kementerian kehutanan direktorat jenderal bina

advertisement
KEMENTERIAN KEHUTANAN
DIREKTORAT JENDERAL BINA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI
DAN PERHUTANAN SOSIAL
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL
BINA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN PERHUTANAN SOSIAL
NOMOR : P. 3/V-SET/2013
TENTANG
PEDOMAN IDENTIFIKASI
KARAKTERISTIK DAERAH ALIRAN SUNGAI
DIREKTUR JENDERAL
BINA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN PERHUTANAN SOSIAL,
Menimbang
: a. bahwa untuk memperoleh data dan informasi
karakteristik Daerah Aliran Sungai (DAS) yang dapat
menggambarkan kondisi riil serta cara penanganan DAS,
maka data dan informasi tersebut harus diperoleh dari
proses identifikasi yang benar;
b. bahwa untuk melaksanakan kegiatan sebagaimana
dimaksud pada huruf a, perlu menetapkan Peraturan
Direktur Jenderal Bina Pengelolaan DAS dan Perhutanan
Sosial tentang Pedoman Identifikasi Karakteristik DAS.
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990
Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3419)
2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3888), sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);
3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber
Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 322, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4377);
4. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 66 Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4723).
5. Undang-Udang ..................
5. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4725);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah,
Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4737);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2008 Tentang
Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 201, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4947;
8. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2012 Tentang
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 62, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5292;
9. Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang
Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 91, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 141);
10. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009 tentang
Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu II sebagaimana
telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 59/P
Tahun 2011;
11. Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang
Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara
serta Susunan Organisasi, Tugas dan Fungsi Eselon I
Kementerian Negara, sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 92
Tahun 2011 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 142;
12. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.40/MenhutII/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian
Kehutanan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun
2010 Nomor 405) sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 33 Tahun 2012
(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor
779.
MEMUTUSKAN :
Menetapkan
: PERATURAN
DIREKTUR
JENDERAL
BINA
PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN
PERHUTANAN
SOSIAL
TENTANG
PEDOMAN
IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK DAERAH ALIRAN
SUNGAI.
Kesatu..................
KESATU
: Menetapkan Pedoman Identifikasi Karakteristik DAS
sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan ini;
KEDUA
: Pedoman Identifikasi Karakteristik DAS merupakan
pedoman bagi Direktorat Jenderal Bina Pengelolaan DAS
dan Perhutanan Sosial, Unit Pelaksana Teknis Direktorat
Jenderal Balai Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial
serta instansi terkait dalam menyusun data Karakteristik
DAS;
KETIGA
: Peraturan Direktur Jenderal Bina Pengelolaan DAS dan
Perhutanan Sosial ini, mulai berlaku pada tanggal
ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada Tanggal 26 Juli 2013
DIREKTUR JENDERAL,
ttd
Dr. Ir. HILMAN NUGROHO. M.P.
NIP. 19590615 198603 1 004
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Hukum dan Kerjasama Teknik,
Ir. Murdoko, MM
NIP. 19580820 198603 1 003
LAMPIRAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA
PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI
NOMOR
: P. 3/V-SET/2013
TENTANG : 26 JULI 2013
PEDOMAN IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK DAS
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 37 Tahun 2012 Tentang
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Pasal 22 Ayat (a) mengamanatkan
untuk melakukan Inventarisasi Karakteristik DAS sebagai dasar penyusunan
Rencana Pengelolaan DAS seperti yang diamanatkan pada Pasal 21. Untuk
selanjutnya digunakan sebagai dasar penyusunan Sistem Informasi Pengelolaan
DAS yang berisi data pokok DAS, baik spasial maupun non spasial dan sistem
pendukung pengambilan keputusan dalam pengelolaan DAS, seperti yang
diamanatkan pada Pasal 61 Ayat (a) dan (b). Pada perumusan Lokakarya
Pengelolaan DAS yang diadakan di Yogyakarta pada bulan Oktober 1985 telah
disepakati bahwa Pengelolaan DAS dilakukan sesuai dengan azas ”One
Watershed One Management Plan”. Dari pernyataan azas tersebut mempunyai
pengertian bahwa satuan DAS telah ditetapkan sebagai satuan (unit)
pengelolaan dan penanganan yang berbeda antara satuan DAS satu dengan
satuan DAS yang lain sesuai dengan karakteristik DAS.
Daerah Aliran Sungai (DAS) dapat diidentifikasi dari berbagai sudut
pandang, antara lain dari sudut pandang ekosistem maka DAS sebagai satu
kesatuan ekosistem, dari sudut pandang hidrologi maka DAS merupakan satuan
kajian hidrologi, dari sudut pandang fisiografi (geomorfologi) maka DAS
mempunyai 3 (tiga) ciri/watak, yaitu bagian hulu, tengah, dan hilir, dari sudut
pandang fungsi kawasan maka DAS di bagian hulu sebagai fungsi produksi atau
sebagai daerah resapan air, bagian tengah sebagai fungsi transpot material, dan
bagian hilir sebagai fungsi deposisi (pengendapan).
Inventarisasi karakteristik DAS akan digunakan dalam penyusunan
Rencana Pengelolaan DAS dan penyusunan Sistem Informasi Pengelolaan DAS,
PP Pengelolaan DAS Nomor 37 Tahun 2012 pada Pasal 1 Ayat (5)
mengamanatkan bahwa Pengelolaan DAS adalah upaya manusia dalam
mengatur hubungan timbal-balik antara sumberdaya alam dengan manusia di
dalam DAS dan segala aktivitasnya, agar terwujud kelestarian dan keserasian
ekosistem serta meningkatnya kemanfaatan sumberdaya alam bagi manusia
secara berkelanjutan.
Hubungan timbal-balik antara sumberdaya alam
(vegetasi, lahan, dan air) sebagai suatu sistem alam (natural system) dan
manusia sebagai suatu sistem sosial (social system) membentuk hubungan
saling interaksi (interrelationships) dan saling ketergantungan (interdependency)
yang akan menentukan karakeristik DAS yang bersangkutan.
Sebagai langkah awal di dalam pengelolaan DAS maka perlu terlebih
dahulu diketahui karakteristik dari DAS tersebut. Secara etimologis, istilah
1
karakteristik diambil dari bahasa Inggris yakni characteristic, yang artinya
mengandung sifat khas. Ia mengungkapkan sifat-sifat yang khas dari sesuatu.
Jadi yang dimaksud dengan karakteristik DAS adalah suatu sifat yang khas,
yang melekat pada DAS tersebut. Karakteristik DAS terbagi dalam dua bagian,
yaitu karakteristik statis dan karakteristik dinamis. Karakteristik statis
merupakan variabel dasar yang tidak mudah berubah dan akan sangat
menentukan proses hidrologi yang terjadi pada DAS tersebut. Dalam hal ini
karakteristik DAS meliputi variabel morfologi dan morfometri DAS. Selain itu
terdapat pula karakteristik DAS yang bersifat dinamik, yaitu variabel yang akan
mempengaruhi percepatan perubahan kondisi hidrologi di dalam DAS. Variabel
yang termasuk dalam karakteristik dinamis DAS adalah meterologi/klimatologi,
penutup/penggunaan lahan, kondisi sosekbud masyarakat di dalam DAS, dan
kondisi kelembagaan pengelola DAS.
B. Maksud dan Tujuan
Maksud dari inventarisasi ataupun identifikasi karakteristik DAS untuk
mengetahui sifat dan ciri/watak biogeofisik DAS dan sosial ekonomi budaya dan
kelembagaan masyarakat yang ada di dalam DAS yang khas dan menonjol yang
akan memberikan kontribusi cukup besar terhadap baik dan buruknya kondisi
DAS dalam rangka penyusunan data dasar pokok Sistem Informasi Pengelolaan
DAS dan untuk menentukan kebijaksanaan makro DAS.
Tujuan dari inventarisasi dan identifikasi karakteristik DAS adalah:
1. Diperolehnya data karakteristik DAS dan estimasi kondisi, potensi, dan
perilaku/watak yang diperlakukan dalam rangka pengembangan sumberdaya
alam dan sumberdaya manusia serta kelembagaan secara optimal.
2. Diperolehnya data dan informasi mengenai perlakuan-perlakuan yang
mungkin terjadi di dalam DAS dan selanjutnya untuk dijadikan sebagai dasar
dalam perumusan pemecahan permasalahan DAS yang akan dilakukan
secara terintegrasi (terpadu) antara sektor (lintas sektoral) dalam rangka
pengelolaan DAS terpadu.
C. Sasaran Wilayah
Sasaran wilayah penyusunan inventarisasi dan identifikasi karakteristik
DAS adalah dengan memandang Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai satu
kesatuan ekosistem yang utuh dari hulu sampai hilir, seperti yang diamanatkan
dalam PP Pengelolaan DAS Nomor 37 Tahun 2012 pada Pasal 10 Ayat (1).
Sasaran wilayah penyusunan inventarisasi dan identifikasi karakteristik DAS
dengan memandang DAS secara utuh meliputi DAS lintas negara, DAS lintas
provinsi, dan DAS lintas kabupaten/kota, seperti yang diamanatkan dalam Pasal
10 Ayat (2).
D. Batasan Pengertian
Dalam Peraturan Direktur Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai ini
yang dimaksud dengan:
1. Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah wilayah sungai yang dipisahkan dari
wilayah lain oleh pemisah topografi yang berupa punggung bukit, dimana air
2
hujan yang jatuh dalam wilayah tersebut mengalir dan meresap menuju ke
suatu sungai dan bermuara di laut.
2. Sub DAS adalah bagian dari DAS yang menerima air hujan dan
mengalirkannya melalui anak sungai ke sungai utama. Setiap DAS terbagi
habis di dalam Sub-sub DAS.
3. Karakteristik DAS adalah gambaran spesifik mengenai DAS yang dicirikan
oleh parameter yang berkaitan dengan keadaan morfometri, topografi, tanah,
geologi, vegetasi, penggunaan lahan, hidrologi dan manusia.
4. Pola Rehabilitasi Lahandan Konservasi Tanah (Pola RLKT) adalah Rencana
Umum Jangka Panjang yang memuat tentang arahan pengaturan
pemanfaatan lahan atau fungsi kawasan, arahan Rehabilitasi Lahan dan
Konservasi Tanah serta urutan tingkat kekritisan Sub Daerah Aliran Sungai
5. Rencana Teknis Lapangan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (RTLRLKT) adalah Rencana Jangka Menengah bersifat operasional, yang memuat
tentang Rencana Teknik Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah
berdasarkan kemampuan lahan pada Sub Daerah Aliran Sungai.
6. Degradasi DAS adalah hilangnya nilai dengan waktu, termasuk menurunnya
potensi produksi lahan dan air yang diikuti tanda-tanda perubahan watak
hidrologi system sungai (kualitas, kuantitas, waktu aliran) yang akhirnya
membawa percepatan degradasi ekologi, penurunan peluang ekonomi dan
peningkatan masalaha sosial.
7. Lahan adalah daerah permukaan bumi yang sifat-sifatnya ditentukan oleh
seluruh lingkungan alami dan cultural serta produk dari padanya.
8. Lahan Kritis adalah lahan yang keadaaan fisik, kimia dan biologinya
sedemikian rupa sehingga lahan tersebut tidak dapat berfungsi secara baik
sesuai dengan peruntukannya baik sebagai factor produksi maupun sebagai
media pengaturan tata air.
9. Tata air DAS adalah hubungan kesatuan sifat individual unsur hidrologi yang
meliputi hujan, aliran sungai, evaporasi dan unsur lainnya yang
mempengaruhi neraca air suatu DAS.
10. Kemampuan
Lahan
adalah
sifat
dakhil
(inherent) lahan yang
menyatakan kesanggupannya untuk memberikan hasil pertanian pada
tingkat produksi tertentu.
11. Daya dukung lahan adalah keadaan tingkat kecocokan lahan untuk
penggunaan dan teknik perlakuan tertentu, sehingga produktivitasnya
meningkat.
12. Banjir adalah suatu aliran berlebih atau penggenangan yang datang dari
sungai atau badan air lainnya dan menyebabkan atau mengancam
kerusakan. Perbedaan antara debit normal dan aliran sungai yang melampaui
kapasitas tampung tebing/tanggul sungai sehingga menggenangi daerah
sekitarnya.
3
13. Kekeringan adalah suatu periode dimana kekurangan air yang menurunkan
atau menjadikan kegagalan pertumbuhan dan hasil akhir dari tanaman
utama suatu wilayah.
14. Degradasi Lahan adalah penurunan atau kehilangan seluruh kapasitas alami
untuk menghasilkan tanaman yang sehat dan bergizi sebagai akibat erosi,
pembentukan lapisan padas (hardplan), dan akumulasi bahan kimia beracun
(toxic) di samping penurunan fungsi sebagai media tata air.
15. Rehabilitasi Lahan adalah upaya untuk memulihkan tanah-tanah rusak
akibat terjadinya erosi baik pada waktu yang lalu maupun yang masih
berlangsung.
16. Konservasi Tanah adalah upaya untuk mempertahankan atau memperbaiki
daya guna lahan termasuk kesuburan tanah dengan cara pembuatan
bangunan teknik sipil disamping tanam menanam (vegetatif).
4
BAB II
METODE PELAKSANAAN
A. Metode Identifikasi Karakteristik DAS
Secara umum metode identifikasi karakteristik DAS yang digunakan
meliputi metode interpretasi dan pemetaan paramater-parameter karakteristik
lahan dan DAS, baik secara kuantitatif maupun kualitatif, yang secara garis
besar bentuk analisisnya adalah sebagai berikut:
1. Metode interpretasi dilakukan pada citra penginderaan jauh dan pada petapeta tematik, citra penginderaan jauh yang digunakan meliputi citra berskala
kecil (citra Landsat, MODIS, NOAA), citra berskala sedang (citra SPOT, ALOS,
ASTER, SRTM-90), dan citra berskala besar (citra IKONOS, QUICKBIRD,
WORLDVIEW), sedang peta-peta yang digunakan meliputi peta dasar Rupa
Bumi Indonesia (RBI), dan peta-peta tematik. Beberapa citra penginderaan
jauh satelit masih harus dilakukan koreksi geometrik dan radiomentrik
sebagai dasar untuk menyesuaikan format dan proyeksinya, dan untuk
memudahkan dalam intergrasi dengan hasil analisis peta-peta tematik
dengan bantuan teknologi Sistem Informasi Geografis (SIG/GIS).
2. Melakukan integrasi data geofisik DAS yang diperoleh hasil interpretasi citra
penginderaan jauh dan peta dasar serta peta-peta tematik dengan data sosial
ekonomi budaya dan kelembagaan DAS hasil pengumpulan data sekunder
dari instansional.
B. Konsep dan Karakteristik DAS
1. Konsep DAS
Berdasarkan kamus Webster (1966), Linsley (1975), Manan (1978),
Soemarwoto (1982), Mangundikoro (1985), Salim (1985), Sandy (1985),
Martopo (1985), Tejoyuwono (1985), Gunawan (1991) diperoleh kesamaan
batasan DAS, yaitu: “ a river or drainage basin is the entire area drained by a
stream on system of connecting streams such that all streamflow originating in
the area discharged through a single outlet”
Konsep yang lain menyatakan bahwa DAS memiliki 3 komponen utama
yang menjadi ciri khas atau penciri utamanya, yaitu:
a. suatu wilayah yang dibatasi oleh puncak gunung/bukit dan
punggung/igir-igirnya;
b. hujan yang jatuh di atasnya diterima, disimpan, dan dialirkan oleh sistem
sungai;
c. sistem sungai itu keluar melalui satu outlet tunggal.
Selanjutnya beberapa ahli DAS membuat suatu kesimpulan bahwa DAS
merupakan:
5
a. suatu wilayah bentanglahan dengan batas topografi;
b. suatu wilayah kesatuan hidrologi; dan
c. suatu wilayah kesatuan ekosistem.
Dari ketiga konsep wilayah tersebut maka definisi DAS adalah: suatu
wilayah kesatuan ekosistem yang dibatasi oleh pemisah topografis dan
berfungsi sebagai pengumpul, penyimpan, dan penyalur air, sedimen,
polutan, dan unsur hara dalam sistem sungai dan keluar melalui satu outlet
tunggal.
Gambar 1. Daerah Aliran Sungai
2. Karakteristik DAS
Karakteristik DAS pada dasarnya meliputi 2 (dua)
bagian, yaitu
karakteristik biogeofisik dan karakteristik sosial ekonomi budaya dan
kelembagaan, yang secara rinci dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Karakteristik biogeofisik meliputi: (a) karakteristik meteorologi DAS, (b)
karakteristik morfologi DAS, (c) karakteristik morfometri DAS, (d)
karakteristik hidrologi DAS, dan (e) karakteristik kemampuan DAS.
b. Karakteristik sosial ekonomi budaya dan kelembagaan meliputi: (a)
karakteristik sosial kependudukan DAS, (b) karakteristik sosial budaya
DAS, (c) karakteristik sosial ekonomi DAS, dan (d) karakteristik
kelembagaan DAS.
C. Perolehan Data Karakteristik DAS
Data karakteristik DAS meliputi beberapa variabel yang dapat diperoleh
dengan cara interpretasi citra penginderaan jauh, interpretasi, analisis, dan
pembacaan peta dasar serta peta-peta tematik. Data karakteristik
meteorologi/klimatologi DAS diperoleh dari data sekunder hasil pencatatan alatalat yang dipasang pada stasiun cuaca/iklim di lapangan. Data karakteristik
morfologi DAS diperoleh dari interpretasi, analisis, dan pembacaan peta-peta
tematik (geologi, geomorfologi, topografi, tanah). Data karakteristik morfometri
DAS diperoleh dari hasil interpretasi dan pengukuran setelah dilakukan
delineasi batas DAS meliputi: luas DAS, bentuk DAS, jaringan sungai, pola
6
aliran, kerapatan aliran, profil sungai utama (penentuan sungai utama, panjang
sungai utama, panjang sungai terpanjang, perbedaan tinggi) dan gradien sungai.
Data karakteristik hidrologi DAS diperoleh dari interpretasi citra penginderaan
jauh dan peta tematik untuk mendapatkan data koefisien Limpasan Permukaan
(C), diperoleh dari hasil pencatatan alat-alat hidrologi yang dipasang pada
Stasiun Pengamat Aliran Permukaan (SPAS) untuk menghasilkan data Debit
Maksimum (Q maks), Debit Minimum (Q min), Debit Rata-Rata (Qav), Debit Jenis
(Qsp), Koefisien Regime Sungai (Qmaks/Qmin), dan Koefisien Storage sungai
(Qmin/Qav).
Data karakteristik kemampuan DAS diperoleh dari hasil interpretasi citra
penginderaan jauh dan interpretasi, analisis, dan pembacaan peta-peta tematik
untuk mendapatkan data erosi. Data penutup lahan, penggunaan lahan, dan
pemanfaatan lahan diperoleh dari interpretasi citra penginderaan jauh berskala
kecil, berskala sedang, dan berskala besar.
Data karakteristik sosial
kependudukan DAS, karakteristik sosial budaya DAS, karakteristik sosial
ekonomi DAS, karakteristik kelembagaan DAS diperoleh dari analisis dan
pencatatan data sekunder dari instansional, seperti data potensi desa (PODES),
data dari Biro Pusat Statistik (BPS) tingkat pusat dan daerah, dan data dari
Kabupaten dalam Angka.
1. Karakteristik Meteorologi DAS
a. Curah Hujan
Curah hujan merupakan ketinggian air hujan yang terkumpul dalam
tempat yang datar, tidak menguap, tidak meresap, dan tidak mengalir.
Curah hujan 1 (satu) milimeter artinya dalam luasan satu meter persegi
pada tempat yang datar tertampung air setinggi satu milimeter atau
tertampung air sebanyak satu liter. Satuan curah hujan selalu dinyatakan
dalam satuan millimeter atau inchi namun untuk di Indonesia satuan
curah hujan yang digunakan adalah dalam satuan millimeter (mm). Hujan
merupakan input air yang masuk dalam suatu DAS, oleh karena itu
mengetahui besarnya curah hujan sangat penting.
Untuk dapat mengetahui besarnya curah hujan yang terjadi
diperlukan data curah hujan yang diperoleh melalui stasiun-stasiun
hujan, baik yang dikelola oleh BMKG, Kementerian Kehutanan ataupun
dinas/instansi lain yang bersangkutan. Metode untuk menggambarkan
curah hujan pada suatu wilayah dapat digunakan metode poligon Theissen
ataupun metode ishohyet. Poligon Theissen digunakan apabila wilayah
yang dipetakan memiliki topografi datar, sedangkan jika wilayahnya
memiliki topografi berombak hingga bergunung maka metode yang paling
sesuai adalah Ishohyet. Klasifikasi curah hujan yag digunakan dalam
kajian karakteristik DAS ini dapat dilihat pada tabel 1.
7
N0.
1
2
3
4
5
Tabel 1. Curah
Curah Hujan
(mm/tahun)
< 1500
1500 – < 2000
2000 – <2500
2500 – < 3000
>= 3000
Hujan
Kategori Nilai
Sangat rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat Tinggi
b. Intensitas Hujan
Intensitas hujan adalah banyaknya curah hujan persatuan jangka
waktu tertentu. Apabila dikatakan intensitasnya besar berarti hujan lebat dan
kondisi ini sangat berbahaya karena berdampak dapat menimbulkan banjir,
longsor dan efek negatif terhadap tanaman. Intensitas hujan harian selama 1
tahun adalah rata-rata intensitas hujan setiap harinya selama 1 tahun,
sedangkan intensitas hujan tahunan, total dari seluruh intensitas hujan
sepanjang tahun.
Metode untuk menggambarkan intensitas hujan pada dasarnya sama
dengan metode untuk menggambarkan curah hujan, yaitu dapat digunakan
metode poligon Theissen ataupun metode ishohyet. Poligon Theissen
digunakan apabila wilayah yang dipetakan memiliki topografi datar,
sedangkan jika wilayahnya memiliki topografi berombak hingga bergunung
maka metode yang paling sesuai adalah Ishohyet. Klasifikasi curah hujan yag
digunakan dalam kajian karakteristik DAS ini dapat dilihat pada tabel 2.
N0.
1
2
3
4
5
Tabel 2. Intensitas Hujan
Intensitas Hujan
Kategori Nilai
(mm/hari)
13,60
Sangat rendah
13,61 – 20,70
Rendah
20,71 – 27,70
Sedang
27,71 – 34,80
Tinggi
34,81 atau lebih
Sangat Tinggi
2. Karakteristik Morfologi DAS
a. Geologi
Variabel geologi merupakan variabel yang sangat penting dalam
pembentukan karakteristik DAS dalam kaitannya dengan air permukaan
maupun air tanah. Sifat-sifat geologi lahan yang tercermin dalam litologi
(jenis batuan), stratigrafi maupun struktur geologi akan sangat
mempengaruhi keberadaan dan potensi air permukaan dalam DAS
tersebut.
Jenis batuan yang bersifat kedap (tersusun dari material : lava, andesit,
granit) akan menghasilkan aliran dengan puncak lebih tajam dan waktu
8
naik (rising limb) lebih pendek dari pada jenis batuan yang bersifat tidak
kedap air (permeable) seperti batu kapur (limestone) dan batu pasir
(sandstone). Hal ini disebabkan oleh batuan yang bersifat kedap air akan
sedikit meloloskan air, sehingga sebagian besar air hujan yang jatuh di
atasnya akan dialirkan sebagai limpasan permukaan yang langsung
masuk ke dalam sungai. Untuk batuan yang bersifat tidak kedap air akan
banyak meloloskan air, sehingga sebagian kecil dari air hujan yang akan
mengalir sebagai limpasan permukaan.
Untuk memperoleh informasi variabel geologi ini maka sumber data utama
yang dapat diacu adalah Peta Geologi Bersistem yang diterbitkan oleh
Direktorat Geologi Tata Lingkungan. Namun apabila peta tersebut tidak
tersedia, dapat digunakan informasi yang terdapat dalam REPPPROT
ataupun melakukan interpretasi pada citra penginderaan jauh.
b. Geomorfologi
Bentuk lahan terbentuk dari proses struktural (lipatan, patahan dan
pengangkatan), proses pelapukan batuan induk (geologi), erosi,
pengendapan dan vulkanisme yang menghasilkan konfigurasi ragam
bentuk muka bumi berupa pegunungan, perbukitan dan dataran.
Karakteristik geomorfologi akan mempengaruhi besarnya potensi limpasan
permukaan, erosi, banjir dan tanah longsor yang terjadi di wilayah DAS.
Untuk mendapatkan informasi bentuk lahan, maka dapat dilakukan
dengan interpretasi pada citra penginderaan jauh. Hal ini disebabkan oleh
ketersediaan data bentuk lahan yang belum banyak tersedia. Dalam
pemetaan bentuklahan, terdapat 3 kriteria utama yang digunakan, yaitu :
1) Topografi
2) Materi
3) Proses
Topografi dalam pemetaan bentuk lahan secara garis besar
dibedakan menjadi 6 klas, yaitu : datar, landai, berombak, bergelombang,
berbukit dan bergunung. Untuk materi dibedakan dalam beberapa klas,
yaitu : Fluvial, Marin, Vulkanik, Struktural, Denudasional, Aeolin, dan
Organisme. Yang terakhir adalah untuk proses digunukan keterangan
tentang proses yang terjadi pada bentuk lahan tersebut, misalnya terkikis
kuat, terkikis lemah, dan seterusnya. Proses penamaan bentuk lahan juga
menggunakan ketiga kriteria tersebut, sebagai contoh adalah :
1) Perbukitan Denudasional Terkikis Kuat
2) Pegunungan Struktural Lipatan Terkikis Lemah
Sistem klasifikasi bentuk lahan yang digunakan dalam proses
pemetaan bentuk lahan mengacu pada sistem klasifikasi bentuk lahan
yang dikeluarkan oleh BAKOSURTANAL sebagaimana tercantum pada
Format 1.
9
c. Topografi
Variabel topografi dalam karakteristik DAS ini dibagi ke dalam 4
variabel, yaitu ketinggian DAS, orientasi DAS, kemiringan lereng DAS dan
bentuk lereng DAS. Keempat variabel topografi tersebut mempunyai
peranan yang erat dengan proses terjadinya infiltrasi, limpasan
permukaan dan erosi yang terjadi akibat air hujan yang turun.
1) Ketinggian ( Elevation ) DAS
Elevasi rata–rata dan variasi ketinggian pada suatu DAS
merupakan faktor penting yang berpengaruh terhadap temperatur dan
pola hujan, khususnya pada daerah dengan topografi bergunung.
Ketinggian suatu tempat dapat diketahui dari peta topografi, diukur di
lapangan atau melalui foto udara, jika terdapat salah satu titik kontrol
sebagai titik ikat. Hubungan antara elevasi dengan luas DAS dapat
dinyatakan
dalam
bentuk
hipsometrik
(Hypsometric
Curve).
Perhitungan ketinggian rata – rata DAS ditunjukkan pada gambar
berikut :
Gambar 2. Perhitungan Tinggi Rata – rata DAS
Gambar 3. Kurva Hipsometrik suatu DAS (AVERY, 1975)
2) Orientasi DAS ( Aspect )
Transpirasi, evaporasi dan faktor – faktor yang berpengaruh
pada jumlah air yang tersedia untuk aliran sungai, seluruhnya
dipengaruhi oleh orientasi umum atau arah dari DAS. Orientasi DAS
secara normal dinyatakan dalam derajat azimuth atau arah kompas
10
seperti arah utara, timur laut, timur dan sebagainya. Tanda arah anak
panah yang menunjukkan arah DAS dapat dipakai sebagai muka DAS
(faces). Arah aliran sungai utama dapat juga dipakai sebagai petunjuk
umum orientasi DAS. LEE (1963) menyatakan bahwa arah DAS dapat
dinyatakan sebagai azimuth dari garis utara searah jarum jam seperti
terlihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Arah atau azimuth DAS
3) Kemiringan Lereng DAS
Kemiringan rata-rata DAS (Sb) adalah faktor yang berpengaruh
terhadap limpasan permukaan. Kecepatan dan tenaga erosif dari
overland flow sangat dipengaruhi oleh tingkat kelerengan lapangan.
Untuk mengukur lereng dapat dilakukan dengan menggunakan alat
Abney Level atau clinometer. Pada potret udara pengukuran lereng
dapat dilakukan dengan menggunakan slope meter atau dengan
mencari beda tinggi dengan paralaks meter atau dengan menggunakan
rumus AVERY (1975) dan HORTON (1945) menggunakan contour
method dengan rumus :
………………………………………(2.1)
dimana :
C
l
A
= interval kontur (m)
= total panjang kontur (m)
= luas DAS (m2)
Jika suatu daerah mempunyai lereng yang seragam, maka lereng rata –
rata dapat diperoleh dengan menggunakan rumus :
…………………………….(2.2)
Atau
11
…………………………………(2.3)
dimana : c = perbedaan elevasi antara titik tertinggi dan terendah pada
DAS (m)
d = Jarak horizontal antara elevasi titik tertinggi dan titik
terendah tersebut ( m )
Untuk memudahkan proses pemetaan dari variabel lereng tersebut,
maka peta lereng yang sudah dihasilkan dikelompokkan atau
dikelaskan ke dalam 5 kelas, yaitu :
Tabel 3. Klasifikasi Kemiringan Lereng
Kode/ Kelas
Kemiringan Lereng
1
2
3
4
5
0–<8
8 – < 15
15 – < 25
25 – < 45
45 ke atas
Keterangan
Datar/Landai
Agak Miring
Miring
Curam
Terjal
4) Bentuk Lereng DAS
Berdasarkan pendekatan hidromorfometri untuk DAS yang mempunyai
wilayah perbukitan yang mempunyai lereng cekung akan menghasilkan
kenaikan hidrograf (rising limb) lebih tajam dari bentuk lereng cembung.
Bentuk lereng DAS rata-rata dapat dilihat pada curve hypsometrik yang
juga digunakan dalam perhitungan ketinggian DAS. Klasifikasi bentuk
lereng DAS dikelompokkan dalam 2 klas, yaitu :
Tabel 4. Klasifikasi Bentuk Lereng
Kode/ Kelas
Bentuk Lereng
Keterangan
Cb
Cembung
Ck
Cekung
Lebih 50%
kenampakan curva
hypsometrik cembung
Lebih 50%
kenampakan curva
hypsometrik cekung
d. Tanah
Tipe dan distribusi tanah dalam suatu daerah aliran sungai sangat
berpengaruh dalam mengontrol aliran bawah permukaan (Subsurface flow)
melalui infiltrasi. Variasi dalam tipe tanah dengan kedalaman dan luas
tertentu akan mempengaruhi karakteristik infiltrasi dan timbunan
12
kelembaban tanah (soil moisture storage). Pemilihan variabel tanah juga
merupakan fungsi dari tujuan studi, misalnya untuk mempelajari overland
flow dalam single watershed, maka watershed tersebut dibagi dalam zona –
zona menurut tipe tanah, tetapi jika untuk mempelajari yang lebih detail
lagi, maka perlu klasifikasi tipe tanah yang detail juga, yang didasarkan
pada pembatas permukaan geologi DAS yang bersangkutan yaitu :
persentase batuan permeabel, persentase batuan kurang permeabel.
Variabel lain yang perlu diperhatikan adalah kedalaman lapisan kedap dan
permeabilitas rata – rata dari horizon A.
Jenis tanah dengan tekstur pasir akan mempunyai tingkat infiltrasi
yang lebih tinggi dibanding dengan jenis tanah bertekstur lempung. Dengan
demikian jenis tanah dengan tekstur pasir (kasar) akan mempunyai
limpasan permukaan yang lebih kecil dari pada jenis tanah dengan tekstur
lempung (halus). untuk kondisi ini DAS dominan dengan jenis tanah
bertekstur halus lebih mudah terjadi erosi daripada DAS dominan dengan
jenis tanah bertekstur kasar.
Sistem klasifikasi tanah yang sebaiknya digunakan dalam penyusunan
peta tanah untuk karakteristik DAS adalah menggunakan sistem klasifikasi
Puslitanak seperti tercantum pada Format 2.
e. Pewilayahan DAS
Secara umum suatu DAS dibagi dalam tiga wilayah, yaitu wilayah
hulu, wilayah tengah dan wilayah hilir. Ketiga wilayah tersebut memiliki
karakteristik dan fungsi yang berbeda, yaitu :
1) DAS Bagian Hulu didefinisikan sebagai daerah aliran yang terbatas
pada bagian Hulu dimana > 70% dari permukaan lahan DAS tersebut
umumnya mempunyai kemiringan lahan > 8%. Disini, aspek prioritas
pemanfaatan lahan adalah konservasi tanah dan pengendalian erosi.
Secara hidrologis, DAS Bagian Hulu biasanya membentuk daerah
utama pengisian kembali curah hujan untuk air permukaan dan air
tanah dari DAS. (Screening Study Brantas Watersheed).
2) DAS Bagian Tengah didefinisikan sebagai aliran yang terbatas pada
bagian tengah, dimana kurang lebih 50% dari permukaan lahan DAS
tersebut mempunyai kemiringan lahan < 8% serta dimana baik
konservasi tanah maupun pengendalian banjir adalah sama
pentingnya. Secara hidrologis DAS Bagian Tengah membentuk daerah
utama transisi curah hujan untuk air tanah. (Screening Study Brantas
Watershed).
3) DAS Bagian Hilir didefinisikan sebagai daerah aliran yang terbatas pada
bagian Hilir, dimana kurang lebih 70% permukaan lahannya
mempunyai kemiringan < 8%. Disini, pengendalian banjir dan drainage
biasanya
merupakan
factor-faktor
yang
terabaikan
dalam
pengembangan tata guna lahan. (Screening Study Brantas Watershed).
13
3. Karakteristik Morfometri DAS
a. Luas DAS
DAS dibatasi oleh igir pegunungan yang berfungsi sebagai batas (river
divide) dan akhirnya mengalirkan air hujan yang bertemu pada satu outlet.
Akibatnya, semakin luas suatu DAS, hasil akhir (water yield) yang
diperoleh akan semakin besar, karena hujan yang ditangkap juga semakin
banyak.
Cara menghitung luas DAS:
1) Menghitung luas DAS dengan cara menampilkan pada kertas millimeter
grafis (grid berukuran 1 cm x 1 cm). Luas DAS adalah jumlah kotak
tercakup, dikalikan unit kotak, kemudian dikalikan skala peta.
2) Menggunakan Planimeter
3) Menggunakan Sistem Informasi Geografis
Gambar 5. Ilustrasi Perhitungan Luas DAS
Tabel 5. Klasifikasi Luas Das
No
Luas DAS (Ha)
Klasifikasi DAS
1
1.500.000 ke atas
2
3
4
5
500.000 - < 1.500.000
100.000 - < 500.000
10.000 - < 100.000
Kurang dari 10.000
DAS
Sangat
Besar
DAS Besar
DAS Sedang
DAS Kecil
DAS Sangat
Kecil
b. Bentuk DAS
Bentuk DAS mempunyai pengaruh pada pola aliran sungai dan
ketajaman puncak discharge banjir. Bentuk daerah aliran sungai ini sulit
untuk dinyatakan secara kuantitatif. Dengan membandingkan konfigurasi
basin, dapat dibuat suatu indeks yang didasarkan pada derajat kekasaran
atau circularity dari DAS.
14
MILLER (1953) menggunakan circularity ratio dengan menggunakan
rumus :
……………………………………(2.4)
dimana :
Rc
=
A
=
p
=
Bila besarnya nilai
lingkaran.
circularity ratio
Luas DAS (km2)
perimeter (keliling DAS = km)
Rc adalah 1 berarti bentuk DAS tersebut adalah
YAMAMOTO dan ORR (1972) dan SEYHAN (1977) menggunakan
ratio menyerupai buah pir ( lemniscate ratio ) dengan rumus :
………(2.5)
Nilai lemniscate ratio = 1 berarti DAS berbentuk buah pir. Perimeter
lemniscate (K) atau lemniscate constant diperoleh dengan rumus :
…………………..(2.6)
dimana : L = Panjang maksimum DAS (jarak horisontal dari outlet ke
titik terjauh DAS)
c. Jaringan Sungai
Pola aliran atau susunan sungai pada suatu DAS merupakan
karakteristik fisik setiap drainase basin yang penting karena pola aliran
sungai mempengaruhi efisiensi sistem drainase serta karakteristik
hidrografis dan pola aliran menentukan bagi pengelola DAS untuk
mengetahui kondisi tanah dan permukaan DAS khususnya tenaga erosi.
Metode kuantitatif untuk mengklasifikasikan sungai dalam DAS adalah
pemerian orde sungai maupun cabang– cabang sungai secara sistematis
seperti berikut ini :
1) Sungai-sungai pada daerah hulu mendapat skala terkecil (1)
2) Pertemuan sungai dengan orde sama, maka terjadi kenaikan orde.
3) Pertemuan sungai dengan orde yang berbeda tidak terjadi kenaikan
orde
15
Gambar 6. Orde Sungai Menurut Stra hler
d. Pola Aliran
Bentuk pola aliran (drainage pattern) ada bermacam – macam yang
masing – masing dicirikan oleh kondisi yang dilewati oleh sungai tersebut.
Bentuk pola aliran yang biasa dijumpai ada tujuh jenis yaitu :
1) Dendritik: seperti percabangan pohon, percabangan tidak teratur dengan
arah dan sudut yang beragam. Berkembang di batuan yang homogen
dan tidak terkontrol oleh struktur, umunya pada batuan sedimen dengan
perlapisan horisontal, atau pada batuan beku dan batuan kristalin yang
homogen.
2) Paralel: anak sungai utama saling sejajar atau hampir sejajar, bermuara
pada sungai-sungai utama dengan sudut lancip atau langsung bermuara
ke laut. Berkembang di lereng yang terkontrol oleh struktur (lipatan
monoklinal, isoklinal, sesar yang saling sejajar dengan spasi yang
pendek) atau dekat pantai.
3) Radial: sungai yang mengalir ke segala arah dari satu titik. Berkembang
pada vulkan atau dome.
4) Trellis: percabangan anak sungai dan sungai utama hampir tegak lurus,
sungai-sungai utama sejajar atau hampir sejajar. Berkembang di batuan
sedimen terlipat atau terungkit dengan litologi yang berselang-seling
antara yang lunak dan resisten.
5) Annular: sungai utama melingkar dengan anak sungai yang membentuk
sudut hampir tegak lurus. Berkembang di dome dengan batuan yang
berseling antara lunak dan keras.
6) Centripetal: sungai yang mengalir memusat dari berbagai arah.
Berkembang di kaldera, karater, atau cekungan tertutup lainnya.
7) Multibasinal: percabangan sungai tidak bermuara pada sungai utama,
melainkan hilang ke bawah permukaan. Berkembang pada topografi
karst.
16
Pola aliran yang digunakan bisa dibedakan dengan membedakan
garis yang dijadikan tanda pola aliran tersebut. Pola aliran yang
diinterpretasi mempunyai kegunaan untuk melihat dan mengetahui jenisjenis kandungan mineral, batuan dan ataupun kemungkinan terdapatnya
bahan tambang. Salah satu contohnya adalah pada pola aliran trelis untuk
aliran sungai cenderung mempunyai batuan lunak, karena tereduksi lebih
banyak.Pola aliran pada citra penginderaan jauh bisa diidentifikasi dengan
melihat morfologi dri permukaan bumi tersebut. Citra penginderaan jauh
menampilkan semua kenampakan yang ada pada permukaan bumi dengan
bentuk dua dimensi. Apabila menginginkan bentuk yang lebih detail dapat
dilihat dengan menggunakan stereoskop.
Selain itu dari hasil interpreatasi dan deleniasi pola aliran air di
daerah Gunung Api didapatkan bahwa pola aliran air yang terdapat disana
ialah pola dendritic, radial dan paralel. Pada pola aliran dendritic
bentuknya ialah seperti percabangan pohon dengan arah dan sudut yang
beragam yang berkembang pada batuan sedimen dengn perlapisan
horisontal atau pada batuan beku dan batuan kristalin yang homogen.
Sedangkan untuk pola aliran radial berbentuk seperti lingkaran,
percabangan anak sungai dan sungai utama hampir tegak lurus dan
berkembang di batuan sedimen terlipat dengan litologi yang berselang
seling antara lunak dan resistan. Serta pada pola lairan paralel berbentuk
anak sungai utama hampir sejajar atau sejajar bermuara pada sungaisungai utama atau langsung ke laut dan berkembang di lereng yang
terkontrol oleh struktur atau dekat pantai.
Hasil akhir dari intrepretasi ini ialah peta bentuk pola aliran yang
terdapat dalam kertas kalkir yang membedakan antara berbagai bentuk
pola aliran yang terdapat dalam citra atau foto udara yang di amati.Untuk
lebih jelasnya masing – masing bentuk pola aliran tersebut dapat dilihat
pada Gambar 7. Hubungan antara pola dan kerapatan aliran dengan
penampang lapisan batuan disajikan dalam lampiran
Gambar 7. Berbagai Bentuk Pola Aliran
17
e. Kerapatan Aliran
Adalah panjang aliran sungai per kilometer persegi luas DAS.
Semakin besar nilai Dd semakin baik sistem pengaliran (drainase) di
daerah tersebut. Artinya, semakin besar jumlah air larian total (semakin
kecil infiltrasi) dan semakin kecil air tanah yang tersimpan di daerah
tersebut.
Dd =
Ln
A ..........................................................(2.7)
Dd : kerapatan aliran (km/km2)
Ln : panjang sungai (km)
A : luas DAS (km2)
LYNSLEY (1975) menyatakan bahwa jika nilai kepadatan aliran lebih
kecil dari 1 mile/ mile2 (0,62 Km/ Km2), DAS akan mengalami
penggenangan, sedangkan jika nilai kerapatan aliran lebih besar dari 5
mile/ mile2 ( 3,10 Km/ Km2), DAS sering mengalami kekeringan.
f. Profil Sungai Utama
Sungai merupakan jalan air alami, yang mengalir menuju
samudera, danau , laut dan atau ke sungai yang lain.Sungai terdiri dari
beberapa bagian, bermula dari mata air yang mengalir ke anak sungai,
kemudianbeberapa anak sungai akan bergabung untuk membentuk sungai
utama. Gambar 8 menunjukkan profil sungai utama dalam suatu DAS.
Gambar 8. Profil Sungai Utama
18
1) Penentuan Sungai Utama
Cara menentukan sungai utama menurut Horton adalah dengan
memperhatikan pertemuan antara 2 (dua) sungai, selanjutnya :
a. Apabila sudut sama (1=2), maka pilihlah sungai yang lebih panjang
b. Apabila sudut tidak sama, maka pilihlah sudut yang kecil (misal 4>3,
pilih sungai pada sudut 3)
2) Panjang Sungai Utama dan Sungai Terpanjang
Panjang sungai terpanjang dalam DAS diukur dari outlet ke
sumber asal air, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 9, dari titik O
sampai H (OH). Sedangkan OS adalah panjang sungai utama (induk).
Gambar 9. Panjang Sungai Terpanjang dalam DAS.
3) Perbedaan Tinggi DAS
Elevasi rata – rata dan variasi ketinggian pada suatu DAS
merupakan faktor penting yang berpengaruh terhadap temperatur dan
pola hujan, khususnya pada daerah – daerah dengan topografi
bergunung. Ketinggian suatu tempat dapat diketahui dari peta topografi,
diukur dilapangan atau melalui foto udara, jika terdapat salah satu titik
kontrol sebagai titik ikat. Hubungan antara elevasi dengan luas DAS
dapat dinyatakan dalam bentuk hipsometrik ( Hypsometric Curve ).
Perhitungan ketinggian rata – rata DAS ditunjukkan pada gambar
berikut :
19
Gambar 10. Perhitungan Tinggi Rata – rata DAS
Gambar 11. Kurva Hipsometrik suatu DAS (AVERY, 1975)
4) Gradien Sungai Utama
Salah satu cara menghitung gradien sungai rata – rata adalah
dengan slope faktor yang dikembangkan oleh BENSON (1962) yaitu
dengan menghitung lereng saluran antara 10 % dan 85 % jarak dari
outlet seperti ditujukkan pada Gambar 11.
Gambar 12. Penaksiran 85 – 10 slope factor dan profile curvature- indeks.
20
Jarak
O–Z
OB
Gradien Sungai (Su)
= Lb adalah panjang sungai utama.
= (0,1)Lb dan OA – (0,85)Lb
= (H85-H10)/ (0,75)Lb.
4. Karakteristik Hidrologi DAS
a. Limpasan Permukaan
Limpasan permukaan (overland flow) merupakan bagian kelebihan
hujan (excess rainfall) yang mengalir di permukaan lahan pada saat terjadi
hujan, apabila hujan berhenti maka tidak terjadi lagi limpasan permukaan.
Koefisien limpasan permukaan adalah perbandingan antara bagian hujan
yang menjadi limpasan permukaan dengan total hujan pada suatu kejadian
hujan.
Limpasan
permukaan
inilah
yang
menjadi
tenaga
penggerus/pengelupas lapisan tanah atas, pengangkut material tanah
permukaan yang lepas atau yang dikenal dengan proses erosi permukaan
oleh tenaga limpasan permukaan, yang kemudian membawanya ke dalam
badan-badan
air
(sungai,
rawa,
danau,
waduk,
dan
laut/lautan)
membentuk banjir kiriman (banjir limpasan) menyumbang banjir di sungai
serta membawa lumpur yang menyebabkan pendangkalan atau dikenal
dengan proses sedimentasi.
Estimasi besarnya limpasan permukaan yang dinyatakan dalam bentuk
koefisien limpasan permukaan dapat dilakukan dengan mendasarkan pada
parameter-parameter morfometri dan morfologi yang menjadi karakteristik
DAS yang diperoleh melalui interpretasi citra penginderaan jauh (satelit
dan foto udara) dan analisis peta-peta tematik. Cook (1942 dalam Chow,
1964) memberikan contoh parameter-parameter morfometri dan morfologi
yang menjadi karakteristik DAS yang dipertimbangkan dalam melakukan
estimasi besarnya nilai koefisien limpasan permukaan dalam suatu DAS
ataupun Sub DAS.
Limpasan permukaan bergerak pada atau diatas
permukaan lahan pada setiap jengkal lahan (space of land), maka wilayah
DAS ataupun Sub DAS harus dibagi-bagi lagi menjadi satuan-satuan (unit)
lahan terkecil untuk menilai besarnya nilai atau angka koefisien setiap
satuan-satuan lahan tersebut. Penjumlahan nilai ataupun angka koefisien
limpasan permukaan dari setiap satuan-satuan lahan dalam suatu DAS
ataupun Sub DAS dapat digunakan untuk menyatakan besarnya nilai atau
angka koefidien limpasan permukaan DAS ataupun Sub DAS yang
bersangkutan.
21
Parameter-parameter
morfometri
dan
morfologi
yang
menjadi
karakteristik DAS yang dipertimbangkan untuk memprediksi besarnya nilai
atau angka koefisien limpasan permukaan ada 4 (empat) faktor, antara lain
(1) kondisi topografi yang menggambarkan kondisi fisiografi ataupun relief
permukaan yang dapat diwakili sebagai ukuran kemiringan lereng
permukaan lahan, menjadi faktor dominan dalam menentukan besar
kecilnya curah hujan yang jatuh kemudian menjadi limpasan permukaan
setelah dipertimbangkan besarnya kapasitas infiltrasi, (2) kondisi tanah
dan batuan yang menentukan besarnya bagian curah hujan yang
mengalami peresapan ke dalam lapisan tanah dan batuan yang dikenal
dengan infiltrasi tanah, (3) kondisi tutupan vegetasi dan jenis tanaman
semusim yang berfungsi untuk menerima atau menangkap dan menyimpan
air hujan yang jatuh di permukaan lahan tersebut tergantung pada jenis
dan kerapatan penutupan vegetasi dan tanaman semusim lainnya, (4)
kondisi timbunan permukaan lahan (surface storage, surface detention)
yang mampu menangkap air hujan yang jatuh sehingga berfungsi untuk
menghalangi laju aliran limpasan permukaan, yang berarti pula bahwa
permukaan
lahan
tersebut
menjadi
tergenang
ataupun
mengalami
pengatusan cepat.
Gunawan (1991) membuat modifikasi dalam melakukan interpretasi
kondisi timbunan permukaan lahan yang merupakan ledok-ledok ataupun
cekungan-cekungan permukaan lahan yang berfungsi menghalangi laju
aliran limpasan permukaan tersebut menjadi faktor kerapatan aliran
(drainage density) yang dihitung berdasarkan panjang jaring-jaring pola
aliran dibandingkan dengan luas lahan diatasnya. Semakin tinggi nilai dan
atau kondisi kerapatan alirannya semakin tinggi nilai pengatusannya,
untuk menyatakan besaran nilai atau angka kerapatan aliran Gunawan
(1991) memodifikasi kriteria yang dikembangkan oleh Linsley (1958, 1975)
dari 3 (tiga) kelas menjadi 4 (empat) kelas disesuaikan dengan klasifikasi
yang dikembangkan oleh Cook (1942 dalam Chow, 1964). Secara teknis
interpretasi parameter-parameter morfometri dan morfologi yang menjadi
karakteristik DAS yang dipertimbangkan dalam memprediksi besarnya nilai
atau angka koefisien limpasan permukaan per satuan lahan pada DAS
ataupun Sub DAS dapat diacu dalam Sistem Standar Operasional Prosedur
(SSOP) Pengendalian Banjir dan Tanah Longsor yang dikeluarkan oleh
Direktorat PEPDAS Dirjen BPDASPS Departemen Kehutanan Republik
Indonesia (2007).
22
b. Debit Maksimum (Q maks)
Perhitungan debit maksimum (banjir puncak, Qmaks) dilakukan
pada mulut sungai dari DAS ataupun Sub DAS diestimasi berdasarkan
pada nilai koefisien limpasan permukaan (C), intensitas hujan (I) yang
lamanya sama dengan waktu konsentrasi (Tc), dan luas DAS (A). Total nilai
atau angka koefisien limpasan permukaan per satuan lahan adalah nilai
koefisien limpasan permukaan total DAS atau Sub-DAS. Intensitas hujan
dihitung sama dengan lamanya waktu konsentrasi (Tc) yang dihitung
berdasarkan panjang DAS dan parameter morfometri DAS lainnya.
Perhitungan debit maksimum (Qmaks) dapat dihitung dengan
menggunakan Rumus Rasional sebagai berikut.
Qmaks = C. I. A.
………………………................................... (2.8)
Qmaks= Debit maksimum (banjir puncak)
(m3/detik),
C
= Koefisien limpasan permukaan, besarnya
0,278 untuk luas DAS/Sub-DAS (km2),
dan 0,00278 untuk luas DAS/Sub-DAS (ha),
I
= Intensitas hujan yang lamanya sama
dengan waktu konsentrasi (Tc) (mm/hari),
A
= Luas DAS (km2 atau ha tergantung
koefisien C).
Keterangan: Rumus Metode Rasional hanya dapat digunakan untuk SubDAS kecil di Pulau Jawa (<5.000 hektar) (Gunawan, 1991)
atau (<6.000 hektar) (Hadi, 2005) atau DAS/Sub DAS kecil di
luar Pulau Jawa (<10.000 hektar) (PEPDAS, 2010).
Perhitungan Debit maksimum (banjir puncak) di Lapangan (Qmaks)
dapat dilakukan di mulut sungai pada DAS atau Sub-DAS, dengan
menggunakan Rumus Manning. Pengukuran debit maksimum (Qmaks)
dengan Rumus atau Metode Manning untuk digunakan sebagai
pembanding hasil pengukuran debit maksimum dengan menggunakan
Rumus atau Metode Rasional. Pengukuran debit maksimum (Qmaks)
dengan menggunakan Metode Manning dilakukan pada suatu penampang
sungai pada mulut DAS atau Sub-DAS. Adapun rumus yang digunakan
dapat dinyatakan sebagai berikut.
Qmaks = 1/n . R2/3 . S1/2 . A.
................................................................... (2.9)
Qmaks = Debit maksimum (banjir puncak)
(m3/detik),
R
= Jari-jari hidrolis penampang sungai (m),
S
= Kemiringan hidrolis muka air sungai pada
saat banjir maksimum terjadi dengan
23
A
N
melihat tanda-tanda pada saat terjadi
banjir maksimum (%),
= Luas penampang sungai (m2),
= Koefisien kekasaran dasar sungai rata-rata
dengan pembobotan,
Keterangan:
R
= A/p
(p: perimeter basah penampang
sungai).
c. Debit Minimum (Q min)
Perhitungan debit minimum (Qmin) di lapangan dilakukan di mulut
sungai dalam suatu DAS atau Sub-DAS dalam kondisi musim kemarau
pada saat debit sungai terkecil. Pengukuran debit sungai terkecil (debit
minimum) atau debit sungai saat ini pada saat tidak terjadi banjir dapat
dirumuskan sebagai berikut.
Qmin
= w. d. a. l/t. ..............................(2.10)
Qmin
= Debit sungai minimum (m3/detik),
w
= Lebar penampang sungai rata-rata (m),
d
= Kedalaman air sungai rata-rata (m),
a
= Koefisien kekasaran dasar penampang
sungai rata-rata (%),
l/t
= Kecepatan aliran pada seksi sungai ratarata (m/detik).
Keterangan:
seyogyanya setiap pengukuran parameter sungai dilakukan minimal 3 kali
perlakuan. Pengukuran debit banjir maksimum (Qmaks) dapat dilakukan
pada saat musim kemarau dengan melihat tanda-tanda banjir puncak pada
tepi penampang sungai atau menanyakan kepada penduduk setempat
(lokal). Demikian juga pengukuran debit minimum dipilih dalam kondisi
debit sungai paling kecil pada saat musim kemarau. Pada dasarnya debit
minimum suatu sungai tidak pernah sama dengan nol (Qmin tidak 0)
karena sebelum air sungai itu mengalir hingga mulut sungai biasanya di
bagian hulu DAS air sungai telah dimanfaatkan oleh penduduk petani
untuk irigasi tradisional. Oleh karena itu perlu dilakukan penelusuran di
lapangan (river routing) guna mengetahui adanya pengambilan air sungai di
bagian hulu oleh penduduk petani. Berapa besar debit irigasi dilakukan
dengan menggunakan metode pengukuran debit minimum atau
menggunakan Metode Larutan Garam (Solution method).
d. Debit Rata-Rata (Qav)
Debit aliran rata-rata (Qav) dari suatu sungai merupakan besaran
hidrologi yang penting sebagai indikator potensi DAS dalam menyimpan air
hujan yang jatuh ke dalam lapisan akuifer untuk selanjutnya dikeluarkan
secara pelan-pelan dalam bentuk mataair ataupun rembesan. Apabila
24
besarnya debit aliran rata-rata setiap tahunnya tinggi atau tidak jauh
bedanya menunjukkan bahwa wilayah DAS sebagai prosesor cukup
berfungsi baik, hal ini menunjukkan karakteristik DAS atau kesehatan
DAS terjaga atau tidak.
e. Debit Jenis (Qsp)
Debit jenis atau spesifik (Qsp) dari suatu sungai merupakan besaran
hidrologi yang penting sebagai indikator bahwa setiap satuan luas DAS
(km2 atau hektar) sehingga satuan debit jenis atau spesifik dalam km2
atau hektar (m3/detik/km2 atau hektar) sebagai indikator kemampuan
satuan luas DAS dalam menyimpan dan mengalirkan air hujan yang
tersimpan dalam DAS sebagai prosesor yang baik, sehingga hal ini juga
menunjukkan karakteristik DAS atau kesehatan DAS terjaga atau tidak.
f.
Koefisien Regime Sungai (Qmaks/Qmin)
Parameter karakteristik Hidrologi DAS yang diperoleh dari
perbandingan antara debit maksimum (Qmaks) dan debit minimum (Qmin)
atau sering disingkat dengan parameter Qmaks/Qmin merupakan indikator
besaran hidrologi untuk menyatakan apakah DAS itu berfungsi sebagai
prosesor yang baik atau tidak, dapat ditinjau dari sudut pandang nilai
perbandingan itu.
Apabila nilai besaran perbandingan antara
Qmaks/Qmin besar (>50) berarti lebih banyak kejadian banjir maksimum
yang terjadi,dan sebaliknya kejadian debit minimum dapat sangat-sangat
kecil hanya tidak pernah nol (0). Pemantauan besarnya perbandingan
Qmaks/Qmin rata-rata tahunan (.25 tahun) dapat digunakan sebagai
indikator selama kurun waktu tersebut terjadi peningkatan atau
penurunan potensi DAS sebagai pengatur aliran sungai sehimgga
parameter ini dikenal dengan koefisien regime (pengaturan) sungai atau
aliran sungai. Kondisi karakteristik DAS yang baik apabila terjadi
perubahan penurunan perbandingan Qmaks/Qmin rata-rata.
g. Koefisien Storage sungai (Qmin/Qav)
Parameter karakteristik hidrologi DAS yang diperoleh dari
perbandingan antara debit minimum (Qmin) dan debit rata-rata (Qav) atau
sering disingkat dengan parameter Qmin/Qav merupakan indikator
besaran hidrologi untuk menyatakan apakah DAS itu berfungsi sebagai
prosesor untuk menyimpan air hujan yang jatuh sehingga dapat
membentuk mataair yan g permanen atau relatif permanen. Indikator
parameter Qmin/Qav ini sebaliknya dengan parameter Qmaks/Qmin
karena apabila nilai perbandingan ini kecil (<50) yang berarti debit
minimum (Qmin) yang terjadi harapannya justru semakin mendekati
besarnya debit rata-rata atau dengan kata lain debit minimum pada musim
kemarau masih cukup besar. Pemantauan karakteristik DAS dengan
menggunakan parameter perbandingan Qmin/Qav secara series (>25
tahun) untuk menunjukkan perubahan penurunan dan kenaikan nilai
perbandingan tersebut. Karakteristik DAS yang baik apabila selama kurun
waktu tersebut terjadi kenaikan nilai perbandingan Qmin/Qav rata-rata.
25
5. Karakteristik Kemampuan DAS
a. Erosi dan Sedimentasi
Pendugaan kehilangan Lapisan Tanah Atas sebagai Erosi Permukaan
(Surface Erosion) dan sedimentasi dapat dilakukan melalui berbagai cara,
baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif berdasarkan konsep
satuan lahan dalam satuan Daerah Aliran Sungai (DAS) atau sub-DAS.
Secara konseptual dan praktis cara-cara pemantauan erosi permukaan dan
sedminetasi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
b. Secara Kualitatif
Erosi permukaan dapat diestimasi berdasarkan adanya kenampakan
gejala-gejala erosi permukaan yang tampak, seperti adanya bekas-bekas
percikan material tanah hasil pengelupasan oleh pukulan air hujan (splash
erosion), aliran lembaran yang bergerak perlahan di permukaan (sheet
erosion), adanya alur-alur kecil hasil goresan aliran limpasan permukaan
(rill erosion), parit-parit kecil hasil perkembangan dari alur-alur permukaan
oleh goresan aliran limpasan permukaan (gully erosion), kenampakan
pemunculan batang pohon dan akar-akarnya akibat goresan aliran air
hujan yang melalui batang (stemflow), gundukan tanah dibawah tanaman
pohon/kayu akibat pukulan hujan melalui air tembusan (throughfall),
melalui aliran tajuk pohon (crown dreep), dan lain-lain masih banyak lagi
kenampakan-kenampakan kecil di permukaan akibat tenaga pukulan air
hujan dan tenaga aliran limpasan permukaan.
c. Secara Kuantitatif
Pendugaan erosi permukaan dengan menggunakan plot erosi
dengan ukuran panjang 22 meter dan lebar 2 atau 4 meter dengan
kemiringan plot kurang lebih 9% dan dipasang untuk dicobakan pada
berbagai jenis tanaman ataupun kebun campuran. Pada mulut plot erosi
dipasang drum terukur (1) sebagai penampung lumpur dan air hujan yang
terangkut dan kelebihannya ditampung dalam drum penampung (2).
Berat per satuan volume lumpur ditimbang dikalikan dengan berat jenis
(BD) lumpur sehingga dapat diperoleh hasil lumpur dalam gram per liter.
Pengukuran erosi permukaan tersebut dikenal dengan pengukuran erosi
aktual (metode volumetrik).
d. secara prediktif kuantitatif
Pendugaan erosi permukaan berdasarkan rumus USLE (Universal
Soil Loss Equation) yang dikembangkan oleh Wischmeier dan Smith (1978)
sebagai berikut.
A
A
R
K
L
S
C
P
=
=
=
=
=
=
=
=
RxKxLxSxCxP
…………………..………………………..(2.11)
erosi permukaan (ton/ha/tahun),
faktor erosivitas hujan,
faktor erodibilitas tanah,
faktor panjang lereng,
faktor kelerengan lahan,
faktor tanaman
faktor manajemen lahan
26
Kriteria besarnya erosi permukaan menurut Departemen Kehutanan
(1986) adalah sebagai berikut.
Tabel 6 Klasifikasi Erosi
No
1
2
3
4
5
Kategori Erosi Permukaan
Besaran Erosi Permukaan
Sangat Ringan
Ringan
Sedang
Tinggi
Sangat Tinggi
< 15 ton/ha/th
>15 - 60 ton/ha/th
>60 – 180 ton/ha/th
>180 – 460 ton/ha/th
> 460 ton/ha/th
Erosi Lembah dan Erosi Tebing Sungai
Pendugaan besarnya Erosi Lembah dan Erosi Tebing Sungai serta
Erosi Total Sungai dapat dilakukan secara kuantitaif berdasarkan
parameter erosi permukaan (USLE) dengan cara perbandingan persentase
(SCS Amerika).
Nilai erosi permukaan tersebut diestimasi berdasarkan
pada setiap satuan lahan sehingga dapat diketahui agihan spasial
besarnya erosi permukaan. Besarnya erosi permukaan per satuan lahan
dalam satuan DAS atau Sub-DAS belum mempertimbangan besarnya
erosi lembah dan erosi tebing (valley and bank erosion). Besarnya erosi
lembah sungai dan erosi tebing sungai dipertimbangkan antara 10 hingga
25 % kali besarnya erosi permukaan (A) (Ahli Konservasi Tanah dan Air
Amerika, SCS). Erosi total sungai (Gross erosion, GE) adalah besarnya
erosi permukaan (A) ditambah besarnya erosi lembah dan erosi tebing
((10-25 %)A) yang dapat dirumuskan sebagai berikut.
GE
= A + (25% x A)
............................................... (2.12)
GE
= Erosi total sungai (Gross Erosion)
(ton/ha/th) atau (mm/tahun)
A
= Erosi permukaan (Metode USLE)
(ton/ha/th).
Hasil Sedimen Sungai (Sediment Yield, SY)
Besarnya hasil sedimen sungai (SY) dapat diduga melalui
prediksi besarnya erosi total sungai (GE) dikalikan dengan rasio
pelepasan sedimen (Sediment Delivery Ratio, SDR) yang dapat
dirumuskan sebagai berikut.
SY
SY
GE
= GE x SDR ......................................................... (2.13)
= sedimen total sungai (ton/liter),
= erosi total sungai (ton/ha/th atau
mm/tahun).
27
Besarnya rasio pelepasan sedimen (SDR) dapat diperhitungkan
berdasarkan perbandingan antara besarnya erosi permukaan (A)
dengan erosi total sungai (GE). Besarnya rasio pelepasan sedimen
berbanding terbalik dengan luas DAS yang digambarkan dalam bentuk
grafik hubungan antara luas DAS dan nilai SDR, semakin besar luas
DAS semakin kecil besarnya nilai SDR. Besarnya nilai SDR dapat
dihitung berdasarkan sifat fisik tanah dan berat jenis (BD) setiap jenis
tanah.
e. Penutup Lahan, Penggunaan Lahan, dan Pemanfaatan Lahan
Data penutup lahan (land cover), penggunaan lahan (land use), dan
pemanfaatan lahan (land utilization type) merupakan tingkatan atau strata
data yang disesuaikan dengan kebutuhan dan skala penyajian yang
diinginkan untuk tujuan pengelolaan DAS. Secara deskriptif uraian
tingkatan data dapat disusun menurut skala perencanaan DAS, sumber
data, klasifikasi data sebagai berikut:
1) Data penutup lahan merupakan tingkatan skala kecil (makro) atau
dalam perencanaan DAS termasuk skala provinsi (DAS antar provinsi).
Sumber data yang digunakan juga dalam skala kecil, seperti citra satelit
Landsat dan peta yang digunakan adalah peta penutup lahan berskala
lebih kecil atau sama dengan 1:100 000. Klasifikasi penutup lahan
juga sangat sederhana hanya terdiri atas berpenutup vegetasi atau non
vegetasi.
2) Data penggunaan lahan merupakan tingkatan skala menengah (meso)
dan dalam perencanaan DAS termasuk skala kabupaten (dalam satu
atau antar dua kabupaten). Sumber data yang digunakan berskala
sedang, seperti citra SPOT, ASTER, dan ALOS serta peta yang
digunakan berskala lebih besar atau sama dengan 1:50 000. Klasifikasi
penggunaan lahan sudah agak rinci terdiri atas penggunaan lahan
sawah, tegalan, kebun campuran, permukiman, hutan, semak belukar,
badan air, dan sebagainya.
3) Data pemanfaatan lahan merupakan tingkatan skala besar (mikro) dan
dalam perencanaan DAS termasuk skala rencana teknis lapangan (RTL)
untuk manajemen lahan. Sumber data yang digunakan berskala besar,
seperti citra satelit IKONOS, QUICKBIRD, dan/atau WORLDVIEW serta
peta yang digunakan berskala lebih besar atau sama dengan 1:10 000.
Klasifikasi pemanfaatan lahan sangat rinci sampai dengan tingkat satu
satuan lahan terkecil, seperti penggunaan lahan sawah maka pada
tingkat pemanfaatan lahan sampai tingkat jenis tanaman jagung,
kedele, dan kacang-kacangan.
f. Daya Dukung Lahan DAS
Daya dukung lahan adalah kemampuan suatu lahan untuk
dalam alokasi pemanfaatan ruang/lahan dalam wilayah
tujuan penataan ruang yang sesuai dengan kapasitas
(supportive capacity) dan kapasitas daya tampung DAS
mendukung
DAS untuk
penyediaan
(assimilative
28
capacity). Agar dalam pemanfaatan ruang DAS sesuai dengan kapasitas
lingkungan dan sumber daya maka alokasi pemanfaatan ruang/lahan
harus mengindahkan kemampuan lahan (land capability). Kapasitas
sumberdaya alam DAS tergantung pada kemampuan, ketersediaan, dan
kebutuhan akan lahan, air, dan vegetasi karena akan menentukan dalam
penataan ruang dan pemanfaatan sumberdaya alam tersebut.
Perbandingan antara ketersediaan dan kebutuhan akan lahan, air, dan
vegetasi di suatu wilayah DAS menentukan keadaan surplus dan defisit
dari lahan, air, dan vegetasi untuk mendukung kegiatan pemanfaatan
ruang dalam DAS
Salah satu cara untuk menentukan daya dukung lahan dalam lingkungan
DAS adalah melalui alokasi pemanfaatan ruang yang tepat berdasarkan
kemampuan lahan yang dikategorikan ke dalam tingkat kelas, sub kelas,
dan unit pengelolaan/manajemen lahan disesuaikan dengan tingkatan
perencanaan pengelolaan DAS. Kemampuan lahan merupakan
karakteristik lahan DAS yang mencakup sifat tanah (fisik dan kimia),
topografi, drainase, dan kondisi lingkungan DAS yang lain. Berdasarkan
karakteristik lahan tersebut suatu wilayah DAS dapat dilakukan
klasifikasi kemampuan lahan ke dalam tingkat kelas, sub kelas, dan
hingga unit pengelolaan/manajemen lahan. Kemampuan lahan berkaitan
dengan tingkat bahaya kerusakan dan hambatan dalam pengelolaan
lahan DAS, apabila tingkat bahaya atau resiko kerusakan dan hambatan
penggunaan ruang meningkat maka spektrum penggunaan ruang dalam
DAS akan menurun. Klasifikasi kemampuan lahan dibagi ke dalam 8
kelas, kelas I hingga IV mempunyai kemampuan untuk bidang pertanian,
sedang kelas V hingga VIII mempunyai kemampuan untuk bidang non
pertanian. Khususnya untuk kelas VII dan VIII merupakan lahan yang
harus dilindungi atau untuk fungsi konservasi. Secara rinci klasifikasi
kamampuan lahan dalam tingkat kelas dan penggunaan ruang/lahan
dapat dilihat pada tabel berikut.
Kemampuan lahan dalam tingkat sub kelas pengklasifikasiannya
didasarkan pada jenis faktor penghambat atau ancaman dalam
penggunaannya, kategori sub kelas hanya berlaku untuk kelas
kemampuan lahan kelas II hingga kelas VIII, karena kemampuan lahan
kelas I tidak mempunyai faktor penghambat. Kelas Kemampuan lahan
yang dirinci lagi ke dalam tingkat sub kelas didasarkan pada 4 (empat)
faktor penghambat, yaitu: (1) kemiringan lereng (t), (2) penghambat
terhadap perakaran tanaman (s), (3) tingkat erosi/bahaya erosi (e), dan (4)
genangan air (w). Sub kelas kemiringan lereng (t) terdapat pada lahan
yang faktor lwerengnya menjadi faktor penghambat utama, yang meliputi
kemiringan lereng, panjang lereng, dan bentuk lereng sangat
mempengaruhi erosi, limpasan permukaan, serta kemudahan atau faktor
penghambat terhadap usaha pemanfaatan ruang/lahan DAS, sehingga
dapat menjadi petunjuk dalam pengelolaan/ manajemen lahan. Cara
penamaan kelas dan sub kelas dilakukan dengan menuliskan faktor
penghambat di belakang angka kelas, sebagai contoh, lahan kelas III
dengan faktor penghambat kelerengan (t) maka dapat ditulis dengan sub
kelas IIIt.
29
Kelas kemampuan yang telah dirinci ke dalam sub kelas selanjutnya
masih dapat dirinci menurut unit pengelolaan/ manajemen lahan yang
dikategorikan berdasarkan pada intensitas faktor penghambat dalam
kategori sub kelas. Dengan demikian dalam kategori unit pengelolaan/
manajemen lahan telah diindikasikan kesamaan potensi dan
hambatan/resiko sehingga dapat digunakan untuk menentukan tipe
pengelolaan atau teknik konservasi yang dibutuhkan. Kemampuan lahan
pada tingkat unit pengelolaan/ manajemen lahan memberikan faktor
kelerengan yang lebih spesifik dan detil dari lahan tingkat sub kelas.
Tingkat unit pengelolaan/manajemen lahan diberi simbol dengan
menambahkan angka (1, 2, 3, dan seterusnya) di belakang simbol sub
kelas, angka-angka tersebut menunjukkan besarnya tingkat faktor
penghambat yang ditunjukkan dalam sub kelas, sebagai contoh, sub kelas
IIIt (faktor penghambat kelerengan) dengan intensitas 1 (satu) maka dapat
ditulis dalam unit pengelolaan/manajemen lahan tingkat IIIt 1, IIIt2 dan
seterusnya.
6. Karakteristik Sosial Kependudukan DAS
a. Jumlah dan Kepadatan Penduduk
Geografis
Dalam ekosistem DAS, penduduk merupakan bagian yang sangat
penting. Salah satu aspek kependudukan yang perlu diperhatikan antara lain
menyangkut kepadatan penduduk geografis. Kepadatan penduduk geografis
di suatu wilayah mempunyai pengaruh terhadap potensi kerusakan
lingkungan termasuk terhadap kelestarian sumberdaya lahan. Asumsi yang
digunakan adalah bahwa suatu wilayah yang mempunyai kepadatan
penduduk geografis tinggi cenderung akan lebih mempunyai resiko terjadinya
kerusakan lingkungan dari pada wilayah dengan kepadatan penduduk
geografis rendah. Hal tersebut disebabkan intensitas pemanfaatan lahan dan
air akan lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah yang mempunyai
kepadatan penduduk geografis yang lebih rendah.
Kepadatan penduduk geografis adalah merupakan cerminan dari
besarnya tekanan penduduk terhadap lahan. Semakin tinggi kepadatan
penduduk geografis semakin besar pula tekanan penduduk terhadap lahan.
Di wilayah hulu kepadatan penduduknya biasanya tergolong rendah.
Seharusnya di wilayah ini kerusakan lingkungan relatif kecil. Namun
demikian pengalaman empiris di beberapa wilayah di Indonesia menunjukkan
bahwa di wilayah ini terjadi kerusakan lingkungan walaupun kepadatan
penduduknya rendah.
Kerusakan lingkungan disebabkan oleh faktor sosial ekonomi
penduduk. Sebagian besar penduduk di wilayah ini bermata pencaharian
petani dengan tingkat penghasilan yang rendah. Di wilayah ini biasanya
banyak terjadi penebangan hutan.
30
Khusus untuk wilayah yang kepadatan penduduk geografisnya tinggi
perlu mendapat perhatian karena suatu wilayah yang mempunyai kepadatan
penduduk geografis yang tinggi cenderung akan lebih mempunyai resiko
terjadinya kerusakan lingkungan. Hal tersebut disebabkan intensitas
pemanfaatan lahan dan air akan lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah
yang mempunyai kepadatan penduduk geografis yang lebih rendah.
Cara mengukur kepadatan penduduk geografis adalah dengan membagi
jumlah penduduk dengan satuan jiwa di suatu wilayah dengan luas wilayah
tersebut dengan satuan km2. Data tentang jumlah penduduk dan luas
wilayah dapat diperoleh dari Kecamatan Dalam Angka dengan unit analisis
desa/kelurahan, Kabupaten/Kota Dalam Angka dengan unit analisis
kecamatan. Data ini merupakan data yang diterbitkan oleh Kantor Statistik
Kabupaten/Kota. Data ini tersedia untuk setiap tahun. Di samping itu data
ini juga dapat diperoleh dari Potensi Desa dengan unit analisis
desa/kelurahan dalam format SPSS (softcopy) yang juga merupakan data
yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik. Data ini tidak terdapat setiap
tahun. Data Podes yang telah ada adalah data tahun 1990, 1993, 1996, 2000,
2003, 2006, 2008, dan 2011.
b. Jumlah dan Kepadatan Penduduk Agraris
Aspek lain yang perlu diperhatikan dalam penyusunan karakteristik
DAS adalah menyangkut tekanan terhadap lahan pertanian akibat adanya
konversi penggunaan lahan dan proses fragmentasi lahan pertanian.
Besarnya tekanan terhadap lahan pertanian mencerminkan semakin
besarnya penggunaan lahan non pertanian. Hal tersebut akan berdampak
bagi kondisi lingkungan terutama kualitas lahan dan ketersediaan air. Salah
satu aspek yang dapat menggambarkan adanya tekanan terhadap lahan
pertanian adalah menyangkut kepadatan agraris. Kepadatan agraris adalah
merupakan perbandingan antara jumlah rumah tangga tani dengan luas
lahan pertanian. Semakin tinggi kepadatan agraris semakin tinggi pula
tekanan terhadap lahan pertanian.
Tingginya kepadatan penduduk agraris di suatu DAS menunjukkan
adanya tekanan terhadap lahan pertanian. Dengan kepadatan penduduk
agraris yang tinggi menyebabkan pertanian yang berkembang cenderung
tidak efisien. Perkembangan pertanian yang tidak efisien akan berpotensi
mengakibatkan adanya degradasi kualitas lahan. Hal tersebut perlu
mendapatkan perhatian agar nantinya tidak mengganggu kelestarian
lingkungan di wilayah DAS yang bersangkutan.
Cara mengukur kepadatan penduduk agraris adalah dengan membagi
jumlah petani dengan satuan jiwa di suatu wilayah dengan luas lahan
pertanian di wilayah tersebut dengan satuan km2. Data tentang jumlah
petani dan luas lahan pertanian dapat diperoleh dari Kecamatan Dalam
Angka dengan unit analisis desa/kelurahan, Kabupaten/Kota Dalam Angka
dengan unit analisis kecamatan. Data ini merupakan data yang diterbitkan
oleh Kantor Statistik Kabupaten/Kota. Data ini tersedia untuk setiap tahun.
31
c. Persentase Rumah Tangga Petani
Sektor pertanian di beberapa DAS di Indonesia masih merupakan
sektor yang dominan, namun demikian di beberapa DAS yang lain, sektor
pertanian ini tidak lagi menjadi sektor yang dominan. Hal itu ditunjukkan
dengan rasio rumah tangga tani terhadap jumlah rumah tangga yang
menunjukkan angka yang sangat bervariasi. Bervariasinya kegiatan ekonomi
penduduk di wilayah ini mencerminkan adanya dinamika wilayah. Dinamika
wilayah tersebut perlu diarahkan agar nantinya tidak menjadikan potensi
kerusakan lingkungan. Untuk DAS yang mempunyai proporsi rumah tangga
tani tergolong besar mempunyai resiko kerusakan lingkungan yang lebih
tinggi dari pada DAS yang mempunyai proporsi rumah tangga tani lebih kecil.
Dalam Potensi Desa dengan unit analisis desa/kelurahan terdapat data
persentase rumah tangga tani ini.
7. Karakteristik Sosial Budaya DAS
a. Tingkat Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu indikator yang dapat digunakan
untuk menggambarkan kondisi sosial suatu wilayah.Dalam Data Podes
terdapat data putus sekolah SD dan putus sekolah SLTP. Dua indikator ini
dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi pendidikan di daerah
penelitian. Disamping itu dengan dua indikator ini juga dapat digunakan
untuk menggambarkan tingkat kemiskinan suatu wilayah.
Besarnya angka jumlah penduduk putus sekolah baik SD maupun
SLTP mengindikasikan kondisi perekonomian yang yang buruk.Kondisi
perekonomian yang buruk disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya
adalah faktor alam.Faktor alam yang dimaksudkan adalah kondisi fisik lahan
yang tidak menguntungkan untuk kegiatan pertanian, padahal sebagian
besar masyarakat masih menggantungkan hidupnya pada sektor
pertanian.Dengan kondisi fisik lahan yang demikian menyebabkan
masyarakat petani terpuruk dalam kemiskinan.Cara mengukur, besaran,
kategori, dan skor untuk variabel persetase penduduk putus sekolah SD dan
persentase penduduk putus sekolah SLTP disajikan pada Lampiran 5.
b. Kearifan/Nilai-Nilai Lokal Masyarakat
Dalam masyarakat lokal di beberapa wilayah di Indonesia terdapat
peraturan-peraturan lokal yang disusun dan dilaksanakan oleh masyarakat
setempat. Peraturan-peraturan tersebut disusun dengan bahasa yang
sederhana namun dengan bahasa yang sederhana tersebut justeru dapat
dimengerti oleh seluruh lapisan masyarakat di desa yang bersangkutan.
Peraturan-peraturan tersebut walaupun levelnya di tingkat desa namun
sebagai sebuah peraturan sudah memiliki kekuatan hukum karena telah
ditetapkan sebagai Peraturan Desa (Perdes).
32
Dengan kekuatan hukum ini maka peraturan-peraturan tersebut telah
mempunyai kemampuan untuk mengikat hukum kepada seluruh warga
masyarakat di desa tersebut. Peraturan Desa yang berkaitan dengan
pengelolaan DAS sebagai contoh telah terdapat di Desa Gemawang
Kecamatan Ngadirojo Kabupaten Wonogiri Provinsi Jawa Tengah. Peraturan
tersebut ditaati oleh semua warga masyarakat di desa tersebut. Peraturan
Desa sejenis juga terdapat di Desa Sembukan Kecamatan Sidoharjo
Kabupaten Wonogiri Provinsi Jawa Tengah yang telah disyahkan pada tanggal
15 Desember 2009. Desa lain yang memiliki Peraturan Desa untuk
pengelolaan lingkungan adalah Desa Tempursari Kabupaten Wonogiri
Provinsi Jawa Tengah yang telah disyahkan pada Bulan Februari 2010
(Giyarsih, 2010).
Masyarakat lokal yang sebetulnya merupakan target group yang paling
potensial untuk melaksanakan peraturan tersebut karena lebih memahami
Peraturan Desa dari pada Peraturan Daerah. Alasannya sangat sederhana,
karena mereka sendiri yang merencanakan dan menyusun Peraturan Desa
tersebut. Sebaliknya Peraturan Daerah direncanakan dan disusun bukan
oleh masyarakat tapi oleh Pemerintah Daerah (Giyarsih, 2010).
Dari fakta empiris ini maka untuk pengelolaan lingkungan dalam
pengelolaan suatu DAS maka peraturan yang paling dekat dengan
masyarakat lokal itulah yang merupakan peraturan yang paling efektif
dilaksanakan. Oleh karena itu dalam kaitannya dengan aspek kelembagaan
maka lembaga-lembaga lokal di tingkat desa termasuk yang merancanakan
dan melaksanakan peraturan lokal inilah yang perlu dikoordinasi dengan
lebih optimal.
Variabel kearifan/nilai-nilai lokal dalam konservasi dapat diperoleh
dengan cara wawancara terstruktur dengan panduan kuesioner atau
wawancara mendalam (indepth interview) dengan metode sampling kepada
informan misal kepada tokoh masyarakat atau kepala desa. Adapun cara
mengukur, besaran, kategori, dan skor untuk variael kearifan/nilai-nilai lokal
dalam konservasi disajikan pada Lampiran 6.
8. Karakteristik Sosial Ekonomi DAS
a. Mata Pencaharian
Sektor pertanian masih menjadi sektor yang dominan bagi sebagian
besar penduduk Indonesia. Di wilayah hulu suatu DAS biasanya kegiatan
sektor pertanian ini sangat dominan.
Pengalaman empiris di beberapa wilayah di Indonesia mengindikasikan
bahwa lokasi beberapa industri merupakan peralihan dari lahan sawah
beririgasi teknis yang subur menjadi lahan industri. Kawasan industri ini
masih menjadi satu dengan lahan pertanian di sekelilingnya. Hal ini
mengindikasikan adanya gejala urban sprawl (gejala perembetan kenampakan
fisik kekotaan ke arah luar). Gejala urban sprawl yang terjadi di wilayah ini
mempunyai tipe leap frog development. Tipe leap frog development merupakan
tipe gejala urban sprawl yang paling merugikan secara ekologis.
33
Keberadaan kawasan industri tersebut di satu sisi memang
menguntungkan masyarakat sekitar karena dapat menyerap tenaga kerja
lokal untuk bekerja di pabrik khususnya untuk bagian produksi. Namun
demikian di sisi lain menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan
apabila limbah tidak dikelola dengan baik oleh pabrik.
Khusus untuk kawasan perkotaan, maka sektor perdagangan dan
industri menjadi sektor yang diandalkan di wilayah ini. Seperti halnya
wilayah yang berciri kekotaan, maka kawasan ini juga sarat dengan
permasalahan lingkungan perkotaan. Mulai dari sampah rumah tangga
sampai dengan limbah industri yang dibuang ke DAS tak pelak lagi
menyebabkan tercemarnya DAS tersebut. Untuk itu di wilayah ini perlu
pengelolaan sampah dan limbah industri sehingga mengurangi resiko
pencemaran DAS.
Dengan demikian suatu wilayah yang didominasi oleh kegiatan pertanian
atau dengan kata lain struktur mata pencaharian sebagian besar
penduduknya di sektor pertanian maka akan mempunyai resiko yang lebih
tinggi terhadap kerusakan DAS. Data persentase penduduk bermata
pencaharian sebagai petani dapat diperoleh dari data Kecamatan Dalam
Angka dengan unit analisis desa/kelurahan dan Kabupaten/Kota Dalam
Angka dengan unit analisis kecamatan. Data ini diterbitkan oleh Badan Pusat
Statistik yang tersedia untuk setiap tahunnya. Adapun cara mengukur,
besaran, kategori, dan skor untuk variabel ini disajikan pada Lampiran 7.
b. Tingkat Pendapatan
Salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat
kesejahteraan penduduk adalah kesejahteraan keluarga. Dari data Podes
dapat digunakan data mengenai jumlah rumah tangga Pra Sejahtera dan
Sejahtera I menurut klasifikasi dari BKKBN. Untuk menilai tingkat
kesejahteraan penduduk di suatu DAS digunakan data mengenai proporsi
rumah tangga Pra Sejahtera dan Sejahtera I. Semakin rendah proporsi rumah
tangga Pra Sejahtera dan Sejahtera I menunjukkan tingkat kesejahteraan
yang semakin baik. Sebaliknya, semakin tinggi proporsi rumah tangga Pra
Sejahtera dan Sejahtera I menggambarkan tingkat kesejahteraan yang
semakin rendah.
Penduduk yang miskin mempunyai potensi sebagai pelaku kerusakan
DAS. Oleh karena itu untuk kawasan-kawasan yang proporsi penduduk
miskinnya besar perlu diwaspadai karena potensial merusakkan DAS.
Keterbatasan ekonomi masyarakat tersebut bila tidak segera
ditanggulangi dapat berpotensi terjadi kerusakan DAS. Hal tersebut karena
pada wilayah yang miskin untuk memenuhi kebutuhan hidup,
masyarakatnya cenderung akan memanfaatkan sumberdaya yang ada secara
berlebihan sehingga bila tidak dibatasi akan mengakibatkan kerusakan DAS.
Adapun cara mengukur, besaran, kategori, dan skor untuk variabel ini
disajikan pada Lampiran 7.
34
9. Karakteristik Kelembagaan DAS
a. Peran Lembaga Pemerintah Dalam Konservasi DAS
Pengembangan kelembagaan telah menjadi bagian dari strategi
pembangunan. Pengembangan kelembagaan juga merupakan bagian dari
strategi pengelolaan suatu DAS.
Kelembagaan baik berupa organisasi maupun bukan organisasi
merupakan salah satu penggerak pembangunan. Dari pernyataan ini
sekaligus dapat dipostulasikan bahwa kelembagaan sekaligus juga
merupakan penggerak dalam pengelolaan di suatu DAS.
Dengan adanya pengembangan kelembagaan diharapkan dapat
menggerakkan para pihak untuk berperan secara aktif dalam pengelolaan
lingkungan di suatu DAS. Di samping itu, dengan penguatan kelembagaan
maka pembagian peran menjadi lebih jelas. Masing-masing pihak akan
mengetahui dengan pasti wewenang dan tanggung jawabnya, sehingga sistem
pengelolaan suatu DAS dapat dilaksanakan secara optimal. Dalam hal ini
pihak pemerintah kabupaten/kota berperan sebagai ujung tombak dalam
pelayanan kepada masyarakat dan lebih kompeten dalam upaya
pemberdayaan masyarakat dan upaya pengembangan kelembagaan
masyarakat (Giyarsih, 2010).
Kegagalan berbagai proyek pembangunan di Indonesia salah satu
penyebabnya adalah belum siapnya lembaga di tingkat lokal yang langsung
menyentuh target group (msayarakat) dalam menjalankan proyek
pembangunan tersebut. Belajar dari pengalaman empirik berbagai proyek
pembangunan yang dilaksanakan dengan sistem top down serta lebih
mementingkan pembangunan fisik dari pada pengembangan kelembagaan di
tingkat lokal lebih banyak mengalami kegagalan dari pada keberhasilan. Dari
pengalaman empiris inilah mestinya pendekatan pembangunan yang
diterapkan dalam pengelolaan suatu DAS bukan pendekatan sentralistik
namun pendekatan partisipatif.
Di samping itu dalam pelaksanaan pengelolaan suatu DAS diharapkan
sebanyak mungkin melibatkan masyarakat dan mendorong masyarakat
untuk dapat berpartisipasi secara nyata. Untuk meningkatkan kinerja
pengelolaan lingkungan guna mewujudkan Koordinasi, Intergrasi, Sinergitas,
Sinkronisasi (KISS) yang optimal maka penguatan kelembagaan lokal di
tingkat desa menjadi sangat penting dan mendesak untuk dilakukan. Data
tentang peran lembaga adapt dalam kegiatan konservasi ini dapat diperoleh
dengan cara wawancara terstruktur dengan panduan kuesioner atau
wawancara mendalam kepada informan misal tokoh masyarakat atau kepala
desa dengan teknik sampling. Adapun cara pengukuran, besaran, kategori,
dan skor untuk variabel ini disajikan pada Lampiran 7.
35
b. Peran Lembaga Adat Masyarakat Dalam Konservasi DAS
Sinergisme spasial kelembagaan merupakan upaya-upaya yang
dilakukan untuk memadukan kelembagaan sejenis antar wilayah sedemikian
rupa sehingga produk akhir yang akan dicapai oleh kelembagaan hasil
perpaduan tersebut lebih baik apabila dibandingkan dengan produk akhir
kinerja masing-masing kelembagaan sebelum dipadukan. Dalam kaitannya
dengan pengelolaan DAS yang secara admistratif biasanya terdiri dari
beberapa kabupaten/kota maka sinergisme spasial kelembagaan ini sangat
diperlukan (Giyarsih, dkk, 2011)
Kerjasama saling menguntungkan yang dibangun dapat meliputi dua,
tiga, atau lebih kelembagaan yang sama antar wilayah yang berbeda
tergantung dari konsensus yang telah disepakati antarwilayah. Masingmasing kelembagaan di masing-masing wilayah yang berbeda tentu
mempunyai pertimbangan sendiri-sendiri sesuai dengan kepentingannya.
Skala wilayah yang diciptakan dapat dalam skala lokal maupun skala
regional (Giyarsih, dkk, 2011).
Pertama kali yang harus dirumuskan dalam sinergisme spasial
kelembagaan ini adalah visi dari bentuk sinergisme spasial kelembagaan yang
disepakati. Setelah merumuskan visi yang merupakan cita-cita jangka
panjang maka untuk selanjutnya perlu merumuskan misi-misi yang akan
ditempuh dalam rangka mencapai visi tersebut. Kelembagaan antar wilayah
yang bergabung dalam sinergisme spasial kelembagaan tersebut harus
mempunyai komitmen yang tinggi terhadap kerjasama kelembagaan antar
wilayah yang telah disepakati dan tentu saja secara konsisnten dan
konsekuen masing-masing harus melaksanakan misi-misi yang telah
dirumuskan. Data sinergisme spasial kelembagaan ini dapat diperoleh
dengan cara wawancara terstruktur dengan panduan kuesioner atau
wawancara mendalam kepada informan misal petugas dari instansi yang
berkaitan dengan pengelolaan DAS dengan teknik sampling. Adapun cara
pengukuran, besaran, kategori, dan skor untuk variabel ini disajikan pada
Lampiran 7.
c. Sinergisme fungsi Kelembagaan DAS
Seperti halnya dengan bentuk sinergisme spasial kelembagaan, istilah
sinergisme fungsional kelembagaan juga mempunyai tujuan untuk optimasi
hasil pembangunan dengan penggabungan berbagai kelembagaan yang
berbeda akan dicapai hasil yang lebih baik dari pada masing-masing
kelembagaan berdiri sendiri-sendiri. Menurut Yunus (2005), penekanan
penggabungan dalam sinergisme spasial kelembagaan adalah pada
ruang/wilayah/daerah. Sementara itu penekanan penggabungan dalam
sinergisme fungsional kelembagaan adalah pada kegiatan atau institusi yang
berkompeten menanganinya.
36
Lebih lanjut Yunus (2005) menyebutkan bahwa pada sinergisme spasial
kelembagaan melibatkan berbagai ruang yang berbeda-beda, sedangkan
dalam sinergisme fungsional kelembagaan dapat melibatkan berbagai ruang
yang berbeda maupun ruang yang sama namun berbagai fungsi/kegiatan
yang bervariasi. Sinergisme fungsional kelembagaan dalam ruang yang sama
harus diusahakan dalam rangka optimasi hasil pembangunan. Upaya untuk
menghindarkan adanya konflik kepentingan overlapping kegiatan maupun
antar institusi yang menangani program pembangunan yang sama atau yang
berkaitan harus bekerjasama sehingga kedua hal tersebut dapat dihindarkan.
Pengalaman berbagai negara menunjukkan adanya ineficiency yang
berakibat pada pemborosan sumberdaya (waktu, tenaga, dan biaya) dan
keterlantaran obyek pembangunan akibat tidak adanya sinergisme fungsional
kelembagaan dalam suatu wilayah pembangunan (Drakakis-Smith, 1980
dalam Yunus, 2005). Dalam upaya pengelolaan lingkungan di suatu DAS
apakah menjadi tanggung jawab Dinas Kehutanan, Dinas Pertanian, Dinas
Pekerjaan Umum, Dinas Pertambangan, atau dinas lainnya? Kejelasan
kewenangan membawa konsekuensi finansial yang harus dikeluarkan dalam
penanganan program pembangunan untuk pengelolaan lingkungan. Saling
lempar tanggung jawab akan mengakibatkan keterlantaran atau tidak
tertanganinya masalah yang seharusnya mendapat perhatian (Yunus, 2005).
Sinergisme
fungsional
kelembagaan
antar
institusi
dalam
ruang/wilayah/daerah yang sama dalam pengelolaan suatu DAS perlu diatur
untuk menentukan tugas dan wewenang, sehingga penanganan program
pembangunan dapat dilaksanakan dengan baik. Walaupun dalam beberapa
hal terkendala dengan alokasi dana, tenaga, dan waktu, namun apabila job
descriptions telah jelas terumuskan, maka semua tindakan yang dilakukan
oleh institusi yang berbeda akan bersifat komplementer dengan tujuan akhir
yang sama.
Sama halnya dengan data sinergisme spasial kelembagaan, maka data
sinergisme fungsional kelembagaan ini juga dapat diperoleh dengan cara
wawancara terstruktur dengan panduan kuesioner atau wawancara
mendalam kepada informan misal petugas dari instansi yang berkaitan
dengan pengelolaan DAS dengan teknik sampling. Adapun cara pengukuran,
besaran, kategori, dan skor untuk variabel ini disajikan pada Lampiran 7.
37
BAB III
PELAKSANAAN
A. Tahap Persiapan
Sebelum pelaksanaan penyusunan Karakteristik DAS, terlebih dahulu
perlu dilakukan persiapan yang meliputi penyiapan bahan-peralatan,
sumberdaya manusia serta pembentukan Tim Penyusun Karakteristik DAS.
1. Pembentukan Tim Pelaksana
Untuk melaksanakan penyusunan Karakteristik DAS, maka BPDAS
membentuk Tim yang disesuaikan dengan kondisi di daerah antara lain:
a. Tim Pemetaan/GIS. Tim ini bertanggung-jawab dalam pekerjaan kartografi
dan proses analisis peta-peta digital. Disamping itu Tim juga melakukan
pelaksanaan ground-check hasil pemetaan tersebut;
b. Tim Survey. Tim ini bertanggung jawab dalam proses pengumpulan dan
pengolahan data sekunder (kondisi umum Biofisik dan Sosial Ekonomi
DAS).
c. Tim Penyusun Naskah Karakteristik DAS. Tim ini bertugas menyusun
naskah Buku I, II dan III.
Untuk memberi kejelasan mengenai tugas dan tanggung jawab para
pelaksana dalam identifikasi karakteristik DAS, pembentukan Tim Pelaksana
ditetapkan dalam surat Keputusan Kepala Balai Pengelolaan DAS.
2. Administrasi
Dalam pelaksanaan survey lapangan perlu disiapkan surat-surat ijin dan
permohonan data/informasi kepada instansi-instansi terkait untuk
pengumpulan data. Disamping itu untuk memperlancar pelaksanaan ground
check di lapangan perlu disiapkan pula surat ijin kepada instansi terkait di
daerah.
B. Tahap Kegiatan
1. Pengadaan Bahan
a. Alat tulis dan alat gambar
b. peralatan survey sampel air, bor tanah, kompas, termometer, pengukur
debit, dll
c. Peta meliputi: :
 Peta topografi atau Peta Rupabumi Indonesia
 Peta tanah
 Peta geologi
 Peta iklim
 Peta penggunaan lahan
 Peta penutupan lahan
 Peta lereng
 Peta tingkat bahaya erosi
 Peta pola aliran DAS/sub DAS
38
2 Pembuatan Borang/Blangko Isian
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
Morfometri DAS
Morfologi
Penutupan lahan DAS
Penggunaan lahan
Debit sungai
Data erosi DAS
Iklim dari stasiun meteorologidalam DAS
Data penduduk
Data sarana/prasaran dan social ekonomi penduduk
C. Tahap Pelaksanaan
Untuk mengumpulkan data-data yang diperlukan dilakukan dengan:
1. Deliniasi batas DAS dan penggambaran peta dasar DAS
2. Pengumpulan data sekunder, meliputi: peta-peta (hutan,pola aliran, topografi,
tingkat bahaya erosi, iklim, lereng, tanah, goelogi, penggunaan lahan,
penutupan lahan), data statistic, data DAS (morfometri, morfologi, erosi,
debit, lereng, panjang sungai, dll. Tabel isian terlampir pada Format 3).
3. Penggunaan
data
primer/survey
lapangan,
meliputi
pengamatan
dan
pengukuran kondisi DAS, lereng , penggunaan lahan, proses geomorfik dalam
DAS.
a. Penentuan DAS dan Skala Pemetaan
Setiap
DAS
yang
ada
di
wilayah
Indonesia
harus
dikaji
karakteristiknya, namun mengingat jumlah DAS yang sangat banyak
maka jumlah DAS yang dikaji tersebut disesuaikan dengan kemampuan
dan
anggaran
yang
tersedia
pada
masing-masing
BPDAS.
Untuk
menentukan urutan DAS tersebut dapat menggunakan urutan DAS
Prioritas yang telah ditetapkan.
Setelah
ditentukan
DAS
yag
akan
dikaji
karakteristiknya,
langkah selanjutnya adalah menentukan skala pemetaan yang akan
digunakan dalan kajian karakteristik DAS tersebut. Skala pemetaan
mempunyai peranan sangat penting karena mnyangkut pada keteilitan
data dan informasi yang akan dihasilkan. Skala peemetaan ditentukan
berdasarkan luas DAS masing-masing mengikuti keentuan sebagai
berikut:
39
Tabel Skala Pemetaan untuk Karakteristik DAS
No
Luas DAS (Ha)
1
1.500.000 ke
atas
2
500.000 - <
1.500.000
3
100.000 - <
500.000
4
10.000 - <
100.000
5
Kurang dari
10.000
Klasifikasi
DAS
Keterangan
DAS Sangat Lintas Provinsi
Besar
Lintas Kabupaten
Dalam
Kabupaten
DAS Besar
Lintas Provinsi
Lintas Kabupaten
Dalam
Kabupaten
DAS Sedang Lintas Provinsi
Lintas Kabupaten
Dalam
Kabupaten
Dalam Kota
DAS Kecil
Lintas Provinsi
Lintas Kabupaten
Dalam
Kabupaten
Dalam Kota
DAS Sangat Lintas Provinsi
Kecil
Lintas Kabupaten
Dalam
Kabupaten
Dalam Kota
Skala Peta
1 : 250.000
1 : 250.000
1 : 50.000
1 : 250.000
1 : 250.000
1 : 50.000
1 : 100.000
1 : 100.000
1 : 50.000
1
1
1
1
:
:
:
:
25.000
50.000
50.000
25.000
1
1
1
1
:
:
:
:
10.000
10.000
10.000
10.000
1 : 10.000
Sumber :Ditjen BPDASPS dan PP 15/2010
b. Pengumpulan Data Sekunder (Instansional)
Data ini diperoleh melalui kegiatan survei instansionaal pada
dinas/instansi terkait guna mendaatkan data-data atau hasil publikasi
yang terkait dengan variabel-variabel karakteristik DAS Data yang
dikumpulkan meliputi data-data yang bersifat fisik dan data sosial
ekonomi.
c. Pengumpulan Data Primer (Survei Lapangan)
Data ini diperoleh melalui pengukuran parameter langsung di
lapangan ataupun wawancara dengan responden, dimana jumlah sampel
pengukuran dan respondennya ditentukan secara acak berlapis (stratified
random sampling procedure).Data yang dikumpulkan meliputi data-data
yang bersifat fisik dan data sosial ekonomi.
d. Tahap Pengolahan dan Analisis Data
1) Penetapan Kriteria
Penetapan kriteria tentang:
 Kondisi fisik morfometri/morfologi
 Pola aliran dan tingkat percabangan sungai
40





Fluktuasi debit sungai dan curah hujan
Tingkat erosi sedimentasi
Penggunaan lahan dalam DAS
Tingkat sosial ekonomi penduduk
Tingkat kelembagaan DAS
2) Pengolahan Data (Pemetaan)




Pemetaan data fisik DAS (pola aliran, tanah, lereng, geologi, iklim)
Pemetaan penggunaan lahan DAS
Pemetaan data sosial ekonomi DAS
Pengolahan data mutu hidup
3) Analisis Data (Kuantitatif dan Deskriptif)




Analisis
Analisis
Analisis
Analisis
kuantitatif kondisi fisik DAS
deskriptif kuantitatif pemamfaatan lahan DAS
data sosial ekonomi DAS
data kelembagaan DAS
4) Penggambaran Peta (Reproduksi)
 Digitasi peta analog ke digital (apabila tersedia peralatan GIS)
 Anotasi peta dan cetak peta berwarna
D. Tahap Penyusunan Laporan
1. Laporan dan Pembahasan I (Lingkup Kementerian Kehutanan di Daerah)
Laporan Pendahuluan Kajian Karakteristik DAS dipresentasikan oleh
Tim Penyusun di depan forum yang diikuti oleh dinas/instansi yang berada
dalam lingkup Kementerian Kehutanan di daerah. Pembahasan pada laporan
Pendahuluan ini dititikberatkan pada metode penyusunan karakteristik DAS
yang telah disusun oleh Tim Penyusun.
2. Laporan dan Pembahasan II (Melibatkan Instansi Terkait di Daerah)
Laporan Kemajuan Kajian Karakteristik DAS dipresentasikan oleh Tim
Penyusun di depan forum yang diikuti oleh dinas/instansi yang berada dalam
lingkup Kementerian Kehutanan di daerah dan melibatkan dinas/instansi
terkait di daerah. Pembahasan pada Laporan Kemajuan ini dititikberatkan
pada hasil pemetaan karakteristik DAS dan hasil survei lapangan yang telah
disusun oleh Tim Penyusun.
3. Laporan Akhir
Laporan Akhir Kajian Karakteristik DAS dipresentasikan oleh Tim
Penyusun di depan forum yang diikuti oleh dinas/instansi yang berada dalam
lingkup Kementerian Kehutanan di daerah, dinas/instansi terkait di daerah,
dan Direktorat Perencanaan dan Evaluasi Pengelolaan DAS. Pembahasan
pada Laporan Akhir ini dititikberatkan pada hasil analisis terhadap pemetaan
41
karakteristik DAS dan hasil survei lapangan yang telah disusun oleh Tim
Penyusun.
4. Penggandaan, Penjilidan, dan Pengiriman Laporan
Setelah laporan akhir diperbaiki sesuai dengan saran-saran dan
tanggapan pada saat presentasi akhir, maka laporan digandakan dan dijilid
untuk kemudian dibagiakan pada dinas/instansi yang terkait dengan
kegiatan pengelolaan DAS, baik yang berada pada lingkup Kementerian
Kehutanan maupun dinas/instansi terkait lainnya.
42
BAB IV
HASIL IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK DAS
Karakteristik DAS
berikut :
A. Judul Buku :
disajikan dalam bentuk buku dengan ketentuan sebagai
KEMENTERIAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA
DIREKTORAT JENDERAL BINA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN
PERHUTANAN SOSIAL
BALAI PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI ...................
KAJIAN KARAKTERISTIK
Sub DAS / DAS / Wilayah DAS : ............
BUKU I
(BUKU UTAMA)
............................
B. Penyajian
Disajikan dalam tiga (3) Buku yang terpisah, yang terdiri dari :
(a) Buku I : Buku Utama
Buku ini memuat uraian kegiatan penyusunan Karakteristik DAS
dalam suatu wilayah DAS. Disamping itu buku ini supaya dilengkapi
Peta Situasi sebagai petunjuk lokasi.
(b) Buku II : Lampiran Data
Buku ini memuat rumus-rumus/ pendekatan yang digunakan dengan
data pendukungnya yang mendasari dalam penyusunan Karakteristik
DAS.
(c) Buku III : Lampiran Peta
Buku ini memuat peta-peta yang dipergunakan/menjadi dasar untuk
menyusun Karakteristik DAS.
C. Kerangka (outline) Buku I
1. Kerangka (outline) Buku I adalah sebagai berikut :
Kata Pengantar
I. Pendahuluan
II. Pendekatan dan Metodologi
III. Hasil Identifikasi
A. Karakteristik Biogeofisik
B. Karakteristik Sosial, Ekonomi, Budaya dan Kelembagaan
IV. Pembahasan
V. Kesimpulan
43
2. Sampul buku berupa kertas manila berwarna kuning dengan huruf
dicetak.
3. Isi buku I diketik/dicetak dengan baik dengan persyaratan sebagai berikut:
- Kertas HVS ukuran kuarto
- Jarak ketik 2 spasi
- Setiap Bab diketik pada halaman baru
- Jarak ketikan dari ujung kertas :
+ sebelah kiri : 5 Cm
+ sebelah atas : 4 Cm
+ sebelah kanan : 2 Cm
+ sebelah bawah : 2,5 Cm
4. Buku I dan buku II mempunyai daftar isi masing-masing
5. Naskah rencana ditulis dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik
dan benar. Kalimat supaya tidak terlalu panjang, jelas dan mudah
dimengerti, dan bilamana perlu dilengkapi dengan tabel, histogram dan
sebagainya.
6. Penyajian data/peta supaya mencantumkan sumbernya dan tahunnya
secara jelas sesuai aturan yang berlaku.
C. Jenis-jenis peta yang harus dihimpun dalam buku III adalah sebagai
berikut:
Peta
Peta
Peta
Peta
Peta
Peta
Peta
Peta
Peta
Peta
Peta
Peta
Peta
Peta
Peta
Peta
Peta
Peta
Peta
Curah Hujan
Intensitas Hujan
Geologi
Geomorfologi
Erositivitas Hujan (R)
Erodibilitas Tanah (K) (mencakup jeluk tanah)
Kelas Kemiringan
Indeks Panjang dan Kemiringan Lereng (LS)
Penggunaan Lahan (mencakup nilai CP)
Unit Lahan
Bahaya Erosi (BE)
Tingkat Bahaya Erosi (TBE)
Arahan Penggunaan Lahan
Kemampuan Lahan
Sosial Ekonomi
Administrasi
Arahan Penggunaan Lahan
kawasan hutan
lain yang dianggap perlu
44
Format 1. Klasifikasi Bentuk Lahan (Kucera, 1998)
Sistem
Subsistem
Facet
Singkatan
Alluvial (A) Alluvio-marine Swamp
A.1.w
(A.1)
Marsh
A.1.m
Lowland plain
A.1.p
Delia complex
A.1.d
Sand bars
A.1.s
River valley
(narrow)
River plain
(blackswamp)
Meander seroll
complex
River terrace
River levee
Former river
channel
Ox-bow lake
Alluvial fan
Colluvial fan
Footslope/sereesl
ope
Alluvio/colluvial
fan
Inter-hill plain
Beaches (B.1)
Dunes and
Lido (B.2)
Plain (P)
Peneplain
Pediplain
Old marine
plain
Oldperehed
ternee plain
Narrow
depressions
Broad basia
Swamp or marsh
Lacustrine plain
(recent)
Lacustrine plain
(ancient)
Sand beach
Mud beach
Shingle beach
Cove
Mud flat
Shifting sand
Flat sandy
deposits
Lido
Beach ridges
Tombolo
A.2.v
A.2.p
A.2.m
A.2.t
A.2.l
A.2.c
A.2.o
A.2.f
A.3.f
A.3.s
A.3.a
A.3.i
A.4.d
A.4.b
A.4.w
A.4.l
A.4.p
B.1.s
B.1.m
B.1.h
B.1.c
B.1.f
B.2.s
B.2.f
B.2.l
B.2.r
B.2.t
p.1
p.2
p.3
p.4
45
Sistem
Hills (H)
Mountain
and Plateu
Subsistem
Facet
Hill pattern (H Isolated hillock
.1)
Undulating
hillock
Rolling hillock
Foothills and
spurs
Interhill plan
Rounded hill or
knob
Hill
Singkatan
H.1.i
H.1.u
H.1.r
H.1.f
H.1.p
H.1.r
H.1.h
Plateu and
high plain
(M.1)
Mountain
(M.2)
Volcanic (V)
Crater (V.1)
Volcano upper
(V.2)
Volcano lower
(V.3)
Lava flows
(V.4)
Recent lava flow
Ancient lava flow
V.4.r
V.4.a
Limestone
Lahar flows
(V.5)
Voleanic
plains (V.6)
Limestone
plains (L.1)
Limestone
plateau (L.2)
Limestone
hills (L.3)
Limestone
mountains
(L.4)
46
Format 2. Klasifikasi Tanah
No
Jenis Tanah
Karakteristik
1
Tanah Organosol
Tanah ini terjadi akibat pelapukan
bahan-bahan
organik.
Tanah
ini
biasanya bersifat subur.
(a)Tanah Gambut
merupakan tanah hasil pembusukan yag
tidak sempurna dari di daerah yang
kadang-kadang
tergenang
oleh
air
(rawa).
(b) Tanah Humus
merupakan tanah hasil pembusukan
bahan-bahan organik yang mempunyai
sifat sangat subur.
2
Tanah Vulkanik
Tanah ini terjadi akibat pelapukan abu
vulkanik dari gunung berapi.
(a) Regosol
merupakan tanah dengan ciri ciri :
berbutir kasar, berwarna kelabu sampai
kuning dan sedikit berbahan organik.
(b) Latosol
merupakan
tanah
dengan
ciri-ciri
mempunyai warna merah hingga kuning.
Kandungan bahan organiknya sedang.
3
Tanah Aluvium
merupakan tanah yang diendapkan dari
hasil erosi di dataran rendah. Jenis
tanah ini mempunyai ciri-ciri berwarna
kelabu dan subur.
4
Tanah Podzol
Tanah ini terbentuk akibat curah hujan
yang tinggi dan suhunya yang rendah.
Tanah ini mempunyai ciri-ciri yaitu
miskin akan unsur hara, tidak subur
dan berwarna merah sampai kuning.
5
Tanah Laterit
merupakan tanah hasil cucian, kurang
subur karena kehilangan unsur hara
dan tandus. Awalnya tanah ini subur,
namun
karena
unsur
haranya
dilarutkan oleh air maka menjadi tidak
subur. Warna tanah ini kekuningan
sampai merah.
6
Tanah Litosol
adalah hasil pelapukan batuan beku dan
batuan sedimen yang baru terbentuk
sehingga mempunyai butiran yang
besar. Ciri-ciri tanah jenis ini adalah
miskin akan unsur hara dan mineralnya
masih terikat pada butiran yang besarbesar. Tanah litosol kurang subur.
7
Tanah Kapur
merupakan jenis tanah akbiat dari
pelapukan batuan kapur.
(a) Renzina
merupakan tanah hasli pelapukan
batuan kapur di daerah dengan curah
hujan tinggi. Tanah ini mempunyai ciriciri berwarna hitam dan miskin akan
unsur hara.
(b) Mediteran
merupakan tanah dari hasil pelapukan
batuan kapur keras dan bauan sedimen.
Warna tanah ini kemerahan hingga
coklat.
47
8
Tanah pasir
merupakan tanah yang bersifat kurang
baik bagi pertanian yang terbentuk dari
batuan beku dan batuan sedimen
dengan butiran sangat kasar dan
berkerikil. Jenis tanah ini banyak di
jumpai dimana-mana.
Format 3. Data-Data Karakteristik DAS
Tabel Data Hujan
Stasiun Hujan
Nama
Hujan Harian
Lokasi
Y
Z
X
CH
(mm)
Waktu
(Jam)
Hujan
Bulanan
CH
Waktu
(mm) (Hari)
Hujan
Tahunan
CH
Waktu
(mm) (Hari)
Tabel Data Geologi
Formasi
Struktur
Jenis Batuan
Luas (Ha)
Persentasi Luas
(%)
Tabel Data Geomorfologi
Sistem
Bentuklahan
Luas (Ha)
Persentasi Luas (%)
Tabel Data Topografi
Topografi
Luas (Ha)
Persentasi Luas (%)
Tabel Data Kemiringan Lereng
Kemiringan
Lereng
Kelas
Luas
(Ha)
Persentasi Luas (%)
48
Tabel Data Bentuk Lereng
Bentuk
Lereng
Luas (Ha)
Persentasi Luas
(%)
Tabel Data Tanah
Jenis Tanah
Tekstur
Kedalaman
Luas (Ha)
Persentasi
Luas (%)
Tabel Data Pewilayahan DAS
Pewilayahan
Luas (Ha)
Persentasi Luas
(%)
Hulu
Tengah
Hilir
Tabel Data Luas DAS/Sub-DAS
DAS
Sub-DAS
Luas (Ha)
Persentasi
Luas (%)
Panjang (m)
Persentasi
Panjang (%)
Luas (Ha)
Persentasi
Luas (%)
Tabel Data Jaringan Sungai
DAS/SubDAS
Orde
Tabel Data Kerapatan Aliran
DAS/SubDAS
Kerapatan
Aliran
49
Tabel Data Limpasan Permukaan
DAS/Sub-DAS
Kelas Limpasan
Permukaan
Luas (Ha)
Persentasi Luas
(%)
Tabel Data Erosi
DAS/Sub-DAS
Kelas Erosi
Luas (Ha)
Persentasi Luas
(%)
Luas (Ha)
Persentasi Luas
(%)
Tabel Data Daya Dukung Lahan DAS
DAS/Sub-DAS
Kelas
Kemampuan
Lahan
Format 4. Tingkat Kerentanan DAS Berdasarkan Karakteristik Sosial
Kependudukan DAS
Kecamatan :……………………….
Kabupaten/Kota :……………………….
No
Variabel
1
Kepadatan
penduduk
geografis
2
3
Kepadatan
penduduk
agraris
Persentase
rumah tangga
tani
Ukuran
Besaran
…………..Jiwa/Km2 < 250 Jiwa/Km2
250
–
400
Jiwa/Km2
> 400 Jiwa/Km2
……………Jiwa/Km2
…………………….% < 10 %
10% – 20 %
> 20 %
Kategori Skor
Rendah
1
Sedang
3
Tinggi
5
Rendah
Sedang
Tinggi
1
3
5
50
Format 5. Tingkat Kerentanan DAS Berdasarkan Karakteristik Sosial Budaya
DAS
Kecamatan
:……………………….
No
1.
2.
3.
Variabel
Persenta
se
pendudu
k putus
sekolah
SD
Persenta
se
pendudu
k putus
sekolah
SLTP
Kearifan
/nilainilai
lokal
dalam
konserva
si
Ukuran
..................%
Besaran
<10%
10% - 20%
>20%
Kategori
Rendah
Sedang
Tinggi
Skor
1
3
5
..................%
<5%
5% - 10%
>10%
Rendah
Sedang
Tinggi
1
3
5
1. Ada dan
dilaksana
kan
dengan
baik
2. Ada tapi
belum
dilaksana
kan
dengan
baik
3. Tidak ada
Rendah
1
Sedang
3
Tinggi
5
Kabupaten/Kota :……………………….
Format 6. Tingkat Kerentanan DAS Berdasarkan Karakteristik Sosial
Ekonomi DAS
Kecamatan
:……………………….
Kabupaten/Kota :……………………….
No
Variabel
Persentase
penduduk yang
bermata
pencaharian
sebagai petani
Persentase
rumah
tangga
pra
sejahtera
dan sejahtera I
Ukuran
Besaran
% < 10 %
10% - 20%
> 20%
…………… < 10%
………..%
10% - 20%
> 20%
Kategori
Rendah
Sedang
Tinggi
Skor
Rendah
1
Sedang
Tinggi
3
5
51
Format 7. Tingkat Kerentanan DAS Berdasarkan Karakteristik Kelembagaan
DAS
Kecamatan
:……………………….
Kabupaten/Kota :……………………….
No
Variabel
Ukuran
Besaran
1. Lembaga
1. Ada dan
adat dalam
dilaksanakan
konservasi
dengan baik
2. Ada tapi belum
dilaksanakan
dengan baik
3. Tidak ada
Kategori
Rendah
Skor
1
Sedang
3
Tinggi
5
2.
1. Ada dan
dilaksanakan
dengan baik
2. Ada dan
dilaksanakan
dengan baik
3. Tidak ada
Rendah
1
Sedang
3
Tinggi
5
1. Ada dan
dilaksanakan
dengan baik
2. Ada dan
dilaksanakan
dengan baik
3. Tidak ada
Rendah
1
Sedang
3
Tinggi
5
3.
Sinergisme
spasial
kelembagaan
Sinergisme
fungsional
kelembagaan
DIREKTUR JENDERAL,
ttd
Dr. Ir. HILMAN NUGROHO, M.P.
NIP. 19590615 198603 1 004
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Hukum dan Kerjasama Teknik,
Ir. Murdoko, MM
NIP 19580820 198603 1 003
52
Download