BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Laporan keuangan adalah catatan informasi keuangan suatu entitas pada suatu periode akuntansi. Laporan keuangan merupakan laporan periodik yang disusun menurut prinsip-prinsip akuntansi yang diterima secara umum dengan tujuan untuk melaporkan status keuangan dari suatu entitas. Laporan keuangan dapat digunakan sebagai tolak ukur kinerja perusahaan (Usman,2013). Dapat dikatakan bahwa laporan keuangan adalah suatu laporan yang digunakan untuk melaporkan kinerjanya. Laba dalam proses akuntansi adalah salah satu tolak ukur kinerja perusahaan, yang secara akuntansi didefinisikan sebagai selisih dari pendapatan dan beban perusahaan (Ghozali & Chariri, 2007). Laba pada dasarnya adalah pengembalian atas sumber daya yang digunakan perusahaan pada proses berjalannya perusahaan. Tingkat pengembalian ini menjadi salah satu alat ukur kinerja perusahaan. Selain itu, laba dapat memberikan informasi untuk menduga aliran kas pembagian dividen kepada shareholder (Usman,2013). Manajemen laba adalah tindakan manipulasi akuntansi dengan tujuan menampilkan laporan keuangan yang terkesan lebih baik (Mulford, 2002). Beberapa teknik mengenai manajemen laba adalah dengan memanfaatkan estimasi akuntansi, penggunaan metode akuntansi, merubah waktu pengakuan biaya atau beban (Setiawati & Na'im, 2000 dalam Rahmawati et. al. 2006). 1 Manajemen laba dapat mengurangi transparansi bila keterangan terkait manajemen laba tidak diberikan secara penuh. Saat perusahaan melakukan manajemen laba secara ekstensif, laporan keuangan tidak lagi melaporkan informasi perusahaan secara akurat (Chih et. Al, 2008). Dalam keadaan itu, manajemen laba dapat menyebabkan kesalahan dalam pengambilan keputusan oleh pengguna laporan keuangan. Corporate Social Responsibility (CSR) adalah suatu konsep kewajiban organisasi bisnis untuk mengambil bagian dalam kegiatan yang bertujuan melindungi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan (Yuliana et.al, 2008). CSR merupakan bentuk kontribusi perusahaan untuk keberlangsungan kehidupan masyarakat di sekitarnya, baik secara sosial, ekonomi maupun lingkungan masyarakat berdasarkan pertimbangan etis (Hadi, 2014). Di Indonesia, Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas serta Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas mewajibkan kegiatan CSR untuk perusahaan yang terkait dengan sumber daya alam (hukum-online.com), namun mekanisme bentuk dan pelaporan masih diserahkan kepada perusahaan. Pelaporan praktik CSR oleh perusahaan diperlukan sebagai bentuk informasi pertanggungjawaban atas kegiatan CSR perusahaan. Selain itu, banyak penelitian yang menunjukkan bahwa pengaruh pengungkapan CSR dapat berdampak positif bagi perusahaan. Yuliana et.al (2008) mengemukakan bahwa luas cakupan pengungkapan CSR berpengaruh positif pada reaksi investor yang diproksikan dengan abnormal return dan trading volume activity. Penelitian 2 Bidhari (2012) menunjukkan hal yang sama dengan menggunakan Return-OnAssets, Return-On-Eequity dan Return-On-Sales sebagai ukuran kinerja keuangan perusahaan. Selain itu, perusahaan melakukan pelaporan CSR untuk memenuhi ekspetasi stakeholder(Hadi, 2014). Penelitian mengenai hubungan CSR dan manajemen laba dilakukan oleh Scolten & Kang (2012) yang menyatakan bahwa perusahaan yang berkomitmen dalam melakukan CSR akan mengurangi tindakan manajemen laba bila dibandingkan dengan perusahaan yang kurang berkomitmen dalam melakukan CSR. Jones (1995, dalam Scholtens & Kang, 2012) menyatakan bahwa perusahaan dapat menghindari manajemen laba dengan melakukan pengungkapan yang lebih. Peningkatan informasi dalam pengungkapan laporan keuangan akan menurunkan asimetri informasi. Dengan demikian, peningkatan pengungkapan menyebabkan fleksibilitas manajer untuk melakukan manajemen laba akan berkurang karena berkurangnya asimetri informasi antara manajemen dengan stakeholders. Penelitian Chih et.al.(2008), juga menemukan bahwa semakin perusahaan berkomitmen dalam melakukan CSR semakin sedikit pula indikasi perusahaan dalam melakukan manajemen laba. Lebih jauh Chih. et. al (2008) mengemukakan perusahaan yang berkomitmen dalam melakukan CSR dan mau ikut berkotmitmen dalam pembangunan sosial tidak akan menyembunyikan pengakuan pendapatan dan beban yang dapat merugikan perusahaan. Sebagiamana dilihat dari prespektif etis, perusahaan yang mau berkomitmen dalam CSR tidak hanya berfokus pada pertumbuhan perusahaan saja namun juga ikut andil dalam perkembangan sosial dan masyarakat. 3 Selain itu, Scholtens & Kang (2012) juga menemukan bahwa karakteristik perusahaan akan berpengaruh terhadap hubungan manajemen laba. Mereka menggunakan ukuran perusahaan, profitabilitas dan leverage sebagai proksi karakteristik perusahaan. Karaktristik perusahaan dianggap dapat mempengaruhi keputusan manajemen atas kebijakan mengenai CSR dan manajemen laba. Sebagai contoh, semakin besar ukuran perusahaan maka tekanan untuk melakukan CSR akan semakin besar, hal ini sesuai dengan teori stakeholder dimana perusahaan akan mendapatkan tekanan dari stakeholder. Di sisi lain insentif untuk melakukan manajemen laba akan semakin kecil, dikarenakan perusahaan yang relatif besar akan lebih diawasi oleh stakeholder. Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan bukti empiris dan mengetahui apakah praktik pengungkapan CSR akan mengurangi perilaku manajemen laba oleh perusahaan, dengan menggunakan penelitian Scholten & Kang (2012) sebagai dasar dari penelitian ini. Scholten & Kang melakukan penelitian di daerah asia untuk menemukan bahwa perusahaan dengan tingkat pengungkapan CSR memiliki tingkat manajemen laba yang kecil. Scholten & Kang menggunakan data laporan Asian Sustainability Rating(ASR) untuk mengukur kegiatan CSR dari 200 perusahaan di 10 negara. Penelitian ini menggunakan sampel perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia yang memiliki laporan keuangan tahun 2013. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan sebelumnya, rumusan masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah “Bagaimana pengaruh pengungkapan CSR dan karakteristik perusahaan terhadap 4 manajemen laba di Indonesia?” 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan pengungkapan CSR dan praktik manajemen laba, serta bagaimana karakteristik perusahaan mempengaruhi hubungan tersebut. Sedangkan manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut : Bagi peneliti, peneilitian ini diharapkan dapat mampu memberikan kontiribusi pada dalam pengembangan teori mengenai CSR dan manajemen laba. Penelitian ini diharapkan membantu perusahaan mengevaluasi kembali mengenai kebijakkan penerapan CSR Penelitian ini diharapkan dapat membantu pengguna laporan keuangan untuk lebih memahami kinerja perusahaan 1.4 Sistematika Penulisan Penulisan skripsi ini disusun secara sistematis ke dalam lima bab, yaitu : BAB I PENDAHULUAN, bab ini akan menjelaskan tentang latar belakang penelitian, tujuan, dan manfaat penelitian serta sistematika penulisan skripsi ini. BAB II TINJAUAN PUSTAKA, bab ini berisi landasan teori yang menguraikan pengertian dari manajemen laba, CSR, dan karakteristik perusahaan. Bab ini juga berisi kerangka pemikiran teoritis dan hipotesis penelitian yang disajikan dalam penelitian ini. BAB III METODE PENELITIAN, menguraikan tentang variabel penelitian, definisi operasional, penentuan sampel, jenis dan sumber data, metode 5 pengumpulan data serta metode analisis. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN, bab ini akan menguraikan tentang hasil dari penelitian yang telah dilakukan. BAB V PENUTUP, baba ini berisi kesimpulan yang dapat ditarik dari uraian dan pembahasan pada bab-bab sebelumnya. 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori dan Penelitian Terdahulu Bagian ini akan membahas teori-teori yang ada dan mencoba menjelaskan variabel-variabel dalam penelitian ini. 2.1.1 Corporate Social Responsibility (CSR) Dalam teori stakeholder dikatakan bahwa perusahaan bukan entitas yang beroperasi untuk kepentingannya sendiri namun harus juga memberika manfaat bagi stakeholdernya Ghozali dan Chariri, 2007). Stakeholder adalah pihak-pihak yang dapat mempengaruhi maupun dipengaruhi perusahaan. Hadi (2014) menjelaskan terjadi pergeseran paradigma perusahaan, yang selama ini lebih ke shareholder atau pemilik menjadi ke arah stakeholder-nya, dimana perusahaan yang lebih berfokus pada kepentingan shareholder saja namun juga pada kepentingan stakeholder. Corporate Social Responsibility (CSR) adalah salah satu bentuk kegiatan perusahaan untuk menjalin hubungan dengan stakeholder (Hadi 2014). Hal ini dikarenakan, ada konntrak sosial yang terjadi antara perusahaan dengan masyarakat secara luas. Perusahaan menggunakan sumber-sumber daya yang berada di masyarakat. Stakeholder memiliki kemampuan untuk mempengaruhi pemakaian sumber-sumber daya tersebut (Ghozali dan Chariri, 2007). Ketika stakeholder mengendalikan sumber daya yang penting bagi perusahaan, maka perusahaanakan bereaksi dengan cara memuaskan keinginan stakeholder (Ullman 1985, dalam Ghozali dan Chariri, 2007). 7 2.1.1.1 Definisi dan Motivasi Corporate Social Responsibility(CSR) World Business Council for Sustainabale Development (WBCSD) mendefinisikan CSR sebagai komitmen berkelanjutan oleh dunia usaha untuk memberikan kontribusi kepada pengembangan secara sosial maupun ekonomi untuk komunitas setempat ataupun masyarakat luas. Hadi (2014) mendefinisikan CSR sebagai tindakan perusahaan dengan pertimbangan etis yang diarahkan untuk pengembangan kualitas masyarakat secara luas. Urip (2010) beranggapan CSR secara luas dinilai sebagai ikatan tanggung jawab yang layak dijalankan untuk mencapai manfaat berkelanjutan. UU. No. 40 tahun 2007 menegaskan tanggung jawab sosial dan lingkungan merupakan komitmen perusahaan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas dan lingkungan yang bermanfaat. Dari definisi-definisi tersebut dapat disimpulakan CSR merupakan strategi perusahaan yang mengakomodasi kebutuhan dan kepentingan stakeholder-nya untuk tujuan pertumbuhan berkelanjutan, selain itu perusahaan mempunyai fokus tidak hanya pada manfaat bagi diri sendiri, namun ikut ambil berperan dalam proses pertumbuhan masyarakat dan lingkungan. Dalam konsep triple bottom line yang dikembangkan John Elkington (Urip 2010), dikenal konsep 3P yaitu profit, people dan planet, profit yaitu, tujuan perusahaan untuk mencapai keberlanjutan ekonomi, people yaitu menjamin kemakmuran masyarakat, dan planet menjamin lingkungan yang kondusif. Ketiganya harus berjalan secara sinergis dan berkesinambungan agar tercipta iklim perusahaan yang baik sehingga eksistensi perusahaan juga terjamin dengan citra atau reputasi positif yang didapatkan dari 8 legitimasi masyarakat (Urip 2010). Ada beberapa motivasi perusahaan dalam melakukan kegiatan CSR. Ambadar (2008 dalam Anatan 2010) mengemukakan beberapa motivasi dan manfaat yang diharapkan perusahaan dengan melakukan tanggung jawab sosial perusahaan meliputi : 1. perusahaan terhindar dari reputasi negatif perusak lingkungan yang hanya mengejar keuntungan jangka pendek tanpa memperdulikan akibat dari perilaku buruk perusahaan, 2. kerangka kerja etis yang kokoh dapat membantu para manajer dan karyawan menghadapi masalah seperti permintaan lapangan kerja di lingkungan dimana perusahaan bekerja, 3. perusahaan mendapat rasa hormat dari kelompok inti masyarakat yang membutuhkan keberadaan perusahaan khususnya dalam hal penyediaan lapangan pekerjaan 4. perilaku etis perusahaan aman dari gangguan lingkungan sekitar sehingga dapat beroperasi secara lancar. 2.1.1.2 Pengungkapan CSR Pengungkapan sosial merupakan proses mengungkapkan informasi terkait kinerja dan manfaat kebijakan CSR perusahaan (Ghozali & Chariri, 2007). Hadi (2014) mendefinisikan laporan CSR sebagai laporan aktivitas CSR perusahaan berkaitan dengan masalah sosial dan lingkungan. Jadi, praktik pengungkapan CSR adalah proses komunikasi dan pertanggungjawaban perusahaan mengenai kegiatan CSR yang dilakukan perusahaan kepada stakeholder-nya. 9 Di Indonesia, pengungkapan CSR diatur dalam peraturan Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) No. KEP-431/BL/2012 poin 2g. Peraturan tersebut mengatur pelaporan CSR meliputi kebijakan, jenis dan biaya yang dikeluarkan, terkait aspek lingkungan, ketenagakerjaan, pengembangan sosial dan produk. Selain itu UU. No. 40 tahun 2007, juga mengatur kewajiban pelaporan kegiatan CSR pada perusahaan-perusahaan yang berkaitan dengan sumber daya alam. Namun elemen pelaporan CSR terus diperdebatkan. Salah satunya adalah, pandangan bahwa pelaporan CSR seharusnya tidak hanya mengukur data-data keuangan yang dikeluarkan perusahaan saja namun juga mengukur manfaat dan keefektifan dari program tersebut (Hadi, 2014). Sehingga diperlukan sebuah mekanisme pelaporan yang diperlukan untuk mengukur dan menjelaskan kegiatan dan mafaat CSR perusahaan secara detail. Konsep yang dikenal dengan Laporan CSR adalah bagian dari laporan berkelanjutan yang berfokus pada kegiatankegiatan CSR perusahaan dan bersifat sukarela dalam pengungkapannya. Ada beberapa alasan yang menjadi motivasi bagi manajer dalam melakukan pengungkapan CSR. Deegan (2002, dalam Ghozali & Chariri 2007) berpendapat antara lain : 1. Keinginan untuk patuh terhadap persyaratan. 2. Pertimbangan rasionalitas ekonomi. 3. Keyakinan dalam proses akuntabilitas. 4. Keinginan untuk mematuhi persyaratan peminjaman. 5. Memenuhi ekspetasi masyarakat. 6. Kosekuensi dari ancaman terhadap legitimasi masyarakat. 10 7. Untuk memanage stakeholder. 8. Untuk menarik dana investasi. 9. Mematuhi persyaratan industri. 10. Untuk memenangkan penghargaan pelaporan tertentu. Post (2002, dalam Hadi 2014) secara ringkas, membagi motivasi perusahaan dalam melakukan pengungkapan CSR dapat kedalam : 1. Motivasi ekonomi. CSR sebagai alat untuk menarik dana investasi, menaikan nilai perusahaan, mendapatkan nilai IPO tinggi, mematuhi persyaratan debitor dan sebagainya. 2. Motivasi hukum. Berkaitan dengan usaha perusahaan dalam mendapatkan legitimasi dalam menjalankan operasinya. Dengan mematuhi peraturanperaturan yang berlaku. 3. Motivasi sosial. Memenuhi ekspetasi dari stakeholder terhadap perusahaan atau sebuah aktualisasi visi dan misi perusahan. Global Reporting Initiative (GRI) sebuah organisasi non-profit yang mempromosikan konsep economic sustainability dan sustainability reporting. Mereka mengenalkan sebuah pedoman untuk melaporkan kegiatan CSR. Pedoman ini, yang dikenal dengan GRI Sustainabilty Reporting Guidelines atau lebih dikenal dengan inisial GRI, telah secara resmi diluncurkan di Asia Tenggara dan diterbitkan dalam berbagai bahasa, termasuk Indonesia dan mencapai versi 4 (Globalreporting.org). Walau telah mencapai versi 4, penelitian ini akan menggunakan GRI versi 3.1. Alasan dalam hal ini adalah, GRI versi 4 dirilis pada pertengahan tahun 2013 secara internasional (Globalreporting.org) dan pada 11 umumnya perusahaan yang menggunakan pedoman GRI masih dalam masa transisi dari GRI 3 ke GRI 4. Dalam GRI3.1, informasi pengungkapan mengenai CSR dibagi menjadi aspek-aspek : Ekonomi Lingkungan Tenaga kerja HAM Masyarakat Produk 2.1.2 Manajemen Laba Pada teori agensi dikatakan bahwa perusahaan adalah sekumpulan hubungan kontraktual, dimana perusahaan merupakan hubungan kontrak prinsipal sebagai pemberi dan agen sebagai penerima (Jensen & Mackling, 1976, 2000) dan berfokus pada hubungan kontraktual antara pemilik dan manajer. Dalam teori tersebut pemilik mendelegasikan wewenang untuk mengurus perusahaan kepada manajer untuk mengurus perusahaan dan manajer mendapatkan imbalan atas kinerjanya. Terdapat dua masalah dalam hubungan ini yaitu perbedaan kepentingan dan perbedaan informasi antara pemilik dan manajer (Djuitaningsih & Marsyah, 2012). Jensen & Meckling (1976, 2000) mengatakan jika kedua belah pihak hubungan tersebut adalah utility maximizer, ada alasan kuat untuk percaya bahwa agen tidak akan bertindak yang terbaik untuk kepentingan prinsipal dan dapat mengakibatkan konflik kepentingan dimana masing-masing pihak berusaha untuk memaksimalkan kepentingan masing-masing. Selain itu perbedaan 12 informasi yang didapat masing-masing pihak dapat merupakan masalah lain yang terjadi (Djuitaningsih & Marsyah, 2012). Manajer yang terlibat langsung dalam proses operasi perusahaan sehari-harinya akan mempunyai informasi yang lebih baik dibanding pemilik (Sutedja, 2004). Perbedaan informasi antara manajemen dan pemilik perusahaan tersebut dapat memberikan kesempatan kepada manajer untuk melakukan manajemen laba untuk menyesatkan pemilik perusahaan mengenai kinerja ekonomi perusahaan. Teori akuntansi positif yang dikembangkan Watts dan Zimmerman (1986, dalam Ghozali & Chariri) adalah suatu teori akuntansi yang berusaha mengungkapkan bahwa faktor-faktor ekonomi tertentu atau ciri-ciri suatu unit usaha tertentu bisa dikaitkan dengan perilaku manajer atau para pembuat laporan keuangan. Teori ini menjelaskan dan memprediksi kosekuensi yang melatarbelakangi perilaku manajer (Ghozali & Chariri, 2007). Manajemen laba diduga dilakukan oleh manajer dalam proses pelaporan keuangan suatu organisasi karena mereka mengharapkan suatu manfaat dari tindakan yang dilakukan, dengan mengasumsikan perilaku manajer adalah tindakan rasional dan mempunyai kewenangan dalam menentukan metode akuntasi (Gumanti, 2000). Manajemen laba dalam teori akuntasi positif adalah tidak hanya sebagai sebuah perilaku oportuistik manajemen saja, dan mencoba menjelaskan beberapa motivasi lain yang melatarbelakangi manajemen laba. Salah satunya adalah Debt/Equity hypothesis dimana manajemer dalam menghindari rasio debt/equity yang tinggi akan menggunakan metode-metode akuntansi yang akan mengurangi rasio tersebut. Selain itu dalam political cost hypothesis dikatakan manajemen 13 laba bisa saja terjadi untuk mengurangi biaya-biaya politik yang dapat terjadi. 2.1.2.1 Definisi dan Motivasi Manajemen Laba Mulford (2002) mendefinisikan manajemen laba sebagai tindakan manipulasi akuntansi dengan tujuan yang terkesan lebih baik untuk keperluan manajer atau perusahaan. Healy dan Wahlen (1999) mengatakan manajemen laba terjadi ketika manajer menggunakan pertimbangan dalam pelaporan keuangan dan penyusunan transaksi untuk merubah laporan keuangan. Schipper (1989) mendefinisikan manajemen laba sebagai suatu intervensi dengan maksud tertentu terhadap proses pelaporan keuangan eksternal dengan sengaja. Gumanti (2000) berpendapat bahwa manajemen laba terjadi ketika manajer, mempunyai dorongan untuk melakukan manajemen laba untuk mempengaruhi hasil-hasil dari sebuah kontrak. Jadi dapat disimpulkan bahwa, manajemen laba adalah tindakan manajer atau perusahaan dalam merubah item-item dalam laporan keuangan menggunakan kebijakan akuntansi untuk mempengaruhi laba perusahaan. Magnan dan Cormier (1997 dalam Gumanti, 2000) menjelaskan tiga sasaran yang dapat dicapai oleh manajer sehubungan dengan praktek manajemen laba , yaitu minimalisasi biaya politis, maksimalisasi kesejahteraan manajer, dan minimalisasi biaya finansial. Watts & Zimmerman (1986, dalam Ghozali & Chariri, 2007) berhipotesis motivasi-motivasi manajer dan perusahaan dalam melakukan manajemen laba : 1. Bonus Plan Hypothesis, yaitu manajer menggunakan metode akuntansi yang meningkatkan laba dengan harapan meningkatkan nilai bonus. 2. Debt/equity Hypothesis, semakin tinggi rasio debt/equity semakin 14 perusahaan mendekati batas perjanjian kredit. Semakin mendekati batas tersebut maka besar kemungkinan manajer menggunakan metode akuntansi yang dapat menaikkan laba sehingga dapat mengendurkan batasan kredit (Ghozali dan Chariri, 2007) 3. Political Cost Hypothesis, diduga perusahaan besar cenderung menggunakan metode akuntansi yang dapat mengurangi laba periodik dibandingkan perusahaan kecil untuk menghindari tekanan politik (Ghozali dan Chariri, 2007). 2.1.2.2 Teknik Manajemen Laba Mulford (2002) membagi perilaku manajemen laba menjadi tiga jenis, yaitu praktik income smoothing (perataan laba), dimana tujuan dari manajemen adalah untuk menstabilisasikan laba), aggresive acounting (akuntansi agresif), dimana dilakukan pemilihan metode akuntansi yang bertujuan untuk meningkatkan laba dalam laporan laba rugi, dan laporan keuangan bermuatan kecurangan (fraudulent financial reporting) dimana dilakukan pelaporan peristiwa ekonomi yang tidak terjadi atau penghilangan akun dalam akuntansi. Setiawati & Na'im (2000 dalam Rahmawati et. al. 2006) membagi teknik manajemen laba terkait dengan akuntansi, ke dalam tiga teknik yaitu: pemilihan metode akuntansi, dilakukan dengan cara memilih metode akuntansi yang dapat menaikkan atau menurunkan laba. klasifikasi sistem akuntansi, dengan menetapkan standar tentang penggolongan dan pengungkapan pos luar biasa. pengaturan waktu transaksi, menaikkan atau menurunkan laba melalui 15 pengukuran waktu transaksi, sperti pengakuan pendapatan. 2.1.2.3 Manajemen laba dan Akrual Akrual dapat didefinisikan sebagai selisih laba buku dengan kas (Kustinah 2011), yang terjadi karena kebijakkan akuntansi akrual sedangkan laba adalah selisih antara pendapatan dan biaya. Akrual muncul karena metode-metode akuntansi seperti depresiasi, cadangan kerugian, dan sebagainya. Dalam riset akuntansi, akrual total adalah seluruh akrual yang timbul dalam satu periode waktu. Total akrual memiliki dua bagian yaitu: nondiskresioner dan diskresioner. Akrual diskresioner adalah akrual yang tidak memiliki hubungan dengan fenomena ekonomik perusahaan dan muncul dari kebijakan manajemen saja. Akrual nondiskresioner adalah bagian akrual yang variasinya dapat dijelaskan oleh variasi fenomena ekonomik perusahaan. Sebagai contoh, ketika aset semakin besar maka akrual melalui beban depresiasi juga akan makin besar. Akrual diskresioner adalah penambahan akrual yang disebabkan keputusan-keputusan manajer terkait metode ataupun estimasi dalam akuntansi (Rahayu, 2009). Pada riset akuntansi umumnya, pendeteksian akrual dilakukan dengan menggunakan persamaan model Jones. Model Jones dianggap paling baik dalam memperhitungkan akrual karena memperhitungkan item akuntansi yang diduga dapat mempengaruhi akrual (Rahayu, 2009). Secara umum, model Jones dianggap baik untuk mendeteksi manajemen laba. Namun terdapat kelemahan mengenai model Jones, yaitu model Jones menggunakan pendapatan sebagai bagian dari perumusan akrual total, yang menandakan bahwa asumsi model Jones adalah pendapatan bukan bagian dari diskresioner akrual. Bila ternyata manipulasi 16 dilakukan dengan menggunakan pendapatan maka akrual diskresioner akan cenderung bias ke nilai nol (Jones 1991, dalam Rahayu 2009). Dechow et. al. (1995 dalam Rahayu 2009) memodifikasi model Jones tersebut dengan mengurangkan variabel perubahan piutang dari variabel perubahan pendapatan untuk mengestimasi akrual non-diskresioner. Hal ini berdasarkan asumsi lebih mudah melakukan manipulasi pendapatan dengan menggunakan penjualan kredit dibandingkan menggunakan penjualan kas (Rahayu, 2009). 2.1.3 Karakteristik Perusahaan Penelitian Scholten & Kang (2012) menemukan bahwa karakteristik perusahaan mempunyai pengaruh terhadap bagaimana CSR mempengaruhi manajemen laba. Penelitian ini sejalan dengan teori tersebut, menggunakan ukuran perusahan, profitabilitas dan leverage sebagai proksi dari karakteristik perusahaan. 2.1.3.1. Ukuran Perusahaan Ukuran perusahaan menunjukkan besar kecilnya kekayaan yang dimiliki suatu perusahaan. Pengukuran perusahaan bertujuan untuk membedakan secara kuantitatif antara perusahaan besar dengan perusahaan kecil (Purwanto 2011). Ada dua pandangan mengenai pengaruh ukuran perusahaan terhadap manajemen laba. Pandangan pertama, sejalan dengan political cost hypothesis teori akuntansi positif (Watts & Zimmerman 1986, dalam Ghozali dan Chariri 2007), berpendapat bahwa ukuran perusahaan akan berpengaruh secara postif terhadap manajemen laba, dimana ketika perusahaan semakin besar maka diduga motivasi perusahaan untuk melakukan manajemen laba semakin besar pula untuk menghindari biaya- 17 biaya politis (Ghozali dan Chariri, 2007). Biaya-biaya politis yang dimaksud adalah peraturan-peraturan yang dapat meberatkan perusahaan seperti pajak, ancaman akan peraturan baru maupun pembatasan sumber daya. Chih et. al.(2008) mengatakan ada tekanan dari pasar modal pada perusahaan besar, yang dapat menjadi insentif manajemen melakukan manajemen laba untuk membuat laporan keuangan yang lebih menarik. Di sisi lain terdapat pandangan ukuran perusahaan mempunyai pengaruh negatif terhadap manajemen laba. Argumen pandangan tersebut, ketika ukuran perusahaan semakin besar maka semakin besar pula perhatian stakeholder mengenai perusahaan yang mengakibatkan keleluasan manajer dan perusahaan berkurang (Handayani dan Rachadi 2009),dan mengakibatkan berkurangnya insentif manajemen untuk melakukan manajemen laba. Penelitian Scholtens dan Kang (2012) mengindikasikan hal yang sama dimana perusahaan besar lebih sedikit terkait manajemen laba dibandingkan perusahaan kecil. Ada beberapa cara untuk mengukur ukuran perusahaan. Beberapa diantaranya ialah, dengan menggunakan penjualan bersih, nilai kapitalisasi pasar dan total aset. Penelitian ini menggunakan total aset sebagai proksi ukuran perusahaan, dikarenakan total aset relatif konstan dan tidak terpengaruh oleh pasar sehingga lebih valid untuk digunakan (Purwanto, 2011). 2.1.3.2 Profitabilitas Profitabilitas menunjukkan tingkat kemampuan perusahaan untuk menghasilkan keuntungan atau laba. Profitabilitas merupakan tingkat keuntungan bersih yang berhasil diperoleh perusahaan dalam menjalankan operasionalnya. Perusahaan dengan tingkat profitabilitas yang rendah diduga memiliki 18 kecenderungan lebih besar untuk melakukan tindakan manajemen laba (Scholten & Kang, 2012). Hal ini karena motivasi manajemen untuk menampilkan laporan keuangan yang lebih menarik, baik bagi investor, pemilik hingga stakeholder. Sebaliknya, ketika perusahaan memiliki kinerja perusahaan yang baik maka perilaku oportunistik dari pihak manajemen dalam tindakan manajemen laba akan menurun. Di sisi lain, terdapat pandangan bahwa perusahaan dengan profitabilitas tinggi cenderung melakukan manajemen laba dengan teknik perataan laba (Dewi & Prasetiono 2012). Hal ini dilakukan untuk menampilkan kesan pertumbuhan laba yang stabil, dengan menggeser laba pada periode dimana perusahaan beroperasi dengan baik untuk digunakan pada periode dimana perusahaan mempunyai kinerja yang buruk. Aryani (2011) menemukan bahwa secara parsial ROA tidak mempunyai pengaruh signifikan terhadap manajemen laba namun secara simultan dengan leverage dan ukura perusahaan, ROA mempunyai pengaruh signifikan terhadap manajemen laba. 2.1.3.3. Leverage Leverage adalah penggunaan assets dan sumber dana oleh perusahaan yang memiliki biaya tetap dengan maksud agar meningkatkan keuntungan potensial perusahaan. Penelitian ini menggunakan debt-to-equity ratio sebagai ukuran leverage yang menunjukkan seberapa jauh perusahaan dibiayai oleh hutang. Pada debt/equity hypothesis (Watts & Zimmerman 1986, dalam Ghozali dan Chariri, 2007) dijelaskan bahwa besarnya tingkat leverage dapat mempengaruhi tindakan manajemen laba. Leverage yang tinggi mengindikasikan kekayaan perusahan berasal lebih banyak dari kewajibannya dibandingkan 19 ekuitasnya secara umum dipandang sebagai kondisi perusahaan yang buruk dan menurunkan minat investor maupun debitor terhadap perusahaan. Ada beberapa penelitian yang meneliti pengaruh leverage terhadap manajemen laba, diantaranya Aryani (2011), Naftalia (2013) yang menemukan bahwa pengaruh leverage secara signifikan berpegaruh signifikan terhadap manajemen laba. Berlawanan dengan hal itu, Jao & Pagalung (2011) menemukan bahwa pengaruh leverage tidak signifikan terhadap manajemen laba dan beragurmen bahwa manajemen laba tidak menyelesaikan resiko default perusahaan, dimana perusahaan tidak dapat memenuhi kewajibannya. Untuk itu penelitian ini mencoba membantu mendefinisikan hubungan tersebut. 2.1.4 Penelitian Terdahulu Dalam bagian ini akan dijelaskan mengenai penelitian-penelitian terdahulu mengenai hubungan-hubungan Manajemen Laba dan Corporate Social Responsibility. Penelitian Scholtens & Kang (2012), melakukan penelitian bagaimana CSR dan investor protection mempengaruhi EM di wilayah asia. Menggunakan earning smoothing dan earning aggressiveness sebagai ukuran manajemen laba. Data CSR berdasarkan data yang dikeluarkan Asian Sustainability Reporting (ASR) tahun 2009. Hipotesis mereka adalah ada hubungan negatif antara CSR dan EM. Penelitian dilakukan menggunakana data 139 perusahaan yang tersebar di 10 negara asia periode 2004-2008. Penelitian mereka menemukan bahwa perusahaan yang melakukan CSR akan sedikit terkait dengan EM. Penelitian Chih et.al (2008), meneliti efek CSR terhadap kualitas 20 informasi keuangan. Penelitan tersebut menggunakan sampel 653 perusahaan di 46 negara dengan periode 1993-2002. Pengukuran EM menggunakan 3 proksi, yaitu earning smoothing, earning aggressiveness dan earning losses avoidance. Pengukuran CSR menggunakan database FTSE4 Good Global Indexes. Hasil penelitiannya menunjukkan adanya hubungan negatif antara CSR dengan earning smoothing dan earning loss avoidance, namun menunjukkan hubungan postif antara CSR dengan earnings aggressiveness. Penelitian Kim et.al (2012), melakukan penelitian dengan mengukur variabel dependen EM dengan discretionary akrual, real activities manipulation dan accounting & auditing enforcment releases. Penelitian dilakukan dengan menggunakan sampel 23.391 perusahaan di Amerika Serikat dengan rentang waktu 1991-2009. Mereka mengemukakan bahwa perusahaan yang melakukan CSR akan lebih sedikit melakukan EM melalui discretionary akrual, melakukan real activities manipulation dan terdaftar dalam daftar investigasi Securitites & Exchange Commission. Penelitian Yip. et. al ((2011), meneliti 110 perusahaan yang terdiri dari 80 perusahaan makanan dan minuman dan 30 perusahaan minyak dan gas. Hubungan negatif antara CSR dan manajemen laba terjadi pada industri minyak dan gas. Hubungan positif terjadi pada industri makanan dan minuman. Yip. et. Al berpendapat bahwa hal ini menunjukan hubungan CSR dan manajemen laba lebih didasari pertimbangan politis. Penelitian Prior et.al (2007) meneliti hubungan manajemen laba dan CSR dengan sampel 593 perusahaan dari 26 negara periode 2002-2004. Mengunakan 21 model jones untuk mengukur manajemen laba dan data Sustainable Investment Research International Company (SiRi). Hasil peneliitian tersebut menunjukan adanya manajemen laba berpengaruh positif terhadap CSR. Penelitian-penelitian tersebut terangkum dalam tabel berikut : Peneliti Variabel Tabel 1.1. Penelitian Terdahulu Sampel Hasil Dependen Inpen Kontrol den Scholtens Manajeme CSR & Kang n Laba ( (2012) earning smoothing , earning aggressive ness) Proteksi Investor Ukuran ROA Debt-to-equity rasio GDP/capita Inflasi 139 perusah aan di 10 negara periode 20042008 CSR berpengaruh negatif terhadap manajemen laba namun berpengaruh positih terhadap earning aggressiveness Prpteksi investor berpengaruh negatif terhadap manajemen laba Chih. et. Manajeme CSR Al (2008) n Laba (Earning smoothing , earning loss avoidance, earning aggressive ness) Proteksi Investor Total aset Market-to-book ratio Debt-to-equity ratio Big five auditor GDP/capita 653 perusah aan di 46 negara periode 19932002 CSR berpengaruh negatif terhadap manajemen laba (earning smoothing, dan earning loss avoidance) CSR berpengaruh positif terhadap earning aggressiveness Kim. et. Manajeme CSR Al(2012) n Laba (dikresion er akrual, real activities manipulati on dan Accountin Ukuran, marketto-book ratio, ROA, Big 4 auditor, leverage, itensitas R&D dan advertising, governance, umur 23.391 tahun perusah aan di Amerik a Serikat CSR berpengaruh negatif terhadap manajemen laba melalui akrual diskresioner dan manipulasi aktivitas riil dan perusahaan yang melakukan CSR jarang terlapor di AAER. 22 g and Auditing Enforcem ent Releases) Yip et. al Manajeme CSR (2010) n Laba perusahaan, Fortune's admired list Ukuran, Leverage, ROA, Pertumbuhan Penjualan Prior et. CSR Manaj Itensitas R&D al (2007) CFP emen Kosentrasi (Corporate Laba Kepemilikan Financial Kepemilikan Performan Institutional ce) Risk prefrence Ukuran Leverage Sumber daya finansial(arus kas/total aset) 2.2 110 Adanya hubungan perusah negatif antara CSR dan aan manajemen laba yang dipengaruhi pertimbangan politis. 593 perusah aan di 26 negara periode 20022004 Manajemen laba berpengaruh positif pada CSR CSR berpengaruh signifikan pada kinerja keuangan perusahaan. Kerangka Pemikiran Stakeholder membutuhkan informasi mengenai keadaan perusahaan. Salah satunya ialah pelaporan CSR. Pelaporan CSR dapat membatu perusahaan dalam mendapatkan legitimasi atas kegiatan perusahaan dengan asumsi stakeholder mempunyai ekspetasi tersebut terhadap perusahaan. Di Indonesia, UU. 40 tahun 2007 mewajibkan perusahaan yang berkaitan dengan sumber daya alam untuk melaksanakan dan melaporkan kegiatan CSR. Pada peraturan tersebut di bab 1 pasal 2 menyebutkan “Perseroan harus mempunyai maksud dan tujuan serta kegiatan usaha yang tidak bertentangan dengan ketentuan perundangan, ketertiban umum dan/atau kesusilaan” Pasal 1 ayat 3 juga menyebutkan : 23 “Tanggungjawab sosial dan lingkungan adalah komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat bagi perseroan, komunitas setempat maupun masyarakat pada umumnya” Dengan peraturan tersebut, pemerintah secara implisit mengajak perusahaan untuk merubah prespektif perusahaan untuk tidak hanya fokus pada pengembangan kesejahteraan entitas yang terkait perusahaan saja. Perusahaan diharapkan dapat menjaga keseimbangan antara praktik bisnisnya dan hubungan sosial ke masyarakat. Di sisi lain perusahaan dan manajer dituntut untuk terus berkinerja baik secara finansial. Tuntutan ini dapat menjadi insentif untuk melakukan manajemen laba. Laba adalah salah satu komponen penting yang dijadikan alat ukur kinerja. Maanajemen laba walau diperbolehkan hingga tahap tertentu, mengurangi transparansi laporan keuangan dan secara etis melanggar hak-hak atas transparansi laporan keuangan perusahaan. Pihak investor yang menentukan keputusan berdasarkan laporan keuangan dapat terjebak dan melakukan kesalahan dalam mennetukan keputusan terkait laporan keuangan. Beberapa penelitian telah mencoba meneliti hubungan antara manajemen laba dan CSR. Penelitian tersebut diantaranya dilakukan oleh Chih et.al (2008), Yip et.al (2011), Scholtens dan Kang (2012) serta Kim et.al (2012). Penelitian – penelitian tersebut menemukan bahwa CSR berpengaruh secara negatif terhadap manajemen laba. Lain halnya dengan penelitian Prior et.al (2008) yang menemukan bahwa praktik CSR dapat dilakukan manajemen untuk menutupi 24 praktik manajemen laba yang dilakukan. Penelitian tersebut berargumen bahwa CSR dijadikan alat untuk mengamankan posisi manajer dari ancaman stakeholder. Gambar 1.1 Kerangka Pemikiran Pengungkapan CSR Manajemen Laba Karakteristik Perusahaan Berdasarkan permasalahan tesebut, kajian teoritis dan penelitian terdahulu penelitian ini mencoba untuk menguji hubungan antara pelaporan CSR dengan manajemen laba. menggali lebih dalam keterkaitan antara manajemen laba (earnings management) dan pelaporan CSR (CSR disclosure) dengan menggunakan hubungan dua arah di antara keduanya.. Berikut adalah kerangka pemikiran yang dapat digambarkan dalam bentuk diagram skematik 2.3 Hipotesis 2.3.1 CSR dan Manajemen Laba Telah disebutkan bahwa CSR merupakan tanggung jawab perusahaan terhadap masyarakat. Perusahaan yang berkontribusi terhadap CSR tidak hanya berfokus pada profit, namun juga ikut andil dalam pengembangang kesejahteraan masyarakat. Menurut Chih et.al (2008) perusahaan yang secara sosial bertanggungjawab tidak akan menyembunyikan realisasi pendapatan yang tidak 25 diinginkan, dan karenanya tidak akan melakukan manajemen laba. Caroll (1979 dalam Kim et.al 2011) juga menyatakan bahwa CSR adalah tanggung jawab etis perusahaan, sehingga dalam kewajiban moral perusahaan diduga membatasi praktik manajemen laba dan membuat kebijakan yang bertanggung jawab. Penelitian Scholten dan Kang (2012) menunjukkan hubungan negatif antara CSR terhadap manajemen laba, dan menemukan perusahaan dengan tingkat CSR yang relatif baik secara signifikan berhubungan negatif terhadap manajemen laba. Chih et. al (2008) menemukan hasil serupa dan mengatakan CSR dapat meningkatkan transparansi dan mengurangi kesempatan manajemen dalam melakukan manajemen laba. Kim et.al (2011) meneliti kemungkinan perusahaan yang berkontribusi terhadap CSR dan menemukan praktik manajemen laba melalu akrual diskresioner cenderung rendah dan berkesimpulan sama. Berdasarkan datadata diatas , maka hipotesis dirumuskan sebagai berikut : H1a : Pengungkapan CSR berpengaruh negatif terhadap Manajemen laba. 2.3.2 Karakteristik Perusahaan, CSR dan Manajemen Laba Semakin besar perusahaan maka stakeholder perusahaan maka akan semakin luas. Stakeholder mempunyai ekspetasi terhadap perilaku perusahaan, salah satunya berkaitan dengan CSR. Purwanto (2011) menemukan bahwa semakin besar perusahaan maka semakin luas pengungkapan CSR oleh perusahaan. Selain itu, Scholten dan Kang (2012) juga menemukan bahwa perusahaan besar cenderung lebih sedikit dibandingkan perusahaan kecil dalam melakukan manajemen laba. Hubungan ini dapat didefinisikan sebagai berikut, ketika perusahaan semakin besar maka ekspetasi stakeholder terhadap perusahaan 26 untuk berprilaku etis akan semakin besar, salah satunya adalah kegiatan dan pengungkapan CSR. Perilaku etis perusahaan bertentangan dengan tindakan manajemen laba dan oleh karenanya perusahaan akan lebih bertanggung jawab dalam melakukan kebijakan akuntansi. Profitabilitas adalah salah satu variabel yang digunakan untuk mempredikisi pengungkapan CSR perusahaan. Perusahaan dengan tingkat profitabilitas baik secara umum memiliki dana yang lebih dan dengan teori etis perusahaan mempunyai motivasi untuk melakukan kegiatan CSR dan mengurangi perilaku manajemen laba. Purwanto (2011) menemukan bahwa profitabilitas perusahaan tidak mempunyai pengaruh signifikan terhadap pengungkapan CSR perusahaan dan berdasarkan teori yang telah dijelaskan sebelumnya tidak mempunyai tanggung jawab moral untuk tidak melakukan manajemen laba. Sedangkan berdasarkan pembahasan sebelumnya terdapat dua pandangan tentang bagaimana pengaruh profitabilitas terhadap manajemen laba. Aryani (2011) menemukan bahwa profitabilitas tidak berpengaruh secara parsial. Berlawanan dengan penelitian Amertha (2013) yang menemukan pengaruh profitabiltas berpengaruh terhadap manajemen laba. Penelitian ini akan lebih jauh meneliti hubungan profitabilitas terhadap pengungkapan CSR dan manajemen laba. Leverage, dengan proksi debt-to-equity ratio dapat menjadi dorongan untuk melakukan manajemen laba. Dimana laporan keuangan dengan Leverage yang tinggi akan menurunkan minat investor dan debitor terhadap perusahaan. Leverage yang tinggi juga menunjukan komposisi permodalan perusahaan, dimana leverage yang tinggi menunjukan bahwa kewajiban perusahaan lebih 27 besar daripada modal perusahaan dan secara umum dikategorikan perusahaan dengan kondisi finansial yang buruk. Scholten dan Kang (2012) berpendapat bahwa leverage dapat mendorong perusahaan melakukan tindakan oportunistik seperti manajemen laba. Penelitian Aryani (2011) dan Naftalia (2013) menunjukan adanya pengaruh signifikan dan positif dari leverage terhadap manajemen laba. Dengan pembahasan tersebut maka dirumuskan hipotesis berikut : H2a : Karakteristik Perusahaan mempunyai pengaruh terhadap hubungan CSR dan Manajemen Laba. 28 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel Bab ini akan membahas variabel, metode pengukuran dan metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini. 3.1.1 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Penelitian ini akan menggunakan variabel dependen, variabel independen, dan variabel kontrol. Earnings management sebagai variabel dependen, CSR Disclosure sebagai variabel independen, serta ukuran perusahaan, ROA dan Leverage sebagai variabel moderasi. 3.1.1.1 Manajemen Laba Pada penelitian ini pengukuran akrual diskresioner menggunakan model Jones yang telah dimodifikasi Dechow (1995, dalam Rahayu 2009). Alasan pemilihan model ini adalah model ini mengasumsikan bahwa manipulasi dapat dilakukan pada pendapatan dan memperhitungkan pendapatan sebagai akrual diskresioner, sehingga dianggap lebih baik dalam mengukur mendeteksi manajemen laba. Pengukuran dilakukan dengan cara : 1. Menghitung akrual total. TAit = (ΔCAit – Δcashit) - (ΔCLit - ΔSTDit – ΔTPit ) - Depit Keterangan: ΔCA = perubahan pada aset lancar 29 ΔCL = perubahan pada kewajiban lancar Δcash = perubahan pada kas dan setara kas ΔSTD = perubahan pada beban pajak pendapatan Dep beban depresiasi dan amortisasi = 2. Mengestimasi koefisien αi, β1i, dan β2i pada Model Jones Estimasi dilakukan dengan meregresi persamaan dengan menggunakan ordinary least squares(ols). Data yang digunakan untuk mengestimasi adalah data sebelum periode manipulasi laba. Koefisien yang diperoleh kemudian merupakan estimasi αi, β1i, dan β2i . Model Jones Tait/Ait-1 = αi (1/Ait-1) + β1i(ΔREVit/Ait-1) + β2i(PPEit/Ait-1) + error termit ket: TAit = akrual total pada tahun t untuk perusahaan i, ΔREVit = perubahan pendapatan pada tahun t terhadap t-1 PPEit = property, plant, and equipment pada tahun t untuk perusahaan i, Ait‐ 1 = aset total pada tahun t-1 untuk perusahaan i, i = indeks perusahaan t = indeks tahun untuk tahun 3. Mengestimasi akrual diskresioner. Estimat αi, β1i, dan β2i yang telah diperoleh sebelumnya digunakan dalam model modified Jones dengan data perusahaan terkait saat kejadian atau terjadinya 30 manipulasi laba. Ini akan menghasilkan akrual nondiskresioner (NDA). Untuk memperoleh akrual diskresioner maka dilakuka pengurangkan NDA dari akrual total akrual. Model Modified Jones NDAit = α1(1/at-1) + α2((ΔREVt-ΔRECt)/ait-1) + α3(PPE/Ait-1) ket. NDA = Akrual non-diskresioner ΔREC = perubahan piutang 4. Akrual diskresioner Untuk memperoleh akrual diskresioner maka dilakuka pengurangan NDA dari akrual total. DAit = TAit – NDAit 3.1.1.2 Pengungkapan CSR Pengungkapan CSR dapat ditemukan pada annual report maupun sustainability report. Pengungkapan CSR diukur dengan menghitung item yang dicantumkan di annual report maupun sustainability report, dan dihitung dengan menggunakan CSRI (Corporate Social Disclosure Index) edisi 3.1. Jumlah item dalam CSRI dapat dihitung berdasarkan pedoman indikator yang dikeluarkan oleh Global Reporting Inisiative (GRI), yang terdiri dari beberapa indikator yaitu : 1. Indikator Kinerja Ekonomi 2. Indikator Kinerja Lingkungan 3. Indikator Kinerja Ketenagakerjaan 4. Indikator Kinerja HAM 31 5. Indikator Kinerja Masyarakat 6. Indikator Kinerja Produk Metode pengukuran pengungkapan CSR adalah dengan menggunakan checklist mengenai item-item perusahaan yang sesuai dengan terdapat baik pada pelaporan keuangan perusahaan. Checklist tersebut berdasarkan item-item dalam pedoman GRI 3.1 (www.globalreporting.org). Pemberian skor untuk sejumlah 84 item pengungkapan dengan memberikan skors pada item yang diungkapkan perusahaan. Nilai 0 diberikan apabila ada informasi atau item yang tidak diungkapkan dan nilai 1 diberikan bila perusahaan mengungkapkan item yang sesuai dengan kategori pada pedoman GRI (Titisari et al, 2010) . Kemudian perhitungan CSRI ini dilakukan dengan membagi jumlah item yang diungkapkan dengan jumlah item keseluruhan. CSR Disclosure = jumlah skor item CSR/jumlah maksimum item CSR 3.1.1.3 Ukuran Perusahaan Ukuran perusahaan digunakan sebagai variabel moderasi atas hubungan CSR dan manajemen laba. Semakin besar perusahaan, maka semakin besar pula perhatian ditujukan pada perusahaan tersebut. Kondisi ini adalah insentif negatif untuk manajer dalam melakukan praktik Manajemen Laba. Dechow & Dichev (2002 dalam Scholtens & Kang, 2012) menyatakan semakin besar perusahaan maka operasi perusahaan semakin stabil dan dapat diprediksi, oleh karena itu manajer akan mengurangi perilaku manajemen laba untuk menghindari terdeteksinya manipulasi tersebut. Size hypothesis yang diajukan Handayani dan Rachadi (2009), menyatakan semakin besar ukuran perusahaan semakin 32 cenderung menurunkan praktik manajemen laba dan berpendapat bahwa perusahaan besar cenderung tidak memanfaatkan kebijakan akrual untuk melakukan manajemen laba. Ukuran perusahaan akan diukur dengan nilai logaritma natural dari total aset. Ukuran perusahaan (SIZE) = log (total aset) 3.1.1.4 Profitabilitas Profit (laba) yang disajikan pada laporan keuangan digunakan sebagai indikator kinerja pihak manajemen dalam mengelola kekayaan perusahaan (Amerta, 2013). Penelitian ini menggunakan ROA sebagai ukuran profitabilitas. Return-on-Asset (ROA) adalah rasio perbandingan pendapatan dan aset. ROA berfungsi untuk mengukur efektivitas perusahaan dalam menghasilkan laba melalui pengoperasian aset yang dimiliki. Semakin besar ROA yang dimiliki oleh sebuah perusahaan maka semakin efisien penggunaan aset untuk memperbesar laba. Semakin besar perubahan ROA menunjukkan semakin besar fluktuasi kemampuan manajemen dalam menghasilkan laba (Dewi dan Prasetiono, 2012). Sehubungan dengan itu, manajemen mempunyai motivasi untuk melakukan praktik perataan laba agar laba yang dilaporkan tidak berfluktuatif sehingga dapat meningkatkan kecenderungan melakukan manajemen laba. ROA = Laba Operasi /Total Assets 3.1.1.5 Leverage Leverage, yang diproksikan dengan rasio debt-to-equity (DER) menunjukkan kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajibannya. Semakin tinggi nilai rasio tersebut semakin besar pula tingkat utang perusahaan tersebut. 33 (Aryani, 2011). Hal ini dapat berujung pada berkurangnya minat investor maupun penolakkan dari debitor. Keadaan ini dapat menjadi motivasi untuk melakukan manajemen laba, dimana manajemen laba dapat melakukan manipulasi laporan keuangan agar lebih terlihat menarik bagi investor. DER dapat diukur dengan rumus : LEV= Total Kewajiban/Total Ekuitas 3.2 Populasi dan Sample Populasi penelitian ini adalah perusahaan yang telah terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada tahun 2013. Sampel penelitian diambil dengan menggunakan metode purposive sampling. Kriteria perusahaan yang akan digunakan sebagai sampel adalah sebagai berikut : Perusahaan non-jasa keuangan yang terdaftar di BEI tahun 2013 dan terdapat di dalam situs web Bursa Efek Indonesia (www.idx.co.id) Perusahaan yang menerbitkan laporan tahunan periode 2013. Perusahaan yang menerbitkan laporan mengenai kegiatan CSR baik dalam bentuk sustainability reporting maupun laporan CSR tersendiri tahun 20113. Perusahaan yang mempunyai semua variabel yang dijelaskan terlebih dahulu. 3.3 Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif yang dapat diukur dengan skala numerik. Sedangkan sumber data penelitian ini adalah data sekunder yang merupakan data yang diperoleh secara tidak langsung dari 34 obyeknya, tetapi melalui sumber lain, baik lisan maupun tulisan. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari laporan keuangan perusahaan yang diterbitkan oleh Bursa Efek Indonesia(BEI) periode tahun 2013 dan situs web resmi perusahaan. 3.4 Metode Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari metode dokumentasi, yaitu mengambil data dari dokumen-dokumen yang sudah ada. Data laporan keuangan dan annual report dalam penelitian ini berasal dari situs www.idx.co.id serta beberapa situs web resmi perusahaan periode tahun 2013. 3.5 Metode Analisis Penelitian ini menguji hubungan antara hubungan pengungkapan CSR dengan earning management. Metode analisis regresi berganda dengan bantuan pogram SPSS (Statistical Packagefor Social Sciences) digunakan untuk penelitian ini. Analisis regresi berganda mepunyai syarat-sarat data yang perlu diuji terlebih dahulu dan memerlukan uji asumsi klasik untuk menentukan kelayakan data yang diuji. 3.5.1 Uji Asumsi Klasik Sebelum melakukan analis tersebut perlu adanya pengujian atas kelayakan data sampel. Untuk menetukan kelayakan uji data sampel, dilakukakan set uji asumsi klasik. Uji asumsi klasik itu sendiri terdiri dari : 1. Uji normalitas. Uji normalitas dilakukan untuk menilai kenormalan distribusi data sampel. Jika nilai sig. lebih besar dari derajat keyakinan maka sampel berdistribusi normal. Begitu pula sebaliknya. 35 2. Uji multikolinearitas. Uji multikolinearitas digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan linear antar variabel independen dalam model regresi. Apabila nilai VIF di bawah 10, maka tidak terdapat masalah multikolinearitas. 3. Uji heterosekdasitas. Uji heterokedastitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan lainnya. Jika nilai sig > 0,05 tidak terjadi heterokedastitas. 4. Uji autokorelasi. uji autokorelasi bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi linear ada korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t dengan periode t-1 sebelumnya. 3.5.2 Model Penelitian Untuk menguji hipotesis pertama, model penelitian yang digunakan adalah dengan menggunakan ukuran perusahaan, ROA dan Leverage sebagai variabel kontrol manajemen laba. Emi = α0+α1CSRi+α2Sizei+α3ROAi+α4LEV Sedangkan untuk menguji hipotesis kedua, yaitu untuk meguji hubungan karakteristik perusahaan, CSR dan manajemen laba digunakan model penelitian berikut : Emi = α0+α1CSRi+α2Sizei+α3ROAi+α4LEV+β1CSRi*Sizei+ β2CSRi*ROAi+β3CSRi*LEVi ket : EM = Manajemen Laba 36 CSR = pengunkapan CSR Size = ukuran perusahaan ROA = return-on-assets LEV = Leverage, debt-to-equity i = kode perusahaan 3.5.3 Uji Statistik Untuk menguji hubungan variabel-variabel tersebut, uji statistik digunakan. Uji statistik dilakukan untuk mengetahui besaran koefisien yang dari model penelitian dan menentukan hubungan variabel-variabel tersebut. 3.5.3.1 Analisis Korelasi Ganda (R) Analisis ini digunakan untuk mengetahui hubungan antara dua atau lebih variabel independen terhadap variabel dependen secara serentak. Koefisien ini menunjukkan seberapa besar hubungan yang terjadi antara variabel independen secara serentak terhadap variabel dependen. nilai R berkisar antara 0 sampai 1, nilai semakin mendekati 1 berarti hubungan yang terjadi semakin kuat, sebaliknya nilai semakin mendekati 0 maka hubungan yang terjadi semakin lemah. 3.5.3.2 Analisis Determinasi (R2) Analisis determinasi dalam regresi linear berganda digunakan untuk mengetahui prosentase sumbangan pengaruh variabel independen secara serentak terhadap variabel dependen. Koefisien ini menunjukkan seberapa besar presentase variasi variabel independen yang digunakan dalam model mampu menjelaskan variasi variabel dependen. Bila R2 sama dengan 0, maka tidak ada sedikitpun prosentase sumbangan pengaruh yang diberikan variabel independen terhadap 37 variabel dependen, atau variasi variabel independen yang digunakan dalam model tidak menjelaskan sedikitpun variasi variabel dependen. Sebaliknya, bila R2 sama dengan 1, maka prosentase sumbangan pengaruh yang diberikan variabel independen terhadap variabel dependen adalah sempurna, atau variasi variabel independen yang digunakan dalam model menjelaskan 100% variasi variabel dependen. 3.5.4.2 Uji Signifikansi Simultan (Uji F) Uji statistik F pada dasarnya menunjukkan apakah semua variabel independen atau variabel bebas yang dimasukkan dalam model mempunyai pengaruh secara bersama-sama terhadap variabel dependen atau terikat (Ghozali, 2011). Pengujian dilakukan dengan menggunakan derajat keyakinan 0,05 (α = 5%) dan satu arah pada hipotesis pertama. Penerimaan atau penolakan hipotesis dilakukan dengan kriteria sebagai berikut: a) Apabila nilai signifikansi ≤ nilai f, maka Ho ditolak dan menerima Ha, yang berarti koefisien regresi signifikan. Hal tersebut menandakan bahwa terdapat pengaruh secara bersama-sama yang signifikan antara seluruh variabel independen terhadap variabel dependen. b) Apabila nilai signifikansi ≥ nilai f, maka Ho diterima dan Ha ditolak, yang berarti bahwa koefisien regresi tidak signifikan. Hal tersebut menunjukkan bahwa seluruh variabel independen dalam model tidak berpengaruh terhadap variabel dependen. 3.5.4.3 Uji Signifikan Parameter Individual (Uji t) Pengujian ini bertujuan untuk menunjukkan seberapa jauh pengaruh satu 38 variabel independen secara individual dalam menerangkan variasi variabel dependen. Cara melakukan uji t adalah dengan membandingkan nilai statistik t dengan titik kritis menurut tabel menggunakan tingkat signifikansi sebesar 5% dan berlaku ketetapan sebagai berikut : a) Jika t statistik > t tabel, maka hipotesis alternatif diterima bahwa suatu variabel independen secara individual mempengaruhi variabel dependen. b) Jika t statistik < t tabel, maka hipotesis alternatif ditolak dan menerima hipotesis nol dengan implikasi bahwa variabel independen secara individual tidak mempengaruhi variabel dependen. 39