IPAC, 8 Mei 2014 IPB Bogor Pada prinsipnya, perlindungan hak masyarakat adat dan reformasi agraria keduaduanya adalah tujuan penting di Indonesia dan perlu diperjuangkan Baik masyarakat adat, maupun banyak kelompok petani miskin, sudah menjadi korban dari beberapa kebijakan Orde Baru dan era reformasi yg berakibat perampasan tanah ulayat dan/atau penggusuran dan/atau penipuan dan janjijanji yg tidak dipenuhi Bener juga bahwa ada banyak overlap dari dua kelompok ini. Hanya, untuk mencapai keadilan sosial untuk mereka, gerakan reformasi agraria dan gerakan hak adat kadang2 bisa bertentangan…. Yang satu ingin redistribusi tanah supaya sebanyak mungkin bisa bermanfaat. Faktor terpenting adalah “class” atau status socioekonomik, tanpa melihat soal etnis. Yang lain ingin mengendalikan, mengelola dan memanfaatkan tanah dan kekayaannya untuk klmpk “yang hidup berdasarkan asal-usul leluhur secara turuntemurun diatas suatu wilayah adat” (AMAN) Daerah perkebunan Daerah trans sejak jaman Belanda Mobilitas penduduk sangat tinggi Areal tanah untuk petani makin sedikit Siapa saja bisa menjadi masyarakat adat dengan membeli kartu keanggotaan, walaupun dari suku Jawa atau Bali Ada strategi mendatangkan orang luar untuk memperkuatkan massa Ada fenomena “lembaga adat palsu” pendatang rugi, karena tanah adat akan dikembalikan hanya kepada mereka yg bisa membuktikan bahwa mereka betul2 orang asli (misanya, Suku Anak Dalam) masyarakat adat rugi, karena tanah yg diperkirakan punya leluhur harus dibagi dgn ratusan KK diluar kelompok. Apakah ada win-win solution? Petani, bukan nomad yg tinggal di hutan Suku Anak Dalam Jumlah penuntut pada awalnya 113 KK Tanahnya (3,550 ha) diambil thn 1986 dgn HGU diberi kepada PT yg sekarang namanya PT Asiatic Persada Secara resmi, baru 1992 tanah dibebaskan dari Kehutanan Ada yg digusur, ada yg coba bertahan Ada sebagian yg dikasi gantirugi, tapi sekarang tidak jelas siapa Proses penuntutan mulai setelah Reformasi. Sejak awalnya, SAD113 tidak menolak sawit – yg mrk menolak ada perampasan tanah. Tahun 2000-01, CDC menawarkan 1000 ha dgn “kemitraan” kpd SAD, 400 ha di bagian utara (SAD113) dan 600 ha di bagian selatan. Awalnya diterima, tapi info yg lengkap tidak ada, tapi dengan keterlambatan implementasi dan penghancuran tempat makam dll, mrk mulai menolak. 2006: Wilmar menawar 1,000 ha kepada semua penuntut (30 klmpk yg berkonflik dgn PT Asiatic), bukan SAD113 saja, diluar HGU utama. SAD113 menolak. Beberapa peristiwa kekerasan dan penggusuran Tahun 2007, STN masuk 2008, secara terpisah, beberapa LSM untuk membantu melalui lokal dan internasional minta tolong dari “Compliance Advisory Ombudsman” (CAO), pendekatan kpd BPN bagian dari IFC yg menolong investasi Wilmar. Negosiasi dgn sbg besar klmpk SAD113 kolaps pada 4/11, walaupun ada brp yg masih berlanjut Spots Konflict Hingga sekarang Kel. Terawang Tanah Menang P.Tinggi SAD, dan masyarakat Bungku menduduki lahan yg ditanam PT AP secara illegal SAD Mat Ukup Padang salak SAD Tanjung Lebar, Penyerokan menduduki kemitraan 600 Ha SAD Simp. Macan SAD Beruang Tani Persada/Kopkan Hipsi SERIKAT TANI NASIONAL Tujuan: Reformasi agraria, membangun basis politik untuk PRD (melihat ke 2019) Taktik: Aksi massa (long march, occupy tanah, occupy kantor pemerintah/DPR), cari media coverage Klien: campuran SAD dan pendatang Insentif untuk memasukkan KK sebanyak mungkin untuk memperkuatkan gerakan Hasil: Pengakuan BPN Pusat bahwa 3,550 harus dikembalikan LSM YG LEBIH TERARAH KEPADA HAK MASYARAKAT ADAT Tujuan: Pengembalian tanah ulayat kpd pemiliknya Taktik: Negosiasi dgn perusahaan Klien: masyarakat adat Insentif untuk mempertahankan klmpk pada masy.adat saja spy nanti kalau dikembalikan tanahnya, yg bermanfaat adalah korban perampasannya. Hasil: Pengakuan dari perusahaan bahwa satu2nya cara untkmenyelesaikan konflik adalah untuk menyerahkan tanah – walupun bukan tanah yg dituntut. Pada saat yg sama, UU7/2012 ttg Konflik Sosial keluar, dgn konsep tim terpadu Pemprov, yg dulu agak bersimpati dgn SAD113, menyerahkan wewenang ke kabupaten Pemilik baru dari PT Asiatic menyediakan 2,000 ha untuk pola “kemitraan”, hanya kepada yg bisa diverifikasi sbg SAD. Sekda menganjurkan SAD113 untuk menerima tawaran sambil menunggu implementasi ttg tanah seluruhnya. SAD113 makin terpecahbelah Banyak KK mulai merasa bahwa 2ha per KK lebih baik dari nol: BPN pusat jelas tidak punya wewenang untuk menegakkan keputusannya “TOTAL 61 ORANG NILAI TRANSAKSI Rp.421,700,000.” Jumlah KK penuntut naik dari sekitar 500KK menjadi 1,400 KK dalam dua tahun terakhir, banyak diantaranya bukan SAD Banyak datang atas harapan – dan kadang2 dgn pembayaran uang – bahwa mereka bisa dapat tanah. Penjualan/spekulasi tanah bertanggungjawaban siapa? Kalau misalnya saja 3,550 dikembalikan, apakah potensi konflik tidak lebih besar dgn begitu banyak pendatang yg masuk dan akhirnya akan ditolak menikmati hasilnya? Apakah kepentingan parpol tertentu (PRD) bisa selalu dicocokan dgn kepentingan petani? Tetapi apakah bisa, dalam suatu daerah konflik dimana tanah ulayat adalah tanah yg dirampas, sekaligus memperjuangan baik hak adat maupun reformasi agraria? Kalau ya, cara terbaik bagaimana? Kalau tidak, solusi lainnya apa? Keep the two movements separate? Memperkuatkan BPN? Memperkuatkan UKP4 dan proyek “satu peta”? Mendirikan komisi land restitution seperti di African Selatan? Yang penting untuk mengerti betapa rumitnya masalahnya – tidak bisa disimplifikasi menjadi hany adua pihak, petani yg baik dan perusahaan yg buruk.