TELAAH KRITIS ALIRAN-ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN Sudarto

advertisement
TELAAH KRITIS ALIRAN-ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN
Sudarto Murtaufiq
Fakultas Agama Islam Universitas Islam Lamongan
Email : [email protected]
Abstract: This article is aimed at elaborating a critical study of the philosophy of
education in giving guiding principles and directives to knowledge concerning the
aims of education by which they are actualized. Such a philosophy should
necessarily give the basic principles to give an answer to the philosophical
question, “What subject matter, experiences, and worthwhile activities are
essential to realize the raison d’etre (reason for living) of the school?” For that
reason, this article will focus more on eight major philosophies and theories of
education:Idealism, Realism, Pragmatism, Perennialism, Essentialism,
Progressivism, Reconstructionism, and Existentialism. These educational
philosophical approaches are currently used in classrooms around the world and
each of these schools has stood the test of time and has had a significant impact
on the development of educational policies and practices; from curriculum
development to teaching methods and from classroom management to evaluation
techniques.
Keywords: Philosophy of education; curriculum; experiences.
Pendahuluan
Fungsi penting filsafat pendidikan adalah untuk memberikan prinsip dan pijakan
bagaimana mengaktualisasikan tujuan pendidikan. Filsafat tersebut tentu harus memberikan
prinsip-prinsip dasar untuk memberikan jawaban atas pertanyaan filosofis, "pokok persoalan
apa; pengalaman dan kegiatan yang bermanfaat seperti apa yang harus direalisasikan oleh
sekolah atau lembaga pendidikan raison d'etre?"1
Kurikulum dianggap merupakan aspek penting dari ilmu pendidikan. Kurikulum adalah
isi pendidikan. Kurikulum adalah media di mana filsafat kehidupan berubah menjadi
kenyataan. Suatu kurikulum yang mengkonversi potensi menjadi tindakan, yang
mencerminkan kebijaksanaan sekaligus temuan dari para pemikir, pendidik, dan peneliti di
bidang pendidikan. Kurikulum dibutuhkan karena mencerminkan nilai-nilai masyarakat dan
media di mana nilai-nilai itu ditransmisikan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Kurikulum mencakup semua pengalaman dari peserta didik yang menjadi bagian dari
tanggung jawab sekolah. Dalam arti luas, kurikulum dapat didefinisikan sebagai pengalaman
terorganisir bahwa seorang siswa senantiasa berada dalam bimbingan dan pengawasan
sekolah. Dalam arti yang lebih tepat dan terbatas, kurikulum adalah urutan sistematis mata
pelajaran yang menjadi payung bagi proses belajar mengajar di sekolah.2
Dalam pandangan filsafat tradisional, tujuan utama pendidikan adalah transmisi dan
pelestarian warisan budaya. Materi pelajaran disusun dalam hirarki, dengan memprioritaskan
1
Griese, A.A, Your Philosopby of Education: What is it? (Santa Monica, CA: Goodyear Publishing, 1981), 2.
Lihat juga Brightman E.S., Introduction to Philosophy (New York: Henery Holt&Co., 1925), 9; Ducasse, C.J.,
Philosophy of Art (New York: Dial Press, 1929), 3.
2
Hargreaves, A., Changing Teachers, Changing Times: Teachers Work and Culture in the Postmodern Age
(NewYork: Teachers College Press, 1994), 10.
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014
192
materi pelajaran yang dianggap lebih umum dan signifikan. Filsafat pendidikan yang muncul
belakangan ini lebih menekankan pada proses pembelajaran. Kurikulum yang mengikuti ide
ini memanfaatkan kegiatan dan proyek, pola eksperimental dan pemecahan masalah yang
ditentukan berdasarkan kepentingan dan kebutuhan peserta didik.3
Sengaja penulis paparkan sekilas tentang kurikulum lebih awal, karena ia adalah pintu
gerbang utama untuk mengetahui dan memahami aliran filsafat pendidikan sebagai dasar bagi
pengembangan kurikulum. Selain itu, tulisan ini juga mengajak para pembaca untuk
mengetahui dan memahami filosofi utama dan teori pendidikan; menganalisis filsafat dan
teori-teori pendidikan utama dalam tiga aspek: tujuan, kurikulum, dan metode pengajaran;
menjelaskan hubungan antara landasan filosofis pendidikan dan kurikulum.4
Arti Filsafat
Filsafat dalam arti harfiah berarti cinta kebijaksanaan. Dalam arti luas, filsafat adalah
upaya manusia untuk berpikir secara spekulatif, reflektif, dan sistematis tentang alam semesta
di mana dia hidup dan hubungannya dengan alam semesta. Tampilannya yang luar biasa
adalah upaya untuk mengevaluasi keseluruhan pengalaman manusia. Filsafat tidak
menambahkan fakta-fakta baru untuk pengetahuan yang ada. Filsafat mengkaji fakta-fakta
yang diberikan oleh para ilmuwan dan menganalisis makna, interpretasi, signifikansi dan nilai
dari fakta-fakta tersebut. Kebanyakan akan menerima ide bahwa filsafat adalah penyelidikan
yang sistematis dan logis akan kehidupan sehingga mampu membingkai gugusan ide-ide di
mana pengalaman manusia dapat dievaluasi. 5
Jika pendidikan adalah untuk mempromosikan perubahan yang lebih baik, maka
filsafat menentukan apa yang "baik" bagi sebagian masyarakat tertentu atau masyarakat
secara keseluruhan. Filsafat pendidikan, dengan demikian, adalah aplikasi filsafat untuk
mempelajari semua faktor yang mempengaruhi tujuan dan sasaran pendidikan, metode, isi dan
organisasi dalam hal nilai-nilai manusia yang bisa mempengaruhi sifat dan tujuan mereka
serta masyarakat secara luas.6
Ranah Filsafat
Metafisika berkaitan dengan hakikat realitas dan eksistensi. Para idealis melihat
kenyataan dalam terma nirmateri atau spiritual; para realis melihat kenyataan dalam suatu
urutan objektif dalam filsafat pendidikan; metafisika mengkaitkan realitas dengan isi,
pengalaman dan keterampilan dalam kurikulum. Ilmu-ilmu sosial dan alam adalah tempat
yang baik untuk mengajarkan realitas kepada peserta didik.7
Epistemologi berkaitan dengan hakikat pengetahuan dan mengetahui dan berkaitan erat
dengan metode pengajaran dan pembelajaran. Para idealis melihat mengetahui atau
pembelajaran kognitif sebagai penyingkapan dari ide-ide yang laten dalam pikiran. Metode
yang paling tepat adalah metode Socratik di mana guru merangsang siswa dengan
mengajukan pertanyaan yang bertolak dari ide-ide yang tersembunyi dalam pikiran peserta
3
Ibid., 15.
Nunn, T.P., Education: Its Data and First Principles (London, Edward Arnold, 1923)
5
Sellers, R.W., The Principles and Problems of Philosophy (New York: The Macmillan Co., 1926), 3.
6
Dewey, J., Democracy and Education (New York: Simon & Brown, 2011), 386.
7
Ram Nath Sharma, Textbook of Educational Philosophy (New Delhi: Kanishka Publishers, 2002), 72-4, 78.
4
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014
193
didik. Seorang guru yang menggunakan formula realis tentang sensasi dan abstraksi akan
mengembangkan kegiatan kelas yang memanfaatkan rangsangan sensorik. Para pragmatis
percaya bahwa orang belajar dengan berinteraksi dengan lingkungan; karenanya, pemecahan
masalah adalah metode belajar-mengajar yang sangat tepat.8
Aksiologi berkaitan dengan nilai-nilai. Aksiologi terbagi ke dalam etika dan estetika.
Etika bersinggungan dengan nilai-nilai moral dan aturan perilaku yang tepat. Estetika
bersinggungan dengan nilai-nilai, dalam keindahan dan seni, guru dan masyarakat
memberikan reward terhadap perilaku tertentu yang lebih disukai dan menghukum perilaku
yang menyimpang dari konsep apa yang baik, benar dan indah. Para idealis dan realis sepakat
bahwa baik, indah dan benar berlaku secara universal di semua tempat sepanjang masa
sementara para pragmatis percaya bahwa nilai-nilai itu relatif dan bervariasi dalam waktu dan
tempat.9
Aliran-Aliran Filsafat Pendidikan
1. Idealisme
Idealisme adalah filsafat yang menyatakan hakikat spiritual manusia dan alam semesta.
Sudut pandang dasarnya menekankan pada roh manusia, jiwa atau pikiran sebagai unsur
paling penting dalam hidup. Idealisme memandang bahwa baik, benar, dan indah secara
permanen adalah bagian dari struktur alam semesta yang koheren, tertib, dan tidak berubah.
Dalam idealisme, semua realitas direduksi menjadi satu substansi-roh yang fundamental.
Materi itu tidak nyata. Hanya pikiran yang nyata. 10
Implikasi Pendidikan Idealisme:
Tujuan Pendidikan – Pendidikan idealisme bertujuan untuk memberikan kontribusi pada
pengembangan pikiran dan diri. Dengan demikian, sekolah harus menekankan kemampuan
intelektual, moral, penilaian, estetika, realisasi diri, kebebasan individu, tanggung jawab
individu dan kontrol diri.
Kurikulum - Tubuh materi pelajaran yang ideasional dan konseptual ada pada mata
pelajaran yang penting bagi realisasi perkembangan mental dan moral. Materi pelajaran harus
dibuat konstan untuk semua. Matematika, sejarah, dan literasi berada dalam dalam satu
relevansi karena semuanya tidak hanya kognitif tetapi sarat-nilai.11
Metodologi - Metode yang akan digunakan dalam proses pembelajaran harus
mendorong akumulasi pengetahuan dan pemikiran dan harus menerapkan kriteria untuk
evaluasi moral. Meskipun belajar adalah produk dari aktivitas peserta didik sendiri, namun
proses pembelajaran harus dibuat lebih efisien dengan stimulasi yang berasal dari lingkungan
guru dan sekolah. Guru idealis harus fasih dengan berbagai metode dan harus menggunakan
metode tertentu yang paling efektif dalam memperoleh hasil yang diinginkan. Metode yang
8
Amélie Oksenberg Rorty, Philosophers of Education: Historical Perspectives (London & New York:
Routledge, 1998), 13. Lihat juga Muirnead, J.H., The Elements of Ethics (London: John Murray, 1895), 33.
9
Ram Nath Sharma, Textbook of Educational Philosophy, 41-2. Lihat juga Whitehead, A.N., Science and the
Modern World (New York: The Macmillan Co., 1926), 126-27. Bandingkan pula John Dewey, Philosophy and
Civilization (New York: G.P. Putnam's Sons, 1921), 6.
10
Ross, J.S., Ground Work of Educational Theory (London: George G. Harrap&Co., 1949). Lihat juga Ram
Nath Sharma, Textbook of Educational Philosophy, 87-88.
11
Nunn, T.P., Education: Its Data and First Principles (London, Edward Arnold, 1923), 221.
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014
194
disarankan adalah dengan (mengajukan) pertanyaaan dan diskusi, kuliah dan tentu saja,
proyek, baik yang dilakukan secara individu atau kelompok.12
Hubungan guru - peserta didik. Guru harus baik secara mental dan moral dalam perilaku
dan keyakinan. Guru harus melatih keterampilan kreatif dan memberikan kesempatan bagi
pikiran peserta didik untuk menganalisis, menemukan, mensintesis dan menciptakan. Pesrta
didik dianggap belum matang dan perlu mencari perspektif dalam kepribadiannya sendiri.
Guru harus melihat perannya dalam membantu peserta didik untuk mewujudkan kepenuhan
kepribadiannya sendiri.13
2. Realisme
Realisme dapat didefinisikan sebagai posisi filosofis yang menegaskan 1) adanya tujuan
dunia dan permulaan-permulaan di dalamnya; 2) kemampuan mengetahui objek sebagaimana
ia ada dalam dirinya sendiri; 3 kebutuhan akan kesesuaian dengan realitas obyektif dalam
perilaku manusia.14
Kaum realis mengacu unsur-unsur universal manusia yang tidak berubah terlepas dari
waktu, tempat dan keadaan. Ini adalah watak universal yang membentuk unsur-unsur dalam
pendidikan manusia. Menurut kaum realis, pendidikan mengandaikan pengajaran, pengajaran
mengandaikan pengetahuan, pengetahuan adalah kebenaran dan kebenaran adalah sama di
mana-mana. Oleh karena itu, pendidikan di mana-mana harus sama.15
Implikasi Pendidikan Realisme
Tujuan Pendidikan--Tujuan pendidikan adalah untuk memberikan siswa pengetahuan
esensial yang ia butuhkan untuk bertahan hidup di alam.
Kurikulum--Kaum realis percaya bahwa cara yang paling efisien dan efektif untuk
mencari tahu tentang realitas adalah mempelajarinya melalui mata pelajaran yang terorganisir,
terpisah, dan tersusun secara sistematis. Ini disebut pendekatan materi pelajaran pada
kurikulum yang terdiri dari dua komponen dasar, tubuh pengetahuan dan pedagogi yang tepat
yang sesuai dengan kesiapan peserta didik. Kurikulum seni liberal dan disiplin ilmu
matematika terdiri dari sejumlah konsep terkait yang merupakan struktur dari disiplin
tersebut.16
Metodologi--Guru diharapkan menjadi terampil baik dalam materi pelajaran yang ia
ajarkan dan metode mengajarnya untuk peserta didik. Sekolah formal berarti transmisi
pengetahuan dari para ahli untuk kaum muda dan yang belum dewasa. Tugas sekolah
terutama adalah tugas intelektual. Peran kepala sekolah adalah untuk memastikan bahwa guru
tidak terganggu oleh fungsi rekreasi dan sosial dalam melakukan tugas intelektual mereka
dalam merangsang siswa belajar. Di tingkat SD, penekanan ada pada pengembangan
keterampilan untuk membaca, menulis, berhitung dan kebiasaan belajar. Di tingkat menengah
dan perguruan tinggi, tubuh pengetahuan yang dianggap mengandung kebijaksanaan umat
manusia harus ditransmisikan secara otoriter. Siswa akan diminta untuk mengingat,
menjelaskan, membandingkan, menafsirkan dan membuat kesimpulan. Evaluasi sangat
12
Ram Nath Sharma, Textbook of Educational Philosophy, 99-100.
Ibid. Lihat juga Ross, James S. Groundwork of Educational Theory, 121.
14
Ram Nath Sharma, Textbook of Educational Philosophy, 106.
15
Ibid., 107-110.
16
Ibid., 112-3.
13
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014
195
penting, memanfaatkan ukuran objektif. Motivasi bisa dalam bentuk imbalan untuk
memperkuat apa yang telah dipelajari.17
Hubungan guru - peserta didik. Guru adalah orang yang memiliki tubuh pengetahuan
dan yang harus mampu mentransmisikannya kepada siswa. Ini semacam hubungan yang
ditekankan dalam realisme. Pengajaran tidak harus mengindoktrinasi dan proses belajar
mengajar harus berlangsung interaktif. Guru mengoptimalkan minat siswa dengan
mengkaitkan materi pelajaran dengan pengalaman mereka. Guru menjalankan disiplin dengan
memberikan imbalan (reward), dan mengontrol siswa dengan pelbagai aktivitas.18
3. Pragmatisme
Pragmatisme berasal dari kata Yunani pragma, artinya 'sesuatu yang dilakukan, sebuah
fakta yang dipraktekkan'. Doktrin ini menyatakan bahwa arti proposisi atau ide terletak pada
konsekuensi praktisnya. Filsafat ini menekankan bahwa pendidikan telah sia-sia jika tidak
melakukan fungsi sosial yang ditugaskan untuk itu.19
Kaum pragmatis mengklaim bahwa masyarakat tidak dapat memenuhi tugas pendidikan
tanpa sebuah lembaga yang dirancang untuk tujuan tersebut. Sekolah harus menjaga
hubungan intim dengan masyarakat jika ingin memainkan perannya dengan baik. Mereka juga
menegaskan bahwa sekolah harus bertujuan untuk institusi khusus dengan tiga sasaran: (1)
dirancang untuk mewakili masyarakat untuk anak dalam bentuk yang disederhanakan; (2)
selektif secara kualitatif, jika tidak etis, mengingat ia merepresentasikan masyarakat untuk
kaum muda; dan (3) bertanggung jawab dalam memberikan anak pemahaman yang seimbang
dan benar-benar representatif dengan masyarakat.20
Implikasi Pendidikan Pragmatisme
Tujuan Pendidikan. Tujuan pendidikan menurut kaum pragmatis adalah
pengembangan total anak baik melalui pengalaman, kegiatan diri, atau belajar dengan
melakukan (learning by doing). 21
Kurikulum - Kaum pragmatis menganggap bahwa kurikulum harus menawarkan
pelajaran yang memberikan kesempatan bagi berbagai proyek dan kegiatan yang relevan
dengan kebutuhan, kemampuan, dan minat serta kondisi sosial ekonomi peserta didik. 22
Metodologi - Kaum pragmatis percaya bahwa peserta didik harus menjadi pusat dari
semua proses edukatif, suatu konsep berdasarkan prinsip Dewey bahwa pendidikan adalah
kehidupan, pendidikan adalah pertumbuhan, pendidikan adalah proses sosial, dan pendidikan
adalah konstruksi pengalaman manusia.23
4. Perenialisme
"Hakikat manusia tidak pernah berubah; Oleh karena itu pendidikan yang baik juga
tidak harus berubah". Kaum perenialis percaya bahwa ide-ide besar, yang telah berlangsung
selama berabad-abad, masih relevan hingga saat ini dan semestinya menjadi fokus
17
Ibid., 115-6
Lihat Mackenzie, J.S., A Manual of Ethics (London: London University Tutorial Press Ltd., 1929)
19
John Dewey, Reconstruction in Philosophy (London: University of London Press Ltd., 1921), 38.
20
John Locke, An Essay Concerning Human Understanding (London: Oxford University Press, 1960),
Introduction. Lihat juga Ram Nath Sharma, Textbook of Educational Philosophy, 155-158.
21
Ibid.
22
Ibid., 160-1.
23
Ibid., 163.
18
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014
196
pendidikan. Perenialisme adalah teori pendidikan yang sangat dipengaruhi oleh prinsipprinsip realisme. Perenialisme memiliki pandangan yang konservatif / tradisional akan hakikat
manusia dan pendidikan. Kaum perenialis berpendapat bahwa kebenaran bersifat universal
dan tidak berubah, dan, karena itu, pendidikan yang baik juga universal dan konstan. 24
Tujuan Pendidikan - Bagi kaum perenialis, tujuan pendidikan adalah untuk memastikan
bahwa siswa memperoleh pemahaman tentang ide-ide besar dari peradaban Barat. Ide-ide ini
memiliki potensi untuk memecahkan masalah di era apapun.
Kaum perenialis memandang tujuan utama pendidikan adalah mengembangkan
kekuatan pikiran. Mereka melihat tujuan universal pendidikan sebagai pencarian dan
penyebaran kebenaran. Mereka menganggap sekolah sebagai lembaga yang dirancang untuk
mengembangkan kecerdasan manusia.25
Robert Hutchins, juru bicara perenialisme yang paling artikulatif berpendapat bahwa
pendidikan harus menumbuhkan kecerdasan serta pengembangan harmoni dari semua daya
manusia. Tujuan utama pendidikan harus mengembangkan kekuatan pikiran. Dia juga
menggambarkan pendidikan yang ideal adalah pendidikan yang mengembangkan daya
intelektual.
Kurikulum. Fokusnya adalah untuk mengajarkan ide-ide yang kekal, untuk mencari
kebenaran abadi yang konstan, yang tidak berubah, sebagaimana dunia alam dan manusia
sebagai yang paling penting, yang tidak berubah. Mengajar prinsip-prinsip yang tidak berubah
ini
adalah penting. Manusia adalah makhluk rasional, dan pikiran mereka perlu
dikembangkan. Dengan demikian, Pengembangan intelek adalah prioritas tertinggi dalam
pendidikan. Kurikulum berfokus pada pencapaian melek budaya, menekankan pertumbuhan
siswa dalam disiplin abadi. Prestasi paling mulia dari manusia harus ditekankan - karya besar
sastra dan seni, hukum atau prinsip-prinsip ilmu pengetahuan.
Kaum perennialis memandang pendidikan sebagai proses berulang berdasarkan
kebenaran abadi; dengan demikian, kurikulum sekolah harus menekankan tema-tema
berulang kehidupan manusia. Kurikulum harus memuat pelajaran kognitif yang
menumbuhkan rasionalitas dan studi moral, estetika, dan prinsip-prinsip agama untuk
mengembangkan dimensi sikap. Kaum perenialis lebih memilih kurikulum materi pelajaran
yang meliputi sejarah, bahasa, matematika, logika, sastra, humaniora, dan ilmu pengetahuan. 26
Filsafat pendidikan Robert Hutchins didasarkan pada premis bahwa hakikat manusia
adalah rasional, dan pengetahuan menduduki kebenaran yang tidak berubah, mutlak, dan
universal. Dia menekankan bahwa pendidikan harus bersifat universal karena rasionalitas
hakikat manusia adalah universal. Hutchins menganjurkan kurikulum yang terdiri dari
muatan-muatan yang permanen dan abadi. Dia sangat menganjurkan studi pada warisanwarisan klasik, atau karya-karya besar Peradaban Barat. Dia percaya bahwa membaca dan
mendiskusikan buku besar berguna dalam mengembangkan intelek dan menyiapkan siswa
untuk berpikir hati-hati dan kritis. Selain itu, ia juga menganjurkan studi tentang tata bahasa,
retorika, logika, matematika, dan filsafat.
24
William Edwin Segall, Anna Victoria Wilson, Introduction to Education: Teaching in a Diverse Society (New
York: Rowman & Littlefield Publishers, Inc., 2004), 156.
25
Ibid.
26
Rosalinda A.San Mateo and Maura G. Tangco, Foundation of Education II: Historical, Philosophical, and
Legal Foundation of Education (Quezon City: Katha Publishing Co., Inc., 2013), 78-9.
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014
197
Pendek kata, perenialisme mewakili pandangan teoritis konservatif yang berpusat pada
otoritas tradisi dan warisan-warisan klasik. Di antara prinsip-prinsip utama pendidikan adalah:
1. Kebenaran adalah universal dan tidak tergantung pada keadaan tempat, waktu, atau orang;
2. Pendidikan yang baik melibatkan pencarian dan pemahaman tentang kebenaran;
3. Kebenaran dapat ditemukan dalam karya besar peradaban; dan
4. Pendidikan adalah latihan liberal yang mengembangkan intelek.27
Metode. Kurikulum pendidikan perenialis berpusat pada materi, menggambarkan
pentingnya pada disiplin sastra, matematika, bahasa, sejarah dan humaniora. Kaum perenialis
menunjukkan bahwa cara terbaik untuk mencapai pengetahuan abadi adalah melalui studi
tentang karya-karya besar Peradaban Barat. Metode bisa dengan membaca dan mendiskusikan
karya-karya besar yang, pada gilirannya, disiplin, disiplin pikiran. Guru, dengan demikian,
harus menjadi orang yang sudah menguasai disiplin/materi, yang adalah seorang guru master
dalam hal mengarahkan pada kebenaran dan tidak memiliki karakter tercela. Guru harus
dilihat sebagai otoritas dan keahliannya tidak lagi dipertanyakan. Peran sekolah adalah
melatih pribadi-pribadi intelektual yang suatu hari akan menjadi pelita harapan di masanya
mendatang.
Para pendukung filsafat pendidikan ini adalah Robert Maynard Hutchins yang
mengembangkan program Karya Besar tahun 1963 dan Mortimer Adler, yang selanjutnya
mengembangkan kurikulum ini didasarkan pada 100 buku besar peradaban barat.
5. Esensialisme
Esensialisme adalah pendekatan tradisional pada pendidikan yang sering disebut
sebagai "Kembali ke Dasar". Pada dasarnya, kaum esensialis berkepentingan dengan
kebangkitan upaya dengan mengajarkan alat pembelajaran sebagai jenis yang paling tak
terpisahkan dari pendidikan. Kaum esentialis percaya bahwa ada inti pengetahuan umum yang
perlu ditransmisikan kepada siswa secara sistematis, disiplin. Penekanan dalam perspektif
konservatif ini adalah pada standar intelektual dan moral yang harus diajarkan oleh sekolah. 28
Tujuan Pendidikan. Kaum esensialis menganggap tujuan pendidikan harus
mengarahkan manusia pada terbentuknya lembaga pendidikan baik swasta maupun negeri
yang adil, terampil dan murah hati. Pembelajaran informal membantu, tapi ini seharusnya
hanya pelengkap dan sekunder. Kaum esentialis percaya bahwa keterampilan, pengetahuan
dan sikap yang dibutuhkan oleh individu yang bersesuaian dengan realitas kehidupan harus
direncanakan secara sistematis. Mereka menekankan otoritas guru dan nilai kurikulum materi
pelajaran.29
Kaum essensialis menyemaikan benih-benih program pendidikan mereka demi
terbentuknya 1) sebuah kurikulum yang baik; 2) penekanan pada sastra, matematika, sejarah,
dll; 3. nilai-nilai pendidikan prasangka; dan 4) pendidikan sebagai adaptasi individu pada
pengetahuan mutlak yang ada secara independen dari individu. 30
Kurikulum. Inti dari kurikulum adalah pengetahuan and keterampilan esensial serta
kekakuan akademis. Meskipun, filsafat pendidikan ini mirip dalam beberapa cara dengan
27
Ibid.
William Edwin Segall and Anna Victoria Wilson, Introduction to Education, 156.
29
Deborah A. Harmon & Toni Stokes Jones, Elementary Education: A Reference Handbook (California: ABCCLIO, Inc., 2005), 46.
30
Lihat M.L. Dhawan, Philosophy of Education (New Delhi: Isha Books, 2005), 72-3.
28
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014
198
perenialism. Kaum esentialis menerima gagasan bahwa kurikulum inti mungkin dapat
berubah. Sekolah harus praktis, mempersiapkan siswa untuk menjadi anggota yang berharga
dari masyarakat. Sekolah harus fokus pada fakta - realitas objektif di luar sana - dan yang
"mendasar", melatih siswa untuk membaca, menulis, berbicara, dan menghitung dengan jelas
dan logis. Sekolah seharusnya tidak mengatur atau mempengaruhi kebijakan. Siswa harus
diajarkan kerja keras, menghormati otoritas, dan disiplin.31
Kurikulum esensialis termasuk disiplin tradisional mulai dari matematika, sejarah, ilmu
pengetahuan alam, bahasa asing dan sastra. Pendidikan kejuruan dan filsafat dianggap tidak
perlu. Kurikulum esensialis menekankan pentingnya nilai-nilai moral tradisional yang bisa
mengantarkan siswa menjadi warga negara terhormat. Program akademik esensialis cukup
ketat.
Kaum esensialis percaya bahwa disiplin intelektual adalah fondasi penting kehidupan
modern. Sekolah memiliki tanggung jawab untuk menyalurkan akumulasi pengalaman
manusia menjadi disiplin yang terorganisir, koheren dan tersendiri. Menguasai disiplin ilmu
dasar ini akan memungkinkan siswa dalam memecahkan masalah pribadi, sosial dan
kemasyarakatan.32
Di antara tema-tema umum ditemukan dalam sudut pandang kaum esensialis adalah: (1)
kurikulum SD harus bertujuan untuk menumbuhkan keterampilan alat dasar yang
berkontribusi terhadap literasi dan penguasaan perhitungan aritmatika; (2) kurikulum
sekunder harus mengembangkan kompetensi dalam materi sejarah, matematika, ilmu
pengetahuan, bahasa Inggris dan bahasa asing; (3) sekolah membutuhkan disiplin dan
menghormati otoritas yang sah; dan (4) belajar membutuhkan kerja keras dan perhatian yang
penuh disiplin.33
Metode. Ruang kelas tidak lebih dioreientasikan bagi guru dalam perhatiannya pada
kepentingan siswa. Nilai tes prestasi didasarkan sebagai sarana mengevaluasi kemajuan.
Maksud dari kurikulum esensialis adalah untuk membentuk siswa yang setelah lulus, akan
memiliki keterampilan dasar, memiliki pengetahuan tentang berbagai mata pelajaran dan siap
untuk menerapkan apa yang telah mereka pelajari ke dunia nyata.
Kaum esensialis tidak percaya dalam membangun generalisasi dengan metode induksi
yang lambat, melainkan dengan membimbing siswa dalam beberapa jam atau hari dalam
penguasaan hukum dan prinsip-prinsip umum kemudian menggunakan hukum dan prinsipprinsip tersebut dalam pemecahan masalah yang segera dan mendesak. Kaum esensialis
mengupayakan metode yang paling efektif dalam membentuk kebiasaan dan mengembangkan
keterampilan; dengan demikian, latihan menyelesaikan soal-soal memiliki kedudukan yang
penting di dalam kelas.
Kaum esensialis menekankan perlunya mengajar siswa bagaimana berpikir sistematis
dan efektif. Mereka percaya bahwa pemikiran yang efektif tidak dapat berlangsung dengan
melihat dunia secara massal atau dengan mengangkat pengetahuan sedikit demi sedikit.
Metode analisis yang sistematis dan sintesis sistematis harus digunakan; elemen penting
31
Ibid.
Ibid.
33
Earle F. Zeigler and Harold J. Vanderzwaang, Physical Education: Progressivism or Essentialism (Campaign:
Stipes Publishing Company, 1968), 67-71.
32
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014
199
pengetahuan harus harus disusun dalam keutuhan bermakna, dengan memperhatikan
keterkaitan masing-masing entitas tersebut.
Kaum esensialis mengakui bahwa minat adalah kekuatan memotivasi yang kuat dalam
belajar. Belajar, bagaimanapun, tidak harus benar-benar dihilangkan dari pendidikan anak.
Dalam pandangan ini, guru harus dikembalikan ke otoritas instruksional. Mereka harus
disiapkan dengan baik, dan bertanggung jawab atas kegagalan anak-anak dalam belajar.
Instruksi harus diarahkan untuk pembelajaran yang terorganisir. Metode pengajaran harus
berpusat pada tugas rutin, pekerjaan rumah, tilawah, dan seringnya memberikan tes dan
evaluasi.
Para pendukung esensialisme adalah: William Bagley, James D. Koerner, HG Rickover,
Paul Copperman, dan Theodore Sizer.34
6. Progresivisme
Teori pendidikan progresivisme ini berbeda dengan pandangan tradisional seperti
esensialisme dan perenialisme. Gerakan Thailand adalah bagian dari gerakan reformasi umum
yang mencirikan kehidupan Amerika di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Gerakan yang
sering dikaitkan dengan pragmatisme John Dewey atau experimentalisme, menekankan
pandangan bahwa semua proses belajar-mengajar harus berpusat pada kepentingan dan
kebutuhan anak.
Dalam "Demokrasi dan Pendidikan" Dewey, ia menguraikan bahwa pendidikan yang
benar-benar progresif memerlukan filsafat berdasarkan pengalaman, interaksi orang dengan
lingkungannya. Seperti filsafat eksperiensial seharusnya tidak menetapkan tujuan-tujuan
eksternal, tapi, lebih tepatnya, produk akhir dari pendidikan adalah keberlangsungan
pengalaman yang memperantarai arah dan kontrol pengalaman berikutnya. Sesungguhnya
pendidikan progresif tidak mengabaikan masa lalu, tetapi menggunakannya untuk
mengarahkan pengalaman masa depan.35
Tujuan Pendidikan. Tujuan pendidikan progresif adalah untuk memenuhi kebutuhan
anak yang sedang tumbuh. Sekolah harus menjadi tempat untuk belajar yang
menyenangkan.36
Kurikulum. Konten kurikulum berasal dari minat dan kecenderungan siswa. Metode
ilmiah digunakan oleh pendidik progresif sehingga siswa dapat belajar materi dan peristiwa
secara sistematis. Penekanannya adalah pada proses-bagaimana seseorang sampai pada suatu
pengtahuan / pemahaman. John Dewey adalah pendukung utama aliran filsafat ini. Salah satu
prinsipnya adalah bahwa sekolah harus memperbaiki cara hidup warga melalui pengalaman
kebebasan dan demokrasi di sekolah-sekolah. Pengambilan keputusan bersama, perencanaan
guru dengan siswa, topik-dipilih siswa. Buku hanyalah alat, bukan otoritas.37
Kaum progresif umumnya tidak tertarik dalam kurikulum yang sudah disiapkan dan
dirancang untuk mentransmisikan pengetahuan kepada siswa. Sebaliknya, kurikulum itu
bertolak dari minat dan kecenderungan anak sehingga pembelajaran akan aktif, menarik dan
bervariasi. Isi materi pelajaran dilakukan oleh guru dan siswa sebagai proyek kelompok atau
upaya kerjasama. Proyek siswa didasarkan pada pengalaman bersama mereka bersama
34
Ibid.
Lihat John Dewey, Reconstruction in Philosophy, 38.
36
Deborah A. Harmon & Toni Stokes Jones, Elementary Education, 46.
37
Ibid., 47.
35
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014
200
sehingga menolak hambatan baik kelas, ras, atau keyakinan. Guru bertugas sebagai fasilitator
sedangkan siswa bekerja pada proyek-proyek mereka dan menyarankan cara lain untuk
melakukan proyek tersebut.38
Pendidikan progresif meninggalkan warisan yang ditandai dengan:
1. Penekanan pada anak sebagai peserta didik, bukan pada materi pelajaran;
2. Penekanan pada anak sebagai pesrta didik, bukan pada ketergantungan buku teks dan
hafalan;
3. Pembelajaran kooperatif, bukan pemblajaran kompetitif;
4. Tidak adanya rasa takut dan hukuman untuk tujuan disiplin.
Metode. Kaum progresif percaya bahwa pendidikan harus fokus pada seluruh anak,
bukan pada konten lain atau guru. Filsafat pendidikan ini menekankan bahwa siswa harus
menguji ide dengan percobaan aktif. Belajar berakar pada pertanyaan peserta didik yang
muncul melalui pengalaman. Belajar bersifat aktif, tidak pasif. Pesrta didik adalah pemecah
masalah dan pemikir yang membuat makna melalui pengalaman individualnya dalam konteks
fisik dan budaya. Guru yang efektif memberikan pengalaman sehingga siswa dapat belajar
dengan melakukan.39
7. Rekonstruktionisme
Sementara kaum progresif menekankan individualitas anak, maka kaum
rekonstruktionis lebih peduli dengan perubahan sosial. Mereka percaya bahwa sekolah harus
menghasilkan kebijakan dan kemajuan yang akan membawa reformasi tatanan sosial, dan
guru harus menggunakan kekuasaan mereka untuk memimpin yang muda dalam program
reformasi sosial. Kaum rekonstruktionis setuju filsafat pendidikan yang berbasis pada budaya
dan tumbuh dari pola budaya tertentu terkondisikan oleh kehidupan pada waktu tertentu di
tempat tertentu. Mereka percaya bahwa budaya adalah dinamis, bahwa manusia dapat
membentuk kembali budaya-nya sehingga ia membuka kemungkinan optimal untuk
pembangunan.40
Kaum rekonstruktionis mengatakan bahwa umat manusia dalam keadaan krisis budaya.
Jika sekolah merefleksikan budaya mereka, maka pendidikan hanya akan menularkan
penyakit sosial.41
Masyarakat harus merekonstruksi nilai-nilainya, dan pendidikan memiliki peran besar
dalam menjembatani kesenjangan antara nilai-nilai budaya dan teknologi. Adalah tugas
sekolah untuk mendorong penyelidikan kritis terhadap warisan budaya dan menemukan
unsur-unsur yang akan dibuang dan unsur-unsur yang harus diubah.42
Tujuan Pendidikan. Pendidikan, bagi kaum rekonstruktionis bertujuan membangkitkan
kesadaran siswa tentang masalah sosial dan untuk secara aktif terlibat dalam pemecahan
masalah. Guru dan sekolah harus memulai penyelidikan kritis terhadap budaya mereka
sendiri. Sekolah-sekolah harus mengidentifikasi kontroversi dan inkonsistensi yang ada dan
mencoba memecahkan masalah-masalah kehidupan nyata. Kaum rekonstruktionis percaya
38
H. Rohrs and V. Lenhart (Eds), Progressive Education Across the Continents (Frankfurt am Main: Peter Lang,
1995)
39
Wilfred Carr, The Routledge Falmer Reader in Philosophy of Education (London: RoutledgeFalmer, 2005)
40
Deborah A. Harmon & Toni Stokes Jones, Elementary Education, 48.
41
Ibid.
42
Ibid.
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014
201
bahwa sekarang ada kebutuhan untuk kemerdekaan internasional. Perang polusi dan nuklir
tidak terbatas pada satu tempat tetapi dalam lingkup internasional.
Kurikulum. Kurikulum rekonstruksionis harus mencakup unsur-unsur pembelajaran
untuk hidup dalam lingkungan global. Dengan demikian, kaum rekonstruktionis mengusulkan
kebijakan pendidikan yang berkaitan dengan masalah nasional dan internasional sebagai alat
untuk mengurangi konflik dunia.
Sekolah, oleh karena itu, menjadi pusat kontroversi di mana siswa dan guru
menekankan dan mendorong diskusi tentang isu-isu kontroversial dalam agama, ekonomi,
politik dan pendidikan; diskusi ini tidak hanya latihan intelektual.
Metode.
Kaum
rekonstruksionis
umumnya
akan
berusaha
untuk
menginternasionalisasikan kurikulum sehingga peserta didik akan belajar bahwa mereka
hidup di sebuah desa global. Sekolah dan guru menjadi insinyur sosial yang merencanakan
tindakan untuk sampai pada tujuan yang ditetapkan. Metode kelas akan berorientasi pada
masalah - siswa diminta untuk menyelidiki secara kritis warisan budaya. Guru serta siswa
membahas isu-isu kontroversial dan mereka didorong untuk berkomitmen dan aktif dalam
perubahan sosial. Siswa dan guru berpartisipasi dalam program perubahan sosial, pendidikan,
politik dan ekonomi sebagai sarana pembaharuan budaya secara keseluruhan. Kelas menjadi
laboratorium percobaan pada praktek sekolah yang akan memungkinkan manusia untuk
menangani masalah krisis budaya akut dan disintegrasi sosial.
8. Eksistensialisme
Eksistensialisme adalah cara melihat dan berpikir tentang kehidupan di dunia sehingga
lebih memprioritaskan pada individualisme dan subjektivitas. Kaum eksistensialis percaya
bahwa manusia adalah pencipta esensinya sendiri; ia menciptakan nilai sendiri melalui
kebebasan memilih atau preferensi individual. Pengetahuan yang paling penting bagi manusia
adalah pengetahuannya tentang realitas kehidupan berikut pilihan-pilihan hidup yang harus ia
ambil. Pendidikan adalah proses manusia dalam mengembangkan kesadaran akan kebebasan
memilih dan makna serta tanggung jawab.43
Tujuan Pendidikan. Pendidikan harus menumbuhkan intensitas kesadaran peserta didik.
Mereka harus belajar untuk mengakui bahwa sebagai individu mereka secara terus-menerus,
bebas, tanpa dasar, dan kreatif menentukan kebebasannya untuk memilih. Pendidikan harus
peduli dengan pengalaman yang efektif, dengan unsur-unsur pengalaman yang subjektif dan
personal. Tujuan pendidikan tidak dapat ditentukan di muka ataupun dipaksakan oleh guru
melalui sistem sekolah. Setiap orang memiliki tanggung jawab untuk menentukan
pendidikannya sendiri.44
Kurikulum. Mata pelajaran hanyalah alat bagi realisasi subjektivitas. Belajar tidak
ditemukan dalam struktur pengetahuan maupun dalam disiplin yang terorganisir, tetapi dalam
kesediaan siswa untuk memilih dan memberi makna terhadap subjek/mata pelajaran.45
Kesimpulan
43
Ram Nath Sharma, Textbook of Educational Philosophy, 169.
Ibid., 176.
45
Ibid., 177.
44
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014
202
Filsafat menyediakan kerangka bagi pengorganisasian sekolah dan kegiatan / proses
belajar mengajar. Filsafat menjawab pertanyaan tentang tujuan sekolah, mata pelajaran, dan
bagaimana siswa belajar. Filsafat adalah dasar atau titik awal dalam pengembangan
kurikulum. Ada tiga cabang utama bidang filsafat yaitu metafisika, epistemologi, dan
aksiologi.
Metafisika berkaitan dengan pertanyaan tentang hakikat realitas. Metafisika secara
harfiah berarti "melampaui yang fisikal" dan berkaitan dengan pertanyaan seperti, "Apa itu
realitas?" Metafisika adalah upaya untuk menemukan koherensi di seluruh bidang pemikiran
dan pengalaman. Dalam dunia guru kelas, manajemen kelas mungkin paling banyak
terpengaruh oleh keyakinan-keyakinan metafisik.
Epistemologi berkaitan dengan pertanyaan tentang hakikat pengetahuan. Epistemologis
mencoba untuk menemukan apa yang terlibat dalam proses mengetahui. Apakah mengetahui
merupakan jenis khusus tindakan mental? Dapatkah orang mengetahui segala sesuatu di luar
objek-objek yang 'terindra'? Keyakinan epistemologis mengemuka dalam kebijakan kurikuler
dan instruksional. Guru harus memahami bagaimana siswa belajar dan kurikulum macam apa
yang mereka butuhkan.
Aksiologi berkaitan dengan pertanyaan tentang hakikat nilai-nilai. Kajian terhadap nilainilai ini terbagi ke dalam etika (nilai-nilai moral dan perilaku) dan estetika (nilai-nilai dalam
bidang keindahan dan seni).
Guru kelas harus memutuskan etika yang bagaimana yang harus diajarkan di sekolah.
Keyakinan etis guru mempengaruhi keputusan tentang disiplin dan penilaian. Estetika dapat
mempengaruhi keputusan tentang jenis seni / artistik seperti apa yang harus menjadi bagian
dari kurikulum.
Ada delapan filsafat atau teori pendidikan: Idealisme, Realisme, Pragmatisme,
Perenialisme, Esensialisme, progresivisme, Rekonstruksionism, dan Eksistensialisme.
Idealisme. Kaum idealis percaya bahwa kata materi terus berubah, bahwa ide-ide tidak
hanya realitas sejati, dan bahwa ide-ide tak lekang oleh waktu. Guru idealis melihat mata
pelajaran tertentu sangat berpengaruh dalam merangsang pemikiran dan mengembangkan
identifikasi dengan warisan budaya. Tubuh intelektual yang ideasional dan konseptual pada
mata pelajaran adalah untuk realisasi perkembangan mental dan moral. Mata pelajaran tidak
boleh dibuat konstan untuk semua. Matematika, sejarah, dan sastra menduduki posisi penting
karena semua itu tidak hanya kognitif tetapi sarat nilai.
Realisme. Kaum realis mengacu pada unsur-unsur universal manusia yang tidak
berubah terlepas dari waktu, tempat dan keadaan. Pendidikan mengandaikan pengajaran,
pengajaran mengandaikan pengetahuan, pengetahuan adalah kebenaran dan kebenaran adalah
(berlaku) sama di mana-mana.
Kaum realis percaya bahwa cara yang paling efisien dan efektif untuk mencari tahu
tentang realitas adalah mempelajarinya melalui materi pelajaran yang terorganisir, terpisah,
dan tersusun secara sistematis.
Pragmatisme. Kaum pragmatis meyakini pentingnya penerapan pengetahuan praktis.
Siswa di kelas pragmatis menunjukkan keberhasilan melalui keterampilan seperti pemecahan
masalah dan penerapan metode ilmiah. Konstruktivisme didasarkan pada pragmatisme.
Perenialisme. Perenialisme mewakili pandangan teoritis konservatif yang berpusat pada
otoritas tradisi dan klasik. Di antara prinsip-prinsip utama pendidikan adalah: (1) kebenaran
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014
203
itu universal dan tidak tergantung pada keadaan tempat, waktu, atau orang; (2) pendidikan
yang baik melibatkan pencarian dan pemahaman tentang kebenaran; (3) kebenaran dapat
ditemukan dalam karya-karya agung peradaban; dan (4) pendidikan adalah latihan liberal
yang mengembangkan intelek.
Esensialisme berfokus pada pengajaran pengetahuan akademik dan moral apapun yang
diperlukan untuk anak-anak untuk menjadi warga negara yang produktif. Esensialisme adalah
teori pendidikan konservatif dan muncul bertentangan dengan pendidikan progresif. Kaum
essentialis mendesak agar sekolah kembali ke dasar-dasar. Mereka percaya pada kurikulum
inti yang kuat dan standar akademik yang tinggi.
Tujuan esensialisme adalah untuk mentransmisikan warisan budaya dan
mengembangkan warga negara yang baik. Sekolah adalah tempat di mana anak-anak bisa
mempelajari apa yang mereka perlu tahu, dan guru adalah orang yang dapat mengajarkan
kepada siswa dalam hal-hal penting.
Progresivisme sebagian besar didasarkan pada keyakinan bahwa pelajaran harus tampak
relevan dengan minat dan kebutuhan siswa. Sehingga kurikulum sekolah progresif tersusun
berdasarkan pengalaman personal, minat, dan kebutuhan para siswa. Guru adalah “guide on
the side”, bukan “sage on the stage.” Kaum progresif mendukung strategi pembelajaran
seperti pembelajaran kooperatif dan rangsangan di mana siswa menjadi aktor utama.
Rekonstruksionisme adalah teori pendidikan yang menyerukan sekolah untuk
mengajarkan orang untuk mengontrol lembaga dan harus diatur sesuai dengan cita-cita
demokrasi. Kaum rekonstruksionist kontemporer memandang sekolah sebagai kendaraan
untuk perubahan sosial. Siswa harus diajarkan menganalisis peristiwa dunia, mengeksplorasi
isu-isu kontroversial, dan mengembangkan visi untuk dunia baru dan yang lebih baik.
Eksistensialisme. Kaum eksistensialis percaya bahwa manusia adalah pencipta
esensinya sendiri; ia menciptakan nilai-nilainya sendiri melalui kebebasan memilih atau
preferensi individual. Jenis pengetahuan yang paling penting adalah tentang realitas
kehidupan manusia dan pilihan yang setiap orang harus ambil.
Pendidikan adalah proses mengembangkan kesadaran tentang kebebasan memilih dan
makna serta tanggung jawab untuk pilihan seseorang. Subyek hanyalah alat bagi realisasi
subjektivitas. Belajar tidak ditemukan dalam struktur pengetahuan maupun dalam disiplin
yang terorganisir, tetapi dalam kesediaan siswa untuk memilih dan memberi makna terhadap
subjek materi.
Daftar Rujukan
A.N., Whitehead, Science and the Modern World. New York: The Macmillan Co., 1926.
Amélie Oksenberg Rorty, Philosophers of Education: Historical Perspectives (London &
New York: Routledge, 1998.
Brightman E.S., Introduction to Philosophy. New York,Henery Holt&Co., 1925.
Carr, Wilfred, The Routledge Falmer Reader in Philosophy of Education. London:
RoutledgeFalmer, 2005.
Dewey, J., Democracy and Education. New York: Simon & Brown, 2011.
Dhawan, M. L. Philosophy of Education. New Delhi: Isha Books, 2005.
Ducasse, C.J., Philosophy of Art. New York: Dial Press, 1929.
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014
204
Griese, A.A, Your Philosopby of Education: What is it?. Santa Monica, CA: Goodyear
Publishing, 1981.
Hargreaves, A., Changing Teachers, Changing Times: Teachers Work and Culture in the
Postmodern Age. NewYork:Teachers College Press, 1994.
Harmon, Deborah A. & Jones, Toni Stokes. Elementary Education: A Reference Handbook.
California: ABC-CLIO, Inc., 2005.
Locke, John. An Essay Concerning Human Understanding. London: Oxford University Press,
1960.
Mackenzie, J.S., A Manual of Ethics. London: London University Tutorial Press Ltd., 1929.
Mateo, Rosalinda A.San. and Tangco, Maura G. Foundation of Education II: Historical,
Philosophical, and Legal Foundation of Education. Quezon City: Katha Publishing Co.,
Inc., 2013.
Nunn, T.P., Education: Its Data and First Principles. London, Edward Arnold, 1923/
--------Reconstruction in Philosophy. London, University of London Press Ltd., 1921.
Rohrs H. and Lenhart, V. (Eds), Progressive Education Across the Continents. Frankfurt am
Main: Peter Lang, 1995.
Ross, J.S., Ground Work of Educational Theory. London: George G. Harrap&Co., 1949.
Rusk, Robert R. Philosophical Bases of Education. London: University of London Press,
1956.
Segall, William Edwin and Wilson, Anna Victoria. Introduction to Education: Teaching in a
Diverse Society. New York: Rowman & Littlefield Publishers, Inc., 2004.
Sellers, R.W., The Principles and Problems of Philosophy. New York: The Macmillan Co.,
1926.
Sharma, Ram Nath. Textbook of Educational Philosophy. New Delhi: Kanishka Publishers,
2002.
Zeigler, Earle F. and Vanderzwaang, Harold J., Physical Education: Progressivism or
Essentialism (Campaign: Stipes Publishing Company, 1968.
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014
Download
Study collections