8 ,dan
partisipan yang berusia 22 tahun
berjumlah 6 orang dengan persentase
20% dan memiliki konformitas 138.2.
Dari rentang usia partisipan wanita,
mean konformitas paling tinggi adalah
pada usia 19 tahun
c. Status
Status partisipan meliputi dua
kategori. Kategori yang pertama adalah
sedang berpacaran dan kategori yang
kedua adalah pernah berpacaran. Dari
hasil mean konformitas yang didapatkan
berdasarkan
status
berpacaran,
mengindikasikan bahwa tidak ada
pengaruh status berpacaran terhadap
tingkat konformitas pada remaja pria,
sedangkan
pada
wanita
tingkat
konformitas pada 2 kategori status
tergolong tinggi
Untuk mencapai keakuratan dalam suatu
penelitian dengan metode kualitatif, ada
beberapa teknik yang digunakan dan salah
satu teknik tersebut adalah triangulasi.
Triangulasi adalah suatu teknik pemeriksaan
keakuratan data yang memanfaatkan sesuatu
yang lain di luar data untuk keperluan
pengecekan atau sebagai pembanding
terhadap data itu. Triangulasi dapat
dibedakan menjadi emapat macam yaitu
triangulasi data, pengamat, teori, dan
metodologis.
2. Uji Asumsi
Sebelum
dilakukan
pengujian
hipotesis,
maka
terlebih
dahulu
dilakukan uji asumsi. Uji asumsi yang
terpenuhi dalam penelitian ini adalah uji
normalitas dan uji homogenitas. Uji
asumsi ini dilakukan dengan bantuan
program SPSS for Windows 14.0.
a. Uji Normalitas
Untuk uji normalitas sebaran skor
digunakan uji Kolmogorof Smirnov.
Dari hasil uji yang menggunakan
Kolmogorof smirnov pada skala
konformitas pada laki-laki diketahui dari
nilai koefisien korelasi (r) sebesar
0.0977044 dengan nilai signifikansi
sebesar 0.200 ( p > 0,05 ). Hal ini
menunjukan bahwa distribusi skor
konformitas pada partisipan pria adalah
normal.
Selanjutnya hasil uji normalitas
pada konformitas wanita memilki nilai
statistik sebesar 0.152 dengan nilai
signifikansi sebesar 0.074 (p > 0,05 ).
Hal ini menunjukan bahwa distribusi
konformitas pada partisipan wanita
adalah normal.
b. Uji Homogenitas
Untuk uji homogenitas sebaran skor
digunakan uji Lilliefors. Dari hasil uji
ini diketahui nilai Levene Statistic pada
Based on Mean adalah 0.962. Dari hasil
uji ini juga didapatkan nilai signifikansi
0.331 (p > 0,05). Hal ini menunjukan
bahwa distribusi skor konformitas pada
penelitian ini adalah homogen.
c. Uji Hipotesis
Pada uji hipotesis diperoleh data
nilai F sebesar 0.962 dengan signifikansi
0.000 ( p < 0.05 ) yang menunjukkan
bahwa
ada
perbedaan
tingkat
konformitas antara pria dan wanita pada
remaja. Hal ini dapat dilihat berdasarkan
analisis data yang dilakukan dengan
menggunakan uji T-Test dengan
menggunakan independent sample test.
Hasil uji hipotesis ini menunjukkan
bahwa hipotesis penelitian diterima,
yang artinya ada perbedaan tingkat
konformitas antara pria dan wanita pada
remaja
d. Perhitungan Mean Empirik dan
Hipotetik
Untuk lebih mengetahui gambaran
konformitas terhadap seks pranikah
pada pria dan wanita dengan klasifikasi
rendah, sedang, tinggi
Jumlah
item valid pada skala konformitas
sebanyak 47 item dengan menggunakan
kriteria dengan nilai 1 sampai dengan 4.
Ini berarti nilai skala terkecil berjumlah
1 dan skala terbesar 4. Rentang
minimum yaitu nilai terkecil dikalikan
dengan jumlah item yang valid (1 x 47 =
47), kemudian dapat diketahui rentang
maksimum yaitu nilai terbesar dikalikan
dengan jumlah item yang valid (4 x 47 =
188), sehingga didapat rentangan 47 –
188. Dengan jarak sebaran 188 – 47 =
141. Dengan demikian standar deviasi
sebesar 141 : 6 = 23.5. Nilai 6 didapat
dari kurva distribusi normal yang terbagi
atas 6 wilayah, yaitu 3 daerah positif
dan 3 daerah negative. Setelah
mendapatkan nilai standar deviasi,
selanjutnya mencari nilai mean hipotetik
dengan cara mengalikan nilai tengah
dengan jumlah item yang valid ( 2,5 x
47 = 117.5). Nilai 2,5 didapat dari
median atau nilai tengah dari kriteria
nilai yang digunakan yaitu antara nilai 1
sampai 4.
Adapun
penggolongan
skala
konformitas diperoleh dengan cara
menghitung :
< X – 2SD = 117.5 – ( 2 x 23.5 ) = 70.5
X – 1SD = 117.5 – ( 1 x 23.5 ) = 94
X + 1SD = 117.5 + ( 1 x 23.5 ) = 141
≥ X + 2SD = 117.5 + ( 2 x 23.5 ) = 164.5
D. Pembahasan
Penelitian ini bertujuan untuk menguji
apakah
ada
perbedaan
tingkat
konformitas terhadap seks pranikah pada
remaja pria dan wanita. Dari hasil
penghitungan dari program statistik
diperoleh nilai F sebesar 0.962 dengan
signifikansi 0,000 ( p > 0,05 ). Hasil
tersebut menunjukan bahwa hipotesis
penelitian diterima, yang berarti ada
perbedaan yang sangat signifikan
konformitas terhadap seks pranikah pada
pria dan wanita.
Setelah melihat hasil penelitian
diatas, dapat diketahui bahwa partisipan
pria mempunyai tingkat konformitas
sedang
atau
rata-rata,
sedangkan
partisipan wanita mempunyai tingkat
konformitas yang tinggi hasil tersebut
senada dengan apa yang diungkapkan
Bocker (dalam Sarwono,2001) bahwa
wanita
lebih
mudah
melakukan
konformitas, ada dua kemungkinan
penyebab wanita lebih mudah melakukan
konformitas, pertama kepribadian wanita
lebih fleksibel (lentur, luwes) dan kedua
status wanita lebih terbatas sehingga
mereka tidak mempunyai banyak pilihan,
kecuali menyesuaikan diri pada situasi,
dan kelompok. Lingkungan pergaulan
yang telah dimasuki oleh seorang remaja
berpengaruh untuk menekan temannya
yang belum melakukan hubungan seks
(Tobing, 1985).
Bagi, remaja wanita, tekanan dari
teman-temannya itu dirasakan lebih kuat
daripada tekanan yang didapat dari
pacarnya sendiri. Keinginan untuk dapat
diterima oleh lingkungan pergaulannya
begitu
besar,
sehingga
dapat
mengalahkan semua nilai yang didapat,
baik dari orang tua maupun dari
sekolahnya. Pada umumnya, remaja
tersebut melakukannya hanya sebatas
ingin membuktikan bahwa dirinya sama
dengan teman-temannya, sehingga dapat
diterima menjadi bagian dari anggota
kelompok seperti yang diinginkan atau
dengan kata lain remaja tersebut
melakukan
konformitas
terhadap
kelompoknya (Sears, 1994).
Bila dilihat dari segi usia, usia yang
lebih tinggi untuk mean konformitas
adalah usia 19 tahun, baik pria maupun
wanita. Hurlock (dalam Mappiare, 1982)
mengatakan
bahwa
jika
dibagi
berdasarkan
bentuk-bentuk
perkembangan dan pola perilaku yang
khas, usia 19 tahun berada di masa
remaja akhir. Dari pernyataan tersebut
kita bisa melihat fenomena yang terjadi
disebabkan karena keadaan pribadi,
sosial, dan moral masa remaja akhir
berada dalam periode yang kritis (Kelly
dalam Mappiare,1982).Dikatakan kritis
karena perkembangan pribadi, sosial dan
moral yang telah dimiliki remaja dalam
masa remaja awal dan yang akan
dimantapkannya pada remaja akhir,akan
ada banyak faktor dari individual dan
sosial yang akan mempengaruhinya.
Dapat dikatakan pula pada masa ini
adalah masa transisi dari lingkungan
sosial SMA ke lingkungan sosial
kampus, dimana kelompok yang terdapat
pada masa SMA cenderung homogen,
sedangkan pada masa kuliah cenderung
lebih heterogen. Ketika remaja memasuki
lingkungan sosial kampus akan banyak
dipengaruhi oleh kuat atau tidaknya
pribadi, citra diri dan rasa percaya diri
(Mappiare, 1982).
5. PENUTUP
A. Kesimpulan
Penelitian ini bertujuan untuk
menguji apakah ada perbedaan tingkat
konformitas terhadap seks pranikah pada
remaja pria dan wanita. Berdasarkan hasil
penelitian, dapat ditarik kesimpulan
bahwa hipotesis penelitian diterima, ,
yang berarti ada perbedaan yang sangat
signifikan konformitas terhadap seks
pranikah pada pria dan wanita.
Remaja pria tidak mudah untuk
dikarenakan pria dilukiskan sebagai
individu yang mandiri, berpikir secara
rasional, logika, dan realistic, sehingga
tanpa disadari stereotype ini melekat
pada diri remaja pria.
Wanita lebih mudah konform
daripada pria dan ada dua penyebabnya,
yaitu, kepribadian wanita lebih flexible,
dan status wanita lebih terbatas sehingga
mereka tidak mempunyai banyak pilihan,
kecuali menyesuaikan diri pada situasi.
Stereotipe ini yang tanpa disadari
melekat pada diri remaja putri
B.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian, maka
saran yang dapat diberikan adalah
sebagai berikut :
1. Bagi remaja, diharapkan dapat
meningkatkan pandangan pribadi,
citra diri dan rasa percaya diri.
Karena apabila remaja memiliki
citra diri dan rasa percaya diri yang
kuat, maka remaja tidak akan mudah
dipengaruhi oleh tekanan-tekanan
dari kelompok, dan dalam memilih
kelompok
diharapkan
bisa
menentukan kelompok mana yang
akan memberikan masukan positif
baginya dalam berperilaku yang
baik dan sewajarnya
2. Bagi
pendidik,
memberikan
informasi mengenai pendidikan
seks, sehingga diharapkan remaja
mampu untuk mengetahui dampak
dari seks pranikah, dan juga
diharapkan
agar
kewaspadaan
terhadap pengaruh pergaulan bebas
dalam pola hidup bermasyarakat
meningkat.
3. Bagi para peneliti selanjutnya,
diharapkan
menambah
jumlah
sampel penelitian dan melakukan
penelitian di wilayah lain (di luar
wilayah jakarta) sehingga akan
didapatkan
variasi
tingkat
konformitas yang berbeda. Hal ini
diasumsikan
bahwa
terdapat
perbedaan besar dalam hal citra diri
individu, kelompok dan sosial di
tiap
wilayah,
yang
dapat
mempengaruhi
konformitas
terhadap seks pranikah. Dan
diharapkan
menambah
data
demografis, lama tinggal, status
tempat tinggal, dan subjek yang
berada pada usia yang lebih muda
Daftar Pustaka
Anastasi,A.& Urbina S. (1997). Tes
psikologi : Psychological testing
7e. Alih Bahasa : Imam,R.H.
Penyunting : Molan,B. Jakarta:
Prenhallindo
Azwar,
S. (2005). Penyusunan skala
psikologi. Yogyakarta. Penerbit:
Pustaka Pelajar.
Callhoun, J.F, & Arcocella, R.J. (1990) .
Psychology of adjustment and
human relationship. New York: L
Mcgrowhill,inc
Chaplin,
J.P. (2005). Kamus lengkap
psikologi. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Dariyo, A. (2004). Psikologi perkembangan
remaja. Bogor: Ghalia Indonesia.
Dianawati, A. (2003). Pendidikan seks untuk
remaja. Depok: Kawan Pustaka
Hasan, M.I. (2002). Pokok-pokok
materi
metodologi
penelitian
dan
aplikasinya. Jakarta : Ghalia Indonesia.
Hurlock, & Elizabeth, B. (1993). Psikologi
perkembangan
:
Suatu
pendekatan sepanjang rentang
kehidupan.
Jakarta:
Penerbit
Erlangga
Liang, Kwee Soen. (1980). Masa remaja
dan ilmu jiwa pemuda. Bandung :
Jenmars
Mappiare, Andi. (1982) . Psikologi remaja.
Surabaya: Usaha Nasional
Milles, B. & Huberman. (1992). Qualitative
data analysis : A sourcebook of
new methods. Beverly Hills: Sage
Publications.
Moleong, L. (2004). Metodologi penelitian
kualitatif. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Monks, F.J. Knoers, A.M.P & Haditono,
S.T.
(2004).
Psikologi
perkembangan pengantar dalam
berbagai bagiannya. Yogyakarta:
Gajah Mada University Press.
Narbuko,
C & Achmadi, A. (2004).
Metedologi penelitian. Jakarta:
PT Bumi Aksara.
Nevid, J.S, Rathus, L.F & Rathus, S.A.
(1995). Human sexuality : In a
word of diversity 2nd edition.
Boston: Allyn & Bacon.
Nid. (2007). Remaja butuh pendidikan
tentang seks.www.jambiindependent.co.id
/home/modules.php?name
=News&file=article&sid=1071.
Diakses 12 Februari 2007.Jakarta
Pamungkas, A. (2006). Trend dan gaya
hidup remaja. www.suarakaryaonline.
com/news.html?id=139221.
Diakses
19
November
2006.Jakarta
Poerwandari, E.K. (1998). Pendekatan
kualitatif
dalam
penelitian
psikologi.
Jakarta:
LPSP3
Fakultas Psikologi Universitas
Indonesia.
Purnomowardani, A.D & Koentjoro. (2000).
Penyingkapan
diri,
perilaku
seksual dan penyalahgunaan
narkoba. Jurnal Psikologi. Jakarta
: N.A
Rakhmat, J. (1996). Psikologi komunikasi.
Bandung: Remaja Rosdakarya
Sarwono, W.S. (1999). Psikologi sosial :
Psikologi kelompok dan psikologi
terapan. Jakarta: Balai Pustaka.
Sarwono, W.S. (1999). Teori – teori
psikologi sosial. Jakarta: ICU
Rajawali.
Sarwono, W.S. (2001). Psikologi remaja.
Jakarta: CV. Rajawali
Sarwono, W.S. (2002). Psikologi remaja.
Jakarta:PT.
Raya
Grafindo
Persada
Sears, Jonathan, & Anne. (1994). Psikologi
sosial jilid 2. Jakarta: Erlangga.
Simanjuntak, B. (1977). Psikologi pemuda.
Bandung: Penerbit Jenmars
Soeratno, S. (1987). Metodelogi
khusus. Jakarta: Universitas Terbuka.
riset
Span, C.W. & Stephan, W.G. (1985). Two
social
psychologies
:
An
integrative approach. Chicago:
The Doorsey Press.
Surachmad, Winarno. (1997). Psikologi
pemuda.
Bandung:
Penerbit
Jenmars
Surya. (2007). Pelajar dan seks
pranikah.http://www.surya.co.id/
web/Umum/ Politik/423-PelajarSeks-Pra-Nikah.html. Diakses 11
Februari 2007.Jakarta
Sukandarrumidi.
(2004).
Metodelogi
penelitian petunjuk praktis untuk
peneliti pemula. Yogyakarta:
Universitas Gajahmada.
Tobing,
N.L. 1985. Seks
Jakarta:CV. Rajawali
pranikah.
Download