Theileriosis Pada Sapi Potong Impor Dari Australia

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Ternak Sapi Potong Australia
Menurut LAI (1999), ternak sapi banyak dipelihara di daerah tropis di
Australia sebelah utara dan di daerah beriklim sedang di bagian selatan. Sebagian
besar dipelihara di Australia sebelah utara, di sepanjang pantai maupun di daerah
pedalaman. Cara pemeliharaannya dengan menempatkan sapi di kawasan
berpagar dan diberi makan. Tujuannya adalah untuk menggemukkan sapi tersebut
dalam jangka waktu yang pendek sehingga berat badannya dapat bertambah 1
kilogram beratnya setiap hari. Sekitar 26 juta ekor sapi yang dipelihara terdiri dari
berbagai macam keturunan diantaranya sapi campuran khusus yang sangat
berhasil diternakkan di daerah tropis. Sapi campuran ini adalah kombinasi antara
sapi jenis Eropa Bos taurus dengan sapi jenis Asia berleher bonggol Bos indicus.
Beberapa jenis ternak sapi yang dipelihara di Australia adalah Brahman-Bos
indicus, Hereford-Bos taurus, Belman Red-Africander/Hereford/Shorthorn (Bos
indicus/Bos taurus), Braford-Brahman, Droughtmaster (Bos indicus/Bos taurus),
Santa Gertrudis-Shorthorn/Brahman (Bos indicus/Bos taurus).
Australia mengekspor ternak hidup ke Indonesia terutama jenis sapi Bos
indicus seperti sapi jenis Brahman atau jenis campuran silang seperti sapi jenis
Braford dan Droughtmaster. Sapi-sapi jenis ini sangat berhasil diternakkan di
daerah tropis. Sapi ini mempunyai ciri yang dimiliki sapi jenis Bos indicus seperti
tahan panas, tahan terhadap kekeringan dan serangan kutu. Sapi tersebut juga
mempunyai ciri sapi jenis Bos taurus misalnya laju pertumbuhannya tinggi,
produksi susunya banyak dan tingkat kesuburannya tinggi. Tahun 1995 Indonesia
mulai menjadi tujuan ekspor ternak paling penting bagi Australia dan Indonesia
mengimpor lebih dari 220.000 ekor sapi pertahun (LAI 1999).
Etiologi Theileriosis
Theileria spp. tergolong protozoa dalam Phylum Apicomplexa, Class
Sporozoa, Subclass Piroplasma, Ordo Piroplasmida, Famili Theileriidae.
Apicomplexa merupakan parasit pada hewan dan spesies lainnya yang dapat
menyebabkan penyakit malaria, coccidiosis, babesiosis dan theileriosis. Spesies
Theileria yang
menginfeksi sapi yaitu T. parva, T. annulata,
T. mutans,
T. sergenti, T. taurotragi dan T. velifera (Uilenberg 1981 ; Billiouw 2005).
Theileriae adalah obligat parasit protozoa intraselular yang menginfeksi sapi
domestik maupun liar di seluruh bagian dunia, beberapa spesies juga menginfeksi
ruminansia kecil. Parasit ini ditularkan oleh caplak ixodidae dan memiliki siklus
hidup yang komplek di dalam inang vertebrata dan invertebrata. Ada enam spesies
Theileria spp. yang menginfeksi sapi, dua spesies yang bersifat patogen dan dapat
menyebabkan kerugian secara ekonomi adalah T. parva dan T. annulata (Siegel
et al. 2006). Theileria parva menginfeksi sapi di 13 negara di Sub-Saharan Afrika
mengakibatkan East Coast Fever (ECF), Corridor Disease dan January disease.
Theileria annulata menyebabkan Tropical Theileriosis terjadi di Pesisir
Mediterania bagian utara Afrika, sampai ke Sudan bagian utara dan Eropa Selatan,
Eropa Selatan bagian timur, Timur Tengah, India, China dan Asia Tengah.
Theileria taurotragi dan T. mutans umumnya tidak menyebabkan sakit atau
penyakit yang ditimbulkannya ringan dan T. velifera bersifat non patogenik.
Theileria taurotragi, T. mutans dan T. velifera ditemukan terutama di Afrika,
secara epidemiologi hal ini menimbulkan hambatan di dalam mengetahui
penyebaran theileriosis pada sapi. Kelompok parasit ini berhubungan dengan
T. sergenti/T. buffeli/T. orientalis dan terdistribusi di seluruh dunia (OIE 2008).
East Coast Fever ditularkan oleh African brown ear tick “Rhipicephalus
appendiculatus” dengan karakterisasi proliferasi limfoblast oleh skizon Theileria
yang masuk ke tubuh inang khususnya pada bagian nodul limpatikus, limpa,
ginjal, hati dan paru-paru. Lebih dari 20 juta ekor sapi tertular dan mengalami
kerugian sebesar 100 juta dollar AS pertahun. ECF merupakan tick borne disease
yang sangat penting di Afrika bagian timur dan tengah (Billiouw 2005).
Theileria sp. menginfeksi sapi, kambing dan domba. Parasit ini terdistribusi
di seluruh dunia, umumnya mengancam produksi peternakan. Spesies paling
penting dan dikenal yaitu T. annulata dan T. parva bersifat lymphoproliferative
dengan mortalitas serta morbiditas yang tinggi. Disamping spesies Theileria yang
memiliki sifat patogen (ganas), ada pula jenis yang tidak ganas (benign)
ditemukan menyebar luas pada sapi-sapi di daerah subtropis dan daerah dingin.
Taxonomi
dan
nomenklatur
kelompok
parasit
ini
memang
masih
membingungkan. Karakteristik parasit ini kadang sama tetapi sering diberi nama
berbeda tergantung pada geografisnya. Pada umumnya, benign Theileria yang
dikenal adalah T. sergenti, T. buffeli dan T. orientalis tersebar di Jepang, Australia
dan Eropa (Kerdmanee et al. 2001).
Gambar 1 Skizon di dalam limfosit dan piroplasma di dalam eritrosit.
(Sumber : Anonim 2007)
Siklus Hidup
Sporozoit protozoa diproduksi oleh kelenjar ludah nimfa atau caplak dewasa
kemudian diinokulasi masuk ke tubuh hewan yang peka pada waktu pemberian
pakan. Sporozoit merupakan bentuk infektif masuk ke dalam tubuh sapi melalui
gigitan caplak. Sporozoit masuk ke inang melalui sistem limfe menuju ke jaringan
limfoid terutama limfonodus dan limpa yang dalam beberapa hari berkembang
membentuk badan berinti banyak yang disebut Skizon (Koch’s body) berada
dalam sitoplasma limfosit, membentuk merozoit. Merozoit bergerak masuk ke
dalam eritrosit, terjadi binary fission di dalam eritrosit. Beberapa merozoit
memasuki eritrosit lain, membentuk fase spherical atau ovoid (gamon). Melalui
isapan darah gamon masuk ke intestinal nimfa caplak membentuk mikrogamon.
Mikrogamon 4 inti membelah menjadi mikrogamet 1 inti kemudian bergabung
dengan makrogamet membentuk zigot. Setelah terlihat zigot maka terbentuk kinet
motil dari ovoid immobile zigot dan masuk ke dalam sel intestinal caplak. Kinet
menjadi menonjol membentuk vakuola. Setelah caplak mengalami rontok (moult)
dan menempel ke inang baru, kinet masuk ke dalam sitoplasma sel kelenjar ludah.
Selanjutnya kinet membentuk sporon muda yang tumbuh dan mengalami
pembelahan inti berulang. Parasit menuju ke dalam sel inang dan dalam sel inang
giant, sporon membentuk ribuan sporozoit. Kemudian disebarkan melalui isapan
darah (Siegel et al. 2006).
Gambar 2 Siklus hidup Theileria sp.
Keterangan :
1. Sporozoit 3. Merozoit 6. Gamon. 8.1-8.4 Mikrogamon dengan 4 inti 8.2 mikrogamet 1 inti. 9.
Makrogamet. 10. Zigot. 11-13. Kinete motil 14. sporon muda (Sumber : Mehlhorn, Schein
1984)
Gejala Klinis
Masa inkubasi infeksi T. mutans melalui gigitan caplak ialah 10 – 25 hari.
Biasanya tidak terlihat gejala-gejala klinik yang jelas, hanya terlihat demam
ringan, kebengkakkan kelenjar-kelenjar limfe, ikterus, tremor, menurunnya berat
badan, kelemahan dan sedikit anemia. Infeksi T. mutans yang akut pernah
dilaporkan dari Afrika Selatan (Tzaneen disease), Jepang, Korea, India dan
Australia. Bentuk-bentuk cerebral theileriosis pada sapi yang di Afrika dikenal
turning sickness yang disebabkan oleh skizon-skizon T. mutans (WOAH 2005).
Patogenesis T. mutans seluruhnya terkait dengan adanya proliferasi
intraeritrosit piroplasmosis. Penyakit ini bersifat ringan kadang-kadang terlihat
gejala anemia, ikterus dan hemoglobinuria. T. lestoquardi (T. hirci) sangat
patogen pada domba dan kambing menunjukkan gejala klinis yang sama dengan
ECF pada sapi yaitu tingkat morbiditas 100% dan mortalitas 46 – 100% (Brown
2007).
Menurut Morzaria (1990) patogenesitas Theileria untuk setiap spesies
berbeda-beda tergantung kepada strain parasit, tingkat kepekaan inang dan jumlah
parasit. Theileria mutans adalah salah satu jenis yang dikenal benign, meskipun
strain yang patogen ditemukan di Afrika Selatan. Theileria mutans mengalami
limfositik merogoni, pembelahan terjadi di eritrosit dan menyebabkan piroplasma
parasitemia dan hemolitik anemia pada inang. Theileria parva membelah di dalam
limfosit dan secara patologi dihubungkan dengan kerusakan limfosit. Eritrositik
merogoni terbatas dan hemolitik anemia tidak terjadi. Theileria annulata
membelah di dalam limfosit dan eritrosit, menyebabkan limfositopenia berat,
anemia dan kadang-kadang jaundice. Theileria taurotragi mengalami limfositik
dan eritrositik merogoni, dapat menjadi patogen pada rusa tetapi tidak patogen
pada sapi.
Epizootiologi
Vektor
Jenis caplak yang berperan sebagai vektor T. orientalis, T. sergenti dan
T. buffeli adalah Haemaphysalis sp. (Fujisaki et al. 1994). Galur caplak disetiap
lokasi dapat berbeda kemampuannya dalam menularkan Theileria sp. misalnya
H. longcornis di Australia hanya dapat menularkan T. sergenti tetapi tidak
menularkan T. buffeli, sebaliknya H. longcornis di Jepang dapat menularkan
kedua spesies tersebut (Fujisaki et al. 1993).
Pada tahun 1974, Australia mengalami kerugian akibat caplak pada sapi
diperkirakan sekitar 62 juta dollar AS (Springell 1983). Brazil mengalami
kerugian sekitar 2 juta dollar AS pertahun (Grisi et al. 2002). Caplak
mengakibatkan kerugian ekonomi secara langsung menghisap darah dan secara
tidak langsung sebagai vektor patogen dan beracun (Rajput et al. 2006).
Caplak berpengaruh terhadap menurunnya produksi peternakan melalui
perannya sebagai vektor, sebagai contoh kerugian langsung adalah turunnya berat
badan, kulit rusak, serta penurunan produksi susu. Kehilangan berat badan pada
sapi karena Rhipicephallus appendiculatus betina sekitar 4,4 gram dan Amblyoma
haebraeum betina sekitar 10 gram. Caplak dapat mempengaruhi 800 juta ekor sapi
dan sama dengan jumlah domba di dunia. Kerugian secara moneter akibat caplak
pada industri peternakan sapi diperkirakan sekitar 7 juta dollar AS pertahun
(Imamura et al. 2007).
Cara Penularan
Theileriosis secara alami hanya dapat ditularkan oleh caplak secara stage to
stage, tanpa ada penularan transovarial karena parasit ini tidak dapat hidup dalam
caplak lebih lama dari satu kali ekdisis
(penyilihan).
Theileria parva dan
T. annulata disebarkan oleh caplak. Vektor penting untuk T. parva adalah
R. appendiculatus. R. zembeziensis di Afrika Selatan dan R. duttoni di Angola
juga dapat menyebarkan ECF, sedangkan T. annulata ditularkan melalui caplak
genus Hyalomma (Siegel et al. 2006).
Infeksi pada Inang
Mekanisme infeksi T. orientalis dalam tubuh inang dimulai dengan tahap
skizogoni yang berlangsung di limfosit dan berakhir dengan bentuk piroplasma
yang menginfeksi eritrosit. Mula-mula sporozoit yang dilepaskan oleh caplak dari
kelenjar ludah segera menginfeksi leukosit (Morrisson, Taracha, Keever 1995).
Sel leukosit yang diinfeksi oleh Theileria sp. pada umumnya adalah limfosit
sel-T kecuali T. parva menginfeksi sel-T dan sel-B (Baldwin et al. 1988) dan
T. annulata menginfeksi monosit dan sel-B (Spooner et al. 1989). Bentuk
sporozoit T. orientalis menginfeksi monosit yaitu setelah kontak dengan monosit
sporozoit segera menembus ke dalam monosit secara progresif dan mengikatkan
ligand di permukaannya ke reseptor di permukaan monosit. Sporozoit kemudian
segera melisiskan membran sel inang yang mengelilinginya, sehingga sporozoit
terhindar dari pengaruh lisosomal dan kerusakan serta bebas berkembang di dalam
sitoplasma. Di dalam limfosit sporozoit membesar dan intinya membelah
berulang-ulang sehingga terbentuk skizon banyak inti yang disebut makroskizon
agamon atau Koch’s blue bodies. Makroskizon melekat pada mikrotubuli sel
limfosit dan ikut terbelah menjadi dua selama proses mitosis, sehingga
makroskizon akan ditemukan lagi pada kedua sel anak (Eichhorn, Dobbelaere
1994). Selama terinfeksi oleh makroskizon, monosit terangsang secara aktif untuk
mengekskresikan bahan autokrin yang berfungsi menggertak interleukin-2 (IL-2),
sehingga selama terinfeksi
monosit
mengalami
perubahan
bentuk
dan
berproliferasi dengan hebat (Eichhorn, Dobbelaere 1994 ; Morrisson et al. 1995).
Selama memperbanyak diri, makroskizon juga melepaskan makromerozoit untuk
menyerang
monosit
baru,
kemudian
makromerozoit
berubah
menjadi
makroskizon baru, selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh. Setelah 2 minggu, di
dalam eritrosit ditemukan makroskizon yang akan menghasilkan mikromerozoit,
kemudian mikromerozoit menginfeksi eritrosit dan di dalam eritrosit akan berubah
menjadi bentuk piroplasma yang selanjutnya akan menulari caplak lain (Preston
1992).
Infeksi pada Caplak
Mekanisme infeksi Theileria sp. pada larva caplak dimulai dari terjadinya
perubahan bentuk piroplasma menjadi mikrogamon, mikrogamet, makrogamet,
zigot dan kinet di dalam usus, sampai ditemukannya sporozoit dalam kelenjar
ludah caplak.
Terjadinya infeksi piroplasma pada caplak dimulai sejak larva caplak
menghisap darah inang terinfeksi, dan setelah kenyang larva akan jatuh ke tanah.
Menurut Higuchi (1987) setelah larva jatuh ke tanah, 10 jam kemudian di dalam
isi ususnya ditemukan merozoit, baik di dalam maupun di luar eritrosit terinfeksi.
Dalam waktu 24 jam sebagian besar eritrosit hancur, dan di dalam usus nimfa
ditemukan merozoit dalam berbagai bentuk, yakni bentuk bundar seperti koma
dan bentuk kumparan dengan ukuran antara 1 sampai 2,5 µm. Sekitar 24 sampai
48 jam kemudian, merozoit mengalami perubahan bentuk menjadi seperti cincin
yang berukuran 1-2 µm, dengan sitoplasma bersifat basofilik. Dalam waktu 48-72
jam bentuk cincin berubah menjadi makrogamet, yaitu berbentuk bundar dan
lonjong berukuran 3-4 µm dengan inti bersifat eosinofilik dan sitoplasmanya
basofilik. Makrogamet juga mengalami perubahan bentuk menjadi mikrogamet
yaitu seperti kumparan yang berukuran panjang 5 µm. Setelah 3 sampai 5 hari
sejak terinfeksi, di dalam usus nimfa akan ditemukan zigot yang berbentuk bundar
dan lonjong, dengan ukuran 4-5 µm dan sitoplasmanya berwarna biru terang. Pada
hari ke-6 post infeksi, jumlah zigot dalam usus terlihat mulai berkurang dan pada
hari ke-8 semua zigot lenyap dari usus. Pada hari ke-9 di dalam epitel usus nimfa
ditemukan protozoa berbentuk bundar berukuran 4-5 µm dan sitoplasmanya
berwarna biru gelap. Selanjutnya pada hari ke-13, protozoa bundar membentuk
kelompok seperti koloni bakteri pada sitoplasma epitel usus. Kinet terbentuk
segera terlihatnya bentuk zigot (Warnecke et al. 1980) dan pada hari ke-50
sporozoit ditemukan pada kelenjar ludah nimfa (Fujisaki, Kamio 1988 diacu
dalam Siswansyah 1996).
Kejadian Theileriosis di Indonesia
Prevalensi Theileria sp. pada sapi di Indonesia masih belum banyak
diketahui. Theileriosis pada sapi di Indonesia pertama kali ditemukan di Pulau
Jawa pada tahun 1912 dan agen penyebabnya mula-mula diduga T. mutans.
Namun berdasarkan identifikasi morfologi piroplasma dan uji serologi Indirect
Fluorescent Antibody Technique (IFAT), agen penyebab theileriosis pada sapi di
Indonesia ditetapkan T. orientalis (Astyawati 1987). Menurut Siswansyah (1990)
theileriosis pada ternak sapi dan kerbau di Indonesia umumnya disebabkan oleh
T. orientalis (sin. T. mutans). Gejala yang ditimbulkan biasanya tidak jelas dan
dikenal pula dengan nama “benign bovine theileriosis”. Prevalensi T. orientalis
pada sapi dilaporkan sebesar 30,8% (178/578) dengan tingkat parasitemia ≤ 1%
pada 6 kabupaten di Kalimantan Selatan. Menurut Marquerita et al. (1997)
berdasarkan pemeriksaan spesimen yang masuk ke Balai Penyidikan Penyakit
Hewan (BPPH) Wilayah I Medan Sumatera Utara pada 10 kabupaten tahun 1995
maka prevalensi atau kejadian theileriosis sebesar 1,3% (4/307) lebih rendah
dibandingkan prevalensi Daerah Istimewa Aceh (DI. Aceh) yaitu sebesar 4,3%
(10/231). Pada tahun 1996 kejadian theileriosis di Sumatera Utara meningkat
menjadi sebesar 3,8% (7/185) sedangkan di Propinsi DI.Aceh menurun menjadi
sebesar 0,4% (1/251). Prevalensi rata-rata T. orientalis pada sapi perah Friesian
Holstein (FH) laktasi di Kabupaten Bogor dan Cianjur adalah (77/247) 31,2%
(Siswansyah 1996).
Kejadian Theileriosis di Australia
Distribusi dan prevalensi T. buffeli pada sapi di Queensland, Australia
berturut-turut adalah 75% dan 41 %. Hasil tersebut diperoleh dengan pemeriksaan
8854 serum darah diambil dari 357 peternakan menggunakan metode IFAT dan
347 serum darah perifer diambil dari 147 peternakan dengan identifikasi
piroplasma. Berdasarkan penelitian tersebut disimpulkan bahwa kejadian
theileriosis tertinggi di bagian utara dan barat Australia (Stewart et al. 2008).
Caplak pada sapi pertama kali ditemukan di Benua Australia bagian utara
sebelum abad-19, kemudian menyebar dari Darwin sampai hampir seluruh bagian
utara Australia. Distribusi caplak paling utama disebabkan oleh faktor iklim yaitu
dibutuhkan kondisi dengan kelembaban tinggi serta berkembang baik pada suhu
15-200C untuk bertelur dan menetas. Kondisi tersebut ditemukan hanya di bagian
utara dan pantai utara timur Australia (Anonim 2005).
Di Queensland bagian selatan, jumlah caplak menurun diantara pertengahan
bulan April sampai bulan Juni. Caplak betina menurun jumlahnya pada awal
musim gugur dan dapat memproduksi larva dan bertahan sampai musim dingin,
akhirnya menghasilkan jumlah caplak yang sangat banyak pada musim semi. Jika
tidak dapat dikendalikan maka caplak berkembang biak lebih banyak pada awal
musim gugur dan musim semi. Di bagian utara, caplak meletakkan telur yang
produktif di mana saja. Di Queensland bagian tengah, jumlah caplak menurun
selama musim dingin ketika di bagian utara Queensland berlangsung musim hujan
yang menghambat produksi caplak (DPIF 2007).
Di Australia, beberapa caplak keras (ixodid ticks) merupakan vektor
penyebab parasit darah pada sapi yaitu T. buffeli. Caplak sapi, Boophilus
microplus dianggap merupakan vektor penting. Sekarang ini paling tidak 2 spesies
Haemaphysalis yaitu H. longicornis dan H. bancrofti yang dipercaya merupakan
vektor paling utama untuk T. buffeli di Australia (Stewart et al. 1987).
Pengenalan Penyakit
Berdasarkan Gejala Klinis
Gejala klinis yang biasa tampak pada sapi yang terinfeksi adalah kelemahan,
berat badan turun, anoreksia, suhu tubuh tinggi, petekia pada mukosa konjunctiva,
pembengkakkan nodus limfatikus, anemia dan batuk. Infeksi pada stadium lanjut
menyebabkan hewan tidak bisa berdiri, suhu tubuh dibawah normal (T<38,50C),
ikterus, dehidrasi, dan ada kalanya darah ditemukan di feses (Keles et al. 2001).
Terjadinya demam hebat ada kaitannya dengan meningkatnya makroskizon,
mikroskizon dan piroplasma. Pengamatan klinis ditentukan dengan temperatur
rektal dan demam dinyatakan pada temperatur lebih dari 39,50C (Preston 1992).
Pemeriksaan parasitologi dilakukan dengan cara mikroskopik pada sediaan
ulas darah tipis dan sediaan sentuh limfoglandula, yang diwarnai dengan Giemsa.
Pemeriksaan sediaan ulas darah bertujuan untuk menemukan bentuk piroplasma
dalam eritrosit dan menentukan tingkat parasitemia hewan terinfeksi, sedangkan
pemeriksaan pada sediaan seluruh limfoglandula bertujuan untuk menemukan
bentuk makroskizon dan mikroskizon (Preston 1992). Cara menentukan tingkat
parasitemia antara lain dapat berdasarkan pada persentasi (%) jumlah eritrosit
berparasit dalam 1.000 eritrosit (Kamio, Fujisaki, Minami 1989), jumlah eritrosit
yang ditemukan dalam 50 lapangan pandang mikroskop dibagi dengan 100
lapangan pandang (Flach, Ouhelli 1992) atau berdasarkan persentasi eritrosit
berparasit dalam beberapa ratus sampai 1.000 eritrosit (Garcia 2001)
Berdasarkan Hematologi
Theileria sergenti menyebabkan hypertermia dan anemia (Tanaka et al.
1993). Theileria orientalis menyebabkan anemia kronik yang progresif pada
hewan terinfeksi di alam (Uilenberg 1981). Pada keadaan stres, dapat
menyebabkan terjadinya peningkatan parasitemia yang diikuti oleh anemia akut,
dengan ditandai turunnya nilai hematokrit, jumlah eritrosit dan lekosit (Kamio et
al. 1990). Theileriosis dapat menyebabkan anemia normositik, kemudian berubah
menjadi makrositik, yang diikuti dengan menurunnya jumlah limfosit dan
meningkatnya jumlah monosit (Preston 1992). Menurut Mbassa et al. (1994),
theileriosis dapat menyebabkan panleukemia, yang terdiri dari neutropenia,
limfopenia dan eosinopenia. Profil hematologi yang diamati pada penyakit
theileriosis adalah nilai hematokrit, eritrosit, lekosit, hemoglobin dan deferensial
lekosit yang terdiri dari limfosit, netrofil, eosinofil, monosit dan basofil. Anemia
ditentukan berdasarkan jumlah eritrosit sebesar <5.106/ml, lekopenia berdasarkan
jumlah lekosit <4.103/ml, dan lekositik berdasarkan jumlah lekosit >13.103/ml.
Pengobatan, Pencegahan dan Pengendalian
Pengobatan infeksi Theileria sp. adalah dengan theilericidal yakni senyawa
parvaquone dan turunannya (Keles et al. 2001). Efektifitas penggunaan obat
tersebut sangat efektif jika digunakan pada stadium awal munculnya gejala klinis
tetapi kurang efektif pada stadium lanjut karena telah terjadi kerusakan yang lebih
luas pada limfoid dan jaringan hematopoietik (Siegel et al. 2006 ; Kahn et al.
2008). Beberapa obat lain seperti parvaquone, buparvaquone dan halofuginone
laktat dapat digunakan untuk pengobatan ECF. Tetrasiklin juga dapat diberikan
tetapi
kadang
menyebabkan
resisten
terhadap
antibiotika.
Keberhasilan
pengobatan sangat ditentukan oleh waktu pemberiannya yaitu pada awal
munculnya gejala klinis. Umumnya metode pencegahan theileriosis adalah
memberi perlakuan terhadap hewan yang peka. Hewan diinokulasi sporozoit
dengan dosis sangat tinggi, yang diperoleh dari caplak dan diberikan secara
bersamaan dengan salah satu jenis obat theilericidal. Bila tidak terbentuk proteksi
silang (cross protection), maka inokulum harus berisi berbagai spesies atau strain
Theileria. Imunitas yang terbentuk dari metode ini akan berlangsung kira-kira 3,5
tahun lamanya. Pengendalian penyakit ini berdasarkan banyak faktor termasuk
manajemen, seleksi kelompok hewan resisten, pengendalian caplak, dan imunisasi
(Siegel et al. 2006).
Persyaratan Karantina
Menurut badan kesehatan hewan dunia (The Office of International des
Epizooties/OIE) bekerjasama dengan World Trade Organization (WTO)
menetapkan standar perdagangan hewan dan produknya. Syarat-syarat yang harus
dipenuhi dalam importasi sapi dan kerbau dari negara yang dianggap terinfeksi
ECF harus tercantum dalam dokumen kesehatan hewan (International Veterinary
Certificate).
Adapun
persyaratan
yang
ditetapkan
adalah
hewan
tidak
menunjukkan gejala klinis theileriosis pada saat keberangkatan atau pengapalan,
sejak lahir hewan dipelihara di daerah bebas theileriosis selama 2 tahun
sebelumnya, telah dilakukan uji laboratorium 30 hari sebelum pengapalan dengan
hasil negatif terhadap parasitemia pada ulas darah dengan metode mikroskopik
dan berdasarkan kondisi diatas hewan juga telah diberi perlakuan acaricid
sebelum keberangkatan dan sama sekali bebas dari caplak (Siegel et al. 2006).
Dampak Theileriosis terhadap Masyarakat
Penyakit disebabkan protozoa genus Theileria, Babesia, Anaplasma dan
Cowdria mengakibatkan kerugian besar dalam dunia peternakan. Theileriosis,
babesiosis dan anaplasmosis menyebabkan 56.000 – 60.000 ekor sapi mati setiap
tahunnya, atau sekitar 74,4% dari total kematian sapi di Tanzania. Bila
dikonversikan dengan kerugian daging atau karkas harga 1.000 Tsh/kg (Tsh =
Tanzania shilling), dan rata-rata berat karkas yang dihasilkan 100 kg untuk setiap
ekor sapi maka ekuivalen dengan 5.614.700.000 Tsh atau 9.357.834 dollar AS.
Jika dianggap 40% sapi yang mati adalah betina dewasa dan mampu
memproduksi susu rata-rata 1,5 liter maka hal ini ekuivalen dengan 10.106.460
liter susu yang rugi setiap tahunnya. Bila dikonversikan 200 Tsh/liter maka
kerugian sebesar 2.021.292.000 Tsh atau 3.368.820 dollar AS, belum termasuk
biaya pengobatan. Total kerugian karkas, susu dan biaya pengobatan
8.769.373.000 atau lebih dari 14 juta dollar AS. Kerugian langsung juga
mengakibatkan penurunan berat badan hewan, penurunan keuntungan dari
penjualan karkas, terlambatnya proses pencapaian target berat badan, penurunan
produksi dalam satu generasi/keturunan, kelemahan atau penyakit keturunan,
pengafkiran karkas dan organ, penurunan kualitas daging, pembuangan dari
kematian atau pengafkiran karkas atau organ, kerugian produksi susu, kerusakan
kulit, kehilangan pekerjaan pekerja di peternakan, meningkatnya biaya lain-lain
seperti jasa dokter hewan, laboratorium, surveilans, ganti kerugian, vaksinasi,
administrasi dan munculnya penyakit harus diimbangi dengan upaya pencegahan
dan pengendalian yang tidak dapat tergantikan (Mbassa 1998).
Kerugian langsung akibat wabah theileriosis di Zambia Timur didasarkan
hanya pada kematian hewan dan biaya pengendalian yang dihitung selama lebih
dari 4 tahun diperkirakan sebesar 6 dollar AS pertahun/hewan (Billiouw et al.
2002).
Theileriosis disebabkan oleh T. annulata dapat mengakibatkan kematian
berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Gharbi et al. (2006) terhadap 24 kasus
sapi terdiagnosa secara klinis pada tiga peternakan di Tunisia Utara, diperkirakan
mengalami kerugian sebesar 1293.733 TD (TD = Tunisia Dollar) atau rata-rata
sekitar 53.905 TD setiap kasus yang terjadi. Sapi yang mengalami theileriosis
tetap mengalami peningkatan berat badan, pada sapi tidak terinfeksi peningkatan
berat badan lebih tinggi dibandingkan sapi terinfeksi theileriosis sub-klinis tanpa
anemia. Kehilangan berat badan merupakan komponen paling utama kerugian
theileriosis yaitu sekitar 70%, kerugian akibat kematian 22% dan kerugian untuk
biaya pengendalian penyakit sebesar 8%.
Menurut DFID (2009) tick borne disease termasuk kendala utama dalam
dunia peternakan di daerah tropis. Pengaruh theileriosis di Afrika Timur dan
Afrika Selatan diperkirakan 168 juta dollar AS, untuk sapi lokal biaya
pengendalian penyakit ini diperkirakan 5-14 AS dollar setiap hewan per tahun.
Dampak theileriosis di Indonesia yang pernah diteliti pada kasus di
Sukabumi pada tahun 1979 terhadap 48 ekor sapi mengakibatkan penurunan
produksi susu sekitar 1-2 liter. Disamping itu gejala klinis yang nyata berupa
demam dan sebagian besar memperlihatkan gejala subklinis (Supadmo 1980).
Download