TEKNIK PERMAINAN SARUNE PAKPAK OLEH BAPAK KERTA SITAKAR SKRIPSI SARJANA O L E H NAMA: TUMPAL H.F.M. SARAGIH NIM: 070707021 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN 2013 TEKNIK PERMAINAN SARUNE PAKPAK OLEH BAPAK KERTA SITAKAR OLEH: NAMA: TUMPAL H.F.M. SARAGIH NIM: 070707021 Dosen Pembimbing I, Dosen Pembimbing II, Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D. Drs. Kumalo Tarigan, M.A. NIP 196512211991031001 NIP 195812131986011002 Skripsi ini diajukan kepada Paniti Ujian Fakultas Ilmu Budaya USU Medan, untuk melengkapi salah satui syarat Ujian Sarjana Seni dalam bidang disiplin Etnomuskologi UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN 2013 ii PENGESAHAN DITERIMA OLEH: Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu syarat Ujian Sarjana Seni dalam bidang disiplin Etnomusikologi pada Fakultas Ilmu Budaya< Universitas Sumatera Utara, Medan Pada Tanggal : Hari : Fakultas Ilmu Budaya USU, Dekan, Dr. Syahron Lubis, M.A. NIP Panitia Ujian: Tanda Tangan 1. Drs, Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D. 2. Dra. Heristina Dewi, M.Pd. 3.Drs. Kumalo Tarigan, M.A. 4. Drs. Fadlin, M.A. 5. Drs. Torang Naiborhu, M.Hum. iii DISETUJUI OLEH FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI KETUA, Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D. NIP 196512211991031001 iv BAB I PENDAHULUAN 1.1 Pengantar Sumatera Utara adalah salah satu dari 34 provinsi yang terdapat di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Provinsi Sumatera Utara ini, secara administratif pemerintahan terdiri dari 33 kabupaten dan kota. Sumatera Utara adalah wilayah yang merupakan gabungan dari Regensi Tapanuli dan Sumatera Timur, sewaktu pendudukan Hindia Belanda. Secara etnikitas, Sumatera Utara terdiri dari tiga kelompok besar, berdasarkan asal-usulnya. Yang pertama adalah kelompok-kelompok etnik setempat yang terdiri dari: Karo, Pakpak (atau kadang disebut juga PakpakDairi), Simalungun, Batak Toba, Mandailing-Angkola, Pesisir, Nias, dan Melayu. Yang kedua adalah kelompok-kelompok etnik migran Nusantara, seperti: Aceh Rayeuk, Tamiang, Simeulue, Alas, gayo, Minangkabau, Banjar, Sunda, jawa,, Bugis, Bali, dan lain-lainnya. Kelompok-kelompok etnik yang ketiga adalah para migran Dunia, seperti: Hokkian, Khek, Kwong Fu, Hakka, Kwantung, Tamil, Punjabi, Benggali, Hindustani, Arab, Anglosakson, dan lainlainnya. Pada masa sekarang ini Sumatera Utara merupakan provinsi terpadat penduduknya di Pulau Sumatera yaitu lebih dari 13 juta. Komposisi penduduknya yang heterogen ini tidak dapat dilepaskan dari pertumbuhan ekonomi, terutama perkebunan. Hingga akhirnya membuat kompsisi penduduknya beranekaragam, baik itu dari suku bangsa, agama, budaya, bahasa, dan lain-lainnya. Setiap kelompok etnik ini dalam konteks Sumatera Utara, 1 selain menguatkan identitas kelompoknya, juga harus berinteraksi secara sisial dengan kelompok etnik dan agama, serta budaya lainnya. Untuk itu diperlukan sikap dan penghayatan toleransi dalam kebhinnekaan dan ketunggalikaan. Demikian juga yang terjadi di kalangan etnik Pakpak. Kelompok orang-orang yang disebut Pakpak, yang wilayah budaya induknya berada di kawasan Dairi, Pakpak Bharat, dan sekitarnya, merupakan salah satu kelompok etnik setempat Provinsi Sumatera Utara. Etnik Pakpak memiliki unsurt-unsur kebudayaan yang beraneka ragam, khas, dan menjadi ciri khas dan identitas kelompoknya. Salah satu dari unsur kebudayaannya adalah seni musik. Musik Pakpak termasuk musik tradisi yang fungsional di tengah arus globalisasi. Musik ini jika didengar langsung sangat akrab di telinga pendengarnya. Dalam realitasnya musik tradisi Pakpak kurang dikenal di kalangan masyarakat Sumatera Utara. Hal ini diakibatkan tidak ada sarana pendukung atau media yang memperkenalkan tradisi Pakpak tersebut kepada masyarakat luas. Namun demikian, di Desa Suka Ramai kecamatan Pakpak Bharat terdapat sebuah sanggar yang khusus melestarikan budaya Pakpak terkhusus dari segi musiknya. Sanggar inilah yang selalu diundang untuk tampil diacara pemerintah kota maupun pemerintah daerah setempat. Hal ini yang membuat musik Pakpak dapat mempertahankan keberadaannya pada masyarakat luas. Adapun alat-alat musik yang terdapat dalam kebudayaan Pakpak, di antaranya adalah sebagai berikut: 1. sarune, 2. gendrang, 3. gong, 4. kalondang, 5. hasapi, 6. balobat, 7. gotci, dan lain-lain. Alat-alat musik ini ada yang 2 disajikan secara solo, namun ada pula yang disajikan dalam ensambel, dan juga mengiringi nyanyian-nyaian tradisional Pakpak. Pada umumnya penyajian musik Pakpak diadakan pada acara adat dan ritual. Namun pada saat upacara besar misalnya pada saat acara ritual harus menggunakan sarune. Dapat dikatakan bahwa sarune memiliki peranan penting dalam ensambel musik Pakpak, karena peran dan simbol sosial yang terkandung di dalam alat musik ini di tengah-tengah kebudayaan Pakpak. Sarune Pakpak sudah tergolong langka, dan juga sangat sulit menemukan pemainnya yang dapat memainkannya. Kelangkaan ini diakibatkat karena dahulu orang-orang tua suku Pakpak tidak secara tegas dan memeberikan motivasi penuh kepada setiap keturunannya untuk belajar musik Pakpak. Mempelajari musik Pakpak biasanya dilakukan secara kelisanan. Pembelajaran yang dilakukan masih mengunakan sistem otodidak. Artinya setiap orang yang mau belajar musik tersebut maka orang tersebut harus berhubungan langsung kepada orang yang memang mahir memainkan alat musik tersebut. SAetiap orang yang mau belajar harus mendatangi, berdialog, dan mungkin saja harus mengikuti aturan- aturan ritual dari alat musik itu sendiri. Menurut penulis sendiri, alat musik sarune Pakpak akan mengalami “kepunahan” jika tidak ada lagi yang bisa memainkannya apalagi menjelaskan apa itu sarune Pakpak. Hal ini juga akan mengakibatkan pudarnya ciri khas dari budaya musik Pakpak. Selain itu, idak menutup kemungkinan akan menghilangkan jati diri Pakpak. Apalagi dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini, dimana alat musik Barat telah ambil bagian dalam ensambel musik tradisi. Seperti contoh alat musik keyboard yang dapat berfungsi ganda yang dapat memainkan ritem dan melodi secara bersamaan dan 3 dengan didukung oleh kecanggihan program maka keyboard dapat menghasilkan suara yang mirip dengan suara sarune. Jika kita tidak memberi perhatian terhadap fenomena ini, maka tidak menutup kemungkinan sarune yang dahulu dianggap sakral dari segi musikalnya akan menjadi alat musik yang biasa-biasa saja. Sangatlah ironis jika seorang manusia kehilangan jati dirinya, begitu juga dengan kebudayaan. Seperti yang sering kita dengarkan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai budanya. Atas kesadaran inilah penulis membuat tulisan tentang kebudayaan Pakpak, khususnya teknik permainan sarune.. Dalam tulisan ini, saya memfokuskan untuk membahas tentang teknik dalam memainkan alat musik sarune Pakpak dan cara pembuatannya. Untuk itu saya mimilih beberapa masyarakat Pakpak yang berprofesi sebagai pemusik Pakpak dan menjadikannya sebagai sebagai informan pangkal yang dapat membantu saya dalam mengkaji teknik permainan dan pembuatan sarune Pakpak. Penulis berharap dengan penelitian dan tulisan yang dibuat dapat memperkaya wawasan penulis dan pembaca tentang budaya Pakpak. Selain itu penulis berharap pembaca dapat mengerti cara memainkan sarune Pakpak. Untuk mendukung skripsi ini tentang sarune, penulis mencari informasi tentang sarune kepada informan pangkal yaitu Bapak Pandapotan Solin. Beliau adalah ketua di Sanggar Nina Nola yang memusatkan perhatian dan kegiatannya pada kebudayaan tradisi Pakpak. Selain memimpin sanggar, beliau juga mahir dalam memainkan alat musik Pakpak begitu juga dengan membuatnya. Hampir seluruh alat musik yang ada di sanggar tersebut adalah hasil karya beliau kecuali sarune Pakpak. Dari 4 hasil perbincangan dengan beliau, maka didapat informasi bahwa ada seorang pemain sarune yang telah lanjut usia. Menurut beliau, pemain sarune tersebut adalah pemain sarune satu-satunya yang masih hidup. Berdasarkan informasi inilah yang menjadi awal penelitian penulis dalam mengumpulkan informasiinformasi tentang sarune Pakpak. Dengan latar belakang sarune Pakpak dalam kebudayaan seperti itu, maka sangatlah tepat apabila dikaji teknik permainannya yang langka itu dikaji memalui disiplin etnomusikologi. Disiplin ini adalah yang penulis pelajari selama beberapa tahun belakangan ini, tepatnya sebagai mahasiswa Etnomusikologi angkatah tahun 2007. Penulis juga memiliki minat utama terhadap praktik pertunjukan musik, yang diajarkan di institusi Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara Medan. Etnomusikologi adalah sebuah disiplin ilmu yang mengkaji musik dalam konteks kebudayaan manusia (Merriam, 1964). Artinya jika seorang ahli etnomusikologi mengkaji musik, maka ia akan selalu melihatnya dalam perspektif kebudayaan di mana musik itu hidup, tumbuh, dan berkembang. Musik bukan hanya fenomena bunyi yang dihasilkan manusia, tetapi musik adalah bahagian dari fenomena manusia yang menghasilkan musik tersebut. mengkaji musik dalam kebudayaan berarti juga mengkaji eksistensi manusia yang menghasilkan musik tersebut. Tujuan akhir seorang etnomusikolog bukan mengkaji musik sebagai bunyi dengan hukum-hukum internalnya sendiri, tetapi adalah mengkaji manusia yang menghasilkan musik sedemikian rupa itu memiliki jati diri atau identitas yang khas. Sama halnya dengan ilmu-ilmu lain di dunia ilmu pengetahuan, etnomusikologi memiliki wilayah atau jangkauan pengkajian. Seorang 5 etnomusikolog mestilah paham tentang wilayah penyelidikan etnomusikologi. Apa pun yang dikerjakan oleh etnomusikolog di lapangan, pada hakekatnya ditentukan oleh rumusan metodenya sendiri dalam arti yang luas. Maka sebuah penelitian etnomusikologis dapat diarahkan seperti perekaman suara musik, atau masalah peran sosial pemusik di dalam masyarakat. Jikalau suatu penelitian diarahkan kepada kajian mendalam di suatu daerah penelitian, dan jika peneliti menganggap studi etnomusikologi bukan hanya sebagai kajian musik dari aspek lisan, tetapi juga terhadap aspek sosial, kultural, psikologi, dan estetika—paling tidak ada enam wilayah penyelidikan yang menjadi perhatian etnomusikologi (Merriam 1964). Yang pertama adalah kebudayaan material musik. Wilayah ini meliputi kajian terhadap alat musik yang disusun oleh peneliti dengan klasifikasi yyang biasa digunakan, yaitu: idiofon, membranofon, aerofon, dan kordofon. Selain itu pula, setiap alat musik harus diukur, dideskripsikan, dan digambar dengan skala atau difoto; prinsip-prinsip pembuatan, bahan yang digunakan, motif dekorasi, metode dan teknik pertunjukan, menentukan nada-nada yang dihasilkan, dan masalah teoretis perlu pula dicatat. Selain masalah deskripsi alat musik, masih ada sejumlah masalah analisis lain yang dapat menjadi sasaran penelitian lapangan etnomusikologi. Di antaranya adalah apakah terdapat konsep untuk memperlakukan secara khusus alat-alat musik tertentu di dalam suatu masyarakat? Adakah alat musik yang dikeramatkan? Adakah alat-alat musik yang melambangkan jenis-jenis aktivitas budaya atau sosial alain selain musik? Apakah alat-alat musik tertentu merupakan pertanda bagi pesan-pesan tertentu pada masyarakat luas? Apakah suara-suara atau bentuk-bentuk alat musik 6 tertentu berhubungan dengan emosi-emosi khusus, keberadaan manusia, upacara-upacara, atau tanda-tanda tertentu? Nilai ekonomi alat musik juga penting dikaji dalam etnomusikologi. Mungkin ada beberapa spesialis yang mencari nafkahnya dari membuat alat musik. Apakah ada atau tidak spesialis pada suatu masyarakat? Apakah proses pembuatan alat musik melibatkan waktu pembuatnya? Alat musik dapat dijual dan dibeli, dapat dipesan; dalam keadaan apa pun, produksi alat musik merupakan bagian dari kegiatan ekonomi di dalam masyarakatnya secara luas. Alat musik mungkin dianggap sebagai lambang kekayaan; mungkin dimiliki perorangan; jika memilikinya mungkin diakui secara individual akkan tetapi untuk kepentingan praktis diabaikan; atau mungkin alat-alat musik ini menjadi lambang kekayaan suku bangsa atau desa tertentu. Penyebaran alat musik mempunyai makna yang sangat penting di dalam kajian-kajian difusi dan di dalam rekonstruksi sejarah kebudayaan, dan kadang-kadang dapat memberi petunjuk atau menetukan perpindahan penduuduk melalui studi alatmusik. Kategori kedua adalah kajian tentang teks nyanyian. Kajian ini meliputi kajian teks sebagai peristiwa linguistik, hubungan linguistik dengan suara musik, dan berbagai masalah isi yang dikandung oleh teks tersebut. Masalah hubungan antara teks dengan musik telah banyak diteliti di dalam etnomusikologi karena memberi manfaat yang jelas. Namun hingga kini belum pernah dilakukan kajian yang menggunakan linguistik modern dan teknik-teknik etnomusikologis. Teks nyanyian mengekspresikan perilaku kebahasaan yang dapat dianalisis dari sudut struktur dan isi. Bahasa teks nyanyian cenderung mempunyai perbedaan sifat dengan ungkapan harian, dan kadangkala, seperti pada namanama pujian, atau bunyi pertanda gendang, teks tersebut merupakan bahasa 7 “rahasia” yang hanya diketahui sekelompok tertentu saja dari masyarakatnya. Dalam teks nyanyian, bahasa yang digunakan sering lebih elastis dibandingkan dengan bahasa sehari-hari, dan bahasa tersebut tidak hanya mengungkapkan proses kejiwaan seperti pengendoran tekanan, akan tetapi juga informasi tentang sifat yang tidak mudah diungkapkan. Dengan alasan yang sama, teks nyanyian sering mengungkapkan nilai-nilai yang dalam dan tujuan-tujuan yang hanya boleh dinyatakan dalam keadaan terpaksa di dalam ungkapan sehari-hari. Hal ini selanjutnya dapat mengarahkan kepada kepekaan terhadap simbol yang mengandung etos dari suatu kebudayaan, atau terhadap suatu jenis generalisasi karakter nasional. Pemahaman mengenai perilaku ideal dan nyata sering dapat diungkap mellaluiteks nyanyian, dan akhirnya teks juga digunakan sebagai catatan sejarah bagi kelompok tertentu, sebagai cara-cara untuk menanamkan nilai-nilai, dan sebagai cara untuk membudayakan generasi muda. Aspek ketiga adalah meliputi kategori-kategori musik yang dibuat oleh peneliti yang sesuai dengan kategori yang berlaku dalam kelompok tersebut. Di dalam hubungan ini tentunya peneliti menyusun acara rekamannya, yang diklasifikasikan utuk menyertakan contoh-contoh akurat dari semua jenis musik di dalam situasi-situasi pertunjukan yang direncanakan dan dipertunjukkan sebenarnya. Pemain musik atau musisi dapat menjadi sasaran keempat bagi etnomusikolog. Dari sekian hal yang penting adalah latihan untuk menjadi pemusik. Apakah seseorang dipaksa oleh masyarakatnya untuk menjadi pemusik, atau ia memilih sendiri karirnya sebagai pemusik? Bagaimana metode latihannya, apakah sebagai pemain musik potensial yang mengandalkan kepada kemampuan sendiri; apakah ia mendapatkan pengetahuan dasar tentang 8 teknik memainkan alat musiknya atau teknik menyanyi dari orang lain, atau apakah ia menjalani latihan yang ketat dalam waktu tertentu? Siapa saja pengajarnya, dan bagaimanakan metode mengajarnya? Hal ini mengarahkan kepada masalah profesionalisme dan penghasilan. Sebuah masyarakat mungkin saja membedakan beberapa tingkatan kemampuan pemusik, membuat klasifikasi dengan istilah-istilah khusus, dan memberikan penghargaan tertinggi kepada sesuatu yang dianggap benar-benar profesional; atau pemusik dapat saja tidak dianggap sebagai spesialis. Bentuk dan cara memberi penghargaan dapat sangat berbeda untuk setiap masyarakat, dan dapat terjadi bahwa pemusik sama sekali tidak mendapat bayaran. Wilayah studi kelima adalah mengenai penggunaan dan fungsi musik dalam hubungannya dengan aspek budaya lain. Informasi yang kita dapatkan, menunjukkan bahwa didalam hubungan dengan penggunaan, musik meliputi semua aspek masyarakat; sebagai perilaku manusia, musik dihubungkan secara sinkronik dengan perilaku lainnya, termasuk religi, drama tari, organisasi sosial, ekonomi, struktur politik, dan berbagai aspek lainnya. Dalam mengadakan studi tentangmusik, peneliti dipaksa untuk mengadakan pendekatan budaya secara lengkap dalam mencari hubungan musik, dan di dalam maknanya yang dalam, ia mengetahui bahwa musik mencerminkan kebudayaan, sedangkan musik menjadi bagiannya. Fungsi musik di dalam masyarakat merupakan objek penyelidikan lain dari penyelidikan tentang penggunaan tersebut, karena penelitiannya diarahkan kepada masalah-masalah yang jauh lebih dalam. Telah dinyatakan bahwa salah satu fungsi utama musik adalah untuk membantu mengintegrasikan masyarakat, suatu proses yang secara kontinu dilakukan di dalam kehidupan manusia. 9 Fungsi lain adalah untuk melepaskan tekanan-tekanan jiwa. Perbedaan antara penggunaan dan fungsi musik belum banyak dibicarakan di dalam etnomusikologi, dan studi-studi pada wilayah yang luas cenderung untuk memusatkan kepada masalah pertama dan mengenyampingkan masalah yang kedua. Studi-studi tentang fungsi jauh lebih menarik di antara keduanya, oleh karena studi tersebuts eharusnya mengarahkan kepada pengertian yanglebih dalam tentang mengapa musik merupakan suatu gejala universal dii dalam masyarakat. Akhirnya, keenam, peneliti lapangan dapat mempelajari musik sebagai aktivitas kreatif di dalam kebudayaan. Yang penting di sini adalah tahap-tahap dari studi musik yang memusatkan pada konsep-konsep musik yangdigunakan di dalam masyarakat yang sedang diteliti. Yang mendasari semua pertanyaan adalah berbagai masalah perbedaan yang dibuat oleh pemusik dan bukan pemusik di antara apa yang dianggap musik dan bbukan musik, merupakan sasaran yang baru mendapatkan sedikit perhatian di dalam etnomusikologi. Apa sumber-sumber musik itu? Apakah musik disusun hanya melalui perantaraan bantuan dan persetujuan manusia super, atau apakah musik merupakan gejalagejala manusia biasa? Bagaimana nyanyian-nyanyian baru muncul? Apabila penyusun musik mempunyai status tinggidi dalam masyarakat, bagaimana ia menyusun musik, dan bagaimana pendapatnya tentang proses penyusunan musik? Ukuran-ukuran kemampuan di dalam pertunjukan adalah penting sekali karena melalui pengertian ukuran ini peneliti dapat melihat musik yang baik dan buruk serta dapat melihatnya dengan cara-cara yang digunakan di dalam masyarakat. Masalah-masalah ini mengarahkan kepada evaluasi rakyatnya dan evaluasi analitis dari suatu teori tentang musik di dalam masyarakat tersebut; 10 juga mengarahkan kepada berbagai masalah khusus di mana bentuk divisualisasikan sebagai sesuatu yang dapat dimanipulasikan, dan terhadap apakah aspek-aspek bentuk seperti interval musik atau pola-pola ritme inti khusus digunakan di dalam pemikiran pemusik dan bukan pemusik. Kajian terhadap teknik bermain sarune Pakpak, sesuai dengan penjabaran Merriam tentang wilayah studi etnomusikologi adalah berada pada aspek keempat yaitu dalam tema pemusik. Dalam kaitan ini tentu saja bagaimana keadaan pemain sarune yaitu Bapak Kerta Sitakar, sebagai pemain sarune Pakpak yang “langka.” Penelitian ini, sesuai dengan arahan Merriam di atas, adalah mengenai aspek-aspek lebih lanjut di bawah tema musisi. Di antaranya adalah apakah Bapak Kerta Sitakar dipaksa oleh masyarakatnya (yaitu etnik Pakpak) untuk menjadi pemusik, atau sebaliknya ia memilih sendiri karirnya sebagai pemusik yaitu pemain sarune? Lebih jauh bagaimana metode latihan Bapak Kerta Sitakar, apakah sebagai pemain musik potensial yang mengandalkan kepada kemampuan sendiri; apakah Bapak Kerta Sitakar mendapatkan pengetahuan dasar tentang teknik memainkan sarune Pakpak dari orang lain, atau apakah ia menjalani latihan yang ketat dalam waktu tertentu? Siapa saja pengajarnya, dan bagaimanakan metode mengajarnya? Inilah pertanyaan-pertanyaan yang kemudian penulis dalami dalam penelitian lapangan. Dengan latar belakang keberadaan sarune, Bapak Sitakar sebagai pemainnya, dan disiplin etnomusikologi sebagai dasar dalam mengkaji permainan sarune Bapak Sitakar, maka penelitian ini diberi judul: “Teknik Bermain Sarune pakpak oleh Bapak Kerta Sitakar.” Fokus kajian ini adalah pada teknik yang dilakukannya secara etnosains, yaitu menurut ilmu yang didapatinya 11 secara emik dari guru-guru terdahukkunya, dan pengalamannya sebagai pemain sarune Pakpak. 1.2 Pokok Permasalahan Pokok permasalahan dalam penelitian ini ditentukan agar tidak meluas dan melebar. Adapun pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah: bagaimana teknik memainkan sarune Pakpak oleh Bapak Kerta Sitakar? Pokok masalah ini akan dibantu oleh dekripsi sia itu Bapak Kerta Sitakar, bagaiman ia memperoleh teknik permainan itu, apakah ada gurunya yang khusus, atau ia belajar sendiri secara otodidak, atau bagaimana masyarakat Pakpak secara umum memandang belaiau sebagai pemusik, dan aspek-aspek sejenis. 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian yang akan dilakukan penulis merupakan salah satu kajian yang dilatarbelakangi oleh disiplin etnomusikologi. Jika kita menelaah arti dari etnomusikologi adalah ilmu yang mempelajari tentang kehidupan suatu suku bangsa yang dilihat dari aspek musikalnya, maka penulis menjadikan arti tersebut menjadi landasan penelitian dalam mencapai tujuan dari penelitian. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah yang utama untuk mendapatkan pengetahuan secara emik (pendapat informan kunci) sekitar teknik bermain sarune Pakpak yang dipertunjukkan oleh Bapak Kerta Sitakar. 12 1.3.2 Manfaat Penelitian ini bermanfaat sebagai usaha untuk menambah wawasan tentang kebudayaan suku Pakpak. Manfaat lainnya yang dapat diperoleh dalam penelitian ini antara lain sebagai suatu pengetahuan dan informasi bagi mahasisiwa yang akan mendalami penelitian tentang Pakpak. Sebagai bahan acuan dalam penulisan yang berikutnya tentang musik Pakpak. Selain itu, diharapkan dari penelitian ini para pembaca dapat mengetahui bagaimana teknik permainan sarune Pakpak. Dalam hal ini penulis melakukan penelitian untuk mengetahui teknik memainkan sarune Pakpak sesuai dengan judul skripsi ini. Selanjutnya, tulisan ini dapat menjadi dokumentasi dalam bentuk karya tulis guna menambah referensi di Departemen Etnomusikologi, tentang musik Pakpak. Juga sebagai pengaplikasian ilmu yang telah diperolah penulis selama mengikuti pendidikan di Departemen Etnomusikologi. 1.4 Konsep dan Teori 1.4.1 Konsep Konsep Mely G.Tan, dalam Koentjaraningrat (1985:21) mengatakan konsep merupakan suatu defenisi secara singkat dari sekelompok fakta atau gejala. Konsep juga merupakan defenisi dari apa yang kita amati, konsep menentukan variabel-variabel yang di inginkan untuk menemukan hubungan empiris dan dikemukakan lagi oleh Mardalis yang mengatakan bahwa konsep adalah suatu kesatuan pengertian tentang suatu hal atau persoalan yang perlu dirumuskan (2003:46). 13 Adapun konsep yang penulis perlu jelaskan dalam konteks penelitian ini adalah tentang: (a) teknik, (b) permainan, dan (c) sarune Pakpak. Dalam Kamus Besar bahasa Indonesia (1988) dijelaskan bahwa yang dimasud dengan teknik adalah cara. Istilah ini adalah unsure serapan yang berasal dari bahasa Inggris. Teknik dalam bermain sarune Pakpak ini mencakup bagaimana meniupnya, menghasilkan nada-nada, improvisasi, permainan lagu, dan hal-hal sejenis. Selanjutnya yang dimaksud dengan permainan dalam tulisan ini adalah penyajian sarune Pakpak dalam pertunjukan yang didasari oleh nilai-nilai penyajiannya secara tradisional, yaitu turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Penyajian yang dimaksud adalah mengutamakan penyajian bunyi musik, yang juga disertai dengan penyajian visualnya. Selanjutnya yang dimaksud dengan sarune Pakpak, adalah mengacu kepada kebberadaan alat musik ini di tengah-tengah kebudayaan Pakpak. Sarune Pakpak adalah salah satu alat musik tradisional dalam kebudayaan Pakpak, yang masuk ke dalam kategori musik tiup. Alat musik ini berdasarkan pendekatan etnomusikologi dapat diklasifikasikan sebagai aerofon, berlidah ganda, jenis shawm. 1.4.2 Teori Koentjaraningrat (1973:10) mengatakan bahwa teori adalah alat yang terpenting dari suatu pengetahuan. Tanpa teori hanya ada pengetahuan tentang serangkaian fakta saja, tetapi tidak akan ada ilmu pengetahuan. Teori adalah landasan dasar keilmuan untuk menganalisis berbagai fenomena. Teori adalah rujukan utama dalam memecahkan maslaah penelitian di dalam ilmu pengetahuan. Sebagai pedoman dalam menyelesaikan tulisan ini penulis 14 menggunakan beberapa teori yang berhubungan dengan pokok-pokok permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini. Adapun teori yang menjadi landasan penulis dalam melakukan tulisan ini adalah dengan menggunakan teori etnosain (ethnoscience). Yang dimaksud teori etnosains dalam skripsi ini adalah mengutip pendapat Ihromi (1980) yang menyatakan bahwa teori etnosains adalah teori yang mendasarkan kajian dengan p0engungkapan yang dilakukan oleh informan atau masyarakat pendukungnya. Analisis etnosains ini sebaiknya tidak begitu mengelaborasikan pendapatpendapat sepihak dari peneliti, tanpa memperhatian pengetahuan yang terdapat di balik pemikiran masyarakat pendukung kebudayaan yang diteliti tersebut. Sebagai tambahan teori, penulis memakai pendekatan teori klasifikasi alat-alat musik yang dikemukakan oleh Curt Sachs dan Hornbostel (1961) yaitu tentang sistem pengklasifikasian alat musik berdasarkan sumber penggetar bunyi utama. Sistem pengklasifikasian ini dibagi menjadi empat bagian yaitu: 1. Idiofon yang berarti alat musik yang materi penghasil bunyi dihasilkan oleh badan alat musik itu sendiri, 2. Aerofon yang berarti alat musik yang materi penghasil bunyi dihasilkan oleh udara, 3. Membranofon yang berarti alat musik yang materi penghasil bunyinya dihasilkan oleh kulit atau membrane, dan 4. Kordofon yang berarti alat musik yang materi penghasil bunyinya dihasilkan oleh senar atau dawai. Dari teori di atas maka penulis menklasifikasikan sarune Pakpak termasuk kedalam klasifikasi alat musik aerofon karena sarune merupakan alat 15 musik yang materi penghasil bunyinya dihasilkan oleh hembusan ataupun tiupan udara dari mulut pemainnya. 1.5 Metode Penelitian Dalam suatu penelitian perlu dibuat metode yang bertujuan sebagai cara yang akan ditempuh peneliti sebelum ataupun saat berapa di lapangan penelitiannya. Untuk itu dalam penelitian ini, penulis juga memerlukan beberapa metode yang dapat mendukung pembuatan karya tulis ini. Dari berbagai metode yang dicetuskan oleh beberapa ahli, maka penulis mendapatkan beberapa ahli yang mencetuskan metode yang berhungan dengan penelitian ini. Dalam melakukan penelitian, penulis menggunakan metode pendekatan kualitatif yang mengutamakan kualitas data. Data yang disajikan dalam bentuk kata-kata atau kalimat dan datanya adalah data sekunder seperti dokumen dan dalam penelitian-penelitian yang menggunakan metode pengamatan terlibat atau participant observation (M. Sitorus 2003). Menurut Nettl (1964:62-64) yaitu terdapat dua hal yang sangat esensial untuk melakukan aktivitas penelitian dalam disiplin ilmu etnomusikologi yaitu kerja lapangan (field work) dan kerja laboratorium (desk work). Kerja lapangan mencakup pengamatan awal, dokumentasi foto, audio, atau audiovisual. Selain itu juga mencakup wawancara dengan para informan, perekaman wawancara, penyebaran kuesioner, dan hal-hal sejenis. Dalam penelitian laboratorium termasuklah analisis data, transkripsi bunyi musik, transkripsi wawancara, penulisan laporan penelitian, dan hal-hal sejenis. Kerja lapangan yang dimaksud yaitu meliputi pemilihan informan yang memiliki informasi cukup banyak tentang objek penelitian, pendekatan internal 16 maupun eksternal dalam arti melakukan pendekatan dengan cara membaur dengan masyarakat pendukung dari objek penelitian, pengumpulan data baik melalui dokumentasi ataupun wawancara sedangkan keja laboratorium adalah mengolah data yang didapat dari penelitian lapangan untuk dianalisa sehingga memperoleh hipotesa dan juga dapat menyimpulkan hasil penelitian. 1.6 Pemilihan Lokasi Penelitian Pemilihan lokasi penelitian sangat berhubungan dalam memperoleh data. Untuk itu lokasi penelitian harus sesuai dengan tujuan penelitian dan juga dapat mewakili keseluruhan wilayah dari objek penelitian. Maka penulis menentukan lokasi penelitian didesa sukaramai kecamatan Raja kabupaten Pakpak Bharat dikarenakan bahwa desa tersebut merupakan tempat informan berada dan juga memiliki beberapa informasi yang dibutuhkan dan juga didesa tersebut merupakan domisili pemusik tradisi Pakpak. 1.7 Pemilihan Informan 1.7.1 Informan Kunci Sebelum melakukan penelitian, penulis terlebih dahulu menentukan informan pangkal yang memiliki informasi tentang apa dan siapa saja yang memiliki infomasi lainnya untuk keperluan penelitian. Dari beberapa narasumber ataupun informan yang didapat dari informan pangkal maka penulis menentukan informan kunci. Menurut penulis informan pangkal yang menjadi awal informasi tentang sarune Pakpak ini ialah bapak Kerta Sitakar, yang kemudian dari hasil perbincangan itulah sehingga penulis mendapatkan 17 informasi tentang keberadaan pemain sarune Pakpak dan menjadikan nya sebagai informan kunci. Informan kunci inilah yang diharapkan dapat memberikan kontribusi pamahaman tentang budaya Pakpak. Pemahaman dan data tersebut berguna sebagai referensi penulis dalam membahas masalah yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini. 1.7.2 Informan Tambahan Informan tambahan adalah segala sesuatu baik manusia ataupun benda yang dapat memberikan informasi tambahan tentang objek penelitian. Informasi yang didapat dari informan tambahan dapat menambahkan referensi data bagi penulis. Didalam masa observasi penulis tidak banyak memperoleh keterangan tentang sarune dari informan tambahan, hak ini mungkin disebabkan masih sedikit masyarakat yang tahu tentang sarune Pakpak. 1.8 Studi Kepustakaan Penulis melakukan studi kepustakaan yaitu dengan menelaah sejumlah buku tentang budaya Pakpak. Selain itu penulis juga membaca artikel-artikel tentang Pakpak yang diperoleh dari beberapa penulis skripsi tentang Pakpak terdahulu. Dari beberapa buku inilah penulis menggali informasi awal tentang masyarakat Pakpak. Informasi tersebut akan menjadi awal pengetahuan penulis dalam mempelajari budaya tersebut, juga digunakan sebagai bahan referensi dalam penulisan skripsi. 18 1.9 Penelitian Lapangan Penelitian lapangan berarti dalam mengumpulkan data peneliti langsung mendatangi objek penelitian. Adapun macam-macam penelitian lapangan tersebut adalah sebagai berikut. 1.9.1 Observasi Pengumpulan data dengan cara observasi adalah metode pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan penginderaan. Metode observasi menggunakan kerja pancaindera mata sebagai alat bantu utamanya selain pancaindera lainnya seperti telinga, penciuman, mulut dan kulit (Burhan Bungin,2007:115). Untuk itulah penulis langsung mendatangi daerah Pakpak bharat dan melakukan interaksi kepada narasumber maupun masyarakat yang ada disana. 1.9.2 Wawancara Wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara si penanya atau pewawancara dengan si penjawab atau responden dengan menggunakan alat yang dinamakan interview guide atau panduan wawancara (Moh. Nazir, 1988: 234). Wawancara merupakan suatu proses interaksi yang dilakukan dengan cara berdialog. Wawancara tidak dapat dilakukan hanya kepada 1 narasumber untuk itu penulis berinisiatif melakukan wawancara kepada beberapa orang penatua dan pemusik Pakpak lainnya guna mendapat “koherensi” informasi.dengan melakukan wawancara kepada beberapa orang tersebut penulis dapat menyimpulkan tentang kebenaran informasi yang diberikan oleh informan kunci. 19 Metode wawancara yang digunakan penulis adalah metode wawancara berstruktur, tidak berstruktur. Sebelum melakukan wawancara penulis membuat “draft” pertanyaan. Pertanyaan inilah yang akan disampaikan penulis kepada narasumber. Saat memberikan pertanyaan ini, infoman kunci yaitu bapak Kerta Sikatar menjawab sekaligus menjelaskan secara detail pertanyaan yang penulis berikan. Begitu juga dengan informan tambahan, beliau juga menjelaskan dan menambahi penjelasan dari bapak kerta sikatar. Untuk selanjutnya penulis akan mengadakan penelitian langsung dengan informan kunci tanpa didampingi informan pangkal dan diharapkan penulis dapat menggali lebih banyak lagi tentang biografi dan kehidupan sang informan kunci. 1.9.3 Perekaman atau Dokumentasi Untuk mendokmentasikan penelitian,penulis mengunakan kamera digital, handycam dan debuah laptop. Alat ini berguna untuk meliput wawancara dan merekam kejadian pada saat penelitian yang meliputi pertunjukan musik team musik sanggar nina nola, permainan sarune dan mendokumentasikannya. 1.9.4 Analisis Laboratorium Seluruh data dan informasi yang didapat selama penelitian diolah dan saring dalam kerja laboratorium sehingga menghasilkan data yang sesuai objek penelitian untuk penulisan skripsi. Data yang digunakan dalam penulisan ini adalah data yang sesuai dengan disiplin ilmu Etnomusikologi. Setelah data dikumpulkan maka langkah selanjutnya adalah proses analisis data. 20 Analisis data yang penulis lakukan adalah mentranskripsi dan menganalisis melodi sarune yang disajikan oleh Bapak Kerta Sitakar. Selain itu adalah memindahkan foto dari kamera ke dalam format computer. Foto-foto ini dimasukkan ke dalam bahagian kajian penelitian ini. Selanjutnya adalah menguraikan data-data lapangan, ke dalam bentuk tulisan, yang secara umum adalah menggunakan bahasa Indonesia. 21 BAB II MASYARAKAT DAN SENI BUDAYA DAERAH PENELITIAN 2.1 Wilayah-wilayah Pakpak Secara geografis Pakpak Bharat terletak sekitar 30 km dari pusat Kota Sidikalang. Suku Pakpak merupakan salah satu bagian dari suku Batak. Masyarakat Pakpak merupakan suatu kelompok suku bangsa yang terdapat di Sumatera Utara. Gambar 2.1 Peta Provinsi Sumatera Utara Secara tradisonal wilayah komunitasnya disebut Tanoh Pakpak. Tanoh Pakpak terbagi atas 5 (lima) sub wilayah, yaitu: (1) Simsim, daerah Kabupaten 22 Pakpak Bharat, (2) Keppas, daerah Kabupaten Dairi, (3) Pegagan, daerah Kabupaten Dairi, khusus Kecamatan Sumbul, (4) Kelasen, daerah Tapanuli Utara, khusus Kecamatan Parlilitan dan Kabupaten Tapanuli Tengah di Kecamatan Manduamas, (5) Boang, daerah Aceh Singkil Dalam administrasi pemerintahan Republik Indonesia, yakni Kabupaten Pakpak Bharat, Dairi, Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah dan Kabupaten Singkil (Provinsi Aceh). Daerah yang penduduknya homogeny orang Pakpak hanyalah Kabupaten Pakpak Bharat. Namun demikian, secara geografi wilayah atau hak ulayat secara tradisonal yang disebut Tanoh Pakpak tersebut sebenarnya tidak terpisah satu sama lain karena satu sama lain berbatasan langsung walaupun hanya bagianbagian kecil dari wilayah kabupaten tertentu, kecuali Kabupaten Pakpak Bharat dan Dairi yang merupakan sentra utama orang Pakpak. Kesatuan komunitas terkecil yang umum dikenal hingga saat ini disebut lebuh dan Kuta. Lebuh merupakan bagian dari kuta yang dihuni oleh klen kecil. Sementara kuta adalah gabungan dari lebuh-lebuh yang dihuni oleh suatu klen besar (marga) tertentu. Jadi setiap lebuh dan kuta dimiliki oleh klen atau marga tertentu dan dianggap sebagai penduduk asli, sementara marga lain dikategorikan sebagai pendatang. 2.2 Sistem Mata Pencaharian Secara umum, sistem mata pencaharian masyarakat Pakpak adalah sebagai perkemenjen (orang yang mencari kemenyan). Sebagian ada juga yang bercocok tanam. Namum setelah Pakpak Bharat terpisah dari wilayah pemerintahan kabupaten Dairi maka Pakpak Bharat mulai membentuk instansiinstansi pemerintahan kabupaten sendiri yang mempekerjakan sebagian besar masyarakat Pakpak bharat sebagai pegawai pemerintahan kabupaten. 23 2.3. Sistem Kekerabatan Seperti halnya etnik lain di dunia, etnik Pakpak juga juga memiliki adat istiadat yang khas, sehingga dapat dibedakan dengan kelompok etnik lainnya. Unsur sistem kekerabatan ini adalah sebagai berikut. 1. Marga dan Sulang Silima Marga dalam kajian antropologi disebut dengan klen yaitu suatu kelompok kekerabatan yang dihitung berdasarkan satu garis (unilineal), baik melalui garis laki-laki (patrilineal) maupun perempuan (matrilineal). Marga pada masyarakat Pakpak bukan hanya sekedar sebutan atau konsep tetapi di dalamnya nilai budaya yang mencakup norma dan hukum yang berguna untuk mengatur kehidupan sosial. Misalnya dengan adanya marga maka dikenal perkawinan eksogami marga, yakni adat yang mengharuskan seseorang kawin diluar marganya.bila terjadi perkawinan semarga maka orang tersebut diberi sanksi hukum berupa pengucilan, cemoohan, dan malah pengusiran, karena melanggar adat yang berlaku. Struktur sosial yang dikenal dan dijunjung tinggi oleh masyarakat Pakpak dikenal dengan sebutan Sulang Silima dengan unsur berru, dengan sebeltek atau sinina dan puang atau kula-kula. Seseorang Pakpak dengan struktur sulang silima umumnya paham atau dapat menentukan kedudukan dan peranannya sesuai konteks. Dengan demikian sama seperti halnya marga, di dalamnya terdapat sejumlah hak dan kewajiban yang mengatur hubungan atau unsur tersebut. Misalnya upacara perkawinan jelas kelihatan perbedaan hak dan kewajiban dari masing-masing unsur sulang silima. 2. Upacara Sepanjang Lingkaran Hidup dan Upacara Lainnya Berbagai jenis upacara selalu dijumpai dispanjang lingkaran hidup manusia pada hampir semua kelompok suku bangsa 24 sesuai dengan perkembangan biologi manusia itu sendiri. Tidak terkecuali kelompok yang sudah menganut agama-agama besar maupun yang belum selalu tidak terlepas dengan berbagai upacara-upacara tersebut. Suatu kelompok mengganggap masa balita merupakan masa yang paling berbahaya, yang lainnya menganggap lebih berbahaya pada masa menjelang dewasa yang lainnya lagi mengganggap lebih berbahaya pada masa mati. Untuk itu masa-masa tersebut perlu diantisipasi dengan melakukan berbagai upacara. Suku Pakpak mengenal system kekerabatan yang berbeda-beda yang digunakan untuk mengelompokkan dan memanggil anggota kerabatnya.perbedaan ini berhubungan erat dengn berbedanya peranan dan kedudukan masing-masing anggota kerabat dalam kelompok kerabatnya. Seorang individu mengelompokkan, menyebut dan memanggil kerabat sesuai dengan hak dan kewajiban yang diembannya. Selain itu dalam berinteraksi dengan para kerabat dikenal berbagai aturan dan nilai agar seseorang anggota kerabat dikategorikan beradat. Aturan dan nilai tersebut menjadi pengetahuan dan dijadikan pola dalam berinteraksi. Akibatnya ada interaksi yang harus bersikap sungkan dan tidak sungkan (akrab, bebas). Konsep atau pola yang digunakan sebagai acuan adat sopan santun adalah: 1. Ego adalah seorang individu yang dijadikan sebagai pusat orientasi atau perhatian dalam melihat istilah kekerabatan. Ego biasa seseorang yang berkedudukan sebagai anak, ayah atau kakek. Dalam konteks kekerabatan Pakpak ego adalah seorang laki-laki, karena kelompok kerabat dihitung berdasarkan patrilineal. 2. Keluarga inti adalah kelompok kekerabatan terkecil yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak yang belum kawin. 25 3. Sinina adalah kelompok kekerabatan yang terdiri dari saudara sepupu, paman dan bibi pararel baik yang semarga (sebeltek) maupun yang tidak semarga (pemerre maupun sebe;tek inang) 4. Berru adalah kelompok kerabat pihak penerima gadis. Atau kelompok kerabat dari pihak saudara perempuan ego, atau kelompok kerabat dari anak perempuan ego. 5. Puang adalah kelompok kerabat pemberi gadis. Atau kelompok kerabat dari pihak nenek, ibu atau istri dan istri anak laki-laki ego. Istilah Kekerabatan dari sudut pemakaiannya dapat dikategorikan pada dua system yaitu sebutan dan sapaan. Sebutan artinya bagaimana seseorang menyebut kerabatnya bila dipertanyakan pada pihak ketiga. Sedang sapaan bagaimana seseorang menyapa anggota kerabatnya bila bertemu atau memanggil secara bila bertatap muka. No Sebutan Sapaan Keterangan 1 2 3 4 5 6 dll Bapa Inang Kaka Dedahen Turang Mpung, Poli Bapa Nang, nange Nama, kaka Nama, Nama, turang Pung, poli Ayah Ibu Abang Adik (laki-laki dan perempuan) Kakak (adik Perempuan) Kakek Dalam system kekerabatan suku Pakpak, kedudukan anak laki-laki lebih tinggi disbanding dengan anak perempuan. Hal ini dapat ditinjau dari beberapa aspek, antara lain : Pertama, karena anak laki-laki berperan sebagai penerus keturunan marga atau klen (patrilineal) Kedua, laki-laki berperan sebagai penanggung jawab keluarga (fakta di lapangan relative) Ketiga, laki-laki berperan sebagai ahli waris utama peninggalan harta pusaka Keempat, laki-laki berperan sebagai pelaksana utama dalam setiap aktifitas adat. Anak perempuan walaupun memakai nama marga ayahnya, namun setelah kawin ikut suami dan anak-anak yang dilahirkannya memakai marga lain sesuai dengan marga suaminya bukan 26 marga ayahnya. Akibatnya keluarga yang belum memiliki anak laki-laki cenderung resah karena tidak ada yang meneruskan marganya (silsilahnya). Akibatnya sering kali istri harus berkorban untuk terus melahirkan hingga memperoleh anak laki-laki demi menjaga keharmonisan rumah tangga dan dengan kelompok kerabat yang lebih luas. Walaupun tidak identik dengan Pakpak secara keseluruhan, dari segi pembagian kerja, keluarga-keluarga Pakpak di Pedesaan maupun di perkotaan masih cenderung terikat dengan budaya, yang membedakan pekerjaan laki-laki dan perempuan. Perempuan yang identik dengan pekerjaan di sekitar rumah tangga, sedangkan suami sebagai kepala rumah tangga dan pencari nafkah yang berperan di luar rumah tangga. 2.5 Agama Masyarakat Pakpak Agama merupakan suatu sistem kepercayaan yang dianut oleh sekelompok atau komunitas yang berguna sebagai sarana mediasi antara kelompok tersebut dengan penciptanya (yang dipercayai sebagai nenek moyang). Pada zaman dahulu masyarakat Pakpak mengenal sistem kepercayaan animisme (suatu sistem kepercayaan kepada nenek moyang). Sebelum masuknya agama (Islam, Kristen, Katolik, Budha, Hindu), masyarakat Pakpak mengenal sistem kepercayaan yang disebut dengan Pambi. Kepercayaan ini merupakan suatu aliran kepercayaan Pakpak zaman dulu yang mengatur tentang kebudayaannya, dalam hal ini Pambi sangat berperan penting sebagai pengatur interaksi manusia dengan roh-roh nenek moyang. Dapat dikatakan bahwa Pambi adalag agama asli suku Pakpak dan masyarakat yang menganut sistem Pambi disebut masyarakat Pambi. Namun karena adanya penyebaran agama yang 27 dilakukan oleh misionaris ataupun pedagang-pedagang Arab maka sebagian besar masyarakat Pakpak kini sudah memeluk agama sekuler. Saat ini agama Pambi sudah mulai sedikit tergeser kedudukannya. Pada umumnya didaerah tempat penelitian, masyarakat sekitarnya mayoritas memeluk agama Islam dan sebagian lagi ada yang menganut agama Kristen. Ini dapat kita lihat jika pergi kelokasi penelitian, kita dapat melihat mushola (tempat ibadah agama islam) kecil lebih banyak jumlahnya dari pada tempat ibadah agama lainnya. Wilayah Pakpak yang masih memeluk agama Pambi sebagian besar mendiami wilayah Pakpak boang, tepatnya yang berada di sekitar wilayah AcehSubussalam. Tidak dapat ditentukan berapa persentase jumlah penduduk yang masih memeluknya saat ini namun menurut informasi yang didapat, aktivitas agama PAMBI masih sering dilakukan baik secara adat maupun ritual. Diwilayah Pakpak sendiri sebelum terjadinya pemekaran wilayah terdapat sebuah gereja yaitu Gereja kristen Protestan Pakpak Dairi (GKPPD), disinilah tempat beribadahnya masyarakat Pakpak yang memeluk agama kristen. 2.6. Organisasi Organisasi yang terdapat didaerah Pakpak antara lain adalah IKPPI (Ikatan Keluarga Pakpak Indonesia), ini merupakan organisasi kepemudaan khususnya bagi pemuda Pakpak. GAMKI kedua organisasi tersebut sangat dikenal ditingkat kabupaten sedangkan ditingkat kecamatan dan desa terdapat beberapa serikat kelompok tani yang didirikan hampir dis etiap desa. 28 2.7 Kesenian Dalam masyarakat Pakpak terdapat ensambel musik yang sering dilakukan dalam upacara adat maupun sehari-hari. Ensambel ini desebut ensambel “oning-oningan”. Namun ada juga musik yang dilakukan oleh perorangan ataupun individu itu sendiri sebagai alat penghibur dirinya. Adapun musik yang dikenal oleh masyarakat Pakpak adalah sebagai berikut. 2.7.1 Musik Vokal Musik vocal dalam masyarakat Pakpak adalah nyanyian tanpa teks, dapat dikatakan teks yang dinyanyikan adalah suasana hati individu sendiri. Musik ini sering dimainkan oleh perkemenjen dengan cara menyanyikan lagu yang sedih sambil memukul batang pohon kemenyan. Nyanyian ini disebut dengan istilah odong-odong. 2.7.2 Musik Instrumen Musik instrumen Pakpak dikenal dengan istilah oning-oningan dan genderang sisibah. Dalam ensambel oning-oningan terdapat beberapa instrumen antara lain kalondang, kecapi, balobat, gendrang sipitu sedangkan dalam ensambel genderang sisibah instrumen yang digunakan yaitu sarune, balobat, kalondang, gendrang sisibah (susunan 9 buah gendang) dan gong. Gendrang sisibah biasa dimainkan pada saat acara ritual atau sering disebut kerja njahat dan kerja mbaik. Berikut adalah penjabaran tentang instrumen ensambel musik Pakpak. 29 1. Gendrang Merupakan susunan dari bilah kayu yang memiliki membran sebagai materi penghasi suaranya ( drum chime ) yang disusun berurutan dari mulai yang terkecil hingga yang terbedar, digantung pada 1 buah kayu panjang dan 2 buah kayu bersiku sebagai penopangnya. Umumnya terdapat 1 bilah kayu panjang yang digunakan sebagai tempat gambar ornamen Pakpak. Gambar 2.1: Seperangkat Genderang Sisibah Pakpak (sumber: Dokumentasi Tumpal Saragih, 2013) 2. Kalondang Merupakan susunan dari 8 bilah kayu yang telah distem sehingga setiap bilah dapat menghasilkan nada. Fungsi utama musical alat musik kalondang ini adalah membawakan melodi, baik secara solo atau untuk iringan. 30 Gambar 2.2: Kalondang dengan Delapan Bilahan (sumber: Dokumentasi Tumpal Saragih, 2013) 3. Gong Merupakan alat musik yang terbuat dari besi kuningan yang ditempah berbentuk bulat dan ada tonjolan ditengah diameternya. Berikut ini adalah gambar gong. 31 Gambar 2.3: Gong yang Ditempatkan di Rak (sumber: Dokumentasi Tumpal Saragih, 2013) 4. Sarune Merupakan alat musik tiup yang terbuat dari kayu. Materi penghasil suaranya adalah dari reed yang ditiup. Berikut ini adalah gambar sarune. 32 Gambar 2.4: Sarune Pakpak (sumber: Dokumentasi Tumpal Saragih, 2013) 5..Balobat Merupakan alat musik tiup yang terbuat dari kayu. Termasuk alat musik yang dapat diklasifikasikan ke dalam golongan rekorder dengan lima lubang nada. Gambar balobat itu adalah sebagai berikut. 33 Gambar 2.5: Balobat dengan Lima Lubang Nada (sumber: Dokumentasi Tumpal Saragih, 2013) 2.7.3 Sarune Pakpak dalam Ensambel Musik Pakpak Sarune merupakan salah instrumen musik Pakpak yang termasuk dalam ensambel gendrang Pakpak. Sarune berfungsi sebagai pembawa melodi dalam ensambel tersebut. 34 Gambar 2.6: Sarune Pakpak dalam Ensambel (sumber: Dokumentasi Tumpal Saragih, 2013) Dalam siklus permainannya, setiap awal lagu diawali oleh tabuhan gendrang (gendrang silima,gendrang sipitu,gendarang sisibah) dan gong kemudian sarune. Menurut panjelasan bapak kerta sitakar, alasan mengapa sarune dimainkan setelah gendrang dan gong adalah sarune harus dibunyikan setelah gendrang dan gong bulat(bunyi yang dihasilkan ...? hal ini disebabkan karena jika gendrang tidak dimainkan pada ritemnya dan gong tidak mengeluarkan suara yang baik maka pemain sarune akan kesulitan untuk memulai memainkan melodinya. Penggunaan sarune dalam acara perkawinan adalah sebagai alat pengiring tari atau tortor. Umumnya setiap akan memulai musik, pemain 35 sarune memberitahukan kepada pemusik lainnya lagu yang akan dimainkan. Adapun lagu-lagu yang biasa dimainkan adalah sebagai berikut. 1. Ende-ende Tutu, 2. Gendang Raja, 3. Ende-ende Imbolu, dan 4. Perkotek Manuk I Lebuh. Lagu-lagu ini lah yang biasa dimainkan dalam pesta perkawinan. Lagu ini merupakan lagu riang dapat digolongkan sebagai lagu yang memiliki tempo cepat sekitar 130 MM, karena acara perkawinan merupakan acara kebahagian maka lagu-lagu yang dimainkan juga bersifat riang. Dalam permainannya ensambelnya, musik Pakpak memiliki lagu penutup. Lagu ini merupakan susunan nada yang dibuat pemusik Pakpak sebagai isyarat bahwa musik akan berhenti.musik dapat berhenti jika pembawa acara memberi isyarat bahwa tortor telah selesai, dan pemain sarune langsung berinisiatif membuat lagu penutup lalu diikuti pemain lainnya. Dalam setiap rangkaian upacara adat yang diiringi oleh sarune terdapat tahapan-tahapan lagu yang akan diamainkan. Pada saat upacara akan dimulai maka lagu yang dimainkan adalah Gendang Raja. Inilah yang merupakan lagu/gendang pembuka dalam setiap upacara adat. Sebelum lagu ini dimainkan maka setiap orang yang menghadiri upacara tersebut harus berada di luar arena tempat upacara diadakan, jika upacara dilakukan dihalaman maka hadirin hanya bisa duduk ditempat duduk ataupun tikar namun jika upacara dilakukan didalam gedung ataupun balai maka para hadirin wajib berada diluar gedung ataupun balai. 36 Untuk memulai upacara, maka raja perhata (master of ceremonial) yang ditugaskan sebagai pengatur jalannya upacara menyerukan kepada pemusik agar pemusik memainkan Gendang Raja sambil berjalan ke arah pemusik raja perhata memberikan napuran (seperangkat bahan pembuat sirih). Gambar 2.7: Raja Parhata Menyalami Pemusik (sumber: Dokumentasi Tumpal Saragih, 2013) Setelah napuran diberikan maka pemusik memainkan gendang raja, kemudian hadirin diperbolehkan masuk kedalam ruangan dan setelah para hadirin sudah memasuki ruangan maka pemain sarune memberi aba-aba ataupun isyarat sebagai penghabisan (ending) lagu gendang raja. 37 2.8 Tari Dalam kesenian tradisional Pakpak terdapat juga seni tari. Gambar dibawah ini merupakan tarian yang dilakukan oleh remaja putri diamati dengan seksama maka gerakan tarian hampir menyerupai gerakan tarian burung. Nama tari ini biasanya disebut tari :Taktak Garogaro”. Tarian ini merupakan tarian sukacita. Gambar 2.8: Salah Satu Visual Tatak Garo-garo (sumber: Dokumentasi Tumpal Saragih, 2013) 38 2.9 Seni Beladiri Beladiri merupakan salah satu kesenian yang terdapat dimasyarakat Pakpak. Disamping untuk menjaga nilai estetika budaya, kesenian ini juga berguna sebagai alat untuk mempertahankan ataupun membeli diri dari bahaya. Tidak ada paksaan bagi masyarakat tersebut untuk harus mengetahui kesenian ini. Gambar 2.9: Salah Satu Visual Seni Beladiri (sumber: Dokumentasi Tumpal Saragih, 2013) 39 2.10 Permainan Sarune Secara Solo Sarune juga dapat dimainkan secara solo tanpa ada pengiring instrumen musik lainnya.. Lagu-lagu yang dimainkan seperti layaknya bersenandung. Masyarakat Pakpak umumnya memainkan sarune saat berada dihutan yang tujuannya untuk menghilangkan rasa kesepian dan lelah. Pemain sarune biasanya dimainkan sebagai ungkapan perasaan sipemain. Adapaun lagu yang biasa dimainkan adalah sebagai berikut. 1. Tangis Berru Ikan, 2. Tangis Berru Manik, 3. Ende-ende Tutu Kere, dan 4. Tangis-tangisen Menci Jika perasaan si pemain sarune sedang sedih maka lagu-lagu yang dimainkan memiliki awal kata pada judulnya adalah “tangis”, sedangkan jika lagu yang dimainkan merupakan ungkapan perasaan bahagia maka kata diawal judul adalah ende. Kebanyakan lagu-lagu yang dimainkan oleh pemain sarune dalam suatu ensambel merupakan lagu-lagu yang diciptakan pada saat sarune dimainkan sacara solo. Ini merupakan hasil karya dan kreativitas seniman tradisi masyarakat Pakpak. 2.11 Peristiwa Terjadinya Sarune Pakpak Berdasarkan pendapat para informan, terjadinya sarune dalam kebudayaan pakpak mengalami proses yang panjang, sesuai dengan kultur agraris. Bertani ataupun bercocok tanam merupakan salah satu mata pencaharian masyarakat Pakpak sejak dahulu kala sampai sekarang. Dari antara sekian 40 banyak cara bertani tersebut, salah satu di antaranya adalah menanam padi darat. Menanam padi darat merupakan cara bertani yang dipakai oleh masyarakat Pakpak dengan cara berpindah-pindah lahan. Biasanya lahan yang digunakan adalah daerah perbukitan ataupun lereng-lereng gunung. Pemilihan lahan ini didasarkan karena tanah diperbukitan ataupun lereng-lereng gunung banyak mengandung humus yang dapat meningkatkan kesuburan tanah. Lahan pertanian ini dapat bertahan hingga 2 sampai 3 kali panen. Kemudian untuk penanaman selanjutnya berpindah dan mencari lahan yang baru. Namun, biasanya masyarakat Pakpak memanfaatkan lahan yang lama sebagai tempat untuk menanam pohon kopi, kemenyan, dan karet. Sistem panen padi darat pada zaman dulu dikerjakan secara gotongroyong. Sehingga jika musim panen tiba, maka daerah pemukiman masyarakat pasti sepi dan tak jarang pulu masyarakat tersebut lebuh memilih untuk bermalam di ladangnya. Dari sistem kerja gotong-royong inilah awal mula terpikirkannya untuk menciptakan alat musik tradisional Pakpak yaitu sarune. Karena begitu ramai dan bergembiranya masyarakat mengerjakan panen maka di sela-sela waktu istirahat untuk menghilangkan rasa lelah diciptakanlah sesuatu yang menghasilkan bunyi-bunyian dari batang padi yang dalam bahasa Pakpak disebut nggala page. Batang padi yang berfungsi sebagai alat musik ini dibentuk sedemikian rupa kemudian ditiup sehingga menimbulkan suara nyaring dan merdu. Materi penghasil bunyi pada alat musik nggala page pada masyarakat Pakpak disebut juga pit. Masyarakat Pakpak meyakini bahwa ketika “pit” berbunyi dengan sendirinya burung-burung camar (garo-garo dalam bahsa 41 Pakpak) akan menari-nari dengan riang, seolah-olah ikut bersukaria atas panen tersebut. Namun samakin lama masyarakat Pakpak melihat bahwa suara pit dapat membuat hujan turun. Ini menurut kepercayaan masyarakat Pakpak dahulu kala. Dampaknya dapat mengganggu proses pemanenan. Akhirnya dicarilah sejenis kayu hutan untuk dijadikan sebagai alat musik tardisional yang dapat mengeluarkan bunyi seperti suara pit. Dari sekian banyak jenis kayu dihutan namun kayu siraja junjung bukit yang merupakan pilihan utama sebagai bahan baku alat musik sarune Pakpak ini. Kayu ini tumbuh di hutan lebat pada umumnya dan pohonnya tidak terlalu besar serta tidak berserat kasar. Menurut kepercayaan masyarakat Pakpak terdahulu, untuk menebang atau mengambil kayu ini harus memenuhi persyaratan antara lain diuraikan sebagai berikut. (a) Gatap penter, yaitu merupakan sehelai daun sirih yang masih segar dan ruas- ruasnya saling bertemu. (b) Gatap i krimpit, yaitu beberapa helai (biasanya 7 helai) daun sirih kemudian dipincuk menjadi 7 pincuk kemudian setiap helai diisi dengan kapur, pinang yang dibelah kecil, kemiri, dan sebiji lada hitam. (c) Beras banu, yaitu salah satu jenis beras dari butiran padi yang dihasilkan oleh para petani di kawasan Pakpak. 42 BAB III BIOGRAFI RINGKAS BAPAK KERTA SITAKAR Seperti sudah disinggung pada Bab I, dalam studi etnomusikologi, untuk mengkaji teknik permainan alat-alat musik tertentu di seluruh dunia, maka hal itu terkait secara langsung dengan pemusik atau musisi. Artinya studi tentang teknik bermain alat musik juga adalah setudi tentang pemusik itu sendiri. Sesuai dengan arahan Merriam, maka dalam mengkaji permainan alat musik sarune Pakpak ini, penulis memperhatikan hal-hal sebagai berikut. Apakah Bapak Kerta Sitakar sebagai pemain sarune Pakpak dipaksa oleh masyarakat Pakpak untuk menjadi pemain sarune, atau ia memilih sendiri karirnya sebagai pemain sarune? Bagaimana metode latihan yang dilakukan Bapak Kerta Sitakar, apakah sebagai pemain musik potensial yang mengandalkan kepada kemampuan sendiri; apakah Bapak Kerta Sitakar mendapatkan pengetahuan dasar tentang teknik memainkan alat musik sarunenya dari orang lain, atau apakah Bapak Kerta Sitakar menjalani latihan yang ketat dalam waktu tertentu? Siapa saja gurunya, dan bagaimanakah metode mengajarnya? Bergerak dari aspek-aspek musisi di atas, maka terlebih dahulu penulis paparkan tentang aspek biografi Bapak Kerta Sitakar. Hal ini penting dilakukan dalam rangka pemahaman kita terhadap latar belakang budayanya dan teknik-teknik permainan sarune Pakpak yang disajikannya, yang menjadi fokus kajian penulis dalam skripsi sarjana ini. 43 Gambar 3.1: Bapak Kerta Sitakar (sumber: Dokumentasi Tumpal Saragih, 2013) 3.1 Pengalaman Waktu Kecil Bapak kerta Sitakar lahir di Dusun Mbereng kecamatan Kerajaan Kabupaten Pakpak Bharat desa Kuta Meriah tahun 1946. Saat ityu masu=ih tegabung ke dalam Provinsi Sumatera dengan gubernurnya Mr. Teuku Mohammad Hasan (lihar Budi Agustono dkk. 2013). Orangtuanya merupakan seorang petani sekaligus pemain sarune (pemain musik tradisional Pakpak). Ibunya adalah seorang petani. Bapak Kerta Sitakar menjalani masa kecilnya 44 untuk membantu orangtuanya bertani. Beliau sempat mengecap pendidikan sekolah dasar di desa tempat tinggalnya. Kadangkala ayahnya membawa beliau untuk ikut menemani ayahnya bermain musik. Pertama kali beliau dibawa ayahnya ketika berumur 8 tahun. Dari situlah beliau merasa tertarik dengan alat musik sarune. Terkadang ketika ayahnya memainkan sarune di rumah, Beliau mengemukakan, “Kalau dimaikan sarune ini kayaknya kena keperasaanku” kata Bapak Kerta Sitakar. Beliau mengatakan bahwa ayahnya tidak mau mengajarkannya cara memainkan sarune secara detail. Alasannya karena ayahnya menganggap bahwa Kerta Sitakar masih terlalu kecil. Beliau hanya bisa mendengar dan melihat sarune ketika ayahnya memainkan, namun karena ketertarikannya belia belajar sendiri ketika ayahnya sedang tidak di rumah. Dengan demikian, ia mengandalkan permainan alat musik sarune ini dengan cara kelisanan, melihat, mendengar, dan menirukannya. Kemudian secara diam-diam latihan sendiri tanpa adanya guru yang formal. Awalnya dia mengalami kesulitan ketika akan meniup sarune “tak bisa ku embus sarune, payah kali” cetuh beliau. Penasaran untuk mengetahui bagaimana cara meniup sarune, tanpa diajak pun beliau mengajukan diri untuk ikut menemani ayahnya bermain musik. Pada saat ayahnya bermain musik, biasanya kerta sitakar selalu duduk di samping ayahnya “duduk aku disamping bapak kalau dia main musik, kalau ga main akulah yang memegang sarunenya”. Karena sering melihat ayahnya memainkan sarune dan kegigihannya belajar sendiri, akhirnya beliau dapat memiankan sarune tersebut. 45 3.2 Pendidikan Pendidikan musical yang dialami oleh Bapak Kerta Sitakar lebih banyak diperolehnya dari pengalaman berkesenian. Dari pengalaman ini ia banyak bergaul dengan sesame musisi Pakpak. Begitu pula dengan para pemusik Sumatera Utara di berbagai peristiwa seni. Pendidikan Kerta Sitakar secara formal adalah sempat mengecap pendidikan sekolah dasar di desa tempat beliau tinggal. Beliau menyelesaikan pendidikan hanya sampai kelas 3 Sekolah Dasar. Dengan tingkat pendidikan yang seperti itu, ia mampu membaca dan menulis dalam huruf latin. 3.3 Pengalaman Saat Dewasa Pada tahun 1963, beliau memfokuskan diri sebagai pemain sarune komersial. Acara yang pertama kali diikutinya adalah pada saat upacara kematian (kerja njahat) di Desa Perpulungan. Bayaran yang diterimanya berupa 2 liter beras, uang senilai Rp 5.-, dan sebuah tikar anyaman. Menjalani hidup sebagai pemusik dikatakan beliau adalah cukup untuk menghidupi dan membantu perekonomian keluarganya. Beliau juga sering diundang untuk mengiringi acara muisk di kantor Pemerintah Kabupaten Pakpak Bharat. Dari mulai diberi upah Rp 5 pada tahun 1963 Sampai sekarang beliau mendapatkan penghasilan sekitar Rp 200.000, setiap melakukan pertunjukan, khususnya sebagai pemain sarune Pakpak.. Sampai pada tahun 2002, beliau masih menjalani rutinitas sebagai pemusik tradisional Pakpak khususnya bermain sarune. Namun karena faktor usia beliau tidak lagi bisa menjadi pemusik komersial. Di samping itu peranan sarune saat ini, berangsur-angsur digantikan oleh alat musik balobat. Hal ini 46 diakibatkan karena begitu banyaknya orang yang dapat memainkan balobat. Akibatnya setiap grup musik tradisional Pakpak di daerah itupun menjadikan balobat sebagai pembawa melodi dalam ensambel musik Pakpak. Hal yang paling membuat Bapak Kerta Sitakar tidak lagi memainkan sarunenya adalah karena sarune yang dimiliknya sudah tua. Juga karena ketidaksengajaan cucunya yang mengakibatkan sarunenya pecah. Sarune ini merupak pemberian ayah beliau jadi mengetahui sarunenya rusak membuat perasaan beliau sedih. Menurut penuturan beliau, bahwa sarune yang dimilikinya ini merupakan sarune asli Pakpak zaman dulu. Jika kita bandingkan dengan sarune yang dibuat saat ini memang sangat berbeda dari segi bahan dan bentuknya. 3.4 Pemain Profesional Pemain profesional dapat diartikan yaitu seseorang (dalam hal ini pemusik) yang ahli di bidangnya dan dapat memperoleh royalti ataupun upah dari hasil kinerjanya. Bapak karta mulai dikenal sebagai peniup sarune Pakpak pada tahun 1980an (wawancara dengan Kerta Sitakar pada tanggal 18-11-2012). Ketika itu Bapak Kerta Sitakar bergabung dengan sebuah grup musik Pakpak, dari sinilah beliau dikenal sebagai pemain sarune. Saat itu grup musik tersebut cukup terkenal di kalangan kesenian Pakpak. Dengan status sebagai pemusik, beliau sering dipanggil dan bergabung dengan seniman-seniman Pakpak lainnya. Salah satu keuntungan yang didapat oleh beliau setelah bergabung adalah beliau sering tampil diberbagai event kebudayaan. Karena sering tampil di berbagai acara, akhirnya beliau semakin dikenal di kalangan pemusik tradisi 47 Pakpak. Hal ini menambah pemasukan beliau dari segi keuangan karena di setiap kali acara yang diiringinya, beliau mendapatkan upah (wawancara dengan Kerta Sitakar pada tanggal 18-11-2011). Hingga pada masuknya instrumen barat seperti keyboard, musik tradisi mulai kehilangan pamornya terkhusus alat musik sarune. Karena pada saat itu dan sampai sekarang setiap grup musik menggantikan peranan sarune dengan menggunakan lobat sehingga Bapak Kerta Sitakar pun mulai kehilangan sumber pemasukan keuangannya dan lambat-laun beralih menjadi petani di desanya. 3.5 Cara Belajar Sarune Pembelajaran sarune yang dilakukan Kerta Sitakar merupakan pembelajaran yang dilakukan dengan cara otodidak dan berdasar kepada tradisi kelisanan. Artinya pembelajar dilakukan secara tidak formal, tidak memiliki pelatih hanya belajar sendiri dengan cara mendengar, melihat, dan menirukannya. Menurut sejarahnya pada masyarakat Pakpak tidak ada pembelajaran yang diberikan orangtua kepada generasi di bawahnya. Hal ini disebabkan karena belajar seni dimasyarakat Pakpak hanya boleh dilakukan oleh orang yang telah mendapatkan ”nampuren” atau karunia dari roh-roh nenek moyang. Nampuren ada yang didapat sejak dilahirkan dan juga dengan meminta langsung kepada roh dengan media ritual. Mungkin hal ini juga yang menjadi alasan orangtua kerta sitakar tidak mau mengajarinya bermain sarune. Menurut pengakuan beliau, teknik bermain sarune didapatnya karena sering mengikuti ayahnya jika sedang bermain sarune baik pada saat ada acara adat maupun ketika ayahnya memainkan sarune di saat waktu luang. Ayahnya tidak mengijinkan beliau untuk memainkan sarune itu sebabnya beliau belajar 48 ketika ayahnya sedang tidak memainkan sarune dan tidak sedang berada di rumah. Namun seperti kata pepatah sepandai-pandainya tupai melompat pasti jatuh jua yang artinya sepandai-pandainya kita menyimpan rahasia pasti sekali waktu ketahuan juga. Inilah yang dialami beliau, pada akhirnya ayahnya pun tahu jika beliau sering belajar sarune tanpa sepengetahuannya. Sejak saat itu ayahnya mengajarinya sedikit tentang bermain sarune. Adapun yang diajari ayahnya yaitu teknik polinama atau sirkular brithing (tiupan sirkuler) dan beberapa lagu yang biasa dimainkan ketika acara adat. Menutut beliau, yang paling sulit dari sarune adalah mempelajari teknik polinama. Butuh waktu yang cukup lama untuk dapat menguasai teknik polinama karena jika tidak bisa menguasai teknik ini, maka seseorang tersebut belum bisa dikatakan sebagai pemain sarune. Bapak Kerta Sitakar biasanya belajar sarune ketika malam hari. Biasanya durasi yang dibutuhnya untuk belajar sekitar 2 sampai 3 jam sehari. Selaras dengan arahan Alan P. Merriam (1964), maka dalam menganalisis Bapak Kerta Sitakar sebagai pemain sarune Pakpak ini dapat disimpulkan sebagai berikut. (a) Bapak Kerta Sitakar dalam menjalani profesinya sebagai pemain musik sarune Pakpak adalah atas kemauannya sendiri, tidak dipaksa oleh orang tuanya yang juga seniman, apalagi oleh masyarakatnya. Sepenuhnya kinerja beliau sebagai pemain sarune Pakpak adalah panggilan hati nurani, minat utama, dan tentu saja faktor bakat (talenta) yang diperoleh dari ayahnya. (b) Metode latihannya adalah mengandalkan intuisi secara otodidak dan kelisanan. Artinya ia mengasah kemampuan bermain sarune Pakpak 49 berdasarkan pengalaman melihat, mendengar, dan menirukan. Selain itu ia pun sadar akan bakat seninya ini merupakan bahagian dari nampuren yaitu karunia seni dari roh-roh nenek moyang beliau. Ia menjadi motivasi penting dalam kinerja beliau sebagai pemain sarune Pakpak. Berdasarkan aspek-aspek inilah beliau terus-menerus mengasah kemampuan bermusiknya terutama dalam memainkan alat musik yang paling dicintainya yaitu sarune Pakpak. Selain itu ia belajar awalnya secara diam-diam tanpa diketahui oleh ayahnya. Namun setelah diketahui ayahnya, ia juga diajari oleh ayahnya dalam memainkan alat musik ini. Namun demikian, menurut pengakuannya, secara mendasar keahlian bermain sarune diasahnya melalui sistem otodidak dan kelisanan. (c) Untuk melancarkan dan mengolah kemampuan musikalnya, Bapak Kerta Sitakar memerlukan dan mengisi waktu latihan dua sampai tiga jam setiap harinya. menurut penjelasan beliau, waktu latihan ini bila perlu ditambah jika ada job-job baru yang mengharuskan beliau latihan bersama dengan seniman-seniman musik dan tari lainnya, baik di tingkat desa, kecamatan, kabupaten, atau provinsi. Jadwal latihan disesuaikan dengan kehendak orang yang memimpin proyek kesenian tersebut. 50 BAB IV ANALISIS TEKNIK PERMAINAN Pada Bab IV ini penulis akan mengkaji teknik-teknik permainan sarune Pakpak yang disajikan oleh Bapak Kerta Sitakar. Pendekatan utama dalam proses kerja di bahagian ini adalah pendekatan emik berdasar kepada teori etnosains. Analisis teknik difokuskan kepada teknik tradisional yang diterapkan oleh Bapak Kerta Sitakar. 4.1 Teknik Pernapasan/ Teknik Meniup Berdasarkan penjelasan Bapak Kerta Sitakar, dalam memainkan sarune Pakpak, Ada 4 jenis teknik pernapasan yaitu: (a) teknik pernafasan perut, (b) teknik pernafasan dada, (c) teknik pernafasan pundak, dan (d) teknik pernafasan gabungan (perut, dada, dan pundak). Keempat teknik ini dapat dideskripsikan sebagai berikut. 4.1.1 Teknik Pernapasan Perut Mulailah menarik nafas dan biarkan udara masuk sedalam mungkin ke dalam perut, sehingga perut menjadi menggembung. Perhatikan perut anda. Saat menarik nafas, perut akan menggembung dan saat menghembuskan nafas, perut mengempis. Kebiasaan yang sering tidak kita sadari adalah pada saat menarik nafas, justru perut mengempis. Sebaliknya pada saat menghembuskan nafas, perut menggembung. Pada gilirannya cara bernafas yang salah seperti ini akan membebani banyak sekali organ dalam tubuh, sehingga kita lebih rentan terhadap penyakit. Lakukan teknik ini dengan posisi duduk tegak, bukan berdiri 51 atau tiduran. Anda bisa melakukannya dengan duduk di atas kursi atau duduk bersila di lantai. Lakukan teknik ini beberapa kali sampai anda terbiasa. 4.1.2 Teknik Pernapasan Dada Caranya sama dengan Nafas Utama Perut. Hanya perhatian Anda arahkan ke bagian dada. Pada saat menarik nafas, dada mengembang dan saat menghembuskan, dada mengempis. Perhatikan bahwa posisi latihan dan istirahat tetap sama, yaitu duduk tegak, bukan berdiri atau lainnya. Lakukan teknik ini beberapa kali sampai anda terbiasa. 4.1.3 Teknik Pernapasan Pundak Caranya sama seperti nafas perut dan dada. Kali ini arahkan perhatian Anda ke pundak. Saat menarik nafas, bawalah udara sampai ke bagian pundak atau dada atas sehingga pundak akan naik. Saat menghembuskan nafas pundak turun kembali ke posisi biasa. Posisi latihan ini juga sama dengan latihan nafas perut dan dada. Anda boleh duduk di kursi atau duduk bersila di lantai. Yang penting anda melakukannya dengan duduk tegak, bukan dengan berdiri. 4.1.4 Teknik Pernapasan Gabungan (Perut, Dada dan Pundak) Tariklah nafas sedalam mungkin, perut menggembung. Dada mengembang dan pundak naik tanpa ditahan. Kemudian hembuskan nafas, perut mengempis, dada dan pundak kembali ke posisi semula. 52 Dari keempat teknik pernapasan di atas, teknik yang sering dipakai dalam permainan sarune adalah teknik pernapasan perut. Alasannya adalah pernafasan perut ini lebih banyak udara yang didapatkan sehingga memudahkan untuk bermain. Sebagai awal, mulailah dengan hanya meniup reed pada sarune (ini akan mempermudah menguasai untuk membunyikan suara sarune, karena jika langsung menghembus sarune kemungkinan suara tidak akan bunyi). Masukkan reed kedalam mulut kemudian jepit reed dengan bibir, posisikan reed ditengah bibir. 53 Gambar 4.1: Permainan Sarune Pakpak dengan Teknik Pernafasan Gabungan (sumber: Dokumentasi Tumpal Saragih, 2013) Kemudian hembuskan udara dengan menggunakan teknik pernapasan perut. Reed (lidah sarune) akan mengeluarkan suara jika bergetar, getaran ini dihasilkan dari tiupan udara yang melewati rongga reed, maka usahakan antara reed atas dan reed bawah terdapat rongga untuk aliran udara. 54 Dalam peniupan sarune dikenal juga teknik polinama atau cirkular breathing yang artinya sirkulasi udara tidak berhenti. Inilah salah satu yang menjadi karakteristik sarune Pakpak. Cara untuk menguasai teknik ini, yaitu: 1. Lakukan peniupan selama durasi 4 ketuk, kemudian 8 ketuk kalau bisa lakukan sampai 24 ketuk, 2. Hembuskan udara dari perut hingga sampai keluar mulut secara perlahanlahan tanpa terputus, 3. Pada saat menghembus, simpan udara didalam mulut, ini akan membuat rongga mulut mengembang, 4. Pada saat yang bersamaan, hirup udara dari hidung, dan 5. Hiruplah udara ketika udara yang didalam mulut hampir habis. Langkah ini akan mempermudah untuk menguasai teknik polinama tersebut dan untuk menguasainya dibutuhkan konsentrasi dan kesabaran. Untuk pemula lakukan cara ini dengan menggunakan sedotan atau pipet. Caranya adalah dengan menyediakan sebuah sedotan kecil, sebuah gelas yang berisi air (ukuran air kira-kira 1/5 dari gelas). Masukkan sedotan ke dalam gelas yang berisi air tersebut kemudian hembuskan udara dari mulut hingga menimbulkan gelembung air (gunakan 5 langkah diatas untuk mempelajari teknik polinama). Tetap dingat bahwa ketika dilakukannyanya teknik polinama, reed harus tetap bergetar. Setelah teknik ini sudah dikuasai, kemudian sambungkan kembali reed pada badan sarune. Lakukan kembali peniupan sama seperti melakukan tiupan ketika reed dilepas. Peganglah sarune dengan menggunakan jari kemudian tutup semua lubang nada pada sarune, jika suara sarune belum berbunyi maka bukalah lubang nada yang ada kemudian tiup sekuat-kuatnya, jika dengan cara ini sarune 55 dapat berbunyi kemudian tutup kembali lubang nada. Lakukan secara berulangulang sampai sarune dapat berbunyi walaupun lubang nadanya tertutup. 4.2 Teknik Penjarian Teknik penjarian (fingering) berguna untuk menghasilkan nada. Sarune memiliki 7 buah lubang nada yang masing-masing lubangnya ditutup oleh jari tangan. Pada umumnya telapak tangan manusia memiliki 5 jari-jari dan setiap jari memiliki 3 ruas. Untuk menutup lubang nada sarune hanya diperlukan 4 jari kiri dan 4 jari kanan dan ruas jari yang digunakan adalah ruas jari yang paling atas. Jari telunjuk, jari tengah, jari manis pada tangan kiri berfungsi untuk menutup 3 lubang nada pada bagian atas-depan sarune dan ibu jari berfungsi untuk menutup lubang nada pada bagian belakang sarune. Jari telunjuk, jari tengah, jari manis pada tangan kanan berfungsi untuk menutup lubang nada bagian bawah-depan sedangkan ibu jari kiri berfungsi sebagai penutup lubang nada disisi belakang sarune dan ibu jari kanan berfungsi sebagai penopang sarune pada bagian bawah sisi belakang. 56 Gambar 4.2: Teknik Penjarian (sumber: Dokumentasi Tumpal Saragih, 2013) Perlu diperhatikan bahwa lubang nada harus benar-benar tertutup oleh ruas jari, karena jika tidak tertutup rapat maka nada yang dihasilkan akan fals (out of tune). Dalam teknik penjarian sarune juga terdapat teknik urgut, teknik ini merupakan cara yang digunakan untuk menbuat nada-nada thrill sebagaimana yang lazim digunakan dalam teori musik Barat (terdapat 3 not 1/8 dalam 1 ketuk). 57 4.3 Teknik Penghasilan Nada Untuk menghasilkan nada, diperlukan perpaduan antara teknik pernapasan dengan teknik penjarian. Tanpa menguasai teknik ini maka akan sangat sulit untuk membuat bunyi suara sarune. Jika udara yang ditiupkan berlebihan maka nada akan melengking atau false ataupun jika jari-jari tangan tidak menutup rapat lubang nada, maka sarune juga tidak akan berbunyi. 4.3.1 Teknik Menghasilkan Nada Do (Dasar) Gambar 4.2: Teknik Mengasilkan Nada Do (sumber: Dokumentasi Tumpal Saragih, 2013) 58 Posisikan reed sarune dipertengahan mulut antara bibir atas dan bibir bawah, pegang dan angkat sarune dengan jari-jari, sambil menutup semua lubang nada pada sarune lalu hembuskan sarune sampai menghasilkan bunyi. Untuk tahap awal anda akan mengalami kesulitan untuk membunyikan sarune. Untuk mempermudahnya maka angkat semua jari yang ada di atas lubang nada kemudian hembuskan, Setelah sarune berbunyi maka tutup kembali lubang nada lalu hembuskan sarune Lakukan berkali-kali sampai sarune dapat berbunyi ketika lubang nada tertutup semua). Jika sudah berhasil maka untuk membunyikan nada berikutnya anda tidak akan mengalami kesulitan. Karena ini merupakan nada paling rendah, maka jangan terlalu kuat dalam menjepit reed sarune. Berikan rongga yang sedikit lebih besar. Ini akan mempermudah menghasilkan nada tersebut. 59 4.3.2 Teknik Menghasilkan Nada Re Gambar 4.3: Teknik Mengasilkan Nada Re (sumber: Dokumentasi Tumpal Saragih, 2013) 60 Posisikan reed sarune dipertengahan mulut, antara bibir atas dan bibir bawah. Sealnanjutnya pegang dan angkat sarune dengan menggunakan jari sambil menutup semua lubang nada kemudian lepaskan jari manis kanan agar lubang nada paling bawah terbuka. Lalu tiupkan udara melalui reed sarune hingga sarune menghasilkan suara. 4.3.3 Teknik Menghasilkan Nada Fi Gambar 4.4: Teknik Mengasilkan Nada Fi (sumber: Dokumentasi Tumpal Saragih, 2013) 61 Posisikan reed sarune dipertengahan mulut antara bibir atas dan bibir bawah. Pegang dan angkat sarune dengan jari-jari, sambil menutup semua lubang nada lepaskan jari manis dan jari tengah kanan, sehingga 2 lubang nada terbuka. Kemudian hembuskan udara melalui reed hingga sarune menghasilkan bunyi. 4.3.4 Menghasilkan Nada Sol Gambar 4.5: Teknik Mengasilkan Nada Sol (sumber: Dokumentasi Tumpal Saragih, 2013) 62 Posisikan reed dipertengahan mulut antara bibir atas dan bibir bawah, pegang dan angkat sarune dengan jari-jari kemudian tutup lubang nada dengan menggunakan jari. Lalu lepas kan jari manis, jari tengah, jari telunjuk (bagian tangan kanan), namun jari telunjuk tidak dilepaskan secara sepenuhnya (hanya terbuka sebagian) dan sisanya masih ditutup oleh jari telunjuk. Teknik ini berfungsi juga sebagai penghasil nada setengah (kromatik) untuk setiap lubang nada. Kemudian hembuskan udara melalui reed sarune hingga menghasilkan bunyi. Pada penjarian ini, khusus untuk jari telunjuk kanan harus tetap berada di sisi badan sarune, hal ini berguna untuk menambah daya menahan bagian bawah sarune. Tidak diperlukan kekuatan tenaga, hanya filling sipemain dalam merasakan dan mendengar nada yang dibunyikan. Jika lubang nada dibuka secara berlebihan, maka nada yang dihasilkanpun akan false. 63 4.3.5 Menghasilkan Nada Si Gambar 4.6: Teknik Mengasilkan Nada Si (sumber: Dokumentasi Tumpal Saragih, 2013) 64 Posisikan reed pada bagian tengah mulut diantara bibir atas dan bibir bawah. Tutup semua lubang nada dengan menggunakan jari-jari tangan. Kemudian buka lubang nada dengan cara melepaskan jari manis, jari tengah tangan kanan tetapi khusus untuk jari telunjuk pada bagian kanan lubangg nada tidak dibuka total. Hanya setengah lubang nadanya saja, lalu lepaskan jari manis kiri, lalu hembuskan udara melalui reed sarune. 4.3.6Menghasilkan Nada Do (Oktaf) Gambar 4.7: Teknik Mengasilkan Nada Do (Oktaf) (sumber: Dokumentasi Tumpal Saragih, 2013) 65 Posisikan reed ditengah mulut antara bibir atas dengan bibir bawah, lalu tutup semua lubang nada, kemudian lepaskan semua penutup lubang nada sehingga yang tetap berada dibadan sarune adalah ibu jari kanan, jari telunjuk kiri dan ibu jari kanan. Jari telunjuk kiri diposisikan disisi kiri badan sarune, tepat disisi lubang nadanya. Untuk penjarian ini diperlukan latihan yang lebih baik lagi, hal ini disebabkan karena pada saat membunyikan nada ini, penopang badan sarune hanya menggunakan 3jari yaitu, ibu jari kiri, jari telunjuk kanan dan ibu jari kanan. Jika tidak mahir, maka bagian sarune antara badan sarune dengan reed akan terlepas, hal ini adalah kejadian yang sangat fatal jika terjadi saat memain alat musik tersebut. Oleh sebab itu, diperlukanlah kulit ataupun badan si pemain untuk menopang bagian bawah sarune. Karena sarune merupakan alat musik yang bagian- bagiannya disusun dan dirangkaikan antara sisi lubang udara yang satu dengan yang lain nya tanpa ada perekat ataupun lem maka sangat memungkinkan bagian rangkaian sarune tersebut akan lepas. Untuk itulah diperlukan badan ataupun kulit tersebut. Biasanya bagian tubuh yang sering digunakan sebagai penopang adalah bagian betis kaki ataupun bagian samping telapak kaki. 4.4 Sistem Pelarasan (Pengragamenken) Pelarasan ataupun penyeteman dalam bahasa Pakpak disebut dengan istilah pengragamenken. Pada dasarnya istilah ini menyangkut kualitas bunyi dari sarune itu sendiri, dalam arti bunyi yg dihasilkan harus sempurna dan cukup baik menurut perasaan dan naluri musikal pemainnya melalui rangkaian melodi 66 pengragamenken. Apabila kualitas bunyi yang diinginkan belum tercapai dan sesuai dengan rasa musikal pemainnya maka ada tiga hal yang dianggap sebagai penyebabnya, yaitu sambungan masing-masing bagian sarune, lubang nada yang tidak sesuai, dan faktor pit (lidah) sarune. Tentang sambungan masing-masing sarune dapat menyebabkan kualitas suara tidak baik adalah dikarenakan kurang padatnya masing-masing bagian dari organ-organ sarune yang mengakibatkan kebocoran udara dari bagian-bagian yang tidak semestinya berfungsi sebagai saluran udara. Menyangkut perbandingan lubang nada sarune dengan badan sarune juga dapat mempengaruhi kualitas bunyi dari alat musik sarune. Apaabila lubang nadanya terlalu kecil maka lubang nada tersebut harus diperbesar hingga dicapai kualitas yang diinginkan. Sedangkan pembuatan jarak lubang nada yang salah dalam pembuatannya atau lubang nada yang terlalu besar maka jalan satusatunya yang harus dilakukan adalah dengan mengganti sarune tersebut dengan sarune lain yang sesuai dengan kualitas bunyi dan rasa musikaln pemainnya. Yang peling sering terjadi menyangkut kualitas suara sarune adalah yang diakibatkan oleh pit (lidah) sarune. Perubahan kualitas bunyi dapat terjadi apabila lidahnya terlalu kering ataupun terlalu basah oleh air ludah pemainnya. Apabila terlalu basah maka pemainnya akan berusaha mengurangi kadar airnya dengan menjepit sarune pada kedua bibir pemainnya dan mencobanya hingga tercapai bunyi yang dinginkan. Sedangkan pit yang terlalu kering akan ditempelkan pada lidah pemainnya dan menyulurkan air ludahnya sendiri untuk membasahi pit sarune tersebut. Selanjutnya lidah sarune (pit) kembali dijepitkan pada kedua bibir pemainnya untuk mengurangi kadar air yang berlebihan pada 67 pit. Namun demikian pada kenyataannya pemain sarune seringkali memeriksa pit sarune secara fisik. Dalam hal melodi pengragamenken ini seorang pemain sarune selalu memainkan sebuah lagu. Baik lagu dalam konteks pertunjukan ataupun dalam konteks pengungkapan perasaan. Melodi tersebut adalah merupakan free meter (meter bebas) yang secara khusus hanya dimainkan dalam proses pengragamenken. Dalam arti, melodi ini tidak dimainkan dalam bentuk repertoar karena bisa dikatakan bersifat asal-asal saja. 68 BAB V TRANSKRIPSI DAN ANALISIS 5.1 Transkripsi Transkripsi adalah suatu proses pemvisualisasikan bunyi musikal pada notasi (Nettl 1964:98). Pada proses transkripsi sampel lagu ataupun melodi, penulis mengacu pada tulisan Nettl yang mengemukakan bahwa notasi deskriptif bertujuan untuk mencatat secara terperinci bagian-bagian musik yang disajikan. Secara umum transkripsi dilakukan dengan menggunakan notasi balok, dengan alasan hasil transkripsi dapat dipahami oleh para pembaca sampai lingkup internasional. Alasan mengapa penulis tidak memakai atau menggunakan notasi angka adalah karena jika menggunakan notasi angka kontur (garis lintasan melodi) dan tinggi rendahnya suatu nada tidak nampak secara eksplisit. Ada beberapa metode yang digunakan dalam pentranskripsian ini, antara lain, sebagai berikut. 1. Nada-nada ditulis didalam wilayah garis paranada (staff notation) yang terdiri dari lima garis horizontal ditambah garis bantu diatas jika nada yang digunakan lebih tinggi dari 1 oktaf dan garis bantu bawah jika nada yang digunakan lebih rendah 1 oktaf. 69 Contoh : 2. Kunci (clef) ang dipergunakan adalah kunci G, karena wilayah nada (ambitus) yang dimainkan berkisar diantara tanda kunci ini. Contoh: 3. Komposisi repertoar yang disajikan sebagai sampel dalam analisis teknik permainan sarune digunakan dengan nada dasar 1 mol (1b), karena sarune yang digunakan memiliki nada dasar F=do Contoh: 4. Tanda birama yang ditulis hanya pada awal birama disebelah kanan kunci G yang berlaku untuk semua baris. Tanda birama ini digunakan untuk mengidentifikasi segmen ritmik berdasarkan aksen kuat yang pada umumnya menggunakan meter 4/4. Contoh: 70 5. Transkripsi tidak ditulis dengan menggunakan tanda ulang ||: :||, gunanya untuk melihat sejauh mana bunyi yang dihasilkan dalam memyelesaikan satu repertoar musik. Dalam Etnomusikologi teknik ini sering disebut dengan comparative score (perbandingan notasi). 6. Untuk satu tangga nada yang diperpanjang, tetapi harus ditulis dengan dua not atau lebih namun sebenarnya mencerminkan satu nada, maka ditulis dengan tanda suspensi. Contoh: 5.2 Analisis Analisis merupakan suatu rangkaian kerja yang lebih lanjut dalam mengolah hasil trenskripsi, yaitu suatu kerja untuk memilah atau menguraikan bagian-bagian dari hasil transkripsi yang kemudian dideskripsikan hubungannya diantara tiap-tiap bagiannya (Nettl,1964:131). Dalam menganalisis melodi berikut penulis mengacu pada pendekatan yang digunakan oleh Malm (1977:8) yaitu metode weight scale (penghitungan bobot tangga nada) dengan memperhatikan beberapa karakteristik yaitu tangga nada, nada dasar, wilayah nada, distribusi nada, interval yang dipakai, pola-pola kadens, formula melodi dan kantur. 5.2.1 Tangga Nada Wilayah suara pada sarune dapat dibedakan berdasarkan besar-kecilnya tiupan udara (hembusan napas) dan juga kekuatan daya jepit reed sarune. Jika 71 hembusan udara terlalu banyak dan jepitan reed sedikit dilonggarkan maka nada yang dihasilkan berkisar diantara nada rendah sebaliknya jika tiupan udara sedikit dan jepitan reed terlalau dijepit maka nada yang dihasilkan berkisar diantara nada tinggi. Secara umum interval nada yang dihasilkan adalah 1,5 oktaf dalam tangga nada diatonis. Untuk menghailkan nada dalam otaf pertama dilakukan dengan cara meniup lembut, sedangkan untuk menghasilkan nada oktaf kedua dilakukan dengan meniup lebih keras. Pada dasarnya sarune Pakpak mempunyai tonika dari nada yang paling rendah (semua lobang nada ditutup dengan jari). Nada tersebut menjadi nada awal untuk menghasilkan nada-nada dalam tangga nada diatonis. Apabila sarune ketika semua lubang nada ditutup menghasilkan nada “bes” dalam nada piano, maka dasar tangga nada sarune tersebut adalah “F”. Alasan penulis menyebutkan bahwa tangga nada sarune sama dengan tangga nada diatonis adalah karena nada-nada yang dihasilkan setiap lubang nada mendekati interval yang terdapat dalam konsep tangga nada diatonis Barat. Hal tersebut dibuktikan dengan penyesuaian nada-nada sarune dengan piano. 5.2.2 Nada Dasar Menurut Nettl (1964:147) ada tujuh pendekatan yang dapat dilakukan untuk menemukan nada dasar: 1. Melihat nada yang paling sering dipakai, 2. Melihat nada yang memiliki ritmis (harga ritmis) yang besar, 3. Melihat nada awal atau nada akhir komposisi yang dianggap mempunyai fungsi penting dalam tonalitas, 72 4. Nada paling rendah atau posisi tepat ditengah-tengah dianggap penting 5. Interval-interval yang terdapat diantara nada kadang-kadang sebagai patokan, 6. Adanya tekanan ritmis pada sebuah nada, dan 7. Pengenalan yang akrab dengan pengalaman gaya musik. Dalam hal ini lagu yang dimainkan dalam repertoar adalah menggunakan sarune dengan nada dasar mutlak “bes”, apabila disusun berderet naik maka nada-nada yang terdapat pada sarune adalah : Bes C F Interval : 2M 4aug 5.2.3 G A Bes 2M 2M 2m Wilayah Nada Penentuan wilayah nada dalam lagu diambil berdasarkan ambitus suara yang terdengar secara alami ditentukan oleh sumber penghasil bunyi itu sendiri, yaitu dengan melihat nada yang paling rendah hingga nada yang paling tinggi yang dibawakan instrumen sarune sebagai pembawa melodi utama. Satuan yang digunakan adalah sitem penghitungan frekuensi nada yang ditemukan oleh Ellis dalam Malm (1977:35) yanitu penentuan nada yang berjarak 1 laras sama dengan 200 cent dan nada yang berjarak ½ laras sama dengan 100 cent. 5.2.4 Distribusi (Jumlah Pemakaian) Nada Salah satu hal penting dalam analisis melodi adalah melihat distribusi (jumlah pemakaian) nada. Melalui jumlah itu, dapat diketahui peranan atau 73 tingkat esensi dalam lagu tesebut, sepeti halnya dalam penentuan nada dasar, nada pokok dan nada-nada pendukung dalam komposisi tersebut. Nada dasar biasanya ditulis dengan Not utuh, nada penting lainnya ditulis dengan nada setengah, nada yang biasa dipakai sebagai not seperempat, not seperdelapan, dan seterusnya sebagai hiasan. 5.2.5 Interval Interval adalah jarak antara nada yang satu dengan nada yang berikutnya dalam tangga nada sarune pakpak adalah: Bes C E F A Bes Dengan pola interval yaitu secunda mayor, terts mayor, secunda minor, terts mayor, secunda minor. 5.2.6 Karakteristik Bunyi Melodis Sarune Karakteristik bunyi melodi yang dimaksud pada bagian ini adalah ciriciri khas yang merupakan kebiasaan dalam penggarapan melodi suatu lagu pada instrumen sarune. Semakin banyak karakteristik melodis sarune yang sesuai dengan sifat lagu yang dapat dimainkan pada instrumen sarune maka semakin baik pula teknik permainan yang sekaligus memberikan nuansa artistik pada lagu yang sedang dimainkan. Namun demikian, jika memasukkan karateristik bunyi melodis yang berlebihan pada sebuah lagu terlebih karakteristik yang tidak sesuai dengan sifat lagu maka akan menggangu dan mengakibatkan suatu permainan menjadi tidak enak didengar. Oleh sebab itu, seorang pemain sarune harus dapat menanggapi dengan cermat dan juga harus memahami sifat lagu yang akan dimainkan 74 (wawancara dengan bapak pandapotan solin dan bapak kerta sitakar, 23-022013). Beberapa karateristik bunyi melodis dari instrumen sarune yang diperoleh penulis selama penelitian adalah : Cerrp merdatas, merginoling, merdatas dan mengragam. 5.2.6.1 Cerrp Merdatas Cerrp merdatas adalah istilah yang dipakai dalam permainan sarune dengan teknik penggarapan melodi yang dimulai dari nada terendah sebelum bertahan pada nada tinggi. Penggarapan dengan teknik ini haruslah dilaksanakan yang cukup besar. Apabila nada tinggi yang ingin dicapai tersebut memiliki durasi ritmis yang kecil maka pemasukan teknik cerrp merdatas ini kurang lazim (skripsi sarjana anna rosita, 1996). Oleh sebab itu diperlukan penguasaan yang baik dari seorang pemain sarune terhadap lagu yang dimainkan serta kemahirannya dalam menghasilkan nada-nada sarune. 5.2.6.2 Merginoling Secara harfiah istilah mergoling dalam bahasa Pakpak sama artinya dengan berguling dalam bahasa Indonesia. Dalam permainan sarune istilah ini digunakan untuk permainan melodi yang cenderung turun secara bergelombang. Proses penggarapannya selalu dimulai dari nada tertinggi kemudian berangsurangsur turun secara bergelombang hingga nada terendah. 75 5.2.6.3 Merdatas Merdatas adalah istilah yang dipakai untuk nada yang tinggi dan ditahan dengan melakukan beberapa variasi nada dengan melangkah naik-turun. Langkah-langkah nada-nada tersebut umumnya mempunyai jarak yang kecil yaitu sebagai nada variasi dari nada yang dimaksudkan. Pada umumnya merdatas ini hanya dipakai untuk nada tinggi dengan durasi ritmis yang besar. Walaupun dalam permainanya nada tinggi tersebut boleh saja dimainkan dengan cara menahan secara panjang, namun untuk memberikan efek yang khas serta untuk menambah artistiknya para pemain sarune pada umumnya akan melakukan teknik ini dalam permainannya. 5.2.6.4 Menragam Dalam bahasa Indonesia menragam dapat diartikan pemberian unsure ornamentasi (improvisasi) pada permainan sarune. Menragam adalah beberapa nada lain diantara dua nada yang sama yang memiliki nilai durasi yang cukup besar atau pada satu nada dengan durasi ritmis yang besar. Nada-nada yang merupakan ornamentasi tersebut bervariasi antara melangkah dan melompat, naik ataupun turun. \ 76 BAB VI PENUTUP 6.1 Kesimpulan Dari keseluruhan pembahasan dalam tulisan ini dapat disimpulkan bahwa teknik permainan sarune Pakpak memiliki beberapa proses untuk tiap tahapan belajarnya. Setiap teknik yang dipakai memerlukan perhatian khusus untuk para pembaca atau siapapun yang ingin mempelajarinya. Teknik permainan sarune yang disajikan oleh Bapak kerta Sitakar adalah teknik permainan tradisi. teknik yang menonjol adalah pernafasan polinama (circular breathing). Selain itu adalah teknik peniupan, berupa pernafasan bahu, dada, perut, dan gabungan. Di sisi lain teknik meniup pada pit juga menjadi sarat untuk menghasilkan bunyi sarune Pakpak. Penjarian untuk menghasilkan nadanada (do, re, fi, sol, si, dan do tinggi) juga menjadi tekknik penting dalam memainkan sarune Pakpak ini. Permainan jari pada setiap lubang nada dan menghafal lagu akan tetapi ada aspek lain yang merupakan factor pendukung yaitu perasaan dan latar belakang sifat lagu. Berkenean dengan perasaan, seorang pemain sarune haruslah dapat merasakan bahwa bunyi-bunyi sarune yang dimainkan secara melodis adalah merupakan ungkapan perasaan dari penyajinya atau pihak pelaksana suatu upacara. Apabila sarune dimainkan secara solo sebagai ungkapan perasaan penyajinya, terlebuh dahulu si pemain harus memikirkan perasaan penyajinya. Dari uraian-uraian bab-bab terdahulu penulis merangkum bahwa sarune dalam kebudayaan musikal Pakpak Bharat adalah salah satu alat musik tiup yang 77 dalam penyajiannya dapat secara tunggal maupun sacara ensambel. Dari kedudukan diatas maka alat musik ini dikelompokkan dalam masyarakat ke dalam oning-oningen (instrument tunggal) dan gotci (ensambel instrument). Sebagai instrumen tunggal, alat musik ini berfungsi untuk menghibur diri sendiri pemain. Selain itu juga untuk orang lain yang sedang dilanda kesusahan serta sebagai alat untuk merayu melalui bunyi melodis yang dihasilkan. Dalam perkembangannya saat ini, sarune mulai kehilangan eksisitensinya sebagai alat musik tradisional masyarakat Pakpak. Sarune Pakpak mulai tergeser fungsinya sebagai alat musik pembawa melodi dalam ensambel musik Pakpak digantikan dengan alat musik lobat. Selain itu pengaruh masuknya instrumen modern seperti keyboard juga turut ambil bagian dalam penggeseran nilai musikal sarune tersebut. Namun jauh sebelum masuknya teknologi pergeseran peran sarune disebabkan oleh munculnya alat musik tiup lobat (alat musik Pakpak) sebagai pembawa melodi utama dalam ensambel musik Pakpak. Dari hasil penelitian dan berdasarkan tulisan ini, penulis menyimpulkan bahwa sarune Pakpak hampir memiliki persamaan dengan sarune Toba, Simalungun yang ada disumater utara baik dari segi teknik permainan dan dari segi aspek musikalnya. Yang membuat sarune ini sedikit berbeda dengan sarune etnis lainnya adalah karena sarune Pakpak dapat dimainkan pada setiap kesempatan baik dalam upacara adat maupun dikehidupan sehari-hari. Jika didalam upacara adat sarune mempunyai peran sebagai leader (pimpinan dalam ensambel), didalam kehidupan sehari-hari khususnya kehidupan pribadi sarune berfungsi sebagai 78 alat yang dapat mengungkapkan perasaan sipemain. Jika pemain sedang mengalami kesedihan, pemain tersebut dapat memainkan sarunenya dengan lagu-lagu bernuansa lambat dan jika si pemain sedang merasa bahagia maka sipemain membunyikan sarunenya dengan lagu-lagu riang tanpa mengenal tempat. 6.2 Saran Pergeseran peran sarune ini dikhawatirkan dapat mengakibatkan kepunahan instrumen tersebut. Penulis menyarankan kepada instansi pemerintahan maupun instansi yang berkecimpung di dalam bidang seni agar mencari ataupun menciptakan metode yang dapat menyelamatkan sarune ini dari kepunahannya. Selain itu, dalam rangka melestarikan kebudayaan sarune dalam kebudayaan Pakpak, diperlukan strategi pemungsiannya di dalam kebudayaan. Salah satu di antaranya adalah perlunya dilakukan workshop atau bengkel pelatihan sarune, ternmasuk menggunakan tenaga Bapak kerta Sitakar. Ini dilakukan agar alat musik tersebut tidak tercerabut dari kebudayaannya. Di samping itu, dalam rangka melestarikan keberadaan sarune Pakpak ini, perlu juga diproduksi alat musik ini oleh para pembuatnya, yang dapat diberdayakan untuk para pemain sarune, atau juga unutk kepentingan dunia kepariwisataan. karena dalam alat musik ini juga terkandung nilai-nilai ekonomis dan budaya sekali gus. 79 Secara umum pula perlu dilakukan pendidikan seni di tingkat Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah menengah Atas di Kabupaten Pakpak Bharat dan Dairi, dengan muatan studi musik etnik Pakpak, baik itu ensambel genderang sisibah, sipitu-pitu, sidua-dua, nyanyian-nyaian Pakpak seperti enden, nangen, orih-orih, dan lainnya. Ini akan menumbuhkan kecintaan generasi muda kepada tradisi nenek moyangnya. Selain itu akan memperkuat identitas etnik Pakpak, dalam rangka menyongsong globalisasi. Bagaimanapun bangsa yang kuat adalah bangsa yang menghargai warisan tradisinya. 80 Daftar Pustaka Becker, Judith and Alton Becker. 1981. “A Musical Icon: Power and Meaning in Javanese Gamelan Music”. In Steiner, Wendy. The Sign in Music and Literature. Austin: University of Texas Press. Blacking, John. 1974. How Musical is Man? Seattle: University of Washington Press. Denzin, Norman K. dan Yvonna S. Lincoln (eds.). 1995. Handbook of Qualitative Research. Thousand Oaks, London, dan New Delhi: Sage Publications. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdikbud. Fadlin, 1988. Studi Deskriptif Konstruksi dan Dasar-dasar Pola Ritem Gendang Melayu Sumatera Timur. Skripsi Jurusan Etnomusikologi, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara, Medan. Hood, Mantle, 1982. The Ethnomusicology. Ohio: The Kent State University Press Hornbostel, Erich M. von dan Curt Sach, 1961. Clasification of Musical Instrument. Translate from original by Anthoni Baines and Klausss P. Wachmann. Ihromi, T.O., 1985. Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Yayasan Obor. Koentjaraningrat 1973. Metode Wawancara Dalam Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia. Koentjaraningrat 1976. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta. PT. Gramedia Koentjaraningrat 2002. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta Khasima, Susumu. Asia performing Art. (Terjemahan Rizaldi Siagian, 1986). Meriam, Alan P 1964. Antropology of Music. Blomington, Indiana, University Press. Meuraxa, Dada, 1974. Sejarah Kebudayaan Sumatera. Medan: Firma Hasmar. Nettl, B 1964. Theory and Method In Ethnomusicology. New York Free Press of Glencoe 81 Rosita, Anna 1996. Deskripsi Organologi Sarune Pakpak-Dairi. Skripsi Sarjana Etnomusikologi Simbolon, Pardon 2012. Kajian Organologis Gandang sikambang Buatan Bapak Chairil siregar Didesa Jago-jago, Tapanuli tengah. Skripsi Sarjana Etnomusikologi Sirait, Frendy 2009. Instrumen Sulim Pada Ensambel Musik Tiup Batak Toba di Kota Medan: Kajian Organologis, Teknik Permainan dan Ciri Musikal. Skripsi Sarjana Etnomusikologi. Tan, Mely G., 1985. “Metode Penelitian.” Dalam Koentjaraningrat (ed.) Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia. 82 Daftar Informan Nama : Mardi Boang Manalu Umur : 20 tahun Pekerjaan : Pemusik Alamat : Desa Sukaramai kec. Kerajaan Nama : Pandapotan Solin Umur : 45 tahun Pekerjaan : pemain musik Pakpak dan wiraswasta Alamat : Desa Sukaramai kec Kerajaan Nama : Mahangga Surung Solin Umur : 20 tahun Pekerjaan : pemain musik pakpak dan mahasiswa Alamat : Jl Jamin Ginting Pasar V Padang Bulan Medan Nama : Kerta Sitakar Umur : 77 tahun Pekerjaan : pemain sarune Pakpak dan petani Alamat : Mbereng Kec Kerajaan Nama : Sampe Berutu Umur : 29 tahun Pekerjaan : seniman musik tradisi pakpak dan wiraswasta Alamat : Jalan Pemuda Kab Sidikalang 83 Nama : Bima Manik Umur : 29 tahun Pekerjaan : Event Organizer musik Pakpak Alamat : Jl Darussalam Medan Nama : Benni Siagian Umur : 28 tahun Pekerjaan : pekerja entertaiment Alamat : Jalan Lintas Sidikalang kab. Dairi 84 Melodi Lagu Anak Berru yang dimainkan pada sarune Pakpak oleh Bapak Karta Sitakar (direkam oleh: Tumpal Saragih tanggal 23 Februari 2013 di Desa Mbereng Kecamatan Kerajaan, Pakpak Bharat) transkripsi: Tumpal Saragih dibantu David Andartua 85