KAJIAN PENYAKIT PARASIT DARAH PADA SAPI POTONG PETERNAKAN RAKYAT DI KECAMATAN UJUNGJAYA, KABUPATEN SUMEDANG, JAWA BARAT NUR FITRIA ANGGRAINI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kajian Penyakit Parasit Darah pada Sapi Potong Peternakan Rakyat di Kecamatan Ujungjaya, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari skripsi saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, September 2013 Nur Fitria Anggraini NIM B04090134 ABSTRAK NUR FITRIA ANGGRAINI. Kajian Penyakit Parasit Darah pada Sapi Potong Peternakan Rakyat di Kecamatan Ujungjaya, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Dibimbing oleh UMI CAHYANINGSIH. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi, faktor risiko dan tingkat parasitemia parasit darah berdasarkan kategori umur dan jenis kelamin pada sapi potong peternakan rakyat di kecamatan Ujungjaya, kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Sampel darah dikoleksi dari 139 sapi potong pada bulan Juli 2012. Sediaan ulas darah dibuat di atas gelas objek, difiksasi dalam metanol, diwarnai dengan Giemsa 10% dan diamati dengan perbesaran 1000x menggunakan mikroskop. Jumlah parasit intraseluler darah dihitung tiap 500 butir sel darah merah. Faktor risiko parasitemia terkait dengan umur, jenis kelamin, cara beternak, pengendalian lalat dan caplak dianalisa menggunakan uji chisquare. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi tertinggi disebabkan oleh Anaplasma sp. (38.8%), diikuti dengan Babesia sp. (33.8%), dan terendah Theileria sp (22.3%). Prevalensi babesiosis dan anaplasmosis dipengaruhi oleh umur dan cara beternak (p<0.05), sedangkan theileriosis tidak berbeda secara signifikan. Jenis kelamin tidak berpengaruh terhadap tingkat prevalensi. Prevalensi babesiosis dipengaruhi faktor cara pengendalian lalat dan caplak (p<0.05), sedangkan anaplasmosis dan theileriosis tidak berbeda secara signifikan. Secara umum, tingkat parasitemia meningkat seiring dengan peningkatan umur sapi. Tingkat parasitemia babesiosis pada sapi betina berbeda nyata dengan sapi jantan (p<0.05), sedangkan anaplasmosis dan theileriosis secara statistik tidak signifikan. Persentase parasitemia pada sampel berbagai tingkat umur dan jenis kelamin memiliki nilai sama yaitu <1%, yang tergolong tingkat parasitemia ringan. Kata kunci: faktor risiko, parasit intraseluler darah, prevalensi, tingkat parasitemia, Ujungjaya ABSTRACT NUR FITRIA ANGGRAINI. Study of Intraerythrocytic Parasite Infection on Cattle Small Holder Farmer in Ujungjaya Sub-district, Sumedang Regency, West Java. Supervised by UMI CAHYANINGSIH. The purpose of this study was to determine the prevalence, risk factor and parasitemia blood parasite based on age and sex category on cattle in Ujungjaya sub-district, Sumedang regency, West Java. Blood samples were collected from 139 cattle in July 2012. Thin blood smears were made on glass slide, fixed in methanol, stained with Giemsa 10% and observed using a microscope with 1000x magnifications. The amount of intraerythrocytic parasite counted for every 500 red blood cells. The potential of risk factor in regard with age, sex, ways to raise, flies and tick control were analyzed with chi-square. The result showed that the highest prevalence was observed in Anaplasma sp. (38.8%), followed by Babesia sp. (33.8%), and Theileria sp. (22.3%). The prevalence of babesiosis and anaplasmosis are influenced by age and ways to raise (p<0.05), while theileriosis had not significantly different. Sex did not affect the level of prevalence. The prevalence of babesiosis is influenced by flies and tick control (p<0.05), while anaplasmosis and theileriosis did not differ significantly. In general, the level of parasitemia increased along with increasing by age. The parasitemia of babesiosis in cow had differently with bull (p<0.05), while anaplasmosis and theileriosis had not significantly different. Percentage parasitemia at various age and sex have the same value that is <1%, which is relatively mild levels of parasitemia. Keywords: intraerythrocytic parasite, level of parasitemia, prevalence, risk factor, Ujungjaya KAJIAN PENYAKIT PARASIT DARAH PADA SAPI POTONG PETERNAKAN RAKYAT DI KECAMATAN UJUNGJAYA, KABUPATEN SUMEDANG, JAWA BARAT NUR FITRIA ANGGRAINI Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 Judul Skripsi: Kajian Penyakit Parasit Darah pada Sapi Potong Petemakan Rakyat di Kecamatan Ujungjaya, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat : Nur Fitria Anggraini Nama NIM : B04090134 Disetujui oleh Dr drh Umi Cahyaningsih, MS Pembimbing Tanggal Lulus: r1DOC T 2013 Judul Skripsi : Kajian Penyakit Parasit Darah pada Sapi Potong Peternakan Rakyat di Kecamatan Ujungjaya, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat Nama : Nur Fitria Anggraini NIM : B04090134 Disetujui oleh Dr drh Umi Cahyaningsih, MS Pembimbing Diketahui oleh drh Agus Setiyono, MS, PhD, APVet Wakil Dekan Tanggal Lulus: PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga skripsi dengan judul Kajian Penyakit Parasit Darah pada Sapi Potong Peternakan Rakyat di Kecamatan Ujungjaya, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat dapat diselesaikan. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr drh Umi Cahyaningsih, MS selaku dosen pembimbing skripsi atas segala bimbingan, dorongan, kritik, dan saran yang telah diberikan selama penelitian dan penulisan skripsi ini. Di samping itu, penulis juga mengucapkan terimakasih kepada drh Agus Setiyono, MS, PhD, APVet selaku dosen pembimbing akademik yang telah membimbing penulis selama menjadi mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada ayahanda Siswanto, ibunda Muslimah Rochayati dan adinda Nesrina Fairuz Khairunnisa serta seluruh keluarga besar yang selalu memberikan doa, dukungan, dan semangat kepada penulis. Selanjutnya ungkapan terima kasih penulis ucapkan kepada yang terkasih Luthfi P., teman penelitian Jejes, Ifan, Ardi, dan Heri. Kemudian terima kasih juga untuk sahabat terbaik penulis Ajeng, Winda, Furi atas dukungan, kebersamaan dan bantuannya selama ini, teman-teman Dava Jisung, Fenice, Pucan. Ucapan terima kasih disampaikan juga kepada teman-teman seangkatan Geochelone 46 yang sama-sama berjuang dalam menempuh pendidikan di Institut Pertanian Bogor. Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan sumbangan terhadap ilmu pengetahuan. Semoga skripsi ini memberikan manfaat, baik bagi penulis maupun bagi pembaca. Bogor, Oktober 2013 Nur Fitria Anggraini DAFTAR ISI DAFTAR TABEL ix DAFTAR GAMBAR ix DAFTAR LAMPIRAN ix PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 1 Manfaat Penelitian 1 TINJAUAN PUSTAKA 2 Babesia sp. 2 Anaplasma sp. 3 Theileria sp. 3 METODE 3 Waktu dan Tempat 4 Prosedur Penelitian 4 Pengumpulan Data Ukuran Sampel Pengambilan Sampel Darah Pewarnaan sampel ulas darah Pemeriksaan sampel ulas darah Prosedur Analisis Data HASIL DAN PEMBAHASAN 4 4 5 5 5 5 5 Tingkat Prevalensi Parasit Darah 5 Faktor Risiko Kejadian Penyakit Parasit Darah 6 Tingkat parasitemia berdasarkan umur 9 Tingkat parasitemia berdasarkan jenis kelamin SIMPULAN DAN SARAN 12 13 Simpulan 13 Saran 13 DAFTAR PUSTAKA 13 LAMPIRAN 18 RIWAYAT HIDUP 19 DAFTAR TABEL 1 2 3 4 Tingkat prevalensi infeksi parasit darah Hasil analisis chi-square faktor risiko kejadian penyakit parasit darah Rataan parasitemia berdasarkan umur Rataan parasitemia berdasarkan jenis kelamin 6 8 9 12 DAFTAR GAMBAR 1 Gambaran mikroskopis Babesia sp. 2 Gambaran mikroskopis Anaplasma sp. 3 Gambaran mikroskopis Theileria sp. 10 11 11 DAFTAR LAMPIRAN 1 Kuesioner Peternak 17 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Penyakit parasit darah merupakan masalah kesehatan karena menimbulkan kerugian ekonomi pada tenak sapi di Indonesia. Kerugian tersebut berupa pertumbuhan terhambat, penurunan berat badan, penurunan daya kerja, penurunan daya reproduksi (Nasution 2007), penurunan produksi susu, dan aborsi (Kocan et al. 2003). Infeksi berat jika tidak diobati dapat menyebabkan kematian sapi terutama pada hewan muda. Penyakit parasit darah yang penting adalah babesiosis, theileriosis, dan anaplasmosis (Georges et al. 2001; Bilgic et al. 2013). Iklim tropis di Indonesia merupakan lingkungan ideal bagi perkembangan dan transmisi parasit. Kejadian penyakit parasit darah yang disebarkan oleh caplak selalu meningkat setiap tahun (Dewi 2009). Pengendalian perlu dilakukan sebagai upaya pencegahan penyakit. Pengendalian yang selama ini telah dilakukan masih bersifat kuratif, sehingga tidak mampu menurunkan tingkat prevalensi. Pengendalian infeksi parasit darah pada sapi yang efektif dapat dilakukan melalui pendekatan epidemiologi. Dalam perancangan program pengendalian yang tepat dan efektif sangat diperlukan kajian tentang data dasar yang berkaitan dengan jenis parasit, prevalensi, tingkat parasitemia, dan berbagai faktor risiko yang berpengaruh pada kejadian infeksi parasit darah. Sumedang merupakan salah satu kabupaten yang memiliki populasi ternak yang tinggi. Menurut Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Sumedang (Bappeda Sumedang 2011), kecamatan Ujungjaya memiliki populasi sapi potong jantan 734 ekor, dan sapi potong betina 2.194 ekor. Kajian tentang parasit darah di daerah tersebut masih sangat kurang. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian mengenai penyakit parasit darah pada peternakan sapi potong rakyat di kecamatan Ujungjaya, kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi, faktor risiko dan tingkat parasitemia parasit darah berdasarkan kategori umur dan jenis kelamin pada sapi potong peternakan rakyat di kecamatan Ujungjaya, kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan menjadi landasan ilmiah untuk penyusunan program pengendalian penyakit parasit darah pada sapi potong peternakan rakyat di kecamatan Ujungjaya, kabupaten Sumedang, Jawa Barat. 2 TINJAUAN PUSTAKA Babesia sp. Kingdom Filum Kelas Ordo Subordo Famili Genus : Protozoa : Apicomplexa : Sporozosida : Eucoccidiorida : Piroplasmorina : Babesiidae : Babesia (Levine 1995) Babesia berbentuk seperti biji apel (apple-seedlike) yang dapat menyebabkan babesiosis. Babesia yang menyerang sapi adalah B. bovis, B. bigemina, B. divergens, dan B. jakimovi (Ristic dan Kreier 1981). Penularan parasit dilakukan oleh caplak Ixodidae seperti Boophilus microplus dan Boophilus annulatus yang mentransmisi B. bovis dan B. bigemina (Cantu et al. 2007). Babesiosis dicirikan dengan fase akut yang menimbulkan anemia, ikterus, hemoglobinuria, splenomegali dan demam sampai 42ºC (Kaufmann 1996; Rodostits et al. 2000; Saleh 2009). Siklus reproduksi Babesia terdiri atas siklus seksual dan aseksual. Siklus seksual terjadi di dalam tubuh caplak. Caplak menghisap darah terinfeksi, secara tidak sengaja akan menghisap eritrosit yang mengandung fase gametosit. Fase ini akan menghasilkan mikrogamet dan makrogamet yang berfusi menjadi zigot kemudian berkembang menjadi ookinet (Uilenberg 2006). Ookinet bermigrasi ke epitel saluran pencernaan, hemolimfe dan ovarium yang akan menyebabkan larva positif terinfeksi Babesia (transmisi transovarial) (Lubis 2006). Caplak juga mengalami transmisi transtadial, larva yang berkembang menjadi nimfa atau dewasa, secara otomatis pada setiap stadium caplak akan terinfeksi (Homer et al. 2000) dan berpotensi sebagai inang antara (Uilenberg 2006). Fase sporogoni terjadi ketika ookinet masuk ke kelenjar ludah caplak, larva atau nimfa yang menyebabkan terjadinya hipertrofi sel kelenjar ludah dan perkembangan multinukleat sporoblast menjadi sporozoit kemudian akan masuk ke dalam tubuh sapi bersamaan dengan gigitan caplak. Siklus aseksual terjadi di dalam tubuh sapi, tepatnya di dalam eritrosit. Sporozoit (fase infektif) masuk ke dalam eritrosit melalui saliva caplak terinfeksi yang menggigit sapi. Kemudian sporozoit berubah menjadi trophozoit yang mengalami pembelahan biner dan bertunas menjadi dua atau empat membentuk merozoit. Pembelahan menyebabkan desakan mekanis sehingga terjadi ruptur eritrosit yang mengeluarkan merozoit dan mencari eritrosit baru kemudian memenetrasinya (Homer et al. 2000). Siklus ini akan terus berlanjut sampai infeksi yang terjadi tidak terkontrol sehingga sapi mati. Ketika caplak menghisap darah inang yang mengandung parasit, sebagian merozoit akan rusak di dalam saluran pencernaan dan sebagian merozoit lain mengalami perubahan menjadi fase gametosit. Fase inilah yang akan berperan dalam reproduksi seksual. 3 Anaplasma sp. Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus : Bacteria : Protobacteria : Alphaproteobacteria : Rickettsiales : Anaplasmataceae : Anaplasma (Levine 1995) Anaplasma berukuran kecil 0,3-0,4 µm, berbentuk kokoid sampai elips dan dapat menyebabkan anaplasmosis (Boone et al. 2001). Anaplasma berwarna ungu dengan pewarnaan Giemsa, terletak pada tepi maupun tengah sel darah (Quinn et al. 2008). A. marginale bersifat patogen dan A. centrale non-patogen. Vektor dari Anaplasma adalah Boophilus, Rhipicephalus, Hyalomma, Demacentor dan Ixodes (Kocan et al. 2004; Hamou et al. 2012). Anaplasma menyebabkan anemia, pyrexia, kelemahan, dan ikterus (Foley dan Biberstein 2004). Agen masuk melalui gigitan caplak terinfeksi pada tubuh inang, kemudian masuk ke dalam eritrosit melalui proses endositosis, dan terjadi pembelahan biner. Hasil pembelahan dikeluarkan melalui permukaan sel dan bersifat menular pada eritrosit lainnya (Foley dan Biberstein 2004). Seluruh stadium perkembangan caplak memiliki potensi menyebarkan Anaplasma (Kocan et al. 2010). Transmisi Anaplasma dapat disebabkan oleh gigitan lalat. Lalat penghisap darah famili Tabanidae dilaporkan mampu menjadi inang antara mekanik dari A. marginale di kawasan Eropa tengah-timur (Hornok et al. 2008). Menurut Foley dan Biberstein (2004), Anaplasma juga dapat ditularkan oleh lalat Tabanus, Stomoxys, nyamuk Psorophora, dan Aedes aegypti. Theilleria sp. Kingdom Filum Kelas Ordo Subordo Famili Genus : Protozoa : Apicomplexa : Sporozosida : Eucoccidiorida : Piroplasmorina : Theileriidae : Theileria (Levine 1995) Theileria berbentuk batang dengan ukuran 1.5-2.0x0.5-1.0 µm (Levine 1995) yang menyebabkan theileriosis. Infeksi diperantarai Rhipichepalus, Hyalomma, Amblyomma dan Haemaphysalis (Urquhart et al. 2003). Theileria yang menginfeksi sapi adalah T. annulata, T. parva, T. mutans, T. sergenti, T. taurotragi dan T. velifera (Billiow 2005). Infeksi Theilleria menyebabkan kelemahan, berat badan turun, anoreksia, suhu tubuh tinggi, ptekhi pada mukosa konjungtiva, pembengkakan nodus limfatikus, anemia dan batuk. Sedangkan infeksi pada stadium lanjut menyebabkan hewan tidak dapat berdiri, suhu tubuh 4 dibawah normal (T<38,5ºC), ikterus, dehidrasi, dan kadang ditemukan darah di feses (Kelles et al. 2001). Perbedaan antara siklus hidup Babesia dan Theileria terletak pada tipe infeksinya. Sporozoit Babesia menyerang eritosit kemudian terjadi pembelahan. Sedangkan, pada Theleria sporozoit menyerang limfosit dahulu, yang selanjutnya akan menuju eritrosit. Theileria di dalam eritrosit tidak mengalami pembelahan, Theileria akan hidup beberapa waktu sampai eritosit mengalami kerusakan dan pergantian sel yang baru. Pada kasus theileriosis, anemia hemolitik jarang dilaporkan terjadi (Kaufmann 1996). Theileria merupakan satu-satunya patogen eukariotik yang dapat menginvasi limfosit yang selanjutnya menginduksi limfoma (Roos 2005). METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai September 2012 di kecamatan Ujungjaya, kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Pewarnaan dan pemeriksaan sampel dilaksanakan di Laboratorium Protozoologi, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Prosedur Penelitian Pengumpulan Data Data diperoleh dari hasil kuesioner peternak dan pemeriksaan parasit darah dari sampel ulas darah pada sapi potong peternakan rakyat di kecamatan Ujungjaya, kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Kuesioner digunakan untuk mengumpulkan data tambahan berkaitan dengan faktor risiko berupa umur, jenis kelamin, cara beternak, dan pengendalian lalat dan caplak. Ukuran Sampel Jumlah sampel ditentukan dengan asumsi dugaan bahwa tingkat kejadian penyakit parasit sebesar 50% dengan tingkat kepercayaan 90%. Besaran sampel dihitung menggunakan rumus sebagai berikut (Selvin 2004): n = 4P (1-P) L2 Keterangan: n = Besaran sampel darah sapi yang diambil P = Asumsi dugaan tingkat kejadian sapi yang diambil L = Tingkat kesalahan 10% (0.1) Berdasarkan rumus diatas, didapatkan jumlah sampel minimal 100 sampel. Sampel darah diambil dari sapi potong dewasa (>12 bulan), anak (>6 bulan-12 bulan) dan pedet (0-6 bulan). 5 Pengambilan Sampel Darah Pengambilan sampel darah dilakukan sekali kemudian dibagi menjadi tiga preparat. Sampel darah diambil melalui vena auricularis telinga menggunakan jarum. Setetes darah diletakkan pada tepi gelas objek 1, dengan perlahan ujung gelas objek 2 ditempelkan di atas darah tersebut. Darah akan menyebar di antara sudut gelas objek 1 dan 2. Gelas objek 2 didorong membentuk sudut 45ºC sehingga terbentuk ulas darah tipis. Sediaan ulas darah dikeringkan selama 1 menit dan difiksasi menggunakan metanol selama 3-5 menit. Setelah dibiarkan kering, sediaan ulas darah dimasukkan ke dalam kotak preparat untuk dibawa ke laboratorium (Mahmmod et al. 2011). Pewarnaan sampel ulas darah Preparat ulas darah diwarnai menggunakan larutan Giemsa 10% dengan cara merendamnya selama 30 menit. Preparat ulas darah yang telah diwarnai dicuci dengan aquades dan dikeringkan (Mahmmod et al. 2011). Pemeriksaan sampel ulas darah Pemeriksaan ulas darah dilakukan secara acak pada lima lapang pandang dengan perbesaran 1000x. Jumlah parasit intraseluler darah dihitung untuk tiap 500 butir sel darah merah (Alamzan et al. 2008). Rataan parasitemia dihitung dengan rumus : Prosedur Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis menggunakan uji chi-square untuk mengetahui tingkat prevalensi, uji ANOVA dan uji lanjut Duncan untuk membandingkan tingkat parasitemia terhadap umur serta uji T (t-test) untuk membandingkan tingkat parasitemia terhadap jenis kelamin. Analisa data menggunakan program SPSS 16.0 dan Microsoft Excel 2010. HASIL DAN PEMBAHASAN Tingkat Prevalensi Infeksi Parasit Darah Parasit darah yang berhasil diidentifikasi adalah Babesia sp., Anaplasma sp., dan Theileria sp. Dari 139 sampel darah yang telah diperiksa, ditemukan sebanyak 47 sapi positif babesiosis, 54 sapi positif anaplasmosis, dan 31 sapi positif theileriosis. Prevalensi tertinggi disebabkan oleh Anaplasma sp. (38.8%), diikuti dengan Babesia sp. (33.8%), dan terendah Theileria sp. (22.3%). Tingkat 6 prevalensi infeksi parasit darah pada sapi potong peternakan rakyat di kecamatan Ujungjaya disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Tingkat prevalensi infeksi parasit darah Jenis Parasit Darah N Jumlah sampel positif Babesia sp. 139 47 Anaplasma sp. 139 54 Theileria sp. 139 31 Prevalensi (%) 33.8 38.8 22.3 Tingkat prevalensi Babesia sp., Anaplasma sp., dan Theileria sp. yang cukup tinggi pada sapi di Ujungjaya dapat disebabkan kondisi iklim yang sesuai bagi pertumbuhan dan perkembangan caplak sebagai agen infeksi. Himawan (2009) menyatakan bahwa keberadaan caplak di suatu lingkungan dipengaruhi oleh iklim (suhu, curah hujan dan kelembaban). De Voss dan Potgreter (1991) melaporkan bahwa parasit darah akan banyak menginfeksi ternak pada kondisi yang optimum bagi perkembangan caplak, yaitu pada tingkat kelembaban sekitar 87%. Hal ini ditunjang dengan laporan BMKG (2012) yang menyatakan kabupaten Sumedang memiliki kelembaban 55-96%. Menurut Mullen dan Dorden (2012), aktivitas caplak mencari inang di daerah tropis dipengaruhi oleh pergantian musim kemarau ke musim hujan. Pengambilan sampel dilakukan pada bulan Juli. Pada bulan tersebut terjadi musim kemarau yang menyebabkan kekeringan, sehingga tingkat infeksi caplak menurun. Kondisi dingin tidak disukai oleh caplak karena caplak lebih aktif saat kondisi hangat. Adapun prevalensi Anaplasma sp. dan Babesia sp. menunjukan angka yang relatif tidak berbeda jauh. Menurut Jonsson et al. (2008), B. bovis, B. bigemina, dan A. marginale ditularkan melalui Boophilus microplus sebagai vektor tick fever. Adanya kesamaan vektor tersebut memudahkan kedua genus untuk menginfeksi sapi secara bersamaan maupun terpisah. Rodostits et al. (2007) melaporkan bahwa Theileria ditularkan oleh Haemaphysalis. Infeksi parasit darah yang disebabkan oleh tick-borne disease (TBDs) sering ditemukan bersamaan pada satu hewan (Bilgic et al. 2013). Faktor Risiko Kejadian Penyakit Parasit Darah Prevalensi kejadian babesiosis dan anaplasmosis yang dipengaruhi oleh faktor umur, secara statistik berbeda nyata (p<0.05), sedangkan theileriosis tidak berbeda nyata. Prevalensi kejadian babesiosis, anaplasmosis, dan theileriosis pada sapi betina lebih tinggi dibandingkan dengan sapi jantan, akan tetapi secara statistik tidak berbeda nyata. Faktor risiko yang berpengaruh nyata lainnya adalah cara beternak, dengan prevalensi babesiosis dan anaplasmosis pada sapi yang digembalakan terus-menerus cenderung lebih tinggi dibandingkan sapi yang dilepas siang hari kemudian dikandangkan malam hari (p<0.05), akan tetapi pada theileriosis tidak berbeda nyata. Cara pengendalian lalat yang berpengaruh pada kejadian babesiosis adalah dengan pengendalian insektisida. Sedangkan dalam pengendalian caplak, prevalensi babesiosis pada pemberian insektisida senderung 7 lebih berpengaruh daripada pengambilan secara manual. Tidak terdapat pengaruh yang nyata pada prevalensi anaplasmosis dan theileriosis menggunakan metode pengendalian serangga (lalat dan caplak). Hasil analisis faktor risiko kejadian penyakit parasit darah disajikan pada Tabel 2. Hasil analisis prevalensi babesiosis anaplasmosis dan theileriosis dengan menggunakan uji chi-square menunjukkan terdapat perbedaaan tingkat prevalensi pada umur sapi yang berbeda. Hasil analisis menunjukkan sapi anak memiliki tingkat prevalensi babesiosis dan anaplasmosis yang lebih tinggi daripada sapi dewasa dan pedet. Tingginya kejadian penyakit pada sapi anak diduga karena pemberian kolostrum oleh induk terinfeksi yang tidak mencukupi, sehingga tingkat infeksi tinggi. Selain itu, umur 6-12 bulan merupakan masa peralihan pakan dari susu menjadi hijauan yang dapat menyebabkan tingginya infeksi parasit. Sedangkan pada theleriosis, hasil analisis prevalensi menunjukkan sapi yang lebih tua memiliki tingkat prevalensi yang lebih tinggi daripada sapi yang lebih muda. Jenis kelamin tidak berpengaruh terhadap tingkat prevalensi kejadian parasit darah. Sistem pemeliharaan ternak merupakan salah satu faktor yang berpengaruh dalam kejadian penyakit parasit darah. Sistem pemeliharaan ternak dikategorikan menjadi tiga, yaitu pemeliharaan intensif (dikandangkan terus-menerus), ekstensif (digembalakan terus-menerus), dan semi intensif (kombinasi dari keduanya). Tingginya tingkat prevalensi pada ternak yang digembalakan secara ekstensif, diduga berkaitan dengan tingginya aktivitas caplak yang menginfeksi inang secara berkala dan terus-menerus. Caplak bertindak sebagai inang antara yang mentransmisi secara biologis, dan lalat mentransmisi secara mekanik (Kocan et al. 2000). Adapun masih terdapatnya sapi yang terinfeksi pada peternakan dengan metode digembalakan pagi hari dan dikandangkan sore hari (semi intensif), diduga infeksi berasal dari sapi yang terinfeksi saat digembalakan dan saat dikandangkan akan menginfeksi sapi yang letak kandangnya tidak berjauhan. Transmisi tersebut dilakukan oleh caplak yang menempel pada sapi terinfeksi kemudian menginfeksi sapi lain melalui gigitan. Nasution (2009) menyatakan bahwa waktu sapi merumput berpengaruh terhadap infeksi parasit darah. Menurut Himawan (2009), rumput segar dipagi hari tidak baik untuk ternak, karena caplak sedang aktif berburu dan sedang berada di puncak rerumputan. Pemberian insektisida (akarisida) pada ternak sangat diperlukan dalam pengendalian penyakit parasit darah. Ternak sebagian besar telah diberikan insektisida baik dalam pengendalian lalat maupun caplak. Walaupun demikian masih banyak sapi yang terinfeksi parasit darah. Tingginya prevalensi infeksi parasit pada sapi yang telah diberi insektisida diduga berkaitan dengan kurangnya pengetahuan peternak mengenai pemakaian insektisida. Pada babesiosis, pemberian insektisida berpengaruh secara nyata (p<0.05) terhadap pengendalian lalat, sedangkan pada anaplasmosis dan theileriosis tidak berbeda nyata. Akan tetapi, pengendalian dengan insektisida menunjukkan prevalensi yang tinggi pada babesiosis, anaplasmosis dan theileriosis. Hal ini diduga karena jenis insektisida yang digunakan tidak tepat (spesifik) dan pemberian yang tidak teratur, sehingga tidak dapat mengurangi tingkat prevalensi pada sapi. 8 8 Tabel 2 Hasil analisis chi-square faktor risiko kejadian penyakit parasit darah Faktor N Babesiosis n % Nilai-P Kategori Umur - Pedet 32 0 0 - Anak 18 15 83.3 0.000* - Dewasa 89 32 35.9 Jenis Kelamin - Jantan 33 11 33.3 0.562 - Betina 106 36 33.9 Cara Beternak -Digembalakan terus-menerus 56 26 46.4 0.010* -Dilepas pagi hari, di kandangkan sore hari 83 21 25.3 Pengendalian lalat -Insektisida 43 22 51.1 0.004* -Perangkap serangga 11 3 27.3 0.633 -Diusir secara mekanis 112 34 30.4 0.079 Pengendalian caplak -Insektisida 26 14 53.8 0.017* -Diambil secara manual 113 33 29.2 * Tanda menunjukkan berbeda nyata pada taraf uji 5% (0.05) Anaplasmosis n % Nilai-P n 3 15 37 9.4 83.3 41.6 3 4 24 9.3 22.2 27 13 42 39.4 39.6 0.574 7 24 21.2 22.6 0.536 31 24 55.4 28.9 0.002* 10 21 17.9 25.3 0.301 22 3 41 51.2 27.3 36.6 0.061 0.385 0.146 10 3 26 23.3 27.3 23.2 0.857 0.680 0.599 14 41 54 36.2 0.099 6 25 3.1 22.1 0.916 0.000* Theileriosis % Nilai-P 0.122 9 Pengendalian caplak menggunakan insektisida berpengaruh terhadap infeksi babesiosis (p<0.05), namun tidak berpengaruh secara signifikan terhadap anaplasmosis dan theileriosis. Prevalensi parasit darah pada pengendalian menggunakan insektisida cenderung lebih tinggi daripada pengambilan caplak secara manual. Hal ini diduga berkaitan dengan penggunaan insektisida yang salah oleh peternak, sehingga tidak dapat mengurangi tingkat prevalensi. Penggunaan insektisida yang spesifik terhadap jenis parasit darah merupakan pengendalian caplak yang efektif. Umumnya peternak memberikan insektisida tanpa memperhatikan jenis insektisida, cara pemakaian dan dosis yang diberikan. Metode pengambilan secara manual cenderung kurang efektif, karena metode ini hanya dapat menghilangkan caplak sementara, tidak dapat mencegah caplak menginfeksi sapi. Prevalensi parasit darah pada sapi potong di kecamatan Ujungjaya yang masih cukup tinggi dapat diatasi dengan kontrol terhadap vektor serangga. Kontrol pada vektor dapat dilakukan dengan penggunaan akarisida yang tepat dan teratur. Penyakit pada sapi dapat diatasi dengan pengobatan menggunakan antiprotoza dan antiricketsia. Menurut Akhter et al. (2010), pengobatan dengan sediaan antiprotozoa tidak efektif untuk infeksi yang ringan seperti studi kasus kali ini. Perlu dilakukan pencegahan infeksi melalui vaksinasi. Selain itu, diperlukan juga upaya dalam memperbaiki sistem manajemen ternak untuk menghindari terjadinya infeksi berulang pada ternak. Sistem penggembalaan intensif dengan ternak dikandangkan terus-menerus adalah yang paling baik dilakukan, karena dapat mengurangi terjadinya infeksi parasit darah. Tingkat parasitemia berdasarkan umur Rataan parasitemia Babesia sp. dan Anaplasma sp. pada sapi pedet menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05) dengan sapi anak, sedangkan Theileria sp. tidak berbeda nyata. Rataan parasitemia Babesia sp., Anaplasma sp. dan Theileria sp. antara sapi pedet dengan dewasa menunjukkan hasil yang berbeda nyata (p<0.05). Adapun rataan parasitemia Babesia sp., Anaplasma sp. dan Theileria sp. antara sapi anak dengan dewasa menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Rata-rata parasitemia pada berbagai tingkat umur memiliki nilai <1% (Tabel 4). Tabel 3 Rataan parasitemia berdasarkan kategori umur Klasifikasi N Rataan Parasitemia (%) Umur Babesia sp. Anaplasma sp. Theileria sp. Pedet 32 0.000±0.000a 0.023±0.072a 0.021±0.070a Anak 18 0.102±0.132b 0.099±0.122b 0.072±0.146ab b b Dewasa 89 0.109±0.161 0.102±0.149 0.105±0.179b Rata-rata 139 0.070±0.097 0.074±0.098 0.066±0.131 Keterangan : uji Duncan-huruf kecil superskrip yang berbeda yang mengikuti angka pada kolom yang sama menyatakan perbedaan yang nyata (p<0.05) Hasil pemeriksaan ulas darah Babesia sp. menunjukkan rataan parasitemia meningkat seiring dengan peningkatan umur sapi. Pada sapi yang terinfeksi Babesia sp., pedet memiliki rataan parasitemia nol yang diduga karena umur pedet 10 yang masih muda (0-6 bulan). Pada infeksi Babesia sp., hewan muda mendapatkan maternal antibodi dari induknya melalui kolostrum induk yang telah terinfeksi oleh parasit ini (Soulsby 1982). Benavides dan Sacco (2007) menyatakan bahwa secara umum sapi muda kurang rentan dibandingkan sapi dewasa terhadap infeksi Babesia sp. Rataan parasitemia Babesia sp. pada sapi anak menunjukkan nilai yang hampir sama dengan sapi dewasa. Hal ini diduga berkaitan dengan antibodi foetal dan maternal yang mulai menghilang pada sapi anak. Sapi anak lebih tahan terhadap babesiosis daripada sapi dewasa (Levine 1995). Adapun sapi yang berusia muda tetapi masih terinfeksi Babesia sp. diduga infeksi parasit tersebut datang saat lepas sapih. Pada saat lepas sapih, terjadi peralihan pemberian pakan yaitu dari susu menjadi pakan hijauan. Menurut Noble (1989), babesiosis terutama menginfeksi hewan berumur tua. Hal ini terlihat dari rataan parasitemia sapi dewasa yang paling tinggi. Berdasarkan hasil penelitian Nasution (2007), Babesia sp., Theileria sp. dan Anaplasma sp. banyak terlihat pada ternak yang berumur produktif (dewasa) yaitu umur antara 1-2 tahun. Menurut Levine (1995), sapi yang telah sembuh dari babesiosis yang disebabkan oleh B. bigemina akan tetap terinfeksi seumur hidup. Sedangkan pada sapi yang terinfeksi B. bovis, premunitasnya tidak lebih dari 2 tahun, dan jangka waktu minimum sapi dapat peka lagi adalah 5-6 bulan. Hewan yang dipremunisasi dapat memperlihatkan tanda-tanda penyakit pada keadaan stres yang dapat meyebabkan babesiosis pada sapi menjadi aktif lagi. Homer et al. (2000) menyatakan bahwa premunisasi tidak dapat mencegah infeksi berulang, tetapi dapat menurunkan tingkat parasitemia, morbiditas dan mortalitas ketika terjadi paparan berulang. Gambar 1 Gambaran mikroskopis a) Babesia sp. (hasil penelitian), b.1 B. bigemina; b.2 B. bovis (Aiello dan Moses 2011) Hasil rataan parasitemia Anaplasma sp. menunjukkan peningkatan rataan seiring dengan peningkatan umur. Pendapat ini sesuai dengan literatur yang menyatakan bahwa sapi berbagai umur dapat terinfeksi oleh A. marginale, namun tingkat infeksi parasit meningkat sesuai dengan peningkatan umur ternak. Sapi berbagai tingkatan umur jika sekali terinfeksi dengan Anaplasma sp. maka secara persisten akan menjadi karier seumur hidup (Kocan et al. 2000; Aubry dan Geale 2010). 11 Gambar 2 a) Gambaran mikroskopis Anaplasma sp. (hasil penelitian), b) A. marginale (Kocan et al. 2003), c) A. marginale - pewarnaan Giemsa (Ashuma et al. 2013) Secara alami, theileriosis ditularkan secara stage to stage oleh caplak tanpa ada penularan transovarial karena parasit ini tidak dapat hidup dalam caplak lebih lama dari satu kali ekdisis (penyilihan) (Siegel et al. 2006). Walaupun parasit ini tidak dapat hidup dalam caplak lebih lama dari satu kali ekdisis (penyilihan), namun parasit infektif yang berasal dari hewan yang terinfeksi dapat ditularkan kembali kepada induk semang lain yang belum terinfeksi (Tampubulon 2004). Sapi yang sembuh dari infeksi T. annulata, T. mutans mendapat kekebalan premunitas, yang menyebabkan parasit tersebut akan tetap ada di tubuh induk semang. Adapun sapi yang baru lahir sampai usia dara, biasanya lebih tahan terhadap infeksi parasit darah (Levine 1995). Gambar 3 a) Gambaran mikroskopis Theileria (hasil penelitian), b) T. annulata dengan pewarnaan Giemsa (Sharifiyadzi et al. 2012), c) Skema morfologi Theileria (Tampubulon 2004) 12 Tingkat parasitemia berdasarkan jenis kelamin Sapi jantan yang terinfeksi Babesia sp. menunjukkan rataan parasitemia yang berbeda nyata (p<0.05) dengan betina. Sedangkan sapi jantan terinfeksi Theileria sp. dan Anaplasma sp. menunjukkan rataan parasitemia yang tidak berbeda nyata dengan betina. Rata-rata parasitemia terhadap jenis kelamin memiliki nilai <1% (Tabel 5). Tabel 4 Rataan parasitemia berdasarkan jenis kelamin Jenis Kelamin N Rataan Parasitemia (%) Babesia sp. Anaplasma sp. Theileria sp. a a Jantan 33 0.032±0.064 0.054±0.108 0.064±0.128a b a Betina 106 0.092±0.158 0.092±0.142 0.087±0.168a Rata-rata 139 0.062±0.111 0.073±0.125 0.075±0.148 Keterangan : uji T-tes-huruf kecil superskrip yang berbeda yang mengikuti angka pada kolom yang sama menyatakan perbedaan yang nyata (p<0.05) Berdasarkan hasil analisis T-test, rataan parasitemia Babesia sp. yang berbeda nyata mengindikasikan bahwa jenis kelamin dapat mempengaruhi tingkat parasitemia (P<0.05). Sedangkan pada Anaplasma sp. dan Babesia sp. tidak berbeda secara signifikan. Secara umum, nilai rataan parasitemia sapi betina lebih tinggi sapi jantan. Hasil ini berbeda dengan penelitian Sajid et al. (2009) yang menyatakan bahwa sapi jantan memiliki tingkat parasitemia yang lebih tinggi daripada sapi betina. Peningkatan jumlah parasit pada sapi betina diduga oleh adanya faktor stres. Sapi betina bunting, melahirkan dan laktasi biasanya memiliki tingkat stres yang tinggi. Adanya faktor stres ini dapat menimbulkan gangguan hormonal pada sapi tersebut dan ketidakseimbangan imunitas sapi. Menurut Bandini (2001), jika ditemukan parasit dengan jumlah yang banyak pada salah satu jenis kelamin, kemungkinan dipengaruhi oleh faktor stres pada sapi. Tingkat stres akan mempermudah infeksi parasit darah yang mengakibatkan daya tahan dan kekebalan tubuh akan menurun. Menurut Nasution (2007), sapi yang sering mengalami stres biasanya ditemukan pada sapi betina dibandingkan sapi jantan . Tingkat parasitemia merupakan indikator untuk mengukur tingkat infeksi parasit. Ndungu et al. (2005) membagi tingkat parasitemia menjadi tingkat ringan (mild reaction) dengan nilai parasitemia <1%, tingkat sedang (severe reaction) dengan nilai parasitemia 1-5%, dan tingkat berat (very severe reaction) dengan nilai parasitemia >5%. Rata-rata parasitemia pada sampel berbagai tingkat umur dan jenis kelamin memiliki nilai sama yaitu <1%, yang tergolong tingkat parasitemia ringan, dan ditandai dengan gejala subklinis. Ternak yang menunjukan gejala subklinis dapat menjadi karier bagi ternak lainnya (Islam et al. 2011). Hewan karier memiliki peran penting dalam epidemiologi TBDs karena dapat menjadi reservoir bagi caplak naif dan pengenalan penyakit ke daerah yang belum terinfeksi (Bilgic et al. 2013). 13 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Prevalensi kejadian tertinggi pada kecamatan Ujungjaya, kabupaten Sumedang, Jawa Barat adalah anaplasmosis, diikuti dengan babesiosis, dan terendah theileriosis. Prevalensi babesiosis dan anaplasmosis dipengaruhi oleh faktor umur dan cara beternak, sedangkan pada theileriosis tidak berpengaruh. Jenis kelamin tidak berpengaruh terhadap tingkat prevalensi. Prevalensi babesiosis dipengaruhi cara pengendalian lalat dan caplak sedangkan pada anaplasmosis dan theileriosis tidak berpengaruh. Secara umum, tingkat parasitemia meningkat seiring dengan peningkatan umur sapi. Tingkat parasitemia sapi betina lebih tinggi daripada sapi jantan, tetapi secara statistik tidak signifikan. Rata-rata parasitemia pada sampel berbagai tingkat umur dan jenis kelamin memiliki nilai sama yaitu <1%, yang tergolong tingkat parasitemia ringan. Saran Penanggulangan kasus infeksi parasit darah dapat dilakukan dengan program pengendalian dan pemberantasan vektor secara berkesinambungan di Kecamatan Ujungjaya, kabupaten Sumedang, Jawa Barat. DAFTAR PUSTAKA Aiello SE, Moses MA. 2011. Babesiosis. Di dalam: Jorgensen WK, editor. The Merk Veterinary Manual. Ed ke-10[Internet]. [diunduh 2013 Agust 20]. Tersedia pada: http://www.merckmanuals.com/vet/circulatory_system/blood_ parasites/babesiosis.html. Akhter N, Lal C, Gadahi JA, Mirbahar KB, Memon MI. 2010. Efficacy of various antiprotozoal drugs on bovine babesiosis, anaplasmosis and theileriosis. Veterinary World. 3(6):272-274. Alamzan C, Medrano C, Ortiz M, Fuente JDL. 2008. Genetic diversity of Anaplasma marginale strains from an outbreak of bovine anaplasmosis in an endemic area. Vet Parasitol. 158(1-2):103-109. Ashuma, Sharma A, Singla LD, Kaur P, Bal MS, Batth BK, Juyal PD. 2013. Prevalence and haemato biochemical profile of Anaplasma marginale infection in dairy animals of Punjab (India). APJTM. 6(2):139-144. Aubry P, Geale DW. Transboundary and emerging disease: A review of bovine anaplasmosis. 2010. J Vet Sci. 58(1):1-30. Bandini Y. 2001. Sapi Bali. Jakarta (ID): Penebar Swadaya. [Bappeda Sumedang] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Sumedang. 2011. Peluang Bisnis dan Investasi di Kabupaten Sumedang[Internet]. [diunduh 2013 Juni 30]. Tersedia pada: http://bappeda.sumedangkab.go.id/berita-160-peluangbisnis-dan-investasi-di-kabupaten-sumedang.html. Benavides MV, Sacco MS. 2007. Differential Bos Taurus cattle response to Babesia bovis infection. Vet. Parasitol. 150:54-64. 14 Bilgic HB, Karagenc T, Simuunza M, Shiels B, Tait A, Eren H, Weir W. 2013. Development of a multiplex PCR assay for simultaneous detection of Theileria annulata, Babesia bovis and Anaplasma marginale in cattle. Exp Parasitol. 133(2):222–229. Billiow M. 2005. The epidemiology of bovine theileriosis in the Eastern Province of Zambia. Laboratorium voor Parasitologie. Faculteit Diergeneeskunde. Universiteit Gent. [BMKG] Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. 2012. Prakiraan Cuaca Propinsi Jawa Barat[Internet]. [diunduh 2013 Juli 22]. Tersedia pada: http://meteo.bmkg.go.id/prakiraan/propinsi/13. Boone DR, Richard WC, George MG. 2001. Bergey’s Manual of Systematic Bacteriology. New York (US): Springer. Cantu A, Ortega JA, Mosqueda J, Zeferino GV, Scott EH, John EG. 2007. Immunologic and molecular identification of Babesia bovis and Babesia bigemina in free-ranging white-tailed deer in Northern Mexico. J Wildl Dis. 43(3):504–507. [BMKG] Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. 2012. Prakiraan Cuaca Propinsi Jawa Barat[Internet]. [diunduh 2013 Juli 22]. Tersedia pada: http://meteo.bmkg.go.id/prakiraan/propinsi/13. De Vos AJ, Potgreter 1991. Distribution Economic Importance and Control Measure for Babesia and Anaplasma; Dolan TT, editor. Recent Development in The Control of Anaplasmosis, Babesiosis and Cowdriosis. The International Laboratory for Research on Animal Disease. Kenya (KE): Nairobi . hlm 3-12. Dewi RT. 2009. Babesiosis pada Sapi Potong Impor dari Australia melalui Pelabuhan Tanjung Priok [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Fooley J, Biberstein. 2004. Jawetz, Melnick, & Adelberg’s Medical Microbiology. Brooks GF, Morse SA, Butel JS; editor. New York (US): Mc Grawl Hill. Georges K, Loria GR, Riili S, Greco A, Caracappa S, Jongejan F, Sparagano O. 2001. Detection of haemoparasites in cattle by reverse line blot hybridisation with a note on the distribution of ticks in Sicily. Vet Parasitol. 99(4):273-286. Hamou SA, Rahali T, Sahibi H, Belghyti D, Losson B, Goff W, Rhalem A. 2012. Molecular and serological prevalence of Anaplasma marginale in cattle of North Central Morocco. J Vet Sci. 93(3):1318–1323. Himawan W. 2009. Identifikasi parasit darah pada kerbau belang (Tedong bonga) dan kerbau rawa (Swamp Buffalo) di Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi Selatan. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Homer MJ, Delfin IA, Telford III SR, Krause PJ, Persing DH. 2000. Babesiosis. Clin. Microbiol. Rev. 13(3):451. Hornok S, Foldva’ri G, Elek V, Naranjo V, Farkas R, Fuente J. 2008. Molecular identification of Anaplasma marginale and Rickettsial endosymbionts in blood-sucking flies (Diptera: Tabanidae, Muscidae) and hard ticks (Acari:Ixodidae). Vet Parasitol. 154:354-359. Islam MK, Jabbar A, Campbell BE, Cantacessi C, Gasser RB. 2011. Bovine theileriosis-An emerging problem in south-eastern Australia. Infection, Genetic and Evolution. 11:2095-2097. Jonsson NN, Davis R, De Witt M. 2001. An estimate of the Economic Effect of Cattle Tick (Boophilus microplus) infestation on Queensland dairy farms. Aust Vet J. 79(12):826-831. 15 Kaufmann J. 1996. Parasitic Infections of Domestic Animals-A Diagnostic Manual. Berlin (DE): Birkhauser. Kelles I, Deger S, Altug n, Karaca M, Akdemir C. 2001. Tick-borne disease in cattle: clinical and haematological findings, diagnosis, treatment, seasonal distribution, breed, sex and age factors and the transmitter of the disease. Yyu Vet Fak Derg. 12:26-32. Kocan KM, Blouin EF, Barbet AF, 2000. Anaplasmosis control. Past, present, and future. Ann. NY. Acad Sci. 916:501-509. Kocan KM, Fuente J, Guglielmone AA, Mele´ndez RD. 2003. Antigens and alternatives for control of Anaplasma marginale infection in cattle. J Clin. Microbiol. Rev. 16:698-712. Kocan KM, de la Fuente J, Blouin EF, Garcia JC. 2004. Anaplasma marginale (Rickettsiales: Anaplasmataceae): recent advances in defining hostpathogen adaptations of a tick-borne rickettsia. Vet Parasitol. 129:285-300. Kocan KM, Feunte JDL, Blouin EF, Coetzee JF, Swing SA. 2010. Review- The natural history of Anaplasma marginale. Vet Parasitol. 167:95-107. Levine ND. 1995. Protozoologi Veteriner. Soekardono S, penerjemah; Brotowidjojo D, editor. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University. Terjemahan dari: Veterinary Protozoology. Lubis FY. 2006. Babesiosis (piroplasmosis). Cermin Dunia Kedokteran. 152:2729. Mahmmod YS, Elbalkemy FA, Klaas IC, Elmekkawy MF, Monazie AM. 2011. Clinical and haematological study on water buffaloes (Bubalus bubalis) and crossbred cattle naturally infected with Theileria annulata in Sharkia province, Egypt. Ticks and Tick-borne Diseases. 2: 168-171. Mullen G, Dorden L. 2002. Medical and Veterinary Entomology. California (US): Academic Press. Nasution AYA. 2007. Parasit Darah pada Ternak Sapi dan Kambing di Lima Kecamatan, Kota Jambi [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Ndungu SG, Brown CGD, Dolan TT. 2005. In vivo comparison of suspectibility between Bos indicus and Bos taurus cattle type to Theileria parva infection. Onderstepoort J Vet Res. 72(1):13-22. Noble E. 1989. Parasitologi Biologi Parasit Hewan. Wardianto, penerjemah; Soeripto N, editor. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Pr. Ristic M, Kreier JP. 1981. Babesiosis. New York (US): Academic Pr. Inc. Rodostits OM, Gay CC, Blood DC, Hinchcliff KW. 2000. Veterinary Medicine. Ed ke-8. New York (US): Baillier Tindall. hal 303–311. Rodostitis OM, Gay CC, Hinchcliff KW, Constable PD. 2007. Veterinary Medicine: A textbook of the diseases of cattle, horses, sheep, pigs and goats. Ed ke-10. USA (US): Saunders. Roos DS. 2005. Themes and Variations in Apicomplexan Parasite Biology. Science. 309:72-73. Saleh MA. 2009. Erythrocytic oxidative damage in crossbred cattle naturally infected with Babesia bigemina. J Vet Sci. 86(1):43–48. Sajid MS, Iqbal Z, Khan MN, Muhammad G, Khan MK. 2009. Prevalence and associated risk factors for bovine tick infestation in two districts of lower Punjab, Pakistan. J Pre Vet Med. 92:386-391. 16 Selvin S. 2004. Statistica Analysis of Epidemiology Data. London (UK): Oxford University Pr. Sharifiyazdi H, Namazi F, Oryanb A, Shahriaric R, Razavib M. 2012. Point mutations in the Theileria annulata cytochrome b gene is associated with buparvaquone treatment failure. Vet Parasitol. 187:(431-435). Siegel S, Howerth E, Leroy BR. 2006. East Coast Fever (Theileria parva)-A Review. Veterinary Clinical Pathology Clerkship Program. Department of Pathology, College of Veterinary Medicine. University of Geo Athens. Soulsby EJL. 1982. Helminth, Arthropods and Protozoa of Domesticated Animal. New York (US): Academic Pr. Tampubulon MP. 2004. Protozoologi. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Quinn PJ, Markey BK, Carter ME, Donnelly WJ, Leonard FC. 2008. Veterinary Microbiology and Microbial Disease. Oxford (GB): Blackwell Pub. Uilenberg G. 2006. Babesia-a historical overview. Vet Parasitol. 138:2-10. Urquhart GM, Armour J, Duncan JL, Dunn AM, Jennings FW. 2003. Vet Parasitol. Ed ke-2. Scotland (GB): Blackwell Pub. 17 Lampiran 6 Kuesioner Peternak KUESIONER PETERNAK SAPI PERNYATAAN KESEDIAAN Saya ……………………….dari………………………….sedang melakukan survei mengenai infeksi parasit dan faktor risiko yang mempengaruhi kejadian infeksi parasit pada sapi. Kami sangat mengharapkan partisipasi Bapak/Ibu dalam survei ini. Survei ini akan memakan waktu tidak lebih dari 30 menit. Informasi yang Bapak/Ibu berikan akan dijaga kerahasiaannya. Keikutsertaan dalam survei ini bersifat sukarela, tetapi kami sangat berharap Bapak/Ibu dapat berpartisipasi karena informasi yang Bapak/Ibu berikan sangat berharga. Apakah ada yang ingin ditanyakan berkenaan dengan survei ini? Apakah saya dapat mulai wawancara bapak/Ibu sekarang? Tanda tangan pewawancara:_________________ Tanggal_________________ Responden setuju untuk diwawancarai ? a. Ya, wawancara dilanjutkan b. Tidak, akhiri wawancara I. Identitas Responden 1.1. Nama Responden 1.2. Nama Kelompok 1.3. Alamat Responden Dusun Desa/kelurahan Kecamatan Kabupaten No Tlpn/Hp :………………………………………………… :………………………………………………… :……………………………………………….... :………………………………………………… :............................................................................ :............................................................................ :……………………………………………….... :………………………………………………… II. Populasi Ternak 1. Jumlah sapi yang dipelihara Ternak 0-6 bulan Jantan Betina >6-12 bulan >1-3 tahun Jantan Jantan Betina Betina Sapi V. Manajemen Peternakan 1. Bagaimana anda memeliharaan ternak a. Dilepas pada siang hari dan dikandangkan pada malam hari b. Dilepas/digembalakan terus menerus 18 2. Tindakan apa yang dilakukan untuk mengendalikan lalat di kandang? (Jawaban dapat lebih dari satu) a. Menggunakan insektisida b. Menggunakan perangkap serangga c. Diusir secara mekanis (dipukul, buat perapian, dsb,) 3. Tindakan apa yang dilakukan untuk mengendalikan caplak? a. Menggunakan insektisida b. Diambil secara manual 19 RIWAYAT HIDUP Penulis bernama lengkap Nur Fitria Anggraini. Penulis lahir di Kulon Progo pada tanggal 07 April 1991 dari pasangan Bapak Siswanto dan Ibu Muslimah Rochayati. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Jenjang pendidikan formal yang telah ditempuh oleh penulis di antaranya adalah lulusan SD Negeri Gerbosari, Yogyakarta pada tahun 2003, lulusan MTS Assalaam, Solo pada tahun 2006, dan lulusan SMA Negeri 8 Yogyakarta pada tahun 2009. Pada tahun 2009, penulis melanjutkan pendidikannya dan diterima di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor (USMI). Selama perkuliahan penulis aktif dalam kegiatan organisasi intrakampus, yaitu Badan Eksekutif Mahasiswa (20102011), Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan Indonesia Cabang IPB (2010-2012) dan Himpunan Minat Profesi Satwaliar (2010-2012). Selain itu, penulis pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Ektoparasit pada semester genap tahun ajaran 2011/2012.