KAJIAN PENYAKIT PARASIT DARAH PADA SAPI POTONG

advertisement
KAJIAN PENYAKIT PARASIT DARAH PADA SAPI POTONG
PETERNAKAN RAKYAT DI KECAMATAN UJUNGJAYA,
KABUPATEN SUMEDANG, JAWA BARAT
NUR FITRIA ANGGRAINI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kajian Penyakit Parasit
Darah pada Sapi Potong Peternakan Rakyat di Kecamatan Ujungjaya, Kabupaten
Sumedang, Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari skripsi saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, September 2013
Nur Fitria Anggraini
NIM B04090134
ABSTRAK
NUR FITRIA ANGGRAINI. Kajian Penyakit Parasit Darah pada Sapi Potong
Peternakan Rakyat di Kecamatan Ujungjaya, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat.
Dibimbing oleh UMI CAHYANINGSIH.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi, faktor risiko dan
tingkat parasitemia parasit darah berdasarkan kategori umur dan jenis kelamin
pada sapi potong peternakan rakyat di kecamatan Ujungjaya, kabupaten
Sumedang, Jawa Barat. Sampel darah dikoleksi dari 139 sapi potong pada bulan
Juli 2012. Sediaan ulas darah dibuat di atas gelas objek, difiksasi dalam metanol,
diwarnai dengan Giemsa 10% dan diamati dengan perbesaran 1000x
menggunakan mikroskop. Jumlah parasit intraseluler darah dihitung tiap 500 butir
sel darah merah. Faktor risiko parasitemia terkait dengan umur, jenis kelamin,
cara beternak, pengendalian lalat dan caplak dianalisa menggunakan uji chisquare. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi tertinggi disebabkan oleh
Anaplasma sp. (38.8%), diikuti dengan Babesia sp. (33.8%), dan terendah
Theileria sp (22.3%). Prevalensi babesiosis dan anaplasmosis dipengaruhi oleh
umur dan cara beternak (p<0.05), sedangkan theileriosis tidak berbeda secara
signifikan. Jenis kelamin tidak berpengaruh terhadap tingkat prevalensi.
Prevalensi babesiosis dipengaruhi faktor cara pengendalian lalat dan caplak
(p<0.05), sedangkan anaplasmosis dan theileriosis tidak berbeda secara signifikan.
Secara umum, tingkat parasitemia meningkat seiring dengan peningkatan umur
sapi. Tingkat parasitemia babesiosis pada sapi betina berbeda nyata dengan sapi
jantan (p<0.05), sedangkan anaplasmosis dan theileriosis secara statistik tidak
signifikan. Persentase parasitemia pada sampel berbagai tingkat umur dan jenis
kelamin memiliki nilai sama yaitu <1%, yang tergolong tingkat parasitemia ringan.
Kata kunci: faktor risiko, parasit intraseluler darah, prevalensi, tingkat
parasitemia, Ujungjaya
ABSTRACT
NUR FITRIA ANGGRAINI. Study of Intraerythrocytic Parasite Infection on
Cattle Small Holder Farmer in Ujungjaya Sub-district, Sumedang Regency, West
Java. Supervised by UMI CAHYANINGSIH.
The purpose of this study was to determine the prevalence, risk factor and
parasitemia blood parasite based on age and sex category on cattle in Ujungjaya
sub-district, Sumedang regency, West Java. Blood samples were collected from
139 cattle in July 2012. Thin blood smears were made on glass slide, fixed in
methanol, stained with Giemsa 10% and observed using a microscope with 1000x
magnifications. The amount of intraerythrocytic parasite counted for every 500
red blood cells. The potential of risk factor in regard with age, sex, ways to raise,
flies and tick control were analyzed with chi-square. The result showed that the
highest prevalence was observed in Anaplasma sp. (38.8%), followed by Babesia
sp. (33.8%), and Theileria sp. (22.3%). The prevalence of babesiosis and
anaplasmosis are influenced by age and ways to raise (p<0.05), while theileriosis
had not significantly different. Sex did not affect the level of prevalence. The
prevalence of babesiosis is influenced by flies and tick control (p<0.05), while
anaplasmosis and theileriosis did not differ significantly. In general, the level of
parasitemia increased along with increasing by age. The parasitemia of
babesiosis in cow had differently with bull (p<0.05), while anaplasmosis and
theileriosis had not significantly different. Percentage parasitemia at various age
and sex have the same value that is <1%, which is relatively mild levels of
parasitemia.
Keywords: intraerythrocytic parasite, level of parasitemia, prevalence, risk
factor, Ujungjaya
KAJIAN PENYAKIT PARASIT DARAH PADA SAPI POTONG
PETERNAKAN RAKYAT DI KECAMATAN UJUNGJAYA,
KABUPATEN SUMEDANG, JAWA BARAT
NUR FITRIA ANGGRAINI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Judul Skripsi: Kajian Penyakit Parasit Darah pada Sapi Potong Petemakan Rakyat
di Kecamatan Ujungjaya, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat
: Nur Fitria Anggraini
Nama
NIM
: B04090134
Disetujui oleh
Dr drh Umi Cahyaningsih, MS Pembimbing Tanggal Lulus:
r1DOC T 2013
Judul Skripsi : Kajian Penyakit Parasit Darah pada Sapi Potong Peternakan Rakyat
di Kecamatan Ujungjaya, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat
Nama
: Nur Fitria Anggraini
NIM
: B04090134
Disetujui oleh
Dr drh Umi Cahyaningsih, MS
Pembimbing
Diketahui oleh
drh Agus Setiyono, MS, PhD, APVet
Wakil Dekan
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga skripsi dengan judul Kajian Penyakit Parasit Darah
pada Sapi Potong Peternakan Rakyat di Kecamatan Ujungjaya, Kabupaten
Sumedang, Jawa Barat dapat diselesaikan.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr drh Umi Cahyaningsih, MS
selaku dosen pembimbing skripsi atas segala bimbingan, dorongan, kritik, dan
saran yang telah diberikan selama penelitian dan penulisan skripsi ini. Di samping
itu, penulis juga mengucapkan terimakasih kepada drh Agus Setiyono, MS, PhD,
APVet selaku dosen pembimbing akademik yang telah membimbing penulis
selama menjadi mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada ayahanda Siswanto,
ibunda Muslimah Rochayati dan adinda Nesrina Fairuz Khairunnisa serta seluruh
keluarga besar yang selalu memberikan doa, dukungan, dan semangat kepada
penulis. Selanjutnya ungkapan terima kasih penulis ucapkan kepada yang terkasih
Luthfi P., teman penelitian Jejes, Ifan, Ardi, dan Heri. Kemudian terima kasih
juga untuk sahabat terbaik penulis Ajeng, Winda, Furi atas dukungan,
kebersamaan dan bantuannya selama ini, teman-teman Dava Jisung, Fenice,
Pucan. Ucapan terima kasih disampaikan juga kepada teman-teman seangkatan
Geochelone 46 yang sama-sama berjuang dalam menempuh pendidikan di Institut
Pertanian Bogor.
Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan sumbangan terhadap ilmu
pengetahuan. Semoga skripsi ini memberikan manfaat, baik bagi penulis maupun
bagi pembaca.
Bogor, Oktober 2013
Nur Fitria Anggraini
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
ix
DAFTAR GAMBAR
ix
DAFTAR LAMPIRAN
ix
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
1
Manfaat Penelitian
1
TINJAUAN PUSTAKA
2
Babesia sp.
2
Anaplasma sp.
3
Theileria sp.
3
METODE
3
Waktu dan Tempat
4
Prosedur Penelitian
4
Pengumpulan Data
Ukuran Sampel
Pengambilan Sampel Darah
Pewarnaan sampel ulas darah
Pemeriksaan sampel ulas darah
Prosedur Analisis Data
HASIL DAN PEMBAHASAN
4
4
5
5
5
5
5
Tingkat Prevalensi Parasit Darah
5
Faktor Risiko Kejadian Penyakit Parasit Darah
6
Tingkat parasitemia berdasarkan umur
9
Tingkat parasitemia berdasarkan jenis kelamin
SIMPULAN DAN SARAN
12
13
Simpulan
13
Saran
13
DAFTAR PUSTAKA
13
LAMPIRAN
18
RIWAYAT HIDUP
19
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
Tingkat prevalensi infeksi parasit darah
Hasil analisis chi-square faktor risiko kejadian penyakit parasit darah
Rataan parasitemia berdasarkan umur
Rataan parasitemia berdasarkan jenis kelamin
6
8
9
12
DAFTAR GAMBAR
1 Gambaran mikroskopis Babesia sp.
2 Gambaran mikroskopis Anaplasma sp.
3 Gambaran mikroskopis Theileria sp.
10
11
11
DAFTAR LAMPIRAN
1 Kuesioner Peternak
17
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penyakit parasit darah merupakan masalah kesehatan karena menimbulkan
kerugian ekonomi pada tenak sapi di Indonesia. Kerugian tersebut berupa
pertumbuhan terhambat, penurunan berat badan, penurunan daya kerja, penurunan
daya reproduksi (Nasution 2007), penurunan produksi susu, dan aborsi (Kocan et
al. 2003). Infeksi berat jika tidak diobati dapat menyebabkan kematian sapi
terutama pada hewan muda. Penyakit parasit darah yang penting adalah babesiosis,
theileriosis, dan anaplasmosis (Georges et al. 2001; Bilgic et al. 2013).
Iklim tropis di Indonesia merupakan lingkungan ideal bagi perkembangan
dan transmisi parasit. Kejadian penyakit parasit darah yang disebarkan oleh caplak
selalu meningkat setiap tahun (Dewi 2009). Pengendalian perlu dilakukan sebagai
upaya pencegahan penyakit. Pengendalian yang selama ini telah dilakukan masih
bersifat kuratif, sehingga tidak mampu menurunkan tingkat prevalensi.
Pengendalian infeksi parasit darah pada sapi yang efektif dapat dilakukan melalui
pendekatan epidemiologi. Dalam perancangan program pengendalian yang tepat
dan efektif sangat diperlukan kajian tentang data dasar yang berkaitan dengan
jenis parasit, prevalensi, tingkat parasitemia, dan berbagai faktor risiko yang
berpengaruh pada kejadian infeksi parasit darah.
Sumedang merupakan salah satu kabupaten yang memiliki populasi ternak
yang tinggi. Menurut Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Sumedang
(Bappeda Sumedang 2011), kecamatan Ujungjaya memiliki populasi sapi potong
jantan 734 ekor, dan sapi potong betina 2.194 ekor. Kajian tentang parasit darah di
daerah tersebut masih sangat kurang. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian
mengenai penyakit parasit darah pada peternakan sapi potong rakyat di kecamatan
Ujungjaya, kabupaten Sumedang, Jawa Barat.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi, faktor risiko dan
tingkat parasitemia parasit darah berdasarkan kategori umur dan jenis kelamin
pada sapi potong peternakan rakyat di kecamatan Ujungjaya, kabupaten
Sumedang, Jawa Barat.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan menjadi landasan ilmiah untuk penyusunan
program pengendalian penyakit parasit darah pada sapi potong peternakan rakyat
di kecamatan Ujungjaya, kabupaten Sumedang, Jawa Barat.
2
TINJAUAN PUSTAKA
Babesia sp.
Kingdom
Filum
Kelas
Ordo
Subordo
Famili
Genus
: Protozoa
: Apicomplexa
: Sporozosida
: Eucoccidiorida
: Piroplasmorina
: Babesiidae
: Babesia (Levine 1995)
Babesia berbentuk seperti biji apel (apple-seedlike) yang dapat
menyebabkan babesiosis. Babesia yang menyerang sapi adalah B. bovis, B.
bigemina, B. divergens, dan B. jakimovi (Ristic dan Kreier 1981). Penularan
parasit dilakukan oleh caplak Ixodidae seperti Boophilus microplus dan Boophilus
annulatus yang mentransmisi B. bovis dan B. bigemina (Cantu et al. 2007).
Babesiosis dicirikan dengan fase akut yang menimbulkan anemia, ikterus,
hemoglobinuria, splenomegali dan demam sampai 42ºC (Kaufmann 1996;
Rodostits et al. 2000; Saleh 2009).
Siklus reproduksi Babesia terdiri atas siklus seksual dan aseksual. Siklus
seksual terjadi di dalam tubuh caplak. Caplak menghisap darah terinfeksi, secara
tidak sengaja akan menghisap eritrosit yang mengandung fase gametosit. Fase ini
akan menghasilkan mikrogamet dan makrogamet yang berfusi menjadi zigot
kemudian berkembang menjadi ookinet (Uilenberg 2006). Ookinet bermigrasi ke
epitel saluran pencernaan, hemolimfe dan ovarium yang akan menyebabkan larva
positif terinfeksi Babesia (transmisi transovarial) (Lubis 2006). Caplak juga
mengalami transmisi transtadial, larva yang berkembang menjadi nimfa atau
dewasa, secara otomatis pada setiap stadium caplak akan terinfeksi (Homer et al.
2000) dan berpotensi sebagai inang antara (Uilenberg 2006). Fase sporogoni
terjadi ketika ookinet masuk ke kelenjar ludah caplak, larva atau nimfa yang
menyebabkan terjadinya hipertrofi sel kelenjar ludah dan perkembangan
multinukleat sporoblast menjadi sporozoit kemudian akan masuk ke dalam tubuh
sapi bersamaan dengan gigitan caplak.
Siklus aseksual terjadi di dalam tubuh sapi, tepatnya di dalam eritrosit.
Sporozoit (fase infektif) masuk ke dalam eritrosit melalui saliva caplak terinfeksi
yang menggigit sapi. Kemudian sporozoit berubah menjadi trophozoit yang
mengalami pembelahan biner dan bertunas menjadi dua atau empat membentuk
merozoit. Pembelahan menyebabkan desakan mekanis sehingga terjadi ruptur
eritrosit yang mengeluarkan merozoit dan mencari eritrosit baru kemudian
memenetrasinya (Homer et al. 2000). Siklus ini akan terus berlanjut sampai
infeksi yang terjadi tidak terkontrol sehingga sapi mati. Ketika caplak menghisap
darah inang yang mengandung parasit, sebagian merozoit akan rusak di dalam
saluran pencernaan dan sebagian merozoit lain mengalami perubahan menjadi
fase gametosit. Fase inilah yang akan berperan dalam reproduksi seksual.
3
Anaplasma sp.
Kingdom
Filum
Kelas
Ordo
Famili
Genus
: Bacteria
: Protobacteria
: Alphaproteobacteria
: Rickettsiales
: Anaplasmataceae
: Anaplasma (Levine 1995)
Anaplasma berukuran kecil 0,3-0,4 µm, berbentuk kokoid sampai elips dan
dapat menyebabkan anaplasmosis (Boone et al. 2001). Anaplasma berwarna ungu
dengan pewarnaan Giemsa, terletak pada tepi maupun tengah sel darah (Quinn et
al. 2008). A. marginale bersifat patogen dan A. centrale non-patogen. Vektor dari
Anaplasma adalah Boophilus, Rhipicephalus, Hyalomma, Demacentor dan Ixodes
(Kocan et al. 2004; Hamou et al. 2012). Anaplasma menyebabkan anemia,
pyrexia, kelemahan, dan ikterus (Foley dan Biberstein 2004).
Agen masuk melalui gigitan caplak terinfeksi pada tubuh inang, kemudian
masuk ke dalam eritrosit melalui proses endositosis, dan terjadi pembelahan biner.
Hasil pembelahan dikeluarkan melalui permukaan sel dan bersifat menular pada
eritrosit lainnya (Foley dan Biberstein 2004). Seluruh stadium perkembangan
caplak memiliki potensi menyebarkan Anaplasma (Kocan et al. 2010). Transmisi
Anaplasma dapat disebabkan oleh gigitan lalat. Lalat penghisap darah famili
Tabanidae dilaporkan mampu menjadi inang antara mekanik dari A. marginale di
kawasan Eropa tengah-timur (Hornok et al. 2008). Menurut Foley dan Biberstein
(2004), Anaplasma juga dapat ditularkan oleh lalat Tabanus, Stomoxys, nyamuk
Psorophora, dan Aedes aegypti.
Theilleria sp.
Kingdom
Filum
Kelas
Ordo
Subordo
Famili
Genus
: Protozoa
: Apicomplexa
: Sporozosida
: Eucoccidiorida
: Piroplasmorina
: Theileriidae
: Theileria (Levine 1995)
Theileria berbentuk batang dengan ukuran 1.5-2.0x0.5-1.0 µm (Levine
1995) yang menyebabkan theileriosis. Infeksi diperantarai Rhipichepalus,
Hyalomma, Amblyomma dan Haemaphysalis (Urquhart et al. 2003). Theileria
yang menginfeksi sapi adalah T. annulata, T. parva, T. mutans, T. sergenti, T.
taurotragi dan T. velifera (Billiow 2005). Infeksi Theilleria menyebabkan
kelemahan, berat badan turun, anoreksia, suhu tubuh tinggi, ptekhi pada mukosa
konjungtiva, pembengkakan nodus limfatikus, anemia dan batuk. Sedangkan
infeksi pada stadium lanjut menyebabkan hewan tidak dapat berdiri, suhu tubuh
4
dibawah normal (T<38,5ºC), ikterus, dehidrasi, dan kadang ditemukan darah di
feses (Kelles et al. 2001).
Perbedaan antara siklus hidup Babesia dan Theileria terletak pada tipe
infeksinya. Sporozoit Babesia menyerang eritosit kemudian terjadi pembelahan.
Sedangkan, pada Theleria sporozoit menyerang limfosit dahulu, yang selanjutnya
akan menuju eritrosit. Theileria di dalam eritrosit tidak mengalami pembelahan,
Theileria akan hidup beberapa waktu sampai eritosit mengalami kerusakan dan
pergantian sel yang baru. Pada kasus theileriosis, anemia hemolitik jarang
dilaporkan terjadi (Kaufmann 1996). Theileria merupakan satu-satunya patogen
eukariotik yang dapat menginvasi limfosit yang selanjutnya menginduksi limfoma
(Roos 2005).
METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai September 2012 di
kecamatan Ujungjaya, kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Pewarnaan dan
pemeriksaan sampel dilaksanakan di Laboratorium Protozoologi, Departemen
Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran
Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Prosedur Penelitian
Pengumpulan Data
Data diperoleh dari hasil kuesioner peternak dan pemeriksaan parasit darah
dari sampel ulas darah pada sapi potong peternakan rakyat di kecamatan
Ujungjaya, kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Kuesioner digunakan untuk
mengumpulkan data tambahan berkaitan dengan faktor risiko berupa umur, jenis
kelamin, cara beternak, dan pengendalian lalat dan caplak.
Ukuran Sampel
Jumlah sampel ditentukan dengan asumsi dugaan bahwa tingkat kejadian
penyakit parasit sebesar 50% dengan tingkat kepercayaan 90%. Besaran sampel
dihitung menggunakan rumus sebagai berikut (Selvin 2004):
n = 4P (1-P)
L2
Keterangan: n = Besaran sampel darah sapi yang diambil
P = Asumsi dugaan tingkat kejadian sapi yang diambil
L = Tingkat kesalahan 10% (0.1)
Berdasarkan rumus diatas, didapatkan jumlah sampel minimal 100 sampel.
Sampel darah diambil dari sapi potong dewasa (>12 bulan), anak (>6 bulan-12
bulan) dan pedet (0-6 bulan).
5
Pengambilan Sampel Darah
Pengambilan sampel darah dilakukan sekali kemudian dibagi menjadi tiga
preparat. Sampel darah diambil melalui vena auricularis telinga menggunakan
jarum. Setetes darah diletakkan pada tepi gelas objek 1, dengan perlahan ujung
gelas objek 2 ditempelkan di atas darah tersebut. Darah akan menyebar di antara
sudut gelas objek 1 dan 2. Gelas objek 2 didorong membentuk sudut 45ºC
sehingga terbentuk ulas darah tipis. Sediaan ulas darah dikeringkan selama 1
menit dan difiksasi menggunakan metanol selama 3-5 menit. Setelah dibiarkan
kering, sediaan ulas darah dimasukkan ke dalam kotak preparat untuk dibawa ke
laboratorium (Mahmmod et al. 2011).
Pewarnaan sampel ulas darah
Preparat ulas darah diwarnai menggunakan larutan Giemsa 10% dengan
cara merendamnya selama 30 menit. Preparat ulas darah yang telah diwarnai
dicuci dengan aquades dan dikeringkan (Mahmmod et al. 2011).
Pemeriksaan sampel ulas darah
Pemeriksaan ulas darah dilakukan secara acak pada lima lapang pandang
dengan perbesaran 1000x. Jumlah parasit intraseluler darah dihitung untuk tiap
500 butir sel darah merah (Alamzan et al. 2008). Rataan parasitemia dihitung
dengan rumus :
Prosedur Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis menggunakan uji chi-square untuk
mengetahui tingkat prevalensi, uji ANOVA dan uji lanjut Duncan untuk
membandingkan tingkat parasitemia terhadap umur serta uji T (t-test) untuk
membandingkan tingkat parasitemia terhadap jenis kelamin. Analisa data
menggunakan program SPSS 16.0 dan Microsoft Excel 2010.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tingkat Prevalensi Infeksi Parasit Darah
Parasit darah yang berhasil diidentifikasi adalah Babesia sp., Anaplasma sp.,
dan Theileria sp. Dari 139 sampel darah yang telah diperiksa, ditemukan sebanyak
47 sapi positif babesiosis, 54 sapi positif anaplasmosis, dan 31 sapi positif
theileriosis. Prevalensi tertinggi disebabkan oleh Anaplasma sp. (38.8%), diikuti
dengan Babesia sp. (33.8%), dan terendah Theileria sp. (22.3%). Tingkat
6
prevalensi infeksi parasit darah pada sapi potong peternakan rakyat di kecamatan
Ujungjaya disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Tingkat prevalensi infeksi parasit darah
Jenis Parasit Darah
N
Jumlah sampel positif
Babesia sp.
139
47
Anaplasma sp.
139
54
Theileria sp.
139
31
Prevalensi (%)
33.8
38.8
22.3
Tingkat prevalensi Babesia sp., Anaplasma sp., dan Theileria sp. yang
cukup tinggi pada sapi di Ujungjaya dapat disebabkan kondisi iklim yang sesuai
bagi pertumbuhan dan perkembangan caplak sebagai agen infeksi. Himawan
(2009) menyatakan bahwa keberadaan caplak di suatu lingkungan dipengaruhi
oleh iklim (suhu, curah hujan dan kelembaban). De Voss dan Potgreter (1991)
melaporkan bahwa parasit darah akan banyak menginfeksi ternak pada kondisi
yang optimum bagi perkembangan caplak, yaitu pada tingkat kelembaban sekitar
87%. Hal ini ditunjang dengan laporan BMKG (2012) yang menyatakan
kabupaten Sumedang memiliki kelembaban 55-96%. Menurut Mullen dan Dorden
(2012), aktivitas caplak mencari inang di daerah tropis dipengaruhi oleh
pergantian musim kemarau ke musim hujan. Pengambilan sampel dilakukan pada
bulan Juli. Pada bulan tersebut terjadi musim kemarau yang menyebabkan
kekeringan, sehingga tingkat infeksi caplak menurun. Kondisi dingin tidak disukai
oleh caplak karena caplak lebih aktif saat kondisi hangat. Adapun prevalensi
Anaplasma sp. dan Babesia sp. menunjukan angka yang relatif tidak berbeda jauh.
Menurut Jonsson et al. (2008), B. bovis, B. bigemina, dan A. marginale ditularkan
melalui Boophilus microplus sebagai vektor tick fever. Adanya kesamaan vektor
tersebut memudahkan kedua genus untuk menginfeksi sapi secara bersamaan
maupun terpisah. Rodostits et al. (2007) melaporkan bahwa Theileria ditularkan
oleh Haemaphysalis. Infeksi parasit darah yang disebabkan oleh tick-borne
disease (TBDs) sering ditemukan bersamaan pada satu hewan (Bilgic et al. 2013).
Faktor Risiko Kejadian Penyakit Parasit Darah
Prevalensi kejadian babesiosis dan anaplasmosis yang dipengaruhi oleh
faktor umur, secara statistik berbeda nyata (p<0.05), sedangkan theileriosis tidak
berbeda nyata. Prevalensi kejadian babesiosis, anaplasmosis, dan theileriosis pada
sapi betina lebih tinggi dibandingkan dengan sapi jantan, akan tetapi secara
statistik tidak berbeda nyata. Faktor risiko yang berpengaruh nyata lainnya adalah
cara beternak, dengan prevalensi babesiosis dan anaplasmosis pada sapi yang
digembalakan terus-menerus cenderung lebih tinggi dibandingkan sapi yang
dilepas siang hari kemudian dikandangkan malam hari (p<0.05), akan tetapi pada
theileriosis tidak berbeda nyata. Cara pengendalian lalat yang berpengaruh pada
kejadian babesiosis adalah dengan pengendalian insektisida. Sedangkan dalam
pengendalian caplak, prevalensi babesiosis pada pemberian insektisida senderung
7
lebih berpengaruh daripada pengambilan secara manual. Tidak terdapat pengaruh
yang nyata pada prevalensi anaplasmosis dan theileriosis menggunakan metode
pengendalian serangga (lalat dan caplak). Hasil analisis faktor risiko kejadian
penyakit parasit darah disajikan pada Tabel 2.
Hasil analisis prevalensi babesiosis anaplasmosis dan theileriosis dengan
menggunakan uji chi-square menunjukkan terdapat perbedaaan tingkat prevalensi
pada umur sapi yang berbeda. Hasil analisis menunjukkan sapi anak memiliki
tingkat prevalensi babesiosis dan anaplasmosis yang lebih tinggi daripada sapi
dewasa dan pedet. Tingginya kejadian penyakit pada sapi anak diduga karena
pemberian kolostrum oleh induk terinfeksi yang tidak mencukupi, sehingga
tingkat infeksi tinggi. Selain itu, umur 6-12 bulan merupakan masa peralihan
pakan dari susu menjadi hijauan yang dapat menyebabkan tingginya infeksi
parasit. Sedangkan pada theleriosis, hasil analisis prevalensi menunjukkan sapi
yang lebih tua memiliki tingkat prevalensi yang lebih tinggi daripada sapi yang
lebih muda. Jenis kelamin tidak berpengaruh terhadap tingkat prevalensi kejadian
parasit darah.
Sistem pemeliharaan ternak merupakan salah satu faktor yang berpengaruh
dalam kejadian penyakit parasit darah. Sistem pemeliharaan ternak dikategorikan
menjadi tiga, yaitu pemeliharaan intensif (dikandangkan terus-menerus), ekstensif
(digembalakan terus-menerus), dan semi intensif (kombinasi dari keduanya).
Tingginya tingkat prevalensi pada ternak yang digembalakan secara ekstensif,
diduga berkaitan dengan tingginya aktivitas caplak yang menginfeksi inang secara
berkala dan terus-menerus. Caplak bertindak sebagai inang antara yang
mentransmisi secara biologis, dan lalat mentransmisi secara mekanik (Kocan et al.
2000). Adapun masih terdapatnya sapi yang terinfeksi pada peternakan dengan
metode digembalakan pagi hari dan dikandangkan sore hari (semi intensif),
diduga infeksi berasal dari sapi yang terinfeksi saat digembalakan dan saat
dikandangkan akan menginfeksi sapi yang letak kandangnya tidak berjauhan.
Transmisi tersebut dilakukan oleh caplak yang menempel pada sapi terinfeksi
kemudian menginfeksi sapi lain melalui gigitan. Nasution (2009) menyatakan
bahwa waktu sapi merumput berpengaruh terhadap infeksi parasit darah. Menurut
Himawan (2009), rumput segar dipagi hari tidak baik untuk ternak, karena caplak
sedang aktif berburu dan sedang berada di puncak rerumputan.
Pemberian insektisida (akarisida) pada ternak sangat diperlukan dalam
pengendalian penyakit parasit darah. Ternak sebagian besar telah diberikan
insektisida baik dalam pengendalian lalat maupun caplak. Walaupun demikian
masih banyak sapi yang terinfeksi parasit darah. Tingginya prevalensi infeksi
parasit pada sapi yang telah diberi insektisida diduga berkaitan dengan kurangnya
pengetahuan peternak mengenai pemakaian insektisida. Pada babesiosis,
pemberian insektisida berpengaruh secara nyata (p<0.05) terhadap pengendalian
lalat, sedangkan pada anaplasmosis dan theileriosis tidak berbeda nyata. Akan
tetapi, pengendalian dengan insektisida menunjukkan prevalensi yang tinggi pada
babesiosis, anaplasmosis dan theileriosis. Hal ini diduga karena jenis insektisida
yang digunakan tidak tepat (spesifik) dan pemberian yang tidak teratur, sehingga
tidak dapat mengurangi tingkat prevalensi pada sapi.
8
8
Tabel 2 Hasil analisis chi-square faktor risiko kejadian penyakit parasit darah
Faktor
N
Babesiosis
n
%
Nilai-P
Kategori Umur
- Pedet
32
0
0
- Anak
18
15
83.3
0.000*
- Dewasa
89
32
35.9
Jenis Kelamin
- Jantan
33
11
33.3
0.562
- Betina
106
36
33.9
Cara Beternak
-Digembalakan terus-menerus
56
26
46.4
0.010*
-Dilepas pagi hari, di kandangkan sore hari
83
21
25.3
Pengendalian lalat
-Insektisida
43
22
51.1
0.004*
-Perangkap serangga
11
3
27.3
0.633
-Diusir secara mekanis
112
34
30.4
0.079
Pengendalian caplak
-Insektisida
26
14
53.8
0.017*
-Diambil secara manual
113
33
29.2
*
Tanda menunjukkan berbeda nyata pada taraf uji 5% (0.05)
Anaplasmosis
n
%
Nilai-P
n
3
15
37
9.4
83.3
41.6
3
4
24
9.3
22.2
27
13
42
39.4
39.6
0.574
7
24
21.2
22.6
0.536
31
24
55.4
28.9
0.002*
10
21
17.9
25.3
0.301
22
3
41
51.2
27.3
36.6
0.061
0.385
0.146
10
3
26
23.3
27.3
23.2
0.857
0.680
0.599
14
41
54
36.2
0.099
6
25
3.1
22.1
0.916
0.000*
Theileriosis
%
Nilai-P
0.122
9
Pengendalian caplak menggunakan insektisida berpengaruh terhadap infeksi
babesiosis (p<0.05), namun tidak berpengaruh secara signifikan terhadap
anaplasmosis dan theileriosis. Prevalensi parasit darah pada pengendalian
menggunakan insektisida cenderung lebih tinggi daripada pengambilan caplak
secara manual. Hal ini diduga berkaitan dengan penggunaan insektisida yang
salah oleh peternak, sehingga tidak dapat mengurangi tingkat prevalensi.
Penggunaan insektisida yang spesifik terhadap jenis parasit darah merupakan
pengendalian caplak yang efektif. Umumnya peternak memberikan insektisida
tanpa memperhatikan jenis insektisida, cara pemakaian dan dosis yang diberikan.
Metode pengambilan secara manual cenderung kurang efektif, karena metode ini
hanya dapat menghilangkan caplak sementara, tidak dapat mencegah caplak
menginfeksi sapi.
Prevalensi parasit darah pada sapi potong di kecamatan Ujungjaya yang
masih cukup tinggi dapat diatasi dengan kontrol terhadap vektor serangga.
Kontrol pada vektor dapat dilakukan dengan penggunaan akarisida yang tepat dan
teratur. Penyakit pada sapi dapat diatasi dengan pengobatan menggunakan
antiprotoza dan antiricketsia. Menurut Akhter et al. (2010), pengobatan dengan
sediaan antiprotozoa tidak efektif untuk infeksi yang ringan seperti studi kasus
kali ini. Perlu dilakukan pencegahan infeksi melalui vaksinasi. Selain itu,
diperlukan juga upaya dalam memperbaiki sistem manajemen ternak untuk
menghindari terjadinya infeksi berulang pada ternak. Sistem penggembalaan
intensif dengan ternak dikandangkan terus-menerus adalah yang paling baik
dilakukan, karena dapat mengurangi terjadinya infeksi parasit darah.
Tingkat parasitemia berdasarkan umur
Rataan parasitemia Babesia sp. dan Anaplasma sp. pada sapi pedet
menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05) dengan sapi anak, sedangkan
Theileria sp. tidak berbeda nyata. Rataan parasitemia Babesia sp., Anaplasma sp.
dan Theileria sp. antara sapi pedet dengan dewasa menunjukkan hasil yang
berbeda nyata (p<0.05). Adapun rataan parasitemia Babesia sp., Anaplasma sp.
dan Theileria sp. antara sapi anak dengan dewasa menunjukkan hasil yang tidak
berbeda nyata. Rata-rata parasitemia pada berbagai tingkat umur memiliki nilai
<1% (Tabel 4).
Tabel 3 Rataan parasitemia berdasarkan kategori umur
Klasifikasi
N
Rataan Parasitemia (%)
Umur
Babesia sp.
Anaplasma sp.
Theileria sp.
Pedet
32
0.000±0.000a
0.023±0.072a
0.021±0.070a
Anak
18
0.102±0.132b
0.099±0.122b
0.072±0.146ab
b
b
Dewasa
89
0.109±0.161
0.102±0.149
0.105±0.179b
Rata-rata
139
0.070±0.097
0.074±0.098
0.066±0.131
Keterangan : uji Duncan-huruf kecil superskrip yang berbeda yang mengikuti angka pada kolom
yang sama menyatakan perbedaan yang nyata (p<0.05)
Hasil pemeriksaan ulas darah Babesia sp. menunjukkan rataan parasitemia
meningkat seiring dengan peningkatan umur sapi. Pada sapi yang terinfeksi
Babesia sp., pedet memiliki rataan parasitemia nol yang diduga karena umur pedet
10
yang masih muda (0-6 bulan). Pada infeksi Babesia sp., hewan muda
mendapatkan maternal antibodi dari induknya melalui kolostrum induk yang telah
terinfeksi oleh parasit ini (Soulsby 1982). Benavides dan Sacco (2007)
menyatakan bahwa secara umum sapi muda kurang rentan dibandingkan sapi
dewasa terhadap infeksi Babesia sp. Rataan parasitemia Babesia sp. pada sapi
anak menunjukkan nilai yang hampir sama dengan sapi dewasa. Hal ini diduga
berkaitan dengan antibodi foetal dan maternal yang mulai menghilang pada sapi
anak. Sapi anak lebih tahan terhadap babesiosis daripada sapi dewasa (Levine
1995). Adapun sapi yang berusia muda tetapi masih terinfeksi Babesia sp. diduga
infeksi parasit tersebut datang saat lepas sapih. Pada saat lepas sapih, terjadi peralihan
pemberian pakan yaitu dari susu menjadi pakan hijauan.
Menurut Noble (1989), babesiosis terutama menginfeksi hewan berumur tua.
Hal ini terlihat dari rataan parasitemia sapi dewasa yang paling tinggi.
Berdasarkan hasil penelitian Nasution (2007), Babesia sp., Theileria sp. dan
Anaplasma sp. banyak terlihat pada ternak yang berumur produktif (dewasa) yaitu
umur antara 1-2 tahun. Menurut Levine (1995), sapi yang telah sembuh dari
babesiosis yang disebabkan oleh B. bigemina akan tetap terinfeksi seumur hidup.
Sedangkan pada sapi yang terinfeksi B. bovis, premunitasnya tidak lebih dari 2
tahun, dan jangka waktu minimum sapi dapat peka lagi adalah 5-6 bulan. Hewan
yang dipremunisasi dapat memperlihatkan tanda-tanda penyakit pada keadaan
stres yang dapat meyebabkan babesiosis pada sapi menjadi aktif lagi. Homer et al.
(2000) menyatakan bahwa premunisasi tidak dapat mencegah infeksi berulang,
tetapi dapat menurunkan tingkat parasitemia, morbiditas dan mortalitas ketika
terjadi paparan berulang.
Gambar 1 Gambaran mikroskopis a) Babesia sp. (hasil penelitian), b.1 B.
bigemina; b.2 B. bovis (Aiello dan Moses 2011)
Hasil rataan parasitemia Anaplasma sp. menunjukkan peningkatan rataan
seiring dengan peningkatan umur. Pendapat ini sesuai dengan literatur yang
menyatakan bahwa sapi berbagai umur dapat terinfeksi oleh A. marginale, namun
tingkat infeksi parasit meningkat sesuai dengan peningkatan umur ternak. Sapi
berbagai tingkatan umur jika sekali terinfeksi dengan Anaplasma sp. maka secara
persisten akan menjadi karier seumur hidup (Kocan et al. 2000; Aubry dan Geale
2010).
11
Gambar 2 a) Gambaran mikroskopis Anaplasma sp. (hasil penelitian), b) A.
marginale (Kocan et al. 2003), c) A. marginale - pewarnaan Giemsa
(Ashuma et al. 2013)
Secara alami, theileriosis ditularkan secara stage to stage oleh caplak tanpa
ada penularan transovarial karena parasit ini tidak dapat hidup dalam caplak lebih
lama dari satu kali ekdisis (penyilihan) (Siegel et al. 2006). Walaupun parasit ini
tidak dapat hidup dalam caplak lebih lama dari satu kali ekdisis (penyilihan),
namun parasit infektif yang berasal dari hewan yang terinfeksi dapat ditularkan
kembali kepada induk semang lain yang belum terinfeksi (Tampubulon 2004).
Sapi yang sembuh dari infeksi T. annulata, T. mutans mendapat kekebalan
premunitas, yang menyebabkan parasit tersebut akan tetap ada di tubuh induk
semang. Adapun sapi yang baru lahir sampai usia dara, biasanya lebih tahan terhadap
infeksi parasit darah (Levine 1995).
Gambar 3 a) Gambaran mikroskopis Theileria (hasil penelitian), b) T. annulata
dengan pewarnaan Giemsa (Sharifiyadzi et al. 2012), c) Skema
morfologi Theileria (Tampubulon 2004)
12
Tingkat parasitemia berdasarkan jenis kelamin
Sapi jantan yang terinfeksi Babesia sp. menunjukkan rataan parasitemia
yang berbeda nyata (p<0.05) dengan betina. Sedangkan sapi jantan terinfeksi
Theileria sp. dan Anaplasma sp. menunjukkan rataan parasitemia yang tidak
berbeda nyata dengan betina. Rata-rata parasitemia terhadap jenis kelamin
memiliki nilai <1% (Tabel 5).
Tabel 4 Rataan parasitemia berdasarkan jenis kelamin
Jenis Kelamin
N
Rataan Parasitemia (%)
Babesia sp.
Anaplasma sp.
Theileria sp.
a
a
Jantan
33
0.032±0.064
0.054±0.108
0.064±0.128a
b
a
Betina
106 0.092±0.158
0.092±0.142
0.087±0.168a
Rata-rata
139 0.062±0.111
0.073±0.125
0.075±0.148
Keterangan : uji T-tes-huruf kecil superskrip yang berbeda yang mengikuti angka pada kolom
yang sama menyatakan perbedaan yang nyata (p<0.05)
Berdasarkan hasil analisis T-test, rataan parasitemia Babesia sp. yang
berbeda nyata mengindikasikan bahwa jenis kelamin dapat mempengaruhi tingkat
parasitemia (P<0.05). Sedangkan pada Anaplasma sp. dan Babesia sp. tidak
berbeda secara signifikan. Secara umum, nilai rataan parasitemia sapi betina lebih
tinggi sapi jantan. Hasil ini berbeda dengan penelitian Sajid et al. (2009) yang
menyatakan bahwa sapi jantan memiliki tingkat parasitemia yang lebih tinggi
daripada sapi betina. Peningkatan jumlah parasit pada sapi betina diduga oleh
adanya faktor stres. Sapi betina bunting, melahirkan dan laktasi biasanya memiliki
tingkat stres yang tinggi. Adanya faktor stres ini dapat menimbulkan gangguan
hormonal pada sapi tersebut dan ketidakseimbangan imunitas sapi. Menurut
Bandini (2001), jika ditemukan parasit dengan jumlah yang banyak pada salah satu
jenis kelamin, kemungkinan dipengaruhi oleh faktor stres pada sapi. Tingkat stres
akan mempermudah infeksi parasit darah yang mengakibatkan daya tahan dan
kekebalan tubuh akan menurun. Menurut Nasution (2007), sapi yang sering
mengalami stres biasanya ditemukan pada sapi betina dibandingkan sapi jantan .
Tingkat parasitemia merupakan indikator untuk mengukur tingkat infeksi
parasit. Ndungu et al. (2005) membagi tingkat parasitemia menjadi tingkat ringan
(mild reaction) dengan nilai parasitemia <1%, tingkat sedang (severe reaction)
dengan nilai parasitemia 1-5%, dan tingkat berat (very severe reaction) dengan
nilai parasitemia >5%. Rata-rata parasitemia pada sampel berbagai tingkat umur
dan jenis kelamin memiliki nilai sama yaitu <1%, yang tergolong tingkat
parasitemia ringan, dan ditandai dengan gejala subklinis. Ternak yang
menunjukan gejala subklinis dapat menjadi karier bagi ternak lainnya (Islam et al.
2011). Hewan karier memiliki peran penting dalam epidemiologi TBDs karena
dapat menjadi reservoir bagi caplak naif dan pengenalan penyakit ke daerah yang
belum terinfeksi (Bilgic et al. 2013).
13
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Prevalensi kejadian tertinggi pada kecamatan Ujungjaya, kabupaten
Sumedang, Jawa Barat adalah anaplasmosis, diikuti dengan babesiosis, dan
terendah theileriosis. Prevalensi babesiosis dan anaplasmosis dipengaruhi oleh
faktor umur dan cara beternak, sedangkan pada theileriosis tidak berpengaruh.
Jenis kelamin tidak berpengaruh terhadap tingkat prevalensi. Prevalensi babesiosis
dipengaruhi cara pengendalian lalat dan caplak sedangkan pada anaplasmosis dan
theileriosis tidak berpengaruh. Secara umum, tingkat parasitemia meningkat
seiring dengan peningkatan umur sapi. Tingkat parasitemia sapi betina lebih tinggi
daripada sapi jantan, tetapi secara statistik tidak signifikan. Rata-rata parasitemia
pada sampel berbagai tingkat umur dan jenis kelamin memiliki nilai sama yaitu
<1%, yang tergolong tingkat parasitemia ringan.
Saran
Penanggulangan kasus infeksi parasit darah dapat dilakukan dengan program
pengendalian dan pemberantasan vektor secara berkesinambungan di Kecamatan
Ujungjaya, kabupaten Sumedang, Jawa Barat.
DAFTAR PUSTAKA
Aiello SE, Moses MA. 2011. Babesiosis. Di dalam: Jorgensen WK, editor. The
Merk Veterinary Manual. Ed ke-10[Internet]. [diunduh 2013 Agust 20].
Tersedia pada: http://www.merckmanuals.com/vet/circulatory_system/blood_
parasites/babesiosis.html.
Akhter N, Lal C, Gadahi JA, Mirbahar KB, Memon MI. 2010. Efficacy of various
antiprotozoal drugs on bovine babesiosis, anaplasmosis and theileriosis.
Veterinary World. 3(6):272-274.
Alamzan C, Medrano C, Ortiz M, Fuente JDL. 2008. Genetic diversity of Anaplasma
marginale strains from an outbreak of bovine anaplasmosis in an endemic area.
Vet Parasitol. 158(1-2):103-109.
Ashuma, Sharma A, Singla LD, Kaur P, Bal MS, Batth BK, Juyal PD. 2013.
Prevalence and haemato biochemical profile of Anaplasma marginale infection
in dairy animals of Punjab (India). APJTM. 6(2):139-144.
Aubry P, Geale DW. Transboundary and emerging disease: A review of bovine
anaplasmosis. 2010. J Vet Sci. 58(1):1-30.
Bandini Y. 2001. Sapi Bali. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.
[Bappeda Sumedang] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Sumedang. 2011.
Peluang Bisnis dan Investasi di Kabupaten Sumedang[Internet]. [diunduh 2013
Juni 30]. Tersedia pada: http://bappeda.sumedangkab.go.id/berita-160-peluangbisnis-dan-investasi-di-kabupaten-sumedang.html.
Benavides MV, Sacco MS. 2007. Differential Bos Taurus cattle response to
Babesia bovis infection. Vet. Parasitol. 150:54-64.
14
Bilgic HB, Karagenc T, Simuunza M, Shiels B, Tait A, Eren H, Weir W. 2013.
Development of a multiplex PCR assay for simultaneous detection of Theileria
annulata, Babesia bovis and Anaplasma marginale in cattle. Exp Parasitol.
133(2):222–229.
Billiow M. 2005. The epidemiology of bovine theileriosis in the Eastern Province
of Zambia. Laboratorium voor Parasitologie. Faculteit Diergeneeskunde.
Universiteit Gent.
[BMKG] Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. 2012. Prakiraan Cuaca
Propinsi Jawa Barat[Internet]. [diunduh 2013 Juli 22]. Tersedia pada:
http://meteo.bmkg.go.id/prakiraan/propinsi/13.
Boone DR, Richard WC, George MG. 2001. Bergey’s Manual of Systematic
Bacteriology. New York (US): Springer.
Cantu A, Ortega JA, Mosqueda J, Zeferino GV, Scott EH, John EG. 2007.
Immunologic and molecular identification of Babesia bovis and Babesia
bigemina in free-ranging white-tailed deer in Northern Mexico. J Wildl Dis.
43(3):504–507.
[BMKG] Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. 2012. Prakiraan Cuaca
Propinsi Jawa Barat[Internet]. [diunduh 2013 Juli 22]. Tersedia pada:
http://meteo.bmkg.go.id/prakiraan/propinsi/13.
De Vos AJ, Potgreter 1991. Distribution Economic Importance and Control
Measure for Babesia and Anaplasma; Dolan TT, editor. Recent Development
in The Control of Anaplasmosis, Babesiosis and Cowdriosis. The International
Laboratory for Research on Animal Disease. Kenya (KE): Nairobi . hlm 3-12.
Dewi RT. 2009. Babesiosis pada Sapi Potong Impor dari Australia melalui
Pelabuhan Tanjung Priok [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Fooley J, Biberstein. 2004. Jawetz, Melnick, & Adelberg’s Medical Microbiology.
Brooks GF, Morse SA, Butel JS; editor. New York (US): Mc Grawl Hill.
Georges K, Loria GR, Riili S, Greco A, Caracappa S, Jongejan F, Sparagano O.
2001. Detection of haemoparasites in cattle by reverse line blot hybridisation
with a note on the distribution of ticks in Sicily. Vet Parasitol. 99(4):273-286.
Hamou SA, Rahali T, Sahibi H, Belghyti D, Losson B, Goff W, Rhalem A. 2012.
Molecular and serological prevalence of Anaplasma marginale in cattle of
North Central Morocco. J Vet Sci. 93(3):1318–1323.
Himawan W. 2009. Identifikasi parasit darah pada kerbau belang (Tedong bonga)
dan kerbau rawa (Swamp Buffalo) di Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi Selatan.
[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Homer MJ, Delfin IA, Telford III SR, Krause PJ, Persing DH. 2000. Babesiosis.
Clin. Microbiol. Rev. 13(3):451.
Hornok S, Foldva’ri G, Elek V, Naranjo V, Farkas R, Fuente J. 2008. Molecular
identification of Anaplasma marginale and Rickettsial endosymbionts in
blood-sucking flies (Diptera: Tabanidae, Muscidae) and hard ticks
(Acari:Ixodidae). Vet Parasitol. 154:354-359.
Islam MK, Jabbar A, Campbell BE, Cantacessi C, Gasser RB. 2011. Bovine
theileriosis-An emerging problem in south-eastern Australia. Infection, Genetic
and Evolution. 11:2095-2097.
Jonsson NN, Davis R, De Witt M. 2001. An estimate of the Economic Effect of
Cattle Tick (Boophilus microplus) infestation on Queensland dairy farms. Aust
Vet J. 79(12):826-831.
15
Kaufmann J. 1996. Parasitic Infections of Domestic Animals-A Diagnostic
Manual. Berlin (DE): Birkhauser.
Kelles I, Deger S, Altug n, Karaca M, Akdemir C. 2001. Tick-borne disease in
cattle: clinical and haematological findings, diagnosis, treatment, seasonal
distribution, breed, sex and age factors and the transmitter of the disease. Yyu
Vet Fak Derg. 12:26-32.
Kocan KM, Blouin EF, Barbet AF, 2000. Anaplasmosis control. Past, present, and
future. Ann. NY. Acad Sci. 916:501-509.
Kocan KM, Fuente J, Guglielmone AA, Mele´ndez RD. 2003. Antigens and
alternatives for control of Anaplasma marginale infection in cattle. J Clin.
Microbiol. Rev. 16:698-712.
Kocan KM, de la Fuente J, Blouin EF, Garcia JC. 2004. Anaplasma marginale
(Rickettsiales: Anaplasmataceae): recent advances in defining hostpathogen
adaptations of a tick-borne rickettsia. Vet Parasitol. 129:285-300.
Kocan KM, Feunte JDL, Blouin EF, Coetzee JF, Swing SA. 2010. Review- The
natural history of Anaplasma marginale. Vet Parasitol. 167:95-107.
Levine ND. 1995. Protozoologi Veteriner. Soekardono S, penerjemah;
Brotowidjojo D, editor. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University.
Terjemahan dari: Veterinary Protozoology.
Lubis FY. 2006. Babesiosis (piroplasmosis). Cermin Dunia Kedokteran. 152:2729.
Mahmmod YS, Elbalkemy FA, Klaas IC, Elmekkawy MF, Monazie AM. 2011.
Clinical and haematological study on water buffaloes (Bubalus bubalis) and
crossbred cattle naturally infected with Theileria annulata in Sharkia province,
Egypt. Ticks and Tick-borne Diseases. 2: 168-171.
Mullen G, Dorden L. 2002. Medical and Veterinary Entomology. California (US):
Academic Press.
Nasution AYA. 2007. Parasit Darah pada Ternak Sapi dan Kambing di Lima
Kecamatan, Kota Jambi [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Ndungu SG, Brown CGD, Dolan TT. 2005. In vivo comparison of suspectibility
between Bos indicus and Bos taurus cattle type to Theileria parva infection.
Onderstepoort J Vet Res. 72(1):13-22.
Noble E. 1989. Parasitologi Biologi Parasit Hewan. Wardianto, penerjemah;
Soeripto N, editor. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Pr.
Ristic M, Kreier JP. 1981. Babesiosis. New York (US): Academic Pr. Inc.
Rodostits OM, Gay CC, Blood DC, Hinchcliff KW. 2000. Veterinary Medicine.
Ed ke-8. New York (US): Baillier Tindall. hal 303–311.
Rodostitis OM, Gay CC, Hinchcliff KW, Constable PD. 2007. Veterinary
Medicine: A textbook of the diseases of cattle, horses, sheep, pigs and goats.
Ed ke-10. USA (US): Saunders.
Roos DS. 2005. Themes and Variations in Apicomplexan Parasite Biology.
Science. 309:72-73.
Saleh MA. 2009. Erythrocytic oxidative damage in crossbred cattle naturally
infected with Babesia bigemina. J Vet Sci. 86(1):43–48.
Sajid MS, Iqbal Z, Khan MN, Muhammad G, Khan MK. 2009. Prevalence and
associated risk factors for bovine tick infestation in two districts of lower
Punjab, Pakistan. J Pre Vet Med. 92:386-391.
16
Selvin S. 2004. Statistica Analysis of Epidemiology Data. London (UK): Oxford
University Pr.
Sharifiyazdi H, Namazi F, Oryanb A, Shahriaric R, Razavib M. 2012. Point
mutations in the Theileria annulata cytochrome b gene is associated with
buparvaquone treatment failure. Vet Parasitol. 187:(431-435).
Siegel S, Howerth E, Leroy BR. 2006. East Coast Fever (Theileria parva)-A
Review. Veterinary Clinical Pathology Clerkship Program. Department of
Pathology, College of Veterinary Medicine. University of Geo Athens.
Soulsby EJL. 1982. Helminth, Arthropods and Protozoa of Domesticated Animal.
New York (US): Academic Pr.
Tampubulon MP. 2004. Protozoologi. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Quinn PJ, Markey BK, Carter ME, Donnelly WJ, Leonard FC. 2008. Veterinary
Microbiology and Microbial Disease. Oxford (GB): Blackwell Pub.
Uilenberg G. 2006. Babesia-a historical overview. Vet Parasitol. 138:2-10.
Urquhart GM, Armour J, Duncan JL, Dunn AM, Jennings FW. 2003. Vet
Parasitol. Ed ke-2. Scotland (GB): Blackwell Pub.
17
Lampiran 6 Kuesioner Peternak
KUESIONER PETERNAK SAPI
PERNYATAAN KESEDIAAN
Saya ……………………….dari………………………….sedang melakukan
survei mengenai infeksi parasit dan faktor risiko yang mempengaruhi kejadian
infeksi parasit pada sapi. Kami sangat mengharapkan partisipasi Bapak/Ibu dalam
survei ini. Survei ini akan memakan waktu tidak lebih dari 30 menit. Informasi
yang Bapak/Ibu berikan akan dijaga kerahasiaannya. Keikutsertaan dalam survei
ini bersifat sukarela, tetapi kami sangat berharap Bapak/Ibu dapat berpartisipasi
karena informasi yang Bapak/Ibu berikan sangat berharga.
Apakah ada yang ingin ditanyakan berkenaan dengan survei ini?
Apakah saya dapat mulai wawancara bapak/Ibu sekarang?
Tanda tangan pewawancara:_________________
Tanggal_________________
Responden setuju untuk diwawancarai ?
a. Ya, wawancara dilanjutkan
b. Tidak, akhiri wawancara
I. Identitas Responden
1.1. Nama Responden
1.2. Nama Kelompok
1.3. Alamat Responden
Dusun
Desa/kelurahan
Kecamatan
Kabupaten
No Tlpn/Hp
:…………………………………………………
:…………………………………………………
:………………………………………………....
:…………………………………………………
:............................................................................
:............................................................................
:………………………………………………....
:…………………………………………………
II. Populasi Ternak
1. Jumlah sapi yang dipelihara
Ternak 0-6 bulan
Jantan
Betina
>6-12 bulan
>1-3 tahun
Jantan
Jantan
Betina
Betina
Sapi
V. Manajemen Peternakan
1. Bagaimana anda memeliharaan ternak
a. Dilepas pada siang hari dan dikandangkan pada malam hari
b. Dilepas/digembalakan terus menerus
18
2. Tindakan apa yang dilakukan untuk mengendalikan lalat di kandang?
(Jawaban dapat lebih dari satu)
a. Menggunakan insektisida
b. Menggunakan perangkap serangga
c. Diusir secara mekanis (dipukul, buat perapian, dsb,)
3. Tindakan apa yang dilakukan untuk mengendalikan caplak?
a. Menggunakan insektisida
b. Diambil secara manual
19
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Nur Fitria Anggraini. Penulis lahir di Kulon Progo
pada tanggal 07 April 1991 dari pasangan Bapak Siswanto dan Ibu Muslimah
Rochayati. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara.
Jenjang pendidikan formal yang telah ditempuh oleh penulis di antaranya
adalah lulusan SD Negeri Gerbosari, Yogyakarta pada tahun 2003, lulusan MTS
Assalaam, Solo pada tahun 2006, dan lulusan SMA Negeri 8 Yogyakarta pada
tahun 2009. Pada tahun 2009, penulis melanjutkan pendidikannya dan diterima di
Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan
Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor (USMI). Selama perkuliahan penulis aktif
dalam kegiatan organisasi intrakampus, yaitu Badan Eksekutif Mahasiswa (20102011), Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan Indonesia Cabang IPB (2010-2012)
dan Himpunan Minat Profesi Satwaliar (2010-2012). Selain itu, penulis pernah
menjadi asisten praktikum mata kuliah Ektoparasit pada semester genap tahun
ajaran 2011/2012.
Download